Anda di halaman 1dari 9

Whistle

STANDAR KOMPETENSI JABATAN DAN UPAH JABATAN


Standar kompetensi jabatan (SKJ) merupakan
Blowin
g
persyaratan kompetensi minimal yang harus dimiliki
seorang karyawan dalam pelaksanaan tugas jabatan.
Kompetensi jabatan terdiri dari kompetensi dasar dan
kompetensi bidang. Kompetensi dasar adalah
kompetensi yang wajib dimiliki oleh setiap karyawan.
Kompetensi bidang adalah kompetensi yang diperlukan
oleh setiap pemegang jabatan sesuai dengan bidang
pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya. Standar
Kompetensi Jabatan berdasarkan pengertiannya dapat
dijabarkan sebagai berikut;
Pertama: pengertian “Standar” menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, adalah: ukuran
tertentu yg dipakai sebagai patokan, sesuatu
yang dianggap tetap nilainya sehingga dapat dipakai sebagai ukuran nilai dan sifatnya baku, menurut
Oxford Dictionary “a level of quality or attainment”.
Kedua: pengertian “Kompetensi” menurut Oxford Dictionary, adalah; the ability to do something successfully
or  efficiently, atau dengan kata lain dapat disebutkan bahwa komptensi adalah seperangkat tindakan cerdas,
penuh tanggungjawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam
melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu. menurut Association K.U. Leuven, yaitu; sebuah
kombinasi antara ketrampilan (skill), atribut personal, dan pengetahuan (knowledge) yang tercermin melalui
perilaku kinerja (job behavior) yang dapat diamati, diukur dan dievaluasi. Dan merupakan spesifikasi dari
pengetahuan dan keterampilan serta penerapan dari pengetahuan dan keterampilan tersebut dalam suatu
pekerjaan atau suatu perusahaan atau lintas industri, sesuai dengan standar kinerja yang disyaratkan.
Ketiga pengertian “Jabatan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah; pekerjaan (tugas) dalam pemerintahan
atau organisasi. Menurut Oxford English Dictionary, adalah; “a job or profession”.
Sehingga jika digabungkan, standar kompetensi jabatan adalah suatu yang bernilai tetap dan baku yang digunakan untuk
mengukur pekerja dalam bidang pekerjaan keahlian tertentu apakah mampu, berpengetahuan cukup, terampil dan
memiliki sikap yang memungkinkan untuk melaksanakan keahliannya dengan efektif.
Dengan dikuasainya Kompetensi oleh seseorang, maka orang tersebut mampu:
 Mengerjakan suatu tugas/pekerjaan (task skill)
 Mengorganisasikannya agar pekerjaan tersebut dapat dilaksanakan (task management skill)
 Menyelesaikan masalah yang ada dan apa yang harus
dilakukan, bilamana terjadi sesuatu keadaan yang berbeda
dengan rencana semula (contingency management skill)
 Menghadapi tanggung jawab dan harapan dari lingkungan
kerja termasuk bekerjasama dengan orang lain (job
environment skill)
 Menggunakan kemampuan yang dimilikinya untuk
memecahkan masalah atau melaksanakan tugas dengan
kondisi yang berbeda (transfer skill / adaption skill).
Metode penentuan tingkat upah dalam setiap jabatan adalah
dengan menggunakan teknik Analisis Jabatan (Job Analysis).
Analisis Jabatan adalah proses sistematis dalam menentukan
nilai relatif suatu jabatan terhadap jabatan lain dalam suatu perusahaan
Ada beberapa informasi yang akan diperoleh dari analisis jabatan. Pertama, tugas-tugas pokok yang ada dalam jabatan,
termasuk didalamnya perilaku dan aktivitas yang melekat pada jabatan tersebut. Kedua, informasi tentang knowledge,
abilities, skills, dan karakteristik lainnya yang diperlukan untuk melaksanakan tugas-tugas didalam jabatan tersebut.
Knowledge berarti seperangkat informasi yang ada di dalam prosedur yang harus diterapkan. Abilities berarti
kompetensi untuk menghasilkan suatu outcome dan atau output yang bisa diamati. Misalnya kemampuan seorang
pemanen yang baik adalah mengumpulkan hasil panen yang sesuai dengan SOP dan tidak ada berondolan yang
tertinggal di piringan dan gawangan. Skill berarti kompetensi untuk melakukan tindakan yang bisa dipelajari, baik yang
sifatnya motorik, verbal, manual, atau melakukan pengolahan mental yang menyangkut data, orang atau barang.
Karaktristik lainnya meliputi faktor kepribadian, sikap, atau watak yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan.
Laporan analisis jabatan untuk seorang Manajer HRD mungkin berupa pengetahuan MSDM, hukum, komunikasi lisan
yang baik, serta kemampuan dan keterandalan untuk melaksanakan tugasnya dengan baik. Analisis jabatan merupakan
pondasi dasar dari sebuah sistem sumber daya manusia. Restrukturisasi, inisiatif perbaikan kualitas, perencanaan
sumber daya manusia, desain jabatan, pelatihan, pengembangan karir, dan sistem penilaian prestasi kerja, semuanya
berlandaskan pada hasil analisis jabatan. Analisis Jabatan atau Job Analysis adalah sebuah alat yang biasa digunakan
dalam manajemen sumber daya manusia. Alat ini diciptakan untuk mendapatkan gambaran menyeluruh dan lengkap
mengenai suatu jabatan atau posisi. Gambaran lengkap dan menyeluruh yang dimaksud adalah uraian mengenai
tanggungjawab dan tugas-tugas suatu jabatan (job description) dan uraian mengenai kualifikasi atau persyaratan yang
dibutuhkan (job spesification) supaya tanggungjawab dan tugas tersebut dapat dijalankan dan memberikan unjuk kerja
(performance) yang dapat diterima (average) dan luar biasa (outstanding). Sehingga dengan demikian, dapat ditentukan
Standar Kompetensi Jabatan untuk masing-masing jabatan di dalam struktur organisasi secara keseluruhan. Fungsi

MSDM lain yang akan mempergunakan dokumen hasil analisis jabatan (job description and job spesification) adalah
perencanaan tenaga kerja (manpower planning), perekrutan dan penempatan (recruitment and placement),
pengembangan organisasi (organisation development), pelatihan dan pengembangan (training and development),
penggajian dan imbal jasa (compensation and benefit), hubungan industrial (industrial relation), dan juga sistem
informasi SDM (human resources information sistem).
Analisis Jabatan untuk tujuan penetapan (nominal) tingkat upah dilakukan dengan menentukan nilai jabatan melalui
evaluasi yang meliputi faktor-faktor; edukasi, keahlian, kesulitan tugas, besar tanggung jawab, pengambilan keputusan,
dan lain-lain. Dan Berdasarkan tabel (nilai faktor jabatan) tersebut dapat disusun strukktur upah jabatan kunci. Artinya
adalah, bahwa struktur upah yang ditetapkan berdasarkan analysis jabatan tersebut, bukan hanya sekedar menentukan
nilai penerimaan yang akan diperoleh calon pemegang jabatan tersebut, melainkan ditetapkan berdasarkan perhitungan
kontribusi dari peran personil pemegang jabatan tersebut.
Suatu jabatan berbeda dari jabatan lain dalam aspek mental dan aspek fisik yang terkandung di dalamnya. Sedangkan
suatu jabatan sering mengandung aspek fisik dan mental yang banyak. Di lain pihak kemampuan yang ada  pada
seseorang berbeda dari kemampuan orang lain. Disamping  itu kemampuan setiap orang juga terbatas. Keadaan
tersebut mengakibatkan tidak ada orang yang mampu mengerjakan semua macam pekerjaan. Karena perbedaan aspek
fisik serta mental pada setiap jabatan dan keterbatasan kemampuan orang, maka perlu ditentukan syarat jabatan, yaitu
syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk dapat melakukan pekerjaan tersebut dengan wajar. Syarat untuk
dapat melakukan upaya mental dan fisik dengan melakukan tindak kerja untuk mengolah bahan kerja, menggunakan
alat kerja menjadi hasil kerja dalam kondisi tertentu tersebut, dirumuskan sebagai syarat jabatan, yang berupa
kualifikasi tertentu yang harus dipenuhi oleh pemegang jabatan agar bisa melakukan tindak kerja tersebut dengan
wajar. Persyaratan jabatan (Standar Kompetensi Jabatan) digunakan sebagai dasar untuk pencarian calon pekerja,
penempatan, pemindahan dan kenaikan pangkat. Akibatnya persyaratan jabatan tersebut akan menghasilkan suatu
syarat-syarat khusus yang diperlukan bagi pemegang-pemegang jabatan terutama sekali ditujukan untuk
mempermudah melakukan penyaringan (seleksi) pekerja. Adapun tujuan yang akan dicapai dari proses penilaian jabatan
adalah untuk:
 Mendapatkan hubungan-hubungan intern berkenaan dengan konsep-konsep upah yang saling berhubungan.
Maksudnya: bahwa jabatan yang nilainya tinggi harus dibayar lebih tinggi dari jabatan-jabatan yang nilainya
rendah. contoh: Gaji Supervisor harus lebih tinggi dari upah bawahannya.
 Mendapatkan hubungan-hubungan ekstern yang menunjukkan keadaan relatif dari pada struktur upah suatu
organisasi yang diinginkan terhadap struktur upah dari perusahaan lain. Maksudnya; bahwa organisasi yang
bersangkutan dapat memilih upah yang kurang/melebihi dari standar upah perusahaan lain.
 Menentukan skala/tingkatan atau perbandingan-perbandingan upah secara sistematik dan teratur. Hal ini penting
dalam menetapkan sistem upah dan gaji yang benar di dalam organisasi perusahaan, dimana hasil yang akan
dicapai merupakan ukuran rasa puas dari majikan dan bawahannya tentang besarnya upah yang dibayarkan.
Penetapan Persyaratan jabatan (Standar Kompetensi Jabatan), dimaksudkan untuk menetapkan ukuran minimal,
mencakup kemampuan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dicapai, diketahui, dilakukan, dan mahir

dilakukan oleh para pemegang jabatan.


Dari apa yang tergambar dalam tabel diatas, diperoleh kesimpulan bahwa:
1. Buruh hanya dituntut untuk loyal dan fokus pada perintah dan petunjuk mandor.
2. Foreman harus fokus pada pengaturan dan pendistribusian pekerjaan secara merata berdasarkan bobot pekerjaan
dengan mempertimbangkan langkah-langkah pengendalian terhadap jenis pekerjaan yang dapat menimbulkan
potensi kerugian (kecelakaan/kerusakan).
3. Supervisor harus fokus pada penjejakan setiap kelemahan yang dapat mempengaruhi produktifitas, serta dituntut
untuk mampu melakukan perbaikan dengan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan tentang teknis kerja,
manajerial, dan pengelolaan SDM yang lebih efektif.
4. Superintendent harus mampu merumuskan dan menjalankan strategi yang dapat merangsang peningkatan kinerja
dengan usaha yang lebih keras. Sesekali Superintendent perlu turun ke lapangan guna menggali potensi-potensi
yang dapat dikembangkan untuk peningkatan kinerja.
5. Top Manajemen harus mampu berpikir secara konseptual dan analitikal guna merncanakan strategi pengelolaan
usaha yang terus meningkat dari waktu ke waktu.
Dengan demikian, dalam melaksanakan tugasnya masing-masing pemegang jabatan memiliki peran yang berbeda sesuai
dengan tuntutan tugas pada masing jabatan tersebut, dan untuk itu mereka memperoleh hasil/pendapatan yang
berbeda pula sesuai dengan bobot jabatan yang diemban. Faktor yang paling dominan dan sangat besar mempengaruhi
tinggi rendahnya atau besar-kecilnya upah adalah kompetensi dan bobot produktivitas pada tiap jabatan tersebut.
Artinya, semakin tinggi jabatan yang dibarengi dengan semakin tinggi bobot produktivitasnya, maka semakin tinggi pula
kompetensi yang dibutuhkan dari orang yang akan menduduki jabatan tersebut, sehingga secara otomatis akan
mempengaruhi besarnya gaji atau upah yang akan diterimanya(vide Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden RI No. 8 Tahun
2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia jo Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor Per-05 Tahun 2012 tentang Standarisasi Kompetensi Kerja Nasional). Oleh karena itu, sangat tidak
layak bila seseorang yang hanya memiliki kompetensi pada level 3, kemudian mendapat kesempatan untuk menduduki
jabatan pada level 2 dan atau bahkan level 1, atau memiliki kompetensi pada level 5 atau 4 kemudian mendapatkan
kesempatan untuk menduduki jabatan pada level 3 atau level 2. Sehingga dengan kesempatan tersebut yang
bersangkutan mendapatkan kenikmatan berupa penyesuaian upah berdasarkan jabatan yang didudukinya.

KEPMEN BUMN TENTANG GCG


Keputusan Menteri BUMN No. Per-01/MBU/2011 tentang Penerapan GCG pada BUMN, Pasal 4, menyebutkan bahwa;
Penerapan good corporate governance pada BUMN, bertujuan untuk :
1. Mengoptimalkan nilai BUMN agar perusahaan memiliki daya saing yang kuat, baik secara nasional maupun
internasional, sehingga mampu mempertahankan keberadaannya dan hidup berkelanjutan untuk mencapai maksud
dan tujuan BUMN;
2. Mendorong pengelolaan BUMN secara profesional, efisien, dan efektif, serta memberdayakan fungsi dan
meningkatkan kemandirian Organ Persero/Organ Perum;
3. Mendorong agar Organ Persero/Organ Perum dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan dilandasi nilai
moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, serta kesadaran akan adanya tanggung
jawab sosial BUMN terhadap Pemangku Kepentingan maupun kelestarian lingkungan di sekitar BUMN;
4. Meningkatkan …….dst. 5. ……. dst.
Berdasarkan Peraturan Menteri BUMN tersebut, sangat jelas bagi kita bahwa; Salah satu upaya untuk meningkatkan
kinerja suatu perusahaan/organisasi adalah dengan cara menerapkan Good Corporate Governance (GCG). Penerapan
Good Corporate Governance (GCG) merupakan pedoman bagi Komisaris dan Direksi dalam membuat keputusan dan
menjalankan tindakan dengan dilandasi moral yang tinggi, kepatuhan kepada peraturan perundang-undangan yang
berlaku serta kesadaran akan adanya tanggung jawab sosial perseroan terhadap pihak yang berkepentingan
(stakeholders) secara konsisten.
Selanjutnya, bila dilihat dari Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia yang dikeluarkan oleh Komite
Nasional Kebijakan Governance pada Bab VI tentang Pemangku Kepentingan – Pedoman Pokok Pelaksanaan halaman
23, Nomor 1 - Karyawan, bahwa;
1.1. Perusahaan harus menggunakan kemampuan bekerja dan kriteria yang terkait dengan sifat pekerjaan secara taat
asas dalam mengambil keputusan mengenai penerimaan karyawan.
1.2. Penetapan besarnya gaji, keikutsertaan dalam pelatihan, penetapan jenjang karir dan penentuan persyaratan
kerja lainnya harus dilakukan secara obyektif, tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, gender, dan kondisi
fisik seseorang, atau keadaan khusus lainnya yang dilindungi oleh peraturan perundang-undangan.
1.3. Perusahaan harus memiliki peraturan tertulis yang mengatur dengan jelas pola rekrutmen serta hak dan
kewajiban karyawan.
1.4. Perusahaan harus menjamin terciptanya lingkungan kerja yang kondusif, termasuk kesehatan dan keselamatan
kerja agar setiap karyawan dapat bekerja secara kreatif dan produktif.
1.5. Perusahaan harus memastikan tersedianya informasi yang perlu diketahui oleh karyawan melalui sistem
komunikasi yang berjalan baik dan tepat waktu.
1.6. Perusahaan harus memastikan agar karyawan tidak menggunakan nama, fasilitas, atau hubungan baik perusahaan
dengan pihak eksternal untuk kepentingan pribadi. Untuk itu perusahaan harus mempunyai sistem yang dapat
menjaga agar setiap karyawan menjunjung tinggi standar etika dan nilai-nilai perusahaan serta mematuhi
kebijakan, peraturan dan prosedur internal yang berlaku.
1.7. Karyawan serta serikat pekerja yang ada di perusahaan berhak untuk menyampaikan pendapat dan usul mengenai
lingkungan kerja dan kesejahteraan karyawan.
1.8. Karyawan berhak melaporkan pelanggaran atas etika bisnis dan pedoman perilaku, serta peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan perusahaan.
Dimana, nilai-nilai yang harus diperhatikan dalam mencapai dan memelihara condition of enterprise excellence sesuai
dengan maksud yang terkandung, baik di dalam Peraturan Menteri BUMN No. Per-01/MBU/2011, maupun Pedoman
Umum Good Corporate Governance Indonesia yang dikeluarkan oleh KNKG diatas, adalah; bahwa seluruh organ persero
dan karyawan harus mampu bekerjasama dalam mencapai tujuan, mampu melakukan tugas sesuai dengan tanggung
jawab dan kewenangan, mampu mengantisipasi dan merespon secara tepat masalah-masalah yang timbul dalam
pekerjaan, mampu mengupayakan tercapainya sasaran dengan hasil terbaik, mampu menyikapi isyu dan berpikir secara
sistematis untuk melihat hubungan sebab akibat, mampu mengambil keputusan dan bertindak sesuai dengan norma
yang berlaku dan dapat dipertanggungjawabkan.

UU TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI


Korupsi merupakan permasalahan universal yang dihadapi oleh seluruh negara dan masalah yang pelik yang sulit untuk
diberantas, hal ini tidak lain karena masalah korupsi bukan hanya berkaitan dengan permasalahan ekonomi semata
melainkan juga terkait dengan permasalahan politik, kekuasaan,
penegakan hukum, dan hal-hal atau bentuk-bentuk lain yang belum
terlihat atau belum disadari sehingga terus menjadi ancaman laten.
Dilihat dari sudut pandang sejarah, korupsi telah dilakukan sejak dulu
hingga kini. Korupsi dilakukan oleh seluruh tingkat usia (kecuali anak-
anak). Bila dilihat dari sudut manajemen maka korupsi terjadi mulai
dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga tahap pengawasan
kegiatan.
Definisi korupsi dapat ditafsirkan melalui ketentuan yang termuat
dalam Pasal 2 Undang-undang No.31 tahun 1999, yang menyatakan
bahwa, ayat (1) setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Berdasarkan ketentuan tersebut maka suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai korupsi apabila memenuhi keseluruhan
elemen-elemen sebagai berikut:
a. Perbuatan yang dilakukan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang dilakukan secara melawan
hukum;
b. Perbuatan tersebut menimbulkan kerugian terhadap keuangan negara atau perekonomian negara;
c. Maka terhadap perbuatan tersebut dikenakan pidana.
d. Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad) dalam konteks perdata diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek (“BW”),
Sedangkan, dalam konteks hukum pidana, menurut pendapat dari Satochid Kartanegara, “melawan hukum”
(Wederrechtelijk) dalam hukum pidana dibedakan menjadi:
1. Wederrechtelijk formil, yaitu apabila sesuatu perbuatan dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-
undang.
2. Wederrechtelijk Materiil, yaitu sesuatu perbuatan “mungkin” wederrechtelijk, walaupun tidak dengan tegas dilarang
dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Melainkan juga asas-asas umum yang terdapat di dalam
lapangan hukum (algemen beginsel).
Lebih lanjut, Schaffmeister, sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah dalam bukunya Pengantar Dalam Hukum Pidana
Indonesia, hal. 168, berpendapat bahwa “melawan hukum” yang tercantum di dalam rumusan delik yang menjadi
bagian inti delik sebagai “melawan hukum secara khusus” (contoh Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana/KUHP), sedangkan “melawan hukum” sebagai unsur yang tidak disebut dalam rumusan delik tetapi menjadi
dasar untuk menjatuhkan pidana sebagai “melawan hukum secara umum” (contoh Pasal 351 KUHP).
Pendapat dari Schaffmeister ini benar-benar diterapkan dalam hukum positif di Indonesia, contohnya dalam Pasal 2 dan
Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (“UU Tipikor”). Dalam Pasal 2 UU Tipikor terdapat unsur melawan hukum, sedangkan dalam Pasal 3 UU
Tipikor tidak dicantumkan unsur “melawan hukum”. Lebih jelas lagi dalam penjelasan Pasal 2 UU Tipikor disebutkan:
“Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti
formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perudang-
undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-
norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”.

PERAN PEMEGANG JABATAN


Bertitik tolak dari apa yang telah diuraikan diatas, penulis tertarik membahas masalah komptensi pemegang jabatan
dikaitkan dengan UU Korupsi dan Peraturan mengenai Good Corporate Governance.
“Jabatan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah; pekerjaan (tugas) dalam pemerintahan atau organisasi.
Menurut Oxford English Dictionary, adalah; “a job or profession”. Pada stiap jabatan telah ditentukan Ethical Comptency
yang merupakan standar minimal yang harus dipenuhi oleh calon pemegang atau pemegang jabatan tersbut. Menurut
Kamus Inggris Indonesia oleh Echols and Shadily (1992: 2.19), Moral = moral, akhlak, susila (su = baik, sila = dasar, susila
= dasar-dasar kebaikan); Moralitas = kesusilaan; Sedangkan Etik (Ethics) = etika, tata susila. Sedangkan secara etika
(ethical) diartikan pantas, layak, beradab, susila. Maka, Ethical Competency adalah syarat kompetnsi yang layak dan
sesuai dengan tuntutan jabatan yang ditetapkan.
Sim (2003) dalam bukunya Ethics and Corporate Sxia1 Responsibility – Why Giants Fall, menyebutkan: Ethics is a
philosophical term derived from the Greek word "ethos," meaning character or custom. This definition is germane to
effective leadership in organizations in that it connotes an organization code conveying moral integrity and consistent
values in service to the public. (Etika adalah suatu istilah filosofis yang berasal dari Kata Yunani " Etos," yang berarti
karakter atau kebiasaan. Definisi tersebut berhubungan erat dengan kepemimpinan yang efektif di dalam suatu
organisasi. Hal itu dapat diartikan juga sebagai suatu kondisi organisasi yang menyampaikan integritas moral dan nilai-
nilai konsisten dalam jabatan. Jadi, ada beberapa kata kunci di sini, yaitu:
a. Etika adalah suatu disiplin ilmu yang membedakan apa yang baik dan buruk berkaitan dengan hutang budi dan
kewajiban, dapat juga diartikan sebagai satuan prinsip moral atau nilai-nilai.
b. Perilaku etis, yaitu suatu yang diterima sebagai moral baik dan kebenaran, dan lawan dari keburukan atau kesalahan
dalam suatu perilaku tertentu.
c. Kesusilaan adalah suatu sistem atau doktrin dari moral yang mengacu pada prinsip kebenaran dan kesalahan dalam
suatu perilaku.
Didalam bisnis tidak jarang berlaku konsep tujuan menghalalkan segala cara. Bahkan tindakan yang berbau kriminal pun
ditempuh demi pencapaian suatu tujuan. Terjadinya perbuatan tercela dalam dunia bisnis, makin hari semakin
meningkat. Tindakan mark up, ingkar janji, tidak mengindahkan kepentingan masyarakat, tidak memperhatikan sumber
daya alam maupun tindakan kolusi dan suap merupakan segelintir contoh pengabaian para pelaku usaha terhadap etika
bisnis. Pasalnya, kondisi hukum yang melingkupi dunia usaha terlalu jauh tertinggal dari pertumbuhan serta
perkembangan bisnis.
Salah satu contoh yang belum pernah mendapatkan perhatian baik bagi pemerintah maupun masyarakat adalah
tanggung jawab (kompetensi kerja) sebagai nilai tukar atas upah yang diterima pekerja. Artinya, pantas kah dan brhak
kah seseorang yang memiliki kompetensi setingkat buruh/pelaksana dipromosikan menjadi supervisor dan menerima
penghasilan sesuai standar penghasilan pada jabatan tersebut? Walaupun dalam melaksanakan aktifitas kerjanya, si
buruh tersebut tidak pernah mampu menjalankan fungsi dan perannya sebagaimana yang dituntut dari jabatan
tersebut? Apalagi berdasarkan penilaian performance yang dari waktu ke waktu menunjukkan angka penurunan, lantas
berhak kah yang bersangkutan menerima upah pada jabatan tersebut berdasarkan kontribusi yang dapat
disumbangkannya? Benar kah tindakan manajemen perusahaan mempromosikan orang yang tidak kompeten tersebut,
bila perangkat personil manajemen sesungguhnya juga adalah sosok yang menerima amanah kepercayaan dari share
holder? Selama ini perhatian banyak orang hanya terfokus pada pemeberian upah dibawah standar. Sehingga, bila ada
perusahaan (BUMN, BUMD, Swasta) yang menetapkan upah tinggi patut diberi acungan jempol. Namun
permasalahannya bukanlah pada penetapan upah yang tinggi, melainkan pada penempatan personil yang berdasarkan
bobot dan kualifikasi jabatan, pekerja tersebut tidak layak karena tidak mampu memenuhi standar
kualifikasi/kompetensi pada jabatan tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, mari kita kaji dari beberapa pertimbangan sebagai berikut;
1) Seorang pekerja yang memiliki profesionalisme yang tinggi akan tercermin dalam sikap mental serta komitmen
kerjanya dan peningkatan kualitas profesional melalui berbagai cara dan strategi. Ia akan selalu mengembangkan
dirinya untuk beradaptasi dengan tuntutan perkembangan organisasi, sehingga keberadaannya senantiasa
memberikan makna profesional. Profesionalisme pekerja juga akan muncul dalam perilaku kerja sehari-hari. Ia dapat
diamati oleh atasan atau pimpinan, dan tentunya dapat berdampak langsung pada kinerja unit kerjanya.
2) Kemunculan sikap professional pekerja dapat terlihat dari sejumlah ciri-ciri kemampuan berpikir, perilaku kerja dan
nilai dan norma yang diacu dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari. Lebih jauh  Fadilah (2012) mengidentifikasi ciri-
ciri seberapa profesionalkah seorang pekerja, yaitu :
 Punya ketrampilan yang tinggi dalam suatu bidang serta kemahiran dalam menggunakan peralatan
tertentu yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas yang bersangkutan.
 Punya ilmu dan pengalaman serta kecerdasan dalam menganalisis suatu masalah dan peka di dalam
membaca situasi cepat dan tepat serta cermat dalam mengambil keputusan terbaik atas dasar kepekaan
 Punya sikap berorientasi ke depan sehingga punya kemampuan mengantisipasi perkembangan
lingkungan kerja yang akan dihadapinya.
 Punya sikap mandiri berdasarkan keyakinan akan kemampuan pribadi serta terbuka menyimak dan
menghargai pendapat orang lain, namun cermat dalam memilih yang terbaik bagi diri dan perkembangan
pribadinya.
3) Bila dicermati, maka ciri profesionalisme merupakan wujud dari kompetensi yang dimiliki seorang pekerja. Sehingga
seorang pekerja dikatakan profesional, bila ia memiliki sejumlah kompetensi yang menjadikan dirinya mampu
menunjukkan tingkah laku, keahlian atau kualitas seorang yang profesional. Peraturan Pemerintah No.13 Tahun
2002, pada pasal 5 huruf (e) telah menegaskan bahwa persyaratan untuk dapat diangkat dalam jabatan struktural
adalah memiliki kompetensi jabatan yang diperlukan.
4) Pekerja profesional, menurut Pakar manajemen, Tanri Abeng, seorang dipandang profesional adalah mereka yang
mampu menguasai ilmu pengetahuannya secara mendalam, mampu melakukan kreativitas dan inovasi atas bidang
yang digelutinya serta harus selalu berfikir positif dengan menjunjung tinggi etika dan integritas profesi. Sedangkan
Longman (1987) mengemukakan profesionalisme adalah tingkah laku, keahlian atau kualitas dari seseorang yang
profesional.  Profesionalisme sendiri berasal dan kata profesional yang mempunyai makna yaitu berhubungan
dengan profesi dan memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya, (KBBI, 1994). Dengan demikian, bila kita
pahami “profesionalisme” sesungguhnya mengacu kepada sikap mental dalam bentuk komitmen dari para anggota
suatu profesi untuk senantiasa mewujudkan dan meningkatkan kualitas profesionalnya.
5) Penilaian Kompetensi, yang menurut Peraturan Kepala Badan Kepekerjaan Negara No 13 Tahun 2011, diartikan
sebagai proses membandingkan antara kompetensi jabatan yang dipersyaratkan dengan kompetensi yang dmiliki
oleh pemegang jabatan atau calon pemegang jabatan. Kompetensi yang dimaksud adalah karakteristik yang
mendasari individu dengan merujuk pada kriteria efektif dan atau kinerja unggul dalam jabatan tertentu. Metode
yang sering digunakan untuk menilai kompetensi dari seorang pekerja adalah Assessment Center (AC).
6) Pasal 12 Undang-Undang Ketenagakerjaan mengatur bahwa perusahaan memiliki tanggung jawab untuk
mengembangkan kompetensi karyawan melalui pelatihan kerja dan memberikan ksempatan yang sama kepada
semua karyawan untuk mengikuti pelatihan. Pelaksanaan pelatihan kerja disesuaikan dengan kebutuhan dan
kesempatan yang ada agar tidak mengganggu kelancaran kegiatan perusahaan. Berdasarkan pasal ini bisa dilihat
pengusaha tidak hanya menuntut karyawan produktif serta berdaya guna, tetapi juga memiliki tanggung jawab
untuk terus memelihara dan mengmbangkan kemampuan karyawannya.
7) Menurut Wordnet Princeton Education, korupsi adalah; lack of integrity or honesty, use of a position of trust for
dishonest gain. (kurangnya integritas atau kejujuran, penggunaan posisi yang dipercayakan untuk keuntungan yang
tidak jujur).
Mushtaq Khan(1996:12) mendefinisikan korupsi, sbb; corruption is “behaviour that deviates from the formal rules of
conduct governing the actions of someone in a position of public authority because of private-regarding motives such
as wealth, power, or status”. (korupsi adalah "perilaku yang menyimpang dari aturan-aturan formal yang mengatur
perilaku tindakan seseorang dalam posisi otoritas publik karena motif pribadi seperti kekayaan, kekuasaan, atau
status).

Dengan demikian, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa;


1. Mempromosikan karyawan pada suatu jabatan kunci harus dilakukan lewat serangkaian assessment yang mampu
menunjukkan hasil ukur yang dapat dipertanggung jawabkan, sehingga dapat secara terpercaya menempatkan
orang yang tepat pada posisi yang tepat, dan pada waktu yang tepat pula;
2. Untuk dapat menempatkan orang yang tepat pada posisi yang tepat dan pada waktu yang tepat, maka
perusahaan harus menyelenggarakan suatu Career Succession Planning;
3. Penempatan karyawan pada suatu posisi/jabatan tertentu, yang proses pelaksanaannya tanpa mengindahkan
angka (1) dan (2) diatas dapat dikategorikan sebagai pelanggaran atas prinsip-prinsip GCG dan UU Tindak Pidana
Korupsi;
4. Penempatan karyawan sebagaimana dimaksud angka (3) diatas dapat dikatgorikan sebagai pelanggaran atas UU
Tindak Pidana Korupsi, adalah sebagai berikut:
a. Karena dengan sengaja melangkahi prinsip; Transparansi, Akuntabilitas, Resposibilitas, Independensi,
Fairness.
b. Dengan dilangkahinya prinsip-prinsip tersebut hurup (a) diatas, maka dapat dipastikan bahwa proses promosi
tersebut telah dicemari oleh tindakan kolusi dan nepotisme, yang didalam Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”)
disebutkan “termasuk dalam perbuatan korupsi”.
5. Karyawan yang dipromosikan pada suatu jabatan tertentu, yang kompetensinya tidak memenuhi standar
kompetensi jabatan secara mencukupi, dan kemudian dengan itu dia menerima upah sebesar nilai jabatan yang
diterimanya, yang dimana dia ternyata tidak berhasil memberikan kontribusi sesuai tujuan pembentukan jabatan
tersebut, maka selisih antara kontribusi yang diberikan dan upah yang diterimanya adalah sebuah pemberian dari
uang perusahaan/Negara oleh seseorang yang dapat dituntut pertanggung jawabannya, dan diterima oleh
karyawan tersebut sebagai sebuah kenikmatan yang bukan haknya. Sehingga antara yang memberi dan yang
menerima dapat dijerat dengan sanksi hukum sesuai Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No.
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
6. Bila diperhitungkan jumlah selisih yang diterima setiap bulannya oleh karyawan yang mendapatkan kenikmatan
dimaksud angka (5) diatas, maka dalam sepanjang tahun perusahaan/Negara telah dirugikan dalam jumlah yang
dapat dihitung sangat besar nilainya. Apalagi bila dikalikan dengan (kemingkinan) sejumlah karyawan lainnya
dengan tipe kompetensi yang sama dengan karyawan tersebut angka (5) dimaksud, maka kerugian
perusahaan/Negara akan semakin berlipat ganda.

Oleh karena itu, perlu disampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Komite Pemberantasan Korupsi
(KPK) sebagai sebuah saran dan atau bahan masukan dan pertimbangan untuk ditindak-lanjuti. (Ditulis oleh:
Muhammad Usman Nasution, SH., MH.)

Anda mungkin juga menyukai