Debbie Idiopatik Trombositopenia Purpura PBL 24

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 28

Idiopatik Trombositopenia Purpura

Debbie Cinthia Dewi - 102009021


Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510
Dee_misscheerfull@yahoo.com

I. PENDAHULUAN

Thrombocytopenic idiopatik purpura (ITP) adalah kondisi abnormal


rendah memiliki platelet count ( trombositopenia ) dari penyebab yang tidak diketahui
( idiopatik ). Sebagian besar kasus ITP tampaknya terkait dengan antibodi yaitu
produksi terhadap trombosit, kekebalan thrombocytopenic purpura atau
trombositopenia imun adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi
ini. Seringkali ITP asimtomatik (tanpa gejala yang jelas) dan dapat ditemukan secara
kebetulan, tetapi jumlah trombosit sangat rendah dapat menyebabkan peningkatan
risiko perdarahan dan purpura.

ITP didiagnosis dengan hitung darah lengkap (yang umum tes darah ). Dalam
beberapa situasi, pemeriksaan tambahan (seperti biopsi sumsum tulang ) mungkin
diperlukan untuk memastikan bahwa jumlah trombosit tidak turun karena alasan lain.
Perawatan mungkin tidak diperlukan dalam kasus ringan, tetapi jumlah yang sangat
rendah atau perdarahan yang signifikan kemungkinan dapat memicu pengobatan
dengan steroid, imunoglobulin intravena, imunoglobulin anti-D , atau obat
immunosuppresive kuat. ITP Refractory (ITP tidak responsif terhadap pengobatan
konvensional) mungkin memerlukan splenektomi, yaitu operasi pengangkatan limpa.
Transfusi trombosit dapat dilaksanakan pada keadaan pendarahan parah dengan
jumlah yang sangat rendah. Tapi kadang-kadang tubuh dapat mengkompensasi
dengan membuat trombosit normal besar.

1
II. ISI
Kasus
Nn.AN 29th datang ke poliklinik dengan keluhan pada kanan dan kirinya, serta
kaki kanan dan kaki kiri timbul bintik-bintik merah di sadari sejak 3 hari yang lalu,
pasien juga mengatakan mengalami mimisan dan gusi berdarah beberapa kali.
Pasien tidak mengalami demam, mual, muntah, sakit pada bagian tubuh. Riwayat
menstruasi baik lamanya maupun darah yang keluar, masih dalam batas wajar.
Pasien tidak sedang mengkonsumsi obat apapun saat ini. Menurut pasien tidak ada
keluarga yang memiliki penyakit serupa.

PF : Tampak sakit ringan


TB : 170 cm, BB : 72 Kg, TD : 110/80mmhg
Suhu badan : 36,7 derajat celcius
Nafas : 90x/m, RR : 18x/m
Mata : tidak anemis, sclera tidak ikterik
Hidung : cavum nasi lapang, secret -, darah-, polip-, dorsum nasi krepitus-,
Leher : KGB tidak teraba membesar
Thorak cor/pulmo : dalam batas normal, Abdomen : dalam batas normal
Hepar/lien : tidak teraba membesar
Ekstremitas superior : petikie +/+, Ekstremitas inferior : petikie +/+

ANAMNESIS
1. Identitas pasien : Nona AN 29th
2. Keluhan utama pasien
o Lengan kanan dan kirinya, serta kaki kanan dan kaki kiri timbul bintik-
bintik merah di sadari sejak 3 hari yang lalu.
3. Riwayat penyakit sekarang
o Mengalami mimisan dan gusi berdarah beberapa kali.
o Tidak merasakan demam, mual, muntah, sakit pada bagian tubuh
Adapun beberap hal yang bisa kita tanyanya:
 Sejak kapan terjadinya? Trombositopenia terjadi 1-3 minggu setelah
infeksi bakteri atau virus (infeksi saluran nafas atas atau saluran cerna),

2
misalnya Rubella, Rubeola, Chicken Pox atau vaksinasi dengan virus
hidup

 Bagaimana Riwayat perdarahan? gejala dan tipe perdarahan? lama


perdarahan? riwayat sebelum perdarahan.?
 Apakah selama ini mengkonsumsi obat-obat seperti: heparin,
sulfonamid, quinidine/quinine, aspirin?
4. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat mestruasi baik (lamanya maupun darah yang keluar masih dalam
batas wajar)
5. Riwayat penyakit keluarga
o Tidak ada keluarga yang memiliki penyakit serupa.

PEMERIKSAAN FISIK
Tujuan pemeriksaan fisik adalah untuk:3
Menunjukan adanya penyakit lain yang dapat menyebakan terjadi trombositopenia
Melihat tanda-tanda fisik yang menunjukan adanya perdarahan intrakranial yang
serius.
A. Tanda-tanda Vital
Adanya hipertensi dan bradikardi menunjukan adanya peningkatan tekanan
intrakranial dan adanya perdarahan intrakranial.3
B. Inspeksi
 Umum : adanya tanda-tanda penyakit kronis, infeksi, wasting, dan tanda-tanda
gizi buruk menunjukan adanya penyakit lain yang menyertai.3
 Kulit dan selaput lendir 3
 Sebuah kesan awal keparahan purpura trombositopenik idiopatik (PTI)
dibentuk dengan memeriksa kulit dan selaput lendir.
 Petechiae luas dan ekimosis, mengalir dari sebuah situs venipuncture,
perdarahan gingiva, dan bullae hemoragik menunjukkan bahwa pasien pada
risiko komplikasi perdarahan yang serius. Jika tekanan darah pasien diambil
baru-baru ini, petechiae dapat diamati di bawah dan distal ke daerah mana
manset ditempatkan dan meningkat.
 Trombositopenia ringan dan resiko yang relatif rendah untuk perdarahan
komplikasi

3
 serius dapat bermanifestasi sebagai petechiae di atas pergelangan kaki pada
pasien
 yang rawat jalan atau di belakang pada pasien yang terbaring di tempat tidur.
C. Palpasi Abdomen
 Pada anak-anak dengan purpura trombositopenia idopatik (PTI), adanya
pembesaran limpa tidak khas.3
 Pada orang dewasa, hepatosplenomegali juga atipikal untuk purpura
trombositopenia idopatik (PTI) dan mungkin menunjukkan hati kronis dan
penyakit lainnya. Bahkan, splenomegali termasuk diagnosis purpura
trombositopenia idiopatik (PTI).3

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboraorium
 Tes Darah Lengkap
Pemeriksaan Darah Lengkap (Complete Blood Count / CBC) yaitu suatu jenis
pemeriksaaan penyaring untuk menunjang diagnosa suatu penyakit dan atau untuk
melihat bagaimana respon tubuh terhadap suatu penyakit. Disamping itu juga
pemeriksaan ini sering dilakukan untuk melihat kemajuan atau respon terapi pada
pasien yang menderita suatu penyakit . 5
a. Kadar Hemoglobin (Hb)
Hb merupakan zat protein yang ditemukan di eritrosit yang memberi warna merah
pada darah. Kadar hemoglobin biasanya menurun pada anemia. Namun seseorang
pasien itu dikatakan tidak anemik sampai kadar hemoglobin < 10.5 g/dl. Perdarahan
dapat menyebabkan rendahnya kadar Hb darah jika tidak segera diganti namun
kadarnya tidak menurun dengan cepat dan akan tetap normal selama beberapa jam,
bahkan beberapa hari.
Peningkatan hemoglobin akan terjadi sekiranya terdapat dehidrasi.
Setelah klien diberikan penggantian pencairan, kadar hemoglobin harus kembali
kerentang normal. 5

Tabel 1. Nilai Rujukan Hb


DEWASA ANAK
Pria : 13 – 17 g/dL BBL : 14 – 24 g/dL
Wanita : 12 – 15 g/dL Bayi : 10 – 17 g/dL

4
Anak : 11 -16 g/dL

b. Hitung leukosit, trombosit, eritrosit


Hitung sel darah adalah suatu pemeriksaan untuk menentukan jumlah seldalam setiap
mikroliter darah. Ketetapan dan ketelitian hasil pemeriksaan inisangat tergantung dari
ketetapan dan ketelitian pengenceran volume darah yang diperiksa dan kecermatan
ketika menghitung sel tersebut dengan menggunakan mikroskopik. Pemeriksaan ini
dapat dilakukan dengan cara manual atau automatik. Cara manual dilakukan dengan
melakukan pengenceran darah dalam suatu larutan tertentu. 
Selanjutnya sel darah dalam volume pengenceran akan
dihitung dengan menggunakan kamar hitung. Kamar hitung yang lazimdigunakan
adalah kamar hitung Improved Neubauer. Dengan cara automatik, penghitungan sel
menjadi lebih mudah, lebih cepat dan teliti. Kelemahannya adalah biayanya yang
lebih mahal dan memerlukan perawatan yang cermat. 5
Tabel 2. Nilai rujukan
Eritrosit Leukosit Trombosit
Pria: 4.5 – 5.9 × 106/µL 4.5 – 11 × 103/µL atau 150 – 350 × 103/µL atau
atau 4.5 – 11 × 109 L 150- 350 × 109 L
4.5 – 5.9 × 109 L
Wanita: 4 – 4.2 × 106/µL
atau 4 – 5.2 × 109 L

c. Laju endap darah (LED)


LED adalah laju sel darah merah menetap dalam darah sebelum membeku,dengan
satuan milimeter per jam (mm/jam). Dapat dilakukan dalam dua metode yaitu metode
Westergren dan Wintrobe.
LED dapat meningkat selama proses inflamasi akut, infeksi akut dan kronis,kerusakan
jaringan (nekrosis), reumatoid, penyakit kolagen, malignansi dankondisi stres
fisiologis seperti masa kehamilan. 5
LED dapat menurun pada polisitemia vera, CHF, anemia sel sabit,mononukleosis infe
ksius, defisiensi faktor V, artritis degenaratif, angina pektoris. 5

5
Tabel 3. Nilai rujukan LED

d. Hitung retikulosit
Berdasarkan hasil pemeriksaan hitung retikulosit dapat dinilai aktivitaseritropoiesis. B
ila aktivitas eritropoiesis meningkat maka jumlah retikulosit meningkat. Peningkatan
aktivitas eritropoiesis dapat dijumpai pada pasca pendarahan,anemia hemolitik, dan
pengobatan anemia yang berhasil.
Tabel 4. Nilai rujukan hitung retikulosit

 Sediaan hapus darah tepi untuk menilai morfologi trombosit


Pemeriksaan sediaan hapus darah tepi termasuklah pemeriksaan laboratorium rutin
yang bertujuan mengevaluasi morfologi sel darah tepi. Pada pemeriksaan ini yang
dilihat adalah keadaan eritrosit, leukosit, trombosit. Dalam kasus terfokuskan untuk
melihat morfologi trombosit. Dengan pemeriksaan sediaan hapus darah tepi dapat
diperkirakan jumlah trombosit. Dalam keadaan normal terdapat 4-8 trombosit/100
eritrosit. Selain itu perlu diperhatikan pual ada tidaknya kelainan morfologi trombosit
seperti giant thrombocyte atau atypical thrombocyte. 5

 Nilai eritrosit rata-rata


a. Volume Eritrosit Rata-rata (VER)
VER = Ht (%) / E (juta/dl) x 10 (fL)
*Nilai rujukan : 82 92 Fl

6
b. Hemoglobin Eritrosit Rata-rata (HER)
HER = Hb (g/dl) / E (juta/uL) x 10 (pg)
*Nilai rujukan : 27 – 31 pg
c. Konsentrasi Hemoglobin Eritrosit Rata-rata (KHER)
KHER = Hb (g/dl) / Ht (%) x 100 %
Nilai rujukan : 32 – 37 %

 Tes Hemostasis
Perlu dilakukan pada keadaan symptom perdarahan, riwayat perdarahan dalam
keluarga, sebelum pembedahan. Terbagi menjadi: 5
1. Tes Penyaring
a. Masa perdarahan (bleeding time)
b. Percobaan pembendungan (Rumple & Leede)
c. Hitung trombosit (platelet count)
d. Masa protrombin (prothrombin time), menguji pembekuan darah jalan
ekstrinsik dan jalan bersama. Nilai normal: 11.1 - 13.1 detik. Pelaporan dalam
International Normalised Ratio (INR)  Normal: INR = 1.
e. Masa tromboplatin parsial teraktivasi ( activated partial thromboplastin time=
aPPT), menguji pembekuan darah jalan intrinsic dan jalan bersama. Normal
aPTT: <34 detik.
f. Masa thrombin (thrombin time), menguji perubahan fibrinogen menjadi fibrin.
Normal 16-24 detik.
g. Tes skrining untuk faktor XIII, tidak dapat ditetapkan dengan pemeriksaan
masa protrombin, aPTT atau masa thrombin.
2. Tes khusus
– Platelet aggregation (dengan Adenosis Diphosphate = ADP, epinephrin,ristoce
tin)
– Fibrin degration product (FDP), D dimer 
– Thrombotest
– Antithrombin III
– Protein C
– Protein S
– Assai F. VIII, F. IX

7
– Von Willerbrand’s factor 
– Thromboplastin Generation Test (TGT)
– Protrombin Consumption Test (PCT)
– Thrombin – antithrombin complex
– Prothrombin fragment 1.1
– Fibrinopeptida A
– Fibrin monomer complex

 Tes sumsum tulang

Tes yang dapat membantu mengidentifikasi penyebab trombosit yang rendah adalah
sebuah ujian sumsum tulang. Trombosit diproduksi di sumsum tulang yaitu bagian
yang lunak dan mempunyai jaringan spons di pusat tulang besar. Dalam beberapa
kasus, sample sumsum tulang padat dibuang disebuah prosedur yang disbeut biopsy
sumsum tulang. Selain itu bisa juga dilakukan aspirasi sum-sum tulang yang
mehilangkan bagian cairan pada tulang. Pada kebanyakan kasus, kedua-dua sampel
sumsum tulang pada dan cair diambil di tempat yang sama di bagian belakang salah
satu tulang pinggul.Jarum dimasukkan ke dalam tulang melalui satu insisi. Hasil yang
didapatkan ialah peningkatan jumlah megakariosit serta ada gambaran multinuclearity
serta lobulasi. Hal ini disebabkan karena kompensasi oleh sumsum tulang terhadap
keadaan trombositopenia. 5,6

WORKING DIAGNOSIS
Umumnya pasien dibawa berobat dengan keluhan bercak-bercak perdarahan
pada kulit anggota gerak berupa petekia, ekimosis atau memar. Kadang-kadang
berupa epistaksis, dan perdarahan gusi atau saluran pencernaan dan saluran kemih.
Purpura trombositopenik idiopatik atau idiopathic thrombocytopenic purpura Purpura
trombositopenik idiopatik atau idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP) secara
klinis dibagi menjadi 2 golongan yaitu ITP akut dan ITP kronik. ITP kronik lebih
banyak pada wanita dewasa dan berjalan menahun. Sebagian besar ITP kronik timbul
karena proses autoimun, timbulnya autoantibody terhadapt antigen trombosit sendiri,
sehingga terjadi destruksi trombosit dalam darah tepi. Gambaran klinis berupa
perdarahan kulit yaitu purpura, dapat dalam bentuk ptekhie atau ekismosis,
perdarahan mukosa dan pada wanita terutama dalam bentuk menorrhagia. Diagnosis

8
ditegakkan jika terdapat trombositopenia pada darah tepi dengan sumsum tulang
menunjukkan megakariosit normal atau meningkat. Diagnosis ditunjang dengan
adanya antibody antitrombosit, serta ekslusi terhdapat penyebab trombositopenia
sekunder. ITP pada orang dewasa biasanya berjalan pelan-pelan. Kegawatan dapat
timbul jika terjadi trombositopenia berat yang menimbulkan perdarahan. Penderita
dengan trombosit <20.000/mm3 akan disertai perdarahan kulit (ekismosis & ptekhie),
bruishing dan perdarahan mukosa. Jika trombosit < 10.000/mm3 dapat menimbulkan
bahaya perdarahan otak atau perdarahan GIT dengan angka kematian 40%.9
Tabel 1. Perbedaan TPI akut dan kronik.

AKUT KRONIK

Umur 2-6 tahun Dewasa

Jenis kelamin Laki : wanita = 1 : 1 Laki : Wanita = 1 : 3


Ada infeksi yang + 80 %(16 minggu
Jarang
mendahului sebelumnya)

Permulaan Akut Perlahan-lahan


Jumlah trombosit < 20.000/mm3 40.000-80.000/mm3
Eosinofili dan
Sering Jarang
limfositosis
Kadar IgA Normal Lebih rendah
Berbulan-bulan sampai bertahun-
Lama penyakit Biasanya 2-6 minggu
tahun
Penyembuhan spontan Perjalanan penyakit menahun
Remisi spontan
pada 80% kasus dengan jumlah trombosit naik turun

DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
a. Demam Berdarah Bengue (DBD)
Demam dengue adalah demam virus akut yang disertai sakit kepala, nyeri otot,
sendi dan tulang, penurunan jumlah sel darah putih dan ruam-ruam. Demam
berdarah dengue/dengue hemorrhagic fever (DHF) adalah demam dengue yang
disertai pembesaran hati dan manifestasi perdarahan. Pada keadaan yang parah bisa
terjadi kegagalan sirkulasi darah dan pasien jatuh dalam syok hipovolemik akibat
kebocoran plasma. Keadaan ini disebut dengue shock syndrome (DSS).7
PENYEBAB
Demam dengue dan DHF disebabkan oleh salah satu dari 4 serotipe virus yang

9
berbeda antigen. Virus ini adalah kelompok Flavivirus dan serotipenya adalah
DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Infeksi oleh salah satu jenis serotipe ini akan
memberikan kekebalan seumur hidup tetapi tidak menimbulkan kekebalan terhadap
serotipe yang lain. Sehingga seseorang yang hidup di daerah endemis DHF dapat
mengalami infeksi sebanyak 4 kali seumur hidupnya.
Dengue adalah penyakit daerah tropis dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti.
Nyamuk ini adalah nyamuk rumah yang menggigit pada siang hari. Faktor resiko
penting pada DHF adalah serotipe virus, dan faktor penderita seperti umur, status
imunitas, dan predisposisi genetis. 7
GEJALA
Infeksi oleh virus dengue menimbulkan variasi gejala mulai sindroma virus
nonspesifik sampai perdarahan yang fatal. Gejala demam dengue tergantung pada
umur penderita. Pada bayi dan anak-anak kecil biasanya berupa demam disertai
ruam-ruam makulopapular. Pada anak-anak yang lebih besar dan dewasa, bisa
dimulai dengan demam ringan atau demam tinggi (>39 derajat c) yang tiba-tiba dan
berlangsung selama 2 - 7 hari, disertai sakit kepala hebat, nyeri di belakang mata,
nyeri sendi dan otot, mual-muntah dan ruam-ruam. Bintik-bintik perdarahan di kulit
sering terjadi, kadang kadang disertai bintik-bintik perdarahan di farings dan
konjungtiva. Penderita juga sering mengeluh nyeri menelan, tidak enak di ulu hati,
nyeri di tulang rusuk kanan dan nyeri seluruh perut. Kadang-kadang demam
mencapai 40-41OC dan terjadi kejang demam pada bayi. DHF adalah komplikasi
serius dengue yang dapat mengancam jiwa penderitanya, ditandai oleh : 7
 demam tinggi yang terjadi tiba-tiba
 manifestasi perdarahan
 hepatomegali/pembesaran hati
 kadang-kadang terjadi syok manifestasi perdarahan pada dhf dimulai dari
tes torniquet positif dan bintik-bintik perdarahan di kulit (ptechiae). Ptechiae
ini bisa terlihat di seluruh anggota gerak, ketiak, wajah dan gusi. juga bisa
terjadi perdarahan hidung, perdarahan gusi, perdarahan dari saluran cerna
dan perdarahan dalam urin.

Berdasarkan gejalanya DHF dikelompokkan menjadi 4 tingkatan : 7


Derajat I : demam diikuti gejala tidak spesifik. satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah tes torniquet yang positif atau mudah memar.

10
Derajat II : gejala yang ada pada tingkat I ditambah dengan perdarahan spontan.
perdarahan bisa terjadi di kulit atau di tempat lain.
Derajat III : kegagalan sirkulasi ditandai oleh denyut nadi yang cepat dan lemah,
hipotensi, suhu tubuh yang rendah, kulit lembab dan penderita gelisah.
Derajat IV : syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak
dapat diperiksa. fase kritis pada penyakit ini terjadi pada akhir masa demam.
Setelah demam selama 2 - 7 hari, penurunan suhu biasanya disertai dengan tanda-
tanda gangguan sirkulasi darah. penderita berkeringat, gelisah, tangan dan kakinya
dingin, dan mengalami perubahan tekanan darah dan denyut nadi. Pada kasus yang
tidak terlalu berat gejala-gejala ini hampir tidak terlihat, menandakan kebocoran
plasma yang ringan. Bila kehilangan plasma hebat, akan terjadi syok, syok berat
dan kematian bila tidak segera ditangani. Kondisi yang buruk bisa segera ditangani
dengan diagnosa dini dan pemberian cairan pengganti. Trombositopeni dan
hemokonsentrasi sudah dapat dideteksi sebelum demam turun dan terjadi syok. 
Pada penderita dengan DSS kondisinya dengan segera memburuk. Ditandai dengan
nadi cepat dan lemah, tekanan darah menyempit sampai kurang dari 20 mmhg atau
terjadi hipotensi. Kulit dingin, lembab dan penderita mula-mula terlihat mengantuk
kemudian gelisah. Bila tidak segera ditangani penderita akan meninggal dalam 12 -
24 jam. Dengan pemberian cairan pengganti, kondisi penderita akan segera
membaik. Pada syok yang berat sekalipun, penderita akan membaik dalam 2 -3
hari. Tanda-tanda adanya perbaikan adalah jumlah urine yang cukup dan
kembalinya nafsu makan. Syok yang tidak dapat diatasi biasanya berhubungan
dengan keadaan yang lain seperti asidosis metabolik, perdarahan hebat di saluran
cerna atau organ lain. Perdarahan yang terjadi di otak akan menyebabkan penderita
kejang dan jatuh dalam keadaan koma.

DIAGNOSA
Pada awal mulainya demam, dhf sulit dibedakan dari infeksi lain yang disebabkan
oleh berbagai jenis virus, bakteri dan parasit.  Setelah hari ketiga atau keempat baru
pemeriksaan darah dapat membantu diagnosa. Diagnosa ditegakkan dari gejala
klinis dan hasil pemeriksaan darah : 7
 Trombositopeni, jumlah trombosit kurang dari 100.000 sel/mm3
 Hemokonsentrasi, jumlah hematokrit meningkat paling sedikit 20% di atas
rata-rata.

11
 Hasil laboratorium seperti ini biasanya ditemukan pada hari ke-3 sampai ke-
7. 
Kadang-kadang dari x-ray dada ditemukan efusi pleura atau hipoalbuminemia yang
menunjukkan adanya kebocoran plasma. Kalau penderita jatuh dalam keadaan
syok, maka kasusnya disebut sebagai Dengue Shock Syndrome (DSS). 7

b. Drug induced immune thrombocytopenia


Beberapa jenis obat seperti quinine, sedormid, heparin serta garam emas dapat
menyebabkan timbulnya trombositopenia. Mekanisme ini dapat terjadi akibat
pengaruh sistem imun. Oleh karena itu penting bagi kita untuk menanyakan riwayat
pemakaian obat saat melakukan anamnesis pasien. Quinine merupakan suatu obat
malaria bagi Plasmodium falciparum. Penggunaan obat ini dalam jangka waktu
yang lama dapat menyebabkan kegagalan hemostasis yang bermanifestasi klinik
sebagai purpura maupun ekimosis, serta perdarahan pada sistem saraf pusat.
Mekanismenya dicurigai karena kompleks imun yang tertarik oleh glikoprotein 1b
pada keping darah yang kemudian dihancurkan oleh sistem retikulo endotelial.8
Garam emas yang digunakan sebagai pengobatan rheumatoid arthritis dapat
menyebabkan trombositopenia dengan onset yang cepat. Hal ini dicurigai karena
adanya peranan HLA DR3. Pada pasien yang mengalami rheumatoid arthritis,
penggunaan NSAID dapat menyebabkan depresi sumsum tulang dan
hipersplenisme yang juga dapat menyebabkan trombositopenia. 8
Heparin merupakan suatu obat antikoagulasi yang bekerja dengan cara berikatan
pada antitrombin-3 yang kemudian meningkatkan aktivitasnya sehingga
menghambat terjadinya koagulasi darah. Trombosititopenia yang terjadi akibat
penggunaan heparin biasanya ringan. Trombositopenia dengan derajat yang lebih
berat dapat terlihat jika heparin digunakan dalam jangka waktu 7-14 hari.
Peningkatan IgG dan C3 pada platelet dicurigai dapat menyebabkan terbentuknya
kompleks heparin-platelet. Hal ini akan mempersulit saat dilakukan pengobatan
karena dapat muncul trombosis karena adanya kompleks ini. Sedangkan heparin
merupakan obat yang digunakan dalam kondisi ini. Oleh karena ini harus
digunakan antikoagulan lain seperti warfarin dan streptokinase untuk mengatasi
trombosis tersebut. 8

c. Koagulasi Intravaskuler Diseminata (KID)

