Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN MAKALAH BLOK 20

KELOMPOK 3

TOPIK “BATUK”

ANGGOTA KELOMPOK :

Achmad Hafiz Hasyim 20180350088

Bagus Hidayaturrohim 20180350008

Findy Nadya Pramesty 20180350054

Fitri Rahmayanti 20180350109

Indah Hariyanti 20180350111

Lisa Aulia Hakim 20180350007

Novita Zulaekhah 20180350103

Salsabila Milando Pradani Z. 20180350037


DAFTAR ISI
BAB 1..............................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...........................................................................................................................4
A. Latar Belakang......................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah.................................................................................................................6
C. Tujuan...................................................................................................................................6
BAB 2..............................................................................................................................................8
PEMBAHASAN..............................................................................................................................8
A. Obat.......................................................................................................................................8
B. Swamedikasi.......................................................................................................................11
C. Batuk...................................................................................................................................15
BAB III..........................................................................................................................................24
KESIMPULAN..............................................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................25
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengertian kesehatan menurut World Health Organization, Kesehatan merupakan

keadaan sempurna, baik fisik, mental, maupun sosial dan bukan hanya tidak adanya

penyakit atau kecacatan. Upaya untuk meningkatkan masyarakat guna mengatasi masalah

kesehatan yaitu dengan melakukan pengobatan sendiri secara tepat, aman dan rasional

(Permenkes, 1993). Upaya masyarakat untuk mengobati dirinya sendiri dikenal dengan

istilah Swamedikasi. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes, 1993),

swamedikasi diartikan sebagai upaya pengobatan yang dilakukan secara mandiri untuk

mengobati gejala sakit atau penyakit tanpa konsultasi dengan dokter terlebih dahulu.

Dalam pelaksanaan pengobatan sendiri atau yang disebut swamedikasi harus sesuai

dengan kriteria penggunaan obat rasional antara lain ketepatan pemilihan obat, ketepatan

dosis obat, ketepatan interval waktu pemberian, ketepatan cara pemberian, ketepatan

lama pemberian dan waspada terhadap efek samping obat (Nurmasari, 2016).

Berbagai kalangan dari masyarakat banyak yang melakukan swamedikasi sebagai

usaha untuk merawat keluhan atau sakit yang di alaminya. Data Badan Pusat Statistik

tahun 2014 menunjukkan bahwa 61,05% masyarakat Indonesia melakukan swamedikasi

(BPS,2016). Prevalensi swamedikasi cenderung mengalami peningkatan di kalangan

masyarakat untuk mengatasi gejala atau penyakit yang dianggap ringan seperti demam,

nyeri, pusing, influenza, sakit maag, kecacingan, diare, penyait kulit dan batuk

(Restiyono, 2016). Data World Health Organization (WHO) menyatakan sebanyak 80%

masyarakat di berbagai negara melakukan swamedikasi (Izzatin, 2015). Swamedikasi


yang dilakukan oleh penduduk Indonesia sebesar 62,65% di perkotaan dan 61,88% di

pedesaan sedangkan lainnya melakukan pengobatan dengan menggunakan resep dokter

(Supardi et al., 2011). Peningkatan swamedikasi dapat diengaruhi oleh beberapa faktor,

seperti faktor sosioekonomi, kemudahan akses, gaya hidup, faktor linkungan, demografis,

dan ketersediaan obat. Pengobatan sendiri ini sebagai alternatif yang diambil masyarakat

untuk meningkatkan pengobatan dikarenakan semakin mahalnya biaya ke dokter, tidak

cukupnya waktu yang dimiliki untuk berobat (antri di Rumah Sakit), atau kurangnya

akses ke fasilitas-fasilitas kesehatan sehingga masyarakat lebih cenderung memilih

pengobatan sendiri atau swamedikasi ketika sedang mengalami sakit (Atmoko dan

Kurniawati, 2009).

Batuk merupakan mekaisme tubuh untuk mengeluarkan benda asing atau dahak

dari saluran nafas bagian atas dan paru-paru. Batuk dapat melindungi masuknya bendaa

asing dari saluran pernafasan atas (Fauzi, 2018). Secara umum terdapat 2 macam batuk

yaitu batuk kering dan batu berdahak. Batuk kering disebabkan oleh alergi, makanan,

udara, dan obat-obatan. Sedangkan batuk berdahak ini disebabkan oleh infeksi

mikroorganisme atau virus dan disertai adanya lendir atau dahak. Pengetahuan mengenai

pemilihan obat yang rasional sesuai batuk yang dialami oleh pasien, untuk batuk

berdahak digunakan obat golongan mukolitik (pengencer dahak) dan ekspektoran

(membantu mengeluarkan dahak), sedangkan untuk batuk kering digunakan obat

golongan antitusif (penekan batuk). Obat batuk banyak diiklankan dan bisa

diperoleh tanpa resep dokter atau dikenal sebagai obat bebas (over-the-counter

medicine). Jenis obat batuk bebas yang sering ada di pasaran adalah jenis ekspektoran

dan antitusif (Corellie, 2007).


Saat ini masyarakat yang saat sedang mengalami batuk tidak meminum obat

batuk, melainkan melakukan swamedikasi non farmakologi seperti minum air

hangat, minum perasan jeruk dan adapula yang meminum obat yang berdasarkan

iklan yang berasal dari media sosial atau berdasarkan informasi orang lain. Obat-obat

yang dipilih mengandung lebih dari satu zat aktif yang kurang sesuai untuk

pengobatan batuk. Alasan masyarakat Indonesia melakukan swamedikasi atau

peresepan sendiri karena penyakit dianggap ringan, harga obat yang lebih murah dan obat

mudah diperoleh, walaupun jumlah dokter dan rumah sakit bertambah, hal ini

tidak mempengaruhi masyarakat untuk melakukan tindakan swamedikasi. Maka

pengetahuan mengenai obat batuk sangat dibutuhkan dalam memilih obat yang benar

saat mengalami batuk. Oleh karena itu makalah ini dilakukan untuk menjadi bahan dalam

pemilihan obat pada swamedikasi batuk, sehingga dimaksudkan akan berdampak

positif kepada apoteker untuk lebih dapat menjelaskan dengan benar fungsi dari masing-

masing obat batuk yang akan dipilih oleh pasien.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah definisi obat dan penggolongan obat?

2. Apakah definisi swamedikasi dan golongan obat untuk swamedikasi?

3. Apakah definisi batuk dan jenis-jenis batuk?

4. Bagaimana penatatalaksanaan terapi farmakologi dan non-farmakologi batuk?

5. Bagaimana penatalaksanaan swamedikasi dari contoh kasus?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui definisi obat serta penggolongan obat.


2. Untuk mengetahui definisi swamedikasi serta golongan obat yang dapat digunakan

untuk swamedikasi.

3. Untuk mengetahui definisi batuk serta jenis-jenis batuk.

4. Untuk mengetahui penatatalaksanaan terapi farmakologi dan non farmakologi batuk.

5. Untuk mengetahui penatalaksanaan swamedikasi dari contoh kasus.


BAB 2

PEMBAHASAN
A. Obat

1. Pengertian obat

Menurut Permenkes No. 73 Thn 2016, obat adalah bahan atau campuran bahan,

termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki

system fisiologi atau keadaan patologi dalam penetapan diagnosis, pencegahan,

penyembuhan, pemulhan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia.

2. Penggolongan obat

Penggolongan obat menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

917/Menkes/Per/X/1993 dibedakan menjadi : obat bebas, obat bebas terbatas, obat

wajib apotek, obat keras, psikotropika dan narkotika.

A. Obat bebas

Obat bebas merupakan obat yang dapat dibeli secara bebas tanpa menggunakan

resep dokter. Zat aktif yang terkandung didalamnya cenderung relative aman dan

meiliki efek samping yang rendah. Obat ini disimbolkan dengan lingkaran

berwarna hijau bergaris tepi hitam. Contih obat bebas yaitu : paracetamol,

ibuprofen, oralit, vitamin C, dll.

B. Obat bebas terbatas

Obat bebas terbatas termasuk dalam obat daftar W

(W: Waarschuwing = peringatan/waspada) merupakan obat keras yang dapat

dibeli tanpa resep dokter namun penggunaannya harus memperhatikan indormasi


obat pada kemasan. Pembelian obat ini dibatasi jumlahnya dan kadar isi berhasiat

harus disertai tanda peringatan P1-P6. Obat ini disimbolkan dengan lingkaran biru

dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh obat bebas terbatas yaitu : obat flu,

antihistamin (CTM, dimenhidrinat), dll.

Gambar 1. Peringatan Obat

C. Obat keras

Obat keras merupakan obat yang berbahay sehingga pemakaiannya harus di

bawah pengawasan dokter dan obat hanya dapat diperoleh dariapotek, puskesmas

dan fasilitas Kesehatan lain. Obat keras dulunya termasuk dalam obat daftar G

atau ”Gevaarlijk”, berbahaya. Obat keras disimbolkan dengan lingkaran merah

tepi hitam yang ditengahnya terdapat huruf “K” berwarna hitam. Contohnya yaitu

antibiotic, obat jantung, obat hipertensi, dll.

