Anda di halaman 1dari 9

ETIKA DALAM PERSPEKTIF 

ISLAM
Posted on Maret 4, 2012 by Muhammad Makmun Rasyid
Etika adalah sebuah ilmu yang saat ini sudah berdiri sendiri, pada awalnya, Etika merupakan
bagian dari ilmu Filsafat. Etika sering disamakan dengan ahlak dan moral, namun banyak
juga para ahli yang membedakan keduanya.

Tulisan karangan ilmiyah ini menitikberatkan kepada tingkah laku, perbuatan dan budi
pekerti manusia yang dapat dilihat dari fenomena eksternal. Istilah ilmu Etika itu sama
dengan ilmu ahlak yaitu ilmu yang membahas nilai-nilai yang berkaitan dengan perbuatan
manusia dari segi baik dan buruknya. Ahlak itu sifat yang tertanam dalam jiwa manusia yang
menimbulkan bermacam-macam pola tingkah laku secara spontan dan mudah; tanpa
memerlukan pemikiran dan pertimbangan (Imam Ghazali, III: 56).
Etika secara bahasa adalah ilmu yang berkenaan tentang yang buruk dan tentang hak serta
kewajiban moral. Etika juga bermakna nilai mengenai benar dan salah yang dianut seseorang.
Etika artinya tatasusila atau tatacara pergaulan. Makna dasar dari etika adalah ethos (Yunani)
yaitu adat kebiasaan. Sebagaimana firman allah SWT :
‫وانك لعلى خلق عظيم‬

Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (Surat Al-Qalam/68: 4).
Etika Qurani mempunyai ciri-ciri tersendiri yang membedakannya dengan etika lain. Etika
Qurani sekurang-kurangnya mempunyai lima ciri
utama, yaitu: pertama, Rabbani; kedua, manusiawi; ketiga,universal; keempat, keseimbangan
; dan kelima, realistik (Ilyas, 2002: 12). Ciri Rabbani menegaskan bahwa etika Qurani adalah
etika yang membimbing kepada arah yang baik dan benar (Surat Al-An’am/6: 153).
Ciri manusiawi adalah memperhatikan dan memenuhi fitrah manusia serta menuntun agar
memperoleh kebahagian dunia dan akhirat (Surat Ar-Rum/30: 30). Ciri universal adalah
membawa misi rahmatan lil alamin di seluruh penjuru (Surat Al-Anbiya’/21: 107).
Ciri keseimbangan adalah menjaga hubungan baik kepada Allah dan hubungan baik kepada
manusia (Surat Al-Baqarah/2: 201). Ciri realistik adalah memperhatikan kenyataan yang ada
(kehidupan manusia) dan memberikan keringanan bagi yang tidak mampu melakukannya
(Surat Al-Baqarah/2: 173 dan 286).
Ketika manusia mengalami kelangkaan (untuk tidak mengatakan kehilangan sama sekali)
citra insan yang humanistik, Al-qur’an menawarkan sebuah konsep “permanusian manusia”
dalam pengertian luas. Nabi Muhammad saw merupakan wujud kongkrit figur keteladanan
universal sebagai tolak ukur manusia dalam setiap aspek, bahkan sampai saat ini tidak ada
seorang manusiapun yang menjatuhkan urutan pertama dalam kepemimpinan Nabi
Muhammad SAW, Nabi Muhammad adalah satu-satunya manusia yang dalam sejarah yang
berhasil meraih kesuksesan luar biasa, baik ditilik dari ukuran agama maupun ruang lingkup
duniawinya. Di tinjau dari aspek Qurani etika terbagi menjadi beberapa bagian:

1. Etika manusia kepada Allah:


Tata cara kita beretika yang baik kepada Allah adalah suatu ketetapan yang mutlak.
Hubungan dengan Allah di dalam Al-Qur’an disebut dengan istilah Hablun minallah dan
hubungan kepada manusia disebut dengan Hablun minannas. Ketakwaan merupakan puncak
tata hubungan dan etika tertinggi, karena di dalam ketakwaan itu terhimpun etika dan prilaku
yang senantiasa mengacu kepada tindakan-tindakan positif, dan Al-Qur’an menyebutnya
dengan ihsan. Perpaduan dari Iman, Islam serta Amal Shalih ini mampu menghatarkan
manusia kepada jalan yang positif dan tidak keluar dari koridor norma-norma dan nilai-nilai
dalam beretika (Surat Ali Imran/3: 102). Iman merupakan proses untuk mencapai tingkat
keyakinan yang hakiki. Dan islam mencontohkan perangai yang damai. Sedangkan amal
shalih merupakan manifestasi iman dan islam.
Jika kita menspesifikasikan kalimat Etika manusia kepada Allah itu salah satunya hanya
dengan bertakwa kepada Allah, karena takwa menjaga hubungan diri dengan Allah, dengan
menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Takwa ini menjadi tolak ukur
seseorang dalam pandangan Allah (al-Hujurat/49:13). Dan hamba-Ku yang selalu
mendekatkan diri kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnat maka Aku akan mencintainya
(HR. Bukhari, 6502).
Cara beretika manusia kepada Allah ini harus ada penunjang perangkat elemen
substansialnya agar semuanya mengandung nilai-nilai positif. Adapun cara
merealisasikannya yaitu: Ikhlas, Hub, Khusu’, Tawakkal, Zikir, Syukur, Sabar,
Tobat dan Do’a.
1. Ikhlas
Ikhlas Secara spesifik‫ تخليص القلب عن شائبة الشوب المكدر‬ (menyelamatkan hati dari campuran
yang dapat mengotorinya)[1]. Ikhlas itu salah satu rahasia-Ku yang aku titipkan dalam hati
hamba-Ku yang aku cintai (Hadits Qudsi). Syeikh As-susiy berkata: Ikhlas ialah ketiadaan
melihat ikhlas, karena barangsiapa menyaksikan keikhlasan di dalam keikhlasan, maka
keikhlasannya membutuhkan keikhlasan.
1. Hub
Hubb artinya cinta, senang, atau suka. Kecintaan kepada Allah adalah tujuan yang terjauh dan
termasuk derajat paling tinggi, sedangkan kerinduan, kesenangan dan keridhaan mengikuti
kecintaan. Mahluk yang paling bahagia di akhirat adalah yang paling kuat cintanya kepada
Allah Ta’ala. Seorang pujangga cinta jika telah jatuh cinta kepada kekasihnya, apapun badai
yang menghalangi kehidupan mereka, mereka akan memberikan nyawa sebagai taruhannya.
Bagaimana jika cinta kita melebihi dari segala-galanya, Allah akan selalu memberikan
kehidupan yang layak di dunia maupun di akhirat.

1. Khusu’
Khusu’ adalah ketundukan hati, perasaan dan pikiran kepada Allah.Dalam Al-Qur’an
istilah khusu’sering di kaitkan dengan pelaksanaan ibadah shalat. Orang-orang yang
melakukan shalat dengan khusu’ akan mendapatkan kebahagian dan kemenangan (Surat Al-
Mukminun/23: 2). Dari pengertian di atas kita bisa menyimpulkan bahwa khusu’ meyakini
akan pertemuan dengan allah dan akan kembali kepada-Nya. Mengadakan hubungan kepada
Allah, pemusatan konsentrasi adalah merupakan syarat utama.Khusu’ ini sangat erat
kaitannya dengan ikhlas, karena sikap ikhlas seseorang itu membutuhkan kekhusu’an,
terutama dalam hal ibadah kepada-Nya.
1. Tawakkal
Tawakkal ialah menyerahkan atau mewakilkan. Dalam hal ini yang dimaksud tawakkal
adalah menyerahkan suatu urusan kepada allah[2]. Allah menegaskan di dalam Al-Qur’an
orang yang menyerahkan segalanya kepada Allah maka Allah akanmencintainya (Surat al-
Imran/3: 159 dan Surat al-Anfal/8: 2).
Ar-Ragib al-Asfahani dalam Mufradat Alfazil-Quran menyatakan: at-Taukil artinya
menyandarkan atas selainmu dan menjadikannya pengganti dirimu. Sedangkan didalam
tafsir  al-Qurtubhi arti wakil dan tawakkaladalah:
]3[.‫ وواكل فالن اذا ضيع امره متكال على غيره‬,‫والتوكل في اللغة اظهار العجز واالعتماد على الغير‬
Tawakkal menurut bahasa ialah menampilkan kelemahan dan bersandar atas yang lain.
Ungkapan wakala (mad wa) fulanun, kalau seseorang menyia-nyiakan urusannya dengan
menyerahkan kepada yang lain.
Ungkapan tawakkal adalah ungkapan agama, ungkapan ruhaniyah yang berkaitan dengan
keyakinan seseorang pada Allah dan berkaitan dengan tauhid.Manusia dalam kehidupan
pribadi dan sosialnya, bahkan kehidupan ekonomi dan politik yang sehari-hari ia lewati
memerlukan pihak lain. Kekurangan dan kelemahan memaksa manusia memerlukan bantuan,
sandaran, penolong, pelindung yang dalam kesehariannya disebut wakil.Dalam ajaran Islam
manusia dituntut untuk memiliki sifat tawakkal, tetapi tawakkal yang dimaksud disini yaitu
dengan menyertai sifat motivasi seseorang untuk melakukan segala aktivitas, mendahulukan
berusaha dan mengakhirkan tawakkal. Jangan semena-mena kita artikan, jika kita sudah
tawakkal maka urusan dunia akan dengan sendirinya datang, ini pemikiran yang keliru dan
harus diluruskan. Bahkan allah didalam al-qur’an menyuruh hambanya bertebar di muka
bumi setelah mengerjakan ibadah kepada-Nya.
1. Zikir dan syukur
Zikir dan Syukur dua istilah Qurani sebagai lawan dari kata ghaflah (lengah)
dan kufr (ingkar).Zikir menurut Al-quran berarti menyebut atau mengingat Allah baik dalam
keadaan berdiri, duduk maupun berbaring (Surat Ali Imran/3: 191). Jika seseorang sudah
sering mengingat Allah maka Allah akan hadir dimanapun ia berada (Surat Al-Baqarah/2:
152).Syukur berarti memuji pihak yang dipuji lantaran kebaikan yang telah diberikan
kepadanya kepada si pemuji (Al-Qurtubi).
Kedua makna yang saling bergandengan itu menunjukkan kedudukan yang sangat penting
dalam ajaran islam. Imam Ghazali menuturkan pendapatnya tentang makna keduanya,
perintah bersyukur secara bergandengan dengan perintah zikir menunjukkan kedudukan yang
penting itu.[4]
‫ولذكر هللا اكبر‬

Dan (ketahuilah) mengingat allah (salat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang
lain).
Zikir dan Syukur sebuah kata yang komprehensif tetapi mencakup perbuatan hati, lisan dan
anggota-anggota tubuh yang lain. Syukur merupakan motif tertinggi dalam ibada kepada
Allah.Syukur tidak bersifat sepihak, tetapi resiprokal.Memberi dan menerima syukur secara
timbal balik merupakan hubungan yang ideal antara Allah dan manusia. Sedangkan zikir jika
disertai dengan hati yang ikhlas maka akan menghadirkan ketenangan dalam kehidupan kita.
Saya tidak pernah melihat kemaksiatan yang paling besar kecuali orang yang berzikir tapi
tidak disertai dengan hati (Imam Nawawi dalam kitab Irsyadul ‘Ibad bab al-Azdkar).

1. Sabar
Sabar ialah keteguhan jiwa dalam menghadapi berbagai nikmat, bencana,
atau tantangan.Sabar ini tidak bersifat statis atau pasif. Tetapi, sabar itu sebuah sifat yang
tidak pantang menyerah sebelum apa yang ia capai, apa yang diterima itu ia dapat. Allah itu
bersama orang-orang yang sabar (Surat Al-Baqarah/2: 153).Sabar ini merupakan bentuk
relasi antara manusia dengan tuhannya.
Sabar dengan derivasinya disebutkan dalam al-quran sebanyak 103 kali yang tersebar di 45
surah, 40% dari keseluruhan surah al-quran yang berjumlah 114 di 93 ayat.Al-
Makki mengatakantingginya perhatian al-quran dalam hal sabar ini bukan suatu yang
berlebihan, akan tetapi kedudukannya yang sangat penting, bahkan setiap individu dipacu
atau diwajibkan untuk mempunyai sifat sabar ini, jika ia ingin kepada derajat yang tinggi
dalam hidup, baik secara materi maupun  maknawi, dalam kapasitas sebagai individu maupun
sebagai bagian dari masyarakat.
1. Tobatdan Do’a
Tobat dan Do’a merupakan bentuk etika yang paling penting antara hamba dan sang Tuhan.
Penggunaan bentuk tunggal dalam kata taubat adalah karena tidak ada satu mahlukpun
dimuka bumi ini yang memeliki wewenang, atau terlibat dalam menerima atau menolak
taubat, hanya Allah sendiri saja yang menerima taubat dan member pengampunan. Taubat
tidak hanya berlaku kepada seseorang yang mempunyai kesalahn, melainkan untuk semua
mahluk, apakah ia berbuat kesalahan atau tidak. Bahkan orang beriman sekalipun allah
mengajak untuk bertaubat (Surat An-Nur/24: 31 dan Surat An-Nashr/110: 3).