12
KID atau disseminated intravascular coagulation (DIC) adalah suatu kesatuan klinis
dan patologis yang di akibatkan oleh aktivasi tidak terkendali system koagulasi dan
system fibrinolitik, sehingga pada saat yang sama dapat menimbulkan thrombosis
dan perdarahan. Sindrom ini dapat dijumpai pada hampir semua disiplin klinis,
khususnya pada bidang gawat darurat. DIC bukanlah suatu kesatuan penyakit,
tetapi merupakan akibat sekunder dari berbagai penyakit dasar tertentu.9
Dilihat dari segi pathogenesis:
1. DIC dapat dipicu oleh pelepasan bahan prokoagulan (faktor jaringan
= tissue factor) ke dalam sirkulasi
2. DIC dapat juga dipicu oleh kerusakan endotel yang luas seperti pada
sepsis atau infeksi virus
3. Agregasi trombosit yang luas juga dapat memicu timbulnya DIC
Ketiga hal diatas akan menyebabkan aktivasi kaskade koagulasi, baik jalur intrinsic
maupun ekstrinsik sehingga menghasilkan fibrin yang menyebabkan terjadinya
thrombosis. Pembentukan fibrin yang meluas ini akan merangsang fibrinolisis
sekunder yang menghasilkan FDP (fibrin/fibrinogen degradation product). FDP
bekerja sebagai antikoagulan yang menghambat kerja thrombin. Pembentukan
fibrin yang berlebihan akan menyebabkan konsumsi berlebihan trombosit dan fakto
pembekuan sehingga terjadi trombositopenia dan defisiensi faktor pembekuan.
Ketiga hak diatas akan menimbulkan perdarahan-perdarahan. Sedangkan
thrombosis akan menimbulkan kerusakan organ terutama hati, ginjal dan SSP
sehingga terjadi multiple organ failure. 9
Diagnosis DIC dibuat jika terdapat: a) gejala perdarahan, b) gagal organ multiple,
c) trombositopenia, d) aPTT dan waktu thrombin memanjang, titer/kadar fibrinogen
menurun, e) FDP meningkat, f) apusan darah tepi menunjukkan adanya anemia
hemolitik mikroangiopatik dengan adanya fragmentosit, g) pada setting penyakit
dasar yang sesuai. Pemeriksaan D-dimer yang merupakann petanda pemecahan
fibrin ikat silang sekarang dianggap lebih spesifik dibandingkan dengan
pemeriksaan FDP. 9
Gambaran klinis:
Manifestasi klinisnya KID bisa berkaitan dengan etilogi KID itu sendiri ataupun
keduanya. Perdarahan pada kulit seperti petekie, ekimosis dari bekas suntik atau
infuse atau pada mukosa, sering terjadi pada pristiwa akut. Pendarahan tersebut
dapat masif dan membahayakan misalkan pendarahan pada trakturs gastrointestinal,

13
paru, susunan saraf pusat atau mata. Pasien dengan KID kronik umumnya hanya
disertai sedikit perdarahan pada kulit dan mukosa. 9
Thrombosis mikrovaskular dapat menyebabkan disfungsi organ yang luas. Pada
kulit dapat berupa bula hemoragik, nekrosis akral dan gangrene. Thrombosis vena
dan arteri besar dapat terjadi tetapi jarang. Disfungsi organ akibat mikrotrombosis
yang luas ini dapat berupa iskemia korteks ginjal, hipoksemia hingga perdarahan
dan acute respiratory distress syndrome (ARDS) pada paru serta penurunan
kesadaran. Disfungsi hati dengan ikterus dilaporkan terdapat pada 22-57% pasien
KID. Bisa juga terdapat pembentukan sitokin dan kinin: takikardi, hipotensi dan
edema.
Dari hasil labolatorium didapatkan: 9
 Bukti adanya aktivasi koagulasi:
Peningkatan protrombin, D-dimer, fibrinopeptide A dan B
 Bukti adanya akitnasi fibrinolisis
Peningkatan PAP (plasmin-antiplasmin), D-Dimer, FDP (fibrinogen
degradation products)
 Bukti adanya konsumsi inhibitor
Penurunan aktivitas antitrombin (AT), protein C dan protein S
 Bukti di fungsi organ
Peningkatan ureum, kreatinin, LDH
 Apus darah tepi
Burr cell, fragmentosit, trombostitopeni.

d. Hemofilia
Hemofilia merupakan gangguan koagulasi herediter atau didapat yang paling sering
di jumpai, bermanifestasi sebagai episode perdarahan intermiten. Hemofilia
disebabkan oleh mutasi gen faktor VIII (FVIII) atau faktor IX (FIX), di
kelompokan sebagai hemifilia A dan hemofilia B. Kedua gen tersebut terletak pada
kromosom x, sehingga termasuk penyakit resesif terkait-X. Oleh karena itu, semua
anak perempuan dari laki-laki yang menderita hemofilia adalah karier penyakit, dan
anak laki-laki tidak terkena. Anak laki-laki dari perempuan yang karier
kemungkinan 50% untuk menserita penyakit hemofilia. Dapat terjadi wanita
homozigot dengan hemofilia (ayah hemofilia, ibu karier), tetapi keadaan ini sangat

14
jarang terjadi. Kira-kira 33% pasien tidak memiliki riwayat keluarga dan mungkin
akaibat mutasi spontan.10
Dua jenis utama hemofilia yang secara klinis identik adalah: (1) hemofilia klasik
atau hemofilia A, yang ditemukan adanya defisiensi atau tidak adanya aktivitas
faktor antihemofilia VIII, dan (2) penyakit Christmas, atau hemofilia B, yang di
temukan adanya defisiensi atau tidak adanya aktivitas faktor IX. Hemofilia
diklasifikasikan sebagai (1) berat, dengan kadar aktivitas faktor kurang dari 1% (2)
sedang, dengan kadar aktivitas di anatara 1% dan 5% serta (3) ringan, jika 5% atau
lebih. Perdarahan spontan dapat terjadi jika kadar aktivitas faktor kurang dari 1%.
Akan tetapi, pada kadar 5% atau lebih, perdarahan umumnya terjadi berkaitan
dengan trauma atau prosedur pembedahan. Manifestasi klinis meliputi perdarahan
jariangan lunak, otot, dan sendi, terutama sendi-sendi yang menopang berat badan,
disebut hemartrosis (perdarahan sendi). Perdarahan berulang ke dalam sendi
menyebabkan degenerasi kartilago artikularis disertai gejalgejala artritis.
Perdarahan retroperitonial dan intrakranial merupakan keadaan yang mengancam
jiwa. Derajat perdarahan berkaitan dengan banyaknya aktifitas faktor dan beratnya
cedera. Perdarahan dapat terjadi segera atau berjam-jam setelah cedera. Perdarahan
karena pembedahan sering terjadi pada semua pasien hemofilia, dan sgala prosedur
pembedahan yang diantisipasi memerlukan penggantian faktor secara agresif
sewaktu praoperasi dan pascaoperasi sebanyak lebih dari 50% tingkat aktivitas. 10
Diagnosis laboratorium meliputi pengukuran kadar faktor yang sesui: faktor VIII
untuk hemofilia A atau faktor IX untuk hemofilia B. Karena faktor-faktor VIII dan
IX merupakan bagian jalur intrinsik koagulasi, maka PPT memanjang, sedangkan
PT, yang tidak melalui jalur intrinsik tetap normal. Waktu perdarahan, pemeriksaan
fungsi trombosit biasanya normal, tetapi dapat terjadi perdarahan yang terlambat
karena stabilisasi fibrin yang tidak adekuat. Jumlah trombosit normal. 10

ETIOLOGI
Penyebab pastinya belum diketahui (idiopatik) Kemungkinan disebabkan :Penyakit
ini sering timbul terkait dengan sensitisasi oleh infeksi virus; pada kira-kira 70%
kasus ada penyakit yang mendahului seperti rubella, rubeola, atau infeksi saluran
napas atas virus. Jarak waktu antara infeksi dan awitan purpura rata-rata 2 minggu.
Seperti pada bentuk dewasa, tampaknya mekanisme imun merupakan dasar pada
trombositopenia. Antibodi trombosit dapat ditemukan pada beberapa kasus akut.

15
1. Hipersplenisme
2. Intoksikasi makanan atau obat (Asetosal, Para Amino Salisilat (PAS)
3. Bahan kimia
4. Pengaruh fisik (radiasi, panas)
5. Kekurangan faktor pematangan (malnutrisi)
6. DIC (Disseminated Intravaskular Coagulation).
7. Autoimun

PATOFISIOLOGIS

Sindroma PTI disebabkan oleh autoantibodi trombosit spesifik yang berikatan


dengan trombosit autolog kemudian dengan cepat dibersihkan dari sirkulasi oleh
sistem fagosit mononuklear melalui reseptor Fc makrofag.
Pada tahun 1982 Van Leeuwen pertama mengidentifikasi membran trombosit
glikoprotein IIb/IIIa (CD41) sebagai antigen yang dominan dengan
mendemonstrasikan bahwa autoantibodi eluate dari trombosit pasien PTI berikatan
dengan trombosit normal.

Diperkirakan bahwa PTI diperantarai oleh suatu autoantibodi, mengingat


kejadian transient trombositopeni pada neonatus yang lahir dari ibu yang menderita
PTI,dan perkiraan ini didukung oleh kejadian transient trombositopeni pada orang
sehat yang menerima tranfusi plasma kaya igG,dari seorang penderita PTI. Trombosit
yang diselimuti oleh autoantibodi igG akan mengalami percepatan pembersihan di
lien dan di hati setelah berikatan dengan reseptor Fcg yang diekspresikan oleh
makrofag jaringan. Pada sebagian besar penderita,akan terjadi mekanisme kompensasi
dengan peningkatan produksi trombosit. Pada sebagian kecil yang lain,produksi
trombosit tetap terganggu,sebagian akibat destruksi trombosit yang diselimuti oleh
autoantibodi oleh makrofag di dalam sumsum tulang (intramedullary), atau karena
hambatan pembentukan megakariosit (megakaryocytopoiesis), kadar trombopoetin
tidak meningkat,menunjukkan adanya masa megakariosit normal.
Untuk sebagian kasus PTI yang ringan,hanya trombosit yang diserang,dan
megakariosit mampu untuk mengkompensasi parsial dengan meningkatkan produksi
trombosit. Penderita PTI dengan tipe ini dapat dikatakan menderita PTI kronik tetapi
stabil dengan jumlah trombosit yang rendah pada tingkat yang aman. Pada kasus yang

16
berat,auto antibodi dapat langsung menyerang antigen yang terdapat dalam trombosit
dan juga pada megakariosit. Pada tipe ini produksi trombosit terhenti dan penderita
harus menjalani pengobatan untuk menghindari risiko perdarahan internal/organ-
organ dalam.
Antigen pertama yang berhasil diidentifikasi berasal dari kegagalan antibodi
PTI untuk berikatan dengan trombosit yang secara genetik kekurangan kompleks
glikoprotein Iib/IIIa. Kemudian berhasil diidentifikasi antibodi yang bereaksi dengan
glikoprotein Ib/IX, Ia/Iia, IV dan V dan determinan trombosit yang lain. Juga
dijumpai antibodi yang bereaksi terhadap berbagai antigen yang berbeda. Destruksi
trombosit dalam sel penyaji antigen yang diperkirakan dipicu oleh antobodi, akan
menimbulkan pacuan pembentukan neoantigen,yang berakibat produksi antibodi yang
cukup untuk menimbulkan trombositopeni.
Secara alamiah,antibodi terhadap kompleks glikoprotein Iib/IIIa
memperlihatkan restriksi penggunaan rantai ringan,sedangkan antobodi yang berasal
dari displai phage menunjukkan penggunaan gen VH . Pelacakan pada daerah yang
berikatan dengan antigen dari antibodi-antibodi ini menunjukkan bahwa antibodi
tersebut berasal dari klon sel B yang mengalami seleksi afinitas yang diperantarai
antigen dan melalui mutasi somatik. Penderita PTI dewasa sering menunjukkan
peningkatan jumlah HLA-DR + T cells,peningkatan jumlah reseptor interleukin 2 dan
peningkatan profil sitokin yang menunjukkan aktivasi prekursor sel T helper dan sel T
helper tipe 1. Pada pasien-pasien ini, sel T akan merangsang sintesis antibodi setelah
terpapar fragmen glikoprotein Iib/IIIa tetapi bukan karena terpapar oleh protein alami.
Penurunan epitop kriptik ini secara in vivo dan alasan aktivasi sel T yang bertahan
lama tidak diketahui dengan pasti.

17
Gambar 1. Patogenesis penyebaran epitop pada purpura trombositopenia idiopatik (PTI)
Dari gambar 1 dapat memperjelas bahwa,faktor yang memicu produksi autoantibodi
tidak diketahui. Kebanyakan penderita mempunyai antibodi terhadap glikoprotein
pada permukaan trombosit pada saat penyakit terdiagnosis secara klinis. Pada
awalnya glikoprotein Iib/IIIa dikenali oleh autoantibodi,sedangkan antibodi yang
mengenali glikoprotein Ib/IX belum terbentuk pada tahap ini (1). Trombosit yang
diselimuti autoantibodi akan berikatan dengan sel penyaji antigen (makrofag atau sel
dendritik) melalui reseptor Fcg kemudian mengalami proses internalisasi dan
degradasi (2). Sel penyaji antigen tidak hanya merusak glikoprotein Iib/IIIa,tetapi juga
memproduksi epitop kriptik dan glikoprotein trombosit yang lain (3). Sel penyaji
antigen yang teraktivasi (4) mengekspresikan peptida baru pada permukaan sel
dengan bantuan kostimulasi (yang ditunjukkan oleh interaksi antara CD 154 dan CD
40) dan sitokin yang berfungsi memfasilitasi proliferasi inisiasi CD4-positif T cell
clone (T-cell clone-1) dan spesifitas tambahan (T-cell clone 2) (5). Reseptor sel
imunoglobin sel B yang mengenali antigen trombosit (B-cell clone 2) dengan
demikian akan menginduksi proliferasi dan sintesis antiglikoprotein 1b/IX antibodi
dan juga meningkatkan produksi antiglikoprotein IIb/IIIa antibodi oleh B-cell clone 1.

EPIDEMIOLOGI

Insiden ITP pada anak antara 4,0-5,3/100.000, ITP akut umumnya terjadi pada anak-
anak usia antara 2-6 tahun. 7-28% anak-anak dengan ITP akut berkembang menjadi
kronik 15-20%. ITP pada anak berkembang menjadi bentuk ITP kronik pada beberapa

18
kasus menyerupai ITP dewasa yang khas. Insiden ITP yang kronis pada anak
diperkirakan 0,46/100.000 anak pertahun. Insiden ITP kronik dewasa adalah 58-66
kasus baru per satu juta populasi per tahun (5,8-6,6 per 100.000) di Amerika dan
serupa yang ditemukan di Inggris. ITP kronik pada umumnya terdapat pada orang
dewasa dengan median rata-rata usia 40-45 tahun. Rasio antara perempuan dan laki-
laki adalah 1:1 pada penderita ITP akut sedangkan pada ITP kronik adalah 2-3:1.
Penderita ITP refrakter ditemukan kira-kira 25-30% dari jumlah penderita ITP.
Kelompok ini mempunyai respon jelek terhadap pemberian terapi dengan morbiditas
yang cukup bermakna dan mortalitas kira-kira 16%.6

Faktor Resiko
Pada kasus ini pasien menderita idiopathic trombositopenic purpura (ITP), dengan
jenis kelamin sebagai faktor resiko, yaitu wanita dimana wanita beresiko 2x lipat
lebih sering terkena ITP daripada pria, untuk penyebab pastinya tidak diketahui. 5

MANIFESTASI KLINIS
Gejala ITP merupakan pembentukan bintik-bintik kecil purpura dan petechiae
terutama pada ekstremitas, perdarahan dari lubang hidung, perdarahan pada gusi dan
menorrhagia (berlebihan perdarahan menstruasi ), apapun dapat terjadi jika jumlah
trombosit di bawah 20.000 per ml.

PTI Akut
PTI akut lebih sering dijumpai pada anak, jarang pada umur dewasa, awitan penyakit
biasanya mendadak, riwayat infeksi sering mengawali terjadinya perdarahan berulang,
sering dijumpai eksantem pada anak-anak (rubeola dan rubella) dan penyakit saluran
napas yang disebabkan oleh virus merupakan 90% dari kasus pediatrik
trombositopenia imunologik. Virus yang paling banyak diidentifikasi adalah varisella
zooster dan Ebstein barr. Manifestasi perdarahan PTI akut pada anak biasanya ringan,
perdarahan intrakranial terjadi kurang dari 1% pasien. Pada PTI dewasa, bentuk akut
jarang terjadi, namun umumnya terjadi bentuk yang kronis.. PTI akut pada anak
biasanya self limiting, remisi spontan teijadi pada 90% pasien, 60% sembuh dalam 4-
6 minggu dan lebih dari 90% sembuh dalam 3-6 bulan. 6

19
PTI Kronik
Awitan PTI kronik biasanya tidak menentu, riwayat perdarahan sering dari ringan
sampai sedang, infeksi dan pembesaran lien jarang terjadi, serta memiliki perjalanan
klinis yang fluktuatif. Episode perdarahan dapat berlangsung beberapa hari sampai
beberapa minggu, mungkin intermitten atau bahkan terus menerus. Remisi spontan
jarang terjadi dan tampaknya remisi tidak lengkap. 6
Manifestasi perdarahan PTI berupa ekimosis, petekie, purpura, pada umumnya
berat dan frekuensi perdarahan berkorelasi dengan jumlah trombosit. Secara umum
hubungan antara jumlah trombosit dan gejala antara lain bila pasien dengan AT
>50.000/µL maka biasanya asimptomatik, AT 30.000-50.000 /µL terdapat luka
memar/hematom, AT 10.000-30.000/µL terdapat perdarahan spontan, menoragia dan
perdarahan memanjang bila ada luka, AT <10.000/mL terjadi perdarahan mukosa
(epistaksis, perarahan gastrointestinal dan gastrourinaria) dan resiko perdarahan
system pusat.
Pasien secara sistemik baik dan biasanya tidak demam. Gejala yang
dikeluhkan berupa perdarahan pada mukosa atau kulit. Jenis-jenis perdarahan seperti
hidung berdarah, mulut perdarahan, menoragia, purpura, dan petechiae. Perdarahan
gusi dan epistaksis sering terjadi, ini dapat berasal dari lesi petekie pada mukosa
nasal, juga dapat ditemukan pada tenggorokan dan mulut. Traktus genitourinaria
merupakan tempat perdarahan yang paling sering, menoragia dapat merupakan gejala
satu-satunya dari PTI dan mungkin tampak pertama kali pada pubertas. Hematuria
juga merupakan gejala yang sering. Perdarahan gastrointestinal bisanya
bermanifestasi melena dan lebih jarang lagi dengan hematemesis. Perdarahan
intracranial dapat terjadi, hal ini dapat mengenai 1% pasien dengan trombositopenia
berat. 6
 Sebuah hitungan yang sangat rendah (<10.000 per ml) dapat menyebabkan
pembentukan hematoma (massa darah) pada mulut atau pada selaput lendir .
Waktu pendarahan luka kecil atau lecet biasanya berlangsung lama.
 Serius dan kemungkinan komplikasi yang fatal pada hitungan yang sangat rendah
(<5.000 per ml) dapat mencakup subaraknoid atau perdarahan intraserebral
(pendarahan di dalam tengkorak atau otak ), perdarahan gastrointestinal lebih
rendah atau perdarahan internal lainnya. Seorang pasien ITP dengan jumlah yang
sangat rendah rentan terhadap pendarahan internal yang disebabkan oleh trauma

20
tumpul abdomen, sepert kecelakaan kendaraan bermotor . Komplikasi ini tidak
mungkin pada pasien yang jumlah trombosit di atas 20.000 per ml

PENATALAKSANAAN

Pada prinsipnya pengobatan PTI adalah untuk menurunkan kadar PA IgG, meskipun
dahulu splenektomi merupakan terapi yang paling baik tetapi sejak 1950 terapi utama
yang dianjurkan sebelum splenektomi adalah steroid. Peranan stroid adalah untuk
menekan aktivitas fagosit makrofag di limpa, menekan sintesis autoantibodi,
meningkatkan efektifitas sintesis trombosit serta memperbaiki resistensi vaskuler.
Pada penderita yang responsive terhadap terapi steroid maka akan terjadi penurunan
kadar autoantibody dan peningkatan trombosit. Efek steroid pada umumnya terlihat
setelah terapi 24-48 hari. Steroid yang biasa digunakan adalah prednisone dan
dosisnya 1 mg/kg, pada kasus yang berat diperlukan dosis yang lebih tinggi, bila
diperlukan steroid parenteral dianjurkan memakai metilprednisolon sodium suksinat
selama 3 hari dengan dosis 1 g/hari. Evaluasi pemberian steroid biasanya dilakukan
setelah pengobatan 2-4 minggu, bila responsive dengan steroid dosis hendaknya
diturunkan secara pelan-pelan sampai kadar trombosit stabil atau dipertahankan
sekitar 50.000/mm3. Adapun hasil terapi dengan steroid dibagi dalam empat
kelompok yaitu: 6, 10
1. Respon lengkap: terdapat perbaikan klinis dan kenaikan trombosit mencapai
100.000/mm3 atau lebih serta tidak terjadi trombositopeni berulang bila dosis
steroid diturunkan.
2. Respon parsial: ada pernaikan klinis dan peningkatan trombosit mencapai
50.000/mm3 tetatpi<100.000/mm3 serta memerlukan terapi steroid dosis
rendah untuk mencegah perdarahan dengan jangka waktu lebih 6 bulan.
3. Respon minimal: ada perbaikan klinis tetapi peningkatan trombosit tidak
dapat mencapai 50.000/mm3 atau masi ada perdarahan tetapi ada kenaikan
trombosit dapat mencapai diatas 50.000/mm3 dan memerlukan terapi steroid
dosis rendah dengan jangka waktu lebih dari 6 bulan.
4. Tidak respon: tidak ada perbaikan klinis dan kenaikan trombosit tidak bisa
mencapai 50.000/mm3 setelah terapi steroid dosis maksimal.
Bila terapi steroid dianggap gagal, maka segera dianjurkan dilakukan splenektomi.
Angka keberhasilan splenektomi bertujuan untuk mencegah terjadinya destruksi

21
trombosit yang telah terliputi dengan antibody serta menurunkan sintesa antibody
platelet. Penderita yang refrakter terhadap terapi steroid dan splenektomi memerlukan
terapi yang serius, mereka memerlukan terapi imunosupresif lain. Obat-obatan
imunosupresif lain yang dilaporkan bermanfaat antara lain azatioprin, vinka alkaloid,
danazol. Hasil terapi dari masing-masing regimen ini masi bervariasi dan sampai saat
ini belum ada regimen mana yang dianggap paling baik. Demikian juga dengan
pemakaian immunoglobulin hasilnya juga masi perlu penelitian lebih lanjut. Waktu
sejak tahun 1981 dilaporkan bermanfaat untuk pendertia ITP. 6
Terapi Awal PTI (Standar)
Prednison
Prednison, terapi awal ITP dengan prednisolon atau prednison dosis 1,0 - 1,5
mg/kgBB/hari selama 2 minggu. Respons terapi prednison terjadi dalam 2 minggu
dan pada umumnya terjadi dalam minggu pertama, bila respon baik kortikosteroid
dilanjutkan sampai 1 bulan , kemudian tapering. Kriteria respon awal adalah
peningkatan AT ≥30.000/µL, >50.000/µL setelah 10 hari terapi awal, terhentinya
perdarahan. Tidak berespons bila peningkatan AT <30.000/>50.000/µL setelah 6
bulan follow up. Pasien yang simtomatik persisten dan trombositopenia berat (AT
<10.000/µL) setelah mendapat terapi prednisone perlu dipertimbangkan untuk
splenektomi. 6
Imunoglobulin Intravena
Imunoglobulin intravena (IglV) dosis 1 g/kg/ hari selama 2-3 hari berturut-
turut digunakan bila terjadi perdarahan intemal, saat AT <5.000/µL meskipun telah
mendapat terapi kortikosteroid dalam beberapa hari atau adanya purpura yang
progresif.
Mekanisme kerja IglV pada ITP masih belum banyak diketahui namun
meliputi blockade fc reseptor, anti-idiotype antibodies pada IgIV yang menghambat
ikatan autoantibodi dengan trombosit yang bersirkulasi dan imunosupresi.
Splenektomi
Splenektomi pada ITP dewasa dipertimbangkan sebagai terapi lini kedua yang
gagal berespon dengan terapi kortikosteroid atau yang perlu terapi trombosit terus
menerus. Efek splenektomi adalah menghilangkan tempat antibody yang tertempel
trombosit yang bersifat merusak dan menghilangkan produksi antibody anti thrombin.
Indikasinnya:
a. Bila AT < 50.000/µL setelah 4 minggu

22
b. Angka tombosit tidak menjadi normal selama 6-8 minggu
c. Angka tombosit normal tetapi menurun bila dosis diturunkan
Penanganan Relaps Pertama
Splenektomi perlu bagi orang dewasa pada umumnya yang relaps atau yang
tidak berespons dengan kortikostroid, imunoglobulin iv dan Imunoglobulin anti-D.
Banyak spesialis menggunakan AT <30.000>30.000 /µL, Tidak ada konsensus yang
menetapkan lama terapi kortikosteroid. Penggunaan imunoglobulin anti-D sebagai
terapi awal masih dalam penelitian dan hanya cocok untuk pasien Rh-positif. Apakah
penggunaan IglV atau imunoglobulin anti-D sebagai terapi awal tergantung pada
beratnya trombositopenia dan luasnya perdarahan mukokutaneus. Untuk memutuskan
apakah terapi pasien yang mempunyai AT 30.000 /µL sampai 50.000/µL bergantung
pada ada tidaknya faktor risiko perdarahan yang menyertai dan ada tidaknya risiko
tinggi untuk trauma. Pada AT >50.000/µL perlu diberi IglV sebelum pembedahan
atau setelah trauma pada beberapa pasien. Pada pasien PTI kronik dan AT
<30.000/µL IgIV atau metilprednisolon dapat membantu meingkatkan AT dengan
segera sebelum splenektomi. 6
Terapi PTI Kronik Refrakter
Pasien refrakter (+ 25%-30% pada PTI) didefinisikan sebagai kegagalan terapi
kortikosteroid dosis standar dan splenektomi serta membutuhkan terapi lebih lanjut
karena AT yang rendah atau terjadi perdarahan klinis. Kelompok ini memiliki respons
terapi yang rendah, mempunyai morbiditas yang bermakna terhadap penyakit ini dan
terapinya serta memiliki mortalitas sekitar 16%. PTI refrakter kronik ditegakkan bila
ditemukan 3 kriteria sebagai berikut: a). PTI menetap lebih dari 3 bulan; b). Pasien
gagal berespon dengan splenektomi; c). AT <30.000/µL. 6
Pendekatan Terapi Konvensional Lini Kedua
Untuk pasien yang dengan terapi standar kortikosterpid tidak membaik, ada
beberapa pilihan terapi lain. Luasnya variasi terapi untuk terapi lini kedua
menggambarkan relatif kurangnya efikasi dan terapi bersifat individual. 6
Steroid Dosis Tinggi
Terapi pasien PTI refrakter selain prednisolon dapat digunakan deksametason
oral dosis tinggi. Deksametason 40 mg/hari selama 4 hari, diulang setiap 28 hari
untuk 6 siklus. Dari 10 pasien dalam penelitian kecil ini semua memberi respons yang
baik (dengan AT >100.000/µL) bertahan sekurang-kurangnya dalam 6 bulan. Pasien
yang tidak berespon dengan deksametason dosis tinggi segera diganti obat lainnya.

23
Metilprednisolon
Steroid parenteral seperti metilprednisolon digunakan sebagai terapi lini kedua
dan ketiga pada PTI refrakter. Metilprednisolon dosis tinggi dapat diberikan pada PTI
anak dan dewasa yang resisten terhadap terapi prednison dosis konvensional. Dari
penelitian Weil pada pasien PTI berat menggunakan dosis tinggi metilprednisolon 30
mg/kg iv kemudian dosis diturunkan tiap 3 hari sampai 1 mg/kg sekali sehari
dibandingkan dengan pasien PTI klinis ringan yang telah mendapat terapi prednison
dosis konvensional. Pasien yang mendapat terapi metilprednisolon dosis tinggi
mempunyai respon lebih cepat (4,7 vs 8,4 hari) dan mempunyai angka respons (80%
vs 53%). Respons steroid intravena bersifat sementara pada semua pasien dan
memerlukan steroid oral untuk menjaga agar AT tetap adekuat.
IglV Dosis Tinggi
Imunoglobulin intravena dosis tinggi 1 mg/kg/hari selama 2 hari berturut-
turut, sering dikombinasi dengan kortikosteroid, akan meningkatkan AT dengan
cepat. Efek samping, terutama sakit kepala, namun jika berhasil maka dapat diberikan
secara intermiten atau disubtitusi dengan anti-D intravena. 
Anti-D Intravena
Anti-D intravena telah menunjukkan peningkatan AT 79-90% pada orang
dewasa. Dosis anti-D 50-75 mg/kg perhari IV. Mekanisme kerja anti-D yakni
destruksi sel darah merah rhesus D-positif yang secara khusus dibersihkan oleh RES
terutama di lien, jadi bersaing dengan autoantibodi yang menyelimuti trombosit
melalui Fc reseptor blockade. 
Alkaloid Vinka
Semua terapi golongan alkaloid vinka jarang digunakan, meskipun mungkin
bernilai ketika terapi lainnya gagal dan ini diperlukan untuk meningkatkan AT dengan
cepat, misalnya vinkristin 1 mg atau 2 mg iv, vinblastin 5-10 ing, setiap minggu
selama 4-6 minggu. 
Danazol
Dosis danazol 200 mg p.o 4x sehari selama sedikitnya 6 bulan karena respon
sering lambat. Fungsi hati harus diperiksa setiap bulan. Bila respons terjadi, dosis
diteruskan sampai dosis maksimal sekurang-kurangnya 1 tahun dan kemudian
diturunkan 200 mg/hari setiap 4 bulan. 
Immunosupresif dan Kemoterapi Kombinasi

24
Immunosupresif diperlukan pada pasien yang gagal berespons dengan terapi
lainnya. Terapi dengan azatioprin (2 mg/kg maksimal 150 mg/hari) atau siklofosfamid
sebagai obat tunggal dapat dipertimbangkan dan responnya bertahan sampai 25%.
Pada pasien yang berat, simptomatik, PTI kronik refrakter terhadap berbagai terapi
sebelumnya. Pemakaian siklofosfaraid, vinkristin dan prednisolon sebagai kombinasi
telah efektif digunakan seperti pada limfoma. Siklofosfamid 50-100 mg p.o atau 200
mg/iv/bulan selama 3 bulan. Azatioprin 50-100 mg p.o, bila 3 bulan tidak ada respon
obat dihentikan, bila ada respons sampai 3 bulan turunkan sampai dosis terkecil. 
Dapsone
Dapson dosis 75 mg p.o. per hari, respons terjadi dalam 2 bulan. Pasien-pasien
harus diperiksa G6PD, karena pasien dengan kadar G6PD yang rendah mempunyai
risiko hemolisis yang serius. 
Pendekatan Pasien yang Gagal Terapi Standar dan Terapi Lini Kedua
Sekitar 25% PTI refrakter dewasa gagal berespon dengan terapi lini pertama
atau kedua dan memberi masalah besar. Beberapa di antaranya mengalami perdarahan
aktif namun lebih banyak yang berpotensi untuk perdaraihan serta masalah
penanganannya. Pada umumnya PTI refrakter kronis bisa mentoleransi
trombositopenia dengan baik dan bisa mempunyai kualitas hidup normal atau
mendekati normal. Bagi mereka yang gagal dengan terapi lini pertama dan kedua
hanya memilih terapi yang terbatas meliputi: (i) interferon-a, (ii) anti-CD20, (iii)
Campath-1H,(iv) mikofonelat mofetil,(vi)terapi lainnya. 6
Rekomendasi Terapi PTI Yang Gagal Terapi Lini Pertama dan Kedua
Susunan terapi lini ketiga tersedia untuk pasien dengan kemunduran
splenektomi dan bagi mereka yang tidak dapat atau harus menunda operasi.
Rituximab, suatu antibodi monoklonal terhadap CD20 + B sel, memiliki tingkat
respons keseluruhan 25 - 50%, dan memiliki respon yang tahan lama, dengan efek
samping yang relatif sedikit.
Campath-IH dan rituximab adalah obat yang mungkin bermanfaat pada pasien
tidak berespon dengan terapi lain dan dibutuhkan untuk meningkatkan AT (misalnya.
perdarahan aktif). Mikofenolat mofetil tampak efektif pada beberapa pasien PTI
refrakter tetapi studi lebih besar diperlukan untuk mengkonfirmasikan efikasi dan
keamanannya. Dalam hal pertimbangan resiko: rasio manfaat, terapi dengan
interferon-a, protein A columns, plasmafaresis dan liposomal doksorubisin tidaklah
direkemoendasikan. 

25
Kesulitan utama dengan obat lini ketiga ialah tingkat respons yang sederhana
dan, seringnya, mempunyai onset yang lambat sehingga efek dapat tidak jelas selama
beberapa bulan. Selain itu, supresi sumsum tulang dan peningkatan risiko infeksi
menyulitkan pengobatan dengan menggunakan obat yang imunosupresif. 
Obat trombopoietik mewakili strategi terapi baru yang menjanjikan untuk ITP
yang refrakter untuk terapi lini kedua dan ketiga. Obat ini mungkin juga dapat sebagai
alternatif bagi pasien yang tidak dapat mentolerir terapi imunosupresif atau pada
calon yang tidak dapat menggunakan untuk itu. Tempat agen ini pada armamentarium
dari terapi ITP, bagaimanapun, tetap ditentukan. Penggunaannya akan dipandu oleh
uji klinis lebih lanjut dengan durasi yang lebih lama dan pemahaman yang lebih baik
dari kontribusi relatif penghancuran platelet dan gangguan produksi trombosit pada
masing-masing pasien dengan ITP.

KOMPLIKASI

Yang menjadi komplikasi dari penyakit ITP ini antara lain: 7


 Perdarahan intrakranial. Ini penyebab utama kematian penderita ITP.
 Kehilangan darah yang luar biasa, sehingga menyebabkan anemia.
 Efek samping dari kortikosteriod karena penggunaan jangka panjang seperti
menigkatnya resiko infeksi, osteoporosis, katarak.
 Infeksi Pneumococcal. Infeksi ini biasanya didapat setelah pasien mendapat
terapi splenektomi. Si penderita juga umumnya akan mengalami demam
sekitar 38.80C.

PENCEGAHAN

Karena penyebab langsung ITP masih belum dapat dipastikan maka pencegahan
terhadap ITP pun masih belum jelas. Tetapi setidaknya ada cara atau gaya hidup yang
bisa dilakukan oleh penderita ITP agar dapat hidup sebagaimana orang normal
lainnya. Salah satunya menghindari kegiatan-kegiatan keras yang berisiko
menyebabkan luka perdarahan. Supaya tidak memperburuk kondisi pasien ITP.
Menghindari obat-obatan seperti aspirin atau ibuprofen yang dapat mempengaruhi
platelet dan meningkatkan risiko pendarahan. 10

PROGNOSIS

26
Ada beberapa faktor prognosis yang mempengaruhi prognosis yaitu antara lain usia
penderita, jumlah trombosit, kadar antibody platelet dan lama timbulnya keluhan.
Prognosis PTI akut, umumnya lebih baik, dapat sembuh spontan. Sedangkan PTI
kronik, prognosis kurang baik terutama bila stadium preleukimia. Jumlah trombosit
selain digunakan sebagai parameter kemajuan terapi, juga merupakan faktor prediktif
untuk menentukan faktor resiko perdarahan intrakranial, penderita dengan jumlah
trombosit <20.000/mm3 maka resiko perdarahan intrakranial makin meningkat, resiko
ini akan meningkat pada usia lanjut. Respon terapi dapat mencapai 50-70% dengan
kortikosteroid.

KESIMPULAN

Purpura trombositopenia idiopatik (immune thrombocytopenic purpura (ITP);


morbus Wirlhof; purpura hemorrhagica) yang merupakan sindrom klinis berupa
manifestasi perdarahan (purpura, petekie, perdarahan retina, atau perdarahan nyata
lain) disertai trombositopenia (penurunan jumlah trombosit).
Penyebab yang pasti belum diketahui, tetapi dikemukakan berbagai kemungkinan
diantaranya ialah hipersplenisme, infeksi virus (demam berdarah, morbili, variseladan
sebagainya), intoksikasi makanan atau obat (asetosal, PAS, fenilbutazon,
diamox,kina, sedormid) atau bahan kimia, pengaruh fisis (radiasi, pana), kekurangan
factor  pematangan (misalnya malnutrisi), DIC (misalnya pada DSS, leukemia,
respiratory distress syndrome pada neonatus) dan terakhir dikemukakan bahwa ITP
ini terutama yang menahun merupakan penyakit autoimun. Prinsipnya pengobatan
PTI adalah untuk menurunkan kadar PA IgG dengan kortikosteroid atau splenektomi
apabila sudah intolerant terhadapt medikamentosa. Pencegahan yang dilakukan adalah
melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan perdarahan. Untuk itu, diperlukan
kesadaran dari pasien agar dapat hidup normal.

DAFTAR PUSTAKA

27
1. Purwanto Ibnu. purpura trombositopenia idiopatik. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid II Edisi IV. Jakarta: Penerbitan FKUI. 2007. hal 659-664.
2. Siregar Charles Darwin. purpura trombositopenik idiopatik khronik anak
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/12PenggunaanImunoglobin086.pdf/12Pe
nggunaanImunoglobin086.html 21 April 2011.
3. Purpura trombositopenia idiopatik. Diunduh dari www.klikdokter.com, 10
April 2012.Waterbury
4. Anonim. Idiopathic Trombocytopenic Purpura (ITP) diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/202158-overview 21 April 20101
5. Sudiono H, Iskandar I, Edward H, Halim SL, Santoso R. Penuntun patologi
klinik hematologi. Ed.3. Jakarta:FK UKRIDA, 2009. h. 173-9.
6. Sabiston, David C. Buku ajar bedah; alih bahasa, Petrus Andrianto; editor,
Devi H. Ronardy. Jakarta: EGC, 2006. h. 713
7. Demam Berdarah Dangue. Diunduh dari medicastore.com, 15 April 2012.
8. Trombositopenia terinduksi obat. Diunduh dari medicineworld.org, 15 April
2012.
9. Hemofilia. Diunduh dari referensikedokteran.com, 15 April 2012.
10. Idiopatik trombositepenia purpura. Diunduh dari medical-knowledge.com, 15
April 2012.

28

Anda mungkin juga menyukai