D. Obat wajib apotek

Obat wajib apotek merupakan obat keras yang dapat diserahkan oleh apoteker

pengelola apotek tanpa resep dokter. Obat ini dibuat untuk meningkatkan

kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya sehingga tercipta budaya

pengobatan sendiri yang tepat, aman, dan rasional.

E. Psikotropika dan narkotika


Psikotropika merupakan zat atau obat yang secara alamiah ataupun buatan

yang berkhasiat untuk memberikan pengaruh secara selektif pada system saraf

pusat dan dapat menyebabkan perubahan pada aktivitas mental dan perilaku. Obat

golongan ini masih digolongkan obat keras sehingga disimbolkan dengan

lingkaran merah tepi hitam yang ditengahnya terdapat huruf “K” berwarna hitam.

Narkotika merupakan obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman

baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan perubahan

kesadaran. Narkotika disimbolkan dengan lingkaran merah yang ditengahnya

terdapat symbol palang (+).

Gambar 2. Psikotropika dan Nartokita


(Sumber : Nuryati,2017)
Gambar 3. Logo
(Sumber : Nuryati, 2017)

B. Swamedikasi

a. Definisi Swamedikasi

Menurut World Health Organization (WHO), swamedikasi atau pengobatan

sendiri merupakan pemilihan dan penggunaan obat-obatan modern, herbal, maupun obat

tradisional yang dilakukan oleh seseorang dalam mengatasi penyakit atau gejala penyakit

yang di derita (WHO, 1998). Sedangkan The International Pharmaceutical Federation

(FIP) mendefinisikan swamedikasi sebagai penggunaan tanpa resep yang diberikan

dokter oleh seolah individu atas inisiatifnya sendiri (FIP, 1999).

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No

919/MENKES/PER/X/1993), secara sederhana swamedikasi adalah upaya seseorang

dalam mengobati gejala sakit atau penyakit tanpa konsultasi dengan dokter terlebih

dahulu, namun bukan berarti asal mengobati, justru pasien harus mencari informasi obat

yang sesuai dengan penyakitnya. Swamedikasi boleh dilakukan untuk kondisi penyakit

yang ringan, umum dan tidak akut. Lima komponen informasi yang diperlukan untuk
swamedikasi yang tepat menggunakan obat modern, yaitu pengetahuan tentang

kandungan aktif obat, indikasi dosis, efek samping, dan kontraindikasi (Wulandari,

2010). Swamedikasi biasanya dilakukan untuk mengatasi keluhan-keluhan dan penyakit

ringan yang banyak dialami masyarakat seperti demam, nyeri, batuk, flu, serta berbagai

penyakit lain (Depkes, 2006).

Pelaksanaan swamedikasi didasari oleh pemikiran bahwa pengobatan sendiri

cukup untuk mengobati masalah kesehatan yang dialami tanpa melibatkan tenaga

kesehatan Alasan lain adalah karena semakin mahalnya biaya pengobatan ke dokter, tidak

cukupnya waktu yang dimiliki untuk berobat, atau kurangnya akses ke fasilitas–fasilitas

kesehatan (Hermawati, 2012).

b. Penggolongan Obat Swamedikasi

Sesuai dengan peraturan Menteri Kesehatan No. 919/MenKes/PER/X/1993

mengenai obat yang bisa digunakan dalam pengobatan sendiri atau swamedikasi yaitu:

1. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan Wanita hamil, anak dibawah 2 tahun

dan orang tua di atas 65 tahun

2. Pengobatan sendiri yang di maksud tidak memberikan resiko pada kelanjutan

penyakit

3. Penggunaan tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus dilakukan oleh

tenaga Kesehatan

4. Penggunaan di perlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia

5. Obat yang di maksud memiliki rasio efek samping minimal dan dapat

dipertanggungjawabkan khasiatnya untuk pengobatan sendiri


Adapun jenis obat-obatan yang dapat digunakan dalam swamedikasi menurut

Departemen Kesehatan (2006) yaitu:

1. Obat Bebas

Obat bebas adalah obat yang dijual secara bebas diwarung, toko obat dan

apotek. Pemakaian obat bebas ditujukan untuk mengatasi penyakit ringan

sehingga tidak memerlukan pengawasan dari tenaga medis selama diminum

sesuai petunjuk yang tertera pada kemasan. Hal ini dikarenakan jenis zat aktif

pada obat bebas relatif aman dan efek samping yang ditimbulkan minimum.

