Anda di halaman 1dari 8

Perkembangan Kognitif

Perkembangan kognitif merupakan dasar bagi kemampuan anak untuk berpikir. Hal ini sesuai
dengan pendapat Ahmad Susanto (2011: 48) bahwa kognitif adalah suatu proses berpikir, yaitu
kemampuan individu untuk menghubungkan, menilai, dan mempertimbangkan suatu kejadian
atau peristiwa. Jadi proses kognitif berhubungan dengan tingkat kecerdasan (intelegensi) yang
menandai seseorang dengan berbagai minat terutama sekali ditujukan kepada ide-ide belajar.
Perkembangan kognitif mempunyai peranan penting bagi keberhasilan anak dalam belajar karena
sebagian aktivitas dalam belajar selalu berhubungan dengan masalah berpikir. Menurut
Ernawulan Syaodih dan Mubair Agustin (2008: 20) perkembangan kognitif menyangkut
perkembangan berpikir dan bagaimana kegiatan berpikir itu bekerja. Dalam kehidupannya,
mungkin saja anak dihadapkan pada persoalan-persoalan yang menuntut adanya pemecahan.
Menyelesaikan suatu persoalan merupakan langkah yang lebih kompleks pada diri anak.
Sebelum anak mampu menyelesaikan persoalan anak perlu memiliki kemampuan untuk mencari
cara penyelesaiannya.
faktor kognitif mempunyai peranan penting bagi keberhasilan anak dalam belajar karena
sebagian besar aktivitas dalam belajar selalu berhubungan dengan masalah mengingat dan
berpikir. Perkembangan kognitif dimaksudkan agar anak mampu melakukan eksplorasi terhadap
dunia sekitar melalui panca inderanya sehingga dengan pengetahuan yang didapatkannya
tersebut anak dapat melangsungkan hidupnya.
Tahap-tahap Perkembangan Kognitif

Tahapan-tahapan perkembangan intelektual dirumuskan oleh Piaget berhubungan dengan


pertumbuhan otak anak. Terdapat empat tahapan perkembangan kognitif menurut Piaget yang terdiri
dari “Tahap sensorimotor (0-2 tahun), tahap praoperasional (2-7 tahun), tahap operasional konkrit (8-11
tahun) dan tahap operasional formal (11 tahun ke atas)”.7 Adapun penjelasan dari tahapan-tahapan
tersebut yaitu:

a. Tahap sensorimotor (0-2 tahun). Menggambarkan seseorang berpikir melalui gerak tubuh, maksudnya
kemampuan untuk belajar dan meningkatkan kemampuan intelektual berkembang sebagai suatu hasil
dari perlaku gerak dan konsekuensinya. Misalnya, jika ibu meletakkan mainan di bawah selimut,
anak tahu bahwa main yang biasanya ada (dia lihat) kini tidak terlihat (hilang), dan anak secara
aktif mencarinya. Pada awal tahapan ini, anak berperilaku seolah mainan itu hilang begitu saja. 

b. Tahap praoperasional (2-7 tahun). Pada tahap ini Piaget memberikan penekanan berupa batasan.
Pada tahap ini anak masih belum memiliki kemampuan untuk berpikir logis atau operasional. Anak mulai
menggunakan simbol-simbol untuk merepresentasikan lingkungan secara kognitif. Piaget membagi
menjadi dua sub bagian, yaitu prakonseptual (2-4 tahun) dan intuitif (4-7 tahun).

c. Tahap operasional (8-11 tahun). Karakteristik umum dari tahapan ini adalah bertambahnya
kemampuan dari variabel dalam situasi memecahkan masalah (problem solving). Pada masa ini anak
sudah memasuki masa kanak-kanak dan memasuki dunia Sekolah Dasar.
d. Tahap operasional formal (11 tahun ke atas). Pada tahap ini ditandai dengan kemampuan individu
untuk berpikir secara hipotesisi dan berbeda dengan fakata, memahami konsep abstrak, dan
mempertimbangkan kemungkinan cakupan yang luas dari perkara yang sempit.

Menurut Piaget, tahapan-tahapan di atas selalu dialami oleh anak, dan tidak akan pernah ada yang
dilewatkan meskipun tingkat kemampuan anak berbeda-beda. Tahapan-tahapan ini akan meningkat
lebih kompleks daripada pada masa awal dan kemampuan kognitif anak pun bertambah.

Karakterisik Perkembangan Kognitif Anak Usia Dini

Perkembangan kognitif pada setiap tahapannya memiliki karakteristik tersendiri yang membedakan
dengan tahapan yang lainnya. Adapun cara berpikir anak usia dini ditandai dengan ciri-ciri sebagai
berikut: a. Transductive reasoning, artinya anak berpikir yang bukan induktif atau deduktif tetapi tidak
logis.

b. Ketidakjelasan hubungan sebab akibat, artinya anak mengenal hubungan sebab akibat secara tidak
logis.

c. Animism, artinya anak menganggap bahwa semua benda itu hidup seperti dirinya.

d. Artificial, artinya anak mempercayai bahwa segala sesuatu di lingkungan itu mempunyai jiwa seperti
manusia.

e. Perceptually bound, artinya anak mencoba melakukan sesuatu untuk menemukan jawaban dari
persoalan yang dihadapinya.

f. Mental experiments, artinya anak mencoba melakukan sesuatu untuk menemukan jawaban dari
persoalan yang dihadapinya.

g. Centration, artinya anak memusatkan perhatiannya kepada sesuatu ciri yang paling menarik dan
mengabaikan ciri yang lainnya.

h. Egocentrism, artinya anak melihat dunia di lingkungannya menurut kehendak dirinya sendiri.

Melihat karakteristik cara berpikir anak pada tahapan ini dapat disimpulkan bahwa anak dalam tahap
operasional telah menunjukkan aktivitas kognitif dalam menghadapi berbagai hal di luar dirinya.
Aktivitas berpikirnya belum mempunyai sistem yang terorganisasi tetapi anak sudah dapat memahami
realitas di lingkungannya dengan menggunakan benda-benda dan simbol-simbol. Cara berpikirnya masih
bersifat tidak sistematis, tidak konsisten dan tidak logis.

Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Kognitif


Perkembangan kognitif anak menunjukkan perkembangan dari cara berpikir anak. Ada faktor
yang mempengaruhi perkembangan tersebut. Faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif
menurut Piaget dalam Siti Partini (2003: 4) bahwa “pengalaman yang berasal dari lingkungan
dan kematangan, keduanya mempengaruhi perkembangan kognitif anak”. Sedangkan menurut
Soemiarti dan Patmonodewo (2003: 20) perkembangan kognitif dipengaruhi oleh pertumbuhan
sel otak dan perkembangan hubungan antar sel otak.
Kondisi kesehatan dan gizi anak walaupun masih dalam kandungan ibu akan mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan anak. Menurut Piaget dalam Asri Budiningsih (2005: 35) makin
bertambahnya umur seseorang maka makin komplekslah susunan sel sarafnya dan makin
meningkat pada kemampuannya. Ketika individu berkembang menuju kedewasaan akan
mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya yang akan menyebabkan adanya perubahan-
perubahan kualitatif di dalam sruktur kognitifnya.
Menurut Ahmad Susanto (2011: 59- 60) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan
kognitif antara lain:
1. Faktor Hereditas/Keturunan
Teori hereditas atau nativisme yang dipelopori oleh seorang ahli filsafat Schopenhauer,
mengemukakan bahwa manusia yang lahir sudah membawa potensi tertentu yang tidak
dapat dipengaruhi oleh lingkungan. Taraf intelegensi sudah ditentukan sejak lahir.
2. Faktor Lingkungan
John Locke berpendapat bahwa, manusia dilahirkan dalam keadaan suci seperti kertas
putih yang belum ternoda, dikenal dengan teori tabula rasa. Taraf intelegensi ditentukan
oleh pengalaman dan pengetahuan yang diperolehnya dari lingkungan hidupnya.
3. Faktor Kematangan
Tiap organ (fisik maupaun psikis) dikatakan matang jika telah mencapai kesanggupan
menjalankan fungsinya masing-masing. Hal ini berhubungan dengan usia kronologis.
4. Faktor Pembentukan
Pembentukan adalah segala keadaan di luar diri seseorang yang mempengaruhi
perkembangan intelegensi. Ada dua pembentukan yaitu pembentukan sengaja (sekolah
formal) dan pembentukan tidak sengaja (pengaruh alam sekitar).
5. Faktor Minat dan Bakat
Minat mengarahkan perbuatan kepada tujuan dan merupakan dorongan untuk berbuat
lebih giat dan lebih baik. Bakat seseorang akan mempengaruhi tingkat kecerdasannya.
Seseorang yang memiliki bakat tertentu akan semakin mudah dan cepat mempelajarinya.
6. Faktor Kebebasan
Keleluasaan manusia untuk berpikir divergen (menyebar) yang berarti manusia dapat
memilih metode tertentu dalam memecahkan masalah dan bebas memilih masalah sesuai
kebutuhan.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa faktor utama yang
mempengaruhi perkembangan kognitif anak adalah faktor kematangan dan pengalaman yang
berasal dari interaksi anak dengan lingkungan. Dari interaksi dengan lingkungan, anak akan
memperoleh pengalaman dengan menggunakan asimilasi, akomodasi, dan dikendalikan oleh
prinsip keseimbangan. Pada anak TK, pengetahuan itu bersifat subyektif dan akan berkembang
menjadi obyektif apabila sudah mencapai perkembangan remaja atau dewasa.

Perkembangan emosi pada anak


Pengertian Emosi
Istilah emosi berasal dari kata emotus atau emovere atau mencerca (to stir up) yang berarti
sesuatu yang mendorong terhadap sesuatu, missal emosi gembira mendorong untuk tertawa, atau
dengan perkataan lain emosi didefinisikan sebagai suatu keadaan gejolak penyesuaian diri yang
berasal dari dalam dan melibatkan hamper keseluruhan diri individu (Sujiono, 2005). Menurut
Sarlito Wirawan Sartono berpendapat bahwa emosi merupakan setiap keadaan pada diri
seseorang yang disertai warna afekti. Yang dimaksud warna efektif ini adalah perasaan-perasaan
tertentu yang dialami pada saat menghadapi (menghayati) suatu situasi tertentu contohnya:
gembira, bahagia, takut dan lain-lain. Sedangkan menurut Goleman Bahasa emosi merujuk pada
suatu perasaan atau pikiran. Pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis serta
rangkaian kecenderungan untuk bertindak (Syamsu, 2008). Berdasarkan pendapat dari para ahli
di atas maka dapat disimpulkan bahwa emosi adalah suatu keadaan yang kompleksi dapat berupa
perasaan / pikiran yang di tandai oleh perubahan biologis yang muncul dari perilaku seseorang.
Pengelompokan Emosi
Emosi dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu emosi sensoris dan emosi kejiwaan
(psikis).
a. Emosi Sensoris, yaitu emosi yang ditimbulkan oleh rangsangan dari luar terhadap tubuh,
seperti rasa dingin, manis, sakit, lelah, kenyang dan lapar.
b. Emosi Psikis, yaitu emosi yang mempunyai alasan – alasan kejiwaan. Yang termasuk
emosi jenis ini diantaranya adalah :
1) Perasaan Intelektual, yaitu yang mempunyai sangkut paut dengan ruang lingkup
kebenaran. Perasaan ini diwujudkan dalam bentuk :
a) Rasa yakin dan tidak yakin terhadap suatu hasil karya ilmiah
b) Rasa gembira karena mendapat suatu kebenaran
c) Rasa puas karena dapat menyelesaikan persoalan – persoalan ilmiah yang harus
dipecahkan
2) Perasaan Sosial, yaitu perasaan yang menyangkut hubungan dengan orang lain, baik
bersifat perorangan maupun kelompok. Wujud perasaan ini seperti :
a) Rasa solidaritas
b) Persaudaraan
c) Simpati
d) Kasih sayang, dan sebagainya
3) Perasaan Susila, yaitu perasaan yang berhubungan dengan nilai – nilai baik dan buruk
atau etika (moral). Contohnya :
a) Rasa tanggung jawab (responsibility)
b) Rasa bersalah apabila melanggar norma
c) Rasa tentram dalam mentaati norma
4) Perasaan Keindahan (estetis), yaitu perasaan yang berkaitan erat dengan keindahan
dari sesuatu, baik bersifat kebendaan ataupun kerohanian
5) Perasaan Ketuhanan, yaitu merupakan kelebihan manusia sebagai makluk Tuhan,
dianugrahi fitrah (kemampuan atau perasaan) untuk mengenal Tuhannya. Dengan
kata lain, manusia dianugerahi insting religius (naluri beragama). Karena memiliki
fitrah ini, maka manusia di juluki sebagai “Homo Divinans” dan “Homo Religius”
atau makluk yang berke-Tuhan-an atau makhluk beragama (Syamsu, 2008).
Pengaruh Emosi Terhadap Perilaku
Ada beberapa contoh pengaruh emosi terhadap perilaku individu diantaranya :
a. Memperkuat semangat, apabila orang merasa senang atau puas atas hasil yang telah
dicapai.
b. Melemahkan semangat, apabila timbul rasa kecewa karena kegagalan dan sebagai puncak
dari keadaan ini ialah timbulnya rasa putus asa (frustasi).
c. Menghambat atau mengganggu konsentrsi belajar, apabila sedang mengalami ketegangan
emosi dan bisa juga menimbulkan sikap gugup (nervous) dan gagap dalam berbicara
d. Terganggu penyesuaian sosial, apabila terjadi rasa cemburu dan iri hati
e. Suasana emosional yang diterima dan dialami individu semasa kecilnya akan
mempengaruhi sikapnya dikemudian hari, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap
orang lain
Fungsi emosi pada anak
Fungsi dan peranan emosi pada perkembangan anak yang dimaksud adalah :
a. Merupakan bentuk komunikasi.
b. Emosi berperan dalam mempengaruhi kepribadian dan penyesuaian diri anak dengan
lingkungan sosialnya.
c. Emosi dapat mempengaruhi iklim psikologis lingkungan.
d. Tingkah laku yang sama dan ditampilkan secara berulang dapat menjadi satu kebiasaan.
e. Ketegangan emosi yang di miliki anak dapat menghambat aktivitas motorik dan mental
anak (Resa, 2010)
Tingkat perkembangan emosi
Tiga reaksi emosi yang paling kuat adalah rasa marah, kaku, dan takut, yang terjadi akibat dari
peristiwa – peristiwa eksternal maupun proses tak langsung. Reaksi tersebut dapat tercermin
dalam individu yang meningkatkan aktivitas kelenjar tertentu dan mengubah temperature tubuh.
Reaksi umumnya berkurang sesuai proporsi kematangan individu. Hal ini disebabkan oleh
pebedaan jenis reaksi emosi, misalnya dengan penyebab 15 ketakutan pada diri seseorang anak
mungkin disebabkan oleh jenis emosi yang berbeda sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Tingkat perkembangan emosi tidak terlepas dari tingkat kestabilan emosi seseorang yang
meliputi :
a. Emosi stabil
Pada seseorang yang mempunyai emosi stabil mempunyai kecenderungan percaya diri,
cermat, kukuh. Mereka selaulu menjaga pikiran walaupun dalam keadaan kritis,
sedangkan orang-orang di sekitarnya kehilangan kendali.
b. Emosi stabil rata-rata
Seseorang yang mempunyai derajat rata-rata tingkat emosional mempunyai
kecenderungan emosi keseimbangan yang baik, sabar, tak memihak, berkepala dingin.
Mereka tidak kebal atas rasa khawatir dan terkadang menunjukkan emosi yang aneh,
namun ini adalah pengecualian daripada kebiasaan.
c. Emosi labil
Seseorang yang mempunyai emosi yang labil, tergesa-gesa, bernafsu, sentimental, mudah
tergugah, khawatir dan bimbang. Mereka mungkin agaknya tertekan oleh kehidupan, hal
ini membuat mereka mudah terkena hal-hal negatif dan positif, sekaligus kerap
dipengaruhi oleh tragedi dan kesenangan serta tiak ada upaya untuk bereaksi mengatasi
peristiwa-peristiwa tersebut dalam hidup (Wijaya, 2004).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi
a. Keadaan anak
Keadaan individu pada anak, misalnya cacat tubuh ataupun kekurangan pada diri anak
akan sangat mempengaruhi perkembangan emosional, bahkan akan berdampak lebih jauh
pada kepribadian anak. Misalnya: rendah diri, mudah tersinggung, atau menarik diri dari
lingkunganya.
b. Faktor belajar
Pengalaman belajar anak akan menentukan reaksi potensial mana yang mereka gunakan
untuk marah. Pengalaman belajar yang menunjang perkembangan emosi antara lain:
1) Belajar dengan coba-coba
Anak belajar dengan coba-coba untuk mengekspresikan emosinya dalam bentuk
perilaku yang memberi pemuasan sedikit atau sama sekali tidak memberi kepuasan.
2) Belajar dengan meniru
Dengan cara meniru dan mengamati hal-hal yang membangkitkan emosi orang lain,
anak bereaksi dengan emosi dan metode yang sama dengan orang-orang yang
diamati.
3) Belajar dengan mempersamakan diri
Anak meniru reaksi emosional orang lain yang tergugah oleh rangsangan yang sama
dengan rangsangan yang telah membangkitkan emosi orang yang ditiru. Disini anak
hanya meniru orang yang dikagumi dan mempunyai ikatan emosional yang kuat
dengannya.
4) Belajar melalui pengondisian
Dengan metode ini objek, situasi yang mulanya gagal memancing reaksi emosional
kemudian berhasil dengan cara asosiasi. Pengondisian terjadi dengan mudah dan
cepat pada awalawal kehidupan karena anak kecil kurang menalar, mengenal betapa
tidak rasionalnya reaksi mereka.
5) Belajar dengan bimbingan dan pengawasan.
Anak diajarkan cara bereaksi yang dapat diterima jika suatu emosi terangsang.
Dengan pelatihan, anak-anak dirangsang untuk bereaksi terhadap rangsangan yang
biasanya membangkitkan emosi yang menyenangkan dan dicegah agar tidak bereaksi
secara emosional terhadap rangsangan yang membangkitkan emosi yang tidak
menyenangkan (Fatimah, 2006)
c. Konflik – konflik dalam proses perkembangan
Setiap anak melalui berbagai konflik dalam menjalani fase-fase perkembangan yang pada
umumnya dapat dilalui dengan sukses. Namun jika anak tidak dapat mengamati konflik-
konflik tersebut, biasanya mengalami gangguan-gangguan emosi
d. Lingkungan keluarga
Salah satu fungsi keluarga adalah sosialisasi nilai keluarga mengenai bagaimana anak
bersikap dan berperilaku. Keluarga adalah lembaga yang pertama kali mengajarkan
individu (melalui contoh yang diberikan orang tua) bagaimana individu mengeksplorasi
emosinya. Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi perkembangan anak.
Keluarga sangat berfungsi dalam menanamkan dasar-dasar pengalaman emosi, karena
disanalah pengalaman pertama didapatkan oleh anak. Keluarga merupakan lembaga
pertumbuhan dan belajar awal (learning and growing) yang dapat mengantarkan anak
menuju pertumbuhan dan belajar selanjutnya.
Pola Emosi pada Anak menurut Syamsu (2008)
a. Rasa takut
Takut yaitu perasaan terancam oleh suatu objek yang membahayakan. Rasa takut
terhadap sesuatu berlangsung melalui tahapan.
1) Mula-mula tidak takut, karena anak belum sanggup melihat kemungkinan yang
terdapat pada objek
2) Timbulnya rasa takut setelah mengenal bahaya
3) Rasa takut bias hilang kembali setelah mengetahui cara-cara menghindari bahaya.
b. Rasa malu
Rasa malu merupakan bentuk ketakutan yang ditandai oleh penarikan diri dari hubungan
dengan orang lain yang tidak dikenal atau tidak sering berjumpa.
c. Rasa canggung
Seperti halnya rasa malu, rasa canggung adalah reaksi takut terhadap manusia, bukan ada
obyek atau situasi. Rasa canggung berbeda dengan rasa malu daam hal bahwa
kecanggungan tidak disebabkan oleh adanya orang yang tidak dikenal atau orang yang
sudah dikenal yang memakaai pakaian tidak seperti biasanya, tetapi lebih disebabkan
oleh keraguan-raguan tentang penilaian orang lain terhadap prilaku atau diri seseorang.
Oleh karena itu, rasa canggung merupakan keadaan khawatir yang menyangkut
kesadaran-diri (selfconscious distress).
d. Rasa khawatir
Rasa khawatir biasanya dijelaskan sebagai khayalan ketakutan atau gelisah tanpa alasan.
Tidak seperti ketakutan yang nyata, rasa khawatir tidak langsung ditimbulkan oleh
rangsangan dalam lingkungan tetapi merupakan produk pikiran anak itu sendiri. Rasa
khawatir timbul karena karena membayangkan situasi berbahaya yang mungkin akan
meningkat.
e. Rasa cemas
Rasa cemas ialah keadaan mental yang tidak enak berkenaan dengan sakit yang
mengancam atau yang dibayangkan. Rasa cemas ditandai oleh kekhwatiran,
ketidakenakan, dan merasa yang tidak baik yang tidak dapat dihindari oleh seseorang;
disertai dengan perasaan tidak berdaya karena merasa menemui jalan buntu; dan di sertai
pula dengan ketidakmampuan menemukan pemecahan masalah yang dicapai.
f. Rasa marah
Rasa marah adalah ekspresi yang lebih sering diungkapkan pada masa kanak-kanak jika
dibandingkan dengan rasa takut. Alasannya ialah karena rangsangan yang menimbulkan
rasa marah lebih banyak, dan pada usia yang dini anak-anak mengetahui bahwa
kemarahan merupakan cara yang efektif untuk memperoleh perhatian atau memenuhi
keinginan mereka.
g. Rasa cemburu
Rasa cemburu adalah reaksi normal terhadap kehilangan kasih sayang yang nyata,
dibayangkan, atau ancaman kehilangan kasih sayang.
h. Duka cita
Duka cita adalah trauma psikis, suatu kesengsaraan emosional yang disebabkan oleh
hilangnya sesuatu yang dicintai.
i. Keingintahuan
Rangsangan yang menimbulkan keingintahuan anak-anak sangat banyak. Anak-anak
menaruh minat terhadap segala sesuatu di lingkungan mereka, termasuk diri sendiri.
j. Kegembiraan
Kegembiraan adalah emosi yang menyenangkan yang juga dikenal dengan keriangan,
kesenangan, atau kebahagian. Setiap anak berbeda-beda intensitas kegembiraan dan
jumlah kegembiraannya serta cara mengepresikannya sampai batas-batas tertentu dapat
diramalkan. Sebagai contoh ada kecenderungan umur yang dapat diramalkan, yaitu anak-
anak yang lebih muda merasa gembira dalam bentuk yang lebih menyolok dari pada
anak-anak yang lebih tua.

Anda mungkin juga menyukai