Secara etiologis akhlaq berasal dari kata Al-Huluq, akhlaq yang berarti tabiat,
budi pekerti, kebiasaan. Secara istilah akhlaq berarti sesuatu yang melekat pada
jiwa manusia yang daripadanyalah lahir perbuatan-perbuatan yang mudah tanpa
melalui proses pemikiran pertimbangan atau penelitian.
Kata akhlaq berakar dari kata khalaqa atau khalqun yang berarti kejadian,
bentuk, ciptaan, tampilan, prilaku, tingkah laku, yang sepintas hanya
berkonotasi lahiriyah, padahal sebenarnya akhlaq itu meliputi yang bathiniyah
(dalam) disamping yang lahiriyah karena sikap batin termasuk materi kajian
akhlaq, sehingga boleh jadi seseorang yang tutur katanya santun, tingkah lakunya
sopan, tetapi dia tidak berakhlaq mulia sebab bias jadi demikian itu karena ingin
mendapat pujian atau malah dalam rangka menipu.
Oleh sebab itu, akhlaq tidak dapat di identikan dengan : Budi pekerti, etika, sopan
santun karena semuanya itu hanya terbatas hal-hal yang lahiriyah saja, disamping
hanya berkaitan dengan hubungan pergaulan antara manusia, sementara akhlaq
mencangkup :
1. Hubungan manusia dengan dirinya
2. Hubungan manusia dengan Allah
3. Hubungan manusia dengan sesamanya
4. Hubungan manusia dengan alam lingkungannya
Akhlaq dalam tinjauan sifatnya, keduanya diterangkan dalam Al-Qur’an dan Al-
Sunnah, yang terpuji untuk diwujudkan dan yang tercela untuk dihindarkan. Hal
lain yang membedakan akhlaq dengan budi pekerti adalah menurut islam, orang
yang jahat pun dapat disebut berakhlaq namun tercela, seperti pelaku kebaikan
disebut sebagai berakhlaq terpuji, sementara budi pekerti hanya bias diarahkan
kepada orang yang berprilaku bauk semata.
6. Mencintai Ilmu dan Semangat Belajar ( QS. Al-Alaq (96) ayat 1-5 ) ( QS.
Mujadilah (58) ayat 11 ) ( QS. At-Taubah (9) ayat 122 ) ( QS. Az-zumar
(39) ayat 9 )
7. Bersikap Malu pada Tempatnya ( QS. Al-Qashash (28) ayat 25 ) ( QS. Al-
Imran (3) ayat 139 ) ( QS. Fushilat (41) ayat 30-32 )
8. As-Syajaah atau Keberanian ( QS. Al-Imran (3) ayat 139 )
Sebagian ulama berkata, “ayat ini mengandung kaedah-kaedah syariat, tak satupun
kebaikan dalam syariat kecuali telah dikandungnya, atau keutamaan akhlaq kecuali
telah dijelaskannya. Dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan Nabinya SAW
dengan tiga hal yang semuanya adalah pokok-pokok umum syariat tentang akhlaq
seseorang dan etika dalam bersikap.”
Al-Alusi berkata, “lebih dari satu ulama menyebutkan bahwasanya tidak ada di Al-
Qur’an ayat yang lebih mencakup Akhlaq-akhlq mulia daripada ayat ini, yang
initinya –sebagaimana yang mereka katakan- adalah bergaul dengan orang lain
dengan baik, mencurahkan sedikit yang kita miliki demi berbuat baik kepada
mereka, bersabar terhadap kesalahan-kesalahan mereka.” (Ruhul Ma’aniy, karya
Al-Alusi 5/137)
Syaikh As-Sa’diy rahimahullah berkata, “ini adalah ayat yang bermakna luas
tentang berakhlaq baik dengan orang lain, dan apa saja yang harus kita lakukan
dalam bersosialisasi dengan mereka.” (Tafsir As-Sa’diy Hal. 313)
Ayat ini juga sesuai dengan sabda Rasulullah SAW:
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling mulia akhlaknya” (HR Bukhari dan
Muslim)
Dalam hadits lain beliau bersabda:
“Sesungguhnya yang paling aku cintai di antara kalian dan yang paling
dekat tempat tinggalnya denganku pada hari kiamat adalah yang paling mulia
akhlaknya” (HR. Tirmidzi, shahih)
Keutamaan berakhlaq mulia semakin jelas dalam sabdanya yang berbunyi:
“Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin pada
hari kiamat daripada akhlak yang mulia” (HR. Tirmidzi, shahih)
“Selain itu, banyaknya berita hoaks yang tersebar, apabila tidak disikapi dengan
bijak, akan memberikan dampak tidak baik,” ungkapnya.
Pentingnya akhlakul karimah dalam diri seseorang menjadi bukti bahwa Islam
sangat menjunjung tinggi kebaikan umatnya agar senantiasa berperilaku dan
bertindak sesuai syariat. “Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW turun ke
bumi tak lain untuk menyempurnakan akhlak umatnya,” tegasnya.
Akhlak menjadi cita-cita Nabi ketika beliau diturunkan pertama kali dari langit.
“Mengingat kembali pada saat Nabi lahir zaman tersebut dinamakan dengan zaman
jahiliyah. Disebut demikian karena mayoritas umat pada saat itu kualitas akhlaknya
sangat rendah,” urainya.
Salah satu contohnya tentang kasus anak perempuan yang lahir harus dibunuh
dengan alasan akan mempermalukan. “Padahal di sisi lain ketika sudah beranjak
dewasa, justru menjadi hal yang diperebutkan untuk dijadikan istri atau budak,”
terangnya. Tidak ada lagi unsur memanusiakan manusia. Kondisi saat itu sangat
parah hingga diutuslah Nabi Muhammad untuk memulihkan ke jalan yang benar,
lanjutnya.
“Akhlak itu bersifat spontan, datang secara tiba-tiba dan sudah tersirat di dalam
hati tanpa ada pemikiran sebelumnya,” jelasnya. Akhlak menjadi karakteristik bagi
seseorang. Bagaimana ia berbuat, demikianlah akhlak yang dimiliki, lanjut
Pengasuh Pondok Pesantren Darul Falah Besongo ini.
Paparan yang disajikan kali ini menjadi tuntutan bagi seseorang agar mulai terbiasa
menerapkan akhlak sebagai sesuatu yang melekat. “Menjadikannya sebagai bagian
intirn dengan cara meneguhkan iman dan memegang teguh nilai tauhid secara
murni tanpa ada perkara yang menjadikan kita meragukan Allah, seperti halnya
takut pada masalah harta atau jabatan,” ungkapnya.
Orang yang memegang teguh nilai tauhid berarti menjadikan Allah sebagai sumber
kasih dan sayang. “Sifat rahman dan rahim Allah inilah yang harus diaplikasikan
dalam kehidupan sehari-hari dan ditanamkan sebagai salah satu ciri akhlakul
karimah,” pungkas guru besar ilmu tafsir yang sering disapa Abah Imam oleh para
santrinya mengakhiri kajian.
Jamaah dari berbagai tempat terlihat memenuhi area MAJT untuk mendengarkan
siraman rohani yang sebelumnya diisi dengan kegiatan berjanjenan terlebih dahulu.
(Rizal/Ziya/Ibnu Nawawi).