Anda di halaman 1dari 23

KATA PENGANTAR

Tiada henti penyusun mengucapkan puji serta syukur kepada Allah Swt. atas segala hidayah, rahmat,
dan karunia-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat waktu. Serta penyusun menghaturkan
shalawat kepada Rasulullah Saw. yang telah mewariskan Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi sebagai petunjuk bagi
seluruh manusia agar selamat di dunia dan akhirat.

Makalah berjudul Hukum Menghadiahkan Pahala Membaca Al-Qur‟an Bagi Mayit dan Maulid Nabi
ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Masa‟il Fiqhiyah Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STISA) Al-
Manar. Di dalam makalah ini penyusun mencoba memaparkan definisi, tinjauan sosial, tinjauan dalil syar‟i,
serta kesimpulan hukum dari menghadiahkan pahala membaca Al-Qur‟an kepada mayit dan Maulid Nabi.

Pada kesempatan kali ini penyusun juga ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada Ustadz H.
Saiful Aqib, Lc., MA. sebagai dosen pembimbing. Serta kepada teman-teman serta pihak-pihak yang telah
membantu penyusun di dalam pembuatan makalah ini. Jazakumullah khairan katsiran. Semoga Allah Swt.
membalasnya sebaik-baik balasan di akhirat kelak.

Akhir kata penyusun berharap agar makalah ini dapat berguna bagi teman-teman di STISA Al-
Manar dan para pembaca pada umumnya. Penyusun mengakui bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna.
Sebab itu, penyusun sangat mengharapkan saran dan kritik membangun demi terwujudnya makalah yang
lebih baik lagi.

Jakarta, September 2016

Penyusun

1
Daftar Isi

Kata Pengantar 1

Daftar Isi 2

BAGIAN I
HUKUM MENGHADIAHKAN PAHALA MEMBACA AL-QUR‟AN B AGI MAYIT 3

A. Pengertian 3

B. Tinjauan Sosial 5

C. Tinjauan Dalil Syar‟i 6

D. Kesimpulan Hukum 9

BAGIAN II
HUKUM MAULID NABI 10

A. Pengertian 10

B. Tinjauan Sosial 11

C. Tinjauan Dalil Syar‟i 14

D. Kesimpulan Hukum 19

BAGIAN III
PENUTUP 21

Daftar Pustaka 22

2
BAGIAN I
HUKUM MENGHADIAHKAN PAHALA MEMBACA
AL-QUR’AN BAGI MAYIT

A. PENGERTIAN

Dilihat, dari segi pengorbanannya, ibadah terbagi menjadi tiga bentuk, yaitu: ibadah murni
badaniyah atau fisik (‫)انعثادج انثدَيح‬, ibadah murni maliyah (‫)انعثادج انًانيح‬, dan ibadah badaniyah maliyah
(‫)انعثادج انًانيح انثدَيح‬.

Ibadah murni badaniyah ialah ibadah yang modal utamanya berupa gerakan fisik. Seperti
shalat, puasa, zikir, azan, membaca Al-Qur‟an, dan sebagainya. Sedangkan ibadah murni maliyah
ialah ibadah yang pengorbanan utamanya berupa harta. Misalnya zakat, infak, sedekah, dan
seterusnya. Sementara itu, ibadah badaniyah maliyah ialah ibadah yang menggabungkan fisik serta
harta sebagai pendukung utamanya. Contohnya jihad, haji, dan umrah.1

Para ulama sepakat bahwa semua ibadah maliyah atau yang dominan maliyah, seperti infak,
sedekah, atau haji bisa dihadiahkan kepada mayit. Sebagian ibadah badaniyah yang bisa
diwakilkan, seperti puasa pun bisa dihadiahkan pahalanya kepada mayit.

Ibnu Qudamah berkata,

‫أيا اندعاء ٔاالسرغفاز ٔانصدقح ٔقضاء انديٍ ٔأداء انٕاجثاخ فال َعهى فيّ خالفا ً إذا كاَد انٕاجثاخ‬
‫يًا يدخهّ انُياتح‬

“Doa, istighfar, sedekah, melunasi hutang, menunaikan kewajiban (yang belum terlaksana),
bisa sampai kepada mayit. Kami tidak tahu adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama, apabila
kewajiban itu bisa diwakilkan.”

Rasulullah Saw. bersabda,

ّ‫ صدقح جازيح أٔ عهى يُرفع تّ أٔ ٔند صانح يدعٕ ن‬:‫إذا ياخ اتٍ آدو اَقطع عًهّ إال يٍ ثالز‬

“Jika anak Adam mati, maka amalnya terputus kecuali tiga hal, yaitu: sedekah jariyah, ilmu
yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan orang tuanya.” (H.r. Muslim)
1
Ammi Nur Baits, Menghadiahkan Al-Fatihah Menurut 4 Madzhab, Konsultasi Syariah:
https://konsultasisyariah.com/25493-menghadiahkan-al-fatihah-menurut-4-madzhab.html, diakses 06 Septembar
2016 pkl 10.30 WIB.

3
“Amal-amal kebajikan seorang mukmin dapat menyusulnya sesudah ia mati, di antaranya
ialah ilmu yang diajarkan dan disebarluaskannya, anak saleh yang ditinggalkannya, mushaf yang
diwariskannya, masjid yang dibangunnya, rumah yang didirikannya untuk orang-orang yang
berjuang di jalan Allah, sungai yang dialirkannya (untuk keperluan orang banyak), atau sedekah
yang dikeluarkannya dari hartanya sewaktu sehat semasa hidupnya, semuanya itu akan
mengikutinya mati.” (H.r. Ibnu Majah, sanadnya hasan)

“Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Saw., katanya, „Ibuku sudah wafat. Apakah
bermanfaat baginya bila aku bersedekah daripadanya?‟ Rasulullah menjawab, „Ya, dapat.‟” (H.r.
Bukhari)

Adapun ibadah lain yang bukan berupa ibadah maliyah atau tidak dapat diwakilkan masih
diperdebatkan apakah pahalanya bisa dihadiahkan kepada mayit atau tidak. Termasuk pahala
membaca Al-Qur‟an. Sebagian masyarakat meyakini bahwa pahala membaca Al-Qur‟an dapat
dihadiahkan kepada mayit. Biasanya pahala tersebut dihadiahkan kepada mendiang orang tua
mereka, kiai atau guru yang dihormati, maupun tokoh-tokoh yang disegani. Sehingga beredar di
kalangan masyarakat sejumlah budaya, seperti haul, tahlilan, dan yasinan.

Haul atau sering disebut khol, berasal dari bahasa Arab “haul” yang artinya “tahun”.
Adapun pengertian yang lazim di masyarakat ialah acara peringatan hari ulang tahun kematian
seseorang. Selain membaca Al-Qur‟an dan menghadiahkan pahalanya bagi mayit, acara ini juga
kerap diisi dengan bacaan tahlil secara massal, ceramah agama, hingga penampilan seni Islam.2

Sedangkan tahlilan (‫ )ذٓهيال‬merupakan masdar dari kata ‫ انٓيههح‬yang bermakna pembacaan


ucapan ‫( ال إنّ إال هللا‬Laa ilaaha illallah). Adapun definisi tahlilan yang dimaksud ialah acara yang
diselenggarakan ketika salah seorang anggota keluarga meninggal. Setelah penguburan selesai,
seluruh keluarga, kerabat, dan tetangga berkumpul di rumah keluarga mayit lalu mengadakan
pembacaan beberapa ayat Al-Qur‟an, zikir, dan doa yang ditujukan bagi mayit. Di dalamnya kerap
dibacakan kalimat tahlil berkali-kali, sehingga acara ini dikenal dengan istilah tahlilan. Tahlilan
biasanya diadakan mulai hari pertama hingga hari ketujuh setelah kematian mayit, kemudian hari
keempat puluhnya, hari keseratus, setahun, dan seterusnya. Pada acara tersebut, keluarga mayit
menyajikan hidangan makanan dan minuman kepada orang-orang yang sedang berkumpul di
rumahnya. Ini gambaran secara umum, daerah lain mungkin memiliki teknis yang berbeda.3

2
Abu Ubaidah Yusuf, Hukum Tahlilan (Selamatan Kematian) dan Perayaan Haul (Ulang Tahun Kematian), (Bogor:
Media Tarbiyah, 2012), hal. 21-22.
3
Ibid, hal. 47-48

4
Sementara itu, yasinan merupakan kegiatan membaca surat yasin yang pahalanya ditujukan
bagi mayit. Pembacaan surat yasin ini biasanya dilakukan ketika berziarah ke makam mayit. Selain
itu, sebagian masyarakat biasanya membaca surat yasin bersama-sama setiap malam jumat. Di
samping menghadiahkan pahalanya bagi mayit, jamaah biasanya membaca segelas air yang diyakini
akan memperoleh berkah dari pembacaan surat yasin tersebut.

B. TINJAUAN SOSIAL

Keyakinan bahwa pahala membaca Al-Qur‟an dapat dihadiahkan kepada mayit telah
bergeser dari sekadar keyakinan pribadi menjadi tradisi. Sebab itu, pembacaan Al-Qur‟an biasanya
tidak dilakukan oleh seorang diri. Tetapi menjadi satu paket dengan kegiatan tertentu yang
diselenggarakan secara beramai-ramai. Sebagaimana kegiatan haul, tahlilan, dan yasinan yang telah
dipaparkan di atas. Di dalamnya terdapat pula ceramah agama, pembacaan doa, hingga penampilan
seni Islam.

Pada dasarnya, masyarakat Indonesia senang berkumpul. Masyarakat menyukai kegiatan


yang mengumpulkan warga sekitar, bercengkrama, mengobrol, bercanda, dan saling bersilaturahmi.
Tidak heran kegiatan berkunjung ke rumah tetangga dan kerabat ketika Hari Raya Idul Fitri masih
mengakar kuat di tengah masyarakat. Selain itu, masyarakat juga selalu diajarkan untuk berbakti
kepada orang tua meskipun keduanya telah tiada. Perpaduan budaya inilah yang melahirkan
sejumlah tradisi yang di dalamnya terdapat pembacaan doa dan Al-Qur‟an bagi mayit. Doa dan
membaca Al-Qur‟an adalah amalan yang bisa dilakukan satu waktu, tidak perlu mengeluarkan
biaya, namun pahalanya bisa sampai kepada orang tua atau guru yang telah tiada.

Sayangnya, sebagian orang yang meyakini hal ini tidak memiliki landasan yang kuat.
Mereka cenderung hanya mengikuti kebiasaan para pendahulunya. Al-Qur‟an pun tidak dibaca
setiap hari, hanya pada momen tertentu. Sebagian lagi menganggap bahwa pemahaman ini berasal
dari fatwa Imam Syafi‟i, sebagai madzhab mayoritas di Indonesia. Padahal Imam Syafi‟i
merupakan salah satu ulama yang berpendapat bahwa pahala membaca Al-Qur‟an tidak akan
sampai kepada mayit. Di samping itu, terkadang kegiatan seperti haul dan tahlilan tampak seperti
dipaksakan, seolah-olah hukumnya wajib. Sehingga keluarga mayit rela berhutang ke sana-sini
demi menyelenggarakan dua acara tersebut.

Meski begitu, mengatakan bahwa pahala membaca Al-Qur‟an tidak sampai kepada mayit
bukan hanya berefek pada individu. Tetapi itu sama saja mempermasalahkan tradisi haul, tahlilan,
yasinan, dan tradisi masyarakat lainnya yang telah berlangsung sejak lama. Dampak yang
ditimbulkan bisa jauh lebih besar. Ukhuwah Islamiyyah antarmasyarakat berpotensi terusik.

5
C. TINJAUAN DALIL SYAR’I

Para ulama telah bersepakat, bahwa semua ibadah murni maliyah ibadah dapat diwakilkan
dan dihadiahkan pahalanya bagi mayit. Ibnu Katsir berkata, “Adapun doa dan pahala sedekah dapat
sampai kepada mayit menurut kesepakatan para ulama berdasarkan dalil-dalil syar‟i.”4

Landasan syar‟i yang dimaksud ialah:

ّ‫ صدقح جازيح أٔ عهى يُرفع تّ أٔ ٔند صانح يدعٕ ن‬:‫إذا ياخ اتٍ آدو اَقطع عًهّ إال يٍ ثالز‬

“Jika anak Adam mati, maka amalnya terputus kecuali tiga hal, yaitu: sedekah jariyah, ilmu
yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan orang tuanya.” (H.r. Muslim)

Dan hadits lain:

ّ‫إٌ أطية يا أكم انسجم يٍ كسثّ ٔإٌ ٔندِ يٍ كسث‬

“Sesungguhnya makanan terbaik yang dimakan seseorang adalah dari hasil usahanya dan
sesungguhnya anaknya merupakan bagian dari usahanya.” (H.r. Nasa‟i dan Abu Daud)

Ibadah badaniyah maliyah, seperti haji juga dapat diwakilkan dan dihadiahkan pahalanya
kepada mayit berdasarkan hadits:

Dari Ibnu Abbas ra. bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang kepada Nabi Saw. dan
bertanya, “Sesungguhnya ibuku nazar untuk berhaji, namun belum terlaksana sampai ia
meninggal, apakah saya melakukan haji untuknya?” Rasul menjawab, “Ya, bagaimana
pendapatmu kalau ibumu mempunyai hutang, apakah kamu membayarnya? Bayarlah hutang Allah,
karena hutang Allah lebih berhak untuk dibayar.” (H.r. Bukhari)5

Lalu bagaimana dengan membaca Al-Qur‟an? Di sinilah para ulama berbeda pendapat.

Pendapat pertama mengatakan bahwa pahala membaca Al-Qur‟an tidak dapat dikirim atau
dihadiahkan kepada mayit. Inilah pendapat masyhur Imam Malik dan Imam Syafi‟i. Dalam kitab
Minan Al-Jalil, Al-Qarrafi membagi ibadah menjadi tiga, yakni:

4
Taufik Hamim Effendi, Kirim Pahala Tilawah Qur’an Ke Orang Tua yang Sudah Wafat, Bolehkah?, Eramuslim:
http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/kirim-pahala-tilawah-qur’an-ke-orang-tua-yang-sudah-wafat-
bolehkah.htm#.V84xWvl9600, diakses 06 Septembar 2016 pkl 10.30 WIB.
5
Ahmad Sarwat, Ibadah dan Amalan Apa Saja yang Bisa Ditransfer Pahalanya ke Orang lain?, Rumah Fiqih:
http://rumahfiqih.com/x.php?id=1137616759&=ibadah-dan-amalan-apa-saja-yang-bisa-ditransfer-pahalanya-ke-
orang-lain.htm, diakses 06 Septembar 2016 pkl 10.30 WIB.

6
1. Ibadah yang pahala dan manfaatnya dibatasi oleh Allah dan hanya berlaku bagi pemiliknya.
Allah tidak menjadikan pahala itu dapat berpindah atau dihadiahkan kepada orang lain.
Contohnya, iman dan tauhid.

2. Ibadah yang disepakati ulama bahwa pahalanya bisa dipindahkan dan dihadiahkan kepada
orang lain, seperti ibadah maliyah.

3. Ibadah yang diperselisihkan ulama apakah pahalanya bisa dihadiahkan kepada mayit atau
tidak, seperti membaca Al-Qur‟an. Imam Malik dan Imam Syafi‟i melarangnya.6

Sementara itu Ibnu Katsir, salah satu ulama Syafi‟iyah, sangat tegas menyatakan bahwa
pahala membaca Al-Qur‟an tidak dapat dihadiahkan kepada mayit. Ketika beliau menafsirkan
firman Allah dalam Surat An-Najm:

َ ‫َٔأَ ٌْ نَي‬
‫ْس نِإل َْ َسا ٌِ إِال َيا َس َعى‬

“Dan bahwa manusia tidak akan mendapatkan pahala kecuali dari apa yang telah dia
amalkan.” (Qs. An-Najm: 39)

Ibnu Katsir berkomentar,

‫ ٔيٍ اذثعّ أٌ انقساءج ال يصم إْداء‬،‫ زحًّ هللا‬،‫ٔيٍ ْٔرِ اآليح انكسيًح اسرُثظ انشافعي‬
‫ثٕاتٓا إنى انًٕذى؛ ألَّ نيس يٍ عًهٓى ٔال كسثٓى‬

“Dan dari ayat yang mulia ini, Imam Syafi‟i—rahimahullah—beserta para ulama yang
mengikutinya mengeluarkan hukum bahwa bacaan Al-Qur‟an tidak akan sampai hadiah pahalanya
kepada orang yang telah mati. Karena bacaan tersebut bukan dari amal dan usaha mereka.”

Dalam kitab Al-Ikhtiyarat Ilmiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,
“Tidak menjadi kebiasaan salaf, bila mereka shalat sunnah, puasa sunnah, haji, atau membaca Al-
Qur‟an, lalu mereka menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang telah mati dari kaum
muslimin.”7

6
Ammi Nur Baits, Menghadiahkan Al-Fatihah Menurut 4 Madzhab, Konsultasi Syariah:
https://konsultasisyariah.com/25493-menghadiahkan-al-fatihah-menurut-4-madzhab.html, diakses 06 Septembar
2016 pkl 10.30 WIB.
7
Abdul Hakim, Hukum Tahlilan (Selamatan Kematian) Menurut Empat Madzhab dan Hukum Membaca Al-Qur’an
Untuk Mayit Bersama Imam Asy-Syafi’i, (Jakarta: Maktabah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, 2016), hal. 62-67.

7
Pendapat kedua mengatakan bahwa pahala membaca Al-Qur‟an dapat dihadiahkan kepada
mayit. Pendapat ini dipilih oleh Imam Abu Hanifah, beberapa ulama Malikiyah, Imam Ahmad bin
Hanbal, dan sejumlah ulama lain. Hal ini berdasarkan firman Allah Swt. dalam Surat Al-Hasyr:

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa,
“Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu
dari kami.” (Qs. Al-Hasyr: 10)

Dalam ayat ini, Allah Swt. menyanjung orang-orang beriman karena mereka memohonkan
ampun (istighfar) untuk orang-orang yang beriman sebelum mereka. Ini menunjukkan bahwa orang
yang telah meninggal dapat manfaat dari istighfar orang yang masih hidup.8

Selain itu, para ulama juga menggunakan dalil qiyas. Mereka meng-qiyaskan hadiah pahala
membaca Al-Qur‟an dan pahala amal saleh lainnya dengan sedekah dan doa bagi orang yang sudah
meninggal. Ibnu Shalah suatu hari pernah ditanya, ”Apakah diperbolehkan seseorang membaca Al-
Qur‟an dan dia hadiahkan (pahalanya) untuk kedua orang tuanya dan kerabatnya secara khusus dan
bagi kaum muslimin secara umum?”

Beliau menjawab, “Ada perbedaan pendapat di kalangan ahli fikih tentang membaca Al-
Qur‟an tersebut dan mayoritas membolehkannya. Dan hendaknya dia mengucapkan, „Ya Allah
sampaikan pahala yang aku baca ini untuk si fulan.‟ Dan barang siapa yang menginginkannya, bisa
dia jadikan sebagai doa.”9

Imam Ibnu Abil Izz, salah seorang ulama Hanafiyyah, menulis::

‫ كًا نى يًُع يٍ ْثح يانّ نّ في‬،‫ فإذا ْٔثّ ألخيّ انًسهى نى يًُع يٍ ذنك‬،‫إٌ انثٕاب حق انعايم‬
‫ ٔقد َثّ انشازع تٕصٕل ثٕاب انصٕو عهى ٔصٕل ثٕاب انقساءج‬.ّ‫ ٔإتسائّ نّ يُّ تعد ٔفاذ‬،ّ‫حياذ‬
‫َٔحْٕا يٍ انعثاداخ انثدَيح‬

“Sesungguhnya pahala adalah hak orang yang beramal. Ketika dia hibahkan pahala itu
kepada saudaranya sesama muslim, tidak jadi masalah. Sebagaimana dia boleh menghibahkan
hartanya kepada orang lain ketika masih hidup atau membebaskan tanggungan teman muslimnya

8
Ahmad Sarwat, Ibadah dan Amalan Apa Saja yang Bisa Ditransfer Pahalanya ke Orang lain?, Rumah Fiqih:
http://rumahfiqih.com/x.php?id=1137616759&=ibadah-dan-amalan-apa-saja-yang-bisa-ditransfer-pahalanya-ke-
orang-lain.htm, diakses 06 Septembar 2016 pkl 10.30 WIB.
9
Taufik Hamim Effendi, Kirim Pahala Tilawah Qur’an Ke Orang Tua yang Sudah Wafat, Bolehkah?, Eramuslim:
http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/kirim-pahala-tilawah-qur’an-ke-orang-tua-yang-sudah-wafat-
bolehkah.htm#.V84xWvl9600, diakses 06 Septembar 2016 pkl 10.30 WIB.

8
yang telah meninggal. Syariat telah menjelaskan pahala puasa bisa sampai kepada mayit. Hal itu
mengisyaratkan sampainya pahala bacaan Al-Qur‟an atau ibadah badaniyah lainnya.”10

Sementara itu, para ulama Hanbali terbagi dalam tiga pendapat. Pertama, boleh
menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur‟an kepada mayit dan itu bisa bermanfaat bagi mayit. Ini
pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad. Kedua, tidak boleh menghadiahkan pahala bacaan Al-
Qur‟an kepada mayit, meskipun jika ada orang yang mengirim pahala itu bisa sampai dan
bermanfaat bagi mayit. Al-Buhuti menyebut bahwa ini pendapat mayoritas ulama Hanbali. Ketiga,
pahala tetap menjadi milik pembaca (yang hidup). Hanya saja, rahmat bisa sampai ke mayit.11

D. KESIMPULAN HUKUM

Dengan perbedaan pendapat para ulama di atas, terlihat bahwa masalah ini merupakan
masalah ikhtilaf ijtihadiyah fiqhiyah. Tidak ada dalil sharih (eksplisit) yang membicarakan
kebolehan menghadiahi pahala bacaaan Al-Qur‟an kepada mayit. Para ulama yang mendukung pun
meng-qiyaskan bacaan Al-Qur‟an dengan amalan lain. Sehingga kita berharap pahala itu dapat
sampai kepada mayit, sebagaimana pahala puasa, haji, serta lainnya. Namun, tetap saja masalah ini
termasuk masalah ghaib. Tidak ada yang tahu sampainya pahala itu selain Allah, kecuali untuk
amal-amal yang telah ditegaskan melalui dalil sharih.

Ketiadaan dalil sharih dalam masalah ini, membuat dalil-dalil yang ada tidak dapat
dipadukan (Jam‟u) atau dipilih mana yang lebih kuat (Rajih). Oleh karena itu, dalam hal ini penulis
berpedoman pada satu dari empat langkah memilih pendapat versi Ahmad Sarwat, Lc., MA. Yaitu,
pertimbangan pendapat mayoritas (jumhur) ulama.12

Pendapat mayoritas ulama dalam hal ini ialah pahala membaca Al-Qur‟an dapat dihadiahkan
kepada mayit. Begitu pula dengan kesimpulan penulis. Pendapat ini juga diambil demi menjaga
stabilitas masyarakat dari kericuhan karena diganggunya sebuah tradisi.

Adapun orang-orang meyakini bahwa pahala membaca Al-Qur‟an dapat dihadiahkan kepada
mayit hendaknya mengetahui landasan perbuatan yang mereka lakukan. Tradisi bukanlah bentuk
ibadah wajib dan hanya diperbolehkan selama tidak melanggar syariat Islam secara umum.
10
Ammi Nur Baits, Menghadiahkan Al-Fatihah Menurut 4 Madzhab, Konsultasi Syariah:
https://konsultasisyariah.com/25493-menghadiahkan-al-fatihah-menurut-4-madzhab.html, diakses 06 Septembar
2016 pkl 10.30 WIB.
11
Ibid.
12
Ahmad Sarwat, Madzhab Manakah yang Paling Benar Untuk Hari Ini?, Rumah Fiqih:
http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1427274433, diakses 06 Septembar 2016 pkl 13.30 WIB.

9
BAGIAN II
HUKUM MAULID NABI

A. PENGERTIAN

Kata “Maulid” berasal dari akar kata wa-la-da, yang berarti melahirkan, memberi keturunan,
atau beranak. Bentuk masdar dari wa-la-da ialah Wiladah, artinya kelahiran. Dari kata wa-la-da ini
muncul istilah Maulud, yang bermakna seseorang yang dilahirkan. Ada pula Walid, artinya seorang
bapak (yang punya anak) dan Walidah, yang berarti seorang ibu (yang melahirkan anak). 13

Dari kata wa-la-da ini lalu muncul istilah Maulid, yang berarti tempat atau waktu
dilahirkannya seseorang. Tempat maulid Nabi adalah di Mekkah. Sedangkan waktu maulid Nabi
adalah pada hari Senin bulan Rabi‟ul Awwal pada tahun Gajah 53 SH (Sebelum Hijrah) atau
bertepatan dengan bulan April 571 M.14

Sehingga Maulid Nabi dapat diartikan sebagai hari kelahiran Rasulullah Muhammad Saw.
yang diyakini banyak orang jatuh pada tanggal 12 Rabi‟ul Awwal.

Namun, ada istilah yang perlu dibedakan, yakni Peringatan Maulid Nabi (Dzikra Maulid)
dan Perayaan Maulid Nabi (Ihtifal Maulid).

“Peringatan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti 1 nasihat (teguran dan
sebagainya) untuk memper-ingatkan; 2 kenang-kenangan; sesuatu yang dipakai untuk
memperingati; 3 catatan; 4 ingat-an; 5 hal memperingati (mengenang dan sebagainya). Dengan
begitu, Peringatan Maulid Nabi dapat didefinisikan dengan usaha untuk sekadar mengenang
kelahiran Rasulullah Saw. Biasanya Peringatan Maulid Nabi lebih bersifat umum.

Sedangkan “Perayaan” menurut KBBI berarti pesta (keramaian dan sebagainya) untuk
merayakan suatu peristiwa. Maka Perayaan Maulid Nabi didefinisikan sebagai upaya meramaikan
atau memeriahkan hari kelahiran Rasulullah Saw. Perayaan Maulid Nabi biasanya diadakan secara
khusus, serius, dan dilakukan oleh masyarakat yang benar-benar mendukung Maulid Nabi.

Meski keduanya berbeda, tetapi dalam makalah ini penulis tidak terlalu membedakan antara
istilah peringatan dan perayaan.

13
AM. Waskito, Pro dan Kontra Maulid Nabi, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014), hal. 20.
14
Abu Muawiah Muhammad Arvan, Siapa Bilang Perayaan Maulid Nabi Bid’ah?, (Bekasi: Khazanah Islamiah, 2012),
hal. 153.

10
B. TINJAUAN SOSIAL

1. Sejarah Maulid Nabi

Perayaan Maulid Nabi di tengah umat Islam telah berlangsung lama sejak abad 3 H.
Mengenai sejarah perayaan Maulid Nabi, setidaknya ada tiga teori berbeda.

Pertama, perayaan Maulid Nabi dimulai pada masa Dinasti Ubaid (Fathimiyah) di Mesir
yang berafiliasi dengan Syiah Rafidhah. Tepatnya di era kepemimpinan Al-Mu‟idz li Dinillah yang
berkuasa pada tahun 341-365 H. Bukan hanya Maulid Nabi, mereka juga mengadakan perayaan
tahun baru, perayaan Hari „Asyura, perayaan Maulid Ali bin Abi Thalib, perayaan Maulid Hasan,
perayaan Maulid Husain, dan perayaan Maulid Fathimah.15

Kedua, Maulid Nabi dirayakan secara besar-besaran di kalangan Ahlus Sunnah pertama kali
oleh Sultan Abu Said Muzhaffar Kukbari, gubernur Irbil di wilayah Irak. Beliau mengundang para
ulama, ahli tasawuf, ahli ilmu, dan seluruh rakyatnya. Beliau menyediakan berbagai hidangan,
memberikan hadiah, bersedekah kepada fakir-miskin, dan sebagainya.

Imam Jalaluddin As-Suyuthi berkata, “Orang yang pertama kali merintis peringatan Maulid
ini adalah penguasa Irbil, Malik Al-Muzhaffar Abu Sa‟id Kukbari bin Zainuddin bin Baktatin.
Salah seorang raja yang mulia, agung, dan dermawan.”

Ketiga, perayaan Maulid Nabi pertama kali diadakan oleh Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Beliau mengadakan perayaan Maulid untuk meningkatkan semangat jihad kaum muslimin dalam
rangka menghadapi Perang Salib melawan kaum Salibis dari Eropa dan merebut Yerusalem dari
tangan Kerajaan Salibis.16

2. Kompromi Sejarah

Para pendukung perayaan Maulid Nabi biasanya beralasan bahwa mereka mengikuti apa
yang dirintis oleh Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi. Sehingga tidak ada alasan untuk menyebut
perayaan Maulid Nabi sebagai perbuatan bid‟ah. Kalau pun bid‟ah, maka itu adalah bid‟ah hasanah.
Sebab Shalahuddin mengadakannya untuk memperkuat dan menyatukan kaum muslimin.
Sedangkan para penentang Maulid Nabi berdalih bahwa Maulid Nabi merupakan budaya Syiah
Rafidhah yang justru harus ditinggalkan.

15
Ibnu Saini bin Muhammad bin Musa, Benarkah Shalahuddin Al-Ayubi Merayakan Maulid Nabi?, (Jakarta: Maktabah
Mu’awiyah bin Abi Sufyan, 2014), hal. 21-31.
16
AM. Waskito, Pro dan Kontra Maulid Nabi, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014), hal. 23-24.

11
Sebetulnya ketiga teori sejarah di atas dapat dikompromikan tanpa harus dipertentangkan
satu sama lain. Dalam buku biografi Shalahuddin Al-Ayyubi, Ali Muhammad Ash-Shalabi
memaparkan sejumlah fakta menarik.17 Ketika hendak menaklukkan Mesir yang dikuasai Dinasti
Ubaid, Shalahuddin tidak lantas menggunakan cara-cara fisik. Sebab, pengaruh Syiah Rafidhah
telah mengakar kuat di Mesir selama bertahun-tahun dan tidak mudah untuk mencabutnya. Untuk
itu, Shalahuddin mengambil langkah-langkah kultural dengan menghapus budaya Syiah Rafidhah
satu per satu. Tujuannya agar tidak terlalu mencolok dan perlahan menarik simpati rakyat Mesir.
Maka, Shalahuddin tetap mengadakan Maulid Nabi sebagai salah satu metodenya sambil perlahan
menghapus hari raya lain, melepas pengaruh Syiah dari lembaga-lembaga pendidikan termasuk Al-
Azhar, hingga mengganti khutbah Jumat yang menyebut Khalifah Al-Adhid (Syiah) dengan nama
Khalifah Abbassiyah saat itu.

Praktik Shalahuddin ini ternyata menarik perhatian Malik Muzhaffar Kukbari di Irbil.
Sehingga beliau pun mengadakan perayaan Maulid Nabi pula. Apalagi Malik Muzhaffar merupakan
sejawat Shalahuddin dalam Perang Salib. Tidak heran hubungan antara keduanya pun cukup erat.

3. Praktik Maulid Nabi

Hingga hari ini, hampir di seluruh negara mengadakan perayaan Maulid Nabi kecuali Arab
Saudi. Itu pun masih diadakan di beberapa wilayah di Arab Saudi oleh jamaah Syaikh Muhammad
Alawi Al-Maliki, walaupun tertutup. Uniknya, setiap tempat memiliki cara-cara tersendiri dalam
melaksanakan perayaan Maulid Nabi ini.

Di Indonesia, ada beragam cara masyarakat memperingati Maulid Nabi. Ada yang sekadar
memanfaatkan momentum Maulid Nabi saja. Mereka lalu mengadakan ceramah, lomba-lomba,
pameran buku, bazar produk Muslim, bakti sosial, dan sebagainya. Kegiatan ini biasa diadakan di
sekolah-sekolah, kantor, dan sejumlah masjid. Tak jarang momentum ini dimanfaatkan pula oleh
para pedagang untuk mencari untung. Karena biasanya acara-acara semacam ini akan mengundang
massa dalam jumlah besar. Para pedagang ini cukup memakai peci dan baju koko untuk
menyesuaikan penampilan. Soal kemudian mereka shalat atau tidak shalat, mendengarkan ceramah
atau tidak, itu urusan lain.

Ada pula perayaan Maulid Nabi yang diadakan secara rutin dan serius. Acara biasanya diisi
dengan pembacaan ayat Al-Qur‟an, sambutan tokoh, lantunan syair-syair pujian kepada Rasulullah,
zikir dan shalawat bersama-sama, pembacaan Manaqib (riwayat hidup) Rasulullah, doa bersama-
sama, dan lain-lain.
17
Ali Muhammad Ash-Shalabi, Shalahuddin Al-Ayyubi, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2013), hal. 253-255.

12
Ketika pembacaan Manaqib Nabi, sampai di bacaan tertentu, para jamaah biasanya diminta
untuk berdiri dan bersama-sama membacakan shalawat untuk Rasulullah Saw. Saat itulah, banyak
peserta kegiatan Maulid Nabi meyakini bahwa ruh Rasulullah hadir di tengah-tengah mereka.
Dalam konteks ini, perayaan Maulid Nabi bukan lagi sekadar perkara muamalah, namun sudah
bersifat ritual atau ibadah.

Sejumlah komunitas kepercayaan juga kerap mengadakan perayaan Maulid Nabi, seperti
Kraton Yogya (Sekaten), Kraton Solo (Grebeg Mulud), dan Kraton Cirebon. Acara yang diadakan
biasanya kental dengan suasana mistis. Pusaka-pusaka kerajaan yang selama ini disimpan, lalu
dikeluarkan, dimandikan, diarak, dan dipamerkan kepada masyarakat. Tidak ketinggalan ritual tabur
kembang, membakar kemenyan, dan persembahan makanan untuk makhluk ghaib tertentu.
Masyarakat yang hadir pada acara ini biasanya mengharapkan berkah dari makanan yang dibagi-
bagikan. Mereka berharap dapat hidup bahagia, lancar rezeki, mudah jodoh, dan sebagainya dengan
sekadar berebut makanan-makanan itu. Padahal bisa jadi dalam keseharian mereka tidak shalat,
tidak menutup aurat, dan mengerjakan perkara-perkara haram.

Negara lain pun tak mau kalah. Di Pakistan, Maulid Nabi dirayakan dengan memainkan
genderang dan terompet selama 12 hari pertama Rabi‟ul Awwal. Setelah diadakan ceramah sebagai
puncak acara, seribu gadis cantik lalu tampil menyajikan tarian serta digelar pertunjukan akrobat
dan puisi. Di India, masyarakat memasak beberapa jenis makanan untuk dipersembahkan kepada
ruh Nabi dan fakir-miskin.18

Dari sekian banyak tata-cara perayaan Maulid Nabi, sebetulnya Imam Suyuthi, Syaikh
Yusuf Qardhawi, dan Syaikh Muhammad Alawi Al-Maliki sebagai ulama yang mendukung
kegiatan ini telah memberikan sejumlah koridor.

Imam Suyuthi berkata, “Menurutku, asal amalan Maulid adalah orang-orang berkumpul,
lalu membaca apa-apa yang mudah baginya dari Al-Qur‟an, kemudian meriwayatkan riwayat-
riwayat tentang Nabi Saw. dan apa yang terjadi pada kelahirannya berupa tanda-tanda kemuliaan;
kemudian menghidangkan makanan, lalu mereka memakannya; kemudian selesai, tidak ada
tambahan apa-apa lagi (min ghairi ziyadatin „ala dzalika). Yang demikian ini termasuk bid‟ah
hasanah, yang pelakunya diberi ganjaran (oleh Allah), karena mereka telah meninggikan keagungan
Nabi Saw., berbahagia dan bergembira atas kelahirannya.”

Sedangkan Syaikh Muhammad Alawi Al-Maliki ketika menjelaskan dalil ke-21 kebolehan
Maulid Nabi menjelaskan:
18
AM. Waskito, Pro dan Kontra Maulid Nabi, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014), hal. 28-41.

13
“Semua yang disebutkan sebelumnya tentang dibolehkannya peringatan Maulid Nabi Saw.
secara syariat, hanyalah pada peringatan-peringatan yang tidak disertai perbuatan-perbuatan munkar
yang tercela, yang wajib ditentang. Adapun jika peringatan Maulid mengandung hal-hal yang wajib
diingkari, seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, dilakukannya perbuatan-perbuatan
terlarang, banyaknya pemborosan, dan perbuatan-perbuatan lain yang tak diridhai Shahibul Maulid
(Rasulullah Saw.), tak diragukan lagi bahwa (acara seperti) itu diharamkan. Tetapi keharamannya
bukan pada peringatan Maulidnya, melainkan pada hal-hal yang terlarang tersebut.”19

C. TINJAUAN DALIL SYAR’I

Para ulama terbagi dalam tiga pendapat mengenai Maulid Nabi. Ada yang mendukung, ada
yang menolak secara bulat, serta ada pula yang tidak terlalu mendukung dan tidak menolak secara
mutlak. Berikut adalah landasan syar‟i dari masing-masing pendapat.

1. Pendapat Pertama: Mendukung Perayaan Maulid Nabi

Ada begitu banyak dalil yang dipakai oleh para pendukung Maulid Nabi. Berikut penulis
akan sarikan 21 dalil kebolehan Maulid Nabi yang disampaikan Syaikh Muhammad Alawi Al-
Maliki dalam kitab Haula al-Ihtilaf bi Dzikri Al-Maulidin Nabawi Al-Syarif.

1. Peringatan Maulid Nabi Saw. merupakan ungkapan kegembiraan dan kebahagiaan terhadap
kelahiran Al-Musthafa Saw.
2. Rasulullah Saw. senantiasa mengagungkan hari kelahirannya dan bersyukur kepada Allah
Yang Maha Tinggi. Beliau Saw. mengungkapkan pengagungan itu dengan cara berpuasa
sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits dari Abu Qatadah:
Ketika Rasulullah Saw. ditanya tentang puasa beliau pada hari senin, beliau pun bersabda,
“Pada hari itu aku dilahirkan dan pada hari itu pula aku (untuk pertama kali) menerima
wahyu.” (H.r. Muslim)
Dan ini adalah semakna dengan perayaan Maulid Nabi, hanya saja bentuknya berbeda.
3. Kegembiraan karena hadirnya beliau Saw. merupakan sesuatu yang diperintahan dalam Al-
Qur‟an, Allah Swt. berfirman, “Katakanlah: „Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya,
hendaklah dengan itu mereka bergembira.” (Qs. Yunus: 58)
Allah Swt. menyuruh kita bergembira atas rahmat-Nya, sedangkan Nabi Saw. adalah rahmat
Allah yang paling agung. “Dan tiadalah kami mengutusmu untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam.” (Qs. Al-Anbiya: 107)

19
Ibid, hal. 41-43.

14
4. Rasulullah sangat memperhatikan waktu-waktu penting yang terjadi di masa lampau, lalu
beliau mengambil momentumnya untuk memperingati dan menghormati hari tersebut. Hal
ini sebagaimana kisah ketika Rasulullah pertama kali tiba di Madinah dan melihat kaum
Yahudi berpuasa pada Hari „Asyura. Beliau lalu bertanya mengenai hal itu, dan ada yang
menjawab, “Sesungguhnya mereka berpuasa karena Allah menyelmatkan Nabi mereka
(Musa) dan menenggelamkan musuh mereka (Fir‟au dan tentaranya). Oleh karena itu,
mereka berpuasa sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat tersebut.” Rasulullah lalu
bersabda, “Kami lebih berhak atas Musa daripada kalian.” Kemudian beliau menyuruh para
shahabat untuk berpuasa juga.
5. Pembacaan kisah hidup Rasulullah Saw. dapat mengantar kita mengucapkan shalawat dan
salam untuk beliau Saw. Sebagaimana hal itu dianjurkan dalam Al-Qur‟an, “Sesungguhnya
Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang beriman
bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS.
Al-Ahzab: 56)
6. Kisah-kisah dalam perayaan Maulid Nabi membantu kita untuk mengenal beliau,
mengikutinya, meneladaninya, mempercayai mukjizat-mukjizatnya, serta membenarkan
tanda-tanda kenabiannya.
7. Perayaan Maulid Nabi adalah upaya untuk membalas jasa beliau dengan menjelaskan sifat-
sifat beliau yang sempurna dan akhlak beliau yang utama.
8. Menambah kecintaan dan kesempurnaan iman kepada Nabi Saw. dengan mengenal
mukjizat, akhlak, dan irhas beliau.
9. Penghormatan kepada beliau Saw. merupakan sesuatu yang disyariatkan. Dan bergembira
atas kelahiran beliau dengan membuat acara jamuan, perkumpulan majelis zikir, serta
memuliakan fakir-miskin termasuk dalam perwujudan pengagungan tersebut.
10. Dari hadits beliau tentang keutamaan Hari Jumat, “Dan pada hari itu diciptakanlah Adam.”
Kita dapat mengambil kesimpulan mengenai kemuliaan waktu kelahiran seorang nabi. Lalu
bagaimana dengan hari kelahiran seorang Nabi yang utama dan Rasul mulia?
11. Peringatan Maulid Nabi telah dinilai baik oleh para ulama dan dilaksanakan oleh kaum
muslimin di berbagai negara. Oleh karena itu, Maulid Nabi termasuk sesuatu yang
dianjurkan syariat berdasarkan hadits mauquf dari Ibnu Abbas, “Apa yang dipandang orang-
orang Muslim baik, maka itu adalah baik di sisi Allah. Dan apa yang dipandang buruk oleh
orang-orang Muslim, maka itu adalah buruk di sisi Allah.” (H.r. Ahmad)
12. Atsar shahabat atau tabi‟in yang mengatakan, “Peringatan Maulid meliputi perkumpulan
sesama ikhwan, zikir, sedekah, puji-pujian, dan pemuliaan kehadirat Nabi Saw. merupakan
sunnah. Perkara-perkara itu adalah perkara yang dianjurkan dan terpuji dalam syari‟at.”

15
13. Hari ini kita membutuhkan peneguhan hati dengan membaca kisah hidup Rasulullah Saw.
sebagaimana dahulu beliau diteguhkan hatinya oleh Allah dengan kisah para nabi terdahulu.
“Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu (wahai Muhammad), ialah
kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu...” (Qs. Hud: 120)
14. Tidak semua perkara yang tidak dilakukan oleh para generasi salaf merupakan bid‟ah yang
buruk, haram dilakukan, dan wajib diingkari. Setiap perkara tersebut harus dihukumi
berdasarkan dalil-dalil syar‟i.
15. Tidak semua bid‟ah itu haram. Jika begitu, kita bisa menyebut pembentukan mushaf Al-
Qur‟an di masa Abu Bakar ra. dan shalat tarawih berjamaah di era Umar bin Khattab
sebagai sebuah bid‟ah.
16. Meski tidak pernah dilakukan di masa Rasulullah Saw., namun kita dapat menyebut Maulid
Nabi sebagai bid‟ah hasanah. Karena perkara ini tercakup dalam dalil-dalil syar‟i yang
bersifat umum.
17. Semua yang dilihat secara utuh tidak ada pada awal masa Islam, tetapi perincian-perincian
amalnya ada, maka itu juga dituntut oleh syara‟. Karena apa yang tersusun dari hal-hal yang
berasal dari syara‟, pun dituntut oleh syara‟.
18. Imam Syafi‟i berkata, “Hal-hal baru yang menyalahi Al-Qur‟an, sunnah, ijma‟, atau atsar,
maka ia adalah bid‟ah yang menyesatkan. Sedangkan suatu hal baru yang tidak menyalahi
salah satu dari keempatnya, maka ia (bid‟ah) yang terpuji.
19. Segala kebaikan yang tercakup dalam dalil-dalil syar‟i yang tidak dimaksudkan untuk
menentang syari‟at serta tidak mengandung sesuatu yang mungkar, maka kebaikan itu
termasuk syari‟at agama Islam.
20. Peringatan Maulid Nabi adalah upaya menghidupkan kembali ingatan kita tentang Nabi
Saw. dan itu merupakan hal yang dianjurkan dalam Islam.
21. Semua yang disebutkan sebelumnya tentang dibolehkannya peringatan Maulid Nabi Saw.
secara syariat, hanyalah pada peringatan-peringatan yang tidak disertai perbuatan-perbuatan
mungkar yang tercela, yang wajib ditentang. Adapun jika peringatan Maulid mengandung
hal-hal yang wajib diingkari, seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, dilakukannya
perbuatan-perbuatan terlarang, banyaknya pemborosan, dan perbuatan-perbuatan lain yang
tak diridhai Shahibul Maulid (Rasulullah Saw.), tak diragukan lagi bahwa (acara seperti) itu
diharamkan. Tetapi keharamannya bukan pada peringatan Maulidnya, melainkan
pada hal-hal yang terlarang tersebut.20

20
Muhammad bin Alawi Al-Maliki, Wajibkah Memperingati Maulid Nabi Saw.?, (Surabaya: Cahaya Ilmu, 2007), hal. 43-
65.

16
Tentu masih banyak lagi dalil yang diungkapkan oleh para pendukung Maulid Nabi.
Beberapa ulama yang mendukung perayaan Maulid Nabi, di antaranya: Al-Hafizh Ibnu Dihyah Al-
Kalbi, Al-Hafizh Ibnul Jauzi, Imam Izzudin bin „Abdissalam, Imam An-Nawawi, Al-Hafizh Ibnu
Hajar Al-Asqalani, Imam Jalaludin As-Suyuthi, Ibnu Hajar Al-Haitami, Syaikh Ramadhan Al-
Buthi, Syaikh Ali Jum‟ah, Syaikh Yusuf Qardhawi, dan sebagainya.

Dalil-dalil para pendukung Maulid Nabi tidak lepas dari kritikan dan bantahan dari
kelompok yang menolak perayaan Maulid Nabi. Pembaca bisa merujuknya ke dalam buku Pro dan
Kontra Maulid Nabi karangan AM. Waskito dan Siapa Bilang Perayaan Maulid Nabi Bid‟ah?
Karangan Abu Muawiah Muhammad Arwan, S.Pd.I.

2. Pendapat Kedua: Menolak Perayaan Maulid Nabi

Para penentang perayaan Maulid Nabi pun tidak kalah mengeluarkan seluruh argumennya.
Dalil-dalil yang mereka pakai, antara lain:

1. Para ulama salaf, dari kalangan shahabat Nabi Saw., tabi‟in, tabi‟ut tabi‟in, serta para imam
madzhab tidak merayakan Maulid Nabi. Kalau bukan mereka, lalu siapa lagi yang patut kita
ikuti dan teladani?
2. Perayaan Maulid Nabi adalah sarana yang dapat menjerumuskan seseorang kepada
perbuatan syirik. Kita kerap mendengar pujian-pujian yang dibacakan dalam Maulid Nabi
sampai mendudukkan beliau pada kedudukan Tuhan. Misal dalam Qasidah Al-Burdah,
terdapat lafadz, “Wahai engkau manusia yang termulia dari sekalian alam. Kepada siapa
lagi aku harus meminta pertolongan. Pada saat musibah datang..”
3. Maulid Nabi merupakan perbuatan bid‟ah, sehingga dilarang dalam agama Islam. Perbuatan
ini diadakan oleh orang-orang sebagai sesuatu yang menyerupai syari‟at dengan tujuan
beribadah kepada Allah.
4. Perbuatan ini jelas-jelas menyerupai orang-orang kafir (tasyabbuh). Kita merayakan hari
kelahiran Rasulullah Saw. sebagaimana kaum Nasrani merayarakan hari kelahiran Nabi Isa
as. Rasulullah Saw. bersabda, “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka orang itu
termasuk golongan mereka.” (H.r. Abu Daud)
5. Banyak kemungkaran terjadi di dalam perayaan Maulid Nabi. Hal ini bisa dirujuk dalam
kitab At-Tanbihat Al-Wajibat Li Man Yashna‟ul Maulid bil Munkarat (Peringatan yang
Wajib Disampaikan Bagi Orang yang Merayakan Maulid Denagn Kemungkaran) karangan
KH. Hasyim Asy‟ari.
6. Tak jarang perayaan Maulid Nabi diadakan sampai larut malam. Keesokannya, para jamaah
justru bangun kesiangan dan tidak melaksanakan shalat shubuh berjamaah di masjid.

17
7. Perayaan Maulid Nabi termasuk dalam perbuatan mubazir. KH. Hasyim Asy‟ari menulis,
“Di antara kemungkarannya adalah apa yang telah disebutkan sebelum ini, seperti adanya
musik dan permainan yang menyerupai perjudian. Serta kemungkaran-kemungkaran lain, di
antaranya perbuatan mubazir dengan membuang-buang harta dan menggunakannya pada
hal-hal yang dilarang agama.”
8. Perayaan ini hanyalah membuang waktu dengan percuma. Karena kita telah mengadakan
kegiatan yang tidak diperintahkan oleh agama, bahkan termasuk perbuatan bid‟ah.
9. Maulid Nabi merupakan salah satu sebab kemunduran umat Islam karena isi acara Maulid
Nabi membuat kebodohan tersebar di tengah umat. Rasyid Ridha berkata, “Perayaan-
perayaan Maulid itu sama halnya dengan pasar kejahatan, di dalamnya ada minuman keras,
tempat berdansa bersama para wanita yang telanjang dan membinasakan, serta acara lawak
yang diadakan untuk membuat para hadirin tertawa-tawa.”
10. Bukankah bulan Rabi‟ul Awwal juga merupakan hari wafatnya Rasulullah? Mengapa kita
harus bergembira pada bulan itu?21

Selain itu, fakta bahwa Rasulullah lahir pada tanggal 12 Rabi‟ul Awwal pun masih menjadi
perdebatan di kalangan ulama. Syaikh Shafiyyurrahman dalam Ar-Rahiq Al-Makhtum menukil
penelitan yang dilakukan seorang ulama terkenal, Muhammad Sulaiman Al-Manshurfury dan
peneliti astronomi, Mahmud Basya yang menyebut bahwa Rasulullah Saw. lahir pada tanggal 9
Rabi‟ul Awwal.22

Ulama-ulama yang menentang perayaan Maulid Nabi, antara lain Imam Asy-Syathibi, Ibnul
Hajj, Al-Fakihani, Ibnu Taimiyah, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Syaikh Muhammad
Ibrahim Alu Syaikh, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, dan lain-lain. Dalil-dalil yang
mereka kemukakan pun tidak luput pula dari bantahan kelompok pendukung Maulid Nabi. Pembaca
dapat merujuk dalam buku Pro dan Kontra Maulid Nabi karya AM. Waskito untuk mengetahuinya.

3. Pendapat Ketiga: Moderat

Di antara dua pendapat yang saling bertentangan tersebut, ternyata ada satu pendapat yang
dapat dibilang cukup moderat. Pendapat ini tidak anti terhadap Maulid Nabi, namun tidak bisa
dibilang mendukung juga. Salah satu kelompok atau badan yang menyuarakan pendapat ini ialah
Majelis Tarjih Muhammadiyah. Dalam fatwanya tentang Maulid Nabi, dinyatakan:

21
Ibnu Saini bin Muhammad bin Musa, Benarkah Shalahuddin Al-Ayubi Merayakan Maulid Nabi?, (Jakarta: Maktabah
Mu’awiyah bin Abi Sufyan, 2014), hal. 116-126.
22
Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri, Sirah Nabawiyah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2012), hal. 45.

18
“Pada prinsipnya, Tim Fatwa belum pernah menemukan dalil tentang perintah
menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi saw, sementara itu belum pernah pula menemukan dalil
yang melarang penyelenggaraannya. Oleh sebab itu, perkara ini termasuk dalam perkara ijtihadiyah
dan tidak ada kewajiban sekaligus tidak ada larangan untuk melaksanakannya. Apabila di suatu
masyarakat Muslim memandang perlu menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi Saw. tersebut,
yang perlu diperhatikan adalah agar jangan sampai melakukan perbuatan yang dilarang serta harus
atas dasar kemaslahatan. Perbuatan yang dilarang di sini, misalnya adalah perbuatan-perbuatan
bid'ah dan mengandung unsur syirik serta memuja-muja Nabi Muhammad Saw. secara berlebihan,
seperti membaca wirid-wirid atau bacaan-bacaan sejenis yang tidak jelas sumber dan dalilnya.”23

Majelis Tarjih Muhammadiyah memandang bahwa dalil-dalil yang dikemukakan dua


pendapat sebelumnya adalah dalil-dalil yang umum. Tidak ada dalil yang secara eksplisit
membolehkan atau melarang perayaan Maulid Nabi.

Dalil-dalil tentang keutamaan puasa hari senin, latar belakang sejarah puasa „Asyura, juga
perintah dalam Al-Qur‟an agar kaum muslimin bergembira atas rahmat Allah, tidak dianggap
sebagai dalil yang memerintahkan Maulid. Sedangkan dalil hadits tentang bid‟ah, larangan meniru
perilaku orang kafir, fakta bahwa generasi salaf tidak mengadakan Maulid, serta fakta bahwa
Maulid pertama kali diadakan oleh Dinasti Ubaid yang beraliran Syiah Rafidhah, tidak dianggap
sebagai dalil larangan.

C. KESIMPULAN HUKUM

Sebelum sampai kepada kesimpulan hukum Maulid Nabi dalam pandangan Islam, penulis
perlu memberikan sejumlah keterangan untuk memperjelas praktik perayaan Maulid Nabi:

1. Perayaan Maulid Nabi telah diadakan selama beratus-ratus tahun oleh banyak umat Islam di
berbagai negara.
2. Di Indonesia, Maulid Nabi telah menjadi budaya yang mengakar kuat. Mulai dari yang
dosisnya ringan, sampai yang menganggapnya sebagai ibadah bahkan dibumbui dengan
kegiatan-kegiatan mistis.
3. Tidak ada dalil-dalil sharih (eskplisit) yang membolehkan atau melarang perayaan Maulid
Nabi.
4. Maulid Nabi adalah perkara khilafiyah ijtihadiyah fiqhiyah yang tidak membuat pelakunya
keluar dari Islam, kecuali jika pelakunya secara nyata melakukan perbuatan syirik.

23
Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, Fatwa Tarjih: http://www.fatwatarjih.com/2011/09/peringatan-maulid-
nabi-muhammad-saw.html, diakses 07 Septembar 2016 pkl 13.15 WIB.

19
Oleh karena itu, dalam hal ini penulis tidak menggunakan Thariqah Ar-Rajih atau
menguatkan satu dalil lalu melemahkan dalil yang lain. Jika demikian, justru akan semakin
memperlebar perpecahan di kalangan umat Islam, khususnya di Indonesia. Sebagai tradisi yang
sudah mengakar kuat, tentu Maulid Nabi tidak dapat dihapuskan begitu saja. Perlu diperhatikan,
dalam buku Pro dan Kontra Maulid Nabi, AM. Waskito menyebutkan sebuah fakta menarik.
Maulid Nabi disebut oleh beliau sebagai salah satu corong Syiah Rafidhah untuk menguatkan
ajarannya. Selama ini mereka membuat nasyid dan puji-pujian terhadap Rasulullah Saw. disertai
pujian terhadap sosok Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain. Sebagaimana dapat disimak pada lirik
lagu-lagu ciptaan Hadad Alwi. Kemudian mereka mencoba mengadu-domba kaum muslimin
dengan membesar-besarkan isu perselisihan seputar Maulid Nabi.24

Maka, untuk mengambil kesimpulan hukum, penulis menggunakan Thariqah Jam‟u atau
mencoba menggabungkan semua dalil-dalil yang ada. Penulis berpendapat bahwa pada dasarnya
Maulid Nabi boleh saja diadakan, dengan beberapa syarat:

1. Sebagai sebuah tradisi, hendaknya Maulid Nabi tidak dianggap sebagai indikator mutlak
bukti kecintaan pada Rasulullah Saw. Kecintaan dan penghormatan kita pada Rasulullah
Saw. harus dibuktikan dalam kehidupan sehari-hari dengan mengerjakan serta
meninggikan sunnah-sunnahnya, mempelajari kehidupannya secara utuh termasuk jihad
dan cara beliau mengelola negara, serta meneladaninya dalam setiap aspek kehidupan
baik dalam bidang akhlak, ibadah, pemerintahan, hukum, militer, ekonomi, sosial,
budaya, dan sebagainya.
2. Perayaan Maulid Nabi tidak dianggap sebagai perbuatan ibadah yang wajib dan rutin
dilakukan. Tidak mengadakan Maulid Nabi tidaklah berdosa apalagi dihukumi sesat.
3. Acara perayaan Maulid Nabi tidak diisi dengan perbuatan syirik, praktik paganisme, dan
kemaksiatan. Semisal menganggap bahwa ruh Rasulullah hadir pada acara Maulid Nabi,
mengharap berkah dari makanan-makanan yang dihidangkan, bercampurnya laki-laki
dan perempuan, tarian-tarian, meminum khamr, pulang larut malam, menghaburkan
uang dan sebagainya.
4. Hendaknya mengadakan perayaan Maulid Nabi tidak sampai melalaikan kaum muslimin
dari kewajiban dan sunnah-sunnah yang utama, seperti shalat shubuh berjamaah, shalat
Tahajud, dan lain-lain. Selain itu, hendaknya setiap orang memperhatikan bahwa uang
yang dipakai mengadakan Maulid Nabi secara besar-besaran bisa jadi dapat
dimanfaatkan untuk sesuatu yang lebih penting bagi umat.

24
AM. Waskito, Pro dan Kontra Maulid Nabi, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014), hal. 54-56.

20
BAGIAN III
PENUTUP
Demikianlah pemaparan sederhana mengenai Mengirim Pahala Bacaan Al-Qur‟an Kepada
Mayit dan Maulid Nabi dalam pandangan Islam. Perlu ditekankan sekali lagi, keduanya merupakan
permasalahan khilafiyah ijtihadiyah fiqhiyah. Perbedaan pendapat di dalamnya tidak sampai
membuat seseorang atau kelompok menjadi sesat apalagi keluar dari Islam. Kecuali orang atau
kelompok tersebut jelas-jelas mengerjakan perbuatan syirik.

Hendaknya setiap orang berlaku berlapang dada dan menyikapi perbedaan dengan kepala
yang dingin. Berpecah-belah untuk perkara yang ulama pun berselisih di dalamnya sungguh
perbuatan yang sangat tidak berguna. Hari ini umat Islam memiliki musuh-musuh yang jelas ada di
depan mata, seperti Syiah Rafidhah, para liberalis, orientalis, kaum penggiat LGBT dan feminisme,
serta masih banyak lagi.

Sebagaimana sebuah kaidah yang dirintis oleh Syaikh Rasyid Ridha, “Nata‟awanu fi maa
i‟talafna, wa nata‟adzaru ba‟dhuna ba‟dha fi maa ikhtilafna” (kita bekerja sama dalam hal-hal
yang kita sepakati, dan kita saling bertoleransi satu sama lain dalam hal-hal yang kita berbeda
pendapat). Allahu a‟lam. []

21
Daftar Pustaka

Abdat, Abdul Hakim bin Amir. 2016. Hukum Tahlilan (Selamatan Kematian) Menurut Empat
Madzhab dan Hukum Membaca Al-Qur‟an Untuk Mayit Bersama Imam Asy-Syafi‟i. Jakarta:
Maktabah Mu‟awiyah bin Abi Sufyan.

Arfaj, Abdul Ilah bin Husain Al. 2013. Konsep Bid‟ah dan Toleransi Fiqih. Jakarta: Al-I‟tishom.

Arvan, Abu Muawiah Muhammad. 2012. Siapa Bilang Perayaan Maulid Nabi Bid‟ah?. Bogor:
Khazanah Islamiah.

Jawas, Yazid bin Abdul Qadir. 2015. Yasinan. Bogor: Media Tarbiyah.

Mahfuzh, Ali. 2009. Kupas Tuntas Bid‟ah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Maliki, Muhammad bin Alawi Al. 2007. Wajibkah Memperingati Maulid Nabi Saw?. Surabaya:
Cahaya Ilmu.

Mubarakfuri, Shafiyurrahman Al. 2012. Sirah Nabawiyah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Saini, Ibnu. 2014. Benarkah Shalahuddin Al-Ayyubi Merayakan Maulid Nabi. Jakarta: Maktabah
Mu‟awiyah bin Abi Sufyan.

Shalabi, Ali Muhammad Ash. 2013. Shalahuddin Al-Ayyubi. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Sidawi, Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As. 2012. Hukum Tahlilan (Selamatan Kematian) dan
Perayaan Haul (Ulang Tahun Kematian). Bogor: Media Tarbiyah.

Waskito, AM. 2014. Pro dan Kontra Maulid Nabi. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

http://eramuslim.com

http://fatwatarjih.com

http://kbbi.web.id

http://rumahfiqih.com

https://konsultasisyariah.com

22

Anda mungkin juga menyukai