Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH PERILAKU PELAYANAN KEFARMASIAN

PERILAKU SWAMEDIKASI

Disusun Oleh :
Triolanovita (16330010)
Rafa Kamilah (16330036)
Lengkawati Risnaputri (16330038)
Nabilah Rachmawani (16330047)
Risky Priyosantoso (16330095)
Kelas - A

Dosen Pengampu :
Ainun Wulandari, S.Farm., M.Sc., Apt

FAKULTAS FARMASI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

1
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas izin dan kuasaNya-lah
kami bisa menyelesaikan makalah Perilaku Pelayaan Kefarmasian ini, yakni berupa makalah
dengan judul “Perilaku Swamedikasi”.

Dalam penyusunan makalah ini kami mengalami berbagai hambatan, namun hambatan
itu bisa kami lalui karena pertolongan Allah dan berbagai pihak lainnya. Oleh karena itu, kami
ucapkan terima kasih kepada segala pihak yang telah membantu kami dalam penyusunan
makalah ini.

Kami menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna, baik materi
maupun cara penulisannya. Namun demikian, kami telah berupaya dengan segala kemampuan
dan pengetahuan yang kami miliki sehingga dapat selesai dengan baik dan oleh karenanya,
kami dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima masukan, saran dan usul guna
penyempurnaan makalah ini. Kami berharap semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi seluruh
pembaca.

Jakarta, 4 Oktober 2019

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang……………….………………………………………………… 1


1.2 Rumusan Masalah…………..………………………………………………….. 1
1.3 Tujuan…………………….……………………………………………………. 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Swamedikasi……………………………………………………….…. 3


2.2 Syarat Swamedikasi……………………………………………………………. 3
2.3 Pengehentian Swamedikasi………………………………………………..…… 3
2.4 Penggolongan Obat Swamedikasi……………………………………………... 4
2.5 Peran Apoteker Dalam Swamedikasi…………………………………………...5
2.6 Kuntungan dan Kerugian Swamedikasi………………………………………... 6
2.7 Manfaat Swamedikasi………………………………………………………….. 7
2.8 Hal Yang Harus Diperhatikan Saat Melakukan Swamedikasi………………… 7

BAB III PEMBAHASAN

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan…………………………………………………………………….
4.2 Saran…………………………………………………………………………...

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………….

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.4 Latar Belakang


Penggunaan obat tanpa resep dalam upaya swamedikasi telah dilakukan secara luas
oleh masyarakat. Saat ini ketersediaan obat tanpa resep mecapai kira-kira 100.000 jenis
yang digunakan untuk mengobati berbagai kondisi penyakit ringan. Beberapa kondisi
tersebut antara lain seperti sakit kepala, demam, flum konstipasi, thinitis, jerawat,
dismenorhea, diare, batuk, pilek, alergi dan beberapa lainnya yang kira-kira terjadi pada
jutaan masyarakat tiap tahunnya. Swamedikasi muncu didasari pemikiran pada masyarakat
bahwa pengobatan sendiri dapat menyembuhkan penyakit ringan tanpa melibatkan tenaga
kesehatan. Alasan lainnya adalah karena keterbtasan biaya untuk berobat ke dokter,
ketiadaan waktu untuk ke dokter dan akses ke palayanan kesehatan yang minim.
Swamedikasi (pengobatan sendiri) merupakan upaya yang dilakukan oleh
masyarakat dalam pengobatan tanpa adanya resep dari dokter atau tenaga medis lainnya.
Swamedikasi dilakukan berdasarkan dari pengalaman pasien atua dari rekomedasi orang
lain. Pengobatan sendiri dilakukan untuk mengatasi keluhan-keluhan ringan. Menurut
World Health Organization (WHO) peran pengobatan sendiri adalah untuk mengatasi dan
menanggulangi secara cepat dan efektif keluhan yang tidak memerlukan konsultasi medis,
mengurangi bebann biaya dan meningkatkan keterjangakauanmasyarakat terhadap
pelayanan medis.
Ada beberpa pengetahuan minimal terkait swamedikasi yang sebaiknya dipahami
masyarakat, pengetahuan tersebut antara lain tentang mengenali gejala penyakit, memilih
produk sesuai dengan indikasi dari penyakit, mengikuti petunjuk yang tertera pada etiket
brosur, memantau hasil terapi dan kemungkinan efek samping yang ada. Untuk melakukan
swamedikasi secara aman, rasional, efektif dan terjangkau masyrakat perlu menambah
pengetahuan dan melatih keterampilan dalam praktik swamedikasi. Masyarakat mutlak
memerlukan informasi yang jelas dan terpercaya agar kebutuhan jenis atau jumlah obat
dapat diambil berdasarkan alasan yang rasional.

1.5 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud mengenai swamedikasi ?
2. Bagaimana syarat-syarat swamedikasi ?
3. Bagaimana pengehentian swamedikasi ?

4
4. Apa sajakah penggologan obat swamedikasi ?
5. Bagaimana peran apoteker dalam swamedikasi ?
6. Apasajakah keuntungan dan kerugian swamedikasi ?
7. Bagaimana manfaat dari swamedikasi ?
8. Hal apasajakah yang harus diperhatikan saat melakukan swamedikasi ?

1.6 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud mengenai swamedikasi.
2. Untuk mengetahui syarat-syarat swamedikasi.
3. Untuk mengetahui pengehentian swamedikasi.
4. Untuk mengetahui penggologan obat swamedikasi.
5. Untuk mengetahui peran apoteker dalam swamedikasi.
6. Untuk mengetahui keuntungan dan kerugian swamedikasi.
7. Untuk mengetahui manfaat dari swamedikasi.
8. Untuk mengetahui hal apasajakah yang harus diperhatikan saat melakukan
swamedikasi.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi Swamedikasi


Swamedikasi merupakan upaya pengobatan sendiri tanpa didasari resep Dokter.
Menurut WHO, pengobatan swamedikasi ditujukan untuk menangani gejala dan
penyakit yang mampu didagnosis oleh pasien sendiri atau penggunaan obat yang telah
digunakan secara terus-menerus untuk penanganan gejala kronis. Pengobatan sendiri
dilakuakn apabila memperoleh obat-obatan tanpa resep, membeli obat berdasarkan
resep lama, pemberian dari teman atau obat keluarga ataupun pengobatan obat sisa.
Pemilihan masyarakat dalam menentukan pengobatan swamedikasi dipengaruhi oleh
beberapa factor.
Makna swamedikasi adalah bahwa penderita sendiri yang memilih obat tanoa
resep untuk mengatasi penyakit yang dideritanya. Untuk meningkatkan kemampuan
masyarakat dalam menolong dirinya sendiri guna mangatasi masalah kesehatan dirasa
perlu ditunjang dengan sarana yang dapat meningkatkan swamedikasi secara tepat,
aman dan rasional, maka pemerinta menerbitkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
: 919/MENKES/PER/X/1993 Pasal 2 Tentang Obat Tanpa Resep, yang terdiri dari obat
bebas, obat bebas terbatas dan obat wajib apotek (OWA) yang dapat dibeirkan oleh
apoteker kepada pasien di apotek tanpa resep dokter. Tujuan utama diterbitkannya
Keputusan Menteri Kesehatan saat itu adalah untuk swamedikasi, pasien dapat
mengobati dirinya sendiri secara rasional dan ditunjang dengan adanya obat wajib
apotek tersebut.

1.2 Syarat Swamedikasi


Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam swamedikasi menurut WHO
adalah penyakit yang diderita adalah penyakit dan gejala ringan yang tidak diperlukan
untuk datang kedokter atau tenaga medis lainnya. Selain itu obat yang djual adalah obat
golongan over the counter (OTC).

1.3 Pengehentian Swamedikasi


Pengobatan swamedikasi menurut BPOM, harus dihentikan bila :
a. Timbul gejala lain seperti pusing, sakit kepala, mual dan muntah
b. Terjadi gejala alergi seperti gatal-gatal dan kemerahan pada kulit

6
c. Salah minum obat atau minum obat dengan dosis yang salah

1.4 Penggolongan Obat Swamedikasi


Banyak obat yang biasanya digunakan dalam swamedikasi. Kelas obat yang
digunakan swamedikasi adalah obat seperti paracetamol, NSAID, antibiotic, sirup
batuk, antasida, obat kulit, obat herbal dan anthelmintika. Obat yang digunakan dalam
swamedikasi adalah obat yang digunakan untuk mengobati penyakit ringan.

Obat yang beredar di pasaran dikelompoka menjadi 5 golongan. Masing-masing


golongan mempunyai kriteria dan mempunyai tanda khusus. Sedangkan di BPOM
disebutkan bahwa tidak semua obat dapat digunakan swamedikasi, hanya golongan
obat yang related aman yaitu golongan obat bebas dan obat bebas terbatas.
1. Obat Bebas
Obat bebas adalah obat yang dapat diberli tanpa rese dokter. Terdapat ciri
yang terlibat dikemasan dan etiket obat yaitu lingkarann hijau dengan garis tepi
berwarna hitam.

2. Obat Bebas Terbatas


Obat bebas terbatas merupakan obat yang sebenarnya keras tetapi masih
bisa dibeli tanpa resep dokter. Obat golongan ini bebas tapi biasanya ditandai
dengan adanya peringatan pada kemasan obat. Logo yang terdapat khusus
dikemasan ini adalah logo lingakaran berwarna biru dengan garis tepian berwarna
hitam.

7
3. Obat Wajib Apotek (OWA)
Obat Wajib Apotek (OWA), yaitu obat keras (tanda lingkaran hitam, dasar
merah dengan huruf K besar) yang dapat dibeli di apotek tanpa resep dari dokter,
tetapi harus diserahkan langsung oleh seorang apoteker kepada pasien disertai
dengan informasi lengkap tentang penggunaan obat.

1.5 Peran Apoteker Dalam Swamedikasi


Apoteker memiliki tanggungjawab besar atas keberhasilan pengobatan sendiri
yang dilakukan masyarakt. Dalam penelitian menyatakan bahwa masyarakat hanya
memiliki sedikit pengetahuan tentang pengobatan sendiri dan untuk mencegah dan
mengurangi masalah pengobatan ini, maka pasien bisa bertanya kepada apoteker yang
ada dalam farmasi komunitas (apotek) untuk bisa memberikan informasi dan edukasi
terkait penggunaan obat terkait dan meningkatkan keamanan pemberian obat bebas ke
masyarakt.
Dijelaskan oleh WHO (1998) bahwa ada beberapa fungsi apoteker dalam
pengobatan swamedikasi adalah sebagai berikut :
1. Sebagai Komunikator
a. Apoteker harus memulai dialog dengan pasien (terkadang juga dokter pasien
jika dibutuhkan) untuk mendapatkna riwayat pengobatan yang cukup
b. Jika memesan harus menyakan kondisi tempat tinggal pasien agar bisa
mengetahui kondisi dan informasi yangrelevan
c. Apoteker harus mempersiapkan kelengkapan untuk melakukan skrining untuk
kondisi dan penyakit khusus tanpa adanya intervensi dan obat yang diinginkan
pasien
d. Apoteker harus menyediakan informasi yang objektif tentang obat
e. Apoteker harus mampu memberikan tambahan informasi tentang obat untuk
meningkatkan kepuasan pasien
f. Apoteker harus mampu membantu menjalankan pengobatan pasien ketika
dibutuhkan oleh pasien atau kembali menjelaskan tentang nasehat pengobatan
pasien
g. Apoteker harus pecaa diri dalam memcaritahu kondisi pasien secara detail
2. Sebagai Supplier Kualitas Obat
a. Apoteker harus memastikan bahwa produk yang dia beli adalah berkualitas baik
dan memiliki sumber yang baik
8
b. Apoteker harus memastikan penyimpanan yang tepat untuk produk
3. Sebagai Pelatih dan Pengamat
a. Memastikan kualitas pelayanan yang up to date, poteker harus didorong untuk
berpartisipasi dalam kegiatan pengembangan professional seperti pendidikan
yang berkelanjutan
b. Apoteker yang dibantu oleh staf non aoteker harus memastikan bahwa staf yang
dimiliki memiliki standar yang sesuai dengan yang diinginkan
4. Sebagai Kolaborator
a. Harus bisa berkolaborasi dengan pelayan kesehatan yang lain, asosiasi
professional lain, industry farmasi, pemerintah local dan nasional, pasien dan
masyarakat umum
5. Sebagai Promotor Kesehatan
a. Ikut serta skrining pasien unutk mengidentifikasi masalah kesehatan dan itu bisa
menjadi risiko di komunuitas masyarakat
b. Berpartisipasi dalam kampanye promos kesehatan untuk meningkatkan
kewaspadaan terkait isu kesehatan dan pencegahan penyakit
c. Meningkatkan nasehat secara individu untuk membantu memberikan informasi
pemilihan kesehatan

Selain beberpa tugas apoteker diatas, biasanya dalam beberapa negara


berkembang, jumlah aoteker di masyarakat sangat sedikit sehingga susah untuk
mendapatkan informasi dari apoteker. Untuk ini apoteker bisa melakukan kerjasama
dengan tenaga kesehatan lain untuk bisa melakukan pelatihan danorientasi di
masyarakat sehingga bisa mendukung kegiatan dan tugas apoteker dalam kegiatan
swamedikasi.

1.6 Kuntungan dan Kerugian Swamedikasi


1. Keuntungan Swamedikasi
a. Memberikan fasilitas untuk bisa mendapatkan obat
b. Mengurngi biaya berobat ke dokter
c. Mrmudahkan masyarakat mendapatkan obat tanpa harus datang ke dokter
umum atau spesialis
2. Kerugian Swamedikasi
Menurut WHO Drug Information Vol.14 (2000) kerugian swamedikasi
sebagai berikut :

9
a. Terjadinya interaksi obat swamedikasi dengan obat lainnya
b. Tidak diperhatikannya kontraindikasi obat dengan kondisi pasien seperti
bekerja, konsumsi alcohol atau lainnya.

2.7 Manfaat Swamedikasi


Swamedikasi bermanfaat dalam pengobatan penyakit atau nyeri ringan, hanya
jika dilakukan dengan benar dan rasional, berdasarkan pengetahuan yang cukup tentang
obat yang digunakan dan kemampuan mengenali penyakit atau gejala yang timbul.
Swamedikasi secara serampangan bukan hanya suatu pemborosan, namun juga
berbahaya.

2.8 Hal Yang Harus Diperhatikan Saat Melakukan Swamedikasi


Ketika pasien atau konsumen memilih untuk melakukan swamedikasi, ada
beberapa hal yang harus diperhatikan supaya pengobatan tersebut dilakukan dengan
tepat dan bertanggung jawab :
a. Pada swamedikasi, pasien memegang tanggung jawab utama terhadap obat yang
digunakan. Oleh karena itu sebaiknya baca label dan brosur obat dengan seksama
dan teliti. Kemudian perhatian khusus perlu diberikan bagi penggunaan obat untuk
kelompok tertentu, seperti pada anak-anak, lanjut usia, pasien dengan gangguan
fungsi hati atau ginjal, maupun wanita hamil dan menyusui.
b. Jika individu atau pasien memilih untuk melakukan pengobatan sendiri, maka ia
harus dapat mengenali gejala yang dirasakan, menentukan kondisi mereka sesuai
untuk pengobatan sendiri atau tidak, memilih produk obat yang sesuai dengan
kondisinya, mengetahui ada atau tidaknya riwayat alergi terhadap obat yang
digunakan, mengikuti intruksi yang tertera pada label obat yang dikonsumsi.

Setiap orang yang melakukan swamedikasi juga harus menyadari kelebihan


ataupun kekurangan dari pengobatan yang dilakukan. Dengan mengetahui manfaat dan
resikonya, maka pasien dapat melakukan penilaian apakah pengobatan tersebut perlu
dilakukan atau tidak. Bila gejala tidak membaik atau sembuh dalam waktu tiga hari,
segera kunjungi dokter untuk mendapat penanganan yang lebih baik.

Bila muncul gejala seperti sesak napas, kulit kemerahan, gatal, bengkak di
bagian tertentu, mual, dan muntah, maka kemunngkinan telah terjadi gejala efek

10
samping obat atau reaksi alergi terhadap obat yang diminum. Segera hentikan
pengobatan dan kunjungi dokter untuk mendapatkan penanganan medis.

Adapun tips untuk melakukan swamedikasi terhadap diri sendiri maupun orang-
orang sakit diantara kita :

a. Kita sebagai pasien harus dapat membaca dan mencermati secara teliti informasi
yang tertera pada kemasan atau brosur yang disiapkan di dalam kemasan seperti
komposisis zat aktif, indikasi (kegunaan), kontra indikasi (larangan terhadap), efek
samping, interaksi obat, dosis dan cara penggunaan.
b. Memilih obat dengan kandungan zat aktif sesuai keperluan, misalnya jika gejala
penyakitnya adalah demam, maka pilih obat yang bersifat antipiretik (penurun
panas) seperti parasetamol (panadol, dumin, tempra) atau ibuprofen.
c. Penggunaan obat swamedikasi hanya untuk penggunaan jangka pendek saja (3 hari,
atau boleh dilanjutkan sampai seminggu jika tidak mengalami efek samping obat),
karena jika gejala menetap atau bahkan makin memburuk maka pasien harus segera
ke dokter.
d. Perhatikan aturan pemakaian obat, yang lain seperti frekuensi pemakaian, obat
digunakan sebelum atau sesudah makan dan sebagainya.
e. Penting juga untuk memperhatikan masalah makanan, minuman atau obat lain yang
harus dihindari ketika mengkonsumsi obat tersebut, dan perhatikan juga bagaimana
penyimpanannya.

11
BAB III

PEMBAHASAN

Pengetahuan adalah hasil pengindaraan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek
melalui indra yang dimiliki (mata hidung,telinga dan sebagainya)
(notoatmodjo),2010).pengetahuan adalah salah satu factor,predisposisi yang dapat
mempengaruhi terbentuknya prilaku seseorang.berdasarkan hasil penelitian dari total nilai
pengetahuan swamedikasi dan obat AINS ,diketahui bahwa sebagian besar tesponden terkait
pengetahuan swamedikasi dan obat AINS tergolong baik (40%) dan cukup (41%)

Table 1 Distribusi frekuensi kategori pengetahuan swamedikasi dan obat AINS oral

Kategori Nilai Jumlah Persentase


responden (orang) (%)
baik 76-100% 40 40
Cukup 56-75% 41 41
Kurang ≤55% 19 19
Jumlah 100 100

Pengetahuan swamedikasi dinilai dari beberapa subindikator yaitu pengertian swamedikasi,


tujuan swamedikasi, waktu swamedikasi dan macam obat swamedikasi. Pada pengetahuan
terkait pengertian swamedikasi dan tujuan swamedikasi tergolong cukup baik, namun pada
pengetahuan terkait waktu swamedikasi dan macam obat swamedikasi tergolong
kurang.responden kurang mengetahui perbedaan macam obat swamedikasi maupun logo
obat.hal ii menunjukkan bahwa pengetahuan responden terkait macam obat swamedikasi dan
logo obat masih terbatas.pada pengetahuna terkait waktu swamedikasi, responden kurang
mengetahui batasan waktu yang diperbolehkan dalam melakukan swamedikasi. Responden
kurang mengetahui bahwa penggunaan obat anti-inflamasi non-steroid dalam jangka panjang
(setiap hari) akan menyebabkan tukak lambung dan atau pendarahan lambung.

Menurut Goodman & Gilman (2006), obat AntiInflamasi Non-Steroid (AINS) secara umum
memiliki efek samping pendarahan lambung, nefrotoksisitas, bronkospasme terutama pada
orang dengan riwayat penyakit asma, sehingga individu dengan riwayat gangguan ginjal, hati,
asma dan hipersensitif terhadap obat AINS tidak diperbolehkan meminum obat AINS. Selain
itu pada ibu hamil dan menyusui perlu diperhatikan dalam penggunaannya.
12
Gambaran umum perilaku swamedikasi obat AINS oral

Tabel 2

Kategori Nilai Jumlah Persentase


Responden (orang) (%)
Teoat <50% 20 99
Tidak tepat ≤50% 1 1
Jumlah 100 100
Berdasarkan hasil penelitian dari total nilai perilaku swamedikasi, diketahui bahwa sebagian
besar responden terkait perilaku pemilihan obat AINS dan perilaku penggunaan obat AINS
dapat tergolong tepat (99%)(Tabel 2).

Pada perilaku pemilihan obat AINS dinilai dari subindikator indikasi obat AINS dan kondisi
responden saat sakit. Berdasarkan jawaban responden, dapat diketahui bahwa perilaku
pemilihan obat AINS terkait pemilihan obat berdasarkan indikasi obat tergolong tepat (70%)
dan perilaku pemilihan obat berdasarkan kondisi responden saat sakit juga tergolong tepat
(69%) (Tabel 4). Hal ini disebabkan responden mencari informasi obat dan memperhatikan
indikasi obat AINS sebelum memilih obat AINS, terutama terkait kontraindikasi.

Distribusi frekuensi perilaku pemilihan obat AINS

TABEL 4

KAPASITAS PEMILIHAN OBAT JUMLAH KATEGORI


(ORANG)
Indicator NO TEPAT TIDAK
TEPAT
Tepat indikasi 1 Penggunaan 2 70 30 Tepat
obat ains
bersamaan
Tepat kondisi 2 Pencarian 69 31 Tepat
informasi obat

13
TABEL 5 SUMBER INFORMASI SWAMEDIKASI

Perilaku pengetahuan Jumlah (ORANG) persentase (%)

Keluarga 40 37,4%
Pengalaman farmasi 27 25%
Tenaga kesehatan 22 21%
Media informasi 12 11%
Lain-lain (teman ) 6 6%
Hal ini semakin mendukung hasil analisis statistik yang diperoleh bahwa terdapat faktor lain
yang memiliki pengaruh terhadap perilaku swamedikasi.

DATA SOSIODEMOGRAFI

NO KETERANGAN PERSENTASE(%)
1 Usia
18-28 tahun 27 27
29-39 tahun 32 32
40-50 24 24
51-60 13 13
>60 tahun 4 4
2 Jenis kelamin
Laki-laki 19 19
Perempuan 81 81
3 Tingkat pendidikan :
SD 18 18
SMP 17 17
SMA/ Sederajat 34 34
Perguruan Tinggi 25 25
Lain-lain 6 6
4 Pekerjaan:
Pegawai Negeri 9 9

14
Pegawai Swasta 8 8
Wiraswasta 23 23
Rumah Tangga 42 42
Lain-lain 18 18
5 Penghasilan:
≤ 1.000.000 51 51
> 1.000.000 - ≤ 2.000.000 21 21
> 2.000.000 - ≤ 3.000.000 13 13
> 3.000.000 15 15
Jumlah Responden 100 100
Distribusi responden yang paling banyak terdapat pada usia 29-39 tahun, sesuai dengan
penelitian Fuaddah (2015) yang memaparkan bahwa semakin bertambahnya umur seseorang
semakin orang tersebut memahami dirinya dan dapat menerima informasi mengenai berbagai
hal dari berbagai sumber. Faktor umur biasanya dikaitkan dengan kematangan fisik dan psikis
seseorang. Jenis kelamin responden yang paling banyak adalah perempuan dan pekerjaannya
ibu rumah tangga, hal ini karena pengambilan data dilakukan pada pagi hari dan sore hari yang
menyebabkan sebagian besar responden adalah ibu rumah tangga yang sehari-hari berada di
rumah. Gupta et al (2011) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa alasan prevalensi praktik
swamedikasi lebih banyak pada perempuan adalah karena terbatasnya mobilitas di luar rumah
dan statusnya sebagai ibu rumah tangga. Hal ini menurunkan kecenderungan untuk mencari
tenaga profesional dan lebih memilih melakukan swamedikasi. Responden terbanyak adalah
responden dengan penghasilan per bulan <1.000.000, hal ini disebabkan karena responden
terbanyak adalah responden dengan pekerjaan rumah tangga, sehingga para ibu rumah tangga
tersebut cenderung menjawab penghasilannya <1.000.000.

15
BAB IV

PENUTUP

4.3 Kesimpulan
Swamedikasi atau pengobatan diri sendiri adalah melakukan pengobatan sendiri
untuk penyakit yang ringan, atau minimal melakukan pertolongan pertama bagi dirinya
sebelum petugas kesehatan menanganinya. Sebelum melakukan swamedikasi pasien
harus mengetahui hal-hal yang harus diperhatikan sebelum dan saat melakukan
swamedikasi. Dan mengetahui kekurangan dan kelebihan swamedikasi, apabila terjadi
alergi atau gejala yang kurang baik maka perlu berkonsultasi ke dokter.

4.4 Saran
Menuntut peran tenaga medis professional (Dokter atau Apoteker atau Staf
medis lainnya) untuk memberikan edukasi mengenai pengobatan swamedikasi kepada
masyarakat.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Puji Ningrum Pratiwi, dkk. 2014. Pengaruh Pengetahuan Terhadap Perilaku


Swamedikasi Obat Anti Inflamasi Non Steroid Oral Pada Etnis Thionghoa Di Surabaya.
Surabaya: Fakultas Farmasi Universitas Airlangga
2. Zulkarmi R, dkk. 2019. Gambaran Perilaku Keluarga Dalam Swamedikasi Mlalui
Pendekatan Teori Health Belief Model (HBM) di Kecamatan Kinali. Padang : Fakultas
Farmas, Unversitas Andalas
3. Yusrizal. 2015. Gambaran Pengggunaan Obat dalam Upaya Swaedikasi Pada
Pengunjung Apotek Pandan Kecamatan Jati Agung Kabupaten Lampung Selatan
Tahun 2014. Bandar Lampung: Jurusan Farmasi Politeknik Kesehatan Tanjungkarang
4. Badan Pusat Statistik Sumater Barat. Sistem Informasi Rujukan Statistik. Diakses
tanggal 23 Oktober dari https://sumbar.bps.go.id/statictable/2015/04/22/196
5. Bakhtiar, K., Bastami, F., Sharafkhani, N., & Almasian, M. (2017). The Psychological
Determinants of Self-Medication among the Elderly : An Explanation Based on the
Health Belief Model. Elderly Health Journal ;3(2): 59–66.
6. Deca, T. P. 2015. Determinan Perilaku Pencarian Pengobatan Mahasiswa Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Angkatan Tahun
2013. Skripsi. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
7. Dharmasari S. 2003. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Pengobatan
Sendiri yang Aman, Tepat dan Rasional pada Masyarakat Kota Bandar Lampung.
Depok: Universitas Indonesia
8. Dianawati O, Fasich., Athijah U. 2008 Hubungan Persepsi Terhadap Iklan Di Televisi
Dengan Perilaku Swamedikasi Pelajar SMU Negeri Di Surabaya. Majalah Farmasi
Airlangga;6(1)
9. Fuaddah, A. T. 2015. Description of self-medication behavior in community of
subdistrict purbalingga,. Jurnal kesehatan masyarakat;3(1), :610–619.
10. Gupta, P., Bobhate, P. S., & Shrivastava, S. R. 2011. Determinants of Self Medication
Practices in An Urban Slum Community. Asian Journal of Pharmaceutical and Clinical
Research;4(3):3–6.
11. Hantoro, D. T., Pristianty, L., Athiyah, U., & Yuda, A. 2014 . Pengaruh Pengetahuan
Terhadap Perilaku Swamedikasi Obat Anti-Inflamasi Nonsteroid ( Ains ) Oral Pada
Etnis Arab Di Surabaya. Jurnal Farmasi Komunitas;1(2):45–48.

17
12. Insany, A. N., Destiani, D. P., Sani, A., Sabdaningtyas, L., & Pradipta, I. S. 2015.
Hubungan Persepsi terhadap Perilaku Swamedikasi Antibiotik : Studi Observasional
melalui Pendekatan Teori Health Belief Model Association between Perceived Value
and Self-Medication with Antibiotics : An Observational Study Based on Health Belief
Model Th. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia; 4(2):77.
13. Kemenkes RI. 2015. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 20152019.
Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
14. Kemenkes RI. 2016. Pedoman Umum Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan
Keluarga. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
15. Nguyen HV, Nguyen THN. 2015. Factor Associated with Self-Medication Among
Medicine Sellers in Urban Viatnam. The International Journal of Health Planning an
Management;30(3):219-31
16. Panero, C., & Persico, L. 2016. Attitudes Toward and Use of Over-The-Counter
Medications among Teenagers : Evidence from an Italian Study. International Journal
of Marketing Studies;8(3):65–75.
17. Pirzadeh, A., & Mostafavi, F. 2014. Self ‑ medication among students in Isfahan
University of Medical Sciences based on Health Belief Model. Journal of Education
and Health Promotion;3: 1–5.
18. Riskesdas, 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia
19. PR Shankar, P. P. and N. S. 2002. Self-medication and non-doctor prescription
practices in Pokhara valley, Western Nepal: A questionnaire-based study. BMC Family
Practice;3(17).
20. Sulaeman, Endang Sutisna. 2017. Pembelajaran Teori dan Aplikasi. Jawa Tengah: UNS
Press.
21. WHO. 1998. The Role of the Pharmacist in Self-Care and Self-Medication, Netherland:
Department of Essencial Drugs and Other Medicines World Health organizion

18

Anda mungkin juga menyukai