Anda di halaman 1dari 16

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/320990383

Penataan Ruang Perkotaan di Kabupaten Manggarai berhadapan dengan fakta


kultural lokal

Article · November 2017

CITATIONS READS

0 4,035

1 author:

Fxbudi Pangarso
Universitas Katolik Parahyangan
14 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

fx.budiwidodo pangarso View project

research of townscape View project

All content following this page was uploaded by Fxbudi Pangarso on 25 January 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Penataan Ruang Perkotaan di Kabupaten Manggarai
berhadapan dengan fakta kultural lokal
(Kota Reo-Kecamatan Reok & Kota Cancar Kecamatan Ruteng)
Disusun oleh Ir. FX. Budiwidodo Pangarso, MSP., IAP.
Lektor Kepala (Associate Professor) pada Arsitektur Kota
Fakultas Teknik Universitas Katolik Parahyangan – Bandung
Ahli Utama Perencana Kota – Ikatan Ahli Perencana (IAP)
(Sertifikat Keahlian no. 1.5.502.1.034.09.1024197 (2014-2017)
PT. Arga Pasca Rencana / PT.Patriajasa Nusa Prakarsa
I. PENGANTAR.
Tanah Manggarai sebagai tana mbaté disé amé (tanah warisan leluhur) tetap
mempunyai satu spirit budaya, yaitu lonto léok bantang cama réjé léléng (musyawarah
mufakat) untuk menata kemajuan1.
Manggarai juga mendapat
pengaruh budaya oleh pendatang dari
berbagai macam latar belakang, seperti
Cina, Jawa, Bugis, Padang, Bali,
Makasar, Belanda, Portugis, termasuk
penduduk Pulau Flores dan penduduk
NTT dari daerah lain. Hal ini telah
memperkaya dan membentuk
keanekaragaman budaya di Manggarai.
Namun fakta saat ini terlepas dari
masalah asal-usul nama Manggarai,
kenyataan sejarah sekarang ini telah
mengukir nilai historis yang baru di dalam
nama Manggarai, yaitu nilai kemajuan
atau perkembangan Manggarai menjadi
tiga kabupaten yang terus mekar:
1) Kabupaten Manggarai, ibu
kotanya Ruteng;
2) Kabupaten Manggarai Barat, ibu
kotanya Labuan Bajo; yang
diresmikan pada tanggal 27
Januari 2003 berdasarkan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2003.
3) Kabupaten Manggarai Timur, ibu
kotanya Borong. Yang diresmikan
pada tanggal 17 Juli 2007
berdasarkan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2007.
Tujuan Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Perkotaan di Kecamatan Reok
dan Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai adalah :

1
Isdiantini, Rita., Profesional Regional and Urban Planner., Gambaran Umum RDTR KAWASAN PERKOTAAN REO, Kab.Manggarai
2016

1/15
a. Untuk melakukan analisis kondisi eksisting fisik, sosial, ekonomi, kawasan sehingga
menjadi dasar dalam melakukan alokasi pemanfaatan ruang yang lebih rinci dan lebih
teknis;
b. Untuk melaksanakan identifikasi potensi kawasan sebagai dasar dalam melakukan
analisis kebutuhan ruang dalam pengembangannnya;
c. Untuk memberikan arahan teknik dalam merumuskan kebijakan dan strategi dalam
pengembangan dan pemanfaatan ruang Perkotaan.
d. Untuk memberikan arahan teknis dalam meyusun pola dan struktur ruang kawasan –
kawasan dengan menjadikan Perkotaan sebagai pusat Pengembangan ekonomi
kawasan;
e. Untuk merumuskan indikasi program pembangunan yang dilakukan pada Perkotaan.
f. Untuk menyusun strategi pengendalian ruang di Perkotaan.

II. KARAKTERISTIK WILAYAH PERENCANAAN


Kecamatan Reok terletak disebelah utara Kota Ruteng (ibukota Kabupaten)
dengan jarak +/- 60 km, ditempuh dari ibukota kabupaten sekitar 2,5 jam perjalanan darat.
Secara administrasi Kecamatan Reok ini berbatasan dengan :
Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Manggarai Timur
Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Manggarai Barat
Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Flores
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kec. Cibol Kabupaten Manggarai
Kecamatan Reok mempunyai luas sekitar 245,25 km2 yang terdiri dari 10
desa/kelurahan dengan ibukota kecamatan yaitu Kota Reo. Kawasan Perkotaan Reo
merupakan kawasan perkotaan yang berkembang di tepian pantai berada di pinggiran
Laut Flores, Laut Flores memberikan penghidupan kota Reo dengan kegiatan yang
berkembang di tepian Pantai berupa Kegiatan Pelabuhan Laut (barang dan Orang),

2/15
Pelabuhan Nelayan (Pelabuhan Pendaratan Ikan), Kegiatan Pariwisata dan kegiatan
pendukung perkotaan. Kota Reo merupakan kawasan pelayanan wilayah untuk P.Flores
Bagian Timur sebagai kota Pengumpan untuk melayani pergerakan barang dan jasa,
dalam mendukung kegiatan Kota Reo dipengaruhi Kebijakan Wilayah terkait dengan
penyiapan penataan ruang.

KAWASAN PERKOTAAN
REO

3/15
Kawasan Pelabuhan Kota REO

Kawasan Perkotaan Kota REO

4/15
Kota Reo Secara Internal Kawasan
Secara internal dalam Kawasan Perkotaan Reo, ada sejumlah isu yang akan terkait
dengan pengembangan dan khususnya penataan ruang.
1. Bentuk fisik kawasan terbangun di Reo yang diinisiasi oleh bentuk radial atau jari-
jari berupa jalan-jalan utama, yang secara umum mengarah selatan. Pada jalan-jalan
utama tersebut kemudian secara linear membentuk koridor dengan bentuk pemanfaatan
perumahan, perdagangan dan jasa, fasilitas perkantoran pemerintahan, fasilitas sosial
dan budaya. Secara ideal pola radial ini perlu didukung oleh pola ring atau lingkar,
sehingga perpaduannya akan membentuk kawasan perkotaan yang konsentris. Karena
terletak di tepi pantai maka untuk kawasan perkotaan Reo ini akan berbentuk semi-
konsentris atau setengah konsentris.
2. Karakteristik topografi Kawasan Perkotaan Reo yang terletak di tepi pantai akan
dominan datar (terutama di bagian utara) dengan diselingi permukaan lahan yang
bergelombang (terutama di bagian barat dan selatan). Di satu sisi hal tersebut
mengindikasikan tidak terdapat kendala dari sudut topografi, namun di sisi lain
mengindikasikan perlunya penanganan drainase. Di bagian tengah terdapat Sungai dan
anak-anak sungainya, yang akan merupakan muara dari aliran drainase dari bagian
tengah kawasan perkotaan Reo. Dengan karakter topografi yang dominan datar tersebut,
maka aliran drainase akan lambat dan berkarakter “long storage” (atau air tersimpan
lama dalam saluran). Untuk karakter demikian dapat diindikasikan upaya penanganan
drainase, yaitu antara lain: dimensi saluran yang relatif lebar, dan bila perlu dasar
saluran juga membantu peresapan air (run in) ke dalam tanah; pengembangan kolam
retensi (retention basin), guna menyimpan atau menampung air sebelum dialirkan
selanjutnya ke badan sungai penampung.
3. Pemanfaatan ruang yang penting di kawasan perkotaan adalah perumahan. Karakter
perumahan di Kawasan Perkotaan Reo secara umum terdiri atas 2 kelompok, yaitu
kelompok pertama yang berkembang secara parsial dan berangsur-angsur (sering
disebut juga secara alamiah tidak terencana), dan kelompok kedua yang dikembangkan
secara terencana berupa komplek-komplek perumahan.
Pada kelompok
pertama, ada lokasi-lokasi
tertentu yang perlu
penanganan sehubungan
dengan kondisinya yang
perlu ditingkatkan bila akan
menjadi bagian dari
kawasan perkotaan, baik
penataan bangunan maupun
penataan lingkungannya.
Sementara untuk kelompok
kedua, yang secara internal
kelompok (sebagai neighbourhood unit) relatif telah baik kondisinya, perlu diperhatikan
saling keterkaitannya yang akan membentuk struktur ruang dalam kawasan perencanaan
maupun mengarahkan perkembangan fisik selanjutnya, baik dalam konteks densifikasi
(vertikal dan horizontal) maupun merangsang perkembangan dalam konteks
ekspansi/ekstensifikasi kawasan terbangun.

5/15
6/15
III. PENDEKATAN PRENCANAAN
Kecenderungan Perkembangan Fisik Kawasan Perkotaan Reo
Dengan bentuk fisik Kawasan Perkotaan Reo seperti diuraikan di depan, maka
kecenderungan perkembangan atau ekspansi ruang dalam arti arah orientasinya, dengan
mengambil acuan pusat perkotaan, dan Pusat permukiman maka akan meliputi:
Perkembangan fisik berupa ekspansi mengikuti arah jaringan jalan berpola radial,
yaitu ke arah barat. Perkembangan tersebut cenderung dominan linear dan blok di tepi
jalan-jalan utama, sehingga berbentuk koridor atau sumbu yang mempunyai pangkal
tapi ujung yang semakin maju atau bergerak.
Fungsi pengisian ruang meliputi: perumahan, kegiatan komersial (perdagangan dan
jasa), dan fasilitas pelayanan.
Ekspansi ke arah barat mengikuti jalan utama dan jalan lingkar seperti Loop.
Bila kecenderungan perkembangan di atas terkait dengan bentuk (form) kawasan,
sehingga lebih menunjukkan pada ekspansi kawasan di bagian tepi, maka di bagian dalam
kawasan akan terjadi perkembangan fisik yang akan meliputi:
a. Densifikasi, atau pembangunan yang membuat ruang menjadi lebih padat, yaitu
dengan pengisian kawasan terbangun yang ada. Bila pengisian tersebut adalah pada
ruang yang masih relatif kosong yang terselip di sela-sela kawasan terbangun yang
ada, disebut sebagai densifikasi horizontal (atau pemadatan ruang secara horizontal).
Bila pengisian tersebut adalah dengan meningkatkan intensitas pemanfaatan pada
ruang yang telah terbangun sebelumnya, yaitu dengan menjadikannya bangunan
bertingkat, disebut sebagai densifikasi vertikal (atau pemadatan ruang secara vertikal).
Densifikasi horizontal telah berlangsung juga sebelumnya, sehingga ditemukan dewasa
ini kawasan atau kelurahan/desa yang mempunyai kepadatan penduduk dan sekaligus
kepadatan bangunan secara horizotal yang relatif tinggi. Umumnya densifikasi horizontal
ini terjadi secara alamiah dan berangsur-angsur malahan melampaui satu generasi
kehidupan masyarakat, baik untuk rumah maupun kegiatan usaha (perdagangan dan jasa).
Densifikasi vertikal telah berlangsung juga sebelumnya, sehingga ditemukan bangunan
bertingkat, terutama di sekitar pusat kota tersebut di atas, dengan kegiatan utama yang
menonjol adalah komersial (perdagangan dan jasa). Densifikasi vertikal ini juga terlihat
dari kegiatan-kegiatan komersial yang terletak ke arah pinggir namun masih di tepi jalan-
jalan utama, yang biasanya diawali dengan pembangunan bangunan ruko (rumah-toko),
sehingga mencirikan perkembangan percampuran antara hunian dan komersial dari
sebelumnya yang hanya merupakan hunian (rumah) atau bahkan lahan belum terbangun.
b. Ekstensifikasi atau ekspansi, yaitu perkembangan fisik yang merupakan perluasan
dari kawasan terbangun yang ada dengan memanfaatkan lahan atau ruang yang belum
terbangun di sekitarnya. Dalam ekspansi tersebut terdapat 2 kemungkinan, yaitu
ekspansi yang menerus dari kawasan terbangun yang ada (contiguous), dan ekspansi
yang melompat ke kawasan belum terbangun pada jarak tertentu dari kawasan
terbangun yang ada (non-contiguous).
Ekspansi contiguous, selain mengikuti sepanjang jalan-jalan utama, juga mengisi ke
bagian dalam atau di belakangnya. Pembangunan dalam konteks ekspansi contiguous ini
umumnya secara alamiah dan berangsur-angsur.
Ekspansi non-contiguous, yaitu pengembangan ruang yang non-contiguous dari ruang
yang telah terbangun sebelumnya. Contoh yang paling menonjol dalam hal ini adalah

7/15
pengembangan kompleks perumahan yang terencana, dengan tampilan yang terencana
tata letak bangunan dan fasilitasnya.
Kebutuhan Pengembangan
1. Ukuran (Size) Kawasan Perkotaan Reo
Delineasi ruang secara fungsional untuk Kawasan Perkotaan Reo adalah meliputi 4
Kelurahan dan 1 Desa akan mencakup luas kawasan kurang lebih 1.331,623 Ha. Dalam
kawasan yang relatif luas tersebut selain untuk kawasan perkotaan yang dominan sebagai
kawasan terbangun akan tercakup juga bentuk pemanfaatan lainnya yang signifikan yang
bukan merupakan kawasan terbangun, yaitu: Kawasan perkotaan, Pelabuhan, lahan
pertanian dan perkebunan, serta ruang terbuka lainnya, baik ruang terbuka hijau maupun
ruang terbuka non-hijau.
Prediksi jumlah penduduk pada tahun 2036 adalah sebesar 32.221 jiwa. Dengan demikian
maka ukuran Kawasan Perkotaan Reo menurut jumlah penduduknya diprediksikan
sebesar 32.221 jiwa. Dengan jumlah penduduk tersebut maka Kawasan Perkotaan Reo
akan termasuk kelompok perkotaan kecil (jumlah penduduk 25.000– 50.000).
Bila diperhatikan jumlah penduduk tahun 2016 untuk Kawasan Perkotaan Reo adalah
14.411 jiwa, maka menuju ke tahun 2036 Kawasan Perkotaan Reo akan berkembang atau
bertumbuh dari kelompok kawasan perkotaan kecil-sedang menuju kelompok kawasan
perkotaan sedang.
Dengan jumlah penduduk dan luas wilayah di atas, maka kepadatan penduduk di
Kawasan Perkotaan Reo tahun 2036 adalah 24 jiwa/ha. Angka kepadatan sebesar ini
menunjukkan kepadatan yang tidak tinggi sebagai kawasan perkotaan. Namun bila
diperhatikan angka kepadatan penduduk tersebut menurut masing-masing kelurahan/desa
maka akan terlihat angka kepadatan yang sangat bervariasi.
Terkait dengan karakter kepadatan penduduk tersebut, sebagaimana telah dianalisis dalam
sub-bab sebelumnya maka dalam kawasan perkotaan Reo terdapat karakter:
Perkotaan dan semi-perkotaan ; dan
Perdesaan yang akan bergeser menjadi perkotaan.
2. Fungsi yang diemban Kawasan Perkotaan Reo
Dalam penetapan RTRW Kabupaten Manggarai, Kawasan Perkotaan Reo ditetapkan
sebagai Pusat Kegiatan Lokal yang diidentifikasikan sebagai PKL Reo.
Berdasarkan pembahasan isu pengembangan di depan, maka dapat diidentifikasikan
fungsi yang diemban Kawasan Perkotaan Reo sampai tahun 2036 akan meliputi:
a. pelayanan wilayah (hinterland services), yang meliputi pelayanan administrasi
pemerintahan, pelayanan sosial, pelayanan ekonomi (pemasaran dan
distribusi/perniagaan), dan budaya, dengan skala pelayanan Kabupaten Sikka dan ada
di antaranya yang menjangkau Pulau Flores;
b. hubungan antar-wilayah (inter-regional communication), yaitu pusat pergerakan ke
dan dari wilayah Kabupaten Sikka dan Pulau Flores.
c. Pergudangan dan industri pengolahan (processing), yaitu industri kecil dan menengah
di dalam kawasan perkotaan Reo.
d. Sub-pusat permukiman/perumahan (residential sub-center), yaitu pusat-pusat
permukiman baru yang didukung oleh fasilitas, prasarana dan jasa bisnis pada
perkotaan tersebut.

8/15
e. Kegiatan Pariwisata karena berada di Pesisir utara P.Flores dan adanya Kawasan
Muara Sungai WaePesi yang menjadi kawasan pariwisata dan pengelolaan
lingkungan
3. Bentuk Kawasan Perkotaan Reo
Bentuk Kawasan Perkotaan Reo akan mengarah ke bentuk semi konsentris dengan
dukungan pola jaringan jalan radial (jari-jari) dan ring (melingkar). Dewasa ini memang
lebih menonjol pola radial dan guna mewujudkan bentuk semi-konsentris tersebut maka
secara signifikan perlu dikembangkan jalan dengan pola ring, atau seringkali disebut
sebagai jalan lingkar.

IV. ARAHAN PERENCANAAN KAWASAN PERKOTAAN


(Lingkungan Binaan & Natural)

Dengan mengacu kepada corak atau styles rencana yang umumnya berlaku, maka
paling tidak ada 4 corak yang berkenaan dengan penanganan kawasan dan lingkungan di
Kawasan Perkotaan Reo, yaitu:
pemecahan masalah (problem solving),
mengarahkan dan/atau memodifikasi kecenderungan (trend modifying),
mencari dan mengambil peluang (opportunity seeking), dan
bentuk baru dengan tujuan tertentu (goal oriented).
Pemecahan Masalah
Dengan adanya tekanan kepadatan dan intensitas kegiatan yang tinggi di bagian pusat
kota, maka diperlukan upaya untuk mengurangi tekanan dengan mengurai beberapa
kegiatan terkait ke luar dari pusat kota. Upaya ini merupakan bentuk pemecahan masalah.
Dalam mencari bentuk pemecahan masalah tersebut, terbuka pula peluang akan
bersamaan dengan corak penanganan lainnya yaitu mengarahkan/memodifikasi
kecenderungan, mencari/mengambil peluang, atau bahkan pengembangan bentuk baru.
Mengarahkan/Memodifikasi Kecenderungan
Arahan penanganan berupa mengarahkan/memodifikasi kecenderungan akan meliputi
penanganan pada bentuk-bentuk kegiatan sebagai berikut.
mengarahkan pengembangan pusat kegiatan baru, yang berdasarkan kecenderungan
perkembangan fisik yang ada dewasa ini adalah mengarah ke barat;
mengisi pengembangan tersebut dengan bentuk-bentuk sarana atau fasilitas baru yang
signifikan kebutuhan ruangnya dengan semaksimal mungkin memanfaatkan lahan
kosong.
Mencari/Mengambil Peluang
Arahan penanganan berupa mencari/mengambil peluang akan meliputi penanganan pada
bentuk-bentuk kegiatan sebagai berikut.
Dengan pengembangan jalan lingkar baru, akan ada peluang bagi pengembangan
berbagai bentuk pengembangan lainnya, seperti pengembangan perumahan terencana,
pengembangan fasilitas sosial dan fasilitas umum baru termasuk pemakaman umum, TPS,
IPAL dan mengarahkan pengembangan ruang terbuka hijau lainnya.

9/15
Bentuk Baru
Arahan penanganan berupa bentuk baru berdasarkan tujuan tertentu akan meliputi
penanganan pada bentuk-bentuk kegiatan sebagai berikut.
Pengembangan kegiatan perikanan di kawasan perairan muara Waepesi
Pembangunan dan pengembangan kawasan pantai utara, sebagai kawasan wisata dan
perikanan kearah barat yaitu di wilayah kelurahan Baru.
Pengembangan kawasan permukiman baru di Kelurahan Baru
Pengembangan sarana yang signifikan kebutuhan ruangnya yang bersama-sama
dengan pengembangan pusat kegiatan baru dan jalan lingkar baru tersebut di atas.

V. REKOMENDASI PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN


Dengan Konsep Pengembangan Waterfront City, maka arahan pemanfaatan ruang dalam
rangka perwujudan ruang pengembangan kawasan perkotaan Reo, telah ditetapkan bahwa
perwujudan kawasan perkotaan Reo dilakukan melalui serangkaian tindak lanjut yang
akan saling terkait dan saling bersinergi bagi mendukung perkembangan kawasan
perkotaan Reo ke depan. Terhadap masing-masing bentuk tindak lanjut tersebut dapat
dikemukakan bahasan dan/atau rekomendasi seperti berikut ini.
a. Penyusunan RDTR Kawasan Perkotaan Reo : Penyusunan RDTR Kawasan
Perkotaan Reo adalah yang dilaksanakan oleh pekerjaan ini, dengan cakupan kawasan
4 kelurahan dan 1 Desa, yang termuat dalam RTRW Kabupaten manggarai secara
fungsional mencakup kawasan permukiman perkotaan dan kawasan peruntukan
lainnya (seperti Pelabuhan, Pergudangan, PPI, Ladang Garam, pertanian lahan
kering, dan Lahan Basah dan kegiatan permukiman perkotaan dan lain-lain).
b. Penyusunan RTBL kawasan strategis perkotaan : Berdasarkan rencana yang akan
dihasilkan pada tahap pekerjaan selanjutnya setelah analisis, akan diidentifikasi dan
direkomendasikan pula kawasan prioritas yang sekaligus akan merupakan kawasan
strategis perkotaan Reo. Atas dasar identifikasi dan rekomendasi tersebut
c. Pembangunan infrastruktur pendukung perkotaan : Pembangunan infrastruktur
pendukung perkotaan akan meliputi prasarana transportasi, prasarana lingkungan
permukiman perkotaan, dan prasarana khusus lainnya, yang akan dikembangkan
dapat diidentifikasikan dan direkomendasikan menurut rencana detail tata ruang
setelah tahap analisis ini.
d. Pengembangan kawasan pariwisata : Dengan kontribusi kegiatan pariwisata dalam
perekonomian Kawasan Perkotaan Reo khususnya dan Kabupaten Manggarai
umumnya, maka pengembangan kawasan wisata ini menjadi salah satu faktor penting.
Objek wisata yang ada di Reo akan meliputi wisata alam, wisata religious dan wisata
buatan dalam bentuk penyiapan ruang public yang dibangun untuk kebutuhan
masyarakat dan dapat menjadikan sebagai kegiatan wisata.
e. Pembangunan infrastruktur pendukung kepariwisataan : Pembangunan
infrastruktur pendukung kepariwisataan akan terintegrasi dengan pengembangan
infrastruktur pendukung perkotaan di atas. Infrastruktur penting di antaranya terkait
dengan dukungan terhadap kepariwisataan ini di kota Reo disiapkan untuk
infrastruktur pendukung pariwisata berupa permukiman, hotel, kawasan pergudangan,
pengembangan Pelabuhan, dan rencana pembangunan terminal.
f. Pembangunan jalan lingkar kota : Pembangunan jalan lingkar kota selain akan
mengarahkan bentuk perkembangan fisik kawasan perkotaan di masa datang yang

10/15
semi-konsentris dengan pola jalan melingkar (ring), juga dapat menjadi acuan bagi
perletakan sarana-sarana baru. Dengan indikasi awal bahwa arah pengembangan pusat
kegiatan-kegiatan baru ke bagian timur, maka secara normatif jalan lingkar yang
diusulkan melintasi Desa Salama , Kelurahan Baru dan Wangkung.
g. Pembangunan kembali (re-develop) : Pembangunan kembali untuk 3 kawasan,
yaitu 2 untuk kawasan pesisir sungai dan di kawasan padat penduduk untuk
menyiapkan rumah layak huni dan terlayani utilitas untuk Kelurahan Reo dan Baru
serta sebagian Mata Air.
h. Pembangunan sistem penyediaan air minum : Selain peningkatan pelayanan
terhadap kawasan perkotaan yang ada dewasa ini, juga akan mencakup perluasan
pelayanan mengikuti perkembangan fisik terbangun kawasan perkotaan. Selain sistem
distribusinya, yang menjadi komponen penting adalah penyediaan air baku untuk
sistem penyediaan air minum (SPAM) tersebut.
i. Pembangunan IPAL pada pusat perdagangan, fasilitas sosial/umum, dan kawasan
wisata : Pengembangan IPAL pada pusat perdagangan, fasilitas sosial/umum, dan
kawasan wisata, akan tersebar mengikuti sebaran pusat perdagangan, fasilitas
sosial/umum, dan kawasan wisata tersebut. Kalau diperhatikan adanya konsentrasi
dari bentuk-bentuk kegiatan atau sarana di atas, maka terbuka peluang bagi
pengembangan IPAL secara komunal.

VI. PENUTUP
Demikian paparan singkat pekerjaan yang dilaksanakan pada tahun 2016 lalu.
Semoga dapat bermanfaat bagi yang berkenan dan berminat mengembangkan kota2 di
wilayah Indonesia Timur.
Saya secara pribadi amat terkesan dengan fakta aktual dan kultural disana, yang
akan sangat berhadapan frontal dengan metoda-metoda perencanaan wilayah perkotaan
selama ini. Salah satu perkaranya adalah didapatinya fungsi pemakaman di halaman
rumah dari setiap penduduk asli disana. Fakta ini akan sangat berbenturan dengan arahan
teoretik perencanaan kawasan perkotaan; atau paling tidak pada akhirnya teori dan
metoda perencanaan yang dipelajari ini akan MERUBAH pola kultur aktual bagi daerah
terbangun yang masih diwarnai dengan kultur lokal setempat. Wallahualam...
Bandung, 13 Juli 2017

Ir. FX. Budiwidodo Pangarso, MSP., IAP.


Associate Professor pada bidang ilmu Arsitektur Kota
Fakultas Teknik - Jurusan Teknik Arsitektur – Unpar Bandung
Konsultan bidang Perkotaan PT. Arga Pasca Rencana, Bandung
Email : pfxbudi@yahoo.co.id / bwidodo@unpar.ac.id

11/15
LAMPIRAN

Latar Belakang Kota REO2


Pada tahun 1860 seorang pedagang yang bernama Freijss menjelaskan bahwa
namaManggarai berasal dari kata manga raja. Kata ini diterjemahkan oleh Freijss secara
salah rajamenschen (manusia raja).Manusia raja ditafsirkannya sebagai hamba-hamba
milik raja. Tafsiran ini keliru atau bahkan salah. Kesalahan pertama, dalam bahasa
Manggarai yang kita kenal sekarang kata manga mempunyai dua arti : ‘ada, mempunyai’
dan ‘lama’. Kedua, kata raja mempunyai dua arti: ‘sebab-musabab, masalah’ dan ‘biasa,
nyata/kelihatan’. Jadi, katamanga dan raja tidak berkaitan dengan manusia raja (hamba-
hamba milik raja). Manggarai yang berarti manusia raja tidak benar karena saat itu tidak
semua orang Manggarai menjadi hamba.
Tahun 1967 Verheijen mengutip keterangan orang Bima, “Manggarai ialah
gabungan dari kata mangga = sauh dan rai = melari, berpautan dengan suatu peristiwa
dahulu.” Peristiwa apa itu? Konon pada tahun 1767-an Mangga Maci bersama dengan
tiga saudaranya (Nanga Lere, Tulus Kuru, dan Jenaili-Woha) diutus Bima untuk
menaklukkanManggarai. Ketika mereka sedang membongkar sauh saat mau mendarat di
Pelabuhan Kedindi (Reok), pasukan Cibal menyerang dan memotong sauh (mangga
dalam bahasa Bima). Mangga Maci bersaudara pun berteriak, “Mangga-rai (sauh
berlari)!”.

2
Ibid.

12/15
Tahun 1999 Dami N. Toda menolak adanya hubungan kedatangan Mangga Maci
dengan nama Manggarai. Dami N. Toda memberikan penjelasan berhubungan dengan
kemiripan kisah “sauh hanyut” di atas bahwa alur peristiwa sejarah yang tertulis di dalam
naskah H. Achmad/Held sebagai berikut.
a. Pada bulan Maret 1845 armada ekspedisi Bima bertolak ke Pelabuhan
Kedindi (Reok). Armada tersebut dipimpin raja bicara (pengadil)Bima (Muhammad
Yakub) dan Bumi Luma Rasanae. Mereka melaksanakan tugas untuk memanggil Naib
Reo dan Naib Pota beserta dengan “tatarapang” (keris tanda kekuasaan).
b. Setelah seminggu berlabuh, tiba-tiba pada tanggal 20 Maret 1845 jangkar-
jangkar perahu hanyut ke laut karena terpukul angin barat daya yang sangat kencang.
Peristiwa itu tentu menimbulkankepanikan, tetapi orang-orang yang panik itu tidak
mengeluarkan kata-kata “Mangga-rai (sauh hanyut)”.
Lebih lanjut Dami N. Toda menjelaskan bahwa sudah lama sebelum kejadian itu
Mangga Maci sudah meninggal. Selain itu, namaManggarai yang terekam di Betawi
(Jakarta) pun sudah lanjut berumur 200-an tahun sejak tahun 1660-an. Belum lagi ditarik
hitungan lebih tua berdasarkan kehadiran nama Manggarai di dalam buku Undang-
Undang Laut : Amanna Gappa Bugis-Makasar dan Catatan Harian Raja-raja Goa-Tallo.
Dua raja dari kerajaan kembar Goa-Tallo itu bernama I ManggoraiDaeng Mametta
Karaeng Bontolangkasa dan I Manga’rangi Daeng Manrabbia Karaeng Lakiung. Kedua
raja tersebut memang masuk Bima melalui Sape dari arah Wareloka daratan Manggarai
pada tahun 1626.
Dengan demikian, kita bisa beranggapan bahwa kemungkinan nama Manggarai
berkaitan dengan kedua nama raja tersebut. Kemungkinan tersebut bisa saja terjadi jika
dikaitkan dengan dua hal berikut. Pertama, di Manggarai memang terdapat beberapa sisa
nama tempat yang berbau Sulawesi Selatan seperti Labuan Bajo, Gunung Tallo,
pelabuhan tua Wareloka di barat daya Manggarai. Kedua, sebagian orang Manggarai
dalam pemberian nama anak pada zaman sekarang ini cenderung “mengimpor” nama-
nama yang terkenal dari luar Manggarai.
Kemungkinan lain bisa dipertanyakan, apakah manusia manggarao dalam mitos
Watu Manggar berkaitan dengan kedatangan raja Goa-Tallo tersebut? Dalam mitos Watu
Wangka (batu perahu) danWatu Manggar (batu jangkar/sauh) di Manggarai Barat
dikisahkan bahwa perahu leluhur yang datang dari luar Manggarai kandas di Sungai Wae
Raho, tetapi manggar (jangkar) dari perahu tersebut terus dibawa ke hulu Sungai Wae
Raho (di Kampung Kilor sekarang). Jangkar itu ditambatkan pada batu berupa balok yang
ditancapkan ke dalam tanah di atas bukit. Konon pada zaman itu “manusia” tiba-tiba
manggarao(seperti banyak orang berdiri) di sekitar batu yang belakangan ini disebutwatu
manggar. Asal-usul “manusia manggarao” itu dikisahkan sebagai bukan ata raja (manusia
biasa), melainkan ata pali sina (manusia halus, dewa).
Mitos Watu Manggar mengenai manusia manggarao di Kilor itu diceritakan oleh
Empo Mashur ke Todo. Konon Empo Mashur yang datang dari luar Nunca Lale berjalan
melewati Kilor sebelum meneruskan perjalanannya menuju Todo. Namun, hubungan
kisah manusia manggaraodalam mitos Watu Manggar dengan nama Manggarai sulit
diterangkan lebih lanjut karena belum ditemukannya bukti sejarah. Nama Manggaraipun
masih sulit untuk langsung dihubungkan dengan kedatangan Raja Goa-Tallo (Manggorai
dan Manga’rangi) karena belum ada bukti-bukti yang kuat untuk itu.
Kondisi topografi dan geografi pada masa lampau menyebabkan sulitnya akses ke
daerah pedalaman Manggarai. Sehingga terdapat perbedaan jelas antara penduduk di

13/15
daerah pesisir yang didominasi suku Bima, Makassar dan Bugis dan penduduk Manggarai
di daerah pedalaman. Hingga tahun 1900, penduduk di pedalaman mempunyai perasaan
takut yang mendalam tehadap pendatang karena risiko penyerangan dan dijadikan budak
(Steenbrink 2002).
Pada tahun 1700, di Batavia telah terdapat suatu desa dengan nama Manggarai
yang dinamakan karena banyaknya budak yang berasal dari Flores bagian Barat
(Steenbrink 2002). Mereka mengumpulkan pajak, hasil bumi, ternak dan juga budak dari
penguasa lokal (dalu) dipedalaman Manggarai (Steenbrink 2013).
Pada 1 Januari 1860, Pemerintahan Kolonial Belanda menghapus perbudakan di
Hindia Belanda. Akan tetapi budak-budak di Pulau Sumbawa yang sebagian berasal dari
Flores bagian Barat baru benar-benar dibebaskan pada tahun 1910 (Steenbrink 2013).
Sementara di Flores Barat sendiri praktek pengambilan budak baru benar-benar hilang
saat Belanda secara resmi mengambil alih kekuasaan pada 1908.
Pada tahun 1783 diadakan suatu perjanjian tertulis antar Sultan Bima,
Abdulkadim dengan sejumlah Dalu di Manggarai yang isinya mengingatkan kembali
pengakuan Belanda terhadap kekuasaan Bima di Manggarai pada tahun 1669. Persetujuan
ditandai dengan penyerahan alat-alat upacara kebesaran dan senjata kepada sejumlah
perwakilan Dalu. Akan tetapi, isi perjanjian tersebut membuat hubungan antara Bima dan
penduduk pedalaman Manggarai menjadi tidak seimbang dimana kedaluan di pedalaman
dilarang melakukan hubungan dagang dengan pihak lain. Sementara itu, Bima hanya
menerima pajak, upeti dan budak dari kedaluan yang ada. Penduduk Bima, Bugis atau
Makassar yang beristrikan orang dari pedalaman Manggarai dilarang tinggal di derah
kedaluan karena akan mencemari adat dan agama. Ini pula yang membuat Agama Islam
pada saat itu tidak bisa berkembang di Manggarai yang sebagian besar penduduknya
masih menganut kepercayaan lokal (Steenbrink 2013).
Melalui persetujuan pada 1783, Bima telah memainkan peranan penting dan
pengaruhnya terasa sampai jauh ke pedalaman. Sehingga timbul reaksi dan perlawanan
dari pemimpin lokal, apalagi dengan adanya kekuatan baru yang muncul, Todo.
Pada tahun 1860, Dalu Todo menentang Bima secara resmi dengan menolak
kekuasaan Sultan Bima. Pada tahun 1905, Todo menolak untuk membayar upeti pada saat
penobatan seorang Sultan baru di Bima. Pada tahun 1915, saat seorang Sultan Bima
wafat, seluruh Kedaluan di Manggarai menolak hadir pada saat upacara pemakamam dan
menyatakan diri bebas dari Bima (Daeng 1995).
Pada awal 1900, kekuasaan Bima di Manggarai mulai memudar. Pada tahun 1908,
Belanda secara resmi melakukan kegiatan administratif di Manggarai. Selanjutnya, pada
tahun 1913, terjadi perubahan dalam struktur Kesultanan Bima dimana teritori Manggarai
dibawah Raja Naib di Reo dinyatakan terpisah dari Kesultanan Bima dan menjadi unit
administratif tersendiri. Perubahan struktur VOC ke Pemerintah Hindia Belanda juga
mempengaruhi eksistensi Bima di Manggarai. Dengan dibubarkannya VOC pada 1
Januari 1800, maka perjanjian Bima dan VOC pada tahun 1669, tidak lagi relevan dan
Pemerintahan Hindia Belanda yg baru mempunyai preferensi yang berbeda tehadap tanah
jajahannya di Flores, termasuk salah satunya untuk pengembangan Agama Katolik.
Pada awalnya, Pemerintah Hindia Belanda masih mempertimbangkan untuk
mempertahankan keturunan Sultan Bima sebagai penguasa Manggarai yang terpisah dari
Bima. Namun, karena situasi yang telah berubah dan penolakan dari penguasa lokal di
Manggarai, maka Pemerintah Hindia Belanda mengurungkan niat tersebut dan diantara

14/15
tahun 1927 dan 1929 Pemerintah Hindia Belanda membuat keputusan untuk
memulangkan semua pegawai pemerintahan yang berasal dari Bima (Steenbrink 2013).
Selanjutnya, anak bungsu dari Tamur, pemimpin Kedaluan Todo yang bernama
Baroek dinominasikan untuk menjadi Raja Manggarai (Radja van Manggarai). Baroek
yang lahir pada 1900 telah dididik pada sebuah sekolah Misi di Ende. Sementara
menunggu Baroek yang sedang menempuh pendidikan kembali ke Manggarai, Belanda
menomminasikan Kraeng Bagoeng yang juga berasal dari Dalu Todo untuk menjadi Raja
Manggarai pada tahun 1924 (Steenbrink 2013).
Kekuasaan Bima di Manggarai berakhir secara resmi pada tanggal 21 April 1929.
Sementara itu, Baroek di inagurasi menjadi Raja yang baru pada tanggal 13 November
1930. Radja Bagoeng yang adalah Raja Manggarai sebelumnya berganti menjadi Raja
Bicara Manggarai (Radja Bitjara van Manggarai). Keputusan final ini menandai
berakhirnya kekuasaan Muslim Bima di Manggarai dan diganti dengan Penguasa Katolik
lokal dari Manggarai dibawah pengawasan Belanda. Pusat pemerintahan yang sedianya
berada di Reo juga dipindahkan ke Ruteng (Steenbrink 2013).
Foto Gereja Katedral Ruteng yang diresmikan
pada tahun 1930
Raja Bagoeng dan Raja Baroek wafat pada
masa Kemerdekaan dan masa transisi dari
Pemerintah Belanda kepada Pemerintah Republik
Indonesia. Selanjutnya, kekuasaan Raja Manggarai
diteruskan oleh Kraeng Ngambut yang juga
berasal dari Todo. Kepemimpinan Kraeng
Ngambut berlangsung sejak masa transisi
Kemerdekaan Indonesia, Manggarai sebagai daerah Swa Praja hingga akhirnya ditetapkan
sebagai Kabupaten.
Semenjak menjadi Kabupaten hingga saat ini, Manggarai telah dipimpin oleh tujuh
Kepala Daerah. Bupati pertama adalah Bapak Karolus Hambur yang kemudian digantikan
oleh Bapak Frans Sales Lega. Nama Frans Sales Lega diabadikan menjadi nama bandara
di kota Ruteng. Bupati yang ketiga adalah Bapak Frans D. Burhan yang kemudian
diteruskan oleh Bapak Gaspar Parang Ehok. Bapak Anton Bagul dan Bapak Kris Rotok
meneruskan kepemimpinan daerah hingga Manggarai saat ini dipimpin oleh Bapak Deno
Kamelus bersamaWakilnya Bapak Viktor Madur.

15/15

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai