Anda di halaman 1dari 20

I.

Trauma Buli-buli

I.1. Patofisiologi
Trauma buli-buli adalah trauma yang sering disebabkan oleh rudapaksa dari luar dan
sering didapatkan bersama fraktur pelvis. Fraktur macam ini dapat menyebabkan kontusio
atau ruptur kandung kemih. Pada kontusio buli-buli hanya terjadi memar pada buli-buli
dengan hematuria tanpa ekstravasasi urine.
Trauma kandung kemih terbanyak karena kecelakaan lalu lintas yang disebabkan fragmen
patah tulang pelvis (90%) yang mencederai buli-buli. Trauma tumpul menyebabkan rupture
buli-buli terutama bila vesica urinaria penuh atau terdapat kelainan patologik seperti
tuberculosis, tumor, atau obstruksi sehingga trauma kecil sudah menyebabkan rupture.
Ruptur buli-buli dapat juga terjadi secara spontan, hal ini biasanya terjadi jika
sebelumnya terdapat kelainan pada dinding vesica urinaria. Fraktur tulang pelvis terjadi
robekan pars membranasea karena prostat dengan uretra prostatika tertarik ke kranial
bersama fragmen fraktur, sedangkan uretra membranasea terikat diafragma urogenital. Bila
buli-buli yang penuh dengan urine mengalami trauma, maka akan terjadi peningkatan tekanan
intravesikel yang dapat menyebabkan contosio buli-buli / buli-buli pecah. Keadaan ini dapat
menyebabkan ruptura intraperitoneal. Ruptur kandung kemih intraperitoneal dapat
menimbulkan gejala dan tanda rangsang peritonium termasuk defans muskuler dan sindrom
ileus paralitik.

I.2. Manifestasi Klinis


Trauma buli-buli
 Umumnya fraktur tulang pelvis disertai perdarahan hebat.
 Nyeri suprapubik
 Ketegangan otot dinding perut bawah
 Hematuria
 Ekstravasasi kontras pada sistogram.
Ruptur buli-buli
 Ruptur kandung kemih intraperitoneal dapt menimbulkan gejala dan tanda rangsang
peritoneum termasuk defans muskuler dan sindrome ileus paralitik.
 Ruptur ekstraperitoneal saluran kemih dapat menimbulkan gejala dan tanda infiltrasi urin
retroperitoneal yang mudah menimbulkan septisemia

1 | SKENARIO 2 EMERGENSI - R.A. Wita Ferani K. - 1102009229


I.3. Diagnosis
 Pemeriksaan pencintraan berupa sistografi, yaitu dengan memasukkan kontras ke dalam
buli-buli sebanyak 300-400ml secara gravitasi (tanpa tekanan) melalui kateter per-
uretrum. Kemudian dibuat beberapa foto, yaitu (1) foto pada saat bulu-buli terisi kontras
dalam posisi anterior posterioi (AP), (2) pada posisi oblik, dan (3) wash out film yaitu
foto setelah kontras dikeluarkan dari bui-buli.
 Jika didapatkan robekan pada buli-buli, terlihat ekstravasasi kontras didalam rongga
perivesikel yang merupakan tanda adanya robekan ekstraperitoneal. Jika terdapat kontras
yang terdapat pada sela-sela usus berarti ada robekan buli-buli intraperitoneal.
 Di daerah yang jauh dari pusat rujukam dan tidak ada sarana untuk melakukan sistograf
dapat diuji coba pembilasan buli-buli, yaitu dengan memasukkan cairan garam fisiologis
steril kedalam buli-buli sebanyak 300ml kemudian cairan dikeluarkan lagi. Jika cairan
tidak keluar atau keluar tetapi kurang dari volume yang dimasukkan, kemungkinan besar
ada robekan pada buli-buli.

I.4. Penatalaksanaan
 Pada kontusia buli-buli, cukup dilakukan pemasangan kateter dengan tujuan untuk
memberikan istirahat pada buli-buli. Diharapkan buli-buli sembuh setelah 7-10 hari
 Pada cedera intraperitoneal harus dilakukan eksplorasi laparotomi untuk mencari robekan
pada buli-buli serta kemungkinan cedera pada organ lain. Jika tidak dioperasi ekstravasasi
urin ke rongga intraperitoneum dapat menyebabkan peritonitis
 Pada cedera ekstraperitoneal, robekan yang sederhana dianjurkan untuk memasang
kateter selama 7-10 hari dan dilakukan penjahitan luka dengan pemasangan kateter
sistostomi.

I.5. Komplikasi
Pada cedera buli-buli ekstraperitoneal, ekstravasasi urin ke rongga pelvis yang dibiarkan
dalam waktu lama dapat menyebabkan infeksi dan abses pelvis. Yang lebih berat lagi adalah
robekan buli-buli intraperitoneal. Jika tidak segera dilakukan operasi, dapat menimbulkan
peritonitis akibat dari ekstravasisi urine pada rongga intra peritoneum. Kedua keadaan ini
dapat menyebabkan sepsis yang dapat mengancam jiwa. Kadang-kadang dapat pula terjadi
penyulit berupa gangguan miksi, yaitu frekuensi dan urgensi yang biasanya akan sembuh
selama 2 bulan.

II. Trauma Uretra

II.1. Etiologi
Trauma urethra biasanya terjadi pada pria dan jarang terjadi pada wanita. Sering ada
hubungan dengan fraktur pelvis dan straddle injury. Urethra pria terdapat dua bagian yaitu :
 Anterior, terdiri dari : urethra pars granularis, pars pendularis, dan pars bulbosa
 Posterior, terdiri dari : pars membranacea dan pars prostatika
Etiologi
 Trauma uretra terjadi akibat cedera yang berasal dari luar.
 Cedera iatrogenic akibat instrumentasi pada uretra.
 Trauma tumpul yang menimbulkan fraktur tulang pelvis yang menyebabkan ruptur uretra
pars membranasea.
 Trauma tumpul pada selangkangan atau straddle injury dapat menyebabkan rupture uretra
pars bulbosa.

2 | SKENARIO 2 EMERGENSI - R.A. Wita Ferani K. - 1102009229


 Pemasangan kateter yang kurang hati-hati dapat menimbulkan robekan urethra karena
false route atau salah jalan.

II.2. Klasifikasi
 Trauma uretra posterior, yang terletak proksimal diafragma urogenital.
 Trauma uretra anterior, yang terletak distal diafragma urogenital.
Derajat cedera urtera dibagi dalam 3 jenis :
 Uretra posterior masih utuh dan hanya mengalami stretching (peregangan). Pada foto
uretrogram tidak menunjukkan adanya ekstravasasi, dan urethra hanya tampak
memanjang.
 Uretra posterior terputus pada perbatasan prostate-membranasea, sedangkan diafragma
urogenital masih utuh. Foto uretrogram menunjukkan ekstravasasi kontras yang masih
terbatas di atas diafragma urogenitalis.
 Uretra posterior, diafragma genitalis, uretra pars bulbosa sebelah proksimal ikut rusak.
Foto uretrogram menunjukkan ekstravasasi kontras meluas hingga dibawah diafragma
urogenital sampai ke perineum.

II.3. Patofisiologi
 Cedera dapat menyebabkan memar dinding dengan atau tanpa robekan mukosa baik
parsial atau total. Rupture uretra hampir selalu disertai fraktur tulang pelvis. Akibat
fraktur tulang pelvis terjadi robekan pars membranasea karena prostat dengan uretra
prostatica tertarik ke cranial bersama fragmen fraktur, sedangkan uretra membranosa
terikat di diafragma urogenital. Rupture uretra posterior dapat terjadi total atau inkomplit.
Pada rupture total, uretra terpisah seluruhnya dan ligamentum puboprostatikum robek
sehingga buli-buli dan prostat terlepas ke cranial.
 Uretra anterior terbungkus di dalam corpus spongiosum penis. Korpus spongiosum
bersama dengan corpora cavernosa penis dibungkus oleh fasia buck dan fasia colles. Jika
terjadi rupture uretra beserta corpus spongiosum, darah dan urine keluar dari uretra tetapi
masih terbatas pada fasia buck dan secara klinis terlihat hematoma yang terbatas pada
penis. Namun, jika fasia buck ikut robek, ekstravasasi urin dan darah hanya dibatasi oleh
fasia colles, sehingga dapat menjalar hingga skrotum atau ke dinding abdomen. Robekan
ini memberikan gambaran seperti kupu-kupu sehingga disebut butterfly hematoma.

II.4. Manifestasi Klinis


 Pada rupture uretra posterior, terdapat tanda patah tulang pelvis. Pada daerah suprapubik
dan abdomen bagian bawah dijumpai jejas, hematoma dan nyeri tekan. Bila disertai
rupture kandung kemih bisa ditemukan tanda rangsangan peritoneum.
 Pada rupture uretra anterior terdapat daerah memar atau hematom pada penis dan
skrotum. Beberapa tetes darah segar di meatus uretra merupakan tanda klasik cedera

3 | SKENARIO 2 EMERGENSI - R.A. Wita Ferani K. - 1102009229


uretra. Bila terjadi trauma dan nyeri perut bagian bawah dan daerah suprapubik. Pada
perabaan ditemukan kandung kemih yang penuh.

II.5. Diagnosis
 Rupture uretra posterior harus dicurigai bila terdapat darah sedikit di meatus uretra
disertai patah tulang pelvis.
 Pada pemeriksaan colok dubur ditemukan prostat seperti mengapung karena tidak
terfiksasi lagi pada diafragma urogenital. Kadang sama sekali tidak teraba lagi karena
pindah ke cranial.
 Pemeriksaan radiologi dengan menggunakan uretrogam retrograde dapat memberi
keterangan letak dan tipe uretra.

II.6. Penatalaksanaan
 Jika dapat kencing dengan mudah, lakukan observasi saja.
 Jika sulit kencing atau terlihat ekstravasasi pada uretrogram usahakan memasukkan
kateter foley sampai buli-buli. Jika gagal lakukan pembedahan sistosomi untuk
manajemen aliran urin.
 Bila rupture uretra posterior tidak disertai cedera organ intraabdomen, cukup dilakukan
sistosomi. Reparasi uretra dilakukan 2-3 hari kemudian dengan melakukan anastomosis
ujung ke ujung dan pemasangan kateter silicon selama 3 minggu. Bila disertai cedera
organ lain sehingga tidak mungkin dilakukan reparasi 2-3 hari kemudian, sebaiknya
dipasang kateter secara langsir.
 Pada rupture uretra anterior total, langsung dilakukan pemulihan uretra dengan
anastomosis ujung ke ujung melalui sayatan perineal. Dipasang kateter silicon selama 3
minggu. Bila rupture parsial dilakukan sistostomi dan pemasangan kateter foley di uretra
selama 7-10 hari, sampai terjadi epitelisasi uretra yang cedera. Kateter sistosomi baru
dicabut bila saat kateter sistostomi diklem ternyata penderita bisa buang air kecil.

II.7. Komplikasi
a) Trauma Uretra Anterior : perdarahan, infeksi/sepsis dan striktura urethra
b) Trauma Uretra Posterior : striktura uretra, impotensi dan inkontinensia

III. Kesadaran dan Cara Penilaiannya

III.1.Definisi Kesadaran dan Struktur di Serebral yang Berfungsi mengatur Kesadaran


Kesadaran adalah pengetahuan penuh atas diri, lokasi dan waktu. Kesadaran secara
sederhana dapat dikatakan sebagai keadaan dimana seseorang mengenal atau mengetahui
tentang dirinya maupun lingkungannya. Penurunan kesadaran adalah keadaan dimana
penderita tidak sadar dalam arti tidak terjaga atau tidak terbangun secara utuh sehingga tidak
mampu memberikan respons yang normal terhadap stimulus.
Sistem aktivitas retikuler berfungsi mempertahankan kesadaran. Sistem ini terletak di
bagian atas batang otak, terutama di mesensefalon dan hipothalamus. Lesi di otak, yang
terletak di atas hipothalamus tidak akan menyebabkan penurunan kesadaran, kecuali bila
lesinya luas dan bilateral. Lesi fokal di cerebrum, misalnya oleh tumor atau stroke, tidak akan
menyebabkan coma, kecuali bila letaknya dalam dan mengganggu hipothalamus.

4 | SKENARIO 2 EMERGENSI - R.A. Wita Ferani K. - 1102009229


III.2.Mekanisme Gangguan Kesadaran

Patofisiologi
 Lesi Supratentorial
Pada lesi supratentorial, gangguan kesadaran akan terjadi baik oleh kerusakan langsung
pada jaringan otak atau akibat penggeseran dan kompresi pada ARAS karena proses
tersebut maupun oleh gangguan vaskularisasi dan edema yang di- akibatkannya. Proses
ini menjalar secara radial dari lokasi lesi kemudian ke arah rostro-kaudal sepanjang
batang otak.
Gejala
o gejala klinik akan timbul sesuai dengan perjalan proses tersebut yang dimulai dengan:
o gejala neurologik fokal sesuai dengan lokasi lesi. Jika keadaan bertambah berat dapat
o timbul sindroma diensefalon, sindroma meseisefalon bahkan sindroma ponto meduler
dan deserebrasi Oleh kenaikan tekanan intrakranial dapat terjadi herniasi girus singuli
di kolong falks serebri, herniasi transtentoril dan
o herniasi unkus lobus temporalis melalui insisura tentorii.
 Lesi infratentorial
Pada lesi infratentorial, gangguan kesadaran dapat terjadi karena kerusakan ARAS baik
oleh proses intrinsik pada batang otak maupun oleh proses ekstrinsik
 Gangguan difus (gangguan metabolik)
o Pada penyakit metabolik, gangguan neurologik umumnya bilateral dan hampir selalu
simetrik. Selain itu gejala neurolo-giknya tidak dapat dilokalisir pada suatu susunan
anatomik tertentu pada susunan saraf pusat.
o Penyebab gangguan kesadaran pada golongan ini terutama akibat kekurangan O,
kekurangan glukosa, gangguan sirkulasi darah serta pengaruh berbagai macam toksin.
 Kekurangan O2
Otak yang normal memerlukan 3.3 cc O2/100 gr otak/menit yang disebut Cerebral
Metabolic Rate for Oxygen (CMR O2).CMR O2 ini pada berbagai kondisi normal
tidak banyak berubah. Hanya pada kejang- kejang CMR O 2 meningkat dan jika
timbul gangguan fungsi otak, CMR O2 menurun. Pada CMR O2 kurangdari 2.5
cc/100 gram otak/menit akan mulai terjadi gangguan mental dan umumnya bila
kurang dari 2 cc O2/100 gram otak/menit terjadi koma.
 Glukosa
Energi otak hanya diperoleh dari glukosa. Tiap 100 gram otak memerlukan 5.5
mgr glukosa/menit. Menurut Hinwich pada hipoglikemi, gangguan pertama terjadi
pada serebrum dan kemudian progresif ke batang otak yang letaknya lebih kaudal.
Menurut Arduini hipoglikemi menyebabkan depresi selektif pada susunan saraf
pusat yang dimulai pada formasio reti-kularis dan kemudian menjalar ke bagian-
bagian lain.
Pada hipoglikemi, penurunan atau gangguan kesadaran merupakan gejala dini.
 Gangguan sirkulasi darah
Untuk mencukupi keperluan dan glukosa, aliran darah ke otak memegang peranan
penting. Bila aliran darah ke otak berkurang, dan glukosa darah juga akan berkurang
 Toksin
Gangguan kesadaran dapat terjadi oleh toksin yang berasal dari penyakit metabolik
dalam tubuh sendiri atau toksin yang berasal dari luar/akibat infeksi

5 | SKENARIO 2 EMERGENSI - R.A. Wita Ferani K. - 1102009229


III.3.Penilaian Kesadaran Baik secara Kualitatif dan Kuantitatif Terutama dengan
Penilaian GCS (Glasgow Coma Scale)

Penilaian secara kualitatif


Kualitas kesadaran atau isi kesadaran menunjukkan kemampuan dalam mengenal diri
sendiri dan sekitarnya yang merupakan fungsi hemisfer serebri.
Dalam klinik dikenal tingkat-tingkat kesadaran : Kompos mentis, inkompos mentis (apati,
delirium, somnolen, sopor, koma)
 Kompos mentis :
Keadaan waspada dan terjaga pada seseorang yang bereaksi sepenuhnya dan adekuat
terhadap rangsang visuil, auditorik dan sensorik.
 Apatis :
sikap acuh tak acuh, tidak segera menjawab bila ditanya.
 Delirium :
kesadaran menurun disertai kekacauan mental dan motorik seperti desorientasi, iritatif,
salah persepsi terhadap rangsang sensorik, sering timbul ilusi dan halusinasi.
 Somnolen :
penderita mudah dibangunkan, dapat lereaksi secara motorik atau verbal yang layak tetapi
setelah memberikan respons, ia terlena kembali bila rangsangan dihentikan.
 Sopor (stupor) :
penderita hanya dapat dibangunkan dalam waktu singkat oleh rangsang nyeri yang hebat
dan berulang-ulang.
 Koma :
tidak ada sama sekali jawaban terhadap rangsang nyeri yang bagaimanapun hebatnya

Penilaian secara kuantitatif


(Glasgow Coma Scale) yaitu skala yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran pasien,
(apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak) dengan menilai respon pasien terhadap
rangsangan yang diberikan.
Respon pasien yang perlu diperhatikan mencakup 3 hal yaitu reaksi membuka mata , bicara
dan motorik. Hasil pemeriksaan dinyatakan dalam derajat (score) dengan rentang angka 1 – 6
tergantung responnya.
Eye (respon membuka mata) :
(4) : spontan
(3) : dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata).
(2) : dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan kuku jari)
(1) : tidak ada respon
Verbal (respon verbal) :
(5) : orientasi baik
(4) : bingung, berbicara mengacau ( sering bertanya berulang-ulang ) disorientasi
tempat dan waktu.
(3) : kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas, namun tidak
dalam satu kalimat. Misalnya “aduh…, bapak…”)
(2) : suara tanpa arti (mengerang)
(1) : tidak ada respon
Motor (respon motorik) :
(6) : mengikuti perintah
(5) : melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang
nyeri)
(4) : withdraws (menghindar / menarik extremitas atau tubuh menjauhi stimulus saat

6 | SKENARIO 2 EMERGENSI - R.A. Wita Ferani K. - 1102009229


diberi rangsang nyeri)
(3) : flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki extensi
saat diberi rangsang nyeri).
(2) : extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari
mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).
(1) : tidak ada respon
Hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol E…V…
M..Selanjutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi adalah 15 yaitu E4V5M6 dan
terendah adalah 3 yaitu E1V1M1.

IV. Kegawatdaruratan Mata dan Trauma Tumpul pada Mata

Kegawatdaruratan (emergency) di bidang oftalmologi (penyakit mata) diklasifikasikan


menjadi tiga macam, yaitu:
1. Sangat Gawat
Yang dimaksud dengan keadaan "sangat gawat" adalah keadaan atau kondisi pasien
memerlukan tindakan yang harus sudah diberikan dalam waktu beberapa menit.
Terlambat sebentar saja dapat mengakibatkan kebutaan. Adapun keadaan atau kondisi
pasien yang termasuk di dalam kategori ini adalah: luka bakar kimia (luka bakar
kerena alkali/basa dan luka bakar asam)
2. Gawat
Yang dimaksud dengan keadaan "gawat" adalah keadaan atau kondisi pasien memerlukan
penegakan diagnosis dan pengobatan yang harus sudah diberikan dalam waktu satu atau
beberapa jam.
Adapun keadaan atau kondisi pasien yang termasuk di dalam kategori ini adalah:
 Laserasi kelopak mata
 Konjungtivitis gonorhoe
 Erosi kornea
 Laserasi kornea
 Benda asing di kornea
 Descemetokel
 Tukak kornea
 Tukak atau ulkus kornea merupakan hilangnya sebagian permukaan kornea akibat
 kematian jaringan kornea.
 Hifema
Hifema atau timbunan darah di dalam bilik mata depan. Terjadi akibat trauma tumpul
 yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar.
 Skleritis (peradangan pada sklera)
Sklera merupakan jaringan ikat yang kenyal dan memberikan bentuk pada mata.
Sklera bersama dengan jaringan uvea dan retina berfungsi sebagai pembungkus dan
pelindung bola mata.
 Iridosiklitis akut
 Endoftalmitis
Endoftalmitis merupakan infeksi intraokular yang umumnya melibatkan seluruh
jaringan segmen anterior dan posterior mata. Umumnya didahului oleh trauma tembus
pada bola mata, ulkus kornea perforasi, riwayat operasi intraokuler (misalnya:
ekstraksi katarak, operasi filtrasi, vitrektomi). Gejala klinis endoftalmitis adalah
penurunan tajam penglihatan (visus menurun), mata merah, bengkak, nyeri.
 Glaukoma kongestif

7 | SKENARIO 2 EMERGENSI - R.A. Wita Ferani K. - 1102009229


 Glaukoma sekunder
 Ablasi retina (retinal detachment)
Yaitu suatu keadaan terpisahnya (separasi) sel kerucut dan batang atau lapisan
sensorik retina dengan sel epitel pigmen (retinal pigment epithelium atau RPE).
 Selulitis orbita
 Trauma tembus mata
 Trauma radiasi
3. Semi Gawat
Yang dimaksud dengan keadaan "semi gawat" adalah keadaan atau kondisi pasien
memerlukan pengobatan yang harus sudah diberikan dalam waktu beberapa hari atau
minggu.
Adapun keadaan atau kondisi pasien yang termasuk di dalam kategori ini adalah:
 Defisiensi (kekurangan) vitamin A.
Sinonim (nama lain) untuk kondisi ini adalah: vitaminosis A, hypovitaminosis A.
 Trakoma yang disertai dengan entropion.
Entropion adalah keadaan kelopak mata yang terbalik atau membalik ke dalam tepi
jaringan, terutama tepi kelopak bawah. Namun pada trakoma, entropion terdapat pada
kelopak atas.
 Oftalmia simpatika
Yaitu peradangan granulomatosa yang khas pada jaringan uvea, bersifat bilateral, dan
didahului oleh trauma tembus mata yang biasanya mengenai badan siliar, bagian uvea
lainnya, atau akibat adanya benda asing dalam mata.
 Katarak kongenital
Yaitu kekeruhan lensa mata yang timbul sejak lahir, dan merupakan salah satu
penyebab kebutaan pada anak yang cukup sering dijumpai. Gejalanya: leukokoria
(bercak putih), fotofobia (silau, dapat disertai atau tanpa rasa sakit), strabismus
(juling), nystagmus (pergerakan bola mata yang involunter. Involunter maksudnya:
tanpa sengaja, diluar kemauan; dapat teratur, bolak-balik, dan tidak terkendali).
 Glaukoma kongenital
 Glaukoma simpleks
 Perdarahan badan kaca
 Retinoblastoma (tumor ganas retina)
Yaitu jenis tumor ganas mata yang berasal dari neuroretina (sel kerucut dan batang).
 Neuritis optika / papilitis
 Eksoftalmus (bola mata menonjol keluar) atau lagoftalmus (kelopak mata tidak dapat
menutup sempurna).
 Tumor intraorbita
 Perdarahan retrobulbar
Macam-macam bentuk trauma pada mata:
 Fisik atau Mekanik
o Trauma Tumpul, misalnya terpukul, kena bola tenis, atau shutlecock, membuka tutup
botol tidak dengan alat, ketapel.
o Trauma Tajam, misalnya pisau dapur, gunting, garpu, bahkan peralatan pertukangan.
o Trauma Peluru, merupakan kombinasi antara trauma tumpul dan trauma tajam,
terkadang peluru masih tertinggal didalam bola mata. Misalnya peluru senapan angin,
dan peluru karet.
 Khemis
o Trauma Khemis basa, misalnya sabun cuci, sampo, bahan pembersih lantai, kapur,
lem (perekat).

8 | SKENARIO 2 EMERGENSI - R.A. Wita Ferani K. - 1102009229


o cuka, bahan asam-asam dilaboratorium, gas airmata.
 Fisis
o Trauma termal, misalnya panas api, listrik, sinar las, sinar matahari.
o Trauma bahan radioaktif, misalnya sinar radiasi bagi pekerja radiologi.
Struktur wajah dan mata sangat sesuai untuk melindungi mata dari cedera.
Bola mata terdapat di dalam sebuah rongga yang dikelilingi oleh bubungan bertulang yang
kuat. Kelopak mata bisa segera menutup untuk membentuk penghalang bagi benda asing dan
mata bisa mengatasi benturan yang ringan tanpa mengalami kerusakan.
Meskipun demikian, mata dan struktur di sekitarnya bisa mengalami kerusakan akibat cedera,
kadang sangat berat sampai terjadi kebutaan atau mata harus diangkat. Cedera mata harus
diperiksa untuk menentukan pengobatan dan menilai fungsi penglihatan.
Trauma tumpul, meskipun dari luar tidak tampak adanya kerusakan yang berat, tetapi transfer
energi yang dihasilkan dapat memberi konsekuensi cedera yang fatal. Kerusakan yang terjadi
bergantung kekuatan dan arah gaya, sehingga memberikan dampak bagi setiap jaringan
sesuai sumbu arah trauma. Trauma tumpul dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
 Kontusio, yaitu kerusakan disebabkan oleh kontak langsung dengan benda dari luar
terhadap bola mata, tanpa menyebabkab robekan pada dinding bola mata
 Konkusio, yaitu bila kerusakan terjadi secara tidak langsung. Trauma terjadi pada
jaringan di sekitar mata, kemudian getarannya sampai ke bola mata.
Baik kontusio maupun konkusio dapat menimbulkan kerusakan jaringan berupa kerusakan
molekular, reaksi vaskular, dan robekan jaringan. Menurut Duke-Elder, kontusio dan
konkusio bola mata akan memberikan dampak kerusakan mata, dari palpebra sampai dengan
saraf optikus.

TRAUMA TUMPUL PADA MATA

Hematoma Palpebra

Hematoma palpebra yang merupakan pembengkakan


atau penimbunan darah di bawah kulit kelopak akibat
pecahnya pembuluh darah palpebra. Hemat oma kelopak
merupakan kelainan yang sering terlihat pada trauma
tumpul kelopak. Trauma dapat akibat pukula tinju, ataupun
benda-benda keras lainnya. Keadaan ini memberikan bentuk yang menakutkan pada pasien,
dapat tidak berbahaya ataupun sangat berbahaya karena mungkin ada kelainan lain di
belakangnya.
Bila perdarahan terletak lebih dalam dan mengenai kedua kelopak dan berbentuk kaca
mata hitam yang sedang dipakai, maka keadaan ini diseut sebagai hematoma kaca mata.
Hematoma kaca mata merupakan keadaan sangat gawat. Hematoma kaca mata terjadi akibat
pecahnya arteri oftalmika yang merupakan tanda fraktur basis kranii. Pada pecahnya
a.oftalmika maka darah masuk ke dalam kedua rongga orbita melalui fisura orbita. Akibat
darah tidak dapat menjalar lanjut karena dibatasi septum orbita kelopak maka akan berbentuk
gambaran hitam pada kelopak seperti seseorang memakai kaca mata.
Pada hematoma kelopak yang dini dapat diberikan kompres dingin untuk menghentikan
perdarahan dan menghilangkan rasa sakit. Bila telah lama, untuk memudahkan absorpsi darah
dapat dilakukan kompres hangat pada kelopak mata.

9 | SKENARIO 2 EMERGENSI - R.A. Wita Ferani K. - 1102009229


Trauma Tumpul Konjungtiva

Edema konjungtiva
Jaringan konjungtiva yang bersifat selaput lendir dapat
menjadi kemotik pada setiap kelainannya, demikian pula akibat
trauma tumpul. Bila kelopak terpajan ke dunia luar dan
konjungtiva secara langsung kena angin tanpa dapat mengedip,
maka keadaan ini telah dapat mengakibatkan edema pada
konjungtiva.
Kemotik konjungtiva yang berat dapat mengakibatkan
palpebra tidak menutup sehingga bertambah rangsangan terhadap konjugtiva. Pada edema
konjungtiva dapat diberikan dekongestan untuk mencegah pembendungan cairan di dalam
selaput lendir konjungtiva. Pada kemotik konjungtiva berat dapat dilakukan insisi sehingga
cairan konjungtiva kemotik keluar melalui insisi tersebut.

Hematoma subkonjungtiva
Hematoma subkonjungtiva terjadi akibat pecahnya pembuluh darah
yang terdapat pada atau di bawah konjungtiva, seperti arteri konjungtiva
dan arteri episklera. Pecahnya pembuluh darah ini dapat akibat batuk
rejan, trauma tumpul basis kranii (hematoma kaca mata), atau pada
keadaan pembuluh darah yang rentan dan mudah pecah. Pembuluh darah
akan rentan dan mudah pecah pada usia lanjut, hipertensi, arteriosklerose,
konjungtiva meradang (konjungtivitis), anemia, dan obat-obat tertentu.
Bila perdarahan ini terjadi akiba trauma tumpul maka perlu dipastikan
bahwa tidak terdapat robekan di bawah jaringan konjungtiva atau sklera. Kadang-kadang
hematoma subkonjungtiva menutupi keadaan mata yang lebih buruk seperti perforasi bola
mata. Pemeriksaan funduskopi adalah perlu pada setiap penderita dengan perdarahan
subkonjungtiva akibat trauma. Bila tekanan bola mata rendah dengan pupil lonjong disertai
tajam penglihatan menurun dan hematoma subkonjungtiva maka sebaiknya dilakukan
eksplorasi bola mata untuk mencari kemungkinan adanya ruptur bulbus okuli.
Pengobatan dini pada hematoma subkonjungtiva ialah dengan kompres hangat.
Perdarahan subkonjungtiva akan hilang atau diabsorpsi dalam 1-2 minggu tanpa diobati.

Trauma tumpul pada kornea

Edema kornea
Trauma tumpul yang keras atau cepat mengenai mata
dapat mengakibatkan edema kornea malahan ruptur
membran descemet. Edema kornea akan memberikan
keluhan penglihatan kabur dan terlihatnya pelangi sekitar
bola lampu atau sumber cahaya yang dilihat. Kornea akan
terlihat keruh, deng an uji plasido yang positif.
Edema kornea yang berat dapat mengakibatkan
masuknya serbukan sel radang dan neovaskularisasi ke
dalam jaringan stroma kornea. Pengobatan yang diberikan
adalah larutan hipertonik seperti NaCl 5% atau larutan garam hipertonik 2-8%, glukose 40%
dan larutan albumin.
Bila terdapat peninggian tekanan bola mata maka diberikan asetazolamida. Pengobatan
untuk menghilangkan rasa sakit dan memperbaiki tajam penglihatan dengan lensa kontak
lembek dan mungkin akibat kerjanya menekan kornea terjadi pengurangan edema kornea.

10 | SKENARIO 2 EMERGENSI - R.A. Wita Ferani K. - 1102009229


Penyulit trauma kornea yang berat berupa terjadinya kerusakan M.descemet yang lama
sehingga mengakibatkan keratopati bulosa yang akan memberikan keluhan rasa sakit dan
menurunkan tajam penglihatan akibat astigmatisme iregular.

Erosi kornea
Erosi kornea merupakan keadaan terkelupasya epitel kornea yang dapat diakibatkan oleh
gesekan keras pada epitel kornea. Erosi dapat terjadi tanpa cedera pada membran basal.
Dalam waktu yang pendek epitel sekitarnya dapat bermigrasi dengan cepat dan menutupi
defek epitel tersebut. Pada erosi pasien akan merasa sakit sekali akibat erosi merusak ornea
yang mempunyai serat sensibel yang banyak, mata berair, dengan blefarospasme, lakrimasi,
fotofobia, dan penglihatan akan terganggu oleh media kornea yang keruh.
Pada kornea akan terlihat suatu defek epitel kornea yang bila diberi pewarnaan fluoresein
akan berwarna hijau. Pada erosi kornea perlu diperhatikan adalah adanya infeksi yang timbul
kemudian.
Anestesi topikal dapat diberikan untuk memeriksa tajam penglihatan dan menghilangkan
rasa sakit yang sangat. Hati-hati bila memakai obat anestetik topikal untuk menghilangkan
rasa sakit pada pemeriksaan karena dapat menambah kerusakan epitel.
Epitel yang terkelupas atau terlipat sebaiknya dilepas atau dikupas. Untuk mencegah
infeksi bakteri diberikan antibiotika seperti antibiotika spektrum luas neosporin,
kloramfenikol, dan sulfasetamid tetes mata. Akibat rangsangan yang mengakibatkan spasme
siliar maka diberikan sikloplegik aksi-pendek seperti tropikamida. Pasien akan merasa lebih
tertutup bila dibebat tekan selama 24 jam. Erosi yang kecil biasanya akan tertutup kembali
setelah 48 jam.

Erosi kornea rekuren


Erosi rekuren biasanya terjadi akibat cedera yang merusak
membran basal atau tukak metaherpetik. Epitel yang menutup
kornea akan mud ah lepas kembali di waktu bangun pagi.
Terjadinya erosi kornea berulang akibat epitel tidak dapat
bertahan pada defek epitel kornea. Sukarnya epitel menutupi
kornea diakibatkan oleh terjadinya pelepasan membran basal
epitel kornea tempat duduknya sel basal epitel kornea. Biasanya
membran basal yang rusak akan kembali normal setelah 6 minggu.
Pengobatan terutama bertujuan melumas permukaan kornea sehingga regenerasi tidak
cepat terlepas untuk membentuk membran basal kornea. Pengobatan biasanya dengan
memberikan sikloplegik untuk menghilangkan rasa sakit ataupun untuk mengurangkan gejala
radang uvea yang mungkin timbul. Antibiotik diberikan dalam bentuk tetes dan mata ditutup
untuk mempercepat tumbuh epitel baru dan mencegah infeksi sekunder. Biasanya bila tidak
terjadi infeksi sekunder erosi kornea yang mengenai seluruh permukaan kornea akan sembuh
dalam 3 hari. Pada erosi kornea tidak diberi antibiotik dengan kombinasi steroid.
Pemakaian lensa kontak lembek pada pasien dengan erosi rekuren sangat bermanfaat, karena
dapat mempertahankan epitel berada di tempat dan tidak dipengaruhi kedipan kelopak mata.

11 | SKENARIO 2 EMERGENSI - R.A. Wita Ferani K. - 1102009229


Trauma tumpul uvea

Iridoplegia
Trauma tumpul padda uvea dapat mengakibatkan kelumpuhan otot sfingter pupil atau
iridoplegia sehingga pupil menjadi lebar atau midriasis.
Pasien akan sukar melihat dekat karena gangguan akomodasi, silau akibat gangguan
pengaturan masuknya sinar pada pupil.
Pupil terlihat tidak sama besar atau anisokoria dan bentuk pupil dapat menjadi iregular.
Pupil ini tidak bereaksi terhadap sinar. Iridoplegia akibat trauma akan berlangsung beberapa
hari sampai beberapa minggu. Pada pasien dengan iridoplegia sebaiknya diberi istirahat untuk
mencegah terjadinya kelelahan sfingter dan pemberian roboransia.

Iridodialisis
Trauma tumpul dapat mengakibatkan robekan pada pangkal iris sehingga bentuk pupil
menjadi berubah. Pasien akan melihat ganda dengan satu matanya.
Pada iridodialisis akan terlihat pupil lonjong. Biasanya iridodialisis terjadi bersama-sama
dengan terbentuknya hifema. Bila keluhan demikian maka pada pasien sebaiknya dilakukan
pembedahan dengan melakukan reposisi pangkal iris yang terlepas.

Iridosiklitis
Pada trauma tumpul dapat terjadi reaksi jaringan uvea sehingga menimbulkan iridosiklitis
atau radang uvea anterior. Pada mata akan terlihat mata merah, akibat adanya darah di dalam
bilik mata depan maka akan terdapat suar dan pupil yang mengecil dengan tajam penglihatan
menurun.
Pada uveitis anterior diberikan tetes mata midriatik dan steroid topikal. Bila terlihat tanda
radang berat maka dapat diberikan steroid sistemik.
Sebaiknya pada mata ini diukur tekanan bola mata untuk persiapan memeriksa fundus dengan
midriatika.

Trauma tumpul pada lensa

Dislokasi lensa
Trauma tumpul lensa dapat mengakibatkan dislokasi lensa.
Dislokasi lensa terjadi pada putusnya zonula Zinn yang akan
mengakibatkan kedudukan lensa terganggu.

Subluksasi lensa
Subluksasi lensa terjadi akibat putusnya sebagian zonula Zinn
sehingga lensa berpindah tempat. Subluksasi lensa dapat juga terjadi
spontan akibat pasien menderita kelainan pada zonula Zinn yang
rapuh (sindrom Marphan). Pasien pasca trauma akan mengeluh
penglihatan berkurang. Subluksasi lenssa akan memberikan
gambaran pada iris berupa iridodonesis.
Akibat pegangan lensa pada zonula tidak ada maka lensa yang elastis akan menjdai
cembung, dan mata akan menjadi lebih miopik. Lensa yg menjadi sangat cembung
mendorong iris ke depa sehingga bilik mata tertutup. Bila sudut bilik mata menjadi sempit
pada mata ini mudah terjadi glaukoma sekunder.
Subluksasi dapat mengakibatkan glaukoma sekunder dimana terjadi penutupan sudut bilik
mata oleh lensa yang mencembung. Bila tidak terjadi penyulit subluksasi lensa seperti

12 | SKENARIO 2 EMERGENSI - R.A. Wita Ferani K. - 1102009229


glaukoma atau uveitis maka tidak dilakukan pengeluaran lensa dan diberi kaca mata koreksi
yang sesuai.

Luksasi lensa anterior


Bila seluruh zonula Zinn di sekitar ekuator putus
akibat trauma maka lensa dapat masuk ke dalam bilik
mata depan. Akibat lensa terletak di dalam bilik mata
depan ini maka akan terjadi gangguan pengaliran keluar
cairan bilik mata sehingga akan timbul glaukoma
kongestif akut dengan gejala-gejalanya.
Pasien akan mengeluh penglihatan menurun
mendadak, disertai rasa sakit yang sangat, muntah, mata
merah dengan blefarospasme. Terdapat injeksi siliar yang berat, edema kornea, lensa di
dalam bilik mata depan. Iris terdorong ke belakang dengan pupil yang lebar. Tekanan bola
mata sangat tinggi.
Pada luksasi lensa anterior sebaiknya pasien secepatnya dikirim pada dokter mata untuk
dikeluarkan lensanya dengan terlebih dahulu diberikan asetazolamida untuk menurunkan
tekanan bola matanya.

Luksasi lensa posterior


Pada trauma tumpul yang keras pada mata dapat terjadi luksasi lensa posterior akibat
putusnya zonula Zinn di seluruh lingkaran ekuator lensa sehingga lensa jatuh ke dalam badan
kaca dan tenggelam di dataran bawah polus posterior fundus okuli. Pasien akan mengeluh
adanya skotoma pada lapang pandangnya akibat lensa mengganggu kampus.
Mata ini akan menunjukkan gejala mata tanpa lensa atau afakia. Pasien akan melihat
normal dengan lensa +12.0 dioptri untuk jauh, bilik mata depan dalam dan iris tremulans.
Lensa yang terlalu lama berada pada polus posterior dapat menimbulkan penyulit akibat
degenerasi lensa, berupa glaukoma fakolitik ataupun uveitis fakotoksik. Bila luksasi lensa
telah menimbulkan penyulit sebaiknya secepatnya dilakukan ekstraksi lensa.

Katarak trauma
Katarak akibat cedera pada mata dapat akibat trauma
perforasi ataupun tumpul terlihat sesudah beberapa hari
ataupun tahun. Pada trauma tumpul akan terlihat katarak
subkapsular anterior ataupun posterior. Kontusio lensa
menimbulkan katarak seperti bintang, dan dapat pula dalam
bentuk katarak tercetak (imprinting) yang disebut cincin
Vossius.
Trauma tembus akan menimbulkan katarak yang lebih
cepat, perforasi kecil akan menutup dengan cepat akibat proliferasi epitel sehingga bentuk
kekeruhan terbatas kecil. Trauma tembus besar pada lensa akan mengakibatkan terbentuknya
katarak dengan cepat disertai dengan terdapatnya masa lensa di dalam bilik mata depan.
Pada keadaan ini akan terlihat secara histopatologik masa lensa yang akan bercampur
makrofag dengan cepatnya, yang dapat memberikan bentuk endoftalmitis fakoanafilaktik.
Lensa dengan kapsul anterior saja yang pecah akan menjerat korteks lensa sehingga akan
mengakibatkan apa yang disebut sebagai cincin Soemering atau bilaepitel lensa berproliferasi
aktif akan terlihat mutiara Elsching.

13 | SKENARIO 2 EMERGENSI - R.A. Wita Ferani K. - 1102009229


Pengobatan katarak traumatik tergantung pada saat terjadinya. Bila terjadi pada anak
sebaiknya dipertimbangkan akan kemungkinan terjadinya ambliopia. Untuk mencegah
ambliopia pada anak dapat di pasang lensa intra okuler primer atau sekunder.
Pada katarak trauma apabila tidak terdapat penyulit maka dapat ditunggu sampai mata
menjadi tenang. Bila terjadi peyulit seperti glaukoma, uveitis dan lain sebagainya maka
segera dilakukan ekstraksi lensa. Penyulit uveitis dan glaukoma sering dijumpai pada orang
usia tua. Pada beberapa pasien dapat terbentuk cincin Soemmering pada pupil sehingga dapat
mengurangi tajam penglihatan. Keadaan ini dapat disertai perdarahan, ablasi retina, uveitis
atau salah letak lensa.

Cincin Vossius
Pada trauma lensa dapat terlihat apa yang disebut sebagai
cincin Vossius yang merupakan cincin berpigmen yang
terletak tepat di belakang pupil yang dapat terjadi segera
setelah trauma, yang merupakan deposit pigmen iris pada
dataran depan lensa sesudah sesuatu trauma, seperti suatu
stempel jari. Cincin hanya menunjukkan tanda bahwa mata
tersebut telah mengalami suatu trauma tumpul.

Trauma tumpul retina dan koroid

Edema retina dan koroid


Trauma tumpul pada retina dapat mengakibatkan edema retina, penglihatan
akan sangat menurun. Edema retina akan memberikan warna retina yang lebih abu-abu akibat
sukarnya melihat jaringan koroid melalui retina yang sembab. Berbeda dengan oklusi arteri
retina sentral dimana terdapat edema retina kecuali daerah makula, sehingga pada keadaan ini
akan terlihat cherry red spot yang berwarna merah. Edema retina akibat trauma tumpul juga
mengakibatkan edema makula sehingga tidak terdapat cherry red spot.
Pada trauma tumpul yang paling ditakutkan adalah terjadi edema makula atau edema
Berlin. Pada keadaan ini akan terjadi edema yang luas sehingga seluruh polus posterior
fundus okuli berwarna abu-abu.
Umumnya penglihatan akan normal kembali setelah beberapa waktu, akan tetapi dapat
juga penglihatan berkurang akibat tertimbunnya daerah makula oleh sel pigmen epitel.

Ablasi retina
Trauma diduga merupakan pencetus untuk terlapasnya
retina dari koroid pada penderita ablasi retina. Biasanya
pasien telah mempunyai bakat untuk terjadinya ablasi
retina ini seperti retina tipis akibat retinitis semata,
miopia, dan proses degenerasi retina lainnya. Pada pasien
akan terdapat keluhan seperti adanya selaput yang seperti
tabir mengganggu lapang pandangnya. Bila terkena atau
tertutup daerah makula maka tajam penglihatn akan
menurun.
Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat retina yang berwarna abu-abu dengan
pembuluh darah yang terlihat terangkat dan berkelok-kelok. Kadang-kadang terlihat
pembuluh darah seperti yang terputus-putus. Pada pasien dengan ablasi retina maka
secepatnya dirawat untuk dilakukan pembedahan oleh dokter mata.

14 | SKENARIO 2 EMERGENSI - R.A. Wita Ferani K. - 1102009229


Trauma Koroid

Ruptur Koroid
Pada trauma keras dapat terjadi perdarahan subretina yang dapat merupakan akibat ruptur
koroid. Ruptur ini biasanya terletak di polus posterior bola mata dan melingkar konsentris di
sekitar papil saraf optik.
Bila ruptur koroid ini terletak atau mengenai daerah makula lutea maka tajam penglihatan
akan turun dengan sangat. Ruptur ini bila tertutup oleh perdarahan subretina agak sukar
dilihat akan tetapi bila darah tersebut telah diabsorpsi maka akan terlihat bagian ruptur
berwarna putih karena sklera dapat dilihat langsung tanpa tertutup koroid.

Trauma tumpul saraf optik

Avulsi papil saraf optik


Pada trauma tumpul dapat terjadi saraf optik terlepas dari pangkalnya di dalam bola mata
yang disebut sebagai avulsi papil saraf optik. Keadaan ini akan mengakibatkan turunnya
tajam penglihatan yang berat dan sering berakhir dengan kebutaan. Penderita ini perlu dirujuk
untuk dinilai kelainan fungsi retina dan saraf optiknya.

Optik neuropati traumatik


Trauma tumpul dapat mengakibatkan kompresi pada saraf optik, demikian pula
perdarahan dan edema sekitar saraf optik. Penglihatan akan berkurang setelah cedera mata.
Terdapat reaksi defek aferen pupil tanpa adanya kelainan nyata pada retina. Tanda lain yang
dapat ditemukan adalah gangguan penglihatan warna dan lapangan pandang. Papil saraf optik
dapat normal beberapa minggu sebelum menjadi pucat.
Diagnosis banding penglihatan turun setelah sebuah cidera mata adalah trauma retina,
perdarahan badan kaca, trauma yang mengakibatkan kerusakan pada kiasam optik.
Pengobatan adalah dengan merawat pasien pada waktu akut dengan membei steroid. Bila
penglihatan memburuk setelah steroid maka perlu dipertimbangkan untuk pembedahan.

Hifema sebagai Kasus Kegawatdaruratan

Definisi
Hifema adalah suatu keadaan dimana didalam bilik mata depan ditemukan darah. Darah
didalam bilik mata depan yaitu daerah di antara kornea dan iris, yang dapat terjadi akibat
trauma tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar dan bercampur dengan
humor aqueus (cairan mata) yang jernih. Darah yang terkumpul di bilik mata depan biasanya
terlihat dengan mata telanjang. Walaupun darah yang terdapat di bilik mata depan sedikit,
tetap dapat menurunkan penglihatan. Dapat mengisi seluruh bilik mata atau hanya bagian
bawah bilik mata depan. Darah didalam bilik mata depan biasa terdapat pada cedera mata,
trauma bedah, discrasia darah (hemofilia) dan tumor intra kranial.

Hifema

15 | SKENARIO 2 EMERGENSI - R.A. Wita Ferani K. - 1102009229


Patofisologi
Hifema dapat terjadi sesudah suatu trauma tembus ataupun tumpul pada mata, akan tetapi
dapat juga terjadi secara spontan. Secara umum dianggap bahwa hifema berasal dari
pembuluh darah iris dan badan siliar. Mungkin juga berasal dari pembuluh darah di kornea
atau limbus karena terbentuknya neovaskularisasi pada bekas luka operasi atau pada rubeosis
iridis. Trauma terhadap iris dapat mensyebabkan ruptura pembuluh darah, sehingga darah
akan keluar dan mengisi rongga COA. Sedangkan pada neovaskularisasi pada bekas luka
operasi atau pada robeosis iridis, ruptura bisa terjadi secara spontan karena rapuhnya dinding
pembuluh darah.

Perdarahan yang terdapat pada hifema

Darah pada hifema dikeluarkan dari bilik mata depan dalam bentuk sel darah merah
melalui kanalis Schlemm dan permukaan depan iris. Penyerapan melaui permukaan depan
iris ini dipercepat dengan adanya kegiatan enzim fibrinolitik yang berlebihan didaerah ini.
Sebagian hifema dikeluarkan dalam bentuk hemosiderin. Bila terdapat penumpukkan
hemosiderin pada COA, hemosiderin dapat masuk kedalam lapisan kornea, menyebabkan
kornea menjadi berwarna kuning, dan disebut hemosiderosis atau imbibisi kornea. Imbibisi
kornea dapat dipercepat terjadinya, disebabkan oleh hifema yang penuh disertai glaucoma.
Adanya darah dalam COA dapat menghambat aliran cairan bilik mata oleh karena unsur
darah menutupi COA dan trabekula, sehingga terjadi glaucoma.

Hifema pada kamera okuli anterior

Darah pada hifema bisa berasal dari badan siliar, yang mungkin dapat masuk ke dalam
badan kaca (corpus vitreum). Sehingga pada punduskopi gambaran pundus tidak tampak, dan
ketajaman penglihatan menurunnya lebih banyak. Bila hifema sedikit, ketajaman penglihatan
mungkin masih baik dan tekanan intraokular masih normal. Sedangkan perdarahan yang
mengisi setengah COA dapar menyebabkan gangguan visus dan kenaikan tekanan
intraocular, sehingga mata terasa sakit oleh karena glaukoma.
Hifema dapat terjadi akibat trauma tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau badan
siliar (corpus ciliaris). Pasien akan mengeluh sakit, disertai epifora dan blefarospasme.
Penglihatan pasien akan sangat menurun. Bila pasien duduk hifema akan terlihat terkumpul

16 | SKENARIO 2 EMERGENSI - R.A. Wita Ferani K. - 1102009229


di bagian bawah bilik mata depan, dan dapat memenuhi seluruh ruang bilik mata depan.
Kadang-kadang terlihat iridoplegia dan iridodialisis.
Merupakan keadaan yang gawat. Sebaiknya dirawat, karena takut timbul perdarahan
sekunder yang lebih hebat dari perdarahan primer, yang biasanya timbul pada hari kelima
setelah trauma. Perdarahan sekunder ini terjadi karena bekuan darah terlalu cepat diserap,
sehingga pembuluh darah tidak mendapat waktu cukup untuk regenerasi kembali, dan
menimbulkan perdarahan lagi. Adanya darah di dalam COA dapat menghambat aliran aquos
humor ke dalam trabekula , sehingga dapat menimbulkan glaucoma sekunder.Hifema dapat
pula menyebabkan uveitis. Darah dapat terurai dalam bentuk hemosiderin, yang dapat
meresap masuk kedalam kornea, menyebabkan kornea berwarna kuning dan disebut
hemosiderosis atau imbibisio kornea. Jadi penyulit yang harus diperhatikan adalah :
glaucoma sekunder, uveitis, dan imbibisio kornea.
Hifema dapat sedikit, dapat pula banyak. Bila sedikit ketajaman penglihatan mungkin
masih baik dan TIO normal. Perdarahan yang mengisi setengah COA, dapat menyebabkan
gangguan visus dan TIO, sehingga mata terasa sakit oleh glaucomanya. Jika hifemanya
mengisi seluruh COA, rasa sakit bertambah dan visus lebih menurun lagi, karena TIO
bertambah pula. Zat besi didalam bola mata dapat menimbulkan sederosis bulbi yang bila
didiamkan akan dapat menimbulkan ftisis bulbi dan kebutaan.

Hematokornea;
infiltrasi darah diikuti oleh perdarahan yang menetap. (perdarahan pada hifema)

Etiologi
Penyebab hifema adalah :
 Gaya-gaya akibat kontusif sering merobek pembuluh-pembuluh iris dan merusak sudut
kamera okuli anterior biasanya pada trauma tumpul atau trauma tembus.
 Perdarahan spontan dapat terjadi pada mata dengan rubeosis iridis, tumor pada iris, retino
blastoma, dan kelainan darah.
 Perdarahan pasca bedah, bisa juga terjadi pada pasca bedah katarak kadang-kadang
pembuluh darah baru yang terbentuk pada kornea dan limbus pada luka bekas operasi
bedah katarak dapat pecah sehingga timbul hifema
Klasifikasi
Berdasarkan waktu terjadinya hifema, maka dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu :
1. Primer
Perdarahan yang terjadi segera sesudah trauma
2. Sekunder
Biasanya timbul setelah 5-7 hari sesudah trauma. Perdarahan lebih hebat dari yang
primer. Oleh karena itu seorang dengan hifema harus dirawa sedikitnya 5 hari.
Perdarahan ulang terjadi pada 16 sampai 20% kasus dalam 2 sampai 3 hari. Perdarahan
sekunder ini terjadi oleh karena resorbsi dari bekuan darah yang terjadi terlalu cepat,
sehingga pembuluh darah tidak dapat waktu cukup untuk regenerasi kembali.

17 | SKENARIO 2 EMERGENSI - R.A. Wita Ferani K. - 1102009229


Diagnosis
Pasien akan mengeluh sakit disertai dengan epifora dan blefarospasme. Penglihatan pasien
akan sangat menurun, bila ditemukan kasus hifema sebaiknya dilakukan pemeriksaan secara
teliti keadaan mata luar. Hal ini penting mungkin saja pada riwayat trauma tunpul akan
ditemukan kelainan berupa trauma tembus seperti :
 Ekimosis
 laserasi kelopak
 proptosis
 enoftalmus
 fraktur yang disertai gangguan gerakan mata
 kadang-kadang kita menemukan kelainan berupa defek epitel, edem kornea dan imbibisi
kornea bila hifema sudah terjadi lebih dari 5 hari.
Ditemukan darah di dalam bilik mata bila pasien duduk, hifema akan terlihat terkumpul
dibagian bawah bilik mata depan, perdarahan yang mengisi setengah bilik mata depan dapat
menyebabkan gangguan visus dan kenaikan tekanan intraokuler, sehingga mata terasa sakit
oleh karena glaucoma. Jika hifema mengisi seluruh bilik mata depan, rasa sakit bertambah
dan penglihatan lenih menurun lagi. Pada iris, dapat ditemukan robekan atau iridodialysis dan
iridoplegia.
Pada hifema karena trauma, jika ditemukan penurunan tajam penglihatan segera maka
harus dipikirkan kerusakan seperti luksasi lensa, ablasi retina, udem macula.
Pada hifema sebaiknya dilakukan pemeriksaan penunjang berupa :
 Tonometri
Untuk mengetahui apakah terjadi peningkatan tekanan intraokuler.
 Fundus kopi
Untuk mengetahui akibat trauma pada segmen belakang bola mata, kadang-kadang
pemeriksaan ini tidak mungkin karena terdapat darah pada media refraksi disegmen
belakang bola mata, yaitu pada badan kaca.

Komplikasi
Komplikasi yang mungkin dapat terjadi pada kasus hifema adalah
 Imbibisi kornea
Darah yang terdapat pada hifema dikeluarkan dari bilik mata depan dalam bentuk sel
darah merah melalui bilik mata (kanal schlem) dan permukaan depan iris. Penyerapan
melalui permukaan depan iris ini dipercepat dengan adanya kegiatan enzim fibrinolitik
yang berlebihan didaerah ini. Sebagian hifema dikeluarkan dalam bentuk hemosiderin.
Bila terdapat hemosiderin yang berlebihan dalam bilik mata depan maka dapat terjadi
penimbunan pigmen ini didalam lapisan-lapisan kornea yang berwarna kecoklat-coklatan
yang disebut imbibisi kornea. Jika sudah terjadi seperti ini hanya dapat diperbaiki dengan
keratoplasty.
 Glaukoma
Glaukoma akut terjadi apabila jaringan trabekular tersumbat oleh fibrin dan sel atau
apabila pembentukan bekuan darah menyebabkan penyumbatan pupil. Hal ini terjadi
akibat darah dalam bilik mata, karena 18lauco-unsur darah menutupi sudut bilik mata
trabekula, sehingga hal ini akan menyebabkan tekanan intraocular.
 Uveitis
 Kebutaan
Zat besi didalam mata dapat menimbulkan siderosis bulbi yang bila didiamkan dapat
menimbulkan fitsis bulbi dan kebutaan.

18 | SKENARIO 2 EMERGENSI - R.A. Wita Ferani K. - 1102009229


Penatalaksanaan
Prinsip pengobatan :
1. Menghentikan pendarahan atau mencegah pendarahan berulang
2. Mengeluarkan darah dari bilik mata depan
3. Mengendalikan tekanan bola mata
4. Mencegah imbibisi kornea
5. Mengatasi uveitis
6. Mendeteksi dini penyulit yang mungkin terjadi setelah hifema
Pada perawatan dengan pasien hifema diharuskan bertirah baring, mata agar mata
beristirahat, dan tidur dengan kepala diangkat dengan membentuk sudut 30 derajat lalu
diberikan koagulansi dab tetes steroid dan sikloplegenik pada mata yang sakit selama 5 hari.
Mata diperiksa secara berkala untuk mencari adanya pendarahan sekunder, 19laucoma atau
bercak darah di kornea akibat pigmen besi. Pendarahan ulang terjadi pada 16-20% kasus 2-3
hari.
Jika timbul glaucoma, maka penatalaksanan mencakup pemberian timolol 0,25% atau
0,5% dua kali sehari; asetazolamid, 250 mg empat kali sehari, dan obat hiperosmotik
(manitol, gliserol, dan sorbitol).
Bila tekanan intraokuler tetap tinggi dapat dilakukan parasintesis yaitu mengeluarkan
darah melalui sayatan di kornea. Hifema harus dievakuasi secara bedah apabila tekanan
intraocular tetap tinggi (>35 mmHg selama 7 hari atau 50 mmHg selama 5 hari) untuk
menghindari kerusakan saraf optikus dan pewarnaan kornea, pasien mengidap
hemoglobinopati, besar kemungkinan cepat terjadi atrofi optikus glaucoma dan pengeluaran
bekuan darah secara bedah harus dipertimbangkan lebih awal.
Instrument-instrumen vitrektomi digunakan untuk mengeluarkan bekuan di sentral dan
lavase kamera anterior. Dimasukkan tonggak irigasi dan probe mekanis disebelah anterior
limbus melalui bagian kornea yang jernih untuk menghindari kerusakan iris dan lensa. Tidak
dilakukan usaha untuk mengeluarkan bekuan dari sudut kamera okuli anterior atau dari
jaringan iris kemudian dilakukan dilakukan iridektomi perifer. Cara lain untuk membersihkan
kamera interior adalah dengan evakuasi kolestik. Dibuat sebuah insisi kecil di limbus untuk
menyuntikkan bahan viskolastik, dan sebuah insisi yang lebih besar 180 derajat berlawanan
agar hifema dapat didorong keluar.

Prognosis
Prognosis pada kasus hifema pada jumlah darah dalam bilik mata depan :
1. Bila darah sedikit maka darah ini akan hilang dan akan jernih sempurna
2. Bila darah lebih dari setengah tinggi bilik mata depan maka prognosisnya akan buruk dan
disertai dengan penyulit.
3. Dan bila hifema yang penuh didalam bilik mata depan akan memberikan prognosis yang
lebih buruk
Hifema sekunder yang terjadi 5-7 hari sesudah trauma biasanya dapat memberikan rasa yang
sakit. Pada hifema sekunder terjadi akibat gangguan mekanisme pembekuan atau
penyembuhan luka sehingga mempunyai prognosis buruk.

V. Resusitasi Jantung Paru


(lampiran)

19 | SKENARIO 2 EMERGENSI - R.A. Wita Ferani K. - 1102009229


DAFTAR PUSTAKA

Beyer TL, Hirst LW. Corneal blood staining at low pressures. Arch Ophthalmol
1985;103:654-655.
Hazinski, Mary Fran, et. al. Highlights of the 2010: Guidelines for CPR and ECC. American
Heart Association. 2010
Ilyas, Sidarta. Atlas Ilmu Penyakit Mata, Sagung Seto, Jakarta 2001.
Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata. Balai Penerbit FKUI, Jakarta 2009
Ilyas, Sidarta. Kedaruratan dalam Ilmu Penyakit Mata, Balai Penerbit FKUI, Jakarta 2000.
Ilyas, Sidarta. Penuntun Ilmu Penyakit Mata, Balai Penerbit FKUI, Jakarta 1996.
McDonnell PJ, Green WR, Stevens RE, Bargeron CB, Riquelme JL. Blood staining of the
cornea. Ophthalmology 1985;92:1668-1674.
Messmer EP, Gottsch J, Font RL. Blood staining of the cornea: a histopathologic analysis of
16 cases. Cornea 1985;3:205-212.
Price, Wlison. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC
Purnomo, Basuki B. Dasar-dasar Urologi edisi ketiga. Sagung Seto, Jakarta. 2011
Purwadianto, Agus.2000. Kedaruratan Medik. Jakarta Barat : Binarupa Aksara
R. Sjamsuhidajat, Wim de Jong.2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta : EGC
Sankar PS, Chen TC, Grosskreutz CL, Pasquale LR. Traumatic hyphema. Int Ophthalmol
Clin 2002;42:57-68.
Vaughan D. G. Oftalmologi Umum. Widya Medika, Jakarta 2001.
Walton W, von Hagen S, Grigorian R, Zarbin M. Management of traumatic hyphema. Surv
Ophthalmol 2002;47:297-334.

20 | SKENARIO 2 EMERGENSI - R.A. Wita Ferani K. - 1102009229

Anda mungkin juga menyukai