Sedangkan do’a secara harfiah berarti mengajak, memanggil, atau memohon. Permohonan
yang ditujukan kepadaAllah memerlukan tata cara, seperti halnya permintaan kepada
manusia tersendiri. Tata cara inilah yang disebut etika. Do’a juga butuh sebuah mental,
spiritual, fisikal, kesucian jiwa dan raga, beriman kepada allah, tidak syirik, makanan dan
minuman yang halal, ringkasnya do’a itu hanya tetuju kepada tuhan sarwa sekalian alam
(Surat Al-Baqarah/2: 186 dan Surat Al-Mukmin/40: 60).

1. Etika dalam pergaulan dan persahabatan


Manusia jika dilihat dari dua sisi mempunyai perbedaan yaitu individual dan komunal atau
sosial, manusia tidak bisa hidup secara individual dan terisolasi dari yang lain (Surat An-
Nisa/4: 36) bahkan Allah mengancam kepada manusia yang memutuskan tali hubungan
dengan sesama manusia (Surat Ali Imran/3: 112). Allah melarang manusia untuk membaikot
dan meremehkan manusia yang lainnya, karena hal itu merupakan tradisi dari orang-orang
jahiliyah pada waktu itu, nabi Muhammad sangat khawatir akan adanya tradisi orang-orang
jahiliyah itu muncul kembali kepermukaan kita. Manusia bisa mencintai atau menyukai
seseorang itu dikarenakan oleh kebaikannya atau karena ia menjadi alat tujuan di luar dirinya,
dan tujuan itu berkaitan dengan kemaslahatan duniawi.

Dikatakan dalam oleh seorang penya’ir dari Bani Amir: Bukankah hatiku bergejolak karena
mencintai rumah itu, tetapi karena aku mencintai orang yang tinggal di dalam rumah.
Ambillah dari temanmu mana yang baik dan tinggalkan mana yang buruk, ini semua agar
dalam bergaul akan tercipta norma-norma dan nilai-nilai di dalam pergaulan dan
persahabatan. Dalam Surat Al-Imran ayat 112 terkandung makna pergaulan antar sesama
manusia: pertama, berbuat baik kepada kedua orang tua. Kedua,berbuat baik kepada
kerabat.Ketiga, berbuat baik kepada anak yatim.Keempat, berbuat baik kepada orang-orang
miskin.Kelima, berbuat baik kepada tetangga dekat dan jauh.Keenam, berbuat baik kepada
suami istri.Ketujuh, berbuat baik kepada ibnu sabil atau musafir dan para
tamu.Kesembilan,berbuat baik kepada semua orang tanpa terkecuali.
1. Etika dalam keluarga
Tatakrama dalam keluarga adalah sebuah impian dari setiap manusia. Menurut etika dalam
pandangan Qurani, anak-anak, pembantu, anggota keluarga lainnya (selain suami istri) tidak
dibolehkan untuk memasuki kamar atau ruangan kedua orangtuanya tanpa ada izin dari
keduanya, ini menunjukkan betapa disiplinnya etika dalam keluarga. Dalam hal ini, Al-
Qur’an secara tidak langsung telah mengajarkan kesopanan dan pendidikan seks kepada
anak-anak.Mengenai suatu etika perizinan ini tidak ada pengecualian, apakah anak kecil
ataupun orang dewasa.

Etika ini sangat erat kaitannya dari pendidikan yang diajarkan oleh keluarganya kepada anak-
anaknya maupun yang ada dalam lingkungan rumah tersebut, karena tanpa pendidikan
manusia akan mengalami keterpurukan norma-norma dan nilai-nilai syariat.
1. Etika anak kepada kedua orang tua
Seorang anak berbuat baik kepada kedua orang tuanya adalah sebuah kewajiban mutlak,
karena ridha allah tergantung ridha kedua orang tua dan murka allah tergantung murka
keduanya (Hadits). Jagalah kedua orang tuamu sampai beliau meninggalkan kita, kedua
orang tua selalu merindukan dekapananak-anaknya. Allah memberikan sebuah
tatacaraberetika antara anak kepada kedua orang tuanya di dalam Al-qur’an, dimana seorang
anak tidak diperbolehkan mengucapkan kata “Ah” ketika orang tua menyuruhnya (Al-Isra/17:
23),bahkan ketika kita shalat orang tua kita memanggil kita maka Rasulullah menyuruh untuk
membatali dan mendekatinya. Orang tua adalah salah satu yang kita taati selagi mereka tidak
menyuruh kepada kemungkaran atau kemaksiatan. Perjuangan kedua orang tua untuk kita
bisa dijadikan sebuah renungan, dimana mereka berani mempertaruhkan nyawanya demi
terlahirkan seorang bayi yang dinanti-nantinya dari hari pertama sejak beliau mengandung,
namun tak beretikalah kita jika  mendurhakai keduanya?, surga haram untuknya dan
nerakalah tempatnya[5].
Sebesar apapun bentuk bakti anak terhadap kedua orang tuanya, bahkan sebesar apapun biaya
yang dikeluarkan untuk keduanya, tidaklah cukup membalas budi baik keduanya.

‫ال يجزي ولد والدا اال ان يجده مملوكا فيشتريه فيعتقه‬

“Tidaklah mungkin seorang anak bisa membalas (budi baik) orang tuanya kecuali jika ia
menemukan orang tuanya itu sebagai budak, lalu ia membelinya dan membebaskannya”.[6]
Sungguh ibu telah mengandung serta menyusui dalam keadaan lemah dan bertambah lemah,
rahimnya terdapat udara, payudaranya terdapat kesegaran, walaupun seseorang mampu
berbuat demikian. Sungguh terdapat perbedaan krusial, karena ibu mengaharapkan
keselamatan anaknya, sedangkan yang lain mengharapkan kematian keduanya.

Siapapun kita, tentu tidak ingin menjadi anak durhaka atau orang tua yang mempunyai anak
yang durhaka. Ragam kriminalitas kedurhakaan anak terhadap orang tua telah banyak kita
saksikan di berbagai media massa; anak mengusir orang tua, memukul bahkan sampai ada
yang membunuhnya.Kedurhakaan anak terjadi dengan sendirinya, seakan tanpa ada sebab
dan pengaruh yang mengarahkan anak untuk bertindak durhaka.

Dari Abu Hurairah ra berkata: bahwa Rasulullah SAW memegang tangan Al-Hasan dan Al-
Husain, lalu meletakkan kedua kaki keduanya di atas kaki beliau, lantas beliau bersabda,
“naiklah.” Ini menunjukkan betapa potensialnya jika kita melihat gambaran dari keluarga
Rasulullah SAW, yang dimana keberadaan antara kedua orang tuanya dan anak-anaknya
tidak ada jarak.Semoga kita bisa melihat lebih banyak lagi hadits-hadits yang menceritakan
prilaku antara anak kepada kedua orang tuanya.

1. Etika kepada lingkungan


Berbicara lingkunngan maka kita akan berbicara alam makro selain manusia. Allah melarang
kepada kita untuk berbuat kerusakan dimuka bumi ini (Surat al-Baqarah/2: 60 dan Surat ar-
Rum/30: 41). Kita diajarkan oleh islam untuk menata segala aspek kehidupan dengan sebaik-
baik mungkin khususnya menata lingkungan alam makro, karena allah menyukai sesuatu
yang indah dan manusia di suruh mengindahkan atau melestarikan alam makro ini dengan
sebaik mungkin.
Manusia yang kreativitasakan menata lingkungan ini dengan baik tanpa dia akan meminta
imbalan terlebih dahulu, jika orang mempunyai sifat ini secara tidak langsung dia akan
memulai sesuatu dari dirinya sendiri dan mengajak orang. Saat ini kita sangat jauh dari
memulai sesuatu itu dari diri kita sendiri,kita selalu di perbudak oleh orang yang tidak
mempunyai jiwa menteladani, bukankah keberhasilan Raasulullah itu dengan adanya jiwa
raga yang suka mempraktekkan atau memulai sesuatu dari dirinya dan setelah itu dia
mengajak masyarakat, bukankah keberhasilan Rasulullah juga jika ditilik dari segi keindahan
beliaulah orang yang paling menyukai keindahan dan beliaulah orang sangat menyukai
kebersihan (HR. Muslim). Dan bentuk kepedulian kita dalam menjaga alam makro ini adalah
sebuah bentuk iman kita kepada allah.

Kajian etika kepada lingkungan ini kita tidak bisa lepas dari kejadian-kejadian yang menimpa
kita saat ini dimana kondisi lingkungan di dunia muslim malah sangat parah disebabkan
kesadaran terhadap pemeliharaan lingkungan pun masih sangat rendah, sehingga dalam hal
manajemen lingkungan, negara kaya minyak seperti di Timur Tengah: dalam persoalan
lingkungan masih dianggap sebagaimana negara berkembang dan terbelakang (Foltz 2005).

Kekayaan yang melimpah secara finansial yang dimiliki oleh muslim di Timur Tengah
ternyata tidak mendatangkan dampak yang signifikan pada muslim di belahan bumi yang
lain. Sesuatu yang amat disayangkan bahwa sesungguhnya sesama mukmin adalah
bersaudara seperti dinyatakan dalam Al-Quran (QS 49:10) ternyata tidak diimplementasikan
secara baik di dunia muslim.

Kondisi ini diperparah lagi dengan rendahnya pemahaman akan nilai-nilai Islam secara
praktis dalam soal perawatan lingkungan, sehingga tidak mengherankan, di dunia muslim kita
menjumpai banyak sungai menjadi tempat pembuangan akhir sampah. Atau masyarakat
masih menganggap lingkungan atau bumi ini merupakan tempat yang bisa diperlakukan
sekehendak hati mereka, tanpa mempedulikan masa depan dan tanggung jawab mereka
sebagai khalifah.

Jelas, perilaku semacam ini sangat bertentangan dengan semangat Islam sesungguhnya yang
menyuruh berbuat kebaikan dan tidak membuat kerusakan (QS 7:35;56).Menghormati segala
makhluk di bumi karena mereka juga ummat seperti halnya manusia (QS 6:38) dan sebagai
khalifah manusia telah sanggup menerima amanah, sedangkan makhluk yang lain seperti
langit, bumi, dan gunung-gunung enggan menerimanya (QS 33:72).

Fenomena kerusakan lingkungan selama ini disinyalir karena selama ini muslim tidak
mempedulikan ajaran lingkungan yang mereka miliki dan mematuhi ajaran universal tersebut
sebagaimana tercantum dalam kitab suci dan sunah Nabi Muhammad SAW. Karena itu,
penggalian secara komprehensif ajaran dan etika Islam tentang lingkungan mutlak
diperlukan, lalu diajarkan dan dipraktekkan sebagai nilai-nilai universal sebagaimana halnya
implementasi Ubudiyah yang lain, termasuk dalam hal transaksi ekonomi dan teknologi yang
mempengaruhi terhadap kerusakan lingkungan (Fachruddin M. Mangunjaya).

1. Etika bermuamalah dan dalam berusaha


Memutuskan hubungan keharmonisan dan kerjasama kepada semua pihak ini merupakan
sebuah penyimpangan, memanipulasi dan mengeksploitasi dalam kegiatan transaksi di antara
manusia. Apapun bentuk makna yang dimaksud oleh setiap orang yang memahami konteks
keharmonisan, persaudaraan dan sebagainya ini semua tidak terlepas dari jalinan komunikasi
bahkan network untuk mengisyaratkan keharmonisan dan kekuatannya, di samping pencairan
yang beku dan penghangatan yang dingin. Sedemikiannya makna dan kandungan yang
diterapkan oleh nabi kita Muhammad SAW. Dalam Al-qur’an Surat al-Baqarah
mengeksplisitkan etika bermuamalah dengan membagi beberapa bagian: pertama, mengenai
hutang piutang hendaklah dibuat catatan dalam bentuk buku atau tulisan agar terhindar dari
kecurangan dan penipulasian dalam bertransaksi dalam bermuamalah. Kedua,perjanjian
adalah persetujuan tertulis atau lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, syarat,
persetujuan resmi antara dua negara atau lebih di bidang politik, keamanan, ekonomi dan
sebagianya.Ketiga, transaksi adalah persetujuan jual beli antara dua orang saksi laki-laki, jika
tidak ada dua orang laki-laki maka boleh juga disaksikan oleh satu orang laki-laki dan dua
orang perempuan.Keempat, pembatasan waktu akhir penagihan hutang.Kelima, jika si-
pencatat tidak bisa menulis atau mudah lupa maka boleh diwakilkan oleh
walinya.Keenam, jika transaksi mengalami sesuatu yang bersifat darurat seperti berada dalam
perjalanan, maka boleh dengan agunan (jaminan, garansi, tanggungan).Ketujuh, kedua belah
pihak harus mempunyai sifat jujur, jika seseorang berdusta ia ditulis disisi Allah sebagai
pendusta (Muttafaq Alaih). Dalam hal ini al-qur’an sangat menitik beratkan dengan
perpaduannya sifat-sifat nabi Muhammad saw yaitu jujur, amanah, cerdas dan meyampaikan
yang hak walaupun itu pahit, dari adanya sifat-sifat di atas maka secara otomatisakan
menghilangkan sifat-sifat kebohongan, kezaliman, pengkhianatan dari kedua belah pihak dan
akan menghadirkan kejujuran, keotentikan serta tranparansi dalam bermuamalah.
‫ ومن غشنا فليس منا‬,‫من حمل علينا السالح فلبس منا‬

“Barangsiapa membawa senjata (dalam keadaan terhunus) kepada kami, ia bukan termasuk
golongan kami. Dan barangsiapa menipu kami, ia bukan termasuk golongan kami.” (HR.
Muslim)
Seorang muslim sejati harus istimewa dengan beberapa sifat
ini: pertama, Jujur. Kedua, Tidak menipu dan berkhianat. Ketiga, Tidak
dengki. Keempat, Memberi nasihat. Kelima, menepati
janji. Keenam,berahlak. Ketujuh, pemalu. Kedelapan, menyanyagi orang
lain. Kesembilan, pemaaf. Kesepuluh,tolerans. Kesebelas, ceria. Keduabelas, Ramah. Ketigab
elas, Sabar. Keempatbelas, Menjauhi caci-maki dan perkataan kotor. Kelimabelas, Tidak
menuduh orang lain Fasik atau Kafir tanpa bukti yang akurat. Keenambelas, Jauh dari ghibah
dan mengahasut. Ketujuhbelas, Menjauhi kesaksian palsu.  Kedelapanbelas, Menjauhi buruk
sangka. Kesembilanbelas, Menjaga rahasia. Keduapuluh, Tidak bicara rahasia dengan orang
kedua, padahal ada orang ketiga. Keduapuluh satu,Tidak arogan. Keduapuluh dua, Tawadhu’
dan lain sebagainya. Sifat-sifat yang sebagian besar saya tulis diatas itu merupakan titik poin
kita dalam bermuamalah, karena banyak orang-orang yang jauh dari harapan kita.
1. Etika berbusana
Pedoman berbusana baik laki-laki atau perempuan  sangat menentukan kepribadian
seseorang. Kerapian memakai busana atau pakaian akan mencerminkan bagaimana seseorang
memandang kehidupan ini, karena seseorang pertama yang akan dilihatnya apa yang tampak
oleh panca indranya tanpa bisa dipungkiri. Maka dalam pendidikan telah kita kenal metode
praktek dan teladan dalam hal ini diungkap bagaimana pelaksanaan sesuatu untuk ditiru,
terutama bila hal itu dilaksanakan oleh orang yang mempunyai kedudukan tertinggi serta para
penyampai ilmu  pengetahuan dan lain sebagainya.
Dalam Al-qur’an Surat An-Nur ayat 30, Allah SWT memerintahkan kepada kaum laki-laki
dan kaum perempuan untuk selalu menundukkan pandangannya serta menjaga kehormatan
dirinya. Kehormatan diri disini bisa diartikan apabila seseorang menjaga busana atau
pakaiannya dengan memakai pakaian yang telah ditentukan syarat mutlaknya oleh Allah
SWT tentang batas-batas aurat kaum laki-laki dan kaum perempuan, pakaian yang tidak
mengundang gairah atau keinginan seseorang untuk melakukan hal-hal yang tidak
diperbolehkan. Sekarang ini justru telah hilangnya harga diri baik itu laki-laki maupun
perempuan, padahal Sunnah nabi telah menyatakan batas aurat laki-laki antara pusat dan lutut
sedangkan perempuan seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Saat ini
laki-laki sudah memakai pakaian perempuan dan begitu pula perempuan sudah menyerupai
gaya pakaian dan tingkah pola laku laki-laki. Barangsiapa meniru suatu kaum maka dia akan
termasuk pada golongan tersebut (Hadits).Tetapi nasihat ini sirna seketika tanpa diketahui
oleh kebanyakan kaum laki-laki dan kaum perempuan, seorang laki-laki bangga dengan
memakai anting-anting dan sebagainya dan perempuan bangga dengan memakai pakaian
yang tidak menutup auratnya, sudah bergantian peraturan batas aurat di antara keduanya.

Cara pemeliharaan kehormatan diri ialah dengan tidak menampakkan lekuk-lekuk tubuh
kepada orang lalin.Pakaian yang tipis dan sempit ini dipandang oleh beberapa pakar ilmuwan
kita seperti tidak memakai pakaian, karena mereka tidak lebih hanya untuk mempertontonkan
lekuk tubuhnya kepada khalayak.Dengan begitu, harga manusia seperti harga hewan yang
suka memamerkan kegemukan tubuhnya dan untuk memperjualbelikan harga dirinya. Dalam
sunnah shahih telah disebutkan larangan memakai pakaian yang ketatbagi kaum wanita.
Diriwayatkan dari Usamah bin zaid Al-Kalbi ia berkata:

“Rasulullah memberiku pakaianQibtiyah yang tipis.Dahulu pakaian itu dihadiahkan kepada


