Anda di halaman 1dari 6

KEGUNAAN GAHARU

March 16, 2013

Selamat Datang di Kebun Gaharu

Gaharu adalah sejenis kayu dengan berbagai bentuk dan warna yang khas, memiliki kandungan
damar wangi, berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, sebagai akibat dari proses
infeksi yang terjadi secara alami atau buatan pada pohon Aguilaria sp (Thymelaeaceae).

GAHARU merupakan Komoditi Elit, Langka & Bernilai Ekonomi Tinggi


Gaharu merupakan produk ekspor. Tujuan ekspor adalah negara-negara di Uni Emirat Arab,
Arab Saudi, Singapore, Taiwan, Jepang, Malaysia.

Pohon Gaharu (Aquilaria spp.) adalah species asli Indonesia. Beberapa species gaharu komersial
yang sudah mulai dibudidayakan adalah: Aquilaria. malaccensis, A. microcarpa, A. beccariana,
A. hirta, A. filaria, dan Gyrinops verstegii. serta A. crassna asal Camboja.

Gaharu merupakan kebutuhan pokok bagi masyarakat di negara-negara Timur Tengah yang
digunakan sebagai dupa untuk ritual keagamaan. Masyarakat di Asia Timur juga
menggunakannya sebagai hio. Minyak gaharu merupakan bahan baku yang sangat mahal dan
terkenal untuk industri kosmetika seperti parfum, sabun, lotions, pembersih muka serta obat-
obatan seperti obat hepatitis, liver, antialergi, obat batuk, penenang sakit perut, rhematik,
malaria, asma, TBC, kanker, tonikum, dan aroma terapi.

Pengelompokan gaharu:
1) Abu gaharu: Super, kemedangan A, Kacang, kemedangan TGC;
2) Kemedangan A, B, C, TGC , (BC), Kemedangan Putih,Teri Kacang (terapung); dan
3) Gubal gaharu tdr dari: Double Super, Super A, Super B, Kacang, Teri A, Teri B, dan dan
Sabah (tenggelam).

Gaharu memiliki nilai harga mulai dari 100.000 – 30 juta/kg tergantung asal species pohon dan
kualitas gaharu. Sedangkan minyak gaharu umumnya disuling dari gaharu kelas rendah
(kemedangan) memiliki harga mulai dari 50.000-100.000/ml.
Sebanyak 2000 ton/tahun gaharu memenuhi pusat perdagangan gaharu di Singapura. Gaharu
tersebut 70% berasal dari Indonesia dan 30% dari negara-negara Asia Tenggara lainnya. Hutan
alam sudah tidak mampu lagi menyediakan gaharu. Gaharu hasil budidaya merupakan alternatif
pilihan untuk mendukung kebutuhan masyarakat dunia secara berkelanjutan.
Jika satu pohon gaharu hasil budidaya menghasilkan 10 kg gaharu (semua kelas), maka
diperlukan pemanenan 200.000 pohon setiap tahun.
Karena banyaknya jenis tumbuhan ini ada di Indonesia, maka bukan barang aneh, bila kemudian
tumbuhan ini juga banyak dimanfaatkan masyarakat. Manfaatn gaharu  antara lain sebagai bahan
pembuat  obat dan parfum.

Gaharu sangat di butuhkan di Negara Islam dan Arab, Wangi Parfum , Wanginya Tahan Lama,
Aroma Terapi Menyegarkan Tubuh, Perayaan dan Undangan, Kecantikan – Sabun, Shampo
Yang Harum Semerbak, Obat & Kesehatan – Biasa Digunakan di Pengobatan Tradisional
Khususnya Dinegara China dan Jepang, Koleksi Pribadi – Untuk Ruangan Besar Khusus
Eksklusif. Harga 1 Batang Pohon Agarwood bisa mencapai ribu-an dollar per kilo nya. Setelah
Penyulingan Menjadi Minyak Harga Bisa Mencapai Sekitar USD 5,000 ~ USD 10,000/kg dan
Setelah Dibuat Menjadi Cairan Extract Harganya Mampu Mencapai Lebih Dari USD 30,000
atau Rp. 300.000.000,- / Liter.

Manfaat gaharu:

1. Aktivitas Kebudayaan – Islam, Budha, Hindu


2. Perayaan Keagamaan – Kebanyakan di Negara Islam dan Arab
3. Wangi Parfum – Wanginya Tahan Lama Banyak Diminati di Negara Eropa Seperti
Daerah Yves Saint Laurent, Zeenat dan Amourage
4. Aroma Terapi – Menyegarkan Tubuh, Perayaan dan Undangan
5. Obat & Kesehatan – Biasa Digunakan di Pengobatan Tradisional Khususnya Dinegara
China dan Jepang
6. Koleksi Pribadi – Untuk Ruangan Besar Khusus Eksklusif
7. Kecantikan – Sabun, Shampo Yang Harum Semerbak

Gaharu Sembuhkan Banyak Penyakit

Gaharu dikenal berasal dari marga tumbuhan bernama Aquilaria. Di Indonesia tumbuh berbagai
macam spesiesnya, seperti A. malaccensis, A. microcarpa, A. hirta, A. beccariana, dan A. Filaria.
Karena banyaknya jenis tumbuhan ini ada di Indonesia, maka bukan barang aneh, bila kemudian
tumbuhan ini juga banyak dimanfaatkan masyarakat. Salah satu manfaatnya merupakan fungsi
flora ini sebagai obat.
Meningkatnya penggunaan obat-obatan dari bahan organik seperti tumbuhan (herbal), membuat
gaharu semakin diminati sebagai bahan baku obat-obatan untuk berbagai macam penyakit.
Dari hasil penelitian yang ada, gaharu dikenal mampu mengobati penyakit seperti stres, asma,
liver, ginjal, radang lambung, radang usus, rhematik, tumor dan kanker.
Kini pengunaan gaharu sebagai obat terus meningkat. Tapi sayangnya hingga kini, Indonesia
baru mampu memasok 15 persen total kebutuhan gaharu dunia.
Bahkan kini fungsi gaharu juga merambah untuk bahan berbagai produk kecantikan dan
perawatan tubuh. Sebagai kosmetik gaharu bisa dijual seharga Rp 2-5 juta per kilogram, bahkan
untuk jenis super dan dobel super harganya mencapai Rp18 juta per kilogram. Di Indonesia
tanaman ini dikelompokan sebagai produk komoditi hasil hutan bukan kayu.
Atas dasar itu, pengembangan gaharu sangat mendukung program pelestarian hutan yang
digalakkan pemerintah. Investasi dibidang gaharu sendiri sebenarnya sangat menguntungkan.
Gaharu bisa dipanen pada usia 5-7 tahun.
Untuk satu hektare gaharu hingga bisa dipanen, memerlukan biaya sebesar Rp 125 juta namun
hasil panen yang didapat mencapai puluhan kali lipat. Budi daya gaharu sangat cocok
dikembangkan dalam meningkatkan hasil hutan non kayu, sementara pasarnya sangat luas dan
tidak terbatas. (ant/slg) (sumber:sinar harapan).

Imam Bukhari meriwayatkan bahawa Nabi Mohammad SAW bersabda: Obatilah dengan
menggunakan Oudh (gaharu) kerana didalamnya terdapat tujuh kebaikan.

Minyak gaharu juga memang terkenal sebagai antara ekstrak minyak paling mahal didunia
hingga mencapai $20,000 dolar Amerika satu kilogram. Kegunaan perobatan maupun upacara
kebesaran dalam Ayurvedik, Sufi, Cina, Tibet, Arab dan Yunani banyak menggunakan bahan
daripada gaharu untuk tujuan yang sama.

 Meningkatkan fungsi seksual dan merawat masalah yang berkaitan


 Melegakan dan merawat sistem pernafasan – bagi penderita lelah, letih dan batuk dan
kronik
 Merawat kanker tumor dan kanker paru-paru
 Melegakan insomnia (susah tidur) dan tidur yang kurang pulas
 Mengontrol kandungan gula dalam darah bagi penderita diabetes
 Merawat sistem limfa – sistem pertahanan badan
 Mengawal dan menstabilkan tekanan darah tinggi
 Mengurangi masalah sembelit, angin, cirit-birit dan IBS (perut sensitif)
 Merawat masalah Ginjal
 Tonik untuk menguatkan fungsi jantung
 Merawat penyakit hati

GAHARU: HHBK yang Menjadi Primadona

Gaharu merupakan salah satu komoditi hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang cukup dapat
diandalkan, khususnya apabila ditinjau dari harganya yang sangat istimewa bila dibandingkan
dengan HHBK lainnya.  Nilai jual yang tinggi dari gaharu ini mendorong masyarakat untuk
memanfaatkannya.  Sebagai contoh, pada awal tahun 2001, di Kalimantan Timur tepatnya di
Pujangan (Kayan) harga gaharu dapat mencapai Rp. 600.000,- per kilogram .  Pada tingkat
eceran di kota-kota besar harga ini tentunya akan semakin tinggi pula.  Kontribusi gaharu
terhadap perolehan devisa juga menunjukkan grafik yang terus meningkat. Menurut Balai Pusat
Statistik, rata-rata nilai ekspor gaharu dari Indonesia tahun 1990-1998 adalah sebesar US $ 2
juta, dan pada tahun 2000 meningkat menjadi US $ 2.2 juta.

Gaharu dikenal karena memiliki aroma yang khas dan dapat digunakan untuk berbagai keperluan
seperti parfum, pewangi ruangan, hio (pelengkap sembahyang pemeluk agama Budha & Kong
Hu Cu), obat, dan sebagainya.

Masyarakat awam seringkali mengaburkan istilah gaharu dengan pohon gaharu.  Menurut SNI
01-5009.1-1999 gaharu didefinisikan sebagai sejenis kayu dengan berbagai bentuk dan warna
yang khas, serta memiliki kandungan kadar damar wangi yang berasal dari pohon atau bagian
pohon penghasil gaharu yang tumbuh secara alami dan telah mati sebagai akibat dari suatu
proses infeksi yang terjadi baik secara alami atau buatan pada suatu jenis pohon, yang pada
umumnya terjadi pada pohon Aquilaria sp. (Nama daerah: Karas, Alim, Garu dan lain-lain).

Gaharu diperdagangkan dalam berbagai bentuk, yaitu berupa bongkahan, chips dan
serbuk.  Bentuk bongkahan dapat berupa patung atau bentuk unik (natural sculpture) atau tanpa
bentuk sama sekali.  Demikian pula warnanya, bervariasi mulai dari mendekati putih sampai
coklat tua atau mendekati kehitaman, tergantung kadar damar wangi yang dikandungnya dan
dengan sendirinya akan semakin wangi atau kuat aroma yang yang ditimbulkannya.  Umumnya
warna gaharu inilah yang dijadikan dasar dalam penentuan kualitas gaharu. Semakin hitam/pekat
warnanya, semakin tinggi kandungan damar wanginya, dan akan semakin tinggi pula nilai
jualnya.  Umumnya semakin hitam/pekat warna gaharu, menunjukkan semakin tinggi proses
infeksinya, dan semakin kuat aroma yang ditimbulkannya.  Namun pedoman warna dan aroma
ini tidaklah mutlak, karena dalam kenyataannya, warna ini dapat diakali dengan penerapan
pewarna, sedangkan aroma dapat diakali dengan mencelupkan gaharu ke dalam destilat
gaharu.  Sehingga hanya pedagang-pedagang yang sudah berpengalaman dan sudah lama
berkecimpung dalam perdagangan gaharu sajalah yang dapat membedakan antara gaharu yang
tinggi kualitasnya dengan yang lebih rendah kualitanya (kemedangan).

Di Indonesia, gaharu yang diperdagangkan secara nasional masih dalam bentuk bongkahan,
chips ataupun serbuk gaharu.  Masyarakat belum tertarik untuk mengolah gaharu secara lebih
lanjut, misalnya dalam bentuk produk olahan seperti destilat gaharu, parfum, chopstick, dan lain-
lain, yang tentunya akan lebih meningkatkan nilai jualnya.

Gaharu dihasilkan oleh pohon-pohon terinfeksi yang tumbuh di daerah tropika dan memiliki
marga Aquilaria, Gyrinops dan Gonystilus yang keseluruhannya termasuk dalam
famili Thymelaeaceae.  Marga Aquilaria terdiri dari 15 spesies, tersebar di daerah tropis Asia
mulai dari India, Pakistan, Myanmar, Lao PDR, Thailand, Kamboja, China Selatan, Malaysia,
Philipina dan Indonesia.  Enam diantaranya ditemukan di Indonesia (A. malaccensis, A.
microcarpa, A. hirta, A. beccariana, A. cumingiana dan A. filarial).  Keenam jenis tersebut
terdapat hampir di seluruh kepulauan Indonesia, kecuali Jawa, Bali dan Nusa
Tenggara.  Marga Gonystilus memiliki 20 spesies, tersebar di Asia Tenggara mulai dari
Malaysia, Peninsula, Serawak, Sabah, Indonesia, Papua New Guinea, Philipina dan kepulauan
Solomon serta kepulauan Nicobar. Sembilan spisies diantaranya terdapat di Indonesia yaitu: di
Sumatera, Kalimantan, Bali, Maluku dan Irian Jaya. Marga Gyrinops memiliki tujuh
spesies.  Enam diantaranya tersebar di Indonesia bagian timur serta satu spesies terdapat di
Srilanka.

Penyebab timbulnya infeksi (yang menghasilkan gaharu) pada pohon penghasil gaharu, hingga
saat ini masih terus diamati.  Namun, para peneliti menduga bahwa ada 3 elemen penyebab
proses infeksi pada pohon penghasil gaharu, yaitu (1) infeksi karena fungi, (2) perlukaan dan (3)
proses non-phatology.  Dalam grup yang pertama, Santoso (1996) menyatakan telah berhasil
mengisolasi beberapa fungi dari pohon Aquilaria spp. yang terinfeksi yaitu: Fusarium oxyporus,
F. bulbigenium dan F. laseritium.  Pada kasus 2 dan 3 muncul hipotesis yang menyatakan bahwa
perlukaan pohon dapat mendorong munculnya proses penyembuhan yang menghasilkan gaharu.
Tetapi hipotesis inipun masih memerlukan pembuktian.
Kualita Gaharu Indonesia secara nasional telah ditetapkan dalam SNI 01-5009.1-1999
Gaharu.  Dalam SNI tersebut kualita gaharu dibagi dalam 13 kelas kualitas yang terdiri dari :

 Gubal gaharu yang terbagi dalam 3 kelas kualita (Mutu Utama = yang setara dengan
mutu super; mutu Pertama = setara dengan mutu AB; dan mutu Kedua = setara dengan
mutu Sabah super),
 Kemedangan yang terbagi dalam 7 kelas kualita (mulai dari mutu Pertama = setara
dengan mutu TGA/TK1 sampai dengan mutu Ketujuh = setara dengan mutu M3), dan
 Abu gaharu yang terbagi dalam 3 kelas kualita (mutu Utama, Pertama dan Kedua).

Pada kenyataannya dalam perdagangan gaharu, pembagian kualitas gaharu tidak seragam antara
daerah yang satu dengan yang lain, meskipun sudah ada SNI 01-5009.1-1999 Gaharu.  Sebagai
contoh, di Kalimantan Barat disepakati 9 jenis mutu yaitu dari kualitas Super A (terbaik) sampai
dengan mutu kemedangan kropos (terburuk).  Sedangkan di Kalimantan Timur dan Riau, para
pebisnis gaharu menyepakati 8 jenis mutu, mulai dari mutu super A (terbaik) sampai dengan
mutu kemedangan (terburuk).  Penetapan standar di lapangan yang tidak seragam tersebut
dimungkingkan karena keberadaan SNI Gaharu sejauh ini belum banyak diketahui dan
dimanfaatkan oleh para pedagang maupun pengumpul. Disamping itu, sebagaimana SNI-SNI
hasil hutan lainnya,  penerapan SNI Gaharu masih bersifat sukarela (voluntary), dimana tidak
ada kewajiban untuk memberlakukannya.

Pemanfaatan gaharu dari alam secara tradisional di Indonesia (Kalimantan dan Sumatera), akan
menjamin kelestarian pohon induknya, yaitu hanya mengambil bagian pohon yang ada
gaharunya saja tanpa harus menebang pohonnya.  Pemanenan Gaharu sebaiknya dari pohon-
pohon penghasil gaharu yang mempunyai diameter di atas 20 cm.  Namun, sejalan dengan
meningkatnya permintaan pasar dan nilai jual dari gaharu, masyarakat lokal telah mendapat
pesaing dari pebisnis gaharu dari tempat lain, sehingga mereka berlomba-lomba untuk berburu
gaharu.  Akibatnya, pemanfaatan gaharu secara tradisional yang mengacu pada prinsip
kelestarian tidak dapat dipertahankan lagi.  Hal ini berdampak, semakin sedikitnya pohon-pohon
induk gaharu.  Bahkan di beberapa tempat, gaharu telah dinyatakan jarang/hampir punah. Hal ini
disebabkan oleh karena penduduk tidak lagi hanya menoreh bagian pohon yang ada gaharunya,
tetapi langsung menebang pohonnya.  Diameter pohon yang ditebangpun menurun menjadi
dibawah 20 cm, dan tentu saja kualita gaharu yang diperolehpun tidak dapat optimal.

Akibat semakin langkanya tegakan pohon penghasil gaharu, dalam COP (Conference of Parties)
ke – 9 CITES (Convention on the International Trade in Endangered Species of Wild Flora and
Fauna) di Fort Lauderdale, Florida, USA (7 – 18 Nopember 1994) para peserta konferensi atas
usulan India menerima proposal pendaftaran salah satu spesies penghasil gaharu (A.
malaccensis) dalam CITES Appendix II.  Dengan demikian dalam waktu 90 hari sejak
penerimaan/penetapan proposal tersebut, perdagangan spesies tersebut harus dilakukan dengan
prosedur CITES.

Namun masalahnya, hingga saat ini gaharu yang diperdagangkan dalam bentuk bongkahan,
chips, serbuk, destilat gaharu serta produk akhir seperti chopstick, pensil, parfum, dan lain-lain
tidak dapat/sulit untuk dapat dibuktikan apakah gaharu tersebut dihasilkan oleh jenis A.
malaccensis ataukah dari spesies lain.   Untuk mengatasi masalah ini, akhirnya ditempuh
kebijaksanaan bahwa baik negara pengekspor maupun penerima tetap menerapkan prosedur
CITES terhadap setiap produk gaharu, terlepas apakah produk tersebut berasal dari spesies A.
malaccensis ataukah bukan.  Hal ini dikarenakan sebagian besar populasi spesies penghasil
gaharu di alam sudah berada pada posisi terancam punah.  Dengan demikian diharapkan populasi
spesies penghasil gaharu dapat diselamatkan.

Penutup

Mempertimbangkan nilai jual Gaharu, patut diupayakan peningkatan peranan Gaharu sebagai
komoditas andalan alternatif untuk penyumbang devisa dari sektor kehutanan selain dari produk
hasil hutan kayu.  Untuk mendapatkan manfaat nilai tambah maksimal dalam memanfaatkan
komoditas tersebut, perlu pembinaan kepada produsen di dalam negeri untuk mengolah gaharu
secara lebih lanjut, misalnya dalam bentuk produk akhir (olahan) seperti destilat gaharu, parfum,
chopstick, dan lain-lain dengan nilai jual yang lebih tinggi. Disamping itu, untuk mendorong
keseragaman penetapan kualita di lapangan, keberadaan SNI gaharu perlu disosialisasikan di
kalangan para produsen, pedagang, dan para konsumen. Lebih lanjut, untuk menjamin
keberlanjutan pasokan gaharu, perlu upaya pembinaan agar masyarakat memanen gaharu dengan
cara-cara yang mengindahkan kaidah-kaidah kelestarian.  Akhirnya, untuk menghindarkan
kepunahan gaharu, maka aturan atau prosedur CITES dalam perdagangan komoditas gaharu
harus dilaksanakan secara konsekwen di lapangan oleh para pihak yang berkepentingan.

Anda mungkin juga menyukai