Anda di halaman 1dari 113

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/336572987

PSIKOLOGI SOSIAL

Book · January 2009

CITATIONS READS
0 11,611

1 author:

Faturochman Faturochman
Universitas Gadjah Mada
116 PUBLICATIONS   204 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Social Justice View project

Intergroup Relations View project

All content following this page was uploaded by Faturochman Faturochman on 16 October 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


1
Cetakan I, Mei 2006
Cetakan II, Januari 2009

Penerbit PUSTAKA
Yogyakarta

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan


Dr. Faturochman
Pengantar Psikologi Sosial/Dr. Faturochman, MA
Cetakan 2 – Yogyakarta: Penerbit Pinus

140 x 210 mm

I. Psikologi
II. Judul
III. Faturochman

2
KATA PENGANTAR

Buku ini telah ditulis cukup lama, yaitu sejak


awal penulis menjadi dosen, namun baru kali ini sempat
disusun secara lebih sistematis dengan demikian dapat
menjadi sebuah buku yang dapat diterbitkan dengan isi
dan tata cetak yang lebih baik. Di samping itu, pada
kumpulan tulisan sebelumnya belum terdapat pendahuluan
yang dapat mengantarkan pembaca pada isi buku secara
keseluruhan. Ternyata bagian pendahuluan ini memang
paling sulit ditulis, terutama pada bagian sejarah.
Untunglah pada tahun 1996 terbit buku The Root of Modem
Social Psychology yang ditulis Robert Farr. Dengan
terbitnya buku tersebut yang kemudian dijadikan bagian
penting dari pendahuluan, penulis merasa cukup yakin
untuk menjadikan tulisan yang ada menjadi sebuah buku.
Sejauh ini penulis beberapa kali ditugaskan untuk
memberi kuliah psikologi Sosial I dan II sesuai dengan
kurikulum nasional untuk program studi psikologi. Hasil
diskusi dengan beberapa kolega di bagian Psikologi
Sosial Fakultas Psikologi UGM sampai pada kesimpulan
bahwa perbedaan materi kuliah pada keduanya hanya
sebatas topik yang disajikan. Unsur kontinuitas satu
kuliah dengan lainnya berbentuk perluasan tema
pembahasan, sementara kedalaman materi ditekankan pada
keduanya.
Pendekatan pragmatis dalam membagi materi yang
dibahas pada kedua psikologi sosial tersebut juga
digunakan oleh penulis untuk menyusun buku ini. Bahan

3
yang dimaksudkan dalam buku ini bukan satu-satunya yang
dapat diacu. Penulis sangat mengharapkan mahasiswa
mencari sumber bacaan lain yang lebih lengkap dan
mendalam. Di antara sumber-sumber tersebut jurnal
merupakan sumber yang paling disarankan.
Pada kesempatan ini penulis menyadari bahwa
tulisan yang ada ini masih jauh dari sempurna. Kepada
pengguna buku ini diharapkan untuk kritis membaca
sehingga kekeliruan yang ada, meskipun tidak disengaja,
tidak berlanjut.
Semoga bermanfaat.
Yogyakarta, April 2006
Faturochman

4
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
Pengertian Psikologi Sosial
Sejarah Singkat
Relevansi Psikologi Sosial Saat Ini
BAB II PERSEPSI DIRI
Evaluasi Diri
Atribusi Diri
Kesadaran Diri
BAB III PERSEPSI SOSIAL
Pembentukan Kesan
Atribusi
Bias dalam Atribusi
BAB IV SIKAP
Pengertian
Pembentukan Sikap
Perubahan Sikap
Sikap dan Perilaku
Pengukuran Sikap
BAB V DAYA TARIK SOSIAL
Pengertian
Faktor Pengaruh
Faktor Penilai
Faktor Situasional
Dinamika Ketertaikan
Efek Daya Tarik
BAB VI PERILAKU PROSOSIAL
Tahap-tahap Pemberian Pertolongan
Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Pemberian Pertolongan
Karakteristik Orang-orang yang Terlibat
Mediator Internal
Meningkatkan Perilaku Sosial
Kerjasama dan Kompetisi

5
BAB VII AGRESIVITAS
Pengertian
Latar Belakang Agresivitas
Proses Agresi
Faktor-faktor yang Mempemgaruhi Agresivitas
BAB VIII KELOMPOK DAN MASSA
Pengertian
Norma Kelompok
Alasan Masuk Kelompok
Pembentukan dan Dinamika Kelompok
Massa
Perilaku Kolektif
Faktor Dasar Ledakan Sosial

DAFTAR PUSTAKA

6
BAB I
PENDAHULUAN

PENGERTIAN PSIKOLOGI SOSIAL


Begitu banyak definisi yang dikemukakan untuk
merumuskan Psikologi Sosial. Dari berbagai definisi
tersebut, secara umum dapat disimpulkan bahwa Psikologi
Sosial adalah ilmu pengetahuan yang membahas perilaku
individu dalam konteks sosial. Definisi ini mengandung
dua unsur pokok, yaitu perilaku individu dan konteks
sosial. Pembahasan tentang perilaku individu telah banyak
disampaikan dalam psikologi yang lain, Psikologi Umum
khususnya. Karenanya tidak akan dibahas secara rinci
tentang perilaku individu. Meskipun demikian perlu
diingat bahwa perilaku manusia, termasuk sebagai individu,
juga menjadi bahasan dalam ilmu-ilmu sosial lain seperti
sosiologi, antropologi, ekonomi, dan sejarah. Ciri khas
Psikologi sebagai ilmu adalah penekanannya yang mendalam
pada aspek-aspek psikologis seperti kognisi, emosi, dan
motivasi dalam membahas perilaku manusia.
Unsur penting lain dari Psikologi Sosial adalah
konteks sosial. Pengertian umum tentang sosial adalah
orang lain di luar diri seseorang. Secara objektif yang
dimaksud orang lain biasanya hadir secara fisik untuk
secara kontekstual dapat dikatakan sebagai sosial,namun
dalam Psikologi tidak harus demikian. Representasi orang
lain dalam bentuk imajinasi dan kreasi masih dimungkinkan
sebagai bagian konteks sosial. Artinya, seorang pria yang
duduk di kamar sendirian sambil membayangkan wajah

7
kekasihnya boleh dikatakan dia berperilaku dalam konteks
sosial. Orang lain yang dibayangkan tersebut, meskipun
tidak hadir, memiliki pengaruh terhadap seseorang. Ini
merupakan salah satu ciri dalam kajian Psikologi Sosial.
Pada kesempatan lain Psikologi Sosial juga memperhatikan
arus pengaruh yang berbalik arah dan juga pengaruh dua
arah sekaligus.
Mengapa Psikologi Sosial menekankan analisis pada
perilaku individu, meskipun dalam konteks sosial? Bila
Psikologi memiliki ciri khas menganalisis aspek
psikologis, apakah masih perlu membatasi perilaku
individu, bukan manusia yang lebih umum unit analisisnya?
Telah terjadi perdebatan yang cukup panjang tentang hal
ini. Perdebatan yang dimaksud tidak dapat dilepaskan dari
pendapat Floyd Allport (1924) yang pertama kali
mengemukakan bahwa analisis Psikologi Sosial harus
berfokus pada individu. Pengaruh Allport dalam Psikologi
Sosial hingga sekarang sangat besar, terutama di Amerika
Utara. Dengan memokuskan pada individu, Psikologi Sosial
berkembang sangat pesat. Secara pragmatis, penelitian
dengan unit analisis individu memungkinkan untuk
melakukan eksplorasi yang sistematis dan mendalam
berkaitan dengan aspek psikologis. Ini terutama untuk
studi laboratorium atau eksperimen. Kecanggihan dalam
eksperimen Psikologi Sosial di Amerika Serikat
mendominasi pemikiran dan perkembangan Psikologi Sosial
modern. Dunia harus mengakui bahwa Psikologi Sosial
modern adalah fenomena Amerika (Farr, 1996).
Pemikiran bahwa Psikologi Sosial harus memokuskan

8
pada perilaku individu tidak diterima oleh semua ahli
Psikologi. Kritik banyak datang dari Eropa (lihat Farr,
1996; Moscovici, 1996). Sedikitnya ada tiga hal pokok
yang dikritik. Pertama, dengan berfokus pada individu
berarti terjadi individualisasi pengertian sosial. Pada
saat yang sama akan terjadi pula desosialisasi individu.
Dua fenomena ini mengingkari ciri sifat manusia sebagai
mahluk sosial. Kedua, penelitian individu dalam
laboratorium yang canggih namun hanya menekankan pada
aspek psiko-sosial tertentu dinilai sering lepas dari
konteks sosial yang senyatanya. Bila ini terjadi maka
Psikologi Sosial menjadi lebih dekat dengan Biologi.
Tidak ada salahnya, memang, mengaji sosio-biologi namun
dalam konteks empiris dinamikanya menjadi lebih kompleks.
Dengan demikian dikhawatirkan kajian tersebut menjadi
terlalu sempit. Ketiga, orientasi Psikologi Sosial yang
terlalu individualis dinilai mengingkari kenyataan
sejarah. Pada awalnya Psikologi tumbuh dan berkembang
dari ilmu alam (natural science, naturwissenschaft) dan
ilmu sosial humaniora (geisteswissenschaft). Sesudah
Psikologi berdiri sendiri sebagai ilmu, salah satu
cabangnya berkembang menjadi Psikologi Sosial. Pada waktu
itu Psikologi Sosial tidak membatasi pada perilaku
individu. Kajian Psikologi Sosial ternyata tidak hanya
muncul dari Psikologi. Sosiologi juga mempunyai cabang
yang serupa. Kenyataan ini tidak bisa dihindari, namun
rupanya terjadi juga polarisasi untuk lebih mengentalkan
identitas Psikologi Sosial yaitu dengan cara spesifikasi
analisis pada perilaku individu dalam konteks sosial.

9
Dengan mempertimbangkan beberapa hal di atas
sekaligus memperluas jangkauan Psikologi Sosial seperti
yang sekarang juga berkembang, ada baiknya juga
memperluas definisi Psikologi Sosial. Maksudnya, bahasan
Psikologi Sosial tidak sebatas perilaku individu, tetapi
unit yang lebih besar. Di sisi lain, masih dibutuhkan
pembatasan besar kecilnya unit ini agar tidak tumpang
tindih dengan disiplin ilmu yang lain, terutama Sosiologi
dan Antropologi. Dalam konteks hubungan sosial,
pembahasan selanjutnya akan dibatasi pada pola interaksi
sebagai berikut:
1. Individu - individu
2. Individu - kelompok
3. Kelompok - kelompok

Sebelum melangkah pada pemahaman lain, perlu juga


dikemukakan bahwa pengertian kelompok dalam Psikologi
pada umumnya sebatas kelompok kecil. Kelompok besar
dengan wilayah yang luas jarang dibahas dalam Psikologi
Sosial. Sementara massa merupakan bagian Psikologi Sosial
yang akan disorot secara khusus.

SEJARAH SINGKAT

Perkembangan Psikologi Sosial dapat dilihat


sedikitnya dari tiga indikator, yaitu tokoh, lembaga, dan
publikasi. Sesungguhnya satu indikator berkaitan erat
dengan yang lainnya oleh karena itu dalam pembahasan
selanjutnya akan dijelaskan secara bersamaan bila memang
saling terkait.

10
Begitu banyak tokoh dalam Psikologi Sosial yang
dapat ditempatkan sebagai pemberi kontribusi yang besar
dalam perkembangan Psikologi Sosial. Tokoh dalam
Psikologi Sosial memang lebih banyak yang berasal dari
Psikologi dibanding Sosiologi. Wundt, misalnya, pada
awalnya dikenal sebagai ahli Psikologi dengan
penelitiannya yang terkait dengan proses fisiologi. Dalam
sejarah Psikologi, Wundt dikenal sebagai orang pertama
yang menerbitkan buku Psikologi dengan judul Grundzuge
der Physiologschen Psycholologie pada tahun 1874.
Ternyata Wundt pula yang menerbitkan buku Psikologi
Sosial untuk pertama kalinya dengan judul
Volkerpsychology yang terdiri dari 10 jilid antara tahun
1900-1920.

Buku Psikologi Sosial yang ditulis Wundt sangat


dikenal di awal abad 20. Ini terbukti dengan adanya
review tentang buku itu pada edisi pertama Psychological
Bulletin. Review juga dimuat pada edisi ketiga buletin
tersebut untuk volume yang lain. Tampaknya buku tersebut
kemudian agak kurang diperhatikan dengan terbitnya buku
An Introduction to Social Psychology yang ditulis
McDougall pada tahun 1908.

Meskipun tulisan McDougall sering disebut sebagai


dokumen yang menegaskan munculnya Psikologi Sosial, pada
tahun yang sama terbit buku lain yang ditulis oleh Ross
dengan judul Social Psychology: An Outline and Source
Book. Pembahasan dalam buku yang terakhir ini lebih
banyak berorientasi pada Sosiologi dibanding Psikologi.

11
Ini membuktikan bahwa meskipun Psikologi lebih besar
pengaruhnya dalam perkembangan Psikologi Sosial dibanding
Sosiologi, pengaruh Sosiologi tidak dapat diabaikan.

Pada sekitar tahun 1900an cukup banyak tokoh yang


membahas Psikologi Sosial. Di antaranya adalah Mead, Le
Bon, dan Lewin. Apabila Wundt merupakan tokoh dari
Leipzig yang terkenal dengan laboratorium penelitiannya,
McDougall belajar di Cambridge dan Ross banyak
dipengaruhi oleh tradisi prancis, Mead memiliki latar
belakang yang kompleks karena belajar dari banyak tokoh
lain seperti Ebbinghaus (Psikologi), Pualsen (Psikologi,
Antropologi, Filsafat dan Pendidikan), dan Dilthey
(Filsafat). Latar belakang pendidikan Mead adalah Eropa
namun dia bekerja di Universitas Michigan dan kemudian
pindah ke Universitas Chicago, Amerika Serikat. Di
Chicago inilah dia banyak menyampaikan ide-idenya dalam
Psikologi Sosial melalui ceramah/kuliah yang kemudian
dibukukan.

Tokoh Psikologi lain yang terkenal pada periode ini


di antaranya adalah Watson, Freud, Jung, Munsterberg,
Wertheimer, Koffka, Kohler dan lainnya. Mereka memberi
kontribusi pada perkembangan Psikologi Sosial, tetapi
tidak langsung seperti tokoh lain yang disebutkan
terdahulu. Dari disiplin lain seperti Dewey (Filsafat),
Malinowski (Anthropologi Sosial), Durkheim (Sosiologi),
bahkan Darwin tidak bisa diabaikan peran pemikirannya
dalam mempengaruhi perkembangan Psikologi Sosial.

Publikasi Psikologi Sosial terus, berlanjut. Lewin,

12
misalnya, pada tahun 1917 menulis tentang pengalaman
sosial-psikologis tentara yang terlibat perang Dunia I.
Tahun 1920.

McDougall menerbitkan The Group Mind yang merupakan


volume kedua dari buku Psikologi Sosial yang ditulisnya.
Salah satu waktu yang dinilai sebagai periode penting
adalah tahun 1924 di mana Floyd Allport menerbitkan
bukunya Social Psychology. Dalam buku ini Allport
menegaskan bahwa Psikologi Sosial seharusnya menjadi
sains experimental dan perilaku. Dia juga menerangkan
fenomena sosial dari sudut kajian individu bahkan tanpa
perlu mengaitkannya dengan collective entities seperti
lembaga sosial dan kebudayaan. Pengaruh Allport ini
sangat besar dalam Psikologi Sosial hingga sekarang.

Tahun-tahun berikutnya dapat dikatakan sebagai masa


sulit bagi ahli Psikologi sekaligus perkembangan
Psikologi. Hal ini tidak lepas dari pengaruh kekuasaan
Hitler di Jerman dan Eropa pada umumnya. Ahli-ahli
Psikologi yang begitu banyak di Jerman sebagian besar
adalah Yahudi. Kalaupun bukan Yahudi, kehidupan akademis
sangat sulit berkembang sehingga banyak ilmuwan pindah ke
Inggris atau Amerika Serikat. Selama masa perang Dunia II
dapat dikatakan bahwa perkembangan Psikologi tidak
secepat sebelumnya atau sulit dimonitor. Banyak ahli
kemudian berpendapat bahwa tokoh dunia yang paling
berpengaruh terhadap perkembangan Psikologi Sosial adalah
Adolf Hitler, bukan sebagai orang yang langsung berperan
tapi tokoh di luar lingkaran akademik.

13
Sesudah PD II terjadi perubahan geografis yang
sangat menonjol bagi pertumbuhan Psikologi Sosial,: Eropa
sebagai akar dalam pertumbuhan Psikologi Sosial tidak
lagi berperan secara menonjol. Amerika Serikat mengambil
alih peran Eropa. Beberapa catatan di bawah ini adalah
sebagian fakta tentang itu.
1. Wertherimer berperan besar sebagai ketua
Departemen Psikologi pada The New School for
Social Research di New York.
2. Kurt Lewin mendirikan pusat penelitian dinamika
kelompok di MIT yang kemudian pindah ke
Universitas Michigan. Pusat penelitian ini sangat
terkenal. Penerus Lewin di antaranya adalah
Cartwright. Beberapa tahun kemudian Cartwright
dan Zander menerbitkan buku yang terkenal dengan
judul Group Dynamic.
3. Heider dengan penelitian disonansi kognitifnya
yang terkenal mengembangkan Psikologi di Smith
College dan kemudian Universitas Kansas.
4. Solomon Asch dan Kohler mengembangkan penelitian
yang terkenal juga di Swarthmore College.
5. Di Universitas Yale dikembangakan eksperimen
dalam bidang komunikasi massa. Tokoh yang
terkenal berperan di sana antara lain adalah
Stouffer dan Hovland. Salah satu publikasi yang
terkenal ditulis oleh Hovland adalah
Communication and Persuasion. Periode sesudah PD
II ini dikenal sebagai awal dari munculnya
Psikologi Sosial modern. Para ahli tampaknya

14
sepakat bahwa tahun 1954 dengan terbitnya Handbook
of Social Psychology yang diedit oleh Gordon
Lindzey merupakan awal dari periode Psikologi
Sosial modern. Buku ini merupakan kumpulan
karangan yang ditulis oleh banyak ahli Psikologi
Sosial. Salah satu bab ditulis oleh G.W. Allport
yang membahas latar belakang sejarah Psikologi
Sosial modern. Dari tulisan tersebut dapat
disimpulkan bahwa Psikologi Sosial berakar di
Eropa, namun its flowering characteristically
American phenomenon.

RELEVANSI PSIKOLOGI SOSIAL SAAT INI

Pada bagian awal dari bab ini telah disebutkan bahwa


konteks sosial dari perilaku manusia tidak terbatas pada
hubungan dengan orang lain. Faktor kebudayaan dan
lingkungan fisik tidak dapat diabaikan peranannya.
Konteks yang luas cakupannya ini membawa konsekuensi
bahwa peran Psikologi Sosial dalam kehidupan manusia
cukup besar. Satu hal lagi yang menambah arti penting
Psikologi Sosial adalah perubahan sosial yang terus
berjalan. Manusia sebagai pelaku sekaligus objek
perubahan harus berinteraksi dengan perubahan tersebut.
Tiga contoh di bawah ini akan menjelaskan peran Psikologi
Sosial bagi masyarakat Indonesia dewasa ini. Dalam
khasanah psikologi sosial penjelasan tersebut merupakan
bagian dari terapan psikologi sosial.