Dihyah Al-Kalbi.Lalu aku berikan pakaian itu kepada istriku.Rasulullah bersabda
kepadaku: “mengapa engkau tidak mengenakan pakaian Qibtiyah?” aku berkata: “wahai
Rasulullah, aku telah memberikannya kepada istriku.” Maka Rasulullah bersabda:
‫مرها فلتجعل تحتها غاللة اني اخاف ان تصف حجم عظامها‬

“Perintahkan kepadanya agar ia mengenakan pakaian dalam karena aku khawatir (kalau
tidak mengenakan pakaian dalam) akan menampakkan bentuk tubuhnya.”[7]
Islam dengan syari’atnya yang lapang dan undang-undangnya yang lurus menuntut
diciptakannya sebuah masyarakat muslim yang kuat dan kokoh yang di pimpin oleh rasa
aman dan damai. Jauh dari fitnah perkara yang akibatnya dapat melemahkan bangunan
masyarakat tersebut. Oleh karena itu islam sangat memperhatikan undang-undang yang
mengatur hubungan antara dua jenis, laki-laki dan wanita. Yang diharapkan dapat membawa
manfaat yang menyeluruh.

Di antara bentuk undang-undang syari’at adalah perintah untuk memakai pakaian yang sopan
dan menjaga perhiasan khususnya kaum wanita agar tidak menampakkan perhiasannya
kepada laki-laki asing.Dalam rangka agar menghindari kejahatan syahwat dan gejolak hawa
nafsu, dan pandangan yang haram kepada lawan jenis yang sering kali menggiring kepada
hubungan dua jenis yang tidak syar’i yakni perzinaan.
KESIMPUILAN
Etika merupakan sebuah ilmu tersendiri yang harus kita pelajari dan kita amalkan dalam
kehidupan sehari-hari. Apabila seseorang tidak mempunyai tingkah laku yang baik dan benar
maka dia akan jauh dari tuhan sarwa sekalian alam, manusia yang akan berjumpa dengan
allah harus membawa perangai yang baik dan bersih (Hadits). Adapun bagian-bagian dari
etika ini bisa mengahantarkan kita menuju manusia yang kepada budi pekerti yang baik dan
benar serta bisa menjadikan kita orang yang bertakwa kepada Allah swt: etika manusia
kepada Allah, etika dalam pergaulan dan persahabatan, etika dalam keluarga, etika anak
kepada kedua orang tua, etika kepada lingkungan, etika bermuamalah dan dalam berusaha,
etika berbusana, dan masih banyak lagi macam-macam etika yang harus kita ketahui dan kita
amalkan, tetapi tidaklah dari kesemuannya saya tulis dalam karang ilmiyah ini, bentuk-
bentuk etika di dalam karangan ilmiyah ini adalah garis besar etika yang ada sangat dominan
dalam kehidupan kita saat ini. Agar bagaimana dewasa ini kita mampu meletakkan norma-
norma dan nilai-nilai kepahlawanan dalam bingkai perjuangan untuk keluar dari
keterbelakangan multidimensi:
‫انما االمم االخالق مابقيت – فان همو ذهبت اخالقهم ذهبوا‬

Kelanjutan eksistensi satu masyarakat (orang) ditentukan oleh tegaknya moral anggota
masyarakat itu dan kepunahannya terjadi pada saat keruntuhan moralnya.

Kesempurnaan manusia, menurut Ibnu Maskawih: terletak pada dua pokok, pertama, potensi


berpengetahuan yang dengannya dia aktualkan sehingga dapat meraih aneka ilmu dan
ma’rifah. Sedang yang kedua, potensi ‘amaliah yang tercermin kesempurnaannya pada
pengaturan yang baik menyangkut tata cara pribadi dan masyarakat. Terima kasih

[1] . al-Jurjani, at-Ta’rifat, (al-maktabah syamilah), jilid 1, h. 3.


[2] . Ruhul-Balbaki,al-Maurid a modern Arabic-English Dictionary
[3] . Ibnu Kasir, tafsir al-qur’an al-karim, jilid II, h. 197.
[4] . Abu Nasr as-Sarraj at-Tusi, al-Luma, h. 42
[5] . HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan Baihaqi, dan perawi-perawi hadits ini shahih.
[6] . HR. Muslim, Tirmidzi, dan Abu Dawud.
[7]. Hadits riwayat Ahmad (V/205) dari jalur Abdullah bin Muhammad bin Uqeil dari Ibnu
Usamah bin Zaid dari ayahnya

Anda mungkin juga menyukai