Tim
Pantjar Simatupang
Muchjidin Rahmat
Supriyati
Mohamad Maulana
Daftar Isi
Daftar Tabel
Daftar Gambar
Policy Brief
I. Pendahuluan….………………………………………………………………………………………………………. 1
1.1. Latar Belakang………….……………………………………………………………………………………….. 1
1.2. Tujuan…………………..…………………………………………………………………………………………. 2
1.3. Keluaran dan Manfaat.…………………………………………………………………………………………... 3
II. Metodologi…………….......……………………………………………………………………………………………. 3
2.1. Metode Analisa.……....…………………………………………………………………………………………... 3
2.2. Data dan Lokasi…………………………………..………………………………………………………………. 5
III Review Indikator-Indikator Kesejahteraan…………………………………………………………………………… 5
3.1. Nilai Tukar Petani……………………………………………………………………………………….....……… 5
3.1.1. Keunggulan Nilai Tukar Petani…………………………………………………………………………. 7
3.1.2. Kelemahan Nilai Tukar Petani………………………………………………………………………….. 9
3.1.3. Peluang Nilai Tukar Petani Sebagai Indikator Kesejahteraan Petani……...……………………….. 11
3.2. Produk Domestik Bruto per Kapita…………………..…………………………………………………………. 12
3.2.1. Produk Domestik Bruto dan Perhitungannya…………………………………………………………. 12
3.2.2. Perhitungan Disposable Income………………………………………………………….……………. 17
3.2.3. Validitas Produk Domestik Bruto Sebagai Indikator Kesejahteraan Petani……..…………………. 19
3.3.. Prevalensi Kemiskinan Pendapatan…….…………..…………………………………………………………. 22
3.3.1. Konsepsi Kemiskinan dan Indikator Kemiskinan…………………………………..…………………. 22
3.3.2. Perhitungan Garis Kemiskinan…………………..…………………………………..…………………. 25
3.4. Indeks Pembangunan Manusia………….…………..…………………………………………………………. 30
3.5. Persepsi Perubahan Kondisi Ekonomi dan Kecukupan Pendapatan Rumah Tangga……..………………. 34
3.6.. Indeks Kebahagiaan Penduduk Indonesia……...…..…………………………………………………………. 35
3.7.. Indeks Kemiskinan (Kesejahteraan) Multidimensi….…………………………………………………………. 39
IV Pertimbangan Kebijakan…………………………………..………………………………………………………….. 41
4.1. Manfaat dan Urgensi Pengukuran Kesejahteraan Petani……..………………………………………………. 41
4.2. Alternatif Metode Pengukuran Kesejahteraan Petani…...….…………………………………………………. 42
4.3. Opsi Tindak Lanjut……………………………………..…...….…………………………………………………. 46
V Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan..………………………………………………………………………….. 47
5.1. Kesimpulan…………..….……………………………….………………………………………………………... 47
i
5.2. Rekomendasi Kebijakan.……………………………….………………………………………………………... 48
Daftar Pustaka…………………………………………………………………………………………………………. 48
ii
DAFTAR TABEL
3.1. Nilai Tukar Petani Nasional dan menurut provinsi, Januari–Desember 2012......................... 8
3.2. Nilai Tukar Petani Nasional dan menurut sub sektor, Januari – Mei 2013............................... 10
3.6. Perkembangan pendapatan petani per sub sektor pertanian sempit (harga konstan 2010),
2011-2015 (Rp per petani per tahun)...............................…………………............................. 20
3.8. Hasil perhiyungan Indeks Pembangunan Manusia dengan metode baru, 2010 – 2015.......... 33
3.9. Indeks Kebahagiaan Penduduk Indonesia, Jawa Barat dan Sumatera Utara, 2014............. 37
3.10. Persentase RTUP menurut kategori kemiskinan multidimensi dan sumber pendapatan
utama, 2013……………………………………………….………………………………………... 40
iii
I. PENDAHULUAN
Salah satu indikator kesejahteraan yang paling popular dan hingga kini diterima
secara luas di Indonesia ialah indeks Nilai Tukar Petani (NTP). Kementerian Pertanian
juga menggunakan NTP sebagai indikator kesejahteraan petani setidaknya hingga tahun
2015 sebagaimana tertuang dalam Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2010-2014
(Kementan, 2011). Badan Pusat Statistik (BPS) menerbitkan perkembangan indeks NTP
setiap bulan. Kiranya dimaklumi bahwa sesungguhnya sudah cukup lama penelitian
menunjukkan bahwa indeks NTP sudah tidak valid sebagai indikator kesejahteraan
petani Indonesia (Simatupang dan Maulana, 2006; Simatupang dan Maulana, 2007;
Rachmat 2013). Badan Pusat Statistik pun telah menyadari hal itu, dan oleh karena itu
kini tidak lagi menafsirkan indeks NTP sebagai penanda kesejahteraan petani, dan
sejalan dengan itu BPS menyediakan indikator baru yaitu indeks Nilai Tukar Usaha
Pertanian (NTUP), walau juga bukanlah indikator valid kesejahteraan petani.
1
sudah tidak lagi menggunakan NTP sebagai indikator kesejahteraan petani. Namun
banyak pengamat hingga kini masih tetap saja menggunakan NTP sebagai indikator
kesejahteraan petani. Bahkan beberapa pejabat atau lembaga tinggi pemerintahan
seperti Bappenas masih tetap memandang NTP sebagai salah satu indikator
kesejahteraan petani (Rusono et al, 2013). Oleh karena itu, salah satu agenda penelitian
yang perlu segera dilaksanakan ialah mengkaji ulang makna NTP dan validitasnya
sebagai indikator kesejahteraan petani.
Kalau sekiranya NTP tidak valid maka pertanyaan selanjutnya adalah apakah
yang mestinya dipakai sebagai indikator kesejahteraan petani? Apakah PDB pertanian
per kapita dan prevalensi kemiskinan petani sebagaimana disebut dalam dokumen
Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2015-2019 valid sebagai indikator
kesejahteraan petani? Adakah alternatif indikator kesejahteraan petani yang tidak saja
cukup (lebih) valid secara teoritis dan empiris, tetapi juga cukup praktis dan murah
pelaksanaannya? Semua ini adalah permasalahan yang perlu dijawab melalui suatu
penelitian.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kajian tentang indikator kesejahteraan secara umum
sudah cukup banyak. Untuk Indonesia misalnya, BPS sudah menghitung dan
mempublikasikan sejumlah indikator terkait kesejahteraan rakyat secara umum seperti
prevalensi kemiskinan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), indeks kemiskinan multi
dimensi, dan indeks kebahagiaan. Namun demikian, indikator-indikator serupa yang
khusus untuk kesejahteraan petani belum tersedia. Dalam kaitan ini, pertanyaan
kemudian ialah apakahindikator-indikator kesejahteraan umum tersebut dapat diterapkan
khusus untuk keluarga petani dan disediakan regular dengan biaya wajar?
1.2. Tujuan
Berdasarkan uraian diatas, pada intinya, tujuan kajian ini ialah merumuskan
alternatif indikator kesejahteraan petani yang tidak saja cukup (lebih) valid secara teoritis
dan empiris, tetapi juga cukup praktis dan murah pelaksanaannya sehingga dapat dipakai
sebagai instrumen monitoring dan evaluasi kinerja pembangunan pertanian secara
reguler.
2
4. Merumuskan rekomendasi alternatif indikator kesejahteraan petani yang sebaiknya
digunakan sebagai instrumen monitoring dan evaluasi kinerja pembangunan
pertanian oleh Kementerian Pertanian.
II. METODOLOGI
3
kebahagiaan atau kepuasan hidup yang bersifat dan subyektif dan kualitatif, tidak dapat
diukur langsung. Oleh karena itu, kesejahteraan biasanya diukur dengan indikator atau
penanda yang berkorelasi erat dengan kebaikan, kebahagiaan atau kepuasan hidup.
4
Pendekatan post matererialisme berkembang seiring dengan meningkatnya
kesadaran akan relasi sosial-politik dan kesehatan lingkungan sebagai bagian dari
penentu kesejahteraan manusia. Aliran ini berpandangan bahwa kesejahteraan manusia
ditentukan oleh tiga pilar: kesejahteraan ekonomi, keadilan dan partisipasi sosial politik,
dan kelestarian kesehatan lingkungan hidup. Kesejahteraan diukur dengan indikator
indeks komposit dari berbagai variabel yang mewakili ketiga pilar tersebut atau yang lebih
dikenal dengan indeks kesejahteraan multidimensi. Banyak negara telah menyusun
konsep perhitungan indeks kesejahteraan multidimensi yang khas untuk negara masing
masing. Untuk Indonesia, BPS telah menghitung dan mempublikasikan indeks
kemiskinan multi dimensi.
Oleh karena itu, dalam kajian ini akan direview berbagai indikator-indikator yang
telah dihitung dan dipublikasikan oleh BPS selama ini dengan maksud untuk mengetahui
kemungkinan penggunaannya sebagai indikator kesejahteraan petani, mengevaluasi
kekurangan atau kelemahannya, serta merumuskan langkah-langkah penyesuaian yang
diperlukan agar hal itu valid secara teoritis dan layak secara praktek.
Kajian ini menggunakan data sekunder. Survei lapang dilakukan ke wilayah Jawa
Barat dan Sumatera Utara untuk memperoleh data dan informasi di tingkat provinsi dan
kabupaten serta melakukan verifikasi data dan metodologi pengumpulan data indikator
kesejahteraan dan analisis yang dilakukan pada tingkat provinsi dan kabupaten.
Secara konsepsi NTP mengukur daya tukar dari komoditas pertanian yang
dihasilkan petani terhadap produk yang dibeli petani (untuk keperluan konsumsi dan
keperluan dalam memproduksi usahatani). Nilai tukar petani didefinisikan sebagai rasio
5
antara harga yang diterima petani (HT) dengan harga yang dibayar petani (HB).
Pengukuran NTP dinyatakan dalam bentuk indeks sebagai berikut:
𝐼𝑁𝑇𝑃 = 𝐼𝑇⁄𝐼𝐵
dimana:
Indeks tersebut merupakan nilai tertimbang terhadap kuantitas pada tahun dasar
tertentu. Pergerakan nilai tukar akan ditentukan oleh penentuan tahun dasar karena
perbedaan tahun dasar akan menghasilkan keragaan perkembangan indeks yang
berbeda. Formulasi indeks yang digunakan adalah Indeks Laspeyres.
∑ 𝑄0 ∗ 𝑃𝑖
𝐼=
∑ 𝑄0 ∗ 𝑃0
dimana:
I = Indeks Laspeyres,
Qo = Kuantitas pada tahun dasar tertentu (tahun 0),
P0 = Harga pada tahun dasar tertentu (tahun 0),
Pi = Harga pada tahun ke i.
Harga yang diterima petani merupakan harga tertimbang dari harga setiap
komoditas pertanian yang diproduksi/dijual petani. Penimbang yang digunakan adalah
nilai produksi yang dijual petani dari setiap komoditas. Harga komoditas pertanian
merupakan harga rataan yang diterima petani atau "Farm Gate". Petani yang dimaksud
dalam konsep NTP dari BPS adalah petani yang berusaha di sub sektor tanaman
pangan, hortikultura, perkebunan rakyat, peternakan, serta petani ikan budidaya dan
nelayan. Petani sub sektor tanaman pangan mencakup petani yang berusaha pada
usahatani padi dan palawija; petani sub sektor hortikultura mencakup petani sayur-
sayuran dan buah-buahan; petani perkebunan rakyat terdiri usahatani komoditas
perdagangan rakyat; petani peternak yang bergerak dalam usaha ternak besar, ternak
kecil, unggas, dan hasil peternakan; serta petani nelayan yang mencakup petani
budidaya ikan dan nelayan penangkapan. Harga dari setiap sub sektor merupakan harga
tertimbang dari harga setiap komoditas penyusunnya.
6
barang modal dari barang yang dikonsumsi atau dibeli petani. Komoditas yang dihasilkan
sendiri tidak masuk dalam perhitungan harga yang dibayar petani. Harga yang dimaksud
adalah harga eceran barang dan jasa yang di pasar pedesaan. Harga yang dibayar petani
(HB) dirumuskan berikut:
𝐻𝐵 = ∑ 𝑏 ∗ 𝑃𝐵𝑖
NTP dihitung dari rasio harga yang diterima petani (HT) terhadap harga yang
dibayar petani (HB). Dengan demikian NTP menggambarkan daya tukar / daya beli dari
barang barang yang dijual petani terhadap barang yang dibeli. Kenaikan HT dengan laju
yang lebih besar akan menghasilkan kenaikan NTP dan sebaliknya. HT sebagai indikator
penerimaan petani mempunyai arah positif terhadap NTP dan HB sebagai mempunyai
arah negatif terhadap NTP.
Perhitungan NTP relatif mudah karena dan data tersedia tiap bulan. Indikator NTP
yang dibangun BPS mempunyai unit analisa nasional dan regional (provinsi). NTP
nasional merupakan agregasi dari NTP regional, sehingga disamping analisa yang
bersifat nasional, NTP dapat didisagregasi menjadi unit NTP regional provinsi (Tabel
3.1.).
NTP juga disusun mencakup komponen sub sektor, yaitu sub sektor tanaman
pangan, sub sektor hortikultura, sub sektor perkebunan, sub sektor peternakan, dan sub
sektor perikanan, dengan demikian juga dapat pula NTP komponen penyusunnya, yaitu
NTP tanaman pangan, NTP hortikultura, NTP perkebunan, NTP peternakan, dan NTP
perikanan. Dengan metoda disagregasi juga dapat diturunkan NTP dari komponen/unsur
dari sisi pembentuknya dari masing masing sub sektor. Dari NTP sub sektor tanaman
pangan dapat dirunkan NTP padi dan NTP kelompok palawija, dan dari NTP palawija
juga dapat diturunkan NTP jagung, kedelai, dan seterusnya (Tabel 3.2.).
7
Tabel 3.1. Nilai Tukar Petani Nasional dan menurut provinsi, Januari – Desember 2012.
Prop Jan-12 Feb-12 Mar-12 Apr-12 Mei-12 Jun-12 Jul-12 Agust-12 Sep-12 Okt-12 Nop-12 Des-12
Aceh 105,01 105,08 104,52 104,26 104,07 104,02 104,06 103,90 103,56 103,78 103,57 103,81
Sumut 102,60 102,00 101,79 101,90 102,03 101,97 101,81 101,66 101,05 101,04 101,17 101,51
Sumbar 107,02 106,42 105,97 105,53 104,47 103,91 104,03 104,15 104,51 104,75 104,67 104,90
Riau 104,96 105,33 105,91 105,38 104,75 104,20 104,17 103,73 103,61 103,79 102,89 102,54
Jambi 94,38 93,79 92,99 92,68 92,39 91,94 91,83 91,73 90,96 91,54 91,06 90,64
Sumsel 109,15 110,38 110,38 110,42 109,81 109,79 110,08 110,23 109,99 110,40 110,66 110,22
Bengkulu 102,88 103,12 103,35 103,43 102,44 103,13 102,68 102,14 101,79 101,68 101,45 100,97
Lampung 124,58 124,69 124,34 124,92 125,06 125,25 125,55 125,82 126,34 126,23 126,11 126,04
Babel 99,70 99,54 99,15 99,06 99,28 98,77 98,46 98,45 99,12 99,45 99,48 99,56
Kepri 103,95 104,27 105,18 105,14 105,19 105,18 104,80 104,88 104,24 103,95 104,25 104,84
Jabar 108,51 108,03 107,87 107,23 107,33 108,36 108,83 109,05 109,41 110,26 110,73 111,55
Jateng 106,56 105,42 104,51 104,51 104,40 104,54 104,88 105,45 105,57 106,15 105,78 106,37
Yogya 116,50 115,93 115,43 115,65 115,30 115,78 116,08 116,71 117,30 117,89 117,26 117,59
Jatim 102,80 101,37 100,57 101,24 101,76 101,56 101,71 102,42 102,80 103,14 103,25 103,28
Banten 107,66 108,61 107,69 107,25 107,03 107,66 107,53 108,61 108,81 109,51 109,83 111,07
Bali 108,00 108,04 107,52 107,54 107,97 108,56 108,80 108,79 108,46 108,93 108,28 108,39
NTB 95,90 95,83 95,22 95,53 95,69 95,20 94,78 95,09 95,22 95,45 95,13 95,32
NTT 103,50 102,44 102,05 101,48 101,84 102,31 101,55 101,32 101,46 101,26 101,41 101,08
Kalbar 101,05 101,01 102,14 102,26 101,48 100,86 100,09 100,24 100,31 100,79 100,97 99,88
Kalteng 99,44 99,75 99,85 99,74 99,58 99,26 99,04 98,66 98,95 98,95 99,09 98,66
Kalsel 108,90 108,26 108,24 108,27 108,29 107,78 107,67 107,30 107,57 107,35 107,55 107,00
Kaltim 98,34 98,04 98,53 98,46 98,20 98,21 98,14 98,09 98,02 97,68 97,63 97,14
Sulut 103,26 102,71 102,21 101,70 101,24 100,97 100,36 100,38 101,14 101,28 101,31 101,04
Sulteng 99,04 98,15 97,86 97,48 97,69 97,73 97,52 97,68 97,80 98,05 97,36 97,16
Sulsel 107,86 107,26 107,22 107,40 107,81 108,31 108,46 108,63 108,59 108,58 108,37 108,11
Sultra 106,71 106,11 106,51 106,30 106,67 106,83 106,43 106,70 106,15 106,51 106,27 106,23
Gorontalo 103,72 103,21 102,34 102,36 102,12 102,57 101,91 102,22 102,26 102,50 101,46 101,34
Sulbar 103,55 103,52 104,11 104,17 104,35 104,30 104,18 104,44 104,99 105,03 105,31 104,87
Maluku 104,47 104,36 104,04 104,02 104,32 104,14 104,45 104,89 104,92 105,26 105,80 105,70
Malut 100,89 100,82 100,39 100,24 100,47 100,60 100,19 100,15 100,39 101,21 101,02 101,55
Papua Barat 102,92 102,76 102,84 102,37 101,78 101,74 101,22 100,81 100,64 101,01 100,68 100,79
Papua 103,16 103,22 103,22 102,90 103,08 102,68 103,08 102,73 102,45 102,21 101,87 101,76
Indonesia 105,73 105,10 104,68 104,71 104,77 104,88 104,96 105,26 105,41 105,76 105,72 105,87
Sumber, BPS.
8
Demikian pula dari sisi pengeluaran, NTP juga dapat diturunkan NTP terhadap
konsumsi), NTP terhadap sarana produksi, dan seterusnya disagragasi lebih rinci seperti
NT Padi terhadap pupuk, NTP sayuran terhadap sewa lahan, NTP unggas terhadap
upah, dan sebagainya.
Namun penyusunan NTP tersebut juga masih memiliki kekurangan dan kelemahan.
Dalam pengukuran NTP yang dibangun oleh BPS, definisi/cakupan petani belum
sepenuhnya memasukkan seluruh komoditi yang menjadi kewenangan masing masing
sub sektor. Definisi "petani" dalam NTP hanya mencakup petani tanaman pangan, petani
hortikultura, petani pekebun, petani ternak, dan petani ikan dan nelayan perikanan,
namun belum termasuk petani yang bergerak di usaha kehutanan. Di masing-masing sub
sektor itu sendiri, belum semua komoditas tercakup dalam penghitungan NTP seperti: (a)
belum memasukkan usaha tanaman obat dan tanaman hias pada sub sektor hortikultura,
dan (b) penyusun sub sektor perkebunan rakyat perlu lebih dirinci, misalnya dalam
kelompok komoditas tanaman tahunan dan tanaman semusim.
9
Tabel 3.2. Nilai Tukar Petani Nasional dan menurut Sub sektor, Januari – Mei 2013.
10
Dengan perhitungan seperti saat ini, maka indeks NTP tidak dapat mengambarkan
kesejahteraan petani, karena:
1) Alat ukur kesejahteraan yang dinilai mendekati adalah indicator tingkat pendapatan.
Konsep penghitungan NTP yang selama ini dilakukan tidak berkaitan dengan
menghitung pendapatan rumathangga petani.
2) Penghitungan NTP juga tidak menghitung pendapatan usahatani, karena dengan
penggunaan indeks Laspeyres yang menggunakan asumsi kuantitas yang tetap,
sehingga pengukuran HT dan HB tidak mencerminkan peneriman dan pengeluaran
riil petani,
3) Pendapatan usahatani akan meningkat apabila harga produksi naik dan atau tingkat
produksi meningkat. Penggunaan asumsi kuantitas tetap pada indeks Laspeyres
tidak memperhitungkan peningkatan produktivitas dan kemajuan pembangunan
secara umum.
4) Pada pasar komoditas pertanian yang kompetitif, harga ditentukan oleh kekuatan
penawaran dan permintaan. Kenaikan harga terjadi karena kekurangan pasokan
dibanding permintaan. Penurunan pasokan dapat terjadi karena penurunan produksi
atau permintaan naik lebih tinggi dibandingkan penawaran (produksi). Dengan
demikian pada skala nasional atau regional, kenaikan harga produk yang berakibat
meningkatkan NTP justru mengindikasikan kekurangan/ kelangkaan pasokan atau
produksi.
5) Sistem produksi pertanian umumnya bersifat musiman (masa panen, panen raya,
paceklik) sehingga kenaikan indeks HT belum tentu mencerminkan kenaikan
sebenarnya dari harga yang diterima petani.
6) Konsep NTP hanya mengukur daya beli dari usaha budidaya single komoditi,
sementara sumber pendapatan petani beragam baik di usahatani (on-farm),
keragaman sumber di off-farm dan pendapatan dari sumber di non pertanian.
Pada dasarnya penghitungan NTP oleh BPS selama ini tidak ditujukan untuk
menghitung tingkat kesejahteraan petani tetapi hanya untuk mengukur tingkat daya beli
dari produk pertanian yang dihasilkan petani terhadap barang yang dibeli petani baik
barang konsumsi maupun penambahan barang modal termasuk input produksi. Namun
demikian dengan kelebihan yang dimiliki NTP dapat dimanfaatkan untuk menghitung
indeks kesejahteraan petani secara terbatas dengan cara memperbaiki cara perhitungan
dan menambahkan beberapa variabel yang dapat dengan mudah dibangun. Beberapa
langkah dapat dirumuskan sebagai berikut:
11
memperhatikan dampak pembangunan. Pengukuran NTP perlu disempurnakan
dengan memasukkan unsur kuantitas (produktivitas) dalam penghitungannya, baik
dari unsur penerimaan maupun unsur pengeluaran, sehingga NTP didefinisikan
sebagai indeks nilai produksi terhadap indeks nilai pengeluaran.
Perhitungan nilai tukar petani yang didasarkan kepada perhitungan indeks nilai
dirumuskan sebagai berikut:
∑ 𝑄𝑖 ∗ 𝑃𝑖
𝐼𝑁𝑇𝑃 =
∑ 𝑄0 ∗ 𝑃0
dimana:
I = Indeks Nilai,
Qo = Kuantitas pada awal pengamatan,
Qi = Kuantitas pada saat ini,
P0 = Harga pada pada awal pengamatan,
Pi = Harga pada saat ini.
2) Dalam kaitan dengan tujuan monitoring dan evaluasi pembangunan pertanian, maka
penghitungan NTP sebagai indikator kesejahteraan petani dibatasi kepada nilai tukar
usaha pertanian dari komoditi yang diusahakan (dalam konsep nilai). Dengan
demikian dalam perhitungannya komponen harga yang dibayar perani (HB) hanya
mencakup unsur penambahan barang modal termasuk penggunaan input produksi,
tidak menyertakan unsur konsumsi rumahtangga.
Produk Domestik merupakan jumlah total barang dan jasa yang berasal dari
kegiatan-kegiatan ekonomi yang beroperasi di wilayah domestik tanpa memperhatikan
apakah faktor produksinya berasal dari atau dimiliki oleh penduduk daerah tersebut,
12
dapat dikatakan sebagai produk domestik daerah yang bersangkutan. Pendapatan dari
kegiatan produksi tersebut merupakan pendapatan domestik. Namun, sebagian dari
faktor produksi yang digunakan dalam kegiatan produksi di suatu daerah dapat berasal
dari daerah lain atau bahkan dari luar negeri, dan juga sebaliknya, faktor produksi yang
dimilki oleh penduduk daerah tersebut ikut serta dalam proses produksi di daerah lain
atau di luar negeri. Hal ini menyebabkan nilai produk domestik yang timbul di suatu
daerah tidak sama dengan pendapatan yang diterima penduduk daerah tersebut.
Dengan adanya arus pendapatan yang mengalir antar daerah ini (termasuk juga dari
dalam ke luar negeri) yang pada umumnya berupa upah/gaji, bunga, deviden dan
keuntungan, maka timbul perbedaan antara definisi produk domestik dan produk
regional.
Selain PDB, berdasarkan pengumpulan data dan cakupan wilayahnya, ada istilah
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Cara perhitungan PDB dan PDRB adalah
sama. Yang berbeda adalah cakupan wilayahnya, yaitu jika PDB cakupan wilayahnya
adalah agregat nasional, sementara PDRB perhitungannya dilakukan ditingkat provinsi
dan kabupaten. Selain itu, penerbitan PDRB oleh BPS dilakukan per tiga bulan untuk
tingkat provinsi dan tahunan untuk tingkat kabupaten. Sementara PDB diterbitkan setiap
3 bulan.
Produk Domestik Bruto (PDB) adalah salah satu indikator penting untuk
mengetahui keadaan ekonomi suatu negara dalam periode tertentu. Produk Domestik
Bruto merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha di suatu
negara. Produk Domestik Bruto juga didefinisikan sebagai jumlah nilai barang dan jasa
akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha ekonomi dalam suatu negara tertentu (BPS,
2016).
Produk Domestik Bruto dapat dihitung atas dasar harga berlaku (PDB harga
berlaku) dan atas dasar harga konstan (PDB harga konstan). PDB harga berlaku
menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang
berlaku pada setiap tahun, sedangkan PDB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai
tambah barang dan jasa tersebut yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada
satu tahun tertentu sebagai dasar. PDB atas dasar harga berlaku digunakan untuk
melihat pergeseran dan struktur ekonomi, sedang PDB harga konstan digunakan untuk
mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun (BPS, 2016).
Produk Domestik Bruto per kapita dihitung sebagai perhitungan total PDB seperti
telah dijelaskan sebelumnya dibagi dengan jumlah penduduk pertengahan tahun. PDB
per kapita atas dasar harga berlaku menunjukkan nilai PDB per satu orang penduduk.
PDB per kapita atas dasar harga konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan
nyata ekonomi per kapita penduduk suatu negara. Terdapat tiga pendekatan yang
digunakan untuk menghitung PDB, yaitu: (1) menggunakan pendekatan produksi; (2)
13
menurut pendekatan pendapatan; dan (3) melalui pendekatan pengeluaran. Dengan
menggunakan pendekatan produksi, PDB dihitung sebagai jumlah nilai tambah atas
barang dan jasa dari unit-unit produksi yang dikelompokkan menjadi 17 lapangan usaha
atau kategori yang ditunjukkan dengan tiap-tiap huruf yang mewakili satu kategori (Tabel
3.3. dan Tabel 3.4.)
Tabel 3.3. Lapangan usaha atau kategori dalam perhitungan PDB, 2016.
14
Tabel 3.4. Produk Domestik Bruto Triwulanan, 2015-2016.
2015** 2016***
KATEGORI LAPANGAN USAHA
I II III IV Jumlah I
A Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 282,703.2 311,896.9 328,234.6 251,622.1 1,174,456.8 287,925.9
1 Pertanian, Peternakan, Perburuan dan Jasa 220,544.8 245,548.5 261,699.8 181,777.7 909,570.8 222,037.0
Pertanian
a. Tanaman Pangan 82,730.4 78,064.0 78,027.1 38,951.6 277,773.1 78,347.4
b. Tanaman Hortikultura 30,184.7 34,450.2 34,641.4 28,124.8 127,401.1 30,379.7
c. Tanaman Perkebunan 69,862.4 94,733.9 109,352.7 76,541.3 350,490.3 74,012.8
d. Peternakan 33,319.3 33,694.5 34,739.4 34,559.4 136,312.6 34,800.7
e. Jasa Pertanian dan Perburuan 4,448.0 4,605.9 4,939.2 3,600.6 17,593.7 4,496.4
2 Kehutanan dan Penebangan Kayu 13,390.0 16,391.2 15,057.8 15,127.2 59,966.2 13,280.7
3 Perikanan 48,768.4 49,957.2 51,477.0 54,717.2 204,919.8 52,608.2
B Pertambangan dan Penggalian 190,252.6 186,558.3 189,929.7 189,498.6 756,239.2 188,993.0
1 Pertambangan Minyak, Gas dan Panas Bumi 75,058.1 76,313.9 77,498.5 78,388.9 307,259.4 79,747.9
2 Pertambangan Batubara dan Lignit 55,575.4 46,762.5 46,735.8 47,490.1 196,563.8 47,423.4
3 Pertambangan Bijih Logam 21,470.7 24,597.4 24,516.3 24,507.4 95,091.8 21,106.3
4 Pertambangan dan Penggalian Lainnya 38,148.4 38,884.5 41,179.1 39,112.2 157,324.2 40,715.4
C Industri Pengolahan 468,060.6 484,535.3 488,891.8 490,969.7 1,932,457.4 489,539.6
1 Industri Batubara dan Pengilangan Migas 52,043.3 52,097.3 53,761.1 54,473.5 212,375.2 54,954.9
2 Industri Makanan dan Minuman 126,979.1 138,564.1 138,510.1 136,720.6 540,773.9 136,570.8
3 Industri Pengolahan Tembakau 19,428.9 20,616.7 21,519.0 22,388.8 83,953.4 20,361.9
4 Industri Tekstil dan Pakaian Jadi 28,394.7 28,335.3 27,773.9 27,575.2 112,079.1 27,952.0
5 Industri Kulit, Barang dari Kulit dan Alas Kaki 5,747.1 5,986.2 5,857.6 6,291.1 23,882.0 6,276.6
6 Industri Kayu, Barang dari Kayu dan Gabus 15,337.6 15,263.2 14,800.8 15,207.6 60,609.2 15,754.0
7 dan Barang
Industri Anyaman
Kertas dari Bambu,
dan Barang Rotan
dari Kertas; 17,510.2 17,657.8 17,919.5 17,501.6 70,589.1 17,093.3
8 dan Sejenisnya
Percetakan
Industri danFarmasi
Kimia, Reproduksi MediaTradisional
dan Obat Rekaman 41,904.8 40,578.7 41,478.2 40,502.5 164,464.2 41,140.8
9 Industri Karet, Barang dari Karet dan Plastik 18,290.6 19,749.9 19,433.9 18,977.1 76,451.5 17,535.9
10 Industri Barang Galian bukan Logam 15,830.7 16,619.5 16,653.9 17,477.4 66,581.5 17,058.3
11 Industri Logam Dasar 18,687.1 19,301.0 19,107.4 19,633.2 76,728.7 20,367.6
12 Industri Barang Logam; Komputer, Barang 46,207.6 48,145.2 48,081.2 50,090.1 192,524.1 50,081.6
13 Elektronik,
Industri Optik;
Mesin dandan Peralatan Listrik
Perlengkapan 6,417.4 6,867.5 7,467.5 7,474.2 28,226.6 7,402.6
14 Industri Alat Angkutan 45,275.8 44,247.7 46,138.1 46,514.7 182,176.3 46,945.8
15 Industri Furnitur 5,946.5 6,275.3 6,131.1 5,985.0 24,337.9 5,979.9
16 Industri Pengolahan Lainnya; Jasa Reparasi 4,059.2 4,229.9 4,258.5 4,157.1 16,704.7 4,063.6
D dan Pemasangan
Pengadaan Listrik dan Gas Mesin dan Peralatan 22,721.0 23,728.1 23,525.9 24,919.8 94,894.8 24,425.6
1 Ketenagalistrikan 19,430.3 20,440.4 20,193.0 21,343.3 81,407.0 21,093.7
2 Pengadaan Gas dan Produksi Es 3,290.7 3,287.7 3,332.9 3,576.5 13,487.8 3,331.9
E Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah 1,788.4 1,850.4 1,888.3 1,893.1 7,420.2 1,875.0
F dan Daur Ulang
Konstruksi 206,755.0 213,247.1 223,649.5 237,932.3 881,583.9 223,019.4
G Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil 291,613.5 302,687.0 308,127.7 303,646.5 1,206,074.7 303,401.9
dan
1 Sepeda Motor Mobil, Sepeda Motor dan
Perdagangan 57,190.4 56,305.7 58,054.7 58,756.0 230,306.8 59,113.1
2 Reparasinya Besar dan Eceran, Bukan
Perdagangan 234,423.1 246,381.3 250,073.0 244,890.5 975,767.9 244,288.8
H Mobil dan
Transportasi danSepeda Motor
Pergudangan 82,906.6 85,847.6 89,347.0 90,674.4 348,775.6 89,314.8
1 Angkutan Rel 683.2 718.7 764.2 784.3 2,950.4 737.1
2 Angkutan Darat 46,718.5 47,303.6 49,433.8 49,801.1 193,257.0 50,254.3
3 Angkutan Laut 7,028.2 7,474.2 7,691.2 7,980.1 30,173.7 7,288.1
4 Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan 2,462.3 2,477.4 2,645.5 2,637.0 10,222.2 2,498.7
5 Angkutan Udara 13,216.2 14,265.1 14,702.7 15,004.9 57,188.9 14,725.6
6 Pergudangan dan Jasa Penunjang Angkutan; 12,798.2 13,608.6 14,109.6 14,467.0 54,983.4 13,811.0
I Pos dan
Penyediaan Kurir
Akomodasi dan Makan Minum 65,513.3 66,669.9 67,740.9 69,130.4 269,054.5 69,197.1
1 Penyediaan Akomodasi 12,905.6 13,498.6 13,836.9 14,399.8 54,640.9 13,993.0
2 Penyediaan Makan Minum 52,607.7 53,171.3 53,904.0 54,730.6 214,413.6 55,204.1
J Informasi dan Komunikasi 102,000.1 104,192.5 107,514.2 109,356.7 423,063.5 110,445.0
K Jasa Keuangan dan Asuransi 84,212.0 82,667.2 88,521.5 91,695.0 347,095.7 91,878.1
1 Jasa Perantara Keuangan 52,307.9 50,260.8 55,623.2 58,439.3 216,631.2 58,128.6
2 Asuransi dan Dana Pensiun 18,173.7 18,453.7 18,724.8 19,045.9 74,398.1 19,281.2
3 Jasa Keuangan Lainnya 11,682.6 11,887.8 12,100.6 12,129.9 47,800.9 12,373.7
4 Jasa Penunjang Keuangan 2,047.8 2,064.9 2,072.9 2,079.9 8,265.5 2,094.6
L Real Estate 66,142.0 66,853.3 67,660.8 68,155.3 268,811.4 69,360.8
M,N Jasa Perusahaan 36,061.5 36,703.2 37,491.4 38,139.4 148,395.5 38,997.4
O Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan 74,361.2 74,777.3 76,470.8 84,784.6 310,393.9 78,032.7
P Jaminan
Jasa Sosial Wajib
Pendidikan 65,421.0 69,616.0 70,901.1 77,601.9 283,540.0 68,865.3
Q Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 23,011.8 23,752.5 24,643.5 26,433.0 97,840.8 24,973.4
R,S,T,U Jasa lainnya 35,139.4 35,842.3 36,596.9 37,323.8 144,902.4 37,921.2
A NILAI TAMBAH BRUTO ATAS HARGA DASAR 2,098,663.2 2,171,424.9 2,231,135.6 2,193,776.6 8,695,000.3 2,198,166.2
B PAJAK DIKURANG SUBSIDI ATAS PRODUK 57,805.9 65,988.4 81,556.9 76,580.0 281,931.2 64,473.3
C PRODUK DOMESTIK BRUTO 2,156,469.1 2,237,413.3 2,312,692.5 2,270,356.6 8,976,931.5 2,262,639.5
15
Berdasarkan pendekatan pengeluaran, PDB dihitung dengan menjumlahkan
seluruh pengeluaran untuk membeli barang dan jasa yang diproduksi dalam suatu negara
selama satu periode tertentu. Perhitungan PDB melalui pendekatan ini dilakukan dengan
menghitung pengeluaran dari sumber-sumber berikut: (1) pengeluaran konsumsi rumah
tangga dan lembaga swasta nirlaba, (2) pengeluaran konsumsi pemerintah, (3)
pembentukan modal tetap domestik bruto, (4) perubahan inventori, dan (5) ekspor neto,
yang merupakan ekspor dikurangi impor.
Pengeluaran konsumsi pemerintah dihitung atas dasar harga berlaku (ADHB) dan
atas dasar harga konstan (ADHK). Pengeluaran Konsumsi Pemerintah atas dasar harga
berlaku (ADHB) dihitung dengan menjumlahkan output-penjualan barang dan jasa dan
social transfer in kind purchased market production. Output non pasar dihitung melalui
pendekatan biaya-biaya yang dikeluarkan, seperti belanja pegawai, belanja barang,
belanja bantuan sosial dan belanja lain-lain. Pengeluaran Konsumsi Pemerintah atas
dasar harga konstan diperoleh dengan menggunakan Metode Deflasi dan Ekstrapolasi.
Estimasi nilai Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) dapat dilakukan melalui
metode langsung maupun tidak langsung. Pendekatan "langsung" adalah dengan cara
menghitung pembentukan modal (harta tetap) yang dilakukan oleh berbagai sektor
ekonomi produksi (produsen) secara langsung. Sedangkan pendekatan "tidak langsung"
adalah dengan menghitung berdasarkan alokasi dari total penyediaan produk (barang
dan jasa) yang menjadi barang modal pada berbagai sektor produksi, atau disebut juga
sebagai pendekatan "arus komoditi". Penyediaan atau "supply" barang modal tersebut
bisa berasal dari produk dalam negeri maupun produk luar negeri (impor).
Untuk perhitungan ekspor neto, langkah awal yang harus dilakukan dalam
penghitungan ekspor-impor PDRB Provinsi adalah rekonsiliasi sumber data utama
ekspor-impor kepabeanan bersama Provinsi lainnya dibawah koordinasi Bidang Neraca
dan Distribusi BPS Provinsi. Dari rekonsiliasi tersebut diharapkan diperoleh nilai bulanan
ekspor (fob) dan impor (cif) dalam USD menurut Provinsi asal (ekspor) dan Provinsi
16
tujuan (impor). Khusus impor, tidak mencakup data dari Kawasan Berikat Nasional
(KBN).
Penghitungan ekspor-impor barang luar negeri atas dasar harga konstan dengan
tahun dasar 2010, menggunakan pendekatan deflator. Deflator yang digunakan adalah
Indeks Harga per Unit (2010=100) yang digerakkan dengan laju "IHPB tertimbang
Ekspor-Impor (2010=100)" per kelompok komoditas barang dalam Tabel SUT
Perhitungan PDB dengan tiga konsep tersebut akan menghasilkan angka yang
sama. Jadi, jumlah pengeluaran akan sama dengan jumlah barang dan jasa akhir yang
dihasilkan dan harus sama pula dengan jumlah pendapatan untuk faktor-faktor produksi.
Produk Nasional Bruto (PNB) atau Gross National Product adalah jumlah barang
dan jasa yang dihasilkan oleh faktor-faktor produksi milik warga negara baik yang tinggal
di dalam negeri maupun di luar negeri, tetapi tidak termasuk warga negara asing yang
tinggal di negara tersebut, atau dengan kata lain PNB adalah jumlah Produk Domestik
Bruto ditambah dengan pendapatan neto dari luar negeri (penghasilan neto).
Penghasilan Neto adalah penghasilan dari warga negara yang bekerja di luar negeri
dikurangi penghasilan warga negara lain yang bekerja di dalam negeri). Perhitungan PNB
dirumuskan sebagai berikut.
17
Dimana:
PNB = Produk Nasional Bruto
PDB = Produk Domestik Bruto
Pendapatan Neto = Pendapatan dari warga negara yang tinggal di luar negeri dikurangi
pendapatan warga negara asing yang bekerja di dalam negeri.
Produk Nasional Neto (PNN) atau Net National Product atas dasar harga pasar yaitu PNB
dikurangi depresiasi/penyusutan atas barang modal dalam proses produksi selama satu
tahun. Persamaannya:
Dimana:
PNN = Produk Nasional Neto
Pendapatan Nasional Neto atau Net National Product atas dasar biaya faktor produks
atau Net National Income (NNI) adalah PNN dikurangi pajak tidak langsung yang
dipungut pemerintah.
Dimana:
NN = Pendapatan Nasional Neto
𝑃𝐼 = 𝑁𝑁𝐼 − (𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘 𝑃𝑒𝑟𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 + 𝐼𝑢𝑟𝑎𝑛 𝐽𝑎𝑚𝑖𝑛𝑎𝑛 𝑆𝑜𝑠𝑖𝑎𝑙 + 𝐿𝑎𝑏𝑎 𝐷𝑖𝑡𝑎ℎ𝑎𝑛 + 𝑇𝑟𝑎𝑛𝑠𝑓𝑒𝑟 𝑃𝑎𝑦𝑚𝑒𝑛𝑡
Disposable Income (DI) adalah Personal Income setelah dikurangi pajak langsung
(misalnya pajak bumi dan bangunan, pajak kendaraan bermotor dan sebagainya).
Disposable Income merupakan pendapatan yang siap digunakan, baik untuk keperluan
konsumsi maupun ditabung. Rumusan untuk menghitung DI adalah:
𝐷𝐼 = 𝑃𝐼 − 𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘 𝐿𝑎𝑛𝑔𝑠𝑢𝑛𝑔
18
3.2.3. Validitas Produk Domestik Bruto sebagai Indikator Kesejahteraan Petani
Secara operasional, PDB Total Pertanian dalam arti sempit (tanaman pangan,
hortikultura, perkebunan dan peternakan) diterbitkan BPS per triwulan setiap tahunnya
seperti yang disajikan contohnya pada Tabel 2, baik atas dasar harga berlaku atau harga
konstan. Selanjutnya, data PDB Pertanian persub sektor tersebut dibagi dengan data
jumlah tenaga kerja pertanian pada masing-masing sub sektor, yang datanya berasal dari
PUSDATIN Kementan (Tabel 3.5.). Hasil yang diperoleh dianggap sebagai pendapatan
per tenaga kerja pertanian (Tabel 3.6.).
Namun, berdasarkan pengertian PDB yang demikian luas dan uraian perhitungan
hingga mencapai pendapatan siap dibelanjakan oleh rumahtangga tani atau disposable
19
income, maka penggunaan PDB pertanian tidak dapat menggambarkan tingkat
kesejahteraan petani, karena:
Pertama, data lebih rinci yang diperlukan untuk menguraikan PDB hingga menjadi
Disposable Income (DI) seperti dijelaskan dalam uraian perhitungan DI diatas (bagian
3.2.2.) tidak tersedia. Salah satunya sebagai contoh adalah transfer payment yang
dilakukan perorangan ke dalam dan ke luar wilayah tidak tercatat, sehingga tidak dapat
digunakan untuk merinci data PDB hingga memperoleh DI.
Tabel 3.6. Perkembangan pendapatan petani per sub sektor pertanian sempit (harga
konstan 2010), 2011-2015 (Rp per petani per tahun).
Namun, berdasarkan pengertian PDB yang demikian luas dan uraian perhitungan
hingga mencapai pendapatan siap dibelanjakan oleh rumahtangga tani atau disposable
income, maka penggunaan PDB pertanian tidak dapat menggambarkan tingkat
kesejahteraan petani, karena:
Pertama, data lebih rinci yang diperlukan untuk menguraikan PDB hingga menjadi
Disposable Income (DI) seperti dijelaskan dalam uraian perhitungan DI diatas (bagian
3.2.2.) tidak tersedia. Salah satunya sebagai contoh adalah transfer payment yang
dilakukan perorangan ke dalam dan ke luar wilayah tidak tercatat, sehingga tidak dapat
digunakan untuk merinci data PDB hingga memperoleh DI.
20
Kemungkinan menggunakan sumber data lain yang juga dikumpulkan oleh BPS
secara berkala untuk menghitung disposable income yaitu data SUSENAS juga tidak
dapat dilakukan karena jumlah sampel rumah tangga petani yang relatif sedikit jumlahnya
dari total sampel rumah tangga SUSENAS, sehingga tidak memungkinkan bagi BPS
untuk menerbitkan data tersebut.
Kedua, PDB tidak dapat menjadi ukuran keseluruhan standar hidup atau
kesejahteraan suatu negara atau wilayah karena walaupun perubahan-perubahan output
barang dan jasa-jasa per orang (PDB per kapita) seringkali digunakan sebagai ukuran
apakah rata-rata keadaan masyarakat pada suatu negara atau wilayah tersebut semakin
baik atau semakin buruk, hal tersebut tidak mempresentasikan hal-hal yang benar-benar
penting untuk mengukur kesejahteraan secara umum. Sebagai contohnya adalah
peningkatan output yang mungkin telah memperhitungkan biaya-biaya kerusakan
lingkungan atau biaya-biaya eksternal lainnya seperti polusi suara dan lain sebagainya,
atau telah memasukan hilangnya sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui, tetapi
kualitas hidup juga tergantung pada distribusi PDB diantara anggota masyarakat dalam
suatu wilayah atau negara, bukan hanya pada level umum. Artinya, PDB merupakan
ukuran agregat aktivitas ekonomi di suatu wilayah dan PDB tidak dapat diukur pada
tingkat individu.
21
3.3. Prevalensi Kemiskinan Pendapatan.
3.3.1. Konsepsi Kemiskinan dan Indikator Kemiskinan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan bahwa kata “miskin” adalah ajektif
tidak berharta; serba kekurangan (berpenghasilan sangat rendah), sedangkan
kemiskinan adalah kata benda yang menyatakan hal atau keadaan miskin. Dikaitkan
dengan arti sejahtera yang telah diuraikan sebelumnya, miskin merupakan lawan kata
sejahtera. Dengan demikian, indikator-indikator dalam penentuan kemiskinan dapat
digunakan juga sebagai indicator kesejahteraan dengan posisi yang berlawanan. Konsep
tentang kemiskinan sangat beragam, mulai dari sekedar ketidakmampuan memenuhi
kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan
berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral.
Beberapa institusi yang membuat indicator kemiskinan, antara lain BPS, Bappenas,
BKKBN, Kemensos.
Badan Pusat Statistik (BPS) pertama kali melakukan penghitungan jumlah dan
persentase penduduk miskin pada tahun 1984. Pada saat itu penghitungan jumlah dan
persentase penduduk miskin mencakup periode 1976-1981 dengan menggunakan data
modul konsumsi Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Sejak tahun 1984, setiap
tiga tahun sekali BPS secara rutin mengeluarkan data jumlah dan persentase penduduk
miskin. Sampai dengan tahun 1987, informasi mengenai jumlah dan persentase
penduduk miskin hanya disajikan untuk tingkat nasional yang dipisahkan menurut daerah
perkotaan dan perdesaan. Pada tahun 1990, informasi mengenai penduduk miskin sudah
dapat disajikan sampai tingkat provinsi meskipun beberapa provinsi masih digabung.
Provinsi-provinsi gabungan tersebut antara lain: Provinsi Jambi, Bengkulu, Timor Timur,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku
dan Papua.
22
2) Keluarga Sejahtera I. Keluarga sudah dapat memenuhi kebutuhan yang sangat
mendasar, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi. Indikator yang
digunakan, yaitu: a) Anggota keluarga melaksanakan ibadah menurut agama yang
dianut. b) Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih.
c) Seluruh anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah,
bekerja/sekolah dan bepergian. d) Bagian terluas dari lantai rumah bukan dari tanah.
e) Bila anak atau anggota keluarganya yang lain sakit dibawa ke sarana/ petugas
kesehatan.
3) Keluarga Sejahtera II. Keluarga selain dapat memenuhi kebutuhan dasar
minimumnya dapat pula memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya, tetapi belum
dapat memenuhi kebutuhan pengembangannya. Indikator yang digunakan terdiri
dari lima indikator pada Keluarga Sejahtera I ditambah dengan sembilan indikator
sebagai berikut: a) Anggota keluarga melaksanakan ibadah secara teratur menurut
agama yang dianut masing-masing. b) Sekurang-kurangnya sekali seminggu
keluarga menyediakan daging atau ikan atau telur sebagai lauk pauk. c) Seluruh
anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru setahun terakhir.
d) Luas lantai rumah paling kurang 8,0 m2 untuk tiap penghuni rumah. e) Seluruh
anggota keluarga dalam tiga bulan terakhir berada dalam keadaan sehat sehingga
dapat melaksanakan tugas/fungsi masing-masing. f) Paling kurang satu orang
anggota keluarga yang berumur 15 tahun ke atas mempunyai penghasilan tetap. g)
Seluruh anggota keluarga yang berumur 10-60 tahun bisa membaca tulisan latin. h)
Seluruh anak berusia 6-15 tahun saat ini (waktu pendataan) bersekolah. i) Bila anak
hidup dua orang atau lebih pada keluarga yang masih PUS, saat ini mereka memakai
kontrasepsi (kecuali bila sedang hamil).
4) Keluarga Sejahtera III. Keluarga telah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum
dan kebutuhan sosial psikologisnya serta sekaligus dapat memenuhi kebutuhan
pengembangannya, tetapi belum aktif dalam usaha kemasyarakatan di lingkungan
desa atau wilayahnya. Mereka harus memenuhi persyaratan indikator pada Keluarga
Sejahtera I dan II serta memenuhi syarat indikator sebagai berikut : a) Mempunyai
upaya untuk meningkatkan pengetahuan agama. b) Sebagian dari penghasilan
keluarga dapat disisihkan untuk tabungan keluarga. c) Biasanya makan bersama
paling kurang sekali sehari dan kesempatan ini dimanfaatkan untuk berkomunikasi
antar-anggota keluarga. d) Ikut serta dalam kegiatan masyarakat di lingkungan
tempat tinggalnya. e) Mengadakan rekreasi bersama di luar rumahpaling kurang
sekali dalam enam bulan. f) Memperoleh berita dengan membaca surat kabar,
majalah, mendengarkan radio atau menonton televisi. g) Anggota keluarga mampu
mempergunakan sarana transportasi.
5) Keluarga Sejahtera III Plus. Keluarga selain telah dapat memenuhi kebutuhan dasar
minimumnya dan kebutuhan sosial psikologisnya, dapat pula memenuhi kebutuhan
pengembangannya, serta sekaligus secara teratur ikut menyumbang dalam kegiatan
23
sosial dan aktif pula mengikuti gerakan semacam itu dalam masyarakat. Keluarga-
keluarga tersebut memenuhi syarat-syarat indikator pada Keluarga Sejahtera I
sampai III dan ditambah dua syarat berikut: a) Keluarga atau anggota keluarga
secara teratur memberikan sumbangan bagi kegiatan sosial masyarakat dalam
bentuk materi. b) Kepala keluarga atau anggota keluarga aktif sebagai pengurus
perkumpulan, yayasan, atau institusi masyarakat lainnya.
Metode yang digunakan oleh BKKBN ini sudah sangat sering diperdebatkan di
berbagai kalangan karena selain rumit, keluarga-keluarga yang didata belum tentu
memberikan keterangan yang sebenarnya dalam proses pendataan. Salah satu indikator
yang mungkin tidak dijawab secara obyektif oleh responden adalah indikator yang
berkaitan dengan agama karena masyarakat umumnya malu mengakui apabila kurang
aktif atau taat dalam melakukan ibadah. Kesulitan untuk menerapkan indikator dari
BKKBN dalam mengukur kemiskinan juga ditemui di daerah perdesaan. Rumah di
perdesaan yang letaknya jauh dari pusat kota umumnya berlantai tanah oleh karena itu
bentuk dan bahan bangunan rumah tidak dapat dijadikan sebagai indikator kemiskinan
tanpa mempertimbangkan beberapa indikator lainnya. Kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa banyak penduduk desa yang memiliki lahan garapan dan ternak
yang bila dihitung dengan nilai rupiah bahkan melebihi kekayaan yang dimiliki oleh orang-
orang yang tidak miskin.
Empat belas kriteria miskin menurut standar BPS, yang terakhir dimodifikasi pada
Agustus 2014 adalah sebagai berikut:
24
5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
6. Sumber air minum berasal dari sumur/ mata air tidak terlindung/ sungai/ air hujan.
7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/ arang/ minyak tanah
8. Hanya mengkonsumsi daging/ susu/ ayam dalam satu kali seminggu.
9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun
10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/ dua kali dalam sehari
11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/ poliklinik
12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan
500m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan dan atau
pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp. 600.000,- per bulan
13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/ tidak tamat SD/ tamat SD.
14. Tidak memiliki tabungan/ barang yang mudah dijual dengan minimal Rp. 500.000,-
seperti sepeda motor kredit/ non kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang
modal lainnya.
25
BPS (2011) mengekukakan bahwa upaya pengumpulan data kemiskinan mikro ini
telah dilakukan BPS dua kali yaitu pada bulan Oktober 2005 dan September 2008. Data
yang diperoleh disebut data Rumah Tangga Sasaran (RTS), yang mencakup bukan
hanya rumah tangga (RT) miskin, tetapi juga RT hampir miskin, yaitu RT yang hidup
sedikit di atas garis kemiskinan. Jumlah RTS hasil pendataan bulan September 2008
adalah 17,5 juta rumah tangga dengan jumlah anggota rumah tangga sebesar 60,4 juta
jiwa. Namun, sebagian besar publik menggunakan angka 70 juta jiwa, dengan
mengasumsikan besarnya rata‐rata anggota rumah tangga adalah 4 orang.
Masih dari sumber yang sama, Garis Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan
dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM).
Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan dibawah Garis
Kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin.
Rumus Penghitungan :
GK = GKM + GKNM
Dimana:
GK = Garis Kemiskinan
GKM = Garis Kemiskinan Makanan
GKNM = Garis Kemiskinan Non Makanan
26
2) Garis Kemiskinan Makanan (GKM) adalah jumlah nilai pengeluaran dari 52 komoditi
dasar makanan yang riil dikonsumsi penduduk referensi yang kemudian disetarakan
dengan 2100 kilokalori perkapita perhari. Patokan ini mengacu pada hasil Widyakarya
Pangan dan Gizi 1978. Penyetaraan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan
dilakukan dengan menghitung harga rata-rata kalori dari ke-52 komoditi tersebut.
Formula dasar dalam menghitung Garis Kemiskinan Makanan (GKM) adalah :
Dimana :
GKMj = Garis Kemiskinan Makanan daerah j (sebelum disetarakan menjadi 2100
kilokalori).
Pjk = Harga komoditi k di daerah j.
Qjk = Rata-rata kuantitas komoditi k yang dikonsumsi di daerah j.
Vjk = Nilai pengeluaran untuk konsumsi komoditi k di daerah j.
j = Daerah (perkotaan atau pedesaan)
Selanjutnya GKMj tersebut disetarakan dengan 2100 kilokalori dengan mengalikan 2100
terhadap harga implisit rata-rata kalori menurut daerah j dari penduduk referensi,
sehingga:
Dimana :
Kjk = Kalori dari komoditi k di daerah j
HKj = Harga rata-rata kalori di daerah j
27
Dimana :
Fj = Kebutuhan minimum makanan di daerah j, yaitu yang menghasilkan energi setara
dengan 2100 kilokalori/kapita/hari.
Dimana:
NFp = Pengeluaran minimun non-makanan atau garis kemiskinan non makanan
daerah p (GKNMp).
Vi = Nilai pengeluaran per komoditi/sub-kelompok non-makanan daerah p (dari
Susenas modul konsumsi).
ri = Rasio pengeluaran komoditi/sub-kelompok non-makanan menurut daerah
(hasil SPPKD 2004).
I = Jenis komoditi non-makanan terpilih di daerah p.
p = Daerah (perkotaan atau pedesaan).
28
Tabel 3.7. Garis Kemiskinan menurut provinsi (Rupiah/kapita/tahun).
29
3.4. Indeks Pembangunan Manusia
Sejak pertama kali diperkenalkan, IPM terus menjadi indikator penting dalam
mengukur kemajuan pembangunan manusia. Berbagai negara mengadopsi konsep
pembangunan manusia yang digagas UNDP dan tidak sedikit yang mencoba
mengaplikasikan penghitungan IPM di negaranya. Indonesia turut ambil bagian dalam
mengaplikasikan konsep pembangunan manusia yang dinilai lebih relevan dibanding
30
konsep pembangunan konvensional. Indonesia pertama kali menghitung IPM pada tahun
1996. Sejak saat itu, IPM dihitung secara berkala setiap tiga tahun.
Rumus perhitungan IPM digunakan rata geometrik yaitu perhitungan rata-rata yang
diperoleh dengan mengalikan semua data dalam suatu kelompok sampel, kemudian
diakarpangkatkan dengan jumlah data sampel tersebut :
Di mana:
X(1) = dimensi umur panjang dan hidup sehat,
X(2) = dimensi pengetahuan
X(3) = dimensi standar hidup layak
31
dan dihitung hingga tingkat kabupaten/kota. Metode baru penghitungan IPM ternyata
membawa dampak yang harus dicermati agar tidak terjadi salah penafsiran. Metode ini
menyebabkan level IPM menjadi lebih rendah dibanding metode lama. Selain itu, metode
ini menyebabkan perubahan peringkat di beberapa daerah. Namun, peringkat yang
dihasilkan metode baru tidak dapat dibandingkan dengan metode lama karena
perbedaan secara metodologi.
Sejak 2004 IPM dihitung setiap tahun untuk memenuhi kebutuhan Kementerian
Keuangan dalam menghitung Dana AlokasiUmum (DAU). Indikator yang digunakan di
Indonesia dalam menghitung IPM adalah angka harapan hidup saat lahir, angka melek
huruf, rata-rata lama sekolah, dan pengeluaran per kapita.Selama hampir dua
dasawarsa, IPM terus digunakan dalam berbagai perencanaan pembangunan. Seiring
dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta tantangan
pembangunan, UNDP mengembangkan gagasan baru dalam penghitungan
pembangunan.
Indeks Pembangunan Manusia menjadi salah satu indikator yang penting dalam
melihat sisi lain dari pembangunan. Manfaat penting IPM antara lain sebagai beriku: (1)
IPM merupakan indikator penting untuk mengukur keberhasilan dalam upaya
membangun kualitas hidup manusia (masyarakat/penduduk), (2) IPM dapat menentukan
peringkat atau level pembangunan suatu wilayah/negara, dan (3) Bagi Indonesia, IPM
merupakan data strategis karena selain sebagai ukuran kinerja Pemerintah, IPM juga
digunakan sebagai salah satu alokator penentuan Dana Alokasi Umum (DAU).
32
Tabel. 3.8. Hasil perhitungan Indeks Pembangunan Manusia dengan metode baru, 2010
– 2015.
Indeks Pembangunan Manusia
Provinsi
2010 2011 2012 2013 2014 2015
ACEH 67.09 67.45 67.81 68.30 68.81 69.45
SUMATERA UTARA 67.09 67.34 67.74 68.36 68.87 69.51
SUMATERA BARAT 67.25 67.81 68.36 68.91 69.36 69.98
RIAU 68.65 68.90 69.15 69.91 70.33 70.84
JAMBI 65.39 66.14 66.94 67.76 68.24 68.89
SUMATERA SELATAN 64.44 65.12 65.79 66.16 66.75 67.46
BENGKULU 65.35 65.96 66.61 67.50 68.06 68.59
LAMPUNG 63.71 64.20 64.87 65.73 66.42 66.95
KEP. BANGKA BELITUNG 66.02 66.59 67.21 67.92 68.27 69.05
KEP. RIAU 71.13 71.61 72.36 73.02 73.40 73.75
DKI JAKARTA 76.31 76.98 77.53 78.08 78.39 78.99
JAWA BARAT 66.15 66.67 67.32 68.25 68.80 69.50
JAWA TENGAH 66.08 66.64 67.21 68.02 68.78 69.49
DI YOGYAKARTA 75.37 75.93 76.15 76.44 76.81 77.59
JAWA TIMUR 65.36 66.06 66.74 67.55 68.14 68.95
BANTEN 67.54 68.22 68.92 69.47 69.89 70.27
BALI 70.10 70.87 71.62 72.09 72.48 73.27
NUSA TENGGARA BARAT 61.16 62.14 62.98 63.76 64.31 65.19
NUSA TENGGARA TIMUR 59.21 60.24 60.81 61.68 62.26 62.67
KALIMANTAN BARAT 61.97 62.35 63.41 64.30 64.89 65.59
KALIMANTAN TENGAH 65.96 66.38 66.66 67.41 67.77 68.53
KALIMANTAN SELATAN 65.20 65.89 66.68 67.17 67.63 68.38
KALIMANTAN TIMUR 71.31 72.02 72.62 73.21 73.82 74.17
KALIMANTAN UTARA - - - 67.99 68.64 68.76
SULAWESI UTARA 67.83 68.31 69.04 69.49 69.96 70.39
SULAWESI TENGAH 63.29 64.27 65 65.79 66.43 66.76
SULAWESI SELATAN 66 66.65 67.26 67.92 68.49 69.15
SULAWESI TENGGARA 65.99 66.52 67.07 67.55 68.07 68.75
GORONTALO 62.65 63.48 64.16 64.70 65.17 65.86
SULAWESI BARAT 59.74 60.63 61.01 61.53 62.24 62.96
MALUKU 64.27 64.75 65.43 66.09 66.74 67.05
MALUKU UTARA 62.79 63.19 63.93 64.78 65.18 65.91
PAPUA BARAT 59.60 59.90 60.30 60.91 61.28 61.73
PAPUA 54.45 55.01 55.55 56.25 56.75 57.25
INDONESIA 66.53 67.09 67.70 68.31 68.90 69.55
Sumber: BPS
Namun demikian IPM tidak bisa dijadikan indikator kesejahteraan petani karena
data yang dikumpulkan dan digunakan tidak secara spesifik terpilah menurut sub sektor
terutama sektor pertanian dan petani.
33
3.5. Persepsi Perubahan Kondisi Ekonomi dan Kecukupan Pendapatan Rumah
Tangga.
Dengan menggunakan data Sensus Pertanian 2003 dan 2013 BPS (2014a)
menemukan bahwa secara nasional RTUP yang pendapatannya meningkat tahun 2013
lebih banyak dibandungkan dengan tahun 2003. Begitu pula jumlah RTUP dengan tingkat
pendapatan lebih dari cukup mengalami peningkatan pada periode 2003-2003. Kajian
menyimpulkan bahwa persepsi terhadap perubahan keadaan ekonomi dan kecukupan
pendapatan rumah tangga tani hasil Sensus Pertanian 2013 dapat digunakan sebagai
alternatif proksi kesejahteraan petani. Walau bersifat persepsi, ternyata kedua indikator
berkorelasi kuat satu sama lain namun tidak berkorelasi signifikan dengan NTP yang
selama ini banyak digunakan tetapi juga banyak dikritisi kemampuannya dalam
menggambarkan kesejahteraan petani. Kedua indikator dipengaruhi signifikan oleh
banyak variabel yang secara teoretis memengaruhi pendapatan, sedangka NTP hanya
dipengaruhi signifikan oleh pendidikantingkat menengah. Walaupun tidak eksplisit atau
tegas, terdapat kesan kuat bahwa dengan kesimpulan ini BPS hendak menyarankan
penggunaan persepsi terhadap perubahan keadaan ekonomi dan kecukupan
34
pendapatan sebagai sebagai alternatif proksi kesejahteraan petani menggantikan NTP
yang banyak digunakan dan banyak pula dikritisi selama ini.
35
tingkat kepuasan untuk setiap aspek penentunua ditetapkan dalam skor 1-100. IKPI
dihitung untuk tingkat nasional dan provinsi dengan rumus sebagai berikut:
BPS pertama kali menerbitkan IKPI pada 2015 untuk status pada 2014.Hingga
pertengahan 2016 BPS belum mengeluarkan angka perhitungan IKPI baru.Perhitungan
IKPI disajikan dengan rincian menurut wilayah Desa dan Kota, serta menurut beberapa
indicator demografi dan ekonomi seperti jenis kelamin, status perkawinan, kelompok
umur, status dalam keluarga (kepala rumah tangan, pasangan kepala rumah tangga),
banyaknya anggota rumah tangga, tingkat pendidikan dan pendapatan rumah tangga
(Tabel 3.9.).
36
Tabel 3.9. Indeks Kebahagiaan Penduduk Indonesia, Jawa Barat dan Sumatera Utara,
2014.
No Karakteristik demografi dan ekonomi Indonesia Jawa Barat Sumatera Utara
1 Klasifikasi wilayah
a Kota 69,62 68,54 69,95
b Desa 66,95 66,04 65,50
2 Jenis kelamin
a Laki-laki 67,94 67,13 67,04
b Perempuan 68,61 68,10 68,21
3 Status perkawinan
a Belum menikah 68,77 67,68 67,59
b Menikah 68,74 68,21 68,12
c Cerai hidup 65,04 65,11 63,09
d Cerai mati 65,80 64,44 65,59
4 Kelompok umur (tahun)
a 17-24 68,73 67,87 68,63
b 25-40 68,76 68,49 67,85
c 41-64 68,37 67,72 67,91
d 65 atau lebih 66,24 64,46 65,25
5 Kedudukan dalam rumah tangga
a Kepala rumah tangga 67,57 66,67 66,70
b Pasangan kepala rumah tangga 69,45 69,04 69,17
6 Banyaknya anggota rumah tangga
a 1 orang 65,59 63,82 65,26
b 2 orang 67,52 66,04 67,90
c 3 orang 68,44 67,92 67,35
d 4 orang 68,97 68,82 68,51
e 5 orang 68,89 68,60 68,15
f6 orang 68,19 67,17 67,27
g 7 orang 67,85 68.01 66,40
7 Pendidikan tertinggi ditamatkan
a Tidak atau belum pernah sekolah 62,96 60,36 58,22
b Tidak tamat SD/sederajat 65,30 63,92 63,04
c SD atau sederajat 67,03 66,42 65,38
d SMP atau sederajat 68,48 68,68 67,31
e SMA atau sederajat 71,04 71,18 70,03
fDiploma I-III 73,86 73,33 74,00
g Diploma IV/S1 76,47 75,44 75,99
h S2-S3 79,47 77,94 76,66
8 Pendapatan Rumah Tangga
a Hingga Rp 1.800.000 64,58 63,87 62,97
b Rp 1.800.001-3.000.000 68,76 68,56 68,29
c Rp 3.000.001-4.800.000 71,86 71, 67 72,63
d Rp 4.800.001-7.200.000 74,64 74,21 75,33
e Lebih dari Rp 7.200.000 76,34 75,42 74,81
Indeks komposit 68,26 67.66 67,65
Sumber: BPS
37
Ada beberapa hal yang menarik dari data yang ditampilkan pada (Tabel 3.9.).
Pertama, derajat kepuasan penduduk perdesaan lebih rendah dari penduduk
perkotaan.Bila dapat dikatakan bahwa penduduk perdesaan sebagian besar adalah
petani maka dapat dikatakan bahwa derajat kebahagiaan keluarga pertanian lebih
rendah dari keluarga non-pertanian.Ini menunjukkan pentingnya meningkatkan
kesejahteraan keluarga pertanian sebagai bagian dari perbaikan pemerataan
kebahagiaan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Keempat, tingkat kepuasan dari variabel dengan derajat sama tidak bervariasi
nyata menurut provinsi. Hal ini menunjukkan bahwa variasi perubahan terutama
ditentukan oleh variasi derajat (nilai) variabel, bukan karena perbedaan daerah atau
individu.Dengan demikian, agregasi melalui indeks komposit valid dilakukan. Dengan
perkataan lain, indeks komposit merupakan cermin derajad kepuasan yang dapat
diperbandingkan antar waktu atau antar daerah.
Dalam konteks pengukuran kesejahteraan petani yang menjadi fokus kajian ini,
pembelajaran yang dapat diambil dari perhitungan IKPI ini ialah bahwa, pertama,
kebahagiaan penduduk Indonesia, termasuk petani, bersifat multidimensi. Kedua, tingkat
pendapatan dan derajad pendidikan merupakan dua variabel kunci penentu kebahagiaan
penduduk secara umum, yang berarti pula kesejahteraan petani.Ketiga, bila dirancang
dengan baik, kesejahteraan petani dapat diukur dengan suatu indeks komposit yang
merupakan agregasi nilai variabel-variabel dari berbagai aspek determinan
kesejahteraan.Keempat, basis data yang dikumpulkan BPS untuk perhitungan IKPI
agregat tidak memadai untuk menghitung Indeks Kesejahteraan Petani Indonesia. Oleh
karena itu, bila dikehendaki, Indeks Kesejahteraan Petani Indonesia mestilah dihitung
khusus dan berbeda dari Indeks Kesejahteraan Penduduk Indonesia. Kelima,
perhitungan IKPI nampaknya bukan prioritas BPS sehingga tidak ada kepastian apakan
38
akan dilanjutkan di masa datang, sehingga sangat sulit mengharapkan BPS akan
melakukan perhitungan Indeks Kesejahteraan Petani Indonesia.
1. Tidak memiliki anggota rumah tangga yang telah menyelesaikan pendidikan 9 tahun
(SMP)
2. Memiliki minimal satu anak usia sekolah (sampai kelas 9) yang putus sekolah
3. Memiliki setidaknya satu anggota keluarga yang kekurangan gizi
4. Memiliki satu atau lebih anak yang meninggal dunia
5. Tidak memiliki listrik
6. Tidak memiliki akses air minum bersih
7. Tidak memiliki akses ke sanitasi yang memadai
8. Menggunakan arang, batu bara atau kayu bakarsebagai bahan bakar untuk
memasak
9. Memiliki rumah dengan lantai tanah
10. Tidak memiliki kenderaan bermotor dan hanya memiliki salah satu dari barang
berikut: sepeda, sepeda motor, radio, kulkas, telepon, atau televise.
IKM dihitung dengan menjumlahkan seluruh skor dari 10 indikator tersebut. Titik
pemisah atau cut off point (C) yang membedakan RTUP miskin dan tidak miskin
ditetapkan sebesar 33,3 %. RTUP dengan skor kekurangan akses sebesar 30 % atau
39
lebih dinggap mengalami kemiskinan multidimensi. Berdasarkan skor kekurangan akses
tersebut RTUP juga dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori, yaitu:
Kategori itu digunakan untuk jumlah RTUP miskin, jumlah penduduk pertanian
miskin (head count), dan intensitas kemiskinan.Penduduk pertanian adalah jumlah dari
seluruh anggota rumantangga RTUP. Intensitas kemiskinan adalah rasio jumlah
indikator yang tidak mencapai cut of point kemiskinan multidimensi.
Kajian BPS (2014b) juga menyajikan rincian perhitungan IKM menurut kategori
kemiskinan dan lapangan kerja pertanian-non pertanian (Tabel 3.10). Hasil perhitungan
menunjukkan bahwa RTUP yang mantap tidak miskin multidimensi hanya sekitar
separuh populasi (49,95%) untuk yang pendapatan utamanya dari pertanian, sementara
yang pendapatan utamanya non-pertanian mencapai lebih dari dua pertiga populasi
(68,91%). Dengan demikian, RTUP yang mengandalkan pendapatan dari non usaha
pertanian lebih sejahtera dari pada yang mengandalkan pendapatan dari usaha
pertanian.Kesempatan kerja di luar pertanian menjadi jalan keluar dari kemiskinan.
Tabel 3.10. Persentase RTUP menurut kategori kemiskinan multidimensi dan sumber
pendapatan utama, 2013.
40
Kiranya dicatat bahwa definisi pertanian dalam kajian ini ialah dalam arti luas,
mencakup subsektor Tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan, Peternakan,
Perikanan, Kehutanan, dan Jasa Pertanian. Kajian juga menghitung tingkat kemiskinan
multidimensi untuk setiap subsektor tersebut. Prevalensi kemiskinan multidimensi
tertinggi ialah pada subsektor Kehutanan (35,74%), yang selanjutnya diikuti oleh
subsector Tanaman Pangan (27,41 %), Peternakan (26,77%), Jasa Pertanian (24,43%),
Perkebunan (21,54%), Hortikultura (20,76%), Perikanan (17,18%), dan Nonpertanian
(15,29%). Untuk kelompok sektor pertanian sempit, prevalensi kemiskinan multidimensi
tertinggi adalah untuk subsektor Tanaman Pangan, lalu diikuti oleh Peternakan,
Perkebunan dan Hortikultura. Temuan ini menunjukkan pentingnya diversifikasi
usahatani dari komoditas tanaman pangan dan peternakan bernilai rendah ke komoditas
hortikultura dan perkebunan bernilai tinggi.
41
utama Kementerian Pertanian. Selain untuk monitoring dan evaluasi kineja
pembangunan, tersedianya kesejateraan petani akan memungkinkan palaksanaan
analisis kebijakan terkait. Masalahnya ialah, seperti yang telah diuraikan pada bab
sebelumnya, NTP dan PDB sektor Pertanian per kapita yang selama ini dijadikan sebagai
indikator kesejahteraan petani ternyata tidak valid.
Oleh karena itu perlu dirumuskan alternatif indikator kesejahteraan petani yang
dapat diukur secara teratur dengan ongkos wajar. Pemilihan metode pengukuran
mempertimbangkan tiga aspek berikut: 1) Validitas dan akurasi hasil pengukuran; 2)
Kelayakan teknis pelaksanaan; dan 3) Beban anggaran pelaksanaan. Evaluasi validitas
dan akurasi didasarkan pada tinjauan teoritis dan literatur empiris sebagaimana telah
dilakukan pada Bab 3. Alternatif metode evaluasi kelayakan teknis didasarkan
pertimbangan kemudahan dalam pengumpulan, penyimpanan dan pengolahan data.
Evaluasi beban anggaran didasarkan pada perkiraan ongkos yang dibutuhkan dalam
keseluruhan pelaksanaan pengukuran tingkat kesejahteraan petani tersebut. Untuk butir
2) dan 3) prioritas pilihan jatuh pada metode yang menggunakan data yang selama ini
dikumpulkan oleh BPS secara rutin.
NTP yang paling banyak dan lama digunakan memang mudah dihitung dan
datanya disediakan BPS dalam bulanan secara regular. Masalahnya ialah NTP dinilai
parsial karena hanya melihat kesejahteraan dari aspek ekonomi melalui daya beli
pendapatan usaha pertanian serta pengukurannya tidak valid karena relasinya dengan
daya pendapatan bersih usaha pertanian berhubungan tidak langsung. Relasi NTP
dengan laba usaha tani dapat ditingkatkan melalui indikator Nilai Tukar Faktorial (NTF).
NTF dapat dihitung bila data Total Faktor Productivity (TFP) sektor pertanian tersedia.
Namun demikian, perbaikan melalui NTF tidak lantas menghilangkan kelemahan
42
pokoknya yang terbatas pada aspek ekonomi dan semata-mata komponen pendapatan
usahatani. Telah diuraikan bahwa RTUP yang mengandalkan pendapatan dari usahatani
padi lebih banyak yang lebih miskin daripada yang mengandalkan pendapatan dari non
pertanian. Pendapatan non-pertanian dapat berkontribusi lebih besar daripada
pendapatan pertanian sehingga konsep NTP tidak valid. Lagi pula, hingga kini, BPS
belum menyediakan data yang memungkinkan perhitungan TFP pertanian. Hasil diskusi
dengan BPS menyimpulkan bahwa perhitungan NTF tidak mungkin dilakukan dalam
waktu dekat ini.
PDB sektor pertanian per kapita juga termasuk yang banyak dan lama digunakan
sebagai penanda kesejahteraan petani Indonesia. Data PDB sektor pertanian disediakan
BPS terbuka dalam kuartalan. Sama seperti NTP, PDB per kapita terbatas pada ukuran
kesejahteraan dari aspek ekonomi. Masalah pokok lainnya ialah bahwa PDB per kapita
mengandung komponen pendapatan penduduk asing dan pajak sehingga tidak
menggambarkan pendapatan rumah tangga yang tersedia untuk dibelanjakan. Indikator
yang lebih akurat untuk mengukur pendapatan yang siap dibelanjakan ialah Pendapatan
Personal Disposibel (Disposible Personal Income=DPI) yang sudah tidak mengandung
transfer luar negeri dan pajak namun sudah memperhitungkan penerimaan transfer
dalam negeri). Sayangnya, data yang tersedia dalam perhitungan PDB yang dilakukan
oleh BPS selama ini tidak memungkinkan perhitungan DPI sektor pertanian. Hal ini juga
konsisten dengan hasil diskusi PSEKP - BPS.
Indeks Kesejahteraan Multidimensi (IKM) memiliki landasan teori yang amat kuat
terutama karena mengukur kesejahteraan dari banyak dimensi, tidak hanya dari aspek
ekonomi. Konsep IKM telah dipergunakan BPS untuk menghitung tingkat kemiskinan
petani dengan 3 dimensi (pendidikan, kesehatan, standar hidup) mencakup 10 variabel
berdasarkan data Survei Pendapatan Petani sebagai bagian dari Sensus Pertanian 2013.
IKM mungkin menjadi salah satu pilihan terbaik untuk mengukur kesejahteraan petani
bila data tersedia. Masalahnya ialah bahwa basis data yang selama ini dipergunakan
untuk menghitung IPM tidak dirancang untuik keluarga tani sehingga tidak valid
dipergunakan untuk menghitung IPM rumah tangga tani.
43
Tabel 4.1. Rangkuman deskripsi indikator-indikator kesejahteraan yang pernah
digunakan BPS.
Penggunaan
No Kekuatan Kelemahan Opini
dan indikator
44
Prevalensi kemiskinan berdasarkan batas pendapatan rumah tangga adalah
indikator kesejahteraan umum yang paling banyak dan lama digunakan di Indonesia
maupun di negara - negara lain sedang berkembang. Data tingkat kemiskinan nasional
dan daerah disediakan BPS secara terbuka tiap tahun. Cara perhitungannya amat
sederhana: seseoran atau keluarga dikatakan miskin bila pendatannya kurang dari garis
kemiskinan, yakni batas pendapatan minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar
bersangkuta. Indikator prevalensi kemiskinan melihat kesejahteraan dari aspek ekonomi
saja. Namun demikian, prevalensi kemiskinan ekonomi ini dapat digunakan sebagai
salah satu indikator kesejahteraan petani karena kemampuan memenuhi kebutuhan
dasar adalah salah satu prasyarat meraih kesejahteraan petani. Masalahnya, BPS tidak
selalu menyediakan tingkat kemiskinan keluarga tani, apalagi dirinci menurut daerah.
Hasil diskusi dengan BPS menyimpulkan bahwa data SUSENAS yang selama ini dipakai
sebagai basis perhitungan kemiskinan dinilai tidak valid dijadikan untuk menghitung
tingkat kemiskinan rumah tanagga tani. Perhitungan tingkat kemiskinan petani harus
dirancang tersendiri.
45
4.3. Opsi tindak lanjut
Opsi pertama jelas kurang baik karena hal itu sama saja tidak dapat memperoleh
data valid dan akurat tentang perkembangan status kesejahteraan petani yang
merupakan salah sautu indikator keberhasilan pembangunan pertanian. Pemantauan
perkembangan kesejahteraan petani berdasarkan suatu indikator yang valid dan akurat
merupakan kebutuhan esensial bagi Kementerian Pertanian.
Opsi kedua dapat dilakukan misalnya untuk perbaikan NTP yakni, menambah
perhitungan Nilai Tukar Faktorial (NTF). Perhitungan NTF hanya membutuhkan total
faktor produksi (TFP) sebagai tambahan data. Hal ini mestinya tidak terlalu memberatkan
bagi BPS karena TFP dapat dihitung dari data struktur ongkos yang selama ini (atau
dahulu?) dikumpulkan BPS secara regular. Kiranya dicatat pula, data struktur ongkos
tidak saja bermanfaat untuk perhitungan NTF tetapi juga untuk berbagai keperluan
penting lainnya seperti analisis profitabilitas usahatani sebagai dasar dalam pengkajian
harga referensi komoditas pertanian maupun harga input bersubsidi, dsb. Sudah barang
tentu, opsi dua ini dapat diwujudkan melalui kerjasama Kementerian Pertanian dengan
BPS. Kementerian Pertanian dapat memberikan dukungan pembiayaan, sementara BPS
46
bertindak sebagai pelaksana oprasional. NTF dapat dipakai sebagai bahan monitoring
perkembangan jangka pendek (tahunan) kesejahteraan petani.
5.1. Kesimpulan
Nilai Tukar Petani (NTP) dan PDB sektor pertanian per kapita, dua indikator
kesejahteraan petani yang paling banyak dan lama digunakan di Indonesia tidak valid
menggambarkan realitas kesejahteraan petani. Nilai Tukar Faktorial (NTF) dapat
memperbaiki validitas NTP konvensional namun tetap saja kurang valid sebagai indikator
kesejahteraan petani. Pendapatan Personal Disposibel (Disposable Personal
Income=DPI) dapat lebih valid dari PDB per kapita dalam merefleksikan kesejahteraan
petani namun data perhitungan PDB yang dilakukan BPS tidak memungkinkan
perhitungan DPI. Oleh karena itu perlu dirumuskan metode baru untuk menghitung
kesejahteraan petani.
Oleh karena kesejahteraan petani amat kompleks yang tidak mungkin dapat diukur
dengan satu indikator maka idealnya monitoring dan evaluasi kesejahteraan petani
dilaksanakan dengan pendekatan dash board, yaitu beberapa indikator dipergunakan
sekaligus. Indikator-indikator yang disarankan ialah: 1) Pendapatan Personal Disposabel
(DPI) Rumah Tangga Pertanian; 2) Prevalensi kemiskinan Rumah Tangga Pertanian, 3)
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Rumah Tangga Pertanian, 4) Indeks
Kesejahteraan Multidimensi (IKM) Rumah Tangga Pertanian, dan 5) Indeks Kebahagiaan
Petani Indonesia (IKPI). Indikator-indikator serupa atau bahan dasar untuk perhitungan
indikator-indikator tersebut mestinya tersedia atau dapat disediakan oleh BPS.
47
Namun demikian, hasil diskusi dengan staf BPS menyimpulkan bahwa indikator-
indikator khusus kesejahteraan petani tidak dapat dihitung oleh BPS sehubungan dengan
kendala tanaga, waktu dan anggaran. Bahkan mereka juga mengatakan bahawa
perhitungan NTF (penyesesuain NTP) dan GDI (turunan GDP) pertanian tidak mungkin
dilakukan oleh BPS dalam waktu dekat ini.
Hasil diskusi Tim Peneliti dengan Staf BPS mengenai kemungkinan penyusunan
indikator kesejahteraan khusus bagi petani hendaklah dipandang sebagai pandangan
sementara karena disampaikan oleh staf yang bukan pengambil keputusan akhir, masih
mungkin berbeda bila ada pembicaaraan tingkat tinggi diantara pimpinan BPS dan
Kementerian Pertanian. Peluang yang nampaknya paling mungkin ialah bekerjasama
dalam menyesuaikan indikator-indikator yang ada dengan memanfaatkan basis data
yang selama ini dikumpulkan BPS secara regular. Dengan demikian, pilihan tindak lanjut
bagi Kementerian Pertanian:
1. Menjalin kerjasama dengan BPS dalam menyesuaikan dan melengkapi NTP dengan
perhitungan NTF. Data tambahan yang diperlukan hanyalah strukturtur ongkos yang
selama ini biasa dikumpulkan oleh BPS. NTF cukup dihitung tiap tahun. Untuk itu,
Pimpinan Kementerian Pertanian disarankan untuk segera menjalin kerjasama
dengan Pimpinan BPS.
DAFTAR PUSTAKA
48
Rachmat, M. 2013. Nilai Tukar Petani : Konsep, Pengukuran Dan Relevansinya Sebagai
Indikator Kesejahteraan Petani. Forum Agro Ekonomi 31 (2): 111-122.
Rusono, N., A. Sunari, A. Candradijaya, I. Martino, dan Tejaningsih. 2013. Analisis Nilai
Tukar Petani (NTP) sebagai Bahan Penyusunan RJMN Tahun 2015-2019. Badan
Perancang dan Pembangunan Nasional, Jakarta.
Simatupang, P. dan M. Maulana. 2006. Kritik Terhadap KonsepNilai Tukar Petani: Kasus
Perkembangan Tahun 2003-2006. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan 14 (2): 2187-
246.
Simatupang, P. dan M. Maulana. 2007. Kaji Ulang Konsep dan Perkembangan Nilai
Tukar Petani Tahun 2003-2006. Jakarta: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian, Departemen Pertanian.
49