PENYELUDUPAN HUKUM Kel 8
PENYELUDUPAN HUKUM Kel 8
Diajukan untuk memenuhi satah satu tugas mata kuliah Hukum Perdata Internasional yang
Di ampu oleh :
Sawitri Yuli Hartanti,S.H.,M.H.
DisusunOleh
Kelompok
Kelas B
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
Jl. K.H. Ahmad Dahlan, Cireundeu, Kec. Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, Banten 15419
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga tim
penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ PENYELUDUPAN HUKUM” Makalah ini
disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perdata Internasional.
Dengan penuh semangat tim penyusun berusaha menyelesaikan makalah ini agar dapat
terselesaikan dengan baik dan benar. Makalah ini membahas mengenai penyeludupan hokum.
Dengan dibuatnya Makalah ini, kami berharap dapat semakin dipahami oleh Mahasiswa/i,
terutama di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta. Akhir kata tim penyusun
berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.
Tim Penyusun
DAFTARISI..............................................................................................................................1
KATA PENGANTAR..............................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................3
A. Latar Belakang..............................................................................................................3
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................3
C. Tujuan Penulisan...........................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................4
BAB V PENUTUP..................................................................................................................15
A. Saran 15
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembahasan mengenai Hukum Perdata Internasional dan segala sesuatu yang berkaitan
dengan pembahasannya. Diantaranya adalah defenisi, sejarah, seumber-sumber Hukum Perdata
Internasional. Pada hakekatnya setiap negara yang berdaulat, memiliki hukum atau aturan yang
kokoh dan mengikat pada seluruh perangkat yang ada didalamnya.Seperti pada Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang memiliki mainstream Hukum Positif untuk mengatur warga
negaranya.Salah satu hukum positif yang ada di Indonesia adalah Hukum Perdata Internasional
yangnantinya akan dibahas lebih detail. Permasalahan mengenai keperdataan yang
mengkaitkanantara unsur-unsur internasional pada era globalisasi saat sekarang ini cukup
berkembang pesat.
Kejadian yang sekaranng banyak terjadi antar Negara ialah maslah penyeludupan hukum.
Lembaga maupun individu mempunyai peran yang sangat dominan dimana masalah equal di
muka hukum yang sering di abaikan. Pada saat sekarang ini berbagai kasus terjadi
seperti perkawinan antar negara dengan keyakinan yang berbeda, masalah pembagian warisan
yang dengan menggunakan hukum yang berbeda. Inilah sebuah konsekwensi dari sebuah
globalisasi, tak bisa dihindari, akan tetapi inilah sebuah kebutuhan dan merupakan sifat
dasar umat manusia. Masalah-masalah keperdataan diatas diperlukan sebuah wadah untuk
dapatmenjadi acuan dan rujukan bertindak dan berpedoman pada hukum keperdataan.
Pada dasar penyeludupan hukum berasal dari kata seludup, dalam kamus besar bahasa
Indonesia yang di terbitkan departemen pendidikan dan kebudayaan, balai pustaka, 1989, kata
seludup diartikan penyelundup , menyuruk, masuk dengan sembunyi-sembunyi atau secara gelap
(tidak sah). Sedangkan penyelundupan di artikan pemasuk barang secara gelap
untuk menghindari bea masuk atau karena penyenludupan barang-barang terlarang.
Penyelundupan hukum (evasion of law) adalah suatu perbuatan yang dilakukan di suatu negara
asing dan diakuisah di negara asing itu akan dapat dibatalakan oleh forum atau tidak diakui oleh
forum bila perbuatan itu dilaksanakan di negara asing yang bersangkutan dengan tujuan untuk
menghundarakan diri dari aturan-aturan lex fori ang akan melarang perbuatan itu dilaksanakan di
wilayah forum.
