Permasalahan Penyediaan PSU dan Dampak dari Ketiadaan atau
Kekurangan Prasarana, Sarana dan Utilitas (PSU)
Pembangunan perumahan dan kawasan permukiman merupakan kegiatan yang
bersofat multisektor, yang hasilnya langsung menyentuh salah satu kebutuhan dasar masyarakat. Pembangunan perumahan dan permukiman berkelanjutan adalah pembangunan perumahan dan permukiman yang dilakukan dengan mempertimbangkan tiga pilar yaitu ekonomi, lingkungan hidup dan sosial secara holistik (Deklarasi Johanesburg). Dalam pembangunan perumahan dan permukiman berkelanjutan, lingkungan hidup adalah sumber daya yang dimanfaatkan untuk kepentingan manusia. Dalam pemanfaatan ini sumberdaya akan mengalami perubahan. Namun menurut Soemarwoto perubahan sumberdaya harus disertai dengan usaha agar fungsi ekologinya dapat berlanjut. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman menegaskan bahwa rumah adalah salah satu kebutuhan dasar manusia dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman menegaskan bahwa Pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib memberikan kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), antara lain dapat berupa prasarana, sarana, dan utilitas umum. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, melalui Direktorat Jenderal Penyediaan Perumahan sesuai dengan tupoksinya, akan membantu dan memfasilitasi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) untuk menghuni rumah yang layak dan terjangkau dalam suatu perumahan yang dilengkapi dengan prasarana, sarana dan utilitas (PSU) yang memadai. Hal ini merupakan amanat Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman bahwa perumahan sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni. Kebutuhan prasarana, sarana dan utilitas (PSU) perumahan dan permukiman seperti jalan, ruang terbuka publik, taman saluran drainase, air bersih, listrik, fasilitas kesehatan, fasilitas sekolah merupakan bagian yang tidak terpisah dari perencanaan tata permukiman yang berkualitas. Goheen (1998) dan Platinga (2003) menyatakan tatanan dan sebaran PSU adalah pembentuk struktur ruang permukiman, sedangkan penentu peningkatan nilai properti lingkungan sebagai aset masyarakat serta ketersediaan dan distribusinya sangat menentukan kualitas lingkungan serta kualitas hidup masyarakat. Lembaga dan forum international seperti UN Habitat, memperhatikan pentingnya ketersediaan dan distribusi PSU. Sesuai dengan salah satu tujuan Sustainable Development Goals yaitu membuat kota dan permukiman yang inklusif, aman, tangguh dan berkelanjutan melalui penyediaan ruang terbuka publik (RTP) dan ruang terbuka hijau (RTH). Selain itu, berbagai negara di dunia telah menerapkan standar pemenuhan PSU sebagai bagian dari produk hukum. A. Defenisi Prasarana, Sarana dan Utilitas Umum (PSU) PSU (Prasarana, Sarana dan Utilitas umum) merupakan kelengkapan fisik untuk mendukung terwujudnya perumahan yang sehat, aman dan terjangkau. Dengan demikian ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum merupakan kelengkapan dan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pengembangan perumahan dan kawasan permukiman. Bantuan prasarana, sarana, dan utilitas umum untuk perumahan umum yang selanjutnya disebut Bantuan PSU adalah pemberian komponen PSU bagi perumahan yang membangun rumah umum berupa rumah tunggal, rumah deret, dan rumah susun yang bersifat stimulan di lokasi perumahan yang dibangun oleh pelaku pembangunan, dimana jenis komponen PSU akan diatur dalam Keputusan Menteri. Prasarana adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan hunian yang memenuhi standar tertentu untuk kebutuhan bertempat tinggal yang layak, sehat, aman, dan nyaman. (Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2011 tentang Pedoman Bantuan PSU Perumahan dan Kawasan Permukiman) Sarana adalah fasilitas dalam lingkungan hunian yang berfungsi untuk mendukung penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi. (Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2011 tentang Pedoman Bantuan PSU Perumahan dan Kawasan Permukiman) Utilitas umum adalah kelengkapan penunjang untuk pelayanan lingkungan hunian. (Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2011 tentang Pedoman Bantuan PSU Perumahan dan Kawasan Permukiman) B. Kebijakan 1. Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Pedoman Bantuan Prasarana, Sarana Dan Utilitas Umum (PSU) Perumahan Dan Kawasam Permukiman Tujuan bantuan PSU untuk meningkatkan ketersediaan rumah yang layak huni bagi MBR melalui dukungan penyediaan PSU dalam rangka pembangunan baru dan peningkatan hunian perumahan dan kawasan permukiman. Sasaran bantuan PSU untuk rumah tapak dan rusun sewa pada perumahan dan kawasan permukiman. Tugas dan tanggungjawab pemerintah kabupaten/kota dalam bantuan PSU meliputi: a. Mengajukan usulan bantuan PSU kepada pemerintah provinsi tembusan kepada Kementerian; b. Melakukan pengawasan dan pengendalian bantuan PSU; c. Mengalokasikan anggaran untuk pembangunan PSU pada perumahan dan kawasan permukiman melalui dana anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota; d. Mengoordinasikan hasil pengawasan dan pengendalian bantuan PSU kepada Kementerian melalui pemerintah provinsi; e. Mensinergikan program pembangunan PSU pada perumahan dan kawasan permukiman; f. Melakukan pembinaan bantuan PSU. Komponen bantuan PSU untuk rumah tapak meliputi sebagian dari salah satu atau lebih komponen yaitu jalan, drainase, air limbah, persampahan, air minum, dan penerangan jalan umum. Komponen bantuan PSU untuk rusun sewa meliputi sebagian dari salah satru atau lebih komponen yaitu jalan, drainase, air limbah, persampahan, air minum, penerangan jalan umum dan tempat parkir. Komponen bantuan PSU dapat diberikan seluruh atau sebagian dari salah satu komponen. 2. Permen PUPR Republik Indonesia Nomor 03/PRT/M/2018 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat Nomor 38/PRT/M/2015 Tentang Bantuan Prasarana, Sarana, Dan Utilitas Umum Untuk Perumahan Umum Tujuan pedoman kebijakan ini bertujuan agar pemberian Bantuan PSU dapat dilakukan secara efisien, efektif, transparan, dan akuntabel, serta memberikan manfaat bagi MBR dalam memperoleh Rumah baru baik berupa Rumah tunggal atau Rumah deret. Kelompok sasaran pemberian bantuan PSU merupakan MBR. Sesuai dengan MBR kelompok sasaran kredit atau pembiayaan pemilik rumah bersubsidi. Pemberian bantuan PSU melalui pelaku pembangunan yang membangun perumahan umum. Pemberian bantuan PSU diutamakan bagi pelaku pembangunan berskala kecil. Bantuan PSU diberikan untuk Perumahan Umum berupa Rumah tunggal atau Rumah deret. Perumahan umum dapat merupakan perumahan dengan hunian berimbang dan perumahan yang seluruhnya ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan rumah umum. Bantuan PSU diberikan untuk jumlah rumah yang dapat dibantu paling sedikit sebanyak 50 unit rumah umum atau paling banyak 30% dari daya tampung rumah umum dalam perumahan umum. Komponen bantuan meliputi jalan, tempat pengolahan sampah dengan prinsip 3R (reduce, reuse dan recycle) dan jaringan sistem penyediaan air minum. Bantuan PSU untuk Perumahan berskala besar yang seluruhnya ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan C. Permasalahan Prasarana, Sarana dan Utilitas Perumahan Komersial di DIY Terdapat beberapa permasalahan prasarana, sarana dan utilitas umum pada perumahan komersial di DIY, diantaranya adalah: 1. Konflik pemanfaatan PSU dengan warga. Konflik pemanfaatan in terjadi antara pengembang dan warga kampung di lingkungan perumahan. Pengembang membuat jalan utama perumahan dengan membangun pembatas di sekeliling perumahan yang berakibat pada tertutupnya akses jalan kampung. Padahal lahan yang digunakan untuk pembangunan akses jalan utama perumahan tersebut dibeli dari warga kampung. Warga kampung merasa dikelabui oleh pengembang. Permasalahan ini seringkali terjadi di perumahan yang berpagar (gated community). 2. Terbengkalainya PSU karena ketidakjelasan kewenangan pengelolaan. Contoh permasalahan ini terjadi di perumahan skala menengah ke atas. Pengembang menjanjikan untuk menyediakan ruang pertemuan dan minimarket. Pembangunan ruang pertemuan dan minimarket telah terlaksana. Namun, akses warga terhadap ruang pertemuan tersebut terhambat karena ruangan yang selalu terkunci dan kurang terawatnya sarana tersebut. 3. Penyediaan dan pembangunan PSU tidak sesuai dengan standar (kualitasnya buruk atau kualitasnya kurang). 4. Tidak terbangun atau terselesaikan PSU oleh pengembang. Ditemukan beberapa kasus bahwa PSU yang dijanjikan dibangun oleh pengembang, tetapi tidak sampai selesai karena pengembang bangkrut. Lahan dan bangunan PSU terbengkalai dan aset pun dalam sengketa. 5. Pengalihfungsian PSU oleh pengembang. Contoh kasus adalah tukar guling antara lokasi fasilitas musholah dengan lapangan olahraga. Hal ini pengembang beranggapan bahwa selama tanah PSU belum diserahkan kepada pemerintah, pengembang berhak melakukan perubahan terhadap siteplannya. 6. Pengambilalihan kepemilikan PSU oleh pengembang. Sementara itu pada perumahan skala menengah ke atas terjadi rencana pengalihfungsian sarana olahraga menjadi kavling-kavling perumahan dan inkonsistensi terhadap rencana siteplan yang ada. Sementara itu, jika ditelusuri lebih luas, banyak terjadi rencana pengalihfungsian lahan PSU oleh pengembang. 7. Tidak terealisasikannya PSU sesuai janji pengembang. Pada permasalahan ini, pengembang menjanjikan PSU untuk dibangun, tetapi pada pelaksanaannya tidak sesuai dengan janji. Sementara selama ini tidak ada jaminan yang memuat rencana PSU yang akan dibangun selain di IMB. Tidak ada pengecekan di lapangan secara stimultan oleh pemerintah dari seluruh perumahan yang sudah dibangun sehingga keaktifan dan inisiatif dari pembeli perumahan sangat diperlukan. 8. Tidak ada rencana penyediaan. Masalah ini terjadi pada pembangunan kumpulan rumah yang tidak bisa dikatakan sebagai perumahan karena hanya terdiri dari beberapa unit rumah oleh satu pengembang. Pada akhirnya menjadi kumpulan rumah-rumah dengan skala besar karena di sekitarnya juga banyak pengembang yang melakukan hal yang sama. Pengembang tersebut mendapatkan ijin secara parsial. Karena jumlah rumahnya yang tidak memenuhi kriteria perumahan, mereka tidak berkewajiban membangun PSU. Sementara pemerintah juga tidak memiliki rencana penyediaan PSU secara umum dan sarana secara yang spesifik di lingkungan tersebut. Faktor-faktor yang menjadi kendala dalam proses penyediaan PSU dalam perumahan: 1. Belum cukupnya komitmen Pemerintah dalam hal penyediaan PSU (Prasarana, Sarana dan Utilitas) perumahan. Dalam penyediaan PSU perumahan baru, teridentifikasi bahwa selama ini pemerintah lebih menyerahkan kepada pengembang. Seperti aturan-aturan yang telah dibuat oleh Pemda tentang pengadaan PSU dalam perumahan komersial, semuanya mengarahkan penyediaan PSU seolah menjadi tanggung jawab pengembang saja. 2. Belum detailnya peraturan yang mengatur tentang proses perencanaan, penyediaan, pembangunan, penyerahan, pengelolaan, dan pemanfaatan PSU (Prasarana, Sarana dan Utilitas) di DIY. 3. Belum cukupnya pengawasan atau monitoring, pengendalian, dan penertiban terhadap kondisi eksisting perencanaan PSU (Prasarana, Sarana dan Utilitas) yang sudah dibuat pengembang. 4. Kurangnya informasi masyarakat tentang haknya terhadap layanan PSU. Umumnya masyarakat hanya memahami tentang haknya ketika membeli rumah di perumahan adalah mendapatkan akses terhadap layanan utilitas saja. Namun, tidak semua masyarakat pembeli perumahan paham akan haknya terhadap sarana dan prasarana. Hal ini dikarenakan tidak terdapat aturan dalam perjanjian perikatan jual beli (PPJB) mengenai pengadaan dan pengelolaan PSU. 5. Belum cukupnya wadah pengaduan masyarakat terhadap permasalahan PSU. Sementara ini apabila terjadi permasalahan yang terjadi terkait PSU, warga masyarakat melaporkan permasalahannya di BPSK, YLKI dan LO DIY. Dua wadah tersebut dirasa belum cukup memfasilitasi warga yang mengadukan permasalahan PSU. Mengingat BPSK, LO DIY, YLKI merupakan lembaga yang menangani permasalahan konsumen/warga secara umum, bukan permasalahan PSU perumahan secara khusus sehingga keefektifan dan kebijakan yang dilakukan belum dapat mengakomodasi solusi dari permasalahan. 6. Mahalnya harga lahan untuk perumahan. Status Kota Yogyakarta sebagai kota pelajar mengakibatkan daya tarik yang luar biasa dari seluruh warga masyarakat di Indonesia untuk menuntut ilmu di kota ini. Hal ini berimbas pada tingginya permintaan hunian baik itu kos, sewa, maupun beli. Dengan tingginya demand terhadap hunian mengakibatkan harga jual lahan di area sekitar kampus menjadi tinggi. Hal ini menyulitkan bagi pengembang dalam menyediakan lahan untuk perumahan. 7. Belum adanya insentif bagi kontributor PSU. Kurangnya motivasi pengembang dalam penyediaan PSU perumahan diakibatkan tidak adanya insentif atau pun penghargaan terhadap upaya pengembang tersebut. Motivasi awal pengembang dalam pengadaan PSU biasanya untuk menarik pembeli agar membeli perumahan atau kumpulan rumah yang dibangunnya. Karena selain faktor harga dan lokasi, biasanya pembeli melihat keberadaan dan kelengkapan PSU menjadi nilai tambah yang mereka pertimbangkan dalam pembelian rumah. Apabila pemerintah menerapkan sistem insentif pada pengembang yang telah menyediakan PSU sesuai aturan, tentunya pengembang akan tertarik dalam penyediaannya. Insentif tersebut bisa dalam bentuk keringanan pajak, kemudahan dalam mengurus perijinan, dan sebagainya.