Trauma Pelvis Skenario b12 Blok Emergensi
Trauma Pelvis Skenario b12 Blok Emergensi
Trauma Buli-buli
I.1. Patofisiologi
Trauma buli-buli adalah trauma yang sering disebabkan oleh rudapaksa dari luar dan
sering didapatkan bersama fraktur pelvis. Fraktur macam ini dapat menyebabkan kontusio
atau ruptur kandung kemih. Pada kontusio buli-buli hanya terjadi memar pada buli-buli
dengan hematuria tanpa ekstravasasi urine.
Trauma kandung kemih terbanyak karena kecelakaan lalu lintas yang disebabkan fragmen
patah tulang pelvis (90%) yang mencederai buli-buli. Trauma tumpul menyebabkan rupture
buli-buli terutama bila vesica urinaria penuh atau terdapat kelainan patologik seperti
tuberculosis, tumor, atau obstruksi sehingga trauma kecil sudah menyebabkan rupture.
Ruptur buli-buli dapat juga terjadi secara spontan, hal ini biasanya terjadi jika
sebelumnya terdapat kelainan pada dinding vesica urinaria. Fraktur tulang pelvis terjadi
robekan pars membranasea karena prostat dengan uretra prostatika tertarik ke kranial
bersama fragmen fraktur, sedangkan uretra membranasea terikat diafragma urogenital. Bila
buli-buli yang penuh dengan urine mengalami trauma, maka akan terjadi peningkatan tekanan
intravesikel yang dapat menyebabkan contosio buli-buli / buli-buli pecah. Keadaan ini dapat
menyebabkan ruptura intraperitoneal. Ruptur kandung kemih intraperitoneal dapat
menimbulkan gejala dan tanda rangsang peritonium termasuk defans muskuler dan sindrom
ileus paralitik.
I.4. Penatalaksanaan
Pada kontusia buli-buli, cukup dilakukan pemasangan kateter dengan tujuan untuk
memberikan istirahat pada buli-buli. Diharapkan buli-buli sembuh setelah 7-10 hari
Pada cedera intraperitoneal harus dilakukan eksplorasi laparotomi untuk mencari robekan
pada buli-buli serta kemungkinan cedera pada organ lain. Jika tidak dioperasi ekstravasasi
urin ke rongga intraperitoneum dapat menyebabkan peritonitis
Pada cedera ekstraperitoneal, robekan yang sederhana dianjurkan untuk memasang
kateter selama 7-10 hari dan dilakukan penjahitan luka dengan pemasangan kateter
sistostomi.
I.5. Komplikasi
Pada cedera buli-buli ekstraperitoneal, ekstravasasi urin ke rongga pelvis yang dibiarkan
dalam waktu lama dapat menyebabkan infeksi dan abses pelvis. Yang lebih berat lagi adalah
robekan buli-buli intraperitoneal. Jika tidak segera dilakukan operasi, dapat menimbulkan
peritonitis akibat dari ekstravasisi urine pada rongga intra peritoneum. Kedua keadaan ini
dapat menyebabkan sepsis yang dapat mengancam jiwa. Kadang-kadang dapat pula terjadi
penyulit berupa gangguan miksi, yaitu frekuensi dan urgensi yang biasanya akan sembuh
selama 2 bulan.
II.1. Etiologi
Trauma urethra biasanya terjadi pada pria dan jarang terjadi pada wanita. Sering ada
hubungan dengan fraktur pelvis dan straddle injury. Urethra pria terdapat dua bagian yaitu :
Anterior, terdiri dari : urethra pars granularis, pars pendularis, dan pars bulbosa
Posterior, terdiri dari : pars membranacea dan pars prostatika
Etiologi
Trauma uretra terjadi akibat cedera yang berasal dari luar.
Cedera iatrogenic akibat instrumentasi pada uretra.
Trauma tumpul yang menimbulkan fraktur tulang pelvis yang menyebabkan ruptur uretra
pars membranasea.
Trauma tumpul pada selangkangan atau straddle injury dapat menyebabkan rupture uretra
pars bulbosa.
II.2. Klasifikasi
Trauma uretra posterior, yang terletak proksimal diafragma urogenital.
Trauma uretra anterior, yang terletak distal diafragma urogenital.
Derajat cedera urtera dibagi dalam 3 jenis :
Uretra posterior masih utuh dan hanya mengalami stretching (peregangan). Pada foto
uretrogram tidak menunjukkan adanya ekstravasasi, dan urethra hanya tampak
memanjang.
Uretra posterior terputus pada perbatasan prostate-membranasea, sedangkan diafragma
urogenital masih utuh. Foto uretrogram menunjukkan ekstravasasi kontras yang masih
terbatas di atas diafragma urogenitalis.
Uretra posterior, diafragma genitalis, uretra pars bulbosa sebelah proksimal ikut rusak.
Foto uretrogram menunjukkan ekstravasasi kontras meluas hingga dibawah diafragma
urogenital sampai ke perineum.
II.3. Patofisiologi
Cedera dapat menyebabkan memar dinding dengan atau tanpa robekan mukosa baik
parsial atau total. Rupture uretra hampir selalu disertai fraktur tulang pelvis. Akibat
fraktur tulang pelvis terjadi robekan pars membranasea karena prostat dengan uretra
prostatica tertarik ke cranial bersama fragmen fraktur, sedangkan uretra membranosa
terikat di diafragma urogenital. Rupture uretra posterior dapat terjadi total atau inkomplit.
Pada rupture total, uretra terpisah seluruhnya dan ligamentum puboprostatikum robek
sehingga buli-buli dan prostat terlepas ke cranial.
Uretra anterior terbungkus di dalam corpus spongiosum penis. Korpus spongiosum
bersama dengan corpora cavernosa penis dibungkus oleh fasia buck dan fasia colles. Jika
terjadi rupture uretra beserta corpus spongiosum, darah dan urine keluar dari uretra tetapi
masih terbatas pada fasia buck dan secara klinis terlihat hematoma yang terbatas pada
penis. Namun, jika fasia buck ikut robek, ekstravasasi urin dan darah hanya dibatasi oleh
fasia colles, sehingga dapat menjalar hingga skrotum atau ke dinding abdomen. Robekan
ini memberikan gambaran seperti kupu-kupu sehingga disebut butterfly hematoma.
II.5. Diagnosis
Rupture uretra posterior harus dicurigai bila terdapat darah sedikit di meatus uretra
disertai patah tulang pelvis.
Pada pemeriksaan colok dubur ditemukan prostat seperti mengapung karena tidak
terfiksasi lagi pada diafragma urogenital. Kadang sama sekali tidak teraba lagi karena
pindah ke cranial.
Pemeriksaan radiologi dengan menggunakan uretrogam retrograde dapat memberi
keterangan letak dan tipe uretra.
II.6. Penatalaksanaan
Jika dapat kencing dengan mudah, lakukan observasi saja.
Jika sulit kencing atau terlihat ekstravasasi pada uretrogram usahakan memasukkan
kateter foley sampai buli-buli. Jika gagal lakukan pembedahan sistosomi untuk
manajemen aliran urin.
Bila rupture uretra posterior tidak disertai cedera organ intraabdomen, cukup dilakukan
sistosomi. Reparasi uretra dilakukan 2-3 hari kemudian dengan melakukan anastomosis
ujung ke ujung dan pemasangan kateter silicon selama 3 minggu. Bila disertai cedera
organ lain sehingga tidak mungkin dilakukan reparasi 2-3 hari kemudian, sebaiknya
dipasang kateter secara langsir.
Pada rupture uretra anterior total, langsung dilakukan pemulihan uretra dengan
anastomosis ujung ke ujung melalui sayatan perineal. Dipasang kateter silicon selama 3
minggu. Bila rupture parsial dilakukan sistostomi dan pemasangan kateter foley di uretra
selama 7-10 hari, sampai terjadi epitelisasi uretra yang cedera. Kateter sistosomi baru
dicabut bila saat kateter sistostomi diklem ternyata penderita bisa buang air kecil.
II.7. Komplikasi
a) Trauma Uretra Anterior : perdarahan, infeksi/sepsis dan striktura urethra
b) Trauma Uretra Posterior : striktura uretra, impotensi dan inkontinensia
Patofisiologi
Lesi Supratentorial
Pada lesi supratentorial, gangguan kesadaran akan terjadi baik oleh kerusakan langsung
pada jaringan otak atau akibat penggeseran dan kompresi pada ARAS karena proses
tersebut maupun oleh gangguan vaskularisasi dan edema yang di- akibatkannya. Proses
ini menjalar secara radial dari lokasi lesi kemudian ke arah rostro-kaudal sepanjang
batang otak.
Gejala
o gejala klinik akan timbul sesuai dengan perjalan proses tersebut yang dimulai dengan:
o gejala neurologik fokal sesuai dengan lokasi lesi. Jika keadaan bertambah berat dapat
o timbul sindroma diensefalon, sindroma meseisefalon bahkan sindroma ponto meduler
dan deserebrasi Oleh kenaikan tekanan intrakranial dapat terjadi herniasi girus singuli
di kolong falks serebri, herniasi transtentoril dan
o herniasi unkus lobus temporalis melalui insisura tentorii.
Lesi infratentorial
Pada lesi infratentorial, gangguan kesadaran dapat terjadi karena kerusakan ARAS baik
oleh proses intrinsik pada batang otak maupun oleh proses ekstrinsik
Gangguan difus (gangguan metabolik)
o Pada penyakit metabolik, gangguan neurologik umumnya bilateral dan hampir selalu
simetrik. Selain itu gejala neurolo-giknya tidak dapat dilokalisir pada suatu susunan
anatomik tertentu pada susunan saraf pusat.
o Penyebab gangguan kesadaran pada golongan ini terutama akibat kekurangan O,
kekurangan glukosa, gangguan sirkulasi darah serta pengaruh berbagai macam toksin.
Kekurangan O2
Otak yang normal memerlukan 3.3 cc O2/100 gr otak/menit yang disebut Cerebral
Metabolic Rate for Oxygen (CMR O2).CMR O2 ini pada berbagai kondisi normal
tidak banyak berubah. Hanya pada kejang- kejang CMR O 2 meningkat dan jika
timbul gangguan fungsi otak, CMR O2 menurun. Pada CMR O2 kurangdari 2.5
cc/100 gram otak/menit akan mulai terjadi gangguan mental dan umumnya bila
kurang dari 2 cc O2/100 gram otak/menit terjadi koma.
Glukosa
Energi otak hanya diperoleh dari glukosa. Tiap 100 gram otak memerlukan 5.5
mgr glukosa/menit. Menurut Hinwich pada hipoglikemi, gangguan pertama terjadi
pada serebrum dan kemudian progresif ke batang otak yang letaknya lebih kaudal.
Menurut Arduini hipoglikemi menyebabkan depresi selektif pada susunan saraf
pusat yang dimulai pada formasio reti-kularis dan kemudian menjalar ke bagian-
bagian lain.
Pada hipoglikemi, penurunan atau gangguan kesadaran merupakan gejala dini.
Gangguan sirkulasi darah
Untuk mencukupi keperluan dan glukosa, aliran darah ke otak memegang peranan
penting. Bila aliran darah ke otak berkurang, dan glukosa darah juga akan berkurang
Toksin
Gangguan kesadaran dapat terjadi oleh toksin yang berasal dari penyakit metabolik
dalam tubuh sendiri atau toksin yang berasal dari luar/akibat infeksi
Hematoma Palpebra
Edema konjungtiva
Jaringan konjungtiva yang bersifat selaput lendir dapat
menjadi kemotik pada setiap kelainannya, demikian pula akibat
trauma tumpul. Bila kelopak terpajan ke dunia luar dan
konjungtiva secara langsung kena angin tanpa dapat mengedip,
maka keadaan ini telah dapat mengakibatkan edema pada
konjungtiva.
Kemotik konjungtiva yang berat dapat mengakibatkan
palpebra tidak menutup sehingga bertambah rangsangan terhadap konjugtiva. Pada edema
konjungtiva dapat diberikan dekongestan untuk mencegah pembendungan cairan di dalam
selaput lendir konjungtiva. Pada kemotik konjungtiva berat dapat dilakukan insisi sehingga
cairan konjungtiva kemotik keluar melalui insisi tersebut.
Hematoma subkonjungtiva
Hematoma subkonjungtiva terjadi akibat pecahnya pembuluh darah
yang terdapat pada atau di bawah konjungtiva, seperti arteri konjungtiva
dan arteri episklera. Pecahnya pembuluh darah ini dapat akibat batuk
rejan, trauma tumpul basis kranii (hematoma kaca mata), atau pada
keadaan pembuluh darah yang rentan dan mudah pecah. Pembuluh darah
akan rentan dan mudah pecah pada usia lanjut, hipertensi, arteriosklerose,
konjungtiva meradang (konjungtivitis), anemia, dan obat-obat tertentu.
Bila perdarahan ini terjadi akiba trauma tumpul maka perlu dipastikan
bahwa tidak terdapat robekan di bawah jaringan konjungtiva atau sklera. Kadang-kadang
hematoma subkonjungtiva menutupi keadaan mata yang lebih buruk seperti perforasi bola
mata. Pemeriksaan funduskopi adalah perlu pada setiap penderita dengan perdarahan
subkonjungtiva akibat trauma. Bila tekanan bola mata rendah dengan pupil lonjong disertai
tajam penglihatan menurun dan hematoma subkonjungtiva maka sebaiknya dilakukan
eksplorasi bola mata untuk mencari kemungkinan adanya ruptur bulbus okuli.
Pengobatan dini pada hematoma subkonjungtiva ialah dengan kompres hangat.
Perdarahan subkonjungtiva akan hilang atau diabsorpsi dalam 1-2 minggu tanpa diobati.
Edema kornea
Trauma tumpul yang keras atau cepat mengenai mata
dapat mengakibatkan edema kornea malahan ruptur
membran descemet. Edema kornea akan memberikan
keluhan penglihatan kabur dan terlihatnya pelangi sekitar
bola lampu atau sumber cahaya yang dilihat. Kornea akan
terlihat keruh, deng an uji plasido yang positif.
Edema kornea yang berat dapat mengakibatkan
masuknya serbukan sel radang dan neovaskularisasi ke
dalam jaringan stroma kornea. Pengobatan yang diberikan
adalah larutan hipertonik seperti NaCl 5% atau larutan garam hipertonik 2-8%, glukose 40%
dan larutan albumin.
Bila terdapat peninggian tekanan bola mata maka diberikan asetazolamida. Pengobatan
untuk menghilangkan rasa sakit dan memperbaiki tajam penglihatan dengan lensa kontak
lembek dan mungkin akibat kerjanya menekan kornea terjadi pengurangan edema kornea.
Erosi kornea
Erosi kornea merupakan keadaan terkelupasya epitel kornea yang dapat diakibatkan oleh
gesekan keras pada epitel kornea. Erosi dapat terjadi tanpa cedera pada membran basal.
Dalam waktu yang pendek epitel sekitarnya dapat bermigrasi dengan cepat dan menutupi
defek epitel tersebut. Pada erosi pasien akan merasa sakit sekali akibat erosi merusak ornea
yang mempunyai serat sensibel yang banyak, mata berair, dengan blefarospasme, lakrimasi,
fotofobia, dan penglihatan akan terganggu oleh media kornea yang keruh.
Pada kornea akan terlihat suatu defek epitel kornea yang bila diberi pewarnaan fluoresein
akan berwarna hijau. Pada erosi kornea perlu diperhatikan adalah adanya infeksi yang timbul
kemudian.
Anestesi topikal dapat diberikan untuk memeriksa tajam penglihatan dan menghilangkan
rasa sakit yang sangat. Hati-hati bila memakai obat anestetik topikal untuk menghilangkan
rasa sakit pada pemeriksaan karena dapat menambah kerusakan epitel.
Epitel yang terkelupas atau terlipat sebaiknya dilepas atau dikupas. Untuk mencegah
infeksi bakteri diberikan antibiotika seperti antibiotika spektrum luas neosporin,
kloramfenikol, dan sulfasetamid tetes mata. Akibat rangsangan yang mengakibatkan spasme
siliar maka diberikan sikloplegik aksi-pendek seperti tropikamida. Pasien akan merasa lebih
tertutup bila dibebat tekan selama 24 jam. Erosi yang kecil biasanya akan tertutup kembali
setelah 48 jam.
Iridoplegia
Trauma tumpul padda uvea dapat mengakibatkan kelumpuhan otot sfingter pupil atau
iridoplegia sehingga pupil menjadi lebar atau midriasis.
Pasien akan sukar melihat dekat karena gangguan akomodasi, silau akibat gangguan
pengaturan masuknya sinar pada pupil.
Pupil terlihat tidak sama besar atau anisokoria dan bentuk pupil dapat menjadi iregular.
Pupil ini tidak bereaksi terhadap sinar. Iridoplegia akibat trauma akan berlangsung beberapa
hari sampai beberapa minggu. Pada pasien dengan iridoplegia sebaiknya diberi istirahat untuk
mencegah terjadinya kelelahan sfingter dan pemberian roboransia.
Iridodialisis
Trauma tumpul dapat mengakibatkan robekan pada pangkal iris sehingga bentuk pupil
menjadi berubah. Pasien akan melihat ganda dengan satu matanya.
Pada iridodialisis akan terlihat pupil lonjong. Biasanya iridodialisis terjadi bersama-sama
dengan terbentuknya hifema. Bila keluhan demikian maka pada pasien sebaiknya dilakukan
pembedahan dengan melakukan reposisi pangkal iris yang terlepas.
Iridosiklitis
Pada trauma tumpul dapat terjadi reaksi jaringan uvea sehingga menimbulkan iridosiklitis
atau radang uvea anterior. Pada mata akan terlihat mata merah, akibat adanya darah di dalam
bilik mata depan maka akan terdapat suar dan pupil yang mengecil dengan tajam penglihatan
menurun.
Pada uveitis anterior diberikan tetes mata midriatik dan steroid topikal. Bila terlihat tanda
radang berat maka dapat diberikan steroid sistemik.
Sebaiknya pada mata ini diukur tekanan bola mata untuk persiapan memeriksa fundus dengan
midriatika.
Dislokasi lensa
Trauma tumpul lensa dapat mengakibatkan dislokasi lensa.
Dislokasi lensa terjadi pada putusnya zonula Zinn yang akan
mengakibatkan kedudukan lensa terganggu.
Subluksasi lensa
Subluksasi lensa terjadi akibat putusnya sebagian zonula Zinn
sehingga lensa berpindah tempat. Subluksasi lensa dapat juga terjadi
spontan akibat pasien menderita kelainan pada zonula Zinn yang
rapuh (sindrom Marphan). Pasien pasca trauma akan mengeluh
penglihatan berkurang. Subluksasi lenssa akan memberikan
gambaran pada iris berupa iridodonesis.
Akibat pegangan lensa pada zonula tidak ada maka lensa yang elastis akan menjdai
cembung, dan mata akan menjadi lebih miopik. Lensa yg menjadi sangat cembung
mendorong iris ke depa sehingga bilik mata tertutup. Bila sudut bilik mata menjadi sempit
pada mata ini mudah terjadi glaukoma sekunder.
Subluksasi dapat mengakibatkan glaukoma sekunder dimana terjadi penutupan sudut bilik
mata oleh lensa yang mencembung. Bila tidak terjadi penyulit subluksasi lensa seperti
Katarak trauma
Katarak akibat cedera pada mata dapat akibat trauma
perforasi ataupun tumpul terlihat sesudah beberapa hari
ataupun tahun. Pada trauma tumpul akan terlihat katarak
subkapsular anterior ataupun posterior. Kontusio lensa
menimbulkan katarak seperti bintang, dan dapat pula dalam
bentuk katarak tercetak (imprinting) yang disebut cincin
Vossius.
Trauma tembus akan menimbulkan katarak yang lebih
cepat, perforasi kecil akan menutup dengan cepat akibat proliferasi epitel sehingga bentuk
kekeruhan terbatas kecil. Trauma tembus besar pada lensa akan mengakibatkan terbentuknya
katarak dengan cepat disertai dengan terdapatnya masa lensa di dalam bilik mata depan.
Pada keadaan ini akan terlihat secara histopatologik masa lensa yang akan bercampur
makrofag dengan cepatnya, yang dapat memberikan bentuk endoftalmitis fakoanafilaktik.
Lensa dengan kapsul anterior saja yang pecah akan menjerat korteks lensa sehingga akan
mengakibatkan apa yang disebut sebagai cincin Soemering atau bilaepitel lensa berproliferasi
aktif akan terlihat mutiara Elsching.
Cincin Vossius
Pada trauma lensa dapat terlihat apa yang disebut sebagai
cincin Vossius yang merupakan cincin berpigmen yang
terletak tepat di belakang pupil yang dapat terjadi segera
setelah trauma, yang merupakan deposit pigmen iris pada
dataran depan lensa sesudah sesuatu trauma, seperti suatu
stempel jari. Cincin hanya menunjukkan tanda bahwa mata
tersebut telah mengalami suatu trauma tumpul.
Ablasi retina
Trauma diduga merupakan pencetus untuk terlapasnya
retina dari koroid pada penderita ablasi retina. Biasanya
pasien telah mempunyai bakat untuk terjadinya ablasi
retina ini seperti retina tipis akibat retinitis semata,
miopia, dan proses degenerasi retina lainnya. Pada pasien
akan terdapat keluhan seperti adanya selaput yang seperti
tabir mengganggu lapang pandangnya. Bila terkena atau
tertutup daerah makula maka tajam penglihatn akan
menurun.
Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat retina yang berwarna abu-abu dengan
pembuluh darah yang terlihat terangkat dan berkelok-kelok. Kadang-kadang terlihat
pembuluh darah seperti yang terputus-putus. Pada pasien dengan ablasi retina maka
secepatnya dirawat untuk dilakukan pembedahan oleh dokter mata.
Ruptur Koroid
Pada trauma keras dapat terjadi perdarahan subretina yang dapat merupakan akibat ruptur
koroid. Ruptur ini biasanya terletak di polus posterior bola mata dan melingkar konsentris di
sekitar papil saraf optik.
Bila ruptur koroid ini terletak atau mengenai daerah makula lutea maka tajam penglihatan
akan turun dengan sangat. Ruptur ini bila tertutup oleh perdarahan subretina agak sukar
dilihat akan tetapi bila darah tersebut telah diabsorpsi maka akan terlihat bagian ruptur
berwarna putih karena sklera dapat dilihat langsung tanpa tertutup koroid.
Definisi
Hifema adalah suatu keadaan dimana didalam bilik mata depan ditemukan darah. Darah
didalam bilik mata depan yaitu daerah di antara kornea dan iris, yang dapat terjadi akibat
trauma tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar dan bercampur dengan
humor aqueus (cairan mata) yang jernih. Darah yang terkumpul di bilik mata depan biasanya
terlihat dengan mata telanjang. Walaupun darah yang terdapat di bilik mata depan sedikit,
tetap dapat menurunkan penglihatan. Dapat mengisi seluruh bilik mata atau hanya bagian
bawah bilik mata depan. Darah didalam bilik mata depan biasa terdapat pada cedera mata,
trauma bedah, discrasia darah (hemofilia) dan tumor intra kranial.
Hifema
Darah pada hifema dikeluarkan dari bilik mata depan dalam bentuk sel darah merah
melalui kanalis Schlemm dan permukaan depan iris. Penyerapan melaui permukaan depan
iris ini dipercepat dengan adanya kegiatan enzim fibrinolitik yang berlebihan didaerah ini.
Sebagian hifema dikeluarkan dalam bentuk hemosiderin. Bila terdapat penumpukkan
hemosiderin pada COA, hemosiderin dapat masuk kedalam lapisan kornea, menyebabkan
kornea menjadi berwarna kuning, dan disebut hemosiderosis atau imbibisi kornea. Imbibisi
kornea dapat dipercepat terjadinya, disebabkan oleh hifema yang penuh disertai glaucoma.
Adanya darah dalam COA dapat menghambat aliran cairan bilik mata oleh karena unsur
darah menutupi COA dan trabekula, sehingga terjadi glaucoma.
Darah pada hifema bisa berasal dari badan siliar, yang mungkin dapat masuk ke dalam
badan kaca (corpus vitreum). Sehingga pada punduskopi gambaran pundus tidak tampak, dan
ketajaman penglihatan menurunnya lebih banyak. Bila hifema sedikit, ketajaman penglihatan
mungkin masih baik dan tekanan intraokular masih normal. Sedangkan perdarahan yang
mengisi setengah COA dapar menyebabkan gangguan visus dan kenaikan tekanan
intraocular, sehingga mata terasa sakit oleh karena glaukoma.
Hifema dapat terjadi akibat trauma tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau badan
siliar (corpus ciliaris). Pasien akan mengeluh sakit, disertai epifora dan blefarospasme.
Penglihatan pasien akan sangat menurun. Bila pasien duduk hifema akan terlihat terkumpul
Hematokornea;
infiltrasi darah diikuti oleh perdarahan yang menetap. (perdarahan pada hifema)
Etiologi
Penyebab hifema adalah :
Gaya-gaya akibat kontusif sering merobek pembuluh-pembuluh iris dan merusak sudut
kamera okuli anterior biasanya pada trauma tumpul atau trauma tembus.
Perdarahan spontan dapat terjadi pada mata dengan rubeosis iridis, tumor pada iris, retino
blastoma, dan kelainan darah.
Perdarahan pasca bedah, bisa juga terjadi pada pasca bedah katarak kadang-kadang
pembuluh darah baru yang terbentuk pada kornea dan limbus pada luka bekas operasi
bedah katarak dapat pecah sehingga timbul hifema
Klasifikasi
Berdasarkan waktu terjadinya hifema, maka dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu :
1. Primer
Perdarahan yang terjadi segera sesudah trauma
2. Sekunder
Biasanya timbul setelah 5-7 hari sesudah trauma. Perdarahan lebih hebat dari yang
primer. Oleh karena itu seorang dengan hifema harus dirawa sedikitnya 5 hari.
Perdarahan ulang terjadi pada 16 sampai 20% kasus dalam 2 sampai 3 hari. Perdarahan
sekunder ini terjadi oleh karena resorbsi dari bekuan darah yang terjadi terlalu cepat,
sehingga pembuluh darah tidak dapat waktu cukup untuk regenerasi kembali.
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin dapat terjadi pada kasus hifema adalah
Imbibisi kornea
Darah yang terdapat pada hifema dikeluarkan dari bilik mata depan dalam bentuk sel
darah merah melalui bilik mata (kanal schlem) dan permukaan depan iris. Penyerapan
melalui permukaan depan iris ini dipercepat dengan adanya kegiatan enzim fibrinolitik
yang berlebihan didaerah ini. Sebagian hifema dikeluarkan dalam bentuk hemosiderin.
Bila terdapat hemosiderin yang berlebihan dalam bilik mata depan maka dapat terjadi
penimbunan pigmen ini didalam lapisan-lapisan kornea yang berwarna kecoklat-coklatan
yang disebut imbibisi kornea. Jika sudah terjadi seperti ini hanya dapat diperbaiki dengan
keratoplasty.
Glaukoma
Glaukoma akut terjadi apabila jaringan trabekular tersumbat oleh fibrin dan sel atau
apabila pembentukan bekuan darah menyebabkan penyumbatan pupil. Hal ini terjadi
akibat darah dalam bilik mata, karena 18lauco-unsur darah menutupi sudut bilik mata
trabekula, sehingga hal ini akan menyebabkan tekanan intraocular.
Uveitis
Kebutaan
Zat besi didalam mata dapat menimbulkan siderosis bulbi yang bila didiamkan dapat
menimbulkan fitsis bulbi dan kebutaan.
Prognosis
Prognosis pada kasus hifema pada jumlah darah dalam bilik mata depan :
1. Bila darah sedikit maka darah ini akan hilang dan akan jernih sempurna
2. Bila darah lebih dari setengah tinggi bilik mata depan maka prognosisnya akan buruk dan
disertai dengan penyulit.
3. Dan bila hifema yang penuh didalam bilik mata depan akan memberikan prognosis yang
lebih buruk
Hifema sekunder yang terjadi 5-7 hari sesudah trauma biasanya dapat memberikan rasa yang
sakit. Pada hifema sekunder terjadi akibat gangguan mekanisme pembekuan atau
penyembuhan luka sehingga mempunyai prognosis buruk.
Beyer TL, Hirst LW. Corneal blood staining at low pressures. Arch Ophthalmol
1985;103:654-655.
Hazinski, Mary Fran, et. al. Highlights of the 2010: Guidelines for CPR and ECC. American
Heart Association. 2010
Ilyas, Sidarta. Atlas Ilmu Penyakit Mata, Sagung Seto, Jakarta 2001.
Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata. Balai Penerbit FKUI, Jakarta 2009
Ilyas, Sidarta. Kedaruratan dalam Ilmu Penyakit Mata, Balai Penerbit FKUI, Jakarta 2000.
Ilyas, Sidarta. Penuntun Ilmu Penyakit Mata, Balai Penerbit FKUI, Jakarta 1996.
McDonnell PJ, Green WR, Stevens RE, Bargeron CB, Riquelme JL. Blood staining of the
cornea. Ophthalmology 1985;92:1668-1674.
Messmer EP, Gottsch J, Font RL. Blood staining of the cornea: a histopathologic analysis of
16 cases. Cornea 1985;3:205-212.
Price, Wlison. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC
Purnomo, Basuki B. Dasar-dasar Urologi edisi ketiga. Sagung Seto, Jakarta. 2011
Purwadianto, Agus.2000. Kedaruratan Medik. Jakarta Barat : Binarupa Aksara
R. Sjamsuhidajat, Wim de Jong.2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta : EGC
Sankar PS, Chen TC, Grosskreutz CL, Pasquale LR. Traumatic hyphema. Int Ophthalmol
Clin 2002;42:57-68.
Vaughan D. G. Oftalmologi Umum. Widya Medika, Jakarta 2001.
Walton W, von Hagen S, Grigorian R, Zarbin M. Management of traumatic hyphema. Surv
Ophthalmol 2002;47:297-334.