Fungsinya adalah untuk melindungi sistem hukum yang seharusnya berlaku. Ketertiban
umum sangat sukar untuk dirumuskan namun yang dimaksud ketertiban umum ini adalah
pembatasan berlakunya suatu kaedah asing dalam suatu negara karena bertentangan dengan
kepentingan umum atau ketertiban hokum. Faktor-faktor yang membatasi: Waktu, tempat,
falsafah kenegaraan, sistem perekonomian, pola kebudayaan yang dianut, masyarakat
yang bersangkutan. Sehingga hukum asing yang bertentangan dengan ketertiban umum tersebut
tidak dipergunakan meskipun sebenarnya menurut peraturan HPI lex fori, kaedah hukum
asingseharusnya berlaku. Dalam situasi seperti di atas maka lembaga ketertiban umum dapat
menajdidasar bagi pembenaran bagi hakim untuk menyimpang dari kaidah-kaidah HPI yang
seharusnya berlaku, dan menunjuk kearah berlakunya suatu sistem hukum asing.
B. Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana dan seberapa jauh penerapan hokum
dalam permasalahan penyeludupan hukum, dimana banyak ketentuan yang menyimpang dengan
demikian makalah ini sengat penting untuk di pahami dalam kenyataan sekarang ini.
BAB II
Penyelundupan hukum terjadi jika ada seseorang atau suatu pihak yang
untuk mendapatkan berlakunya hukum asing, telah melakukan suatu cara yang tidak dibenarkan
dengan maksud untuk menghindarkan pemakaian hukum nasional, dengan tujuan
untuk menghindarkan suatu syarat atau suatu akibat hukum tertentu yang tidak dikehendaki,
ataupun untuk mewujudkan atau menciptakan suatu akibat hukum yang dikehendaki, dengan
kata lain seseorang melakukan penyelundupan hukum dengan tujuan agar diberlakukan hukum
yang laindari hukum yang seharusnya digunakan.
Penyelundupan hukum ini tidak terlepas dari perspektif Hukum Perdata Internasional
(HPI), Dalam Hukum Perdata Internasional yang merupakan suatu ajaran hokum tentang
perselisihan/hokum pertikaian, dalam hal ini karena bertugas menyelesaikan persoalan persoalan
hukum yang menyangkut “konflik” antara dua atau lebih sistem hukum. Agar tidak terjadi
perdebatan nantinya, maka perlu pemisahan kaitan antara hubungan “pemilihan hukum” dengan
“penyelundupan hukum”. Karena disini, pada pilihan hukum secara obyektif yaitu memilih
stelsel-stelsel hukum yang berlaku bagi negara-negara yang terlibatdalam kontrak tersebut,
selama hubungan itu tidak melanggar kepentingan umum, dan padaumumnya digunakan pada
bidang hukum kontrak, kecuali pada bidang kontrak kerja, karena kontrak kerja dinilai memiliki
kaidah sifat “memaksa”. Apalagi sampai menjelma menjadi penyelundupan hukum.Kaitannya
dengan ketertiban umum, karena ketertiban umum merupakansuatu rem darurat bagi berlakunya
hukum asing dan pemakaian otonomi para pihak yangterlampau leluasa dan ketertiban umum
juga menjaga bahwa hukum yang dipilih para pihak tidak bertentangan dengan sendi-sendi asasi
hukum dan masyarakat suatu negara.
Hukum asing dinyatakan tidak berlaku jika dipakai sebagai penyelundupan hukum.
Kedua lembaga ini hendak mempertahankan hukum nasional terhadap kaidah-kaidah hokum
asing. Letak perbedaanya jelas bahwasanya dalam Ketertiban umum ini pada umumnya hokum
nasional dianggap tetap berlaku, sedangkan pada penyelndupan hukum berlakunya hokum
nasional pada peristiwa tertentu saja. Berlakunya hukum asing pada para pihak adalah
menghindarkan pemakaian hukum nasional saja.
Maraknya pernikahan diluar negeri yang pasangannya berbeda agama juga sangat
rawan penyelundupan hukum, ini disebabkan karena masih lemahnya UU No.1 tahun 1974 yang
memberikan peluang terjadinya penyelundupan hukum ini, dalam Pasal 56 UU No 1/1974. Pasal
tersebut pada intinya menyatakan pernikahan antar sesama warga negara Indonesia (WNI) atau
seorang WNI dengan warga negara asing di luar negeri sah karena mengacu pada hukum
yang berlaku di negara tempat pernikahan itu berlangsung. Secara perdata, pernikahan semacam
itu memenuhi syarat formal, yakni berdasarkan hukum pada negara tempat mereka menikah.
Namun, secara agama belum bisa dianggap sah. Karena pernikahan itu tidak menyandingkan
hokum negara dan hukum agama.
B. CONTOH KASUS :
1. Kasus Eddy Maliq Meijer lahir pada April 2007 merupakan anak dari perkawinan
campuran dari ayahnya Frederik J Meijer yang berkewarganegaraan Belanda dan ibunya
Maudy Koesnaedi yang warga Negara Indonesia juga merupakan subjek hukum. Definisi
anak dalam pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah:
“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan.” Saat ini Eddy masih anak -anak karena usianya masih 3 tahun,
dapat kita analisa dalam hukum perdata, bahwa manusia memiliki status sebagai subjek
hukum sejak ia dilahirkan. Pasal 2 KUHP memberi pengecualian bahwa anak yang masih
dalam kandungan dapat menjadi subjek hukum apabila ada kepentingan yang menghendaki
dan dilahirkan dalam keadaan hidup.
Manusia sebagai subjek hukum berarti manusia memiliki hak dan kewajiban dalam lalu
lintas hukum.Berdasarkan pasal 1330 KUHP, mereka yang digolongkan tidak cakap adalah
mereka yang belum dewasa, wanita bersuami, dan mereka yang dibawah pengampuan.
Dengan demikian anak dapat dikategorikan sebagai subjek hukum yang tidak cakap melaku-
kan perbuatan hukum. Seseorang yang tidak cakap karena belum dewasa diwakili oleh orang
tua atau walinya dalam melakukan perbuatan hukum. Anak yang lahir dari perkawinan
campuran memiliki kemungkinan bahwa ayah ibunya memiliki kewarganegaraan yang
berbeda sehingga tunduk pada dua yurisdiksi hukum yang berbeda PEMBAHASAN
Menurut Teori Hukum Perdata Internasional Menurut teori hukum perdata internasional,
untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu
perkawinan orang tuanya sebagai persoalan pendahuluan, apakah perkawinan orang tuanya
sah sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau perkawinan tersebut
tidak sah, sehingga anak dianggap sebagaianak luar nikah yang hanya memiliki hubungan
hukum dengan ibunya. Sejak dahulu diakui bahwa soal keturunan termasuk status personal.
Negara Negara common law berpegangan pada prinsip dimisili (ius soli) sedangkan negara-
negara civil law berpegang pada prinsip nasionalitas (ius sanguinis). Umumnya yang dipakai
ialah hukum personal dari sang ayah sebagai kepalakeluarga (pater familias) pada masalah-
masalah keturunan secara sah. Hal ini adalah demi kesatuan hukum dalam keluarga dan
demi kepentingan kekeluargaan, demi stabilitas dan kehormatan dari seorang istri dan hak-
hak maritalnya. Sistem kewarganegaraan dari ayah adalah yang terbanyak dipergunakan di
negara-negara lain, seperti misalnya Jerman, Yunani, Italia, Swiss dan kelompok negara-
negara sosialis. Dalam sistem hukum Indonesia, Prof. Sudargo Gautama menyatakan
kecondongannya pada sistem hukum dari ayah demi kesatuan hokum dalam keluarga, bahwa
semua anak-anak dalam keluarga itu sepanjang mengenai kekuasaan tertentu orang tua
terhadap anak mereka (ouderlijke macht) tunduk pada hukum yang sama. Kecondongan ini
sesuai dengan prinsip dalam UU Kewarganegaraan No.62 tahun 1958.Kecondongan pada
sistem hukum ayah demi kesatuan hukum, memiliki tujuan yang baik yaitu kesatuan dalam
keluarga, namun dalam hal kewarganegaraan ibu berbeda dari ayah, lalu terjadi perpecahan
dalam perkawinan tersebut maka akan sulit bagi ibu untuk mengasuh dan membesarkan
anak-anaknya yang berbeda kewarganegaraan, terutama bila anak-anak tersebut masih
dibawah umur. Dalam kasus Eddy, terjadi perkawinan campuran antara ayahnya
Warga Negara Belanda dan ibunya Warga Negara Indonesia. Berdasarkan pasal 8 UU No.
62 Tahun 1958, seorang perempuan warga negara Indonesia yang kawin dengan seorang
asing bias kehilangan kewarganegaraannya, apabila selama waktu satu tahun ia menyatakan
keterangan untuk itu, kecuali apabila dengan kehilangan kewarganegaraan tersebut, ia
menjadi tanpa kewarganegaraan. Apabila suami WNA bila ingin memperoleh
kewarganegaraan Indonesia maka harus memenuhi persyaratan yang ditentukan bagi WNA
biasa. Karena sulitnya mendapatijin tinggal di Indonesia bagi laki laki WNA sementara istri
WNI tidak bisa meninggalkan Indonesia karena berbagai factor, antara lain : faktor bahasa,
budaya, keluarga besar, pekerjaan pendidikan, dll maka banyak pasangan seperti terpaksa
hidup terpisah.
Lantas, bagaimana status hukum seorang anak dalam perkawinan campuran? Di tinjau
dari UU kewarganegaraan yang baru nomor 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan
bahwasanya anak yang lahir dari perkawinan campuran memiliki dwi kewarganegaraan.
Anak tersebut diberikan kebebasan untuk memilih warga Negara mana yang akan dianutnya,
hak memilih tersebut diberikan setelah sang anak berusia genap 18 tahun. Namun, dalam
perjalanannya, apabila sang anak memilih bukan menjadi warga Negara Indonesia maka
hapuslah segala status hukum sanganak di Indonesia karena Indonesia sebagai penganut
system hukum civil law yang mengedepankan asas nasionalitas maka hukum Indonesia
berlaku untuk warga Negara Indonesia.
Kemudian daripada itu, bagaimana kalau berkaitan dengan hak waris si anak, maka
tentunya kita lihat lagi bahwa ketika anak tersebut memilih status kewarganegaraan asing
dari ayah/ibunya tindakan renvoi atau pengembalian hukum perlu dilakukan, dikarenakan
tentang permasalahan renvoi dibahas dalam makalah kelompok yang lain maka lebih baik
kelompok yang membahas renvoi lah yang menjelaskan.
2. Sepasang suami istri adalah berkewarganegaraan Republik Malta (sebuah Negara
kepulauan di Eropa Selatan). Mereka hendak melakukan perceraian, akan tetapi di Negara
tersebut melarang adanya perceraian, dan dianggap melanggar peraturanyang diatur oleh
Negara. Dikarenakan Negara tersebut menganut sistem hukumpada Gereja Katolik, maka
masyarakat disana tidak diperbolehkan bercerai. Olehkarena aturan disana sangat
mengikat, maka sepasang suami istri tersebut pergi keNegara Belanda, dimana disana
mereka dapat melakukan proses perceraian.Belanda merupakan tujuan banyak orang
untuk melakukan perceraian dikarenakandisana hakim dapat memutuskan sendiri apa
tuntutan para pihak yang mengajukan perceraian yang berdasarkan gugatan dilihat dari
tempat dimana diajukan gugatan tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. SARAN
Adapun saran yang dapat kami rekomendasikan adalah hendaknya dibuat suatu aturan
hukum yang jelas guna membatasi dan mengawasi tindak tanduk penyelundupan hukum
tersebutagar terciptanya suatu sistim hukum yang baik. Serta, dilakukannya penyukuhan kepada
seluruh elemen baik dinas terkait maupun masyarakat agar tidak melakukan suatu perbuatan
yang mana perbutan hukum tersebut belum jelas pengaturannya. Kalupun ingin melakukan
perbutan hokum tersebut baiknya perbuatan itu tidak dilakukan atau di bawa kedalam sistim
hokum Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA