Anda di halaman 1dari 15

AKURASI ARAH KIBLAT KOMPLEK PEMAKAMAN DESA LEBUAWU

KECAMATAN PECANGAAN KABUPATEN JEPARA

Muhammad Himmatur Riza


Dosen Universitas Dian Nuswantoro Semarang (UDINUS)
muhammadhimmaturriza@gmail.com

ABSTRAK

Menghadapkan jenazah ketika dikebumikan ke liang lahat merupakan suatu keutamaan.


Terdapat perbedaan para ulama fikih dalam mengambil istimbath hukum untuk masalah ini.
Syafi’iyyah dan Hanafiyyah berpendapat bahwa hal tersebut menjadi sebuah kewajiban.
Sedangkan Hanabilah dan Malikiyyah mengatakan sunnah. Namun penentuan arah kiblat
komplek pemakaman yang dilakukan tokoh agama Desa Lebuawu Kecamatan Pecangaan
Kabupaten Jepara hanya memperkirakan arah kibat di sebelah barat. Akibatnya arah kiblat di
komplek pemakaman berbeda antara satu makam dengan makam yang lain. Setelah dilakukan
pengukuran ulang arah kiblat menggunakan Istiwa’aini, rata-rata makam di komplek
pemakaman desa Lebuawu terdapat kemelencengan 3o kurang ke utara.

Kata Kunci: Arah Kiblat, Pemakaman, Lebuawu.

ABSTRACT
Exposing the body when buried to the grave is a virtue. There are differences in the scholars of
Jurisprudence in taking istimbath law for this problem. Shafi'iyyah and Hanafiyyah are of the
opinion that this is an obligation. While Hanabilah and Malikiyyah say sunnah. However, the
determination of the direction of the cemetery's Qibla conducted by religious leaders of Lebuawu
Village, Pecangaan District, Jepara Regency only estimates the direction of kibat in the west. As
a result, the direction of the Qibla in the cemetery is different from one tomb to another. After re-
measuring the Qibla direction using Istiwa'aini, the average grave in the Lebuawu village
cemetery contained a slope 3o less to the north.
Keywords: Qibla Direction, Funeral, Lebuawu.

Pendahuluan
Dirkursus kajian ilmu fikih menjelaskan bahwa terdapat beberapa aturan tentang
pengebumian jenazah seorang muslim dalam as-sunnah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad
SAW.. Aturan-aturan tersebut kemudian dilaksanakan oleh orang-orang yang memeluk agama
Islam. Dari sekian banyak tuntunan tersebut, di antaranya adalah memposisikan jenazah
menghadap ke arah kiblat.
Para ahli fikih terbagi menjadi dua golongan dalam menghukumi hal tersebut. Pertama,
posisi jenazah wajib menghadap ke arah kiblat. Pendapat ini disampaikan oleh mayoritas ulama
Syafi’iyyah (pengikut Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi‟i, w. 204 H) dan ualama Hanabilah
(pengikut Imam Ahmad Muhammad Ibn Hambal, murid Ibn Abbas dan al-Imam al-Syafi’i, w.
241 H).1

1
Abdul Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, t. t.),
hlm. 485-486.
Dasar landasannya dari hadits Rasulullah SAW. yang diriwayatkan oleh imam Abu Daud
dan at-Tirmidzi sebagaimana berikut: “ kiblat orang yang telah meninggal dunia adalah kiblat
orang yang masih hidup ”.2 Alasan lain adalah ketika prosesi pemakaman Rasulullah SAW.,
jenazah beliau juga dihadapkan ke arah kiblat. Pendapat tersebut sesuai dengan pendapat ulama
Hanafiyyah (pengikut Imam Abu Hanifah, w. 150 H) dan Imamiyah (Imam Ja’far Ash-Shadiq
guru dari Imam Abu Hanifah, w. 1488 H).3
Kedua, para ulama Malikiyyah (pengikut Imam Malik bin Anas, w. 179 H) yang
berpendapat bahwa tata cara tersebut hanya bersifat sunnah saja dan tidak wajib. 4 Imam malik
adalah imam yang terkenal sebagai ahl al-hadits, pemegang kuat al-Qur’an dan al-Hadits.
Menurut Malikiyyah, hal ini dikarenakan tidak adanya perintah langsung yang secara eksplisit
terdapat dalam nash, baik al-Qur’an maupun hadits Nabi SAW.. Termasuk dalam sunnah pula,
ketika menaruh jenazah ke dalam liang lahat agar menumpukkan badannya di atas dada sebelah
kanan (agar menghadap kiblat), mengganjalnya dengan batu bata atau yang sejenisnya. Dan bagi
yang meletakkannnya hendaklah membaca:
ِ ‫بِس ِْم هّللا ِ َو َعلَى ِملَّ ِة َرسُوْ ِل هّللا‬
Artinya: “ dengan nama Allah, dan mengikuti agama (sunnah) Rasulullah. ”

Hukum sunnah ini berlaku dalam berbagai situasi dan kondisi. Dalam keadaan darurat pun
sunnah menghadap kiblat tetap berlaku. Disebutkan bahwa apabila terdapat seseorang yang
meninggal di atas kapal dan kapal tersebut tidak menemukan daratan sehingga tidak dapat
menguburkannya, serta ditakutkan akan segera membusuk di kapal, maka jenazah boleh
dihanyutkan. Cara menghanyutkan jenazah yaitu dengan memiringkan badannya di atas dada
kanan terlebih dahulu sehingga diperkirakan menghadap ke arah kiblat, lantas dilempar ke laut
lepas.5
Penulis menekankan bahwa perkara menghadap ke arah kiblat bukanlah hal yang bisa
dianggap sepele dan remeh. Sebagaimana dalam salat fardlu, menghadap ke arah kiblat
merupakan salah satu syarat sah salat, kecuali bagi orang-orang yang tidak mampu atau dalam
keadaan sakit.6 Menurut penulis, hal ini setidaknya juga berlaku dalam pemakaman jenazah

2
Hafidh Dasuki, dkk, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), cet. I, hlm. 340-341.,
HR. Imam Abu Dawud nomor 7.875, Imam an Nasa-i Juz 2 halaman 165.
3
Walaupun dalam fikih empat madzhab disebutkan bahwa ulama Hanafiyyah hanya mensunnahkannya,
tetapi dalam buku lain disebutkan bahwa mereka tidak hanya mensunnahkannya tetapi mewajibkannya, dengan
syarat tertentu. Lihat Muhammad Jawad Mughni, Fiqih Lima Madzhab, (Jakarta: Lentera, 2008), Cet. XXI, hlm. 54-
55.
4
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Darul Fath, 2004), Cet. I, hlm. 180.
5
Muhammad Al-Maghribi, Mawahib Al-Jalil Li Syarkhi Mukhtasar Khalil, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-
Ilmiyyah, t. t.), Juz. II, hlm. 77.
6
Pendapat Jumhur ulama dalam kitab Ibnu Rusyd, Bidayat Al-Mujtahid Wa Nihayat AlMuqtasid, (Beirut:
Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, t. t.), Juz. II, hlm. 115. Dalam tafsirnya, Ali As-Shabuni mengatakan wajib hukumnya
menghadapkan wajah kita ketika sedang melaksanakan salat, baik dalam keadaan salat safar ataupun salat hadlir.
Safar berarti ketika orang sedang melakukan salat ketika bepergian dan atau di atas kendaraan. Dan salat hadlir
berarti salat dalam keadaan waktu yang leluasa, tidak bepergian. Muhammad Ali As-Shabuni, Shafwat At-Tafasir,
(Beirut: Dar Al-Qur’an Al-Karim, 1981), hlm. 104.
seorang muslim. Apalagi mayoritas warga negara Indonesia adalah penganut madzhab al-Syafi’i
yang mengatakan bahwa menghadapkan jenazah ke arah kiblat merupakan sebuah kewajiban.
Menghadap ke arah kiblat menurut penulis merupakan suatu tuntunan syari’ah (wajib
sebagai batas maksimalnya dan sunnah sebagai batas minimalnya) dalam melaksanakan berbagai
ibadah. Tidak ada perselisihan di kalangan ahli fikih (fuqaha). Merupakan syarat sahnya salat,
wajib dilakukan ketika hendak mengerjakan salat (menggetahui arah kiblat dengan tepat dan
benar sebagaimana mengetahui masuk-belumnya waktu salat) dan juga ketika menguburkan
jenazah orang Islam.7 Merupakan sunnah ketika melakukan azan, melantunkan doa, berdzikir,
belajar, membaca Al-Qur‟an, menyembelih binatang dan sebagainya.
Sejauh penelusuran penulis, dewasa ini masih banyak masyarakat yang menganggap
sederhana dan sepele masalah penentuan arah kiblat komplek pemakaman. Anggapan tersebut
dapat terjadi dari kurangnya pemahaman bahwa menghadap kiblat ketika menggali liang lahat
dan meletakkan jenazah hanya bersifat anjuran saja, bukan kewajiban. Kekurang-fahaman
tersebut juga menjadi penyebab utama banyaknya bangunan masjid dan komplek pemakaman
pada umumnya tidak menghadap ke arah kiblat yang sebenarnya.
Proses penentuan arah kiblat pada komplek pemakaman hanya ditentukan oleh tokoh
agama bahkan penggali kubur dengan metode yang sederhana, padahal mereka juga tidak begitu
mahir dalam menentukan arah yang tepat menuju kiblat. Di samping itu, adanya kekhawatiran
masyarakat akan bertambahnya biaya pengurusan jenazah apabila dilakukan pengecekan arah
kiblat terhadap pemakaman sanak keluarganya. Bahkan, terdapat juga sebagian umat Islam yang
mengambil sikap acuh tak acuh tentang masalah ini.
Karya ilmiah ini penulis angkat karena pembahasan arah kiblat dalam Ilmu Falak identik
dan hanya terbatas pada masjid atau mushalla saja sebagai objek utama. Jarang ditemukan
pembahasan tentang arah kiblat komplek pemakaman baik dalam buku-buku Ilmu Falak,
maupun yang disampaikan dalam berbagai pelatihan maupun seminar Ilmu Falak. Apabila
terdapat contoh pengukuran arah kiblat, maka dapat dipastikan contohnya adalah masjid atau
mushalla dan apabila terdapat verifikasi arah kiblat, juga hanya dilakukan di masjid-masjid.
Beranjak dari permasalahan tersebut, penulis merasa perlu untuk mengkaji penentuan arah
kiblat di komplek pemakaman Desa Lebuawu Kecamatan Pecangaan Kabupaten Jepara. Dalam
penentuan arah kiblat sebenarnya terdapat berbagai macam metode penggukuran arah kiblat.
Namun penulis hanya membatasi kajian tentang akurasi kiblat pada komplek pemakaman
menggunakan salah satu metode pengukuran kiblat yaitu menggunakan alat klasik Istiwa’aini.
Meskipun alat ini terbilang klasik, tapi tingkat keakurasiannya sangat teliti.

7
Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama, Almanak Hisab Rukyat, (Jakarta: Proyek Pembinaan Badan
Peradilan Agama Islam, 1981), hlm. 17.
Definisi Arah Kiblat

Arah kiblat adalah suatu arah yang dipakai menghadap ketika salat. Secara etimologi,

Kiblat berasal dari bahasa Arab dengan lafal ‫ قبل‬yang mana kata tersebut adalah masdar dari

kata ‫ قبلة‬- ‫ قب ل – يقب ل‬yang bermakna menghadap.8 Di dalam situasi lain, kiblat juga berarti

menerima, sebagaimana disebutkan di dalam kamus Mu’jam al‘Arabi al-Aslami kata ‫قبلة‬

berasal dari kata ‫ قبل‬yang berarti menerima.9

Syekh Abu Bakar M. Syatha menjelaskan kata ‫ قبلة‬secara bahasa adalah ‫والقبلة في اللغة الجهة‬

‫ والم راد هن ا الكعبة‬artinya kiblat secara bahasa adalah arah, maksudnya adalah Kakbah.10 Jika

melihat makna ‫ قبلة‬dari perspektif yang ada di dalam Tafsir al-Maragi kata tersebut adalah

berasal dari kata ‫ مقابلة‬yang mana kata tersebut sepadan dengan kata ‫ وجهة‬, sedangkan kata

wijhatun tersebut berasal dari kata ‫ مواجهة‬yang berarti keadaan arah yang dihadapi. Kemudian

makna tersebut dispesifikasikan menjadi arah yang khusus yang dituju oleh orang yang
melaksanakan salat.11

Kata kiblat di al-Qur’an memiliki beberapa makna, di antaranya adalah:

1. Kiblat berarti arah, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surah al-Baqoroh ayat 142
sebagai berikut:

ٰ ‫ب ۚ َي ْه ِدي َم ْن يَ َشاءُ إِىَل‬ ِِ ِ ِ ِ ‫الس َف َهاءُ ِم َن الن‬


ُ ‫َّاس َما َواَّل ُه ْم َع ْن قْبلَت ِه ُم الَّيِت َكانُوا َعلَْي َها ۚ قُ ْل للَّه الْ َم ْش ِر ُق َوالْ َم ْغ ِر‬ ُّ ‫ول‬ ُ ‫َسَي ُق‬
‫اط ُم ْستَ ِقي ٍم‬
ٍ ‫ِصر‬
َ
Artinya: “Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berkata “Apakah yang
memalingkan mereka (muslim) dari kiblat yang dahulu mereka (berkiblat) kepadanya?”,
katakanlah (Muhammad): “Milik Allahlah timur dan barat, Dia memberi petunjuk kepada
siapa saja yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus”. 12 (QS. Al-Baqarah: 142)

2. Kiblat berarti tempat salat, terdapat dalam Al-Qur’an surah Yunus ayat 87 yang berbunyi:

8
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997),
hlm. 1087-1088.
9
Mohamad Faizal bin Jani, Muzakirah Ilmu Falak Fi Ithna Asyara Syahran, (Malaysia: Faizal Press, 2011),
hlm. 33.
10
Abu Bakar al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin, (Mesir: Musthafa al-Bab al-Halabi, 1342 H), Juz II, hlm. 123.
Lihat pula Slamet Hambali, Ilmu Falak I, (Semarang: Program Pascasarjana, 2011), Cet I, hlm. 167.
11
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, Penerjemah: Ansori Umar Sitanggal,
(Semarang: CV. Toha Putra, 1993), Juz II, hlm. 2.
12
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemahnya, (Bandung; Jabal Raudhotul Jannah, 2009),
hlm. 22
ِِ ِ ِ ِ‫ِ ِ مِب‬ ِِ ِ
َ ‫يموا الصَّاَل َة ۗ َوبَ ِّش ِر الْ ُم ْؤمن‬
‫ني‬ ُ ‫اج َعلُوا بُيُوتَ ُك ْم قْبلَةً َوأَق‬ ْ ‫وس ٰى َوأَخيه أَ ْن َتَب َّوآ ل َق ْوم ُك َما‬
ْ ‫صَر بُيُوتًا َو‬ َ ‫َوأ َْو َحْينَا إىَل ٰ ُم‬
Artinya: “Dan kami wahyukan kepada Musa dan saudaranya, “Ambilah olehmu berdua
beberapa buah rumah di Mesir untuk tempat tinggal bagi kaummu dan jadikanlah olehmu
rumah-rumahmu itu tempat sholat dan dirikanlah olehmu sholat serta gembirakanlah orang-
orang yang beriman”.13 (QS. Yunus: 87)

Beberapa ahli falak dan astronomi memberi pengertian kiblat secara terminologi sebagai
berikut:
1. Menurut Slamet Hambali, “Arah kiblat adalah arah terdekat menuju Kakbah (al-Masjid al-
Harām) melalui lingkaran besar bola bumi (great circle), lingkaran ini adalah lingkaran bola
bumi yang melalui titik pusat Kakbah dan titik tempat kebalikan dari titik pusat Kakbah itu
sendiri sehingga secara otomatis memotong lurus titik pusat bumi, lingkaran ini disebut
sebagai lingkaran kiblat”.14
2. Menurut Ahmad Izzuddin, “Arah kiblat tiada lain adalah masalah arah, yaitu arah yang
menuju ke kakbah (baitullāh) yang berada di kota Makkah. Arah ini dapat ditentukan dari
setiap titik di permukaan bumi dengan cara melakukan perhitungan dan pengukuran”.15
3. Menurut Muhyiddin Khazin dan Susiknan Azhari, “Arah kiblat adalah arah atau jarak yang
terdekat sepanjang lingkaran besar16 yang melewati kota Makkah (Kakbah) dengan tempat
yang bersangkutan.17 Arah yang di hadapi oleh orang muslim ketika melaksanakan salat yakni
arah menuju Kakbah di Kota Makkah”.18
4. Berdasarkan Islamic Mathematical Astronomy, “The Qibla or direction of Mecca defines the
direction of prayer in Islam” artinya Kiblat atau arah Makkah ialah definisi tentang arah bagi
orang-orang yang melaksanakan salat dalam agama Islam.19
5. Menurut Ensiklopedi Islam (Departemen Agama Republik Indonesia) mengartikan kiblat
sebagai suatu arah tertentu bagi kaum muslimin untuk mengarahkan wajahnya (dada) dalam
melaksanakan salat.20
6. Menurut Ensiklopedi Hukum Islam yang disebutkan oleh Abdul Aziz Dahlan mendefinisikan
kiblat sebagai bangunan Kakbah atau arah yang dituju kaum muslimin dalam melaksanakan
sebagian ibadah (salat).21

13
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan…, hlm. 218.
14
Slamet Hambali, Metode Pengukuran Arah Kiblat Yang Dikembangkan di Pon-Pes Al-Hikmah II Benda
Sirampak Kabupaten Brebes, (Semarang: IAIN Walisongo, 2010), hlm. 14.
15
Ahmad Izzuddin, Ilmu Falak Praktis, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2012), hlm. 17.
16
Lingkaran Besar adalah lingkaran yang melewati titik tengah pusat bumi sehingga membelah bumi menjadi
dua bagian yang sama.
17
Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Buana Pustaka, 2004), Cet III, hlm.
48.
18
Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat, (Yogyakarka: Pustaka Pelajar, 2008) Cet II, hlm. 174 – 175.
19
David A. King, Islamic Mathematical Astronomy, (London: Variorum Reprints, 1986), hlm. 81.
20
Departemen Agama RI, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Proyek Peningkatak
Prasarana dan Sarana PerguruanTinggi Agama/IAIN, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: CV. Anda Utama, , 1993), hlm.
629.
21
Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiyar Baru Van Hoeve, 1996), Cet I,
hlm. 944.
Beberapa pendapat tentang pengertian arah kiblat yang telah penulis kemukakan, di sini
penulis memiliki pendapat tentang arah kiblat yaitu arah yang dituju oleh seseorang yang tengah
melaksanankan salat, sujud sukur, dan segala kewajiban yang menghendaki menuju ke bangunan
Kakbah dari jarak yang terdekat dari tempat dimana tempat ia salat menuju ke Kakbah di
Makkah al-Mukarramah.

Dasar Hukum Arah Kiblat Komplek Pemakaman

Kewajiban keempat terhadap jenazah adalah menguburkanya hukum menguburkan jenazah


adalah fardhu kifayah. Dalamnya kuburan sekurang-kurangnya kira-kira tidak tercium bau busuk
jenazah itu dari atas kubur dan tidak dapat dibongkar oleh binatang buas, sebab maksud
menguburkan jenazah ialah untuk menjaga kehormatan jenazah itu dan menjaga kesehatan
orang-orang yang ada disekitar tempat itu.22

Selaian keharusan untuk menggali kuburan yang dalam agar tidak dibongkar oleh binatang
buas. Posisi kuburan yang menghadap kiblat juga menjadi keharusan dengan rentang hukum
antara wajib dan sunnah. Dalam beberapa hadis nabi disebutkan tentang kewajiban
menghadapkan jenazah ke arah kiblat di dalam kuburan, di antaranya adalah hadis Riwayat Abu
Daud :

.‫وأمواتًا‬ ِِ
ْ ً‫كم أحياء‬
ْ ‫ ال َك ْعبَةُ قبلت‬: ‫عن عمري ابن الليثي – وكانت له صاحبه قال رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم‬
Artinya : “Ka’bah merupakan kiblat kamu, baik dalam masa hidup maupun setelah mati”.23

Selain itu disebutkan juga dalam hadist yang diriwayatkan oleh Baihaqi:

‫ عن‬،‫ أنب أ ش عيب‬،‫ ثن ا أب و اليم ان‬،‫ ثن ا عب د الك رمي بن اهليثم‬،‫وأخربن ا أب و بك ر بن القاض ي أنب أ أب و س هل بن زي اد‬
‫وكان الرباء بن معرور أول م‬: ‫ عن عبد الرمحن بن عبد اهلل بن كعب بن مالك يف قصة َن ذكرها قال‬،‫الزهري‬
.‫استقبل القبلة حيا وميتا‬
Artinya : dan telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr bin Al-Qadliy : Telah memberitakan
kepada kami Abu Sahl bin Ziyad : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Karim bin
AlHaitsam : Telah menceritakan kepada kami Abul-Yaman : Telah memberitakan kepada kami
Syu’aib, dari Az-Zuhriy, dari ‘Abdurahman bin ‘Abdillah bin Ka’b bin Malik mengenai kisah
yang ia sebutkan/ceritakan. Ia berkata : “Adalah Al-Barra’ bin Ma’rur orang yang pertama kali
menghadap ke kiblat pada saat hidupnya maupun saat matinya” (Diriwayatkan oleh Baihaqi)24

Jumhur ulama sepakat bahwa mengebumikan jenazah di atas tanah adalah tidak boleh, dan
juga di atas bangunan yang tidak di gali, sekalipun jenazah itu berada dalam peti kecuali karena
darurat. Yang jelas, yang wajib adalah dikebumikan pada suatu lubang yang digali yang dapat
terjaga jasadnya dari berbagai macam ancaman, dan menguap baunya. Mereka juga sepakat

22
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Bandung: Sinar Baru, 1994), hlm. 182.
23
HR. Imam Abu Daud nomor 7.875, Imam an Nasa-i Juz 2, hlm. 165.
24
Al-Baihaqiy, Al-Kubraa, (Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah : 1424 H), hlm. 384.
bahwa jenazah itu harus diletakkan pada bagian kanannya dan menghadap kiblat, dan kepalanya
terletak mengarah ke barat, dan kakinya mengarah ke timur. Sedangkan Imam Malik
menjelaskan bahwa meletakkan jenazah seperti itu adalah sunnah saja, bukan wajib sebagaimana
pendapat beliau tentang ketidakharusan menghadap ‘ain kiblat dalam salat.25
Dalam Kitab Fathun Qarib disebutkan jenazah dimakamkan di dalam lahd (lubang

kuburan) dengan menghadap kiblat. ‫ حلد‬dengan huruf ( ‫ ) ل‬lam yang dibaca fathah, dan huruf (

‫ )ح‬yang dibaca sukun, adalah bagian yang digali di sisi liang kubur bagian bawah di arah kiblat
kira-kira seukuran yang bisa memuat dan menutupi jenazah. Mengubur di dalam lahd itu lebih
utama daripada mengubur di dalam syiqq jika postur tanahnya keras. Syiqq adalah galian yang
berada di bagian tengah liang kubur yang berbentuk seperti selokan air, dibangun kedua sisinya,
jenazah diletakkan di antara kedua sisi tersebut dan ditutup dengan bata mentah atau sesamanya.
Sebelum dimasukkan, jenazah diletakkan di sisi belakang / bagian kaki kubur. Di dalam
sebagian redaksi, setelah kata-kata “menghadap kiblat”, ada tambahan keterangan. Yaitu,
jenazah diturunkan ke liang kubur dimulai dari arah kepalanya, maksudnya dimasukkan dengan
cara yang halus tidak kasar. Orang yang memasukkan jenazah ke liang kubur, sunnah
mengucapkan, “dengan menyebut Nama Allah. Dan atas agama Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam” Dan jenazah diletakkan di dalam kubur dengan posisi tidur miring setelah kubur
tersebut digali sedalam ukuran orang berdiri dan melambaikan tangan. Posisi tidur miring
tersebut dengan menghadap kiblat dan bertumpuh pada lambung jenazah sebelah kanan.
Seandainya jenazah dikubur dengan posisi membelakangi kiblat atau terlentang, maka wajib
digali lagi dan dihadapkan ke arah kiblat, selama jenazah tersebut belum berubah.26

Tipologi Pengukuran Arah Kiblat


Dilihat dari sumber pengukurannya, penulis mengutip pemikiran Ahmad Izzuddin yang
mengklasifikasikan pengukuran arah kiblat menjadi tiga tipologi, ketiga tipologi tersebut
adalah:27
1. Alamiah (murni)
Metode pengukuran arah kiblat alamiah yang dimaksud adalah metode yang merujuk
kepada gejala atau tanda-tanda alam secara alami. Metode-metode pengukuran arah kiblat
yang termasuk dalam kategori alamiah ini di antaranya adalah:
a. Rasi Bintang
Rasi Bintang adalah sekumpulan Bintang yang berada di suatu kawasan langit,
memiliki bentuk yang relatif sama dan kelihatan berdekatan antara satu Bintang dengan
25
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta : PT Lentera Basritama Anggota IKAPI,
2001), hlm.58
26
Muhammad Qasim Al Ghazi, Fathun Qarib Mujib, (Beirut : Dar Ibnu Hazm, 1974), hlm. 116.
27
Ahmad Izzuddin, Kajian Terhadap Metode-metode Penentuan Arah Kiblat dan Akurasinya, (Jakarta:
Kementerian Agama RI, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, 2012), Cet I,
hlm. 63.
Bintang yang lain. Menurut International Astronomical Union (IAU) langit itu dibagi
menjadi delapan puluh delapan (88) kawasan rasi Bintang.28
Metode alamiah dengan menggunakan rasi Bintang sudah dipraktikkan pada zaman
Nabi Muhammad dan para sahabat. Ketika Nabi Muhammad berada di Madinah, Nabi
ketika itu salat berijtihad dengan menghadap ke arah selatan. Karena secara geografis
Madinah adalah daerah yang terletak di sebelah utara Makkah, sehingga Nabi menjadikan
arah kiblat mengarah selatan.29
Dalam metode penentuan arah kiblat menggunakan rasi bintang ini, hanya ada
beberapa rasi bintang yang dapat dijadikan pedoman. Ada rasi bintang yang menghasilkan
arah selatan, utara dan bahkan mengarah ke arah kiblat secara langsung. Rasi bintang yang
mengarah ke selatan adalah rasi Bintang Crux. Rasi ini memiliki 4 (empat) Bintang yang
berbentuk salib dan berada di bagian selatan. Ketentuannya adalah, jika Bintang Gacrux
(bintang teratas Rasi Crux) ditarik garis lurus melewati Bintang Acrux (bintang terbawah
Rasi Crux), maka perpotongan garis ini dengan cakrawala adalah titik selatan. 30 Akan
tetapi, jika mendapati kesulitan dalam menentukan arah selatan menggunakan metode
yang pertama, dapat dilakukan dengan cara yang berbeda, yakni membayangkan poin
imajiner yang tepat. Adapun caranya adalah menghitung lima kali garis lurus dengan jarak
interval yang sama dimulai dari Bintang teratas ke Bintang terbawah, poin imajiner ditarik
hingga sampai di cakrawala, itulah titik arah selatan.
Rasi Bintang Polaris (Bintang Utara), dikatakan Bintang Utara atau North Star
karena letak Bintang ini sangat dekat dengan kutub utara yakni pada posisi kurang dari 1
derajat dari kutub utara dan tidak bergerak dari tempatnya sebab axis bumi menghadap ke
arahnya.31 Ketetntuan dalam menentukan arah utara menggunakan rasi Polaris adalah
dengan berpedoman pada rasi Bintang Biduk (Ursa Mayor) dan rasi Bintang Cassiopeia.
Rasi Bintang Orion dapat langsung digunakan untuk menentukan arah kiblat, namun
rasi ini hanya dapat digunakan di wilayah Indonesia saja. Pada rasi ini terdapat tiga bintang
yang berjajar yaitu Bintang Mintaka, Alnilam dan Alnitak. Arah kiblat ini dapat diketahui
dengan memanjangkan arah tiga Bintang berderet tersebut ke arah barat dari Bintang
Alnitak melewati Alnilam hingga Minataka.32 Jika mengeritiki tentang keakurasian hasil
dari arah kiblat yang ditujukan oleh rasi Bintang Orion tentu tidak begitu akurat,
mengingat metode ini adalah metode yang hanya sebatas perkiraan untuk mempermudah
pengukuran arah kiblat dan selalu berubahnya arah kiblat ketika berada di kedudukan tepat
satu dengan yang lainnya.

28
Ahmad Izzuddin, Menentukan Arah Kiblat Praktis, (Semarang: Walisongo Press, 2010), Cet I, hlm. 45-46.
29
David A. King, Astronomy in the Service of Islam, (USA: Variorum Reprints, 1993), hlm. 253.
30
A. Kadir, Fiqh Qiblat: Cara Sederhana menentukan Arah Shalat Agar Sesuai Syari’at, (Yogyakarta:
Pustaka Pesantren, 2012), Cet I, hlm. 42.
31
Ihwan Muttaqin, Studi Analisis Metode Penentuan Arah Dengan Menggunakan Equatorial Sundial,
Skripsi, (Semarang Fakultas Syariah IAIN Walisongo, 2012), hlm. 29.
32
Izzuddin, Kajian Terhadap Metode…, hlm. 66.
b. Tongkat Istiwa’
Metode pengukuran arah kiblat menggunakan tongkat Istiwa’ adalah metode
pengukuran yang dibantu dengan sebuah tongkat yang tegak dan lurus, dikelilingi
lingkaran dan benda yang berdiri tegak lurus (Gnomon) sebagai titik pusatnya. Prinsip dari
metode ini adalah, pengamat memperhatikan gerak bayangan sejak sebelum zawal dan
sesudah zawal yang sebelumnya tongkat istiwa’ sudah dikelilingi dengan lingkaran.
Kemudian memberi sebuah tanda berupa titik ketika bayangan jatuh di garis lingkaran
sebelum dan sesudah zawal. Setelah memberi tanda berupa titik, pertemukan kedua titik
tersebut (titik sebelum dan setelah zawal) dan garis tersebut adalah garis yang
menghubungkan timur dan barat, bayangan sebelum zawal adalah menunjukan barat dan
setelah zawal adalah titik timur. Setelah mendapatkan arah timur dan barat, maka arah
utara dan selatan tentu sudut 90° dari arah barat untuk utara dan 90° dari arah timur untuk
selatan.33
2. Alamiah Ilmiah
Metode alamiah ilmiah adalah metode penentuan arah kiblat yang didasarkan pada
kejadian-kejadian alam (alami) yang kemudian dimanfaatkan untuk mengukur dan
menetapkan arah kiblat dengan perhitungan (ilmiah). Beberapa metode yang termasuk dalam
kategori alamiah ilmiah antara lain:
a. Istiwa’aini
Istiwa’ain adalah tasniyah dari kata istiwa’. Yaitu sebuah alat sederhana yang terdiri
dari dua tongkat istiwa’, di mana satu tongkat berada di titik pusat lingkaran dan satunya
lagi berada di titik 0o lingkaran. Alat ini didesain untuk mendapatkan arah kiblat, arah true
north dan sebagainya yang akurat dengan biaya murah. 34
b. Theodolite
Theodolite adalah sebuah alat yang digunakan untuk mengukur ketinggian dan
azimuth suatu Bintang dan biasa juga digunakan dalam penentuan peta mata angin.67
Sampai saat ini, Theodolite dianggap alat yang paling akurat di antara metode-metode
penentuan arah kiblat yang sudah ada. Dengan pedoman pada posisi dan pergerakan
benda-benda langit dan bantuan satelit-satelit GPS, Theodolite dapat menunjukkan suatu
posisi hingga satuan detik busur (1/3600) dan dilengkapi dengan pembesaran lensa yang
bervariasi sehingga dengan komponen-komponennya yang modern inilah membuat
Theodolite menghasilkan data yang paling akurat.35
Alat ini memanfaatkan posisi Matahari untuk menentukan arah kiblat.Alat ini
memanfaatkan posisi Matahari untuk menentukan sudut kiblat, di mana dalam prosesnya

33
Slamet Hambali, Ilmu Falak Arah Kiblat Setiap Saat, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu Yogyakarta, 2013), Cet I,
hlm. 29 – 30.
34
Modul uji kelayakan istiwa’ain sebagai alat bantu menentukan arah kiblat yang akurat, oleh Prodi Ilmu
Falak Fakultas Syari’ah UIN Walisongo Semarang, Kamis, 5 Desember 2013.
35
Izzuddin, Kajian Terhadap Metode…, hlm. 55.
penentuan kiblat dihitung sudut waktu arah Matahari, dapat diketahui Utara sejati yang
kemudian dapat digunakan untuk menentukan sudut kiblat.
3. Ilmiah Alamiah
Metode Ilmiah Alamiah adalah jenis metode pengukuran yang dimulai dengan
perhitungan ilmiah dan diverifikasi dengan cara melihat tanda-tanda alam (alamiah) di
lapangan. Adapun metode yang termasuk dalam jenis Ilmiah Alamiah adalah metode Rashdul
Kiblat.
Rashdul Kiblat secara bahasa adalah pengintaian kiblat, sedangkan secara istilah dalam
kalangan ahli falak Rashdul Kiblat adalah ketentuan waktu di mana bayangan benda yang
terkena sinar Matahari menunjuk ke arah kiblat. 36 Metode ini terjadi ketika siang hari di mana
sebuah benda (tongkat) dapat terkena sinar Matahari sehingga menghasilkan bayangan yang
mengarah ke arah kiblat. Kesimpulan dari metode ini, jika tidak ada sinar Matahari maka
metode ini tidak dapat dipraktikkan.
Rashdul Kiblat terbagi menjadi dua:
a. Rashdul Kiblat Global (Tahunan)
Rashdul Kiblat Global (Tahunan) adalah petunjuk arah kiblat yang mana posisi
Matahari ketika itu sedang berkulminasi di titik zenith Kakbah.37 Raṣdu al-qiblah Global
ini terjadi ketika posisi Matahari tepat di atas Kakbah yakni ketika deklinasi Matahari
sebesar lintang tempat Kakbah (21° 25’ 21,04” LU) serta ketika Matahari berada di titik
kulminasi atas yang dilihat dari Kakbah. 38 Jika diamati secara ilmiah, deklinasi Matahari
sama dengan lintang Kakbah terjadi beberapa kali dalam setahun, di antaranya adalah:39
1) Tanggal 27 Mei tahun kabisat pukul 09:17:56 GMT atau 16:17:56 WIB.
2) Tanggal 28 Mei tahun basitoh pukul 09:17:56 GMT atau 16:17:56 WIB.
3) Tanggal 15 Juli tahun basitoh pukul 09:26:43 GMT atau 16:26:43 WIB.
4) Tanggal 16 Juli tahun kabisat pukul 09:26:43 GMT atau 16:26:43 WIB.

Pada tanggal dan waktu tersebut di atas, Matahari tepat di atas Kakbah atau nilai
deklinasi Matahari sama seperti lintang Kakbah yang mana bayangan dari Matahari dapat
mengarahkan bayangan yang mengarah ke kiblat. Sebelum sampai pada waktu yang
tersebut di atas hendaklah menancapkan sebuah tongkat (gnomon) di atas permukaan yang
datar, jika waktunya sudah tepat dengan waktu Rashdul Kiblat maka garislah bayangan
dari tongkat yang tertancap itulah arah kiblat.
Metode Rashdul Kiblat Global ini hanya dapat dilakukan pada siang hari dan berlaku
pada daerah yang waktu lokalnya berselisih maksimal 5 hingga 5,5 jam dari Kakbah, baik
sebelah timur (daerah Asia) atau barat Kakbah (Afrika dan Eropa) kecuali daerah abnormal

36
Izzuddin, Ilmu Falak Praktis…, hlm. 45.
37
Hambali, Ilmu Falak Arah…, hlm. 38.
38
Zainul Arifin, Ilmu Falak, (Yogyakarta: Lukita, 2012), hlm. 22.
39
Khazin, Ilmu Falak dalam…, hlm. 72.
atau tempat yang interval siang dan malamnya tidak seimbang atau bahkan daearah yang
ekstrim seperti daerah dekat kutub utara ketika Matahari selalu diatas ufuk.40
b. Rashdul Kiblat Harian (Lokal)
Rashdul Kiblat Harian (Lokal) adalah metode pengukuran arah kiblat dengan
memanfaatkan posisi Matahari ketika menyentuh lingkaran kiblat suatu tempat, sehingga
semua benda yang berdiri tegak lurus pada saat Matahari menyentuh lingkaran kiblat
tersebut, maka bayangannya akan mengarahkan ke arah kiblat di lokasi tersebut. 41 Pada
dasarnya prosedur penentuan arah kiblat menggunakan raṣdu al-qiblah adalah penentuan
waktu dimana Matahari berada pada posisi di azimuth atau titik balik (antipoda) azimuth
kiblat suatu tempat.42

Analisis Akurasi Arah Kiblat Komplek Pemakaman Desa Lebuawu Kecamatan Pecangaan
Kabupaten Jepara
Desa Lebuawu merupakan salah satu dari beberapa desa di Kecamatan Pecangaan
Kabupaten Jepara, letak geografis desa Lebuawu ini sangat strategis, yakni berada di sebelah
selatan dari jalan raya Jepara. Di dalam desa tersebut terdapat satu komplek pemakaman umum
yang sampai sekarang masih digunakan unktuk menguburkan jenazah masyarakat desa
Lebuawu.
Penentuan arah kiblat komplek pemakaman desa Lebuawu hanya berdasarkan perkiraan
dari penggali kubur yang merujuk kepada makam lama yang sudah ada. Selain itu, karena
komplek pemakaman berada di pinggir jalan desa, maka tak jarang juga ketika penggalian
makam yang baru, masyarakat setempat hanya mengikuti jalan sekitar komplek pemakaman
yang mengarah ke barat. Hal ini disebabkan karena masyarakat umum setempat tidak
mempedulikan arah kiblat yang akurat untuk komplek pemakaman. Cara yang sama ini
dilakukan secara kontinu oleh warga desa Lebuawu hingga saat ini.43
Cara penentuan arah kiblat tersebut yang masih dipertahankan sampai sekarang,
sebenarnya semakin besar kemungkinan banyaknya yang melenceng dari arah kiblat. Melihat
problematika masyarakat mengenai penentuan arah kiblat komplek pemakaman seperti itu,
beberapa mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang yang pada waktu itu
sedang melakukan kegiatan pengabdian kepada masyarakat di desa Lebuawu Kecamatan
Pecangaan Kabupaten Jepara melalui program Kuliah Kerja Nyata (KKN) Mandiri Inisiatif
Terprogram (MIT) ke-9 yang tergabung dalam posko enam puluh empat (64) atas arahan dari
pihak desa untuk melakukan pengukuran ulang arah kiblat komplek pemakaman desa Lebuawu
menggunakan instrumen klasik yang bernama Istiwa’aini. Hasil perhitungan arah kiblat

40
Arifin, Ilmu Falak…, hlm. 23.
41
Hambali, Ilmu Falak Arah…, hlm. 45.
42
Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis, (Malang: UIN Malang Press, 2002), hlm. 166.
43
Wawancara dengan Bapak Mohadi Arifin (Bendahara Desa) pada hari Senin, 3 Februari 2020 di Komplek
Pemakaman desa Lebuawu.
menggunakan Istiwa’aini akan dibandingkan dengan arah kiblat pemakaman yang ada di desa
Lebuawu. Sehingga memperoleh deviasi antara kedua sudut yang ada.

Gambar 1: Bentuk Istiwa’aini

Pengukuran arah kiblat komplek pemakaman desa Lebuawu dilaksanakan pada hari Senin,
3 februari 2020 M / 9 Jumadil Akhir 1441 H. dengan data lintang tempat (-6 o 42’ 30,45” LS),
bujur tempat (110o 42’ 30,45” BT), dan waktu pengukuran pukul 10 : 59 WIB. Sehingga arah
kiblat yang dihasilkan adalah 24o 21’ 53,54” Utara ke Barat atau azimuth kiblat 294o 21’ 53,54”
UTSB.

Gambar 2: Pengukuran Arah Kiblat Komplek Pemakaman Desa Lebuawu

Setelah dilakukan pengukuran arah kiblat menggunakan Istiwa’aini, dapat diketahui bahwa
rata-rata makam pada komplek pemakaman desa Lebuawu kecamatan Pecangaan kabupaten
Jepara terdapat selisih 3o kurang ke utara. Pada saat pengukuran arah kiblat tersebut disaksikan
langsung oleh tokoh agaman dan beberapa perangkat desa setempat, yakni KH. Yasin Ma’ruf, H.
Noor Yanto, H. Suroso, Dr. Shodiq, M.Ag., Sarmadan, dan Mohadi Arifin.44
Kemelencengan 3o kurang ke utara tersebut menimbulkan pertanyaan bagaimana akibat
hukumnya terhadap makam jika telah diketahui fakta tersebut, apakah harus dibenarkan arah

44
Keterangan Muhammad Habiburrahman Selaku Koordiantor Bidang Keagamaan KKN MIT Posko 64 desa
Lebuawu kecamatan Pecangaan kabupaten Jepara.
kiblatnya (dibongkar) atau dibiarjan saja?. Terdapat 4 (empat) alasan sebuah makam boleh
dibongkar kembali, yakni:45
1. Mayat yang telah dikubur namun sebelumnya tidak dimandikan maka wajib hukumnya
menggali kembali kuburan tersebut untuk kemudian diambil dan dimandikan mayatnya
dengan catatan kondisi mayat masih belum berubah, belum berbau.
2. Bila mayat yang telah dikubur ternyata tidak dihadapkan ke arah kiblat maka wajib
hukumnya menggali kembali kuburan tersebut untuk kemudian si mayat di hadapkan ke arah
kiblat. Ini juga dengan ctatan bila si mayat masih belum berubah kondisinya sebagaimana
poin pertama. Apabila dikhawatirkan tindakan tersebut akan merusak jasad mayat, maka tidak
perlu dilakukan pembongkaran kembali terhadap makam tersebut.
3. Bila ada harta semisal cincin atau lainnya yang ikut terkubur bersama mayat maka wajib
hukumnya membuka kembali kuburan untuk mengambil harta tersebut meskipun kondisi si
mayat telah berubah, baik pemilik harta tersebut memintanya ataupun tidak. 
4. Seorang mayat perempuan yang sedang mengandung dan dimungkinkan janinnya hidup maka
wajib menggali kembali kuburannya. Kemungkinan janin hidup ini bila usia kandungannya
sudah mencapai enam bulan atau lebih. Bila sejak sebelum dikubur diketahui ada janin yang
ada kemungkinan hidup maka wajib hukumnya membedah perut si mayat sebelum dikubur.
Namun bila berdasarkan pendapat ahli tidak ada harapan hidupnya janin maka haram
membedah perut si mayat.46

Berdasarkan pengukuran arah kiblat di komplek pemakaman desa Lebuawu tersebut


memang ditemukan banyak makam yang melenceng arah kiblatnya. Namun jika dilihat,
mayoritas makam sudah berusia lebih dari lima tahun. Hal itu dapat dilihat dari batu nisan yang
sudah amblas ke tanah dan mulai hilang nama yang tercantum. Sehingga tidak perlu dibongkar
untuk dibenarkan kembali arah kiblatnya karena kemungkinan besar bentuk mayat sudah
berubah dan tinggal tulang-belulanya.
Hal tersebut dapat menjadi tolak ukur untuk pemakaman selanjutnya supaya supaya saat
menentukan arah kiblat pemakaman untuk jenazah dilakukan dengan teliti dan hati-hati agar
tidak terjadi lagi kesalahan arah kiblat, sehingga jenazah yang dimakamkan benar-benar
menghadap kiblat.

Simpulan
Penentuan arah kiblat komplek pemakaman di desa Lebuawu kecamatan Pecangaan
kabuoaten Jepara hanya berdasarkan perkiraan dari penggali kubur yang merujuk kepada makam
lama yang sudah ada. Selain itu, karena komplek pemakaman berada di pinggir jalan desa, maka
tak jarang juga ketika penggalian makam yang baru, masyarakat setempat hanya mengikuti jalan
sekitar komplek pemakaman yang mengarah ke barat. Oleh karena itu perangkat desa setempat
45
Alim bin Sumair Al-Hadlrami, Safinatun Naja, (Beirut: Darul Minhaj, 2009), hlm. 53.
46
Muhammad Nawawi Al-Bantani, Kasyifatus Saja, (Cyprus: Dar Ibnu Hazm, 2011), hlm. 415 – 417
meminta mahasiswa UIN Walisongo Semarang yang sedang melaksanakan Kuliah Kerja Nyata
(KKN) Mandiri Intensif Terprogram (MIT) ke-9 posko 64 yang sedang melaksanakan
pengabdian di desa Lebuawu untuk melakukan pengukuran arah kiblat komplek pemakaman
desa Lebuawu. Setelah diukur menggunakan instrumen klasik, yakni Istiwa’aini, rata-rata
makam yang terdapat di komplek pemakaman tersebut terdapat kemelencengan arah kiblat
sebesar 3o kurang ke utara.

Daftar Pustaka
Al-Baihaqiy, Al-Kubraa, (Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah : 1424 H).
Al-Bantani, Muhammad Nawawi, Kasyifatus Saja, (Cyprus: Dar Ibnu Hazm, 2011).a
al-Dimyathi, Abu Bakar, I’anah al-Thalibin, (Mesir: Musthafa al-Bab al-Halabi, 1342 H), Juz II.
Al-Ghazi, Muhammad Qasim, Fathun Qarib Mujib, (Beirut : Dar Ibnu Hazm, 1974).
Al-Hadlrami , Alim bin Sumair, Safinatun Naja, (Beirut: Darul Minhaj, 2009).
Al-Jaziri, Abdul Rahman, Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-
Ilmiyyah, t.t.).
Al-Maghribi, Muhammad, Mawahib Al-Jalil Li Syarkhi Mukhtasar Khalil, (Beirut: Dar Al-
Kutub Al-Ilmiyyah, t. t.), Juz. II.
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa, Terjemah Tafsir al-Maraghi, Penerjemah: Ansori Umar Sitanggal,
(Semarang: CV. Toha Putra, 1993), Juz II.
Arifin, Zainul, Ilmu Falak, (Yogyakarta: Lukita, 2012).
As-Shabuni, Muhammad Ali, Shafwat At-Tafasir, (Beirut: Dar Al-Qur’an Al-Karim, 1981).
Azhari, Susiknan, Ensiklopedi Hisab Rukyat, (Yogyakarka: Pustaka Pelajar, 2008) Cet II.
Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama, Almanak Hisab Rukyat, (Jakarta: Proyek
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1981).
Dahlan, Abdul Aziz, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiyar Baru Van Hoeve,
1996), Cet I.
Dasuki, Hafidh, dkk, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), cet. I.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemahnya, (Bandung; Jabal Raudhotul Jannah,
2009).
Departemen Agama RI, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Proyek
Peningkatak Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN, Ensiklopedia Islam,
(Jakarta: CV. Anda Utama, , 1993).
Hambali, Slamet, Ilmu Falak Arah Kiblat Setiap Saat, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu Yogyakarta,
2013), Cet I.
---------------------, Ilmu Falak I, (Semarang: Program Pascasarjana, 2011), Cet I.
---------------------, Metode Pengukuran Arah Kiblat Yang Dikembangkan di Pon-Pes Al-Hikmah
II Benda Sirampak Kabupaten Brebes, (Semarang: IAIN Walisongo, 2010).
HR. Imam Abu Daud nomor 7.875, Imam an Nasa-i Juz 2.
HR. Imam Abu Dawud nomor 7.875, Imam an Nasa-i Juz 2.
Izzuddin, Ahmad, Ilmu Falak Praktis, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2012).
----------------------, Kajian Terhadap Metode-metode Penentuan Arah Kiblat dan Akurasinya,
(Jakarta: Kementerian Agama RI, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Direktorat
Pendidikan Tinggi Islam, 2012), Cet I.
---------------------, Menentukan Arah Kiblat Praktis, (Semarang: Walisongo Press, 2010), Cet I.
Jani, Mohamad Faizal bin, Muzakirah Ilmu Falak Fi Ithna Asyara Syahran, (Malaysia: Faizal
Press, 2011).
Kadir, A., Fiqh Qiblat: Cara Sederhana menentukan Arah Shalat Agar Sesuai Syari’at,
(Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2012), Cet I.
Keterangan Muhammad Habiburrahman Selaku Koordiantor Bidang Keagamaan KKN MIT
Posko 64 desa Lebuawu kecamatan Pecangaan kabupaten Jepara.
Khazin, Muhyiddin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Buana Pustaka, 2004),
Cet III.
King, David A., Astronomy in the Service of Islam, (USA: Variorum Reprints, 1993).
-------------------, Islamic Mathematical Astronomy, (London: Variorum Reprints, 1986).
Modul uji kelayakan istiwa’ain sebagai alat bantu menentukan arah kiblat yang akurat, oleh
Prodi Ilmu Falak Fakultas Syari’ah UIN Walisongo Semarang, Kamis, 5 Desember
2013.
Mughni, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Madzhab, (Jakarta: Lentera, 2008), Cet. XXI.
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta : PT Lentera Basritama Anggota
IKAPI, 2001).
Munawwir, Ahmad Warson, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997).
Murtadho, Moh., Ilmu Falak Praktis, (Malang: UIN Malang Press, 2002).
Muttaqin, Ihwan, Studi Analisis Metode Penentuan Arah Dengan Menggunakan Equatorial
Sundial, Skripsi, (Semarang Fakultas Syariah IAIN Walisongo, 2012).
Rasjid, Sulaiman, Fiqih Islam (Bandung: Sinar Baru, 1994).
Rusyd, Ibnu, Bidayat Al-Mujtahid Wa Nihayat AlMuqtasid, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah,
t. t.), Juz. II.
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Darul Fath, 2004), Cet. I.
Wawancara dengan Bapak Mohadi Arifin (Bendahara Desa) pada hari Senin, 3 Februari 2020
pukul 10:35 WIB di Komplek Pemakaman desa Lebuawu.

Anda mungkin juga menyukai