Anda di halaman 1dari 26

Pendahuluan

Anemia hemolitik autoimun (AHA) atau autoimmune hemolytic anemia ialah suatu
anemia hemolitik yang timbul karena terbentuknya aotuantibodi terhadap eritrosit sendiri
sehingga menimbulkan destruksi (hemolisis) eritrosit. Dan sebagian referensi ada yang
menyebutkan anemia hemolitik autoimun ini merupakan suatu kelainan dimana terdapat
antibody terhadp sel-sel eritrosit sehingga umur eritrosit memendek. Tapi sebenarnya kedua
defenisi dari beberapa referensi diatas sama yakni karena terbentuknya autoantibody oleh
eritrosit sendiri dan akhirnya menimbulkan hemolisis. Hemolisis yakni pemecahan eritrosit
dalam pembuluh darah sebelum waktunya .Anemia hemolitik autoimun memiliki banyak
penyebab, tetapi sebagian besar penyebabnya tidak diketahui (idiopatik). Kadang-kadang
tubuh mengalami gangguan fungsi dan menghancurkan selnya sendiri karena keliru
mengenalinya sebagai bahan asing (reaksi autoimun), jika suatu reaksi autoimun ditujukan
kepada sel darah merah, akan terjadi anemia hemolitik autoimun. 1

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Anemia biasanya bukan sebuah penyakit, tapi merupakan sebuh gejala yang ada
penyakit dasarnya. Tapi bisa menjadi sebuah diagnosis pada penyakit hematologi tertentu.
Oleh karena itu, kita perlu melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk bisa
mendiagnosis. 2

Anamnesis yang bisa ditanyakan pada pasiennya biasanya berhubungan dengan keluhan
utama pasien. Keluhan utama pasien pada kasus di atas adalah mudah lelah dan tampak pucat
2 – 3 minggu. 2

Dari keluhan utama tersebut, ditanyakan jug ariwayat penyakit sekarang, antara lain,
(1) lelahnya kapan terjadi, apakah saat istirahat atau beraktivitas?; (2) ada keluhan lain tidak
seperti pusing, mual, muntah, sesak nafas? Jika ada tanyakan bagaimana intensitas gejala itu,
pada waktu sedang apa gejala itu muncul, lalu di tanya lagi apakah munculnya tiba – tiba atau
perlahan?; (4) ditanyakan juga bagaimana warna dan bau dari BAK dan BAB?. 2

Karena pasien pada kasus adalah seorang perempuan pada riwayat penyakit dahulu
perlu ditanyakan mengenai bagaimana riwayat menstruasinya. (1) apa sering merasa pusing
dari dulu?;(2) apakah ada gangguan saluran pencernaan?(3) apakah ada riwayat trauma atau
pendarahan saluran cerna?;(4) jika sedang menstruasi, berapa kali mengganti pembalut?;(4)

1
jangan lupa juga untuk ditanya apakah sedang mengonsumsi obat – obatan seperti obat
jantung, obat diabetes, antibiotic, dan sebaginya?. 2

Setelah itu bisa ditanyakan riwayat penyakit keluarga, menanyakan apakah ada
dikeluarga yang menderita anemia juga? Karena ada beberpa kelainan hematologi yang
penyebabnya adalah herediter. Selain itu tanyakan riwayat sosialnya bagaimana, terutama
mengenai diet, kebiasaan (merokok, alcohol, dan obat – obatan). 2

Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan atau dikerjakan pada penderita anemia adalah
pemriksaan tanda – tanda vital, inspeksi dan palpasi. Inspeksi akan terlihat bahwa pasien
pucat dan lemas, sedangkan pada saat palpasi akan teraba ujung – ujung jari terasa dingin,
konjungtiva anemis-pucat/kekuningan (ikterik). Kuku tangan akan terlihat putih. 2

Pemeriksaan Penunjang

Uji Hematokrit

Uji hematokrit (HCT) mungkin dilakukan terpisah atau sebagai bagian dari hitung darah
total. Uji hematokrit mengukur presentase melalui volume dari sel darah merah (SDM)
konsentrasi dalam suatu sampel darah lengkap; misalnya, suatu HCT 40% menunjukkan
bahwa 100 ml darah mengandung 40 ml SDM konsentrat. Konsentrat diperoleh dengan
melakukan sentrifugasi darah lengkap yang telah diberi antokoagulan dalam tabung kapiler
sehingga sel darah merah dikonsentratkan tanpa hemolisis. 2

Tujuan


Untuk membantu diagnosis polisitemia, anemia, atau keadaan hidrasi abnormal

Untuk membantu perhitungan indeks eritrosit 2

Prosedur dan perawataan pasca uji


Lakukan penusukan jari dengan menggunakan tabung kapiler yang berisi heparin
yang diberi tanda pita merah pada batas antikoagulan

Isilah tabung kapiler dari ujung pita merah kurang lebih 2/3; tutuplah ujungnya
dengan tanah liat

Sebagai alternatif, lakukan pungsi vena dan isilah tabung berukuran 3-4 ml yang
berisi EDTA.

Pastika perdarahan subdermal telah berhenti sebelum pelepaskan penekanan

2

Jika terjadi hematom pada lokasi pungsi vena, berikan kompres hangat. Jika
hematom yang terjadi besar, pantau denyut nadi di bagian distal dari lokasi pungsi 3

Nilai Rujukan

HCT biasanya diukur secara elektronis. Hasilnya 3% lebih rendah dari pada pengukuran
manual, yang menempatkan plasma dalam kolom SDM konsentrat. Nilai rujukan bervariasi,
bergantung pada tipe sampel, laboratorium yang melakukan uji, usia, dan jenis kelamin
pasien. Sebagai berikut : 2

 Neonatus : 55%-68%
 Bayi usia 1 bulan : 37%-49%
 Anak usia 1 tahun : 29%-41%
 Anak usia 10 tahun : 36%-40%
 Lelaki dewasa : 42%-52%
 Perempuan dewasa : 36%-48%

Temuan Abnormal

HCT yang rendah mengarahkan pada dugaan adanya anemia, hemodilusi, atau kehilangan
darah masif. HCT yang tinggi menunjukkan adanya polisitemia atau hemokonsentrasi akibat
kehilangan darah dan dehidrasi. 2

Faktor yang mempengaruhi

 Tidak mengisi tabung dengan tepat, menggunakan antikoagulan yang tepat, atau
mencampur sampel dan antikoagulan secara adekuat
 Hemolisis akibat perlakuan yang kasar pada sampel atau pengambilan darah melalui
jarum pungsi berukuran kecil
 Hemokonsentrasi akibat konstriksi oleh turniker selama lebih dari 1 menit
(meningkatkan HCT khususnya sebanyak 2,5% sampai 5%)
 Hemodilusi akibat pengambilan darah dari lengan di atas lokasi infus IV

Hitung Retikulosit

Retikulosit merupakan SDM yang tidak berinti dan belum matang, serta tetap berada dalam
darah perifer selama 24 – 48jam pada saat proses pematangan SDM terjadi. Retikulosit
umumnya lebih besar dari SDM yang matang. Pada hitung retikulosi, retikulosit dalam
sampel darah lengkap dihitung dan ditunjukan dalam presentasi dari hitung SDM total.
Karena metode penghitungan retikulosit manual menggunakan hanya sedikit sampel, nilainya
mungkin tidak tepat dan harus dibandingkan dengan hitung SDM atau hematokrit. 2
3
Tujuan penghitungan retikulosit adalah untuk membantu membedakan anemia
hipoproloferatif dari anemia hiperproloferatif. Juga untuk membantu menilai kehilangan
darah, respons sumsum tulang terhadap anemia, dan terapi anemia. 2

Prosedur dan perawatan pasca uji


Lakukan pungsi vena dan kumpulkan sampel darah dalam tabung berukuran 4.5 ml
yang berisi heparin

Pastikan perdarahan subdermal telah berhenti sebelum pelepaskan penekanan

Jika terjadi hematom pada lokasi pungsi vena, berikan kompres hangat. Jika
hematom yang terjadi besar, pantau denyut nadi di bagian distal dari lokasi pungsi

Perintahkan pasien bahwa ia bisa melanjutkan pengobatan yang dijalani yang sempat
berhenti sebulum uji ini dilakukan

Pantau pasien dengan hitung retikulosit yang abnormal terhadap kecenderungan atau
perubahan yang bermakna pada uji yang diulang 2

Nilai Rujukan

Retikulosit membetuk 0,5%-2,5% hitung SDM total. Pada bayi, hitung retikulosit yang
normal berkisar dari 2%-6% pada saat lahir, yang menurun ke kadar dewasa dalam 1-2
minggu. 2

Temuan abnormal

Hitung retikulosit yang rendah menunjukkan sumsum tulang yang hipoproliferatif (anemia
hipoplastik) atau reitropoiesis yang tidak efektif (anemia pernisiosa). Hitung retikulosit yang
tinggi menunjukkan adanya respons sumsum tulang terhadap anemia yang disebabkan oleh
hemolisis atau kehilangan darah. Hitung retikulosit mungkin juga meningkat setelah terapi
anemia defisiensi besi atau anemia pernisiosa. 2

Faktor yang mempengaruhi


Tidak menggunakan antikoagulan yang tepat atau mencampurkan sampel dan
antikoagulan secara adekuat

Konstriksi oleh turniket yang lama

Azatriopin, kloramfenikol, dan metotreksat (mungkin memberikan hasil renda dan
semu)

Kortikotropin, antimalaria, antipiretik, furazolin (pada bayi), levodopa (mungkin
memberikan hasil tinggi semu).

Sulfonamid (mungkin memberikan hasil rendah semu atau tinggi semu)
4

Transfusi darah yang harus dialami

Hemolisis akibat perlakuan yang kasar pada sampel atau akibat menggunakan jarum
berukuran kecil untuk aspirasi darah 2

Hemoglobin Total

Hemoglobin total digunakan untuk mengukur jumlah Hb yag dtemukan dalam setiap desiliter
(dl atau 100ml) whole blood. Uji tersebut biasanya merupakan bagian dari hitung darah
lengkap. Konsentrasi Hb berhubungan erat dengan hitung SDM dan mempengaruhi rasio Hb
RBC (MCH dan MCHC). 2

Tujuan uji ini adalah mengukur beratnya anmeia atau polisitemia dan untuk memantau
respons terhadap terapi. Juga untuk memperoleh data untuk penghitungan MCH dan MCHC.

Prosedur dan Perawatan pascauji


Pada pasien dewasa atau anak-anak yang lebih besar, lakukan pungsi vena dan
kumpulkan sampel darah dalam tabung berukuran 3-4,5 ml yang berisi heparin

Pada pasien anak kecil dan bayi dan sampel diambil melalui tusukan pada jari atau
tumit, masukkan sampel dalam alat pengumpul mikro yang berisi EDTA

Pastikan perdarahan subdermal telah berhenti sebelum pelepaskan penekanan

Jika terjadi hematom pada lokasi pungsi vena, berikan kompres hangat. Jika hematom
yang terjadi besar, pantau denyut nadi di bagian distal dari lokasi pungsi 2

Nilai Rujukan

Konsentrasi Hb bervariasi bergantung pada jenis sampel yang diambil serta usia dan jenis
2
kelamin :

 Neonatus : 17-22 g/dl


 Anak-anak : 11-13 g/dl
 Lelaki dewasa : 14-17,4 g/dl
 Lelaki setelah usia pertengahan : 12,4-14,9 g/dl
 Perempuan dewasa : 12-16 g/dl
 Perempuan setelah usia pertengahan : 11,7-13,8 g/dl

Temuan abnormal

Konsentrasi Hb yang rendah mungkin menunjukkan anmeia, perdarahan yang baru terjadi,
atau retensi cairan, yang menyebabkan hemodilusi. Kadar Hb yang tinggi mengarahkan pada
dugaan adanya hemokonsentrasi akibat polisitemia atau dehidrasi. 2

5
Faktor yang mempengaruhi


Tidak menggunakan antikoagulan yangt tepat, atau mencampur sampel dan
antikoagulan secara adekuat

Hemolisis akibat perlakuan yang kasar pada sampel

Hemokonsentrasi akibat konstriksi oleh turniket yang lama

Hitung sel darah putih yang tinggim lipemia, atau SDM yang resisten terhadap lisis
(memberikan hasil yang semu) 2

Indeks Sel Darah Merah

Menggunakan hasil uji hitung SDM, hematokrit (HCT) dan hemoglobin (Hb) total, indeks
SDM/eritrosit memberikan hasil informasi penting tentang ukuran, konsentrasi Hb, dan berat
Hb dari suatu jumlah SDM rata-rata. Tujuan uji ini adalah untuk membantu diagnosis dan
klasifikasi anemia. 2

Prosedur dan perawatan pascauji


Lakukan pungsi vena dan kumpulkan sampel darah dalam tabung berukuran 3-4,5 ml
yang berisi EDTA

Patikan perdarahan subdermal telah berhenti sebelum melepaskan penekanan

Jika terjadi hematom, berikan kompres hangat. Jika hematom membesar, pantau
denyut nadi di bagian distal dari lokasi prebotomi 2

Nilai Rujukan

Indeks yang diperiksa meliputi volume korpuskular rata-rata (MCV), hemoglobin


korpuskular rata-rata (MCH), dan konsentrasi hemoglobin korpuskular rata-rata (MCHC).

MCV, rasio antara HCT (volume packed red cell) dengan hitung SDM mencerminkan ukuran
rata-rata dari eritrosit dan menunjukkan apakah SDM berukuran kecil (mikrositik), besar
(makrositik),atau normal (normositik). MCH, rasio Hb-SDM, memberikan berat Hb dalam
suatu SDM rata-rata. MCHC, rasio antara berat Hb dan HCT, menentukan konsentrasi Hb
dalam 100 ml packed red cell. MCHC membantu membedakan SDM yang normal berwarna
(normokromik) dan SDM yang lebih pucat (hipokromik). Kisaran indeks SDM yang normal
adalah sebagai berikut : 2

6

MCV : 84-99 mikro(m)3

MCH : 26-32 pg/sel

MCHC : 30-36 g/dl

Temuan abnormal

MCV dan MCHC yang rendah menunjukkan adanya anemia mikrositik, hipokromik yang
disebabkan oleh defisiensi besi, anemia responsif terhadap piridoksin, atau talasemia. MCV
yang tinggi memberi kesan adanya anemia makrositik yang disebabkan oleh anemia
megaloblastik, defisiensi asam folat atau vitamin B12, gangguan sintesis asam
deoksiribonukleat turunan, atau retikulositosis. Karena MCV mencerminkan volume rata-rata
dari banyak sel, nilainya dalam kisaran normal dapat meliputi SDM dalam berbagai ukuran,
dari mikrositik sampai makrositik. 2

Faktor yang mempengaruhi


Tidak menggunakan antikoagulan yang tepat atau mencampur sampel dan
antikoagulan secara adekuat

Hemolisis akibat perlakuan yang kasar pada sampel atau menggunakan jarum
berukuran kecil untuk aspirasi darah

Hemokonsentrasi akibat konstriksi oleh turniket yang lama

Hitung sel darah putih yang tinggi (memberikan hitung SDM yang tinggi semu pada
alat yang semiotomatis atau otomatis, sehingga hasil MCV dan MCHC yang didapat
tidak berlaku)

Kadar Hb yang tinggi semu membuat hasil MCH dan ,CHC yang didapat tidak
berlaku

Penyakit yang menyebabkan SDM mengaglutinasi atau membentuk rouleaux
(mengakibatkan hitung SDM rendah semu). 2

Pemeriksaan untuk mendeteksi antoantibodi pada eritrosit

Direct Antiglobulin Test (direct Coomb’s Test): sel eritrosit pasien dicuci dari protein-protein
yang melekat dan direaksikan dengan antiserum atau antibodi monoclonal terhadap berbagai
immunoglobulin dan fraksi komplemen, terutama IgG dan C3d. Bila permukaan sel terdapat
salah satu atau kedua IgG dan C3d maka akan terjadi aglutinasi. 3

Indirect Antiglobulin Test (indirect Coomb’s test): untuk mendeteksi auntoantibodi yang
terdapat pada serum. Serum pasien direaksikan dengan sel-sel reagen. Imunoglobolin yang

7
beredar pada serum akan melekat pada sel-sel reagen, dan dapat dideteksi degan antiglobolin
serta dengan terajadinya aglutinasi. 3

Pada anemia hemolitik autoimun tipe hangat:

Laboratorium: Hemoglobin sering dijumpai di bawah 7 g/dl. Pemeriksaan Coomb direk biasanya
positif. Autoantibodi tipe hangat biasanya ditemukan dalam serum dan dapat dipisahkan dari sel-sel
eritrosit. Autoantibodi ini berasal dari kelas IgG dan bereaksi dengan semua sel eritrosit normal.
Autoantibodi tipe hangat ini biasanya bereaksi dengan antigen pada sel eritrosit pasien sendiri,
biasanya antigen Rh.

Pada anemia hemolitik autoimun tipe dingin:

Laboratorium: anemia ringan, sferositosis, polikromatosia, tes Coombs positif, anti-I, anti-Pr, anti-
M,atau anti-P

Gambar 2: apusan darah tepi penderita AHA:


Menunjukan eritrosit normokromik normositer,
mikrosferosit, fragmentosit dan sebuah normoblast.

Diagnosis Kerja

Anemia Hemolitik Autoimun

Anemia hemolitik imun (autoimmune hemolytic anemia= AIHA/AHA) merupakan


suatu kelainan di mana terdapat antibodi terhadap sel-sel eritrosit sehingga umur eritrosit
memendek. 3

Klasifikasi anemia hemolitik imun

I. Anemia hemolitik autoimun (AIHA)


a) AIHA tipe hangat
-
Idiopatik
-
sekunder (karena cll, limfoma, SLE)
b) AIHA tipe dingin
-
Idiopatik
-
Sekunder (infeksi mycoplasma, mononucleosis, virus, keganasan
limforetokuler)
c) Paroxysmal cold hemoglobinuri
-
Idiopatik
-
Sekunder (viral dan sifilis)
8
d) AIHA atipik
-
AIHA test antiglobulin negative
-
AIHA kombinasi tipe hangat dan dingin
e) AIHA diinduksi obat
f) AIHA diinduksi aloantibodi
-
Reaksi hemolitik transfuse
-
Penyakit hemolitik pada bayi baru lahir 3

Anemia Hemolitk Autoimun Tipe Hangat

Sekitar 70% kasus AIHA memiliki tipe hangat di mana autoantibodi bereaksi secara
optimal pada suhu 37˚C. Kurang lebih 50% pasien AIHA tipe hangat disertai penyakit lain.

Eritrosit biasanya dilapisi oleh imunoglobulin (Ig), yaitu umumnya imunoglobulin G


(IgG) saja atau dengan komplemen dan karena itu, diambil oleh makrofag RE yang
mempunyai reseptor untuk frakmen FCIgG. Bagian dari membran yang terlapis hilang
sehingga sel makin sferis secara progresif untuk mempertahankan volume yang sama dan
akhirnya dihancurkan secara prematur terutama di limpa. Jika sel dilapisi IgG dan
komplemen (C3d, fragmen C3 yang terdegradasi) atau komplemen saja destruksi eritrosit
menjadi lebih banyak dalam sistem RE.3

Anemia Hemolitik AutoImun tipe Dingin

Terjadinya hemolisis diperantarai antibodidingin yaitu aglutinin dingin dan antibodi


Donath-Landsteiner. Kelainan ini secara karakteristik memliki aglutinin dingin IgM
monoklonal. Spesifitas aglutinin dingin adalah antigen I/i. Sebagain besar IgM yang punya
spesifitas tergadap anti-I memiliki VH4-34. Pada umumnya aglutinin tipe dingin ini terdapat
pada titer yang sangat rendah, dan titer ini meningkat pesat pada fase penyembuhan infeksi.
Antigen I/i bertugas sebagai reseptor mikoplasma yang akan menyebabkan perubahan
presentasi antigen dan menyebabkan produksi autoantibodi, Pada limfoma sel B, aglutinin
dingin ini dihasilkan oleh sel limfoma. Aglutinin tipe dingin akan berikatan dengan SDM dan
terjadi lisis langsung dan fagositosis. 3

Anemia Hemolitik Atoimun Karena Transfusi

Hemolisis aloimun yang paling berat adalah reaksi transfusi akut yang disebabkan
karena ketidaksesuaian ABO eritrosit (sebagai contoh transfusi PRC golongan A pada pasien

9
golongan darah O yang memiliki antibodi IgM anti-A pada serum) yang akan memicu
aktifasi komplemen dan terjadi hemolisis intravaskular yang akan menimbulkan DIC dan
infark ginjal. Dalam beberapa menit pasien akan sesak napas, demam, nyeri pinggang,
menggigil, mula, muntah, dan syok. Reaksi transfusi tipe lambat terjadi 3-10 hari setelah
transfusi, biasanya disebabkan karena adanya antibodi dalam kadar rendah terhadap antigen
minor eritrosit. Setelah terpapar dengan selsel antigenik, antibodi tersebut meningkat pesat
kadarnya dan menyebabkan hemolisis ekstravaskuler. 3

Paroxysmal Cold Hemoglobuliuria

Bentuk anemia hemolitik yang jarang dijumpai, hemolisis terjadi secara masif dan
berulang setelah terpapar suhu dingin. Dahulu penyakit ini sering ditemukan, karena
berkaitan dengan penyakit sifilis. Pada kondisi ekstrim autoantibodi Donath-Landsteiner dan
protein komplemen berikatan pada sel darah merah. Pada saat suhu kembali ke 37o C,
terjadilah lisis karena propagasi pada protein-protein komplemen yang lain. 3

Gambaran klinis. AIHA (2-5%), hemolisis paroxysmal disertai mengigil, panas, mialgia,
sakit kepala, hemoglobinuri berlangsung beberapa jam. Sering disertai urtikaria. Lab.
Hemoglobinuria, sferositosis, eritrofagositosis. Tes Coombs positif, antibodi Donath
Landsteiner terdisosiasi dari sel darah merah. 3

Terapi. Menghindari faktor pencetus. Glukoortikoid dan splenektomi tidak ada gunanya.
Prognosis dan Survival. Pengobatan penyakit yang mendasari akan memperbaiki prognosis.
Prognosis pada kasus-kasus idiopatik pada umumnya juga baik dengan survival yang
panjang. 3

Anemia Hemolitik Imun diinduksi Obat

Ada beberapa mekanisme yang menyebabkan hemolisis karena obat yaitu : hapten/
penyerapan obat yang melibatkan antibodi tergantung obat, pembentukan kompleks ternary
(mekanisme kompleks imun tipe innocent bystander), induksi autoantibodi yang bereaksi
terhadap eritrosit tanpa ada lagi obat pemicu, serta oksidasi hemoglobin. Penyerapan/absorpsi
protein nonimunologis terkait obat akan menyebabkan tes Coomb positif tanpa kerusakan
eritrosit. 3

Pada mekanisme hapten / absorpsi obat, obat akan melapisi eritrosit dengan kuat
antibodi terhadap obat akan dibentuk dan bereaksi dengan obat pada permukaan eritrosit.
Eritorsit yang teropsonisasi oleh obat tersebut akan dirusak di limpa. Antibodi ini bila
10
dipisahkan dari eritrosit hanya bereaksi dengan reagen yang mengandung eritrosit berlapis
obat yang sama (mis : penisilin). 3

Mekanisme pembentukan kompleks ternary melibatkan obat atau metabolit obat,


tanpa ikatan obat permukaan sel target, antibodi, dan aktifasi komplemen. Antibodi melekat
pada neoantigen yang terdiri dari ikatan obat dan eritrosit. Ikatan obat dan sel target tersebut
lemah, dan antibodi akan membuat stabil dengan melekat pada obat atau membran eritrosit.
Beberapa antibodi tersebut memliki spesifisitas terhadap antigen golongan tertentu seperti Ph,
Kell, Kidd, atau I/i. Pemeriksaan Coombs biasanya positif. Setelah aktifasi komplemen
terjadi hemolisis intravaskuler, hemoglobinemia dan hemoglobinuri. Mekanisme ini terjadi
pada hemolisis akibat obat kinin, kuinidin, sulfonamid, sulfonilurea, dan tiazid. 3

Banyak obat menginduksi pembentukan autoantibodi terhadap eritrosit autolog,


seperti contoh metildopa. Metildopa yang bersirkulasi dalam palasma akan menginduksi
autoantibodi spesifik terhadap antigen Rh pada permukaan sel darah merah. Jadi yang
melekat pada permukaan SDM adalah autoantibodi, obat tidak melekat. Mekanisme
bagaimana induksi formasi autoantibodi ini tidak diketahui. 3

Sel darah merah bisa mengalami trauma oksidatid. Oleh karena hemoglobin mengikat
oksigen maka bisa mengalami oksidasi dan mengalami kerusakan akibat zat
oksidatif.Eritrosit yang tua makin mudah mengalami trauma oksidatif. Tanda hemolisis
karena proses oksidasi adalah dengan ditemukannya methemoglobin, sulfhemoglobin, dan
Heinz bodies, blistercell, bites cell dan eccentrocytes. Contoh obat yan menyebabkan
hemolisis oksidatif ini adalah nitrofurantoin, fenazopiridin, asam aminosalisilat. 3

Pasien yang mendapat terapi sefalosporin biasanya tes Coomb’s positif karena
absorpsi nonimunologis, imunoglobulin, komplemen, albumin, fibrinogen, dan plasma
protein, lain pada membran eritrosit. 3

1. Gambaran Klinis. Riwayat pemakaian obat tertentu positif. Pasien yang timbul
hemolisis melalui mekanisme hapten atau antibodi biasanya bermanifestasi sebagai
hemolisis ringan sampai sedang. Bila kompleks ternary yang berperan maka hemolis
akan terjadi secara berat, mendadak, dan disertai gagal ginjal. Bila pasien sudah
pernah terpapar obat tersebut, maka hemolisis sudah dapat terjadi pada pemajanan
dengan dosis tunggal.

11
2. Laboratorium, anemia, retikulosis, MCV tinggi, tes Coomb positif.Lekopeni,
trombositopeni, hemoglobinemia, hemoglobinuria sering terjadi pada hemolisis yang
diperantarai kompleks ternary.
3. Terapi, dengan menghentikan pemakaian obat yang menjadi pemicu, hemolisis dapat
dikurangi. Kortikosteroid dan transfusi darah dapat diberikan pada kondisi berat. 3

Dignosis Banding

Anemia Hemolitik Non Imun

Anemia hemolisis adalah kadar hemoglobin kurang dari nilai normal akibat kerusakan
sel eritrosit yang lebih cepat dari kemampuan sumsum tulang untuk menggantikannya. 3

Etiologi dan klasifikasi

Pada prinsipnya anemia hemolisis dapat terjadi karena:

1. Defek molekular: hemolobinopati atau enzimopati;


2. Abnormalitas struktur dan fungsi membrane-membran;
3. Faktor lingkungan seperti tarauma mekanik atau auntoantiodi.

Berdasrakan etiologinya anemia hemolisis dapat dikelompokkan menjadi:

Anemia hemolisis heredeiter, yang termasuk kelompok ini adalah:


Defek enzim/enzimopati
-
Defek jalur Embden Mayerhof
1. Defisiensi piruvat kinase
2. Defisiensi glukosa fosfat isomerase
3. Defisiensi fosfogliserat kinase
-
Defek jalur heksosa monofosfat
1. Defisiensi glukosa 6 fosfat dehidrogenase (G6PD)
2. Defisiensi glutation terduktase

Hemoglobinopati
-
Thalassemia
-
Anemia sickle cell
-
Hemoglobinopati lain

Defek membrane (membranopati): sferositosis herediter 3

Anemia hemolisis didapat, yang termasuk kelompok ini adalah:

-
Anemia hemolisis ini, misalnya: idopatik, keganasan, obat-obtan, kelainan
autoimun, infeksi, transfuse.

12
-
Mikroangiopati, misalnya: trombotik trombositopenia, Purupura (TTP), sindrom
uremik hemolitik (SUH), Koagulasi intravascular diseminata (KID), preeclampsia,
eklampsia, hipertensi maligna, katup prostetik.
-
Infeksi, misalnya: infeksi malaria, infeksi babesiosis, infeksi Clostridium. 3

Berdasarakan ketahanan hidupnya dalam sirkulasi darah resipen, anemia hemolisis


dapat dikelompokkan menjadi:

1. Anemia hemolisis intrakorpuskular. Sel eritrosit pasien tidak dapat bertahan hidup di
sirkulasi darah resipien yang komatibel, sedangkan sel eritrosit kompatibel normal
dapat bertahan hidup di sirkulasi darah pasien;
2. Anemia hemolisis ekstrakorpuskular. Sel eritrosit pasien dapat bertahan hidup di
sirkulasi darah resipien yang kompatibel, tetapi sel eritrosit kompatibel normal tidak
dapat bertahan hidup di sirkulasi darah pasien. 3

Berdasarakan ada tidaknya keterlibatan immunoglobulin pada kejadain hemolisis,


anemia hemilisis dikelimpokkan menjadi:

Anemia hemolisis imun. Hemolisis terjadi karena keterlibatan antibodi yang biasanya IgG
atau IgM yang spesifik untuk anigen eritrosit pasien (selalu disebut autoanbodi).3

Anemia hemolisis non imun. Hemolisis yang terjadi tanpa keterlibatan immunoglobulin
tetapi karena faktor defek molekular, abnormalitas struktur membrane, faktor lingkungan
yang bukan autoanbibodi seperti hipersplenisme, kerusakan mekanik eritrosit karena
mikroangiopati atau infeksi yang mengakibatkan kerusakan eritrosit tanpa mengikutsertakan
mekanisme imunologi seperti malarian, babesiosis, dan Clostrdium.

Pada bagian ini yang dibahas hanya anemia hemolisis non imin yang bukan disebabkan oleh
thalassemia dan hemoglobinopati lain. 3

Patofisiologi

Hemolisis dapat terjadi intravascular dan ekstravaskular. Hal ini tergantung pada
patologi yang mendasari suatu penyakit. Pada intravascular, desktruksi eritrosit, terjadi
langsung di sirkulasi darah. Misalnya pada trauma mekanik, fiksasi komplemen dan aktivasi
13
sel permukaan atau infeksi yang langsung mendegradasi dan mendestruksi membrane sel
eritrosit.Hemolisis intravascular jarang terjadi. 3

Manifestasi Klinis

Penegakan diagnosa anemia hemolisis memerlukan anamnesis dan pemeriksaan fisis


yang teliti. Pasien mungkin mengeluh lemah, pusing, cepat capek, dan sesak. Pasien mungkin
juga mengeluh kuning dan urinnya kecoklatan, meski jarang terjadi. Riwayat pemakaian
obat-obatan dan terpajan toksin serta riwayat keluarga merupakan informasi penting yang
harus ditanyakan saat anmnesis. 3

Pada pemeriksaan fisis ditemukan kulit dan mukosa kuning.Splenomegali didapati


pada beberapa anemia hemolitik. Pada anemia berat dapat ditemukan takikardia dan aliran
murmur pada katup jantung. 3

Selain hal-hal umum yang dapat ditemukan pada anemia hemolisis diatas, perlu dicari
saat anamnesis dan pemeriksaan fisis hal-hal yang bersifat khusus untuk anemia hemolisis
tertentu. Misalnya, ditemukannya ulkus tungkai pada anemia sickle cell. 3

Pemeriksaan Laboratorium

Retikulositosis merupakan indicator terjadinya hemolisis. Retikulositosis


mencerminkan adanya hyperplasia eritroid di susmsum tulang tetapi biopsy sumsum tulang
tidak selalu diperlukan. Retikulositosis dapat diamati segera., 3-5 hari setelah penurunan
hemoglobin. Diagnosis banding retikulosis adalah perdarahan aktif, mielotisis dan perbaikan
supresi eritropoesis. 3

Anemia pada hemolisis biasanya normositik, meskipun retikulositosis meningkatkan


ukruan Mean Corpusclar Volume (MCV). Morfologi eritrosit dapat menunjukkan adanya
hemolisis dan penyebabnya. Misalnya sferosit pada sferositosis herediter, anemia hemolitik
autoimun, sel target pada thalassemia, hemoglobinopati, penyakit hati , schistosit pada
mikroangiopati, prosthesis intravascular dan lain-lain. 3

14
Jika tidak ada kerusakan jaringan organ lain, peningkatan laktat dehidrogenase (LD)
terutama LDH2, dan SGOT dapat menjadi bukti adanya percepatan destruksi eritrosit. 3

Baik hemolisis intravascular maupun ekstravaskular. Meningkatkan katabolisme heme


dan pembentukkan bilirubin tidak terkonjugasi. Hemaglobin bebas hasil hemolisis terikat
dengan hepatoglobin. Hemoglobin-hepatoglobin ini segera dibersihkan oleh hati hingga kadar
hepatoglobin menjadi rendah sampai tidak terdeteksi. Pada hemolisis intravascular kadar
hemoglobin bebas dapat melebihi kadar hepatoglobin sehingga hemoglobin bebas difiltrasi
oleh glomerulus dan direabsorbsi oleh tubuli proksimal dan mengalami metabolisme. Hasil
metabolisme di ginjal menghasilkan ikatan dengan bese heme dengan simpanan protein
(feritin dan hemosiderin). Selanjutnya hemosiderin dikeluarkan ke urin san terdeteksi sebagai
hemosiderinuria. Pada hemolisis ekstravaskular yang massif, ambang kapasitas absorbsi
hemoglobin oleh tubulus proksimal terlewati, sehingga hemoglobin dikeluarkan ke urin
dalam bentuk hempglobinuria. 3

Enzimopati

Pada sel eritrosit terjadi metabolisme glukosa untuk menghasilkan energy (ATP). ATP
digunakan untuk kerja pompa ionic dalam rangka mempertahankan milieu ionik yang cocok
bagi eritrosit. Sebagian kecil energi hasil metabolisme tersebut digunakan juga untuk
penyediaan besi hemoglobin dalam bentuk ferro. Pembentukan ATP ini berlangsung melalui
membran Embden Meyerhof yang melibatkan sejumlah enzim seperti glukosa fosfat
isomerase dan pruvat kinase. Selain digunakan untuk membentuk energy, sebagian kecil
glukosa mengalami metabolisme dalam eritrosit malalui jalur heksosa monofosfat dengan
bantuan enzim glukosa 6 fosfat dehidrogenase (G6PD) untuk menghasilkan glutation yang
penting untuk melindungi hemoglobin dan membrane eritrosit dari oksidan. Defisiensi enzin
piruvat kinase, glukosa fosfat isomerase, dan glukosa 6 fosfat dehidrogenase (G6PD) dapat
mempermudah dan mempercepat hemolisis. Berturut-turut prevelensi tersering kejadian
defisiensi enzim tersebut adalah G6PD, piruvat kinase, dan glukosa fosfat isomerase. 3

Defek Jalur Heksosa Monofosfat

Metabolisme glukosa melalui jalur ini meningkat beberapa kali ketika eritrosit
terpajang dengan obat-obatan atau toksin yang membentuk radikal oksigen. Dengan ini
terjadi regenerasi glutation tereduksi, perlindung gugus sulfhidril hemoglobin dan membrane
eritrosit dari oksidasi. Jika jalur ini terganggu karena faktor herediter, maka kadar glutation
tereduksi yang adekuat tidak dapat dipertahankan sehingga gugus sulfhidril hemoglobin
15
teroksidasi, terprespitasi dalam eitrosit dan membentuk Heinz bodies. Terganggunya jalur ini
dapat disebabkan oleh defisiensi G6PD dan glutation reduktase.Namun demikian kalinan
glutation reduktase belum terbukti berhubungan bermakna dengan hemolisis. 3

Defisiensi G6PD

Etiologi dan epidemiologi. G6PD berfungsi mereduksi nikotinamida adenine


dinukleotida (NADPH) sambil mengoksidasi glukos-6-fosfat. NADPH diperlukan untuk
produksi glutation reduktase, sehingga defisiensi enzim ini menyebabkan eritrosit rentan
4
terhadap stress oksidasi.

Defisiensi enzim ini paling sering mengakibatkan hemolisis. Ezim ini dikode oleh gen
yang terletak di kromosom X sehingga defisiensi G6PD lebih sering mengenai laki-laki. Pada
perempuan biasanya carrier dan asimptomatik. Diseluruh dunia terdapat lebih dari 400 varian
G6PD. Berbagai varian ini terjadi karena adanya perubahan subtitusi basa berupa
penggantian asam amino. Banyaknya varian ini menimbulkan variasi manifestasi klinik lebar,
mulai dari hanya anemia hemolitik nonsferositik tanpa stres oksidan, anemia hemolitik yang
hnya terjadi ketika distimulasi dengan stress oksidan ringan, sampai pada abnormalitas yang
tidak terdeteksi secara klinis. G6PD normal disebut tipe B. Diantara varian G6PD yang
bermakna secara klinik adalah tipe A-.Tipe ini terutama ditemukan pada orang keturunan
Afrika.Tipe Mediterania relatif sering ditemukan diantara orang Menditerania asli, dan lebih
berat dari varian A- karena dapat mengakibatkan anemi hemolitik nonsferositik tanpa adanya
stress oksidatif yang jelas. 3-4

Manifestasi klinis. Aktivitas G6PD yang normal menurun sampai 50% pada waktu
umur eritrosit mencapai 120 hari. Pada tipe A- penurunan ini terjadi sedikit lebih cepat dan
lebih cepat lagi pada varian Mediterania. Meskipun umur eritrosit pad tipe A- lebih pendek
namun tidak menimbulkan anemia kecuali bila terpajang dengan infeksi virus dan bakteri di
samping obat-obatan atau toksin yang dapat berperan sebagai oksidan yang mengakibatkan
hemolisis. Obat-obatan atau zat yang dapat mempresipitasi hemolisis pada pasien dengan
defisiensi G6PD adalah asetanilid, fuzolidon (furokson), isobutil nitrit, metilen biru, asam
nalidiksat, naftalen, niridazol, nitrofurantoin, fenazopiridin (piridium), primakuin, pamakuin,
dapson, sulfasetamid, sulfametakzol, sulfapiridin, tiazolsulfon, toluidin biru, trinitrotuluen,
urat oksidase, vitamin K, doksorubisin. Asidosis metabolik juga dapat mempresipitasi
hemolisis pada pasien defisiensi G6PD. 3-4

16
Hemolisis akut terjadi beberapa jam setelah terpajang dengan oksidan, diikuti
hempglobinuria dan kolaps pembuluh darah perifer pada kasus yang berat. Hemolisis biasnya
self-limitied karena yang mengalami destruksi hanya populasi eritrosit yang tua saja. Pada
tipe A- massa eritrosit menurun hanya 25-30%. Ketika hemolisis akut hematokrit turun cepat
diiringi oleh peningkatan hemoglobin dan bilirubin tak terkonjugasi dan penurunan
hepatoglobin. Hemoglobin mengalami oksidasi dan membentuk Heinz bodies yang tampak
pada pewarnaan supravital degan violet Kristal. Heinz bodies tanpak pada hari pertama atau
sampai ketika badan inkulsi ini siap doikeluarkan oleh limpa sehingga membentuk “bite
cell”. Mungkin ditemukan beberapa sferosit. Sebagian kecil pasien defisiensi G6PD ada yang
sangat sensitif dengan fava beans (buncis) dan dapat mengakibatkan krisis hemolisis
fulminan setelah terpajan. 3-4

Diagnosis. Diagnosis defisiensi G6PD dipikirikan jika ada episode hemolisis akut
pada laki-laki kerutunan Afrika atau Mediterania. Pada anamnesis perlu ditanyakan mungkin
pernah terpajan zat-zat oksidan, misalnya zat atau obat.Pemeriksaan aktivitas enzim mungkin
false negative jika eritrosit tua defisiensi G6PD telah lisis. Oleh karena itu pemeriksaan
aktivitas enzim perlu diulang dua sampai tiga bulan kemudian ketika ada sel-sel yang tua.

Terapi. Pada pasien dengan defisiensi G6PD tipe A-.hemolisis terjadi self-limited
sehingga tidak perlu terapi khusus kecuali terapi untuk infeksi yang mendasari dan hindari
obat-obatan atau zat yang memprespitasi hemolisis serta mempertahankan aliran ginjal yang
adekuat karena adanya hemoglobinuria saat hemolisis akut. Pada hemolisis berat, yang bisa
terjadi pada varian Mediterania, mungkin diperluakn transfuse darah. 3-4

Yang penting adalah penceghan episode hemolisis dengan cara mengobati infeksi
dengan segera dan memperhatikan resiko penggunaan obat-obatan, zat oksidan dan fava
beans. Khusus untuk orang Afrika atau Mediterania sebaiknya sebelum diberikan zat oksidan
harus dilakukan skrining untuk mengetahui ada tidaknya defisiensi G6PD. 3-4

Defek Jalur Embden Meyrhof

Etiologi dan epidemiologi. Enzim yang dapat terganggu pada jalur ini dan
mengakibatkan anemia hemolisis adalah piruvat kinase, glukosa fosfat isomerase da
fosfogliserat kinase. Yang tebanyak adalah defisiensi piruvat kinase (95%). Sedangkan
defisiensi glukosa fosfat isomerase hanya sekitar 4%.Defek enzim glikolisis ini biasanya
diturunkan secara autosomal resesif kecuali fofsfogliserat kinase yang diturunkan terkait
seks. 3
17
Kelainan ini mengakibatkan eritrosit kekurangan ATP dan ion kalium sel. Sel eritroit
menjadi kaku dan lebih cepat disekuestrasi oleh sistem fagosit mononuklir. Defisiensi piruvat
kinase hanya mengenai sel eritrosit, sedangkan defisiensi glukosa fosfat isomerase dan
fosfogliserat kinse juga mengenai sel leukosit meskipun tidak mempengaruhi fungi leukosit. 3

Manifestasi klinis. Beratnya anemia bervariasi dan gejalanya relative ringan karena
terjadi pada masa awal kanak-kanak dengan anemia, ikterus, dan splenomegali. Pada
perempuan dengan defisiensi piruvat kinase dapat sangat pucat ketika hamil sehingga sering
di diagnosis pertama kali saat itu. Anemia pada pasien ini berupa anemia normositik
(makrositik ringan) normokrom dengan retikulositosis. Pada defisiensi piruvat kinase dapat
ditemukan eritrosit bizar di antaranya sel prickle terutama setelah splenektomi. 3

Diagnosis. Diagnosis ditegakkan berdasarakan pemeriksaan enzimatik khusus dengan


menggunakan konsentrasi substrat yang sesuai untuk mendeteksi varian-varian berafinitas
rendah terhadap substrat. 3

Terapi. Sebagian besar pasien tidak membutuhkan terapi keculi pasien dengan
hemolisis berat harus diberikan asam folat 1 mg/hari.Transfusi darah diperlukan ketika krisis
hipoplastik. Splenoktomi bermanfaat pada pasien dengan defisiensi piruvat kinase dan
glukosa fosfat isomerase.Dengan splenektomi retikulosit di sirkulasi meningkat. 3

Mikroangiopati Trombotik

Mikroangiopati trombotik adalah sumbatan mikrovaskular yang terjadi kerena


agregasi trombosit sistemik atau intrarenal, disertai adanya trombositopenia, dan trauma
mekanik sel eritrosit.Yang termasuk kelompok kelinan ini adalah Trombocytopenia Purpura
(TTP). 3

Trombotic Trombocytopenia Purpura (TTP)

Kelainan ini ditandai dengan agregasi trombosit pada ateriol berbagai organ yang
mengakibatkan trombositopenia dan memicu kerusakan sel eritrosit yang mengalami
fragmentasi (schistocytes atau sel helmet). Agregasi trombosit dapat mengakibatkan oklusi
baik parsial atau total sehingge terjadi disfungsi organ yang biasanya terjadi pada sistem saraf
atau ginjal. Okulsi ini menyebabkan jaringan iskemia atau nekrotik sehingga meningkatkan
kadar laktat dehidrogenase. Adapun eritrosit yang mengalami fragmentasi terjadi karena
adanya aliran darah melalui area turbulen dari mikrosirkulasi mengalami okulsi parsial
18
karena agregasi trombosit. TTP dapat terjadi pada semua usia terutama dewasa muda dan
lebih sering perempuan. 3

Patogenesis. Pada TTP thrombus trombosit/agregasi trombosit megandung banyak


faktor von Wilebrand sedangkan pada DIC thrombus trombosit mengandung bayak fibrin
tetapi tidak mengandung faktor von Wilebrand. Situasi ini karena agregasi trombosit pada
TTP diperantarai oleh faktor von Wilebrand multimer besar yang tidak biasa, yang lebih
mudah berikatan dengan Iba. Adanya faktor von Wilebrand multimer besar yang tidak biasa
ini karena adanya defek atau defisiensi enzim metaloprotease. ADAMTS 13, yang bertugas
memecah multimer faktor von Wilebrand. Defek atau defisiensi enzim ini dapat terjadi
karena mutasi gen atau adanya antobodi yang menghambat enzim tersebut. Sehingga
ditemukan dua tipe TTP yaitu familial dan didapat. Pada kedua tipe ini aktivitas ADAMTS 13
kurang dari 5 persen normal. 3

Manisfestasi klinik. Manifestasi klinik klasik TTP ada lima, yang sering disebut
dengan pentad TTP, yaitu anemia hemolitik dengan fragmentasi eritrosit, trombositopenia
kelainan neurologic fokal atau difus, penurunan fungsi ginjal dan demam. Secara praktis triad
TTP: trombositopenia, skistositosis, dan peningkatan LDH cukup untuk menduga adanya
TTP. 3

Gejala dan tanda TTP bervariasi tegantung pada jumlah dan lokasi lesi
arteriol.Anemia pada TTP bisa sangat ringan sampai sangat berat dan derajat trombositopenia
biasanya tampak jika jumlah trombosit (<20.000-30.000).demam tidak selalu ada. Onset TTP
akut tetapi bisa berlangsung dalam hitungan bulan.Proteinuria dan peningkatan urea nirogn
darah (BNU) mungkin ditemukan dan terus meningkat jika berkembang menjadi gagal ginjal.

Gejala neurologis berkembang pada >90% pasien yang penyakitnya berakhir dengan
kematian. Awalnya terjadi perubahan mental seperti bingung, dilerium, perubahan
kesadaran.Pasien dapat mengalami kejang, hemiparesis, afasia, dan kelainan lapang pandang
mata.Gejala neurologis ini berfluktuasi dan berakhir dengan koma.Keterlibatan pembuluh
darah jantung bisa mengakibatkan kematian mendadak.Beratnya kelainan dapat diperkirakan
dengan derajat anemia, trombositopenia, dan kadar serum LDH. 3

Masa protrombin, masa tromboplastin parsial, dan konsentrasi fibrinogen serta


kadarfibrin degradation product (FDP) biasanya normal atau hanya abnormal ringan. Bila
pemeriksaan koagulasi menunjukkan konsumsi faktor pembekuan yang berlebih maka

19
diagnosis TTP diragkan.Pada 20% pasien didapatkan Anti nuclear antibody (ANA) yan
positif. 3

Klasifikasi

Ada dua tipe TTP: 1) Familial. Muncul pada masa bayi atau kanak-kanak dan kambuh
dengan interval teratur tiga minggu (dirujuk sebagai thrombotic thrombocytopenia kronik
kambuh); 2) Idiopatik didapat.Muncul pada orang dewasa dan anak-anak yang lebih tua dan
biasanya merupakan episode akut tunggal.Hanya 11-36% yang kambuh dengan interval tidak
teratur.Biasanya terjadi dalam beberapa minggu setelah terapi awal thrombosis arteri pada
pasien thrombosis arteri yang mendapat tiklopidin, inhibitor adenosis disfosfat (ADP) dan
sebagian kecil yang pasien yan menermia klopidogrel.Kelainan ini juga bisa terjadi pada
waktu kehamilan terutama trimester akhir atau periode postpartum. 3

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya anemia hemolitik dengan fragmentasi


eritrosit, tes koagulasi normal, demam, kelainan neurologi dan gangguan fungsi ginjal, yang
merupakan kelainan patognomotik untuk TTP. Meski tidak selalu dibutuhkan untuk
diagnosis, biopsies kulit dan otot, gusi, kelenjar getah bening, atau sumsum tulangm
menunjukkan kelainan arteriol yang khas. 3

Diagnosis banding.Idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP) atau Evan’s Syndrome.Pada


kedua kelainan ini ditemukan juga framentasi eritrosit tetapi bukan eritrosit sferosiik.Pada
TTP tes Coombs negatif.

Terapi.Pada TTP familial, episode TTP dapat dicegah dengan pemberian fresh frozen plasma
yang mengandung sedikit trombrosit, plasma mengandung sedikit kriopresipitat atau plasma
yang dicampur dengan pelarut dan detergen yang berisi metaloprotease aktif yang diberikan
tiap tiga minggu. Tidak dibutuhkan plasmaferesis. 3

Pada TTP idiopatik didapat perlu dilakukan plasma exchange (plasma tukar) yaitu
kombinasi plasmaferisis dengan infuse FFP atau crysupernatant, setiap hari. Plasmaferesis
bertujuan untuk megeluarkan faktor von Wilebrand multimer besar yang tidak biasa dan
autoantibody terhadap ADMTS 13.Jika respon baik (trombosit meningkat dan LDH
menurun) frekuensi plasma tukar dapat dikurangi tetapi kadang-kadang diteruskan untuk
beberapa minggu atau bulan.Lebih dari 90% pasien dapat bertahan hidup dengan pemberian
segera terapi ini. 3
20
Etiologi Anemia Hemolitik Autoimun

Etiologi belum pasti dari penyakit autoimun memang belum jelas, kemungkinan
terjadi karena gangguan central tolerance, dan gangguan pada proses pembatasan limfosit
autoreaktif residual. 3

Epidemiologi

Insiden dari AIHA tipe hangat sekitar 1 dari total 75-80.000 populasi di USA. AIHA
tipe hangat dapat muncul pada usia berapapun, tidak seperti AIHA tipe dingin yangseringkali
menyerang usia pertengahan dan lanjut, atau Paroxysmal Cold Hemoglobinuria(PCH) yang
melibatkan usia kanak.4

Patofisiologi Anemia Hemolitik Autoimun

Perusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibodi ini terjadi melalui aktivitas
sistem komplemen, aktifasi mekanisme seluler atau kombinasi keduannya. 3

1. Aktifasi sistem komplemen. Secara keseluruhan aktifasi sistem komplemen akan


menyebabkan hancurnya membrane sel eritrosit dan terjadilah hemolisis intravaskuler
yang ditandai dengan hemoglobinemia dan hemohlobinuri. 3
Sistem komplemen akan diaktifkan melalui jalur klasik ataupun jalur alternative.
Antibodi-antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalam IgM,
IgG1, IgG2, IgG3. IgM disebut sebagai agglutinin tipe dingin, sebab antibodi ini
berikatan dengan antigen polisakarida pada permukaan sel darah merah pada suhu di
bawah suhu tubuh. Antibodi IgG disebut agltinin hangat karena beraksi dengan
antigen permukaan sel eritrosit pada suhu tubuh. 3
-
Aktifasi komplemen jakur klasik. Reaksi diawali dengan dengan reaksi C1
suatu protein yang dikenal sebagai recognition unit. C1 akan berikatan dengan
kompleks imun antigen antibodi dan menjadi aktif serta mampu mengkatalisis
reaksi-reaksi pada jalaur klasik. Fragmen C1 akan mengaktifkan C4 dan C2
menjadi suatu kompleks C4b, 2b (dikenal sebagai C3-convertase) C4b, 2b, akan
memecah C3 menjadi fragmen C3b dan C3a. C3b mengalami perubahan
konformational sehinga mampu berikatan secara kovalen dengan partikel yang
mengaktifkan komplemen (sel darah merah berlabel antibodi). C3 juga akan
membelah menjadi C3d, g, dam C3c. C3d dan C3g akan tetap berikatan pada
membrane sel darah merah dan merupakan produk final aktivitas C3. C3b akan
21
membentuk kompleks dengan C4b2b menjadi C4b2b3b (C5 convertase). C5
convertase akan memecah C5 menjadi C5a (anafilatoksin) dan C5b yang berperan
dalam kompleks penghancur membrane. Kompleks penghancur membrane terdiri
dari molekul C5b, C6, C7, C8 dan beberapa molekul C9. Kompleks ini akan
menyisip ke dalam membrane sel sebagai suatu aluran transmembran sehingga
parmeabilitas membrane normal akan terganggu. Air dan ion akan masuk ke
dalam sel sehinga sel membengkak dan ruptur. 3
-
Aktifasi komplemen jalur alternative. Aktifator jalur alternatif akan
mengaktifkan C3, dan C3b yang terjadi akan berikatan dengan membrane sel
darah merah. Faktor B kemungkinan melekat pada C3b. ikatan C3bBb selanjutnya
akan memecah molekul C3 lagi menjadi C3a dan C3b. C5 akan berikatan dengan
C3b dan oleh Bb dipecah menjadi C5a dan C5b. Selanjutnya C5b berperan dalam
penghancuran membran. 3
2. Aktifasi selular yang menyebab hemolisis ekstravaskular. Jika sel darah disensitasi
dengan IgG yang tidak berikatan dengan komplemen atau berikatan dengan
komponen komplemen namun tidak teradi aktifisi komplemem lebih lanjut., maka sel
darah merah tersebut akan dihancurkan oleh sel-sel retikuloendoelial. Proses immune
adherence ini sangat penting bagi perusakan sel eritrosit yang diperantarai sel.
Immunoadherance, terutama yang diperantarai IgG-FcR akan menyebabkan
fagositosis. 3

Manifestasi Klinis

Anemia Hemolitik Autoimun Tipe Hangat

Gejala dan tanda: Onset penyakit tersamar, gejala anemia terjadi perlahan-lahan,
ikterik, dan demam. Pada beberapa kasus dijumpai perjalanan penyakit mendadak, disertai
nyeri abdomen, dan anemia berat. Urin berwarna gelap karena terjadi hemoglobinuria. Ikterik
terjadi pada 40% pasien. Pada AIHA idiopatik splenomegali terjadi pada 50-60%,
hepatomegali terjadi pada 30%, dan linfadenopati terjadi 25% pasien. Hanya 25% pasien
tidak disertai pembesaran organ dan limfonodi. 3

Laboratorium: Hemoglobin sering dijumpai dibawah 7 g/dl. Pemeriksaan Coomb


direk biasanya positif Autoantibodi tipe hangat biasanya ditemukan dalam serum dan dapat
dipisahkan dari sel-sel eritrosit. Autoantibody ini berasal dari kelas IgG dan bereaksi dengan

22
semua sel eritrosit normal. Autoantibody tipe hangat ini biasanya bereaksi dengan antigen
pada sel eritrosit pasien sendiri, biasanya antigen Rh. 3

Anemia Hemolitik Autoimun Tipe Dingin

Gambaran klinis sering terjadi aglutinasi pada suhu dingin. Hemolisis berjalan kronik.
Anemia biasanya ringan dengan Hb 9-12 g/dl. Sering didapatkan akrosianosis, dan
splenomegali. Laboratorium Anemia ringan, sferositosis, polikromatosia, tes Coombs positif.
3

Penatalaksanaan

Anemia Hemolitk Autoimun Tipe Hangat

Menyingkirkan penyebab yang mendasari misalnya metildopa dan fludarabin.


Kortikosteroid : 1-1,5 mg/kgBB/hari, beberapa pasien akan memerlukan terapi rumatan
dengan steroid dosis rendah, namun bila dosis perhari melebihi 15mg/hari maka pertahankan
kadar Hmt dan perlu segera dipertimbangkan terapi dengan modalitas lain. Splenektomi
untuk pasien yang tidak berespon baik atau gagal dengan steroid (tidak bisa dengan tappering
dosis selama 3 bulan). Imunosupresi (Azatriopin 50-200mg/hari, Siklofosfamid 50-150
mg/hari), asam folat dapat diberi pada kasus yang berat, tranfusi darah jika anemia berat
(pada kondisi yang mengancam jiwa) dan dapat digunakan immunoglobulin dosis tinggi
tetapi hasilnya tidak sebaik pada ITP. 3

Anemia Hemolitik Autoimun Tipe Dingin

Menghindari udara dingin yang dapat memicu hemolisis. Prednison dan splenektomi
tidak banyak membantu. Klorambucil 2-4 mg/hari, plasmaferesis untuk mengurangi antibodi
IgM secara teoritis bisa mengurangi hemolisis namun pada praktiknya sukar dilakukan. 3

Pencegahan

Pencegahan primer


Penyakit herediter, hindari pernikahan dengan keluarga dekat

23

Bagi penyakit yang disebabkan oleh mutasi, hindari dari keadaan yang boleh
menyebabkan mutasi seperti rokok

Transfusi darah dilakukan dengan penuh hati-hati agar tidak terjadi sembarang
inmkompatibilitas

Lakukan pemeriksaan darah bagi pembawa thalasemia dan penyakit herediter lain
sebelum menikah

Pencegahan sekunder


Disebabkan kebanyakan etiologi anemia hemolitik dari herediter, pencegahan
sekunder lebih utama

Pasien dengan defisiensi G6PD hendaklah mengelakkan bahan yang boleh
menyebabkan serangan seperti naftalen, fava beans, sulfonamide, nitrofurantoin,
salisilat, nitrit, dapson, ribavirin, fenazopiridin atau parakuat.

Hindari suasana dingin bagi anemia hemolitik autoimun tipe dingin

Lakukan pemeriksaan darah bagi pembawa thalassemia dan penyakit herediter lain
sebelum menikah

Lakukan pemeriksaan CBC secara periodik bagi mendeteksi respon pengobatan dan
relaps. Mereka yang dengan symptom anemia atau hemolisis perlu dievaluasi segera.
Pasien dengan diabetes yang mengambil kortikosteroid perlu monitor yang lebih bagi
pengendalian gula darah

Pasien dengan splenektomi perlu mengambil antibiotic anafilaktik bila demam.

Lakukan pemeriksaan jika keluarga anemik. 5

Komplikasi

 Deep vein thrombosis (DVT), adalah bekuan darah yang terbentuk di vena dalam,
biasanya di tungkai bawah. Kondisi ini cukup serius, karena terkadang bekuan
tersebut bisa pecah dan mengalir melalui peredaran darah ke organ-organ vital seperti
emboli paru atau menyumbat arteri pada limpa sehingga terjadi iskemi dan bisa
menyebabkan gangguan jantung hingga kematian.

Gagal ginjal akut, terjadi Hemogloblinuria oleh karena terjadi penghancuran eritrosit
dalam sirkulasi, maka Hb dalam plasma akan meningkat dan jika konsentrasi
plasmanya melebihi kapasitas haptoglobin plasma maka Hb akan berdifusi dalam
glomerulus ginjal. Selain itu juga terjadi mikrioangiopati pada pembuluh darah ginjal
sehingga merusak tubuli ginjal menyebabkan oligouria dan gangguan berat fungsi
ginjal.

24

Krisis hemolisis, akan menyebabkan penurunan kadar hemoglobin, jumlah eritrosit
yang menurun cepat dan akan menyebabkan tidak saja memburuknya keadaan anemia
akan tetapi juga keadaan umum penderita. Keadaan ini kadang – kadang irreversible.

Kolelithiasis yang diakibatkan oleh adanya peningkatan metabolisme bilirubin. 6

Prognosis

Anemia Hemolitk Autoimun Tipe Hangat. Prognosis dan survival. Hanya sebagian
kecil pasien mengalami penyembuhan komplit dan sebagaian besar memiliki perjalanan
penyakit yang berlangsung kronik, namun tekendali. Survival 10 tahun berkisar 70%.
Anemia, DVT, emboli pulmo, infark lien, dan kejadian kardiovaskuler lain bisa terjadi selama
periode penyakit aktif. Mortalitas selama 5-10 tahun sebesar 15-25%. Prognosis pada AIHA
sekunder tergantung penyakit yang mendasari. Anemia Hemolitik Autoimun Tipe Dingin.
Prognosis dan survival. Pasien dengan sindrom kronik akan memliki survival yang baik dan
cukup stabil.3-4

Kesimpulan

Kasus seorang wanita 25 tahun datang dengan keluhan mudah lelah kurang lebih 2-3
minggu ini, dan wajahya terlihat agak pucat. Pasien tidak demam, mual, muntah, BAK dan
BAB dalam batas normal. Kadar Hb 9,5 g/dl, Ht 30%, retikulosit 6%, MCV 82, MCH 30,
MCHC 34, leukosit 8.900, trombosit 230.000, sclera tidak ikterik dan konjungtiva anemis.
Wanita tersebut menderita Anemia Hemolitik.

Daftar Pustaka

1. Gleadle J. history and examination at a glance. Edisi II. Oxford : Blackwell


Publishing, 2007.h. 84-5.
2. Kowalak JP, Welsh W. Buku pegangan uji diagnostik. Ed 3. Jakarta :
EGC,2009.h.116-24, 132-35.
3. Suyono AW, SetiyohadiB, Alwi I, Setiadi S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II
Ed. V. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2009.h. 1152-61.
4. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W, Kapita Selekta
Kedokteran. Edisi ke-3.Jilid 1.Jakarta:Media Aesculapius;2008. Hal 550-2.
25
5. Aster JC. Sel darah merah dan penyakit perdarahan. Dalam : Robbins&cotran dasar
patologis penyakit. Edisi VII. Editor : Vinay K, Abdul KA, Nelson F. Jakarta:EGC,
2010.h. 637-56.
6. Hoffbrand AV, Pettit JE, Moss PAH. Anemia hemolitik. Dalam : hematologi. Edisi IV.
Jakarta : EGC, 2005.h. 51-63.
7. Hoffbrand AV, Pettit JE, Moss PAH. Anemia hemolitik. Dalam : hematologi. Edisi IV.
Jakarta : EGC, 2005.h. 51-63.

26

Anda mungkin juga menyukai