Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH

INTERLANGUAGE

Disusun untuk Memenuhi Tugas Individu pada Mata Kuliah Pendidikan Pancasila
Semester Satu yang Diampu oleh Abdur Rofik., S.S., M.Pd.
Disusun Oleh:

Sukirman (2020120032)
Unfiyani (2020120031)

PROGRAM STUDI SASTRA INGGRIS

FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA (FBS)

UNIVERSITAS SAINS AL-QURAN (UNSIQ)

WONOSOBO

2021
PENDAHULUAN
Kegiatan belajar mengajar secara universal sangat berpengaruh terhadap aspek
pemahaman atau strukture kognisi. Dalam pengembangan teori belajar kognitif adalah
konstruktivistik. Selama kegiatan berlangsung peran dari teori-teori pembelajaran sangat
berpengaruh terhadap hasil output suatu pembelajaran.  Berdasarkan teori-teori belajar inilah
yang sangat mendominasi dalam kegiatan belajar mengajar.
Semua teori dalam kegiatan pembelajaran merupakan hasil studi atau penelitian serta
pengamatan dalam kegiatan pendidikan. Semuanya memiliki pandangan yang spesifik
tentang konsep belajar. Misal, Behavioristik secara spesifik menyingkapi perilaku yang
terjadi dalam kegiatan belajar mengajar. Apakah perilaku tersebut merupakan gaya belajar
atau merupakan respon yang timbul karena adanya suatu rangsang (stimulus).
Konstruktivistik merupakan bagian dari teori belajar hasil pengembangan dari teori
kognitif. Dalam hal ini dapat di katakan bahwa pembelajaran bahasa kedua atau bahasa asing
merupakan  kebutuhan saat ini. Dalam kegiatan tersebut peran konstruktivisrik sangat
penting. Dalam mempelajari bahasa kedua, pembelajar bahasa menciptakan suatu sistem
bahasa baru yang digunakan untuk dirinya sendiri yang oleh para linguis dinamakan sebagai
interlanguage. Interlanguage tersebut menghasilkan suatu variabilitas yang disebut
interlanguage variability. Dalam makalah ini akan dibahas lebih jauh tentang interlanguage
dan variasinya dalam bahasa pembelajar.
PEMBAHASAN
A. Interlanguage
Yang dimaksud dengan interlanguage yaitu sistem linguistik yang digunakan
oleh pembelajar bahasa kedua atau bahasa asing yang sedang dipelajari. Ketika
mempelajari bahasa kedua, pembelajar membangun suatu sistem bahasa tersendiri
yang berbeda dengan bahasa pertama mereka. Sistem tersebut disebut “interlanguage”
oleh Larry Selinker, seorang profesor dalam bidang linguistik berkebangsaan
Amerika. Artikelnya yang berjudul “Interlanguage” muncul pada Januari 1972 dalam
jurnal International Review of Applied Linguistics in Language Teaching. David
Crystal dalam bukunya A Dictionary of Linguistics and Phonetics mengatakan bahwa
interlanguage merefleksikan perkembangan aturan-aturan atau sistem lingusitik
pembelajar, dan merupakan hasil dari berbagai proses, termasuk pengaruh dari bahasa
pertama (disebut transfer), gangguan yang bersifat kontras dari bahasa sasaran (TL),
dan generalisasi dari aturan-aturan baru.
Dalam konsep awalnya, secara metafora interlanguage diartikan sebagai “a
halfway house” atau “rumah singgah” antara bahasa pertama (L1) dan bahasa sasaran
atau bahasa kedua (TL/L2). L1 dapat dikatakan sebagai sumber bahasa yang berisi
material awal yang kemudian dicampur secara bertahap dengan material yang diambil
dari bahasa sasaran (TL). Penggabungan tersebut menghasilkan bentuk yang sama
sekali baru yang bukan merupakan bentuk dari L1 ataupun TL.
Pada awal pembelajaran bahasa, pembelajar tentunya memiliki beberapa
gambaran seperti apa bahasa asing itu, dan cara kerjanya. Dari gambaran-gambaran
ini, mereka memproduksi ujaran, ucapan dan ungkapan yang beberapa mungkin benar
dan yang lain mungkin salah. Kemudian, karena pembelajar mendapat pengetahuan
tambahan tentang bahasa itu, mereka membangun gambaran baru dan cara kerjanya
dengan lebih baik. Inilah yang disebut sebagai interlanguage : “pengembangan ide
tentang bagaimana cara kerja bahasa lain”.
Selinker mengemukakan teori interlanguage berdasarkan teori bahwa setiap
manusia memiliki ‘struktur psikologi yang terpendam atau tersembunyi yang ada
dalam otak’ yang akan aktif ketika manusia mempelajari bahasa kedua. Selinker
berpendapat bahwa pada  situasi tertentu ucapan-ucapan yang dihasilkan oleh
pembelajar berbeda dari native speaker walaupun sebenarnya memiliki maksud yang
sama. Perbandingan ini menghasilkan sistem linguistik tersendiri bagi pembelajar.
Menurut Selinker terdapat 5 proses utama yang mempengaruhi pembentukan
interlanguage:
a. Language transfer
b. Transfer of training
c. Strategies of second language learning
d. Strategies of second language communication
e. Overgeneralisation
Namun Jean D’Souza (1977) berpendapat 5 proses tersebut dapat diringkas menjadi 3
proses, yaitu :
a. Language transfer atau transfer bahasa. Pembelajar menggunakan bahasa ibunya
untuk membantunya menciptakan sistem bahasanya. Hal ini bukanlah kesalahan,
tetapi merupakan proses yang harus dilewati semua pembelajar.
b. Overgeneralization. Pembelajar menggunakan aturan dari bahasa kedua yang
tidak digunakan oleh native speaker. Sebagai contoh, pembelajar bisa saja
mengatakan “I goed home”, meng-overgeneralize aturan bahasa Inggris dengan
menambahkan –ed di akhir kata untuk membuat bentuk lampau. Kesalahan ini
terletak pada strategi pembelajaran.
c. Simplification atau penyedehanaan. Pembelajar menggunakan bentuk bahasa yang
sangat sederhana atau yang disederhanakan yang mirip dengan bahasa yang
diucapkan oleh anak-anak.
B. Variabilitas dalam Interlanguage
Walaupun menurut perspektif interlanguage melihat bahasa pembelajar
sebagai bahasa tersendiri, namun bahasa ini secara sistematis jauh berbeda dan
beragam dari bahasa yang digunakan native speaker. Seorang pembelajar akan
mengucapkan kalimat seperti “I don’t” dalam satu konteks dan mengucapkan kalimat
“me no” dalam konteks lain. Fenomena ini disebut oleh Chomskyan sebagai
“performance errors” dan sama sekali tidak ada hubungannya secara sistematis. Di
sisi lain, pihak yang memandang fenomena ini dari segi sosiolinguistik atau
psikolinguistik melihat variabilitas ini sebagai ciri-ciri istimewa dari bahasa
pembelajar.
Teori tentang variasi dalam interlanguage memerankan peran penting dalam
penelitian pemerolehan bahasa kedua atau Second Language Acquisition (SLA).
Banyak peneliti berusaha untuk menjelaskan bagaimana dan mengapa muncul
beberapa variasi yang diperlihatkan para pembelajar dalam perkembangan antar
bahasa mereka. Variasi tersebut terkadang terlihat dalam parameter norma-norma
yang bisa diterima, dan terkadang tidak. Gatbonton (1983) mengemukakan bahwa
suatu variasi dalam bahasa pembelajar bisa dijelaskan dengan “penyebaran bertahap”
bentuk-bentuk bahasa yang tidak tepat dalam tahap perkembangan muncul dan
sistematis. Bentuk-bentuk tidak tepat itu hidup berdampingan dengan bentuk-bentuk
yang tepat, lalu bentuk-bentuk tidak tepat itu dibuang.
Penelitian tentang variabilitas dalam bahasa pembelajar membedakan
antara variasi bebas (free variation) atau variasi non-sistematis, yang secara
sistematis tidak berhubungan dengan segi linguistik atau sosial, dan variasi
sistematis (systematic variation). Variasi bebas dalam penggunaan suatu bahasa
biasanya digunakan sebagai tanda bahwa bahasa tersebut belum diperoleh
sepenuhnya. Pembelajar masih berusaha untuk memahami aturan-aturan dalam
bahasa yang dipelajarinya. Tipe variabilitas seperti ini masih banyak ditemukan di
antara pembelajar pemula, dan tidak ditemukan di kalangan mahir. Contoh dari
variabilitas ini yaitu ketika native speaker dari Indonesia, yang berada dalam
pembicaraan berbahasa Inggris, mengucapkan kata he dan she yang saling bertukar,
padahal ia menunjuk pada perempuan.
Variasi sistematis muncul karena adanya pengaruh dari perubahan dalam linguistik,
psikologis, dan konteks sosial. Faktor linguistik terjadi secara lokal. Misalnya,
pengucapan suatu fonem yang sulit tergantung pada apakah fonem tersebut ditemukan
pada awal atau akhir silab.
Secara umum, variasi interlanguage dapat dijelaskan dengan mengacu
kepada faktor individual pembelajar, variasi performa dan faktor
kontekstual. Faktor individu termasuk umur, bakat, model kognitif, motivasi, dan
kepribadian. Dan untuk faktor kontekstual yaitu konteks situasional dan konteks
linguistik. Ellis (1985) mengemukakan perbedaan yang jelas dari kedua konteks ini.
Variasi bahasa pembelajar menurut konteks situasional terjadi ketika pembelajar
menggunakan pengetahuan mereka tentang bahasa kedua (L2) secara berbeda dalam
situasi yang berbeda. Contoh, ketika pembelajar ditekan untuk berkomunikasi secara
instan, ia tidak mempunyai cukup waktu untuk memaksimalkan pengetahun mereka
untuk berkomunikasi sehingga kesalahan akan banyak muncul, namun kesalahan akan
muncul sedikit ketika ia berada dalam situasi yang memiliki cukup waktu untuk
menciptakan output secara hati-hati. Dan dalam konteks linguistik, variasi terjadi
ketika pembelajar membuat kesalahan dalam satu tipe kalimat tetapi tidak dengan
kalimat yang lain. Contoh, kesalahan dalam penggunaan orang ketiga tunggal dalam
bentuk simple present tense bahasa Inggris mungkin tidak akan terjadi dalam kalimat
tunggal, namun mungkin terjadi kesalahan dalam kalimat kompleks atau majemuk.
Model variabilitas yang dikemukakan oleh Rod Ellis (1994, 1986)
yaitu model kompetensi variabel. Bertumpu pada karya Bialystok (1978), ia
membuat hipotesis tentang gudang “kaidah-kaidah antarbahasa yang berubah-ubah”
(h.269) tergantung pada seberapa otomatis kaidah-kaidah itu dan bagaimana mereka
dianalisis. Dia menarik garis pembeda tajam antara wacana terencana dan wacana tak
terencana untuk mengkaji variasi. Yang disebut pertama menyiratkan kurangnya
otomatisitas, dan karena itu mengharuskan pembelajar mengandalkan kaidah-kaidah
bahasanya sendiri. Yang belakangan lebih otomatis, karena itu mendorong pembelajar
untuk mempelajari seperangkat kaidah lain.
Sedangkan Elaine Tarone memberikan model variabilitas yang ia sebut
sebagai paradigma kontinum kapabilitas. Ia memfokuskan perhatiannya pada
varibilitas kontekstual yang ia bagi ke dalam empat kategori:
a. Konteks linguistik
b. Faktor-faktor pemrosesan psikologis
c. Konteks sosial
d. Fungsi bahasa
Ia berusaha untuk menyelidiki bagaimana konteks linguistik dan situasional
dapat membantu dalam menggambarkan beberapa hal yang tidak terjelaskan dalam
variasi interlanguage. Crookes (1989) tertarik dengan penelitian tentang variasi ini
memberikan pendapatnya tentang pentingnya hubungan variasi kontekstual dengan
proses kognitif L2 pembelajar yang mampu untuk memanipulasi atau berubah. Teori
ini mungkin akan dapat diaplikasikan langsung dalam situasi pembelajaran dan
pengajaran.
PENUTUP

Kesimpulan
Interlanguage merupakan sistem linguistik yang digunakan oleh pembelajar
bahasa kedua atau bahasa asing yang sedang dipelajari. Tiga faktor utama yang
mempengaruhi pembentukan interlanguage dalam diri pembelajar yaitu transfer
bahasa, overgeneralisation, dan penyederhanaan.
Variabilitas dalam bahasa pembelajar meliputi variabilitas sistematis
dan variabilitas non-sistematis. Yang termasuk dalam variabilitas sistematis yaitu
variabilitas induvidual dan variabilitas kontekstual, variabilitas kontekstual itu sendiri
terdiri dari konteks lingistik dan konteks situasional. Sedangkan variabilitas non-
sistematis terdiri dari variabilitas bebas dan variabilitas performa.
DAFTAR PUSTAKA

Unknown.2012. ” MAKALAH INTERLANGUAGE ( SECOND LANGUAGE


ACQUISITION)”, http://ienzulkarnaen.blogspot.com/2012/10/makalah-interlanguage-
second-language.html, diakses pada 06 Oktober 2021 16.18.

Anda mungkin juga menyukai