Anda di halaman 1dari 7

Nama : Widiya Arham Harahap

NRP : 1231800018
Perumahan dan Permukiman

Permasalahan Penyediaan PSU dan Dampak dari Ketiadaan atau


Kekurangan Prasarana, Sarana dan Utilitas (PSU)

Pembangunan perumahan dan kawasan permukiman merupakan kegiatan yang


bersofat multisektor, yang hasilnya langsung menyentuh salah satu kebutuhan
dasar masyarakat. Pembangunan perumahan dan permukiman berkelanjutan
adalah pembangunan perumahan dan permukiman yang dilakukan dengan
mempertimbangkan tiga pilar yaitu ekonomi, lingkungan hidup dan sosial secara
holistik (Deklarasi Johanesburg). Dalam pembangunan perumahan dan
permukiman berkelanjutan, lingkungan hidup adalah sumber daya yang
dimanfaatkan untuk kepentingan manusia. Dalam pemanfaatan ini sumberdaya
akan mengalami perubahan. Namun menurut Soemarwoto perubahan sumberdaya
harus disertai dengan usaha agar fungsi ekologinya dapat berlanjut.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman menegaskan bahwa rumah adalah salah satu kebutuhan dasar
manusia dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Dalam
Pasal 54 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman menegaskan bahwa Pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib
memberikan kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi Masyarakat
Berpenghasilan Rendah (MBR), antara lain dapat berupa prasarana, sarana, dan
utilitas umum. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, melalui
Direktorat Jenderal Penyediaan Perumahan sesuai dengan tupoksinya, akan
membantu dan memfasilitasi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) untuk
menghuni rumah yang layak dan terjangkau dalam suatu perumahan yang
dilengkapi dengan prasarana, sarana dan utilitas (PSU) yang memadai. Hal ini
merupakan amanat Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011
tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman bahwa perumahan sebagai bagian
dari permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan
prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang
layak huni.
Kebutuhan prasarana, sarana dan utilitas (PSU) perumahan dan permukiman
seperti jalan, ruang terbuka publik, taman saluran drainase, air bersih, listrik,
fasilitas kesehatan, fasilitas sekolah merupakan bagian yang tidak terpisah dari
perencanaan tata permukiman yang berkualitas. Goheen (1998) dan Platinga
(2003) menyatakan tatanan dan sebaran PSU adalah pembentuk struktur ruang
permukiman, sedangkan penentu peningkatan nilai properti lingkungan sebagai
aset masyarakat serta ketersediaan dan distribusinya sangat menentukan kualitas
lingkungan serta kualitas hidup masyarakat. Lembaga dan forum international
seperti UN Habitat, memperhatikan pentingnya ketersediaan dan distribusi PSU.
Sesuai dengan salah satu tujuan Sustainable Development Goals yaitu membuat
kota dan permukiman yang inklusif, aman, tangguh dan berkelanjutan melalui
penyediaan ruang terbuka publik (RTP) dan ruang terbuka hijau (RTH). Selain
itu, berbagai negara di dunia telah menerapkan standar pemenuhan PSU sebagai
bagian dari produk hukum.
A. Defenisi Prasarana, Sarana dan Utilitas Umum (PSU)
PSU (Prasarana, Sarana dan Utilitas umum) merupakan kelengkapan fisik untuk
mendukung terwujudnya perumahan yang sehat, aman dan terjangkau. Dengan
demikian ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum merupakan
kelengkapan dan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pengembangan
perumahan dan kawasan permukiman. Bantuan prasarana, sarana, dan utilitas
umum untuk perumahan umum yang selanjutnya disebut Bantuan PSU adalah
pemberian komponen PSU bagi perumahan yang membangun rumah umum
berupa rumah tunggal, rumah deret, dan rumah susun yang bersifat stimulan di
lokasi perumahan yang dibangun oleh pelaku pembangunan, dimana jenis
komponen PSU akan diatur dalam Keputusan Menteri.
 Prasarana adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan hunian yang memenuhi
standar tertentu untuk kebutuhan bertempat tinggal yang layak, sehat, aman,
dan nyaman. (Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2011 tentang Pedoman Bantuan PSU Perumahan
dan Kawasan Permukiman)
 Sarana adalah fasilitas dalam lingkungan hunian yang berfungsi untuk
mendukung penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan sosial, budaya,
dan ekonomi. (Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2011 tentang Pedoman Bantuan PSU Perumahan
dan Kawasan Permukiman)
 Utilitas umum adalah kelengkapan penunjang untuk pelayanan lingkungan
hunian. (Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2011 tentang Pedoman Bantuan PSU Perumahan dan
Kawasan Permukiman)
B. Kebijakan
1. Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Pedoman Bantuan Prasarana, Sarana
Dan Utilitas Umum (PSU) Perumahan Dan Kawasam Permukiman
Tujuan bantuan PSU untuk meningkatkan ketersediaan rumah yang layak huni
bagi MBR melalui dukungan penyediaan PSU dalam rangka pembangunan baru
dan peningkatan hunian perumahan dan kawasan permukiman. Sasaran bantuan
PSU untuk rumah tapak dan rusun sewa pada perumahan dan kawasan
permukiman. Tugas dan tanggungjawab pemerintah kabupaten/kota dalam
bantuan PSU meliputi:
a. Mengajukan usulan bantuan PSU kepada pemerintah provinsi tembusan
kepada Kementerian;
b. Melakukan pengawasan dan pengendalian bantuan PSU;
c. Mengalokasikan anggaran untuk pembangunan PSU pada perumahan dan
kawasan permukiman melalui dana anggaran pendapatan dan belanja daerah
kabupaten/kota;
d. Mengoordinasikan hasil pengawasan dan pengendalian bantuan PSU kepada
Kementerian melalui pemerintah provinsi;
e. Mensinergikan program pembangunan PSU pada perumahan dan kawasan
permukiman;
f. Melakukan pembinaan bantuan PSU.
Komponen bantuan PSU untuk rumah tapak meliputi sebagian dari salah satu atau
lebih komponen yaitu jalan, drainase, air limbah, persampahan, air minum, dan
penerangan jalan umum. Komponen bantuan PSU untuk rusun sewa meliputi
sebagian dari salah satru atau lebih komponen yaitu jalan, drainase, air limbah,
persampahan, air minum, penerangan jalan umum dan tempat parkir. Komponen
bantuan PSU dapat diberikan seluruh atau sebagian dari salah satu komponen.
2. Permen PUPR Republik Indonesia Nomor 03/PRT/M/2018 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Dan Perumahan
Rakyat Nomor 38/PRT/M/2015 Tentang Bantuan Prasarana, Sarana,
Dan Utilitas Umum Untuk Perumahan Umum
Tujuan pedoman kebijakan ini bertujuan agar pemberian Bantuan PSU dapat
dilakukan secara efisien, efektif, transparan, dan akuntabel, serta memberikan
manfaat bagi MBR dalam memperoleh Rumah baru baik berupa Rumah tunggal
atau Rumah deret. Kelompok sasaran pemberian bantuan PSU merupakan MBR.
Sesuai dengan MBR kelompok sasaran kredit atau pembiayaan pemilik rumah
bersubsidi. Pemberian bantuan PSU melalui pelaku pembangunan yang
membangun perumahan umum. Pemberian bantuan PSU diutamakan bagi pelaku
pembangunan berskala kecil. Bantuan PSU diberikan untuk Perumahan Umum
berupa Rumah tunggal atau Rumah deret. Perumahan umum dapat merupakan
perumahan dengan hunian berimbang dan perumahan yang seluruhnya ditujukan
untuk pemenuhan kebutuhan rumah umum. Bantuan PSU diberikan untuk jumlah
rumah yang dapat dibantu paling sedikit sebanyak 50 unit rumah umum atau
paling banyak 30% dari daya tampung rumah umum dalam perumahan umum.
Komponen bantuan meliputi jalan, tempat pengolahan sampah dengan prinsip 3R
(reduce, reuse dan recycle) dan jaringan sistem penyediaan air minum. Bantuan
PSU untuk Perumahan berskala besar yang seluruhnya ditujukan untuk
pemenuhan kebutuhan
C. Permasalahan Prasarana, Sarana dan Utilitas Perumahan Komersial di
DIY
Terdapat beberapa permasalahan prasarana, sarana dan utilitas umum pada
perumahan komersial di DIY, diantaranya adalah:
1. Konflik pemanfaatan PSU dengan warga. Konflik pemanfaatan in terjadi
antara pengembang dan warga kampung di lingkungan perumahan.
Pengembang membuat jalan utama perumahan dengan membangun pembatas
di sekeliling perumahan yang berakibat pada tertutupnya akses jalan kampung.
Padahal lahan yang digunakan untuk pembangunan akses jalan utama
perumahan tersebut dibeli dari warga kampung. Warga kampung merasa
dikelabui oleh pengembang. Permasalahan ini seringkali terjadi di perumahan
yang berpagar (gated community).
2. Terbengkalainya PSU karena ketidakjelasan kewenangan pengelolaan. Contoh
permasalahan ini terjadi di perumahan skala menengah ke atas. Pengembang
menjanjikan untuk menyediakan ruang pertemuan dan minimarket.
Pembangunan ruang pertemuan dan minimarket telah terlaksana. Namun,
akses warga terhadap ruang pertemuan tersebut terhambat karena ruangan
yang selalu terkunci dan kurang terawatnya sarana tersebut.
3. Penyediaan dan pembangunan PSU tidak sesuai dengan standar (kualitasnya
buruk atau kualitasnya kurang).
4. Tidak terbangun atau terselesaikan PSU oleh pengembang. Ditemukan
beberapa kasus bahwa PSU yang dijanjikan dibangun oleh pengembang, tetapi
tidak sampai selesai karena pengembang bangkrut. Lahan dan bangunan PSU
terbengkalai dan aset pun dalam sengketa.
5. Pengalihfungsian PSU oleh pengembang. Contoh kasus adalah tukar guling
antara lokasi fasilitas musholah dengan lapangan olahraga. Hal ini
pengembang beranggapan bahwa selama tanah PSU belum diserahkan kepada
pemerintah, pengembang berhak melakukan perubahan terhadap siteplannya.
6. Pengambilalihan kepemilikan PSU oleh pengembang. Sementara itu pada
perumahan skala menengah ke atas terjadi rencana pengalihfungsian sarana
olahraga menjadi kavling-kavling perumahan dan inkonsistensi terhadap
rencana siteplan yang ada. Sementara itu, jika ditelusuri lebih luas, banyak
terjadi rencana pengalihfungsian lahan PSU oleh pengembang.
7. Tidak terealisasikannya PSU sesuai janji pengembang. Pada permasalahan ini,
pengembang menjanjikan PSU untuk dibangun, tetapi pada pelaksanaannya
tidak sesuai dengan janji. Sementara selama ini tidak ada jaminan yang
memuat rencana PSU yang akan dibangun selain di IMB. Tidak ada
pengecekan di lapangan secara stimultan oleh pemerintah dari seluruh
perumahan yang sudah dibangun sehingga keaktifan dan inisiatif dari pembeli
perumahan sangat diperlukan.
8. Tidak ada rencana penyediaan. Masalah ini terjadi pada pembangunan
kumpulan rumah yang tidak bisa dikatakan sebagai perumahan karena hanya
terdiri dari beberapa unit rumah oleh satu pengembang. Pada akhirnya
menjadi kumpulan rumah-rumah dengan skala besar karena di sekitarnya juga
banyak pengembang yang melakukan hal yang sama. Pengembang tersebut
mendapatkan ijin secara parsial. Karena jumlah rumahnya yang tidak
memenuhi kriteria perumahan, mereka tidak berkewajiban membangun PSU.
Sementara pemerintah juga tidak memiliki rencana penyediaan PSU secara
umum dan sarana secara yang spesifik di lingkungan tersebut.
Faktor-faktor yang menjadi kendala dalam proses penyediaan PSU dalam
perumahan:
1. Belum cukupnya komitmen Pemerintah dalam hal penyediaan PSU
(Prasarana, Sarana dan Utilitas) perumahan. Dalam penyediaan PSU
perumahan baru, teridentifikasi bahwa selama ini pemerintah lebih
menyerahkan kepada pengembang. Seperti aturan-aturan yang telah dibuat
oleh Pemda tentang pengadaan PSU dalam perumahan komersial, semuanya
mengarahkan penyediaan PSU seolah menjadi tanggung jawab pengembang
saja.
2. Belum detailnya peraturan yang mengatur tentang proses perencanaan,
penyediaan, pembangunan, penyerahan, pengelolaan, dan pemanfaatan PSU
(Prasarana, Sarana dan Utilitas) di DIY.
3. Belum cukupnya pengawasan atau monitoring, pengendalian, dan penertiban
terhadap kondisi eksisting perencanaan PSU (Prasarana, Sarana dan Utilitas)
yang sudah dibuat pengembang.
4. Kurangnya informasi masyarakat tentang haknya terhadap layanan PSU.
Umumnya masyarakat hanya memahami tentang haknya ketika membeli
rumah di perumahan adalah mendapatkan akses terhadap layanan utilitas saja.
Namun, tidak semua masyarakat pembeli perumahan paham akan haknya
terhadap sarana dan prasarana. Hal ini dikarenakan tidak terdapat aturan dalam
perjanjian perikatan jual beli (PPJB) mengenai pengadaan dan pengelolaan
PSU.
5. Belum cukupnya wadah pengaduan masyarakat terhadap permasalahan PSU.
Sementara ini apabila terjadi permasalahan yang terjadi terkait PSU, warga
masyarakat melaporkan permasalahannya di BPSK, YLKI dan LO DIY. Dua
wadah tersebut dirasa belum cukup memfasilitasi warga yang mengadukan
permasalahan PSU. Mengingat BPSK, LO DIY, YLKI merupakan lembaga
yang menangani permasalahan konsumen/warga secara umum, bukan
permasalahan PSU perumahan secara khusus sehingga keefektifan dan
kebijakan yang dilakukan belum dapat mengakomodasi solusi dari
permasalahan.
6. Mahalnya harga lahan untuk perumahan. Status Kota Yogyakarta sebagai kota
pelajar mengakibatkan daya tarik yang luar biasa dari seluruh warga
masyarakat di Indonesia untuk menuntut ilmu di kota ini. Hal ini berimbas
pada tingginya permintaan hunian baik itu kos, sewa, maupun beli. Dengan
tingginya demand terhadap hunian mengakibatkan harga jual lahan di area
sekitar kampus menjadi tinggi. Hal ini menyulitkan bagi pengembang dalam
menyediakan lahan untuk perumahan.
7. Belum adanya insentif bagi kontributor PSU. Kurangnya motivasi
pengembang dalam penyediaan PSU perumahan diakibatkan tidak adanya
insentif atau pun penghargaan terhadap upaya pengembang tersebut. Motivasi
awal pengembang dalam pengadaan PSU biasanya untuk menarik pembeli
agar membeli perumahan atau kumpulan rumah yang dibangunnya. Karena
selain faktor harga dan lokasi, biasanya pembeli melihat keberadaan dan
kelengkapan PSU menjadi nilai tambah yang mereka pertimbangkan dalam
pembelian rumah. Apabila pemerintah menerapkan sistem insentif pada
pengembang yang telah menyediakan PSU sesuai aturan, tentunya
pengembang akan tertarik dalam penyediaannya. Insentif tersebut bisa dalam
bentuk keringanan pajak, kemudahan dalam mengurus perijinan, dan
sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai