net/publication/336572987
PSIKOLOGI SOSIAL
CITATIONS READS
0 11,611
1 author:
Faturochman Faturochman
Universitas Gadjah Mada
116 PUBLICATIONS 204 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Faturochman Faturochman on 16 October 2019.
Penerbit PUSTAKA
Yogyakarta
140 x 210 mm
I. Psikologi
II. Judul
III. Faturochman
2
KATA PENGANTAR
3
yang dimaksudkan dalam buku ini bukan satu-satunya yang
dapat diacu. Penulis sangat mengharapkan mahasiswa
mencari sumber bacaan lain yang lebih lengkap dan
mendalam. Di antara sumber-sumber tersebut jurnal
merupakan sumber yang paling disarankan.
Pada kesempatan ini penulis menyadari bahwa
tulisan yang ada ini masih jauh dari sempurna. Kepada
pengguna buku ini diharapkan untuk kritis membaca
sehingga kekeliruan yang ada, meskipun tidak disengaja,
tidak berlanjut.
Semoga bermanfaat.
Yogyakarta, April 2006
Faturochman
4
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
Pengertian Psikologi Sosial
Sejarah Singkat
Relevansi Psikologi Sosial Saat Ini
BAB II PERSEPSI DIRI
Evaluasi Diri
Atribusi Diri
Kesadaran Diri
BAB III PERSEPSI SOSIAL
Pembentukan Kesan
Atribusi
Bias dalam Atribusi
BAB IV SIKAP
Pengertian
Pembentukan Sikap
Perubahan Sikap
Sikap dan Perilaku
Pengukuran Sikap
BAB V DAYA TARIK SOSIAL
Pengertian
Faktor Pengaruh
Faktor Penilai
Faktor Situasional
Dinamika Ketertaikan
Efek Daya Tarik
BAB VI PERILAKU PROSOSIAL
Tahap-tahap Pemberian Pertolongan
Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Pemberian Pertolongan
Karakteristik Orang-orang yang Terlibat
Mediator Internal
Meningkatkan Perilaku Sosial
Kerjasama dan Kompetisi
5
BAB VII AGRESIVITAS
Pengertian
Latar Belakang Agresivitas
Proses Agresi
Faktor-faktor yang Mempemgaruhi Agresivitas
BAB VIII KELOMPOK DAN MASSA
Pengertian
Norma Kelompok
Alasan Masuk Kelompok
Pembentukan dan Dinamika Kelompok
Massa
Perilaku Kolektif
Faktor Dasar Ledakan Sosial
DAFTAR PUSTAKA
6
BAB I
PENDAHULUAN
7
kekasihnya boleh dikatakan dia berperilaku dalam konteks
sosial. Orang lain yang dibayangkan tersebut, meskipun
tidak hadir, memiliki pengaruh terhadap seseorang. Ini
merupakan salah satu ciri dalam kajian Psikologi Sosial.
Pada kesempatan lain Psikologi Sosial juga memperhatikan
arus pengaruh yang berbalik arah dan juga pengaruh dua
arah sekaligus.
Mengapa Psikologi Sosial menekankan analisis pada
perilaku individu, meskipun dalam konteks sosial? Bila
Psikologi memiliki ciri khas menganalisis aspek
psikologis, apakah masih perlu membatasi perilaku
individu, bukan manusia yang lebih umum unit analisisnya?
Telah terjadi perdebatan yang cukup panjang tentang hal
ini. Perdebatan yang dimaksud tidak dapat dilepaskan dari
pendapat Floyd Allport (1924) yang pertama kali
mengemukakan bahwa analisis Psikologi Sosial harus
berfokus pada individu. Pengaruh Allport dalam Psikologi
Sosial hingga sekarang sangat besar, terutama di Amerika
Utara. Dengan memokuskan pada individu, Psikologi Sosial
berkembang sangat pesat. Secara pragmatis, penelitian
dengan unit analisis individu memungkinkan untuk
melakukan eksplorasi yang sistematis dan mendalam
berkaitan dengan aspek psikologis. Ini terutama untuk
studi laboratorium atau eksperimen. Kecanggihan dalam
eksperimen Psikologi Sosial di Amerika Serikat
mendominasi pemikiran dan perkembangan Psikologi Sosial
modern. Dunia harus mengakui bahwa Psikologi Sosial
modern adalah fenomena Amerika (Farr, 1996).
Pemikiran bahwa Psikologi Sosial harus memokuskan
8
pada perilaku individu tidak diterima oleh semua ahli
Psikologi. Kritik banyak datang dari Eropa (lihat Farr,
1996; Moscovici, 1996). Sedikitnya ada tiga hal pokok
yang dikritik. Pertama, dengan berfokus pada individu
berarti terjadi individualisasi pengertian sosial. Pada
saat yang sama akan terjadi pula desosialisasi individu.
Dua fenomena ini mengingkari ciri sifat manusia sebagai
mahluk sosial. Kedua, penelitian individu dalam
laboratorium yang canggih namun hanya menekankan pada
aspek psiko-sosial tertentu dinilai sering lepas dari
konteks sosial yang senyatanya. Bila ini terjadi maka
Psikologi Sosial menjadi lebih dekat dengan Biologi.
Tidak ada salahnya, memang, mengaji sosio-biologi namun
dalam konteks empiris dinamikanya menjadi lebih kompleks.
Dengan demikian dikhawatirkan kajian tersebut menjadi
terlalu sempit. Ketiga, orientasi Psikologi Sosial yang
terlalu individualis dinilai mengingkari kenyataan
sejarah. Pada awalnya Psikologi tumbuh dan berkembang
dari ilmu alam (natural science, naturwissenschaft) dan
ilmu sosial humaniora (geisteswissenschaft). Sesudah
Psikologi berdiri sendiri sebagai ilmu, salah satu
cabangnya berkembang menjadi Psikologi Sosial. Pada waktu
itu Psikologi Sosial tidak membatasi pada perilaku
individu. Kajian Psikologi Sosial ternyata tidak hanya
muncul dari Psikologi. Sosiologi juga mempunyai cabang
yang serupa. Kenyataan ini tidak bisa dihindari, namun
rupanya terjadi juga polarisasi untuk lebih mengentalkan
identitas Psikologi Sosial yaitu dengan cara spesifikasi
analisis pada perilaku individu dalam konteks sosial.
9
Dengan mempertimbangkan beberapa hal di atas
sekaligus memperluas jangkauan Psikologi Sosial seperti
yang sekarang juga berkembang, ada baiknya juga
memperluas definisi Psikologi Sosial. Maksudnya, bahasan
Psikologi Sosial tidak sebatas perilaku individu, tetapi
unit yang lebih besar. Di sisi lain, masih dibutuhkan
pembatasan besar kecilnya unit ini agar tidak tumpang
tindih dengan disiplin ilmu yang lain, terutama Sosiologi
dan Antropologi. Dalam konteks hubungan sosial,
pembahasan selanjutnya akan dibatasi pada pola interaksi
sebagai berikut:
1. Individu - individu
2. Individu - kelompok
3. Kelompok - kelompok
SEJARAH SINGKAT
10
Begitu banyak tokoh dalam Psikologi Sosial yang
dapat ditempatkan sebagai pemberi kontribusi yang besar
dalam perkembangan Psikologi Sosial. Tokoh dalam
Psikologi Sosial memang lebih banyak yang berasal dari
Psikologi dibanding Sosiologi. Wundt, misalnya, pada
awalnya dikenal sebagai ahli Psikologi dengan
penelitiannya yang terkait dengan proses fisiologi. Dalam
sejarah Psikologi, Wundt dikenal sebagai orang pertama
yang menerbitkan buku Psikologi dengan judul Grundzuge
der Physiologschen Psycholologie pada tahun 1874.
Ternyata Wundt pula yang menerbitkan buku Psikologi
Sosial untuk pertama kalinya dengan judul
Volkerpsychology yang terdiri dari 10 jilid antara tahun
1900-1920.
11
Ini membuktikan bahwa meskipun Psikologi lebih besar
pengaruhnya dalam perkembangan Psikologi Sosial dibanding
Sosiologi, pengaruh Sosiologi tidak dapat diabaikan.
12
misalnya, pada tahun 1917 menulis tentang pengalaman
sosial-psikologis tentara yang terlibat perang Dunia I.
Tahun 1920.
13
Sesudah PD II terjadi perubahan geografis yang
sangat menonjol bagi pertumbuhan Psikologi Sosial,: Eropa
sebagai akar dalam pertumbuhan Psikologi Sosial tidak
lagi berperan secara menonjol. Amerika Serikat mengambil
alih peran Eropa. Beberapa catatan di bawah ini adalah
sebagian fakta tentang itu.
1. Wertherimer berperan besar sebagai ketua
Departemen Psikologi pada The New School for
Social Research di New York.
2. Kurt Lewin mendirikan pusat penelitian dinamika
kelompok di MIT yang kemudian pindah ke
Universitas Michigan. Pusat penelitian ini sangat
terkenal. Penerus Lewin di antaranya adalah
Cartwright. Beberapa tahun kemudian Cartwright
dan Zander menerbitkan buku yang terkenal dengan
judul Group Dynamic.
3. Heider dengan penelitian disonansi kognitifnya
yang terkenal mengembangkan Psikologi di Smith
College dan kemudian Universitas Kansas.
4. Solomon Asch dan Kohler mengembangkan penelitian
yang terkenal juga di Swarthmore College.
5. Di Universitas Yale dikembangakan eksperimen
dalam bidang komunikasi massa. Tokoh yang
terkenal berperan di sana antara lain adalah
Stouffer dan Hovland. Salah satu publikasi yang
terkenal ditulis oleh Hovland adalah
Communication and Persuasion. Periode sesudah PD
II ini dikenal sebagai awal dari munculnya
Psikologi Sosial modern. Para ahli tampaknya
14
sepakat bahwa tahun 1954 dengan terbitnya Handbook
of Social Psychology yang diedit oleh Gordon
Lindzey merupakan awal dari periode Psikologi
Sosial modern. Buku ini merupakan kumpulan
karangan yang ditulis oleh banyak ahli Psikologi
Sosial. Salah satu bab ditulis oleh G.W. Allport
yang membahas latar belakang sejarah Psikologi
Sosial modern. Dari tulisan tersebut dapat
disimpulkan bahwa Psikologi Sosial berakar di
Eropa, namun its flowering characteristically
American phenomenon.
15
Kemiskinan
16
adil seperti dalam konsep equity, maka terjadi deprivasi
relatif. Konsep deprivasi relatif seperti ini telah
berhasil menjelaskan munculnya fenomena kerusuhan sosial.
Tentu saja ini bukan satu-satunya teori yang dapat
menjelaskan terjadinya kerusuhan sosial. Teori Identitas
Sosial, Kategori Sosial dan Nilai-nilai
Sosial(Faturochman, 1993) dapat pula menjelaskannya.
Sementara itu dalam Teori Agresi dikenal konsep etologi.
Secara singkat, konsep ini menjelaskan bahwa akan terjadi
agresivitas bila sumber kehidupan seseorang diambil alih
oleh orang lain. Apabila beberapa konsep ini disatukan
maka akan jelas bahwa potensi terjadinya kerusuhan cukup
besar bila kemiskinan absolut maupun relatif masih ada.
17
sosial terutama dalam hal perilaku menolong. Teknik-
teknik mempengaruhi orang lain dapat diterapkan untuk
mencari pertolongan. Selama ini teknik tersebut banyak
dimanfaatkan untuk hal- hal yang bersifat selfish, namun
ini tidak berarti bahwa hal yang serupa tidak dapat
diarahkan untuk keuntungan bersama. Upaya ini akan dapat
lebih efektif bila dikombinasikan dengan cara-cara
mengubah sikap.
Masalah keluarga
18
keluarga besar. Tentu saja upaya seperti itu tidak mudah
karena asumsi-asumsi pada kedua konsep tersebut terbatas
untuk pola hubungan dyadic. Meskipun demikian upaya untuk
itu tetap mungkin dilakukan, misalnya dengan menambahkan
Teori Dinamika Kelompok dalam penerapannya. Di sini jelas
sekali bahwa salah satu keunggulan Psikologi Sosial dalam
menganalisis gejala yang ada adalah kemampuannya
menjelaskan dinamika kelompok.
19
20
BAB II
PERSEPSI DIRI
21
atau sepenggal-sepenggal.
EVALUASI DIRI
22
Tujuan yang lebih mendasar dari persepsi diri adalah
dalam rangka menilai diri sendiri. Evaluasi diri akan
menjadi sulit tanpa adanya pembanding, dalam hal ini
orang lain. Oleh karenanya cara yang paling sering
digunakan dalam evaluasi diri adalah dengan jalan
melakukan perbandingan sosial.
Teori Perbandingan Sosial yang banyak dikenal
mengacu pada pendapat Leon Festinger (1954), yang
menyatakan bahwa seseorang menggunakan orang lain sebagai
dasar perbandingan untuk mengevaluasi diri sendiri baik
dalam hal pendapat maupun dalam hal kemampuan. Teori ini
kemudian berkembang karena pada dasarnya tiap-tiap
individu memiliki kebutuhan untuk menilai diri sendiri.
Namun demikian, tidak setiap saat kebutuhan itu muncul.
Pada saat seseorang merasa ragu atau tidak yakin dengan
kemampuan maupun opininya, maka ia butuh tahu kondisi
yang sesungguhnya. Untuk mengetahui hal tersebut, maka
cara yang digunakan adalah dengan jalan menilai diri
sendiri. Di samping itu, pada saat menghadapi persaingan
orang juga membutuhkan evaluasi diri. Tujuannya agar
dapat mengungguli saingan atau setidaknya menyamainya.
Apabila kemudian dia sadar bahwa kemampuannya terlalu
jauh di bawah dirinya, maka akan dilakukan usaha untuk
menghindari persaingan itu.
Tentu saja tidak semua orang bisa dijadikan sebagai
pembanding dalam perbandingan sosial. Pelari daerah,
misalnya, akan berusaha mencari pembanding yang setara
dengan dirinya dalam usaha memacu prestasi, tidak
membandingkan dirinya dengan pelari yang meraih medali
23
emas dalam olimpiade. Mencari pembanding yang seimbang
dengan kemampuannya atau yang memiliki karakteristik
tidak jauh berbeda adalah hal yang paling wajar. Dalam
kondisi yang khusus, keadaan seperti itu sering tidak
terjadi. Orang yang keyakinan dirinya rendah, akan
berusaha membandingkan dengan orang yang kemampuannya
berada di bawah kemampuan yang sesungguhnya dari orang
tersebut. Hal ini berbeda dengan orang yang ingin
meningkatkan kemampuan dirinya. Orang yang demikian
biasanya mencari pembanding yang kualifikasinya lebih
tinggi daripada dirinya.
Penonjolan keunikan. Salah satu kesulitan dalam
menilai diri adalah kecenderungan untuk menggunakan hal-
hal yang justru kurang biasa pada dirinya atau hal-hal
yang menonjol saja (dalam arti negatif maupun positif).
Gejala seperti ini biasa disebut sebagai distinctiveness
postulate. Apabila hal ini terjadi, maka obyektivitas
penilaian menjadi berkurang.
Skemata diri. Untuk sampai pada atribusi dalam
proses persepsi, terjadi suatu proses dalam self yang
merupakan mental framework (jaringan kerangka kerja
mental) yang terbentuk melalui pengalaman-pengalaman
untuk memproses informasi yang masuk, yang biasa disebut
schema. Dalam kaitannya dengan persepsi diri, skema yang
digunakan adalah skema diri, yaitu jaringan kerangka
kerja mental yang menentukan bagaimana fakta-fakta
tentang diri sendiri yang sedang diperhatikan, bagaimana
menyimpan fakta tersebut dalam memori dan bagaimana
menggunakan informasi tersebut dalam pembentukan impresi
24
tentang diri sendiri. Skema diri bisa digunakan untuk
memprediksi bagaimana kita akan merespon terhadap suatu
situasi di masa yang akan datang. Dengan kata lain,
pengetahuan tentang skema diri akan mempermudah dalam
memprediksi diri sendiri terhadap kemungkinan-kemungkinan
situasi yang akan dihadapi di masa yang akan datang.
Vefikasi diri. Dengan mengetahui skema dirinya, orang
tidak hanya akan mempermudah memprediksi diri
sendiri,tetapi juga kemudian berusaha untuk memperhatikan
dan mencari informasi yang sesuai dengan skema diri
tersebut. Keadaan seperti ini disebut sebagai
verifikasi diri. Contohnya adalah pada orang yang asertif.
Orang ini akan berusaha untuk mencari informasi yang
sesuai dengan asertivitasnya itu, dia kemungkinan akan
menghindari orang orang yang kurang asertif dengan tujuan
agar situasinya sesuai dengan skemata dirinya.
ATRIBUSI DIRI
Daryl Bem menyatakan bahwa seseorang mencoba memahami
sikap dan karakteristik dirinya sendiri dengan jalan
melihat pada perilaku dirinya dan situasi yang ada pada
saat itu.
Orang dapat melihat dirinya sebagaimana ia melihat
orang lain, dan juga memperhatikan penyebab-penyebab dari
perilakunya.
Contoh dari konsep tersebut adalah pada petinju
Mohammad Ali. Dia selalu mengatakan bahwa "Sayalah yang
terbesar". Kemudian dia mencocokkan dengan keadaan
sesungguhnya. Ternyata dia memang mampu merobohkan lawan-
25
lawannya. Dengan melihat kenyataan ini, ia merasa yakin
bahwa dia memang yang terbesar. Sebaliknya, apabila
ternyata dia beberapa kali dikalahkan, maka dia akan
menyatakan bahwa hal itu disebabkan karena faktor situasi.
Demikian juga sebaliknya, apabila dia ternyata memang
bukan yang terbesar, tetapi hal itu lebih bertujuan untuk
menarik penonton menyaksikan pertandingannya, maka dia
sebetulnya sadar, bahwa perkataannya itu lebih berperan
sebagai pemnarik perhatian, bukan gambaran tentang
dirinya.
Mungkinkah persepsi diri obyektif? Pada dasarnya
persepsi diri bisa obyektif. Untuk membuktikan hal ini
bisa menggunakan kerangka berpikir dari teori disonansi.
