Anda di halaman 1dari 46

KUMPULAN ARTIKEL

1. PENGERTIAN, KONSEP, SERTA DALIL-DALIL TENTANG ISTIDROJ


2. DALIL-DALIL HADITS QUDSI TENTANG HUKUMAN YANG
DISEGERAKAN SEBAGAI BENTUK KASIH SAYANG ALLAH TERHADAP
HAMBANYA., (DALIL, TERJEMAHAN, PENJELASAN, SERTA CONTOH
KASUS).
3. BERITA KENABIAN RASULULLAH SAW YANG DIMUAT DI DALAM
KITAB-
KITAB SUCI AGAMA LAIN (Kristen, Hindu, Yahudi, dll)
4. AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER SAINS DAN TEKNOLOGI
5. PENGERTIAN DAN ORANG-ORANG SALAFUSSALIH YANG
SESUNGGUHNYA: GENERASI SAHABAT, TABIIN, DAN TABIITTABIIN

Disusun sebagai tugas terstruktur Ujian Akhir Semester (UAS) mata kuliah
Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampu:
Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos

Disusun Oleh:

Nama : RAMADHANI
NIM : D1A021064
Prodi/Kelas : Hukum/A1

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
2021

DAFTAR ISI

BAB 1 ISTIDRAJ......................................................................................................................1

A. Pengertian Istidraj...........................................................................................................1

B. Konsep Istidraj.................................................................................................................3

C. Dalil-dalil tentang Istidraj...............................................................................................5

1. Peringatan untuk Orang Kafir........................................................................................5

2. Siksaan Setelah Kesenangan............................................................................................5

3. Harta dan Kesenangan Tidak Selalu Berarti Kebaikan...............................................6

4. Ayat Tentang Istidraj Ditimpakan kepada Kaum Nabi yang Ingkar..........................6

5. Istidraj Mengantarkan pada Kebinasaan......................................................................7

6. Setan Membuai Manusia, Lalu Berlepas Tangan..........................................................7

7. Ayat Tentang Istidraj Ditimpakan pada Orang yang Tidak Beriman........................7

8. Allah Memberikan Kuasa pada Orang yang Mendustakan Al Quran, untuk


Kemudian Membinasakan Mereka.....................................................................................8

9. Sesungguhnya Nikmat adalah Ujian...............................................................................8

BAB 2 DALIL-DALIL HADITS QUDSI TENTANG HUKUMAN YANG


DISEGERAKAN SEBAGAI BENTUK KASIH SAYANG ALLAH TERHADAP
HAMBANYA.............................................................................................................................9

A. Dalil, Terjemahan dan Penjelasannya...........................................................................9

B. Contoh Kasus..................................................................................................................11

BAB 3 BERITA KENABIAN RASULULLAH SAW YANG DIMUAT DALAM KITAB


KITAB SUCI AGAMA LAIN................................................................................................13
A. Kitab Suci Injil...............................................................................................................13

B. Kitab Suci Taurat...........................................................................................................14

C. Kitab Suci Zabur............................................................................................................15

D. Kitab Suci Hindu............................................................................................................16

BAB 4 AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER SAINS DAN TEKNOLOGI..........................18

A. Pendahuluan.............................................................................................................18

B. Dimensi Sains dan Teknologi dalam al-Qur’an....................................................19

C. Prinsip – Prinsip Dasar Kegiatan Ilmiah dalam al-Qur’an.................................24

D. Sains dan Teknologi Modern: Pertimbangan Epistemologis...............................26

E. Implikasi Pandangan al-Qur’an tentang sain dalam proses pembelajaran......30

BAB 5 GENERASI SALAF (SALAFUS SHALIH).............................................................30

A. Pengertian Salafusshalih…………………………………………………………..30

B. Dalil Anjuran Mengikuti Salafusshalih……………………………………………


31

C.Arti Salaf Menurut Istilah Dan Bahasa…………………………………………….32

DAFTAR
PUSTAKA……………………………………………………………………….39
BAB 1

ISTIDRAJ

A.Pengertian istidraj

Kepada Allah Swt dan juga mengasah semangat agar terus meningkat sehingga
menyadari hakikat nikmat dan siksaan. Di dalam Al-Qur’an ditemukan beberapa ayat
yang mengandung pembahasantidraj. Dalam kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-
Qur’an al-Karim dapat ditemukan beberapa ayat tentang istidraj. Ada yang tertulis secara
langsung dalam bentuk kata istidraj dan ada yang bintangi secara makna saja. Diantara
ayat yang ditemukakan tentang istidraj antara lain:

• Pertama, langsung tertulis kalimat istidraj dalam bentuk fiil mudari, ada dua tempat
yaitu di dalam surah al-Araf ayat 182, dan surah al-Qalam ayat 44.

• Kedua, dalam ayat-ayat yang bintang makna istidraj. Dalam hal ini, ayat-ayat tersebut
dalam surah Ali Imran ayat 178, surah al-An’am ayat 44, surah alMu’minun ayat 55.

Hampir setiap mufassir memaparkan pandangannya tentang istidraj, seperti Quraish


Shihab misalnya, ia mengemukakan bahwa makna istidraj adalah memindahkan dari satu
tahap ke tahap lain mencapai satu tujuan. Menurutnya kata tersebut populer dalam arti
perlakuan yang baik, tetapi bertujuan memberi sanksi terhadap yang melanggar.
Semuanya terjadi tahap demi tahap sehingga mencapai puncaknya dengan jatuhnya siksa.
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy menjelaskan bahwa makna istidraj adalah pemanjaan
agar lebih terjerumus kepada kehinaan. Begitu juga memaknai istidraj dengan
mengambil dari mereka secara berasngsur-angsur, Setapak demi Setapak dan didekatkan
dengan adzab, dan mereka tidak menyadarinya. Penjelasan para mufassir mengenai
istidraj hampir sama, yaitu mempersembahkan nikmat untuk manusia dan menjadikan
mereka lalai dan celaka. Ia mengemukakan bahwa makna istidraj adalah memindahkan
dari satu tahap ke tahap lain untuk mencapai satu tujuan. Menurutnya kata tersebut
populer dalam arti perlakuan yang baik, tetapi bertujuan memberi sanksi terhadap yang
melanggar. Semuanya terjadi tahap demi tahap sehingga mencapai puncaknya dengan
jatuhnya siksa. Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy menjelaskan bahwa makna istidraj

1
adalah pemanjaan agar lebih terjerumus kepada kehinaan. Begitu juga memaknai istidraj
dengan mengambil dari mereka secara berasngsur-angsur, Setapak demi Setapak dan
didekatkan dengan adzab, dan mereka tidak menyadarinya. Penjelasan para mufassir
mengenai istidraj hampir sama, yaitu mempersembahkan nikmat untuk manusia dan
menjadikan mereka lalai dan celaka. Ia mengemukakan bahwa makna istidraj adalah
memindahkan dari satu tahap ke tahap lain untuk mencapai satu tujuan. Menurutnya kata
tersebut populer dalam arti perlakuan yang baik, tetapi bertujuan memberi sanksi
terhadap yang melanggar. Semuanya terjadi tahap demi tahap sehingga mencapai
puncaknya dengan jatuhnya siksa. Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy menjelaskan bahwa
makna istidraj adalah pemanjaan agar lebih terjerumus kepada kehinaan. Begitu juga
memaknai istidraj dengan mengambil dari mereka secara berasngsur-angsur, Setapak
demi Setapak dan didekatkan dengan adzab, dan mereka tidak menyadarinya. Penjelasan
para mufassir mengenai istidraj hampir sama, yaitu mempersembahkan nikmat untuk
manusia dan menjadikan mereka lalai dan celaka. Menurutnya kata tersebut populer
dalam arti perlakuan yang baik, tetapi bertujuan memberi sanksi terhadap yang
melanggar. Semuanya terjadi tahap demi tahap sehingga mencapai puncaknya dengan
jatuhnya siksa. Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy menjelaskan bahwa makna istidraj
adalah pemanjaan agar lebih terjerumus kepada kehinaan. Begitu juga memaknai istidraj
dengan mengambil dari mereka secara berasngsur-angsur, Setapak demi Setapak dan
didekatkan dengan adzab, dan mereka tidak menyadarinya. Penjelasan para mufassir
mengenai istidraj hampir sama, yaitu mempersembahkan nikmat untuk manusia dan
menjadikan mereka lalai dan celaka. Menurutnya kata tersebut populer dalam arti
perlakuan yang baik, tetapi bertujuan memberi sanksi terhadap yang melanggar.
Semuanya terjadi tahap demi tahap sehingga mencapai puncaknya dengan jatuhnya siksa.
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy menjelaskan bahwa makna istidraj adalah pemanjaan
agar lebih terjerumus kepada kehinaan. Begitu juga memaknai istidraj dengan
mengambil dari mereka secara berasngsur-angsur, Setapak demi Setapak dan didekatkan
dengan adzab, dan mereka tidak menyadarinya. Penjelasan para mufassir mengenai
istidraj hampir sama, yaitu mempersembahkan nikmat untuk manusia dan menjadikan
mereka lalai dan celaka. Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy menjelaskan bahwa makna
istidraj adalah pemanjaan agar lebih terjerumus kepada kehinaan. Begitu juga memaknai
istidraj dengan mengambil dari mereka secara berasngsur-angsur, Setapak demi Setapak

2
dan didekatkan dengan adzab, dan mereka tidak menyadarinya. Penjelasan para mufassir
mengenai istidraj hampir sama, yaitu mempersembahkan nikmat untuk manusia dan
menjadikan mereka lalai dan celaka. Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy menjelaskan
bahwa makna istidraj adalah pemanjaan agar lebih terjerumus kepada kehinaan. Begitu
juga memaknai istidraj dengan mengambil dari mereka secara berasngsur-angsur,
Setapak demi Setapak dan didekatkan dengan adzab, dan mereka tidak menyadarinya.
Penjelasan para mufassir mengenai istidraj hampir sama, yaitu mempersembahkan
nikmat untuk manusia dan menjadikan mereka lalai dan celaka.

B. Konsep Istidraj

Al-Munawi dalam Faidh Al-Qadir Syarh Al-Jami Al-Shaghir mengatakan,


perkara dunia yang diinginkan hamba dalam Hadits ini berupa harta, anak, dan
kedudukan. Dengan kenikmatan itu justru hamba tersebut semakin gencar dalam
berbuat maksiat. Akhirnya Allah berikan hamba tersebut istidraj (jebakan) berupa
dibukanya pintu kenikmatan lain dan hamba tersebut merasa senang dan nyaman
dengan kemaksiatannya disertai dengan hilangnya keinginan bertaubat, apalagi
menyesali perbuatannya. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menggambarkan bentuk
kehidupan hamba dalam istidraj ini adalah dibukanya berbagai pintu rezeki dan sumber
penghidupan (kedudukan, jabatan, kehormatan) hingga terperdaya dan beranggapan diri
mereka di atas segala-galanya. Terdapat lima tahapan yang akan dialami oleh hamba
yang tidak mengindahkan ajaran Islam sebagai sebuah istidraj.

Pertama, Falamma nasuu maa dzukkiru (ketika hamba melupakan


peringatanperingatan agama). Al Thabari dalam tafsirnya berkomentar melupakan
perintah agama adalah meninggalkan perintah Allah yang disampaikan Rasulnya.
AlRaghib al-Asfahani menjelaskan, melupakan itu timbul ada kalanya disebabkan oleh
hati yang lemah disertai dengan kelalaian yang disengaja. Artinya, melupakan itu bukan
berarti tidak tahu, tidak ingat atau tidak sadar, tapi juga dalam bentuk kesengajaan,
mungkin karena dianggap ajaran Islam itu tidak sesuai dengan konteks masyarakat
modern atau alasan-alasan sejenisnya.

Kedua, Fatahna ‘alaihim abwaba kulli syai’ (Kami pun membuka semua pintu
kesenangan untuk mereka hamba). Diantara bentuk-bentuk kesenangan duniawi yang

3
hamba dapatkan adalah dimudahkan mendapatkan rezeki melimpah di dunia. Hamba
tersebut akan dimudahkan mendapatkan kesenangan duniawi apa saja yang
diinginkannya. Dengan kesenangan-kesenanga tersebut, si hamba selalu berbuat maksiat,
tidak memiliki keinginan bertaubat dan kembali ke jalan yang benar.

Ketiga, Hatta idza farihu bima utu (Hingga bila mereka gembira dengan apa
yang diberikan). Ketika hamba sedang dalam puncak kebahagiaan menikmati
kesenangan duniawinya berupa harta benda, anak banyak, dan kedudukan tinggi di
kalangan manusia, namun hidupnya masih jauh dari ketaatan, jauh dari rasa empati pada
orang lain, jauh dari masjid dan jauh dari majelis ilmu.

Keempat, Akhadznahum baghtatan (Kami siksa mereka dengan


sekonyongkonyong). Artinya Allah akan menyiksa hamba tersebut di saat lalai. Qatadah
berkomentar, bahwa siksaan yang menimpa suatu kaum secara tiba-tiba adalah urusan
Allah. Dan tidak sekali-kali Allah menyiksa suatu kaum, melainkan di saat mereka tidak
menyadarinya dan dalam keadaan lalai serta tenggelam dalam kesenangan.

Kelima, Fa idza hum mublisun (ketika itu mereka terdiam putus asa).
Maksudnya, mereka akan putus harapan dari semua kebaikan. Hamba tersebut telah
terperdaya dengan kesenangan duniawi dimana Hasan al-Basri mengatakan, siapa yang
diberi keluasan oleh Allah, lalu ia tidak menyadari hal itu merupakan ujian baginya,
maka dia terperdaya. Sama halnya seorang yang disempitkan oleh Allah, lalu ia tidak
menyadari dirinya sedang diperhatikan oleh Allah, maka dia juga terperdaya.

Ketika Allah membiarkan seorang hamba sengaja meninggalkan shalat, meninggalkan


puasa, tidak ada perasaan berdosa ketika bermaksiat seperti saat membuka aurat, berat
untuk bersedekah, merasa bangga dengan apa yang dimiliki dan mengabaikan semua
atau mungkin sebagian perintah Allah, benci terhadap aturan Allah, merasa umurnya
panjang dan menunda-nunda taubat, enggan menuntut dan menambah pengetahuan
(khususnya agama) serta lupa akan kematian, tapi Allah tetap memberikan hamba
tersebut rezeki melimpah, kesenangan terus menerus, dikagumi dan dipuja puji banyak
orang, tidak pernah diberikan sakit, tidak pernah diberikan musibah, prestasi
akademiknya tambah sukses, hidupnya aman-aman saja, maka hamba tersebut harus
berhati-hati karena semuanya itu adalah istidraj. Keadaan tersebut adalah bentuk

4
kesengajaan dan pembiaran oleh Allah pada hamba yang sengaja berpaling dari
perintah-Nya dan Allah menunda segala bentuk azab-Nya. Allah membiarkan hamba
tersebut semakin lalai dan diperbudak dunia. Semoga kita dihindarkan dari jenis hamba
seperti ini dan digolongkan oleh Allah sebagai hamba yang bisa menggunakan
kenikmatan duniawi dalam ketaatan.

C. Dalil-dalil tentang Istidraj

1. Peringatan untuk Orang Kafir

ٌ‫ب ُّ م ِهيْن‬ \َََْْ ِ‫ِس ِه ْم ۗ ا َّ ِنِ َما ن ُُْ\ْملِ ْي لَ ُه ْم ل‬


ٌ َ‫يزدَاد ُْٓوا اِ ْث ًما ۚ َولَهُ ْم َعَذا‬ \ُُِ ‫ي لَ ُه ْم َخ ْي ٌر اِل ّ ْنَف‬
ْ ‫سب َّ نَ َّ ال ِذيْنَ َكفَ ُر ْٓوا ا َّ نَ َما ن ُُْ\ْم ِل‬ َْ َ‫َوال‬
َ ‫يح‬

“Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka, bahwa pemberian


tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami
memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka;
dan bagi mereka azab yang menghinakan.” (QS.Ali ‘Imran: 178)

2. Siksaan Setelah Kesenangan

‫اخ ْذ ٰن ُه ْم بَ ْغتَة\ًًَ فَِاِذاَ ُه ْم‬


َ ‫ى اِذاَ ف َر ُ\ُِِح ْوا بِ َم آا او ُْْتُ\ ُُْٓ\ْٓوا‬ \ّّٰ ‫اب ُ ُك ِّل َش َْي ۗ ٍء َح‬
ٓ ‫ٰت‬ َ ‫ب ٖه فت ََْ\َْحنا َ َ َعلَ ْي ِه ْم ا َْْبَ\ َو‬ ُ َ‫ف َل َّ ما ن‬
ِ ‫س ْوا َما ذ \ُّ ُِِّك ُر ْوا‬

َ‫س ْون‬
ُ ِ‫ُّ م ْبل‬

“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada


mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka;
sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada
mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka
terdiam berputus asa.” (QS.Al An’am: 44).

3. Harta dan Kesenangan Tidak Selalu Berarti Kebaikan

َ‫ۙايحسبون ا َّ نما نمدهم ب ه من َّ م ال َّ وبنَيِْن‬

َ‫ش ع ُُر ْون‬ ِ ۗ ‫فى ا ْل َخ ْي ٰر‬


ْ َ‫ت ب َْل َّ ال ْي‬ ِ ‫سُا ِر ُع ل َ\َُُه ْم‬
َ ‫ن‬

5
“Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami
berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan
kebaikankebaikan kepada mereka tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” (QS. Al
Mu’minun: 55-56)

4. Ayat Tentang Istidraj Ditimpakan kepada Kaum Nabi yang Ingkar

ۤ َّ ‫ٰت ى َ َعفَ ْوا َّ وقَال ُُْ\ْوا قَ ْد َم َّ س ٰاب ۤا َ َءنا َ َّ الض‬


‫را ُء‬ \ّّٰ ‫سنَة َح‬
َ ‫َّ السيئِّ َِِة\َ ا ْل َح‬ َ‫ث َّ ُم ب ََّد ْلنَا َم َكان‬
َ‫را ُء فا َ َخ ْذ ٰن ُه ْم بَ ْغتَة\ًًَ َّ و ُه ْم الَ ْيَشْع ُُر ْون‬
ۤ َّ ‫َّ الس‬ ‫َو‬

‫ض َو ٰل ِكنْ َك َّذ‬
ِ ‫َّ الس َم ۤا ِء َوااْل ََْ\ْر‬ ٍ ‫َول ََْ\ْو ا َّ نَ ا ََْ\ْه َل ا ْلق ُٰ\ُٰٓٓرى ٰا َمن ُُْ\ْوا َواَّ ق ََْ\ْوا لَفت ََْ\َْحنَا َعَل َْْيَ\ ِه ْم ب َر َٰك‬
َ‫ت ِّم ن‬
ِ ‫اخ ْذ ٰن ُه ْم بِ َما َكان ُُْ\ْوا يَ ْك‬
َ‫سب ُُْ\ْون‬ َ َ‫ب ُُْ\ْوا ف‬

“Kemudian Kami ganti kesusahan itu dengan kesenangan hingga keturunan


dan harta mereka bertambah banyak, dan mereka berkata: “Sesungguhnya nenek
moyang kamipun telah merasai penderitaan dan kesenangan“, maka Kami timpakan
siksaan atas mereka dengan sekonyong-konyong sedang mereka tidak
menyadarinya.” “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami
akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata
mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa
yang telah mereka kerjakan.”(QS.Al A’raf: 95-96).

5. Istidraj Mengantarkan pada Kebinasaan

َ‫ث الَ يَ ْعلَ ُم ْون‬


ُ ‫ست ََْ\ْد ِر ُجهُ ْم ِّم نْ َح ْي‬ َ ‫َو َّ ال ِذيْنَ َك َّذ ب ُُْ\ْوا بِ ٰا ٰيتِن\ََِا‬
ْ َ ‫سن‬

ْ ‫َوا ُُْ\ْملِ ْي لَ ُه ْم ۗاِ َّ ِن َك ْي ِد‬


ٌ‫ي َمتيِْن‬

“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan


menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang
tidak mereka ketahui. Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya
rencana-Ku amat teguh.” (QS.Al A’raf: 182-183).

6
6. Setan Membuai Manusia, Lalu Berlepas Tangan

ٌَّ ‫س َواِنِّ ْي َج‬


‫ار ل ُ ُك ۚ ْم َف َل‬ ِ ‫الش ْي ٰط نُ ا َْ َعالَ ُه ْم َوقَا َ الَ َغالِ َب لَُ ُك ُم ا ْليَ ْو َم ِم نَ َّ النا‬ َّ ‫َوا ِ ِْذ َز َّ ينَ لَ ُه ُم‬
‫تر َْونَ اِنِّ ْٓي‬
َ ْ ۤ ‫ص َع َٰلى َ َعقِب ْيَ ِه َوقَا َ اِنِّ ْي ب\ َ\ َِِر‬
\ََٰ ‫ي ٌء ِّمنْ ُ ُك ْم اِنِّ ْٓي‬
َ‫اٰرى َم\\ا ال‬ َ ‫ت ا ْلفِئ ٰتَ ِن ࣖ نَ َك‬ ِ ‫َّ ما ت َر ۤا َء‬
‫ب‬ َ َ ُ ّ ٰ ‫اخافُ ّّٰ\ َ ۗ َو‬
ِ ‫ش ِد ْي ُد ا ْل ِعقَا‬ َ

“Dan ketika setan menjadikan mereka memandang baik pekerjaan mereka


dan mengatakan: “Tidak ada seorang manusia pun yang dapat menang terhadapmu
pada hari ini, dan sesungguhnya saya ini adalah pelindungmu“. Maka tatkala kedua
pasukan itu telah dapat saling melihat (berhadapan), setan itu balik ke belakang
seraya berkata: “Sesungguhnya saya berlepas diri daripada kamu, sesungguhnya saya
dapat melihat apa yang kamu sekalian tidak dapat melihat; sesungguhnya saya takut
kepada Allah“. Dan Allah sangat keras siksa-Nya.” (QS.Al Anfal: 48).

7. Ayat Tentang Istidraj Ditimpakan pada Orang yang Tidak Beriman

َ‫باالخ َر ِة ز َّ ي َّ نا لَهم ْاَ َعالهم فهم يَ ْع َم ُه ْو ن‬


ِ ْ ‫ۗاِ َّ ِن َّ ال ِذ ْين ال ي ُؤ ِم‬
‫نون‬

“Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada negeri akhirat, Kami


jadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka, maka mereka
bergelimang (dalam kesesatan).” (QS.An Naml: 4)

8. Allah Memberikan Kuasa pada Orang yang Mendustakan Al Quran, untuk


Kemudian Membinasakan Mereka

َ‫ث الَ يَ ْعلَ ُم ْو ۙن‬


ُ ‫ست ََْ\ْد ِر ُج ُه ْم ِّم نْ َح ْي‬
ْ َ ‫سن‬ ِ ۗ ‫ف َذ ََْ\ْرنِ ْي َو َمنْ ُّ ي َك ِذ ُّب بِ ٰهذاَ ا ْل َح ِد ْي‬
َ ‫ث‬

“Maka serahkanlah (ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang


mendustakan Perkataan ini (Al Quran). Nanti Kami akan menarik mereka dengan
berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui,” (QS.Al
Qalam: 44).

7
9. Sesungguhnya Nikmat adalah Ujian

َ ‫ض ٌّ ر َد َع\\انَ ۖا ث َّ ُم اِذاَ َخ َّ و ْل ٰن\ ه ُ نِ ْع َم ةً ِّم َّ ن\ ۙ\ا‬


ُ‫ق ا َل اِ َّ ِن َم آا ا ُُْ\ْوتِ ْيت \ ٗه‬ ُ َ‫سان‬َ ‫فَِ \اِذاَ َم َّ س ااْل ِ ْن‬
ٰ َّ ٌ ‫ي فِت َْْن\َة‬
َ‫ول ِك َّ ن ا َْ\َْكث َر ُه ْم الَ يَ ْعلَ ُم ْون‬ َ ‫َع َٰلى ِع ْل ٍم ۗبَ ْل ِه‬

“Maka apabila manusia ditimpa bahaya ia menyeru Kami, kemudian apabila


Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami ia berkata, “Sesungguhnya aku diberi
nikmat itu hanyalah karena kepintaranku”. Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi
kebanyakan mereka itu tidak mengetahui.” (QS.Az Zumar: 49).

BAB 2

DALIL-DALIL HADITS QUDSI TENTANG HUKUMAN YANG


DISEGERAKAN SEBAGAI BENTUK KASIH SAYANG ALLAH
TERHADAP HAMBANYA

A. Dalil, Terjemahan dan Penjelasannya

Dari Anas bin Malik, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫َّ ُ بِع ْبَ ِد ِه ال‬ ‫فى ال ُّد ْنيا َ إذ َو اَ أ َرا َد‬ ِ َ‫أرا َد َّ ُ بِع ْبَ ِد ِه ا ْل َخ ْي َر َّ َعَج َل لَه ُ ا ْلعقُ ُوبَة‬ َ َ‫إ ِذا‬
‫ب ِه ي ََْ\ْو َم‬
ِ ‫يو َّ فى‬ َُ ‫س َك َ َع ْنه ُ ب ِذ َْْنَ\بِ ِه َحتَّ ى‬ َ ‫ش ر أ ََْ\ْم‬َّ َّ

‫ا ْلقِيا َ َم ِة‬

“Jika Allah menginginkan kebaikan pada hamba, Dia akan segerakan


hukumannya di dunia. Jika Allah menghendaki kejelekan padanya, Dia akan
mengakhirkan balasan atas dosa yang ia perbuat hingga akan ditunaikan pada hari
kiamat kelak.” (HR.Tirmidzi no. 2396, hasan shahih kata Syaikh Al Albani).

8
Juga dari hadits Anas bin Malik, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,

ُ ‫خ طَ فَلَه‬
ِ ‫س‬ ِ ‫أح َّ ب قَ ْو ًما ا ْبتاَل َ ُه ْم فَ َمنْ َر‬
َ ‫ض ىَفَ َل هُ ال ِّر‬
َ ْ‫ضا َو َمن‬ َ َ‫إ َّ ِن ِعظَ َم ا ْل َجزَ ا ِء َم َع ِعظَ ِم ا ْلباَل َ ِء َوإ َّ ِن َّ َ إ ِذا‬
ُ‫السخط‬
َ َّ

“Sesungguhnya pahala besar karena balasan untuk ujian yang berat.


Sungguh, jika Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menimpakan ujian untuk
mereka. Barangsiapa yang ridho, maka ia yang akan meraih ridho Allah. Barangsiapa
siapa yang tidak suka, maka Allah pun akan murka.” (HR. Ibnu Majah no. 4031,
hasan kata Syaikh Al Albani).

Faedah dari dua hadits di atas:

1. Musibah yang berat (dari segi kualitas dan kuantitas) akan mendapat balasan
pahala yang besar.
2. Tanda Allah cinta, Allah akan menguji hamba-Nya. Dan Allah yang lebih
mengetahui keadaan hamba-Nya. Kata Lukman -seorang sholih- pada anaknya,

‫يا بني الذهب والفضة يختبران بالنار والمؤمن يختبر‬

‫بالبالء‬

“Wahai anakku, ketahuilah bahwa emas dan perak diuji keampuhannya


dengan api sedangkan seorang mukmin diuji dengan ditimpakan musibah.”

3. Siapa yang ridho dengan ketetapan Allah, ia akan meraih ridho Allah dengan
mendapat pahala yang besar.
4. Siapa yang tidak suka dengan ketetapan Allah, ia akan mendapat siksa yang
pedih.
5. Cobaan dan musibah dinilai sebagai ujian bagi wali Allah yang beriman.

6. Jika Allah menginginkan kebaikan pada hamba, Dia akan segerakan


hukumannya di dunia dengan diberikan musibah yang ia tidak suka sehingga ia
keluar dari dunia dalam keadaan bersih dari dosa.

9
7. Jika Allah menghendaki kejelekan padanya, Dia akan mengakhirkan balasan
atas dosa yang ia perbuat hingga akan ditunaikan pada hari kiamat kelak. Ath
Thibiy berkata, “Hamba yang tidak dikehendaki baik, maka kelak dosanya akan
dibalas hingga ia datang di akhirat penuh dosa sehingga ia pun akan disiksa
karenanya.”
(Lihat Faidhul Qodir, 2: 583, Mirqotul Mafatih, 5: 287, Tuhfatul Ahwadzi, 7: 65)

8. Dalam Tuhfatul Ahwadzi disebutkan, “Hadits di atas adalah dorongan untuk


bersikap sabar dalam menghadapi musibah setelah terjadi dan bukan maksudnya
untuk meminta musibah datang karena ada larangan meminta semacam ini.”
Jika telah mengetahui faedah-faedah di atas, maka mengapa mesti bersedih?
Sabar dan terus bersabar, itu solusinya.

B. Contoh Kasus

Pertama,Barang siapa beramal sebuah amal menyekutukan Aku dalam amalan Itu
maka aku meninggalkannya dan sekutunya .”(HR.muslimdan Ibnu Majah).Faedah
dari dua hadist diatas yaitu :

1)Kita diajarkan untuk selalu berrhusnuzan kepada AllahSWT.

2.)Selalu mengingat-Nyadan mendekatkan diri kepada-Nya dengan ketaatan.

3)Siapa yang ridho dengan ketetapan Allah,ia akan meraih ridho Allah dengan
mendapat pahala yang besar.

4)Siapa Tidak suka,ia akan mendapat Siska yang pedih.

5)Jika Allah menginginkan kebaikan pada hamba,Dia akan Segerakan hukumannya


didunia dengan diberikan musibah yang ia tiidak suka sehingga Ia keluar dari dunia
dalam keadaan bersih dari dosa.

Kedua, Saya mengambil contoh dari seseorang yang pernah mengalami masalah
hidup yang sangat berat,terlilit hutang,sakit yang sangat langka dengan kemungkinan
hidup yang sangat tipis,namun Allah begitu mencintainya.Entah dia pernah
ataupun,hanya Allah yang tau namun setelah semuanya kejadian yang sulit menjadi

10
sangatlah dekat dengan Allah SWT.Begitu hebatnya kepiawaian dewa Eka Prayoga
dalam bidang pemasaran digital hingga dapat julukan ‘Dewa Selimut’.Namun,pri yang
juga akrab disapa kang Dewa ini mengalami serentetan ujian yang mungkin membuat
banyak orang menyerah.keterpurukan pertama sudah dirasakan saat usia muda,tepatnya
ketika masih menjalankan semester perkuliahan.Nilai utang yang harus ditanggung
tidak sepele,yakin mencapai Rp 7,7miliar.Ya,nilai uang yang besar emang sudah
didapatkannya sejak kuliah karena saat itu sudah habis membentuk personal branding
yang cukup terkenal.”Waktu itu saya bawa uang banyak karena saya sudah punya
branding karena sering diundang seminar diluar kampus.sampai-sampai ada teman yang
nawarin saya proyek pengandaian laptop dan lain-lainnya untuk keperluan
kantor”,papar Dewa yang kala itu berhasil mengumpulkan puluhan investor.Nahas,
teman yang dipercaya nyata nya hany penipu yang menjual prayek bodong.Saat
mengetahui sang teman kabur,Dewa yang saaat itu merupakan mahasiswa Universitas
pendidikan Indonesia segera melaporkan ke polisi.Meski dengan kasus itu pada awalnya
masih ada 40 investor bertahan,kemudian hanya tersisa dua orang.untuk membayar
utang,Dewa yang kala itu baru beberapa hari menikah pun mencoba menjual jaya
ayanan dari berkeliling menjual ceker pedas,kerupu,hingga seblak.ia beruntung karena
sang istri,Wiwin Supiyah,rela membanting tulang bersama meski masih menjadi
pengantin baru.kemudian jalan mulai membaik saat ia ditawari menulis buku oleh
teman.laptop berbekal jadul Dewa berhasul menulis kisahnya hanya dalam tujuh hari
kedalam buku yang berjudul 7Palmpengusahaan.Buku itu tidak disangka laris hingga
Dewa bisa berpendapat Rp120Juta perbulan.Namun,ditengah masa perbaikan dalam
harapannya,ujian baru datang lagi.Dewa terdiagnosis Menderita GBS (guillain barres
syndrome).yaitu gangguan saraf yang mengakibatkan seluruh badannya lumpuh total.ia
pun harus dirawat secara intensif selam dua bulan akibat penyakit tersebut sehingga
menelan bila perawatan sebesar RP700juta.Mesti terpuruk,Dewa tetap bersyukur karena
dapat sembuh dalam waktu empat bulan.penulis buku melawan kemustahilan itu juga
merasa ditanya tentang alam yang dilakukan sebagai pribadi yang lebih baik.Kini,pada
usia 30 tahun,Dewa tidak hanya tetap membangun bisnis dan menjadi motivator,tetap
juga berbagai dengan sesama dengan membangun pesantren bagi kalangan tidak
mampu.”Saat ini saya sedang membangun sebuah pondok Al’Quran digital preneurdi
Cirebon.Semoga tahun depan Selesai dan sedang berkampanye menjgajak teman-teman

11
Indonesia berwakaf dan bersedekah secara bergila-gilaan,sesering mungkin, dengan
Hastatag #Sedekahbrutal”.Pungkas dewa.

BAB 3

BERITA KENABIAN RASULULLAH SAW YANG DIMUAT DI DALAM


KITAB-KITAB SUCI AGAMA LAIN

A. Kitab Suci Injil

Dalam kitab Ulangan, 18:15, yang berbunyi, "Bahwa seorang Nabi dari
antara kamu dari antara segala saudaramu dan yang seperti aku ini yaitu akan
dibangkitkan oleh Tuhan Allahmu bagi kamu maka dia haruslah kamu dengar."

Di beberapa ayat dalam Kitab Ulangan itu disebutkan akan diutusnya Nabi

Muhammad SAW dengan semua yang dikatakannya membawa atau menyebut nama
Tuhan dan bukan nama dewa. Nabi Muhammad SAW juga wafat tidak karena
dibunuh orang. Selain itu, apa yang dikatakan oleh Nabi Muhammad tentu terjadi,
meski baru terjadi pada masa beberapa abad sesudah wafatnya dan yang terjadi pada
masa hidupnya. "Bahwa kalau Nabi itu berkata atas nama Tuhan, lalu barang yang
dikatakannya itu tak jadi atau tak datang, itulah perkataan yang bukan sabda Tuhan,
melainkan Nabi itu berkata dengan angkaranya: jangan kamu takut akan dia."
(Ulangan, 18:22).

Kemudian dalam Injil Yahya juga disebutkan ayat yang mengarah pada
akan kedatangan Nabi Muhammad. Seperti dalam Yahya, 14:26, yang berbunyi,
"Tetapi penghibur, yaitu Ruhul Kudus, yang akan disuruh oleh Bapa sebab namaku,
yaitu akan mengajarkan segala perkara itu kepadamu dan mengingatkan kamu segala
perkara yang telah kukatakan kepadamu itu." "Maka sekarang sudah kukatakan

12
kepadamu sebelum jadinya, supaya apabila ia jadi kelak, boleh kamu percaya"
(Yahya, 14:29).

Di dalam Kitab Injil Barnabas, kedatangan Nabi Muhammad SAW lebih


jelas dinyatakan. Barnabas sendiri adalah nama seorang sahabat atau pembela Nabi
Isa. Karenanya, Injil Barnabas ditulisnya sendiri dari wasiat yang didengarnya dari
Nabi Isa AS. Di dalam kitab itu memberitakan kedatangan Nabi SAW, bahkan
dijelaskan pula tentang peristiwa disalibnya Nabi Isa, bukanlah Nabi Isa yang disalib,
melainkan Yahuda. Injil Barnabas termasuk injil yang kuno, yang tertulis pada abad
pertama Masehi. Dalam ayat di kitab Injil Barnabas, misalnya, disebutkan bahwa saat
Nabi Isa AS memberitahu para hawari (penolong) bahwa beliau akan berpaling
meninggalkan alam. Saat itu, Isa berkata agar hati mereka tidak bergoncang dan tidak
takut. Sebab, Isa bukanlah yang menjadikan mereka, tetapi Allah yang menjadikan
dan memelihara mereka. "Adapun tentang ketentuan tugasku, sesungguhnya aku
datang untuk menyediakan jalan bagi Rasulullah yang akan datang dengan membawa
tugas kelepasan alam ini." (Barnabas, 72:10).

Dalam kitab Injil Yohanes XIV:15-16 misalnya, di situ Nabi Isa as. berkata
“Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintahku. Aku akan
minta kepada Bapa dan Ia akan memberikan kepadamu seorang penolong yang lain
supaya ia menyertai kamu selama-lamanya.” Merujuk buku Membaca Sirah Nabi
Muhammad dalam Sorotan Al-Qur’an dan Hadits-hadits Shahih (M Quraish Shihab,
2018), teks tersebut merupakan kabar gembira tentang kehadiran Nabi Muhammad
saw.

Pada kitab Injil Yohanes bab 14 ayat 30 disebutkan Al Masih berkata;


"Nanti aku tidak akan berbicara banyak dengan kalian, karena pemimpin dunia itu
sedang datang kepadaku, dan tak ada sesuatu pun yang dimilikinya ada padaku."
Dalam Injil perjanjian baru edisi Indonesia ayat ini berbunyi: "Tidak banyak lagi aku
berkata-kata dengan kamu, sebab penguasa dunia ini datang dan ia tidak berkuasa
sedikitpun atas diri-Ku." (Yohanes 14:30).

13
B. Kitab Suci Taurat

Dalam kitab Taurat Pertama Pasal ke-9 disebutkan: “Sesungguhnya Hajar


ketika berpisah dengan Sarah dan diajak bicara oleh malaikat. Malaikat berkata:
‘Wahai Hajar, dari mana engkau datang? dan kemana engkau ingin pergi? Maka
ketika Hajar menerangkan keadaannya, malaikat itu berkata:Kembalilah karena aku
akan memperbanyak keturunanmu dan tumbuhan mu sampai tidak terhitung. Dan
engkau akan melahirkan seorang anak laki-laki bernama Ismail. Karena Allah telah
mendengar kerendahan dan ketundukan mu. Dan anakmu menjadi manusia paling
kuat. Kuasanya berada di atas kuasa semuanya, dan tempat tinggalnya berada di
batasbatas semua saudaranya.”

Dalam Taurat, kabar tentang Nabi Muhammad saw. juga terdapat dalam
Kitab Yeyasa bab ke-42. Bunyi teksnya: “Agar manusia dan kota-kotanya meninggi
suaranya, rumah-rumah yang ditinggali oleh Qaidir, agar penduduk Sali’ berdendang
dari puncak-puncak gunung untuk memanggil, memberikan kemuliaan kepada
Tuhan, dan mengabarkan dengan tasbihnya di pulau-pulau.”

Dalam Ulangan 18: 17-19, Nabi Musa a.s. menubuatkan: “Lalu berkatalah

TUHAN kepadaku: Apa yang dikatakan mereka itu baik; seorang nabi akan
Kubangkitkan bagi mereka dari antara saudara mereka, seperti engkau ini; Aku akan
menaruh firman-Ku dalam mulutnya, dan ia akan mengatakan kepada mereka segala
yang Kuperintahkan kepadanya. Orang yang tidak mendengarkan segala firman-Ku
yang akan diucapkan nabi itu demi nama-Ku, dari padanya akan Kutuntut
pertanggungjawaban.”

C. Kitab Suci Zabur

Dalam Perjanjian Lama, Mazmur 25:12-13, disebutkan, “Siapakah orang


yang takut kepada Tuhan, Kepadanya Tuhan menunjukkan jalan yang harus
dipilihnya. Orang itu sendiri akan menetapkan dalam kebahagiaan dan anak cucunya
akan mewarisi bumi.”

14
Dalam kitab Zabur-Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai Mazmur
dan dalam bahasa Inggris Psalms- bab 72 ayat 8 dikatakan sebagai berikut;
"Kerajaannya akan membentang dari laut ke laut. Dari sungai itu sampai ke ujung
bumi. Di depannya tunduk penduduk daerah pelosok. Raja-raja Tarsyisy dan
pulaupulau membawa hadiah-hadiah kepadanya. Raja-raja Syaba dan Saba'
menyampaikan upeti. Semua raja tunduk di depannya. Semua bangsa menjadi
hambanya. Karena dia menyelamatkan orang miskin peminta tolong yang tertindas
dan tidak memiliki penolong. Dia menyantuni orang fakir dan yang membutuhkan.
Dia menyelamatkan jiwa-jiwa sengsara dan mengeluarkan jiwa mereka dari
kegelapan dan kekejaman. Dia menjaga hidup mereka, karena hidup begitu berharga
di matanya. Semoga hiduplah sang raja. Semoga emas Syiba diberikan kepadanya.
Semoga mereka berdoa untuk selamanya, dan meminta berkah Tuhan untuknya
setiap siang. Semoga banyak tanaman gandum di bumi, dan di puncak-puncak
gunung, dan semuanya mekar seperti cedar Lebanon, dan penduduk kota berbunga
seperti rumput di tanah. Namanya akan abadi selamanya. Namanya akan kekal
seperti kekalnya matahari. Umat manusia akan mengambil berkah dengannya, dan
semua bangsa menyatakan bahwa dia baik.

D. Kitab Suci Hindu

Disebutkan dalam Bhavisa Purana dalam Pratisarag Parv III, Khand 3,


Adhyay 3, Shalokas 10 to 27 : “Aryadarma akan tampil di muka bumi ini. ‘Agama
kebenaran’ akan memimpin dunia ini. Saya diutus oleh Isyparmatma. Dan pengikut
saya adalah orang yang berada di lingkungan itu, yang kepalanya tidak dikucir,
mereka akan memelihara jenggot dan akan mendengarkan wahyu, mereka akan
mendengarkan panggilan sholat (adzan), mereka akan memakan apa saja kecuali
daging babi, mereka tidak akan disucikan dengan tanaman semak-semak/umbi-
umbian tapi mereka akan suci di medan perang. Meraka akan dipanggil
“Musalaman” (perantara kedamaian).”

Dalam Atharvaveda book 20 Hymn 127 Shlokas 1-14 disebutkan tentang


Kuntupsuktas yang mengisyaratkan bahwa nabi Muhammad akan terungkap
kemudian mantra 1 mengatakan : ia akan disebut Narasangsa. “Nars” artinya orang,

15
“sangsa” artinya “yang terpuji”. Jadi Narasangsa artinya : orang yang terpuji. Kata
“Muhammad” dalam bahasa arab juga berarti : orang yang terpuji. Jadi Narasangsa
dalam bahasa Sansekerta adalah identik dg Muhammad dalam bahasa arab. Jadi
Narasangsa adalah figur yang sama dengan Nabi Muhammad. Ia akan disebut
“Kaurama” yang bisa berarti : pangeran kedamaian, dan bisa berarti : orang yg
pindah

(hijrah). Nabi Muhammad adalah seorang pangeran kedamaian yang hijrah dari
Makkah ke Madinah. Ia akan dilindungi dari musuh yang akan dikalahkannya yang
berjumlah 60.090 orang. Jumlah itu adalah sebanyak penduduk Makkah pada masa
Muhammad hidup yaitu sekitar 60.000 orang.

Mantra 2 mengatakan : ia adalah resi yang naik unta. Ini berarti ia bukan
seorang bangsawan India, karena dikatakan dalam Mansuriti(11) : 202 mengatakan
bahwa Brahma tidak boleh menaiki unta atau keledai. Jadi tokoh ini jelas bukan dari
golongan Brahmana (pendeta tinggi Hindu), tapi seorang asing. Mantra 3
mengatakan : ia adalah “Mama Rishi” atau resi agung. Ini cocok dengan Nabi agung
umat Islam yaitu Nabi Muhammad SAW. Mantra 4 mengatakan : ia adalah
Washwereda (Rebb) artinya orang yang terpuji. Nabi Muhammad yang juga
dipanggil dengan nama Ahmad adalah berarti juga “orang yang terpuji” yang
terjemahan bahasa Sansekerta-nya adalah Rebb.

Dalam Atharvaveda book 20 hymn 21 : 6 dinyatakan bahwa di sana


disebutkan dengan istilah : “akkaru” yang artinya : “yang mendapat pujian”. Dia
akan mengalahkan 10.000 musuh tanpa pertumpahan darah. Hal ini merujuk pada
perang Ahzab yang mana Nabi Muhammad mengalahkan musuh yang berjumlah
10.000 orang tanpa pertumpahan darah. Dalam Atharvaveda book 20 hymn 21 : 7
dinyatakan bahwa Abandu akan mengalahkan 20 penguasa. Abandu juga berarti
seorang yatim atau seorang yang mendapat pujian. Ini mengarah pada nabi
Muhammad yang seorang yatim sejak lahir dan arti kata Muhammad/Ahmad yang
berarti yang terpuji, yang akan mengalahkan kepala-suku-suku dari suku-suku di
sekitar Makkah yg berjumlah sekitar 20 suku. Dalam Samaveda Agni Mantra 64
dinyatakan bahwa ia tidak disusui oleh ibunya. Hal ini persis dengan Nabi
Muhammad yang tidak disusui oleh ibunya tapi oleh seorang wanita bernama

16
Halimah. Dalam Samaveda Uttararchika Mantra 1500 dinyatakan bahwa Ahmad
akan dianugrahi undang-undang abadi, yang jelas mengacu pada Nabi Muhammad
yang akan dianugrahi kitab suci Al-Qur’an. Tapi karena orang India yang berbahasa
sansekerta tidak paham kata Ahmad, maka diterjemahkan menjadi “a” dan “mahdi”
yaitu “saya sendiri”, jadi diartikan “saya sendiri yang menerima undang-undang
abadi”. Padahal seharusnya “Muhammad sendiri yang dianugrahi undang-undang
abadi”.

BAB 4

AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER SAINS DAN TEKNOLOGI

A. Pendahuluan

Pendidikan Islam yang mengalami masa tunas pada masa Dinasti Bani
Umayyah mencapai puncaknya pada masa Dinasti Bani Abbasiyah. Kemajuan
pendidikan Islam pada masa ini dikarenakan penguasa dari Dinasti Bani Abbasiyah
mengambil kebijakan dengan mengangkat orang-orang Persia menjadi pejabat-
pejabat penting di istana, terutama dari keluarga Baramikah, sebuah keluarga yang
telah lama bersentuhan dengan filsafat dan ilmu pengetahuan Hellenisme yang
mempengaruhi umat Islam untuk belajar dan mengembangkan pemikiran Islam. Hal
ini semakin nyata setelah penguasa dari Dinasti ini memproklamirkan aliran
Mu’tazilah, sebuah aliran teologi rasional sebagai mazhab resmi negara. Pada masa
ini pendidikan Islam mencapai zaman keemasannya. Filsafat Islam, ilmu
pengetahuan, sains dan pemikiran Islam mencapai kemajuan yang sangat pesat
sehingga menjadikan Islam sebagai pusat keilmuan yang tiada tandingnya di dunia
dan filsafat serta ilmu pengetahuannya menjadi kiblat dunia pada saat itu.

17
Perseteruan antara agama dan ilmu pengetahuan (sains) merupakan isu klasik
yang sampai saat ini masih berkembang di dunia Barat dalam wujud sekularisme.
Tetapi, Islam tidak mendekati persoalan sains ini dari perspektif tersebut karena al-
Qur’an dan al-Sunnah telah memberikan sistem yang lengkap dan sempurna yang
mencakup semua aspek kehidupan manusia, termasuk kegiatan-kegiatan ilmiah atau
penyelidikan-penyelidikan ilmiah. Jadi, kegiatan ilmiah merupakan bagian yang
integral dari keseluruhan sistem Islam di mana masing-masing bagian memberikan
sumbangan terhadap yang lainnya.

Al-Qur’an sangat menekankan pentingnya membaca (baca: mengamati)


gejala alam dan merenungkannya. Al-Qur’an mengambil contoh dari kosmologi,
fisika, biologi, ilmu kedokteran dan lainnya sebagai tanda kekuasaan Allah untuk
dipikirkan oleh manusia. Tidak kurang dari tujuh ratus lima puluh ayat – sekitar
seperdelapan al-Qur’an– yang mendorong orang beriman untuk menelaah alam,
merenungkan dan menyelidiki dengan kemampuan akal budinya serta berusaha
memperoleh pengetahuan dan pemahaman alamiah sebagai bagian dari hidupnya.
Kaum muslim zaman klasik memperoleh ilham dan semangat untuk mengadakan
penyelidikan ilmiah di bawah sinar petunjuk al-Qur’an, di samping dorongan lebih
lanjut dari karya-karya Yunani dan sampai batas-batas tertentu oleh terjemahan
naskah-naskah Hindu dan Persia. Dengan semangat ajaran al-Qur’an, para ilmuwan
muslim tampil dengan sangat mengesankan dalam setiap bidang ilmu pengetahuan.
Pengaruh al-Qur’an ini tidak saja diakui oleh kalangan ilmuwan muslim zaman
dahulu, seperti al-Ghazali, (1983:45-48 ) dan al-Suyuthi, ( Dhahabi, 1961: 420)
bahkan sarjana Baratpun mengakuinya, seperti R. Levy (1975:400) (1975: 400) dan
George Sarton. (tt:23).

B. Dimensi Sains dan Teknologi dalam al-Qur’an

Kata sains dan teknologi ibarat dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan satu sama
lain. Sains, menurut Baiquni, adalah himpunan pengetahuan manusia tentang alam yang
diperoleh sebagai konsensus para pakar, melalui penyimpulan secara rasional mengenai
hasil-hasil analisis yang kritis terhadap data pengukuran yang diperoleh dari observasi

18
pada gejala-gejala alam. Sedangkan teknologi adalah himpunan pengetahuan manusia
tentang proses-proses pemanfaatan alam yang diperoleh dari penerapan sains, dalam
kerangka kegiatan yang produktif ekonomis (Baiquni, 1995: 58-60).

Al-Qur’an, sebagai kalam Allah, diturunkan bukan untuk tujuan-tujuan yang


bersifat praktis. Oleh sebab itu, secara obyektif, al-Qur’an bukanlah ensiklopedi sains dan
teknologi apalagi al-Qur’an tidak menyatakan hal itu secara gamblang.

Akan tetapi, dalam kapasitasnya sebagai huda li al-nas, al-Qur’an memberikan


informasi stimulan mengenai fenomena alam dalam porsi yang cukup banyak, sekitar
tujuh ratus lima puluh ayat (Ghulsyani, 1993: 78). Bahkan, pesan (wahyu) paling awal
yang diterima Nabi SAW mengandung indikasi pentingnya proses investigasi
(penyelidikan). Informasi alQur’an tentang fenomena alam ini, menurut Ghulsyani,
dimaksudkan untuk menarik perhatian manusia kepada Pencipta alam Yang Maha Mulia
dan Maha Bijaksana dengan mempertanyakan dan merenungkan wujud-wujud alam serta
mendorong manusia agar berjuang mendekat kepada-Nya (Ghulsyani, 1993). Dalam visi
al-Qur’an, fenomena alam adalah tanda-tanda kekuasaan Allah. Oleh sebab itu,
pemahaman terhadap alam itu akan membawa manusia lebih dekat kepada Tuhannya.

Pandangan al-Qur’an tentang sains dan teknologi dapat ditelusuri dari pandangan
al-Qur’an tentang ilmu. Al-Qur’an telah meletakkan posisi ilmu pada tingkatan yang
hampir sama dengan iman seperti tercermin dalam surat al-Mujadalah ayat

11:

“… niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu


dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”

Ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan manusia mencari ilmu atau menjadi


ilmuwan begitu banyak. Al-Qur’an menggunakan berbagai istilah yang berkaitan dengan
hal ini. Misalnya, mengajak melihat, memperhatikan, dan mengamati kejadian-kejadian
(Fathir: 27; al-Hajj: 5; Luqman: 20; alGhasyiyah: 17-20; Yunus: 101; al-Anbiya’: 30),
membaca (al‘Alaq: 1-5) supaya mengetahui suatu kejadian (al-An’am: 97; Yunus: 5),
supaya mendapat jalan (al-Nahl: 15), menjadi yang berpikir atau yang menalar berbagai

19
fenomena (al-Nahl: 11; Yunus: 101; al-Ra’d: 4; al-Baqarah: 164; al-Rum: 24; al-Jatsiyah:
5, 13), menjadi ulu al-albab (Ali ‘Imran: 7; 190-191; al-Zumar: 18), dan mengambil
pelajaran (Yunus: 3).

Sedangkan pandangan al-Qur’an tentang sains dan teknologi, dapat diketahui dari
wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad saw.:

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia


menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha
Pemurah. Yang Mengajar (manusia) dengan pengantaran kalam (tulis baca). Dia
Mengajarkan manusia apa yyang tidak diketahuinya.” (QS al-‘Alaq:1-5)

Kata iqra’, menurut Quraish Shihab, diambil dari akar kata yang berarti
menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah,
mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik yang tertulis maupun
tidak. Sedangkan dari segi obyeknya, perintah iqra’ itu mencakup segala sesuatu yang
dapat dijangkau oleh manusia. (Shihab, 1996:433)

Atas dasar itu, sebenarnya tidak ada alasan untuk membuat dikotomi ilmu agama
dan ilmu non agama. Sebab, sebagai agama yang memandang dirinya paling lengkap
tidak mungkin memisahkan diri dari persoalan-persoalan yang bereperan penting dalam
meningkatkan kesejahteraan umatnya. Berkaitan dengan hal ini, Ghulsyani mengajukan
beberapa alasan untuk menolak dikotomi ilmu agama dan ilmu non agama sebagai
berikut:

1. Dalam sebagian besar ayat al-Qur’an, konsep ilmu secara mutlak muncul dalam
maknanya yang umum, seperti pada ayat 9 surat al-Zumar:

“Katakanlah: adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang


yang tidak mengetahui.”

Beberapa ayat lain yang senada di antaranya QS 2:31; QS 12:76; QS 16: 70.

2. Beberapa ayat al-Qur’an secara eksplisit menunjukkan bahwa ilmu itu tidak hanya
berupa prinsip-prinsip dan hukum-hukum agama saja. Misalnya, firman Allah pada
surat Fathir ayat 27-28:

“Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu
Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka ragam jenisnya. Dan

20
di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka
ragam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) di antara
manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang
bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada
Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah “ulama”. Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Pengampun."

Dengan jelas kata ulama (pemilik pengetahuan) pada ayat di atas dihubungkan dengan
orang yang menyadari sunnatullah (dalam bahasa sains: “hukum-hukum alam”) dan
misteri-misteri penciptaan, serta merasa rendah diri di hadapan Allah Yang Maha Mulia.

3. Di dalam al-Qur’an terdapat rujukan pada kisah Qarun. “Qarun berkata:


Sesungguhnya aku diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku.” (QS al-
Qashash: 78) (Ghulsyani, 1993: 44-45)

Di samping itu, subyek yang dituntut oleh wahyu pertama (al-‘Alaq: 1-5) adalah
manusia, karena potensi ke arah itu hanya diberikan oleh Allah swt. kepada jenis
makhluk ini. Pemberian potensi ini tentunya tidak terlepas dari fungsi dan tanggung
jawab manusia sebagai khalifah Allah di atas muka bumi. Sedangkan bumi dan langit
beserta isinya telah ‘ditundukkan’ bagi kepentingan manusia. Mari perhatikan firman
Allah di dalam surat al-Jatsiyah ayat 13:

“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi
semuanya (sebagai rahmat dari-Nya). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir.”

Kata sakhkhara (menundukkan) pada ayat di atas atau kata yang semakna dengan
itu banyak ditemukan di dalam alQur’an yang menegaskan bahwa Allah swt.
menundukkan semua ciptaan-Nya sesuai dengan peraturan-peraturan (sunnatullah) Nya,
sehingga manusia dapat mengambil manfaat sepanjang manusia mau menggunakan akal
dan pikirannya serta mengikuti langkah dan prosedur yang sesuai dengan sunnatullah itu.
Misalnya, menurut Baiquni, (1997: 1516 ) tertiupnya sehelai daun yang kering dan pipih
oleh angin yang membawanya membumbung tinggi ke atas adalah karena aliran udara di
sekitarnya. Orang yang melakukan pengamatan dan penelitian untuk menemukan
jawaban atas pertanyaan: “bagaimana daun itu diterbangkan?”, niscaya akan sampai
kepada sunnatullah yang menyebabkan daun itu bertingkah laku seperti yang tampak

21
dalam pengamatannya. Pada dasarnya, sebuah benda yang bentuknya seperti daun itu,
yang panjang dan bagian pinggir dan lebarnya melengkung ke bawah, akan mengganggu
aliran udara karena pada bagian yang melengkung itu aliran udara tidak selancar di
tempat lain. Akibatnya, tekanan udara di lengkungan itu lebih tinggi dari pada bagian
lainnya sehingga benda itu terangkat. Orang yang melakukan pengamatan dan penelitian
itu menemukan sunnatullah yang dalam ilmu pengetahuan disebut aerodinamika. Dengan
pengetahuan yang lengkap dalam bidang aerodinamika dan pengetahuan tentang sifat-
sifat material tertentu manusia mampu menerapkan ilmunya itu untuk membuat pesawat
terbang yang dapat melaju dengan kecepatan tertentu.

Untuk dapat memahami sunnatullah yang beraturan di alam semesta ini, manusia
telah dibekali oleh Allah SWT dua potensi penting, yaitu potensi fitriyah (di dalam diri
manusia) dan potensi sumber daya alam (di luar diri manusia). Di samping itu, al-Qur’an
juga memberikan tuntunan praktis bagi manusia berupa langkah-langkah penting
bagaimana memahami alam agar dicapai manfaat yang maksimal. Suatu cara
penghampiran yang sederhana dalam mempelajari ilmu pengetahuan ditunjukkan al-
Qur’an dalam surat al-Mulk ayat 3-4 yang intinya mencakup proses kagum, mengamati,
dan memahami. Dalam konteks sains, al-Qur’an mengembangkan beberapa
langkah/proses sebagai berikut.

Pertama, al-Qur’an memerintahkan kepada manusia untuk mengenali secara


seksama alam sekitarnya seraya mengetahui sifat-sifat dan proses-proses alamiah yang
terjadi di dalamnya. Perintah ini, misalnya, ditegaskan di dalam surat Yunus ayat 101.

“Katakanlah (wahai Muhammad): Perhatikan (dengan nazhor) apa yang ada di


langit dan di bumi….”

Dalam kata unzhuru (perhatikan), Baiquni memahaminya tidak


sekedar memperhatikan dengan pikiran kosong, melainkan dengan perhatian yang
seksama terhadap kebesaran Allah SWT dan makna dari gejala alam yang diamati
(Baiquni, 1997:20). Perintah ini tampak lebih jelas lagi di dalam firman Allah di surat al-
Ghasyiyah ayat 17-20:

22
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan (dengan nazhor) onta bagaimana ia
diciptakan. Dan langit bagaimana ia diangkat. Dan gunung-gunung bagaimana
mereka ditegakkan. Dan bumi bagaimana ia dibentangkan.”

Kedua, al-Qur’an mengajarkan kepada manusia untuk mengadakan pengukuran


terhadap gejala-gejala alam. Hal ini diisyaratkan di dalam surat al-Qamar ayat 149.

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan ukuran.”

Ketiga, al-Qur’an menekankan pentingnya analisis yang mendalam terhadap


fenomena alam melalui proses penalaran yang kritis dan sehat untuk mencapai
kesimpulan yang rasional. Persoalan ini dinyatakan dalam surat al-Nahl ayat 1112.

“Dia menumbuhkan bagimu, dengan air hujan itu, tanamantanaman zaitun, korma,
anggur, dan segala macam buahbuahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi mereka yang mau berpikir.
Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu; dan
bintang-bintang itu ditundukkan (bagimu) dengan perintah-Nya. Sebenarnya pada
yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang menalar.”

Tiga langkah yang dikembangkan oleh al-Qur’an itulah yang sesungguhnya yang
dijalankan oleh sains hingga saat ini, yaitu observasi (pengamatan), pengukuran-
pengukuran, lalu menarik kesimpulan (hukum-hukum) berdasarkan observasi dan
pengukuran itu.

Meskipun demikian, dalam perspektif al-Qur’an, kesimpulan-kesimpulan ilmiah


rasional bukanlah tujuan akhir dan kebenaran mutlak dari proses penyelidikan terhadap
gejala-gejala alamiah di alam semesta. Sebab, seperti pada penghujung ayat yang
menjelaskan gejala-gejala alamiah, kesadaran adanya Allah dengan sifat-sifat-Nya Yang
Maha Sempurna menjadi tujuan hakiki di balik fakta-fakta alamiah yang dinampakkan.

Memahami tanda-tanda kekuasaan Pencipta hanya mungkin dilakukan oleh orang-


orang yang terdidik dan bijak yang berusaha menggali rahasia-rahasia alam serta
memiliki ilmu (keahlian) dalam bidang tertentu. Ilmu-ilmu kealaman seperti matematika,
fisika, kimia, astronomi, biologi, geologi dan lainnya merupakan perangkat yang dapat
digunakan untuk memahami fenomena alam semesta secara tepat. Dengan bantuan ilmu-

23
ilmu serta didorong oleh semangat dan sikap rasional, maka sunnatullah dalam wujud
keteraturan tatanan (order) di alam ini tersingkap.

C. Prinsip – Prinsip Dasar Kegiatan Ilmiah dalam al-Qur’an

Atas dasar pandangan al-Qur’an tentang ilmu pengetahuan (sains dan teknologi),
dapat dirumuskan beberapa prinsip dasar yang menopang dan memantapkan kegiatan
ilmiah manusia sebagai berikut.

1. Prinsip Istikhlaf
Prinsip istikhlaf merupakan salah satu prinsip dasar yang digariskan oleh al-Qur’an
dalam mendukung dan memantapkan kegiatan imiah. Konsep istikhlaf ini
berkaitan erat dengan fungsi kekhalifahan manusia. Dalam Islam, konsep kekhalifahan
memiliki sifat yang multi dimensional.
Pertama, konsep kekhalifahan telah menempatkan manusia sebagai pengatur dunia
ini dengan segenap kemampuan yang dimilikinya. Untuk itu, imanusia dibekali dengan
dua kekuatan pokok, wahyu Allah dan kemampuan berpikir (akal). Apabila dua
kekuatan itu dipergunakan sebagaimana mestinya, maka manusia akan meraih
keberhasilan dalam kehidupan kini dan kehidupan nanti.

Kedua, sebagai khalifah Allah, manusia adalah makhluk yang paling bertanggung
jawab terhadap Allah dibandingkan makhluk-makhluk lainnya. Tanggung jawab ini
merupakan konsekuensi logis dari anugerah kemampuan dan kekuatan yang dimilikinya.

Ketiga, sebagai khalifah Allah, manusia adalah makhluk yang memiliki peranan
penting untuk mengolah potensipotensi alam semesta. Manusia paling berperan dalam
mengelola seluruh aspek kehidupan, baik aspek fisik, sosial, dan spiritual yang
didasarkan pada hukum-hukum Allah.

Sungguhpun demikian, karena pusat kehidupan alam semesta ini adalah Allah (Dia
yang menciptakan, menggerakkan segala sesuatu, dan mengawasinya), bukan manusia,
maka manusia memiliki kemampuan terbatas.

2. Prinsip Keseimbangan

24
Prinsip dasar lainnya yang digariskan oleh al-Qur’an adalah keseimbangan antara
kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, spiritual dan material. Prinsip ini dibahas secara
luas dan mendalam di dalam al-Qur’an dengan mengambi berbagai bentuk ungkapan.
Manusia disusun oleh Allah dengan susunan dan ukuran tertentu, lalu diperuntukkan
bumi ini dengan kehendak-Nya untuk memenuhi kebutuhan susunan yang membentuk
manusia itu.

Dengan demikian, al-Qur’an menghendaki terwujudnya keseimbangan yang adil


antara dua sisi kejadian manusia (spiritual dan material) sehingga manusia mampu
berbuat, berubah dan bergerak secara seimbang.

3. Prinsip Taskhir
Taskhir juga merupakan prinsip dasar yang membentuk pandangan al-Qur’an
tentang alam semesta (kosmos). Dan, tidak dapat dipungkiri, manifestasi prinsip ini ke
dalam kehidupan riil manusia harus ditopang oleh ilmu pengetahuan.

Alam semesta ini (langit, bumi, dan seisinya) telah dijadikan oleh Allah untuk
tunduk kepada manusia. Allah telah menentukan dimensi, ukuran, dan sunnah-sunnah-
Nya yang sesuai dengan fungsi dan kemampuan manusia dalam mengelola alam semesta
secara positif dan aktif. Tetapi, bersamaan dengan itu, al-Qur’an juga meletakkan nilai-
nilai dan norma-norma yang mengatur hubungan antara manusia dan alam semesta. Oleh
sebab itu, al-Qur’an sangat mengecam ekspoitasi yang melampaui batas.

Prinsip taskhir yang ditopang oleh penguasaan ilmu pengetahuan dan


metodologinya merupakan faktor kondusif bagi manusia dalam membangun bentuk-
bentuk peradaban yang sesuai dengan cita-cita manusia dan kemanusiaan.

4. Prinsip Keterkaitan antara Makhluk dengan Khalik


Prinsip penting lainnya adalah keterkaitan antara sistem penciptaan yang
mengagumkan dengan Sang Pencipta Yang Maha Agung. Ilmu pengetahuan adalah alat
yang mutlak untuk memberikan penjelasan dan mengungkapkan keterkaitan itu.

Ilmuwan-ilmuwan Muslim klasik telah menghabiskan sebagian besar umurnya


untuk mengadakan pengamatan dan penelitian terhadap fenomena alam dan akhirnya

25
mereka sampai kepada kesimpulan yang pasti dan tidak dapat dipungkiri bahwa
sesungguhnya di balik semua realitas yang diciptakan (makhluk) pasti ada yang
menciptakan. Proses penciptaan yang berada pada tingkat sistem yang begitu rapih, teliti,
serasi, tujuannya telah ditentukan, dan keterikatannya terarah, pastilah bersumber dari
kehendak Yang Maha Tinggi, Maha Kuasa, dan Maha Mengatur.

Berdasarkan empat prinsip di atas, maka jelaslah bahwa ilmu pengetahuan (sains
dan teknologi) merupakan kebutuhan dasar manusia yang Islami selama manusia
melakukannya dalam rangka menemukan rahasia alam dan kehidupan serta
mengarahkannya kepada Pencipta alam dan kehidupan tersebut dengan cara-cara yang
benar dan memuaskan.

D. Sains dan Teknologi Modern: Pertimbangan Epistemologis

Berdasarkan prinsip-prinsip al-Qur’an di atas, beberapa isu penting di seputar


epistemologi sains dan teknologi modern patut dipertimbangkan.
Persoalan apakah sains dan teknologi itu netral ataukan sarat nilai menjadi
perhatian dan polemik di kalangan ilmuwan Barat sejak Spengler menerbitkan
bukunya The Decline of the West setelah Perang Dunia I.

Argumen bahwa sains itu netral – bahwa sains bisa digunakan untuk
kepentingan yang baik atau buruk; bahwa pengetahuan yang mendalam tentang
atom bisa digunakan untuk menciptakan bom nuklir dan juga bisa menyembuhkan
penyakit kanker; bahwa ilmu genetika bisa dipergunakan untuk mengembangkan
teknoogi pertanian dan juga bisa dipergunakan untuk “menyaingi Tuhan” (ingat
rekayasa genetika) – semua tampak amat meyakinkan. Tetapi, benarkah sains dapat
dipisahkan dari penerapannya (teknologi)? Padahal, sejak masa renaissance (masa
kelahiran sains modern) tujuan sains adalah untuk diterapkan dengan menempatkan
manusia sebagai penguasa alam dan memberinya kebebasan untuk mengeksploitasi
alam untuk kepentingan manusia sendiri, apapun akibat yang ditimbulkannya.

Dampak-dampak fisis dari penerapan sains ini tentunya sudah dirasakan


dalam realitas kehidupan dahulu dan saat ini. Dengan demikian, pada hakekatnya

26
sains tidak dapat dipisahkan dari penerapannya, baik atau buruk, sehingga sains
tidak netral. Pernyataan ini, sudah barang tentu, mengundang pertanyaan: “sistem
nilai siapa yang mempengaruhi sains?”

Berdasarkan penelitian Shaharir, (1992: 20) ada indikasi kuat bahwa sains
banyak dipengaruhi oleh sistem nilai yang dianut komunitas ahli sains yang terkait,
yang setengahnya tidak serasi dengan nilai Islam. Oleh sebab itu, nilai-nilai yang
menyertai sains modern harus diantisipasi secara cermat agar kita tidak
terperangkap dalam nilai-nilai yang tidak Islami itu.

Di sisi lain, sejak awal kemunculannya, sains telah mengembangkan suatu


pola di mana rasionalisme dan empirisme menjadi pilar utama metode keilmuan
(scientific method). Pola berpikir sains ini ternyata telah berpengaruh luas pada pola
pikir manusia di hampir semua bidang kehidupannya. Sehingga, penilaian manusia
atas realitasrealitas – baik realitas sosial, individual, bahkan juga keagamaan –
diukur berdasarkan kesadaran obyektif di mana eksperimen, pengalaman empiris,
dan abstraksi kuantitatif adalah cara-cara yang paling bisa dipercaya. Akibatnya,
seperti pengalaman AB Shah (1987) (ilmuwan India) yang ingin memanfaatkan
sains untuk memajukan masyarakat India, sains telah memungkinkan manusia
untuk memandang setiap persoalan secara obyektif dan membebaskan manusia dari
ikatan-ikatan takhayul. Akan tetapi, sayangnya, sains juga membebaskan manusia
dari agamanya. Tampaknya, menurut AB Shah, dunia pengalaman kita sudah
semakin sempit. Yang nyata adalah yang empiris, rasional. Selain itu, termasuk
agama, adalah mitos, obsesi dan khayalan.

Di samping itu, sains juga membawa nilai-nilai sekularisme. Sains


memisahkan secara jelas antara dunia material dengan spiritual, antara pengamat
dengan yang diamati, antara subyek dengan obyek, antara manusia dengan alam.
Akibatnya, karena sains hanya mengamati fakta dan aspek yang dapat diukur, sifat
ruhaniah dari alam dan bendabenda yang ada di dalamnya dihilangkan. Inilah yang
disebut sekularisme oleh Naquib al-Attas. (1991)

27
Belum diketahui secara persis sejauh mana dampak nilai-nilai yang
menyertai perkembangan sains itu terhadap masyarakat Muslim. Akan tetapi, apa
yang dikemukan di atas (bahkan mungkin lebih dari itu) bukanlah rekaan dan
mengada-ada. Inilah ancaman serius bagi generasi sekarang dan generasi
mendatang, yang oleh Ziauddin Sardar (1987: 86) digambarkan sebagai
imperialisme epistemologis. Dalam ungkapannya:“Epistemologi peradaban Barat
kini telah menjadi suatu cara pemikiran dan pencarian yang dominan dengan
mengesampingkan cara-cara pengetahuan alternatif lainnya. Jadi, semua masyarakat
Muslim, dan bahkan sesungguhnya seluruh planet ini, dibentuk dengan citra
manusia Barat.”

Perangkap epistemoogi peradaban (termasuk di dalamnya sains dan


teknologi) Barat demikian kuatnya yang, tampaknya, tidak memungkinkan bagi
siapapun untuk menghindar darinya. Bagi umat Muslim, sungguhpun belum mampu
menciptakan epistemologi alternatif sebagai tandingan, dalam kapasitas
kemampuan masing-masing umat harus kembali kepada al-Qur’an seraya
mencermati pesan-pesan ilahiyah yang terkandung dalam fenomena alam semesta.

Harus diyakini sepenuhnya bahwa semua yang diciptakan oleh Allah


memiliki kerangka tujuan ilahiyah. Berpijak pada ajaran Tauhid – di mana Allah
adalah Pencipta alam semesta, segala sesuatu berasal dari-Nya dan kembali kepada-
Nya – seyogyanya setiap langkah yang diambil ditujukan untuk memperoleh
keridlaan-Nya dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Penyelidikan untuk
menyingkap rahasia alam semesta tanpa terkecuali terkait dengan kerangka tujuan
ini.
Al-Qur’an tidak menghendaki penyelidikan terhadap alam semesta hanya
untuk pemuasan keinginan (science for science), seperti yang berlaku di Barat.
Menurut al-Qur’an, sains hanyalah alat untuk mencapai tujuan akhir. Pemahaman
seseorang terhadap alam harus mampu membawa kesadarannya kepada Allah Yang
Maha Sempurna dan Maha Tak Terbatas. Dalam perspektif inilah al-Qur’an
menampakkan dimensi spiritual dalam kisah Nabi Ibrahim a.s. di dalam surat al-
An’am: 76-79.

28
Keyakinan Tauhid yang kokoh akan membuka cakrawala peneliti kepada
pandangan alam yang lebih komprehensif. Ia tidak lagi melihat alam secara parsial
dan sebagai bagian yang terpisah dari dirinya, melainkan kesalinghubungan dalam
kesatuan di balik keragaman. Inilah yang diisyaratkan al-Qur’an bahwa setiap
benda yang diciptakan oleh Allah berada dalam satu kerangka tujuan, sehingga
benda terkecilpun memiliki nilai.

Ajaran Tauhid juga dapat membimbing manusia kepada kesadaran adanya


realitas supranatural di luar realitas eksternal yang dapat diindera. Oleh sebab itu,
ada banyak hal yang tidak bisa diraih lewat indera dan dengan demikian tumbuh
suatu kesadaran bahwa pada hakekatnya pengetahuan manusia itu sangat terbatas.

E. Implikasi Pandangan al-Qur’an tentang sain dalam proses pembelajaran

Merujuk kepada pandangan Barbour tentang relasi agama dan sains, secara
umum ada empat pola yang menggambarkan hubungan tersebut. Keempat
hubungan itu adalah berupa konflik, independensi, dialog, dan integrasi. Hubungan
yang bersifat konflik menempatkan agama dan sains dalam dua sisi yang terpisah
dan saling bertentangan. Pandangan ini menyebabkan agama menjadi terkesan
menegasi kebenaran-kebenaran yang diungkap dunia sains dan sebagainya.

Persepsi yang menggambarkan hubungan keduanya sebagai interdependensi


menganggap adanya distribusi wilayah kekuasaan agama yang berbeda dari wilayah
sains. Keduanya tidak saling menegasi. Ilmu pengetahuan bertugas memberi
jawaban tentang proses kerja sebuah penciptaan dengan mengandalkan data publik
yang obyektif. Sementara agama berkuasa atas nilai-nilai dan kerangka makna yang
lebih besar bagi kehidupan seseorang.

Yang ketiga adalah persepsi yang menempatkan sains dan agama bertautan
dalam model dialog. Model ini menggambarkan sains dan agama itu memiliki

29
dimensi irisan yang bisa diperbandingkan satu sama lain. Pertanyaan sains bisa
dipecahkan melalui kajian-kajian agama dan sebaliknya.

Keempat, hubungan antara sains dan agama itu dinyatakan sebagai hubungan
terintegrasi. Integrasi ini bisa digambarkan dalam dua bentuk yakni teologi natural
(natural theology) yang memandang bahwa temuan-temuan ilmiah itu merupakan
sarana mencapai Tuhan, dan teologi alam (theology of nature) yang menganggap
bahwa pertemuan dengan Tuhan harus senantiasa di-up grade sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan (Barbour, 2005).

Sejak pertama kali diturunkan, al-Quran telah mengisyaratkan pentingnya


ilmu pengetahuan dan menjadikan proses pencariannya sebagai ibadah. Di samping
itu, al-Quran juga menegaskan bahwa satu-satunya sumber ilmu pengetahuan
adalah Allah SWT. Hal ini mengindikasikan bahwa sebenarnya tidak ada dikotomi
ilmu dalam pandangan al-Quran. Tidak ada satu ayat pun di dalam al-Quran, yang
secara tegas maupun samar, yang memberi petunjuk bahwa agama dan sain
merupakan dua sisi yang berbeda. Dengan demikian, dalam pandangan al-Quran,
sains dan agama merupakan dua hal yang terintegrasi.

Proses pembelajaran pada hakikatnya adalah proses mengamati, menemukan,


memahami, dan menghayati sunnatullah, yang berupa fenomena alamiah maupun
sosial, kemudian mengaplikasikan pemahaman tersebut bagi kemaslahatan hidup
manusia dan lingkungannya serta menjadikan kesadaran adanya Allah dengan sifat-
sifat-Nya Yang Maha Sempurna sebagai tujuan hakiki dari kegiatan pembelajaran.
Tujuan ini akan membimbing peserta belajar kepada kesadaran adanya realitas
supranatural di luar realitas eksternal yang dapat ia indera Oleh sebab itu, prinsip-
prinsip dasar kegiatan ilmiah yang digariskan al-Quran, (istikhlaf, keseimbangan,
taskhir, dan keterkaitan antara makhluk dengan Khalik) harus dijadikan titik tolak
dalam mempelajari subyek apapun.

Pada tataran praktis, proses pembelajaran di lembagalembaga pendidikan


formal, dari jenjang tingkat dasar hingga perguruan tinggi, masih menghadapi

30
perosalan serius yang bermuara pada dikotomi pandidikan. Ada beberapa persoalan
yang signifikansi dampak dari dikotomi pendidikan ini, yaitu: 1) munculnya
ambivalensi orientasi pendidikan yang berdampak pada munculnya split personality
dalam diri peserta didik; 2) kesenjangan antara sistem pendidikan dengan ajaran
Islam berimplikasi pada out put pendidikan yang jauh dari citacita pendidikan
Islam.
Untuk meretas persoalan dikotomi tersebut, maka perlu dilakukan upaya
integrasi dalam pendidikan, sebagaimana yang telah di lakukan sekelompok ahli
pendidikan atau cendekiawan Muslim yang peduli pada persoalan tesebut. Ada tiga
tahapan upaya kerja integrasi yang telah di kembangkan yaitu: 1) integrasi
kurikulum, 2) integrasi pembelajaran, 3) integrasi ilmu (Islamisasi ilmu).

Integrasi kurikulum mencakup pengintegrasian nilainilai ilahiyah dalam


keseluruhan materi pelajaran, mulai dari perumusan standar kompetensi sampai
dengan evaluasi pembelajaran. Integrasi pembelajaran yang dimaksud adalah
menanamkan motivasi dan pandangan al-Quran tentang sains kepada peserta didik
di saat proses pembelajran berlangsung. Dua langkah awal (integrasi kurikulum dan
integrasi pembelajaran) merupakan langkah strategis ke arah integrasi ilmu.

Kalaupun upaya integrasi di atas belum bisa dilakukan, setidaknya,


pembelajaran sains (kealaman maupun sosial) harus mampu menghantarkan peserta
didik kepada kesadaran yang permanen tentang keberadaan Allah. Sementara
pembelajaran agama harus mampu memotivasi peserta didik untuk melakukan
kegiatan ilmiah secara terus-menerus. Inilah yang sesungguhnya yang menjadi inti
pandangan al-Quran tentang sains.

BAB 5

GENERASI SALAF (SALAFUS SHALIH)

31
A. Pengertian salafusshalih

Secara bahasa,salafus shalih berasal dari tiga huruf,yaitu SIM,lam,dan fa.Tiga huruf ini
menunjukkan makna “yang terdahulu atau orang-orang yang telah lampau”.

Para ulama membagi salafus shalih menjadi tiga golongan, yaitu para sahabat nabi,
tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. ketiga golongan ini diyakini sebagai orang-orang terbaik yang
hidup setelah Rasulullah SAW.

‫ ثُ َّم الَّ ِذينَ يَلُونَهُ ْم‬،‫ ثُ َّم الَّ ِذينَ يَلُونَهُ ْم‬،‫اس قَرْ نِي‬
ِ َّ‫» َخ ْي ُر الن‬

“Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada masaku, kemudian manusia yang hidup
pada masa berikutnya, kemudian manusia yang hidup pada masa berikutnya.” (HR.
Bukhari (2652), Muslim (2533))

Seorang Muslim, kita hendaknya mengikuti jejak salafus shalih. Sebab mereka
adalah golongan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka banyak
membantu Rasulullah dengan harta benda dan jiwa raganya dalam menyebarkan Agama
Allah SWT.

b. Dalil Anjuran Mengikuti Salafus Shalihin

Shalih adalah sebaik-baiknya generasi. Perjalanan hidup mereka dipenuhi dengan


teladan yang baik, karena sanad keilmuan mereka begitu dekat dengan Nabi Muhammad
SAW.

Karena itu, setiap Muslim dianjurkan untuk selalu mengikuti mereka dan
menyandarkan perkara agama kepada mereka. Ini dijelaskan dalam beberapa dalil berikut
ini:

1) Surat An-Nisa ayat 115

ْ ‫ا َء‬m‫لِ ِه َجهَنَّ َم َو َس‬m‫ص‬


‫ت‬ ْ m‫بِي ِل ْال ُم‬m‫ َر َس‬m‫ ْع َغ ْي‬mِ‫دَى َويَتَّب‬mُ‫ق ال َّرسُو َل ِم ْن بَ ْع ِد َما تَبَيَّنَ لَهُ ْاله‬
ْ ُ‫ َولَّى َون‬mَ‫ا ت‬m‫ؤ ِمنِينَ نُ َولِّ ِه َم‬m ِ ِ‫َو َم ْن يُ َشاق‬
‫صيرًا‬
ِ ‫َم‬

32
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran bainya dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”

2) Surat At-Taubah ayat 100

‫ َّد لَهُ ْم‬m‫هُ َوأَ َع‬m‫وا َع ْن‬m‫ض‬ ُ ‫ َي هَّللا ُ َع ْنهُ ْم َو َر‬m‫ض‬


ِ ‫ان َر‬ ٍ m‫وهُ ْم بِإِحْ َس‬mm‫ار َوالَّ ِذينَ اتَّبَ ُع‬ َ ‫ا ِج ِرينَ َواأل ْن‬mmَ‫َوالسَّابِقُونَ األ َّولُونَ ِمنَ ْال ُمه‬
ِ m‫ص‬
‫ك ْالفَوْ ُز ْال َع ِظي ُم‬ َ ِ‫ت تَجْ ِري تَحْ تَهَا األ ْنهَا ُر خَ الِ ِدينَ فِيهَا أَبَدًا َذل‬
ٍ ‫َجنَّا‬

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-
orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah
ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi
mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di
dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar."

3) Hadis Rasulullah SAW

، َ‫ َويَ ُخونُونَ َوالَ ي ُْؤتَ َمنُون‬، َ‫ ثُ َّم إِ َّن بَ ْع َد ُك ْم قَوْ ًما يَ ْشهَ ُدونَ َوالَ يُ ْستَ ْشهَ ُدون‬،‫ ثُ َّم الَّ ِذينَ يَلُونَهُ ْم‬،‫ ثُ َّم الَّ ِذينَ يَلُونَهُ ْم‬،‫خَ ْي ُر أُ َّمتِي قَرْ نِي‬
ْ َ‫ َوي‬، َ‫َويَ ْن ُذرُونَ َوالَ يَفُون‬
ُ‫ظهَ ُر فِي ِه ُم ال ِّس َمن‬

“Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada masaku, kemudian manusia yang hidup
pada masa berikutnya, kemudian manusia yang hidup pada masa berikutnya, kemudian
akan datang suatu kaum persaksian salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya,
dan sumpahnya mendahului persaksiannya.” (HR Bukhari (3650), Muslim (2533)

c. arti salaf menurut istilah dan bahasa

1.Salaf

Salaf (bahasa Arab: ‫ السلف الصلح‬Salaf aṣ-Ṣhālih) adalah tiga generasi muslim awal
yaitu para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in.[1] Kemudian istilah salaf ini dijadikan
sebagai satu-satunya sandaran manhaj (metode) dalam memahami 2 (dua) sumber hukum
agama Islam yang benar, yang mengikuti pembawa ajaran sebelumnya hingga sampai ke
Rasulullah secara autentik. Maka Metode ini mengajarkan syariat Islam secara murni
(pemahaman dan amalan murid-murid Rasulullah) tanpa adanya tambahan dan

33
pengurangan manusia manapun setelah tiga generasi yang disebut terbaik oleh Allah dan
Rasul-nya, inilah hakikat Salafiyah. Seseorang yang pemahaman dasar dan metodenya
mengikuti tiga generasi tersebut di atas, ini disebut Salafy (as-Salafy), jamaknya adalah
Salafiyyun (as-Salafiyyun).[2] Di dalam manhaj salaf dikenal pendapat dari beberapa
Mujtahid yang biasa disebut Madzhab, seperti Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi’I,
Imam Ahmad, dan lain-lain. Kemudian dalam manhaj salafus shalih, jika seseorang atau
satu jamaah melakukan atau meyakini suatu ibadah khusus seperti bacaan, jumlah, urutan
(tata cara), tempat dan waktu tanpa adanya petunjuk yang jelas dari Allah dan Rasul-nya,
maka perbuatan dan amalan itu disebut bid’ah dalam hal agama, dan inilah yang tertolak
menurut sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sesuai dengan banyak firman Allah
Subhanahu Wa Ta’ala.

2.Arti salaf menurut bahasa

Salafa Yaslufu Salfan artinya madli (telah berlalu). Dari arti tersebut kita dapati
kalimat Al Qoum As Sallaaf yaitu orang – orang yang terdahulu. Salafur Rajuli artinya
bapak moyangnya. Bentuk jamaknya Aslaaf dan Sullaaf.

Dini pula kalimat As Sulfah artinya makanan yang didahulukan oleh seorang sebelum
ghadza` (makan siang). As salaf juga, yang mendahuluimu dari kalangan bapak
moyangmu serta kerabatmu yang usia dan kedudukannya di atas kamu. Bentuk
tunggalnya adalah Saalif. Firman Allah Ta’ala:

‘’ maka Kami jadikan mereka sebagai (kaum) terdahulu, dan pelajaran bagi orang-
orang yang kemudian. (Az Zukhruf:56) ‘’

Artinya, kami jadikan mereka sebagai orang–orang yang terdahulu agar orang–orang
yang datang belakangan mengambil pelajaran dengan (keadaan) mereka. Sedangkan arti
Ummamus Saalifah adalah umat yang telah berlalu. Berdasarkan hal ini, maka kata salaf
menunjukan kepada sesuatu yang mendahului kamu, sedangkan kamu juga berada di atas
jalan yang sama (jejaknya).

3.Arti salaf menurut istilah

34
Allah telah menyediakan bagi umat ini satu rujukan utama di mana mereka kembali
dan menjadikan pedoman. Firman Allah Ta’ala:

“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu)
bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang
banyak mengingat Allah. (Al-Ahzab: 21)”

Allah juga menerangkan bahwa umat ini memiliki generasi pendahulu, yang lebih
dahulu sampainya hidayah dan bimbingan. Allah berfirman:

“Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara
orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Allah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.
Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung. (At-
Taubah:100)”

4.Tiga generasi utama

1.Generasi awal Rasul

 Muhammad dan para sahabatnya

Muhammad (bahasa Arab: ‫ ;محمد‬lahir di Mekkah, 570 – meninggal di Madinah, 8


Juni 632) adalah seorang nabi dan rasul terakhir bagi umat Muslim. Muhammad memulai
penyebaran ajaran Islam untuk seluruh umat manusia dan mewariskan pemerintahan
tunggal Islam. Muhammad sama-sama menegakkan ajaran tauhid untuk mengesakan
Allah sebagaimana yang dibawa nabi dan rasul sebelumnya.

Lahir pada tahun 570 M di Mekkah, ayahnya bernama Abdullah dan Ibunya bernama
Aminah. Ayah Muhammad meninggal dunia ketika Muhammad berusia 2 bulan dalam
perut ibunya, dan ibunya meninggal dunia ketika Muhammad berusia 6 tahun. Setelah
yatim piatu, Muhammad dibesarkan di bawah asuhan kakeknya Abdul Muthalib sampai
berusia 8 tahun, kemudian Muhammad diasuh oleh pamannya Abu Thalib selama hampir
40 tahun. Perjalanan niaga pertama Muhammad dilakukan menuju Syam bersama
pamannya Abu Thalib, ketika Muhammad berusia 12 tahun. Pada perjalanan ini Abu

35
Thalib diberitahu oleh Rahib Bahira bahwa Muhammad adalah calon nabi yang
dijanjikan.

Beranjak remaja, Muhammad bekerja sebagai pedagang. Muhammad terkadang


mengasingkan diri ke gua sebuah bukit hingga bermalam-malam untuk merenung dan
berdoa. Diriwayatkan dalam usia ke-40, Muhammad didatangi Malaikat Jibril dan
menerima wahyu pertama dari Allah.[11] Tiga tahun setelah wahyu pertama, Muhammad
mulai berdakwah secara terbuka,[12] menyatakan keesaan Allah dalam bentuk
penyerahan diri melalui Islam sebagai agama yang benar dan meninggalkan sesembahan
selain Allah. Muhammad menerima wahyu berangsur-angsur hingga kematiannya.[13]
Praktik atau amalan Muhammad diriwayatkan dalam hadis, dirujuk oleh umat Islam
sebagai sumber hukum Islam bersama Al-Quran.

Muhammad bersama pengikut awal mendapati berbagai bentuk perlawanan dan


penyiksaan dari beberapa suku Mekkah. Seiring penganiayaan yang terus berlanjut,
Muhammad membenarkan beberapa pengikutnya hijrah ke Habsyah, sebelum
Muhammad memulai misi hijrah ke Madinah pada tahun 622. Peristiwa hijrah menandai
awal penanggalan Kalender Hijriah dalam Islam. Di Madinah, Muhammad menyatukan
suku-suku di bawah Piagam Madinah. Setelah delapan tahun bertahan atas serangan
suku-suku Mekkah, Muhammad mengumpulkan 10.000 Muslim untuk mengepung
Mekkah. Serangan tidak mendapat perlawanan berarti dan Muhammad berhasil
mengambil alih kota dengan sedikit pertumpahan darah. Ia menghancurkan berhala-
berhala. Pada tahun 632, beberapa bulan setelah kembali ke Madinah usai menjalani Haji
Wada, Muhammad jatuh sakit dan hingga akhirnya wafat. Muhammad meninggalkan
Semenanjung Arab yang telah bersatu dalam pemerintahan tunggal Islam dan sebagian
besar telah menerima Islam.

 Sahabat Nabi

Sahabat nabi (bahasa Arab: ‫أصحاب النبي‬, translit. Aṣḥāb al-nabī) adalah orang-orang
yang mengenal dan melihat langsung Nabi Muhammad, membantu perjuangannya dan
meninggal dalam keadaan Muslim. Secara terminologi, kata ṣahabat (‫ )صحابة‬merupakan
bentuk jama’/plural dari kata ṣahabi (‫حابي‬mmmm‫ )ص‬yang bermakna membersamai,
mendampingi, dan berinteraksi langsung. Para Sahabat yang utama mempunyai

36
hubungan yang sangat erat dengan Nabi Muhammad, sebab mereka merupakan
penolongnya dan juga merupakan murid dan penerusnya. Bagi dunia Islam saat ini,
sahabat Nabi berperan amat penting, yaitu sebagai jembatan penyampaian hadis dan
sunnah Nabi Muhammad yang mereka riwayatkan.

Kebanyakan ulama secara umum mendefinisikan sahabat Nabi sebagai orang-orang


yang mengenal Nabi Muhammad, mempercayai ajarannya, dan meninggal dalam
keadaan Islam. Dalam bukunya “al-Iṣābah fī Tamyīz al-Ṣaḥābah”, Ibnu Hajar al-Asqalani
(w. 852 H/1449 M) menyampaikan bahwa:

“Sahabat ‫صحابي‬,( ash-shahabi) adalah orang yang pernah berjumpa dengan Nabi
dalam keadaan beriman kepadanya dan meninggal dalam keadaan Islam.”

Terdapat definisi yang lebih ketat yang menganggap bahwa hanya mereka yang
berhubungan erat dengan Nabi Muhammad saja yang layak disebut sebagai sahabat Nabi.
Dalam kitab “Muqadimmah” karya Ibnu ash-Shalah (w. 643 H/1245 M),

Dikatakan kepada Anas, “Engkau adalah sahabat Rasulullah dan yang paling terakhir
yang masih hidup”. Anas menjawab, “Kaum Arab (badui) masih tersisa, adapun dari
sahabat beliau, maka saya adalah orang yang paling akhir yang masih hidup.”

Demikian pula ulama tabi’in Said bin al-Musayyib (w. 94 H/715 M) berpendapat
bahwa: “Sahabat Nabi adalah mereka yang pernah hidup bersama Nabi setidaknya
selama setahun, dan turut serta dalam beberapa peperangan bersamanya.”

Sementara Imam an-Nawawi (w. 676 H /1277 M) juga menyatakan bahwa:


“Beberapa ahli hadis berpendapat kehormatan ini (sebagai Sahabat Nabi) terbatas bagi
mereka yang hidup bersamanya (Nabi Muhammad) dalam waktu yang lama, telah
menyumbang (harta untuk perjuangannya), dan mereka yang berhijrah (ke Madinah) dan
aktif menolongnya; dan bukan mereka yang hanya menjumpainya sewaktu-waktu,
misalnya para utusan Arab badui; serta bukan mereka yang bersama dengannya setelah
Pembebasan Mekkah, ketika Islam telah menjadi kuat.

1.)Generasi kedua (Tabi’in)

 Abdurrahman al-Ghafiqi

37
 Abu Hanifah
 Abu Muslim al-Khaulani
 Abu Suhail an-Nafi’ bin ‘Abdul Rahman
 Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar
 Ar-Rabi’ bin Khutsaim
 Ali Akbar
 Ali bin Abu Talha
 Ali bin Husayn (Zain al-‘Abidin)
 Al bin Qais an-Nakha’i
 Amir bin Syurahbil asy-Sya’bi
 Atha bin Abi Rabah
 Hasan al-Bashri
 Iyas bin Muawiyah al-Muzani
 Masruq bin al-Ajda’
 Muhammad bin al-Hanafiyah
 Muhammad bin Sirin
 Muhammad al-Baqir bin Ali
 Muhammad bin Muslim bin Ubaidullah az-Zuhri
 Muhammad bin al-Munkadir
 Musa bin Nushair
 Umar bin Abdul-Aziz
 Ummu Kultsum binti Abu Bakar
 Urwah bin az-Zubair
 Uwais al-Qarani

2.Generasi ketiga (Tabi’ut Tabi’in)

 Ahmad bin Hanbal (bahasa Arab: ‫أحمد بن حنبل‬, lahir 20 Rabiul awal 164 H (27
November 780) – wafat 12 Rabiul Awal 241 H (4 Agustus 855))[1] adalah
seorang ahli hadits dan teologi Islam. Ia lahir di Marw (saat ini bernama Mary di
Turkmenistan, utara Afganistan dan utara Iran) di kota Baghdad, Irak. Kunyahnya
Abu Abdillah lengkapnya: Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin

38
Asad Al Marwazi Al Baghdadi/ Ahmad bin Muhammad bin Hanbal dikenal juga
sebagai Imam Hambali.
 Ja’far ash-Shadiq (Bahasa Arab: ‫)جعفر الصادق‬, nama lengkapnya adalah Ja’far bin
Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abu Thalib, adalah Imam ke-6 dalam
tradisi Syi’ah. Ia lahir di Madinah pada tanggal 17 Rabiul Awwal 83 Hijriyah / 20
April 702 Masehi (M), dan meninggal pada tanggal 25 Syawal 148 Hijriyah / 13
Desember 765 M. Ja’far yang juga dikenal dengan julukan Abu Abdillah
dimakamkan di Pekuburan Baqi’, Madinah. Ia merupakan ahli ilmu agama dan
ahli hukum Islam (fiqih). Aturan-aturan yang dikeluarkannya menjadi dasar
utama bagi mazhab Ja’fari atau Dua Belas Imam; ia pun dihormati dan menjadi
guru bagi kalangan Sunni karena riwayat yang menyatakan bahwa ia menjadi
guru bagi Abu Hanifah (pendiri Mazhab Hanafi) dan Malik bin Anas (pendiri
Mazhab Maliki). Perbedaan tentang siapa yang menjadi Imam setelahnya
menjadikan mazhab Ismailiyah berbeda pandangan dengan mazhab Dua Belas
Imam.
 Mālik ibn Anas bin Malik bin ‘Āmr al-Asbahi atau Malik bin Anas (lengkapnya:
Malik bin Anas bin Malik bin `Amr, al-Imam, Abu `Abd Allah al-Humyari al-
Asbahi al-Madani), (Bahasa Arab: ‫)مالك بن أنس‬, lahir di (Madinah pada tahun 711
M / 90H), dan meninggal pada tahun 795M / 174H). Ia adalah pakar ilmu fikih
dan hadis, serta pendiri Mazhab Maliki. Juga merupakan guru dari Muhammad
bin Idris pendiri Madzhab Syafi’i.
 Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi’I al-Muththalibi al-Qurasyi (bahasa
Arab: ‫ ّي‬m‫ب ّي القرش‬mmِ‫افع ّي المطَّل‬mm‫د بن إدريس الش‬mm‫د هللا محم‬mm‫و عب‬mm‫ )أب‬atau singkatnya Imam Asy-
Syafi’I (Ashkelon, Gaza, Palestina, 150 H/767 M – Fusthat, Mesir, 204 H/820 M)
adalah seorang mufti besar Sunni Islam dan juga pendiri mazhab Syafi’i. Imam
Syafi’I juga tergolong kerabat dari Rasulullah, ia termasuk dalam Bani
Muththalib, yaitu keturunan dari al-Muththalib, saudara dari Hasyim, yang
merupakan kakek Muhammad.Saat usia 13 tahun, Imam Syafi’I dikirim ibunya
untuk pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama besar saat itu, Imam Malik.
Dua tahun kemudian, ia juga pergi ke Irak, untuk berguru pada murid-murid
Imam Hanafi di sana.Imam Syafi`I mempunyai dua dasar berbeda untuk Mazhab
Syafi’i. Yang pertama namanya Qaulun Qadim dan Qaulun Jadid.

39
DAFTAR PUSTAKA

Al-Audah, Salman bin Fahd., Fadli Ilahi, Amar Ma’ruf Nahi Munkar, diterjemah oleh:
Rakhmat, dkk., Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
1993. Cet. 1

40
Atiqoh, Nurul. Konsep Amar Ma’ruf Nahi Munkar Dalam Tafsir Al-Misbah

Karya Quraish Shihab Dalam Perspektif Dakwah. Fakultas

Dakwah, IAIN Walisongo, Semarang, 2011

Kahmad, Dadang. Sosiologi Agama (potret Agama dalam dinamika konflik,


pluralism, dan modernitas), Bandung: Pustaka Setia, 2011

Rizekiyah, Nayla. 2017. Implementasi Amar Ma’ruf Nahi Munkar Perspektif


Muhammad Abduh dan Bishri Mustofa (tinjauan komparatif dalam
tafsir Al-Manar dan tafsir Al-Ibriz). Fakultas Ushuluddin.
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel. Surabaya.

Al-Asyqar, Umar Sulaiman. 2011. Ensiklopedia Kiamat, Jakarta: Pustaka


AZZAM.

Hakim, Manshur Abdul. 2006. Kiamat. Jakarta: Gema Insani

Imam Qurthubi. 2013. Ensiklopedia Kematian dan Hari Akhir. Jakarta:

Pustaka AZZAM.

LIPI dan Kemenag RI. 2015. Kiamat dalam Perspektif Al-Quran dan Sains.

Jakarta: Widya Cahaya.

Al-Mubayyadh, Muhammad Ahmad. 2014. Ensiklopedia Akhir Zaman.


Surakarta: Granada Mediatama.

Raharja, Deny. 2017. Inilah Penyebab Munculnya Ad-Dukhan Asap Tanda

Kiamat Pertama Ustadz Zulkifli

Sasongko, Wisnu. 2008. ARMAGEDOON: Antara Petaka dan Rahmat.

Jakarta: Gema Insani.

41
Thawilah, Abdul Wahab Abdussalam. 2006. Mengungkap Berita Besar
dalam Kitab Suci, Solo: Tiga Serangkai.

Mustafa Hasan, Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam. Bandung:


Pustaka Setia, 2013

Hasan, Hamzah. Pidana Hukum Islam II. Makasar: Syahadah, 2016 Sumber
Website:
https://smol.id/2020/07/09/ini-fitnah-akhir-zaman-yang-bikin-ulama-nangis/

https://www.popmama.com/big-kid/10-12-years-old/ninda/ciri-yajuj-
danmajuj-tanda-hari-kiamat
https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/almuashirah/article/view/2241

https://kalam.sindonews.com/read/293770/70/munculnya-imam-mahdijelang-
kiamat-ini-tanda-tandanya-1610035306
https://www.steikassi.ac.id/berita/detail/kenabian-muhammad-saw-
telahdiramalkan-dalam-kitab-weda
https://www.suaramuhammadiyah.id/2019/05/20/terjebak-istidraj-
dalamkenikmatan/

https://umroh.com/blog/perhatikan-ayat-tentang-istidraj-jangan-
sampaiterbuai/

https://rumaysho.com/3131-ujian-dan-musibah-tanda-allah-cinta.html

https://menara62.com/inilah-dua-dosa-besar-yang-disegerakan-balasannya/

Attas, Syed Naquib al-. 1991. Islam dan Sekularisme, Bandung: Pustaka
Salman.

Baiquni, Achmad (a). 1995. Al-Qur’an, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi,


Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.

---------------- (b). 1997. Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Kealaman,


Yogyakarta: Dana Bhakti Primayasa.

42
Barbour, Ian G. 2005. Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan
Agama, Bandung: Mizan.
Dzahabi, al-. 1961. al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid II, Kairo: Daar al-Kutub
al-Haditsah.

Ghulsyani, Mahdi. 1993. Filsafat Sains Menurut al-Qur’an, Bandung: Mizan.

Levy, R. 1975. The Social Structure of Islam, Cambridge.


Sardar, Ziauddin. 1987. Masa Depan Islam, Bandung: Pustaka Salman.

Sarton, George. tanpa tahun. Introduction to the History of


Science, Jilid 1.

Shah, A.B. 1987. Metodologi Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Yayasan Obor.

Zain, Shaharir bin Mohamad. 1992. “Islam dan Pembangunan Sains dan
Teknologi” , Makalah, disampaikan dalam Konggres “Menjelang Abad
21: Islam dan Wawasan 2020, di Kuala Lumpur tahun 1992.

Shihab, Quraish. 1996. Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan.

https://id.wikipedia.org/wiki/Sahabat_Nabi

https://id.wikipedia.org/wiki/Tabiin

https://id.wikipedia.org/wiki/Tabi%27ut_tabi%27in

43

Anda mungkin juga menyukai