Referat Trombophlebitis Edit Baru
Referat Trombophlebitis Edit Baru
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
Gambar 1 : Sirkulasi Arteri Dan Vena Pada Tungkai.
II.1.2 Patofisiologi
3
yang mengalami insufisiensi, dan menanggung tekanan hidrostatik
di vena safena magna dan atau di vena safena parva. Bila katup
komunikans dengan system dalam tidak memadai , aliran darah
akan berbalik dari proksimal ke distal sehingga vena makin
melebar, memanjang dan berkelok-kelok. 6
4
II.2 Trombosis
II.2.1 Patogenesis
5
lokal prostasiklin dan activator plasminogen. Akan tetapi perlu
ditekankan bahwa jejas endotel mungkin ringan dan tidak dapat
diketahui meskipun dibawah mikroskop elektron. 7
6
meningkatkan konsentrasi fibrinogen plasma, protrombin, faktor VII,
VIII, dan X, dan akan menurunkan aktivitas fibrinolitik, hal ini
memungkinkan terbentuknya thrombosis pada penggunaan
kontrasepsi oral. Pada penderita neoplasma ganas yang
mengalami metastasis, sekresi faktor-faktor trombogenik atau
penyerapan hasil-hasil prokoagulan dari sel-sel tumor yang
nekrosis telah di tetapkan sebagai dasar kecenderungan
thrombosis. 7
II.3 Tromboflebitis
II.3.1 Definisi
Thrombophlebitis adalah peradangan pada vena yang
berhubungan dengan pembentukan thrombus. 1
II.3.2 Patogenesis
7
Rangsangan langsung pda vena dapat menimbulkan
tromboflebitis, misalnya pada pemasangan infuse jangka lama
(lebih dari 2 hari) ditempat yang sama, atau penyuntikan obat
intravena. Kelaianan jantung yang mengubah aliran darah,
dehidarsi berat yang menyebabkan hemokonsentrasi, koagulasi
intravsakuler yang meluas pada infeksi sistemik dapat juga
menimbulkan thrombosis. Demikian juga tuor intraabdomen,
umumnya didaerah panggul yang menyebabkan hambatan aliran
vena. 4
II.3.3.1 Epidemiologi
8
Leiden atau prothrombin C-20210-sebuah gen, di antaranya
kecenderungan terhadap pembekuan darah. Beberapa studi
menunjukkan bahwa kontrasepsi oral dapat meningkatkan resiko
thrombophlebitis. Risiko pembekuan tidak didefinisikan dengan baik
dengan formulasi yang lebih baru kontrasepsi oral dengan dosis
estrogen lebih rendah. 8
II.3.3.2 Patofisiologi
1. Kegemukan,
2. Varises vena
3. Usia lebih dari 60 tahun
4. Merokok
5. Bahan/material caustic, seperti cairan ringan dan obat jalan
yang disuntikkan ke intravena.
6. Keadaan Hiperkoagulasi seperti mutasi faktor V Leiden,
mutasi gen prothrombin, dan defisiensi protein S. 8
9
II.3.3.4 Macam-Macam Tipe Trombus/Thrombophlebitis Vena
Superficial:
1. Thrombophlebitis Traumatik.
Thrombophlebitis akibat cedera, dapat menimbulkan gejala
seperti : Ecchymosis, ekstravasasi darah akibat cedera pada
pembuluh darah, dan adanya perubahan pigmentasi
kecoklatan akibat timbulnya peradangan.
Thrombophlebitis di tempat infus intravena merupakan hasil
dari iritasi obat, larutan hipertonik, atau kateter intralumen.
Gejalanya dapat berupa: kemerahan, nyeri, terdapat
benjolan.
Thrombophlebitis akibat trauma iatrogenik (kimia) yang
mungkin disebabkan oleh sclerotherapy. 8
10
operasi atau setelah perawatan injeksi, trauma, atau pajanan
terhadap terapi radiasi.
Septic flebitis biasanya terjadi karena penggunaan jangka
panjang dari kanul intravena dimasukkan untuk pemberian
cairan atau obat-obatan. 8
5. Thrombophlebitis Migrasi
Jadioux pertama kali menggambarkan thrombophlebitis
migrasi pada tahun 1845 sebagai sebuah entitas yang
ditandai dengan trombosis berulang dan berkembang dalam
vena superficial di berbagai tempat, namun paling sering di
ekstremitas bawah. Meskipun banyak faktor etiologi telah
diajukan, namun tak satu pun yang telah dikonfirmasi.
11
Asosiasi karsinoma pertama kali dilaporkan oleh Trousseau
pada tahun 1856. Sproul mencatat bahwa thrombophlebitis
migrasi lazim terjadi terutama pada karsinoma pancreas.
Flebitis terjadi pada penyakit yang berkaitan dengan
vaskulitis, seperti polyarteritis nodosa (periarteritis nodosa)
dan penyakit Buerger. 8
12
II.3.3.6.1 Laboratorium
Evaluasi laboratorium harus mencakup tes antara lain: 8
1. Faktor V Leiden
2. Mutasi gen protrombin, protein C dan protein S
3. Antithrombin C, antibodi antifosfolipid, antikoagulan lupus
4. Faktor pmbekuan VIII
5. Homosistein
6. Carcinoembryonic serum antigen (CEA), antigen prostat-
khusus (PSA),dll.
13
Venography jarang digunakan untuk mendiagnosis
thrombophlebitis superfisialis. Pada umumnya harus dihindari
karena potensi komplikasi kontras intravena, yang dapat
menyebabkan flebitis sendiri. Venography tidak digunakan untuk
diagnosis trombosis vena dalam, karena sudah menggunakan
duplex scanning. Jika informasi pada vena panggul atau saluran
keluar vena iliaka diperlukan, venography CT biasanya lebih
disukai, jika tersedia. 8
II.3.3.7 Tatalaksana
Pengobatan trombosis vena superfisialis bergantung pada
etiologi, luasnya trombosis, dan gejalanya. Scanning duplex
memberikan penilaian yang akurat tentang luasnya penyakit dan
dengan demikian memungkinkan menentukan terapi yang lebih
rasional. 8
Untuk varises vena dengan lokalisasi superfisialis, daerah
nyeri tekan ringan thrombophlebitis pengobatan dengan analgesik
ringan, seperti aspirin, dan penggunaan beberapa jenis dukungan
elastis biasanya sudah cukup. Pasien dianjurkan untuk
melanjutkan kegiatan mereka sehari-hari biasa. Jika gejalanya
menetap, phlebectomy dari segmen yang terlibat dapat
diindikasikan. 8
Untuk thrombophlebitis yang lebih berat gejalanya seperti
ditunjukkan oleh adanya tingkat rasa sakit dan kemerahan yang
berlebih, dan tingkat abnormalitas tersebut, harus dilakukan
bedrest dengan elevasi ekstremitas dan penerapan kompres
hangat. 8
Long-leg heavy-gauge elastic stockings atau beberapa
elastis (Ace) perban dapat diindikasikan untuk pasien-pasien yang
mobilitasnya tinggi. 8
14
Pasien dengan trombosis vena safena dapat
dipertimbangkan untuk pemberian antikoagulasi atau ligasi vena
safena. Pasien dengan kontraindikasi pemberian antikoagulasi
atau mereka yang sudah menerima pengobatan antikoagulasi
dalam jangka panjang harus dipertimbangkan untuk dilakukan
ligasi vena safena. 8
Beberapa obat anti-inflamasi mungkin bermanfaat antara
lain : salisilat, indometasin, dan ibuprofen telah dilaporkan efektif.
Salisilat, ibuprofen, dan dipyridamole telah digunakan sebagai
agen antithrombotic, tetapi efektivitasnya belum diketahui dengan
jelas. 8
Antibiotik biasanya tidak diperlukan kecuali jika terdapat
peradangan supuratif. Dalam kasus tromboflebitis persisten
sebagai terapi definitif awal, eksisi proses inflamasi efektif. Luka-
luka biasanya sembuh dengan baik. 8
15
II.3.4.1 Epidemiologi
Mortalitas / Morbiditas
Kematian dari trombosis vena dalam (DVT) adalah
disebabkan oleh emboli paru masif yang menyebabkan sebanyak
300.000 kematian setiap tahun di Amerika. Insidensi Vena
Thrombo Emboli (VTE) lebih tinggi pada pria dibandingkan pada
wanita dan meningkat dengan usia di kedua jenis kelamin. 5
RAS
Dari sudut pandang demografis, Asia dan Hispanik memiliki risiko
yang lebih rendah untuk terjadinya VTE, sedangkan Kaukasia dan
Afrika Amerika memiliki risiko yang lebih tinggi (2,5-4 kali lebih
tinggi). 5
Seks
Rasio laki-laki-wanita adalah 1.2:1, menunjukkan bahwa laki-laki
memiliki risiko lebih tinggi daripada wanita untuk terjadinya DVT. 5
Usia
Deep trombosis vena (DVT) biasanya terjadi pada individu usia
lebih dari 40 tahun. 5
16
II.3.4.2 Thrombophlebitis Vena Dalam akut
Umum
Usia
Imobilisasi lebih dari 3 hari
Kehamilan dan periode postpartum
Operasi mayor 4 minggu sebelumnya
Lamanya perjalanan dengan pesawat ataupun mobil (> 4
jam) pada 4 minggu sebelumnya
Medis
Kanker
Riwayat DVT sebelumnya
Stroke
17
Infark miokard akut
Gagal jantung kongestif (CHF)
Sepsis
Sindrom nefrotik
Colitis ulseratif
Trauma
Multiple trauma
cedera tulang belakang
Luka bakar
Fraktur ekstremitas bawah
Vaskulitis
Sistemik lupus erythematosus (SLE) dan Lupus
antikoagulan
Behçet sindrom
Homocystinuria
5. Hematologi
18
6. Obat-obatan
Penyalahgunaan obat intravena
Kontrasepsi oral
Estrogen
Trombositopenia akibat heparin
19
Gambar 3 : Deep Vein Trombosis
20
dimer fibrin berada dalam bekuan fibrin dan produk
degradasi fibrin fibrin cross-linked. antibodi monoklonal
spesifik untuk fragmen D-dimer digunakan untuk
membedakan bekuan fibrin-fibrin spesifik dari non-cross-
linked dan dari fibrinogen. Atribut-atribut spesifik dari
antibody D-dimer digunakan untuk menilai tromboemboli
5
vena dengan sensitivitas tinggi.
Hasil uji D-dimer sebagai berikut: 5
- Hasil uji D-dimer negatif : menunjukan pasien dengan
risiko rendah sampai sedang dan skor Wells DVT kurang
dari 2.
- Hasil uji D-dimer positif : menunjukan pasien dengan
risiko sedang sampai tinggi DVT dan (skor Wells DVT
lebih dari 2), memerlukan studi diagnostik (ultrasonografi
dupleks)
2. Pemeriksaan Imaging
a. Duplex ultrasonografi
Tidak adanya sinyal Doppler yang timbul dari perubahan
aliran vena memberikan bukti tidak langsung adanya oklusi
vena. Banyak studi telah mengkonfirmasi diagnostik
21
sensitivitas dan spesifisitas ultrasonografi dupleks untuk
trombosis vena proksimal. 5
Sensitivitas ultrasonografi dupleks untuk DVT proksimal
vena adalah 97% (95% confidence interval [CI], 96-98%)
tetapi hanya 73% untuk DVT vena betis (95% CI, 54-93%).
Spesifisitas keseluruhan adalah 95%. Duplex ultrasonografi
juga berguna untuk membedakan trombosis vena dari
hematoma, Baker kista, abses, dan penyebab lain dari rasa
sakit dan edema kaki. 5
22
vena proksimal, outflow vena dari ekstremitas bawah
diperlambat dan volume darah atau kapasitansi vena
meningkat. Standar grafik digunakan untuk membedakan
hasil studi IPG normal dari hasil abnormal.
Dalam berbagai penelitian, IPG telah terbukti sensitif dan
spesifik untuk trombosis vena proksimal. Hal ini tidak sensitif
untuk trombosis vena betis, nonoccluding trombus vena
proksimal, dan trombosis vena ileofemoral di atas
ligamentum inguinalis. IPG tidak dapat membedakan antara
oklusi trombotik dan kompresi extravascular urat. Salah-hasil
yang positif terjadi dalam penentuan CHF signifikan dan
mengangkat tekanan vena pusat maupun di insufisiensi
arteri parah. 5
c. MRI
MRI merupakan tes diagnostik pilihan untuk kasus-kasus
yang dicurigai thrombosis vena iliaka dan atau vena kava
inferior dimana pemeriksaan CT venography menjadi
kontraindikasi atau dikarenakan teknis yang tidak memadai.
Pada trimester kedua dan ketiga kehamilan, MRI lebih
akurat daripada ultrasonografi dupleks karena terjadi
perubahan karakteristik aliran vena. Pada kasus yang
dicurigai trombosis vena betis dicurigai, MRI lebih sensitif.
Penggunaan MRI sangat terbatas dikarenakan beban biaya
yang cukup mahal, kurangnya ketersediaan umum, dan
keterbatsaan teknis. 5
d. Kedokteran Nuklir
Kedokteran nuklir dengan menggunakan label 125 fibrinogen
tidak lagi direkomendasikan. Penggunaan cara ini relatif
23
tidak sensitif untuk trombosis vena proksimal dan memakan
waktu lebih lama dari 24 jam untuk mendapatkan hasil. 5
e. CT venography
Dengan diperkenalkannya teknologi CT multidetector CT, CT
venography telah tergabung ke dalam studi CT angiographic
dada yang menjadi bagian dari penilaian diagnostik untuk
kasus-kasus pulmonary emboli (PE). Scanning biasanya
dimulai di level crista iliaka dan terus ke caudal ke arah fosa
poplitea. 5
Dalam penelitian investigasi diagnosis emboli paru II
(PIOPED II) yang dilaporkan oleh Stein et al,dimana
penambahan CT venography pada CT angiografi dada dapat
meningkatkan sensitivitas diagnostik untuk penyakit
tromboemboli vena dibandingkan hanya dengan CT
angiography saja.5
Kegunaan utama CT venography adalah untuk
mendiagnosis DVT ileofemoral. Ultrasonography terbatas
untuk mendiagnosis DVT pada sistem vena distal ke
ligamentum inguinalis. Vena iliaka tidak dapat
divisualisasikan dengan ultrasonografi, dan penggunaan
modalitas diagnostic lainnya harus dilakukkan. Di sinilah CT
venography dilakukkan, dimana adanya oklusi vena
proksimal ke ligamentum inguinalis dapat dideteksi.
Diagnosis DVT ileofemoral seharusnya dipertimbangkan jika
pada pemeriksaan ultrasonografi menunjukkan adanya
trombus yang meluas ke v. femoralis superfisialis di
ligamentum inguinalis. 5
Masalah utama pengunaan CT venography adalah vena
yang tidak tervisualisasikan denga adekuat, gangguan
24
artifactual dari implan logam seperti pinggul dan arthroplasti
lutut, dan kontraindikasi dengan pewarna kontras. 5
II.3.4.7 Tatalaksana
Tujuan utama pengobatan trombosis vena dalam (DVT)
adalah untuk mencegah terjadinya emboli paru (pulmonary
embolism (PE)), mengurangi morbiditas, dan mencegah atau
meminimalkan resiko berkembangnya sindrom pascaflebitis.
Pedoman saat ini merekomendasikan penggunaan antikoagulasi
jangka pendek dengan low-molecular-weight-heparin (LMWH) SC
(Grade 1A), heparin unfractionated IV (Grade 1A), dosis tetap
heparin unfractionated SC (Grade 1A), atau fondaparinux SC
(Grade 1A). 5
Pengobatan awal dengan LMWH, heparin unfractionated,
atau fondaparinux seharusnya diberikan selama minimal 5 hari
dan sampai INR > 2 selama 24 jam (Kelas 1C). Vitamin K
antagonis seperti warfarin seharusnya diberikan bersama dengan
LMWH, heparin unfractionated, atau fondaparinux pada
pengobatan hari pertama (Grade 1A). 5
Antikoagulasi
Heparin
Heparin mencegah perpanjangan trombus dan telah terbukti
secara signifikan mengurangi (namun tidak menghilangkan)
kejadian emboli paru yang fatal dan nonfatal serta terjadinya
trombosis berulang. Heparin tidak mempengaruhi ukuran trombus
yang telah ada dan tidak memiliki kegiatan trombolitik intrinsik. 5
Terapi Heparin memiliki pengaruh yang kecil terhadap risiko
berkembangnya sindroma pascaflebitis. Trombus original
menyebabkan inkompetensi katup vena dan dapat meningkatkan
25
insiden terjadinya insufisiensi vena kronis dan sindrom
pascaflebitis. 5
Efek antikoagulan pada heparin berhubungan langsung
dengan aktivasi antithrombin III. Antitrombin III merupakan
antikoagulan utama tubuh, inaktifasi thrombin dan aktifitas
penghambatannya diaktifkan oleh faktor X dalam proses
koagulasi.
Heparin merupakan campuran heterogen fragmen
polisakarida dengan berat molekul yang bervariasi tetapi dengan
aktivitas biologis yang sama. Fragmen yang lebih besar akan
berinteraksi dengan antithrombin III untuk menghambat trombin.
Fragmen yang rendah berat molekulnya memiliki efek
antikoagulan, mereka akan menghambat aktivitas yang diaktifkan
oleh faktor X. Perdarahan merupakan komplikasi dari penggunaan
heparin yang diperkirakan berasal dari fragmen-fragmen dengan
berat molekul yang lebih besar. 5
Terapi warfarin tumpang tindih dengan terapi heparin selama
4-5 hari sampai rasio normalisasi internasional (INR) meningkat
dari dosis terapetik 2-3x. Heparin harus tumpang tindih dengan
warfarin oral karena keadaan transien hypercoagulable awal
diinduksi oleh warfarin. Efek ini berkaitan dengan perbedaan paruh
waktu protein C, protein S, dan vitamin K, serta faktor pembekuan
dependent II, VII, IX, dan X. Antikoagulasi jangka panjang
diindikasikan untuk pasien dengan trombosis vena berulang dan
atau persisten atau pasien dengan factor resiko ireversibel. 5
Ketika heparin unfractionated intravena diinisiasikan untuk
DVT, tujuannya adalah untuk mencapai dan memelihara
peningkatan dari partial tromboplastin time (aPTT) minimal 1,5 kali
kontrol. Farmakokinetik Heparin sangat kompleks; waktu paruh
adalah 60-90 menit. 5
Protokol penggunaan heparin IV adalah sebagai berikut:
26
1. Berikan bolus awal 80 U/kg
2. Mulai pemberian infus maintenance 18 U / kg.
3. Periksa aPTT atau tingkat akitifitas Heparin setelah 6 jam bolus
dan menyesuaikan kadar infus yang sesuai.
4. Lanjutkan untuk memeriksa aPTT atau tingkat aktifitas heparin
setiap 6 jam sampai nilai terapeutik berturut-turut adalah 2.
5. Memantau aPTT atau tingkat aktifitas Heparin, hematokrit, dan
jumlah trombosit setiap 24 jam
27
Rekurensi tromboemboli vena (VTE) terjadi dalam 13 pasien
dalam kelompok UFH (3,8%) dibandingkan dengan 12 pasien
dalam kelompok LMWH (3,4%; perbedaan absolut 0,4%, 95% CI,
-2,6% - 3,3%). Pendarahan mayor selama 10 hari pertama
pengobatan terjadi pada 1,1% dari kelompok UFH versus 1,4%
pada kelompok LMWH (perbedaan absolut -0,3%; 95% CI, -2,3% -
1,7%) Para peneliti menyimpulkan bahwa dosis tetap UFH aman
dan efektif sebagai LMWH pada pasien dengan DVT akut dan
cocok untuk pengobatan rawat jalan. 5
Low-Molecular-Weight Heparin
LMWH merupakan heparin unfractionated dengan fragmen
berat molekul rendah (<9.000 Da). Pemantauan aPTT tidak
diperlukan. Dosis disesuaikan dengan berat badan. 5
Produk LMWH diberikan secara subkutan, dan memiliki
waktu paruh yang memperbolehkan penggunaannya dalam dosis
tunggal atau dua kali sehari. Ini digunakan untuk pasien DVT rawat
jalan, dan pulmonary embolism (PE) yang telah dievaluasi dalam
sejumlah studi. 5
Pada saat ini, sudah terdapat 4 sediaan LMWH, yaitu:
enoxaparin, dalteparin, tinzaparin, dan nadroparin. Enoxaparin,
dalteparin, dan tinzaparin telah menerima persetujuan dari US
Food and Drug Administration (FDA) untuk pengobatan DVT di
Amerika Serikat. Enoxaparin telah disetujui untuk pengobatan DVT
rawat inap dan rawat jalan. Nadroparin telah disetujia untuk
pengobatan DVT di Kanada. 5
Terapi Bedah
Terapi bedah untuk DVT dapat diindikasikan bila terapi
dengan antikoagulan tidak efektif, tidak aman, atau terdapat
kontraindikasi. Prosedur utama pembedahan pada DVT adalah
28
menghilangkan bekuan dan gangguan parsial dari v. kava inferior
untuk mencegah terjadinya emboli paru (Pulmonary Embolism). 5
Stoking Kompresi
29
proksimal. Dengan menerapkan terapi rawat jalan untuk DVT
proksimal, manajemen awal DVT semakin menjadi tanggung
jawab dokter darurat. Oleh karena itu penting bagi kita untuk
menentukan lulus stoking kompresi elastik terhadap semua pasien
DVT. 5
Konsultasi
Hematologist
Vascular surgeon
Radiologist
Interventional radiologist
30
DAFTAR PUSTAKA
31