Menurut teori ini pada dasarnya setiap individu berusaha
untuk bisa dalam keadaan konsisten antar berbagai hal
dalam dirinya (perbuatan, pikiran, dan perasaan). Dengan
kata lain kondisi yang diinginkan adalah kondisi konsonan,
selaras antara pikiran, perasaan, perkataan dan
perbuatannya. Apabila tidak ada konsistensi antar dua
aspek atau lebih dalam dirinya, maka kondisi ini disebut
sebagai disonansi. Kondisi seperti ini sangat tidak
diinginkan oleh setiap individu. Untuk menghindari
keadaan disonan itulah, orang akan mempersepsi dirinya
seobyektif mungkin. Salah satu cara yang sering ditempuh
untuk mengetahui atau menguji obyektivitas tersebut
adalah melalui introspeksi.
26
cerminan keadaan dalam dirinya, sesuai dengan atribusi
internal dirinya. Pada kenyataannya tidak jarang terjadi
bahwa seseorang melakukan sesuatu menurut atau sesuai
dengan kemauannya, namun orang lain justru memberi hadiah
padanya. Akibatnya orang yang bersangkutan menjadi tidak
puas atau kurang yakin dengan kemampuannya. Selanjutnya
dia menjadi kurang bersemangat melakukan hal itu.(Kondisi
seperti ini) disebut sebagai efek justifikasi yang
berlebihan, sedangkan hadiah yang menyebabkan efek ini
disebut sebagai controlling reward.
27
kemampuan mengontrol keadaan yang sesungguhnya random ini
disebut sebagai ilusi kontrol. Contohnya adalah pada para
penjudi. Mereka sering sekali yakin mampu meramalkan
angka yang akan muncul pada pelemparan dadu, sehingga
berani bertaruh dalam jumlah yang banyak.
Ketiga hal di atas, overjustifikasi, excitation
transfer, dan ilusi kontrol, yang sering menimbulkan bias
dalam atribusi diri.
KESADARAN DIRI
Orang yang mampu mempersepsi diri dengan baik
berarti mempunyai kesadaran diri yang baik pula.
Selanjutnya orang yang sadar diri ini akan lebih banyak
memperhatikan dan memproses informasi tentang dirinya.
Dia menjadi sadar tentang jarak antara ideal diri dengan
kenyataan dirinya dan juga menjadi lebih kritis terhadap
dirinya. Orang yang kesadaran dirinya tinggi juga
mengetahui dirinya secara lebih baik, memahami emosi -
emosinya, dan mampu mengetahui moodnya pada suatu momen
tertentu.
Dengan singkat orang yang memiliki kesadaran diri
juga mampu menyesuaikan dirinya dengan situasi yang
dialami, atau memiliki pemonitoran diri yang baik. Oleh
karena itu ia juga mampu membaca situasi sosial dalam
rangka memahami orang lain dan mengerti harapan orang
lain terhadap dirinya. Sebaliknya, orang yang rendah
monitor dirinya cenderung konsisten perilakunya dari
waktu ke waktu karena memang tidak ada usaha untuk
menyesuaikan diri dengan situasi yang dihadapinya.
28
BAB III
PERSEPSI SOSIAL
29
sering digunakan orang untuk menginterpretasi perilaku
orang lain. Keenam dimensi tersebut adalah:
2. Rasional - irrasional
5. Variatif - kesamaan
6. Kompleksitas - kesederhanaan
30
Salah satu bagian dari kognisi sosial adalah persepsi
sosial, yaitu proses pembentukan kesan (impresi) tentang
karakteristik orang lain. Pada bagian ini akan
dibicarakan berbagai hal yang berkaitan dengan persepsi
sosial.
PEMBENTUKAN KESAN
Untuk menjadi terkesan dengan sesuatu tentunya
melalui proses tertentu yang terkadang amat rumit. Banyak
faktor yang mempengaruhi munculnya kesan tertentu. Di
sisi lain pemunculan kesan bukan tahap terakhir dari
persepsi. Pemberian atribusi dan konsekuensi dari
atribusi tersebut merupakan aspek yang sulit dipisahkan
dari persepsi.
Isyarat Nonverbal
Sama pentingnya dengan isi suatu perkataan, isyarat
nonverbal sering justru menghapuskan arti dari semua yang
telah disampaikan melalui perkataan. Apabila lawan bicara
memandang ke arah lain, bukan ke arah lawan bicaranya,
orang akan berpendapat bahwa ia kurang memperhatikan,
sehingga apa yang dikatakannya memiliki arti lebih rendah
daripada bila dia melakukan pembicaraan dengan disertai
kontak mata. Contoh lain yang menunjukkan arti penting
isyarat non-verbal adalah wajah yang murung. Tanpa
berbicara sepatahpun orang lain akan menduga bahwa orang
tersebut sedang sedih.
Dalam proses pembentukan kesan, isyarat non-verbal
sering menduduki tempat yang paling awal. Isyarat itu
31
tidak terbatas pada ekspresi wajah, tetapi juga dari cara
berpakaian, gerak tubuh, dan cara berperilaku. Meskipun
makna untuk masing-masing isyarat bisa berlainan antara
satu tempat dengan tempat lainnya, namun pada umumnya ada
kesepakatan bahwa beberapa isyarat non-verbal sangat
penting artinya dalam komunikasi dan persepsi.
32
komunikasi, di sisi lain bisa dimanfaatkan untuk membina
hubungan lebih lanjut. Seperti halnya dalam konsep
kepribadian implisit dengan stereotipe juga akan muncul
illusory correlation, yaitu mengkaitkan secara berlebihan
antara satu karakteristik dengan karakteristik lain
secara general.
Kategorisasi Sosial
Informasi Awal
Pada waktu akan mengadakan suatu pertemuan pertama
dengan orang yang tidak dikenal sebelumnya, seseorang
33
biasanya mempersiapkan diri sebaik mungkin. Tujuannya
agar timbul kesan yang positif pada kenalan barunya itu.
Hal seperti ini dilakukan karena ada keyakinan bahwa
kesan pertama memiliki arti yang penting untuk hubungan
selanjutnya. Satu bukti kekuatan kesan pertama yaitu
adanya konsep primacy effect. Ada gejala bahwa informasi
yang didapat pertama kali lebih berpengaruh terhadap
pembentukan kesan daripada informasi yang didapatkan
berikutnya. Inilah yang dimaksud primacy effect.
Efektivitas informasi awal ini menjadi lebih besar karena,
setidaknya, ada dua sebab. Pertama pada saat pertama kali
seseorang menerima informasi, perhatian yang tercurahkan
pada informasi tersebut masih banyak. Kedua, pada saat
datang informasi awal, memori akan dengan mudah
mengorganisasikannya sehingga di dalam ingatan juga lebih
lama bertahan.
Informasi Terakhir
34
lebih berpengaruh adalah karena informasi tersebut
memiliki intensitas yang tinggi sehingga menimbulkan
kesan yang mendalam. Di samping intensitas informasi
(isi), situasi (konteks) di saat informasi terakhir
terjadi yang mengesankan juga akan sangat berpengaruh
terhadap efektivitas pembentukan kesan. Isi dan konteks
juga ikut berpengaruh terhadap terjadinya primacy effect.
ATRIBUSI
35
hal yang sama. Misalnya, seorang yang menyampaikan rasa
simpati terhadap suatu musibah belum bisa dikatakan
sebagai orang yang simpatik, sebab sebagian orang memang
melakukan hal yang serupa.
36
bayar. Dengan peran yang baru itu akan tampak keaslian
perilaku yang merupakan gambaran dari karakternya.
37
ia konsistensinya rendah.
38
keberhasilan dan kegagalan dari suatu usaha.
Untuk menerangkan proses atribusi tentang
keberhasilan atau kegagalan seseorang maka perlu memahami
dimensinya. Ada dua dimensi pokok untuk memberi atribusi.
Pertama, keberhasilan dan kegagalan memiliki penyebab
internal atau eksternal (mirip konsep dari Kelley atau
pusat kendali). Dimensi kedua memandang dari segi
stabilitas penyebab, stabil atau tidak. Dari kedua
dimensi tersebut dapat dilihat adanya empat kemungkinan.
Untuk lebih jelasnya lihat tabel berikut ini.
Kestabilan
39
yang berhasil menempuh ujian akhir kemungkinan karena
selama kuliah memang selalu mendapat nilai baik dan dia
memiliki kesanggupan untuk berusaha, maka dia bisa
disebut sebagai orang yang cerdas, berbakat, atau
berkemampuan tinggi. Orang yang demikian bisa diberi
atribusi internal-stabil. Bisa juga bukan karena
kemampuannya yang memadai, tetapi karena tugas yang
dibebankan relatif mudah, berarti atribusinya eksternal
stabil. Contoh atribusi internal-tidak stabil adalah pada
kasus orang yang memiliki bakat tetapi keberhasilannya
tergantung pada besarnya usaha, sehingga kadang-kadang
berhasil tetapi tidak jarang pula gagal. Atribusi
eksternal tidak stabil, contohnya adalah orang yang
mendapat undian berhadiah.
40
BIAS DALAM ATRIBUSI
41
Efek Pelaku-pengamat. Bias ini terutama muncul pada
hubungan antara pelaku dan pengamat yang sudah terjalin
baik. pelaku akan menekankan bahwa perbuatannya lebih
ditentukan oleh faktor situasional, sedangkan menurut
pengamat perbuatan pelaku lebih banyak dipengaruhi faktor
disposisi. Contohnya adalah hubungan antara seorang guru
dengan siswa.
42
menilai dengan menggunakan dirinya sebagai referensi,
atau beranggapan bahwa orang pada umumnya akan berbuat
seperti dirinya. Apabila standar diri ini diterapkan
dalam memberi atribusi, maka bias sulit untuk dihindarkan.
43
BAB IV
SIKAP
PENGERTIAN
44
sikap positif yang non-verbal. Contoh perasaan nagatif
dari sikap yang diekspresikan secara verbal adalah adalah
cemoohan, sedangkan kerutan dahi dan muka cemberut adalah
contoh dari ekspresi sikap negatif non-verbal.
45
PEMBENTUKAN SIKAP
Teori Belajar
46
membenci ideologi lain.
47
PERUBAHAN SIKAP
Komunikasi Persuasif
48
sebab pesan yang disampailkan biasanya lebih nalar.
49
titik tertentu tetapi pada satu rentangan. Makin lebar
rentangan tersebut makin fleksibel orangnya. Faktor lain
yang sangat erat hubunganya dengan isi komunikasi adalah
setting. Suatu isi komunikasi akan efektif bila
disampaikan pada saat yang tepat.
50
jumlah elemen yang terlibat di dalam keadaan
inkonsistensi dan arti penting elemen tersebut bagi
seseorang.
Congruity Theory
51
setuju) maupun dissociative bond (menunjukkan ketidak
sukaan, atau pernyataan negatif) .
52
niat suatu perbuatan tidak akan muncul, meskipun sikap
tersebut sangat kuat (positif) terhadap suatu obyek.
Namun demikian, bukan berarti apabila ada ketiga faktor
tersebut akan otomatis terjadi konsistensi antara sikap
dengan perbuatan. Secara teoritis dapat diprediksikan
akan terjadi konsistensi antara sikap dengan perbuatan
apabila antara sikap dengan niat, dan antara niat dengan
perbuatan tidak terjadi hambatan atau pengaruh.
53
terlibat penyalahgunaan obat-obat terlarang. Meskipun
contoh terakhir ini bukan murni pengaruh internal, tetapi
perasaan seperti benci atau marah adalah kondisi internal
seseorang.
54
perbuatan karena lingkungan sosial menganggap
bahwa, perilaku tersebut menyimpang dari norma.
Di lain pihak, dengan adanya legalisasi terhadap
pengguguran dapat diprediksikan tidak akan
menghambat munculnya perilaku tersebut.
PENGUKURAN SIKAP
55
Observasi
Seperti dikemukakan pada pembahasan terdahulu, bahwa
sikap berhubungan baik secara langsung maupun tidak
langsung dengan perilaku, maka mengukur sikap juga bisa
dengan melalui observasi. Seseorang yang mencemooh orang
lain, memaki atau memarahi dapat dinilai memiliki sikap
yang negatif. Orang yang berdemonstrasi menentang
pengguguran juga bisa dinilai memiliki sikap yang tidak
setuju dengan adanya pengguguran. Sebaliknya orang yang
ikut berkorban mempertahankan kemerdekaan tanah airnya
dapat diyakini mempunyai sikap yang positif terhadap
negaranya. Demikian pula orang yang dengan senang hati
mau diajak pergi oleh temannya adalah orang yang bersikap
baik terhadap teman tersebut.
Self Report
Teknik pengkuran ini sering juga disebut sebagai
paper and pencil technique. Ada beberapa bentuk yang
dikembangkan dari teknik ini, yang masing-masing memiliki
keunggulan dan kekurangan sendiri-sendiri.
56
pertanyaan-pertanyaan evaluatif terhadap suatu topik
tertentu. Untuk masing-masing pertanyaan disediakan juga
jawaban sedemikian rupa sehingga responden tinggal
memilih satu kemungkinan jawaban yang tersedia. Sebagai
contoh skala ini adalah pada pengukuran sikap terhadap
kenaikan uang lembur yang pertanyaan seperti di bawah ini.
1 2 3 4 5 6 7
57
pernyataan yang ada. Ini juga menunjukkan perbedaan lain.
Pernyataan:
Kita akan menerima dengan senang hati terhadap
kenaikan uang SPP di Universitas.
1. sangat tidak setuju
2. tidak setuju
3. setuju
4. sangat setuju
58
pasangan-pasangan kata yang telah dipilih. Untuk
Baik - - - - - Jelek
Menguntungkan - - - - - Merugikan
Ringan - - - - - Berat
59
salah satu buku yang disarankan adalah Sikap Manusia:
Teori dan Pengukurannya karya Saefuddin Azwar (1988).
Pengukuran Fisiologis
Alat ini dikenal sebagai bagian dari teknik Bogus
Pipeline yang bertujuan untuk meyakinkan subyek bahwa
jawaban yang dikemukakan akan diketahui kejujurannya,
sehingga ia akan berusaha untuk menjawab secara jujur.
Pada prinsipnya alat ini tidak sungguh-sungguh dapat
mengukur kejujuran, tetapi lebih berfungsi sebagai
pendorong agar menjawab secara jujur.
60
tetap tidak mengetahui tingkat kejujuran subyek dalam
proses pengukuran.
61
BAB V
DAYA TARIK SOSIAL
62
Bagi seorang pedagang akan tertarik dengan orang lain
karena baginya calon relasi itu memungkinkan mendatangkan
keuntungan. Dengan kata lain karena ada daya tarik
ekonomis pada seseorang. Bagi seorang mahasiswa akan
tertarik pada dosennya karena dianggap memiliki kualitas
intelektual yang tinggi dan cara penyampaian yang
menarik. Di lain pihak seorang penumpang pesawat mungkin
akan menilai daya tarik pramugari karena kecantikan
dan keramahan dalam memberi pelayanan pada penumpang.
PENGERTIAN
FAKTOR PENGARUH
63
Karakteristik Aktor
64
dinilai sebagai anak yang pintar. Pada dasarnya segala
sesuatu yang berhubungan dengan masalah hubungan sosial,
untuk mencapai sukses daya tarik fisik ini memberi
kontribusi yang cukup signifikan. Aristoteles sendiri
pernah mengatakan: beauty is a greater recommendation
than any letter of introduction. Tidak mengherankan
bila ada dua pilihan dengan karakteristik yang hampir
berimbang, tetapi yang satu lebih menonjol dalam hal
kecantikan, maka yang lebih cantik memiliki peluang lebih
besar untuk dipilih. Bukan berarti bahwa faktor ini
merupakan faktor yang mendominasi masalah lain.
2. Kompetensi
65
pada umumnya mempengaruhi penilaian tentang hal ini.
3. Karakteristik menyenangkan
66
or do something nice.
Faktor Penilai
Setiap individu memiliki kriteria tertentu, terutama
yang bersifat subyektif, dalam memberi pernilaian pada
orang lain. Latar belakang sosial, ekonomi, budaya,
maupun yang bersifat pribadi ikut berpengaruh dalam
menilai. Dalam kaitan ini pembahasan akan lebih
menitikberatkan pada faktor yang ada dalam diri penilai
itu sendiri.
Dari berbagai faktor dalam diri penilai,
diperkirakan bahwa kondisi afektif merupakan faktor yang
besar peranannya dalam menilai. Seperti diketahui secara
umum bahwa suasana hati yang baik akan ditunjukkan pula
dalam memberi penilaian. Sebaliknya, orang yang dalam
kondisi kalut, marah, sedih, sakit serta kondisi kurang
67
baik lainnya, cenderung memberi penilaian yang tidak
tepat dan biasanya mengarah ke negatif. Dalam konteks
penilaian terhadap daya tarik, keadaan seperti ini juga
pada umumnya berlaku, meskipun ada beberapa
pengecualian. Contoh pengecualian tersebut adalah pada
beberapa orang lelaki yang merasa bahwa perasaan sakit,
tidak bergairah, marah, akan reda bila berhadapan dengan
wanita cantik.
Pengalaman juga merupakan faktor yang tidak bisa
diabaikan begitu saja dalam memberi penilaian daya tarik.
Seseorang yang pernah patah hati dan trauma dengan hal
itu kemungkinan besar akan memberi penilaian yang rendah.
Di sisi lain ada kasus-kasus dimana seseorang mudah
memberi pernilaian yang tinggi karena dia memang suka
berganti-ganti pasangan. Sehingga muncul kecenderungan
untuk memberi nilai tinggi terhadap seseorang yang baru
dikenal, yang diperkirakan bisa dijadikan sebagai
pasangan.
Variabel-variabel Interpersonal
Seperti disinggung pada bagian terdahulu bahwa
ketertarikan bisa muncul di awal hubungan maupun pada
saat sudah terjalinnya hubungan. Ketertarikan yang muncul
pada awal hubungan biasanya dipengaruhi oleh faktor-
faktor yang lahiriah sifatnya. Sedangkan ketertarikan
yang terjadi ketika hubungan itu sudah terjadi pada
umumnya lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor
psikologis. Beberapa variabel interpersonal yang
mempengaruhi ketertarikan akan dibahas di bawah ini.
68
1. Kesamaan
Penelitian-penelitian terakhir mensinyalir bahwa
banyak pasangan suami-isteri yang ternyata mempunyai
kemiripan wajah. Terlepas dari seberapa tepat hasil
penelitian tersebut, ternyata memang ada kecenderungan
bahwa seseorang akan memilih pasangan yang mempunyai
level daya tarik fisik yang relatif sama dengan dirinya.
Gejala seperti ini biasa disebut sebagai matching
hypothesis. Pada awalnya orang cenderung untuk mencari
pasangan setampan atau secantik mungkin, tetapi
setelah terjadi kontak dengan banyak orang, responden
akhirnya menjadi lebih realistis dengan jalan
menentukan pilihan pasangan yang mempunyai level daya
tarik yang setingkat.
Kriteria lain dari kesamaan yang sering dituntut
oleh seseorang adalah kesamaan nilai-nilai dan keyakinan.
Dalam hal ini bukan kesamaan secara mutlak yang dicari
tetapi kesamaan pada sebagian besar dari nilai-nilai dan
keyakinannya. Kenyataan tentang hal ini terlihat pada
sebagian besar agama yang menyarankan untuk mencari
pasangan hidup seagama. Asumsi yang paling sering
dikemukakan adalah dalam rangka menghindari konflik-
konflik yang akan terjadi. Bahwa pada kenyataannya memang
terjadi perkecualian biasanya diusahakan mengatasi dengan
usaha yang lebih keras.
Untuk menjalin hubungan sosial yang lebih intens
masalah kesamaan ini sering diantisipasi oleh pihak yang
bersangkutan sedini mungkin. Terlihat pada saat awal
69
orang berkenalan ada usaha untuk saling menjajagi
pandangan lawan bicaranya. Orientasi semacam ini bisa
menjadi sangat penting dalam rangka menjaga perasaan
partner. Kesamaan sikap dan pandangan terhadap berbagai
hal banyak juga dijumpai pada persahabatan atau
berteman, juga pada organisasi atau kelompok hobi.
Kecenderungan semacam ini juga ada pada kelompok-kelompok
yang cenderung destruktif seperti para peminum alkohol.
2. Komplemen
Ada sebagian orang yang mencari pasangan yang
berbeda dengan dirinya agar saling melengkapi dalam
kehidupan mereka kelak. Keinginan seperti ini akan bisa
terujud untuk masalah-masalah yang tidak esensial. Dengan
kata lain masih diperlukan adanya kesamaan-kesamaan
untuk berbagai hal mendasar, sedangkan untuk hal-hal yang
perifer terkadang justru diperlukan untuk memelihara
variasi. Biasanya orang-orang yang berpandangan luas
lebih bisa menerima perbedaan seperti ini, tetapi untuk
mereka yang berpandangan sempit masalah ini bisa menjadi
sumber perpecahan.
3. Sama-sama Suka
Orang akan menyukai atau tertarik pada yang lain
bila ada hubungan timbal balik. Dengan demikian apabila
tidak ada respon dari partner, maka akan sulit untuk
menjalin hubungan lebih lanjut. Saling menyukai merupakan
hal yang tidak bisa diabaikan dalam proses ketertarikan.
70
Sehubungan dengan faktor kesamaan, masalah kesamaan
kesukaan juga menjadi penting sebagai faktor yang
menjembatani atau juga bisa menghalangi. Dua orang yang
belum saling mengenal, namun karena keduanya menyukai
bakso bisa menjadi tertarik satu dengan lainnya. Kesukaan
terhadap bakso ini menjembatani mereka untuk saling
bertemu, berkenalan dan selanjutnya mendorong mereka
saling berhubungan lebih intens. Sebaliknya, pasangan
yang sangat berbeda dalam hal kesukaan bisa bubar.
Misalnya yang satu sangat suka sate ayam, yang lain
sangat suka sate kambing. Apabila ada penjual sate ayam
dan kambing sekaligus, maka persoalan akan segera
terpecahkan, tetapi bila sate kambing dan sate ayam yang
dimaksud adalah khas sehingga untuk memperolehnya saja
menjadi sulit, maka benih-benih perpecahan mulai
tertabur.
Untuk memahami pentingya faktor ketiga dalam
memahami ketertarikan, bisa digunakan konsep dari Newcomb
yang dikenal dengan Balance Theory.
Menurut konsep keseimbangan dari Newcomb, hubungan
antara dua orang sangat dipengaruhi oleh adanya pihak
ketiga dan sikap kedua orang tersebut terhadap pihak
ketiga itu. Dari hubungan segitiga itu akan muncul pola-
pola hubungan yang seimbang, kurang seimbang, dan tidak
seimbang.
Hubungan yang seimbang terjadi bila kedua orang
tersebut saling menyukai satu dengan lainnya dan
pandangan mereka terhadap pihak ketiga sama. Kesamaan
pandangan ini bisa sama-sama menyukai atau sama-sama
71
tidak menyukai. Pola hubungan yang demikian tidak akan
menemui banyak masalah.
Hubungan yang kurang seimbang terjadi bila pandangan
kedua orang tersebut berbeda, meskipun di antara keduanya
saling menyukai. Pola ini bisa menjadi seimbang bila
salah satu berubah pandangan sehingga pandangan tersebut
menjadi sama atau dengan jalan mengganti obyek dari pusat
perhatian mereka, di mana obyek tersebut dinilai sama dan
searah oleh keduanya. Apabila terjadi sebaliknya, di mana
masing-masing mempertahankan pandangannya, maka
kemungkinan yang terjadi justru salah satu atau keduanya
tidak lagi saling menyukai. Kondisi di mana keduanya
sudah tidak menyukai disebut sebagai pola yang tidak
seimbang. Pola yang terakhir ini terjadi bila kedua orang
tersebut tidak saling menyukai, apapun pandangan mereka
terhadap obyek atau pihak ketiga. Sebagai contoh untuk
memperjelas adalah bila Ani dan Budi sama-sama senang
membaca serial James Bond, namun keduanya tidak saling
menyukai atau mengenal, maka pola hubungan ini disebut
sebagai pola yang tidak seimbang.
Faktor Situasi
Situasi yang dimaksud dalam pembicaraan ini bisa
situasi sesaat atau temporer, bisa juga situasi yang
berlangsung lama. Situasi yang temporer, seperti
disinggung terdahulu, berpengaruh sebab seperti pada
proses psikologis umumnya, psikis manusia sulit untuk
bekerja sekaligus untuk berbagai aspek. Sebagai contoh,
otak tidak mungkin memikirkan sekaligus dua hal secara
72
bersamaan. Dua hal bisa dikerjakan secara hampir
bersamaan dengan selisih waktu yang relatif singkat,
tetapi untuk berlangsung secara serempak adalah sulit.
Dalam kaitan dengan masalah ketertarikan, analogi
serupa dapat digunakan dalam hal ini. Contohnya, orang
yang sangat sibuk akan sedikit sekali memberi perhatian
pada wanita yang lewat di depannya. Pada saat yang lain,
orang yang sibuk ini membutuhkan sedikit jeda untuk
mengurangi ketegangannya dengan cara memandang wanita
yang lewat di depannya. Inilah arti penting dari faktor
situasional terutama yang temporer.
Pengaruh faktor situasi yang berjangka waktu lama
sudah banyak diteliti, meskipun efeknya tidak selalu
sama. Dalam kehidupan sehari-hari terlihat bahwa banyak
pasangan yang terbentuk karena situasi. Para remaja
sering mendapat pacar teman sekelas, karyawan yang
mendapat jodoh di tempat kerja, orang yang menikah
dalam satu trah atau yang berdekatan tempat tinggal,
merupakan beberapa contoh dari pengaruh kedekatan
geografis dan emosional dalam proses ketertarikan.
Penyebab dari terjadi ketertatikan karena faktor situasi
seperti disebutkan di atas adalah familiaritas. Pada
prinsipnya ada kecenderungan bahwa orang lebih menyukai
menjalin hubungan dengan orang-orang yang sudah dikenal
daripada orang yang masih asing. Hal inilah mungkin yang
menjadi asumsi para orangtua pada jaman dulu dengan
mengawinkan anak mereka secara paksa. Cinta karena biasa
(Jawa: tresna merga kulina) adalah bentuk lain dari
faktor situasi dan familiaritas.
73
DINAMIKA KETERTARIKAN
Ada tahap-tahap tertentu untuk menjadi tertarik dan
menjalin hubungan interpersonal antara dua orang. Pada
bagian awal dari sub-bab ini akan dibicarakan tentang
proses ketertarikan sedangkan bagian selanjutnya akan
dibicarakan mulai dari ketertarikan dan pada hubungan
lebih lanjut.
Ada tiga konsep yang bisa menerangkan proses
ketertarikan. Pertama konsep reward/reinforcement,
kemudian pertukaran sosial (social exchange) dan akhirnya
konsep tentang equity.
74
Pertukaran Sosial
Kondisi ini bisa merupakan lanjutan dari tahap
terdahulu. Ketika ada stimulasi yang menyenangkan terebut
akan muncul reaksi yang kemungkinan besar juga
menyenangkan. Misalnya, senyuman dibalas dengan senyuman.
Hal ini berarti terjadi pertukaran. Dengan adanya
pertukaran ini, maka akan terjadi hubungan timbal balik.
Pada saat seperti ini proses sudah berjalan lebih jauh,
dari yang awalnya belum kenal akan timbul perkenalan
yang kemungkinan akan dilanjutkan dengan berbincang-
bincang.
Ekuitas
Apabila tidak terjadi pertukaran, maka proses
ketertarikan akan terhenti atau terhambat sampai tahap
reward. Selanjutnya dalam proses pertukaran itu masing-
masing individu yang terlibat akan mengadakan penilaian
tentang proses itu sendiri. Ada proses pertukaran yang
tidak seimbang, misalnya dalam percakapan terjadi ketidak
seimbangan karena tingkat pendidikannya terpaut jauh atau
topik yang diminati oleh masing-masing tidak sejalan.
Pada proses yang seimbang akan terjadi pembicaraan atau
hubungan lain yang saling menguntungkan, sehingga
hubungan itu lebih besar peluangnya untuk bisa
diteruskan.
Di samping proses penilaian tentang keseimbangan
pembicaraan selama proses pertukaran juga akan terjadi
saling evaluasi untuk menilai kemungkinan hubungan lebih
jauh. Apabila hasil evaluasi memungkinkan mengarah pada
75
diteruskannya hubungan, maka akan ada kelanjutan
hubungan. Apabila hasil evaluasi menurut penilaian
subyektif memang kurang menguntungkan, maka hubungan akan
terbatas sampai pada pertukaran.
Sesudah sampai pada tahap ekuitas (equity), berarti
individu sudah merasa cocok dengan pasangannya. Apabila
pasangan ini adalah pria dan wanita, maka akan besar
kemungkinan untuk menjalin hubungan lebih lanjut dengan
jalan membangun suatu hubungan yang lebih terarah.
Selama proses membangun ini berjalan dengan lancar, maka
akan tumbuh suatu kepuasan yang mengarah pada
perkembangan yang berkelanjutan yang hanya berakhir
karena proses kematian. Ada juga kemungkinan terjadi
kemandekan proses perkembangan hubungan bahkan kemudian
terjadi kemunduran yang berakhir pada perpisahan. Bukan
hanya karena terjadi kemandekan yang kemudian diikuti
oleh kemunduran, tetapi juga proses hubungan yang tidak
stabil dan penuh konflik juga menyebabkan terjadinya
kemunduran dan berakhir pada perpisahan.
76
sewajarnya, di sisi lain bisa menumbuhkan kepercayaan
diri yang lebih kuat.
Dalam kehidupan sehari-hari, efek daya tarik bagi
pria dan bagi wanita sering tidak sama, meskipun pada
keduanya daya tarik itu sendiri dipengaruhi oleh
bagaimana mereka berhubungan sosial. Dari beberapa
penelitian yang ada disimpulkan adanya beberapa ciri yang
ada pada orang yang memiliki daya tarik dan yang kurang
menarik, baik pria maupun wanita seperti di bawah ini.
77
- merasa memiliki kualitas hubungan sosial yang
rendah.
- kurang asertif dan takut ditolak oleh wanita
78
BAB VI
PERILAKU PROSOSIAL
79
prososial sedikit berbeda dengan altruisme, yaitu dengan
lebih menekankan pada adanya keuntungan pada pihak yang
diberi pertolongan. Perilaku prososial didefinisikan
sebagai perilaku yang memiliki konsekuensi positif pada
orang lain. Bentuk yang paling jelas dari prososial
adalah perilaku menolong.
80
pertolongan, misalnya dengan adanya darah, erangan atau
permintaan tolong, maka kemungkinan besar akan
diinterpretasikan sebagai korban yang perlu pertolongan.
Setelah pemerhati menganggap bahwa orang tersebut
memang butuh pertolongan, maka sampai pada tahap ketiga,
yaitu muncul tidaknya asumsi bahwa hal itu merupakan
tanggung jawab personal atau tanggung jawab pemerhati.
Apabila tidak muncul asumsi ini, maka korban akan
dibiarkan saja, tanpa memberikan pertolongan.
Apabila muncul perasaan bahwa peristiwa atau kondisi
di atas merupakan sebagian dari tanggung jawab pemerhati,
maka akan muncul tahap keempat, yaitu pengambilan
keputusan untuk menolong atau tidak. Meskipun sudah
sampai pada tahap ketiga, pemerhati merasa bertanggung
jawab memberi pertolongan pada korban, masih ada
kemungkinan ia memutuskan tidak memberi pertolongan.
Berbagai kekhawatiran bisa timbul yang menghambat
terlaksananya pemberian pertolongan. Ini berbeda dengan
bila ada keputusan bahwa ia memang harus menolong. Dengan
adanya keputusan seperti itu, maka akan ada tindakan
pertolongan. Dengan demikian untuk sampai pada perbuatan
menolong, maka diperlukan keempat tahap secara berurutan.
Situasi Sosial
Besar kecilnya kelompok. Ada korelasi negatif antara
pemberian pertolongan dengan jumlah pemerhati. Makin
81
banyak orang yang melihat suatu kejadian yang memerlukan
pertolongan makin kecil munculnya dorongan untuk
menolong. Dalam keadaan sendirian, seseorang yang melihat
satu korban, ia akan merasa bahwa dirinya bertanggung
jawab penuh untuk menolong korban tersebut. Sebaliknya,
bila ada beberapa orang yang menyaksikan peristiwa itu,
maka masing-masing beranggapan bahwa apabila ia tidak
menolong, maka orang lain akan memberi pertolongan.
Kondisi di mana masing-masing orang merasa bahwa memberi
pertolongan adalah bukan tanggung jawabnya sendiri
dikenal sebagai diffusion of responsibility. Kondisi-
kondisi seperti ini tidak akan muncul bila kelompok
yang mengamati memiliki kohesivitas yang tinggi. Dengan
kata lain, orang-orang yang ada di sekitar kejadian
merupakan suatu kelompok yang satu dengan yang lainnya
sudah saling mengenal.
Biaya menolong. Dengan keputusan memberi pertolongan
berarti akan ada cost tertentu yang harus dikeluarkan
untuk menolong itu. Pengeluaran untuk menolong bisa
berupa materi (biaya, barang), tetapi yang lebih sering
adalah pengeluaran psikologis (memberi perhatian, ikut
sedih dan lainnya). Tidak hanya pengeluaran yang harus
dikeluarkan untuk menolong (cost of helping) yang menjadi
pertimbangan, tetapi juga pengeluaran yang harus
ditanggung oleh korban kelak atau pengeluaran untuk
mengembalikan ke kondisi semula (victim cost). Korban
yang parah, di satu sisi mendorong penolong untuk segera
menolong, di sisi lain timbul pertimbangan bahwa hal itu
berarti memerlukan pengeluaran lebih banyak. Apabila
82
secara sepintas korban dianggap mampu menanggung
pengeluaran itu, maka akan muncul pertolongan lebih
cepat. Sebaliknya, bila calon penolong menganggap
kemampuan korban menanggung biaya tidak besar, maka akan
menghambat muncul pertolongan sesegera mungkin.
Norma. Hampir di semua golongan masyarakat ada
norma bahwa memberi pertolongan kepada orang yang
membutuhkan adalah suatu keharusan. Gejala ini disebut
norma tanggung jawab sosial (norm of social
responsibility). Meskipun ada norma semacam itu, tidak
berarti setiap orang suka membantu orang lain. Dalam hal
ini ada hal lain yang tidak bisa diabaikan yaitu norm of
reciprocity (norma keuntungan timbal balik). Norma yang
terakhir ini mencakup juga harapan bahwa dengan memberi
pertolongan suatu saat akan diberi pertolongan, terutama
oleh orang yang pernah ditolongnya.
83
suka memberi pertolongan pada orang yang memiliki daya
tarik tinggi karena ada tujuan tertentu di balik
pemberian pertolongan tersebut.
Mediator Internal
84
pada saat terjadi kecelakaan situasinya memang tidak
memungkinkan untuk meninggalkan korban karena hanya ada
satu orang yang melihat, apabila ada orang lain yang juga
melihat peristiwa itu, maka sikap mereka terhadap
peristiwa itu mempengaruhi seorang calon penolong tadi,
apabila korban tersebut ternyata tidak bisa berdiri
(karakteristik berat) dan calon penolong ternyata masih
famili korban, maka kemungkinan munculnya perilaku
menolong lebih besar.
85
Dari penelitian-penelitian yang pernah dilakukan
antara lain disimpulkan bahwa orang yang tidak cepat
memberi pertolongan adalah karena ada gejala kekaburan
tanggung jawab. Berkaitan dengan ketidakjelasan tanggung
jawab ini ada juga kekaburan identitas. Orang yang tidak
memberi pertolongan ketika terjadi suatu kecelakaan tidak
akan merasa bersalah apabila identitasnya tidak
diketahui. Sebaliknya, orang yang sudah dikenal baik oleh
suatu lingkungan tertentu apabila melihat suatu keadaan
yang membutuhkan pertolongan, ia dengan segera akan
melakukannya. Hal ini biasanya berkaitan dengan usaha
untuk menjaga nama baik.
Untuk meningkatkan ketidakjelasan identitas tersebut
bukanlah hal yang mudah. Sebab diperlukan pengenalan oleh
banyak orang. Jalan yang bisa ditempuh antara lain adalah
dengan meningkatkan kohesivitas kelompok.
Pemberian Atribut
Seperti yang disebutkan di atas, bahwa orang yang
sudah dikenal lebih sulit menghindar dari tanggung jawab
menolong, apalagi kalau orang tersebut memiliki atribut
sebagai orang yang suka menolong.
Atribut yang pada mulanya merupakan atribut
eksternal, lama kelamaan akan menjadi atribut internal.
Atribut internal sangat efektif untuk memunculkan
perilaku menolong.
Sosialisasi
Di samping pemberian atribut, melalui sosialisasi
akan juga menumbuhkan sifat suka menolong pada seseorang.
86
Sosialisasi biasanya diawali dengan perintah. Di samping
itu salah satu cara yang efektif adalah dengan modeling.
Efektivitas modeling terlihat dengan adanya kecenderungan
pada saat ada yang memulai memberi pertolongan, maka akan
diikuti oleh banyak orang untuk ikut menolong.
87
disebut sebagai individualistic reward structure.
Suasana-suasana tersebut akan mempengaruhi anggota
kelompok yang ada di dalamnya. Suasama kompetitif akan
cenderung menumbuhkan motif untuk berkompetisi, suasana
kooperatif lebih mendorong orang untuk bekerjasama.
88
BAB VII
AGRESIVITAS
PENGERTIAN
Dalam ensiklopedia psikologi sosial (Manstead dan
Hewstone, 1996) agresi adalah segala bentuk perilaku yang
disengaja terhadap makhluk lain dengan tujuan untuk
melukainya dan pihak yang dilukai tersebut berusaha untuk
menghindarinya. Dari definisi tersebut terdapat empat
masalah penting dalam agresi. Pertama, agresi merupakan
perilaku. Dengan demikian segala aspek perilaku juga
terdapat di dalam agresi, terutama emosi. Kedua, ada
unsur kesengajaan. Seorang korban tabrakan pada umumnya
tidak bisa dikatakan hasil dari agresi, terlebih lagi
bila pengendara sebenarnya sudah berusaha menghindarinya.
Di sisi lain seorang ibu yang sengaja mencubit anak
tetapi karena tidak bertujuan melukai, justru mendidik,
tidak bisa dikatakan agresi. Ketiga, sasarannya adalah
makhluk hidup, terutama manusia. Orang yang marah besar,
tetapi disalurkan dengan menendang bola, belum dikatakan
sebagai agresi. Keempat, ada usaha menghindar pada diri
korban. Apabila wanita yang disiksa dan diperkosa justru
menikmati hal itu, misalnya karena masokhis, maka
perbuatan itu bukan agresi. Kejadian seperti ini bukan
hal yang normal, pada umumnya ada usaha menghindar atau
bahkan melawan.
89
LATAR BELAKANG AGRESIVITAS
Untuk memahami agresi, hampir tidak mungkin
dilakukan hanya dengan melihat dari satu perspektif. Hal
ini didasarkan pada kenyataan bahwa hampir tidak pernah
dijumpai adanya agresi yang disebabkan oleh satu-satunya
faktor. Pada umumnya suatu agresi dipengaruhi oleh
beberapa faktor yang saling berinteraksi. Teori dan
konsep yang akan digunakan berikut ini dipaparkan dalam
rangka lebih memahami berbagai kemungkinan yang ada.
Kecenderungan Internal
Ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa agresi
lebih banyak dipengaruhi oleh faktor internal pelaku.
Pandangan ini tampaknya mengarah ke pesimistis, terutama
dalam usaha mereduksi agresi. Sedikitnya ada tiga
pendapat yang menekankan pentingnya faktor internal ini.
Teori Insting. Salah satu ahli yang mengemukakan
konsep ini adalah Sigmund Freud. Menurutnya, agresi
dilandasi oleh kekuatan yang disebut death instinct, yang
dimiliki oleh setiap makhluk. Insting ini tidak setiap
saat muncul, sebab dalam keadaan biasa manusia akan
menggunakan insting hidupnya. Dalam kondisi tertentu baru
akan muncul insting mati ini.
Instring Berkelahi. Konsep ini dikemukakan oleh
Konrad Lorenz (1967 sebagai konsep yang mirip dengan
usaha mempertahankan diri agar makhluk bisa hidup.
Dikarenakan berbagai keadaan, seperti terbatasnya sumber
kehidupan, makhluk satu dengan lainnya saling berusaha
untuk bisa menguasai kehidupan. Jalan yang digunakan
90
untuk itu adalah dengan cara menyingkirkan makhluk lain,
yaitu dengan agresi. Pendekatan ini sering juga disebut
sebagai pendekatan ethologi.
Sosio-biologi. Struktur fisik tertentu ternyata
berkaitan erat dengan agresivitas (Barash,1979). Struktur
fisik ini merupakan hasil dari perkembangan, terutama
hasil evolusi. Teori berkaitan erat dengan teori
kepribadian dari Kretschmer. Di samping struktur fisik,
ada pendapat yang mengatakan bahwa agresi juga berkaitan
dengan struktur otak. Dikatakan bahwa ada bagian tertentu
pada otak yang apabila terkena stimulasi akan
membangkitkan agresi. Masih berkaitan dengan faktor
biologis, ada hipotesis lain yang mengemukakan bahwa
agresi juga berkaitan dengan hormonal. Bukti adanya
kaitan tersebut ditunjukkan oleh Maccoby dan Jacklin
(1980) yang menyebutkan bahwa laki-laki lebih agresif
daripada wanita karena ada perbedaan hormon. Pendapat ini
kemudian dapat disangkal dengan alasan bahwa perbedaan
agresivitas pria dan wanita bukan disebabkan oleh hormon,
tetapi lebih ditekankan karena perbedaan sosialisasi.
Pendapat terakhir tentang sebab-sebab agresi
mengkaitkannya dengan genetis. Disebutkan bahwa pada
orang-orang yang agresif ternyata struktur kromosomnya
XYY, bagi pria. Persentase orang yang memiliki kelainan
pasangan kromosom ini pada kelompok agresif lebih tinggi,
sehingga disimpulkan bahwa faktor genetis berpengaruh
terhadap agresivitas.
91
Konsep Agresi-frustrasi
Para Psikolog Sosial pada umumnya menolak konsep-
konsep yang menekankan pentingnya faktor internal dalam
pembicaraan agresi. Oleh karenanya kemudian muncul
konsep-konsep lain. Menurut Berkowitz (1978) dan Dollard
et al. (1939) penyebab agresi yang paling menonjol adalah
frustrasi. Orang yang dalam keadaan frustrasi biasanya
mencari sasaran untuk menghilangkan atau mengurangi rasa
frsutrasinya itu. Sasaran yang paling sering diburu
adalah sumber frustrasi. Tentu saja konsep ini tidak
bisa dikenakan pada profesi yang berhubungan dengan
hukuman, seperti eksekutor, sebab mereka bukan karena
frustrasi melakukan hal itu, tetapi lebih menekankan
sebagai pekerjaan.
Dalam realitasnya, tidak semua penyaluran frustrasi
melalu agresi ditujukan pada sumbernya, tetapi pada pihak
lain. Sehingga muncullah istilah displaced aggression.
Sasaran pengganti ini biasanya adalah obyek yang memiliki
kesamaan dengan sumber frustrasi. Selain itu apabila
tidak ditemukan sasaran yang mirip akan dialihkan kepada
obyek terdekat.
PROSES AGRESI
Pemodelan
Remaja dan anak-anak di daerah pertempuran seperti
Lebanon, misalnya, sering melihat dengan mata kepala
sendiri berbagai usaha untuk saling membunuh. Hanya
dengan melihat berbagai kejadian yang menstimulasi
92
agresi, orang bisa menjadi agresif. Proses meniru seperti
itu biasa disebut sebagai pemodelan atau imitasi. Salah
satu karakteristik penting dalam proses modeling ini
adalah adanya hubungan emosional yang kuat antara
model dengan peniru. Biasanya orang yang ditiru adalah
orang yang dikagumi. Oleh karenanya pada anak-anak proses
ini paling sering terjadi antara anak dengan ayahnya.
Bahkan proses ini sering terjadi tanpa ada kesengajaan.
Misalnya orang tua yang memukul anaknya karena salah
sering ditiru oleh anak pada kesempatan lain ketika anak
tersebut menyalahkan orang lain, seperti teman bermain.
Belajar sosial yang paling banyak berpengaruh akhir-
akhir ini adalah media televisi. Sering terjadi bahwa
proses peniruan memang tidak didasari oleh rasionalitas,
sehingga orang yang menyaksikan kekerasan di televisi
bisa menjadi ikut-ikutan agresif. Perlu ditambahkan bahwa
dengan melakukan peniruan itu, peniru merasa diberi
reward dari orang yang ditirunya.
Pembelajaran
Dalam proses pemodelan, meskipun peniru merasa
mendapatkan hadiah dengan melakukan hal yang sama dengan
pelaku, sebenarnya antara peniru dan yang ditiru memiliki
hubungan yang jelas dalam konteks prosesnya. Di sisi
lain, sering ada kesengajaan seseorang meminta orang lain
melakukan suatu perbuatan dengan memberi imbalan apabila
orang tersebut mau melakukan. Contoh yang ekstrim dalam
hal ini adalah eksekutor yang bekerja sebagai tukang
93
jagal. Pada tukang pukul juga melakukan pekerjaan dengan
prinsip mendapat imbalan.
Ternyata dalam kehidupan sehari-hari, sering juga
terjadi hal seperti di atas, dengan skala yang lebih
kecil. Sering hanya dengan maksud iseng, orang dewasa
memerintahkan anak kecil untuk memukul orang lain. Secara
sepintas keadaan ini tidak berarti, tetapi pada dasarnya
hal ini adalah penanaman sifat agresif. Dalam diri orang
yang melakukan perbuatan itu tertanam adanya hubungan
antara imbalan tersebut dengan perilakunya. Hubungan
inilah yang biasanya disebut sebagai proses belajar
terkondisi.
Provokasi
Sering terjadi agresi terjadi sebagai usaha untuk
membalas agresi. Sebagaimana dikemukakan pada penjelasan
definisi, dalam agresi ada usaha pihak calon korban untuk
menghindari. Bentuk-bentuk penghindaran ini tidak saja
sekedar menghindari, tetapi ada yang berusaha dengan
jalan memberi perlawanan. Kemungkinan hal semacam ini
dilakukan dengan dasar pemikiran bahwa cara bertahan
paling baik adalah dengan menyerang. Perlu dicatat bahwa
94
tidak selamanya agresi dan menyerang dalam bentuk fisik,
tetapi juga meliputi penyerangan verbal.
Kondisi Aversif
Kondisi aversif adalah suatu keadaan yang tidak
menyenangkan yang ingin dihindari oleh seseorang. Menurut
Berkowitz (1983) keadaan yang tidak menyenangkan
merupakah salah satu daktor penyebab agresi. Alasannya
adalah orang akan selalu berusaha mencari keseimbangan.
Dengan adanya faktor yang kurang menyenangkan itu, orang
akan mencoba membuat keseimbangan dengan jalan, antara
lain, berusaha menghilangkan atau mengubah situasi itu.
Apabila situasi yang tidak menyenangkan adalah makhluk
hidup atau orang, maka akan timbul agresi terhadap orang
tersebut.
Isyarat Agresi
Isyarat agresi adalah stimulus yang diasosiasikan
dengan sumber frustrasi yang menyebabkan agresi.
Bentuknya bisa berupa senjata tajam atau bisa orang yang
menyebabkan frustrasi. Salah satu keadaan yang sering
digunakan untuk menerangkan hal ini adalah konsep weapon
effect. Pada prinsipnya konsep ini menerangkan bahwa
kehadiran senjata tertentu yang sering digunakan untuk
perbuatan agresif bisa membangkitkan agresi. Sebagai
contoh adalah orang yang dekat dengan pistol atau senapan
laras panjang atau pedang akan lebih cepat menjadi
agresif meskipun dengan sedikit stimulasi. Efek senjata
95
ini hanya sebagai pemacu terjadinya agresi, bukan
penyebab utama.
Karakteristik individu
Berbagai penyebab di luar individu yang bersangkutan
akan sulit mencetuskan perbuatan agresif tanpa ada faktor
dari dalam. Fenomena yang paling sering terlihat adalah
stimulasi dari beberapa faktor akan memperkuat potensi
dalam diri individu yang kemudian memunculkan perilaku
agresi.
Jenis kelamin. Seperti disebutkan pada bagian
terdahulu bahwa agresi berkaitan dengan hormon tertentu,
yaitu hormon yang ada pada pria (testosteron). Hipotesis
ini berangkat dari fakta bahwa ternyata lebih banyak
lelaki yang melakukan perbuatan agresif daripada wanita.
Secara statistik dapat ditunjukkan bahwa hampir semua
data menunjukkan pria memang lebih banyak melakukan
tindakan agresi yang bersifat fisik. Pada sisi lain,
wanita pada umumnya lebih empati terhadap korban sehingga
agresivitasnya rendah.
96
BAB VIII
97
kelompok terdapat interaksi yang intensif antar individu
PENGERTIAN
98
kelompok.
dan berkomunikasi.
NORMA KELOMPOK
99
berperilaku kurang baik (evaluasi) sekaligus bisa
100
1. Pada hakekatnya orang mempunyai kebutuhan untuk
berafiliasi.
bersangkutan.
kelompok.
101
tinggal sendirian di rumah mengalami perubahan struktur
kognitif pada waktu dia berusaha untuk menemui orang lain.
Secara kognitif dia siap bertemu, berbicara, bertukar
pikiran, menyesuaikan dengan pihak lain, dan seterusnya.
Tujuan bersama
& slg tergantung
Kesamaan
interpersonal
Cognitive Restrukturisasi
imbalance kognitif
102
Kelompok yang sudah terbentuk pada umumnya akan
berkembang searah dengan dinamika yang terjadi di dalam
kelompok. Idealnya, dinamika kelompok yang terjadi
merupakan peningkatan (eskalasi) yang positif. Dalam
kondisi yang demikian maka akan terbentuk kohesivitas
dalam kelompok. Sebuah kelompok dikatakan kohesif bila
memiliki beberapa karekterisrik berikut:
103
tindakan yang secara sistematis berupaya mencegahnya.
Tahap Awal
Keputusan
geser ke
ekstrim
Tahap Akhir
POLARISASI KELOMPOK
104
yang dapat menyulut konflik, di antaranya adalah:
105
psikologi sosial. Kajian tersebut sangat intensif dan
berkembang dengan pesat yang antara lain ditandai dengan
muncul dan berkembangnya Teori Identitas Sosial.
MASSA
Ciri-Ciri Psikologis
Di samping jumlah orang yang terlibat dalam massa
pada umumnya banyak, terdapat ciri-ciri psikologis yang
sering ada dalah satu massa. Pada awal perkembangan
pemahaman tentang massa pendapat Gustav LeBon banyak
diikuti, demikian juga Willian McDougall (dalam Manstead
dan Hewstone, 1996). Menurut kedua ahli tersebut, ciri-
ciri massa di antaranya dipaparkan di bawah ini.
1. Tidak rasional. Orang-orang yang berada di dalam
106
kelompok sifat rasionalnya lebih rendah daripada
destruktif.
107
atas adalah karena mereka merasa kehilangan identitas
ledakan sosial.
108
menurut Teori Deprivasi Relatif (Walker & Petigrew, 1984)
109
DAFTAR PUSTAKA
110
Jones, E.E. & Davis, K.E. 1965. From Acts to Dispositions: The
Attribution Process in Person Perception. In Berkowitz, L.
(ed.) Advances in Experimental Social Psychology, Vol. 2,
Academic Press, New York.
Kelley, H. 1972. Attribution in Social Interaction. In Jones,
E. E, et al. (eds.) Attribution: Perceiving the Causes of
Behavior. General Learning Press, Morristown, NJ.
Latane, B. & Darley, J.M. 1970. The Unresponsive Bystander:
Why Doesn’t He Help? Appleton-Century-Crofts, New York.
Lewin, K., Lippitt, R. & White, R. 1939. Pattern of Aggresive
Behavior in Experimentally Created 'Social Climates'.
Journal of Social Psychology, la, 271-299.
Lindzey, G. & Aronson, E. 1968. Handbook of Social Psychology.
Addison-Wesley, London.
Lorenz, K. 1967. On Aggression. Methuen & Co Ltd, London.
Manstead, A.S.R. dan Hewstone, M. (eds.). 1996. The Blackwell
Encyclopedia of Social Psychology. Blackwell Publishers,
Oxford.
Moscovici, S. 1996. The Invention of Society. Blackwell
Publisher Ltd., Oxford.
Myers, D.G. 2002. Social Psychology, 7th edition. McGraw-Hill,
Boston.
Ross, L. 1977. Problem in the Interpretation of 'Self Serving'
Assymetries in Causal Attribution. Sociometry, 40, 112
114.
Shaw, M.E & Costanzo, P.R. 1982. Theories of Social Psychology.
McGraw-Hill, Tokyo.
Sherif, M. 1962. Intergroup Relation and Leadership.
Houghton Mifflin, Boston.
Walker, I. & Petigrew, T.F. 1984. Relative Deprivation
Theory: An Overview and Conceptual Critique. British
Journal of Social Psychology, 23, 301-310.
Weiner, B., Frieze, J., Kukla, A., Reed, L. Rest, S. &
Rosenbaum, R.M. 1972. Perceiving the Causes and
Failure. In Jones, E.E, et al.(eds.) Attribution:
Perceiving the Causes of Behavior. General Learning
Press, Morristown, NJ.
Wrightsman, L.S. & Deaux, K. 1981. Social Psychology in the
80s. Brooks/Cole Publishing Co., Monterey,
California.
111
Worchel, S. & Cooper, J. 1983. Understanding Social
Psychology. The Dorsey Press, Homewood, Illinois.
Zilmann, D., Katcher, A. & Milavsky, B. 1972. Exitation
Transfer from Physical Exercise to Subsequent
Aggressive Behavior. Journal of Experimental Social
Psychology, 8, 247-259.
112