Karena semua informasi penting tertera pada kemasan atau brosur informasi di

dalamnya. Tanda khusus pada obat bebas adalah tanda berupa lingkaran hijau

dengan garis tepi berwarna hitam. Yang termasuk golongan obat bebas contohnya

adalah analgetik-antipiretik (parasetamol), vitamin dan mineral (BPOM, 2004).

2. Obat Bebas Terbatas

Obat bebas terbatas adalah obat keras yang dapat dibeli tanpa

menggunakan resep dokter. Golongan obat ini disebut juga obat W

(Waarschuwing) yang artinya waspada. Diberi nama obat bebas terbatas karena

ada batasan jumlah dan kadar dari zat aktifnya. Tanda khusus pada kemasan obat

bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam.

Obat ini hanya dijual di apotek atau toko obat berizin yang dikelola oleh

minimal asisten apoteker dan harus dijual dengan kemasan aslinya. Hal ini

disebabkan karena obat bebas terbatas aman jika digunakan sesuai dengan

petunjuk. Oleh karena itu obat bebas terbatas dijual dengan disertai beberapa

peringatan dan informasi memadai bagi masyarakat luas. Contoh obat bebas
terbatas adalah obat batuk, obat flu, obat pereda rasa nyeri, dan obat yang

mengandung antihistamin (Depkes, 2006).

3. Obat Wajib Apotek (OWA)

Obat Wajib Apotek adalah golongan obat yang wajib tersedia di apotek.

Merupakan obat keras yang dapat diperoleh tanpa resep dokter. Obat ini aman

dikonsumsi bila sudah melalui konsultasi dengan apoteker. Tujuan

digolongkannya obat ini adalah untuk melibatkan apoteker dalam praktik

swamedikasi. Tidak ada logo khusus pada golongan obat wajib apotek, sebab

secara umum semua obat OWA merupakan obat keras. Sebagai gantinya telah

didaftarkan Obat Wajib Apotek apa saja yang boleh di gunakan dalam

swamedikasi. Obat wajib apotek terdiri dari kelas terapi oral kontrasepsi, obat

saluran cerna, obat mulut serta tenggorokan, obat saluran nafas, obat yang

mempengaruhi sistem neuromuskular, anti parasit dan obat kulit topikal (BPOM,

2004).

c. Tanggungjawab Apoteker dalam Pelaksanaan Swamedikasi

Apoteker adalah seorang sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan

telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker serta memiliki Surat Ijin Praktek Apoteker

(SIPA). Peran dari Apoteker adalah melakukan pelayanan kefarmasian (Pharmaceutical

Care) yang merupakan pelayanan dan tanggung jawab langsung sebagai profesi Apoteker

dalam pekerjaan kefarmasian demi meningkatkan kualitas hidup pasien (Depkes RI,

2004).

Apoteker dalam melaksanakan pelayanan swamedikasi dituntut untuk berinteraksi

dan berkomunikasi terhadap pasien dengaan baik. Misalnya, menanyakan keluhan pasien.
Tujuan dari hal tersebut adalah untuk mempermudah apoteker dalam menentukan

pemilihan obat secara tepat berdasarkan indikasi yang diderita pasien. Apabila apoteker

memberikan obat yang diminta oleh pasien, maka harus mengacu pada peraturan yang

berlaku, guna menentukan jumlah dosis yang tepat. Selain itu, apoteker juga wajib

melakukan pemantauan terapi obat (PTO). Tujuan dari PTO adalah untuk memastikan

bahwa pasien mendapatkan terapi obat yang efektif, terjangkau dengan memaksimalkan

efikasi dan meminimalkan efek samping. Berdasarkan dari hal tersebut, apoteker perlu

mengakses identitas pasien serta membuat catatan pengobatan agar proses PTO berjalan

dengan baik (Depkes RI, 2014).

Apoteker dituntut untuk benarbenar paham mengenai obat-obatan yang digunakan

dalam swamedikasi, sehingga mampu memberikan informasi obat secara tepat.

Informasi obat yang diberikan dapat berupa dosis dan aturan pakai, kontraindikasi, efek

samping, penyimpanan obat dan apoteker harus memastikan bahwa, pasien benar-benar

paham dengan informasi yang diberi oleh apoteker (Depkes RI, 2016).

C. Batuk

1. Definisi Batuk

Batuk adalah mekanisme tubuh untuk mengeluarkan benda asing atau dahak dari saluran nafas

bagian atas dan paru-paru. Batuk juga merupakan salah satu mekanisme pertahanan tubuh dari

saluran pernapasan dan menjadi refleks yang terangsang karena adanya iritasi paru atau saluran

pernapasan (Fauzi, 2018).

2. Etiologi Batuk

Batuk dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain :


1. Infeksi

Produksi dahak yang sangat banyak karena infeksi saluran pernapasan. Stimulasi infeksi

ditimbulkan oleh peradangan lapisan mukosa (lendir) saluran pernapasan yang disebabkan

oleh bakteri, virus, dan merokok yang berlebihan.

2. Alergi

 Masuknya benda asing secara tidak sengaja ke dalam saluran pernapasan. Misalnya debu,

asap, cairan dan makanan.

 Mengalirnya cairan hidung ke arah tenggorokan dan masuk ke saluran  pernapasan.

Misalnya rhinitis alergika.

 Penyempitan saluran pernapasan

3. Efek samping penggunaan obat

Pada 10% pasien batuk dapat disebabkan oleh induksi obat-obatan, seperti pengahambat

Angiotensin Converting Enzim (ACE) (Tietze, 2004).

3. Patofisiologi Batuk

Batuk disebabkan oleh stimulasi pada reseptor, baik pada reseptor kimiawi maupun

mekanik yang terletak di lapisan mukosa (lendir) saluran pernapasan dan paru-paru. Kemudian

rangsang tersebut dibawa oleh serabut syaraf menuju ke pusat batuk di otak yang kemudian akan

mengkoordinir otot-otot tulang iga, otot-otot perut dan diagfragma (sekat antara rongga dada dan

rongga perut) sehingga menyebabkan terjadinya batuk.

Pada dasarnya mekanisme batuk dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase inspirasi, fase

kompresi dan fase ekspirasi. Batuk dimulai dengan tarikan nafas yang dalam diikuti dengan

penutupan glotis (katup tenggorokan), dan kontraksi yang kuat pada dinding dada, dinding perut
dan otot diafragma yang melawan glotis yang terturup. Ketika glotis terbuka, terjadi pengeluaran

nafas kuat yang mendorong pengeluaran mucus, debu, dan benda asing dari sistem pernapasan

bawah. Pusat kontrol batuk terdapat pada medula tetapi terpisah dari pusat kontrol pernapasan

yang akan menciptakan suatu respon batuk yang kompleks (Tietze, 2004).

4. Jenis-jenis Batuk

Batuk terbagi atas batuk produktif dan batuk non produktif. Batuk produktif (batuk

berdahak) merupakan batuk dengan disertai pengeluaran secret dari saluran pernafasan bawah

yang bila ditahan untuk tidak dikeluarkan dapat menurunkan kemampuan jalan pernafasan dan

paru-paru dalam melawan infeksi. Secret yang dikeluarkan dapat berupa cairan bening (pada

bronkhitis), purulent (pada infeksi bakteri), berwarna kruh ataupun berbau (pada infeksi bakteri

anaerob). Batuk nonproduktif (batuk kering) menimbulkan ketidaknyamanan dalam beraktivitas.

Batuk nonproduktif dapat disebabkan oleh infeksi virus pada saluran pernafasan, infeksi bakteri,

penyakit refluks gastroesophageal,peenyakit jantung dan obat-obatan (Tietze, 2004).

a. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologis adalah terapi dengan menggunakan obat, secara garis besar obat batuk

dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu :

a) Antitusif

Antitusif menurut Wijoyo (2000) adalah golongan obat yang bersifat

meredakan/menekan batuk. Mekanisme kerja obat golongan antitusif yaitu dengan cara

menekan pusat-pusat batuk secara langsung, baik yang berada di sumsum sambungan

(medulla) atau mungkin bekerja terhadap pusat saraf yang lebih tinggi (di otak) dengan

efek menenangkan. Obat golongan ini cocok digunakan untuk meringankan gejala batuk

kering/non-produktif. Golongan antitusif meliputi kodein, dekstrometorfan, dan

difenihidramin.

Kodein banyak digunakan sebagai pereda batuk dan penghilang rasa sakit (Tjay dan

Rahardja, 2002). Kodein diindikasikan untuk menekan batuk yang disebabkan oleh bahan

kimia atau mekanik pengiritasi saluran pernafasan, tetapi tidak efektif untuk batuk akut

yang disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan akut (Tietze, 2000). Umumnya

kodein pada dosis sebagai antitusif mempunyai toksisitas rendah dan dapat menimbulkan

resiko adiksi. Kodein bekerja dengan menekan pusat batuk pada medulla dan nucleus

tractus solaris untuk meningkatkan ambang batuk. Kodein dapat menimbulkan efek

samping antara lain mual, muntah, mengantuk, pening, dan konstipasi.

Dekstrometorfan diindikasikan untuk menekan batuk yang berhubungan dengan alergi

dan infeksi pada orang dewasa dan anak-anak dengan usia diatas 2 tahun.

Dekstrometorfan berkhasiat menekan batuk yang sama kuatnya dengan kodein tetapi

bertahan lebih lama dan tidak bersifat analgesik, sedatif, sembelit atau adiktif.

Efek samping dekstrometorfan hanya ringan dan terbatas pada rasa mengantuk, pusing,
nyeri kepala, dan gangguan usus lambung (Tjay dan Rahardja, 2002).

Golongan antitusif yang ketiga adalah difenhidramin HCl. Difenihidramin HCl

diindikasikan untuk batuk karena salesma atau alergi (Tietze, 2000). Difenhidramin

sebagai zat antihistamin, persenyawaannya bersifat hipnotis-sedatif dan dengan demikian

meredakan rangsangan batuk (Tjay dan Rahardja, 2002). Efek samping yang dapat

ditimbulkan oleh difenhidramin antara lain mengantuk, koordinasi tubuh terganggu,

depresi pernafasan, retensi urin, dan mulut menjadi kering. Difenhidramin menekan efek

dari narkotik, analgesik non narkotik, benzodiazepam, dan alkohol pada susunan saraf

pusat (Tietze, 2000).

b) Ekspektoran

Obat ini mempunyai fungsi berkebalikan dengan antitusif. Obat golongan ekspektoran

merangsang pengeluaran dahak dari saluran nafas. Mekanisme kerja obat ini diduga

berdasarkan stimulasi mukosa lambung dan selanjutnya secara refleks merangsang

sekresi kelenjar saluran nafas, sehingga menurunkan viskositas dan mempermudah

pengeluaran dahak. Obat batuk golongan ini digunakan untuk meringankan batuk

berdahak atau batuk produktif. Zat aktif yang termasuk golongan ekspektoran antara lain

gliseril guaikolat (guaifenesin), dan amonium klorida (Wijoyo, 2000).

Guaifenesin melonggarkan dan mengencerkan sekresi saluran pernafasan, dan

meminimalkan produksi dari batuk produktif. Efek samping yang dapat timbul antara lain

mual, muntah, pusing, ruam-ruam, diare, mengantuk, dan sakit perut. Guaifenesin

dikontraindikasikan pada orang-orang yang mempunyai hipersensitivitas terhadap

guaifenesin (Tietze, 2004).

Amonium klorida merupakan garam amonium yang banyak ditemukan dalam obat
batuk dan tidak memiliki efek samping yang serius. Dan berfungsi sebagai

pengencer dahak (Li Wan Po, 1990).

c) Mukolitik

Mukolitik adalah golongan obat batuk yang mekanisme kerjanya hampir sama dengan

ekspektoran. Mukolitik bekerja dengan mengencerkan sekret saluran nafas dengan jalan

memecah benang-benang mukoprotein dan mukopolisakarida dari dahak. Mukolitik

digunakan secara efektif pada batuk dengan dahak yang kental sekali seperti bronchitis

dan mempermudah pengeluaran dahak yang telah menjadi lebih encer. Agen mukolitik

bekerja dengan cara mengubah viskositas sputum melalui aksi kimia langsung pada

ikatan komponen mucoprotein. Obat batuk yang termasuk golongan mukolitik antara lain

asetilsistein, bromheksin, dan ambroksol (Tjay dan Rahardja, 2002).

b. Terapi Non-Farmakologi

Umumnya batuk berdahak dan tidak berdahak dapat dikurangi dengan cara sebagai berikut :

- Memperbanyak minum air putih, untuk membantu mengencerkan dahak, mengurangi

iritasi atau rasa gatal.

- Menghindari paparan debu, minuman atau makanan yang merangsang tenggorokan

seperti makanan yang berminyak dan minuman dingin

- Menghindari paparan udara dingin

- Menghindari merokok dan asap rokok karena dapat mengiritasi tenggorokan sehingga

dapat memperparah batuk

- Menggunakan zat - zat Emoliensia seperti madu, atau tablet hisap pelega tenggorokan. Ini

berfungsi untuk mengurangi iritasi pada tenggorokan dan selaput lendir.


- Menghirup uap panas untuk mencairkan sekresi cairan hidung yang kental supaya mudah

di keluarkkan

- Bila batuk sudah 3 hari tidak sembuh ke dokter

- Pada bayi dan balita batuk di sertai nafas cepat atau sesak, harus segera di bawa ke dokter

atau pelayanan kesehatan

- Minum obat batuk yang sesuai dengan gejala.

5. Contoh Kasus

1. Seorang anak bernama Rika, usia 5 tahun sedang mengalami batuk berdahak dan dahak yang

dikeluarkan kental. Obat apakah yang cocok diberikan untuk membantu meredakan batuk

berdahak yang dialami Rika?

Jawab: Bisolvon Kids yang diberikan 3 kali sehari sebanyak 5 mL (1 sendok takar) sesudah

makan

Komposisi: Tiap sendok takar (5 ml) mengandung: Bromhexin HCl 4 mg

Cara Kerja Obat: Bekerja sebagai agen pengencer dahak (mukolitik)

Efek Samping: Diare, mual, muntah, dan gangguan GI ringan lain. Reaksi alergi, misalnya

ruam kulit, urtikaria, bronkospasme, angioedema, dan anafilaksis

Penyimpanan:Simpan pada suhu kamar (25 - 30 derajat Celsius).

Aturan Pakai: Dewasa dan anak > 10 tahun : 3 kali sehari 10 mL. Anak 5-10 tahun : 3 kali

sehari 5 mL. Anak 2-5 tahun : 2 kali sehari 5 mL sesudah makan


Bromhexine HCl digunakan sebagai agen mukolitik atau pengencer dahak (Jurnal Majalah

Farmasetika, 3 (4) 2018, 81-84)

2. Seorang mahasiswa bernama Zulfa (23 tahun) datang ke apotek mengeluh batuk kering dan

tenggorokannya gatal. Batuk ini sangat menganggu tidurnya. Obat apakah yang akan

diberikan untuk membantu mengatasi keluhannya?

Jawab: Sanadrryl DMP yang diberikan 3-4 x sehari 2 sendok takar (10 ml)

Komposisi: Dekstrometorphan HBr 10 mg, difenhidramin HCl 12,5 mg, amonium klorida

100mg, Na.sitrat 50 mg, mentol 1 mg/5 ml.

Cara kerja obat : Sanadryl DMP digunakan untuk meringankan gejala batuk tidak berdahak

yang menimbulkan rasa sakit atau batuk karena alergi. Kandungan Dextromethorphan HBr

berfungsi sebagai antitusif yang bisa menekan refleks batuk. Difenhidramin HCl bekerja

sebagai antihistamin/anti alergi untuk meredakan gejala alergi seperti bersin-bersin.

Indikasi: Meringankan gejala batuk tidak berdahak atau batuk karena alergi.

Aturan pakai: Dewasa: 3-4 x sehari 2 sendok takar (10 ml) Anak 6-12 tahun : 3-4 x sehari 1

sendok takar (5 ml)


Dextromethorphan HBr merupakan antitusif yang berfungsi untuk menekan batuk dan biasa

digunakan untuk meredakan batuk kering. Difenhidramin HCl juga dapat menekan reflex

batuk pada pusat batuk (Jurnal Majalah Farmasetika, 3 (4) 2018, 81-84).
BAB III

KESIMPULAN

1. swamedikasi atau pengobatan sendiri merupakan pemilihan dan penggunaan obat-obatan

modern, herbal, maupun obat tradisional yang dilakukan oleh seseorang dalam mengatasi

penyakit atau gejala penyakit yang di derita.

2. Batuk merupakan mekaisme tubuh untuk mengeluarkan benda asing atau dahak dari saluran

nafas bagian atas dan paru-paru. Batuk dapat melindungi masuknya bendaa asing dari saluran

pernafasan atas, secara umum terdapat 2 macam batuk yaitu batuk kering dan batu berdahak.

3. Adapun jenis obat-obatan yang dapat digunakan dalam swamedikasi menurut Departemen

Kesehatan (2006) yaitu Obat Bebas, Obat Bebas Terbatas, dan Obat Wajib Apotek.

4. Untuk terapi farmakologis, secara garis besar obat batuk dapat digolongkan menjadi tiga

yaitu antitusif (meredakan/menekan batuk), ekspektoran (merangsang pengeluaran dahak),

dan mukolitik (mengencerkan sekret).

5. Untuk terapi non farmakologis dari batuk dapat dilakukan dengan cara memperbanyak

minum air putih, menghindari paparan debu, menghindari paparan udara dingin, menghindari

merokok dan asap rokok, dll.


DAFTAR PUSTAKA

Atmoko, W., & Kurniawati, I. (2009). Swamedikasi: Sebuah respon realistik perilaku

konsumen di masa krisis (Vols. 2, 3). Bisnis dan Kewirausahaan.

Badan Pusat Statistik.2016. Statistik Indonesia. Jakarta : BPS.

BPOM., 2004, Pengobatan Sendiri, InfoPOM, 5(6), 2-3

Corelli, R. L., 2007. Therapeutic & Toxic Potential of Over-the-Counter Agents. In :

Katzung, B. G., Basic and Clinical Pharmacology. 10th ed. USA : McGraw Hill,

1045- 1046

Departemen Kesehatan Republik Indonesai, 2016, Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia No. 73 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek,

Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006, Pedoman Penggunaan Obat bebas dan

Obat Bebas Terbatas, Direktorat bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina

Kefarmasian dan Alat Kesahatan, Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2004. Standar Pelayanan Farmasi di Rumah

Sakit. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1027/MENKES/SK/X/2004. Departemen Kesehatan RI: Jakarta

Departemen Kesehatan RI. 1993. Permenkes No.919/MENKES/PER/X/1993. Jakarta

Departemen Kesehatan RI. Permenkes RI No. 917/Menkes Per/x/1993 Tentang

Penggolongan Obat. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 1993.


Depkes RI, 2006, Pedoman Penggunaan Obat bebas dan Obat Bebas Terbatas, Direktorat

bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesahatan,

Jakarta.

Depkes RI, 2014, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 35 Tahun 2014

tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Jakarta.

Depkes RI, 2016, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 73 Tahun 2016

tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Jakarta.

Fauzi, Lily Cyntia. 2018. Bingung Memilih Obat Batuk? Kenalilah Jenis Batuk Anda!.

Majalah Farmasetika, 3 (4) 2018, 81-84

https://doi.org/10.24198/farmasetika.v3i4.21631

Fauzi, Lily Cyntia., 2018. Bingung Memilih Obat Batuk? Kenalilah Jenis Batuk Anda!.

Majalah Farmasetika. Vol 3 (4). 81-84

FIP, 1999. Joint Statement By The International Pharmaceutical Federation and The World

SelfMedication Industry: Responsible Self-Medication. FIP & WSMI, p.1-2

Hermawati, D. (2012). Pengaruh Edukasi Terhadap Tingkat Pengetahuan dan Rasionalitas

Penggunaan Obat Swamedikasi Pengunjung di Dua Apotek Kecamatan

Cimanggis, Depok. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Program Studi Farmasi UI.

Izzatin, 2015, Persepsi Pasien Terhadap Pelayanan Swamedikasi Oleh Apoteker Di

Beberapa Apotik

Li Wan Po, A., 1990. Non Prescription Drug, 2nd ed, 348, 352-353, Blackwell Scientific

Publications, Oxford
Nuryati, 2017, Bahan Ajar Rekam Medis dan Informasi Kesehatan Farmakologi, Jakarta

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor : 919/ Menkes/ Per/ X/ 1993 Tentang Kriteria Obat

Yang Dapat Diserahkan Tanpa Resep

Restiyono, A. (2016) ‘Analisis Faktor yang Berpengaruh dalam Swamedikasi Antibiotik

pada Ibu Rumah Tangga di Kelurahan Kajen Kabupaten Pekalongan’, Jurnal

Promosi Kesehatan Indonesia, 11(1), pp. 14– 26. doi: 10.14710/jpki.11.1.14-27.

Supardi, S., Ondri D.W., Mulyono N. Pengaruh Penyuluhan Oba terhadap Peningkatan

Perilaku Pengobatan Sendiri yang Sesuai dengan Aturan, Buletin Penelitian

Kesehatan, 2011. 32(4) : 179.

Tietze, K. J., 2000, Disorders Related to Cold and Allergy, in Allen, L. V., Berardi,

R.R.,Desimone, E.M., Engle, J. P., Popovich, N. G., Rosenthal, W. M., Tietze,K.

J., (Eds), Handbook of Nonprescription Drug, 12th edition, 179-188, APha,

Washington D. C.

Tietze, K. J., 2004, Cough, in Berardi, R. R., McDermott, J. H., Newton, G. D., Oszko, M.

A., Popovich, N. G., Rollins, C. J., Shimp, L. A., Tietze, K. J., Handbook of

Nonprescription Drug: An Interactive Approach to Self Care, 14th edition, 271-

277, APha, Washington D. C.

Tjay, T. H., dan Rahardja, K., 2002, Obat-obat Penting, 49-51, 397-398, PT. Kimia

Farma, Jakarta

WHO, 1998. The Role of The Pharmacist in Self-Care and Self-Medication. The Hague,

The Netherlands: WHO, p.1-11.


WHO, 1998. The Role of The Pharmacist in Self-Care and Self-Medication. Geneva:

World Health Organization

Wijoyo Y., 2000, Bagaimana Mengobati Batuk, Mencegah Penyakit Lebih Mudah

Daripada Mengobati, 60-63, Penerbitan Universitas Sanata Dharma,

Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai