Anda di halaman 1dari 21

ANALISIS ELEMEN ARSITEKTURAL SEBAGAI IDENTITAS MASJID PADA

MASJID SALMAN

Adiva Thara Rahmadianti (1906383841)

Yasyfina Aflah Widyarini (1906383803)

Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia - Depok, Indonesia

I. ABSTRAK

Selama berabad-abad berkembangnya peradaban islam, arsitektur

masjid telah mengalami banyak perubahan bentuk sebagai respons dalam

pencarian identitas, perwujudan budaya, serta pemenuhan kebutuhan dalam

beribadah. Perubahan gaya arsitektur ke arah yang lebih modern, di mana

diterapkan prinsip fungsi menjadi hal yang lebih diutamakan daripada bentuk,

juga berpengaruh kepada arsitektur dari masjid itu sendiri. Sehingga sangat

mungkin bagi arsitektur masjid modern dan kontemporer untuk memiliki

bentuk yang sama sekali berbeda dengan preseden masjid tradisional karena

ditemukannya solusi baru terhadap pemenuhan kebutuhan yang sama.

Tetap ada faktor yang menjadi pedoman dalam perancangan masjid

yang ditandai dengan adanya elemen arsitektural yang esensial seperti kubah,

menara, dan mihrab. Elemen-elemen yang berasal dari tradisi ini lambat laun

dianggap menjadi simbolisasi dari identitas masjid itu sendiri. Walaupun

sebenarnya perlu dikaji kembali apakah bentuk tertentu dari elemen

tradisional tersebut menjadi penting terhadap fungsi dari masjid sebagai

tempat beribadah. Salah satu masjid yang kemudian lebih mengutamakan

fungsi dalam perancangannya dibandingkan melakukan imitasi terhadap


bentuk-bentuknya adalah Masjid Salman ITB, yang berlokasi di Jalan Ganesa,

Bandung, Jawa Barat.

Dalam penelitian ini, pembahasan diawali dengan deskripsi umum dari

Masjid Salman itu sendiri, yang dilanjutkan dengan penjabaran mengenai

sejarah dibangunnya, yang menjelaskan arsitek perancang Masjid Salman dan

nilai-nilai yang dipegangnya dalam merancang masjid ini. Kemudian, terdapat

penjelasan mengenai prinsip-prinsip desain pada Masjid Salman, yang

mencakupi aspek geometri, skala, proporsi, ritme, hierarki, materialitas, serta

organisasi ruang dari karya arsitektur ini. Pembahasan kemudian dilanjutkan

mengenai elemen-elemen arsitektural yang identik dengan suatu masjid, dan

terdapat pada Masjid Salman itu sendiri, namun bentuknya cenderung

berbeda dengan apa yang ada di masjid pada umumnya, seperti bentuk atap,

menara, dan mihrab, serta melakukan perbandingan dengan masjid lain di

Indonesia yang memegang prinsip lebih tradisional, dan mengaitkannya

terhadap fungsi dari elemen tersebut terhadap Masjid Salman.

Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah elemen arsitektural

yang menjadi identitas masjid tidak harus mengikuti bentuk tradisional

sehingga perancang dapat menginterpretasikan rancangan masjid sebebas

mungkin selama fungsi masjid sebagai tempat beribadah sekaligus identitas

umat islam bekerja dengan baik. Walaupun demikian, fenomena yang terjadi

pada masyarakat secara umum yang cenderung lebih familiar dengan

kehadiran elemen arsitektural tradisional sebagai identitas masjid perlu

dipertimbangkan sebagai salah satu pedoman dalam perancangan masjid.

II. KATA KUNCI


Arsitektur masjid, modern, kontemporer, tradisional, simbolisasi.

III. PENDAHULUAN

Tempat ibadah seringkali dikaitkan dengan tradisi dalam agama tertentu

dan budaya setempat. Tempat ibadah seringkali merupakan perwujudan dari

pemenuhan kebutuhan ibadah sekaligus sebagai medium pengekspresian

akumulasi budaya dari masyarakat yang membangunnya. Adanya kesamaan

elemen dalam tempat ibadah suatu kepercayaan merupakan hal yang penting

agar seseorang bisa mengetahui fungsi suatu bentuk terbangun. Oleh karena

itu simbolisasi pada tempat ibadah yang berupa elemen arsitektural tertentu

menjadi penting bagi identitas serta prinsip dari suatu kepercayaan.

Namun seiring dengan berkembangnya gaya arsitektur, tak dapat

dipungkiri bahwa bentuk dari bangunan tempat peribadatan akan ikut

terpengaruh oleh perkembangan ini juga, dimana sangat mungkin bahwa

aspek-aspek yang berkaitan dengan tradisi dan simbolisme dalam suatu

tempat ibadah akan hilang, sebagaimana prinsip arsitektur modern yang lebih

mengutamakan fungsi, dan bentuk dari bangunan itu sendiri akan mengikuti

fungsinya. Salah satunya adalah perkembangan gaya pada masjid dan

bagaimana elemen-elemennya dipengaruhi oleh gaya arsitektur modern.

Pada esai ini penulis akan membahas tentang bagaimana elemen

arsitektural pada masjid yang berkaitan dengan tradisi dan simbolisme

bekerja dalam preseden masjid tradisional dibandingkan dengan masjid

modern yaitu pada Masjid Salman ITB di Bandung.


IV. METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan dengan metode membandingkan elemen

arsitektural yang identik dengan masjid tradisional serta modern di Indonesia

berdasarkan studi literatur dari berbagai sumber.

V. PEMBAHASAN

Deskripsi Masjid Salman

Masjid Salman merupakan masjid yang berlokasi di kawasan Kampus ITB

Ganesa, Bandung. Masjid ini dibangun pada tahun 1964-1972, yang

menjadikannya masjid kampus pertama di Indonesia, dalam perancangannya,

arsitek yang membangin masjid ini menerapkan prinsip-prinsip dalam

arsitektur modern, yang kemudian membedakan Masjid Salman dengan

masjid-masjid di Indonesia lainnya pada saat itu.

Sejarah Dibangunnya Masjid Salman

Masjid ini dibangun oleh arsitek asal Garut, Jawa Barat, yakni Ir. H.

Achmad Noeman, yang dikenal sebagai “Maestro Arsitektur Masjid Indonesia”,

karena peran beliau yang telah merancang dan mewujudkan berbagai masjid

di Nusantara. Selama masa mudanya, beliau mengenyam pendidikan di

Hollandsch Indische School (HIS), Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO),

dan SMA Muhammadiyah. Sekitar sejak berumur 20 tahun, beliau memiliki

cita-cita untuk menjadi seorang arsitek, yang membuatnya melanjutkan

pendidikan di jurusan Teknik Sipil Universitas Indonesia yang saat itu berlokasi

di Bandung. Keadaan pada saat itu sempat membuat beliau harus berhenti

bersekolah untuk mengikuti militer untuk beberapa waktu, sampai akhirnya


beliau mengetahui bahwa Universitas Indonesia membuka jurusan Arsitektur,

dan Noeman pun meminta izin kepada pengawasnya di korps militer untuk

melanjutkan kuliahnya di jurusan tersebut, yang kemudian dilakukan beliau di

tahun 1952. Noeman pun berkesempatan untuk pergi ke Amerika Serikat dan

mendapat ilmu dari dosen asal Kentucky, yang kemudian membuat beliau

kembali ke Indonesia dengan membawa ideologi baru mengenai arsitektur

modern, dengan menganut aliran yang sejalan dengan arsitek modernis

seperti Mies van der Rohe dan Le Corbusier. Setelah kembali ke Indonesia,

beliau pun berniat untuk mengembangkan bidang arsitektur di Indonesia,

maka beliau membuka biro arsitekturnya sendiri, Birano, dan menjadi

pengajar di ITB.

Selama menjadi pengajar di ITB inilah beliau memiliki keinginan untuk

membangun masjid pada area kampus ITB, yang berlatar belakang dari

bagaimana jarak antara kampus dengan masjid terdekatnya 2.5 kilometer. Ide

beliau sempat ditolak oleh rektor perguruan tinggi tersebut di saat itu, dengan

alasan bahwa hal tersebut dapat menimbulkan kesenjangan dengan warga

kampus yang beragama selain Islam. Namun, setelah berdiskusi dengan Bung

Karno mengenai idenya, yang rancangannya telah digambar dan

dikembangkannya dalam kurun waktu dua tahun, Bung Karno pun setuju

untuk membangun masjid tersebut. Jika dilihat dari bagaimana Bung Karno

menyukai ide-ide yang beraliran modernis, usulan rancangan dari Noeman

memang sejalan dengan pemikirannya. Maka Masjid Salman ini pun dimulai

dibangun pada tahun 1964, hingga resmi dibuka dan dapat digunakan pada

1972.

Menurut Noeman, dalam merancang dan menghasilkan bentuk suatu

banguanan diperlukan sikap dimana beliau selalu terbuka terhadap gagasan


baru dan tidak sebatas mengulang bentuk-bentuk yang pernah diterapkan

dalam tradisi tanpa adanya tujuan untuk menyelesaikan suatu masalah

melainkan juga harus didasari oleh konteks bangunan tersebut. Menurutnya,

sebagai seorang arsitek diperlukan sikap ijtihad agar senantiasa terbentuk

karya yang baru dan inovatif dan memberikan banyak dampak baik untuk

yang ditujunya. Bagi Achmad Noeman sendiri, tidak ada gaya arsitektur yang

ketat dan perlu diterapkan dalam membangun sesuatu yang berkaitan

dengan keagamaan dalam islam, dalam kitab Al-Qur’an maupun hadits pun

tidak terdapat aturan mengenai bagaimana bentuk masjid yang benar. Maka

itu, penampilan dan ekspresi Masjid Salman merupakan translasi dari

kebutuhan terhadap pemenuhan murni prinsip-prinsip islam tanpa mengacu

pada kultur dan tradisi bentuk masjid yang kerap kali dikaitkan dengan gaya

arsitektur islam.

Pada saat itu, arsitek muda Indonesia seperti Achmad Noeman salah

satunya merupakan kaum yang mengikuti aliran arsitektur modern. Hal itulah

yang juga memberi pengaruh kepada bagaimana akhirnya Masjid Salman

yang bentuknya berbeda dengan masjid-masjid sebelumnya yang cenderung

mengikuti tradisi dan bentuk-bentuk yang sudah pernah dibuat sebelumnya.

Sejalan dengan pemikiran Noeman, arsitektur Islam sebenarnya tidak

memiliki manifestasi yang konkrit, hal yang menjadi penting dalam arsitektur

Islam adalah apakah suatu rancangan sejalan dengan aturan-aturan dalam

Islam atau tidak. Di dalam al-Qur’an atau Hadits pun tidak dikatakan mengenai

bentuk-bentuk tertentu yang harus dilakukan dalam merancang suatu

bangunan. Selama prinsip-prinsip arsitektur modern tidak melanggar nilai

dalam Islam maka bagi Noeman tidak ada salahnya jika prinsip tersebut

digunakan dalam membangun sebuah masjid.


Prinsip Desain Pada Masjid Salman

Gambar 1: Fasad depan Masjid Salman ITB. Sumber : N, Farras. 2021. Fasad depan Masjid

Salman ITB. Wikipedia. Diakses melalui https://id.wikipedia.org/wiki/Masjid_Salman_ITB

pada 4 Juli 2021.

a. Geometri

Geometri segiempat mendominasi gubahan massa Masjid Salman. Hal

ini dapat dilihat dari fasadnya yang berbentuk persegi panjang secara

horizontal dengan menara persegi panjang yang menjulang di sebelah kiri

fasad timur. Geometri segiempat berlanjut pada bidang vertikal yang diapit

kolom-kolom pada seluruh sisi bangunan membagi fasad yang cenderung

panjang secara proporsi menjadi 14 bujur sangkar yang lebih kecil.

Keberadaan kolom dan balok pada ujung dari fasad membuat masjid salman

terlihat solid sekaligus memberi penekanan pada volume massa yang dapat

dengan mudah diinterpretasikan sebagai bentuk geometri kubus oleh orang


yang melihat. Selain itu, atap masjid yang sebenarnya berbentuk melengkung

akan terlihat seperti kotak yang melayang di atas massa masjid jika dilihat dari

halaman depan. Memberi kesan bahwa atapnya terbuat dari bahan yang

ringan padahal menggunakan beton.

b. Skala

Sebagai sebuah masjid kampus, Masjid Salman dirancang untuk

menampung ratusan orang dalam satu atau lebih rangkaian kegiatan. Oleh

karena itu masjid ini dibangun dalam skala monumental di mana seseorang

akan merasa kecil dibandingkan dengan bangunan apabila dihadapkan atau

mengalami ruang di dalam area-area komunal seperti halaman depan dan

aula salat. Di halaman depan terdapat menara yang menjulang sekitar dua kali

tinggi masjid sebagai elemen simbolik sebuah masjid sekaligus fungsional

untuk memperluas jangkauan suara adzan. Kemudian pada aula salat tidak

ditemukan kolom kecuali pada bagian batas antara aula dengan selasar serta

terdapat langit-langit yang sangat tinggi, membuat pengunjung tidak merasa

sempit bahkan ketika aula dipenuhi peserta ibadah lainnya.


c. Proporsi

Gambar 2 : Proporsi pada tampak Masjid Salman. Sumber : Olahan pribadi.

Gambar 3 : Proporsi pada denah Masjid Salman. Sumber : Olahan pribadi.


Pada denah terlihat pembagian antar zona pada bangunan utama dan

halaman yang diapit kolom-kolom dengan satuan terkecil 5m✕5m. Pada

bangunan utama terdapat aula salat dengan luas 25m✕25m yang terbebas

dari kolom berkat konstruksi atap datar beton yang merentang sepanjang

35m di atas bangunan utama. Kemudian di bagian luar area salat ada selasar

selebar 5m yang mengelilingi masjid kecuali pada bagian barat karena

digunakan sebagai ruang penyimpanan dan mihrab. Batas antara selasar

dengan eksterior adalah kolom-kolom berjarak 5m yang menopang dinding

masif dan dinding berventilasi dengan bata karawang untuk memperlancar

pengudaraan sekaligus pencahayaan bagi area salat. Luas halaman depan

sama dengan luas bangunan utama yaitu 35m✕35m, membuat ruang bagi

pengunjung untuk melihat Masjid Salman secara keseluruhan mulai dari Jalan

Ganesa sampai masuk ke interior masjid.

d. Ritme

Repetisi pola dapat ditemukan pada bagian eksterior dan interior. Fasad

utama tersusun dari garis-garis vertikal berwarna gradasi dari putih sampai ke

coklat muda. Selain itu terdapat pula pengulangan warna putih pada menara,

kolom, serta balok. Kedua ujung fasad utama dihiasi dengan bata karawang

yang menerus sampai ke bagian utara dan selatan alih-alih dinding masif

seperti pada fasad timur dan barat Masjid Salman. Penggunaan batu

karawang juga dapat ditemukan di bagian tengah menara. Penggunaan papan

kayu mendominasi interior masjid ini. Mulai dari langit-langit, penutup bukaan,

sampai ke lantai. Pada lantai, perbedaan ukuran papan kayu berfungsi sebagai

pembatas antar baris saat salat.


e. Hierarki

Jika berjalan menuju masjid, hal pertama yang akan pengunjung lihat

dari kejauhan adalah menaranya, lalu saat sudah masuk ke area halaman

pengunjung akan disambut oleh tulisan besar penanda nama masjid dan

dapat melihat massa bangunan utama yang panjang memenuhi horizon dari

kejauhan. Setelah berjalan lebih dekat lagi pengunjung dapat melihat

detail-detail dari fasad seperti material serta sistem konstruksinya.

f. Materialitas

Gambar 4 : Penggunaan material pada selasar Masjid Salman. Sumber :

Dokumentasi Masjid Salman ITB. (n.d). Kumparan.com. Diakses melalui

https://kumparan.com/temali/5-rekomendasi-masjid-untuk-itikaf-di-bandung-1rA

RoKMthxe/full pada 4 Juli 2021.

Sebagaimana yang telah dijelaskan, tampilan Masjid Salman melibatkan

ornamen yang minim dan menampakkan material secara apa adanya, serta

menerapkan prinsip ‘form follows function’ sehingga menjadi hal yang utama
dalam bangunan ini, menandakan pengaruh dari arsitektur modern itu sendiri.

Dengan menggunakan prinsip open plan, dan penggunaan struktur kolom dan

balok dengan bentang yang lebar, sehingga tercipta ruang gerak yang luas

bagi pengguna masjid dan shaf pada saat melakukan kegiatan sholat

berjamaah tidak terputus karena adanya kolom. Sistem struktur yang

menggunakan beton prestressed ini dibangun layaknya struktur pelat balok

satu arah pada jembatan. Atap dari Masjid Salman pun juga menggunakan

material beton prestressed yang bentangnya 25m di mana bentuknya secara

estetika menghasilkan keserasian dengan bentuk atap Aula Timur di seberang

Masjid Salman, juga memiliki kegunaan sebagai talang untuk aliran air hujan.

Secara keseluruhan, material-material yang digunakan dalam

pembangunan Masjid Salman ini adalah beton, beton prestressed, dan kaca

sebagai jendela-jendelanya. Bagian mihrab dari masjid terdiri atas material

beton brut putih, dan untuk mengimplementasikan prinsip open end pada

masjid, digunakan pintu lipat dan jendela besar yang menghasilkan

pengalaman ruang di mana pengguna ruang tersebut seakan-akan tetap

terhubung pada ruang luar dan menciptakan kesan ruangan yang lapang.

g. Organisasi Spasial

Organisasi spasial yang terjadi pada Masjid Salman terjadi karena

adanya perbedaan ketinggian lantai, jenis bukaan, dan penggunaan material.


Gambar 6 : Sirkulasi pada Masjid Salman. Sumber : Olahan pribadi.

Elemen Arsitektural yang Identik Pada Masjid

a. Atap sebagai simbol masjid

Gambar 7 (kiri): Atap Masjid Dian Al Mahri. Sumber: Taman Masjid Kubah Emas.

(n.d.). Rislah Media Official Website. Diakses melalui

https://rislah.com/yuk-wisata-ke-masjid-kubah-emas-dan-rasakan-sensasi-kemegaha

nnya/ pada 4 Juli 2021. Gambar 8 (kanan) : Aksonometri atap Masjid Salman. Sumber

: Arlene. 2017. Tampak Masjid Salman. Jurnal RISA Volume 01, Nomor 04, edisi

Oktober 2017; hal 486-502. Diakses melalui

https://journal.unpar.ac.id/index.php/risa/article/download/2757/2372 pada 4 Juli

2021.
Menurut Wahid dan Karsono (2009:5), “Semenjak memasuki abad

ke-21, kubah sebagai simbol memiliki pengaruh kuat terhadap arsitektur

masjid di Jawa. Seperti pada Banda Aceh, penerimaan kubah sebagai simbol

masjid membutuhkan waktu yang lama, lalu setelah melalui proses

adaptasi, penggunaan kubah menyebar pada banyak masjid di Jawa.”

Banyak masjid tradisional di Indonesia memiliki kubah pada bagian

atap dari bangunan utamanya, baik kubah yang memiliki konstruksi

terhubung dengan struktur masjid maupun kubah yang hanya bersifat

ornamentasi saja. Salah satu contoh masjid dengan konstruksi struktur atap

kubah yang terhubung dengan strukturnya adalah Masjid Dian Al Mahri di

Depok. Kubah utama pada masjid ini memiliki tinggi 25m dengan diameter

20m. Kubah pada masjid ini memperbolehkan bentang struktur yang lebar

tanpa interupsi dari kolom.

Pada masjid modern dan kontemporer hal ini tidak berlaku karena

perancang mengetahui bahwa penggunaan kubah pada masjid bukan

merupakan kewajiban dalam Islam namun merupakan eksekusi dari

pemenuhan kebutuhan untuk menjaga agar shaf salat tidak terputus oleh

keberadaan kolom pada bentang ruang yang lebar. Sehingga dapat tercipta

bentuk terbangun masjid dengan atap datar namun tetap mengakomodasi

kebutuhan tadi seperti yang ditemukan pada Masjid Salman.

Walaupun demikian, tak dapat dipungkiri bahwa keberadaan atap

dalam masjid di Indonesia sudah menjadi seperti norma yang umum

sehingga setiap bangunan yang memiliki kubah akan dipersepsikan sebagai

masjid. Contohnya, kompleks ruko yang bergaya timur tengah berikut yang

memiliki kubah serta menara tinggi dengan warna mencolok. Orang yang
melihat dari kejauhan tanpa mengetahui fungsi aslinya akan mengira

bangunan ini masjid berkat adanya simbolisasi kubah dan menara tersebut.

Gambar 9 : Ruko Saladin Square Depok. Sumber :

Imronbiz.com. 2018. Saladin Square Depok. Jejakpiknik.com.

Diakses melalui https://jejakpiknik.com/saladin-square/ pada 5

Juli 2021.

Pada kasus Masjid Salman, keberadaan kubah tidak diperlukan untuk

memenuhi kebutuhan konstruksi struktur ruang bentang lebar namun hal

ini menyebabkan ia akan sulit dikenali sebagai masjid tanpa keberadaan

penanda lain yang identik dengan simbolisasi masjid seperti tulisan serta

menara.
b. Minaret

Gambar 10 (kiri) : Minaret Masjid At-Tin. Sumber : Minaret Masjid At-Tin (Jakarta).

(n.d). Wikimapia. Diakses melalui

http://wikimapia.org/31458591/Menara-Masjid-At-Tin pada 4 Juli 2021. dan Gambar

11 (kanan) : Menara Masjid Salman. Sumber : Haq, F. 2020. Masjid Salman ITB,

Tonggak Arsitektur Masjid Kontemporer di Indonesia. Yayasan Pembina Masjid

Salman ITB. Diakses melalui

https://salmanitb.com/2020/05/04/masjid-salman-itb-tonggak-arsitektur-masjid-ko

ntemporer-di-indonesia/ pada 4 Juli 2021.

Menurut Hoteit (2015) minaret yang biasanya berupa bentuk menara

pada suatu masjid merupakan tempat untuk muadzin mengumandangkan

adzan. Seiring berjalannya waktu, kegunaan minaret berubah-ubah, yang

awalnya merupakan penanda bahwa di suatu lokasi terdapat kaum Muslim,

sekarang fungsinya lebih mengarah kepada menjadi penanda bahwa suatu


bangunan merupakan masjid, agar mudah dibedakan dengan bangunan lain

disekitarnya, untuk saat ini pun, kegunaannya untuk muadzin

mengumandangkan adzan mungkin sudah berkurang karena adanya

pengeras suara.

Jika dilihat dari bentuknya, menara pada masjid At-Tin cenderung lebih

menyerupai bentuk arsitektur yang sering dikaitkan dengan islam terutama

masjid, dengan adanya struktur kubah dan hadirnya ornamen-ornamen.

Sedangkan menara pada masjid Salman, sesuai dengan konsep yang

dipegang dalam rancangan masjidnya, memiliki bentuk yang minim ornamen

dan terdiri atas bentuk-bentuk bujur sangkar. Sepanjang fungsinya masih

dapat berjalan dengan baik, tidak ada yang salah dengan bentuk ini, menara

pada Masjid Salman masih dapat membedakannya dengan lingkungan

sekitarnya dan dapat menandakan keberadaan sebuah masjid.

c. Mihrab

Ahmad, Y., Din, N., & Othman, R. dalam (2013:45) berpendapat bahwa

fungsi mihrab adalah sebagai berikut :

“ Mihrab saat ini dikenal sebagai ruang fungsional bagi imam dan

sebagai perangkat orientasi untuk shalat. Bukti arkeologis

menegaskan keberadaan Mihrab yang berupa relung cekung yang

digunakan pada masa Dinasti Umayyah dan representasinya dimaknai

sebagai relung sembahyang (Khoury 1998; 2). Namun Miles (1952)

belum memastikan bentuk Mihrab yang sebenarnya. Mihrab pada

dinding kiblat memiliki fungsi ganda sebagai penunjuk arah kiblat dan

sebagai tempat sujud imam ketika memimpin jamaah. Keberadaan

Mihrab ditemukan di semua masjid di seluruh dunia. Fungsi Mihrab


secara liturgis tidak dapat dibantah dan sebagaimana didukung oleh

Whelan (1986; 216), Mihrab masih ada bahkan di masjid-masjid yang

paling sederhana dan paling pedesaan.”

Sehingga dapat disimpulkan bahwa esensi dari keberadaan mihrab

adalah untuk memenuhi kebutuhan orientasi salat relatif terhadap

bangunan serta merupakan tempat bagi imam atau pemimpin kegiatan

selama rangkaian kegiatan ibadah dilangsungkan.

Gambar 9 (kiri) : Mihrab pada aula salat Masjid Salman. Sumber : Budi Yanto. 2015. Tempo.co.

Salman ITB Gembleng Siswa Miskin di Markas Tentara. Diakses melalui

https://nasional.tempo.co/read/663115/salman-itb-gembleng-siswa-miskin-di-markas-tentara

/full&view=ok pada 4 Juli 2021. Gambar 10 (kanan) : Mihrab pada aula salat Masjid Ukhuwah

Islamiyah. Sumber : Dr.dr. Ari Fahrial Syam, Sp.PD-KGEH, MMB,FINASIM, FACP. 2015. Interior

Masjid Ukhuwah Islamiyah UI. UI.ac.id. Diakses melalui

https://www.ui.ac.id/mengapa-puasa-aman-bagi-penderita-maag/ pada 4 Juli 2021.

Sebagai pusat perhatian para jamaah saat sedang beribadah, mihrab

sudah sepatutnya diberi beban visual yang lebih tinggi dibandingkan

dengan area lainnya. Pada Masjid Salman, mihrab merupakan ruang yang

agak cekung dibandingkan dengan dinding, terletak di lantai satu, dan

dilengkapi dengan mimbar dan kursi untuk imam. Di bagian atasnya ada

kain hitam yang digunakan untuk memberi penekanan visual pada area
mihrab. Kebalikannya, pada mimbar Masjid Ukhuwah Islamiyah, mihrab

didesain dengan ceruk yang berlapis-lapis serta terdapat perbedaan bentuk

langit-langit serta penekanan visual yang kuat juga terjadi berkat adanya

lampu sorot di atasnya. Mimbar pada Masjid Salman terkesan sederhana

sesuai dengan prinsip form follows function sedangkan mimbar pada Masjid

Ukhuwah Islamiyah terkesan mewah dengan penggunaan material yang

mengilap serta lampu sorot di atasnya. Kedua masjid tersebut berhasil

mencapai tujuan yang sama yaitu memberi penekanan visual pada mihrab.

VI. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan sebelumnya, dapat

disimpulkan bahwa tempat ibadah merupakan perwujudan dari tradisi serta

prinsip dari suatu agama. Di Indonesia, elemen arsitektural tradisional

tertentu yang identik terhadap masjid hadir sebagai simbolisasi dari

keberadaan masjid itu sendiri. Akan tetapi, kehadiran bentuk tersebut

sebenarnya bukan menjadi suatu keharusan, bukan menjadi aturan dalam

Islam untuk mengikuti bentuk tertentu dan dalam kebutuhan seperti

struktural pun kehadirannya bukan menjadi hal yang krusial. Fenomena ini

dapat ditemukan pada Masjid Salman, di mana kepentingan mengenai fungsi

lebih diutamakan daripada simbolisasi visual semata. Meskipun begitu, tidak

dapat dipungkiri bahwa masyarakat secara umum sudah terbiasa dengan

bentuk-bentuk tertentu pada sebuah masjid, sehingga cenderung lebih

familiar dengan kehadiran elemen arsitektural yang lebih tradisional sebagai

identitas masjid.
VII. Referensi

1. Ahmad, Y., Din, N., & Othman, R. 2013. Mihrab Design and it’s Acoustical

Characteristics of Traditional Vernacular Mosques in Malaysia. Journal of

Building Performance, 4(1). Diakses melalui http://spaj.ukm.my

/jsb/index.php/jbp/article/view/79 pada 4 Juli 2021.

2. Arlene, R., & Fauzy, B. 2017. Analysis of Geometric Elements in Salman Mosque,

Bandung. Jurnal RISA (Riset Arsitektur), 1(4). Diakses melalui

https://journal.unpar.ac.id/index.php/risa/article/download/2757/2372 pada

4 Juli 2021.

3. Dewiyanti, D., & Budi, B. The Salman Mosque, the Pioneer of Mosque Design

Idea, the Driving Force behind the Coinage of the Term ‘Campus Mosque’ in

Indonesia. Journal of Islamic Architecture, 3(4). Diakses melalui

https://media.neliti.com/media/publications/71383-EN-the-salman-mosque-t

he-pioneer-of-the-mos.pdf pada 4 Juli 2021.

4. Gunjal, K. 2017. Study of Architectural Elements of Spiritual Places. Diakses

melalui https://issuu.com/khushboogunjal/docs/final_draft.docx pada 4 Juli

2021.

5. Hoteit, A. 2015. Contemporary Architectural Trends and their impact on the

Symbolic and Spiritual function of the Mosque. International Journal of Current

Research, 7(03). Diakses melalui https://www.researchgate.net/publication

/275333286_Contemporary_architectural_trends_and_their_impact_on_the_s

ymbolic_and_spiritual_function_of_the_mosque pada 4 Juli 2021.

6. Imronbiz.com. 2018. Saladin Square Depok. Jejakpiknik.com.


Diakses melalui https://jejakpiknik.com/saladin-square/ pada 5 Juli

2021.
7. Karsono, B., & Wahid, J. 2009. Alternative to Dome as a Symbol of Masjid and It’s

Influence in Indonesian Masjid Design. Diakses melalui

https://repository.unimal.ac.id/694/1/dome%20roof%20as%20symbol.pdf

pada 4 Juli 2021.

8. Azkia, F. 2016. Mengenal Achmad Noe'man, Sang Arsitek Seribu Masjid.

Rumah.com. Diakses melalui https://www.rumah.com/berita-properti

/2016/1/114526/mengenal-achmad-noeman-sang-arsitek-seribu-masjid pada

4 Juli 2021.

9. Haq, F. 2020. Masjid Salman ITB, Tonggak Arsitektur Masjid Kontemporer di

Indonesia. Yayasan Pembina Masjid Salman ITB. Diakses melalui

https://salmanitb.com/2020/05/04/masjid-salman-itb-tonggak-arsitektur-mas

jid-kontemporer-di-indonesia/ pada 4 Juli 2021.

10.Mahadi, S. 2021. Mengenal Karya Achmad Noeman, Arsitek Legendaris Indonesia

Yang Membangun “Seribu Masjid”. Berita 99. Diakses melalui

https://www.99.co/blog/indonesia/arsitek-achmad-noeman/ pada 4 Juli 2021.

11.Taman Masjid Kubah Emas. (n.d.). Rislah Media Official Website. Diakses

melalui https://rislah.com/yuk-wisata-ke-masjid-kubah-emas-dan-rasakan-

sensasi-kemegahannya/ pada 4 Juli 2021.

Anda mungkin juga menyukai