Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Psikolog Jerome Bruner (1990) berpendapat ada dua cara untuk mengetahui dunia. Ada
yang disebut pengetahuan paradigmatis yang melibatkan penciptaan model abstrak dari
realitas.Kemudian ada yang disebut nya pengetahuan narasi, yang didasarkan kepada
pemahaman terhadap dunia melalui cerita.Bruner berpendapat bahwa kehidupan sehari hari
kita penuh dengan cerita. Kita bercerita kepada diri dan orang lain sepanjang waktu. Kita
menstruktur, menyimpan dan mengkomunikasikan pengalaman kita melalui cerita.
Tapi, ungkap Bruner, hingga saat ini ilmu social dan psikologi lebih cenderung untuk
untuk membentuk model dunia yang ilmiah dan saintifik. Bagi Bruner, pengetahuan
sesungguhnya tentang dunia mensyaratkan interaksi antara abstraksi saintifik dan cerita
sehari hari. Dia menyarankan kita untuk memberikan perhatian lebih besar kepada cerita.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara memahami cerita?
2. Mengeksternalisasikan masalah
3. Mendata sumber daya komunitas dan audien

C. Tujuan penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan :
1. Untuk memenuhi tugas pengantar konseling
2. Diharapkan mahasiswa memiliki kemampuan dalam menjelaskan pendekatan konseling
narasi: bekerja dengan narasi

1
BAB 2
PEMBAHASAN
1. Banyak Cara untuk Memahami Cerita
telah menjadi sebuah topic yang luar biasa popular. Terdapat banyak literatur
tentang narasi yang ditulis oleh antropolog, sosiologis, sejarawan, dan para pakar dalam
studi bahasa, kultur, dan kritik sastra, dan juga oleh para psikolog dan psikoterpis. Ada
banyak alasa mengapa literatur yang berkaitan dengan narasi demikian besar, kompleks
dan berpotensi membingungkan.Misalnya saja, bukan hal yang mustahil untuk
menemukan beberapa definisi yang berbeda dari kata narasi da cerita (story).
Karena itulah, cerita bukan hanya sekedar peristiwa kronologis.Sebuah cerita
disusun dengan baik memiliki tingkat kualitas dramatis dan mencakup kerguan, perasaan,
dan sesuatu yang berkaitan dengan kepribadian si penutur dan karakter yang ada dalam
cerita tersebut.Sebuah narasi dapat terdiri dari beberapa cerita yang terpisah dan berbeda
satu dengan yang lainnya, dan sangat mungkin mencakup komentar atas cerita cerita
tersebut dan penjelasan.Karena itu, semua yang diceritakan oleh klien dalam sesi
konseling dapat dipandang sebagai narasi miliknya, yang mungkin terdiri dari tiga atau
empat cerita yang berbeda dan terpisah satu dengan lainnya.
Konsep narasi telah digunakan dengan cara yang berbeda oleh masing masing
representasi pendekatan konseling dan psikoterapi yang ada. Terdapat tiga jalur
perkembangan yag berbeda, berkaitan dengan evolusi model terapi narrative-informed
dan narrative-oriented. Tiga aliran teorits yang paling berperan dalam area ini adalah
psikodinamik, konstruktivisme, dan pendekatan kontruksionis social (McLeod, 1997)

a. Nuansa Psikodinamik dalam Pendekatan Narasi


Terapis dan konselor psikodinamik dan psikoanalitiktelah menunjukkan
ketertarikan yang besar terhadap narasi, dan telah melihat fenomena ini dalam dua sudut
pandang utama. Pertama, cerita yag dikisahkan oleh klien atau pasien dipandang sebagai
tindakan menyampaikna informasi berkenaan dengan cara yang biasa digunakan oleh
orang tersebut berhubungan dengan orang lain. Kedua, peran terapis dipandang sedang
membantu klien mendapatkan cara alternative menyampaikan cerita hidup merek yang
lebih memuaskan.

2
Topic pertama, nilai cerita klien sebagai umber informasi berkenaan dengan pola
konflik yang berulang dalam hubungan mereka, telah dieksplorasi olh Strupp dan Binder
(1984) dan juga oleh Luborsky dan Crits-Christhop (1990).
Kelompok Luborsky telah mengobservasi bahwa walaupun pada saat terapi klien
menceritakan hubungan nya dengan banyak orang yang berbeda, tetap mungkin
mendeteksi tema dan konflik yang konsisten sepanjang atau sebagian besar , cerita yang
dihasilkan oleh seseorang.luborsky menyebutnya the core conflictual relationship theme
(CCRT). Umum nya harapan klien yang paling sering dilaporka adalah “agar dicintai dan
dimengerti” dan “untuk menilai diri serta independen”. Respon yang paling sering
muncul dari orang lain adalah “menolak dan beroposisi’, dan “controling”. Dan respon
diri yang paling sering muncul adalah “kecewa dan tertekan”,“tidak diterima” dan “putus
asa”. (Luborsky, et al., 1994).
Telah terungkap (Luborsky dan Crits-Christhop 1990) bahwa interpretasi yang
secara akurat didasarkan kepada analisis CCRT memiliki efektivitas yang tinggidalam
memberikan pemahaman yang mendalam, walaupun tingkat akurasi keseluruhan
interpretasi terapis yang diujji dengan teknik ini cenderung lemah, serta hubungan dengan
terapi cenderung mirip dengan pola CCRT yang ditmukan dalam cerita orang lain. Oleh
karena itu, model CCRT berfungsi sebagai metode sangat praktis dalam meningkatkan
efektivitas konseling psikodinamik, dengan bertindak sebagai alat konseptual yang dapat
digunakan oleh konselor dan psikoterapis untuk meningkatkan keakuratan interoretasi
mereka.
Beberapa teoritikus psikoanalitik telah memberikan kontribusi penting berkenaan
dengan pemahaman peran narasi dalam terapi.Spence (1982) berpendapat bahwa ada
perbedaan antara kebenaran narasi (narrative truth) dengan kebenaran sejarah (historical
truth). Pada saat Freud dan para terapis psikoanalitik awal percaya bahwa asosiasi
bebas(free association), Spence menunjukkan bahwa dengan pemahaman yang objektif
dimungkinkan untuk meverifikasi apakah peristiwa masa kanak-kanak ini benar benar
terjadi atau tidak. Dia berpendapat bahwa apa yang dilakukan terapis adalah membantu
klien mencapai kebenaran narasi, sebuah cerita yang masuk akal dan memiliki cukup
keterkaitan dengan data sejarah yang ada. Penulis Psikoanalitik penting lain yang menulis
narasi adalah Schafer (1992), yang membayangkan interpretasi yang dibuat oleh terapis

3
selama beberapa periode terdiri dari pengisahan kembali cerita klien dalam bentuk narasi
psikologis.
Tradisi psikoanalitik dan psikodinamik telah menghasilkan ide tentang peran
terapi narasi yang luar biasa dan aplikabel.walaupun demikian, bagi para penulis dan
praktisi psikodinamik, ketertarikan kepada narasi hanya tmbahan dari tugas utama
mereka, yaitu mengidentifikasi materi bawah sadar, menginterpretasikan transference,
dan seterusnya. Luborsky, Schafer, dan yang lainnya tidak bermaksud membuat terapi
narasi, tetapi memperaktikan terapi psikodinamik dalam gaya narasi cerdas (narrative –
informed)

b. Nuansa Narasi dalam Pendekatan Kognitif/Konstruktivis


Tujuan dasar terapi konstruktivis adalah menyelesaikan cara seseorang
membangun makna dalam hidup mereka.makna makna ini dipahami terdiri dari skema
kognitif, dan cerita yang dikisahkan seseorang merefleksikan struktur yang mendasari
skema kognitif yang akan digunakan untuk mengintrepretasikan realitas. Terdapat dua
aspek penting dalam konseling narasi konstuktivis: mengidentifikasikan cerita yang
saling bertentangan, dan penggunaan metafora.
Karya Russell sangat berpengaruh dalam menarik perhatian kepada peran konflik
kognitif dalam perubahan terapeutik (Russel dan Van den Boek, 1992). Russell
berpendapar bahwa sepanjang terapi hampir dapat dipastikan klien akan menceritakan
berbagai tipe cerita yang berbeda untuk sebuah situasi atau hubungan yang sama.
Versi lain teori ini adalah terapi berfokus pada solusi ala Shazer (1985). Dalam
pendekatan ini, hanya ada seikit perhatian yang diberikan kepada pertentangan antar
laporan narasi alternative terhadap peristiwa yang sama. Sebaliknya klien diajak
berbicara secara eksklusif tentang cerita solusi atau cerita outcome positif, dan
menggunakan cerita cerita ini untuk belajar lebih lanjut mengenai bagaimana mereka
dapat meraih cita cita dalam hidup. Dalam beberapa bagian, pendekatan berfokus pada
solusi dapat tampil untuk mengoprasikan sejenis versi behaviorismeyang mendorong
klien kepada perilaku “positif” dan mengabaikan perilaku “negative” yang kemudian
akan menghilang. Pencarian solusi yang penuh semangat dan tidak kenal hentidari terpis
akan berdampak ada dihasilkannya sejenis krisis kognitif pada klien, kesadaran bahwa

4
kisah masalah mereka tidak dapat dipertahankan. Setelah melampaui krisis ini, klien akan
berusah untuk menemukan kisah lain untuk diceritakan.
Model perubahan narasi konstruktivisakan diajukan oleh Goncalves (1995:158)
mendefinisikan tujuan nya sebagai : mendorong klien menggunakan teknik narasi untuk
‘membangun kesinambungan perasaan sebagai pemain atau penulis kehidupan nya
sendiri’. Model terapi narasi konstruktivis Goncalves (1995) membawa klien melalui
program 5 tahap:
 Tahap 1 : mengingat narasi (recalling narratives). Identifikasi ingatan tentang
peristiwa hidup yang penting dengan menggunakan latihan visualisasi
terbimbing utuk memvasilitasi
 pemanggilan kembali. Penugasan pekerjaan rumah yang meliputi penulisan kisah
kunci dari setiap tahun kehidupan.mengulas atau mengoleksi kisah hidupuntuk
memilih cerita prototip.
 Tahap 2: mengobjektifkan narasi (objectifying narratives). Mengisahkan
kembali cerita penting dengan cara yang membuat pembacanya “menyatu
dengan teks”. Mengoleksi artikel dan artefak yang akan meng”objektif”kan
Cerita tersebut lebih jauh lagi dengan mendefinisikan rujukan eksternalnya.
 Tahap 3 : mnsubjektifkan narasi (subjectifying narratives). Tujun tahap ini
adalah untuk meningkatkan kesadaran klien terhadap pengalaman mendalam
tentang kisah hidup tersebut.
 Tahap 4 : metaforisasi narasi (metaphorizing narratives). Klien dilatih dengan
metode untuk mengumpulkan asosiasi metaforis terhadap kisah tersebut,
kemudian akar citra ini yang ada dalam kehidupan sehari hari akan akan
dieksplorisasi.
 Tahap 5 : memproyeksikan narasi (projecting narratives). Klien diberikan
kesempatan mempraktikan metafora alternative, yang diambil dari literature dan
seni. Akar metafora baru ini yang akan kemudian diimplementasikan dalam sesi
dan kemudian dalam kehidupan sehari hari klien.

5
c. Nuansa Narasidalam Terapi Sosial Konstruksionis
Konstruksionisme social adalah sebuah sudut pandang filosofi yan menganggap
pengalaman dan makna pribadi tak hanya dibentuk oleh individu (udut pandang
konstruktivisme) , tapi juga oleh sesuatu yang tertanam dalam budaya dan dibentuk oleh
budaya. Manusia adalah makhluk social.Identitas pribadi merupakan produk budaya,
sebagaimana halnya dengan posisi seseorang.Dari perspektif kontruksionisme social,
cerita mempresentasikan jembata penting antara pribadi dan sistem budaya.Kita lahir
dalam dunia yang penuh dengan cerita. Sebuah buday terbentuk dari mitos, legenda,
kisah keluarga, dan kisah lainnya yang telah ada jauh sebalum kita lahir, dan akan terus
eksis lama setelah kitameninggal.
Diterapkan dalam terapi,konstruksionisme social tidak mencari jawaban dalam
kerangka perubahan dalam proses psikologis internal. Bahkan, dari sudut
konstruksionisme social keseluruhn ide yang menyatakan eksistensi realitas batin
pengalama psikologis perlu ipertanyakan. Dengan demikian, terapi konstruksionisme
social memperhatikan apa yang terjadi dalam budaya atau komunitas, dan hubungan
antara orang yang bermasalah (klien) dengan komunitas tersebut.
Ide kunci yang melambari terapi narasi konstruksionisme socialdapat diringkas
menjadi:
 Orang orang yan menjalankan hidup mereka dalam kisah atau pengetahuan
dominan tentang budaya dan keluarga mereka.
 Terkadang, terdapat ketidaksesuaian signifikan antara kisah dominan dengan
pengalaman hidup aktual seseorang, atau kisah dominan tersebut dapat
membangun hidup yang sengsara atau tertindas.
 Salah satu tugas terapis adalah membantu klien mengeksternalisasikan
masalah, untuk melihatnya sebagai cerita yang eksis diluar mereka.
 Terapis juga bertugas mendekontruksi kisah dominan, mengurangi
cengkramannya atas seseorang.
 Tujuan pentingg lainnya adalah menolong seseorang menyelesaikan transisi
kehidupan yang penting.
Disini kita dapat melihat bahwa terapi narasi jenis ini cenderug berjenis pendek dengan
aktivitas terapi yang padat. Terapis jelas menunjukkan sikap hangat dan menguatkan,

6
mengadopsi gaya mengaitkan diri (terapis) dengan kilen.

2. Mengeksternalisasikan masalah
Salah satu fitur unit narasi adalah metode yang oleh White dan Epston (1990)
disebut sebagai mengeksternalisasikan masalah. Mereka berpendapat bahwa banyak klien
memasuki ruang konseling dengan anggapan bahwa masalah adalah bagian dari diri
mereka, inheren dalam diri mereka sebagai seseorang. Ketika hal ini telah terjadi,
seseorang telah sampai pada kesiapan untuk memastikan posisi dimana keseluruhan
perasaan akan diri mereka dan cara mereka membicarakan diri mereka sendiri adalah
penyalahan diri dan “laru dalam masalah”. Proses eksternalisasi masalah berarti
pemisahan diri dan hubungan seseorang dalam masalah, dan membebaskan orang
tersebut untuk mengambil pendekatan yang lebih ringan terhadap apa yang sebelumnya
disebut sebagai isu “sangat serius”.
 Langkah pertama: dalam pengeksternalisasian adalah memberi nama pada
masalah. Idealnya, masalah harus didefinisikan atau diekspresikan dalam bahasa
yang digunakan oleh klien.Biasanya tindakat ini berguna untuk membuat kata
“masalah” menjadi sespesifik mungkin, dan dapat menggunakan humor serta
imajinasi.
 Langkah kedua : mengeksplorasi isu seperti: bagaimana si masalah masih dapat
terus bertahandengan gagahnya? Dan bagaimana si masalah dapat memengaruhi
hidup anda? White dan Epston (1990) menyebut fase ini sebagi pertanyaan
pengaruh relatiftujuan dari pertanyaan pertanyaan ini adalah untuk memetakan
pengaruh masalah dan dengan hal ini berarti semakin memperlebar jarak antara
orang dengan cerita masalah nya. Saat hal ini terjadi, terapis perlu waspada akan
kemunculan cerita unik, yang merupakan cerita sebelum masalah tersebut
mendominasi orang tersebut, atau ketika masalah tersebut belum kuat.

7
3. Mendata Sumber Daya Komunitas dan Audien
Tidak dapat dikatakan secara tegas bahwa pada dasarnya konseling atau terapi
narasikontruksionisme socialbukan pendekatan berpusat pada individu, tetapi lebih
merupakan cara bekerja dalam ruang antar person dengan masyarakat, mengambil yang
diperlukan keduanya. Epston dan White (1992) menggambarkan sebagai rite de passage
(ritus peralihan menuju kedewasaan), tempat dimana seseorang menegosiasikan
kepindhan dari satu status ke status lainnya.Dalam sebuah rite de passage, pertama tama
seseorang harus menjalani tahap pemisahan, ketika mereka memisahkan diri dari peran
atau status social yang sebalumnya. Mereka kemudian memasuki tahap pembatasan, saat
eksplorasi dan bingung, kemudian berlanjut kepada penyatuan kembali, ketika ia kembali
kemasyarakat dengan peran baru.
Terkadang usaha keras dibutuhkan untuk mendukung kontiunitas eksistensi
audien yang sesuai dan menghidupkan suasana dimana situasi cerita tentang masalah
klien terjebak dalam narasi kultural yang tersebar luas.
Salah satu konsekuensi focus kolektivisme terapi kontruksionisme social adalah
pertanyaan tentang nilai terapi tradisional one-to-one sebgai daerah yang efektif untuk
membangun cerita baru. Ada banyak tekanan bagi terapis dalam kosneling dan terapi
individual untuk merujuk kepada peran ahli, secara subtil (atau tidak subtil) memaksakan
narasi kesehatan dominan pada pasien atau klien.Gergen dan Kaye (1992) dan Gergen
(1996) telah mempertanyakan apakah posisi terapis yang bersifak intrinsic bagi mode
terapi tradisional- adalah jangka waktu yang lama- konsisten dalam perspektif
kontruksionisme social.

8
DAFTAR PUSTAKA
McLeod, J. (2005). An Introducing to Counseling mainhead: Open University Press

9
BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
Terdapat semangat dan energi luar biasa yang mengitari evolusi terapi narasi
baru.Bagi banyak terapis dan klien, pemberian izin untuk mengisahkan cerita
dirasakan sebagai pengalaman yang membebaskan.Ada banyak hikmah dan kebijakan
dalam setiap cerita yang dikisahkan oleh orang. Walaupun demikian, selalu ada
kebingungan dan kompetisi dalam kamp narasi: sebab sekarang narasi merupakan
jenis ‘merek” baru. Sampai saat ini hamper setiap orang yang mengklaim melakukan
terapi narasi telah didik dalam pendekatan lain. Pendidikan metode terapis belum
tersedia. Situasi ini menimbulkan sejumlah pertanyaan akan masa depan terapi narasi.
Apakah kesuksesan terapi narasi berkaitan dengan fakta bahwa terapi narasi telah
memiliki ketarampilan dan teori dasar yang bersumber dari model terapi lain seperti
keluarga, terapi psikoanalitik dan kognitif? Dapatkah pendidikan yang murni model
narasi merupakan hal yang cukup?Apakah formalisasi dan serangkaian instusionalisme
terapi narasi tersebut dapat mempertahankan kreatifitasnya?

B. Kritik dan Saran


Demikian materi-materi yang dapat kami jelaskan mengenai Pendekatan
Konseling narasi: bekerja dan cerita.Tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahan
mengenai pengetahuan dan referensi dalam penyusunan makalah ini, sehubungan dengan
itu kami berharap adanya pemberian kritik dan saran yang membangun demi
sempurnanya makalah ini dan makalah-makalah berikutnya.

10
DAFTAR PUSAKA

McLeod, J. (2005). An Introducing to Counseling.Mainhead. Open University


C.

11
12

Anda mungkin juga menyukai