15
Kemiskinan

Dekade delapan puluhan adalah dekade kesadaran


masyarakat Indonesia akan masalah kemiskinan. Sampai
sekarang masih ada jutaan manusia Indonesia yang hidup
miskin. Teori-teori Psikologi Sosial cenderung sejalan
dengan pemikiran anthropolog Oscar Lewis tentang
kemiskinan struktural. Konsep tersebut pada dasamya
menyebutkan bahwa kemiskinan berkaitan erat dengan faktor
psikologis seperti malas dan kurang kreatif. Namun pada
sisi lain banyak pemikiran Psikologi Sosial yang
menempatkan pentingnya pemberdayaan manusia agar mereka
dapat lepas dari kemiskinan. Salah satu di antaranya
adalah teori equity dari Adams. pemikiran yang terakhir
ini menyebutkan bahwa distribusi yang adil akan membawa
manusia pada perasaan diperlakukan adil yang selanjutnya
akan membawa mereka pada upaya untuk terus berkarya dan
produktif karena mereka sadar akan mendapat imbalan
sebanding dengan usahanya. Kemiskinan tidak dapat
dipahami dari nilai absolutnya saja. Ini terutama pada
situasi dimana kemajuan dan kesejahteraan telah dinikmati
oleh sebagian orang. Orang yang secara ekonomis telah
tercukupi kebutuhan pokoknya tidak berarti dia dapat
menilai dirinya sebagai berkecukupan. Mengapa? Orang akan
selalu melakukan perbandingan dengan orang lain. Teori
Perbandingan Sosial yang dikemukakan Leon Festinger
menegaskan hal ini. Kesenjangan sosial akan membawa orang
yang kekayaannya sedikit, meski tidak miskin lagi, merasa
miskin. Apabila mereka berpikir bahwa kekurang
berhasilannya itu disebabkan karena diperlakukan tidak

16
adil seperti dalam konsep equity, maka terjadi deprivasi
relatif. Konsep deprivasi relatif seperti ini telah
berhasil menjelaskan munculnya fenomena kerusuhan sosial.
Tentu saja ini bukan satu-satunya teori yang dapat
menjelaskan terjadinya kerusuhan sosial. Teori Identitas
Sosial, Kategori Sosial dan Nilai-nilai
Sosial(Faturochman, 1993) dapat pula menjelaskannya.
Sementara itu dalam Teori Agresi dikenal konsep etologi.
Secara singkat, konsep ini menjelaskan bahwa akan terjadi
agresivitas bila sumber kehidupan seseorang diambil alih
oleh orang lain. Apabila beberapa konsep ini disatukan
maka akan jelas bahwa potensi terjadinya kerusuhan cukup
besar bila kemiskinan absolut maupun relatif masih ada.

Tanggung Jawab Sosial

Akhir-akhir ini sering disinyalir bahwa solidaritas


sosial telah terkikis. Keengganan untuk menolong orang
lain dapat terjadi karena dorongan untuk menolong
berkurang, proses menolong yang semakin sulit, dan akibat
dari menolong tidak selamanya positif. Situasi dunia yang
makin kompetitif melemahkan dorongan untuk menolong.
Jalan raya yang padat makin menyusahkan orang memberi
pertolongan terhadap korban kecelakaan. Orang yang
menolong korban penganiayaan bisa menanggung risiko yang
besar seperti disakiti dan diancam.

Psikologi Sosial tidak hanya menganalisis untuk


memahami fenomena seperti itu, tetapi juga mengemukakan
berbagai altematif untuk meningkatkan tanggung jawab

17
sosial terutama dalam hal perilaku menolong. Teknik-
teknik mempengaruhi orang lain dapat diterapkan untuk
mencari pertolongan. Selama ini teknik tersebut banyak
dimanfaatkan untuk hal- hal yang bersifat selfish, namun
ini tidak berarti bahwa hal yang serupa tidak dapat
diarahkan untuk keuntungan bersama. Upaya ini akan dapat
lebih efektif bila dikombinasikan dengan cara-cara
mengubah sikap.

Masalah keluarga

Di beberapa negara maju ada perubahan yang cukup


drastis dalam keluarga sebagai institusi. Pernikahan
tidak lagi dianggap satu-satunya yang cara untuk
membentuk sebuah keluarga. Rasionalitas telah menjadi
dasar dalam menjalin hubungan antar anggota keluarga.
Karenanya, seolah-olah kehangatan dalam keluarga tidak
cukup kuat. Di Indonesia masalahnya tidak seperti di
negara maju. Meskipun demikian perubahan yang terjadi
cenderung searah dengan yang sekarang terjadi di negara
maju. Gejala yang muncul sekarang adalah makin
berkurangnya peran keluarga luas (extended family) dan
pola hubungan menyempit sebatas pada keluarga inti
(Faturochman, 1996).

Apakah Teori Ketertarikan dan Teori Cinta dapat


dimanfaatkan untuk menjelaskan gejala di atas? Jawabnya
jelas, dapat. Bahkan akan sangat ideal seandainya konsep-
konsep ketertarikan dan teori segitiga cinta dari
Stemberg dapat diterapkan dalam membina pola hubungan

18
keluarga besar. Tentu saja upaya seperti itu tidak mudah
karena asumsi-asumsi pada kedua konsep tersebut terbatas
untuk pola hubungan dyadic. Meskipun demikian upaya untuk
itu tetap mungkin dilakukan, misalnya dengan menambahkan
Teori Dinamika Kelompok dalam penerapannya. Di sini jelas
sekali bahwa salah satu keunggulan Psikologi Sosial dalam
menganalisis gejala yang ada adalah kemampuannya
menjelaskan dinamika kelompok.

Tiga contoh di atas hanya sebagian dari penerapan


Psikologi Sosial dalam menjelaskan fenomena sosial aktual
dan mengupayakannya searah dengan tujuan masyarakat
dewasa ini. Masih banyak hal lain yang dapat dijelaskan
dengan teori-teori yang ada dalam Psikologi Sosial. Dalam
pengantar ini cukup kiranya membatasi pada sebagian kecil
contoh sebagai ilustrasi.

Sebagian besar konsep dan teori yang disitir dalam


contoh di atas akan dibahas dalam buku ini. Masih ada
beberapa bahasan dalam buku ini yang belum diterapkan
untuk analisis fenomena sosial mutakhir. Lebih dari itu,
masih banyak pula konsep dan teori Psikologi Sosial lain
yang tidak dibahas dalam buku ini yang memiliki manfaat
besar untuk membahas fenomena sosial mutakhir. Pembaca
dapat memperluas pengetahuanya untuk kemudian
mengembangkan khasanah Psikologi Sosial.

19
20
BAB II
PERSEPSI DIRI

Secara prinsip, proses persepsi sosial dan persepsi


diri tidak ada perbedaan. Terutama dalam hubungannya
dengan proses fisiologis dalam otak. Perbedaan yang
mendasar antara keduanya adalah karena pada persepsi diri
subyek dan obyeknya sama. Menurut Darley Bem (dalam
Manstead dan Hewstone, 1996; Shaw dan Costanzo, 1982),
perbedaan mendasar antara persepsi diri dengan persepsi
sosial disebabkan oleh beberapa faktor. Di antaranya
disebutkan di bawah ini.

1. Perbedaan dalam diri dengan luar diri seseorang.


Ada kecenderungan bahwa suatu kesalahan bagi
pelaku disebabkan karena faktor di luar dirinya,
sedangkan bagi orang lain suatu kesalahan
disebabkan lebih disebabkan oleh faktor pelaku itu
sendiri.

2. Perbedaan karena kenal dengan tidak kenal.


Di dalam persepsi diri, orang yang bersangkutan
lebih tahu banyak tentang dirinya dibandingkan
orang lain, terutama berkaitan dengan masalah
waktu. Orang lain pada umumnya mengetahui
seseorang dalam jangka waktu tertentu. Sebaliknya,
bagi yang bersangkutan segala sesuatu yang terjadi
pada orang lain diketahui sebatas waktu kejadian,

21
atau sepenggal-sepenggal.

3. Perbedaan antara diri dengan orang lain.


Bagi pelaku, suatu keberhasilan dianggapnya
sebagai cerminan dari self-esteemnya, sedangkan
bagi orang lain hal itu sering dianggap sebagai
usaha untuk menutupi kelemahannya.

4. Perbedaan sebagai pelaku dan pengamat.


Dalam kehidupan sehari-hari pasti ada perbedaan
pandangan antara orang yang mengalami dengan
orang lain yang mengamatinya. Subjektivitas pada
pelaku maupun pengamat sama-sama berperan dalam
melakukan penilaian.

Ketika melakukan proses persepsi diri, maka


seseorang bertindak sebagai aktor sekaligus pelaku. Ini
berbeda dengan persepsi sosial yang membedakan aktor dan
pelaku. Dengan demikian semakin kelihatan bahwa ditinjau
dari proses fisiologis persepsi, keduanya tidak berbeda,
tetapi sampai pada impresi dan atribusi akan kelihatan
perbedaan pada keduanya cukup menonjol.
Persepsi diri bermanfaat bagi seseorang dalam usaha
untuk menempatkan diri dalam berhubungan dengan orang
lain. Secara garis besar untuk mendapatkan gambaran
tentang diri sendiri ditempuh dengan dua cara. Pertama
dengan jalan mengamati langsung perilaku dirinya, dan ke
dua dengan cara mempersepsi bagaimana persepsi orang lain
tentang dirinya.

EVALUASI DIRI

22
Tujuan yang lebih mendasar dari persepsi diri adalah
dalam rangka menilai diri sendiri. Evaluasi diri akan
menjadi sulit tanpa adanya pembanding, dalam hal ini
orang lain. Oleh karenanya cara yang paling sering
digunakan dalam evaluasi diri adalah dengan jalan
melakukan perbandingan sosial.
Teori Perbandingan Sosial yang banyak dikenal
mengacu pada pendapat Leon Festinger (1954), yang
menyatakan bahwa seseorang menggunakan orang lain sebagai
dasar perbandingan untuk mengevaluasi diri sendiri baik
dalam hal pendapat maupun dalam hal kemampuan. Teori ini
kemudian berkembang karena pada dasarnya tiap-tiap
individu memiliki kebutuhan untuk menilai diri sendiri.
Namun demikian, tidak setiap saat kebutuhan itu muncul.
Pada saat seseorang merasa ragu atau tidak yakin dengan
kemampuan maupun opininya, maka ia butuh tahu kondisi
yang sesungguhnya. Untuk mengetahui hal tersebut, maka
cara yang digunakan adalah dengan jalan menilai diri
sendiri. Di samping itu, pada saat menghadapi persaingan
orang juga membutuhkan evaluasi diri. Tujuannya agar
dapat mengungguli saingan atau setidaknya menyamainya.
Apabila kemudian dia sadar bahwa kemampuannya terlalu
jauh di bawah dirinya, maka akan dilakukan usaha untuk
menghindari persaingan itu.
Tentu saja tidak semua orang bisa dijadikan sebagai
pembanding dalam perbandingan sosial. Pelari daerah,
misalnya, akan berusaha mencari pembanding yang setara
dengan dirinya dalam usaha memacu prestasi, tidak
membandingkan dirinya dengan pelari yang meraih medali

23
emas dalam olimpiade. Mencari pembanding yang seimbang
dengan kemampuannya atau yang memiliki karakteristik
tidak jauh berbeda adalah hal yang paling wajar. Dalam
kondisi yang khusus, keadaan seperti itu sering tidak
terjadi. Orang yang keyakinan dirinya rendah, akan
berusaha membandingkan dengan orang yang kemampuannya
berada di bawah kemampuan yang sesungguhnya dari orang
tersebut. Hal ini berbeda dengan orang yang ingin
meningkatkan kemampuan dirinya. Orang yang demikian
biasanya mencari pembanding yang kualifikasinya lebih
tinggi daripada dirinya.
Penonjolan keunikan. Salah satu kesulitan dalam
menilai diri adalah kecenderungan untuk menggunakan hal-
hal yang justru kurang biasa pada dirinya atau hal-hal
yang menonjol saja (dalam arti negatif maupun positif).
Gejala seperti ini biasa disebut sebagai distinctiveness
postulate. Apabila hal ini terjadi, maka obyektivitas
penilaian menjadi berkurang.
Skemata diri. Untuk sampai pada atribusi dalam
proses persepsi, terjadi suatu proses dalam self yang
merupakan mental framework (jaringan kerangka kerja
mental) yang terbentuk melalui pengalaman-pengalaman
untuk memproses informasi yang masuk, yang biasa disebut
schema. Dalam kaitannya dengan persepsi diri, skema yang
digunakan adalah skema diri, yaitu jaringan kerangka
kerja mental yang menentukan bagaimana fakta-fakta
tentang diri sendiri yang sedang diperhatikan, bagaimana
menyimpan fakta tersebut dalam memori dan bagaimana
menggunakan informasi tersebut dalam pembentukan impresi

24
tentang diri sendiri. Skema diri bisa digunakan untuk
memprediksi bagaimana kita akan merespon terhadap suatu
situasi di masa yang akan datang. Dengan kata lain,
pengetahuan tentang skema diri akan mempermudah dalam
memprediksi diri sendiri terhadap kemungkinan-kemungkinan
situasi yang akan dihadapi di masa yang akan datang.
Vefikasi diri. Dengan mengetahui skema dirinya, orang
tidak hanya akan mempermudah memprediksi diri
sendiri,tetapi juga kemudian berusaha untuk memperhatikan
dan mencari informasi yang sesuai dengan skema diri
tersebut. Keadaan seperti ini disebut sebagai
verifikasi diri. Contohnya adalah pada orang yang asertif.
Orang ini akan berusaha untuk mencari informasi yang
sesuai dengan asertivitasnya itu, dia kemungkinan akan
menghindari orang orang yang kurang asertif dengan tujuan
agar situasinya sesuai dengan skemata dirinya.

ATRIBUSI DIRI
Daryl Bem menyatakan bahwa seseorang mencoba memahami
sikap dan karakteristik dirinya sendiri dengan jalan
melihat pada perilaku dirinya dan situasi yang ada pada
saat itu.
Orang dapat melihat dirinya sebagaimana ia melihat
orang lain, dan juga memperhatikan penyebab-penyebab dari
perilakunya.
Contoh dari konsep tersebut adalah pada petinju
Mohammad Ali. Dia selalu mengatakan bahwa "Sayalah yang
terbesar". Kemudian dia mencocokkan dengan keadaan
sesungguhnya. Ternyata dia memang mampu merobohkan lawan-

25
lawannya. Dengan melihat kenyataan ini, ia merasa yakin
bahwa dia memang yang terbesar. Sebaliknya, apabila
ternyata dia beberapa kali dikalahkan, maka dia akan
menyatakan bahwa hal itu disebabkan karena faktor situasi.
Demikian juga sebaliknya, apabila dia ternyata memang
bukan yang terbesar, tetapi hal itu lebih bertujuan untuk
menarik penonton menyaksikan pertandingannya, maka dia
sebetulnya sadar, bahwa perkataannya itu lebih berperan
sebagai pemnarik perhatian, bukan gambaran tentang
dirinya.
Mungkinkah persepsi diri obyektif? Pada dasarnya
persepsi diri bisa obyektif. Untuk membuktikan hal ini
bisa menggunakan kerangka berpikir dari teori disonansi.
Menurut teori ini pada dasarnya setiap individu berusaha
untuk bisa dalam keadaan konsisten antar berbagai hal
dalam dirinya (perbuatan, pikiran, dan perasaan). Dengan
kata lain kondisi yang diinginkan adalah kondisi konsonan,
selaras antara pikiran, perasaan, perkataan dan
perbuatannya. Apabila tidak ada konsistensi antar dua
aspek atau lebih dalam dirinya, maka kondisi ini disebut
sebagai disonansi. Kondisi seperti ini sangat tidak
diinginkan oleh setiap individu. Untuk menghindari
keadaan disonan itulah, orang akan mempersepsi dirinya
seobyektif mungkin. Salah satu cara yang sering ditempuh
untuk mengetahui atau menguji obyektivitas tersebut
adalah melalui introspeksi.

Efek justifikasi berlebihan. Sering terjadi bahwa


seseorang merasa lebih puas apabila perilakunya merupakan

26
cerminan keadaan dalam dirinya, sesuai dengan atribusi
internal dirinya. Pada kenyataannya tidak jarang terjadi
bahwa seseorang melakukan sesuatu menurut atau sesuai
dengan kemauannya, namun orang lain justru memberi hadiah
padanya. Akibatnya orang yang bersangkutan menjadi tidak
puas atau kurang yakin dengan kemampuannya. Selanjutnya
dia menjadi kurang bersemangat melakukan hal itu.(Kondisi
seperti ini) disebut sebagai efek justifikasi yang
berlebihan, sedangkan hadiah yang menyebabkan efek ini
disebut sebagai controlling reward.

Excitation Transfer. Dolf Zilmann dkk. (1972)


menemukan bahwa sering terjadi pengaruh dari keadaan
fisik terhadap proses atribusi. Salah satu penyebab
terjadinya keadaan seperti ini adalah adanya pengaruh
dari ephinephrine, hormon perangsang. Hormon ini
mendorong seseorang ke dalam kondisi emosi yang menonjol
atau ekstrim. Dalam keadaan demikian, maka proses
atribusi menjadi terpengaruh. Contoh dari keadaan
seperti ini adalah dalam kondisi yang mencekam. Hasil
penelitian menemukan bahwa dalam keadaan mencekam, orang
akan menilai sesuatu yang menyenangkan lebih
menyenangkan lagi dari keadaan yang sesungguhnya, dan
sesuatu yang kurang menyenangkan menjadi sangat kurang
menyenangkan.

Ilusi Kontrol. Sering juga terjadi bahwa seseorang


merasa yakin mampu mengontrol keadaan, bahkan keadaan
yang terjadi karena kebetulan. Keyakinan memiliki

27
kemampuan mengontrol keadaan yang sesungguhnya random ini
disebut sebagai ilusi kontrol. Contohnya adalah pada para
penjudi. Mereka sering sekali yakin mampu meramalkan
angka yang akan muncul pada pelemparan dadu, sehingga
berani bertaruh dalam jumlah yang banyak.
Ketiga hal di atas, overjustifikasi, excitation
transfer, dan ilusi kontrol, yang sering menimbulkan bias
dalam atribusi diri.

KESADARAN DIRI
Orang yang mampu mempersepsi diri dengan baik
berarti mempunyai kesadaran diri yang baik pula.
Selanjutnya orang yang sadar diri ini akan lebih banyak
memperhatikan dan memproses informasi tentang dirinya.
Dia menjadi sadar tentang jarak antara ideal diri dengan
kenyataan dirinya dan juga menjadi lebih kritis terhadap
dirinya. Orang yang kesadaran dirinya tinggi juga
mengetahui dirinya secara lebih baik, memahami emosi -
emosinya, dan mampu mengetahui moodnya pada suatu momen
tertentu.
Dengan singkat orang yang memiliki kesadaran diri
juga mampu menyesuaikan dirinya dengan situasi yang
dialami, atau memiliki pemonitoran diri yang baik. Oleh
karena itu ia juga mampu membaca situasi sosial dalam
rangka memahami orang lain dan mengerti harapan orang
lain terhadap dirinya. Sebaliknya, orang yang rendah
monitor dirinya cenderung konsisten perilakunya dari
waktu ke waktu karena memang tidak ada usaha untuk
menyesuaikan diri dengan situasi yang dihadapinya.

28
BAB III
PERSEPSI SOSIAL

Ada kecenderungan umum pada seseorang ketika bertemu


dengan orang lain yang belum dikenalnya untuk memberi
penilaian atau untuk mengetahui seperti apa orang yang
dijumpainya itu. Kecenderungan untuk memberi suatu cap
tertentu pada seseorang masih juga terlihat pada masa-
masa seperti sekarang, di mana hubungan antar individu
terasa semakin merenggang. Fenomena seperti ini menarik
perhatian para ahli untuk mempelajari lebih lanjut
sehingga muncul teori-teori persepsi sosial.
Salah satu konsep yang dapat menerangkan timbulnya
kecenderungan seperti di atas adalah konsep tentang
filsafat sifat manusia (philosophies of human nature)
Menurut konsep ini, ada harapan pada seseorang agar orang
lain mempunyai kualitas tertentu dan akan berperilaku
sesuai dengan kualitas yang dimilikinya. Karena harapan
akan munculnya perilaku ini sering tidak dilandasi oleh
adanya fakta-fakta obyektif, maka seringkali tidak
terwujud dalam kenyataannya. Dengan kata lain harapan
tersebut belum tentu sesuai dengan kondisi nyata orangnya.
Dalam mencoba menginterpretasi perilaku orang lain,
sering digunakan dimensi-dimensi tertentu. Wrightsman dan
Deaux (1981) mengemukakan enam dimensi pokok yang paling

29
sering digunakan orang untuk menginterpretasi perilaku
orang lain. Keenam dimensi tersebut adalah:

1. Dapat dipercaya - tidak dapat dipercaya

2. Rasional - irrasional

3. Altruis - orientasi diri

4. Independen - konform dengan kelompok

5. Variatif - kesamaan

6. Kompleksitas - kesederhanaan

Melalui perkembangan dan pengalaman, orang membangun


konsep kepribadian implisit (Implicit Personality Theory),
yaitu asumsi-asumsi adanya sifat–sifat tertentu yang
berkorelasi dengan sifat lain. Misalnya, begitu seseorang
tahu bahwa kenalan barunya adalah seorang yang cerdas,
maka ia akan menyimpulkan juga bahwa orang tersebut
adalah orang yang bersahabat, suka bergaul, baik hati,
dan beberapa sifat positif lain. Sebaliknya satu sifat
negatif tertentu diketahui, seringkali dihubung-hubungkan
dengan sifat negatif lainnya. Sifat tertutup, misalnya,
dihubungkan dengan sifat pelit, kurang cerdas, dan
seterusnya. Cara pengambilan keputusan seperti di atas
memang sering tidak tepat. Oleh karena itu orang-orang
yang memiliki kecenderungan demikian sering disebut
sebagai psikolog naif.

Terlepas dari permasalahan akurasi penilaian, proses


pencarian, pengorganisasi, sampai pada interpretasi
informasi yang didapat tentang orang lain, selanjutnya
disebut sebagai kognisi sosial, terjadi pada setiap saat.

30
Salah satu bagian dari kognisi sosial adalah persepsi
sosial, yaitu proses pembentukan kesan (impresi) tentang
karakteristik orang lain. Pada bagian ini akan
dibicarakan berbagai hal yang berkaitan dengan persepsi
sosial.

PEMBENTUKAN KESAN
Untuk menjadi terkesan dengan sesuatu tentunya
melalui proses tertentu yang terkadang amat rumit. Banyak
faktor yang mempengaruhi munculnya kesan tertentu. Di
sisi lain pemunculan kesan bukan tahap terakhir dari
persepsi. Pemberian atribusi dan konsekuensi dari
atribusi tersebut merupakan aspek yang sulit dipisahkan
dari persepsi.

Isyarat Nonverbal
Sama pentingnya dengan isi suatu perkataan, isyarat
nonverbal sering justru menghapuskan arti dari semua yang
telah disampaikan melalui perkataan. Apabila lawan bicara
memandang ke arah lain, bukan ke arah lawan bicaranya,
orang akan berpendapat bahwa ia kurang memperhatikan,
sehingga apa yang dikatakannya memiliki arti lebih rendah
daripada bila dia melakukan pembicaraan dengan disertai
kontak mata. Contoh lain yang menunjukkan arti penting
isyarat non-verbal adalah wajah yang murung. Tanpa
berbicara sepatahpun orang lain akan menduga bahwa orang
tersebut sedang sedih.
Dalam proses pembentukan kesan, isyarat non-verbal
sering menduduki tempat yang paling awal. Isyarat itu

31
tidak terbatas pada ekspresi wajah, tetapi juga dari cara
berpakaian, gerak tubuh, dan cara berperilaku. Meskipun
makna untuk masing-masing isyarat bisa berlainan antara
satu tempat dengan tempat lainnya, namun pada umumnya ada
kesepakatan bahwa beberapa isyarat non-verbal sangat
penting artinya dalam komunikasi dan persepsi.

Prototipe dan Stereotipe

Pengetahuan tentang orang-orang tertentu dan


kaitannya dengan atribut tertentu sering diistilahkan
sebagai prototipe.

Hasil prototipe memunculkan adanya stereotipe, yaitu


pemberian atribut tertentu pada sekelompok orang tertentu.
Contoh dari stereotipe adalah anggapan bahwa orang
Indonesia pada umumnya ramah, orang Amerika
individualistis dan sebagainya. Meskipun proses pemberian
atribut ini didasarkan fakta-fakta tertentu, namun
generalisasinya belum tentu benar. Salah satu penyebab
kurang akuratnya adalah karena kurang memperhatikan
faktor waktu dan situasi. Oleh karena itu bisa
dipertanyakan, apakah orang Jawa ramah? Apakah pada semua
kondisi mereka juga ramah? Kelemahan lainnya adalah
karena kurang diperhatikan adanya faktor perbedaan
individu (individual differences) dan karakteristik
personal (personal characteristics).

Di dalam proses pembentukan impresi ini, stereotipe


sulit sekali diabaikan begitu saja. Dengan adanya
stereotipe ini di satu sisi akan membatasi persepsi dan

32
komunikasi, di sisi lain bisa dimanfaatkan untuk membina
hubungan lebih lanjut. Seperti halnya dalam konsep
kepribadian implisit dengan stereotipe juga akan muncul
illusory correlation, yaitu mengkaitkan secara berlebihan
antara satu karakteristik dengan karakteristik lain
secara general.

Kategorisasi Sosial

Sesaat setelah bertemu dengan orang lain, ada


kecenderungan untuk secepatnya mengategorisasikan orang
tersebut ke dalam suatu ciri tertentu. Penilaian yang
cepat ini memiliki arti yang penting pula dalam proses
pembentukan impresi selanjutnya. Contoh yang sering
ditemui dari pentingnya penilaian awal ini adalah
munculnya hallo effect, yaitu tendensi untuk berpikir dan
menilai bahwa orang yang kualitas baik pada satu hal juga
memiliki kualitas yang baik di berbagai hal.

Membuat suatu kategori tertentu juga sering diwarnai


oleh adanya kecenderungan untuk berperilaku tertentu
terhadap orang yang dinilai berdasarkan asumsi penilai
dengan harapan orang tersebut juga akan berbuat seperti
yang diharapkan penilai. Gejala ini biasa disebut sebagai
self-fulfilling prophecy.

Informasi Awal
Pada waktu akan mengadakan suatu pertemuan pertama
dengan orang yang tidak dikenal sebelumnya, seseorang

33
biasanya mempersiapkan diri sebaik mungkin. Tujuannya
agar timbul kesan yang positif pada kenalan barunya itu.
Hal seperti ini dilakukan karena ada keyakinan bahwa
kesan pertama memiliki arti yang penting untuk hubungan
selanjutnya. Satu bukti kekuatan kesan pertama yaitu
adanya konsep primacy effect. Ada gejala bahwa informasi
yang didapat pertama kali lebih berpengaruh terhadap
pembentukan kesan daripada informasi yang didapatkan
berikutnya. Inilah yang dimaksud primacy effect.
Efektivitas informasi awal ini menjadi lebih besar karena,
setidaknya, ada dua sebab. Pertama pada saat pertama kali
seseorang menerima informasi, perhatian yang tercurahkan
pada informasi tersebut masih banyak. Kedua, pada saat
datang informasi awal, memori akan dengan mudah
mengorganisasikannya sehingga di dalam ingatan juga lebih
lama bertahan.

Informasi Terakhir

Sering juga terjadi bahwa bukan informasi yang


pertama yang lebih berpengaruh terhadap pembentukan
impresi, tetapi justru informasi terakhirlah yang
berpengaruh. Keadaan seperti ini dikenal sebagai recency
effect. Menurut Luchins (dalam Worchel dan Cooper, 1983),
informasi terakhir lebih berpengaruh antara lain karena
selang waktu informasi awal dengan informasi terakhir
yang panjang. Dengan demikian informasi pertama
terasimilasi oleh informasi yang berikutnya. Kemungkinan
lain penyebab efektivitas dari informasi terakhir yang

34
lebih berpengaruh adalah karena informasi tersebut
memiliki intensitas yang tinggi sehingga menimbulkan
kesan yang mendalam. Di samping intensitas informasi
(isi), situasi (konteks) di saat informasi terakhir
terjadi yang mengesankan juga akan sangat berpengaruh
terhadap efektivitas pembentukan kesan. Isi dan konteks
juga ikut berpengaruh terhadap terjadinya primacy effect.

ATRIBUSI

Atribusi adalah kesimpulan yang dibuat oleh


seseorang untuk menerangkan mengapa orang lain melakukan
suatu perbuatan. Penyebab yang dimaksud biasanya adalah
disposisi pada orang yang bersangkutan. Dengan demikian
teori-teori atribusi adalah usaha untuk menerangkan
bagaimana suatu sebab menimbulkan perilaku tertentu.

Sejauh ini di dalam Psikologi Sosial dikenal


beberapa teori atribusi, di antaranya dikemukakan oleh (a)
Jones dan Davis (1965), (b) Kelley (1972), dan (c) Weiner
dkk. (1972).

Theory of Correspondent Inference dari Edward Jones dan


Keith Davis

Apabila perilaku berhubungan dengan sikap atau


karakteristik personal berarti dengan melihat perilakunya
dapat diketahui dengan pasti sikap atau karakteristik
orang tersebut. Hubungan yang demikian adalah hubungan
yang dapat disimpulkan (correspondent inference). Ini
berbeda dengan keadaan, di mana banyak orang melakukan

35
hal yang sama. Misalnya, seorang yang menyampaikan rasa
simpati terhadap suatu musibah belum bisa dikatakan
sebagai orang yang simpatik, sebab sebagian orang memang
melakukan hal yang serupa.

Bagaimana mengetahui bahwa perilaku berhubungan


dengan karakteristik? Ada beberapa cara untuk melihat ada
atau tidak adanya hubungan antara keduanya. Pertama
dengan melihat kewajaran perbuatan atau perilaku. Orang
yang bertindak wajar (sesuai dengan keinginan masyarakat
(social desirability) sulit untuk dikatakan bahwa
tindakannya itu cerminan dari karakternya. Sebaliknya,
akan lebih mudah untuk menebak bahwa perilakunya
merupakan cerminan dari karakter dia bila dia melakukan
sesuatu yang kurang wajar. Contohnya orang yang berjalan
sesuai dengan jalur sulit untuk ditebak bahwa perilaku
itu mencerminkan karaktemya. Namun bila dijumpai ada
seseorang yang berjalan menerabas, dapat disimpulkan
bahwa perbuatan itu adalah cerminan dari karakternya,
tidak patuh aturan.

Cara yang kedua adalah dengan pengamatan terhadap


perilaku yang terjadi pada situasi yang memunculkan
beberapa pilihan. Pada situasi yang tidak memberikan
altematif lain, atau karena terpaksa, tidak mungkin bisa
memprediksikan bahwa perilaku tersebut merupakan cerminan
dari karakternya, tidak patuh aturan.
Cara yang lain lagi adalah dengan memberikan peran
yang berbeda dengan peran yang sudah biasa dilakukan.
Misalnya seorang juru tulis yang diminta menjadi juru

36
bayar. Dengan peran yang baru itu akan tampak keaslian
perilaku yang merupakan gambaran dari karakternya.

Model of Scientific Reasoner

Harold Kelley (1972) mengajukan konsep untuk


memahami penyebab perilaku seseorang dengan memandang
pengamat seperti ilmuwan, disebut ilmuwan naif. Untuk
sampai pada suatu kesimpulan atribusi seseorang,
diperlukan tiga informasi penting. Masing-masing
informasi juga harus menggambarkan tinggi-rendahnya.

Kekhasan (Distinctiveness). Konsep ini merujuk pada


bagaimana seseorang berperilaku dalam kondisi yang
berbeda-beda. Distinctiveness yang tinggi terjadi bila
orang yang bersangkutan mereaksi secara khusus pada suatu
peristiwa. Misalnya ia hanya ketawa ketika nonton film
komedi X, sedangkan ketika nonton film komedi lainnya ia
tidak pernah ketawa. Dikatakan distinctiveness rendah
bila ia merespon sama terhadap stimulus yang berbeda.
Misalnya seseorang yang selalu tertawa bila melihat film
komedi.

Konsistensi. Konsistensi menunjuk pada pentingnya


waktu sehubungan dengan suatu peristiwa. Konsistensinya
dikatakan tinggi apabila seseorang merespon sama untuk
stimulus yang sama pada waktu yang berbeda. Misalnya,
orang yang selalu tertawa bila melihat lelucon dari
pelawak Bagio, baik dulu maupun sekarang, disebut
konsistensinya tinggi. Sedangkan bila orang tersebut
hanya kadang-kadang saja tertawa terhadap lelucon Bagio,

37
ia konsistensinya rendah.

Konsensus. Konsep tentang konsensus melibatkan orang


lain sehubungan dengan stimulus yang sama. Apabila orang
lain tidak bereaksi sama dengan seseorang berarti
konsensusnya rendah. Sedangkan bila orang lain juga
melakukan hal sama dengan dirinya berarti konsensusnya
tinggi.

Dari ketiga informasi tersebut di atas, bisa di


tentukan atribusi pada seseorang. Menurut Kelley ada tiga
atribusi, yaitu:
1. Atribusi internal. Dikatakan perilaku seseorang
merupakan gambaran dari karakternya bila
distinctivenessnya rendah, konsensusnya rendah,
dan konsistensinya tinggi.
2. Atribusi eksternal. Ditandai dengan
distinctiveness yang tinggi, konsensus tinggi,
dan konsistensinya juga tinggi.
3. Atribusi internal-eksternal yaitu yang disebabkan
karena dorongan dari dalam diri orang tersebut
dan juga dari luar dirinya. Tandanya adalah
distinctiveness yang tinggi, konsensus yang
rendah, dan konsistensi yang tinggi.

Atribusi Keberhasilan dan Kegagalan dari Weiner


Dua teori atribusi di atas bisa diterapkan secara
lebih umum daripada teori yang akan dibicarakan pada
bagian ini. Weiner dkk. (1972) mengkhususkan diri
berteori tentang atribusi dalam kaitannya dengan

38
keberhasilan dan kegagalan dari suatu usaha.
Untuk menerangkan proses atribusi tentang
keberhasilan atau kegagalan seseorang maka perlu memahami
dimensinya. Ada dua dimensi pokok untuk memberi atribusi.
Pertama, keberhasilan dan kegagalan memiliki penyebab
internal atau eksternal (mirip konsep dari Kelley atau
pusat kendali). Dimensi kedua memandang dari segi
stabilitas penyebab, stabil atau tidak. Dari kedua
dimensi tersebut dapat dilihat adanya empat kemungkinan.
Untuk lebih jelasnya lihat tabel berikut ini.

Kategorisasi Atribusi Keberhasilan

Kestabilan

Kendali Tidak stabil Stabil


(temporer) (permanen)

Internal - usaha - bakat


- mood - kecerdasan
- kelelahan - karakteristik fisik

Eksternal - nasib - tingkat kesukaran


- tidaksengaja tugas
- kesempatan

Berdasarkan pada tabel di atas, maka dapat dilakukan


kategorisasi atau atribusi seseorang. Misalnya mahasiswa

39
yang berhasil menempuh ujian akhir kemungkinan karena
selama kuliah memang selalu mendapat nilai baik dan dia
memiliki kesanggupan untuk berusaha, maka dia bisa
disebut sebagai orang yang cerdas, berbakat, atau
berkemampuan tinggi. Orang yang demikian bisa diberi
atribusi internal-stabil. Bisa juga bukan karena
kemampuannya yang memadai, tetapi karena tugas yang
dibebankan relatif mudah, berarti atribusinya eksternal
stabil. Contoh atribusi internal-tidak stabil adalah pada
kasus orang yang memiliki bakat tetapi keberhasilannya
tergantung pada besarnya usaha, sehingga kadang-kadang
berhasil tetapi tidak jarang pula gagal. Atribusi
eksternal tidak stabil, contohnya adalah orang yang
mendapat undian berhadiah.

Konsep atribusi ini tidak hanya terbatas untuk


melihat keberhasilan, tetapi dengan analogi yang sama
bisa juga untuk memberi atribusi kegagalan. Contohnya
adalah orang pandai, yang biasanya sukses, suatu ketika
mengalami kegagalan karena tugas yang dibebankan terlalu
berat untuk ditanggung sendirian (eksternal-stabil).

Pada tahun 1982, Weiner memperluas model atribusinya


dengan menambahkan satu dimensi lagi di dalam dimensi
penyebab internal-eksternal, yaitu dimensi dapat atau
tidaknya penyebab itu terkontrol (controlable). Contoh
atribusi internal-stabil-tak terkontrol adalah sukses
karena bakat yang luar biasa sehingga jarang mengalami
kegagalan.

40
BIAS DALAM ATRIBUSI

Seringkali proses atribusi menjadi bias karena


faktor pengamat sebagai ilmuwan naif menggunakan konsep
dirinya ke dalam proses tersebut dan juga karena faktor-
faktor yang berhubungan dengan orientasi pengamatan.
Beberapa bias yang dikenal di bawah ini dirangkum dari
tulisan Baron dan Byrne (1994), serta Worchel dan Cooper
(1983).

Bias Fundamental Atribusi. Di dalam memberi


atribusipada pelaku, pengamat sering terlalu banyak
menekankan aktor disposisi daripada faktor situasi.
Penekanan yang tidak seimbang dari dua sisi akan
menyebabkan bias dalam kesimpulan. Di sisi lain fokus
pengamatan memang lebih banyak pada perilaku, tetapi
bukan berarti faktor situasional kurang berperan. Bias
atribusi fundamental ini pertama kali dikemukakan oleh
Lee Ross (1977).

Bias Self-serving. Ada kecenderungan umum pada


setiap orang untuk menghindari celaan karena kesalahannya.
Sayangnya cara yang dipilih untuk menghindari kedaan itu
sering tidak tepat, yaitu dengan menimpakan pada situasi
di luar dirinya.

Seorang yang gagal menjadi juara sering menimpakan


kesalahan pada panitia atau arena. Sedangkan bila
mendapat keberhasilan dia lebih menekankan bahwa hal itu
adalah karena kemampuannya.

41
Efek Pelaku-pengamat. Bias ini terutama muncul pada
hubungan antara pelaku dan pengamat yang sudah terjalin
baik. pelaku akan menekankan bahwa perbuatannya lebih
ditentukan oleh faktor situasional, sedangkan menurut
pengamat perbuatan pelaku lebih banyak dipengaruhi faktor
disposisi. Contohnya adalah hubungan antara seorang guru
dengan siswa.

Ketika suatu saat guru memberi nilai jelek pada


hasil karangan murid, kedua orang ini memiliki sudut
pandang yang berbeda dalam menilai kegagalan. Bagi murid,
kegagalan tersebut disebabkan oleh kesibukannya, gangguan
dari teman, ruang yang panas, atau yang lain. Sedangkan
guru cenderung menimpakan keadaan ini kepada kondisi
murid itu sendiri, misalnya kurang membaca bahan, kurang
teliti, kurang ada kemauan dan sebagainya.

Menyalahkan Diri Sendiri. Tidak jarang pula ditemui


seseorang yang terlalu menyalahkan diri sendiri, terutama
bila mengalami kegagalan. Orang yang sering menyalahkan
diri sendiri, akan sulit untuk secara obyektif memberi
penilaian, sehingga dalam proses atribusi juga sering
menyebabkan kebiasaan.

Relevansi Hedonis. Pengamat sering kurang obyektif


memberi penilaian terhadap peristiwa yang menyangkut
dirinya. Apabila peristiwa itu menguntungkannya, maka
akan menyebabkan penilaian lebih positif. Sebaliknya,
bila peristiwa tersebut kurang menguntungkan dirinya,
penilaian menjadi condong negatif.

Bias Egosentris. Sering dijumpai pula bahwa orang

42
menilai dengan menggunakan dirinya sebagai referensi,
atau beranggapan bahwa orang pada umumnya akan berbuat
seperti dirinya. Apabila standar diri ini diterapkan
dalam memberi atribusi, maka bias sulit untuk dihindarkan.

43
BAB IV
SIKAP

PENGERTIAN

Pembahasan tentang sikap seringkali menjadi dominan


dalam Psikologi Sosial. Hal ini terlihat dengan banyaknya
tulisan dan penelitian tentang sikap. Meskipun tidak bisa
menunjukkan jumlah kongkrit dari fakta yang ada, dari
pengamatan penilaian di atas bisa dibenarkan. Keadaan ini
menunjukkan pentingnya sikap dalam kehidupan sosial,
terutama dalam perspektif Psikologi.

Sikap adalah organisasi yang relatif menetap dari


perasaan-perasaan, keyakinan-keyakinan dan kecenderungan
perilaku terhadap orang lain, kelompok, ide-ide atau
obyek-obyek tertentu (Fishbein & Ajzen, 1975). Dari
pengertian ini, ada tiga hal penting yang terkandung di
dalam sikap, yaitu aspek afeksi (perasaan), aspek kognisi
(keyakinan), dan aspek perilaku (dalam bentuk nyata
ataupun kecenderungan). Aspek afeksi dari sikap terlihat
.

dengan adanya penilaian dan perasaan terhadap suatu obyek


bila seseorang bersikap. Perasaan yang ditujukan kepada
obyek tertentu bisa positif, bisa juga negatif. Perkataan
yang berhubungan dengan kekaguman, pujian atau
penghargaan adalah sebagian contoh perasaan positif yang
ditujukan secara verbal. Sedangkan senyuman, pupil yang
melebar, rona yang cerah, adalah contoh dari ekspresi

44
sikap positif yang non-verbal. Contoh perasaan nagatif
dari sikap yang diekspresikan secara verbal adalah adalah
cemoohan, sedangkan kerutan dahi dan muka cemberut adalah
contoh dari ekspresi sikap negatif non-verbal.

Ekspresi non-verbal dari aspek kognisi, baik yang


positif maupun negatif, lebih sulit dilihat daripada
ekspresi verbalnya. Menganggukkan kepala, misalnya,
secara konsisten sulit dikatakan sebagai ekspresi sikap
positif sebab seringkali hal ini hanya terbatas pada
pemahaman masalah, belum menunjukkan arah sikap. Di pihak
lain, pemberian persetujuan secara verbal lebih mudah
dilihat sebagai ekspresi dari sikap positif yang
berlandaskan pada pertimbangan pikiran.

Menunut Ajzen (1988) serta Fisbein dan Ajzen


(1975)respon-respon kognitif merupakan ekspresi dari
keyakinan (belief). Sesuai dengan sifat dari keyakinan,
maka keyakinan ini tidak semata-mata berisi pengetahuan
yang sesuai dengan kenyataan atau fakta, tetapi
pengetahuan yang dimaksud terutama adalah opini tentang
sesuatu hal yang belum tentu sesuai dengan kenyataan.

Aspek konasi sikap bisa berupa kecenderungan


perilaku, intensi (niat), komitmen dan perbuatan
respektif kepada obyek sikap. Aspek ini bisa dalam bentuk
yang positif maupun negatif. Pemunculannya dipengaruhi
oleh banyak faktor yang akan dibahas dalam bagian
tersendiri.

45
PEMBENTUKAN SIKAP

Sikap-sikap tertentu dapat dibentuk sejak usia dini.


Sikap yang lain terbentuk dalam waktu singkat untuk
menanggapi suatu kejadian. Kapanpun terbentuknya,
beberapa konsep di bawah ini dapat menerangkan sebagian
di antaranya.

Teori Belajar

Classical Conditioning Theory. Salah satu


penelitian dengan mengondisikan kata terang dan gelap
untuk digeneralisasikan dengan putih dan hitam (sebagai
warna kulit) ternyata menimbulkan sikap positip terhadap
orang dengan warna kulit putih dan sikap negatif terhadap
orang kulit hitam.

Penelitian dalam rangka menunjukkan efektivitas


teori ini juga pernah dilakukan oleh orang lain. Staats
dan Staats (lihat Baron & Byrne, 1994) meminta kepada
subyek untuk menjawab kata 'Belanda' untuk hal-hal yang
baik dan menjawab 'Swedia' untuk setiap munculnya kata-
kata negatif. Setelah beberapa lama kepada subyek diminta
untuk me-rating kedua bangsa (Belanda dan Swedia),
ternyata Belanda dirating lebih tinggi daripada Swedia.
Kedua penelitian di atas menujukkan bahwa munculnya
suatu respon dengan syarat bisa membentuk sikap tertentu.
Dalam kehidupan sehari-hari konsep ini sering
dimodifikasi untuk tujuan-tujuan tertentu, misalnya dalam
kampanye pemilihan umum atau penanaman suatu ideologi dan

46
membenci ideologi lain.

Instrumental Conditioning. Berbeda dengan teori


klasik di atas, teori ini menerapkan prinsip pemberian
hadiah dan hukuman terhadap munculnya respon-respon dari
subyek. Respon yang muncul sesuai dengan yang dikehendaki
diberi hadiah, sedangkan respon yang muncul tidak sesuai
dengan kehendak dikenai hukuman.

Dari beberapa penelitian yang pernah dilakukan


dengan menggunakan konsep ini juga menunjukkan hasil yang
memuaskan dalam membentuk suatu sikap. Orang akan
mengekpresikan pandangan dengan cepat bila diberi hadiah.
Hadiah terkecil yang diberikan adalah pujian dengan kata
"bagus" atau "hm... hm...". Makin konsisten pemberian
hadiah akan makin positif sikap yang terbentuk. Menurut
beberapa ahli teori ini tepat untuk menerangkan
pembentukan sikap pada anak-anak.

Belajar Melalui Observasi (modeling). Pada umumnya


orang belajar menanggapi sesuatu dan meresponnya dengan
melihat dari apa yang dilakukan oleh orang lain. Anak-
anak lebih sering memperhatikan apa yang dilakukan oleh
orang lain daripada apa yang didengarnya. Di samping itu
manusia pada umumnya lebih banyak menerima pendapat,
gagasan, dan sikap orang lain daripada menghindarinya.

Efektivitas konsep ini juga bisa dilihat dari


kehidupan sehari-hari. Melalui media massa, baik yang
berupa audio, visual, maupun cetak, seringkali orang
menjadi bersikap seperti yang ada pada media tersebut.

47
PERUBAHAN SIKAP

Ada beberapa metode untuk mengubah sikap. Di bawah


ini ada beberapa cara yang sering dilakukan oleh ahli
Psikologi untuk mengubah sikap. Namun demikian harus
dicatat bahwa banyak perubahan sikap yang terjadi tanpa
ada intervensi langsung dari atau oleh seseorang.
Dinamikanya barangkali tidak berbeda jauh dengan
perubahan yang disengaja.

Komunikasi Persuasif

Komunikasi sebagai salah satu bagian terpenting


dalam interaksi sosial tentunya juga akan menimbulkan
pengaruh-pengaruh sosial. Salah satu dari pengaruh sosial
tersebut adalah perubahan sikap, terutama bagi penerima
informasi. Namun tidak setiap komunikasi bisa menimbulkan
perubahan sikap. Untuk bisa mengubah sikap, masalah
mendasar yang harus ada adalah penerimaan isi komunikasi.
Secara keseluruhan faktor-faktor yang mempengaruhi
keberhasilan komunikasi, terutama komunikasi persuasif
adalah: komunikator, isi komunikasi dan situasi, serta
penerima.

Komunikator. Hal penting dari komunikator yang


harus diperhatikan ialah karakteristik komunikator, di
mana makin tinggi kredibilitasnya makin besar
kemungkinannya dapat mengubah sikap. Kredibilitas
komunikator ditentukan oleh:

1. Tingkat keahlian (level of expertise). Kompetensi


dan keahlian menambah nilai pesan dari komunikator,

48
sebab pesan yang disampailkan biasanya lebih nalar.

2. Motivasi dan intensi komunikator. Contoh, pelawak


yang menyerukan "sukseskan Pemilu" terasa kurang
bermotivasi dan bersungguh-sungguh daripada bila
hal serupa disampaikan oleh pihak berwenang.

3. Daya tarik. Orang yang memiliki daya tarik tinggi


biasanya makin disukai. Orang yang disukai oleh
audience akan lebih mudah mengubah sikap. Di
samping itu orang yang menarik cenderung untuk
diimitasi, termasuk juga sikap-sikapnya. Konsep
ini banyak digunakan dalam bidang politik dan
periklanan.

Apabila kredibilitas komunikator tidak memenuhi


syarat, maka akan terjadi hal yang tidak diinginkan.
Keadaan ini antara lain dengan munculnya sleeper effect,
yaitu pengaruh dari rendahnya kredibilitas komunikator
dalam waktu yang lama menyebabkan pendengamya sleep on
(tidak tertarik). Akibatnya ada disosiasi terhadap apa
saja yang disampaikan oleh komunikator.

Isi komunikasi dan Situasi. Dalam hal ini yang


paling penting adalah jarak antara komunikator dengan
audience yang tercermin dalam materi komunikasi. Makin
lebar jaraknya berarti menuntut perubahan sikap yang
makin drastis. Di lain pihak, bila isi komunikasi
dipaksakan maka akan terjadi efek boomerang yang pada
akhirnya akan terjadi penolakan (reactance). Jarak
perbedaan sikap bisa dilihat dengan pemahaman teori
penilaian sosial, bahwa sikap seseorang tidak pada satu

49
titik tertentu tetapi pada satu rentangan. Makin lebar
rentangan tersebut makin fleksibel orangnya. Faktor lain
yang sangat erat hubunganya dengan isi komunikasi adalah
setting. Suatu isi komunikasi akan efektif bila
disampaikan pada saat yang tepat.

Penerima Pesan. Orang yang mempunyai harga diri dan


kepercayaan diri tinggi biasanya lebih sulit diubah
sikapnya daripada yang memiliki harga diri rendah. Faktor
lain yang harus diperhatikan adalah mood penerima pesan.
Dengan mood yang baik perubahan sikap makin besar
kemungkinan terjadinya. Perhatian penerima pesan pada
saat berlangsung komunikasi juga amat penting. Dalam
keadaan terpecah perhatiannya komunikasi yang sederhana
bisa efektif, sedangkan komunikasi yang rumit sama sekali
tidak efektif.

Teori Disonansi Kognitif

Asumsi dasar dari teori ini menunjuk pada anggapan


bahwa orang pada umumnya tidak menyukai keadaan
inkonsistensi. Lebih lanjut keadaan ini menyebabkan
adanya disonansi, yaitu inkonsistensi antar sikap-sikap
yang ada maupun antara sikap dengan perilaku. Dapat juga
dikatakan bahwa dissonan terjadi bila salah satu elemen
kognisi berlawanan dengan elemen-elemen lain. Elemen
kognitif yang dimaksudkan adalah segala sesuatu yang
diketahui atau diyakini tentang dirinya, perilaku atau
lingkungannya.

Besar kecilnya kondisi dissonan tergantung pada

50
jumlah elemen yang terlibat di dalam keadaan
inkonsistensi dan arti penting elemen tersebut bagi
seseorang.

Dissonan biasanya dirasakan sangat tidak


menyenangkan atau tidak mengenakkan sehingga orang yang
mengalaminya berusaha untuk mengurangi atau
menghilangkannya. Caranya antara lain adalah:
1. Mengurangi arti penting dari elemen yang terlibat.

2. Menambah elemen yang konsonan.


3. Mengubah elemen yang membuat dissonan agar tidak
menimbulkan ketidak konsistenan lebih jauh.

Ketiga cara itulah yang pada akhirnya akan mengubah


sikap seseorang ke arah yang lebih sesuai dengan yang
dikehendaki oleh subyek. Tentu saja perubahan ini terjadi
hanya bila kondisi awal memang dissonan. Untuk mengubah
sikap pada orang yang sudah stabil (konsonan), maka
langkah awalnya adalah membuat kondisi menjadi dissonan
terlebih dulu. Caranya antara lain dengan memasukkan
suatu elemen kognitif yang berlawanan dengan elemen yang
sudah ada. Sesudah tercapai maka diarahkan kembali
menjadi stabil tetapi dalam bentuk yang berbeda. Dengan
kata lain dipecah dulu bentuknya untuk kemudian dibuat
bentuk yang baru.

Congruity Theory

Teori ini berlaku bila ada pernyataan dari sumber


tentang suatu obyek. Pernyataan yang dikemukakan bisa
menggambarkan associative bond (pernyataan positif,

51
setuju) maupun dissociative bond (menunjukkan ketidak
sukaan, atau pernyataan negatif) .

Suatu keadaan dikatakan congruence (selaras) bila


sumber dan konsep dihubungkan oleh associative bond dan
memiliki penilaian yang sama, atau bila suatu sumber dan
obyek dihubungkan oleh suatu dissociative bond yang
memiliki penilaian yang bertentangan.

SIKAP DAN PERILAKU

Apakah sikap dan perilaku selalu konsisten?


Pertanyaan ini sangat sering muncul pada pembahasan
tetang sikap, sebab dengan pengamatan sepintas sering
terlihat adanya ketidak konsistenan antara keduanya.
Contohnya, orang yang bersikap positif terhadap Program
Keluarga Berencana belum tentu dia mau berpartisipasi
atau ikut menjadi akseptor KB. Dokter yang tahu dengan
pasti tentang efek negatif dari merokok dan bersikap
positif terhadap pemberantasan kanker, yang antara lain
disebabkan oleh rokok, ternyata banyak yang menghisap
rokok.

Salah satu teori yang bisa menerangkan hubungan


antara sikap dan perilaku adalah teori yang dikemukakan
oleh Fishbein dan Ajzen (Ajzen, 1988; Fishbein dan Ajzen,
1975). Menurut mereka, antara sikap dan perbuatan
terdapat satu faktor psikologis lain yang harus ada agar
keduanya konsisten, yaitu niat (intention). Tanpa ada

52
niat suatu perbuatan tidak akan muncul, meskipun sikap
tersebut sangat kuat (positif) terhadap suatu obyek.
Namun demikian, bukan berarti apabila ada ketiga faktor
tersebut akan otomatis terjadi konsistensi antara sikap
dengan perbuatan. Secara teoritis dapat diprediksikan
akan terjadi konsistensi antara sikap dengan perbuatan
apabila antara sikap dengan niat, dan antara niat dengan
perbuatan tidak terjadi hambatan atau pengaruh.

Faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan antara


sikap dengan niat bisa berasal dari dalam orang itu
sendiri, maupun dari luar dirinya. Faktor dari dalam,
misalnya, adalah karakteristik atau kecenderungan pada
seseorang. Ada orang yang sering menyetujui suatu masalah,
tetapi tidak pernah muncul keinginan untuk mewujudkan
keinginannya itu. Sebaliknya, ada orang yang memiliki
konsistensi diri yang tinggi, sehingga ia selalu berusaha
untuk konsekuen dengan apa yang sudah menjadi
keputusannya. Faktor-faktor dari luar individu yang bisa
menghambat konsistensi antara lain adalah tekanan sosial,
yang sering memupuskan keinginan karena ada perasaan
takut untuk mengekspresikan sikapnya. Demikian juga
faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan antara niat
dengan perbuatan. Misalnya orang yang sudah berniat
menonton sebuah film bisa menjadi gagal karena faktor
luar maupun faktor dalam diri orang tersebut. Faktor luar,
misalnya, karena terjadi hujan lebat sekali sedangkan ia
tidak punya mobil atau uang untuk membayar taksi. Faktor
dari dalam antara lain bila ia ternyata tiba-tiba benci
dengan bintang filmnya. Karena ada kabar bintang tersebut

53
terlibat penyalahgunaan obat-obat terlarang. Meskipun
contoh terakhir ini bukan murni pengaruh internal, tetapi
perasaan seperti benci atau marah adalah kondisi internal
seseorang.

Worchel dan Cooper (1983) akhirnya menyimpulkan


bahwa sikap dan perilaku bisa konsisten apabila ada
kondisi seperti di bawah ini dipenuhi.

1. Spesifikasi sikap dan perilaku. Sering terjadi


pengukuran sikap terhadap suatu obyek atau topik
yang spesifik dikenakan untuk memprediksikan
obyek yang lebih luas. Misalnya pengukuran
tentang sikap terhadap alat kontrasepsi pil yang
menunjukkan skor tinggi tidak bisa untuk
memprediksi perilakunya dalam penggunaan berbagai
jenis alat kontrasepsi. Sikap tersebut hanya
besar korelasinya dengan perilaku penggunaan pil,
tidak dengan alat kontrasepsi lainnya.

2. Relevansi sikap terhadap perilaku. Di samping


spesifikasi harus ada pula relevansi antara sikap
tersebut dengan perilaku. Yang dimaksudkan di
sini adalah kejelasan relevansi antara keduanya.
Sebab kalau hanya sekedar relevansi, dua hal bisa
menjadi tampak relevan tetapi kadarnya rendah.
Ketiadaan dan rendahnya relevansi antara sikap
dengan perilaku sering menjadi penyebab ketidak
konsistenan antara sikap dengan perilaku.

3. Tekanan normatif. Sikap yang positif terhadap


pengguguran akan terhambat muncul dalam bentuk

54
perbuatan karena lingkungan sosial menganggap
bahwa, perilaku tersebut menyimpang dari norma.
Di lain pihak, dengan adanya legalisasi terhadap
pengguguran dapat diprediksikan tidak akan
menghambat munculnya perilaku tersebut.

4. Pengalaman. Orang yang terlibat dalam suatu


pengalaman tertentu akan lebih memahami segala
persoalan. Dengan adanya pemahaman tersebut ia
akan segera mengambil sikap yang paling sesuai
dengan keadaannya, dan operasionalisasi dari
sikap tersebut dalam bentuk perbuatan sudah ikut
disertakan dalam membuat pertimbangan.

PENGUKURAN SIKAP

Sikap, sebagaimana aspek-aspek psikologis lainnya,


juga bisa diukur. Asumsi pengukuran sikap yang paling
mendasar antara lain dikemukakan oleh Thurstone yang
menyatakan bahwa sesuatu yang ada tentu akan eksis,
sesuatu yang eksis bisa diukur.

Mengingat bahwa pengukuran sikap memerlukan


pembahasan tersendiri, dan pada kenyataannya sudah cukup
banyak penerbitan yang membahasnya, maka pada kesempatan
ini hanya akan diberi gambaran yang tidak terlalu
mendalam, dengan harapan bagi yang berminat lebih jauh
bisa melihat pada sumber-sumber yang membahas dengan
lebih mendalam.

55
Observasi
Seperti dikemukakan pada pembahasan terdahulu, bahwa
sikap berhubungan baik secara langsung maupun tidak
langsung dengan perilaku, maka mengukur sikap juga bisa
dengan melalui observasi. Seseorang yang mencemooh orang
lain, memaki atau memarahi dapat dinilai memiliki sikap
yang negatif. Orang yang berdemonstrasi menentang
pengguguran juga bisa dinilai memiliki sikap yang tidak
setuju dengan adanya pengguguran. Sebaliknya orang yang
ikut berkorban mempertahankan kemerdekaan tanah airnya
dapat diyakini mempunyai sikap yang positif terhadap
negaranya. Demikian pula orang yang dengan senang hati
mau diajak pergi oleh temannya adalah orang yang bersikap
baik terhadap teman tersebut.

Meskipun dengan pengamatan bisa dilakukan pengukuran


sikap, tetapi metode ini tidak memiliki akurasi yang
tinggi. Tidak jarang pula hasil pengamatan tersebut bias.
Oleh karena itu, tanpa ada bantuan alat lain, metode ini
kecil sekali bisa digunakan secara baik. Untuk melengkapi
data yang diperoleh dari pengukuran lain, observasi bisa
memperkuat hasil tersebut.

Self Report
Teknik pengkuran ini sering juga disebut sebagai
paper and pencil technique. Ada beberapa bentuk yang
dikembangkan dari teknik ini, yang masing-masing memiliki
keunggulan dan kekurangan sendiri-sendiri.

Self-rating Scale. Skala ini berisi tentang

56
pertanyaan-pertanyaan evaluatif terhadap suatu topik
tertentu. Untuk masing-masing pertanyaan disediakan juga
jawaban sedemikian rupa sehingga responden tinggal
memilih satu kemungkinan jawaban yang tersedia. Sebagai
contoh skala ini adalah pada pengukuran sikap terhadap
kenaikan uang lembur yang pertanyaan seperti di bawah ini.

Apakah anda senang dengan kenaikan uang SPP di


universitas ini?

1 2 3 4 5 6 7

sangat senang sangat tidak senang

Untuk mengukur sikap terhadap kenaikan uang lembur


ini, tentunya dibutuhkan sejumlah item atau pernyataan
sehingga berbagai aspek dari topik yang akan bisa
terwakili. Dari sejumlah item itu kemudian dijumlahkan
sekor masing-masing jawaban hingga diperoleh nilai total
sikap terhadap masalah tersebut.

Skala Likert. Skala model ini pertama kali

diperkenalkan oleh Rensis Likert pada tahun 1932, sehingga

lebih dikenal sebagai Skala Likert. Tidak berbeda jauh

dari self rating, model ini juga menyediakan pilihan

jawaban bagi subyek yang akan diukur sikapnya.

Perbedaannya terletak pada tipe jawaban yang tersedia,

yaitu terbatas pada tingkat persetujuan terhadap

57
pernyataan yang ada. Ini juga menunjukkan perbedaan lain.

Pada Skala Likert bukan pertanyaan yang diminta untuk

dijawab, tetapi pernyataan.

Apabila sikap terhadap kenaikan uang SPP di atas

diformulasikan dengan skala Likert, akan berbentuk

seperti di bawah ini.

Pernyataan:
Kita akan menerima dengan senang hati terhadap
kenaikan uang SPP di Universitas.
1. sangat tidak setuju
2. tidak setuju
3. setuju
4. sangat setuju

Untuk mengetahui sikap responden terhadap suatu

topik, maka semua jawaban dij umlah, sehingga didapatkan

nilai total dari sikap tersebut.


Bedaan Semantik (semantic-differential). Dengan
menggunakan model ini, responden diminta untuk menilai
suatu obyek atau konsep pada suatu skala yang mempunyai
dua kata sifat yang berlawanan. Menurut Osgood, skala
bipolar ini mengandung tiga unsur, yaitu unsur evaluasi,
unsur potensi dan unsur aktivitas dari obyek atau
konsep yang akan diukur.
Bentuk skala ini tampak lebih sederhana dibanding

skala yang lain, karena tidak perlu ada pertanyaan atau

pernyataan yang panjang, tetapi cukup mencantumkan nama

topik atau obyek di bagian atas, yang diikuti oleh

58
pasangan-pasangan kata yang telah dipilih. Untuk

mengukur sikap terhadap kenaikan uang SPP, misalnya,

antara lain dapat dibuat skala sebagai berikut.

Kenaikan Uang SPP

Baik - - - - - Jelek
Menguntungkan - - - - - Merugikan

Ringan - - - - - Berat

Bijak - - - - - Tidak bijak

Untuk mendapatkan skor sikap, penilaian bisa


disesuaikan dengan pertimbangan tertentu. Pada contoh di
atas, terdapat lima garis kemungkinan untuk ditandai,
berarti bisa diberi angka antara 1 sampai 5 untuk masing-
masing pasangan, di mana angka satu untuk kolom yang
paling dekat dengan jawaban mendukung(paling kanan), dan
angka 5 untuk kolom yang paling dekat dengan jawaban yang
menolak(paling kiri), di tengah diberi angka 3. Nilai
total sikap diperoleh dari jumlah keseluruhan jawaban.

Skala sikap, seperti juga model-model pengukuran


dalam Psikologi lainnya, harus dibuat secermat dan sebaik
mungkin agar tujuan pengukuran bisa tercapai. Syarat-
syarat seperti validitas, baik validitas isi, validitas
konstruksi, validitas eksternal ataupun validitas yang
lain harus dipenuhi, demikian juga syarat reliabilitasnya.
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang pengukuran sikap,
disarankan untuk membaca lebih lanjut tentang hal ini,

59
salah satu buku yang disarankan adalah Sikap Manusia:
Teori dan Pengukurannya karya Saefuddin Azwar (1988).

Pengukuran Fisiologis
Alat ini dikenal sebagai bagian dari teknik Bogus
Pipeline yang bertujuan untuk meyakinkan subyek bahwa
jawaban yang dikemukakan akan diketahui kejujurannya,
sehingga ia akan berusaha untuk menjawab secara jujur.
Pada prinsipnya alat ini tidak sungguh-sungguh dapat
mengukur kejujuran, tetapi lebih berfungsi sebagai
pendorong agar menjawab secara jujur.

Ketika menggunakan alat ini, subyek dihubungkan


dengan suatu alat dengan elektroda. Diberitahukan bahwa
setiap jawaban yang muncul dari subyek akan diproses
untuk dicek kebenarannya oleh alat tersebut. Untuk
meyakinkan, dicobakan kepada subyek untuk menjawab
pertanyaan yang sebelumnya sudah ditanyakan melalui paper
and pencil test sehingga jawabannya sudah diketahui.
Beberapa saat sesudah menjawab, tanda dari alat menunjuk
suatu arah. Bila jawabannya sesuai dengan jawaban
sebelumnya, tanda diarahkan ke arah yang menunjuk bahwa
jawaban itu benar (hijau, misalnya). Bila tidak, tanda
menunjukkan ke arah salah (misalnya merah). Untuk
seterusnya, alat itu tidak diperlihatkan pada subyek,
hanya diberitahukan bahwa alat itu bisa dilihat oleh
tester. Dengan demikian orang tersebut akan berusaha
untuk menjawab secara jujur, karena takut diketahui bila
ia memberi jawaban yang tidak jujur. Sesungguhnya, tester

60
tetap tidak mengetahui tingkat kejujuran subyek dalam
proses pengukuran.

61
BAB V
DAYA TARIK SOSIAL

Salah satu hal yang mendasari terjadi hubungan


sosial adalah seberapa jauh seseorang tertarik dengan
orang lain. Apabila ada daya tarik di antara mereka, maka
kemungkinan terjadinya hubungan lebih besar. Kenyataan
seperti ini bisa dilihat di tempat-tempat umum. Karena
tidak ada perhatian dan ketertarikan dengan wanita yang
duduk di salah satu bangku, seorang pria tidak akan
menjalin hubungan sosial dengan wanita tersebut.
Sebaliknya, meskipun kondisi yang ada sebenarnya sulit
untuk mengadakan kontak sosial, tetapi karena seseorang
tertarik sangat kuat pada orang lain, maka akan
diusahakan oleh orang pertama tersebut untuk menjalin
hubungan.

Ada juga hubungan sosial yang tidak dilandasi


oleh ketertarikan. Pada jaman dulu orang menikah karena
dipaksa oleh orang tua. Ada juga perkenalan yang diawali
bukan oleh ketertarikan dan pada umumnya pertama kali
seorang murid atau mahasiswa yang duduk berdekatan dengan
orang lain juga sering tidak dilandasi oleh ketertarikan.
Namun demikian bisa diramalkan bahwa hubungan
interpersonal yang berkelanjutan adalah hubungan yang
diwarnai aspek ketertarikan.

Ketertarikan tidak terbatas pada masalah daya


tarik wajah atau fisik, tetapi juga karena faktor lain.

62
Bagi seorang pedagang akan tertarik dengan orang lain
karena baginya calon relasi itu memungkinkan mendatangkan
keuntungan. Dengan kata lain karena ada daya tarik
ekonomis pada seseorang. Bagi seorang mahasiswa akan
tertarik pada dosennya karena dianggap memiliki kualitas
intelektual yang tinggi dan cara penyampaian yang
menarik. Di lain pihak seorang penumpang pesawat mungkin
akan menilai daya tarik pramugari karena kecantikan
dan keramahan dalam memberi pelayanan pada penumpang.

PENGERTIAN

Pengertian daya tarik sering terlalu sempit,


sekali lagi, terbatas pada daya tarik fisik. Padahal daya
tarik fisik hanya merupakan salah satu bagian daya tarik.
Namun ada baiknya bila hal ini dijadikan contoh untuk
mengembangkan pemahaman tentang daya tarik.

Seseorang yang menarik wajahnya biasanya akan


diberi penilaian yang baik. Orang yang memberi penilaian
baik ini berarti mempunyai sikap yang positif. Oleh
karena itu ketertarikan didefinisikan sebagai sikap
positif terhadap orang lain.

FAKTOR PENGARUH

Secara garis besar faktor-faktor yang


mempengaruhi ketertarikan ada empat, yaitu: (1)
karakteristik aktor; (2) faktor penerima; (3) variabel-
variabel interpersonal; dan (4) faktor kondisi yang ada
atau yang menyertai.

63
Karakteristik Aktor

Yang dimaksud dengan aktor di sini adalah orang


yang menjadi obyek penilaian. Beberapa karakteristik yang
biasanya menimbulkan penilaian positif bagi pihak lain
dijelaskan di bawah ini.

1. Daya tarik fisik

Bentuk-bentuk tubuh yang seksi, atletis atau wajah


yang cantik dan tampan sudah barang tentu pada umumnya
menimbulkan kesan positif bagi orang yang menilai.
Sebaliknya, tampang yang seram bahkan ada yang mengatakan
tampang kriminal bisa menimbulkan kebencian pada orang
lain. Karena penilaian positif akan memberi dampak
lebih lanjut, maka untuk menarik orang lain mendekat,
berkenalan dan sebagainya, sering juga digunakan
kecantikan dan ketampanan ini. Tempat-tempat pelayanan
umum yang mencari keuntungan seperti toko, pada umumnya
menggunakan konsep ini. Dapat kita bayangkan, misalnya,
sebuah toko yang mempekerjakan orang-orang yang berwajah
seram, maka pengunjungnya akan sedikit sekali.

Daya tarik fisik, khususnya kecantikan dan


ketampanan, sering berasosiasi dengan berbagai hal
positif lain. Asosiasi positif ini muncul karena
munculnya kepuasan tersendiri bila seseorang memandang
wajah yang cantik atau tampan. Tidaklah mengherankan
bila sebagian guru lebih menyukai murid-murid yang
manis, sehingga jarang memberi hukuman, bahkan sering

64
dinilai sebagai anak yang pintar. Pada dasarnya segala
sesuatu yang berhubungan dengan masalah hubungan sosial,
untuk mencapai sukses daya tarik fisik ini memberi
kontribusi yang cukup signifikan. Aristoteles sendiri
pernah mengatakan: beauty is a greater recommendation
than any letter of introduction. Tidak mengherankan
bila ada dua pilihan dengan karakteristik yang hampir
berimbang, tetapi yang satu lebih menonjol dalam hal
kecantikan, maka yang lebih cantik memiliki peluang lebih
besar untuk dipilih. Bukan berarti bahwa faktor ini
merupakan faktor yang mendominasi masalah lain.

2. Kompetensi

Kompetensi seperti kecerdasan, kemampuan, skil


yang tinggi, prestasi dan seterusnya merupakan kualitas
tersendiri yang tidak semua orang memilikinya dalam
tahap yang memuaskan. Kondisi-kondisi seperti ini
cenderung untuk dikejar. Berhubungan dengan orang-orang
yang mempunyai kemampuan tertentu memberikan kepuasan
tersendiri.

Ada sedikit perbedaan antara pria dan wanita dalam


hal menilai kompetensi dan daya tarik fisik sebagai
dasar mencari pasangan. Bagi wanita, daya tarik fisik
pasangan sedikit kurang penting dibanding pria, tetapi
kompetensi menjadi lebih penting dalam mencari pasangan
bagi wanita dibanding bagi pria. Dalam hal ini tampaknya
ada perasaan takut tersaingi bila pria mencari pasangan
yang sederajat atau lebih tinggi dalam kompetensi
dibanding dirinya. Namun dengan semakin majunya dunia

65
pada umumnya mempengaruhi penilaian tentang hal ini.

Ada muncul ketidaksadaran dari para penilai dalam


menghadapi orang yang berkompetensi tinggi. Pengaruh ini
muncul pada penilaian terhadap dua orang dengan taraf
daya tarik fisik yang sama secara obyektif tetapi
memiliki kompetensi yang berbeda, ternyata orang yang
memiliki kompetensi lebih tinggi dinilai memiliki daya
tarik fisik yang lebih menarik. Asumsi ini diperkuat
dengan menggunakan foto yang sama, tetapi disajikan
secara berbeda untuk responden yang berbeda. Di bawah
foto tersebut diberi keterangan tentang kemampuannya.
Pada kelompok pertama diterangkan bahwa orang tersebut
memiliki kemampuan yang tinggi. Sedangkan pada kelompok
yang lain dikatakan bahwa orang tersebut memiliki
kemampuan yang biasa-biasa saja. Kepada kedua kelompok
responden kemudian diminta untuk memberi penilaian
tentang daya tarik fisik orang dalam foto tersebut.
Ternyata, penilaian dari kelompok yang mendapat
keterangan bahwa orang dalam foto memiliki kemampuan
tinggi lebih tinggi dibanding penilaian dari kelompok
yang memperoleh keterangan bahwa orang dalam foto
tersebut memiliki kemampuan yang sedang. Dengan
demikian memang ada transfer penilaian aspek psikis ke
dalam penilaian fisik.

3. Karakteristik menyenangkan

Apabila orang yang cantik atau tampan dinilai


menyenangkan, maka orang yang mengerjakan sesuatu yang
menyenangkan juga memiliki daya tarik tersendiri, be nice

66
or do something nice.

Orang yang lucu, ramah, santun, penolong, sabar


dan memiliki berbagai karakter menyenangkan lain
terbukti memiliki lebih banyak teman atau mendapat
lebih banyak simpati. Sebaliknya, orang pada umumnya
kurang suka berteman dengan orang yang kasar, kurang
ajar, urakan dan berbagai sifat negatif lain.

Karakter menyenangkan ini tidak hanya berlaku bagi


orang dewasa, tetapi juga mulai terlihat pengaruhnya
sejak usia anak-anak. Anak kecil yang manis dan lucu
lebih sering diperlakukan secara positif, seperti
digendong, dicium, dibelai daripada anak kecil yang
biasa-biasa saja.

Faktor Penilai
Setiap individu memiliki kriteria tertentu, terutama
yang bersifat subyektif, dalam memberi pernilaian pada
orang lain. Latar belakang sosial, ekonomi, budaya,
maupun yang bersifat pribadi ikut berpengaruh dalam
menilai. Dalam kaitan ini pembahasan akan lebih
menitikberatkan pada faktor yang ada dalam diri penilai
itu sendiri.
Dari berbagai faktor dalam diri penilai,
diperkirakan bahwa kondisi afektif merupakan faktor yang
besar peranannya dalam menilai. Seperti diketahui secara
umum bahwa suasana hati yang baik akan ditunjukkan pula
dalam memberi penilaian. Sebaliknya, orang yang dalam
kondisi kalut, marah, sedih, sakit serta kondisi kurang

67
baik lainnya, cenderung memberi penilaian yang tidak
tepat dan biasanya mengarah ke negatif. Dalam konteks
penilaian terhadap daya tarik, keadaan seperti ini juga
pada umumnya berlaku, meskipun ada beberapa
pengecualian. Contoh pengecualian tersebut adalah pada
beberapa orang lelaki yang merasa bahwa perasaan sakit,
tidak bergairah, marah, akan reda bila berhadapan dengan
wanita cantik.
Pengalaman juga merupakan faktor yang tidak bisa
diabaikan begitu saja dalam memberi penilaian daya tarik.
Seseorang yang pernah patah hati dan trauma dengan hal
itu kemungkinan besar akan memberi penilaian yang rendah.
Di sisi lain ada kasus-kasus dimana seseorang mudah
memberi pernilaian yang tinggi karena dia memang suka
berganti-ganti pasangan. Sehingga muncul kecenderungan
untuk memberi nilai tinggi terhadap seseorang yang baru
dikenal, yang diperkirakan bisa dijadikan sebagai
pasangan.

Variabel-variabel Interpersonal
Seperti disinggung pada bagian terdahulu bahwa
ketertarikan bisa muncul di awal hubungan maupun pada
saat sudah terjalinnya hubungan. Ketertarikan yang muncul
pada awal hubungan biasanya dipengaruhi oleh faktor-
faktor yang lahiriah sifatnya. Sedangkan ketertarikan
yang terjadi ketika hubungan itu sudah terjadi pada
umumnya lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor
psikologis. Beberapa variabel interpersonal yang
mempengaruhi ketertarikan akan dibahas di bawah ini.

68
1. Kesamaan
Penelitian-penelitian terakhir mensinyalir bahwa
banyak pasangan suami-isteri yang ternyata mempunyai
kemiripan wajah. Terlepas dari seberapa tepat hasil
penelitian tersebut, ternyata memang ada kecenderungan
bahwa seseorang akan memilih pasangan yang mempunyai
level daya tarik fisik yang relatif sama dengan dirinya.
Gejala seperti ini biasa disebut sebagai matching
hypothesis. Pada awalnya orang cenderung untuk mencari
pasangan setampan atau secantik mungkin, tetapi
setelah terjadi kontak dengan banyak orang, responden
akhirnya menjadi lebih realistis dengan jalan
menentukan pilihan pasangan yang mempunyai level daya
tarik yang setingkat.
Kriteria lain dari kesamaan yang sering dituntut
oleh seseorang adalah kesamaan nilai-nilai dan keyakinan.
Dalam hal ini bukan kesamaan secara mutlak yang dicari
tetapi kesamaan pada sebagian besar dari nilai-nilai dan
keyakinannya. Kenyataan tentang hal ini terlihat pada
sebagian besar agama yang menyarankan untuk mencari
pasangan hidup seagama. Asumsi yang paling sering
dikemukakan adalah dalam rangka menghindari konflik-
konflik yang akan terjadi. Bahwa pada kenyataannya memang
terjadi perkecualian biasanya diusahakan mengatasi dengan
usaha yang lebih keras.
Untuk menjalin hubungan sosial yang lebih intens
masalah kesamaan ini sering diantisipasi oleh pihak yang
bersangkutan sedini mungkin. Terlihat pada saat awal

69
orang berkenalan ada usaha untuk saling menjajagi
pandangan lawan bicaranya. Orientasi semacam ini bisa
menjadi sangat penting dalam rangka menjaga perasaan
partner. Kesamaan sikap dan pandangan terhadap berbagai
hal banyak juga dijumpai pada persahabatan atau
berteman, juga pada organisasi atau kelompok hobi.
Kecenderungan semacam ini juga ada pada kelompok-kelompok
yang cenderung destruktif seperti para peminum alkohol.

2. Komplemen
Ada sebagian orang yang mencari pasangan yang
berbeda dengan dirinya agar saling melengkapi dalam
kehidupan mereka kelak. Keinginan seperti ini akan bisa
terujud untuk masalah-masalah yang tidak esensial. Dengan
kata lain masih diperlukan adanya kesamaan-kesamaan
untuk berbagai hal mendasar, sedangkan untuk hal-hal yang
perifer terkadang justru diperlukan untuk memelihara
variasi. Biasanya orang-orang yang berpandangan luas
lebih bisa menerima perbedaan seperti ini, tetapi untuk
mereka yang berpandangan sempit masalah ini bisa menjadi
sumber perpecahan.

3. Sama-sama Suka
Orang akan menyukai atau tertarik pada yang lain
bila ada hubungan timbal balik. Dengan demikian apabila
tidak ada respon dari partner, maka akan sulit untuk
menjalin hubungan lebih lanjut. Saling menyukai merupakan
hal yang tidak bisa diabaikan dalam proses ketertarikan.

70
Sehubungan dengan faktor kesamaan, masalah kesamaan
kesukaan juga menjadi penting sebagai faktor yang
menjembatani atau juga bisa menghalangi. Dua orang yang
belum saling mengenal, namun karena keduanya menyukai
bakso bisa menjadi tertarik satu dengan lainnya. Kesukaan
terhadap bakso ini menjembatani mereka untuk saling
bertemu, berkenalan dan selanjutnya mendorong mereka
saling berhubungan lebih intens. Sebaliknya, pasangan
yang sangat berbeda dalam hal kesukaan bisa bubar.
Misalnya yang satu sangat suka sate ayam, yang lain
sangat suka sate kambing. Apabila ada penjual sate ayam
dan kambing sekaligus, maka persoalan akan segera
terpecahkan, tetapi bila sate kambing dan sate ayam yang
dimaksud adalah khas sehingga untuk memperolehnya saja
menjadi sulit, maka benih-benih perpecahan mulai
tertabur.
Untuk memahami pentingya faktor ketiga dalam
memahami ketertarikan, bisa digunakan konsep dari Newcomb
yang dikenal dengan Balance Theory.
Menurut konsep keseimbangan dari Newcomb, hubungan
antara dua orang sangat dipengaruhi oleh adanya pihak
ketiga dan sikap kedua orang tersebut terhadap pihak
ketiga itu. Dari hubungan segitiga itu akan muncul pola-
pola hubungan yang seimbang, kurang seimbang, dan tidak
seimbang.
Hubungan yang seimbang terjadi bila kedua orang
tersebut saling menyukai satu dengan lainnya dan
pandangan mereka terhadap pihak ketiga sama. Kesamaan
pandangan ini bisa sama-sama menyukai atau sama-sama

71
tidak menyukai. Pola hubungan yang demikian tidak akan
menemui banyak masalah.
Hubungan yang kurang seimbang terjadi bila pandangan
kedua orang tersebut berbeda, meskipun di antara keduanya
saling menyukai. Pola ini bisa menjadi seimbang bila
salah satu berubah pandangan sehingga pandangan tersebut
menjadi sama atau dengan jalan mengganti obyek dari pusat
perhatian mereka, di mana obyek tersebut dinilai sama dan
searah oleh keduanya. Apabila terjadi sebaliknya, di mana
masing-masing mempertahankan pandangannya, maka
kemungkinan yang terjadi justru salah satu atau keduanya
tidak lagi saling menyukai. Kondisi di mana keduanya
sudah tidak menyukai disebut sebagai pola yang tidak
seimbang. Pola yang terakhir ini terjadi bila kedua orang
tersebut tidak saling menyukai, apapun pandangan mereka
terhadap obyek atau pihak ketiga. Sebagai contoh untuk
memperjelas adalah bila Ani dan Budi sama-sama senang
membaca serial James Bond, namun keduanya tidak saling
menyukai atau mengenal, maka pola hubungan ini disebut
sebagai pola yang tidak seimbang.

Faktor Situasi
Situasi yang dimaksud dalam pembicaraan ini bisa
situasi sesaat atau temporer, bisa juga situasi yang
berlangsung lama. Situasi yang temporer, seperti
disinggung terdahulu, berpengaruh sebab seperti pada
proses psikologis umumnya, psikis manusia sulit untuk
bekerja sekaligus untuk berbagai aspek. Sebagai contoh,
otak tidak mungkin memikirkan sekaligus dua hal secara

72
bersamaan. Dua hal bisa dikerjakan secara hampir
bersamaan dengan selisih waktu yang relatif singkat,
tetapi untuk berlangsung secara serempak adalah sulit.
Dalam kaitan dengan masalah ketertarikan, analogi
serupa dapat digunakan dalam hal ini. Contohnya, orang
yang sangat sibuk akan sedikit sekali memberi perhatian
pada wanita yang lewat di depannya. Pada saat yang lain,
orang yang sibuk ini membutuhkan sedikit jeda untuk
mengurangi ketegangannya dengan cara memandang wanita
yang lewat di depannya. Inilah arti penting dari faktor
situasional terutama yang temporer.
Pengaruh faktor situasi yang berjangka waktu lama
sudah banyak diteliti, meskipun efeknya tidak selalu
sama. Dalam kehidupan sehari-hari terlihat bahwa banyak
pasangan yang terbentuk karena situasi. Para remaja
sering mendapat pacar teman sekelas, karyawan yang
mendapat jodoh di tempat kerja, orang yang menikah
dalam satu trah atau yang berdekatan tempat tinggal,
merupakan beberapa contoh dari pengaruh kedekatan
geografis dan emosional dalam proses ketertarikan.
Penyebab dari terjadi ketertatikan karena faktor situasi
seperti disebutkan di atas adalah familiaritas. Pada
prinsipnya ada kecenderungan bahwa orang lebih menyukai
menjalin hubungan dengan orang-orang yang sudah dikenal
daripada orang yang masih asing. Hal inilah mungkin yang
menjadi asumsi para orangtua pada jaman dulu dengan
mengawinkan anak mereka secara paksa. Cinta karena biasa
(Jawa: tresna merga kulina) adalah bentuk lain dari
faktor situasi dan familiaritas.

73
DINAMIKA KETERTARIKAN
Ada tahap-tahap tertentu untuk menjadi tertarik dan
menjalin hubungan interpersonal antara dua orang. Pada
bagian awal dari sub-bab ini akan dibicarakan tentang
proses ketertarikan sedangkan bagian selanjutnya akan
dibicarakan mulai dari ketertarikan dan pada hubungan
lebih lanjut.
Ada tiga konsep yang bisa menerangkan proses
ketertarikan. Pertama konsep reward/reinforcement,
kemudian pertukaran sosial (social exchange) dan akhirnya
konsep tentang equity.

Hadiah dan Pengukuh (Reward and Reinforcement)


Menurut konsep ini segala stimulasi yang
menyenangkan akan menimbulkan perasaan senang sehingga
subyek yang terkena mengharapkan terulangnya stimulasi
tersebut. Dalam proses ketertarikan, stimulasi yang
menyenangkan itu bisa berupa wajah yang cantik, tampan,
senyuman atau yang lain. Karena stimulai ini mendorong
seseorang untuk bisa mengalami lagi, berarti pula
mendorong orang yang bersangkutan berusaha sesuatu agar,
misalnya, bisa memandang lagi orang tadi. Berbagai cara
bisa ditempuh, misalnya mendekati atau menyapa. Kesan
awal ini sangat besar artinya untuk tindakan lebih
lanjut. Sebaliknya, individu yang tidak terkesan oleh
adanya orang lain, maka reaksi lanjutan tidak besar,
tidak ada, atau negatif kemunculannya.

74
Pertukaran Sosial
Kondisi ini bisa merupakan lanjutan dari tahap
terdahulu. Ketika ada stimulasi yang menyenangkan terebut
akan muncul reaksi yang kemungkinan besar juga
menyenangkan. Misalnya, senyuman dibalas dengan senyuman.
Hal ini berarti terjadi pertukaran. Dengan adanya
pertukaran ini, maka akan terjadi hubungan timbal balik.
Pada saat seperti ini proses sudah berjalan lebih jauh,
dari yang awalnya belum kenal akan timbul perkenalan
yang kemungkinan akan dilanjutkan dengan berbincang-
bincang.

Ekuitas
Apabila tidak terjadi pertukaran, maka proses
ketertarikan akan terhenti atau terhambat sampai tahap
reward. Selanjutnya dalam proses pertukaran itu masing-
masing individu yang terlibat akan mengadakan penilaian
tentang proses itu sendiri. Ada proses pertukaran yang
tidak seimbang, misalnya dalam percakapan terjadi ketidak
seimbangan karena tingkat pendidikannya terpaut jauh atau
topik yang diminati oleh masing-masing tidak sejalan.
Pada proses yang seimbang akan terjadi pembicaraan atau
hubungan lain yang saling menguntungkan, sehingga
hubungan itu lebih besar peluangnya untuk bisa
diteruskan.
Di samping proses penilaian tentang keseimbangan
pembicaraan selama proses pertukaran juga akan terjadi
saling evaluasi untuk menilai kemungkinan hubungan lebih
jauh. Apabila hasil evaluasi memungkinkan mengarah pada

75
diteruskannya hubungan, maka akan ada kelanjutan
hubungan. Apabila hasil evaluasi menurut penilaian
subyektif memang kurang menguntungkan, maka hubungan akan
terbatas sampai pada pertukaran.
Sesudah sampai pada tahap ekuitas (equity), berarti
individu sudah merasa cocok dengan pasangannya. Apabila
pasangan ini adalah pria dan wanita, maka akan besar
kemungkinan untuk menjalin hubungan lebih lanjut dengan
jalan membangun suatu hubungan yang lebih terarah.
Selama proses membangun ini berjalan dengan lancar, maka
akan tumbuh suatu kepuasan yang mengarah pada
perkembangan yang berkelanjutan yang hanya berakhir
karena proses kematian. Ada juga kemungkinan terjadi
kemandekan proses perkembangan hubungan bahkan kemudian
terjadi kemunduran yang berakhir pada perpisahan. Bukan
hanya karena terjadi kemandekan yang kemudian diikuti
oleh kemunduran, tetapi juga proses hubungan yang tidak
stabil dan penuh konflik juga menyebabkan terjadinya
kemunduran dan berakhir pada perpisahan.

EFEK DAYA TARIK


Daya tarik yang ada pada seseorang berdampak baik
terhadap kepribadiannya maupun terhadap perilaku
sosialnya. Contoh ekstrim adalah pada artis yang sangat
populer. Akibat dari popularitasnya itu, beberapa artis
sulit menjalani kehidupan secara wajar. Mereka sering
justru merasa tersiksa karena popularitasnya, kemana ia
pergi, penggemar selalu mengikuti. Kondisi yang demikian
menyebabkan kepribadiannya di satu sisi kurang berkembang

76
sewajarnya, di sisi lain bisa menumbuhkan kepercayaan
diri yang lebih kuat.
Dalam kehidupan sehari-hari, efek daya tarik bagi
pria dan bagi wanita sering tidak sama, meskipun pada
keduanya daya tarik itu sendiri dipengaruhi oleh
bagaimana mereka berhubungan sosial. Dari beberapa
penelitian yang ada disimpulkan adanya beberapa ciri yang
ada pada orang yang memiliki daya tarik dan yang kurang
menarik, baik pria maupun wanita seperti di bawah ini.

Pria yang menarik:


- menghabiskan lebih banyak waktu untuk berhubungan
dengan wanita.
- merasa memiliki kualitas hubungan sosial yang
lebih baik.
- lebih asertif dan lebih rendah perasaan takut
ditolak dalam berhubungan sosial.

Wanita yang menarik:


- menghabiskan waktu yang sama baik dalam
berhubungan dengan pria maupun dengan wanita.
- merasa memiliki kualitas hubungan sosial yang
lebih baik.
- kurang mempercayai pria
- kurang asertif

Pria yang kurang menarik:


- waktu yang digunakan untuk berhubungan sosial
dengan wanita lebih singkat.

77
- merasa memiliki kualitas hubungan sosial yang
rendah.
- kurang asertif dan takut ditolak oleh wanita

Wanita yang kurang menarik:


- mempercayai waktu yang seimbang untuk bergaul
dengan pria maupun dengan sesama jenis.
- merasa memiliki kualitas hubungan sosial yang
lebih rendah.
- lebih mempercayai pria.

78
BAB VI

PERILAKU PROSOSIAL

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak bisa


lepas dari tolong-menolong. Setinggi apapun kemandirian
seseorang, pada saat-saat tertentu dia akan membutuhkan
orang lain. Demikian juga kemampuan membayar pada setiap
orang tentu terbatas, sehingga iapun suatu saat
membutuhkan pertolongan. Dengan demikian memang ada
kekhususan dari perilaku menolong ini.
Ada fenomena yang dikenal dengan kin selection yang
merupakan lawan dari individual selection. Seleksi
individu merupakan konsep yang diperkenalkan oleh Darwin
yang menyebutkan bahwa untuk bisa melangsungkan kehidupan
maka harus bisa lolos dari persaingan. Sedangkan kin
selection menekankan bahwa untuk mempertahankan
kelangsungan hidup harus ada kerja sama antar individu
dan dengan sekitarnya terutama keluarga dan komunitas.
Perilaku menolong dan altruisme merupakan pemberian
pertolongan pada orang lain tanpa mengharap adanya
keuntungan pada diri orang yang menolong. Secara teoritis
kondisi yang demikian sulit didapatkan, terutama pada
jaman sekarang. Seandainya ada, frekuensinya akan
sangat kecil. Kemungkinan yang masih banyak adalah
menginginkan diperolehnya keuntungan, meskipun jumlahnya
sangat kecil dan bukan bersifat material. Oleh karenanya
dalam pembicaraan tentang perilaku menolong lebih banyak
digunakan istilah perilaku prososial. Pengertian perilaku

79
prososial sedikit berbeda dengan altruisme, yaitu dengan
lebih menekankan pada adanya keuntungan pada pihak yang
diberi pertolongan. Perilaku prososial didefinisikan
sebagai perilaku yang memiliki konsekuensi positif pada
orang lain. Bentuk yang paling jelas dari prososial
adalah perilaku menolong.

TAHAP-TAHAP PEMBERIAN PERTOLONGAN


Ketika seseorang memberi pertolongan, maka hal itu
didahului oleh adanya proses psikologis hingga pada
keputusan menolong. Latane dan Darley (1970) membuat
model tentang tahap-tahap pemberian pertolongan yang
telah diuji beberapa kali dan sampai saat ini masih
banyak digunakan.
Menurut Latane dan Darley ada empat tahap yang
dilalui seseorang sebelkum sampai pada keputusan dan
berbuat menolong orang lain. Pertama adalah tahap
perhatian. Orang tidak mungkin akan menolong bila dia
tidak tahu adanya orang lain yang perlu ditolong. Untuk
sampai pada perhatian terkadang sering terganggu oleh
adanya hal-hal lain seperti kesibukan, ketergesaan,
mendesaknya kepentingan lain dan sebagainya.
Tahap kedua adalah interpretasi situasi. Seorang
yang tergeletak di tepi jalan bisa diinterpretasi sebagai
gelandangan, pemabuk, korban kecelakaan atau yang lain.
Apabila ternyata pemerhati ini menginterpretasikan
gelandangan atau pemabuk, maka tidak akan muncul suatu
perbuatan. Sebaliknya, bila pemerhati
menginterpretasikannya sebagai sesuatu yang membutuhkan

80
pertolongan, misalnya dengan adanya darah, erangan atau
permintaan tolong, maka kemungkinan besar akan
diinterpretasikan sebagai korban yang perlu pertolongan.
Setelah pemerhati menganggap bahwa orang tersebut
memang butuh pertolongan, maka sampai pada tahap ketiga,
yaitu muncul tidaknya asumsi bahwa hal itu merupakan
tanggung jawab personal atau tanggung jawab pemerhati.
Apabila tidak muncul asumsi ini, maka korban akan
dibiarkan saja, tanpa memberikan pertolongan.
Apabila muncul perasaan bahwa peristiwa atau kondisi
di atas merupakan sebagian dari tanggung jawab pemerhati,
maka akan muncul tahap keempat, yaitu pengambilan
keputusan untuk menolong atau tidak. Meskipun sudah
sampai pada tahap ketiga, pemerhati merasa bertanggung
jawab memberi pertolongan pada korban, masih ada
kemungkinan ia memutuskan tidak memberi pertolongan.
Berbagai kekhawatiran bisa timbul yang menghambat
terlaksananya pemberian pertolongan. Ini berbeda dengan
bila ada keputusan bahwa ia memang harus menolong. Dengan
adanya keputusan seperti itu, maka akan ada tindakan
pertolongan. Dengan demikian untuk sampai pada perbuatan
menolong, maka diperlukan keempat tahap secara berurutan.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBERIAN PERTOLONGAN

Situasi Sosial
Besar kecilnya kelompok. Ada korelasi negatif antara
pemberian pertolongan dengan jumlah pemerhati. Makin

81
banyak orang yang melihat suatu kejadian yang memerlukan
pertolongan makin kecil munculnya dorongan untuk
menolong. Dalam keadaan sendirian, seseorang yang melihat
satu korban, ia akan merasa bahwa dirinya bertanggung
jawab penuh untuk menolong korban tersebut. Sebaliknya,
bila ada beberapa orang yang menyaksikan peristiwa itu,
maka masing-masing beranggapan bahwa apabila ia tidak
menolong, maka orang lain akan memberi pertolongan.
Kondisi di mana masing-masing orang merasa bahwa memberi
pertolongan adalah bukan tanggung jawabnya sendiri
dikenal sebagai diffusion of responsibility. Kondisi-
kondisi seperti ini tidak akan muncul bila kelompok
yang mengamati memiliki kohesivitas yang tinggi. Dengan
kata lain, orang-orang yang ada di sekitar kejadian
merupakan suatu kelompok yang satu dengan yang lainnya
sudah saling mengenal.
Biaya menolong. Dengan keputusan memberi pertolongan
berarti akan ada cost tertentu yang harus dikeluarkan
untuk menolong itu. Pengeluaran untuk menolong bisa
berupa materi (biaya, barang), tetapi yang lebih sering
adalah pengeluaran psikologis (memberi perhatian, ikut
sedih dan lainnya). Tidak hanya pengeluaran yang harus
dikeluarkan untuk menolong (cost of helping) yang menjadi
pertimbangan, tetapi juga pengeluaran yang harus
ditanggung oleh korban kelak atau pengeluaran untuk
mengembalikan ke kondisi semula (victim cost). Korban
yang parah, di satu sisi mendorong penolong untuk segera
menolong, di sisi lain timbul pertimbangan bahwa hal itu
berarti memerlukan pengeluaran lebih banyak. Apabila

82
secara sepintas korban dianggap mampu menanggung
pengeluaran itu, maka akan muncul pertolongan lebih
cepat. Sebaliknya, bila calon penolong menganggap
kemampuan korban menanggung biaya tidak besar, maka akan
menghambat muncul pertolongan sesegera mungkin.
Norma. Hampir di semua golongan masyarakat ada
norma bahwa memberi pertolongan kepada orang yang
membutuhkan adalah suatu keharusan. Gejala ini disebut
norma tanggung jawab sosial (norm of social
responsibility). Meskipun ada norma semacam itu, tidak
berarti setiap orang suka membantu orang lain. Dalam hal
ini ada hal lain yang tidak bisa diabaikan yaitu norm of
reciprocity (norma keuntungan timbal balik). Norma yang
terakhir ini mencakup juga harapan bahwa dengan memberi
pertolongan suatu saat akan diberi pertolongan, terutama
oleh orang yang pernah ditolongnya.

Karakteristik Orang-orang yang Terlibat


Kesamaan antara penolong dengan korban. Makin banyak
kesamaan antara kedua belah pihak, makin besar peluang
untuk munculnya pemberian pertolongan. Dengan adanya
kesamaan tersebut, berarti jarak sosial pada keduanya
makin sedikit, sehingga mendorong munculnya dorongan
untuk memberi pertolongan.
Kedekatan hubungan. Orang pada umumnya akan lebih
disukai oleh orang lain. Selanjutnya ada kecenderungan
bahwa orang lebih senang memberi pertolongan pada
orang yang disukai. Di samping hubungan yang tidak
langsung tersebut, ada kecenderungan bahwa orang lebih

83
suka memberi pertolongan pada orang yang memiliki daya
tarik tinggi karena ada tujuan tertentu di balik
pemberian pertolongan tersebut.

Mediator Internal

Mood. Meskipun hasil-hasil penelitian belum


menunjukkan konsistensi tentang pengaruh mood terhadap
pemberian pertolongan, lebih banyak penelitian yang
menunjukkan adanya pengaruh mood terhadap perilaku
membantu (lihat Myers, 2002). Ada kecenderungan bahwa
orang yang baru melihat kesedihan lebih sedikit memberi
bantuan daripada orang yang habis melihat hal-hal yang
menyenangkan.

Empati. Ada hubungan antara besarnya empati dengan


kecenderungan menolong. Hubungan antara empati dengan
perilaku menolong secara konsisten ditemukan pada semua
kelompok umur. Artinya, anak, remaja dan orang dewasa
yang merasa empati akan terdorong untuk menolong.

Arousal. Ketika melihat suatu kejadian yang


membutuhkan pertolongan orang dihadapkan pada dilema
menolong atau tidak menolong. Salah satu pertimbangan
yang menjadi pertimbangan untuk menolong atau tidak
menolong adalah biaya untuk menolong dibanding biaya
tidak menolong. Pertimbangan ini meliputi situasi saat
terjadinya peristiwa, karakteristik orang-orang yang ada
di sekitar,karakteristik korban, dan kedekatan hubungan
antar korban dengan penolong. Secara bersama-sama keempat
pertimbangan itu mempengaruhi perilaku menolong. Misalnya

84
pada saat terjadi kecelakaan situasinya memang tidak
memungkinkan untuk meninggalkan korban karena hanya ada
satu orang yang melihat, apabila ada orang lain yang juga
melihat peristiwa itu, maka sikap mereka terhadap
peristiwa itu mempengaruhi seorang calon penolong tadi,
apabila korban tersebut ternyata tidak bisa berdiri
(karakteristik berat) dan calon penolong ternyata masih
famili korban, maka kemungkinan munculnya perilaku
menolong lebih besar.

Latar Belakang Kepribadian


Perilaku menolong tidak hanya tergantung pada
situasi dan kondisi kejadian, tetapi juga dipengaruhi
oleh latar belakang kepribadian penolong. Kedua faktor
tersebut berkaitan erat satu dengan lainnya. Misalnya,
kejadian yang ada sesungguhnya sangat mendorong
timbulnya perilaku menolong, namun karena orang yang
melihat memiliki latar belakang kepribadian yang tidak
mendukung, maka kemungkinan besar tidak akan muncul
perilaku menolong. Individu yang mempunyai orientasi
sosial tinggi cenderung lebih mudah memberi pertolongan,
demikian juga orang yang memiliki tanggung jawab sosial
tinggi.

MENINGKATKAN PERILAKU PROSOSIAL

Menghilangkan Ketidakjelasan Identitas

85
Dari penelitian-penelitian yang pernah dilakukan
antara lain disimpulkan bahwa orang yang tidak cepat
memberi pertolongan adalah karena ada gejala kekaburan
tanggung jawab. Berkaitan dengan ketidakjelasan tanggung
jawab ini ada juga kekaburan identitas. Orang yang tidak
memberi pertolongan ketika terjadi suatu kecelakaan tidak
akan merasa bersalah apabila identitasnya tidak
diketahui. Sebaliknya, orang yang sudah dikenal baik oleh
suatu lingkungan tertentu apabila melihat suatu keadaan
yang membutuhkan pertolongan, ia dengan segera akan
melakukannya. Hal ini biasanya berkaitan dengan usaha
untuk menjaga nama baik.
Untuk meningkatkan ketidakjelasan identitas tersebut
bukanlah hal yang mudah. Sebab diperlukan pengenalan oleh
banyak orang. Jalan yang bisa ditempuh antara lain adalah
dengan meningkatkan kohesivitas kelompok.

Pemberian Atribut
Seperti yang disebutkan di atas, bahwa orang yang
sudah dikenal lebih sulit menghindar dari tanggung jawab
menolong, apalagi kalau orang tersebut memiliki atribut
sebagai orang yang suka menolong.
Atribut yang pada mulanya merupakan atribut
eksternal, lama kelamaan akan menjadi atribut internal.
Atribut internal sangat efektif untuk memunculkan
perilaku menolong.
Sosialisasi
Di samping pemberian atribut, melalui sosialisasi
akan juga menumbuhkan sifat suka menolong pada seseorang.

86
Sosialisasi biasanya diawali dengan perintah. Di samping
itu salah satu cara yang efektif adalah dengan modeling.
Efektivitas modeling terlihat dengan adanya kecenderungan
pada saat ada yang memulai memberi pertolongan, maka akan
diikuti oleh banyak orang untuk ikut menolong.

KERJASAMA DAN KOMPETISI


Kerjasama atau kooperasi merupakan salah satu bentuk
perilaku prososial di mana orang-orang yang terlibat
sama-sama mendapatkan keuntungan dari perilaku tersebut.
Hubungan yang demikian juga disebut sebagai hubungan yang
mutualis. Di sisi lain ada perilaku pada beberapa orang
sekaligus dengan tujuan yang sama, tetapi tidak ditempuh
dengan jalan bekerja sama, justru dengan jalan masing-
masing saling berusaha untuk bisa mencapai tujuan paling
cepat dan paling baik. Keadaan yang terakhir ini disebut
sebagai kompetisi.
Dalam suatu kelompok bisa terjadi kerjasama ataupun
kompetisi tergantung dari individu-individu yang
terlibat, norma kelompok dan suasana serta struktur yang
ada dalam kelompok tersebut. Situasi dimana individu yang
merasa bahwa sukses dari anggota kelompok akan ikut
menambah peluang kesuksesan dirinya disebut cooperative
reward structure. Sebaliknya, ada suasana dimana orang
merasa bahwa kesuksesan orang lain mengurangi peluangnya
untuk berhasil yang disebut competitive reward structure.
Ada juga suasana dalam suatu kelompok dimana anggotanya
merasa lebih bebas untuk bekerjasama atau berkopetisi
sesuai dengan pilihannya. Kondisi yang terakhir ini

87
disebut sebagai individualistic reward structure.
Suasana-suasana tersebut akan mempengaruhi anggota
kelompok yang ada di dalamnya. Suasama kompetitif akan
cenderung menumbuhkan motif untuk berkompetisi, suasana
kooperatif lebih mendorong orang untuk bekerjasama.

88
BAB VII

AGRESIVITAS

PENGERTIAN
Dalam ensiklopedia psikologi sosial (Manstead dan
Hewstone, 1996) agresi adalah segala bentuk perilaku yang
disengaja terhadap makhluk lain dengan tujuan untuk
melukainya dan pihak yang dilukai tersebut berusaha untuk
menghindarinya. Dari definisi tersebut terdapat empat
masalah penting dalam agresi. Pertama, agresi merupakan
perilaku. Dengan demikian segala aspek perilaku juga
terdapat di dalam agresi, terutama emosi. Kedua, ada
unsur kesengajaan. Seorang korban tabrakan pada umumnya
tidak bisa dikatakan hasil dari agresi, terlebih lagi
bila pengendara sebenarnya sudah berusaha menghindarinya.
Di sisi lain seorang ibu yang sengaja mencubit anak
tetapi karena tidak bertujuan melukai, justru mendidik,
tidak bisa dikatakan agresi. Ketiga, sasarannya adalah
makhluk hidup, terutama manusia. Orang yang marah besar,
tetapi disalurkan dengan menendang bola, belum dikatakan
sebagai agresi. Keempat, ada usaha menghindar pada diri
korban. Apabila wanita yang disiksa dan diperkosa justru
menikmati hal itu, misalnya karena masokhis, maka
perbuatan itu bukan agresi. Kejadian seperti ini bukan
hal yang normal, pada umumnya ada usaha menghindar atau
bahkan melawan.

89
LATAR BELAKANG AGRESIVITAS
Untuk memahami agresi, hampir tidak mungkin
dilakukan hanya dengan melihat dari satu perspektif. Hal
ini didasarkan pada kenyataan bahwa hampir tidak pernah
dijumpai adanya agresi yang disebabkan oleh satu-satunya
faktor. Pada umumnya suatu agresi dipengaruhi oleh
beberapa faktor yang saling berinteraksi. Teori dan
konsep yang akan digunakan berikut ini dipaparkan dalam
rangka lebih memahami berbagai kemungkinan yang ada.

Kecenderungan Internal
Ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa agresi
lebih banyak dipengaruhi oleh faktor internal pelaku.
Pandangan ini tampaknya mengarah ke pesimistis, terutama
dalam usaha mereduksi agresi. Sedikitnya ada tiga
pendapat yang menekankan pentingnya faktor internal ini.
Teori Insting. Salah satu ahli yang mengemukakan
konsep ini adalah Sigmund Freud. Menurutnya, agresi
dilandasi oleh kekuatan yang disebut death instinct, yang
dimiliki oleh setiap makhluk. Insting ini tidak setiap
saat muncul, sebab dalam keadaan biasa manusia akan
menggunakan insting hidupnya. Dalam kondisi tertentu baru
akan muncul insting mati ini.
Instring Berkelahi. Konsep ini dikemukakan oleh
Konrad Lorenz (1967 sebagai konsep yang mirip dengan
usaha mempertahankan diri agar makhluk bisa hidup.
Dikarenakan berbagai keadaan, seperti terbatasnya sumber
kehidupan, makhluk satu dengan lainnya saling berusaha
untuk bisa menguasai kehidupan. Jalan yang digunakan

90
untuk itu adalah dengan cara menyingkirkan makhluk lain,
yaitu dengan agresi. Pendekatan ini sering juga disebut
sebagai pendekatan ethologi.
Sosio-biologi. Struktur fisik tertentu ternyata
berkaitan erat dengan agresivitas (Barash,1979). Struktur
fisik ini merupakan hasil dari perkembangan, terutama
hasil evolusi. Teori berkaitan erat dengan teori
kepribadian dari Kretschmer. Di samping struktur fisik,
ada pendapat yang mengatakan bahwa agresi juga berkaitan
dengan struktur otak. Dikatakan bahwa ada bagian tertentu
pada otak yang apabila terkena stimulasi akan
membangkitkan agresi. Masih berkaitan dengan faktor
biologis, ada hipotesis lain yang mengemukakan bahwa
agresi juga berkaitan dengan hormonal. Bukti adanya
kaitan tersebut ditunjukkan oleh Maccoby dan Jacklin
(1980) yang menyebutkan bahwa laki-laki lebih agresif
daripada wanita karena ada perbedaan hormon. Pendapat ini
kemudian dapat disangkal dengan alasan bahwa perbedaan
agresivitas pria dan wanita bukan disebabkan oleh hormon,
tetapi lebih ditekankan karena perbedaan sosialisasi.
Pendapat terakhir tentang sebab-sebab agresi
mengkaitkannya dengan genetis. Disebutkan bahwa pada
orang-orang yang agresif ternyata struktur kromosomnya
XYY, bagi pria. Persentase orang yang memiliki kelainan
pasangan kromosom ini pada kelompok agresif lebih tinggi,
sehingga disimpulkan bahwa faktor genetis berpengaruh
terhadap agresivitas.

91
Konsep Agresi-frustrasi
Para Psikolog Sosial pada umumnya menolak konsep-
konsep yang menekankan pentingnya faktor internal dalam
pembicaraan agresi. Oleh karenanya kemudian muncul
konsep-konsep lain. Menurut Berkowitz (1978) dan Dollard
et al. (1939) penyebab agresi yang paling menonjol adalah
frustrasi. Orang yang dalam keadaan frustrasi biasanya
mencari sasaran untuk menghilangkan atau mengurangi rasa
frsutrasinya itu. Sasaran yang paling sering diburu
adalah sumber frustrasi. Tentu saja konsep ini tidak
bisa dikenakan pada profesi yang berhubungan dengan
hukuman, seperti eksekutor, sebab mereka bukan karena
frustrasi melakukan hal itu, tetapi lebih menekankan
sebagai pekerjaan.
Dalam realitasnya, tidak semua penyaluran frustrasi
melalu agresi ditujukan pada sumbernya, tetapi pada pihak
lain. Sehingga muncullah istilah displaced aggression.
Sasaran pengganti ini biasanya adalah obyek yang memiliki
kesamaan dengan sumber frustrasi. Selain itu apabila
tidak ditemukan sasaran yang mirip akan dialihkan kepada
obyek terdekat.

PROSES AGRESI
Pemodelan
Remaja dan anak-anak di daerah pertempuran seperti
Lebanon, misalnya, sering melihat dengan mata kepala
sendiri berbagai usaha untuk saling membunuh. Hanya
dengan melihat berbagai kejadian yang menstimulasi

92
agresi, orang bisa menjadi agresif. Proses meniru seperti
itu biasa disebut sebagai pemodelan atau imitasi. Salah
satu karakteristik penting dalam proses modeling ini
adalah adanya hubungan emosional yang kuat antara
model dengan peniru. Biasanya orang yang ditiru adalah
orang yang dikagumi. Oleh karenanya pada anak-anak proses
ini paling sering terjadi antara anak dengan ayahnya.
Bahkan proses ini sering terjadi tanpa ada kesengajaan.
Misalnya orang tua yang memukul anaknya karena salah
sering ditiru oleh anak pada kesempatan lain ketika anak
tersebut menyalahkan orang lain, seperti teman bermain.
Belajar sosial yang paling banyak berpengaruh akhir-
akhir ini adalah media televisi. Sering terjadi bahwa
proses peniruan memang tidak didasari oleh rasionalitas,
sehingga orang yang menyaksikan kekerasan di televisi
bisa menjadi ikut-ikutan agresif. Perlu ditambahkan bahwa
dengan melakukan peniruan itu, peniru merasa diberi
reward dari orang yang ditirunya.

Pembelajaran
Dalam proses pemodelan, meskipun peniru merasa
mendapatkan hadiah dengan melakukan hal yang sama dengan
pelaku, sebenarnya antara peniru dan yang ditiru memiliki
hubungan yang jelas dalam konteks prosesnya. Di sisi
lain, sering ada kesengajaan seseorang meminta orang lain
melakukan suatu perbuatan dengan memberi imbalan apabila
orang tersebut mau melakukan. Contoh yang ekstrim dalam
hal ini adalah eksekutor yang bekerja sebagai tukang

93
jagal. Pada tukang pukul juga melakukan pekerjaan dengan
prinsip mendapat imbalan.
Ternyata dalam kehidupan sehari-hari, sering juga
terjadi hal seperti di atas, dengan skala yang lebih
kecil. Sering hanya dengan maksud iseng, orang dewasa
memerintahkan anak kecil untuk memukul orang lain. Secara
sepintas keadaan ini tidak berarti, tetapi pada dasarnya
hal ini adalah penanaman sifat agresif. Dalam diri orang
yang melakukan perbuatan itu tertanam adanya hubungan
antara imbalan tersebut dengan perilakunya. Hubungan
inilah yang biasanya disebut sebagai proses belajar
terkondisi.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI AGRESIVITAS


Faktor-faktor yang dimaksudkan dalam bagian ini
adalah segala faktor yang berkaitan dengan agresi yang
aktual. Hal ini perlu ditekankan untuk membedakan dengan
beberapa hal yang telah dibicarakan pada bagian-bagian
terdahulu.

Provokasi
Sering terjadi agresi terjadi sebagai usaha untuk
membalas agresi. Sebagaimana dikemukakan pada penjelasan
definisi, dalam agresi ada usaha pihak calon korban untuk
menghindari. Bentuk-bentuk penghindaran ini tidak saja
sekedar menghindari, tetapi ada yang berusaha dengan
jalan memberi perlawanan. Kemungkinan hal semacam ini
dilakukan dengan dasar pemikiran bahwa cara bertahan
paling baik adalah dengan menyerang. Perlu dicatat bahwa

94
tidak selamanya agresi dan menyerang dalam bentuk fisik,
tetapi juga meliputi penyerangan verbal.

Kondisi Aversif
Kondisi aversif adalah suatu keadaan yang tidak
menyenangkan yang ingin dihindari oleh seseorang. Menurut
Berkowitz (1983) keadaan yang tidak menyenangkan
merupakah salah satu daktor penyebab agresi. Alasannya
adalah orang akan selalu berusaha mencari keseimbangan.
Dengan adanya faktor yang kurang menyenangkan itu, orang
akan mencoba membuat keseimbangan dengan jalan, antara
lain, berusaha menghilangkan atau mengubah situasi itu.
Apabila situasi yang tidak menyenangkan adalah makhluk
hidup atau orang, maka akan timbul agresi terhadap orang
tersebut.

Isyarat Agresi
Isyarat agresi adalah stimulus yang diasosiasikan
dengan sumber frustrasi yang menyebabkan agresi.
Bentuknya bisa berupa senjata tajam atau bisa orang yang
menyebabkan frustrasi. Salah satu keadaan yang sering
digunakan untuk menerangkan hal ini adalah konsep weapon
effect. Pada prinsipnya konsep ini menerangkan bahwa
kehadiran senjata tertentu yang sering digunakan untuk
perbuatan agresif bisa membangkitkan agresi. Sebagai
contoh adalah orang yang dekat dengan pistol atau senapan
laras panjang atau pedang akan lebih cepat menjadi
agresif meskipun dengan sedikit stimulasi. Efek senjata

95
ini hanya sebagai pemacu terjadinya agresi, bukan
penyebab utama.

Kehadiran orang lain


Kehadiran orang, terutama orang diperkirakan
agresif, berpotensi untuk menumbuhkan agresi. Diasumsikan
bahwa kehadiran tersebut akan berpartisipasi ikut agresi.
Di lain pihak, kehadiran orang lain justru sering
menghambat agresi, terlebih lagi bila orang tersebut
adalah pemegang otonomi yang beriwbawa, seperti polisi.

Karakteristik individu
Berbagai penyebab di luar individu yang bersangkutan
akan sulit mencetuskan perbuatan agresif tanpa ada faktor
dari dalam. Fenomena yang paling sering terlihat adalah
stimulasi dari beberapa faktor akan memperkuat potensi
dalam diri individu yang kemudian memunculkan perilaku
agresi.
Jenis kelamin. Seperti disebutkan pada bagian
terdahulu bahwa agresi berkaitan dengan hormon tertentu,
yaitu hormon yang ada pada pria (testosteron). Hipotesis
ini berangkat dari fakta bahwa ternyata lebih banyak
lelaki yang melakukan perbuatan agresif daripada wanita.
Secara statistik dapat ditunjukkan bahwa hampir semua
data menunjukkan pria memang lebih banyak melakukan
tindakan agresi yang bersifat fisik. Pada sisi lain,
wanita pada umumnya lebih empati terhadap korban sehingga
agresivitasnya rendah.

96
BAB VIII

KELOMPOK DAN MASSA

Hidup sehari-hari ternyata tidak bisa lepas dari

pengaruh orang lain. Salah satu pengaruh yang paling

besar adalah kelompok dimana seseorang hidup. Di sisi


lain seseorang akan sulit sekali untuk menghindar dari

kehidupan kelompok. Bahkan sebaliknya kelompok sering

justru dijadikan sebagai sarana untuk mencapai tujuan

anggotanya. Dengan kata lain ada hubungan timbal balik

antara orang sebagai anggota dengan kelompoknya.

Kebutuhan akan kelompok semakin hari semakin nyata.

Terbukti bahwa makin banyak organisasi yang tumbuh. Di

samping makin banyak jumlahnya, juga makin spesifik, baik

dalam bentuk maupun aktivitas dan tujuannya. Karenanya,

tidak mengherankan apabila seseorang kemudian menjadi


anggota beberapa kelompok atau organisasi dalam waktu

bersamaan. Dengan demikian mempelajari kelompok akan

sangat berguna untuk memahami perilaku sosial.

Pengertian kelompok harus dibedakan dengan

kebersamaan atau kolektivitas. Perilaku kolektif biasanya

merespon pada satu stimulus tertentu, misalnya menunggu

bis atau menonton pertunjukkan. Di dalam perilaku

97
kelompok terdapat interaksi yang intensif antar individu

yang terlibat di dalam kelompok tersebut. Memang dalam

pengertian umum sebuah kelompok bisa hanya berbentuk

kolektivitas atau benar-benar kelompok yang organized

dalam waktu yang hampir bersamaan, namun keduanya

mempunyai perbedaan-perbedaan. Oleh karenanya dalam

kajian ini keduanya dibedakan. Perilaku kolektif akan


dibicarakan di bagian akhir.

PENGERTIAN

Batasan kelompok antara lain pernah dikemukakan oleh

Muzafer Sherif (1962) dalam bukunya Intergroup Relation

and Leadership yang menyatakan:

A group is a social unit (1) which consists of a


number of individuals who, at a given time,
stand in more or less definite interdependent
status or role relationship with one another,
and (2) which explicitly or implicitly possesses
a set of value or norms of its own regulation
behavior of individual members, at least in
matters of consequence to the group.
Pendapat di atas bisa dijadikan sebagai pegangan

untuk kajian lebih lanjut karena tampak cukup memadai.

Hal ini terlihat dalam cakupan definisi bahwa dalam

kelompok terdapat sejumlah orang yang saling tergantung

dan berhubungan satu dengan lainnya dan juga ada norma

atau aturan yang mengatur perilaku anggota-anggota

98
kelompok.

Menurut Worchel dan Cooper (1983), suatu kumpulan

orang-orang dapat dikatakan sebagai kelompok apabila

memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Orang-orang dalam kelompok saling berinteraksi

dan berkomunikasi.

2. Orang-orang tersebut mempunyai rasa kebersamaan


dan merasa bahwa mereka merupakan satu kesatuan.

3. Ada sedikitnya satu tujuan bersama dan kelompok

tersebut berusaha untuk mencapai tujuan itu.

NORMA KELOMPOK

Norma kelompok sering diartikan secara sempit, yaitu

aturan yang menetapkan boleh tidaknya suatu perbuatan

dilakukan. Dalam arti yang sesungguhnya pengertian norma

kelompok akan lebih baik bila dipandang dari dua segi. Di

dalam norma biasanya terkandung segi penilaian terhadap

perilaku dan norma juga sebagai batas untuk

mengekspresikan nilai kelompok. Unsur pertama dari norma

kelompok berarti evaluasi terhadap perilaku, sedangkan

unsur yang kedua mempermasalahkan klasifikasi perilaku.

Kedua unsur tersebut dalam prakteknya bisa dijadikan satu.

Suatu evaluasi bisa menghasilkan kategori tertentu.

Misalnya salah seorang anggota kelompok dinilai

99
berperilaku kurang baik (evaluasi) sekaligus bisa

dikategorikan menyimpang dari norma kelompok.

Norma bisa tertulis, bisa juga tidak tertulis. Untuk

organisasi formal, biasanya norma yang diterapkan

tertulis.Pada kelompok-kelompok tradisional norma yang

digunakan pada umumnya tidak tertulis. Norma yang

tertulis pada umumnya mencakup hal-hal yang khusus,


sehingga lebih tepat disebut sebagai peraturan. Dengan

adanya norma dan peraturan kelompok, maka individu akan

berperilaku sesuai dengan batas yang ditentukan. Lebih

jauh lagi ia akan berperilaku sesuai dengan tugas yang

dibebankan padanya. Untuk itulah muncul peran-peran

tertentu di dalam suatu kelompok.

ALASAN MASUK KELOMPOK

Orang sering merasa sulit untuk menentukan alasan

dia masuk dalam suatu kelompok tertentu. Misalnya mengapa


ia masuk dalam suatu keluarga. Jawaban yang khas adalah

karena ia dilahirkan di sana. Sehingga bila ia ditanya

alasannya, maka ia akan sulit untuk menjawabnya. Namun

sebagian besar orang masuk kelompok mempunyai alasan

tertentu, meskipun tanpa disadari.

Secara psikologis orang masuk setidaknya karena lima

alasan (Worchel dan Cooper, 1983).

100
1. Pada hakekatnya orang mempunyai kebutuhan untuk

berafiliasi.

2. Kelompok sering menjadi sumber informasi.

Informasi yang didapatkan bisa mengenai masalah

di dalam kelompok maupun di luar kelompok yang

oleh orang bersangkutan sangat dibutuhkan. Yang

tidak kalah pentingnya adalah bahwa kelompok


memberikan juga informasi tentang diri orang yang

bersangkutan.

3. Kelompok sering memberikan hadiah. Alasan ini

sering menjadi dasar kepindahan orang ke kelompok

lain. Kelompok yang tidak memberikan kepuasan

kepada anggota pada umumnya akan ditinggalkan

setelah anggota tersebut beberapa saat dalam

kelompok.

PEMBENTUKAN DAN DINAMIKA KELOMPOK


Kelompok terbentuk setelah masing-masing individu
yang terlibat saling tertarik untuk berkelompok.
Ketertarikan tersebut muncul sebagai akikibat dari
kebutuhan untuk mendapatkan kepuasan bersama. Di samping
itu, seseorang yang akan masuk kelompok juga mengalami
perubahan kognitif. Misal, pada orang yang kesepian
berarti mengalami ketidakseimbangan kognitif. Agar tidak
kesepian ia akan pergi menemui orang lain atau membentuk
kelompok. Secara psikologis, orang yang kesepian dan

101
tinggal sendirian di rumah mengalami perubahan struktur
kognitif pada waktu dia berusaha untuk menemui orang lain.
Secara kognitif dia siap bertemu, berbicara, bertukar
pikiran, menyesuaikan dengan pihak lain, dan seterusnya.

Menurut Hogg dan Abrams (1988) sedikitnya ada enam


anteseden yang terkait dengan hubungan interpersonal
sebelum terbentuknya kelompok. Keenam anteseden tersebut
meliputi interaksi yang kooperatif, tujuan bersama dan
saling tergantung, terjadi pertukaran yang cukup intensif,
hubungan interpersonal yang telah terbentuk memiliki
pengukuh yang kuat, dan ada kesamaan di antara mereka
(lihat Gambar).

Interaksi yang Pembentukan


kooperatif kelompok

Tujuan bersama
& slg tergantung

Sistem Kebut kepuasan Ketertarikan


pertukaran bersama bersama mutual
interperpersonal
Reinforcement
interpersonal +

Kesamaan
interpersonal

Cognitive Restrukturisasi
imbalance kognitif

TEORI PEMBENTUKAN KELOMPOK


(Hogg & Abrams, 1988)

102
Kelompok yang sudah terbentuk pada umumnya akan
berkembang searah dengan dinamika yang terjadi di dalam
kelompok. Idealnya, dinamika kelompok yang terjadi
merupakan peningkatan (eskalasi) yang positif. Dalam
kondisi yang demikian maka akan terbentuk kohesivitas
dalam kelompok. Sebuah kelompok dikatakan kohesif bila
memiliki beberapa karekterisrik berikut:

1. Setiap anggotanya komitmen tinggi dengan


kelompoknya.

2. Interaksi di dalam kelompok didominasi oleh


kerjasama, bukan oleh persaingan.

3. Kelompok mempunyai tujuan-tujuan yang terkait


satu dengan lainnya dan sesuai dengan
perkembangan waktu tujuan yang dirumuskan
meningkat.

4. Terjadi pertukaran antar anggota kelompok yang


sifannya mengikat.

5. Ada ketertarikan antar anggota sehingga relasi


yang terbentuk menguatkan jaringan relasi di
dalam kelompok.

Pada sisi lain, kelompok yang sudah terbentuk dapat


berubah ke arah konflik internal. Sebelum konflik
tersebut pecah, ada kecenderungan di dalam kelompok
terjadi polarisasi dalam bentuk perbedaan pendapat yang
menajam dan klik (lihat Gambar). Terjadinya kutub-kutub
dalam kelompok akan semakin meruncing bila tidak ada

103
tindakan yang secara sistematis berupaya mencegahnya.

Tahap Awal

Setuju ☺ ☺ netral ☻ ☻ Menentang

Keputusan
geser ke
ekstrim

Setuju ☺☺ netral ☻ ☻ Menentang

Tahap Akhir

POLARISASI KELOMPOK

Konflik di dalam kelompok dapat terjadi karena


faktor kelompok itu sendiri maupun karena faktor-faktor
individu anggota kelompok itu. Faktor-faktor kelompok

104
yang dapat menyulut konflik, di antaranya adalah:

1. Sumber dayanya terbatas dan diperebutkan oleh


anggota-anggota kelompok.

2. Ada ketimpangan kekuasaan dan sistem pembagian


kekuasaan yang ada dinilai tidak adil.

3. Kekaburan tanggung jawab unsur-unsur di dalam


kelompok.

4. Prosedur kelompok yang tidak jelas, kurang


partisipatif dan sistem pembagian tanggung jawab
maupun keuntungan yang tidak adil.

Dilihat dari sisi individu anggota-anggota kelompok,


konflik dapat terjadi antara lain karena faktor-faktor di
bawah ini.

1. Kemampuan komunikasi yang kurang baik.

2. Masing-masing anggota memiliki atriut dan


identitas yang menonjol.

3. Antar anggota muncul saling curiga,


ketidakpercayaan, dan prasangka.

4. Muncul penilaian ketidakadilan di antara para


anggota kelompok.

Polarisasi dan konflik dalam kelompok dapat


menyebabkan pecahnya kelompok menjadi lebih dari satu
atau kelompok tersebut bubar. Sebaliknya, kelompok yang
dapat mempertahankan diri atau bahkan berkembang dapat
menjalin hubungan dengan kelompok lain. Perilaku antar
kelompok merupakan bagian tersendiri dalam kajian

105
psikologi sosial. Kajian tersebut sangat intensif dan
berkembang dengan pesat yang antara lain ditandai dengan
muncul dan berkembangnya Teori Identitas Sosial.

MASSA

Bermacam-macam kelompok tumbuh seirama dengan makin


berkembangnya kebutuhan manusia. Dari berbagai jenis

kelompok itu ada yang disebut massa. Kelompok ini

biasanya terdiri dari anggota atau partisipan yang

jumlahnya puluhan, ratusan, bahkan ribuan. Contohnya

adalah peserta kampanye kontestan pemilu di lapangan.

Massa mempunyai ciri-ciri tertentu yang berbeda dengan

jenis kelompok lainnya.

Ciri-Ciri Psikologis
Di samping jumlah orang yang terlibat dalam massa
pada umumnya banyak, terdapat ciri-ciri psikologis yang
sering ada dalah satu massa. Pada awal perkembangan
pemahaman tentang massa pendapat Gustav LeBon banyak
diikuti, demikian juga Willian McDougall (dalam Manstead
dan Hewstone, 1996). Menurut kedua ahli tersebut, ciri-
ciri massa di antaranya dipaparkan di bawah ini.
1. Tidak rasional. Orang-orang yang berada di dalam

kelompok berbeda sifat-sifatnya dengan orang-orang

yang tidak berada dalam kelompok. Orang-orang dalam

106
kelompok sifat rasionalnya lebih rendah daripada

orang-orang yang tidak dalam kelompok, sehingga sikap

kritis terhadap sesuatu hal mudah menurun.

2. Emosional. Sehubungan dengan menurunnya sikap kritis

dan rasional, emosi orang-orang dalam kelompok,

terutama emosi marah, mudah sekali terpancing. Sifat-

sifat emosional ini mudah diarahkan pada hal-hal yang

destruktif.

3. Mudah tersugesti. Berkaitan dengan sifat kurang

rasional juga, orang yang terlibat dalam kelompok

mudah tersugesti untuk melakukan sesuatu, baik yang

destruktif maupun yang konstruktif. Mereka patuh

terhadap apa yang dikemukakan oleh pemimpin dan

melaksanakan perintah tersebut tanpa disertai

pemikiran tentang akibat-akibat dari perintah tersebut.

4. Lebih berani mengambil risiko. Sifat ini bisa dilihat

antara lain dengan lebih nekadnya perbuatan mereka.

Dalam keadaan sendirian, perbuatan nekad tersebut

jarang sekali dilakukan.

5. Immoral. Massa yang emosional lebih berani berbuat

hal-hal yang tidak sesuai dengan norma. Mereka lebih

berani melanggar norma-norma seperti menyakiti,

membunuh atau mengambil dan merusak barang-barang.

Sebab-sebab terjadinya kondisi-kondisi seperti di

107
atas adalah karena mereka merasa kehilangan identitas

dirinya. Dalam suasana berkelompok, orang-orang merasa

bahwa tanggung jawab pribadi terhadap suatu hal

berpindah menjadi tanggungjawab kelompok. Keadaan

seperti ini disebut sebagai kekacauan tanggung jawab

(diffusion of responsibility). Oleh karena perpindahan

tanggung jawab tersebut, orang-orang lebih berani


berbuat nekad dan melanggar norma-norma sosial.

Massa yang memiliki karakteristik seperti disebutkan

di atas perilakunya tergolong perilaku kolektif.

Bentuknya antara lain ialah kegiatan seperti demonstrasi,

pemberontakan, revolusi. Apabila perilaku kolektif

menimbulkan korban dalam jumlah yang besar, baik harta

maupun nyawa, maka hal tersebut dapat disebut sebagai

ledakan sosial.

FAKTOR DASAR LEDAKAN SOSIAL

Ledakan sosial bermula dari perasaan-perasaan

ketidakadilan yang dirasakan oleh sekelompok orang.

Ketidakadilan ini menimbulkan perasaan benci, marah,

bermusuhan dan lain-lain. Keadilan memang sesuatu yang

relatif sifatnya, yang tergantung pada nilai-nilai yang

dianut, orientasi hidup rang, bahkan situasi dan kondisi

tertentu. Faktor utama timbulnya rasa ketidakadilan

108
menurut Teori Deprivasi Relatif (Walker & Petigrew, 1984)

ialah tidak terpenuhinya harapan, yang menurut mereka

seharusnya terpenuhi. Perasaan tidak adil ini timbul bila

orang membandingkan keadaan diri mereka dengan keadaan

orang lain yang ada di sekitarnya. Bila pembandingnya

adalah anggota lain dari kelompok dimana seseorang

menjadi anggota juga, deprivasi yang terjadi disebut


deprivasi relatif egoistikal. Bila pembandingnya adalah

kelompok lain maka disebut deprivasi relatif fraternal.

Semakin melebarnya jurang antara si kaya dengan si

miskin adalah faktor yang merangsang timbulnya perasaan

ketidakadilan. Bila sekiranya kemajuan ekonomi si kaya

dan si miskin berjalan seiring, secara teoritis perasaan

ketidakadilan ini dapat dikurangi. Di samping masalah

ekonomi, masalah-masalah yang berupa kesempatan sosial

juga merupakan faktor yang dapat menimbulkan perasaan

ketidakadilan. Contoh dari hal ini adalah adanya sifat


pilih kasih di dalam memangku jabatan atau fungsi sosial,

hanya orang-orang yang sesuai dengan selera yang dapat

menduduki posisi kerja tertentu. Hal-hal seperti inilah

yang dapat menimbulkan perasaan tidak adil.

109
DAFTAR PUSTAKA

Ajzen, I. 1988. Attitudes, Personality and Behavior. Open


University Press, Milton Keynes.

Allport, F. 1924. Social Psychology. Houghton-Mifflin, Boston.


Azwar, S. 1988. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya.
Liberty, Yogyakarta.
Barash, D. 1979. The Wishperings Within. Harper & Row, New
York.
Baron, R.A & Byrne, D. 1994. Social Psychology: Understanding
Human Interaction. Allyn & Bacon, Boston.
Farr, R.M. 1996. The Roots of Modern Social
Psychology.Blackwell Publisher Ltd., Oxford.
Berkowitz, L. 1978. Whatever Happened to the Frustration-
Aggression Hypothesis? American Behavioral Scientists, 21,
691-708.
Berkowitz, L. 1983. Aversively Stimulated Aggression: Some
Parallels and Differences in Research with Animals and
Humans. American Psychologist, 38, 1135-1144.
Dollard, J., Doob, L., Miller, N., Mowrer, O.H., & Sears, R.R.
1939. Frustration and Aggression. Yale University Press,
New Haven.
Faturochman. 1993. Prejudice and Hostility: Some Perspectives.
Buletin Psikologi, No.1, 17-23.
Faturochman. 1996. Dampak Penurunan Fertilitas. Dalam Dwiyanto,
A. dkk. (eds.) penduduk dan Pembangunan. Aditya Media,
Yogyakarta.
Faturochman. 2002. Keadilan: Perpektif Psikologi. UPF
Psikologi UGM & Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Festinger, L. 1954. Theories of Social Comparison Processes.
Human Relations, 7, 117-140.
Fiedler, F.E. 1967. A Theory of Leadership Effectiveness.
McGraw-Hill, New York. Fishbein, M. & Ajzen, 1. 1975.
Belief, Attitude, Intention & Behavior: An Introduction
Theory and Research. Addison Wesley, London.
Hogg, M.A. dan Abrams, D. 1988. Social Identifications: A
Social Psychology of Intergroup Relations and Group
Processes. Routledge, London.

110
Jones, E.E. & Davis, K.E. 1965. From Acts to Dispositions: The
Attribution Process in Person Perception. In Berkowitz, L.
(ed.) Advances in Experimental Social Psychology, Vol. 2,
Academic Press, New York.
Kelley, H. 1972. Attribution in Social Interaction. In Jones,
E. E, et al. (eds.) Attribution: Perceiving the Causes of
Behavior. General Learning Press, Morristown, NJ.
Latane, B. & Darley, J.M. 1970. The Unresponsive Bystander:
Why Doesn’t He Help? Appleton-Century-Crofts, New York.
Lewin, K., Lippitt, R. & White, R. 1939. Pattern of Aggresive
Behavior in Experimentally Created 'Social Climates'.
Journal of Social Psychology, la, 271-299.
Lindzey, G. & Aronson, E. 1968. Handbook of Social Psychology.
Addison-Wesley, London.
Lorenz, K. 1967. On Aggression. Methuen & Co Ltd, London.
Manstead, A.S.R. dan Hewstone, M. (eds.). 1996. The Blackwell
Encyclopedia of Social Psychology. Blackwell Publishers,
Oxford.
Moscovici, S. 1996. The Invention of Society. Blackwell
Publisher Ltd., Oxford.
Myers, D.G. 2002. Social Psychology, 7th edition. McGraw-Hill,
Boston.
Ross, L. 1977. Problem in the Interpretation of 'Self Serving'
Assymetries in Causal Attribution. Sociometry, 40, 112
114.
Shaw, M.E & Costanzo, P.R. 1982. Theories of Social Psychology.
McGraw-Hill, Tokyo.
Sherif, M. 1962. Intergroup Relation and Leadership.
Houghton Mifflin, Boston.
Walker, I. & Petigrew, T.F. 1984. Relative Deprivation
Theory: An Overview and Conceptual Critique. British
Journal of Social Psychology, 23, 301-310.
Weiner, B., Frieze, J., Kukla, A., Reed, L. Rest, S. &
Rosenbaum, R.M. 1972. Perceiving the Causes and
Failure. In Jones, E.E, et al.(eds.) Attribution:
Perceiving the Causes of Behavior. General Learning
Press, Morristown, NJ.
Wrightsman, L.S. & Deaux, K. 1981. Social Psychology in the
80s. Brooks/Cole Publishing Co., Monterey,
California.

111
Worchel, S. & Cooper, J. 1983. Understanding Social
Psychology. The Dorsey Press, Homewood, Illinois.
Zilmann, D., Katcher, A. & Milavsky, B. 1972. Exitation
Transfer from Physical Exercise to Subsequent
Aggressive Behavior. Journal of Experimental Social
Psychology, 8, 247-259.

112

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai