Anda di halaman 1dari 206

TUGAS KEPERAWATAN ANAK

LAPORAN PENDAHULUAN

31 KASUS PADA BAYI DAN ANAK

OLEH

SYIFERA IRA SENDUK

21049007

YAYASAN DHARMA BHAKTI INDONESIA TOMOHON

UNIVERSITAS SARIPUTRA INDONESIA TOMOHON

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN

2021
LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN BAYI DENGAN ASFIKSIA NEONATORUM

BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP ASFIKSIA
1.  Pengertian
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan teratur segera atau
beberapa saat setelah lahir. Secara klinik ditandai dengan sianosis, bradikardi, hipotonia, dan
tidak ada respon terhadap rangsangan, yang secara objektif dapat dinilai dengan skor APGAR.
Keadaan ini disertai hipoksia, hiperkapnia, dan berakhir dengan asidosis. Konsekuensi fisiologis
yang terutama terjadi pada bayi dengan asfiksia adalah depresi susunan saraf pusat dengan
kriteria menurut WHO tahun 2008 didapatkan adanya gangguan neurologis berupa Hypoxic
Ischaemic Enchepalopaty (HIE), akan tetapi kelainan ini tidak dapat diketahui dengan segera.
(Kosim, 1998; Hasan, 1985; dan Depkes RI, 2005)
Asfiksia dapat terjadi selama kehamilan atau persalinan. Asfiksia dalam kehamilan dapat
disebabkan oleh penyakit infeksi akut atau kronis, keracunan obat bius, uremia, toksemia
gravidarum, anemia berat, cacat bawaan, atau trauma. Sementara itu, asfiksia dalam persalinan
disebabkan oleh partus yang lama, ruptura uteri, tekanan terlalu kuat kepala anak pada plasenta,
prolapsus, pemberian obat bius yang terlalu banyak dan pada saat yang tidak tepat, plasenta
previa, solusia plasenta, serta plasenta tua (serotinus) (Nurarif, 2013).

2.  Etiologi
Asfiksia dapat terjadi karena beberapa faktor (Nurarif, 2013).
a.  Faktor Ibu
Beberapa keadaan pada ibu dapat menyebabkan aliran darah ibu melalui plasenta berkurang.
Akibatnya, aliran oksigen ke janin juga berkurang dan dapat menyebabkan gawat janin dan
akhirnya terjadilah asfiksia. Berikut merupakan keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan
asfiksia pada bayi baru lahir (Depkes RI, 2005 dan Nurarif, 2013):
1)  Preeklamsia dan eklamsia
2)  Demam selama persalinan
3)  Kehamilan postmatur
4)  Hipoksia ibu
5)  Gangguan aliran darah fetus, meliputi :
a)  gangguan kontraksi uterus pada hipertoni, hipotoni, tetani uteri
b)  hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan
c)   hipertensi pada penyakit toksemia
6)  Primi tua, DM, anemia, riwayat lahir mati, dan ketuban pecah dini
b.  Faktor Plasenta
Keadaan berikut ini berakibat pada penurunan aliran darah dan oksigen melalui tali pusat ke
bayi, sehingga bayi mungkin mengalami asfiksia (Depkes RI, 2005 dan Nurarif, 2013):
1)  Abruptio plasenta
2)  Solutio plasenta
3)  Plasenta previa

c.   Faktor Fetus
Pada keadaan berikut bayi mungkin mengalami asfiksia walaupun tanpa didahului tanda gawat
janin (Depkes RI, 2005 dan Nurarif, 2013):
1)  Air ketuban bercampur dengan mekonium
2)  Lilitan tali pusat
3)  Tali pusat pendek atau layu
4)  Prolapsus tali pusat

d.  Faktor Persalinan
Keadaan yang dapat menyebabkan asfiksia yaitu (Nurarif, 2013):
1)  Persalinan kala II lama
2)  Pemberian analgetik dan anastesi pada operasi caesar yang berlebihan sehingga menyebabkan
depresi pernapasan pada bayi

e.  Faktor Neonatus
Berikut merupakan kondisi bayi yang mungkin mengalami asfiksia (Nurarif, 2013):
1)  Bayi preterm (belum genap 37 minggu kehamilan) dan bayi posterm
2)  Persalinan sulit (letak sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ekstraksi vakum, forsep)
3)  Kelainan konginetal seperti hernia diafragmatika, atresia/stenosis saluran pernapasan, hipoplasi
paru, dll.
4)  Trauma lahir sehingga mengakibatkan perdarahan intracranial

3.  Klasifikasi dan Manifestasi Klinis Asfiksia


Asfiksia dapat dibedakan menjadi dua, yaitu asfiksia pallida dan asfiksia livida dengan
masing-masing manifestasi klinis sebagai berikut (Nurarif, 2013):
Tabel 1. Karakteristik Asfiksia Pallida dan Asfiksia Livida
Perbedaan Asfiksia Pallida Asfiksia Livida
Warna Kulit Pucat Kebiru-biruan
Tonus Otot Sudah kurang Masih baik
Reaksi Rangsangan Negatif Positif
Bunyi Jantung Tidak teratur Masih teratur
Prognosis Jelek Lebih baik
Klasifikasi asfiksia dapat ditentukan berdasarkan nilai APGAR (Nurarif, 2013).
Tabel 2. APGAR score
Tanda Nilai
0 1 2
A : Appearance Biru/pucat Tubuh kemerahan, Tubuh dan ekstremitas
(color/warna kulit) ekstremitas biru kemerahan
P : Pulse (heart Tidak ada < 100x per menit >1100x per menit
rate/denyut nadi)
G : Grimance (reflek) Tidak ada Gerakan sedikit Menangis
A : Activity (tonus Lumpuh Fleksi lemah Aktif
otot)
R : Respiration (usaha Tidak ada Lemah, merintih Tangisan kuat
bernapas)

Bayi akan dikatakan mengalami asfiksia berat jika APGAR score berada pada rentang 0-3,
asfiksia sedang dengan nilai APGAR 4-6, dan bayi normal atau dengan sedikit asfiksia jika
APGAR score berada pada rentang 7-10 (Nurarif, 2013).

4.  Faktor Risiko
Faktor risiko yang dapat menyebabkan asfiksia perinatal yaitu faktor maternal, plasenta-tali
pusat, dan fetus atau neonatus (Volpe, 2001; Aurora, 2004; dan Levene, 2005) :
a.  Kelainan maternal, dapat meliputi hipertensi, peyakit vaskular, diabetes, drug abuse, penyakit
jantung, paru, gangguan susunan saraf pusat, hipotensi, ruptura uteri, tetani uteri, panggul
sempit.
b.  Kelainan plasenta dan tali pusat, meliputi infark dan fibrosis plasenta, prolaps atau kompresi tali
pusat, kelainan pembuluh darah umbilikus.
c.   Kelainan fetus atau neonatus meliputi anemia, hidrops, infeksi, pertumbuhan janin terhambat,
serotinus.
Selain itu, kurangnya kesadaran calon ibu untuk melakukan ANC, status nutrisi yang
rendah, perdarahan saat melahirkan, dan infeksi saat kehamilan juga merupakan faktor resiko
terjadinya asfiksia. Ditambah lagi dengan letak bayi sungsang dan kelahiran dengan berat bayi
kurang dari 2500 gram, maka akan memperburuk keadaan dan meningkatkan resiko asfiksia
(Majeed, 2007 dan Pitsawong, 2011). Namun sayangnya, berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Ogunlesi dkk (2013) dinyatakan bahwa dari 354 orang responden yang diteliti, hampir
seluruhnya tidak mengetahui faktor resiko terjadinya asfiksia (Ongunlesi, 2013).

6.  Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan diantaranya yaitu (William, 2004) :
a.  Analisa Gas Darah (AGD) : pH kurang dari 7,20
b.  Penialaian APGAR score, meliputi warna kulit, frekuensi jantung, usaha napas, tonus otot, dan
reflek
c.   Pemeriksaan EEG dan CT-Scan jika sudah timbul komplikasi
d.  Pengkajian spesifik

7.  Penatalaksanaan
Asfiksia merupakan kejadian kegawatan pada janin sehingga memerlukan tindakan yang
cepat. Adapun prosedur pertolongan bayi dengan asfiksia adalah sebagai berikut (Depkes RI,
2005):

PENILAIAN :
Bayi tidak menangis, tidak bernapas atau megap-megap

Konseling dukungan emosional dan pencatatan bayi meninggal

Lanjutkan ventilasi, hentikan tiap 30 detik


--------------------------------------------------------------------------
Penilaian apakan bayi menangis atau bernapas spontan dan teratur

Ya

Tidak

Setelah ventilasi selama 2 menit tidak berhasil, siapkan rujukan

Bila bayi tidak bisa dirujuk dan tidak bisa bernapas, hentikan ventilasi setelah 20 menit

ASUHAN PASCA RESUSITASI :


1.     Jaga bayi agar tetap hangat
2.     Lakukan pemantauan
3.     Konseling
4.     Pencatatan

Ya

Tidak

VENTILASI :
1.       Pasang sungkup, perhatikan lekatan
2.       Ventilasi 2 kali dengan tekanan 30 cm air, amati gerakan dada bayi
3.       Bila dada bayi mengembang, lakukan ventilasi 20 kali dengan tekanan 20 cm air dalam 30
detik
------------------------------------------------------------------------------------------
4.       Penilaian apakan bayi menangis atau bernapas spontan dan teratur

Ya

Tidak

LANGKAH AWAL (dilakukan dalam 30 detik) :


1). Jaga bayi tetap hangat, 2). Atur posisi bayi : leher agak ekstensi, 3). Isap lendir, 4).
Keringkan dan rangsang taktil, 5). Reposisi
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Penilaian apakan bayi menangis atau bernapas spontan dan teratur

 Pada pertolongan persalinan, setiap petugas perlu mengetahui apakah bayi mempunyai
resiko mengalami asfiksia. Pada keadaan tersebut, bicarakan dengan ibu dan keluarganya
kemungkinan diperlukannya tindakan resusitasi. Akan tetapi, pada keadaan tanpa faktor resiko
pun beberapa bayi dapat mengalami asfiksia. Oleh karena itu, petugas harus siap melakukan
resusitasi bayi setiap melakukan pertolongan persalinan (Depkes RI, 2005).
Tahap persiapan meliputi (Depkes RI, 2005):
a.  Persiapan keluarga
Bicarakan dengan keluarga mengenai kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada ibu dan bayi
sebelum menolong persalinan.
b.  Persiapan tempat
Tempat untuk resusitasi harus hangat, terang, rata, keras, bersih, kering, sebaiknya dekat
pemancar panas, dan tidak berangin.
c.   Persiapan alat resusitasi
Alat yang digunakan meliputi :
1)  Kain ke 1 : untuk mengeringkan bayi
2)  Kain ke 2 : untuk membungkus bayi
3)  Kain ke 3 : untuk mengganjal bahu bayi
4)  Alat pengisap lendir DeLee
5)  Tabung dan sungkup
6)  Kotak alat resusitasi
7)  Handscun
8)  Stopwatch atau jam tangan
d.  Persiapan diri
Penolong harus mencuci tangan dan menggunakan APD sebelum menolong persalinan.
Keputusan melakukan resusitasi dinilai dari kondisi bayi tidak bernapas atau bernapas
megap-megap. Selain itu, resusitasi juga dilakukan jika air ketuban bercampur dengan
mekonium. Dalam manajemen asfiksia, proses penilaian sebagai dasar pengambilan keputusan
bukanlah suatu proses sesaat yang dilakukan hanya satu kali. Pada setiap tahapan manajemen
asfiksia senantiasa dilakukan penilaian untuk membuat keputusan, tindakan apa yang tepat untuk
dilakukan (Depkes RI, 2005).
Setelah dilakukan resusitasi, maka bayi baru lahir dengan asfiksia diberikan asuhan pasca
resusitasi. Asuhan pasca resusitasi merupakan perawatan intensif selama 2 jam pertama. Asuhan
yang diberikan sesuai dengan hasil resusitasi, meliputi  (Depkes RI, 2005 dan Agarwal, 2008):

a.  Bila resusitasi berhasil


Hal yang pertama kali dilakukan setelah resusitasi berhasil yaitu memindahkan bayi ke
ruangan bayi dan menjaga bayi agar tetap hangat. Kemudian lakukan monitoring tanda-tanda
vital secara berkala. Lakukan juga pemeriksaan analisa gas darah, kadar gula darah, hematokrit,
dan kadar kalsium.
Sementara itu, berikan konseling kepada ibu terkait pemberian ASI, menjaga kehangatan
bayi dengan teknik Kangoroo Mother Care, dan jelaskan kepada ibu bagaimana tanda-tanda
bahaya pada bayi baru lahir. Selain itu, selalu monitor warna kulit, suhu, dan
respirasi rate minimal pada dua jam pertama, serta lakukan pencatatan atau dokumentasi.

b.  Bila perlu rujukan


Bayi perlu rujukan jika :
1)  RR < 30x per menit, atau > 60x per menit
2)  Adanya tarikan dinding dada
3)  Bayi merintih (ada bunyi napas saat ekspirasi) atau megap-megap (ada bunyi napas saat
inspirasi)
4)  Tubuh bayi pucat atau kebiruan
5)  Bayi lemas
Siapkan surat rujukan dan lakukan pencatatan atau dokumentasi setiap kali selesai melakukan
tindakan.

c.   Bila resusitasi tidak berhasil


1)  Lakukan konseling berupa pemberian dukungan moral kepada keluarga yang kehilangan. Ibu
akan merasa sedih, bahkan menangis. Perubahan hormon setelah kehamilan mungkin
menyebabkan perasaan ibu sangat sensitif. Jelaskan kepada ibu dan keluarga bahwa ibu
memerlukan istirahat, dukungan moral, dan makanan bergizi.
2)  Berikan asuhan tindak lanjut berupa kunjungan nifas.
3)  Lakukan pencatatan atau dokumentasi

Ada beberapa hal yang tidak dianjurkan dilakukan terhadap bayi dengan asfiksia. Berikut
adalah tindakan-tindakan yang sebaiknya dihindari saat melakukan pertolongan kepada bayi
dengan asfiksia beserta akibat yang ditimbulkannya (Depkes RI, 2001) :

Tabel 3. Tindakan yang Tidak Dianjurkan dan Akibat yang Mungkin Ditimbulkannya

Tindakan Akibat
Menepuk bokong Trauma dan melukai
Menekan rongga dada Fraktur, pneumototaks, gawat napas,
kematian
Menekankan paha ke perut bayi Ruptura hepar atau lien, perdarahan
Mendilatasi sfingter ani Robek atau luka pada sfingter
Kompres dingin atau panas Hipotermi, luka bakar
Meniupkan oksigen atau udara dingin ke Hipotermi
muka atau tubuh bayi

Berdasarkan penelitian oleh Berglund dkk (2008) dinyatakan bahwa kepatuhan terhadap
protap penatalaksanaan atau manajemen asfiksia bayi baru lahir masih rendah dan harus
ditingkatkan, terutama menyangkut tindakan ventilasi. Pendokumentasian juga harus diperbaiki
agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan (Berglund, 2008).

Penatalaksanaan dari sisi medikamentosa dapat dilakukan dengan (Depkes RI, 2005 dan
IAI, 2012):
a.  Cairan penambah volume darah
Cairan diberikan jika bayi terlihat pucat, kehilangan darah, dan atau tidak memberikan respon
yang memuaskan terhadap resusitasi. Cairan yang dipakai dapat berupa garam fisiologis
(dianjurkan), ringer laktat, dan dapat juga berupa darah O-negatif dengan dosis 10 ml/kgBB/5-10
menit melalui jalur vena umbilikalis.
b.  Epinefrin
Epinefrin diberikan setelah VTP (ventilasi tekanan positif) 30 detik dan VTP+kompresi dada
selama 30 detik tidak memberikan hasil positif sehingga frekuensi jantung tetap > 60 kali per
menit. Dosis yang diberikan sebanyak 0,1 s.d. 0,3 ml/kgBB melalui rute IV dengan pengenceran
1 : 10.000 dan diberikan secepat mungkin.
c.   Natrium bikarbonat
Hanya diberikan jika dicurigai terjadinya asidosis metabolik atau terbukti sudah terjadi asidosis
metabolik. Dosis pemberian yaitu sebanyak 2 mEq/kgBB (larutan 4,2%) melalui jalur vena
umbilikus dengan kecepatan < 1 mEq/kgBB/menit. Natrium bikarbonat tidak boleh diberikan
jika ventilasi masih belum adekuat.
Penelitian yang dilakukan oleh Gregorio dkk (2011) menyatakan bahwa ternyata kafein
dapat digunakan untuk penanganan apneu pada bayi baru lahir prematur sehubungan dengan
belum matangnya sistem saraf pada bayi tersebut. Dinyatakan bahwa kafein memiliki toksisitas
yang rendah dan waktu paruh yang panjang. Beberapa penelitian juga melaporkan beberapa
kemungkinan menarik dari efek yang dihasilkan oleh kafein, seperti efek perlindungan kafein
terhadap otak dan paru-paru (Gregorio, 2011).
Penelitian lain yang dilakukan oleh Gathwala dkk (2010) menyatakan bahwa pemberian
magnesium dalam dosis tertentu kepada bayi dengan asfiksia berat dapat memberikan
perlindungan terhadap sistem saraf bayi. Ion magnesium mempunyai reseptor N-metil-D-aspartat
(NMDA) yang dapat melindungi otak dari kerusakan lebih lanjut akibat asfiksia (Gathwala,
2010).

8.  Komplikasi
Komplikasi dapat mengenai beberapa organ pada bayi, diantaranya adalah sebagai berikut
(Karlsson, 2008) :
a.  Otak : hipoksik iskemik ensefalopati, edema serebri, palsi serebralis
b.  Jantung dan paru : hipertensi pulmonal persiste pada neonatus, perdarahan paru, edema paru
c.   Gastrointestinal : enterokolitis nekotikos
d.  Ginjal : tubular nekrosis akut, SIADH, anuria atau oliguria (< 1 ml/kg/jam) untuk 24 jam atau
lebih dan kreatinin serum > 100 mmol/L
e.  Hematologi : DIC
f.   Hepar : aspartate amino transferase > 100 U/L, atau alanine amino transferase > 100 U/L sejak
minggu pertama kelahiran
Komplikasi yang khas pada asfiksia neonatorum yaitu Enselopati Neonatal atau Hipoksik
Iskemik Enselopati yang merupakan sindroma klinis berupa gangguan fungsi neurologis pada
hari-hari awal kehidupan bayi aterm (Moster, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Azzopardi
dkk (2009) serta penelitian oleh Wintermark dkk (2011) menyatakan bahwa meskipun induksi
hipotermia sedang selama 72 jam pada bayi dengan asfiksia neonatorum tidak secara signifikan
mengurangi tingkat kematian maupun cacat berat, tetapi menghasilkan pengaruh baik terhadap
sistem saraf pada bayi yang selamat (Azzopardi, 2009 dan Wintermark, 2011).
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN BAYI DENGAN RDS (Respiratory Distress Syndrom)
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Respiratory distress syndrome adalah suatu bentuk gagal nafas yang ditandai
dengan hipoksemia, penurunan compliance paru, dispnea, edema pulmonal bilateral
tanpa gagal jantung dan infiltrat yang menyebar (Somantri, 2009).
Respiratory distress syndrome (RDS) merupakan kumpulan gejala yang terdiri
atas dispnea, frekuensi pernafasan yang lebih dari 60 kali permenit, adanya sianosis,
adanya rintihan pada saat ekspirasi (ekspiratory grunting), serta adanya retraksi
suprasternal, interkostal, dan epigastrium saat inspirasi. Penyakit ini adalah penyakit
membran hialin, dimana terjadi perubahan atau berkurangnya komponen surfaktan
pulmonal (zat aktif alveoli yang dapat mencegah kolaps paru dan mampu menahan sisa
udara pada akhir ekspirasi) (Hidayat, 2008).
Respiratory distress syndrome juga dikenal sebagai penyait membran hialin,
biasanya dikaitkan dengan bayi preterm dan merupakan masalah yang paling serius
(Meadow & Newell, 2005).

2. Klasifikasi

Dibagi menjadi dua stadium, yaitu :

a. Eksudatif
Ditandai dengan adanya perdarahan pada permukaan parenkim paru, edema interstisial
atau elveolar, penekanan pada bronkiolus terminalis, dan kerusakan pada sel alveolar tipe
I (Somantri, 2009).

b. Fibroproliferatif
Ditandai dengan adanya kerusakan pada sel alveolar tipe II, peningkatan tekanan puncak
inspirasi, penurunan compliance paru, hipoksemia, penurunan fungsi kapasitas residual,
fibrolisis interstisial, dan peningkatan ruang rugi ventilasi (Somantri, 2009).

Pada foto thorak menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium RDS yaitu :

a. Stadium 1
Terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram udara
b. Stadium 2
Bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan gambaran air
broncogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai ke perifer menutupi bayangan
jantung dengan penurunan aerasi paru.
c. Stadium 3
Kumpulan alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan paru terlihat lebih
opaque (white lung) dan bayangan jantung hampir tidak terlihat, bronchogram udara
lebih lua
d. Stadium 4
Seluruh thorak sangat opaque (white lung) sehingga jnatung tidak dapat terlihat.
(Warman, Waskito, & Romadhon, 2012).

3. Etiologi
Faktor risiko terjadinya respiratory distress syndrome adalah :
a. Bayi kurang bulan atau bayi premature
Pada bayi kurang bulan, paru bayi secara biokimiawi masih imatur dengan kekurangan
surfaktan uang melapisi rongga paru.
b. Kegawatan neonatal
Seperti kehilangan darah dalam periode perinatal, aspirasi mekonium, pnemotoraks
akibat tinadakan resusitasi, dan hipertensi pulmonal.
c. Bayi dari ibu diabetes mellitus
Pada bayi dengan diabetes terjadi keterlambatan pematangan paru sehingga terjadi
distress respirasi. (Warman et al., 2012)

4. Manifestasi Klinis
a. Sesak nafas atau pernafasan cepat
b. Frekuensi nafas > 60 x/menit
c. Pernafasan cepat dan dangkal timbul setelah 6-8 jam setelah lahir
d. Retraksi interkostal, epigastrium, atau suprasternal pada inspirasi
e. Sianosis dan pernafasan cuping hidung
f. Grunting pada ekspirasi (terdengan seperti suara rintihan saat ekspirasi)
g. Takikardi (170 x/menit) (Suryanah, 1996).
Evaluasi gawat nafas menurut skor down
Pembeda 0 1 2 Keterangan
Frekuensi < 60 x/menit 60-80 > 80 x/menit Skor < 4
nafas x/menit tidak gawat
Retraksi dada Tidak ada Ringan Berat nafas
Sianosis Tida sianosis Hilang Menetap Skor 4-7
dengan O2 walaupun gawat nafas
diberikan O2
Air entry Udara masuk Penurunan Tidak ada
bilateral baik ringan udara udara masuk
masuk
Merintih atau Tidak Terdengar Terdengar Skor > 7
grunting merintih dengan tanpa alat ancaman
stetoskop bantu gawat nafas
5. Komplikasi
a. Komplikasi jangka pendek dapat terjadi :
1. Kebocoran alveoli
Apabila dicurigai terjadi kebocoran udara seperti pneumothorak, pneumomediastinum,
pneumopericardium, emfisema intersisiel, pada bayi dengan RDS yang tiba-tiba
memburuk dengan gejala klinikal hipotensi, apnea, atau bradikardi atau adanya asidosis
yang menetap.
2. Jangkitan penyakit karena keadaan penderita yang memburuk dan adanya perubahan
jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul kerana tindakan invasif seperti
pemasangan jarum vena, kateter, dan alat-alat respirasi.
3. Perdarahan intracranial Perdarahan intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur
dengan frekuensi terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik.

b. Komplikasi jangka panjang


Dapat disebabkan oleh keracunan oksigen, tekanan yang tinggi dalam paru, memberatkan
penyakit dan kekurangan oksigen yang menuju ke otak dan organ lain. Komplikasi jangka
panjang yang sering terjadi :
1. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD)
2. Retinopathy premature (Azizah, 2013).
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Tes Kematangan Paru
1. Tes Biokimia
Paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah fosfolipid dalam cairan
amnion dapat untuk menilai produksi surfaktan, sebagai tolok ukur kematangan paru.
2. Test Biofisika
Tes biokimia dilakukan dengan shake test dengan cara mengocok cairan amnion yang
dicampur ethanol akan terjadi hambatan pembentukan gelembung oleh unsur yang
lain dari cairan amnion seperti protein, garam empedu dan asam lemak bebas. Bila
didapatkan ring yang utuh dengan pengenceran lebih dari 2 kali ( cairan amnion :
ethanol ) merupakan indikasi maturitas paru janin. Pada kehamilan normal,
mempunyai nilai prediksi positip yang tepat dengan resiko yang kecil untuk
terjadinya neonatal RDS.
b. Analisis Gas Darah
Gas darah menunjukkan asidosis metabolik dan respiratorik bersamaan dengan hipoksia.
Asidosis muncul karena atelektasis alveolus atau over distensi jalan napas terminal.
c. Radiografi Thoraks
Pada bayi dengan RDS menunjukkan retikular granular atau gambaran ground-glass
bilateral, difus, air bronchograms, dan ekspansi paru yang jelek. Gambaran air
bronchograms yang mencolok menunjukkan bronkiolus yang terisi udara didepan alveoli
yang kolap. Bayangan jantung bisa normal atau membesar. Kardiomegali mungkin
dihasilkan oleh asfiksi prenatal, diabetes maternal , patent ductus arteriosus (PDA),
kemungkinan kelainan jantung bawaan. Temuan ini mungkin berubah dengan terapi
surfaktan dini dan ventilasi mekanik yang adekuat (Warman et al., 2012).
7. Penatalaksanaan
a. Ventilasi Mekanis
Ventilasi mekanis merupakan prosedur bantuan hidup yang invasif dengan berbagai efek
pada sistem kardiopulmonal.
Tujuan :
Ventilasi mekanis adalah membaiknya kondisi klinis pasien dan optimalisasi pertukaran
gas dan pada FiO2 (fractional concentration of inspired oxygen) yang minimal, serta
tekanan ventilator atau volume tidal yang minimal.
Indikasi :
1. Indikasi absolut

a) prolonged apnea
b) PaO2 kurang dari 50 mmHg atau FiO2 diatas 0,8 yang bukan disebabkan oleh penyakit
jantung bawaan tipe sianotik
c) PaCO2 lebih dari 60 mmHg dengan asidemia persisten
d) Bayi yang menggunakan anestesi umum

2) Indikasi relatif
a) Frequent intermittent apnea
b) Bayi yang menunjukkan tanda-tanda kesulitan nafas
c) Pada pemberian surfaktan
(Effendi & Firdaus, 2010).
b. Terapi surfaktan
Saat ini preparat surfaktan yang tersedia antara lain adalah surfaktan sintetis dan surfaktan
natural yang berasal dari ekstrak paru-paru sapi atau dari bilas paru-paru domba atau babi.
Surfaktan dapat diberikan pada 6 sampai 24 jam setelah bayi lahir apabila bayi mengalami
respiratory distress syndrome yang berat. Selanjutnya surfaktan dapat diberikan 2 jam (umumnya
4-6 jam) setelah dosis awal apabila sesak menetap dan bayi memerlukan tambahan oksigen 30%
atau lebih. Surfaktan dapat diberikan langsung melalui selang ETT atau dengan menggunakan
nebulizer. Pemberian langsung kedalam selang ETT memungkinkan distribusi surfaktan yang
lebih cepat sampai ke bagian perifer paru-paru, efektivitas nya lebih baik dan efek samping yang
dapat ditimbulkan lebih sedikit. Pemberian surfaktan juga dapat dilakukan dengan menggunakan
nebulizer disertai dengan ventilasi mekanis (2-3 menit), dilanjutkan dengan postural drainage
(Effendi & Firdaus, 2010).
postural drainage (Effendi & Firdaus, 2010).

Nama produk surfaktan Dosis Dosis tambahan

Galfactant 3 ml/KgBB Dapat diulang sampai 3


kali pemberian dengan
interval tiap 12 jam

Beractant 4 ml/KgBB Dapat diulang setelah 6


jam, sampai total 4 dosis
dalam 48 jam

Colfosceril 5 ml/KgBB Diberikan dalam 4 menit


Dapat diulang setelah 12
dan 24 jam

Porcine 2,5 ml/KgBB Dosis 1,25 ml/KgBB dapat


diberikan tiap 12 jam

c. Continuos Positive Airway Pressure (CPAP)


Continuos Positive Airway Pressure (CPAP) adalah merupakan suatu alat untuk
mempertahankan tekanan positif pada saluran napas neonatus selama pernafasan spontan.
CPAP merupakan suatu alat yang sederhana dan efektif untuk tatalaksana respiratory distress
pada neonatus. Penggunaan CPAP yang benar terbukti dapat menurunkan kesulitan bernafas,
mengurangi ketergantungan terhadap oksigen, membantu memperbaiki dan mempertahankan
kapasitas residual paru, mencegah obstruksi saluran nafas bagian atas, dan mecegah kollaps paru,
mengurangi apneu, bradikardia, dan episode sianotik.
Kontra indikasi :

1) Bayi dengan gagal nafas, dan memenuhi kriteria untuk mendapatkan support
ventilator
2) Respirasi yang irreguler
3) Adanya anomali kongenital
4) Hernia diafragmatika
5) Fistula tracheo-oeshophageal
6) Trauma pada nasal, yang kemungkinan dapat memburuk dengan pemasangan nasal
prong
7) Instabilitas cardiovaskuler, yang akan lebih baik apabila mendapatkan support
ventilator
(Effendi & Ambarwati, 2014).
d. Extracorporeal Membrane Oxygenation
Extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) merupakan alat yang menghubungkan langsung
darah vena pada alat paru-paru buatan (membrane oxygenator), dimana oksigen ditambahkan
dan CO2 dikeluarkan, kemudian darah dipompa balik pada atrium kanan pasien (Venovenosis
ECMO) atau aorta (venoarterial). Prosedur ini membuat paru-paru dapat beristirahat dan
menghindari tekanan tinggi ventilator. (Effendi & Firdaus, 2010).

Secara umum penatalaksanaan pada pasien dengan respiratory distress syndrome adalah :

a. Memperthankan stabilitas jantung paru yang dapat dilakukan dengan mengadakan


pantauan mulai dari kedalaman, kesimetrisan dan irama pernafasan, kecpatan, kualitas dan suara
jantung, mempertahankan kepatenan jalan nafas, memmantau reaksi terhadap pemberian atau
terapi medis, serta pantau PaO2. Selanjutnya melakukan kolaborasi dalam pemberian surfaktan
eksogen sesuai indikasi.

b. Memantau urine, memantau serum elketrolit, mengkaji status hidrasi seperti turgor,
membran mukosa, dan status fontanel anterior. Apabila bayi mengalami kepanasan berikan
selimut kemudian berikan cairan melalui intravena sesuai indikasi.

c. Mempertahankan intake kalori secara intravena, total parenteral nurition dengan


memberikan 80-120 Kkal/Kg BB setian 24 jam, mempertahankan gula darah dengan memantau
gejala komplikasi adanya hipoglikemia, mempertahankan intake dan output, memantau gejala
komplikasi gastrointestinal, sepertia danya diare, mual, dan lain-lain.

d. Mengoptimalkan oksigen, oksigenasi yang optimal dilakukan dengan mempertahankan


kepatenan pemberian oksigen, melakukan penghisapa lendir sesuai kebutuhan, dan
mempertahankan stabilitas suhu.

e. Pemberian antibiotik.

Bayi dengan respiratory distress syndrome perlu mendapat antibiotik untuk mencegah infeksi
sekunder. Dapat diberikan penisilin dengan dosis 50.000-100.000 U/kgBB/hari atau ampisilin
100 mg/kgBB/hari, dengan atau tanpa gentamisin 3-5 mg/kgBB/hari.
LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN BAYI DENGAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH


PREMATURE

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi BBLR

Berat badan lahir rendah (BBLR) adalah bayi baru lahir dengan berat badan pada saat
kelahiran kurang dari 2500 gr atau lebih rendah (WHO, 1961).
BBLR Merupakan bayi (neonatus) yang lahir dengan memiliki berat badan kurang dari 2500
gram atau sampai dengan 2499 gram. (Hidayat, 2005).
Bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari
2.500 gram tanpa memperhatikan usia gestasi (Wong, 2009).
Jadi dapat disimpulkan bahwa bayi berat lahir rendah adalah bayi baru lahir dengan berat badan
kurang dari 2500 gram tanpa melihat apakah prematur atau dismatur yang dapat menyebabkan
terjadinya gangguan pertumbuhan dan pematangan (maturitas) organ serta menimbulkan
kematian.

B. Klasifikasi BBLR
Ada dua golongan BBLR, yaitu:
a. Prematuritas murni
Yaitu bayi yang lahir dengan masa kehamilan kurang dari 37 minggu dan berat bayi sesuai
dengan gestasi atau yang disebut neonatus kurang bulan sesuai untuk masa kehamilan.
b. Bayi small for gestational age (SGA)
Berat bayi lahir sesuai dengan masa kehamilan. SGA sendiri terdiri atas tiga jenis:
 simetris ( intrauterus for gestatational age ) yaitu terjadi gangguan nutrisi pada awal
kehamilan dan dalam jangka waktu yang lama
 Asimetris ( intrauterus growth retardation ) yaitu terjadi defisit nutrisi pada fase akhir
kehamilan
 Dismaturitas yaitu bayi yang lahir kurang dari berat badan yang seharusnya untuk masa
gestasi dan si bayi mengalami retardasi pertumbuhan intrauteri serta merupakan bayi
kecil untuk masa kehamilan. (Mitayani, 2009)
C. Etiologi BBLR
Etiologi atau penyebab dari BBLR maupun usia bayi belum sesuai dengan masa gestasinya, yaitu
:
a. Komplikasi obstetrik
 Multipel gestation
 Incompetence
 Pro ( premature rupture of membran ) dan kirionitis
 Pregnancy induce hypertention ( PIH )
 Plasenta previa
 Ada riwayat kelahiran prematur
b. Komplikasi medis
 Diabetes maternal
 Hipertensi kronis

c. Faktor ibu
 Penyakit : hal yang berhubungan dengan kehamilan seperti toksemia gravidarum,
perdarahan antepartum, trauma fisik dan psikologis, infeksi akut, serta kelainan
kardiovaskular.
 Usia ibu : angka kejadian prematurnitas tertinggi ialah pada usia ibu dibawah 20 tahun
dan multi gravida yang jarak kelahirannya terlalu dekat.
 Keadaan sosial ekonomi : keadaan ini sangat berpengaruh terhadap timbulnya
prematuritas, kejadian yang tinggi terdapat pada golongan sosial ekonomi rendah. Hal ini
disebabkan oleh keadaan yang kurang baik dan pengawasan antenatal yang kurang.
 Kondisi ibu saat hamil: peningkatan berat bdan yang tidak adekuat dan ibu yang perokok.
(Mitayani, 2009)

Beberapa faktor yang mempengaruhi BBLR antara lain :

1. Pengaruh umur ibu saat hamil terhadap kejadian BBLR

Hendaknya ibu merencanakan kehamilannya pada kurun waktu umur produksi sehat
yaitu 20-35 tahun. Dari segi biologis, wanita pada umur muda (kurang dari 20 tahun) memiliki
perkembangan organ-organ reproduksi yang belum matang. Keadaan ini akan menyebabkan
kompetisi dalam mendapatkan nutrisi antara ibu yang masih dalam tahap perkembangan dan
janinnya. Dari segi kejiwaan, belum siap dalam menghadapi tuntutan beban moril, mental, dan
emosional yan menyebabkan stress psikologis yang dapat mengganggu perkembangan janin.
Usia remaja memberikan risiko terjadinya kelahiran BBLR empat kali lebih besar dibandingkan
dengan kelahiran pada usia reproduktif sehat. Para peneliti juga menemukan bahwa kelahiran
BBLR pada usia remaja ternyata tidak hanya disebabkan oleh umur ibu yang masih muda tetapi
juga disebabkan oleh faktor lain yang berhubungan dengan usia remaja seperti tingkat
pendidikan, perawatan antenatal, berat badan sebelum hamil, kesiapan psikologik dalam
menerima kehamilan, penerimaan lingkungan sekitar terhadap kehamilannya, yang nantinya
akan menimbulkan stress.
Kehamilan pada umur lebih dari 35 tahun juga mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadinya
kelahiran BBLR sehubungan dengan alat reproduksinya telah berdegenerasi dan terjadi
gangguan keseimbangan hormonal. Fungsi plasenta yang tidak adekuat sehingga menyebabkan
kurangnya produksi progesterone dan mempengaruhi iritabilitas uterus, menyebabkan
perubahan-perubahan serviks yang pada akhirnya akan memicu kelahiran prematur. Umur ibu
hamil yang lebih tua juga dihubungkan dengan adanya penyakit-penyakit yang menyertainya.
2. Pengaruh pendidikan ibu terhadap kejadian BBLR
Tingkat pendidikan seorang ibu akan sangat berpengaruh dalam penerimaan informasi yang
diterima. Ibu dengan pendidikan yang cukup akan melakukan hal-hal yang diperlukan oleh bayi.
Misalnya kesadaran untuk memenuhi gizi, imunisasi, pemeriksaan berkala (antenatal care).
Sebaliknya pendidikan yang rendah akan sulit bagi seorang ibu untuk menerima inovasi dan
sebagian besar kurang mampu menciptakan kebahagiaan dalam keluarganya, selain itu kurang
menyadari betapa pentingnya perawatan sebelum melahirkan. Pemerintah telah berupaya untuk
meningkatkan pengetahuan ibu hamil melalui program kesehatan ibu dan anak, penyuluhan-
penyuluhan kesehatan selama ibu hamil. Dengan demikian para ibu hamil, diharapkan dapat
memilih makanan yang bergizi, guna menghindari lahirnya bayi dengan berat badan lahir rendah.
Hal ini jelas berpengaruh positif terhadap pertumbuhan janin dalam kandungannya. Selain itu
dengan pendidikan dan informasi cukup yang dimiliki ibu diharapkan pelaksanaan Keluarga
Berencana dapat berhasil sehingga dapat membatasi jumlah anak, menjarangkan kehamilan, dan
dapat menunda kehamilan jika menikah pada usia muda.
3. Pengaruh paritas terhadap risiko kejadian BBLR
Paritas adalah jumlah anak yang telah dilahirkan oleh seorang ibu baik lahir hidup maupun lahir
mati. Jumlah paritas yang tinggi mempunyai risiko yang lebih besar untuk melahirkan bayi
BBLR.
Hal ini dapat diterangkan bahwa pada setiap kehamilan yang disusul dengan persalinan akan
menyebabkan perubahan-perubahan pada uterus. Kehamilan yang berulang akan mengakibatkan
kerusakan pada pembuluh darah dinding uterus yang mempengaruhi sirkulasi nutrisi ke janin
dimana jumlah nutrisi akan berkurang bila dibandingkan dengan kehamilan sebelumnya.
Keadaan ini menyebabkan gangguan pertumbuhan janin.
4. Pengaruh umur kehamilan terhadap risiko kejadian BBLR
Untuk mengetahui umur kehamilan dengan mengetahui hari pertama haid terakhir (HPHT),
sedangkan secara klinik umur kehamilan dapat diketahui dengan mengukur berat lahir, panjang
badan, lingkaran kepala. Bayi dengan berat badan lahir rendah dapat merupakan hasil dari umur
gestasi yang pendek dengan kecepatan pertumbuhan janin yang normal, umur gestasi yang
normal dengan kecepatan pertumbuhan janin yang terganggu, atau umur gestasi yang pendek
dengan kecepatan pertumbuhan janin yang terganggu.
5. Pengaruh status gizi ibu terhadap kejadian BBLR
Bila ibu mengalami kekurangan gizi selama hamil akan menimbulkan masalah, baik pada ibu
maupun janin, seperti diuraikan berikut ini :

a. Terhadap Ibu
Gizi kurang pada ibu hamil dapat menyebabkan risiko dan komplikasi pada ibu antara lain :
anemia, perdarahan, berat badan ibu tidak bertambah secara normal, dan terkena penyakit infeksi
misalnya TORCH.
b. Terhadap Persalinan
Pengaruh gizi kurang terhadap proses persalinan dapat mengakibatkan persalinan sulit dan lama,
persalinan sebelum waktunya (prematur), perdarahan setelah persalinan, serta persalinan dengan
operasi cenderung meningkat.
c. Terhadap Janin
Kekurangan gizi pada ibu hamil dapat mempengaruhi proses pertumbuhan janin. Malnutrisi pada
awal kehamilan mengakibatkan terbentuknya organ-organ yang lebih kecil dengan ukuran sel
normal dan jumlah sel yang kurang secara permanen, sedangkan malnutrisi pada kehamilan
lanjut mengakibatkan terbentuk organ yang lebih kecil dengan jumlah sel yang cukup dan ukuran
sel yang lebih kecil, sehingga dapat menimbulkan cacat bawaan. Tetapi hal ini refersibel dan
akan memberikan respon yang baik apabila nutrisi diperbaiki. Kekurangan gizi juga dapat
menimbulkan keguguran, abortus, bayi lahir mati, kematian neonatal, anemia pada bayi, asfiksia
intra partum (mati dalam kandungan), dan lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR).
Keadaan status gizi ibu hamil sangat berpengaruh terhadap kondisi janin. Pada masa kehamilan
seorang ibu memerlukan makanan lebih banyak dibandingkan wanita tidak hamil. Ganggua yang
menyebabkan tidak terpenuhinya gizi akan menyebabkan gangguan pada janin dan beresiko
untuk melahirkan bayi BBLR.
6. Pengaruh kadar haemogloin ibu terhadap kejadian BBLR
Anemia dapat didefenisikan sebagai kondisi dengan kadar Hb berada dibawah normal. Di
Indonesia anemia umumnya disebabkan oleh kekurangan zat besi, sehingga lebih dikenal dengan
istilah Anemia Gizi Besi. Anemia defisiensi besi merupakan salah satu gangguan yang paling
sering terjadi selama kehamilan. Ibu hamil umumnya mengalami deplesi besi sehingga hanya
memberi sedikit besi kepada janin yang dibutuhkan untuk metabolisme besi yang normal.
Selanjutnya mereka akan menjadi anemia pada saat kadar hemoglobin ibu turun sampai dibawah
11 gr/dl selama trimester III.
Kekurangan zat besi dapat menimbulkan gangguan atau hambatan pada pertumbuhan janin baik
sel tubuh maupun sel otak. Anemia gizi dapat mengakibatkan kematian janin didalam
kandungan, abortus, cacat bawaan, BBLR, anemia pada bayi yang dilahirkan, hal ini
menyebabkan morbiditas dan mortalitas ibu dan kematian perinatal secara bermakna lebih tinggi.
Karena selama hamil zat-zat gizi akan terbagi untuk ibu dan untuk janin yang dikandungnya.
Pada ibu hamil yang menderita anemia berat dapat meningkatkan resiko morbiditas maupun
mortalitas ibu dan bayi, kemungkinan melahirkan bayi BBLR dan premature juga lebih besar.6
Pada wanita hamil, anemia meningkatkan frekuensi komplikasi pada kehamilan dan persalinan.
Risiko kematian maternal, angka prematuritas, berat badan bayi lahir rendah, dan angka
kematian perinatal meningkat. Soeprono menyebutkan bahwa dampak anemia pada kehamilan
bervariasi dari keluhan yang sangat ringan hingga terjadinya gangguan kelangsungan kehamilan
abortus, partus (imatur/prematur), dan kadar Hb ibu bisa dipengaruhi oleh paritas, yang mana
seorang ibu yang sering melahirkan mempunyai risiko mengalami anemia pada kehamilan
berikutnya apabila tidak memperhatikan kebutuhan nutrisi.
7. Pengaruh penyakit yang diderita ibu terhadap kejadian BBLR
Beberapa jenis penyakit baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi
sirkulasi darah janin. Pada hipertensi dan penyakit ginjal kronik misalnya, terjadi gangguan
peredaran darah dari ibu ke janin karena gangguan sirkulasi sistemik, sehingga nutrisi untuk
janin berkurang dan menyebabkan pertumbuhan janin yang terhambat. Penyakit yang
berhubungan langsung dengan kehamilan misalnya toksemia gravidarum, perdarahan
antepartum, trauma fisis dan psikologis.
8. Pengaruh faktor kehamilan ganda terhadap kejadian BBLR
Pada ibu dengan kehamilan ganda membutuhkan asupan makanan yang lebih dibandingkan ibu
yang hamil tunggal, sehingga apabila kebutuhan janin tidak tercukupi secara merata maka
mengakibatkan bayi yang lahir mempunyai berat badan yang rendah.
9. Pengaruh sosial ekonomi terhadap kejadian BBLR
Pengaruh sosial ekonomi merupakan hal yang cukup berpengaruh dalam kejadian BBLR,
walaupun secara tidak langsung. Pendapatan yang rendah akan menyulitkan seorang ibu untuk
memenuhi kebutuhan bayi terutama dalam hal gizi. Hal ini pada akhirnya akan menyebabkan
bayi dengan BBLR. Mc Carthy dan Maine menunjukkan bahwa angka kematian ibu dapat
diturunkan secara tidak langsung dengan memperbaiki status sosial ekonomi yang mempunyai
efek terhadap salah satu dari seluruh faktor langsung yaitu perilaku kesehatan dan perilaku
reproduksi, status kesehatan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan.
10. Pengaruh pelayanan antenatal terhadap kejadian BBLR
Pelayanan antenatal ini diperuntukkan guna memantau perkembangan kehamilan ibu, frekuensi
minimal 4 kali selama kehamilan. Pemeriksaan antenatal yang teratur akan memberikan
kesempatan untuk dapat mendiagnosis secara dini masalah-masalah yang dapat menyulitkan
kehamilan maupun persalinan, sehingga dapat dilakukan tindakan yang tepat secepatnya.
11. Pengaruh kebiasaan merokok dan minum alkohol terhadap kejadianBBLR
Merokok dan minum alkohol merupakan salah satu kebiasaan buruk bagi ibu hamil yang akan
berpengaruh terhadap janin yang dikandungnya. Menurut penelitian Haworth dkk, bahwa berat
badan bayi yang lahir dari ibu perokok lebih rendah dari ibu yang bukan perokok, walaupun
penambahan berat badan selama hamil dan asupan energi sama. Beberapa penulis
mengemukakan bahwa ibu hamil yang merokok lebih sering melahirkan bayi yang lebih kecil
dibanding ibu hamil yang tidak merokok. Hal ini disebabkan beberapa hal :
-Karbonmonoksida dan inaktifasi fungsionalnya pada hemoglobin janin dan ibu.
-Aksi vasokonstriksi dan nikotin menyebabkan menurunnya perfusi darah ke plasenta.
-Merokok menyebabkan menurunnya selera makan ibu sehingga asupan energi ibu hamil
berkurang, walaupun ada beberapa ibu perokok yang selera makannya tidak berubah.
-Berkurangnya volume plasma akibat hipoksia kronik.
-Ibu hamil peminum alkohol mempunyai risiko untuk melahirkan bayi dengan fetal alcohol
syndrome. Sindrom ini mencakup kelahiran prematur, retardasi pertumbuhan janin, cacat lahir
dan retardasi mental. Risiko ini berhubungan dengan jumlah alkohol yang diminum setiap
harinya, usia kehamilan saat ibu hamil minum alkohol dan lamanya ibu tersebut mengkonsumsi
minuman beralkohol. Makin banyak alkohol yang dikonsumsi, semakin besar resiko
terganggunya pertumbuhan janin; sebaliknya semakin kurang mengkonsumsi alkohol, resiko
terganggunya janin akan semakin kecil, tetapi masih ada. Bila ibu hamil mengkonsumsi alkohol
pada trimester pertama kehamilan saat berlangsung organogenesis janin, maka resiko abortus
akan lebih besar. Bila mengkonsumsi alkohol pada trimester kedua saat terjadi perkembangan
ukuran sel, maka akan berpengaruh pada berat janin yang dikandungnya.
12. Pengaruh jenis kelamin terhadap kejadian BBLR
Perbedaan jenis kelamin ikut berperan pada berat badan lahir. rata-rata berat badan lahir bayi
laki-laki 150 gram lebih berat dibanding bayi perempuan. Setelah minggu ke-20 mulai terdapat
perbedaan antara pertumbuhan janin laki-laki dan perempuan. Menurut Kloosterman (1969)
perbedaan ini dapat mencapai 135 gram pada kehamilan 40 minggu. Jadi bayi laki-laki seringkali
lebih berat dari bayi perempuan.
13. Pengaruh Riwayat Melahirkan BBLR Sebelumnya Terhadap KejadianBBLR
Ibu dengan riwayat melahirkan BBLR pada partus sebelumnya mempunyai kemungkinan untuk
melahirkan anak berikutnya dengan BBLR.
D. Patofisiologi
Menurunnya simpanan zat gizi. Hampir semua lemak, glikogen, dan mineral, seperti zat besi,
kalsium, fosfor dan seng dideposit selama 8 minggu terakhir kehamilan. Dengan demikian bayi
preterm mempunyai peningkatan potensi terhadap hipoglikemia, rikets dan anemia.
Meningkatnya kkal untuk bertumbuh. BBLR memerlukan sekitar 120 kkal/ kg/hari,
dibandingkan neonatus aterm sekitar 108 kkal/kg/hari
Belum matangnya fungsi mekanis dari saluran pencernaan. Koordinasi antara isap dan menelan,
dengan penutupan epiglotis untuk mencegah aspirasi pneumonia, belum berkembang dengan
baik sampai kehamilan 32-42 minggu. Penundaan pengosongan lambung dan buruknya motilitas
usus sering terjadi pada bayi preterm. Kurangnya kemampuan untuk mencerna makanan. Bayi
preterm mempunyai lebih sedikit simpanan garam empedu, yang diperlukan untuk mencerna dan
mengabsorbsi lemak , dibandingkan bayi aterm. Produksi amilase pankreas dan lipase, yaitu
enzim yang terlibat dalam pencernaan lemak dan karbohidrat juga menurun. Kadar laktase juga
rendah sampai sekitar kehamilan 34 minggu. Paru-paru yang belum matang dengan peningkatan
kerja bernafas dan kebutuhan kalori yang meningkat. Masalah pernafasan juga akan mengganggu
makanan secara oral.
Potensial untuk kehilangan panas akibat luasnya permukaan tubuh dibandingkan dengan berat
badan, dan sedikitnya lemak pada jaringan bawah kulit memberikan insulasi. Kehilangan panas
ini meningkatkan keperluan kalori. (Moore, 1997)
E. Manifestasi Klinik
Secara umum gambaran klinis pada bayi berat badan lahir rendah sebagai berikut:
1. Berat badan lahir< 2500 gram, panjang badan≤ 45 Cm, lingkar dada< 30 Cm, lingkar
kepala< 33 Cm.
2. Masa gestasi< 37 minggu.
3. Penampakan fisik sangat tergantung dari maturitas atau lamanya gestasi; kepala relatif
lebih besardari badan, kulit tipis, transparan, banyak lanugo, lemak sub kutan sedikit, osifikasi
tengkoraksedikit, ubun-ubun dan sutu lebar, genetalia immatur, otot masih hipotonik sehingga
tungkaiabduksi, sendi lutut dan kaki fleksi, dan kepala menghadap satu jurusan.
4. Lebih banyak tidur daripada bangun, tangis lemah, pernafasan belum teratur dan sering
terjadi apnea, refleks menghisap, menelan, dan batuk belum sempurna.
Manifestasi klinis yang lain yaitu :
1. Berat badan kurang dari 2.500 gram
2. Kulit tipis, transparan, lanugo banyak, ubun-ubun dan sutura lebar
3. Genetalia imatur, rambut tipis halus teranyam, elastisitas daun telinga kurang
4. Tangis lemah, tonus otot leher lemah.
5. Reflek moro (+), reflek menghisap, menelan, batuk, belum sempurna.
6. Bila lapar menangis, gelisah, aktifitas bertambah
7. Tidak tampak bayi menderita infeksi/perdarahan intrakranial
8. Nafas belum teratur
9. Pembuluh darah kulit diperut terlihat banyak
10. Jaringan mamae belum sempurna, putting susu belum terbentuk dengan baik.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam BBLR adalah:
1. Suhu Tubuh
-Pusat pengatur napas badan masih belum sempurna
-Luas badan bayi relatif besar sehingga penguapannya bertambah
-Otot bayi masih lemah
-Lemak kulit dan lemak coklat kurang, sehingga cepat kehilangan panas badan
-Kemampuan metabolisme panas masih rendah, sehingga bayi dengan berat badan lahir rendah
perlu diperhatikan agar tidak terlalu banyak kehilangan panas badan dan dapat dipertahankan.
2. Pernapasan
-Fungsi pengaturan pernapasan belum sempurna
-Surfaktan paru-paru masih kurang, sehingga perkembangannya tidak sempurna
-Otot pernapasan dan tulang iga lemah
-Dapat disertai penyakit : penyakit hialin membrane, mudah infeksi paru-paru dan gagal
pernapasan.
3. Alat pencernaan makanan
-Belum berfungsi sempurna sehingga penyerapan makanan dengan lemah / kurang baik
-Aktifitas otot pencernaan makanan masih belum sempurna , sehingga pengosongan lambung
berkurang
-Mudah terjadi regurgitasi isi lambung dan dapat menimbulkan aspirasi pneumonia
4. Hepar yang belum matang (immatur)
Mudah menimbulkan gangguan pemecahan bilirubin, sehingga mudah terjadi hyperbilirubinemia
(kuning) samai ikterus
5. Ginjal masih belum matang
Kemampuan mengatur pembuangan sisa metabolisme dan air masih belum sempurna sehingga
mudah terjadi oedema
6. Perdarahan dalam otak
-Pembuluh darah bayi BBLR masih rapuh dan mudah pecah
-Sering mengalami gangguan pernapasan, sehingga memudahkan terjadinya perdarahan dalam
otak
-Perdarahan dalam otak memperburuk keadaan dan menyebabkan kematian bayi
-Pemberian O2 belum mampu diatur sehingga mempermudah terjadi perdarahan dan nekrosis.
F. Perawatan BBLR
Dengan memperhatika gambaran klinis diatas dan berbagai kemungkinan yang dapat terjadi pada
bayio BBLR, maka perawatan dan pengawasan bayi BBLR ditujukan pada pengaturan panas
badan, menghindari infeksi, pemberian makanan bayi dan pernapasan.
1. Pengaturan Suhu Tubuh BBLR
Bayi BBLR mudah dan cepat sekali menderita Hypotermia bila berada di lingkungan yang
dingin. Kehilangan panas disebabkan oleh permukaan tubuh bayi yang realtif lebih luas bila
dibandingkan dengan berat badan, kurangnyua jaringan lemak dibawah kulit, dan kekurangan
lemak coklat (Brown Fat). Untuk mencegah hypotermi, perlu diusahakan lingkungan yang cukup
hangat untuk bayi dan dalam keadaan istrahat konsumsi oksigen paling sedikit, sehingga suhu
tubuh bayi tetap normal. Bila bayi dirawat dalam inkubator, maka suhunya untuk nayi dengan
berat badan kurang dari 2000 gram adalah 35 0C dan untuk bayi dengan BB 2000 gram sampai
2500 gram 34 0C, agar ia dapat mempertahankan suhu tubuh sekitar 37 0C. Kelembaban
inkubator berkisar antara 50 – 60 persen. Kelembaban yang lebih tinggi diperlukan pada bayi
dengan syndroma gangguan pernapasan. Suhu inkubator dapat diturunkan 1 0C per minggu
untuk bayi dengan berat badan 2000 gram dan secara berangsur – angsur ia dapat diletakkan
didalam tempat tidur bayi dengan suhu lingkungan 27 0C-29 0C. Bila inkubator tidak ada,
pemanasan dapat dilakukan dengan membungkus bayi dan meletakkan botol-botol hangat
disekitarnya atau dengan memasang lampu petromaks di dekat tempat tidur bayi atau dengan
menggunakan metode kanguru.
Cara lain untuk mempertahankan suhu tubuh bayi sekitar 36 0C - 37 0C adalah dengan memakai
alat perspexheat shield yang diselimuti pada bayi didalam inkubator. Alat ini berguna untuk
mengurangi kehilangan panas karena radiasi. Akhir-akhir ini telah dimulai digunakan inkubator
yang dilengkapi dengan alat temperatur sensor (Thermistor probe). Alat ini ditempelkan dikulit
bayi. Suhu inkubator dikontrol oleh alat servomechanism. Dengan cara ini suhu kulit bayi dapat
dipertahankan pada derajat yang telah ditetapkan sebelumnya. Alat ini sangat bermanfaat untuk
bayi dengan berat lahir yang sangat rendah.
Bayi dalam inkubator hanya dipakaikan popok. Hal ini penting untuk memudahkan pengawasan
mengenai keadan umum, perubahan tingkah laku, warna kulit, pernapasan, kejang dan
sebagainya sehingga penyakit yang diderita dapat dikenal sedini mungkin dan tindakan serta
pengobatan dapat dilaksanakan secepat-cepatnya.
2. Pernapasan
Jalan napas merupakan jalan udara melalui hidung, pharing, trachea, bronchiolus, bronchiolus
respiratorius, dan duktus alveoleris ke alveoli. Terhambatnya jalan napas akan menimbulkan
asfiksia, hipoksia dan akhirnya kematian. Selain itu bayi BBLR tidak dapat beradaptasi dengan
asfiksia yang terjadi selama proses kelahiran sehingga dapat lahir dengan asfiksia perinatal. Bayi
BBLR berisiko mengalami serangan apneu dan defisiensi surfakatan, sehingga tidak dapat
memperoleh oksigen yang cukup yang sebelumnya diperoleh dari plasenta. Dalam kondisi
seperti ini diperlukan pembersihan jalan napas segera setelah lahir (aspirasi lendir), dibaringkan
pada posisi miring, merangsang pernapasan dengan menepuk atau menjentik tumit. Bila tindakan
ini gagal, dilakukan ventilasi, intubasi endotrakheal, pijatan jantung dan pemberian oksigen dan
selama pemberian intake dicegah terjadinya aspirasi. Dengan tindakan ini dapat dicegah
sekaligus mengatasi asfiksia sehingga memperkecil kematian bayi BBLR.
3. Pencegahan Infeksi
Infeksi adalah masuknya bibit penyakit atau kuman kedalam tubuh, khususnya mikroba. Bayi
BBLR sangat mudah mendapat infeksi. Infeksi terutama disebabkan oleh infeksi nosokomial.
Kerentanan terhadapa infeksi disebabkan oleh kadar imunoglobulinserum pada bayi BBLR
masih rendah, aktifitas bakterisidal neotrofil, efek sitotoksik limfosit juga masih rendah dan
fungsi imun belum berpengalaman.
Infeksi local bayi cepat menjalar menjadi infeksi umum. Tetapi diagnosis dini dapat ditegakkan
jika cukup waspada terhadap perubahan (kelainan) tingkah laku bayisering merupakan tanda
infeksi umum. Perubahan tersebut antara laian : malas menetek, gelisah, letargi, suhu tyubuh
meningkat, frekwensi pernapasan meningkat, muntah, diare, berat badan mendadak turun.
Fungsi perawatan disini adalah memberi perlindungan terhadap bayi BBLR dari infeksi. Oleh
karena itu, bayi BBLR tidak boleh kontak dengan penderita infeksi dalam bentuk apapun.
Digunakan masker dan baju khusus dalam penanganan bayi, perawatan luka tali pusat, perawatan
mata, hidung, kulit, tindakan aseptic dan antiseptic alat-alat yang digunakan, isolasi pasien,
jumlah pasien dibatasi, rasio perawat pasien ideal, mengatur kunjungan, menghindari perawatan
yang yang terlalu lama, mencegah timbulnya asfiksia dan pemberian antibiotic yang tepat.
4. Pengaturan Intake
Pengaturan intake adalah menentukan pilihan susu, cara pemberian dan jadwal pemberian yang
sesuai dengan kebutuhan bayi BBLR.
ASI (Air Susu Ibu) merupakan pilihan pertama jika bayi mampu mengisap. ASI juga dapat
dikeluaekan dan diberikan pada bayi yang tidak cukup mengisap. Jika ASI tidak ada atau tidak
mencukupi khususnya pada bayi BBLR dapat digunakan susu Formula yang komposisinya mirip
ASI atau susu formula khusu bayi BBLR.
Cara pemberian makanan bayi BBLR harus diikuti tindakan pencegahan khusus untuk mencegah
terjadinya regurgitasi dan masuknya udara dalam usus. Pada bayi dalam incubator dengan kontak
yang minimal, tempat tidur atau kasur incubator harus diangkat dan bayi dibalik pada sisi
kanannya. Sedangkan pada bayi lebih besar dapat diberi makan dalam posisi dipangku. Pada
bayi BBLR yang lebih kecil, kurang giat dan mengisap dan sianosis ketika minum melalui botol
atau menetek pada ibunya, makanan diberikam melalui NGT
Jadwal pemberian makanan disesuaikan dengan kebutuhan dan berat badan bayi BBLR.
Pemberian makanan interval tiap jam dilakukan pada bayi dengan Berat Badan lebih rendah.
5. Ikterus
Semua bayi prematur menjadi ikterus karena sistem enzim hatinya belum matur dan bilirubin tak
berkonjugasi tidak dikonjugasikan secara efisien sampai 4-5 hari berlalu . Ikterus dapat
diperberat oleh polisetemia, memar hemolisias dan infeksi karena hperbilirubinemia dapat
menyebabkan kernikterus maka wama bayi harus sering dicatat dan bilirubin diperiksa, bila
ikterus muncul dini atau lebih cepat bertambah coklat.
6. Perawatan kulit
Kulit bayi prematur sangat imatur dibandingkan bayi yang cukup bulan. Karena sangat sensitif
dan rapuh, maka sabun yang berbasis alkalis yang dapat merusakmantel asam tidak boleh
digunakan. Semua produk kulit (misal: alkohol, povidone iodine) harus dipergunakan secara
hati-hati: kulit harus segaera dibilas dengan air sesudahnya karena zat-zat tersebut dapat
mengakibatkan iritasi berat dan luka bakar kimia pada bayi.
Kulit sangat mudah mengalami eksoriasi dan terkelupas; harus diperhatikan jangan sampai
merusak struktur yang halus tersebut. Oleh karena itu, ikatannya jauh lebih longgar diantara
lapisan kulit tipis tersebut. Penggunaan perekat setelah penusukan tumit atau untuk melekatkan
alat pemantau atau infus IV dapat eksoriasi kulit atau menempel erat pada permukaan kulit
sehingga epidermis dapat terkelupas dari dermis dan tertarik bersama plester sama sekali tidak
aman menggunakan gunting untuk mengelupas balutan atau plester dari ekstremitas bayi imatur
yang sangat kecil, karena bis memotong ekstremitas yang kecil tersebut atau melepas klit yang
terikat longgar. Pelarut yang digunakan untuk mengelupas plester juga harus dihindari karena
cenderung mengeringkan dan membakar kulit lembut.
G. Komplikasi
Ada beberapa hal yang dapat terjadi apabila BBLR tidak ditangani secepatnya menurut Mitayani,
2009 yaitu :
1. Sindrom aspirasi mekonium (menyebabkan kesulitan bernapas pada bayi)
2. Hipoglikemia simptomatik, terutama pada laki-laki
3. Penyakit membran hialin: disebabkan karena surfaktan paru belum sempurna/ cukup,
sehingga olveoli kolaps. Sesudah bayi mengadakan inspirasi, tidak tertinggal udara residu dalam
alveoli, sehingga selalu dibutuhkan tenaga negatif yang tinggi untuk yang berikutnya
4. Asfiksia neonetorum
5. Hiperbilirubinemia
Bayi dismatur sering mendapatkan hiperbilirubinemia, hal ini mungkin disebabkan karena
gangguan pertumbuhan hati.
H. Prognosa
Tergantung dari berat ringannya masalah perinatal, seperti; masa gestasi (semakin muda dan
semakin rendah berat badan bayi makin tinggi angka kematiannya), komplikasi yang menyertai
(asfiksia/iskemia, sindrom gangguan pernafasan, perdarahan intra ventrikuler, infeksi, gangguan
metabolik, dll).
Prognosis bayi berat lahir rendah ini tergantung dari berat ringannya masalah perinatal misalnya
masa gestasi ( makin muda masa gestasi / makin rendah berat bayi, makin tinggi angka
kematian), asfiksia/iskemia otak , sindroma gangguan pernapasan , perdarahan intrafentrikuler ,
displasia bronkopulmonal, retrolental fibroplasia, infeksi, gangguan metabolik (asidosis,
hipoglikemi, hiperbilirubinemia). Prognosis ini juga tergantung dari keadaan sosial ekonomi,
pendidikan orang tua dan perawatan pada saat kehamilan persalinan dan post natal (pengaturan
suhu lingkungan, resusitasi, nutrisi, mencegah infeksi, mengatasi gangguan pernapasan, asfiksia
hiperbilirubinemia, hipoglikemia dan lain – lain).
Pengamatan Lebih Lanjut
Bila bayi berat lahir rendah dapat mengatasi problematik yang dideritanya perlu diamati
selanjutnya oleh karena kemungkinan bayi ini akan mengalami gangguan pendengaran,
penglihatan, kognitif, fungsi motor susunan saraf pusat dan penyakit penyakit seperti
Hidrosefalus, Cerebral palsy dan sebagainya
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN BAYI DENGAN HIPERBILIRUBINEMIA
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hiperbilirubinemia
1. Pengertian
Bilirubin adalah pigmen kristal tetrapiol berwarna jingga kuning yang merupakan bentuk
akhir dari pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi-reduksi yang terjadi di
sistem retikulo endothelial (Kosim, 2012). Bilirubin diproduksi oleh kerusakan normal sel darah
merah. Bilirubin dibentuk oleh hati kemudian dilepaskan ke dalam usus sebagai empedu atau
cairan yang befungsi untuk membantu pencernaan (Mendri dan Prayogi,
2017).Hiperbilirubinemiaadalah peningkatan kadar serum bilirubin dalam darah
sehinggamelebihi nilai normal. Pada bayi baru lahir biasanya dapat mengalami
hiperbilirubinemia pada minggu pertama setelah kelahiran. Keadaan hiperbilirubinemia pada
bayi baru lahir disebabkan oleh meningkatnya produksi bilirubin atau mengalami
hemolisis,kurangnya albumin sebagai alat pengangkut, penurunan uptake oleh hati, penurunan
konjugasi bilirubin oleh hati, penurunan ekskresi bilirubin, dan peningkatan sirkulasi
enterohepatik (IDAI, 2013).
Hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana meningkatnya kadar bilirubin dalam darah
secara berlebihan sehingga dapat menimbulkan perubahan pada bayi baru lahir yaitu warna
kuning pada mata, kulit, dan mata atau biasa disebut dengan jaundice. Hiperbilirubinemia
merupakan peningkatan kadar bilirubin serum yang disebabkan oleh salah satunya yaitu
kelainan bawaan sehingga menyebabkan ikterus (Imron, 2015). Hiperbilirubinemia atau
penyakit kuning adalah penyakit yang disebabkan karena tingginya kadar bilirubin pada darah
sehingga menyebabkan bayi baru lahir berwarna kuning pada kulit dan pada bagian putih mata
(Mendri dan Prayogi, 2017).
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan proses fisiologis atau patologis dan dapat juga
disebabkan oleh kombinasi keduanya. Hiperbilirubinemia menyebabkan bayi baru lahir tampak
kuning, keadaan tersebut timbul akibat akumulasi pigmen bilirubin (4Z, 15Z bilirubin IX alpha)
yang berwarna ikterus atau kuning pada sklera dan kulit (Kosim, 2012). Pada keadaan normal
kadar bilirubin indirek pada tali pusat bayi baru lahir yaitu 1 – 3 mg/dL dan terjadi peningkatan
kurang dari 5 mg/dL per 24 jam. Bayi baru lahir biasanya akan tampak kuning pada hari kedua
dan ketiga dan memuncak pada hari kedua sampai hari keempat dengan kadar 5 – 6 mg/dL dan
akan turun pada hari ketiga sampai hari kelima. Pada hari kelima sampai hari ketujuh akan
terjadi penurunan kadar bilirubin sampai dengan kurang dari 2 mg/dL. Pada kondisi ini bayi baru
lahir dikatakan mengalami hiperbilirubinemiafisiologis (Stoll et al, 2004).Pada
hiperbilirubinemia non fisiologis atau patologis, ikterus atau kuning akan muncul pada 24 jam
pertama kehidupan. Kadar bilirubin akan meningkat lebih dari 0,5 mg/dL per jam.
Hiperbilirubinemia patologis akan menetap pada bayi aterm setelah 8 hari dan setelah 14
hari pada bayi preterm (Martin et al, 2004).Pada kebanyakan bayi baru lahir, hiperbilirubinemia
tak terkonjugasi merupakan fenomena transisional yang normal, tetapi pada beberapa bayi akan
terjadi peningkatan bilirubin secara berlebihan sehingga bilirubin berpotensi menjadi toksik. Hal
ini akan menyebabkan kematian bayi baru lahir dan apabila bayi bertahan hidup dalam jangka
panjang akan menyebabkan sekuele neurologis (Kosim, 2012).
2. Etiologi
Hiperbilirubinemia disebabkan oleh peningkatan produksi bilirubin karena
tingginyajumlah sel darah merah, dimana sel darah merah mengalami pemecahan sel yang lebih
cepat. Selain itu, hiperbilirubinemia juga dapat disebabkan karena penurunan uptakedalam hati,
penurunan konjugasi oleh hati, dan peningkatan sirkulasi enterohepatik (IDAI, 2013).
Kejadian ikterik atau hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir disebabkan oleh disfungsi
hati pada bayi baru lahir sehingga organ hati pada bayi tidak dapat berfungsi maksimal dalam
melarutkan bilirubin ke dalam air yang selanjutkan disalurkan ke empedu dan diekskresikan
kedalam usus menjadi urobilinogen. Hal tersebut meyebabkan kadar bilirubin meningkat dalam
plasma sehingga terjadi ikterus pada bayi baru lahir (Anggraini, 2016). Menurut Nelson (2011)
secara garis besar etiologi ikterus atau hiperbilirubinemia pada neonatus dapat dibagi menjadi :
a.Produksi bilirubin yang berlebihan.
Hal ini melebihi kemampuan neonatus untuk mengeluarkan zat tersebut. Misalnya pada
hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, AB0, golongan darah lain, defisiensi
enzim G6-PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar.
Gangguan ini dapat disebabkan oleh asidosis, hipoksia, dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim
glukoronil transferase (sindrom crigglerNajjar). Penyebab lain yaitu defisiensi protein. Protein Y
dalam hepar yang berperan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.
c. Gangguan transportasi bilirubin.
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar. Ikatan bilirubin dengan
albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfafurazole. Defisiensi albumin
menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah
melekat ke sel otak.
d. Gangguan dalam ekskresi.
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau diluar hepar. Kelainan diluar hepar
biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau
kerusakan hepar oleh penyebab lain.
3. Patofisiologi
Bilirubin di produksi sebagian besar (70-80%) dari eritrosit yang telah rusak. Kemudian
bilirubin indirek (tak terkonjugasi) dibawa ke hepar dengan cara berikatan dengan albumin.
Bilirubin direk (terkonjugasi) kemudian diekskresikan melalui traktus gastrointestinal. Bayi
memiliki usus yang belum sempurna, karna belum terdapat bakteri pemecah, sehingga
pemecahan bilirubin tidak berhasil dan menjadi bilirubin indirek yang kemudian ikut masuk
dalam aliran darah, sehingga bilirubin terus bersirkulasi (Atika dan Jaya, 2016).Pembentukan
bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial, selanjutnya dilepaskan ke sirkulasi yang akan
berikatan dengan albumin.
Neonatus mempunyai kapasitas ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin karena
konsentrasi albumin yang rendah dan kapasitas ikatan molar yang kurang. Bilirubin yang terikat
dengan albumin tidak dapat memasuki susunan syaraf pusat dan bersifat toksik (Kosim,
2012).Pigmen kuning ditemukan di dalam empedu yang terbentuk dari pemecahan hemoglobin
oleh kerja heme oksigenase, biliverdin, reduktase, dan agen pereduksi non enzimatik dalam
sistem retikuloendotelial. Setelah pemecahan hemoglobin, bilirubin tak terkonjugasi diambil oleh
protein intraseluler “Y protein” dalam hati. Pengambilan tergantung pada aliran darah hepatik
dan adanya ikatan protein.
Bilirubin tak terkonjugasi dalam hati diubah atau terkonjugasi oleh enzim asam uridin
disfoglukuronat (uridine disphoglucuronid acid)glukurinil transferase menjadi bilirubin mono
dan diglucuronida yang polar, larut dalam air (bereaksi direk). Bilirubin yang terkonjugasi yang
larut dalam air dapat dieliminasi melaui ginjal. Dengan konjugasi, bilirubin masuk dalam
empedu melaui membran kanalikular. Kemudian ke sistem gastrointestinal dengan diaktifkan
oleh bakteri menjadi urobilinogen dalam tinja dan urine. Beberapa bilirubin diabsorbsi kembali
menjadi sirkulasi enterohepatik (Suriadi dan Yuliani 2010).
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang melebihi
kemampuan hati untuk mengekskresikan bilirubin yang telah diekskresikan dalam jumlah
normal. Selain itu, hiperbilirubinemia juga dapat disebabkan oleh obstruksi saluran ekskresi hati.
Apabila konsentrasi bilirubin mencapai 2 – 2,5 mg/dL maka bilirubin akan tertimbun di dalam
darah. Selanjutnya bilirubin akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian akan menyebabkan
kuning atau ikterus (Khusna, 2013).
Warna kuning dalam kulit akibat dari akumulasi pigmen bilirubin yang larut lemak, tak
terkonjugasi, non polar (bereaksi indirek). Pada bayi dengan hiperbilirubinemia kemungkinan
merupakan hasil dari defisiensi atau tidak aktifnya glukoronil transferase. Rendahnya
pengambilan dalam hepatik kemungkinan karena penurunan protein hepatik sejalan dengan
penurunan darah hepatik (Suriadi danYuliani 2010).

4. Pathway
Gambar 2.1 Pathway Hiperbilubinemia

Sumber : Suriadi dan Yuliani (2010)


5. Klasifikasi Hiperbilirubinemia
a. Hiperbilirubinemia Fisiologis
Hiperbilirubinemia fisiologis pada bayi baru lahir tidak muncul pada 24 jam pertama
setelah bayi dilahirkan. Biasanya pada hiperbilirubinemia fisiologis peningkatan kadar bilirubin
total tidak lebih dari 5mg/dL per hari. Pada bayi cukup bulan,hiperbilirubinemia fisiologis akan
mencapai puncaknya pada 72 jam setelah bayi dilahirkan dengan kadar serum bilirubin yaitu 6 –
8 mg/dL. Selama 72 jam awal kelahiran kadar bilirubin akan meningkat sampai dengan 2 – 3
mg/dL kemudian pada hari ke-5 serum bilirubin akan turun sampai dengan 3mg/dL (Hackel,
2004). Setelah hari ke-5, kadar serum bilirubin akan turun secara perlahan sampai dengan
normal pada hari ke-11 sampai hari ke-12. Pada Bayi dengan Berat Lahir Rendah (BBLR) atau
bayi kurang bulan (premature) bilirubin mencapai puncak pada 120 jam pertama dengan
peningkatan serum bilirubin sebesar 10 – 15 mg/dL dan akan menurun setelah 2 minggu
(Mansjoer, 2013)
b. Hiperbilirubinemia Patologis
Hiperbilirubinemia patologis atau biasa disebut dengan ikterus pada bayi baru lahir akan
muncul dalam 24 jam pertama setelah bayi dilahirkan. Pada hiperbilirubinemia patologis kadar
serum bilirubin total akan meningkat lebih dari 5 mg/dL per hari. Pada bayi cukup bulan, kadar
serum bilirubin akan meningkat sebanyak 12 mg/dL sedangkan pada bayi kurang bulan
(premature)kadar serum bilirubin total akan meningkat hingga 15 mg/dL. Ikterus biasanya
berlangsung kurang lebih satu minggu pada bayi cukup bulan dan lebih dari dua minggu pada
bayi kurang bulan (Imron, 2015).
6. Manifestasi Klinis
Bayi baru lahir dikatakan mengalami hiperbilirubinemia apabila bayi baru lahir tersebut
tampak berwarna kuning dengan kadar serum bilirubin 5mg/dL atau lebih (Mansjoer, 2013).
Hiperbilirubinemiamerupakan penimbunan bilirubin indirek pada kulit sehingga menimbulkan
warna kuning atau jingga. Pada hiperbilirubinemia direk bisanya dapat menimbulkan warna
kuning kehijauan atau kuning kotor (Ngatisyah, 2012).
Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir dapat menyebabkan ikterus pada sklera, kuku,
atau kulit dan membrane mukosa. Jaundiceyang muncul pada 24 jam pertama disebabkan oleh
penyakit hemolitik pada bayi baru lahir, sepsis, atau ibu dengan diabetik atau infeksi. Jaundice
yang tampak pada hari kedua atau hari ketiga, dan mencapai puncak pada hari ketiga sampai hari
keempat dan menurun pada hari kelima sampai hari ketujuh yang biasanya merupakan jaundice
fisiologis (Suriadi dan Yuliani 2010).Ikterus diakibatkan oleh pengendapan bilirubin indirek
pada pada kulit yang cenderung tampak kuning terang atau orange. Pada ikterus tipe obstruksi
(bilirubin direk) akan menyebabkan kulit pada bayi baru lahir tampak berwarna kuning kehijauan
atau keruh. Perbedaan ini hanya dapat dilihat pada ikterus yang berat. Selain itu manifestasi
klinis pada bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia atau ikterus yaitu muntah, anoreksia,
fatigue, warna urine gelap, serta warna tinja pucat (Suriadi dan Yuliani 2010).Menurut Ridha
(2014) bayi baru lahir dikatakan mengalami hiperbilirubinemia apabila tampak tanda-tanda
sebagai berikut :
a. Sklera, selaput lendir, kulit atau organ lain tampak kuning akibat penumpukan bilirubin.
b. Terjadi pada 24 jam pertama kehidupan.
c. Peningkatan konsentasi bilirubin 5mg/dL atau lebih setelah 24 jam.
d. Konsentrasi bilirubin serum 10 mg/dL pada neonatus cukup bulan dan 12,5 mg/dL pada
neonatus kurang bulan.
e. Ikterik yang disertai proses hemolisis.
f. Ikterik yang disertai berat badan lahir kurang dari 2000 gram, masa gestasi kurang dari 36
minggu, hipoksia, sindrom gangguan pernafasan, infeksi trauma lahir kepala, hipoglikemia,
hiperkarbia.
7. Komplikasi
Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir apabila tidak segera diatasi dapat mengakibatkan
bilirubin encephalopathy (komplikasi serius). Pada keadaan lebih fatal, hiperbilirubinemia pada
neonatusdapat menyebabkan kern ikterus, yaitu kerusakan neurologis, cerebral palsy, dan dapat
menyebabkan retardasi mental, hiperaktivitas, bicara lambat, tidak dapat mengoordinasikan otot
dengan baik, serta tangisan yang melengking (Suriadi dan Yuliani, 2010).
Menurut American Academy of Pediatrics (2004) manifestasi klinis kern ikterus pada
tahap kronis bilirubin ensefalopati, bayi yang selamat biasanya menderita gejala sisa berupa
bentuk atheoid cerebral palsy yang berat, gangguan pendengaran, paralisis upward gaze, dan
dysplasia dental enamel. Kern ikterus merupakan perubahan neuropatologi yang ditandai oleh
deposisi pigmen bilirubin pada beberapa daerah otak terutama di ganglia basalis, pons, dan
cerebellum.Bilirubin ensefalopati akut menurut American Academy of Pediatrics (2004) terdiri
dari tiga fase, yaitu :
a. Fase inisial, ditandai dengan letargis, hipotonik, berkurangnya gerakan bayi, dan reflek hisap
yang buruk.
b. Fase intermediate, ditandai dengan moderate stupor, iritabilitas, dan peningkatan tonus
(retrocollis dan opisthotonus) yang disertai demam.
c. Fase lanjut, ditandai dengan stupor yang dalam atau koma, peningkatan tonus, tidak mampu
makan, high-pitch cry, dan kadang kejang.
8. Penatalaksanaan Terapeutik
Menurut Suriadi dan Yuliani (2010) penatalaksanaan terapeutik pada bayi baru lahir
dengan hiperbilirubinemia yaitu :
a. Pemberian antibiotik
Pemberian antibiotik dilakukan apabila hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir disebabkan oleh
infeksi.
b. Fototerapi
Tindakan fototerapi dapat dilakukan apabila telah ditegakkan hiperbiliribunemia pada bayi baru
lahir bersifat patologis. Fototerapi berfungsi untuk menurunkan bilirubin dalam kulit melaui tinja
dan urine dengan oksidasi foto pada bilirubin dari biliverdin.
c. Fenobarbital
Fenobarbital dapat mengekskresikan bilirubin dalam hati dan memperbesar konjugasi.
Meningkatkan sintesis hepatik glukoronil transferase yang dapat meningkatkan bilirubin
konjugasi dan clearance hepatik pada pigmen dalam empedu, sintesis protein dimana dapat
meningkatkan albumin untuk mengikat bilirubin. Akan tetapi fenobarbital tidak begitu sering
dianjurkan untuk mengatsi hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir.
d. Transfusi Tukar
Transfusi tukar dilakukan apabila hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir sudah tidak dapat
ditangani dengan fototerapi.
B. Asuhan Keperawatan Hiperbilirubinemia
Asuhan Keperawatan Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir yaitu meliputi pengkajian
keperawatan, diagnos keperawatan, perencanaan keperawatan, pelaksanaan keperawatan,
evaluasi keperawatan, serta discharge planning.
1. Pengkajian Keperawatan
a. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia menurut Widagdo, 2012
meliputi:
1) Pemeriksaan Umum
a) Keadaan umum : tingkat keparahan penyakit, kesadaran, status nutrisi, postur/aktivitas anak,
dan temuan fisis sekilas yang prominen dari organ/sistem, seperti ikterus, sianosis, anemi,
dispneu, dehidrasi, dan lain-lain.
b) Tanda vital : suhu tubuh, laju nadi, tekanan darah, dan laju nafas.
c) Data antropometri : berat badan, tinggi badan, lingkar
kepala, tebal lapisan lemak bawah kulit, serta lingkar lengan atas.
2) Pemeriksaan Organ
a) Kulit : warna, ruam kulit, lesi, petekie, pigmentasi, hiper/hipohidrolisis, dan angiektasis.
b) Kepala : bentuk, ubun-ubun besar, sutura, keadaan rambut, dan bentuk wajah apakah simestris
kanan atau kiri.
c) Mata : ketajaman dan lapangan penglihatan, hipertelorisme, supersilia, silia, esksoptalmus,
strabismus, nitagmus, miosis, midriasis, konjungtiva palpebra, sclera kuning, reflek cahaya
direk/indirek, dan pemeriksaan retina dngan funduskopi.
d) Hidung : bentuk, nafas cuping hidung, sianosis, dan sekresi.
e) Mulut dan tenggorokan : warna mukosa pipi/lidah, ulkus, lidah kotor berpeta, tonsil membesar
dan hyperemia, pembengkakan dan perdarahan pada gingival, trismus,
pertumbuhan/ jumlah/ morfologi/ kerapatan gigi.
f) Telinga : posisi telinga, sekresi, tanda otitis media, dan nyeri tekan.
g) Leher : tiroid, kelenjar getah bening, skrofuloderma, retraksi, murmur,bendungan vena,
refluks hepatojugular, dan kaku kuduk.
h) Thorax : bentuk, simetrisisitas, pembengkakan, dan nyeri tekan.
i) Jantung : tonjolan prekordial, pulsasi, iktus kordis, batas jantung/kardiomegali. Getaran, bunyi
jantung, murmur, irama gallop, bising gesek perikard (pericard friction rub)
j) Paru-paru : Simetrsitas static dan dinamik, pekak, hipersonor, fremitus, batas paru-hati, suara
nafas, dan bising gesek pleura (pleural friction rub)
k) Abdomen : bentuk, kolteral, dan arah alirannya, smiling umbilicus, distensi, caput medusa,
gerakan peristaltic, rigiditas, nyeri tekan, masa abdomen, pembesaran hati dan limpa,
bising/suara peristaltik usus, dan tanda-tanda asites.
l) Anogenetalia : atresia anus, vesikel, eritema, ulkus, papula, edema skrotum.
m) Ekstremitas : tonus/trofi otot, jari tabuh, sianosis, bengkak dan nyeri otot/tulang/sendi, edema
pretibial, akral dingin, capillary revill time, cacat bawaan.
b. Pemeriksaan Diagnostik
1) Pemeriksaan bilirubin serumPada bayi cukup bulan, kadar bilirubin mencapai puncak
kira-kira 6 mg/dL, antara 2 dan 4 hari kehidupan. Apabila nilainya diatas 10 mmg/dL maka
dikatakan hiperbilirubinemianon fisiologis atau patologis. Pada bayi dengan kurang bulan, kadar
bilirubin mencapai puncaknya pada nilai 10 – 12 mg/dL, antara lima dan tujuh hari kehidupan.
Apabila nilainya diatas 14 mg/dL maka dikatakan hiperbilirubinemia non fisiologis atau
patologis (Suriadi & Yulliani, 2010).
2) Ultrasonograf (USG)
Pemeriksaan USG digunakan untuk mengevaluasi anatomi cabang kantong empedu (Suriadi &
Yulliani, 2010).
3) Radioscope Scan
Pemeriksaan radioscope scan dapat digunakan untuk membantu membedakan hepatitis atau
atresia biliary (Suriadi & Yulliani, 2010).
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan pada bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia menurut Mendri dan
Prayogi, 2017 yaitu :
a. Risiko injury (internal) berhubungan dengan peningkatan serum bilirubin sekunder dari
pemecahan sel darah merah dan gangguan
sekresi bilirubin.
b. Risiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan hilangnya air (insensible water loss)
tanpa disadari dari fototerapi.
c. Risiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan fototerapi.
d. Kecemasan orang tua berhubungan dengan kondisi bayi dan gangguan bonding.
e. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurangnya pengalaman orang tua.
3. Rencana Keperawatan
Rencana asuhan keperawatan pada bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia menurut Mendri
dan Prayogi, 2017 yaitu :
a. Bayi terbebas dari injury yang ditandai dengan serum bilirubin menurun, tidak ada jaundice,
refleks moro normal, tidak ada sepsis , refleks hisap dan menelan baik.
b. Bayi tidak menunjukkan tanda-tanda dehidrasi yang ditandai dengan urine output
(pengeluaran urine) kurang dari 1 – 3 ml per jam, membran mukosa normal, ubun-ubun tidak
cekung, temperatur dalam batas normal.
c. Bayi tidak menunjukkan adanya iritasi kulit yang ditandai dengan tidak adanya rash dan ruam
makular eritemosa.
d. Orang tua tidak tampak cemas ditandai dengan kemampuan mengekspresikan perasaan dan
perhatian pada bayi serta aktif dalam partisipasi perawatan bayi.
e. Orang tua memahami kondisi bayi dan alasan pengobatan; orang tua juga berpartisipasi dalam
perawatan bayi (pemberian minum dan penggantian popok.
f. Bayi tidak mengalami injury pada mata yang ditandai dengan tidak adanya konjuntivitas.
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN BAYI DENGAN SEPSIS MEONATORUM
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 DEFINISI
Sepsis neonatorum, sepsis neonatus dan septikemia neonatus merupakan istilah yang telah
digunakan untuk menggambarkan respons sistemik terhadap infeksi pada bayi baru lahir.
Sepsis neonatorum adalah suatu bentuk penyakit yang digambarkan dengan adanya infeksi
bakteri secara sistemik pada bulan pertama kehidupan yang ditandai hasil kultur darah yang
positif. Definisi lainnya adalah sindroma klinis yang ditandai gejala sitemik dan disertai
bakteriemia yang terjadi dalam bulan pertama kehidupan.
Insidensi sepsis neonatorum beragam, dari 1-4/1000 kelahiran hidup di negara maju dengan
fluktuasi yang besar sepanjang waktu dan tempat geografis. Keragaman insiden dari rumah sakit
ke rumah sakit lainnya dapat dihubungkan dengan angka prematuritas, perawatan prenatal,
pelaksanaan persalinan, dan kondisi lingkungan di ruang perawatan. Angka sepsis neonatorum
meningkat secara bermakna pada bayi dengan berat badan lahir rendah dan bila ada faktor resiko
ibu ( obstetrik ) atau tanda- tanda koriamnionitis, seperti ketuban pecah lama ( > 18 jam ),
demam intrapartum ibu (> 37,5°C ), leukositosis ibu (>18000/mm3), pelunakan uterus dan
takikardi janin (>180 kali/menit). Faktor resiko host meliputi jenis kelamin laki-laki, cacat imun
didapat atau kongenital, galaktosemia ( Escherichia coli) pemberian preparat besi intramuskuler (
E.coli), anomali kongenital (saluran kencing, asplenia, myelomeningokel, saluran sinus),
omfalitis dan kembar (terutama kembar kedua dari janin yang terinfeksi). Prematuritas
merupakan faktor resiko baik pada sepsis awal maupun lanjut.

2.2 KLASIFIKASI
Berdasarkan umur dan onset / waktu timbulnya gejala-gejala, sepsis neonatorum dibagi menjadi
dua:
2.2.1 Early onset sepsis neonatal / sepsis awitan awal dengan ciri-ciri:
* Umur saat onset → mulai lahir sampai 7 hari,biasanya <>
* Penyebab → organisme dari saluran genital ibu.
* Organisme → grup B Streptococcus, Escherichia coli, Listeria non-typik, Haemophilus
influezae dan enterococcus.
* Klinis → melibatkan multisistem organ (resiko tinggi terjadi pneumoni)
* Mortalitas → mortalitas tinggi (15-45%).

2.2.2 Late onset sepsis neonatal / sepsis awitan lanjut dengan ciri-ciri:
* Umur saat onset → 7 hari sampai 30 hari.
* Penyebab → selain dari saluran genital ibu atau peralatan.
* 0rganisme → Staphylococcus coagulase-negatif, Staphylococcus aureus, Pseudomonas, Grup
B Streptococcus, Escherichia coli, dan Listeria.
* Klinis → biasanya melibatkan organ lokal/fokal (resiko tinggi terjadi meningitis).
* Mortalitas → mortalitas rendah ( 10-20%).

2.3 ETIOLOGI
Etiologi terjadinya sepsis pada neonatus adalah dari bakteri.virus, jamur dan protozoa ( jarang ).
Penyebab yang paling sering dari sepsis awitan awal adalah Streptokokus grup B dan bakteri
enterik yang didapat dari saluran kelamin ibu. Sepsis awitan lanjut dapat disebabkan oleh SGB,
virus herpes simplek (HSV), enterovirus dan E.coli. Pada bayi dengan berat badan lahir sangat
rendah, Candida dan Stafilokokus koagulase-negatif (CONS), merupakan patogen yang paling
umum pada sepsis awitan lanjut.
Jika dikelompokan maka didapat:
* Bakteri gram positif
° Streptokokus grup B → penyebab paling sering.
° Stafilokokus koagulase negatif → merupakan penyebab utama bakterimia nosokomial.
° Streptokokus bukan grup B.
* Bakteri gram negatif
° Escherichia coli Kl penyebab nomor 2 terbanyak.
° H. influenzae.
° Listeria monositogenes.
° Pseudomonas
° Klebsiella.
° Enterobakter.
° Salmonella.
° Bakteria anaerob.
° Gardenerella vaginalis.
Walaupun jarang terjadi,terhisapnya cairan amnion yang terinfeksi dapat menyebabkan
pneumonia dan sepsis dalam rahim, ditandai dengan distres janin atau asfiksia neonatus.
Pemaparan terhadap patogen saat persalinan dan dalam ruang perawatan atau di masyarakat
merupakan mekanisme infeksi setelah lahir.

2.4 PATOGENESA
Terdapat perbedaan patogenesa antara sepsis neonatus yang early onset/awitan awal dengan yang
late onset/awitan lanjut.early onset didapat secara transmisi vertikal dalam uterus atau intra
partus,sedangkan late onset biasanya secara transmisi horisontal dan intra partus.
2.4.1 Early onset / awitan awal
Hal yang paling penting faktor resiko terjadinya infeksi adalah pada saat persalinan dimana
keberadaan mikroorganisme dalam saluran genito urinarius.Bakteri pada saluran genito urinarius
naik secara asending dan mencapai cairan amnion setelah terjadi ruptur pada membran prematur
( PROM ). Infeksi secara asending juga dapat terjadi pada saat kontak dengan membran
korioamnetik dalam uterus yang berdampak lahir hidup atau mati beberapa jam setelah lahir.
Altematif lain adalah pada saat neonatus
kontak dengan mikroorganisme selama melalui jalan lahir. Ketika fetus menghisap/aspirasi
cairan amnion yang terkontaminasi.mikroorganisme mencapai bagian bawah saluran sistem
pemapasan dan menyebabkan kerusakan sel epitel dari paru- paru.sebagai hasilnya adalah
pnemonia dan distres pemapasan yang terlihat pada beberapa jam setelah kelahiran. Sepsis
neonatal yang berat terjadi jika bakteri menginvasi melalui intravaskular dan adanya kegagalan
dari tuan rumah untuk mengeliminasi mikroorganisme patogen.
Secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut:
* Transplasenta (antepartum).
* Asenderen kuman vagina ( partus lama,ketuban pecah sebelum waktunya).
* Waktu melewati jalan lahir (kuman dari vagina dan rektum).

2.4.2 Late onset /awitan lanjut


Transmisi secara horisontal memegang peranan yang besar,kontak yang erat dengan ibu yang
menyusui,dan penularan transmisi secara nosokomial.Yang paling utama penyebab faktor resiko
didapatkannya nosokomial sepsis adalah penggunaan lama kateter plastik intravaskuler,
penggunaan prosedur invasif, pemakaian antibiotik, perawatan yang lama di rumah
sakit,kontaminasi dari peralatan laboratorium pendukung, cairan intravena atau enteral,dan
peralatan yang terkontaminasi.Bagaimanapun,situasi yang meningkatkan paparan neonatus
terhadap mikroorganisme menghasilkan peningkatan yang tinggi terhadap infeksi nosokomial
dalam perawatan.
Secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut:
* Akibat tindakan manipulasi (intubasi,kateterisasi,pemasangan infus.dll).
* Defek kongenital (omfalokel,meningokel,labioskizis,labiopalatoskizis,dll).
*Koloni kuman beasal dari saluran napas atas,konjungtiva,membran mukosa, umbilikus dan kulit
yang menginvasi / menyebar secara sistemik.
Faktor - faktor resiko untuk terjadinya sepsis neonatus perlu juga diketahui. Faktor resiko dari
sepsis neonatus terdiri faktor pejamu, sosio-ekonomi, riwayat persalinan, perawatan bayi baru
lahir, dan kesehatan serta keadaan gizi ibu, merupakan faktor-faktor resiko terpenting pada sepsis
neonatal.
Dari laporan penelitian pada sepsis neonatal yang terjadi segera setelah lahir,menunjukkan
adanya satu atau lebih faktor resiko pada riwayat kehamilan dan persalinan. Faktor-faktor
tersebut adalah kelahiran kurang bulan,berat badan lahir rendah,ketuban pecah dini,infeksi
maternal peripartum,kelahiran aseptik,kelahiran traumatik,dan keadaan hipoksia. Pada umumnya
sepsis neonatal tidak akan terjadi pada bayi lahir cukup bulan dengan riwayat kehamilan dan
persalinan normal.
Dari faktor-faktor diatas dapat diringkas menjadi dua faktor besar yaitu faktor ibu
anak dan ada juga yang membaginya menjadi faktor mayor-minor.
Faktor ibu :
*Ketuban pecah sebelum waktunya.
*Infeksi peripartum.
*Partus lama.
*Infeksi intrapartum.
Faktor anak:
*Berat badan lahir rendah.
*Prematuritas.
*Kecil untuk masa kehamilan.
*Defek kongenital.
*Bayi laki-laki lebih banyak dari perempuan.
*Tindakan resusitasi saat melakukan intubasi.
*Kehamilan kembar.
*Dan lain-lain.
Faktor mayor :
*Ruptur membran ibu yang lama > 24 jam.
*Ibu dengan demam intrapartum > 38°C,
*Korioamnionitis.
*Fetal takikardi > 160 kali /menit.
Faktor minor:
*Ibu dengan demam intrapartum > 37,5°C.
'"Kehamilan kembar.
*Bayi prematur (<>
*Ibu dengan leukositosis (hitung sel darah putih >15.000).
*Ruptur membran > 12 jam.
*Takipnea (<1>
*Kolonisasi SGB pada ibu.
*APGAR score yang rendah (<>
*Berat badan lahir rendah / LBW ( <>
*Lochia berbau busuk.
Berikut ini akan dibahas sebagian dari faktor-faktor yang telah disebut diatas.
Berat lahir.
Berat lahir memegang peran penting pada terjadinya sepsis neonatal. Dilaporkan bahwa bayi
dengan berat lahir rendah mempunyai resiko 3 kali lebih tinggi terjadi sepsis daripada bayi
dengan berat lahir lebih dari 2500 gram.Makin kecil berat lahir makin tinggi angka kejadian
sepsis. Masalah sepsis bukan saja terjadi dekat setelah lahir,tetapi seringkali seorang bayi berat
lahir rendah setelah dapat mengatasi masalah prematuritasnya selama 5 hari pertama
kehidupan ,meninggal setelah mendapat sepsis dikemudian hari(late onset sepsis neonatal).
Walaupun angka kematian sepsis onset lambat mempunyai prognosis yang lebih baik daripada
sepsis onset dini.
Perawatan di Unit Perawatan Intensif Neonatus ( UPIN ).
Neonatus yang dirawat di ruang rawat intensif mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya infeksi.
Hal ini dapat dimengerti oleh karena pada umumnya pasien yang dirawat di ruang intensif adalah
pasien berat.Pada umumnya infeksi merupakan penyebab kematian pada bayi kecil
Respon imun penjamu.
Kerentanan bayi baru lahir terhadap terjadinya sepsis diduga disebabkan oleh karena sistem
imunologi baik humoral maupun selular yang masih imatur.Para peneliti banyak melaporkan
mengenai pengaruh jenis kelamin pada kejadian sepsis neonatal.Dikemukakan bahwa sepsis
neonatal lebih banyak dijumpai pada anak laki-laki daripada bayi perempuan.Bayi lelaki juga
lebih rentan terhadap infeksi basil enterik gram negatif sedangkan bayi perempuan lebih rentan
terhadap infeksi bakteri kokus gram positif.Angka kejadian bayi lelaki lebih rentan menderita
sepsis daripada perempuan dengan rasio 7:3. Dugaan penyebabnya adalah peran faktor sex-
linked pada kerentanan penjamu terhadap infeksi. Telah disepakati bahwa gen yang terletak pada
kromosom x mempengaruhi fungsi kelenjar thymus dan sintesis imunoglobulin.Perempuan
mempunyai dua gen x mungkin hal ini yang menyebabkan lebih tahan terhadap infeksi.
Beberapa peneliti membuktikan bahwa bayi perempuan lebih jarang menderita sindrom distres
pemapasan. Peneliti lain melaporkan bahwa rasio lecithin:sphingomyelin dan konsentrasi
saturated phosphatidylcholine serta kortisol dalam cairan amnion pada kehamilan 28-40 minggu
bayi perempuan lebih tinggi daripada bayi lelaki.
Faktor geografi.
Jenis bakteri penyebab berbeda antara satu rumah sakit dengan rumah sakit lain atau antara
negara satu dengan negara lain.Hal ini disebabkan karena perbedaan fasilitas pelayanan
kesehatan, budaya setempat termasuk sexual-practices, pelayanan perawatan, dan pola
penggunaan antibiotik.Hal tersebut akan menyebabkan pola etiologi sepsis neonatal berbeda
pada tiap negara. Spesies Salmonella dan Enterobacteriacae lainnya serta Streptococcus
pneumonia di samping E.coli di daerah tropis banyak dilaporkan sebagai penyebab utama sepsis
neonatal. Faktor lain adalah jenis kolonisasi bakteri pada ibu hamil-pun berbeda di setiap negara.
Faktor sosio-ekonomi.
Pola gaya hidup ibu,termasuk kebiasaan.kondisi perumahan, status nutrisi, dan penghasilan
orang tua sangat mempengaruhi resiko terjadinya infeksi pada bayi baru lahir. Sebenarnya berat
bayi lahir rendah dan prematuritas merupakan faktor resiko terpenting terjadinya sepsis neonatal
Kesempatan bayi kontak dengan infeksi akan meningkat ketika bayi tersebut pulang.Pertemuan
dengan anggota keluarga lain serumah,akan meningkatkan resiko terjadinya infeksi (khususnya
infeksi stafilokokus) akan sangat menular ke anggota keluarga yang lain. Keadaan tersebut akan
menjadi lebih berat bila pada keluarga dengan sosio ekonomi rendah.
Perawatan di bangsal bayi.
Dibangsal perawatan bayi baru lahir seringkali infeksi berasal dari orang dewasa,termasuk
ibu,perawat atau keluarga lain yang berkunjung. Transmisi melalui droplet merupakan sumber
infeksi terbanyak, baik berasal dari orang dewasa maupun dari bayi lahir. Infeksi stafilokokus
biasanya dihubungkan dengan transmisi dari orang dewasa,sedangkan penularan dari alat dan
cairan menyebabkan infeksi spesies Proteus, Klebsiella, Serratia marcescans, Pseudomonas, dan
Flavobacterium.
Di pihak lain,penggunaan antibiotik yang berlebihan akan menyebabkan perubahan pola
resistensi bakteri setempat.Penggunaan preparat ampisilin dan gentamisin atau kloramfenikol
(sebagai pengobatan standar)dalam jangka waktu panjang menyebabkan resistensi antibiotik
tersebut. Akhir-akhir ini dilaporkan peningkatan resistensi bakteri terhadap golongan
sefalosporin generasi ketiga terhadap enterik gram negatif lebih cepat terjadi dibandingkan
dengan pengobatan standar. Pemakaian obat
topikal terutama hexachlorophene sebagai anti septik untuk perawatan talipusat, dilaporkan
sangat efektif menghambat kolonisasi stafilokokus tetapi tidak menghambat kolonisasi bakteri
gram negatif. Walaupun demikian belum pemah dilaporkan hubungan antara pemakaian
hexachlorophene dengan kejadian sepsis neonatal.
2.5 DIAGNOSIS
Diagnosis sepsis dapat ditegakkan dengan:
1.Anamnesa dan pemeriksaan fisik/ berdasarkan gejala klinis.
2.Tes laboratorium yang mendukung dalam membuat anamnesis.
2.5.1 Dari gejala-gejala klinis / manifestasi klinis
Bayi-bayi sepsis dapat dengan cepat keadaannya memburuk dan terapi antibiotik secara empiris
dimulai jika diduga ada tanda-tanda klinis sepsis.Tidak ada tes yang cepat dan terpercaya untuk
konfirmasi dari diagnosis etiologi.Isolasi mikroorganisme dari darah,cairan serebrospinal.atau
urine merupakan gold standar untuk diagnosis pasti,bagaimanapun hasil kultur adalah terpenting,
namun sensitivitas dari metoda kultur kadang-kadang dapat rendah.Peneliti harus dapat
mempunyai sebuah tes atau panel tes yang dapat mengidentifikasi bayi sepsis dengan akurat dan
cepat sambil menunggu hasil kultur.Banyak kemajuan dari bukan metoda kultur,seperti teknologi
dari polymerase chain reaction I PCR ,memberi janji dalam mendiagnosa
infeksi.Bagaimanapun,tetap tes laboratorium non spesifik untuk mendiagnosa infeksi dari bakteri
invasif adalah paling penting pada neonatal.
Manifestasi klinis dari early onset biasanya distres pemapasan disertai dengan pneumoni dan
sepsis, tapi untuk late onset menunjukan gejala sepsis,meningitis, dan osteoarthritis.
# Early onset / awitan awal.
Tanda-tanda klinis muncul semenjak 6 jam kehidupan >50 kasus, mayoritas / kebanyakan
muncul pada 72 jam pertama umur kehidupan.
Tanda awal biasanya sering tidak spesifik dan tidak diketahui.
*Hilangnya aktifitas spontan.
*Poor sucking.
*Apnea.
*Bradikardi.
*Suhu tubuh yang tidak stabil.
Tanda-tanda dan gejala lainnya.
*Distres pernafasan.
Kebanyakan neonatus dengan early onset infeksi menunjukkan gejala distres pernafasan yang
sulit dibedakan dengan bentuk HMD, pneumonia, atau penyebab lain dari kesulitan
bernafas,dengan penampilan seperti sianosis, dispneu, takipneu, apnea, retraksi epigastrium,
dan intercostal.Terjadinya gejala distres pernafasan adalah >80 dari neonatus.Pneumonia dan
septikemi merupakan bentuk manifestasi yang banyak
*Gangguan kardiovaskuler.
Bradikardi, pallor, penurunan perfusi, hipotensi.
*Gangguan metabolik.
Hipotermia,hipertermia,asidosis metabolik (ph <7,25>
*Gangguan neurologik.
Lethargi,hipotonia,penurunan aktifitas,seizures,jittery.
# Late onset / awitan lanjut
* Gejala dan tanda-tanda klinis muncul >7 hari kehidupan.Transmisi secara horisontal dapat dari
yang lain (dari neonatus yang terinfeksi atau dari perawat kesehatan) atau secara vertikal
(dari ibu yang terlalu sering berdekatan).Tanda-tanda yang sering biasanya demam,lethargi.
Irritable, poor feeding, dan takipnea.
* Distres pernafasan yang tidak begitu jelas.
2.5.2 Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada bayi-bayi sepsis sebagai berikut:
a.Skrining sepsis yang rutin.
-Hitung jenis darah lengkap.
-Kultur darah.
-Apusan bahan dari bagian yang mengalami infalamasi.
-Apusan dari telinga dan tenggorokan (pada early -onset infeksi).
-Urine secara mikroskopis dan kultur.
-Rontgen thoraks.
-C-reaktif protein.
b.Tes rutin tambahan,dari indikasi klinis yang didapatkan.
-Lumbal pungsi,
-Kultur dan gram dari aspirasi lambung.
-Kultur dan gram dari apusan vagina yang lebih tinggi dari ibu.
-Kultur dari endotrakeal tube atau aspirasi dari trakeal.
-Kultur dari drainase dada.
-Kultur dari kateter vaskular.
-Kultur darah kwantitatif atau kultur darah multipel.
-IgG konsentrasi serial untuk spesifik organisme.
-IgM konsentrasi untuk organisme spesifik.
-Buffy coat secara mikroskopik.
c.Tes tidak rutin atau tes baru
-Lateks aglutinasi tes.
-Serum interleukin dan TNFa.
-Immunoelektroforesis.
-Acridin orange leukosit cystopin test.
Komponen dari skrining sepsis adalah:
1.C-Reaktive Protein >10 mg/L.
Sensitivitas tes ini: 47-100.
Spesifik: 83-94.
2.Total Leucocyte Count (TLC) <5.000,>15.000.
Sensitivitas tes ini: 17-89.
Spesifik: 81-98.
3.Absolute Neutrophil Count (ANC) <>
Sensitivitas tes ini: 38-96.
Spesifik: 61-92.
4.Immature Total Ratio (ITR) >20
Sensitivitas tes ini: 90-100.
Spesifik: 50-78.
5.Micro-ESR (mESR) > umur dalam hari+ 3 mm.
Sensitivitas: 27-50.
Spesifik: 83-99.
2.6 KOMPLIKASI
*Meningitis bakterialis.
*Enterokolitis nekrotikans.
*Koagulasi intravaskuler diseminata.
*Syok septik.
2.7 TERAPI
*Umum
*Rawat dalam ruang isolasi / inkubator.
*Cuci tangan sebelum dan sesudah memeriksa bayi.
*Pemeriksa harus memakai pakaian ruangan yang telah disediakan.
*Pengaturan suhu dan posisi bayi.
*Khusus
a.Suportif untuk menjaga stabilitas hemodinamik dan oksigenisasi jaringan vital.
b. Terapi 02 bila ditemukan: sianosis, distres pemapasan ,apnea, dan serangan kejang.
c. Pemberian cairan dan elektrolit. Pada keadaan umum yang jelek, diberikan secara parenteral
sesuai dengan umur dan berat badan bayi. Bila keadaan umum baik dapat diberikan nutrisi
enteral secara bertahap dan parenteral dikurangi sampai kebutuhan rumatan terpenuhi peroral.
d. Atasi kejang
e. Atasi hiperbilirubin
f. Atasi anemia.syok.
g.Antibiotik
Sebelum pemberian antibiotik, periksa kultur, dan tes resistensi.Diberikan antibiotik spektrum
luas untuk gram negatif dan positif selama belum ada hasil kultur.
h.Terapi awal (sebelum ada kultur dan resistensi) :
Kombinasi ampisilin+aminoglikosida
Ampisillin:50 mg/KgBB/dosis, IV
Bayi<>
Bayi>7hari: 3 -4x/hari
Aminoglikosida
<2500>
>2500g:2,5 mg/KgB/dosis, IV,2x/hari
Kombinasi sefotaksim + aminoglikosida untuk sepsis yang diduga disebabkan gram negatif.
Sefotaksim:
<>
> 7 hari: 150 mg/KgBB/hari, i.v, dibagi 3 dosis
Untuk meningitis:200 mg/kgbb/hari dibagi 4 dosis
i. Terapi lanjutan: observasi setelah 48 jam klinis dan laboratorium.apabila tidak
Ada perbaikan.antibiotik diganti dengan antibiotik altematif sesuai dengan
gambaran klinis penderita.
j.Imunoterapi
Imunoglobulin
Infus granulosit
Transfusi ganti
2.8 PENCEGAHAN
2.8.1 Dari Ibu.
Grup B Streptococcus merupakan penyebab terberat sebagai patogen terbanyak pada akhir tahun
1960an dan biasanya sebagai penyebab dari early-onset sepsis. Sepuluh sampai 30 wanita hamil
dengan kolonisasi Grup B Streptococcus dalam vagina atau daerah rektum.Dua pendekatan
utama : prenatal skrining (semua wanita hamil di skrining untuk deteksi infeksi Grup B
Streptococcus pada 35-37 minggu kehamilan dan dilakukan pengobatan untuk kulturnya yang
positif) dan identifikasi dari wanita beresiko tinggi serta mengobati sebelum terjadinya
persalinan.
2.8.2 Dari Neonatus.
Pemberian antibiotik profilaksis untuk bayi-bayi asimtomatis yang diduga beresiko tinggi terjadi
sepsis oleh Grup B Streptococcus masih kontroversial. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
pemberian penisilin pada semua bayi atau bayi <2.000>
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN THYPOID
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian
Typhoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi salmonella Thypi.
Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi oleh faeses dan
urine dari orang yang terinfeksi kuman salmonella. ( Bruner and Sudart, 1994 ).
Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella Thypi (
Arief Maeyer, 1999 ).
Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella thypi
dan salmonella para thypi A,B,C. sinonim dari penyakit ini adalah Typhoid dan paratyphoid
abdominalis, ( Syaifullah Noer, 1996 ).
Typhoid adalah penyakit infeksi pada usus halus, typhoid disebut juga paratyphoid fever, enteric
fever, typhus dan para typhus abdominalis (.Seoparman, 1996).
Typhoid adalah suatu penyakit pada usus yang menimbulkan gejala-gejala sistemik yang
disebabkan oleh salmonella typhosa, salmonella type A.B.C. penularan terjadi secara pecal, oral
melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi (Mansoer Orief.M. 1999).
Dari beberapa pengertian diatasis dapat disimpulkan sebagai berikut, Typhoid adalah suatu
penyakit infeksi usus halus yang disebabkan oleh salmonella type A. B dan C yang dapat
menular melalui oral, fecal, makanan dan minuman yang terkontaminasi.
2. Etiologi
a) Salmonella thyposa, basil gram negative yang bergerak dengan bulu getar, tidak bersepora
mempunyai sekurang-kurangnya tiga macam antigen yaitu:
• antigen O (somatic, terdiri darizat komplekliopolisakarida)
• antigen H(flagella)
• antigen V1 dan protein membrane hialin.
b) Salmonella parathypi A
c) salmonella parathypi B
d) Salmonella parathypi C
e) Faces dan Urin dari penderita thypus (Rahmad Juwono, 1996).
3. Patofisiologi
Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal dengan 5 F
yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly (lalat), dan melalui
Feses.
Feses dan muntah pada penderita typhoid dapat menularkan kuman salmonella thypi kepada
orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat, dimana lalat akan hinggap
dimakanan yang akan dikonsumsi oleh orang yang sehat. Apabila orang tersebut kurang
memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang tercemar kuman
salmonella thypi masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut. Kemudian kuman masuk ke
dalam lambung, sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk
ke usus halus bagian distal dan mencapai jaringan limpoid. Di dalam jaringan limpoid ini kuman
berkembang biak, lalu masuk ke aliran darah dan mencapai sel-sel retikuloendotelial
Sel-sel retikuloendotelial ini kemudian melepaskan kuman ke dalam sirkulasi darah dan
menimbulkan bakterimia, kuman selanjutnya masuk limpa, usus halus dan kandung empedu.
Semula disangka demam dan gejala toksemia pada typhoid disebabkan oleh endotoksemia.
Tetapi berdasarkan penelitian eksperimental disimpulkan bahwa endotoksemia bukan merupakan
penyebab utama demam pada typhoid. Endotoksemia berperan pada patogenesis typhoid, karena
membantu proses inflamasi lokal pada usus halus. Demam disebabkan karena salmonella thypi
dan endotoksinnya merangsang sintetis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan
yang meradang.
4.Manifestasi Klinis
Masa tunas 7-14 (rata-rata 3 – 30) hari, selama inkubasi ditemukan gejala prodromal (gejala awal
tumbuhnya penyakit/gejala yang tidak khas) :
• Perasaan tidak enak badan
• Lesu
• Nyeri kepala
• Pusing
• Diare
• Anoreksia
• Batuk
• Nyeri otot (Mansjoer, Arif 1999).
Menyusul gejala klinis yang lain
1. Demam
Demam berlangsung 3 minggu
• Minggu I : Demam remiten, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat pada sore dan
malam hari
• Minggu II : Demam terus
• Minggu III : Demam mulai turun secara berangsur – angsur
2. Gangguan Pada Saluran Pencernaan
• Lidah kotor yaitu ditutupi selaput kecoklatan kotor, ujung dan tepi kemerahan, jarang disertai
tremor
• Hati dan limpa membesar yang nyeri pada perabaan
• Terdapat konstipasi, diare
3. Gangguan Kesadaran
• Kesadaran yaitu apatis – somnolen
• Gejala lain “ROSEOLA” (bintik-bintik kemerahan karena emboli hasil dalam kapiler kulit)
(Rahmad Juwono, 1996).
5.Komplikasi
a. Komplikasi intestinal
1) Perdarahan usus
2) Perporasi usus
3) Ilius paralitik
b. Komplikasi extra intestinal
1) Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi (renjatan sepsis), miokarditis, trombosis,
tromboplebitis.
2) Komplikasi darah : anemia hemolitik, trobositopenia, dan syndroma uremia hemolitik.
3) Komplikasi paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.
4) Komplikasi pada hepar dan kandung empedu : hepatitis, kolesistitis.
5) Komplikasi ginjal : glomerulus nefritis, pyelonepritis dan perinepritis.
6) Komplikasi pada tulang : osteomyolitis, osteoporosis, spondilitis dan arthritis.
7) Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningiusmus, meningitis, polineuritis perifer,
sindroma Guillain bare dan sidroma katatonia.
2.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada klien dengan typhoid adalah pemeriksaan laboratorium, yang
terdiri dari :
a. Pemeriksaan leukosit
Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat leukopenia dan
limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering dijumpai. Pada kebanyakan
kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada pada batas-batas normal
bahkan kadang-kadang terdapat leukosit walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder.
Oleh karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam typhoid.
b. Pemeriksaan SGOT DAN SGPT
SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali normal setelah
sembuhnya typhoid.
c. Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan darah negatif
tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid. Hal ini dikarenakan hasil biakan darah
tergantung dari beberapa faktor :
1) Teknik pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain, hal ini disebabkan
oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. Waktu pengambilan darah yang baik
adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat bakteremia berlangsung.
2) Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit.
Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu pertama dan berkurang
pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan darah dapat positif kembali.
3) Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan antibodi dalam darah
klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah negatif.
4) Pengobatan dengan obat anti mikroba.
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba pertumbuhan kuman
dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin negatif.
d. Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang
spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien dengan typhoid juga terdapat pada
orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi
salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah
untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita typhoid. Akibat
infeksi oleh salmonella thypi, klien membuat antibodi atau aglutinin yaitu :
1) Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman).
2) Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel kuman).
3) Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosa,
makin tinggi titernya makin besar klien menderita typhoid.
Faktor – faktor yang mempengaruhi uji widal :
a. Faktor yang berhubungan dengan klien :
1. Keadaan umum : gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.
2. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit: aglutinin baru dijumpai dalam darah setelah
klien sakit 1 minggu dan mencapai puncaknya pada minggu ke-5 atau ke-6.
3. Penyakit – penyakit tertentu : ada beberapa penyakit yang dapat menyertai demam typhoid
yang tidak dapat menimbulkan antibodi seperti agamaglobulinemia, leukemia dan karsinoma
lanjut.
4. Pengobatan dini dengan antibiotika : pengobatan dini dengan obat anti mikroba dapat
menghambat pembentukan antibodi.
5. Obat-obatan imunosupresif atau kortikosteroid : obat-obat tersebut dapat menghambat
terjadinya pembentukan antibodi karena supresi sistem retikuloendotelial.
6. Vaksinasi dengan kotipa atau tipa : seseorang yang divaksinasi dengan kotipa atau tipa, titer
aglutinin O dan H dapat meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1
tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh sebab itu
titer aglutinin H pada orang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.
7. Infeksi klien dengan klinis/subklinis oleh salmonella sebelumnya : keadaan ini dapat
mendukung hasil uji widal yang positif, walaupun dengan hasil titer yang rendah.
8. Reaksi anamnesa : keadaan dimana terjadi peningkatan titer aglutinin terhadap salmonella
thypi karena penyakit infeksi dengan demam yang bukan typhoid pada seseorang yang pernah
tertular salmonella di masa lalu.
b. Faktor-faktor Teknis
1. Aglutinasi silang : beberapa spesies salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang
sama, sehingga reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat menimbulkan reaksi aglutinasi pada
spesies yang lain.
2. Konsentrasi suspensi antigen : konsentrasi ini akan mempengaruhi hasil uji widal.
3. Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen : ada penelitian yang berpendapat
bahwa daya aglutinasi suspensi antigen dari strain salmonella setempat lebih baik dari suspensi
dari strain lain.
2.7Penatalaksanaan
Menurut Copstead, et al (2000: 170) “Pilihan pengobatan mengatasi kuman Salmonella typhi
yaitu ceftriaxone, ciprofloxacin, dan ofloxacin. Sedangkan alternatif lain yaitu trimetroprin,
sulfametoksazol, ampicilin dan cloramphenicol”. Pengobatan demam typoid terdiri atas 3 bagian,
yaitu:
1. Perawatan
Pasien demam typoid perlu dirawat di Rumah Sakit untuk isolasi, observasi dan pengobatan.
Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama
14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah perdarahan usus. Mobilisasi pasien
dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
2. Diet
Di masa lampau, pasien demam typoid diberi bubur saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya
nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring tersebut dimaksudkan
untuk menghindari komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus, karena ada pendapat bahwa
usus perlu di istirahatkan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan padat
dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan selai kasar) dapat
diberikan dengan aman pada pasien demam typoid.
3. Obat
Obat-obatan antimikroba yang sering dipergunakan, ialah:
a. Kloramfenikol
Dosis hari pertama 4 kali 250 mg, hari kedua 4 kali 500 mg, diberikan selama demam
dilanjutkan sampai 2 hari bebas demam, kemudian dosis diturunkan menjadi 4 kali 250 mg
selama 5 hari kemudian.
b. Tiamfenikol
Dosis dan efektifitas tiamfenikol pada demam typoid sama dengan kloramfenikol. Komplikasi
hematologis pada penggunaan tiamfenikol lebih jarang dari pada kloramfenikol. Dengan
tiamfenikol demam pada demam typoid turun setelah rata-rata 5-6 hari.
c. Ampicilin dan Amoxilin
Efektifitas keduanya lebih kecil dibandingkan dengan kloramfenikol. Indikasi mutlak
penggunaannya adalah klien demam typoid dengan leukopenia. Dosis 75-150 mg/kg berat badan,
digunakan sampai 7 hari bebas demam.
d. Kontrimoksazol (kombinasi trimetroprin dan sulfametaksazol)
Efektifitas nya kurang lebih sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa 2 kali 2
tablet sehari digunakan sampai 7 hari bebas demam turun setelah 5-6 hari.
e. Sepalosporin generasi ketiga
Beberapa uji klinis menunjukkan bahwa sepalosporin generasi ketiga antara lain sefoperazon,
[;]cefriaxone, cefotaxim efektif untuk demam typoid.
f. Fluorokinolon
Fluorokinolon efektif untuk demam typoid, tetapi dosis dan lama pemberian yang optimal belum
diketahui dengan pasti.
Selain dengan pemberian antibiotik, penderita demam typoid juga obat-obat simtomatik antara
lain:
1. Antipiretika
Tidak perlu diberikan secara rutin setiap klien demam typoid karena tidak berguna.
2. Kortikosteroid
Klien yang toksit dapat diberikan kortikosteroid oral atau parenteral dalam pengobatan selama 5
hari. Hasilnya biasanya sangat memuaskan, kesadaran klien menjadi baik, suhu badan cepat
turun sampai normal, tetapi kortikosteroid tidak boleh diberikan tanpa indikasi, karena dapat
menyebabkan perdarahan intestinal dan relaps”. (Sjaifoellah, 1996: 440).
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN MORBILI
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Konsep Dasar Penyakit
1.      Definisi
Morbili adalah penyakit virus akut, menular yang ditandai dengan 3 stadium, yaitu
stadium prodormal ( kataral ), stadium erupsi dan stadium konvalisensi, yang dimanifestasikan
dengan demam, konjungtivitis dan bercak koplik (Ilmu Kesehatan Anak Edisi 2, th1991. FKUI).
Morbili adalah penyakit anak menular yang lazim biasanya ditandai dengan gejala-
gejala utama ringan, ruam serupa dengan campak ringan atau demam, scarlet, pembesaran serta
nyeri limpa nadi ( Ilmu Kesehatan Anak vol 2, Nelson, EGC, 2000)
2.      Etiologi
Penyebabnya adalah virus morbili yang terdapat dalam sekret nasofaring dan darah
selama masa prodormal sampai 24 jam setelah timbul bercak-bercak. Virus ini berupa virus RNA
yang termasuk famili Paramiksoviridae, genus Morbilivirus. Cara penularannya adalah dengan
droplet infeksi.
3.      Patofisiologi
Penyebab campak adalah measles virus (MV), genus virus morbili,
familiparamyxoviridae. Virus ini menjadi tidak aktif bila terkena panas, sinar, pH asam, ether,
dan trypsin dan hanya bertahan kurang dari 2 jam di udara terbuka. Virus campak ditularkan
lewat droplet, menempel dan berkembang biak pada epitel nasofaring. Virus ini masuk melalui
saluran pernafasan terutama bagian atas, juga kemungkinan melalui kelenjar air mata.
Dua sampai tiga hari setelah invasi, replikasi dan kolonisasi berlanjut pada kelenjar
limfe regional dan terjadi viremia yang pertama. Virus menyebar pada semua sistem
retikuloendotelial dan menyusul viremia kedua setelah 5-7 hari dari infeksi awal. Adanya giant
cells dan proses peradangan merupakan dasar patologik ruam dan infiltrat peribronchial
paru. Juga terdapat udema, bendungan dan perdarahan yang tersebar pada otak. Kolonisasi dan
penyebaran pada epitel dan kulit menyebabkan batuk, pilek, mata merah (3 C : coryza, cough
and conjuctivitis) dan demam yang makin lama makin tinggi. Gejala panas, batuk, pilek makin
lama makin berat dan pada hari ke 10 sejak awal infeksi (pada hari penderita kontak dengan
sumber infeksi) mulai timbul ruam makulopapuler warna kemerahan.
Virus dapat berkembang biak juga pada susunan saraf pusat dan menimbulkan gejala
klinik encefalitis. Setelah masa konvelesen pada turun dan hipervaskularisasi mereda dan
menyebabkan ruam menjadi makin gelap, berubah menjadi desquamasi dan hiperpigmentasi.
Proses ini disebabkan karena pada awalnya terdapat perdarahan perivaskuler dan infiltrasi
limfosit
4.      Gejala Klinis
Masa tunas/inkubasi penyakit berlangsung kurang lebih dari 10-20 hari dan kemidian
timbul gejala-gejala yang dibagi dalam 3 stadium :
a.       Stadium kataral (prodormal)
Stadium prodormal berlangsung selama 4-5 hari ditandai oleh demam ringa hingga
sedang, batuk kering ringan, coryza, fotofobia dan konjungtivitis. Menjelang akhir stadium
kataral dan 24 jam sebelum timbul enantema, timbul bercak koplik yang patognomonik bagi
morbili, tetapi sangat jarang dijumpai. Bercak koplik berwarna putih kelabu, sebesar ujung jarum
dan dikelilingi oleh eritema.
Lokalisasinya dimukosa bukalis berhadapandengan molar dibawah, tetapi dapat
menyebar tidak teratur mengenai seluruh permukaan pipi. Meski jarang, mereka dapat pula
ditemukan pada bagian tengah bibir bawah, langit-langit dan karankula lakrimalis. Bercak
tersebut muncul dan menghilang dengan cepat dalam waktu 12-18 jam. Kadang-kadang stadium
prodormal bersifat berat karena diiringi demam tinggi mendadak disertai kejang-kejang dan
pneumoni. Gambaran darah tepi ialah limfositosis dan leukopenia.
b.      Stadium erupsi
Coryza dan batuk-batuk bertambah. Timbul eritema / titik merah dipalatum durum dan
palatum mole. Terjadinya eritema yang berbentuk makula papula disertai dengan menaiknya
suhu tubuh. Eritema timbul dibelakang telinga dibagian atas lateral tengkuk, sepanjang rambut
dan bagian belakang bawah. Kadang-kadang terdapat perdarahan primer pada kulit. Rasa gatal,
muka bengkak. Terdapat pembesaran kelenjar getah bening disudut mandibula dan didaerah
leher belakang. Juga terdapat sedikit splenomegali, tidak jarang disertai diare dan muntah.
Variasi dari morbili yang biasa ini adalah “Black Measles” yaitu morbili yang disertai
perdarahan pada kulit, mulut, hidung dan traktus digestivus.
c.        Stadium konvalesensi
Erupsi berkurang meninggalkan bekas yang berwarna lebih tua (hiperpigmentasi) yang
bisa hilang sendiri. Selain hiperpigmentasi pada anak Indonesia sering ditemukan pula kulit yang
bersisik. Hiperpigmentasi ini merupakan gejala patognomonik untuk morbili. Pada penyakit-
penyakit lain dengan eritema atau eksantema ruam kulit menghilang tanpa hiperpigmentasi. Suhu
menurun sampai menjadi normal kecuali bila ada komplikasi.
5.      Komplikasi
a.       Otitis media akut
b.      Pneumonia / bronkopneumoni
c.       Encefalitis
d.      Bronkiolitis
e.       Laringitis obstruksi dan laringotrakkhetis
6.      Pemeriksaan diagnostik
Pada pemeriksaan darah didapatkan jumlah leukosit normal atau meningkat apabila ada
komplikasi infeksi bakteri. Pemeriksaan antibodi IgM merupakan cara tercepat untuk
memastikan adanya infeksi campak akut. Karena IgM mungkin belum dapat dideteksi pada 2
hari pertama munculnya rash, maka untuk mengambil darah pemeriksaan IgM dilakukan pada
hari ketiga untuk menghindari adanya false negative. Titer IgM mulai sulit diukur pada 4 minggu
setelah muncul rash.
Sedangkan IgG antibodi dapat dideteksi 4 hari setelah rash muncul, terbanyak IgG dapat
dideteksi 1 minggu setelah onset sampai 3 minggu setelah onset. IgG masih dapat ditemukan
sampai beberapa tahun kemudian. Virus measles dapat diisolasi dari urine, nasofaringeal aspirat,
darah yang diberi heparin, dan swab tenggorok selama masa prodromal sampai 24 jam setelah
timbul bercak-bercak. Virus dapat tetap aktif selama sekurang-kurangnya 34 jam dalam suhu
kamar.
7.      Penatalaksanaan
Terdapat indikasi pemberian obat sedatif, antipiretik untuk mengatasi demam tinggi.
Istirahat ditempat tidur dan pemasukan cairan yang adekuat. Mungkin diperlukan humidikasi
ruangan bagi penderita laringitis atau batuk mengganggu dan lebih baik mempertahanakan suhu
ruangan yang hangat.
Penatalaksanaan Teraupetik :
a.       Pemberian vitamin A
b.      Istirahat baring selama suhu meningkat, pemberian antipiretik
c.       Pemberian antibiotik pada anak-anak yang beresiko tinggi
d.      Pemberian obat batuk dan sedativum
B.     Konsep Asuhan Keperawatan
1.      Pengkajian
a.       Identitas diri
b.      Riwayat Imunisasi
c.       Kontak dengan orang yang terinfeksi
d.      Pemeriksaan Fisik :
1)      Mata : terdapat konjungtivitis, fotophobia
2)      Kepala : sakit kepala
3)      Hidung : Banyak terdapat secret, influenza, rhinitis/koriza, perdarahan hidung (pada stad
eripsi).
4)      Mulut & bibir : Mukosa bibir kering, stomatitis, batuk, mulut terasa pahit.
5)      Kulit : Permukaan kulit ( kering ), turgor kulit, rasa gatal, ruam makuler pada leher, muka,
lengan dan kaki (pada stad. Konvalensi), evitema, panas (demam).
6)      Pernafasan : Pola nafas, RR, batuk, sesak nafas, wheezing, renchi, sputum.
7)      Tumbuh Kembang : BB, TB, BB Lahir, Tumbuh kembang R/ imunisasi.
8)      Pola Defekasi : BAK, BAB, Diare
9)      Status Nutrisi : intake – output makanan, nafsu makanan
e.        Keadaan Umum : Kesadaran, TTV
2.      Diagnosa keperawatan
Diagnosa yang mungkin muncul pada pasien Morbili adalah
a.       Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan penjamu dan agens infeksi
b.      Nyeri berhubungan dengan lesi kulit, malaise
c.       Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan isolasi dari teman sebaya
d.      Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penggarukan pruritus
e.       Perubahan proses keluarga berhubungan dengan anak yang menderita penyakit akut
f.       Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan untuk
mencernatau ketidak mampuan mencerna makanan atau absorpsi nutrien yang diperlukan
g.      Ketidak efektifan  jalan nafas berhubungan dengan peningkatan produksi sekret.
3.      Rencana keperawatan
a.       Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan penjamu dan agens infeksi.
Hasil yang diharapkan :
1)      Anak yang rentan tidak mengalami penyakit.
2)      Infeksi tidak menyebar
3)      Anak tidak menunjukkan bukti-bukti komplikasi seperti infeksi dan dehidrasi.
Intervensi :
Identifikasi anak beresiko tinggi
Rasional : memastikan anak menghindari pemajanan
1)      Lakukan rujukan ke perawat kesehatan masyarakat bila perlu.
Rasional : untuk memastikan prosedur yang tepat di rumah.
2)      Pantau suhu
Rasional : peningkatan suhu tubuh yang tidak diperkirakan dapat menandakan adanya infeksi.
3)      Pertahankan higiene tubuh yang baik.
Rasional : untuk mengurangi resiko infeksi sekunder dari lesi
4)      Berikan serapan air sedikit tapi sering atau minuman kesukaan anak serta makanan halus atau
lunak.
Rasional :
a)      Untuk menjamin hidrasi yang adekuat
b)      Banyak anak-anak yang mengalami anoreksia selama sakit
b.      Nyeri berhubungan dengan lesi kulit, malaise
Hasil yang diharapkan : 
1)      Kulit dan membran mukosa bersih dan bebas dari iritasi.
2)      Anak menunjukkan bukti-bukti ketidaknyamanan minimum.
Intervensi : 
1)      Gunakan vaporiser embun dingin, kumur-kumur, dan tablet isap.
Rasional : untuk menjaga agar membran mukosa tetap lembab
2)      Bersihkan mata dengan larutan salin fisiologis
Rasional : untuk menghilangkan sekresi atau kusta
3)      Jaga agar anak tetap dingin.
Rasional : karena udara yang terlalu panas dapat meningkatkan rasa gatal.
4)      Berikan mandi air dingin dan berikan lotion seperti kalamin
Rasional : untuk menurunkan rasa gatal
5)      Berikan analgesik, antipiretik, dan antipruritus sesuai kebutuhan dan ketentuan.
Rasional : untuk mengurangi nyeri, menurunkan suhu tubuh, dan mengurangi rasa gatal
c.       Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan isolasi dari teman sebaya.
Hasil yang diharapkan :
1)      Anak menunjukkan pemahaman tentang pembatasan
2)      Anak melakukan aktivitas yang tepat dan berinteraksi.
Intervensi :
1)      Jelaskan alasan untuk pengisolasian dan penggunaan kewaspadaan khusus.
Rasional : untuk meningkatkan pemahaman anak tentang pembahasan.
2)      Biarkan anak memainkan sarung tangan dan masker
Rasional : untuk memfasilitasi koping positif.
3)      Berikan aktivitas pengalihan
Rasional : untuk melakukan aktivitas yang tepat dan berinteraksi
4)      Anjurkan orang tua untuk tetap bersama anak selama hospitalisasi.
Rasional : untuk menurunkan perpisahan dan memberikan kedekatan.
5)      Siapkan teman sebaya anak untuk perubahan perampilan fisik
Rasional : untuk mendorong penerimaan teman sebaya
d.      Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penggarukan pruritus
Hasil yang diharapkan : kulit tetap utuh
Intervensi :
1)      Jaga agar kuku tetap pendek dan bersih
Rasional : untuk meminimalkan trauma dan infeksi sekunder.
2)      Pakailah sarung tangan atau restrein siku
Rasional : untuk mencegah penggarukan
3)      Berikan pakaian yang tipis, longgar, dan tidak meng mengiritasi.
Rasional : karena panas yang berlebihan dapat meningkatkan rasa gatal.
4)      Tutup area yang sakit (lengan panjang, celana panjang, pakaian satu lapis).
Rasional : untuk mencegah penggarukan
5)      Berikan losion yang melembutkan (sedikit saja pada lesi terbuka).
Rasional : karena pada lesi terbuka absorpsi obat meningkat untuk menurunkan pruritus.
6)      Hindari pemajanan panas atau sinar matahari.
Rasional : menimbulkan ruam.
e.       Perubahan proses keluarga berhubungan dengan anak yang menderita penyakit akut.
Hasil yang diharapkan :
1)      Keluarga melanjutkan untuk mencapai tujuan.
2)      Keluarga mencari dukungan yang dibutuhkan.
Intervensi :
1)      Berikan informasi pada orang tua tentang pilihan pengobatan.
Rasional : untuk mencari dukungan yang dibutuhkan.
2)      Tekankan upaya keluarga untuk melakukan rencana perawatan.
Rasional : untuk keluarga melanjutkan untuk mencapai tujuan.
3)      Berikan kesadaran keluarga akan kemajuan anak.
Rasional : untuk mendorong sikap optimis.
4)      Tekankan kecepatan pemulihan pada kebanyakan kasus.
Rasional : untuk menurunkan ansietas.
f.       Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan untuk
mencerna atau ketidak mampuan mencerna makanan atau absorpsi nutrien yang diperlukan. 
Hasil yang diharapkan :
1)      Menunjukkan peningkatan berat badan atau berat badan stabil dengan nilai laboratorium
normal.
2)      Tidak mengalami tanda malnutrisi.
3)      Menunjukkan perilaku, perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan atau mempertahankan
berat badan yang sesuai.
Intervensi :
1)      Kaji riwayat nutrisi, termasuk makanan yang disukai.
Rasional : mengidentifikasi defisiensi, menduga kemungkinan intervensi.
2)      Observasi dan catat masukan makanan pasien.
Rasional : mengawasi masukan kalori atau kualitas kekurangan konsumsi makanan
3)      Timbang berat badan tiap hari
Rasional : mengevaluasi penurunan berat badan atau efektivitas intervensi nutrisi.
4)      Berikan makanan sedikit dari frekuensi sering dan atau makan diantara waktu makan.
Rasional : makan sedikit dapat menurunkan kelemahan dan meningkatkan pemasukan juga
mencegah distensi gaster.
5)      Observasi dan catat kejadian mual atau muntah, flatus, dan gejala lain yang berhubungan.
Rasional : gejala gastro intestinal dapat menunjukkan efek anemia (hipoksia) pada organ.
g.      Ketidak efektifan  jalan nafas berhubungan dengan peningkatan produksi sekret.
Hasil yang diharapkan :
1)      Mempertahankan jalan nafas pasien dengan bunyi nafas bersih atau jelas.
2)      Menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan napas, misal: batuk efektif dan
mengeluarkan sekret.
Intervensi :
1)      Auskultasi bunyi napas
Rasional : beberapa derajat spasma bronkus terjadi dengan obstruksi jalan nafas.
2)      Kaji atau pantau frekuensi pernapasan
Rasional : takipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan
atau selama stress atau adanya proses infeksi akut.
3)      Catat adanya atau derajat dipsnoe
Rasional : disfungsi pernapasan adalah variabel yang tergantung pada tahap proses kronis selain
proses akut yang menimbulkan perawatan di rumah sakit.
4)      Pertahankan polusi lingkungan minimun, misal ; debu, asap, dan bulu bantal yang
berhubungan dengan kondisi individu.
Rasional : pencetus tipe reaksi alergi pernapasan yang dapat menjadi episode akut.
5)      Observasi karakteristik batuk
Rasional : batuk dapat menetap tetapi tidak efektif, khususnya bila pasien lansia, sakit akut, atau
kelemahan. Batuk paling efektif pada posisi duduk tinggi atau kepala di bawah setelah perkusi
 4.      Implementasi
Implementasi keperawatan merupakan kegiatan yang dilakukan sesuai dengan rencana
yang telah ditetapkan. Selama pelaksanaan kegiatan dapat bersifat mandiri dan kolaboratif.
Selama melaksanakan kegiatan perlu diawasi dan dimonitor kemajuan kesehatan klien.
5.      Evaluasi
a.       Perluasan infeksi tidak terjadi
b.      Anak menunjukkan pola nafas efektif
c.       Anak dapat mempertahankan integrasi kulit
d.      Anak menunjukan terpenuhi tanda tanda kebutuhan nutrisi
e.       Anak dapat melakukan aktifitas sesuai dengan usia
6.      Penkes
a.       Imunisasi aktif
Hal ini dapat dicapai dengan menggunakan vaksin campak hidup yang telah dilemahkan.
Vaksin hidup yang pertama kali digunakan adalah Strain Edmonston B. Pelemahan berikutnya
dari Strain Edmonston B. Tersbut membawa perkembangan dan pemakaian Strain Schwartz dan
Moraten secara luas. Vaksin tersebut diberikan secara subkutan dan menyebabkan imunitas yang
berlangsung lama.
Pada penyelidikan serulogis ternyata bahwa imunitas tersebut mulai mengurang 8-10
tahun setelah vaksinasi. Dianjurkan agar vaksinasi campak rutin tidak dapat dilakukan sebelum
bayi berusia 15 bulan karena sebelum umur 15 bulan diperkirakan anak tidak dapat membentuk
antibodi secara baik karena masih ada antibodi dari ibu.Pada suatu komunitas dimana campak
terdapat secara endemis, imunisasi dapat diberikan ketika bayi berusia 12 bulan.

b.      Imunisasi pasif (immunoglobulin)


Imunisasi pasif dengan serum orang dewasa yang dikumpulkan, serum stadium
penyembuhan yang dikumpulkan, globulin placenta (gama globulin plasma) yang dikumpulkan
dapat memberikan hasil yang efektif untuk pencegahan atau melemahkan campak. Campak dapat
dicegah dengan serum imunoglobulin dengan dosis 0,25 ml/kg BB secara IM dan diberikan
selama 5 hari setelah pemaparan atau sesegera mungkin.
Indikasi :
1)      Anak usia > 12 bulan dengan immunocompromised belum mendapat imunisasi, kontak dengan
pasien campak, dan vaksin MMR merupakan kontraindikasi
2)      Bayi berusia < 12 bulan yang terpapar langsung dengan pasien campak mempunyai resiko
yang tinggi untuk berkembangnya komplikasi penyakit ini, maka harus diberikan imunoglobulin
sesegera mungkin dalam waktu 7 hari paparan. Setelah itu vaksin MMR diberikan sesegera
mungkin sampai usia 12 bulan, dengan interval 3 bulan setelah pemberian imunoglobulin.
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN ISPA
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.      Pengertian
ISPA sering disalah artikan sebagai infeksi saluran pernapasan atas. Yang benar ISPA
merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernapasan Akut. ISPA meliputi saluran pernapasan
bagian atas dan saluran pernapasan bagian bawah
ISPA adalah infeksi saluran pernapasan yang berlangsung sampai 14 hari. Yang
dimaksud dengan saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung sampai gelembung paru,
beserta organ-organ disekitarnya seperti : sinus, ruang telinga tengah dan selaput paru.
Sebagian besar dari infeksi saluran pernapasan hanya bersifat ringan seperti batuk pilek
dan tidak memerlukan pengobatan dengan antibiotik, namun demikian anak akan menderita
pneumoni bila infeksi paru ini tidak diobati dengan antibiotik dapat mengakibat kematian.
2. Jenis Jenis ISPA
Program Pemberantasan ISPA (P2 ISPA) mengklasifikasi ISPA sebagai berikut:
 Pneumonia berat: ditandai secara klinis oleh adanya tarikan dinding dada kedalam (chest
indrawing).
 Pneumonia: ditandai secara klinis oleh adanya napas cepat.
 Bukan pneumonia: ditandai secara klinis oleh batuk pilek, bisa disertai demam, tanpa
tarikan dinding dada kedalam, tanpa napas cepat. Rinofaringitis, faringitis dan tonsilitis
tergolong bukan pneumonia
Berdasarkan hasil pemeriksaan dapat dibuat suatu klasifikasi penyakit ISPA. Klasifikasi ini
dibedakan untuk golongan umur dibawah 2 bulan dan untuk golongan umur 2 bulan sampai 5
tahun.
Untuk golongan umur kurang 2 bulan ada 2 klasifikasi penyakit yaitu :
 Pneumonia berada: diisolasi dari cacing tanah oleh Ruiz dan kuat dinding pada bagian
bawah atau napas cepat. Batas napas cepat untuk golongan umur kurang 2 bulan yaitu 60 kali per
menit atau lebih.
 Bukan pneumonia: batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat dinding
dada bagian bawah atau napas cepat.
Untuk golongan umur 2 bu~an sampai 5 tahun ada 3 klasifikasi penyakit yaitu :
 Pneumonia berat: bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan dinding dada bagian
bawah kedalam pada waktu anak menarik napas (pada saat diperiksa anak harus dalam keadaan
tenang tldak menangis atau meronta).
 Pneumonia: bila disertai napas cepat. Batas napas cepat ialah untuk usia 2 -12 bulan
adalah 50 kali per menit atau lebih dan untuk usia 1 -4 tahun adalah 40 kali per menit atau lebih.
 ukan pneumonia: batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian
bawah dan tidak ada napas cepat.
3. Tanda dan gejala ISPA
Pada umumnya suatu penyakit saluran pernapasan dimulai dengan keluhan-keluhan dan gejala-
gejala yang ringan. Dalam perjalanan penyakit mungkin gejala-gejala menjadi lebih berat dan
bila semakin berat dapat jatuh dalam keadaan kegagalan pernapasan dan mungkin meninggal.
Bila sudah dalam kegagalan pernapasan maka dibutuhkan penatalaksanaan yang lebih rumit,
meskipun demikian mortalitas masih tinggi, maka perlu diusahakan agar yang ringan tidak
menjadi lebih berat dan yang sudah berat cepat-cepat ditolong dengan tepat agar tidak jatuh
dalam kegagalan pernapasan.
Tanda-tanda klinis ISPA
        Pada sistem respiratorik adalah: tachypnea, napas tak teratur (apnea), retraksi dinding thorak,
napas cuping hidung, cyanosis, suara napas lemah atau hilang, grunting expiratoir dan wheezing.
         Pada sistem cardial adalah: tachycardia, bradycardiam, hypertensi, hypotensi dan
cardiac arrest.
         Pada sistem cerebral adalah : gelisah, mudah terangsang, sakit kepala, bingung, papil
bendung, kejang dan coma.
       Pada hal umum adalah : letih dan berkeringat banyak.
Tanda-tanda laboratoris ISPA
         hypoxemia,
         hypercapnia dan
         acydosis (metabolik dan atau respiratorik)
Tanda-tanda bahaya pada anak golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun adalah: tidak bisa minum,
kejang, kesadaran menurun, stridor dan gizi buruk, sedangkan tanda bahaya pada anak golongan
umur kurang dari 2 bulan adalah: kurang bisa minum (kemampuan minumnya menurun ampai
kurang dari setengah volume yang biasa diminumnya), kejang, kesadaran menurun, stridor,
Wheezing
4 .    Etiologi
Etiologi ISPA lebih dari 300 jenis bakteri, virus, dan jamur. Bakteri penyebabnya antara
lain dari genus streptokokus, stafilokokus, pnemokokus, hemofilus, bordetella, dan
korinebacterium. Virus penyebabnya antara lain golongan mikovirus, adenovirus, koronavirus,
pikornavirus, mikoplasma, herpesvirus.
Bakteri dan virus yang paling sering menjadi penyebab ISPA diantaranya bakteri
stafilokokus dan streptokokus serta virus influenza yang di udara bebas akan masuk dan
menempel pada saluran pernafasan bagian atas yaitu tenggorokan dan hidung.
Biasanya bakteri dan virus tersebut menyerang anak-anak usia dibawah 2 tahun yang
kekebalan tubuhnya lemah atau belum sempurna. Peralihan musim kemarau ke musim hujan
juga menimbulkan risiko serangan ISPA.
Beberapa faktor lain yang diperkirakan berkontribusi terhadap kejadian ISPA pada anak
adalah rendahnya asupan antioksidan, status gizi kurang, dan buruknya sanitasi lingkungan.
5.  Manifestasi Klinik
Gambaran klinis secara umum yang sering didapat adalah rinitis, nyeri tenggorokan, batuk
dengan dahak kuning/ putih kental, nyeri retrosternal dan konjungtivitis. Suhu badan meningkat
antara 4-7 hari disertai malaise, mialgia, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah dan insomnia.
Bila peningkatan suhu berlangsung lama biasanya menunjukkan adanya penyulit.
6. Patofisiologi
Perjalanan alamiah penyakit ISPA dibagi 3 tahap yaitu :
1.      Tahap prepatogenesis : penyuebab telah ada tetapi belum menunjukkan reaksi apa-apa
2.      Tahap inkubasi : virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa. Tubu
menjadi lemah apalagi bila keadaan gizi dan daya tahan sebelumnya rendah.
3.      Tahap dini penyakit : dimulai dari munculnya gejala penyakit,timbul gejala demam dan batuk.
Tahap lanjut penyaklit,dibagi menjadi empat yaitu dapat sembuh sempurna, sembuh dengan
atelektasis,menjadi kronos dan meninggal akibat pneumonia.
Saluran pernafasan selama hidup selalu terpapar dengan dunia luar sehingga untuk
mengatasinya dibutuhkan suatu sistem pertahanan yang efektif dan efisien. Ketahanan saluran
pernafasan tehadap infeksi maupun partikel dan gas yang ada di udara amat tergantung pada tiga
unsur alami yang selalu terdapat pada orang sehat yaitu keutuhan epitel mukosa dan gerak
mukosilia, makrofag alveoli, dan antibodi.
         Infeksi bakteri mudah terjadi pada saluran nafas yang sel-sel epitel mukosanya telah rusak
akibat infeksi yang terdahulu. Selain hal itu, hal-hal yang dapat mengganggu keutuhan lapisan
mukosa dan gerak silia adalah asap rokok dan gas SO2 (polutan utama dalam pencemaran
udara), sindroma imotil, pengobatan dengan O2 konsentrasi tinggi (25 % atau lebih).  Makrofag
banyak terdapat di alveoli dan akan dimobilisasi ke tempat lain bila terjadi infeksi. Asap rokok
dapat menurunkan kemampuan makrofag membunuh bakteri, sedangkan alkohol akan
menurunkan mobilitas sel-sel ini. Antibodi setempat yang ada di saluran nafas ialah Ig A.
Antibodi ini banyak ditemukan di mukosa. Kekurangan antibodi ini akan memudahkan
terjadinya infeksi saluran nafas, seperti yang terjadi pada anak. Penderita yang rentan
(imunokompkromis) mudah terkena infeksi ini seperti pada pasien keganasan yang mendapat
terapi sitostatika atau radiasi.Penyebaran infeksi pada ISPA dapat melalui jalan hematogen,
limfogen, perkontinuitatum dan udara nafas.
7.      Penatalaksanaan
Penemuan dini penderita pneumonia dengan penatalaksanaan kasus yang benar merupakan
strategi untuk mencapai dua dari tiga tujuan program (turunnya kematian karena pneumonia dan
turunnya penggunaan antibiotik dan obat batuk yang kurang tepat pada pengobatan penyakit
ISPA) .
Pedoman penatalaksanaan kasus ISPA akan memberikan petunjuk standar pengobatan
penyakit ISPA yang akan berdampak mengurangi penggunaan antibiotik untuk kasus-kasus
batuk pilek biasa, serta mengurangi penggunaan obat batuk yang kurang bermanfaat. Strategi
penatalaksanaan kasus mencakup pula petunjuk tentang pemberian makanan dan minuman
sebagai bagian dari tindakan penunjang yang penting bagi pederita ISPA.
Penatalaksanaan ISPA meliputi langkah atau tindakan sebagai berikut :
Pencegahan dapat dilakukan dengan :
• Menjaga keadaan gizi agar tetap baik.
• Immunisasi.
• Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan.
• Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA.
Prinsip perawatan ISPA antara lain :
• Menigkatkan istirahat minimal 8 jam perhari
• Meningkatkan makanan bergizi
• Bila demam beri kompres dan banyak minum
• Bila hidung tersumbat karena pilek bersihkan lubang hidung dengan sapu tangan  yang bersih
• Bila badan seseorang demam gunakan pakaian yang cukup tipis tidak terlalu ketat.
• Bila terserang pada anak tetap berikan makanan dan ASI bila anak tersebut masih menetek
Pengobatan antara lain :
1. Suportif : meningkatkan daya tahan tubuh berupa Nutrisi yang  adekuat,pemberian
multivitamin dll.
2. Antibiotik :
- Idealnya berdasarkan jenis kuman penyebab
- Utama ditujukan pada S.pneumonia,H.Influensa dan S.Aureus
- Menurut WHO : Pneumonia rawat jalan yaitu kotrimoksasol, Amoksisillin, Ampisillin,
Penisillin Prokain,Pnemonia berat : Benzil penicillin, klorampenikol, kloksasilin, gentamisin.
- Antibiotik baru lain : Sefalosforin,quinolon dll.
8.      Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis ISPA oleh karena virus dapat ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium
terhadap jasad renik itu sendiri. Pemeriksaan yang dilakukan adalah biakan virus, serologis,
diagnostik virus secara langsung.
         Sedangkan diagnosis ISPA oleh karena bakteri dilakukan dengan pemeriksaan sputum,
biakan darah, biakan cairan pleura.
Proses Keperawatan
1.     Pengkajian
Riwayat kesehatan:
-       Keluhan utama (demam, batuk, pilek, sakit tenggorokan)
-       Riwayat penyakit sekarang (kondisi klien saat diperiksa)
-       Riwayat penyakit dahulu (apakah klien pernah mengalami penyakit seperti aaaaayang
dialaminya sekarang)
-       Riwayat penyakit keluarga (adakah anggota keluarga yang pernah mengalami aaaaasakit
seperti penyakit klien)
-       Riwayat sosial (lingkungan tempat tinggal klien)
aaaaaPemeriksaan fisik à difokuskan pada pengkajian sistem pernafasan
a.       Inspeksi
-       Membran mukosa hidung-faring tampak kemerahan
-       Tonsil tampak kemerahan dan edema
-       Tampak batuk tidak produktif
-       Tidak ada jaringan parut pada leher
-       Tidak tampak penggunaan otot-otot pernafasan tambahan, pernafasan cuping  aaaaahidung.
b.      Palpasi
-       Adanya demam
-       Teraba adanya pembesaran kelenjar limfe pada daerah leher/nyeri tekan pada aaaaanodus
limfe servikalis
-       Tidak teraba adanya pembesaran kelenjar tyroid
c.       Perkusi
-       Suara paru normal (resonance)
d.      Auskultasi
-       Suara nafas vesikuler/tidak terdengar ronchi pada kedua sisi paru
2. Diagnosa Keperawatan
1)    Peningkatan suhu tubuh b.d proses infeksi
Tujuan  : suhu tubuh normal berkisar antara 36 – 37,5 °C
Intervensi:
a.       Observasi tanda-tanda vital
b.      Anjurkan klien/keluarga untuk kompres pada kepala/aksila
c.       Anjurkan klien untuk menggunakan pakaian yang tipis dan dapat menyerap  SAkeringat
seperti pakaian dari bahan katun.
d.      Atur sirkulasi udara
e.       Anjurkan klien untuk minum banyak ± 2000 – 2500 ml/hari
f.       Anjurkan klien istirahat di tempat tidur selama fase febris penyakit.
g.      Kolaborasi dengan dokter:
-       Dalam pemberian terapi, obat antimikrobial
-       Antipiretika
Rasionalisasi:
a.  Pemantauan tanda vital yang teratur dapat menentukan perkembangan  perawatan selanjutnya
b. Dengan memberikan kompres, maka akan terjadi proses konduksi/perpindahan   Apanas
dengan bahan perantara.
c. Proses hilanganya panas akan terhalangi untuk pakaian yang tebal dan tidak Aakan menyerap
keringat.
d.  Penyediaan udara bersih
e.  Kebutuhan cairan meningkat karena penguapan tubuh meningkat
f.  Tirah baring untuk mengurangi metabolisme dan panas
g. Untuk mengontrol infeksi pernafasan dan menurunkan panas
2)    Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia
Tujuan:
-  Klien dapat mencapai BB yang direncanakan mengarah pada BB normal.
-  Klien dapat menoleransi diet yang dianjurkan
-   Tidak menunjukkan tanda malnutrisi
Intervensi:
a.       Kaji kebiasaan diet, input-output dan timbang BB setiap hari.
b.      Berikan makan porsi kecil tapi sering dan dalam keadaan hangat.
c.       Tingkatkan tirah baring
d.      Kolaborasi: konsultasi ke ahli gizi untuk memberikan diet sesuai kebutuhan   AAAklien.
Rasionalisasi:
a.       Berguna untuk menentukan kebutuhan kalori, menyusun tujuan BB dan   AAevaluasi
keadekuatan rencana nutrisi
b.      Untuk menjamin nutrisi adekuat/meningkatkan kalori total
c.       Nafsu makan dapat dirangsang pada situasi rileks, bersih, dan AAmenyenangkan.
d.      Untuk mengurangi kebutuhan metabolic
e.       Metode makan dan kebutuhan kalori didasarkan pada situasi atau AAkebutuhan individu
untuk memberikan nutrisi maksimal.
3)    Nyeri akut b.d inflamasi pada membran mukosa faring dan tonsil
Tujuan: nyeri berkurang/terkontrol
Intervensi:
a.                Teliti keluhan nyeri, catat intensitasnya (dengan skala 0 – 10 ), faktor yang memperburuk
atau meredakan nyeri, lokasi, lama, dan karakteristiknya.
b.                Anjurkan klien untuk menghindari alergen/iritan terhadap debu, bahan kimia, asap rokkok,
dan mengistirahatkan/meminimalkan bicara bila suara serak.
c.                Anjurkan untuk melakukan kumur air hangat
d.               Kolaborasi: berikan obat sesuai indikasi (steroid oral, IV, dan inhalasi, & analgesik)
Rasionalisasi:
a.                  Identifikasi karakteristik nyeri dan faktor yang berhubungan merupakan suatu hal yang
amat penting untuk memilih intervensi yang cocok dan untuk mengevaluasi keefektifan dari
terapi yang diberikan.
b.                  Mengurangi bertambahberatnya penyakit
c.                  Peningkatan sirkulasi pada daerah tenggorokan serta mengurangi nyeri tenggorokan.
d.                 Kortikosteroid digunakan untuk mencegah reaksi alergi/menghambat pengeluaran histamin
dalam inflamasi pernafasan. Analgesik untuk mengurangi nyeri.
4)    Risiko tinggi penularan infeksi b.d tidak kuatnya pertahanan sekunder (adanya infeksi
penekanan imun)
Tujuan: tidak terjadi penularan, tidak terjadi komplikasi
Intervensi:
a.       Batasi pengunjung sesuai indikasi
b.      Jaga keseimbangan antara istirahat dan aktivitas
c.       Tutup mulut dan hidung jika hendak bersin
d.      Tingkatkan daya tahan tubuh, terutama anak dibawah usia 2 tahun, lansia, dan penderita
penyakit kronis. Konsumsi vitamin C, A dan mineral seng atau anti oksidan jika kondisi tubuh
menurun/asupan makanan berkurang.
e.      Kolaborasi pemberian obat sesuai hasil kultur
Rasionalisasi:
a.       Menurunkan potensi terpajan pada penyakit infeksius
b.      Menurunkan konsumsi/kebutuhan keseimbangan O₂ dan memperbaiki
pertahanan klien terhadap infeksi, meningkatkan penyembuhan.
c.       Mencegah penyebaran patogen melalui cairan
d.      Malnutrisi dapat mempengaruhi kesehatan umum dan menurunkan tahanan
terhadap infeksi.
e .      Dapat diberikan untuk organisme khusus yang teridentifikasi dengan kultur dan
sensitifitas atau diberikan secara profilaktik karena risiko tinggi
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN TUBERKULOSIS
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
  DEFINISI
Tuberkulosis (TBC atau TB) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri Mikobakterium tuberkulosa. Bakteri ini merupakan bakteri basil yang sangat kuatsehingga
memerlukan waktu lama untuk mengobatinya. Bakteri ini lebih sering menginfeksi organ paru-paru
dibandingkan bagian lain tubuh manusia. Insidensi TBC dilaporkan meningkat secara drastis
pada dekade terakhir ini di seluruh dunia. Demikian pula di Indonesia, Tuberkulosis / TBC
merupakan masalah kesehatan,baik dari sisi angka kematian (mortalitas), angka kejadian
penyakit (morbiditas), maupun diagnosis dan terapinya. Dengan penduduk lebih dari 200 juta
orang, Indonesia menempati urutan ketiga setelah India dan China dalam hal jumlah penderita di
antara 22 negara dengan masalah TBC terbesar di dunia.
Hasil survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes RI tahun 1992, menunjukkan bahwa Tuberkulosis (TBC)
merupakan penyakit kedua penyebab kematian, sedangkan pada tahun 1986 merupakan penyebab
kematian keempat. Pada tahun 1999 WHO Global Surveillance memperkirakan di Indonesia terdapat 583.000
penderita Tuberkulosis / TBC baru pertahun dengan 262.000 BTA positif atau insidens rate kira-
kira 130 per 100.000 penduduk. Kematian akibat Tuberkulosis / TBC diperkirakan menimpa
140.000 penduduk tiap tahun.
Jumlah penderita TBC paru dari tahun ke tahun di Indonesia terus meningkat. Saat ini setiap
menit muncul satu penderita baru TBC paru, dan setiap dua menit muncul satu penderita baru
TBC paru yang menular. Bahkan setiap empat menit sekali satu orang meninggal akibat TBC di
Indonesia. Kenyataan mengenai penyakit TBC di Indonesia begitu mengkhawatirkan, sehingga
kita harus waspada sejak dini & mendapatkan informasi lengkap tentang penyakit TBC.
Definisi TBC menurut beberapa tokoh, TBC paru merupakan penyakit infeksi yang
menyerang parenkin paru-paru dan disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis (Somantri,2009). Sementara itu, Junaidi (2010) menyebutkan tuberkulosis (TB)
sebagai suatu infeksi akibat Mycobacterium tuberculosis yang dapat menyerang berbagai organ,
terutama paru-paru dengan gejala yang sangat bervariasi. Irman Somantri,Asuhan Keperawatan
pada klien dengan Gangguan pasa sistem Pernapasan (Jakarta: Salemba Medika, 2009). Iskandar
Junaidi, Penyakit Paru dan Saluran Napas (Jakarta: Buana Ilmu Populer,2010).
1.      PENYAKIT TBC
Tuberkulosis (TBC) adalah suatu penyakit granulomatosa kronis menular yang disebabkan
oleh MT. Penyakit ini biasanya mengenai paru, tetapi dapat menyerang semua organ atau
jaringan tubuh, misalnya pada lymph node, pleura dan area osteoartikular. Biasanya pada bagian
tengah granuloma tuberkel mengalami nekrosis perkijuan (Depkes RI, 2002).
 Tuberculosis (TBC) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh oleh kuman
TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TBC menyerang paru, tetapi dapat
juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes RI, 2007).
Tuberkulosis yang menyerang organ selain paru (kelenjar limfe, kulit, otak, tulang, usus,
ginjal) disebut tuberkulosis ekstra paru. Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang,
berukuran panjang 1-4 mikron dan tebal 0,3-0,6 mikron, mempunyai sifat khusus yaitu tahan
terhadap asam pada pewarnaan, oleh karena itu disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA).
Kuman tuberkulosis cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup
beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman ini
dapat dormant atau tertidur lama dalam beberapa tahun.
Penyakit TBC dapat menyerang siapa saja (tua, muda, laki-laki, perempuan,miskin, atau
kaya) dan dimana saja. Setiap tahunnya, Indonesia bertambah dengan seperempat juta kasus baru
TBC dan sekitar 140.000 kematian terjadi setiap tahunnya disebabkan oleh TBC. Bahkan,
Indonesia adalah negara ketiga terbesar dengan masalah TBC di dunia. Survei prevalensi TBC yang
dilakukan di enam propinsi pada tahun 1983-1993 menunjukkan bahwa prevalensi TBC
di Indonesia berkisar antara 0,2 – 0,65%. Sedangkan menurut laporan Penanggulangan
TBC Global yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2004, angka insidensi TBC pada tahun 2002
mencapai 555.000 kasus (256 kasus/100.000 penduduk), dan 46% diantaranya diperkirakan
merupakan kasus baru.
2.      PENYEBAB PENYAKIT TBC
Penyakit TBC adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mikobakterium
tuberkulosa. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai
Batang Tahan Asam (BTA). Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal
24 Maret 1882, sehingga untuk mengenang jasanya bakteri tersebut diberi nama baksil Koch.
Bahkan, penyakit TBC pada paru-paru kadang disebut sebagai Koch Pulmonum (KP). Bakteri
Mikobakterium tuberkulosa.
KUMAN TBC
Penyakit Tuberkulosis Paru (TB Paru) disebabkan oleh kuman TBC (Mycobacterium
tuberculosis) yang sebagian kuman TBC menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ
tubuh lain. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada
pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TBC cepat
mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang
gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama
beberapa tahun

Mycobacterium tuberculosis
3.      TERJADINYA TBC
Infeksi Primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TBC. Percikan
dahak yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan
mukosilierbronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi
dimulai saat kuman TBC berhasil berkembang biak dengan cara membelah diri di paru, yang
mengakibatkan peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman TBC ke kelenjar
limfe disekitar hilus paru dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya
infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah sekitar 4-6 minggu.
Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif
menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk
dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitasseluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh
tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TBC. Meskipun demikian ada beberapa
kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tubuh
tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang
bersangkutan akan menjadi penderita TBC.
Tuberkulosis Pasca Primer
Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi
primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi buruk.
Cirikhas dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya
kavitas atau efusi pleura.
4.      CARA PENULARAN TBC
Penyakit TBC biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri
Mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan pada saat penderita TBC batuk, dan pada anak-anak
sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TBC dewasa. Bakteri ini bila sering masuk
dan terkumpul di dalam paru-paru akan berkembangbiak menjadi banyak (terutama pada orang
dengan daya tahan tubuh yang rendah), dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau
kelenjar getah bening.
Oleh sebab itulah infeksi TBC dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh
seperti: paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan lain-lain,
meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena yaitu paru-
paru. Saat Mikobakterium tuberkulosa berhasil menginfeksi paru-paru, maka dengan segera akan
tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular (bulat). Biasanya melalui serangkaian
reaksi imunologis bakteri TBC ini akan berusaha dihambat melalui pembentukan dinding di
sekeliling bakteri itu oleh sel-sel paru.
Mekanisme pembentukan dinding itu membuat jaringan di sekitarnya menjadi jaringan parut dan
bakteri TBC akan menjadi dormant (istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah yang sebenarnya
terlihat sebagai tuberkel pada pemeriksaan fotorontgen. Gejala batuk TBC menular melalui udara
dari satu orang ke orang lainnya. Bakteri penyebab TBC ini menyebar ke udara saat penderita
TBC batuk, bersin atau pun berbicara. Lalu, orang yang menghirup bakteri tersebut pun dapat
terinfeksi bakteri penyebab TBC tersebut. Hal tersebutlah yang menjadi satu-satunya cara
penyebaran dan penularan dari bakteri TBC, sedangkan banyak orang mengira berbagai hal
lainnya juga dapat menjadi penyebab tertularnya penyakit TBC, padahal berbagai hal tersebut
sebenarnya tidak berpengaruh dalam hal penularan gejala batuk TBC.
Hal apa saja yang sering dianggap sebagai cara penularan dari TBC, namun padahal
tidak? Ini dia:
         Berjabat tangan dengan penderita TBC.
         Berbagi makanan atau minuman dengan orang yang menderita TBC.
         Berciuman.
         Menyentuh bagian toilet atau wastafel.
         Memakai sikat gigi bersama.
5.      FAKTOR ORANG TERKENA TBC DAYA TAHAN TUBUH YANG KURANG
Kemampuan untuk melawan infeksi adalah kemampuan pertahanan tubuh untuk
mengatasi organisme yang menyerang. Kemampuan tersebut tergantung pada usia yang
terinfeksi. Namun kekebalan tubuh tidak mampu bekerja baik pada setiap usia. Sistem kekebalan
tubuh lemah pada saat kelahiran dan perlahan-lahan menjadi semakin baik menjelang usia 10
tahun. Hingga usia pubertas seorang anak kurang mampu mencegah penyebaran melalui darah,
sekalipun lambat laun kemampuan tersebut akan meningkat sejalan dengan usia.
Tinggal berdekatan dengan orang yang terinfeksi aktif Pekerjaan kesehatan yang merawat
Pasien TB. Pasien-pasien dengan dahak yang positif pada hapusan langsung (TB tampak di
bawah mikroskop) jauh lebih menular, karena mereka memproduksi lebih banyak
TB dibandingkan dengan mereka yang hanya positif positif pada pembiakan. Makin dekat
seseorang berada dengan pasien, makin banyak dosis TB yang mungkin akan dihirupnya.
Gizi Buruk 
Terdapat bukti sangat jelas bahwa kelaparan atau gizi buruk mengurangi daya tahan
terhadap penyakit ini. Faktor ini sangat penting pada masyarakat miskin, baik pada orang dewasa
maupun pada anak. Kompleks kemiskinan seluruhnya ini lebih memudahkan TB berkembang
menjadi penyakit. Namun anak dengan status gizi yang baik tampaknya mampu mencegah
penyebaran penyakit tersebut di dalam paru itu sendiri.
Orang Berusia Lanjut atau Bayi Pengidap Infeksi HIV/AIDS
Pengaruh infeksi HIV/AIDS mengakibatkan kerusakan luas system daya tahan tubuh,
sehingga jika terjadi infeksi seperti tuberculosis maka yang bersangkutan akan menjadi sakit
parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka
jumlah penderita TBC akan meningkat, dengan demikian penularan TBC di masyarakat akan
meningkat pula.
B.     GEJALA TBC
Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang timbul
sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus
baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara klinik.
Ciri ciri penyakit tbc, gejala awal orang yang terkena infeksi penyakit TBC bisa dikenali
dari tanda-tanda kondisi pada fisik penderitanya, yaitu salah satunya penderita akan mengalami
demam yang tidak terlalu tinggi dan berlangsung lama, deman tsb biasanya dialami pada malam
hari disertai dengan keluarnya keringat. Kadang-kadang derita demam disertai dengan influenza
yang bersifat timbul sementara kemudian hilang lagi. Berikut ini adalah gejala ciri penyakit TBC
paru-paru yang bisa kita kenali sejak dini :
1. Ketika penderita batuk atau berdahak biasanya disertai keluarnya darah.
2. Penderita mengalami sesak napas dan nyeri pada bagian dada.
3. Penderita mengalami deman (meriang panas dingin) lebih dari sebulan
4. Penderita berkeringan pada waktu malam hari tanpa penyebab yang jelas.
5. Badan penderita lemah dan lesu
6. Penderita mengalami penurunan berat badan dikarenakan hilangnya nafsu makan
7. Urin penderita berubah warna menjadi kemerahan atau keruh. Ciri gejala ini muncul pada
kondisi selanjutnya
1.             GEJALA SISTEMIK/UTAMA
a.       Demam tidak  terlalu  tinggi  yang  berlangsung  lama, biasanya dirasakan malam hari disertai
keringat malam.
b.      Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul.
c.       Penurunan nafsu makan dan berat badan.
d.      Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah).
e.       Perasaan tidak enak (malaise), lemah.
2.             GEJALA KHUSUS
a.       Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus
(saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan  kelenjar getah bening yang
membesar, akan menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah yang disertai sesak.
b.       Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan sakit
dada.
c.       Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat
dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit diatasnya, pada muara  ini  akan keluar  cairan
nanah.
d.      Pada anak – anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut
sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi,  adanya penurunan
kesadaran dan kejang - kejang.
C.     DIAGNOSIS TBC
Tindakan yang harus segera diambil untuk menangani TBC diantaranya:
1.      Anamnesa yaitu melakukan pemeriksaan TBC terhadap seluruh anggota keluarga yang terkena
TBC maupun yang berisiko.
2.      Melakukan cek-up fisik secara menyeluruh.
3.      Segera mengambil  sampel darah, sputum (dahak), serta cairan dari otak untuk melakukan tes
lab.
4.      Langkah berikutnya yaitu melakukan pemeriksaan patologis dan anatomis.
5.      Melakukan foto dada atau sering disebut dengan ronsen.
6.      Melakukan uji tuberculin dari cairan tubuh.
1.        DIAGNOSIS PADA DEWASA
Diagnosis Tuberkulosis Pada Orang Dewasa. Diagnosis TB paru pada orang dewasa
dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil
pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga SPS BTA hasilnya positif. Bila
hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen
dada atau pemeriksaan spesimen SPS diulang. Kalau hasil rontgen mendukung TB, maka
penderita diidagnosis sebagai penderita TB BTA positif. Kalau hasil rontgen tidak mendukung
TB, maka pemeriksaan lain, misalnya biakan.
Apabila fasilitas memungkinkan, maka dapat dilakukan pemeriksaan lain, misalnya
biakan. Bila tiga spesimen dahak negatif, diberikan antibiotik spektrum luas (misalnya
kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1 - 2 minggu. Bila tidak ada perubahan, namun gejala
klinis tetap mencurigakan TB, ulangi pemeriksaan dahak SPS : Kalau hasil SPS positif,
didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif. Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan
pemeriksaan foto rontgen dada, untukmendukung diagnosis TB.
a.       Bila hasil rontgen mendukung TB, diagnosis sebagai penderita TB  BTA negatif rontgen
positif.
b.      Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita tersebut bukan TB.UPK yang tidak
memiliki fasilitas rontgen, penderita dapat dirujuk untuk difotorontgen dada.
2.        DIAGNOSIS MELALUI TEST KULIT
Test kulit TBC dilakukan dilengan. Dalam waktu dua atau tigahari,pada lengan anda
apakah ada reaksi. Bila reaksinya “positif”, ini berartianda mungkin sudah terinfeksi TBC.
Kadang kala, bila seseorangsudah terinfeksi kuman HIV dan TBC, bisa saja terjadi
reaksi“negatif”dalam tes kulit TBC. Hal ini disebabkan sistim kekebalan tubuhandatidak
berfungsi benar. Petugas Kesehatan akan menyampaikanpada seseorang tersebut tentang risiko
terinfeksi TBC ataupenyakit TBC.dan mungkin perlu tes medis atau perawatan.
D.    TBC PADA ANAK 
Penyakit TB ini mudah sekali menyerang pada anak-anak kecil yangbelum diimunisasi
dengan vaksin BCG (Bacillus Calmette-Guerin), karena kurangnya gizi dan karena lingkungan
yang kurang sehat. Tidak cukup untuk sekedar memahami cara bagaimana anak-anak terinfeksi
tuberkulosis atau bagaimana penyakit tersebut dapat menyebar. Kemungkinan adanya
tuberkulosis pada anak yang kurusatau bila ditemukan:
a.       Berat badan tidak naik atau turun selama lebih dari 14 minggu (adanya grafik kenaikan berat
badan akan sangat berguna).
b.      Kehilangan gairah dan mungkin juga berat badan selama 2 sampai 3 bulan.
c.       Salah satu dari (1) atau (2) yang dijelaskan di atas disertai dengan menggigil atau batuk yang
sesekali dapat menyerupai batuk rejan.
d.      Demam atau meriang selama lebih dari satu minggu tanpa penyebab yang jelas.
e.       Salah satu diantara (1), (2), (3) serta tanda adanya cairan – pekak,  pada salah satu
sisi dada.
f.       Perut membuncit, terutama bila teraba benjolan dan yang tetap  bertahan setelah
pemberian obat cacing.
g.      Diare kronis dengan buang air besar tinja keputihan yang tidak sembuh setelah diberi obat
cacing atau obat untuk giardiasis (dengan metronidazole).
h.      Jalan timpang, punggung kaku sukar membungkuk.
i.        Tulang belakang membungkuk, tidak atau kaku saat berjalan.
j.        Pembengkakan lutut atau pergelangan kaki, tangan, siku atau bahkan iga atau tulang atau
sendi yang manapun yang tidak disebabkan cedera.
k.      Pembengkakan kelenjar getah bening yang keras atau lembut, tidak nyeri, terkadang dengan
beberapa kelenjar getah bening kecil didekatnya dan terkadang melekat tak teratur
E.     RIWAYAT TBC
Tiap tahun selalu terdapat peningkatan jumlah penderita TBC yang tinggi dibandingkan tahun
sebelumnya. TBC membunuh lebih banyak kaum muda dan wanita dibandingkan penyakit
menular lainnya. Terdapat sekitar 2 sampai 3 juta orang meninggal akibat TBC setiap tahun.
Sesungguhnya setiap kematian akibat TBC itu bisa dihindari. Setiap detik, ada 1 orang yang
meninggal akibat tertular TBC. Setiap 4 detik, ada yang sakit akibat tertular TBC. Setiap tahun. 1
% dari seluruh populasi di seluruh dunia terjangkit oleh penyakit TBC. Sepertiga dari jumlah
penduduk di dunia ini sudah tertular oleh kuman TBC (walaupun) belum terjangkit
oleh penyakitnya.
Penderita TBC yang tidak berobat dapat menularkan penyakit kepada sekitar 10/15 orang
dalam jangka waktu 1 tahun. Seperti halnya flu, kuman TBC menyebar di udara pada saat seseorang
yang menderita TBC batuk dan bersin, meludah atau berbicara. Kuman TBC biasanya
menyerang paru-paru.
F.   PENCEGAHAN TBC
Adapan tujuan dari pencegahan TBC, yaitu;
1.      Menyembuhkan penderita.
2.      Mencegah kematian.
3.      Mencegah kekambuhan.
4.      Menurunkan tingkat penularan.
Saat batuk seharusnya menutupi mulutnya, dan apabila batuk lebih dari 3 minggu, merasa
sakit di dada dan kesukaran bernafas segera dibawa kepuskesmas atau ke rumah sakit.
a.       Saat batuk memalingkan muka agar tidak mengenai orang lain.
b.      Membuang ludah di tempat yang tertutup, dan apabila ludahnya bercampur darah segera
dibawa kepuskesmas atau ke rumah sakit.
c.       Mencuci peralatan makan dan minum sampai bersih setelah digunakan oleh penderita.
d.      Bayi yang baru lahir dan anak-anak kecil harus diimunisasi dengan vaksin BCG. Karena
vaksin tersebut akan memberikan perlindungan yang amat bagus.
e.       Pemeriksaan kontak, yaitu pemeriksaan terhadap individu yang bergaul erat dengan penderita
TB paru BTA positif.
f.       Mars chest X-ray, yaitu pemeriksaan massal terhadap kelompok-kelompok populasi tertentu,
misalnya karyawan rumah sakit atau puskemas atau balai pengobatan, penghuni rumag tahanan
dan siswi-siswi pesantren.
g.      Vaksinasi BCG, reaksi positif terjadi jika setelah mendapat vaksinasi BCG langsung terdapat
reaksi lokal yang besar dalam waktu kurang dari 7 hari setelah penyuntikan.
h.      Kemoprokfilasis, yaitu dengan menggunakan INH 5 mg/kg BB selama 6-12 bulan dengan
tujuan menghancurkan atau mengurangi populasi bakteri yang masih sedikit.
i.        Komunikas, informasi, dan edukasi (KIE) tentang penyakit tuberkulosis kepada masyarakat di
tingkat puskesmas maupun rumah sakit oleh petugas pemerintah atau petugas LSM.
Tips Terbaik Mencegah Penularan TBC
Ingat bahwa di Indonesia, penyakit TBC masih merupakan penyakit epidemiologi, sehingga
jumlah penderita TBC masih sangat banyak dan berpotensi untuk terus menularkan bakteri
TBC. Agar kita dapat tehindar dari penyakit TBC, maka kita dapat melakukan hal-hal berikut:
1.      Imunisasi BCG; imunisasi BCG biasanya didapat ketika bayi. Jika Anda memiliki bayi, maka
berikanlah imunisasi dasar lengkap agar si bayi juga mendapatkan imunisasi BCG.
2.      Bila ada yang dicurigai sebagai penderita TBC maka harus segera mendapatkan pengobatan
sampai tuntas agar tidak menjadi penyakit yang lebih berat dan menjadi sumber penularan
bakteri TBC.
3.      Bagi penderita tidak meludah sembarangan. Pada dasarnya penularan bakteri TBC berasal dari
dahak penderita TBC. Walaupun dahak dari penderita TBC sudah mengering, tetap berpotensi
menyebarkan bakteri TBC melalui udara.
4.      Tidak melakukan kontak udara dengan penderita. Bagi Anda yang masih sehat, sebaiknya
membatasi interaksi dengan orang yang menderita TBC atau Anda dapat menggunakan alat
pelindung diri (masker) ketika Anda harus kontak dengan mereka.
5.      Minum obat pencegah dan hidup secara sehat.
6.      Rumah harus memiliki ventilasi udara yang baik, sehingga sinar matahari pagi dapat masuk ke
dalam rumah.
7.      Menutup mulut dengan sapu tangan bila batuk serta tidak meludah/mengeluarkan dahak di
sembarangan tempat dan menyediakan tempat ludah yang diberi lisol atau bahan lain yang
dianjurkan dokter dan untuk mengurangi aktivitas kerja serta menenangkan pikiran
8.      Tips berikutnya adalah dengan melakukan sinar ultraviolet untuk membasmi bakteri. Sinar ini
bertujuan untuk membasmi bakteri penyebab penyakit TBC tersebut.
9.      Tips terakhir untuk mencegah penyakit TBC adalah dengan pemberian obat isoniazid. Obat ini
sangat efektif memberikan dampak terhadap pencegahan TBC. Walaupun hasil uji lab
menunjukkan hasil tes tuberkulin positif, akan tetapi hasil photo ronsen Anda tidak akan
menunjukkan adanya penyakit TBC.ah mengetahui cara mencegah penuaran TBC, segeralah
Anda mengambil tindakan yang bijak agar tetap sehat dan terhindar dari TBC.
G.    PEMBERANTASAN TBC
1.        TUJUAN PEMBERANTASAN
Pemberantasan penyakit TBC didasarkan untuk memutusmata rantai virulenci penularan
penyakit TBC supaya tidak terjadi prevalenci penyakit TB yang lebih besar.
2.        PEMBERANTASAN PENYAKIT TBC
a.       Pengobatan pada penderita hingga sembuh
b.      Perlakuan pada rumah penderita untuk lebih memperhatikan factor kesehatan lingkungan
dengan menambah ventilator sebagai pengganti udara, genteng kaca supaya sinar matahari dapat
masuk, dan faktor higiene lingkungan yang lain yang lebih baik.
c.       Sterilisasi Rumah pasca Penderita.
H.    PENGOBATAN TBC
1.      JENIS OBAT
a.       Isoniasid
b.      Rifampicin
c.       Pirasinamid
d.      Streptomicin
Obat yang digunakan untuk TBC digolongkan atas dua kelompok yaitu obat primer dan
sekunder. Obat primer untuk TBC adalah isoniazid
(INH), Rifampisin, Etambutol, Streptomisin, dan Pirazinamid. Sebagian besar penderita
TBC sembuh dengan obat-obat ini. Selain itu ada juga obat sekunder untuk TBC yaitu
Exionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin, Amikasin, Kapreomisin dan Kanamisin. Penggunaan
obat-obat primer dan sekunder tergantung dari tingkat keparahan TBC yang diderita.
Biasanya penderita TBC dapat sembuh total selama kurang lebih enam bulan dengan
mengonsumsi obat-obatan primer setiap hari. Butuh biaya besar untuk mengonsumsi obat-obatan
ini setiap hari selama enam bulan ? betul. Namun pemerintah Indonesia sudah menyediakan
obat-obatan ini di tiap-tiap Puskesmas dalam kemasan yang eksklusif dan gratis.
Penggunaan obat untuk penderita TBC lebih baik diberi/ disarankan oleh dokter, karena
pengobatan TBC tidak seperti pengobatan penyakit yang lain. TBC membutuhkan perhatian dan
pengawasan khusus, karena jika tidah patuh dalam pengobatan akan menyebabkan resistensi dan
kegagalan dalam pengobatan.
Berikut ini adalah prinsip pengobatan yang perlu diterapkan terhadap penderita TBC:
1.            Obat TBC diberikan beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8
bulan, agar semua kuman (termasuk kuman persisten) dapat terbunuh.
2.            Apabila paduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka waktu
pengobatan), kuman TBC akan berkembang menjadi kuman kebal obat (resisten).
3.            Perlu dilakukan dengan pengawasan langsung oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
4.            Pengobatan TBC diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Pada tahun 1997 WHO telah membuat klasifikasi regimen pengobatan pada berbagai keadaan
penyakit TBC (Suswati,  2007).
Tabel 1.Jenis dan Dosis OAT
Jenis Obat Sifat Dosis yang Direkomendasikan (mg/kg)
Harian 3x Seminggu
Isoniazid (H) Bakterisid 5 (4-5) 10 (8-12)
Rifampicin (R) Bakterisid 25 (20-30) 15 (12-18)
Pyrazinamide (Z) Bakterisid 15 (15-20) 10 (8-12)
Streptomycin (S) Bakterisid 10 (8-12) 35 (30-40)
Ethambutol (E) Bakteriostatik 15 (12-18) 30 (20-35)

Tabel 2. Dosis Untuk Paduan OAT Kategori II


Berat Badan Tahap intensif tiap hari RHZE (150/75/400/275)+S Tahap Lanjutan 3 kali seminggu
RH(150/150)+E(400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selam 20 minggu
30 – 37 Kg 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT
+500 mg streptomisin inj. +2 tab Etambutol
38 – 54 Kg 3 tab 4KDT 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT
+750 mg Streptomisin Inj. +Etambutol
55 – 70 Kg 4 tab 4KDT 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT
+1000mg streptomisin Inj. +4 tab Etambutol
271 Kg 5 tab 4KDT 5 tab 4KDT tab 2KDT +5 tab Etambutol
+1000 mg Streptomisin inj.

Tabel 3. Dosis Untuk Paduan OAT Kategori III


Lama Tablet Kaplet Tablet Streptomis
Pengobatan Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Etambulot Inj
Tahap (Bulan) @300 @450 mgr @500 mgr
Pengobatan mgr
Tablet Tablet
@250 mgr @400 mgr
Tahap 2 1 1 3 3 - 0,75 gr
intensif  1 1 1 3 3 - -
(dosis
harian)
Thap 4 2 1 - 1 2 -
lanjutan
(dosis 3%
seminggu)
Penderita yang menghentikan pengobatannya <2 minggu pengobatan OAT dapat dilanjutkan
sesuai jadwal.  Jika penderita menghentikan pengobatannya ≥ 2 minggu :
a.       Berobat ≥ 4 bulan, BTA negatif dan klinis, radiologis negatif OAT STOP
b.      Berobat ≥ 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih
kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.
c.       Berobat < 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang
sama.
d.      Berobat < 4 bulan, berhenti berobat > 1 bulan, BTA negatif, akan tetapi klinis dan radiologis
positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang sama.
e.       Berobat < 4 bulan, BTA negatif, berhenti berobat 2 – 4 minggu pengobatan dilanjutkan
kembali sesuai jadwal (Suswati,  2007).
Penderita TBC dapat dikatakan hidupnya bergantung pada obat, jika proses pengobatan
berhasil, maka kemungkinan dalam memperpanjang masa hidup juga berhasil. Secara garis
besar, kesuksesan dalam pengobatan TBC adalah Ketepatan jenis obat, Ketepatan dosis dan
Ketepatan waktu pengobatan (baik waktu minum dalam satu hari maupun lama jangka waktu
meminum obat).Penanggulangan Tuberkulosis (TB) di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman
penjajahan Belanda namun terbatas pada kelompok tertentu. Setelah perang kemerdekaan, TB
ditanggulangi melalui Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru (BP-4). Sejak tahun 1969
penanggulangan dilakukan secara nasional melalui Puskesmas. Obat anti tuberkulosis (OAT)
yang digunakan adalah paduan standar INH, PAS dan Streptomisin selama satu sampai dua
tahun.
Para Amino Acid (PAS) kemudian diganti dengan Pirazinamid. Sejak 1977 mulai
digunakan paduan OAT jangka pendek yang terdiri dari INH, Rifampisin dan Etambutol selama
6 bulan (Suswati,  2007).Berbagai variasi regimen telah diperkenalkan selama ini. Pada dasarnya
semuanya mengandung dua fase, yaitu fase awal intensif dan fase lanjutan. Fase awal intensif
biasanya diberikan sedikitnya 3 atau 4 obat, sedangkan fase lanjutan dapat diberikan 2 obat saja
baik setiap hari maupun intermitten.
Selain obat rekomendasi dari dokter, ada juga obat tradisional yang bisa digunakan yang
sudah sejak dahulu digunakan yaitu :
1.      Sambiloto (Andrographis paniculata) : Daun kering digiling ditambah madu secukupnya
kemudian dibuat pil dengan diameter 0,5 cm. Satu hari dua kali minum, setiap kali minum 15 -
30 pil.
2.      Tembelekan : Lantana camara : bunga kering 6 - 10 gram ditambah tiga gelas air lalu direbus
hingga setengahnya. Gunakan untuk tiga kali minum setiap harinya.
PRINSIP OBAT
Obat TB iberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah cukup dan
dosis tepat selama 6-8 bulan,supaya semua kuman dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan dosis
tahap lanjutan ditelan dalam dosis tunggal,sebaiknya pada saat perut kosong. Apabila paduan
obat yangdigunakan tidak adekuat, kuman TB akan berkembangmenjadi kuman kebal.
Pengobatan TB diberikan dalan 2 Tahap yaitu:
a.       Tahap intensif 
Pada tahap intensif penderita mendapat obat (minumobat) setiap hari selama 2 - 3 bulan.
b.      Tahap lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat obat (minumobat) tiga kali seminggu selama 4 – 5
bulan.
2.      EFEK SAMPING OBAT
Beberapa efek samping yang mungkin muncul akibat mengkonsumsi obatTB bervariasi mulai dari
ringan hingga berat. Efek samping ringan dapat berupa berubahnya warna urine menjadi kemerahan yang
diakibatkan oleh rifampisin. Efek samping lainnya dapat berupa nyeri sendi, tidak ada nafsu
makan, mual, kesemutan dan rasa terbakar di hati, gatal dan kemerahan dikulit gangguan
keseimbangan hingga kekuningan (ikterus). Jika pasien merasakan hal-hal tersebut, pasien harus
segera berkonsultasi dengan dokter untuk memperoleh penanganan lebih lanjut, fase lanjutan. Dalam
beberapa kasus pengobatan bisa berlangsung hingga delapan bulan.
I.       KASUS TBC
Untuk menegakkan diagnosa TBC Paru adalah dengan memeriksa dahak seseorang yang di
duga mengidap TBC. Pemeriksan dahak di lakukan secara SPS (Sewaktu saat kontak pertama,
Pagi hari ke 2 dan Sewaktu juga saat hari ke2) dibawah pemeriksaan mikroskopis. Hasil
pemeriksaan mikroskopis ini sangat dijaga kualitas dengan melakukan cros cek/ uji silang lagi
juga menjaga hasil pemeriksaan sedian dahak BTA.
Metode Penemuan Kasus TBC paru
Dengan cara passive promotive case finding artinya penjaringan tersangka penderita yang
dating berkunjung ke unit pelayanan kesehatan dengan meningkatkan penyuluhan TBC
kepada masyarakat. Bila ditemukan penderita tuberculosis paru dengan sputum dahat BTA
+,maka semua orang yang kontak serumah dengan penderita harus diperiksa. Apabila ada gejala-
gejala suspek (Kecurigaan) TBC maka harus diperiksa dahaknya.
Pengobatan Penderita TBC adalah dengan kombinasi beberapa jenis obat dalam jumlah
cukup dan dosis yang tepat selama 6 – 8 bulan. Pengobatan penderita TBC terdiri atas 3 fase,
yaitu:
1.      Fase Intensif yaiut Obat diminum setiap hari selama 2 bulan
2.      Fase Lanjutan yaitu Obat diminum seminggu 3 kali.
3.      Paduan OAT (OBat Anti Tuberkulosa) FDC.
Saat ini di Provinsi Kalimantan Selatan sudah menggunakan OAT FDC. Kemasan Obat FDC
(Fixed Dose Combination) 1 tablet obat mengandung 150 mg Rifamfisin, 75 mg INH, 400 mg
Pyrazinamid dan 275 mg Ethambutol, (Dikutip dari : Buku Saku Petugas Program TBC. Depkes
RI Diagram diagnosa TB
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN ASMA
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Definisi
Asma adalah suatu kondisi dimana jalan udara dalam paru-paru meradang hingga lebih
sensitive terhadap factor khusus (pemicu) yang menyebabkan jalan udara menyempit hingga
aliran udara berkurang dan mengakibatkan sesak napas dan bunyi napas mengikik. Yang mana
asma sangat berbeda antara setiap orang sehingga penangannya pun juga berbeda. Tergantung
dari factor pencetusnya. Pada dasarnya ada tiga proses yang mengarah pada penyempitan jalan
napas dan sesak napas mengikik diantaranya :
1.       Lapisan tenganjalan udaramem bengkak
2.      Kelenjer lender menghasilkan lebih banyak sekresi (dahak yang harus dibatukkan untuk
membersihkan jalan napas)
3.      Otot halus berkontraksi akibat pelepasan bahan-bahan dari sel yang meradang.
Selama asma, dinding otot jalan napas berkontraksi hingga diameter bagian dalamnya
menyempit. Meningkatnya pengeluaran lendir dan peradangan dibagian dalam jalan napas
mengakibatkan jalan napas menjadi sempit lagi.
B.     Faktor Pemicu Asma
1.      Olahraga
Olahraga merupakan pemicu paling utama, khususnya pada anak-anak. Dan sering menjadi
salah satu penyebab dari timbulnya asma. Masalahnya adalah napas yang terengah-engah sehabis
mengeluarkan banyak tenaga sering dianggap sebagai kurang bugarnya tubuh danbukannya
asma. Akibatnya, banyak anak lelaki remaja merasa tidak cukup bugar untuk bermain. (Jon
Ayres, 2003)
2.      Allergen
Serbuk sari merupakan pemicu yang mudah dikenali, tetapi hewan terutama kucing dan
kuda juga berpotensi mencetuskan asma. Terpapar allergen dalam waktu lama juga dapat
menyebabkan gejala yang lebih menetap.  (Jon Ayres, 2003)
3.      Asap, debudan bau yang menyengat
Asap rokok merupakan pemicu yang ampuh bagi banyak penderita asma,sebagaimana
debu,karena pada dasarnya debu dapat menyebabkan iritasi. Bau menyengat seperti lotion juga
dapat menjadi pemicu terhadap timbulnya asma pada seseorang. (Jon Ayres, 2003)
4.      pilek dan virus
infeksi virus merupakan pemicu asma paling umum pada semua kelompok usia. Antibiotic
hanya efektif untuk mengobati infeksi bakteri yang sangat jarang terjadi pada asma. (Jon Ayres,
2003)
5.      Emosi dan stress (Jon Ayres, 2003)
6.      Cuaca dan polusi
cuaca juga sangat berpengaruh terhadap timbulnya penyakit asma. Kemudian polusi udara
juga merupakan factor yang berpengaruh terhadap asma. (Jon Ayres, 2003)
C.     Gejala Umum Asma
1.      Napas mengikik
Dengan atau tanpa sesak napas, napas yang mengikik dapat muncul bila ada pemicu karena
sebab lain. (Jon Ayres, 2003)
2.      Sesak napas (Jon Ayres, 2003)
3.      Batuk
Batuk dengan lendir atau batuk kering juga merupakan pertanda asma. (Jon Ayres, 2003)
4.      Sesak dada
Gejala asma dengan gangguan jantung pada orang yang lebih tua. (Jon Ayres, 2003)
D.    Obat-Obat untuk Asma
1.      Obat pelega sesak napas
Cara kerja obat ini dengan mengendurkan otot dalam dinding jalan napas, sehingga jalan
napas terbuka danudara dapat keluar masuk dengan lebih mudah. Obat ini disebut dengan
bronkodilator dan digunakan dengan cara dihirup. (Jon Ayres, 2003)
2.      Obat pencegahan
Cara kerja obat ini adalah dengan mengurangi peradangan pada jalan napas dan
meredakan iritasi. Yang mana obat ini harus digunakan secara tetap, biasanya dua kali sehari.
Tiga jenis obat pencegah asma : (Jon Ayres, 2003)
a.       Steroid hirup (Jon Ayres, 2003)
b.      Cromoglycate (intal)
Natrium kromoglikat 5 mg.
Indikasi : pengobatan asma bronkial, termasuk pencegahan Exercise Induced Asthma.
Kontra indikasi : hipersensitif.
Efek samping : dapat terjaid irirtasi ringan tenggorokan, mual, batuk, dan bronkospasma
sementara.
Dosis : dewasa dana anak : dosis awal sehari 4 x 2 inhalansi (semprot); dosis pemeliharaan,
sehari 4 1 inhalansi; dosis tunggal, 2 inhalansi yang diberikan 10 menit sebelum latihan dapat
mencegah bronkospasma. Pada lansia : dosis anjuran sama dengan dosis dewasa. Terapi
kombinasi dengan steroid : memungkinkan untuk mengurangi atau menghentikan p-penggunaan
steroid di bawah pengawasan dokter; dianjurkan penurunan dosis steroid sebesar 10% per
minggu. Terapi kombinasi dengan brobkodilator : dianjurkan pemberian bronkodialtor terlebih
dahulu.
Kemasan : dus 1 kanister 112 kali inhalansi + 1 plastik mouth Rp. 75.130,- (ISO, 2012)
c.       Nedocromil (tilade)
Natrium nedokromil 2 mg/inhalasi (aerosol)
Indikasi : pengobatan asma bronkial derajat ringan sampai sedang.
Kontra indikasi : hipersensitif.
Efek samping : pusing dan mual, batuk dan bronkospasma.
Perhatian : tidak dianjurkan saat serangan bronkospasma akut, sebaiknya tidak diberikan pada
masa kehamilan terutama selama trisemester pertama, ibu menyusui.
Dosis : dewasa dan anak di atas 12 tahun, sehari 2-4 x x 2 inhalasi (semprot); dosis awal, sehari 4
x2 inhalasi, dosis pemeliharaan, sehari 2 x 2 inhalansi, dosis tunggal, 2 inhalansi (4 mg) yang
diberikan beberapa menit sebelum melakukan latihan, terpapar terhadap udara dingin, polutan
dan alergen lainnya,dapat mencegah bronkospasama. Pada lansia : dosis dianjurkan sama dengan
dosis dewasa.
Kemasan : dus 1 kanister 112 kali inhalansi + platik mouth piece Rp. 64.130,- (ISO, 2012)
3.    Pengobatan darurat
Bila terjadi serangan asma akut ada dua cara pengobatan yang dapat dilakukan : obat
pelegasesak napas dosis tinggi dan obat anti radang dosis tinggi. (Jon Ayres, 2003)
a.       Obat pelega sesak napas diantaranya :
1)      Salbotamol
Salbutamol sulfat setara salbutamol 2 mg dan 4 mg per tab. Dan 2 mg/ 5 ml sirup.
Indikasi : kejang bronkus pada semua asma bronkial, bronkitis kronis dan emfisema.
Kontra Indikasi : hipersensitif, gangguan kardiovaskuler, hipertiroid. Sebaiknya dihindari pada
kehamilan trisemester pertama. Hati-hati penggunaaan pada anak kurang dari dua tahun.
Efek samping : pada pemakaian dosisi besar kadang ditemukan terjadi tremor, palpitasi, kejang
otot, takikardi, sakit kepala dan ketegangan.
Dosis : dewasa > 12 tahun 2-4 mg sehari 3-4 x atau 1-2 sendok (5-10 ml)  sehari 3-4 x. Anak : 2-

6 tahun 1-2 mg sehari 3-4 x atau   - 1 sendok (0,25-5 ml) seahari 3-4 x. 6-12 tahun 2 mg
sehari 3-4 x atau 1 sendok (5 ml) sehari 3-4 x.
Kemasan : dus 10x 10 tab 2 & 4 mg. Botol 100 ml. (ISO, 2012)
a)    Ventolin
b)   Salbulin
c)    Salamol
(Jon Ayres, 2003)
2)   Serbutaline (Bricanly) (Jon Ayres, 2003)
3)   Fenoterol (Berotec)
Fenoterol HBr 0,2 mg / dosis terukur obat semprot (metered aerosol)
Indikasi : asma bronchial, bronkitis obstruktif, emfisema, asma disebabkan suatu gerakan olah
raga dan kelainan bronkupulmonari.
Kontra indikasi : tirotoksikosis, stenosis subvalvular, aortik, takiaritmia.
Efek samping : mulut kering dan kelainan ventrikel.
Dosis : dewasa dan anak di atas 6 tahun, sehari 3x 1-2 sedot/dosis tunggal.
kemasan : 100/10 ml MDI Rp. 88.990,-; 200/10 ml MDI Rp. 96.580,-; (ISO, 2012)
4)   Efomoterol (Foradil oxis) (Jon Ayres, 2003)
2.      Obat pencegah
a.       Beclomethason
Beklometason dipropionat 200 mg/dosis, laktosa monohidrat secukupnya.
Indikasi : asma yang tidak terkontrol hanya dengan bronkodilator, tidak terkontrol dengan
natrium kromoglikolat sebagai tambahan bronkodilator, asma bergantung kortikosteroid sistemik
atau hormon adrenokortikotropik (ATCH).
Kontra indikasi : hipersensitif.
Efek samping : penekanan fungsi adrenal dilaporkan terjadi pada orang dewasa yang menerima
lebih dari 1500 mg sehari, pada beberapa pasien terjadi infeksi mulut kandidiasis pada mulut dan
tenggororkan, sreak, batuk luka pada tenggorokan, juga dilaporkan.
Kemasan : easyhaler 200 mg/dosis, serbuk inhalasi 200 dosis. Kemasan starter : 1 perangkat
inhalasi dalam dus dan 1 tutup pelindung. Kemasan user : 1 perangkat inhaler dalam dos. (ISO,
2012)
a)    Seri becodine
b)   Seri beclazon
c)    Seri filair
(Jon Ayres, 2003)
b.      Budesonide (Pulmicort)
Budesonid 0,25 mg; 0,50 mg/ml.
Indikasi : asma bronkus.
Kontra indikasi : hioersensitif terhadap tiap bahan kandung.
Dosis : dewasa : sehari 2x, 0,5-1 mg, anak usia 3 bulan-12 tahun : sehari 2x 0,25-0,50 mg.
Kemasan : dus 2x5 respules 0,25 mg/ml 2 ml Rp. 116.828,-; 2x5 respules 0,50 mg/ml 2 ml Rp.
162.720,-; (ISO, 2012)
c.       Nedocromil (Tilade)
Natrium nedokromil 2 mg/inhalasi (aerosol)
Indikasi : pengobatan asma bronkial derajat ringan sampai sedang.
Kontra indikasi : hipersensitif.
Efek samping : pusing dan mual, batuk dan bronkospasma.
Perhatian : tidak dianjurkan saat serangan bronkospasma akut, sebaiknya tidak diberikan pada
masa kehamilan terutama selama trisemester pertama, ibu menyusui.
Dosis : dewasa dan anak di atas 12 tahun, sehari 2-4 x x 2 inhalasi (semprot); dosis awal, sehari 4
x2 inhalasi, dosis pemeliharaan, sehari 2 x 2 inhalansi, dosis tunggal, 2 inhalansi (4 mg) yang
diberikan beberapa menit sebelum melakukan latihan, terpapar terhadap udara dingin, polutan
dan alergen lainnya,dapat mencegah bronkospasama. Pada lansia : dosis dianjurkan sama dengan
dosis dewasa.
Kemasan : dus 1 kanister 112 kali inhalansi + platik mouth piece Rp. 64.130,- (ISO, 2012)
E.     Keperawatan Gawat Darurat Asma
1.      Pengkajian klinis
Keluhan :
a.       Sesak nafas tiba-tiba, biasanya ada faktor pencetus
b.      Terjadi kesulitan ekspirasi / ekspirasi diperpanjang
c.       Batuk dengan sekret lengket
d.      Berkeringat dingin
e.       Terdengar suara mengi / wheezing ker
f.       Terjadi berulang, setiap ada pencet
g.      Sering ada faktor genetik/familier
2.      AIRWAY
Pengkajian:
Pada pasien dengan status asmatikus ditemukan adanya penumpukan sputum pada jalan
nafas. Hal ini menyebabkan penyumbatan jalan napas sehingga status asmatikus ini
memperlihatkan kondisi pasien yang sesak karena kebutuhan akan oksigen semakin sedikit yang
dapat diperoleh.
 Diagnosa keperawatan :
 Ketidakefektifan bersihan jalan napas b/d penumpukan sputum
Intervensi :
a.       Amankan pasien ke tempat yang aman lokasi yang luas memungkinkan sirkulasi udara yang
lebih banyak untuk pasien
b.      Kaji tingkat kesadaran pasien dengan melihat, mendengar, dan merasakan dapat dilakukan
untuk mengetahui tingkat kesadaran pasien
c.       Segera minta pertolongan bantuan segera dari rumah sakit memungkinkan pertolongan yang
lebih intensif
d.      Auskultasi bunyi napas dengan mendekatkan telinga ke mulut pasien mengetahui tingkat
pernapasan pasien dan mengetahui adanya penumpukan secret
e.       Berikan teknik membuka jalan napas dengan cara memiringkan pasien setengah telungkup dan
membuka mulutnya memudahkan untuk mengeluarkan sputum pada jalan napas
3.    BREATHING
Pengkajian :
Adanya sumbatan pada jalan napas pasien menyebabkan bertambahnya usaha napas pasien
untuk memperoleh oksigen yang diperlukan oleh tubuh. Namun pada status asmatikus pasien
mengalami nafas lemah hingga adanya henti napas. Sehingga ini memungkinkan bahwa usaha
ventilasi pasien tidak efektif. Disamping itu adanya bising mengi dan sesak napas berat sehingga
pasien tidak mampu menyelesaikan satu kalimat dengan sekali napas, atau kesulitan dalam
bergerak. Pada pengkajian ini dapat diperoleh frekuensi napas lebih dari 25 x / menit. Pantau
adanya mengi.
Diagnose keperawatan
Ketidakefektifan pola napas b/d penurunan kemampuan bernapas.
Intervensi :
a.       Kaji usaha dan frekuensi napas pasien dan mengetahui tingkat usaha napas pasien
b.      Auskultasi bunyi napas dengan mendekatkan telinga pada hidung pasien serta pipi ke mulut
pasien
c.       R/ mengetahui masih adanya usaha napas pasien
d.      Pantau ekspansi dada pasien
e.       R/ mengetahui masih adanya pengembangan dada pasien
4.      CIRCULATION
Pengkajian :
Pada kasus status asmatikus ini adanya usaha yang kuat untuk memperoleh oksgien maka
jantung berkontraksi kuat untuk memenuhi kebutuhan tersebut hal ini ditandai dengan adanya
peningkatan denyut nadi lebih dari 110 x/menit. Terjadi pula penurunan tekanan darah sistolik
pada waktu inspirasi, arus puncak ekspirasi ( APE ) kurang dari 50 % nilai dugaan atau nilai
tertinggi yang pernah dicapai atau kurang dari 120 lt/menit. Adanya kekurangan oksigen ini
dapat menyebabkan sianosis yang dikaji pada tahap circulation ini.
Diagnosa Keperawatan  :
Perubahan perfusi jaringan perifer b/d kekurangan oksigen
Intervensi :
a.       pantau tanda – tanda vital ( nadi, warna kulit ) dengan menyentuh nadi jugularis
b.      R/ mengetahui masih adanya denyut nadi yang teraba
5.    DISABILITY
Pengkajian :
Pada tahap pengkajian ini diperoleh hasil bahwa pasien dengan status asmatikus
mengalami penurunan kesadaran. Disamping itu pasien yang masih dapat berespon hanya dapat
mengeluarkan kalimat yang terbata – bata dan tidak mampu menyelesaikan satu kalimat akibat
usaha napas yang dilakukannya sehingga dapat menimbulkan kelelahan . Namun pada penurunan
kesadaran semua motorik sensorik pasien unrespon.
6.     EXPOSURE
Pengkajian :
Setelah tindakan pemantauan airway, breathing, circulation, disability, dan exposure
dilakukan, maka tindakan selanjutnya yakni transportasi ke rumah sakit untuk mendapatkan
pertolongan yang lebih intesif.
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN ANEMIA
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
  Pengertian Anemia
Bahaya Anemia kini terutama sekali dirasakan pada anak-anak. Dampaknya bagi anak
bisa membahayakan karena dapat mengakibatkan kerusakan jantung, otak dan organ tubuh lain,
hingga menyebabkan kematian. Karena itu sangat penting bagi kita untuk tanggap dan penting
mengetahui gejala-gejala Anemia. Secara umum anemia pada anak terjadi akibat infeksi cacing
tambang, malaria, atau disentri yang menyebabkan kekurangan darah yang parah
 Anemia didefinisikan sebagai penurunan volume eritrosit atau kadar Hb sampai di
bawah rentang nilai yang berlaku untuk orang sehat (Nelson,1999).
Anemia berarti kekurangan sel darah merah, yang dapat di sebabkan oleh hilangnya darah yang
terlalu cepat atau karena terlalu lambatnya produksi sel darah merah. (Guyton,1997).
Anemia adalah keadaan dimana jumlah sel darah merah atau konsentrasi hemoglobin
turun dibawah normal.(Wong,2003).
Anemia adalah penurunan dibawah normal dadam jumlah eritrosit, banyaknya
hemoglobin, atau volume sel darah merah, sistem berbagai jenis penyakit dan kelainan (Dorlan,
1998)
Fungsi zat besi yang paling penting adalah dalam perkembangan system saraf yaitu
diperlukan dalam proses mielinisasi, neurotransmitter, dendritogenesis dan metabolism saraf. 
Kekurangan zat besi sangat mempengaruhi fungsi kognitif, tingkah laku dan pertumbuhan
seorang bayi. Besi juga merupakan sumber energy bagi otot sehingga mempengaruhi ketahanan
fisik dan kemampuan bekerja terutama pada remaja. Bila kekurangan zat besi terjadi pada masa
kehamilan maka akan meningkatkan risiko perinatal serta mortalitas bayi.
2.      Penyebab Defisiensi Besi Menurut Usia
         Bayi kurang dari 1 tahun
a)      Cadangan besi kurang,  karena bayi berat lahir rendah, prematuritas, lahir kembar, ASI ekslusif
tanpa suplementasi besi, susu formula rendah besi, pertumbuhan cepat dan anemia selama
kehamilan.
b)     Alergi protein susu sapi
         Anak umur 1-2 tahun
a)      Asupan besi kurang akibat tidak mendapat makanan tambahan atau minum susu murni
berlebih.
b)     Obesitas
c)      Malabsobsi
d)     Kebutuhan zat besi berlebih karena infeksi berulang/kronis
         Anak umur 2-5 tahun
a)      Asupan besi kurang karena jenis makanan kurang mengandung Fe  atau minum susu
berlebihan.
b)     Obesitas
c)      Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang/kronis baik bakteri, virus ataupun parasit).
d)     Kehilangan berlebihan akibat perdarahan (divertikulum Meckel/poliposis dsb).
         Anak umur 5 tahun – remaja
a)      Kehilangan berlebihan akibat perdarahan(a.l infestasi cacing tambang) dan
b)     Menstruasi berlebihan pada remaja puteri
3.      Patofosiologi Anemia
Anemia mencerminkan adanya kegagalan sumsum atau kehilangan sel darah merah
secara berlebihan atau keduanya. Kegagalan sumsum dapat terjadi akibat kekurangan nutrisi,
pajanan toksik, invasi tumor atau kebanyakan akibat penyebab yang tidak diketahui. Sel darah
merah dapat hilang melalui perdarahan atau hemplisis (destruksi), hal ini dapat akibat efek sel
darah merah yang tidak sesuai dengan ketahanan sel darah merah yang menyebabkan destruksi
sel darah merah.
Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam sel fagositik atau dalam system
retikuloendotelial, terutama dalam hati dan limpa. Hasil samping proses ini adalah bilirubin yang
akan memasuki aliran darah. Setiap kenaikan destruksi sel darah merah (hemolisis) segera
direfleksikan dengan peningkatan bilirubin plasma (konsentrasi normal ≤ 1 mg/dl, kadar diatas
1,5 mg/dl mengakibatkan ikterik pada sclera).
Apabila sel darah merah mengalami penghancuran dalam sirkulasi, (pada kelainan
hemplitik) maka hemoglobin akan muncul dalam plasma (hemoglobinemia). Apabila konsentrasi
plasmanya melebihi kapasitas haptoglobin plasma (protein pengikat untuk hemoglobin bebas)
untuk mengikat semuanya, hemoglobin akan berdifusi dalam glomerulus ginjal dan kedalam urin
(hemoglobinuria).
Kesimpulan mengenai apakah suatu anemia pada pasien disebabkan oleh penghancuran
sel darah merah atau produksi sel darah merah yang tidak mencukupi biasanya dapat diperoleh
dengan dasar:1. hitung retikulosit dalam sirkulasi darah; 2. derajat proliferasi sel darah merah
muda dalam sumsum tulang dan cara pematangannya, seperti yang terlihat dalam biopsi; dan ada
tidaknya hiperbilirubinemia dan hemoglobinemia
Anemia

viskositas darah menurun

resistensi aliran darah perifer

penurunan transport O2 ke jaringan

hipoksia, pucat, lemah

beban jantung meningkat

kerja jantung meningkat

payah jantung
4.      Klasifikasi Anemia
a)      Anemia Aplastik
         Penyebab
      Agen neoplastik/sitoplastik
      Terapi radiasi
      Antibiotik tertentu
      obat anti konvulsan, tyroid, senyawa emas, fenilbutason
      inveksi virus khususnya hepatitis

Penurunan jumlah sel eritropoitin (sel induk) di sumsum tulang
Kelainan sel induk (gangguan pembelahan, replikasi, deferensiasi)
Hambatan humoral/seluler

Gangguan sel induk di sumsum tulang

Jumlah sel darah merah yang dihasilkan tak memadai
  ↓
    Pansitopenia
 ↓
 Anemia aplastik
         Gejala
Gejala anemia secara umum (pucat, lemah, dll)
Defisiensi trombosit: ekimosis, petekia, epitaksis, perdarahan saluran cerna, perdarahan saluran
kemih, perdarahan susunan saraf pusat. Morfologis: anemia normositik normokromik
b)     Anemia pada penyakit ginjal
Gejala-gejala:
Nitrogen urea darah (BUN) lebih dari 10 mg/dl
Hematokrit turun 20-30%
Sel darah merah tampak normal pada apusan darah tepi
Penyebabnya adalah menurunnya ketahanan hidup sel darah merah maupun defisiensi eritopoitin
c)      Anemia pada penyakit kronis
Berbagai penyakit inflamasi kronis yang berhubungan dengan anemia jenis normositik
normokromik (sel darah merah dengan ukuran dan warna yang normal). Kelainan ini meliputi
artristis rematoid, abses paru, osteomilitis, tuberkolosis dan berbagai keganasan
d)     Anemia defisiensi besi
Penyebab:
a) Asupan besi tidak adekuat, kebutuhan meningkat selama hamil, menstruasi
b) Gangguan absorbsi (post gastrektomi)
c) Kehilangan darah yang menetap (neoplasma, polip, gastritis, varises oesophagus, hemoroid, dll.)

gangguan eritropoesis

Absorbsi besi dari usus kurang

sel darah merah sedikit (jumlah kurang)
sel darah merah miskin hemoglobin

      Anemia defisiensi besi
Gejala-gejalanya:
a) Atropi papilla lidah
b) Lidah pucat, merah, meradang
c) Stomatitis angularis, sakit di sudut mulut
d) Morfologi: anemia mikrositik hipokromik
e)      Anemia megaloblastik
Penyebab:
Defisiensi defisiensi vitamin B12 dan defisiensi asam folat
Malnutrisi, malabsorbsi, penurunan intrinsik faktor (aneia rnis st gastrektomi) infeksi
parasit, penyakit usus dan keganasan, agen kemoterapeutik, infeksi cacing pita, makan ikan segar
yang terinfeksi, pecandu alkohol.
     ↓
Sintesis DNA terganggu
     ↓
Gangguan maturasi inti sel darah merah
     ↓
     Megaloblas (eritroblas yang besar)
     ↓
       Eritrosit immatur dan hipofungsi
f)       Anemia hemolitika
yaitu anemia defisiensi jumlah sel darah merah disebabkan oleh destruksi sel darah merah:
Pengaruh obat-obatan tertentu
Penyakit Hookin, limfosarkoma, mieloma multiple, leukemia limfositik kronik
Defisiensi glukosa 6 fosfat dihidrigenase
Proses autoimun
Reaksi transfusi
Malaria

Mutasi sel eritrosit/perubahan pada sel eritrosit

Antigesn pada eritrosit berubah

Dianggap benda asing oleh tubuh

   sel darah merah dihancurkan oleh limposit

Anemia hemolisis
Tanda dan Gejala
o Lemah, letih, lesu dan lelah
o Sering mengeluh pusing dan mata berkunang-kunang
o Gejala lanjut berupa kelopak mata, bibir, lidah, kulit dan telapak tangan menjadi pucat
5.      Tanda dan Gejala Anemia Pada Anak
Tanda dan gejala anak anemia sebenarnya bisa dideteksi oleh orang tua. Bagaimana
orang tua bisa mengenali tanda anemia pada anak itulah adalah salah satu cara untuk bisa
menangani semenjak awal anemia ini dan juga memberikan pengobatan anemia itu sendiri.
Tanda anemia anak bisa berupa :
         Anak terlihat lemah, letih, lesu, hal ini karena oksigen yang dibawa keseluruh tubuh
berkurang karena media trasportnya berkurang (Hb) kurang sehingga tentunya yang membuat
energy berkurang dan dampaknya adalah 3L, lemah, letih dan lesu
         Mata berkunang-kunang. Hampir sama prosesnya dengan hal diatas, karena darah yang
membawa oksigen berkurang, aliran darah serta oksigen ke otak berkurang pula dan berdampak
pada indra penglihatan dengan pandangan mata yang berkunang-kunang
         Menurunnya daya pikir, akibatnya adalah sulit untuk berkonsentrasi
         Daya tahan tubuh menurun yang ditandai dengan mudah terserang sakit
         Pada tingkat lanjut atau anemia yang berat maka anak bisa menunjukkan tanda-tanda detak
jantung cepat dan bengkak pada tangan dan kaki.
6.      Cara Mencegah Anemia
Sayuran berwarna hijau gelap seperti bayam dan kangkung, buncis, Mencegah penyakit
ini dapat mengkonsumsi beberapa asupan penting yang mudah didapat diantaranya, zat besi juga
dapat ditemukan pada kacang polong, serta kacang-kacangan.
Dilanjutkan dengan mengonsumsi makanan bergizi seimbang dengan asupan zat besi
yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Zat besi dapat diperoleh dengan cara
mengonsumsi daging (terutama daging merah) seperti sapi.
Perlu kita perhatikan bahwa zat besi yang terdapat pada daging lebih mudah diserap
tubuh daripada zat besi pada sayuran atau pada makanan olahan seperti sereal yang diperkuat
dengan zat besi.
7.      Komplikasi
Infeksi sering terjadi dan dapat berlangsung fatal pada masa anak-anak kematian
mendadak dapat terjadi karena krisis sekuestrasi dimana terjadi pooling sel darah merah ke RES
dan kompartemen vaskular sehingga hematokrit mendadak menurun. Pada orang dewasa
menurunnya faal paru dan ginjal dapat berlangsung progresif.
Komplikasi lain berupa infark tulang, nekrosis aseptik kaput femoralis, serangan-
serangan priapismus dan dapat berakhir dengan impotensi karena kemampuan ereksi. Kelainan
ginjal berupa nekrosis papilla karena sickling dan infaris menyebabkan hematuria yang sering
berulang-ulang sehingga akhirnya ginjal tidak dapat mengkonsentrasi urine. Kasus-kasus Hb S
trait juga dapat mengalami hematuria. (Noer Sjaifullah H.M, 1999, hal : 536)
8.      Penatalaksanaan pada penderita Anemia
Penatalaksanaan anemia ditujukan untuk mencari penyebab dan mengganti darah yang hilang:
1. Anemia aplastik:
a.     Transplantasi sumsum tulang
b.     Pemberian terapi imunosupresif dengan globolin antitimosit(ATG)
2. Anemia pada penyakit ginjal
a.       Pada pasien dialisis harus ditangani dengan pemberian besi dan asam folat
b.      Ketersediaan eritropoetin rekombinan
3. Anemia pada penyakit kronis
Kebanyakan pasien tidak menunjukkan gejala dan tidak memerlukan penanganan
untuk aneminya, dengan keberhasilan penanganan kelainan yang mendasarinya, besi sumsum
tulang dipergunakan untuk membuat darah, sehingga Hb meningkat.
4. Anemia pada defisiensi besi
a.      Dicari penyebab defisiensi besi
b.     Menggunakan preparat besi oral: sulfat feros, glukonat ferosus dan fumarat  ferosus.
5. Anemia megaloblastik
a.    Defisiensi vitamin B12 ditangani dengan pemberian vitamin B12, bila difisiensidisebabkan oleh
defekabsorbsi atau tidak tersedianya faktor intrinsik dapat diberikan vitamin B12 dengan injeksi
IM.
b.    Untuk mencegah kekambuhan anemia terapi vitamin B12 harus diteruskan selamahidup pasien
yang menderita anemia pernisiosa atau malabsorbsi yang tidak dapat dikoreksi.
c.   Anemia defisiensi asam folat penanganannya dengan diet dan penambahan asam folat 1 mg/hari,
secara IM pada pasien dengan gangguan absorbsi.
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN THALASEMIA
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Konsep Dasar Penyakit
           1.      Definisi
Thalasemia merupakan penyakit anemia hemolitik herediter yang diturunkan secara
resesif. Ditandai oleh defisiensi produksi globin pada hemoglobin. dimana terjadi kerusakan sel
darah merah di dalam pembuluh darah sehingga umur eritrosit menjadi pendek (kurang dari 100
hari). Kerusakan tersebut karena hemoglobin yang tidak normal (hemoglobinopatia)
            2.      Patofisiologi
Penyebab anemia pada thalasemia bersifat primer dan sekunder. Penyebab primer adalah
berkurangnya sintesis Hb A dan eritropoesis yang tidak efektif disertai penghancuran sel-sel
eritrosit intrameduler. Penyebab sekunder adalah karena defisiensi asam folat,bertambahnya
volume plasma intravaskuler yang mengakibatkan hemodilusi, dan destruksi eritrosit oleh system
retikuloendotelial dalam limfa dan hati.
Penelitian biomolekular menunjukkan adanya mutasi DNA pada gen sehingga produksi
rantai alfa atau beta dari hemoglobin berkurang. Tejadinya hemosiderosis merupakan hasil
kombinasi antara transfusi berulang, peningkatan absorpsi besi dalam usus karena eritropoesis
yang tidak efektif, anemia kronis serta proses hemolisis.
-          Normal hemoglobin adalah terdiri dari Hb-A dengan dua polipeptida rantai alpa dan dua
rantai beta.
-          Pada Beta thalasemia yaitu tidak adanya atau kurangnya rantai Beta dalam molekul
hemoglobin yang mana ada gangguan kemampuan eritrosit membawa oksigen.
-          Ada suatu kompensator yang meningkatkan dalam rantai alpa, tetapi rantai Beta
memproduksi secara terus menerus sehingga menghasilkan hemoglobin defektive.
Ketidakseimbangan polipeptida ini memudahkan ketidakstabilan dan disintegrasi. Hal ini
menyebabkan sel darah merah menjadi hemolisis dan menimbulkan anemia dan atau
hemosiderosis.
-          Kelebihan pada rantai alpa pada thalasemia Beta dan Gama ditemukan pada thalasemia alpa.
Kelebihan rantai polipeptida ini mengalami presipitasi dalam sel eritrosit. Globin intra-eritrositk
yang mengalami presipitasi, yang terjadi sebagai rantai polipeptida alpa dan beta, atau terdiri dari
hemoglobin tak stabil-badan Heinz, merusak sampul eritrosit dan menyebabkan hemolisis.
Reduksi dalam hemoglobin menstimulasi bone marrow memproduksi RBC yang lebih. Dalam
stimulasi yang konstan pada bone marrow, produksi RBC diluar menjadi eritropoitik aktif.
Kompensator produksi RBC terus menerus pada suatu dasar kronik, dan dengan cepatnya
destruksi RBC, menimbulkan tidak adekuatnya sirkulasi hemoglobin. Kelebihan produksi dan
distruksi RBC menyebabkan bone marrow menjadi tipis dan mudah pecah atau rapuh.
            3.      Gejala Klinis
Thalasemia mayor, gejala klinik telah terlihat sejak anak baru berumur kurang dari 1
tahun, yaitu:
-          Lemah
-          Pucat
-          Perkembangan fisik tidak sesuai dengan umur
-          Berat badan kurang
-          Tidak dapat hidup tanpa transfusi
Thalasemia intermedia : ditandai oleh anemia mikrositik, bentuk heterozigot.
Thalasemia minor/thalasemia trait : ditandai oleh splenomegali, anemia berat, bentuk
homozigot.
Pada anak yang besar sering dijumpai adanya:
-          Gizi buruk
-          Perut buncit karena pembesaran limpa dan hati yang mudah diraba
-          Aktivitas tidak aktif karena pembesaran limpa dan hati (Hepatomegali), Limpa yang besar ini
mudah ruptur karena trauma ringan saja.
Gejala khas adalah:
-          Bentuk muka mongoloid yaitu hidung pesek, tanpa pangkal hidung, jarak antara kedua mata
lebar dan tulang dahi juga lebar.
-          Keadaan kuning pucat pada kulit, jika sering ditransfusi, kulitnya menjadi kelabu karena
penimbunan besi.
           4.      Komplikasi
a.       Fraktur patologis
b.      Hepatosplenomegali
c.       Gangguan Tumbuh Kembang
d.      Disfungsi organ
           5.      Pemeriksaan diagnostik
-          Hasil apusan darah tepi didapatkan gambaran perubahan-perubahan sel dara merah, yaitu
mikrositosis, anisositosis, hipokromi, poikilositosis, kadar besi dalam serum meninggi, eritrosit
yang imatur, kadar Hb dan Ht menurun.
-          Elektroforesis hemoglobin: hemoglobin klien mengandung HbF dan A2 yang tinggi, biasanya
lebih dari 30 % kadang ditemukan hemoglobin patologis.
           6.      Penatalaksanaan
-          Hingga kini belum ada obat yang tepat untuk menyembuhkan pasien thalasemia. Transfusi
darah diberikan jika kadar Hb telah rendah sekali (kurang dari 6 gr%) atau bila anak terlihat
lemah dan tidak ada nafsu makan.
-          Pemberian transfusi hingga Hb mencapai 10 g/dl. Komplikasi dari pemberian transfusi darah
yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya penumpukan zat besi yang disebut hemosiderosis.
Hemosiderosis dapat dicegah dengan pemberian Deferoxamine(desferal).
-          Splenektomi dilakukan pada anak yang lebih tua dari 2 tahun sebelum terjadi pembesaran
limpa/hemosiderosis, disamping itu diberikan berbagai vitamin tanpa preparat besi.
B.     Konsep Asuhan Keperawatan
             1.      Pengkajian
a.       Pengumpulan data
1)      Anamese
a)      Identitas
b)      Riwayat penyakit sekarang
c)      Riwayat penyakit keluarga
d)     Pola fungsi kesehatan
-          Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
-          Pola tidur dan istirahat
-          Pola aktivitas
-          Pola hubungan dan peran
-          Pola sensorik dan kognitif
-          Pola penanggulangan stres
-          Pola tata nilai dan kepercayaan
2)      Pemeriksaan
a)      Pemeriksaan fisik
-          Status kesehatan umum
-          Intequmen
-          Kepala dan leher
-          Torax dan paru
-          Abdomen
-          Kaji adanya tanda-tanda anemia, pucat, lemah, sesak nafas, hipoksia, nyeri tulang dan dada,
menurunya aktivitas, anoreksi apistaksis berulang.
b)      Pengkajian psikososial
-          Anak: perkembangan psikososial, kemampuan beradaptasi dengan penyakit, mekanisme
koping yang digunakan.
-          Keluarga: respon emosional keluarga, koping yang digunakan keluarga, penyesuaian keluarga
terhadap stres.
             2.      Diagnosa keperawatan
a.       Perubahan perfusi jaringan
b.      Intoleransi aktivitas
c.       Ketidakseimbangan nutrisi
d.      Resiko terjadi kerusakan integritas kulit
e.       Kurangnya pengetahuan
         3.      Rencana keperawatan
       Dari diagnosa keperawatan maka dapat disusun rencana tindakan keperawatan sesuai dengan
masalah:
a.       Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang diperlukan
untuk pengiriman oksigen ke sel.
Tujuan: agar perfusi jaringan dengan penurunan komponen seluler yang diperlukan untuk
pengisian oksigen seluler menjadi normal.
Kriteria hasil:
1)      Pertukaran ventilasi yang adekuat
2)      Pembekuan dalam batas normal
3)      Awasi tanda-tanda vital
4)      Kaji pengisian kapiler, warna kulit/membran mukosa.
b.      Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplay oksigen dan
kebutuhan.
Tujuan: agar suplay oksigen dan kebutuhan menjadi adekuat.
Kriteria:
1)      Mengidentifikasi perilaku yang tidak efekif
2)      Mengkaji situasi saat ini yang akurat
Rasional:
1)      Istirahat meningkatkan perfusi oksigen jaringan
2)      Untuk meningkatkan kadar oksigen dalam darah
c.       Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Tujuan: keseimbangan nutrisi untuk pembentukan sel darah merah menjadi normal.
Kriteria:
1)      Penurunan Hb < 6 gram
2)      Keadaan tubunya lemah, pucat, kurus
3)      Tidak ada nafsu makan
Rasional:
1)      Kolaborasi dalam pemberian transfusi
2)      Pemberian makanan yang bergizi dan mengandung vitamin dan mineral
3)      Awasi ketat untuk terjadinya komplikasi transfusi
d.      Resiko terjadinya kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan sirkulasi dan
neurologis.
Tujuan: agar mempertahankan tidak terjadinya kerusakan pada kulit.
Kriteria:
1)      Pasien tidak mengalami kerusakan kulit
2)      Pasien mempertahankan sirkulasi kulit yang adekuat
3)      Pasien memahami tentang tindakan pencegahan untuk perawatan kulit
4)      Pasien dan anggota keluarga mendemonstrasikan tindakan pencegahan untuk perawatan kulit.
Rasional:
1)      Deteksi dini terhadap perubahan kulit dapat mencegah atau meminimalkan kerusakan kulit.
2)      Untuk mengurangi tekanan pada jaringan, meningkatkan sirkulasi dan mencegah kerusakan
kulit.
e.       Kurangnya pengetahuan tentang prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan
kurang informasi tentang penyakit yang diderita.
Tujuan: agar keluarga dan klien dapat memahami tentang proses pengobatan dan memahami
tentang penyakit yang diderita.
Kriteria:
1)      Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya yang diderita.
2)      Beri penjelasan pada keluarga tentang penyakit dan kondisi sekarang.
3)      Menganjurkan keluarga selalu memperhatikan penyakit yang dialami klien dan faktor-faktor
yang berhubungan.
Rasional:
1)      Mengetahui seberapa jauh pengalaman dan pengetahuan keluarga tentang penyakit klien.
2)      Dengan mengetahui penyakit dan kondisinya sekarang keluarga akan merasa tenang dan
mengurangi rasa cemas.
3)      Dengen memperhatikan faktor yang berhubungan dengan penyakit klien maka dapat
mengurangi sakit dengan tindakan beristirahat, jangan banyak bergerak disaat sakit.
4)      Minta keluarga klien untuk mengulangi kembali tentang materi yang telah diberikan.
Mengetahui seberapa jauh pemahaman keluarga serta menilai keberhasilan dari tindakan yang
dilakukan.
            4.      Pelaksanaan
a.       Melakukan pendekatan pada keluarga untuk menjelaskan tentang penyakit thalasemia,
penyebab tanda dan gejala.
b.      Mengobservasi tanda-tanda vital.
c.       Memberi penjelasan pada keluarga tentang penyakit thalashimea.
d.      Kolaborasi dengan tim medis
           5.      Evaluasi
Merupakan tahap terakhir dalam proses keperawatan. Tujuan evaluasi adalah untuk
menilai apakah tujuan dalam keperawatan tercapai atau tidak untuk melakukan pengkajian ulang
untuk menilai apakah tujuan tercapai sebagian, seluruhnya atau tidak tercapai dapat dibuktikan
dari perilaku pasien dan pemeriksaan penunjang lainnya.
Dalam hal ini juga sebagai langka koreksi terhadap rencana keperawatan semula. Untuk
mencapai rencana keperawatan berikutnya yang lebih relevan.
           6.      Penkes
Penyuluhan sebelum perkawinan (marriage counselling) untuk mencegah perkawinan
diantara pasien Thalasemia agar tidak mendapatkan keturunan yang homozigot. Perkawinan
antara 2 hetarozigot (carrier) menghasilkan keturunan : 25 % Thalasemia (homozigot), 50 %
carrier (heterozigot) dan 25 normal.
Pencegahan kelahiran bagi homozigot dari pasangan suami istri dengan Thalasemia
heterozigot salah satu jalan keluar adalah inseminasi buatan dengan sperma berasal dari donor
yang bebas dan Thalasemia troit. Kelahiran kasus homozigot terhindari, tetapi 50 % dari anak
yang lahir adalah carrier, sedangkan 50% lainnya normal.
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN GASTROKIZIS
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1. DEFINISI
Omphalocele adalah cacat lahir di mana usus bayi atau organ perut lainnya berada di luar tubuh
karena lubang di daerah pusar. Usus yang hanya ditutupi oleh lapisan tipis jaringan dan dapat
dengan mudah dilihat.
Omfalokel adalah cacat dinding perut di dasar tali pusat (umbilicus); bayi lahir
dengan kantung menonjol melalui defek yang berisi usus kecil, hati, dan usus
besar. Omphalocele sering dikaitkan dengan cacat lahir lainnya, seperti kelainan jantung, atresia
ani, masalah kencing, dan cacat genetik. Omphalocele sangat mirip dengan gastroschisis, kecuali
bahwa organ-organ yang tertutup di dalam kantung.Omfalokel adalah penonjolan isi abdomen
melalui dinding abdomen pada titik sambungan korda umbilicus dan abdomen. (Prillitteri.2002.
Perawatan Kesehatan Ibu dan Anak Hal. 520).
2. Etiologi
Menurut Rosa M. Scharin (2004), etiologi pasti dari omphalocele belum diketahui. Beberapa
teori telah dipostulatkan, seperti :
1. Kegagalan kembalinya usus ke dalam abdomen dalam 10-12 minggu yaitu kegagalan lipatan
mesodermal bagian lateral untuk berpindah ke bagian tengah dan menetapnya the body
stalk selama gestasi 12 minggu.
2. Faktor resiko tinggi yang berhubungan dengan omphalokel adalah resiko tinggi kehamilan
seperti :
a. Infeksi dan penyakit pada ibu
b. Penggunaan obat-obatan berbahaya, merokok,
c. Kelainan genetik
d. Defesiensi asam folat
e. Hipoksia
f. Salisil dapat menyebabkan defek pada dinding abdomen.
g. Asupan gizi yang tak seimbang
h. Unsur polutan logam berat dan radioaktif yang masuk ke dalam tubuh ibu hamil.
3. Baru-baru ini, peneliti CDC telah melaporkan temuan penting tentang beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi risiko memiliki bayi dengan omphalocele:
 Alkohol dan tembakau: Wanita yang mengkonsumsi alkohol atau perokok berat (lebih
dari 1 bungkus sehari) lebih cenderung memiliki bayi dengan omphalocele.
 Obat-obat tertentu: Wanita yang menggunakan selective serotonin reuptake inhibitor-
(SSRI) selama kehamilan lebih mungkin untuk memiliki bayi dengan omphalocele.
 Obesitas: Wanita yang obesitas atau kelebihan berat badan sebelum hamil lebih mungkin
untuk memiliki bayi dengan omphalocele.
3. PATOFISIOLOGI
1.      Selama perkembangan embrio,ada suatu kelemahan yang terjadi pada dinding abdomen semasa
embrio yang mana menyebabkan herniasi pada isi usus pada salah satu samping umbilikus.hal ini
menyebabakan  organ visera abdomen keluar dari kapasitas abdomen dan terbungkus kantong.
2.      Terjadinya penurunan kapasitas abdomen yang dianggap anomaly.
3.      Gastrokisis terbentuk akibat kegagalan fungsi dalam pembentukan dinding abdomen ,dan
terbentuk defek.
4.      Letak defek umumnya di sebelah kanan umbilikus
5.      Usus sebagian besar berkembang di luar rongga abdomen janin,akibatnya usus menjadi tebal
dan kaku karena pengendapan dan iritasi dari cairan as.amino,usus juga terlihat pendek dan
rongga abdomen sempit.
6.      Usus,visera dan seluruh permukaan rongga abdomen yang berhubungan dengan dunia
luar  menyebabkan penguapan dan pancaran panas dari tubuh cepat berlangsung,sehingga terjadi
dehidrasi dan hipotermi,kontaminasi usus dengan kuman dapat terjadi,dan distensi usus sehingga
mempersulit koreksi pemasukan kerongga abdomen pada saat pembedahan.
7.      Embriogenesis pada saat janin berumur 5 -6 minggu isi abdomen terletak diluar embrio.pada
usia 10minggu terjadi pegembangan lumen  abdomen sehingga usus dari extra peritoneum akan
masukke rongga perut.bila proses ini terhambat maka akan terbentuk kantong di pangkal
umbilikus yang terisi usus,lambung dan kadang hati.dindingnya tipis terdiri dari lapisan
peritoneum dan lapisan amino yang keduanya bening sehingga isi kantong tampak
keluar,keadaan ini disebut omfalokel.bila usus keluar di titik terlemah dikanan umbilikus,usus
akan berada diluar rongga perut tanpa di bungkus,peritoneum dan amino keadaan ini disebut
gastrokhisis.
4. MANIFESTASI KLINIS
Menurut A.H. Markum (1991), manifestasi dari omphalokel adalah :
1. Organ visera / internal abdomen keluar
2. Penonjolan pada isi usus
3. Teridentifikasi pada prenatal dengan ultrasound
Sedang tanda yang lain :
1. Apabila berukuran kecil di dalam korda umbilicus terdapat sembuhan yang berisi usus
2. Apabila ukuran besaar di dalam korda berisi hati dan usus
3. Tali pusat tampak terletak di daerah apeckantong dengan pembuluh darah umbilicus meluncur
se3panjang kantong masuk kedalam rongga perut
4. Sering ditemukan pada bayi premature
5. Umbilicus menonjol keluar.
5.PENATALAKSANAAN
Apabila terdiagnosa omphalokel pada masa prenatal maka sebaiknya dilakukan informed
consent pada orang tua tentang keadaan janin, resiko terhadap ibu, dan prognosis. Informed
consent sebaiknya melibatkan ahli kandungan, ahli anak dan ahli bedah anak. Keputusan akhir
dibutuhkan guna perencanaan dan penatalaksanaan berikutnya berupa melanjutkan kehamilan
atau mengakhiri kehamilan. Bila melanjutkan kehamilan sebaiknya dilakukan observasi melalui
pemeriksaan USG berkala juga ditentukan tempat dan cara melahirkan. Selama kehamilan
omphalokel mungkin berkurang ukurannya atau bahkan ruptur sehingga mempengaruhi pronosis.
Oak Sanjai (2002) meyebutkan bahwa komplikasi dari partus pervaginam pada bayi
dengan defek dinding abdomen kongenital dapat berupa distokia dengan kesulitan persalinan dan
kerusakan organ abdomen janin termasuk liver.Walaupun demikian, sampai saat ini persalinan
melalui sectio caesar belum ditentukan sebagai metode terpilih pada janin dengan defek dinding
abdomen.Ascraft (1993) menyatakan bahwa beberapa ahli menganjurkan pengakhiran kehamilan
jika terdiagnosa omphalokel yang besar atau janin memiliki kelainan konggenital multipel.
Penatalaksanan postnatal (setelah kelahiran)
Penatalaksannan postnatal meliputi penatalaksanaan segera setelah lahir  (immediate
postnatal), kelanjutan penatalakasanaan awal apakah berupa operasi atau nonoperasi
(konservatif) dan penatalaksanaan postoperasi. Secara umum penatalaksanaan bayi dengan
omphalokele dan gastroskisis adalah hampir sama. Bayi sebaiknya dilahirkan atau segera dirujuk
ke suatu pusat yang memiliki fasilitas perawatan intensif neonatus dan bedah anak.Bayi-bayi
dengan omphalokel biasanya mengalami lebih sedikit kehilangan panas tubuh sehingga lebih
sedikit membutuhkan resusitasi awal cairan dibanding bayi dengan gastroskisis.
Konservatif
Dilakukan bila penutupan secara primer tidak memungkinkan, misalnya pada omfalokel
dengan diameter > 5 cm. Perawatan dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a.       Bayi dijaga agar tetap hangat
b.      Kantong ditutup kasa steril dan ditetesi NaCl 0,9%
c.       Posisi penderita miring
d.      NGT diisap tiap 30 menit
Penatalaksanaan nonnoperasi (konservatif)
Penatalaksanaan omfalokel secara konservatif dilakukan pada kasus omfalokel besar atau
terdapat perbedaan yang besar antara volume organ-organ intraabdomen yang mengalami
herniasi atau eviserasi dengan rongga abdomen seperti pada giant omphalocele atau terdapat
status klinis bayi yang buruk sehingga ada kontra indikasi terhadap operasi atau pembiusan
seperti pada bayi-bayi prematur yang memiliki hyaline embran disease atau bayi yang memiliki
kelainan kongenital berat yang lain seperti gagal jantung. Pada giant omphalocele bisa terjadi
herniasi dari seluruh organ-organ intraabdomen dan dinding abdomen berkembang sangat buruk,
sehingga sulit dilakukan penutupan (operasi/repair) secara primer dan dapat membahayakan
bayi.Beberapa ahli, walaupun demikian, pernah mencoba melakukan operasi pada giant
omphalocele secara primer dengan modifikasi dan berhasil.Tindakan nonoperatif secara
sederhana dilakukan dengan dasar merangsang epitelisasi dari kantong atau selaput. Suatu saat
setelah granulasi terbentuk maka dapat dilakukan skin graft yang nantinya akan terbentuk hernia
ventralis yang akan direpair pada waktu kemudian dan setelah status  kardiorespirasi membaik.
Beberapa obat yang biasa digunakan untuk merangsang epitelisasi adalah 0,25 %
merbromin (mercurochrome), 0,25% silver nitrat, silver sulvadiazine dan povidone iodine
(betadine). Obat-obat tersebut merupakan agen antiseptik yang pada awalnya memacu
pembentukan eskar bakteriostatik dan perlahan-lahan akan merangsang epitelisasi. Obat tersebut
berupa krim dan dioleskan pada permukaan selaput atau kantong  dengan elastik dressing yang
sekaligus secara perlahan dapat menekan dan menguragi isi kantong.
Indikasi terapi non bedah adalah:
Bayi dengan ompalokel raksasa (giant omphalocele) dan kelainan penyerta yang
mengancam jiwa dimana penanganannya harus didahulukan daripada omfalokelnya.Neonatus
dengan kelainan yang menimbulkan komplikasi bila dilakukan pembedahan. Bayi dengan
kelainan lain yang berat yang sangat mempengaruhi daya tahan hidup.
Prinsip kerugian dari metode ini adalah kenyataan bahwa organ visera yang mengalami
kelainan tidak dapat diperiksa, sebab itu bahaya yang terjadi akibat kelainan yang tidak
terdeteksi dapat menyebabkan komplikasi misalnya obstruksi usus yang juga bisa terjadi akibat
adhesi antara usus halus dan kantong.
Jika  infeksi dan ruptur kantong dapat dicegah, kulit dari dinding anterior abdomen secara
lambat akan tumbuh menutupi kantong, dengan demikian akan terbentuk hernia ventralis, karena
sikatrik yang terbentuk biasanya tidak sebesar bila dilakukan operasi. Metode ini terdiri dari
pemberian lotion antiseptik secara berulang pada kantong, yang mana setelah beberapa hari akan
terbentuk skar. Setelah sekitar 3 minggu, akan terjadi pembentukan jaringan granulasi yang
secara bertahap karena terjadi epitelialisasi dari tepi kantong. Penggunaan antiseptik merkuri
sebaiknya dihindari karena  bisa menghasilkan  blood and tissue levels of mercury well above
minimum toxic levels. Alternatif lain yang aman adalah alkohol 65% atau 70% atau gentian
violet cair 1%. Setelah keropeng tebal terbentuk,bubuk antiseptik dapat digunakan. Hernia
ventralis memerlukan tindakan kemudian tetapi kadang-kadang menghilang secara komplet.
Penatalaksanaan dengan operasi
Tujuan mengembalikan organ visera abdomen ke dalam rongga abdomen dan menutup
defek. Dengan adanya kantong yang intak, tak diperlukan operasi emergensi, sehingga seluruh
pemeriksaan fisik dan pelacakan kelainan lain yang mungkin ada dapat dikerjakan. Keberhasilan
penutupan primer tergantung pada ukuran defek serta kelainan lain yang mungkin ada (misalnya
kelainan paru).
Tujuan operasi atau pembedahan ialah memperoleh lama ketahanan hidup  yang optimal
dan menutup defek dengan cara mengurangi herniasi organ-organ intra abomen, aproksimasi dari
kulit dan fascia serta dengan lama tinggal di RS yang pendek. Operasi dilakukan setelah tercapai
resusitasi dan status hemodinamik stabil.Operasi dapat bersifat darurat bila terdapat ruptur
kantong dan obstruksi usus.
Operasi dapat dilakukan dengan 2 metode yaitu primary closure (penutupan secara primer atau
langsung) dan staged closure (penutupan secara bertahap).
II. 6 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
·         pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan maternal serum alfa fetoprotein (MSAFP).Diagnosis prenatal defek pada dinding
abdome dapat di deteksi dengan peningkatan serum MSAFP
·         USG
·         Radiologi
Fetal sonography dapat menggambarkan kelainan genetik dengan memperlihatkan marker
struktural ,
Echocardiography fetus untuk membantu melihat kelainan jantung.
II. 7 KOMPLIKASI
Komplikasi dini merupakan infeksi pada kantong yang mudah terjadi pada permukaan yang
telanjang. Kelainan kongenital dinding perut ini mungkin disertai kelainan bawaan lain yang
memperburuk prognosi.
 komplikasi dari omphalokel adalah :
- Komplikasi dini adalah infeksi pada kantong yang mudah terjadi pada permukaan yang
telanjang.
- Kekurangan nutrisi dapat terjadi sehingga perlu balans cairan dan nutrisi yang adekuat
misalnya dengan nutrisi parenteral.
- Dapat terjadi sepsis terutama jika nutrisi kurang dan pemasangan ventilator yang lama.
- Nekrosis
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN HIPOSPADIA
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
A.    DEFINISI
Hipospadia adalah congenital anomali yang mana uretra bermuara pada sisi bawah penis
atau perineum. (Suriadi,2010:141)
Hipospadia merupakan suatu kelainan congenital yang dapat dideteksi ketika atau segera
setelah bayi lahir, istilah hipospadia menjelaskan adanya kelainan pada muara uretra pria.
Kelainan hipospadia lebih sering terjadi pada muara uretra, biasanya tampak disisi ventral batang
penis. Seringkali, kendati tidak selalu, kelainan tersebut diasosiasikan sebagai suatu chordee,
yaitu istilah untuk penis yang melengkuk kebawah. (Speer,2007:168)
Hipospadia adalah suatu keadaan dengan lubang uretra terdapat pada penis bagian bawah,
bukan diujung penis. Beratnya hipospadia bervariasi, kebanyakan lubang uretra terletak didekat
ujung penis yaitu pada glans penis. Bentuk hipospadia yang lebih berat terjadi jika luubang
uretra terdapat ditengah batang penis atau pada pangkal penis, dan kadang pada skrotum atau
dibawah skrotum. Kelainan ini sering berhubungan kordi, yaitu suatu jaringan vibrosa yang
kencang yang menyebabkan penis melengkung kebawah saat ereksi. (Muslihatum, 2010:163)
Hipospadia adalah suatu kelainan bawaan congenital dimana meatus uretra externa
terletak di permukaan ventral penis dan lebih ke proksimal dari tempatnya yang normal (ujung
glans penis) (Mansjoer, 2000 : 374)
B.     ETIOLOGI
Penyebab yang jelas belum diketahui. Dapat dihubungkan dengan faktor genetik, lingkungan
atau pengaruh hormonal. Namun, ada beberapa factor yang oleh para ahli dianggap paling
berpengaruh antara lain :
1.      Gangguan dan ketidakseimbangan hormone
Hormone yang dimaksud di sini adalah hormone androgen yang mengatur organogenesis
kelamin (pria). Atau biasa juga karena reseptor hormone androgennya sendiri di dalam tubuh
yang kurang atau tidak ada. Sehingga walaupun hormone androgen sendiri telah terbentuk cukup
akan tetapi apabila reseptornya tidak ada tetap saja tidak akan memberikan suatu efek yang
semestinya. Atau enzim yang berperan dalam sintesis hormone androgen tidak mencukupi pun
akan berdampak sama.
2.      Genetika
Terjadi karena gagalnya sintesis androgen. Hal ini biasanya terjadi karena mutasi pada gen yang
mengode sintesis androgen tersebut sehingga ekspresi dari gen tersebut tidak terjadi.
3.       Lingkungan
Biasanya faktor lingkungan yang menjadi penyebab adalah polutan dan zat yang bersifat
teratogenik yang dapat mengakibatkan mutasi.
Faktor resiko. (Suriadi,2010:142)
Penyebab kelainan ini adalah maskulinisasi inkomplit dari genetalia karena involusi yang
premature dari sel interstisial testis.Faktor eksogen antara lain pajanan prenatal terhadap kokain,
alcohol, fenitoin, progesitin, rubella, atau diabetes gestasional.(Mansjoer, 2000 : 374)
C.     KLASIFIKASI
1.      Tipe sederhana adalah tipe balanitik atau glandular, disini meatus terletak pada pangkal glans
penis. Pada kelainan ini secara klinis umumnya bersifat asimtomatik dan tidak memerlukan suatu
tindakan. Bila meatus agak sempit dapat dilakukan dilatasi atau meatotomi.
2.      Tipe penil, meatus terletak antara glans penis dan skrotum. Pada tipe ini umumnya disertai
kelainan penyerta, yaitu tidak adanya kulit prepusium bagian ventral, sehingga penis terlihat
melengkung ke bawah (chordee) atau glans penis menjadi pipih. Pada kelainan tipe penil
diperlukan intervensi tindakan bedah bertahap. Mengingat kulit di bagian ventral prepusium
tidak ada, sebaliknya pada bayi ini tidak dilakukan sirkumsisi karena sisa kulit yang ada dapat
berguna untuk tindakan bedah plastic selanjutnya. Tindakan koreksi atau chordee umumnya
dilakukan sekitar 2 tahun, sedangkan reparasi tipe hipospadial umumnya dilakukan sekitar umur
3 sampai 5 tahun.
3.      Tipe penoskrotal dan tipe perineal. Kelainan ini cukup besar, umumnya pertumbuhan penis
akan terganggu, ada kalanya disertai skrotum bifida, meatus uretra terbuka lebar dan umumnya
testis tidak turun. Pada kejadian ini perlu diperhatikan kemungkinan adanya
pseudohermafroditisme. Tindakan bedah bertahap dilakukan pada tahun pertama kehidupan bayi.
(Markum, 1991: 257)
D.    MANIFESTASI KLINIS
Gejala hipospadi, antara lain: lubang penis tidak terdapat diujung penis, penis
melengkung kebawah, penis tampak seperti berkerudung karena adanya kelainan pada kulit
dengan penis, jika berkemih anak harus duduk. (Muslihatum, 2010:163)
Pada kebanyakan penderita terdapat penis yang melengkung kearah bawah yang akan
tampak lebih jelas pada saat ereksi. Hal ini di sebabkan oleh adanya chordee, yaitu suatu jaringan
fibrosa yang menyebar mulai dari meatus yang letaknya abnormal ke glans penis. Jaringan
fibrosa ini adalah bentuk rudimenter dari uretra, korpus spongiosum dan tunika dartos. Walaupun
adanya chordee adalah salah satu cirri khas untuk mencurigai suatu hipospadia, perlu diingat
bahwa tidak semua hipospadia memiliki chordee. (Mansjoer, 2000 : 374)
Tanda dan gejala lainnya :
1.      Terbuka uretra pada saat lahir, posisi ventral atau dorsal.
2.      Adanya chordee (penis melengkung kebawah) dengan atau tanpa ereksi.
3.      Adanya lekukan pada ujung penis (Suriadi,2010:142)
4.      Meatus uretra ventral, biasanya pada glans penis namun dapat berada pada batang penis atau
perineum.
5.      Kulit yang bercelah, akibat gagal menyatu.
6.      Korde, perlekatan yang menyebabkan pelengkungan penis kearah ventral, paling terlihat jelas
saat ereksi. Keadaan ini berkaitan dengan bentuk kelainan yang lebih berat. (Lissauer,2008:125)
E.     PATOFISIOLOGI
Fusi dari garis tengah dari lipatan uretra tidak lengkap terjadi sehingga meatus uretra
terbuka pada sisi ventral dari penis. Ada berbagai derajat kelainan letak meatus ini, dari yang
ringan yaitu sedikit pergeseran pada glans, kemudian disepanjang batang penis, hingga akhirnya
di perineum. Prepusium tidak ada pada sisi ventral dan menyerupai topi yang menutup sisi dorsal
dari glans. Pita jaringan fibrosa yang dikenal sebagai chordee, pada sisi ventral menyebabkan
kurvatura (lengkungan) ventral dari penis.(Muscari, 2007 : 357)
F.      KOMPLIKASI
Adapun komplikasi yang dapat terjadi striktur uretra (terutama pada sambungan meatus uretra
yang sebenarnya dengan uretra yang baru dibuat) atau fisula, infertilitas, serta gangguan
psikososial.
1.      Pseudohermatroditisme (keadaan yang ditandai dengan alat-alat kelamin dalam 1 jenis kelamin
tetapi dengan satu beberapa ciri sexsual tertentu)
2.      Psikis (malu) karena perubahan posisi BAK
3.      Kesukaran saat berhubungan sexsual, bila tidak segera dioperasi saat dewasa
Komplikasi paska operasi yang terjadi:
a.       Edema/pembengkakan yang terjadi akibat reaksi jaringan besarnya dapat bervariasi, juga
terbentuknya hematom/kumpulan darah dibawah kulit, yang biasanya dicegah dengan balut
tekan selama 2 sampai 3 hari paska operasi
b.      Rambut dalam uretra, yang dapat mengakibatkan infeksi saluran kencing berulang atau
pembentukan batu saat pubertas
c.       Fitula uretrokutan, merupakan komplikasi yang sering dan digunakan sebagai parameter untuk
menilai keberhasilan operasi. Pada prosedur satu tahap saat ini angka kejadian yang dapat
diterima adalah 5-10 %
G.    PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.      Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan ialah dengan pemeriksaan radiologis yaitu : a.  
Rontgen
b.      USG sistem kemih-kelamin.
H.    PENATALAKSANAAN
Dikenal banyak teknik operasi hipospadia, yang umumya terdiri dari beberapa tahap yaitu:
1.      Operasi penglepasan choorde atau tunneling
Dilakukan pada usia 1 1/2 – 2 tahun. Pada tahap ini dilakukan operasi eksisi chordee dari
muara uretra sampai ke glans penis. Setelah eksisi chordee maka penis akan menjadi lurus akan
tetapi meatus uretra masih terletak abnormal. Untuk melihat keberhasilan setelah eksisi
dilakukan tes ereksi buatan intraoperatif dengan menyuntikkan NaCl 0,9% ke dalam korpus
kavernosum.
Pada saat yang bersamaan dilakukan operasi tunneling yaitu pembuatan uretra pada gland
penis dan muaranya. Bahan untuk menutup luka eksisi chordee dan
pembuatan tunnelling diambil dari preputium penis bagian dorsal. Oleh karena itu hipospadia
merupakan kontraindikasi mutlak untuk sirkumsisi.
2.      Operasi uretroplasti
Biasanya dilakukan 6 bulan setelah operasi pertama. Uretra dibuat dari kulit penis bagian
ventral yang di insisi secara longitudional paralel di kedua sisi.
Beberapa tahun terakhir, sudah mulai diterapkan operasi yang dilakukan hanya satu tahap akan
tetapi operasi hanya dapat dilakukan pada hipospadia tipe distal dengan ukuran penis yang cukup
besar. Operasi hipospadia ini sebaiknya sudah selesai dilakukan seluruhnya sebelum si anak
masuk sekolah, karena dikhawatiran akan timbul rasa malu pada anak akibat merasa berbeda
dengan teman-temannya. (Mansjoer, 2000 : 375)
Bayi yang menderita hipospadia sebaiknya tidak disunat. Kulit depan penis dibiarkan untuk
digunakan pada pembedahan. Rangkaian pembedahan biasanya telah selesai dilakukan sebelum
anak mulai sekolah. Pada saat ini perbaikan hipospadia dianjurkan sebelum anak berumur 18
bulan.
Jika tidak diobati, mungkin akan terjadi kesulitan dalam pelatihan buang air pada anak dan pada
saat dewasa, mungkin akan terjadi gangguan dalam melakukan hubungan seksual. (Muslihatum,
2010:164)
Terapi untuk hipospadia adalah dengan pembedahan, untuk mengembalikan penampilan dan
fungsi normal penis. Pembedahan biasanya tidak dijadwalkan sampai bayi berusia 1 sampai 2
tahun, ketika ukuran penis menyetakan sebagai ukuran yang layak dioperasi. (Speer,2007:168)
Koreksi dengan pembedahan dilakukan pada usia 2 tahun sehingga meatus uretra berada pada
ujung penis, ereksi dapat lurus, dan penis terlihat normal. Pada sebagian besar kasus hipospadia
yang hanya mengenai glans penis, pembedahan tidak diperlukan kecuali kadang-kadang untuk
alasan kosmetik. (Lissauer,2008:125)
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN LABIOSCHIZIS
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
            Labioskizis/Labiopalatoskizis yaitu kelainan kotak palatine (bagian depan serta samping
muka serta langit-langit mulut) tidak menutup dengan sempurna. Merupakan deformitas daerah
mulut berupa celah atau sumbing atau pembentukan yang kurang sempurna semasa embrional
berkembang, bibir atas bagian kanan dan bagian kiri tidak tumbuh bersatu. Belahnya belahan
dapat sangat bervariasi, mengenai salah satu bagian atau semua bagian dari dasar cuping hidung,
bibir, alveolus dan palatum durum serta molle.
Suatu klasifikasi berguna membagi struktur-struktur yang terkena menjadi palatum
primer dan palatum sekunder. Palatum primer meliputi bibir, dasar hidung, alveolus dan palatum
durum dibelahan foramen incisivum.
Palatum sekunder meliputi palatum durum dan molle posterior terhadap foramen. Suatu
belahan dapat mengenai salah satu atau keduanya, palatum primer dan palatum sekunder dan
dapat unilateral atau bilateral. Kadang-kadang terlihat suatu belahan submukosa, dalam kasus ini
mukosanya utuh dengan belahan mengenai tulang dan jaringan otot palatum.
B. Etiologi
Penyebab terjadinya labioschisis belum diketahui dengan pasti. Kebanyakan ilmuwan
berpendapat bahwa labioschisis muncul sebagai akibat dari kombinasi faktor genetik dan factor-
faktor lingkungan. Di Amerika Serikat dan bagian barat Eropa, para peneliti melaporkan bahwa
40% orang yang mempunyai riwayat keluarga labioschisis akan mengalami labioschisis.
Kemungkinan seorang bayi dilahirkan dengan labioschisis meningkat bila keturunan garis
pertama (ibu, ayah, saudara kandung) mempunyai riwayat labioschisis. Ibu yang mengkonsumsi
alcohol dan narkotika, kekurangan vitamin (terutama asam folat) selama trimester pertama
kehamilan, atau menderita diabetes akan lebih cenderung melahirkan bayi/ anak dengan
labioschisis. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya bibir sumbing antara lain :
a.       Faktor genetik atau keturunan : dimana material genetik dalam khromosom yang
mempengaruhi. Dapat terjadi karena adanya mutasi gen ataupun kelainan khromosom. Pada
setiap sel yang normal mempunyai 46 khromosom yang terdiri dari 22 pasang khromosom non
sex(kkhromosom 1 – 22) dan 1 pasang khromosom sex (khromosom X dan Y) yang menentukan
jenis kelamin. Pada penderita bibir sumbing terjadi trisomi 13 atau sindroma patau dimana ada 3
untai khromosom 13 pada setiap sel penderita, sehingga jumlah total khromosom pada setiap
selnya adalah 47. jika terjadi hal seperti ini selain menyebabkan bibir sumbing akan
menyebabkan ganggguan berat pada perkembangan otak, jantung dan ginjal. Namun kelainan ini
sangat jarang terjadi dengan frekuensi 1 dari 8000 – 10000 bayi yang lahir.
b.      Kurang nutrisi contohnya defisiensi Zn dan B6, vitamin C dan asam folat.
c.       Radiasi
d.      Terjadi trauma pada kehamilan trimester pertama
e.       Infeksi pada ibu yang dapat mempengaruhi janin contohnya seperti infeksi rubella dan sifillis,
toksoplasmosis dan klamidia
f.       Pengaruh obat teratogenik, termasuk jamu dan kontrasepsi hormonal, akibat toksisitas selama
kehamilan, misalnya kecanduan alkohol.
g.      Multifaktorial dan mutasi genetik
h.      Displasia ektodermal.
C. Patofisiologi
Cacat terbentuk pada trimester pertama kehamilan, prosesnya karena tidak terbentuknya
mesoderm, pada daerah tersebut sehingga bagian yang telah menyatu ( proses nasalis dan
maksilaris ) pecah kembali.
Labioskizis terjadi akibat fusi atau penyatuan priminen maksilaris dengan prominen
nasalis medial yang diikuti disfusi kedua bibir, rahang, dan palatum pada garis tengah dan
kegagalan fusi septum nasi. Gangguan fusi palatum durum serta palatum mole terjadi sekitar
kehamilan ke 7 sampai 12 minggu.
D. Klasifikasi
Bibir sumbing ada beberapa tingkatan juga istilahnya berdasarkan organ yang terlibat
diantaranya: celah di bibir (labioskizis), celah di gusi (gnatoskizis), celah di langit (palatoskizis).
Celah dapat terjadi lebih dari satu organ misalnya: terjadi di bibir dan langit-langit
(labiopalatoskizis).
Bibir sumbing dikatagorikan berdasarkan lengkap/tidaknya celah terbentuk. Tingkat kelainan
bibir sumbing bervariasi, mulai dari yang ringan hingga yang berat. Beberapa jenis bibir
sumbing yang diketahui adalah :
1)      Unilateral Incomplete. Jika celah sumbing terjadi hanya disalah satu bibir dan tidak
memanjang hingga ke hidung.
2)      Unilateral Complete. Jika celah sumbing yang terjadi hanya disalah satu bibir dan memanjang
hingga ke hidung.
3)      Bilateral Complete. Jika celah sumbing terjadi di kedua sisi bibir dan memanjang hingga ke
hidung.
E. Tanda dan gejala
Ada beberapa gejala dari bibir sumbing yaitu :
         Terjadi pemisahan langit – langit
         Terjadi pemisahan bibir
         Terjadi pemisahan bibir dan langit – langit.
         Berat badan tidak bertambah
         Pada bayi terjadi regurgitasi nasal ketika menyusui yaitu keluarny air susu dari hidung.
F. Diagnosis
Untuk mendiagnosa terjadi celah sumbing pada bayi setelah lahir mudah karena pada
celah sumbing mempunyai ciri fisik yang spesifik. Sebetulnya ada pemeriksaan yang dapat
digunakan untuk mengetahui keadaan janin apakah terjadi kelainan atau tidak. Walaupun
pemeriksaan ini tidak sepenuhya spesifik, ibu hamil dapat memeriksakan kandungannya dengan
menggunakaan USG.
G. Komplikasi
Keadaan kelainan pada wajah seperti bibir sumbing ada beberapa komplikasi karenanya, yaitu:
1)      Kesulitan makan, dialami pada penderita bibir sumbing dan jika diikuti dengan celah palatum.
Memerlukan penanganan khusus seperi dot khusus, posisi makan yang benar dan juga kesabaran
dalam memberi makan pada bayi bibir sumbing.
2)      Infeksi telinga dikarenakan tidak berfungsi dengan baik saluran yang menghubungkan telinga
tengah dengan kerongkongan dan jika tidak segera diatasi maka akan kehilangan pendengaran.
3)      Kesulitan berbicara. Otot-otot untuk berbicara mengalami penurunan fungsi karena adanya
celah. Hal ini dapat mengganggu pola berbicara bahkan dapat menghambatnya.
4)      Masalah gigi. Pada celah bibir, gigi tumbuh tidak normal atau bahkan tidak tumbuh, sehingga
perlu perawatan dan penanganan khusus.
H. Penatalaksanaan
Penanganan untuk bibir sumbing adalah dengan cara operasi. Operasi ini dilakukan
setelah bayi berusia 2 bulan, dengan berat badan yang meningkat, dan bebas dari infeksi oral
pada saluran napas dan sistemik. Dalam beberapa buku dikatakan juga untuk melakukan operasi
bibir sumbing dilakukan hukum Sepuluh (rules of Ten) yaitu, Berat badan bayi minimal 10 pon,
Kadar Hb 10 g%, dan usianya minimal 10 minggu dan kadar leukosit minimal 10.000/ui.
Ada tiga tahap penatalaksanaan labioschisis yaitu :        
1.      Tahap sebelum operasi
Pada tahap sebelum operasi yang dipersiapkan adalah ketahanan tubuh bayi menerima
tindakan operasi, asupan gizi yang cukup dilihat dari keseimbangan berat badan yang dicapai dan
usia yang memadai. Patokan yang biasa dipakai adalah rule of ten meliputi berat badan lebih dari
10 pounds atau sekitar 4-5 kg , Hb lebih dari 10 gr % dan usia lebih dari 10 minggu , jika bayi
belum mencapai rule of ten ada beberapa nasehat yang harus diberikan pada orang tua agar
kelainan dan komplikasi yang terjadi tidak bertambah parah. Misalnya memberi minum harus
dengan dot khusus dimana ketika dot dibalik susu dapat memancar keluar sendiri dengan jumlah
yang optimal artinya tidak terlalu besar sehingga membuat bayi tersedak atau terlalu kecil
sehingga membuat asupan gizi menjadi tidak cukup, jika dot dengan besar lubang khusus ini
tidak tersedia bayi cukup diberi minum dengan bantuan sendok secara perlahan dalam posisi
setengah duduk atau tegak untuk menghindari masuknya susu melewati langit-langit yang
terbelah.
Selain itu celah pada bibir harus direkatkan dengan menggunakan plester khusus non
alergenik untuk menjaga agar celah pada bibir menjadi tidak terlalu jauh akibat proses tumbuh
kembang yang menyebabkan menonjolnya gusi kearah depan (protrusio pre maxilla) akibat
dorongan lidah pada prolabium , karena jika hal ini terjadi tindakan koreksi pada saat operasi
akan menjadi sulit dan secara kosmetika hasil akhir yang didapat tidak sempurna. Plester non
alergenik tadi harus tetap direkatkan sampai waktu operasi tiba. (24)
2.      Tahap sewaktu operasi
Tahapan selanjutnya adalah tahapan operasi, pada saat ini yang diperhatikan adalah soal
kesiapan tubuh si bayi menerima perlakuan operasi, hal ini hanya bisa diputuskan oleh seorang
ahli bedah Usia optimal untuk operasi bibir sumbing (labioplasty) adalah usia 3 bulan. Usia ini
dipilih mengingat pengucapan bahasa bibir dimulai pada usia 5-6 bulan sehingga jika koreksi
pada bibir lebih dari usia tersebut maka pengucapan huruf bibir sudah terlanjur salah sehingga
kalau dilakukan operasi pengucapan huruf bibir tetap menjadi kurang sempurna.
Operasi untuk langit-langit (palatoplasty) optimal pada usia 18 – 20 bulan mengingat
anak aktif bicara usia 2 tahun dan sebelum anak masuk sekolah. Palatoplasty dilakukan sedini
mungkin (15-24 bulan) sebelum anak mulai bicara lengkap sehingga pusat bicara di otak belum
membentuk cara bicara. Kalau operasi dikerjakan terlambat, sering hasil operasi dalam hal
kemampuan mengeluarkan suara normal atau tidak sengau sulit dicapai. (19) Operasi yang
dilakukan sesudah usia 2 tahun harus diikuti dengan tindakan speech teraphy karena jika tidak,
setelah operasi suara sengau pada saat bicara tetap terjadi karena anak sudah terbiasa melafalkan
suara yang salah, sudah ada mekanisme kompensasi memposisikan lidah pada posisi yang salah.
Bila gusi juga terbelah (gnatoschizis) kelainannya menjadi labiognatopalatoschizis, koreksi
untuk gusi dilakukan pada saat usia 8–9 tahun bekerja sama dengan dokter gigi ahli ortodonsi.
3.      Tahap setelah operasi.
Tahap selanjutnya adalah tahap setelah operasi, penatalaksanaanya tergantung dari tiap-
tiap jenis operasi yang dilakukan, biasanya dokter bedah yang menangani akan memberikan
instruksi pada orang tua pasien misalnya setelah operasi bibir sumbing luka bekas operasi
dibiarkan terbuka dan tetap menggunakan sendok atau dot khusus untuk memberikan minum
bayi. Banyaknya penderita bibir sumbing yang datang ketika usia sudah melebihi batas usia
optimal untuk operasi membuat operasi hanya untuk keperluan kosmetika saja sedangkan secara
fisiologis tidak tercapai, fungsi bicara tetap terganggu seperti sengau dan lafalisasi beberapa
huruf tetap tidak sempurna, tindakan speech teraphy pun tidak banyak bermanfaat.
I. Perawatan
1)      Menyusu ibu
Menyusu adalah metode pemberian makan terbaik untuk seorang bayi dengan bibir sumbing
tidak menghambat pengisapan susu ibu. Ibu dapat mencoba sedikit menekan payudara untuk
mengeluarkan susu. Dapat juga menggunakan pompa payudara untuk mengeluarkan susu dan
memberikannya kepda bayi dengan menggunakan botol setelah dioperasi, karena bayi tidak
menyusu sampai 6 minggu.
2)      Menggunakan alat khusus, seperti :
Dot domba (dot yang besar, ujung halus dengan lubang besar) yaitu suatu dot yang diberi
pegangan yang menutupi sumbing udara bocor disekitar sumbing dan makanan dimuntahkan
melalui hidung, atau hanya dot biasa dengan lubang besar.
Dapat juga diberikan dengan menggunakan botol peras, dengan cara memeras botol, maka susu
dapat didorong jatuh di bagian belakang mulut hingga dapat dihisap bayi.
Ortodonsi, yakni pemberian plat/dibuat okulator untuk menutup sementara celah palatum agar
memudahkan pemberian minum dan sekaligus mengurangi deformitas palatum sebelum dapat
dilakukan tindakan bedah definitif.
Posisi mendekati duduk dengan aliran yang langsung menuju bagian sisi atau belakang lidah
bayi, kemudian bayi ditepuk-tepuk pada punggungnya berkali-kali secara lembut untuk
mengeluarkan udara/bayi disendawakan, dikarenakan bayi dengan sumbing pada bibirnya
cenderung untuk menelan banyak udara. Periksalah bagian bawah hidung dengan teratur,
kadang-kadang luka terbentuk pada bagian pemisah lubang hidung, hal ini suatu kondisi yang
sangat sakit dapat membuat bayi menolak menyusu. Jika hal ini terjadi arahkan dot ke bagian sisi
mulut untuk memberikan kesempatan pada kulit yang lembut tersebut untuk sembuh.
J. Pengobatan
Pada bayi dengan bibir sumbing dilakukan bedah elektif yang melibatkan beberapa
disiplin ilmu untuk penanganan selanjutnya. Bayi akan memperoleh operasi untuk memperbaiki
kelainan, tetapi waktu yang tepat untuk operasi tersebut bervariasi.
Tindakan pertama dikerjakan untuk menutup celah bibir berdasarkan kriteria rule often
yaitu umur > 10 minggu, BB > 10 pon/5 Kg, Hb > 10 gr/dl, leukosit > 10.000/ui.
Tindakan operasi selanjutnya adalah menutup langitan/palatoplasti dikerjakan sedini
mungkin (15-24 bulan) sebelum anak mampu bicara lengkap sehingga  tindakan operasi
penambahan tulang pada celah alveolus/maxilla untuk  memungkinkan ahli ortodensi mengatur
pertumbuhan gigi dikanan dan kiri celah supaya normal.
Operasi terakhir pada usia 15-17 tahun dikerjakan setelah pertumbuhan tulang-tulang
muka mendeteksi selesai. Operasi mungkin tidak dapat dilakukan jika anak memiliki “kerusakan
horseshoe” yang lebar. Dalam hal ini, suatu kontur seperti balon bicara ditempel pada bagian
belakang gigi geligi menutupi nasofaring dan membantu anak bicara yang lebih baik.
Anak dengan kondisi ini membutuhkan terapi bicara, karena langit-langit sangat penting
untuk pembentukan bicara, perubahan struktur, juga pada sumbing yang telah diperbaiki, dapat
mempengaruhi pola bicara secara permanen.
K. Prinsip Perawatan Secara Umum
Pada saat lahir diberikan bantuan pernapasan dan pernapasan NGT (Naso Gastric Tube)
bila perlu untuk membantu masuknya makanan kedalam lambung. Anak setelah berumur 1
minggu dibuatkan feeding plate untuk membantu menutup langit-langit dan mengarahkan
pertumbuhan, atau dengan pemberian dot khusus. Setelah anak berusia 3 bulan dilakukan
labioplasty atau tindakan operasi untuk bibir, alanasi (untuk hidung) dan evaluasi telinga. Umur
18 bulan – 2 tahun dilakukan palathoplasty, tindakan operasi langit-langit bila terdapat sumbing
pada langit-langit
L. Asuhan Kebidanan
1.      Berikan dukungan emosional dan tenangkan ibu beserta keluarga.
2.      Jelaskan kepada ibu bahwa sebagian besar hal penting harus dilakukan saat ini adalah member
makanan bayi guna memastikan pertumbuhan yang adekuat sampai pembedahan yang dilakukan.
3.      Jika bayi memiliki sumbing tetapi palatumnya utuh, izinkan bayi berupaya menyusu.
4.      Jika bayi berhasil menyusu dan tidak terdapat masalah lain yang membutuhkan hospitalisasi,
pulangkan bayi. Tindak lanjuti dalam satu minggu untuk memeriksa pertumbuhan dan
penambahan berat badan.
5.      Jika bayi tidak dapat menyusu dengan baik karena bibir sumbing,berikan perasan ASI dengan
menggunakan metode pemberian makanan alternatif (menggunakan sendok atau cangkir).
6.      Jika bayi memiliki celah palatum, berikan perasan ASI dengan menggunakan metode
pemberian makan alternatif (menggunakan sendok atau cangkir).
7.      Ketika bayi makan dengan baik dan mengalami penambahan berat badan,rujuk bayi ke rumah
sakit tersier atau pusat spesialisasi, jika memungkinkan untuk pembedahan guna memperbaiki
celah tersebut.
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN DIARE
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.      Pengertian
Menurut Haroen N, S. Suraatmaja dan P.O Asdil (1998), diare adalah defekasi encer lebih dari 3
kali sehari dengan atau tanpa darah atau lendir dalam tinja.
Sedangkan menurut C.L Betz & L.A Sowden (1996) diare merupakan suatu keadaan terjadinya
inflamasi mukosa lambung atau usus.
Menurut Suradi & Rita (2001), diare diartikan sebagai suatu keadaan dimana terjadinya
kehilangan cairan dan elektrolit secara berlebihan yang terjadi karena frekuensi buang air besar
satu kali atau lebih dengan bentuk encer atau cair.
Jadi diare dapat diartikan suatu kondisi, buang air besar yang tidak normal yaitu lebih dari 3 kali
sehari dengan konsistensi tinja yang encer dapat disertai atau tanpa disertai darah atau lendir
sebagai akibat dari terjadinya proses inflamasi pada lambung atau usus.
2.      Etiologi
a.       Infeksi enteral; infeksi saluran pencernaan yang merupakan penyebab utama diare,
meliputi infeksi bakteri (Vibrio, E. coli, Salmonella, Shigella, Campylobacter, Yersinia,
Aeromonas, dsb), infeksi virus (Enterovirus, Adenovirus, Rotavirus, Astrovirus, dll), infeksi
parasit (E. hystolytica, G.lamblia, T. hominis) dan jamur (C. albicans).
b.      Infeksi parenteral; merupakan infeksi di luar sistem pencernaan yang dapat menimbulkan
diare seperti: otitis media akut, tonsilitis, bronkopneumonia, ensefalitis dan sebagainya.
c.       Malabsorbsi karbohidrat: disakarida (intoleransi laktosa, maltosa dan sukrosa),
monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa dan galaktosa). Intoleransi laktosa merupakan
penyebab diare yang terpenting pada bayi dan anak. Di samping itu dapat pula terjadi
malabsorbsi lemak dan protein.
d.      Diare dapat terjadi karena mengkonsumsi makanan basi, beracun dan alergi terhadap jenis
makanan tertentu.
e.       Diare dapat terjadi karena faktor psikologis (rasa takut dan cemas).
3.      Manifestasi klinis
Diare akut karena infeksi dapat disertai muntah-muntah, demam, tenesmus, hematoschezia, nyeri
perut dan atau kejang perut. Akibat paling fatal dari diare yang berlangsung lama tanpa rehidrasi
yang adekuat adalah kematian akibat dehidrasi yang menimbulkan renjatan hipovolemik atau
gangguan biokimiawi berupa asidosis metabolik yang berlanjut. Seseoran yang kekurangan
cairan akan merasa haus, berat badan berkurang, mata cekung, lidah kering, tulang pipi tampak
lebih menonjol, turgor kulit menurun serta suara menjadi serak. Keluhan dan gejala ini
disebabkan oleh deplesi air yang isotonik.
Karena kehilangan bikarbonat (HCO3) maka perbandingannya dengan asam karbonat berkurang
mengakibatkan penurunan pH darah yang merangsang pusat pernapasan sehingga frekuensi
pernapasan meningkat dan lebih dalam (pernapasan Kussmaul)
Gangguan kardiovaskuler pada tahap hipovolemik yang berat dapat berupa renjatan dengan
tanda-tanda denyut nadi cepat (> 120 x/menit), tekanan darah menurun sampai tidak terukur.
Pasien mulai gelisah, muka pucat, akral dingin dan kadang-kadang sianosis. Karena kekurangan
kalium pada diare akut juga dapat timbul aritmia jantung.
Penurunan tekanan darah akan menyebabkan perfusi ginjal menurun sampai timbul
oliguria/anuria. Bila keadaan ini tidak segera diatsi akan timbul penyulit nekrosis tubulus ginjal
akut yang berarti suatu keadaan gagal ginjal akut.
4.      Pemeriksaan Diagnostik
– Pemeriksaan tinja.
– Pemeriksaan gangguan keseimbangan asam basa dalam darah astrup, bila memungkinkan
dengan menentukan PH keseimbangan analisa gas darah atau astrup, bila memungkinkan.
– Pemeriksaan kadar ureum dan creatinin untuk mengetahui fungsi ginjal.
– Pemeriksaan elektrolit intubasi duodenum untuk mengetahui jasad renik atau parasit secara
kuantitatif, terutama dilakukan pada klien diare kronik.
5.      Penatalaksanaan
Penanggulangan kekurangan cairan merupakan tindakan pertama dalam mengatasi pasien diare.
Hal sederhana seperti meminumkan banyak air putih atau oral rehidration solution (ORS) seperti
oralit harus cepat dilakukan. Pemberian ini segera apabila gejala diare sudah mulai timbul dan
kita dapat melakukannya sendiri di rumah. Kesalahan yang sering terjadi adalah pemberian ORS
baru dilakukan setelah gejala dehidrasi nampak.
Pada penderita diare yang disertai muntah, pemberian larutan elektrolit secara intravena
merupakan pilihan utama untuk mengganti cairan tubuh, atau dengan kata lain perlu diinfus.
Masalah dapat timbul karena ada sebagian masyarakat yang enggan untuk merawat-inapkan
penderita, dengan berbagai alasan, mulai dari biaya, kesulitam dalam menjaga, takut bertambah
parah setelah masuk rumah sakit, dan lain-lain. Pertimbangan yang banyak ini menyebabkan
respon time untuk mengatasi masalah diare semakin lama, dan semakin cepat penurunan kondisi
pasien kearah yang fatal.
Diare karena virus biasanya tidak memerlukan pengobatan lain selain ORS. Apabila kondisi
stabil, maka pasien dapat sembuh sebab infeksi virus penyebab diare dapat diatasi sendiri oleh
tubuh (self-limited disease).
Diare karena infeksi bakteri dan parasit seperti Salmonella sp, Giardia lamblia, Entamoeba coli
perlu mendapatkan terapi antibiotik yang rasional, artinya antibiotik yang diberikan dapat
membasmi kuman.
Oleh karena penyebab diare terbanyak adalah virus yang tidak memerlukan antibiotik, maka
pengenalan gejala dan pemeriksaan laboratorius perlu dilakukan untuk menentukan penyebab
pasti. Pada kasus diare akut dan parah, pengobatan suportif didahulukan dan terkadang tidak
membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut kalau kondisi sudah membaik.
6.      Komplikasi
Menurut Broyles (1997) komplikasi diare  ialah: dehidrasi, hipokalemia, hipokalsemia, disritmia
jantung (yang disebabkan oleh hipokalemia dan hipokalsemia), hiponatremia,
dan shock hipovolemik.
Konsep Asuhan Keperawatan
1.      Pengkajian
Pengkajian yang sistematis meliputi pengumpulan data, analisa data dan penentuan masalah.
Pengumpulan data diperoleh dengan cara intervensi, observasi, pemeriksaan fisik. Pengkaji data
menurut Cyndi Smith Greenberg, 1992 adalah :
1. Identitas klien.
2. Riwayat keperawatan.
· Awalan serangan : Awalnya anak cengeng,gelisah,suhu tubuh meningkat,anoreksia kemudian
timbul diare.
· Keluhan utama : Faeces semakin cair,muntah,bila kehilangan banyak air dan elektrolit terjadi
gejala dehidrasi,berat badan menurun. Pada bayi ubun-ubun besar cekung, tonus dan turgor kulit
berkurang, selaput lendir mulut dan bibir kering, frekwensi BAB lebih dari 4 kali dengan
konsistensi encer.
3. Riwayat kesehatan masa lalu.
Riwayat penyakit yang diderita, riwayat pemberian imunisasi.
4. Riwayat psikososial keluarga.
Hospitalisasi akan menjadi stressor bagi anak itu sendiri maupun bagi keluarga, kecemasan
meningkat jika orang tua tidak mengetahui prosedur dan pengobatan anak, setelah menyadari
penyakit anaknya, mereka akan bereaksi dengan marah dan merasa bersalah.
5. Kebutuhan dasar.
· Pola eliminasi : akan mengalami perubahan yaitu BAB lebih dari 4 kali sehari, BAK sedikit
atau jarang.
· Pola nutrisi : diawali dengan mual, muntah, anopreksia, menyebabkan penurunan berat badan
pasien.
· Pola tidur dan istirahat akan terganggu karena adanya distensi abdomen yang akan
menimbulkan rasa tidak nyaman.
· Pola hygiene : kebiasaan mandi setiap harinya.
· Aktivitas : akan terganggu karena kondisi tubuh yang lemah dan adanya nyeri akibat distensi
abdomen.
6. Pemerikasaan fisik.
a. Pemeriksaan psikologis : keadaan umum tampak lemah, kesadaran  composmentis sampai
koma, suhu tubuh tinggi, nadi cepat dan lemah, pernapasan agak cepat.
b. Pemeriksaan sistematik :
· Inspeksi : mata cekung, ubun-ubun besar, selaput lendir, mulut dan bibir kering, berat badan
menurun, anus kemerahan.
· Perkusi : adanya distensi abdomen.
· Palpasi : Turgor kulit kurang elastis
· Auskultasi : terdengarnya bising usus.
c. Pemeriksaan tingkat tumbuh kembang.
d. Pada anak diare akan mengalami gangguan karena anak dehidrasi sehingga berat badan
menurun.
e. Pemeriksaan penunjang.
f.Pemeriksaan tinja, darah lengkap dan duodenum intubation yaitu untuk mengetahui penyebab
secara kuantitatip dan kualitatif.

 
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN DHF
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
A.    DEFINISI
Dengue haemoragic fever adalah penyakit demam akut yang disertai dengan adanya manifestasi
perdarahan, yang bertendensi mengakibatkan renjatan yang dapat menyebabkan kematian (Arief
Mansjoer &Suprohaita; 2000; 419).
Demam berdarah dengue adalah penyakit yang terutama terdapat pada anak dengan gejala utama
demam, nyeri otot dan sendi, dan biasanya memburuk pada dua hari pertama (Soeparman; 1987;
16).
Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa dengue haemorhagic fever
(DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue sejenis virus yang tergolong
arbovirus dan masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk aedes aegypty yang
terdapat pada anak dan orang dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan nyeri sendi
yang disertai ruam atau tanpa ruam.
B.    ETIOLOGI
1.    Virus dengue
Virus dengue yang menjadi penyebab penyakit ini termasuk ke dalam Arbovirus (Arthropodborn
virus) group B, tetapi dari empat tipe yaitu virus dengue tipe 1,2,3 dan 4 keempat tipe virus
dengue tersebut terdapat di Indonesia dan dapat dibedakan satu dari yang lainnya secara
serologis virus dengue yang termasuk dalam genus flavivirus ini berdiameter 40 nonometer dapat
berkembang biak dengan baik pada berbagai macam kultur jaringan baik yang berasal dari sel –
sel mamalia misalnya sel BHK (Babby Homster Kidney) maupun sel – sel Arthropoda misalnya
sel aedes Albopictus. (Soedarto, 1990; 36).
2.    Vektor
Virus dengue serotipe 1, 2, 3, dan 4 yang ditularkan melalui vektor yaitu nyamuk aedes aegypti,
nyamuk aedes albopictus, aedes polynesiensis dan beberapa spesies lain merupakan vektor yang
kurang berperan.infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup
terhadap serotipe bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe jenis yang lainnya
(Arief Mansjoer &Suprohaita; 2000; 420).
Nyamuk Aedes Aegypti maupun Aedes Albopictus merupakan vektor penularan virus dengue
dari penderita kepada orang lainnya melalui gigitannya nyamuk Aedes Aegyeti merupakan
vektor penting di daerah perkotaan (Viban) sedangkan di daerah pedesaan (rural) kedua nyamuk
tersebut berperan dalam penularan. Nyamuk Aedes berkembang biak pada genangan Air bersih
yang terdapat bejana – bejana yang terdapat di dalam rumah (Aedes Aegypti) maupun yang
terdapat di luar rumah di lubang – lubang pohon di dalam potongan bambu, dilipatan daun dan
genangan air bersih alami lainnya ( Aedes Albopictus). Nyamuk betina lebih menyukai
menghisap darah korbannya pada siang hari terutama pada waktu pagi hari dan senja hari.
(Soedarto, 1990 ; 37).
3.    Host
Jika seseorang mendapat infeksi dengue untuk pertama kalinya maka ia akan mendapatkan
imunisasi yang spesifik tetapi tidak sempurna, sehingga ia masih mungkin untuk terinfeksi virus
dengue yang sama tipenya maupun virus dengue tipe lainnya. Dengue Haemoragic Fever (DHF)
akan terjadi jika seseorang yang pernah mendapatkan infeksi virus dengue tipe tertentu
mendapatkan infeksi ulangan untuk kedua kalinya atau lebih dengan pula terjadi pada bayi yang
mendapat infeksi virus dengue untuk pertama kalinya jika ia telah mendapat imunitas terhadap
dengue dari ibunya melalui plasenta. (Soedarto, 1990 ; 38).
C.    PATOFISIOLOGI
Virus dengue yang telah masuk ketubuh penderita akan menimbulkan virtemia(adanya virus di
dalam darah). Hal tersebut menyebabkan pengaktifan complement sehingga terjadi komplek
imun Antibodi – virus pengaktifan tersebut akan membetuk dan melepaskan zat (3a, C5a,
bradikinin, serotinin, trombin, Histamin), yang akan merangsang PGE2 di Hipotalamus sehingga
terjadi termo regulasi instabil yaitu hipertermia yang akan meningkatkan reabsorbsi Na+ dan air
sehingga terjadi hipovolemi. Hipovolemi juga dapat disebabkan peningkatkan permeabilitas
dinding pembuluh darah yang menyebabkan kebocoran palsma. Adanya komplek imun antibodi
– virus juga menimbulkan Agregasi trombosit sehingga terjadi gangguan fungsi trombosit,
trombositopeni, coagulopati. Ketiga hal tersebut menyebabkan perdarahan berlebihan yang jika
berlanjut terjadi shock dan jika shock tidak teratasi terjadi Hipoxia jaringan dan akhirnya terjadi
Asidosis metabolik. Asidosis metabolik juga disebabkan karena kebocoran plasma yang akhirnya
tejadi perlemahan sirkulasi sistemik sehingga perfusi jaringan menurun jika tidak teratasi terjadi
hipoxia jaringan.
Masa virus dengue inkubasi 3-15 hari, rata-rata 5-8 hari. Virus hanya dapat hidup dalam sel yang
hidup, sehingga harus bersaing dengan sel manusia terutama dalam kebutuhan protein.
Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya tahan tubuh manusia.sebagai reaksi terhadap
infeksi terjadi (1) aktivasi sistem komplemen sehingga dikeluarkan zat anafilaktosin yang
menyebabkan peningkatan permiabilitas kapiler sehingga terjadi perembesan plasma dari ruang
intravaskular ke ekstravaskular, (2) agregasi trombosit menurun, apabila kelainan ini berlanjut
akan menyebabkan kelainan fungsi trombosit sebagai akibatnya akan terjadi mobilisasi sel
trombosit muda dari sumsum tulang dan (3) kerusakan sel endotel pembuluh darah akan
merangsang atau mengaktivasi faktor pembekuan.
Ketiga faktor tersebut akan menyebabkan (1) peningkatan permiabilitas kapiler; (2) kelainan
hemostasis, yang disebabkan oleh vaskulopati; trombositopenia; dan kuagulopati (Arief
Mansjoer &Suprohaita; 2000; 419).
Pathways
D.    MANIFESTASI KLINIS INFEKSI VIRUS DENGUE
1.    Demam
Demam terjadi secara mendadak berlangsung selama 2 – 7 hari kemudian turun menuju suhu
normal atau lebih rendah. Bersamaan dengan berlangsung demam, gejala – gejala klinik yang
tidak spesifik misalnya anoreksia. Nyeri punggung , nyeri tulang dan persediaan, nyeri kepala
dan rasa lemah dapat menyetainya. (Soedarto, 1990 ; 39).
2.    Perdarahan
Perdaran biasanya terjadi pada hari ke 2 dan 3 dari demam dan umumnya terjadi pada kulit dan
dapat berupa uji tocniguet yang positif mudah terjadi perdarahan pada tempat fungsi vena,
petekia dan purpura. ( Soedarto, 1990 ; 39). Perdarahan ringan hingga sedang dapat terlihat pada
saluran cerna bagian atas hingga menyebabkan haematemesis. (Nelson, 1993 ; 296). Perdarahan
gastrointestinat biasanya di dahului dengan nyeri perut yang hebat. (Ngastiyah, 1995 ; 349).
3.    Hepatomegali
Pada permulaan dari demam biasanya hati sudah teraba, meskipun pada anak yang kurang gizi
hati juga sudah. Bila terjadi peningkatan dari hepatomegali dan hati teraba kenyal harus di
perhatikan kemungkinan akan tejadi renjatan pada penderita . (Soederita, 1995 ; 39).
4.    Renjatan (Syok)
Permulaan syok biasanya terjadi pada hari ke 3 sejak sakitnya penderita, dimulai dengan tanda –
tanda kegagalan sirkulasi yaitu kulit lembab, dingin pada ujung hidung, jari tangan, jari kaki
serta sianosis disekitar mulut. Bila syok terjadi pada masa demam maka biasanya menunjukan
prognosis yang buruk. (soedarto ; 39).
E.    KLASIFIKASI DHF
Menurut derajat ringannya penyakit, Dengue Haemoragic Fever (DHF) dibagi menjadi 4 tingkat
(UPF IKA, 1994 ; 201) yaitu :
a)    Derajat I
Panas 2 – 7 hari , gejala umum tidak khas, uji taniquet hasilnya positif
b)    Derajat II
Sama dengan derajat I di tambah dengan gejala – gejala pendarahan spontan seperti petekia,
ekimosa, epimosa, epistaksis, haematemesis, melena, perdarahan gusi telinga dan sebagainya.
c)    Derajat III
Penderita syok ditandai oleh gejala kegagalan peredaran darah seperti nadi lemah dan cepat (>
120 / menit) tekanan nadi sempit (< 20 mmHg) tekanan darah menurun (120 / 80 mmHg) sampai
tekanan sistolik dibawah 80 mmHg.
d)    Derajat IV
Nadi tidak teraba,tekanan darah tidak terukur (denyut jantung > - 140 mmHg) anggota gerak
teraba dingin, berkeringat dan kulit tampak biru.
F.    TANDA DAN GEJALA
1.    Demam tinggi dan mendadak dan terus menerus selama 2-7 hari
Manifestasi perdarahan : uji rumpeleede positif, ptekiae, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi,
hematemesis, melena
2.    Keluhan pada saluran pencernaan : mual, muntah, anoreksia, diare atau konstipasi, nyeri ulu
hati
3.    Nyeri sendi , nyeri kepala, nyeri otot, rasa sakit di daerah belakang bola mata (retro orbita),
hepatomegali, splenomegali
4.    Kadang ditemui keluhan batuk pilek dan sakit menelan.
Gejala klinik lain yaitu nyeri epigasstrium, muntah – muntah, diare maupun obstipasi dan kejang
– kejang. (Soedarto, 1995 ; 39).
G.    PEMERIKSAAN PENUNJANG
A.    Darah
1)    Trombosit menurun.
2)    HB meningkat lebih 20 %
3)    HT meningkat lebih 20 %
4)    Leukosit menurun pada hari ke 2 dan ke 3
5)    Protein darah rendah
6)    Ureum PH bisa meningkat
7)    NA dan CL rendah
B.    Serology : HI (hemaglutination inhibition test).
1)    Rontgen thorax : Efusi pleura.
2)    Uji test tourniket (+)
H.    PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan penderita dengan DHF adalah sebagai berikut :
1)    Tirah baring atau istirahat baring.
2)    Diet makan lunak.
3)    Minum banyak (2 – 2,5 liter/24 jam) dapat berupa : susu, teh manis, sirup dan beri penderita
sedikit oralit, pemberian cairan merupakan hal yang paling penting bagi penderita DHF.
4)    Pemberian cairan intravena (biasanya ringer laktat, NaCl Faali) merupakan cairan yang
paling sering digunakan.
5)    Monitor tanda-tanda vital tiap 3 jam (suhu, nadi, tensi, pernafasan) jika kondisi pasien
memburuk, observasi ketat tiap jam.
6)    Periksa Hb, Ht dan trombosit setiap hari.
7)    Pemberian obat antipiretik sebaiknya dari golongan asetaminopen.
8)    Monitor tanda-tanda perdarahan lebih lanjut.
9)    Pemberian antibiotik bila terdapat kekuatiran infeksi sekunder.
10)    Monitor tanda-tanda dan renjatan meliputi keadaan umum, perubahan tanda-tanda vital,
hasil pemeriksaan laboratorium yang memburuk.
11)    Bila timbul kejang dapat diberikan Diazepam.
Pada kasus dengan renjatan pasien dirawat di perawatan intensif dan segera dipasang infus
sebagai pengganti cairan yang hilang dan bila tidak tampak perbaikan diberikan plasma atau
plasma ekspander atau dekstran sebanyak 20 – 30 ml/kg BB.
Pada DBD tanpa renjatan hanya diberi banyak minum yaitu 1½-2 liter dalam 24 jam. Cara
pemberian sedikit demi sedikit dengan melibatkan orang tua. Infus diberikan pada pasien DBD
tanpa renjatan apabila :
1)    Pasien terus menerus muntah, tidak dapat diberikan minum sehingga mengancam terjadinya
dehidrasi.
2)    Hematokrit yang cenderung mengikat.
I.    PENCEGAHAN
Vaksin pencegahan DBD hingga saat ini belum tersedia, oleh sebab itu pencegahan dititik
beratkan pada pemberantasan nyamuk dengan penyemprotan insektisida dan upaya membasmi
jentik nyamuk yang dilakukan dengan 3 M.
Gerakan 3 M
    Menguras tempat – tempat penampungan air secara teratur sekurang – kurangnya sekali
seminggu atau penaburan bubuk abate ke dalamnya.
    Menutup rapat tempat penampungan air.
    Mengubur atau menyingkirkan barang – barang bekas yang dapat menampung air
Pemberantasan vector:
    Fogging ( penyemprotan )
Kegiatan ini dilakukan bila hasil penyelidikan epidemiologis memenuhi kriteria
    Abatisasi
Semua tempat penampungan air di rumah dan bangunan yang ditemukan jentik       Aedes
aegypti ditaburi bubuk abate dengan dosis 1 sendok makan peres (10 gram) abate untuk 100 liter
air.
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGANSINDROMA NEFROTIK
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
A.      Konsep Dasar
1. Pengertian
Sindrom nefrotik, adalah salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai pada anak,
merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari proteinuria masif,
hipoalbuminemia, hiperkholesterolemia serta sembab. Yang dimaksud proteinuria masif adalah
apabila didapatkan proteinuria sebesar 50-100 mg/kg berat badan/hari atau lebih. Albumin dalam
darah biasanya menurun hingga kurang dari 2,5 gram/dl. Selain gejala-gejala klinis di atas,
kadang-kadang dijumpai pula hipertensi, hematuri, bahkan kadang-kadang azotemia.
2. Gambaran Klinis
Sebagai sebuah sindroma (kumpulan gejala), tanda / gejala penyakit sindroma nefrotik
meliputi :
a.       Proteinuria
b.      Hipoalbuminemia
c.       Hiperkolesterolemia/hiperlipidemi
d.      Oedema
Beberapa gejala yang mungkin muncul antara lain hematuria, azotemia dan hipertensi
ringan. Proteinuria (85-95%) terjadi sejumlah 10 –15 gram/hari (dalam pemeriksaan Esbach) .
Selama terjadi oedema biasanya BJ Urine meningkat. Mungkin juga terjadi penurunan faktor IX,
Laju endap darah meningkat dan rendahnya kadar kalsium serta hiperglikemia.
3. Etiologi
Penyebab umum penyakit tidak diketahui; akhir-akhir ini sering dianggap sebagi suatu
bentuk penyakit autoimun. Jadi merupakan reaksi antigen-antibodi. Umumnya dibagi menjadi 4
kelompok :
a.       Sindroma nefrotik bawaan
b.      Sindroma nefrotik sekunder
c.       Sindroma nefrotik idiopati
d.      Glumerulosklerosis fokal segmental
4. Patofisiologi
Penyakit nefrotik sindoma biasanya menyerang pada anak-anak pra sekolah. Hingga saat
sebab pasti penyakit tidak ditemukan, tetapi berdasarkan klinis dan onset gejala yang muncul
dapat terbagi menjadi sindroma nefrotik bawaan yang biasanya jarang terjadi; Bentuk idiopati
yang tidak jelas penyebabnya maupun sekunder dari penyakit lainnya yang dapat ditentukan
faktor predisposisinya; seperti pada penyakit malaria kuartana, Lupus Eritematous Diseminata,
Purpura Anafilaktoid, Grumeluronefritis (akut/kronis) atau sebagai reaksi terhadap
hipersensitifitas (terhadap obat)
Nefrotik sindroma idiopatik yang sering juga disebut Minimal Change Nefrotic Syndrome
(MCNS) merupakan bentuk penyakit yang paling umum (90%).
Patogenesis penyakit ini tidak diketahui, tetapi adanya perubahan pada membran
glumerolus menyebabkan peningkatan permeabilitas, yang memungkinkan protein (terutama
albumin) keluar melalui urine (albuminuria). Perpindahan protein keluar sistem vaskular
menyebabkan cairan plasma pindh ke ruang interstitisel, yang menghasilkan oedema dan
hipovolemia. Penurunan volume vaskuler menstimulasi sistem renin angiotensin, yang
memungkinkan sekresi aldosteron dan hormon antidiuretik (ADH). Aldosteron merangsang
peninkatan reabsorbsi tubulus distal terhadap Natrium dan Air, yang menyebabkan
bertambahnya oedema. Hiperlipidemia dapat terjadi karena lipoprotein memiliki molekul yang
lebih berat dibandingkan albumin sehingga tidak akan hilang dalam urine.
5. Evaluasi Diagnostik
Urinalisis menunjukkan haemturia mikroskopik, sedimen urine, dan abnormalitas lain.
Jarum biopsi ginjal mungkin dilakukan untuk pemriksaan histology terhadap jaringan renal
untuk memperkuat diagnosis.
Terdapat proteinuri terutama albumin (85 – 95%) sebanyak 10 –15 gr/hari. Ini dapat
ditemukan dengan pemeriksaan Essbach. Selama edema banyak, diuresis berkurang, berat jenis
urine meninggi. Sedimen dapat normal atau berupa toraks hialin, dan granula lipoid, terdapat
pula sel darah putih. Dalam urine ditemukan double refractile bodies. Pada fase nonnefritis tes
fungsi ginjal seperti : glomerular fitration rate, renal plasma flowtetap normal atau meninggi .
Sedangkan maximal konsentrating ability dan acidification kencing normal . Kemudian timbul
perubahan pada fungsi ginjal pada fase nefrotik akibat perubahan yang progresif pada
glomerulus.
Kimia darah menunjukkan hipoalbuminemia, kadar globulin normal atau meninggi
sehingga terdapat rasio Albumin-globulin yang terbalik, hiperkolesterolemia, fibrinogen
meninggi. Sedangkan kadar ureum normal. Anak dapat menderita defisiensi Fe karena banyak
transferin ke luar melalui urine. Laju endap darah tinggi, kadar kalsium darah sering rendah
dalam keadaan lanjut kadang-kadang glukosuria tanpa hiperglikemia.
6. Penatalaksanaan
a.       Diperlukan tirah baring selama masa edema parah yang menimbulkan keadaan tidak berdaya
dan selama infeksi yang interkuten. Juga dianjurkan untuk mempertahankan tirah baring selama
diuresis jika terdapat kehilangan berat badan yang cepat.
b.      Diit. Pada beberapa unit masukan cairan dikurangi menjadi 900 sampai 1200 ml/ hari dan
masukan natrium dibatasi menjadi 2 gram/ hari. Jika telah terjadi diuresis dan edema
menghilang, pembatasan ini dapat dihilangkan. Usahakan masukan protein yang seimbang dalam
usaha memperkecil keseimbangan negatif nitrogen yang persisten dan kehabisan jaringan yang
timbul akibat kehilangan protein. Diit harus mengandung 2-3 gram protein/ kg berat badan/ hari.
Anak yang mengalami anoreksia akan memerlukan bujukan untuk menjamin masukan yang
adekuat
c.       Perawatan kulit. Edema masif merupakan masalah dalam perawatan kulit. Trauma terhadap
kulit dengan pemakaian kantong urin yang sering, plester atau verban harus dikurangi sampai
minimum. Kantong urin dan plester harus diangkat dengan lembut, menggunakan pelarut dan
bukan dengan cara mengelupaskan. Daerah popok harus dijaga tetap bersih dan kering dan
scrotum harus disokong dengan popok yang tidak menimbulkan kontriksi,
d.      hindarkan menggosok kulit.
e.       Perawatan mata. Tidak jarang mata anak tertutup akibat edema kelopak mata dan untuk
mencegah alis mata yang melekat, mereka harus diswab dengan air hangat.
f.        Kemoterapi:
g.      Prednisolon digunakan secra luas. Merupakan kortokisteroid yang mempunyai efek samping
minimal. Dosis dikurangi setiap 10 hari hingga dosis pemeliharaan sebesar 5 mg diberikan dua
kali sehari. Diuresis umumnya sering terjadi dengan cepat dan obat dihentikan setelah 6-10
minggu. Jika obat dilanjutkan atau diperpanjang, efek samping dapat terjadi meliputi terhentinya
pertumbuhan, osteoporosis, ulkus peptikum, diabeters mellitus, konvulsi dan hipertensi
h.      Jika terjadi resisten steroid dapat diterapi dengan diuretika untuk mengangkat cairan
berlebihan, misalnya obat-abatan spironolakton dan sitotoksik ( imunosupresif ). Pemilihan obat-
obatan ini didasarkan pada dugaan imunologis dari keadaan penyakit. Ini termasuk obat-obatan
seperti 6-merkaptopurin dan siklofosfamid.
i.        Penatalaksanaan krisis hipovolemik. Anak akan mengeluh nyeri abdomen dan mungkin juga
muntah dan pingsan. Terapinya dengan memberikan infus plasma intravena. Monitor nadi dan
tekanan darah.
j.        Pencegahan infeksi. Anak yang mengalami sindrom nefrotik cenderung mengalami infeksi
dengan pneumokokus kendatipun infeksi virus juga merupakan hal yang menganggu pada anak
dengan steroid dan siklofosfamid.
k.      Perawatan spesifik meliputi: mempertahankan grafik cairan yang tepat, penimbnagan harian,
pencatatan tekanan darah dan pencegahan dekubitus.
l.        Dukungan bagi orang tua dan anak. Orang tua dan anak sering kali tergangu dengan
penampilan anak. Pengertian akan perasan ini merupakan hal yang penting. Penyakit ini
menimbulkan tegangan yang berta pada keluarga dengan masa remisi, eksaserbasi dan masuk
rumah sakit secara periodik. Kondisi ini harus diterangkan pada orang tua sehingga mereka
mereka dapat mengerti perjalanan penyakit ini. Keadaan depresi dan frustasi akan timbul pada
mereka karena mengalami relaps yang memaksa perawatan di rumahn sakit.
7. Prognosis
Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut :
a.       Menderita untuk pertama kalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6 tahun.
b.      Disertai oleh hipertensi.
c.       Disertai hematuria.
d.      Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.
e.       Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.
Pada umumnya sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi respons yang
baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya akan relapse
berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan pengobatan steroid.
8. Komplikasi
Penyulit (komplikasi) Sindrom Nefrotik tergantung dari beberapa faktor :
a.       Kelainan histopatologis
b.      Lamanya sakit
c.       Usia pasien
1)      Malnutrisi, akibat hipolabuminemia berat.
2)      Infeksi sekunder, disebabkan gangguan mekanisme pertahanan humoral, penurunan gamma
globulin serum.
3)      Gangguan koagulasi, berhubungan dengan kenaikan beberapa faktor pembekuan  yang
menyebabkan keadaan hiperkoagulasi.
4)      Akselerasi aterosklerosis, akibat dari hipelipidemia yang lama.
5)      Kolap hipovolemia, akibat proteinuria yang berat
6)      Efek samping obat-obatan : diuretik, antibiotik, kortikosteroid, antihipertensi, sitostatika yang
sering digunakan pada pasien sindrom nefrotik.
7)      Gagal ginjal.
B.       ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a.       Lakukan pengkajian fisik, termasuk pengkajian luasnya edema
b.      Kaji riwayat kesehatan, khususnya yang berhubungan dengan adanya peningkatan berat badan
dan kegagalan fungsi ginjal.
c.       Observasi adanya manifestasi dari Sindrom nefrotik : Kenaikan berat badan, edema, bengkak
pada wajah ( khususnya di sekitar mata yang timbul pada saat bangun pagi , berkurang di siang
hari ), pembengkakan abdomen (asites), kesulitan nafas ( efusi pleura ), pucat pada kulit, mudah
lelah, perubahan pada urin ( peningkatan volum, urin berbusa ).
d.      Pengkajian diagnostik meliputi meliputi analisa urin untuk protein, dan sel darah merah,
analisa darah untuk serum protein ( total albumin/globulin ratio, kolesterol ) jumlah darah, serum
sodium
2. Diagnosa Keperawatan
a.       Kelebihan volume cairan b. d. penurunan tekanan osmotic plasma. ( Wong, Donna L, 2004 :
550)
b.       Perubahan pola nafas b.d. penurunan ekspansi paru.(Doengoes, 2000: 177)
c.       Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. anoreksia. (Carpenito,1999: 204)
d.      Resti infeksi b.d. menurunnya imunitas, prosedur invasif (Carpenito, 1999:204).
e.       Intoleransi aktivitas b.d. kelelahan. (Wong, Donna L, 2004:550)
f.        Gangguan integritas kulit b.d. immobilitas.(Wong,Donna,2004:550)
g.       Gangguan body image b.d. perubahan penampilan. (Wong, Donna, 2004:553).
h.       Gangguan pola eliminasi:diare b.d. mal absorbsi
3. Intervensi
Perencanaan KeperawatanKelebihan volume cairan b. d. penurunan tekanan osmotic
plasma. ( Wong, Donna L, 2004 : 550)
Tujuan: tidak terjadi akumulasi cairan dan dapat mempertahankan keseimbangan intake dan
output.
KH: menunjukkan keseimbangan dan haluaran, tidak terjadi peningkatan berat badan, tidak
terjadi edema.
1. Intervensi:
2. Pantau, ukur dan catat intake dan output caira
3. Observasi perubahan edema
4. Batasi intake garam
5. Ukur lingkar perut
6. timbang berat badan setiap hari
Perubahan pola nafas b.d. penurunan ekspansi paru.(Doengoes, 2000: 177) kolaborasi
pemberian obat-obatan sesuai program dan monitor efeknya
Tujuan: Pola nafas adekuat
KH: frekuensi dan kedalaman nafas dalam batas normal
a.       Intervensi:
1)      Auskultasi bidang paru
2)      Pantau adanya gangguan bunyi nafas
3)      Berikan posisi semi fowler
4)      Observasi tanda-tanda vital
5)      Kolaborasi pemberian obat diuretic
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. anoreksia. (Carpenito,1999: 204)
Tujuan: kebutuhan nutrisi terpenuhi
KH: tidak terjadi mual dan muntah, menunjukkan masukan yang adekuat, mempertahankan berat
badan
Intervensi:
a.       Tanyakan makanan kesukaan pasien
b.      Anjurkan keluarga untuk mrndampingi anak pada saat makan
c.       Pantau adanya mual dan muntah
d.      Bantu pasien untuk makan
e.       Berikan makanan sedikit tapi sering
f.       Berikan informasi pada keluarga tentang diet klien
Resti infeksi b.d. menurunnya imunitas, prosedur invasif. (Carpenito, 1999:204).
Tujuan: tidak terjadi infeksi
KH: tidak terdapat tanda-tanda infeksi, tanda-tanda vitl dalam batas normal, leukosit dalam batas
normal.
Intervensi:
a.       Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan
b.      Pantau adanya tanda-tanda infeksi
c.       Lakukan perawatan pada daerah yang dilakukan prosedur invasive
d.      Anjurkan keluarga untuk mrnjaga kebersihan pasien
e.       Kolaborasi pemberian antibiotic
Intoleransi aktivitas b.d. kelelahan. (Wong, Donna L, 2004:550)
Tujuan: pasien dapat mentolerir aktivitas dan mrnghemat energi
KH: menunjukkan kemampuan aktivitas sesuai dengan kemampuan, mendemonstrasikan
peningkatan toleransi aktivitas
a.       Intervensi:
b.      Pantau tingkat kemampuan pasien dalan beraktivitas
c.       Rencanakan dan sediakan aktivitas secara bertahap
d.      Anjurkan keluarga untuk membantu aktivitas pasien
e.       Berikan informasi pentingnya aktivitas bagi pasien
Gangguan integritas kulit b.d. immobilitas.(Wong,Donna,2004:550)
Tujuan: tidak terjadi kerusakan integritas kulit
KH: integritas kulit terpelihara, tidak terjadi kerusakan kulit
Intervensi:
a.       Inspeksi seluruh permukaan kulit dari kerusakan kulit dan iritasi
b.      Berikan bedak/ talk untuk melindungi kulit
c.       Ubah posisi tidur setiap 4 jam
d.      Gunakan alas yang lunak untuk mengurangi penekanan pada kulit.
Gangguan body image b.d. perubahan penampilan. (Wong, Donna, 2004:553).
Tujuan: tidak terjadi gangguan boby image
KH: menytakan penerimaan situasi diri, memasukkan perubahan konsep diri tanpa harga diri
negative
Intervensi:
a.       Gali perasaan dan perhatian anak terhadap penampilannya
b.      Dukung sosialisasi dengan orang-orang yang tidak terkena infeksi
c.       Berikan umpan balik posotif terhadap perasaan anak
Gangguan pola eliminasi:diare b.d. mal absorbsi.
Tujuan: tidak terjadi diare
KH: pola fungsi usus normal, mengeluarkan feses lunak
Intervensi:
a.       Observasi frekuensi, karakteristik dan warna feses
b.      Identifikasi makanan yang menyebabkan diare pada pasien
c.       Berikan makanan yang mudah diserap dan tinggi serap
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN GNA/GNK
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
A. PENGERTIAN
       Glomerulo Nefritis adalah gangguan pda ginjal yang ditandai dengan peradangan pada kapiler
glomerulus yang fungsinya sebagai filtrasi cairan tubuh dan sisa-sisa pembuangan. (Suriadi, dkk,
2001)
       Glomerulo Nefritis adalah sindrom yang ditandai oleh peradangan dari glomerulus diikuti
pembentukan beberapa antigen. (Engran, Barbara, 1999)
       Glomerulo Nefritis Akut (GNA) adalah suatu reaksi imunologis ginjal terhadap bakteri / virus
tertentu. (Ngastiyah, 2005)
       Glomerulo Nefritis Akut (GNA) adalah istilah yang secara luas digunakan yang mengacu
pada sekelompok penyakit ginjal dimana inflamasi terjadi di glomerulus. (Brunner & Suddarth,
2001)
B. ETIOLOGI
Penyebab Glomerulo Nefritis Akut adalah:
1.      Adanya infeksi ekstra renal terutama disaluran napas bagian atas atau kulit oleh kuman
streptokokus beta hemolyticus golongan A, tipe 12, 16, 25, dan 49).
2.       Sifilis
3.       Bakteri dan virus
4.       Keracunan (Timah hitam, tridion)
5.       Penyakit Amiloid
6.       Trombosis vena renalis
7.       Penyakit kolagen
C. MANIFESTASI KLINIS
1.      Hematuria (urine berwarna merah kecoklat-coklatan)
2.       Proteinuria (protein dalam urine)
3.      Oliguria (keluaran urine berkurang)
4.       Nyeri panggul
5.      Edema, ini cenderung lebih nyata pada wajah dipagi hari, kemudian menyebar ke abdomen dan
ekstremitas di siang hari (edema sedang mungkin tidak terlihat oleh seorang yang tidak
mengenal anak dengan baik).
6.      Suhu badan umumnya tidak seberapa tinggi, tetapi dapat terjadi tinggi sekali pada hari
pertama.
7.      Hipertensi terdapat pada 60-70 % anak dengan GNA pada hari pertama dan akan kembali
normal pada akhir minggu pertama juga. Namun jika terdapat kerusakan jaringan ginjal, tekanan
darah akan tetap tinggi selama beberapa minggu dan menjadi permanen jika keadaan
penyakitnya menjadi kronik.
8.      Dapat timbul gejala gastrointestinal seperti muntah, tidak nafsu makan, dan diare.
9.      Bila terdapat ensefalopati hipertensif dapat timbul sakit kepala, kejang dan kesadaran menurun.
10.   Fatigue (keletihan atau kelelahan)
D. PATOFISIOLOGI
Suatu reaksi radang pada glomerulus dengan sebukan lekosit dan proliferasi sel, serta
eksudasi eritrosit, lekosit dan protein plasma dalam ruang Bowman.
Gangguan pada glomerulus ginjal dipertimbangkan sebagai suatu respon imunologi yang terjadi
dengan adanya perlawanan antibodi dengan mikroorganisme yaitu streptokokus A.
Reaksi antigen dan antibodi tersebut membentuk imun kompleks yang menimbulkan
respon peradangan yang menyebabkan kerusakan dinding kapiler dan menjadikan lumen
pembuluh darah menjadi mengecil yang mana akan menurunkan filtrasi glomerulus, insuffisiensi
renal dan perubahan permeabilitas kapiler sehingga molekul yang besar seperti protein
dieskresikan dalam urine (proteinuria).
E. KOMPLIKASI
Komplikasi glomerulonefritis akut:
1. Oliguri sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi sebagai akibat berkurangnya
filtrasi glomerulus. Gambaran seperti insufisiensi ginjal akut dengan uremia, hiperfosfatemia,
hiperkalemia dan hidremia. Walaupun oliguria atau anuria yang lama jarang terdapat pada anak,
jika hal ini terjadi diperlukan peritoneum dialisis (bila perlu).
2. Ensefalopati hipertensi, merupakan gejala serebrum karena hipertensi. Terdapat gejala berupa
gangguan penglihatan, pusing, muntah dan kejang-kejang. Hal ini disebabkan karena spasme
pembuluh darah lokal dengan anoksia dan edema otak.
3. Gangguan sirkulasi berupa dipsneu, ortopneu, terdapat ronki basah, pembesaran jantung dan
meningginya tekanan darah yang bukan saja disebabkan spasme pembuluh darah tetapi juga
disebabkan oleh bertambahnya volume plasma. Jantung dapat membesardan terjadi gagal
jantung akibat hipertensi yang menetap dan kelainan di miokardium.
4. Anemia yang timbul karena adanya hipervolemia disamping sintesis eritropoietik yang menurun.
5. Gagal Ginjal Akut (GGA)
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Laju Endap Darah (LED) meningkat
2. Kadar Hb menurun sebagai akibat hipervolemia (retensi garam dan air)
3. Nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin darah meningkat bila fungsi ginjal mulai menurun.
4. Jumlah urine berkurang
5. Berat jenis meninggi
6. Hematuria makroskopis ditemukan pada 50 % pasien.
7. Ditemukan pula albumin (+), eritrosit (++), leukosit (+), silinder leukosit dan hialin.
8. Titer antistreptolisin O (ASO) umumnya meningkat jika ditemukan infeksi tenggorok, kecuali
kalau infeksi streptokokus yang mendahului hanya mengenai kulit saja.
9.Kultur sampel atau asupan alat pernapasan bagian atas untuk identifikasi mikroorganisme.
10. Biopsi ginjal dapat diindikasikan jika dilakukan kemungkinan temuan adalah meningkatnya
jumlah sel dalam setiap glomerulus dan tonjolan subepitel yang mengandung imunoglobulin dan
komplemen.
G. PENATALAKSANAAN
1. Keperawatan
a. Tirah baring diperlukan untuk anak dengan hipertensi dan edema dan terutama untuk mereka
dengan tanda ensefalopati dan kegagalan jantung. Tirah baring dianjurkan selama fase akut
sampai urin berwarna jernih dan kadar kreatinin dan tekanan darah kembali normal. Lama tirah
baring dapat ditentukan dengan mengkaji urin pasien. Kasus ringan dengan tekanan darah
normal dan sedikit edema dapat diberikan aktivitas terbatas tetapi tidak boleh masuk sekolah
karena aktivitas yang berlebihan dapat meningkatkan proteinuria dan hematuria.
b. Cairan. Masukan cairan biasanya dibatasi jika keluaran urin rendah. Pada beberapa unit dibatasi
antara 900 dan 1200 ml per hari. Separuh dari masukan cairan dapat berupa susu dan separuh
lainnya air. Sari buah asli harus dihindari karena mereka mengandung kalium yang tinggi. Ini
merupakan hal yang penting keluaran urinarius kurang dari 200 sampai 300 ml per hari karena
bahaya retensi kalium.
c. Diit
Jika terjadi diuresis dan hipertensi telah hilang, makanan seperti roti, buah-buahan, kentang dan
sayur-sayuran dapat diberikan. Garam dibatasi (1 g/hari) hingga hipertensi dan edema menurun.
Protein dibatasi (1 g/kgBB/hari) jika nitrogen urea darah meningkat dan sementara hematuria
ditemukan. Jika hematuria mikroskopik, masukan protein dapat dimulai kembali atau
ditingkatkan.
d. Pertimbangan harian sebagai indikasi peningkatan atau penurunan edema.
e. Pentatatan tekanan darah
f. Uji urine harian untuk darah dan protein (kualitatif dan kuantitatif)
g. Dukungan bagi orang tua. Ini termasuk pengenalan kecemasan mereka dan mengurangi
kecemasan dengan memberikan informasi yang adekuat mengenai kondisi dan kemajuan yang
dialami anak. Orang tua menginginkan informasi mengenai derajat keterlibatan ginjal dan
gambaran masa depan. Bimbingan harus diberikan mengenai penyembuhan tindak lanjut dan
pencegahan infeksi streptokokus.
2. Medis
a. Pemberian penisilin pada fase akut (baik secara oral atau intramuskuler). Pemberian antibiotik ini
tidak mempengaruhi beratnya glomerulonefritis, melainkan mengurangi menyebarnya infeksi
streptokokus yang mungkin masih ada. Pemberian penisilin dianjurkan hanya untuk 10 hari.
Pemberian profilaksis yang lama sesudah nefritisnya sembuh terhadap kuman penyebab tidak
dianjurkan karena terdapat imunitas yang menetap. Secara teoritis anak dapat terinfeksi lagi
dengan kuman nefritogen lain, tetapi kemungkinan ini sangat kecil.
b. Pengobatan terhadap hipertensi. Pemberian cairan dikurangi, pemberian sedativa untuk
menenangkan pasien sehingga dapat cukup beristirahat. Pada hipertensi dengan gejala serebral
diberikan reserpin dan hidralazin. Mula-mula diberikan reserpin sebanyak 0,07 mg/kgBB secara
intamuskuler. Bila terjadi diuresis 5-10 jam kemudian, selanjutnya pemberian resepin peroral
dengan dosis rumat 0,03 mg/kgBB/hari. Magnesium sulfat parenteral tidak dianjurkan lagi
karena memberi efek toksis.
c. Bila anuria berlangsung lama (5-7 hari) maka ureum harus dikeluarkan dari dalam darah. Dapat
dengan cara peritoneum dialisis, hemodialisis, transfusi tukar dan sebagainya.
d. Diuretikum dulu tidak diberikan pada glomerulonefritis akut, tetapi akhir-akhir ini pemberian
furosamid (lasix) secara intravena (1 mg/kgBB/hari) dalam 5-10 menit tidak berakibat buruk
pada hemodinamika ginjal dan filtrasi glomerulus.
e. Bila timbul gagal jantung, diberikan dialisis, sedativum dan oksigen.
H. ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Identifikasi pasien
2. Riwayat penyakit dahulu, sekarang dan keluarga (apakah ada riwayat yang menunjukkan episode
faringitis / tonsilitis sebelumnya)
3. Riwayat/adanya faktor resiko:
a. Bagaimana frekuensi miksinya, apakah terdapat waktu miksi seperti rasa sakit pada daerah
setempat.
b. Apakah penyakit timbul setelah adanya penyakit yang lain.
c. Apakah terdapat mual dan muntah
d. Bagaimana keadaan urine (volume, warna, bau, berat jenis, jumlah urin dalam 24 jam)
e. Adakah sekret atau darah yang keluar.
f. Rasa nyeri (lokasi, kualitas, saat timbulnya sakit)
4. Data Fisik
Inspeksi : Secara umum dan secara khusus pada daerah genital
Palpasi : Pada daerah abdomen, buli-buli dan lipat paha.
Auskultasi : daerah Abdomen
Perkusi : Daerah Abdomen, ginjal
Keadaan umum pasien:
a. Tingkat kesadaran
b. Tanda-tanda vital
c. Berat badan dan tinggi badan.
 B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan urine


2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan
penurunan kebutuhan metabolik
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan edema dan menurunnya tingkat antivitas
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan fatigue (kelelahan) dan tirah baring.
5. Nyeri akut (sakit kepala dan pusing) berhubugan dengan gangguan perfusi darah otak sekunder
terhadap hipertensi.
6. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan.
D. INTERVENSI
1. DX I
Tujuan: Status cairan pasien dapat dipertahankan secara seimbang.
Kriteria hasil:
a. Pengeluaran urine 1-2 ml/KgBB/jam
b. Tekanan darah dalam batas normal
c. Tidak ada edema
d. Berat jenis urine normal
e. Berat badan stabil
Rencana :
a. Monitor intake dan output
b. Kaji edema
c. Timbang berat badan
d. Monitor tekanan darah setiap 4 jam
e. Pembatasan cairan dan sodium sesuai program
2. DX II
Tujuan: Pasien dapat mempertahankan intake (masukan) yang adekuat
Kriteria hasil:
a. Stamina
b. Tenaga
c. Kekuatan menggenggam
d. Daya tahan tubuh
Rencana :       
a. Timbang berat badan tiap hari
b. Kaji membran mukosa dan turgor kulit setiap hari untuk monitor hidrasi
c. Pertahankan pembatasan sodium dan cairan sesuai program pemeriksaan protein sesuai program.
d. Makanan dengan rendah protein.
e. Memilih posisi saat makan yang sesuai dengan keinginan anak.
3. DX III
Tujuan: keutuhan kulit pasien dapat dipertahankan
Kriteria Hasil:
a. Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi, elastisitas, temperatur, hidrasi, pigmentasi)
b. Tidak ada luka atau lesi pada kulit
c. Perfusi jaringan baik
d. Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembapan kulit serta perawatan alami
Rencana :       
a. Kaji edema dan tinggikan ekstremitas jika “pitting” edema ada.
b. Kaji tanda dan gejala potensial atau aktual kerusakan kulit.
c. Pertahankan kebersihan perseorangan: mandi setiap hari, penggunaan pelembab kulit dan ganti
tenun setiap hari.
d. Rubah posisi setiap 2 jam jika memungkinkan.
e. Penggunaan matras yang lembut.
4. DX IV
Tujuan: Kebutuhan istirahat pasien terpenuhi
Kriteria Hasil:
a. Istirahat dan aktivitas seimbang
b. Tidur siang
c. Mengetahui keterbatasan energinya
d. Mengubah gaya hidup untuk mengurangi resiko.
Rencana :
a. Kaji pola aktivitas dan tidur selama hospitalisasi
b. Tirah baring selama 2-3 minggu
c. Atur jadwal aktivitas yang tidak menyebabkan gangguan istirahat tidur.
d. Berikan aktivitas bermain yang sesuai dengan tingkat energi anak
e. Bantu anak untuk mengidentifikasi aktivitas yang disukai
5. DX V
Tujuan: Rasa nyeri (sakit kepala dan pusing) pasien berkurang
Kriteria Hasil:
a. Mengenali faktor penyebab
b. Menggunakan metode pencegahan
c. Mengenali gejala-gejala nyeri
d. Mencari bantuan tenaga kesehatan
Rencana :
a. Kaji secara komprehensif tentang nyeri (lokasi, karakteristik, dan onset, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas dan beratnya nyeri).
b. Observasi isyarat-isyarat non verbal dan ketidaknyamanan
c. Ajarkan teknik non farmakologi (relaksasi, terapi bermain, terapi aktivitas)
d. Beri dukungan terhadap pasien dan keluarga
e. Anjurkan istirahat yang cukup.
6. DX VI
Tujuan: Kecemasan pasien dan orang tua menurun
Kriteria Hasil:
a. Memonitor intensitas kecemasan
b. Menurunkan stimulasi lingkungan ketika cemas
c. Mencari informasi lingkungan ketika cemas
d. Merencanakan strategi koping
Rencana :
a. Kaji tanda dan gejala kecemasan
b. Ajarkan untuk mengekspresikan perasaan dan jawab pertanyaan dengan jelas dan jujur.
c. Jelaskan kepada keluarga mengenai pengetahuan tentang penyakit anak dan rencana
pengobatannya.
d. Ajarkan dan ijinkan orang tua untuk berpartisipasi dalam perawatan anak.
e. Libatkan anak dalam aktivitas permainan yang sesuai dengan kondisi dan usia.
C. PELAKSANAAN
Yaitu perawat melaksanakan rencana asuhan keperawatan. Instruksi keperawatan di
implementasikan untuk membantu klien memenuhi kriteria hasil.
 Komponen tahap Implementasi:
a. tindakan keperawatan mandiri
b. tindakan keperawatan kolaboratif
c. dokumentasi tindakan keperawatan dan respon klien terhadap asuhan keperawatan.
( Carol vestal Allen, 1998 : 105 )
D. EVALUASI
Evaluasi adalah merupakan salah satu alat untuk mengukur suatu perlakuan atau tindakan
keperawatan terhadap pasien. Dimana evaluasi ini meliputi evaluasi formatif / evaluasi proses
yang dilihat dari setiap selesai melakukan implementasi yang dibuat setiap hari sedangkan
evaluasi sumatif / evaluasi hasil dibuat sesuai dengan tujuan yang dibuat mengacu pada kriteria
hasil yang diharapkan.
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN GGA
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
I. Pengertian Gagal Ginjal Akut
Gagal Ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal mengalami penurunan
hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali dalam hal penyaringan, pembuangan
elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan dan zat kimia tubuh, seperti sodium dan kalium
didalam darah atau produksi urin.
GGA adalah suatu penyakit tidak menular yang merupakan suatu sindrom klinis yang
ditandai dengan penurunan mendadak (dalam beberapa jam sampai beberapa hari) laju filtrasi
glomerulus (LFG), disertai sisa metabolisme (ureum dan kreatinin). GGA merupakan suatu
sindrom klinis oleh karena dapat disebabkan oleh berbagai keadaan dengan patofisiologi yang
berbeda-beda.
a.      Host
1.      Umur dan jenis kelamin
Usia penderita GGA berkisar antara 40-50 tahun, tetapi hampir semua usia dapat terkena
penyakit ini. Menurut penelitian D.W. Bates penyakit GGA paling banyak pada penderita yang
berumur 45 tahun. Menurut penelitian Katherine L.O’Brien, Haiti, ditemukan 109 orang
penderita GGA yang berumur dibawah 18 tahun. Berdasarkan data penyakit ginjal anak di
Indonesia yang dikumpulkan dari 7 pusat pendidikan Dokter Spesialis Anak yaitu Universitas
Sumatera Utara, Universitas Indonesia , Universitas Padjajaran , Universitas Diponegoro ,
Universitas Hasanuddin, Universitas Gadjah Mada dan Universitas Udayana ditemukan
sebanyak 107 orang anak yang menderita penyakit GGA.
Kejadian pada laki-laki dan perempuan hampir sama. Menurut penelitian Orfeas Liangos
dkk (2001), dari 558.032 penderita GGA, 51,8% adalah laki-laki, sedangkan perempuan sebesar
48,2%.
2.      Pekerjaan
Orang-orang yang pekerjaannya berhubungan dengan bahan-bahan kimia akan dapat
mempengaruhi kesehatan ginjal. Bahan-bahan kimia yang berbahaya jika terpapar dan masuk
kedalam tubuh dapat menyebabkan penyakit ginjal. Misalnya, pada pekerja di pabrik atau
industri.
3.      Perilaku minum
Air merupakan cairan yang sangat penting di dalam tubuh. Lebih kurang 68%  berat
tubuh terdiri dari air. Minum air putih dalam jumlah cukup setiap hari adalah cara perawatan
tubuh terbaik. Air ini sebagai simpanan cairan dalam tubuh. Sebab bila tubuh tidak menerima air
dalam jumlah yang cukup tubuh akan mengalami dehidrasi. Di mulai dengan simpanan air tubuh
yang mengalami penurunan yang mengakibatkan gangguan kesehatan.
Organ-organ tubuh yang vital juga sangat peka terhadap kekurangan air, salah satunya
adalah ginjal. Ginjal tidak dapat berfungsi dengan baik bila tidak cukup air.  Pada proses
penyaringan zat-zat racun, ginjal melakukannya lebih dari 15 kali setiap jam, hal ini
membutuhkan jumlah air yang banyak sebelum diedarkan ke dalam darah. Bila tidak cukup
cairan atau kurang minum, ginjal tidak dapat bekerja dengan sempurna maka bahan-bahan yang
beredar dalam tubuh tidak dapat dikeluarkan dengan baik sehingga dapat menimbulkan
keracunan darah dan menyebabkan penyakit ginjal.
4.      Riwayat penyakit sebelumnya
Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan penyakit GGA, yaitu :
a.       Penyebab penyakit GGA Prarenal, yaitu :
1.      Hipovolemia, disebabkan oleh :
§  Kehilangan darah/ plasma : perdarahan , luka bakar.
§  Kehilangan cairan melalui gastrointestinal, kulit, ginjal (diuretik, penyakit ginjal lainnya),
pernafasan, pembedahan.
§  Redistribusi cairan tubuh : pankreatitis, peritonitis, edema, asites.
2.      Vasodilatasi sistemik :
§  Sepsis.
§  Sirosis hati.
§  Anestesia/ blokade ganglion.
§  Reaksi anafilaksis.
§  Vasodilatasi oleh obat.
3.      Penurunan curah jantung/kegagalan pompa jantung :
§  Renjatan kardiogenik, infark jantung.
§  Gagal jantung kongestif (disfungsi miokard, katub jantung).
§  Tamponade jantung.
§  Disritmia.
§  Emboli paru.
b.      Penyebab penyakit GGA renal, yaitu :
1.      Kelainan glomerulus
v  Glomerulonefritis akut
Glomerulonefritis akut adalah salah satu jenis GGA renal yang biasanya disebabkan oleh
kelainan reaksi imun yang merusak glomeruli. Sekitar 95% dari pasien, GGA dapat terjadi satu
sampai tiga minggu setelah mengalami infeksi dibagian lain dalam tubuh, biasanya disebabkan
oleh jenis tertentu dari streptokokus beta grup A. Infeksi dapat berupa radang tenggorokan
streptokokal, tonsilitis streptokokal, atau bahkan infeksi kulit streptokokal.
v  Penyakit kompleks autoimun
v  Hipertensi maligna
2.      Kelainan tubulus
v  Nekrosis Tubular Akut (NTA) akibat iskemia
Tipe iskemia merupakan kelanjutan dari GGA prarenal yang tidak teratasi. Iskemia ginjal
berat dapat diakibatkan oleh syok sirkulasi atau gangguan lain apapun yang sangat menurunkan
suplai darah ke ginjal. Jika iskemia berlangsung cukup berat sampai menyebabkan penurunan
yang serius terhadap pengangkutan zat makanan dan oksigen ke sel- sel epitel tubulus ginjal dan
jika gangguan ini terus berlanjut, kerusakan atau penghancuran sel-sel epitel dapat terjadi. Jika
hal ini terjadi, sel-sel tubulus hancur terlepas dan menempel pada banyak nefron, sehingga tidak
terdapat pengeluaran urin dari nefron yang tersumbat, nefron yang terpengaruh sering gagal
mengekskresi urin bahkan ketika aliran darah ginjal kembali pulih normal, selama tubulus masih
baik.
Beberapa gangguan yang menyebabkan iskemia ginjal, yaitu :
1.      Hipovolemia : misalnya dehidrasi, perdarahan, pengumpulan cairan pada luka bakar, atau
asites.
2.      Insufisiensi sirkulasi : misalnya syok, payah jantung yang berat, aritmi jantung, dan
tamponade.
v.  Nekrosis Tubular Akut (NTA) akibat toksin
Tipe NTA yang kedua yaitu terjadi akibat menelan zat-zat nefrotoksik. Zat-zat yang
bersifat nefrotoksik yang khas terhadap sel epitel tubulus ginjal menyebabkan kematian pada
banyak sel. Sebagai akibatnya sel-sel epitel hancur terlepas dari membran basal dan menempel
menutupi atau menyumbat tubulus. Beberapa keadaan membran basal juga rusak, tetapi sel epitel
yang baru biasanya tumbuh sepanjang permukaan membran sehingga terjadi perbaikan tubulus
dalam waktu sepuluh sampai dua puluh hari.
Gejala-gejala yang dapat terjadi pada NTA ini, antara lain :
1.      Makroskopis ginjal membesar, permukaan irisan tampak gembung akibat sembab. Khas pada
daerah perbatasan kortiko medular tampak daerah yang pucat.
2.      Histopatologi dikenal 2 macam bentuk kelainan, yaitu lesi nefrotoksik dan lesi iskemik.
3.      Kelainan interstisial
a.       Nefritis interstisial akut
Nefritis interstisial akut merupakan salah satu penyebab GGA renal, yang merupakan
kelainan pada interstisial. Nefritis interstisial akut dapat terjadi akibat infeksi yang berat dan
dapat juga disebabkan oleh obat-obatan. Menurut penelitian Fernando,1996, nefritis interstisial
akut merupakan 2,1% dari semua penderita GGA.
b.      Pielonefritis akut
Pielonefritis akut adalah suatu proses infeksi dan peradangan yang biasanya mulai di
dalam pelvis ginjal tetapi meluas secara progresif ke dalam parenkim ginjal. Infeksi tersebut
dapat disebabkan oleh berbagai jenis bakteri, tetapi terutama dari basil kolon yang berasal dari
kontaminasi traktus urinarius dengan feses.
4.      Kelainan vaskular
a.       Trombosis arteri atau vena renalis
b.      Vaskulitis.
c.       Penyebab penyakit GGA postrenal, yaitu :
Ø  Obstruksi intra renal :
a)      Instrinsik : asam urat, bekuan darah, kristal asam jengkol.
b)      Pelvis renalis : striktur, batu, neoplasma.
Ø  Obstruksi ekstra renal :
a)      Intra ureter : batu, bekuan darah.
b)      Dinding ureter : neoplasma, infeksi (TBC).
c)      Ekstra ureter : tumor cavum pelvis.
d)     Vesika urinaria : neoplasma, hipertrofi prostat.
e)      Uretra : striktur uretra, batu, blader diabetik, paraparesis.
b. Agent
Agent dalam penyakit GGA adalah jenis obat-obatan. NTA akibat toksik terjadi akibat
menelan zat-zat nefrotoksik. Ada banyak sekali zat atau obat-obat yang dapat merusak epitel
tubulus dan menyebabkan GGA, yaitu seperti :
a.       Antibiotik : aminoglikosoid, penisilin, tetrasiklin, amfotersisin B, sulfonamida, dan lain-
lainnya.
b.      Obat-obat dan zat kimia lain : fenilbutazon, zat-zat anestetik, fungisida, pestisida, dan kalsium
natrium adetat.
c.       Pelarut organik : karbon tetraklorida, etilon glikol, fenol, dan metil alkohol.
d.      Logam berat : Hg, arsen, bismut, kadmium, emas, timah, talium, dan uranium.
e.       Pigmen heme : Hemoglobin dan mioglobin.
c.       Environment
Cuaca panas dapat mempengaruhi terjadinya penyakit GGA. Jika seseorang bekerja di
dalam ruangan yang bersuhu panas, hal ini dapat mempengaruhi kesehatan ginjalnya. Yang
terjadi adalah berkurangnya aliran atau peredaran darah ke ginjal dengan akibat gangguan
penyediaan zat-zat yang diperlukan oleh ginjal, dan pada ginjal yang rusak hal ini akan
membahayakan.
II.II     Klasifikasi GGA
Klasifikasi GGA dapat dibagi dalam tiga katagori utama, yaitu :
A.    GGA Prarenal
GGA Prarenal adalah terjadinya penurunan aliran darah ginjal (renal
hypoperfusion) yang mengakibatkan penurunan tekanan filtrasi glomerulus dan kemudian diikuti
oleh penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG).
Keadaan ini umumnya ringan yang dengan cepat dapat reversibel apabila perfusi ginjal
segera diperbaiki. Pada GGA prarenal aliran darah ginjal walaupun berkurang masih dapat
memberikan oksigen dan substrat metabolik yang cukup kepada sel-sel tubulus. Apabila
hipoperfusi ginjal tidak segera diperbaiki, akan mengakibatkan NTA. GGA prarenal merupakan
kelainan fungsional, tanpa adanya kelainan histologik atau morfologi pada nefron.
B.     GGA Renal
GGA renal yaitu kelainan yang berasal dari dalam ginjal dan yang secara tiba-tiba
menurunkan pengeluaran urin. Katagori GGA ini selanjutnya dapat dibagi menjadi :
a.       Keadaan yang mencederai kapiler glomerulus atau pembuluh darah kecil ginjal lainnya
b.      Keadaan yang merusak epitel tubulus ginjal
c.       Keadaan yang menyebabkan kerusakan interstisium ginjal.
Tubulus ginjal merupakan tempat utama penggunaan energi pada ginjal, yang mudah
mengalami kerusakan bila terjadi iskemia atau oleh obat nefrotoksik, oleh karena itu kelainan
tubulus yang disebut Nekrosis Tubular Akut (NTA) merupakan penyebab terbanyak GGA renal.
C.    GGA Postrenal
GGA postrenal adalah suatu keadaan dimana pembentukan urin cukup, namun alirannya
dalam saluran kemih terhambat. Penyebab tersering adalah obstruksi. Obstruksi aliran urin ini
akan mengakibatkan kegagalan filtrasi glomerulus dan transpor tubulus sehingga dapat
mengakibatkan kerusakan yang permanen, tergantung berat dan lamanya obstruksi.
II.III    Perjalanan Klinis GGA
Perjalanan klinis GGA di bagi menjadi 3 stadium, yaitu :
A.    Stadium Oliguria
Stadium oliguria biasanya timbul dalam waktu 24 sampai 48 jam sesudah terjadinya
trauma pada ginjal. Produksi urin normal adalah 1-2 liter/24jam. Pada fase ini pertama-tama
terjadi penurunan produksi urin sampai kurang dari 400cc/24 jam. Tidak jarang produksi urin
sampai kurang dari 100cc/24 jam, keadaan ini disebut dengan anuria. Pada fase ini penderita
mulai memperlihatkan keluhan-keluhan yang diakibatkan oleh penumpukan air dan metabolit-
metabolit yang seharusnya diekskresikan oleh tubuh, seperti mual, muntah, lemah, sakit kepala,
kejang dan lain sebagainya. Perubahan pada urin menjadi semakin kompleks, yaitu penurunan
kadar urea dan kreatinin. Di dalam plasma terjadi perubahan biokimiawi berupa peningkatan
konsentrasi serum urea, kreatinin, elektrolit (terutama K dan Na).
B.     Stadium Diuresis
Stadium diuresis dimulai bila pengeluran kemih meningkat sampai lebih dari 400 ml/hari,
kadang-kadang dapat mencapai 4 liter/24 jam. Stadium ini berlangsung 2 sampai 3 minggu.
Volume kemih yang tinggi pada stadium ini diakibatkan karena tingginya konsentrasi serum
urea, dan juga disebabkan karena masih belum pulihnya kemampuan tubulus yang sedang dalam
masa penyembuhan untuk mempertahankan garam dan air yang difiltrasi. Selama stadium dini
diuresi, kadar urea darah dapat terus meningkat, terutama karena bersihan urea tak dapat
mengimbangi produksi urea endogen. Tetapi dengan berlanjutnya diuresis, azotemia sedikit demi
sedikit menghilang, dan pasien mengalami kemajuan klinis yang benar.
C.    Stadium Penyembuhan
Stadium penyembuhan GGA berlangsung sampai satu tahun, dan selama masa itu,
produksi urin perlahan–lahan kembali normal dan fungsi ginjal membaik secara bertahap,
anemia dan kemampuan pemekatan ginjal sedikit demi sedikit membaik, tetapi pada beberapa
pasien tetap menderita penurunan glomerular filtration rate (GFR) yang permanen.
II.IV    Gejala-Gejala GGA
Gejala klinis yang terjadi pada penderita GGA, yaitu :
a.       Penderita tampak sangat menderita dan alergi disertai mual, muntah, diare, pucat (anemia),
dan hipertensi.
b.      Nokturia (buang air kecil di malam hari).
c.       Pembengkakan tungkai, kaki atau pergelangan kaki. Pembengkakan yang menyeluruh (karena
terjadi penimbunan cairan).
d.      Berkurangnya rasa, terutama di tangan atau kaki.
e.       Tremor tangan.
f.       Kulit dari membran mukosa kering akibat dehidrasi.
g.      Nafas mungkin berbau urin (foto uremik), dan kadang-kadang dapat dijumpai adanya
pneumonia uremik.
h.      Manisfestasi sistem saraf (lemah, sakit kepala, kedutan otot, dan kejang).
i.        Perubahan pengeluaran produksi urine (sedikit, dapat mengandung darah, berat jenis sedikit
rendah, yaitu 1.010 gr/ml)
j.        Peningkatan konsentrasi serum urea (tetap), kadar kreatinin, dan laju endap darah (LED)
tergantung katabolisme (pemecahan protein), perfusi renal, serta asupan protein, serum kreatinin
meningkat pada kerusakan glomerulus.
k.      Pada kasus yang datang terlambat gejala komplikasi GGA ditemukan lebih menonjol yaitu
gejala kelebihan cairan berupa gagal jantung kongestif, edema paru, perdarahan gastrointestinal
berupa hematemesis, kejang-kejang dan kesadaran menurun sampai koma.
II.V     Pencegahan
A.    Pencegahan Primer
Pencegahan Primer adalah langkah yang harus dilakukan untuk menghindari diri dari
berbagai faktor resiko. Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya
GGA, antara lain :
a.       Setiap orang harus memiliki gaya hidup sehat dengan menjaga pola makan dan olahraga
teratur.
b.      Membiasakan meminum air dalam jumlah yang cukup merupakan hal yang harus dilakukan
setiap orang sehingga faktor resiko untuk mengalami gangguan ginjal dapat dikurangi.
c.       Rehidrasi cairan elektrolit yang adekuat pada penderita-penderita gastroenteritis akut.
d.      Transfusi darah atau pemberian cairan yang adekuat selama pembedahan, dan pada trauma-
trauma kecelakaan atau luka bakar.
e.       Mengusahakan hidrasi yang cukup pada penderita-penderita diabetes melitus yang akan
dilakukan pemeriksaan dengan zat kontras radiografik.
f.       Pengelolaan yang optimal untuk mengatasi syok kardiogenik maupun septik.
g.      Hindari pemakaian obat-obat atau zat-zat yang bersifat nefrotoksik. Monitoring fungsi ginjal
yang teliti pada saat pemakaian obat-obat yang diketahui nefrotoksik.
h.      Cegah hipotensi dalam jangka panjang.
i.        Penyebab hipoperfusi ginjal hendaknya dihindari dan bila sudah terjadi harus segera
diperbaiki.
B.     Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah langkah yang dilakukan untuk mendeteksi secara dini suatu
penyakit. Pencegahan dimulai dengan mengidentifikasi pasien yang berisiko GGA. Mengatasi
penyakit yang menjadi penyebab timbulnya penyakit GGA. Jika ditemukan pasien yang
menderita penyakit yang dapat menimbulkan GGA seperti glomerulonefritis akut maka harus
mendapat perhatian khusus dan harus segera diatasi.
GGA prarenal jika tidak diatasi sampai sembuh akan memacu timbulnya GGA renal
untuk itu jika sudah dipastikan bahwa penderita menderita GGA prarenal, maka sebaiknya harus
segera diatasi sampai benar-benar sembuh, untuk mencegah kejadian yang lebih parah atau
mencegah kecenderungan untuk terkena GGA renal.
C.    Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah langkah yang biasa dilakukan untuk mencegah terjadinya
komplikasi yang lebih berat, kecacatan dan kematian. Pada kasus GGA yang sangat parah timbul
anuria lengkap. Pasien akan meninggal dalam waktu 8 sampai 14 hari. Maka untuk mencegah
terjadinya kematian maka fungsi ginjal harus segera diperbaiki atau dapat digunakan ginjal
buatan untuk membersihkan tubuh dari kelebihan air, elektrolit, dan produk buangan
metabolisme yang bertahan dalam jumlah berlebihan.
Hindari atau cegah terjadinya infeksi. Semua tindakan yang memberikan risiko infeksi
harus dihindari dan pemeriksaan untuk menemukan adanya infeksi harus dilakukan sedini
mungkin. Hal ini perlu diperhatikan karena infeksi merupakan komplikasi dan penyebab
kematian paling sering pada gagal ginjal oligurik.
Penyakit GGA jika segera diatasi kemungkinan sembuhnya besar, tetapi penderita yang
sudah sembuh juga harus tetap memperhatikan kesehatannya dan memiliki gaya hidup sehat
dengan menjaga pola makan, olahraga teratur, dan tetap melakukan pemeriksaan kesehatan
(medical check-up) setiap tahunnya, sehingga jika ditemukan kelainan pada ginjal dapat segera
diketahui dan diobati.
II.VI    Pengobatan
Prinsip pengobatan GGA adalah sebagai berikut :
a.      Pengobatan Penyakit Dasar
Sekalipun GGA sudah terjadi (menetap), setiap faktor prarenal harus dikoreksi dengan
maksud memperbaiki sirkulasi dan mencegah keterlambatan penyembuhan faal ginjal.
Defisit volume sirkulasi oleh sebab apapun harus segera diatasi. Sebagai parameter dapat
digunakan pengukuran tekanan vena sentralis jika fasilitas ada, dengan demikian over hidrasi
bisa dicegah terhadap infeksi sebagai penyakit dasar harus diberikan pengobatan yang spesifik
sesuai dengan penyebabnya, jika obat-obatan, misalnya antibiotika diduga menjadi penyebabnya,
maka pemakaian obat-obatan ini harus segera dihentikan terhadap GGA akibat nefrotoksin harus
segera diberikan antidotumnya, sedangkan zat-zat yang dapat dialisis harus dilakukan dialisis
secepatnya.
a.      Pengaturan Diet
Selama 48-72 jam pertama fase oligurik terjadi peningkatan urea darah akibat pemecahan
jaringan yang hebat. Selama periode ini pemberian protein dari luar harus dihindarkan.
Umumnya untuk mengurangi katabolisme, diet paling sedikit harus mengandung 100 gram
karbohidrat per hari. Seratus gram glukosa dapat menekan katabolisme protein endogen
sebanyak kira-kira 50%.
Setelah 3-4 hari oligurik, kecepatan katabolisme jaringan berkurang dan pemberian
protein dalam diet dapat segera dimulai. Dianjurkan pemberian 20-40 gram protein per hari yang
mempunyai nilai biologis yang tinggi (mengandung asam amino esensial) seperti telur, susu dan
daging. Pada saat ini pemberian kalori harus dinaikkan menjadi 2000-2500 kalori per hari,
disertai dengan multivitamin.
Batasi makanan yang mengandung kalium dan fosfat (pisang, jeruk dan kopi). Pemberian
garam dibatasi yaitu, 0,5 gram per hari.
b.      Pengaturan kebutuhan cairan dan keseimbangan elektrolit
ü  Air (H2O)
Pada GGA kehilangan air disebabkan oleh diuresis, komplikasi-komplikasi (diare,
muntah). Produksi air endogen berasal dari pembakaran karbohidrat, lemak, dan protein yang
banyak kira-kira 300-400 ml per hari. Kebutuhan cairan perhari adalah 400-500 ml ditambah
pengeluaran selama 24 jam.
ü  Natrium (Na)
Selama fase oligurik asupan natrium harus dibatasi sampai 500 mg per 24 jam. Natrium
yang banyak hilang akibat diare, atau muntah-muntah harus segera diganti.
ü  Dialisis
Tindakan pengelolaan penderita GGA disamping secara konservatif, juga memerlukan
dialisis, baik dialisis peritoneal maupun hemodialisis. Tindakan ini dilaksanakan atas indikasi-
indikasi tertentu. Pemilihan tindakan dialisis peritonial atau hemodialisis didasarkan atas
pertimbangan-pertimbangan indivual penderita.
ü  Operasi
Pengelolaan GGA postrenal adalah tindakan pembedahan untuk dapat menhilangkan
obstruksinya. Kadang-kadang untuk dapat dilakukan operasi diperlukan persiapan tindakan
dialisis terlebih
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN MALNUTRISI
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
A.  Definisi
Malnutrisi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan keadaan kurang nutrisi,
terutama energi dan protein. Malnutrisi energi protein (MEP) merupakan keadaan tidak
cukupnya masukan protein dan kalori yang dibutuhkan oleh tubuh atau dikenal dengan nama
marasmus dan kwashiorkor. Kwashiorkor disebabkan oleh kekurangan protein baik dari segi
kualitas maupun segi kuantitas, sedangkan marasmus disebabkan oleh kekurangan kalori dan
protein.
B.  Etiologi
Malnutrisi berat pada bayi sering ada di daerah dengan makanan tidak cukup, informasi
teknik pemberian makan yang tidak cukup atau hiegene jelek. Gambaran klinik marasmus
berasal dari masukan kalori yang tidak cukup karena diet yang tidak cukup, kebiasaan makan
yang tidak tepat seperti mereka yang hubungan orang tua-anak terganggu dan anak dari keluarga
sosial ekonomi rendah, atau karena kelainan metabolik atau malformasi congenital. Gangguan
berat pada sistem tubuh dapat mengakibatkan malnutrisi.
Walaupun defisiensi kalori dan nutrient lain mempersulit gambaran klinik dan kimia,
gejala utama malnutrisi protein disebabkan karena masukan protein tidak cukup bernilai biologis
baik. Dapat juga karena penyerapan protein terganggu, seperti pada keadaan diare kronik,
kehilangan protein abnormal pada proteinuria (nefrosis), infeksi, perdarahan atau luka bakar, dan
gagal mensintesis protein seperti pada penyakit hati kronik.
Kwashiorkor merupakan sindrom klinis akibat dari defisiensi protein berat dan masukan
atau dari kehilangan yang berlebihan atau kenaikan angka metabolik yang disebabkan oleh
infeksi kronik, akibat defisiensi vitamin dan mineral dapat turut menimbulkan tanda-tanda dan
gejala-gejala tersebut. Bentuk malnutrisi yang paling serius dan paling menonjol di dunia saat ini
terutama berada di daerah industri belum berkembang. Kwashiorkor berarti “anak tersingkirkan”,
yaitu anak yang tidak lagi mengisap; dapat menjadi jelas sejak masa bayi awal sampai sekitar
usia 5 tahun, biasanya sesudah menyapih dari ASI. Walaupun penambahan tinggi dan berat
dipercepat dengan pengobatan, ukuran ini tidak pernah sama dengan tinggi dan berat badan anak
yang secara tetap bergizi baik.
 C. Manifestasi klinis
Adapun tanda dan gejala dari malnutrisi adalah sebagai berikut:

1. Kelelahan dan kekurangan energi


2. Pusing
3. Sistem kekebalan tubuh yang rendah (yang mengakibatkan tubuh kesulitan untuk melawan
infeksi)
4. Kulit yang kering dan bersisik
5. Gusi bengkak dan berdarah
6. Gigi yang membusuk
7. Sulit untuk berkonsentrasi dan mempunyai reaksi yang lambat
8. Berat badan kurang
9. Pertumbuhan yang lambat
10.  Kelemahan pada otot
11. Perut kembung
12. Tulang yang mudah patah
13. Terdapat masalah pada fungsi organ tubuh
D.Patofisiologi
Terjadinya kwashiorkor dapat diawali oleh faktor makanan yang kadar proteinnya kurang
dari kebutuhan tubuh sehingga akan kekurangan asam amino esensial dalam serum yang
diperlukan dalam pertumbuhan dan perbaikan sel. Kemudian produksi albumin dalam hati pun
berkurang, sehingga berbagai kemungkinan terjadi hipoproteinemia yang dapat menyebabkan
edema dan akhirnya menyebabkan asites, gangguan mata, kulit, dan lain-lain. Penyakit
kwashiorkor umumnya terjadi pada anak dari keluarga dengan sosial-ekonomi yang rendah
karena tidak mampu membeli bahan makanan yang mengandung protein hewani (seperti daging,
telur, hati, susu, dsb.). Sebenarnya protein nabati yang terdapat pada kedelai, kacang-kacangan
juga dapat menghindarkan kekurangan protein tersebut apabila diberikan, tetapi karena
kurangnya pengetahuan orang tua, anak menderita defisiensi protein ini.
Kwashiorkor biasanya dijumpai pada anak dengan golongan umur tertentu, yaitu bayi
pada masa disapih dan anak prasekolah (balita), karena pada umur ini relatif memerlukan lebih
banyak protein untuk tumbuh sebaik-baiknya. Walaupun defisiensi protein menjadi penyebab
utama penyakit ini, namun selalu disertai defisiensi berbagai nutrient lainnya. Pada kwashiorkor
yang klasik, gangguan metabolik dan perubahan sel menyebabkan edema dan perlemakan hati.
Kekurangan protein dalam diet akan menimbulkan kekurangan berbagai asam amino esensial
yang dibutuhkan untuk sintesis. Karena dalam diet terdapat cukup karbohidrat, maka produksi
insulin akan meningkat dan sebagian asam amino dalam serum yang jumlahnya sudah kurang
tersebut akan disalurkan ke otot. Berkurangnya asam amino dalam serum merupakan penyebab
kurangnya pembentukan albumin oleh hepar sehingga kemudian timbul edema. Perlemakan hati
terjadi karena gangguan pembentukan lipoprotein beta hingga transport lemak dari hati ke depot
lemak juga terganggu dan terjadi akumulasi lemak dalam hepar.
E.Klasifikasi
Kurang Energi Protein, secara umum dibedakan menjadi marasmus dan kwashiorkor.
a. Marasmus
adalah suatu keadaan kekurangan kalori protein berat. Namun, lebih kekurangan kalori daripada
protein. Penyebab marasmus adalah sebagai berikut :
1.      Intake kalori yang sedikit.
2.      Infeksi yang berat dan lama, terutama infeksi enteral.
3.      Kelainan struktur bawaan.
4.      Prematuritas dan penyakit pada masa neonates
5.      Pemberian ASI yang terlalu lama tanpa pemberian makanan tambahan
6.      Gangguan metabolism.
7.      Tumor hipotalamus.
8.      Penyapihan yang terlalu dini disertai dengan pemberian makanan yang    kurang.
9.      Urbanisasi.
 
b. Kwashiorkor
adalah suatu keadaan di mana tubuh kekurangan protein dalam jumlah besar. Selain itu,
penderita juga mengalami kekurangan kalori. Penyebabnya adalah :
1.      Intake protein yang buruk.
2.      Infeksi suatu penyakit.
3.      Masalah penyapihan.
 
Tabel Klasifikasi IMT Menurut WHO :
 

Klasifikasi        IMT (kg/ m2)

Malnutrisi berat < 16,0

Malnutrisi sedang 16,0 – 16,7

Berat badan kurang/ malnutrisi ringan 17,0 – 18,5

Berat badan normal 18,5 – 22,9

Berat badan kurang ≥ 23

Dengan resiko 23 – 24,9

Obes I 25 – 29,9

Obes II ≥ 30

 
F.Tanda dan Gejala
 Baik pasien dengan kurang gizi maupun gizi buruk, hampir selalu disertai defisiensi nutrient lain
selain kalori dan protein. Gejala yang timbul bergantung pada jenis nutrient yang kurang di
dalam dietnya, seperti :
1.   Kekurangan vitamin A, akan menderita defisiensi vitamin A (xeroftalmia). Vitamin A
berfungsi pada penglihatan (membantu regenerasi visual purple bila mata terkena cahaya).
Xeroftalmia berlanjut menjadi keratomalasia (buta).
2.   Defisiensi vitamin B1 (tiamin) disebut atiaminosis. Tiamin berfungsi sebagai koenzim dalam
metabolisme karbohidrat. Defisiensi vitamin B1 menyebabkan penyakit beri-beri dan
mengakibatkan kelainan saraf, mental, dan jantung.
3.   Defisiensi vitamin B2 atau ariboflavinosis. Vitamin B2 atau riboflavin berfungsi sebagai
koenzim pernapasan.
Kekurangan vitamin B2 menimbulkan stomatitis angularis (retak-retak pada sudut mulut),
glositis, kelainan kulit dan mata.
4.   Defisiensi vitamin B6 yang berperan dalam fungsi saraf.
5.   Defisiensi vitamin B12 dapat terjadi anemia pernisiosa. Vitamin B12 dianggap sebagai
komponen antianemia dalam faktor ekstrinsik.
6.   Defisiensi asam folat akan menyebabkan timbulnya anemia makrositik megaloblastik,
granulositopenia, dan trombositopenia.
7.   Defisiensi vitamin C menyebabkan skorbut (scurvy). Vitamin C diperlukan untuk
pembentukan jaringan kolagen oleh fibroblast karena merupakan bagian dalam pembentukan zat
intrasel. Kekurangan vitamin C akan mengganggu integrasi dinding kapiler. Vitamin C
diperlukan pula pada proses pematangan eritrosit, pembentukan tulang, dan dentin. Vitamin C
mempunyai peranan penting dalam respirasi jaringan.
8.   Defisiensi mineral seperti kalsium, fosfor, magnesium, zat besi, dengan segala akibatnya
missal osteoporosis tulang dan anemia, yang paling serius adalah kekurangan yodium karena
dapat menyebabkan gondok (goiter) yang merugikan tumbuh kembang anak
G. Gambaran Klinis
Gambaran klinis anak penderita malnutrisi adalah sebagai berikut:
1.Pertumbuhan terganggu, berat dan tinggi badan kurang dibandingkan dengan anak normal.
2. Perubahan mental (cengeng dan apatis).
3. Edema ringan maupun berat.
4. Gejala gastrointestinal, seperti anoreksia kadang hebat sehingga berbagai makanan ditolak.
Makanan hanya dapat diberikan melalui sonde.
Terkadang makanan yang sudah masuk dimuntahkan kembali. Diare hampir selalu ada. Hal
tersebut mungkin karena adanya gangguan fungsi hati, pancreas, dan usus. Sering terjadi
intoleransi susu sehingga pemberian susu menyebabkan diare bertambah.
5.  Perubahan rambut, sering dijumpai baik bentuk bangun maupun warna. Khas pada pasien
kwashiorkor, rambut kepala mudah dicabut, tampak kusam, kering, halus, jarang, dan berubah
warnanya menjadi putih. Tetapi pada bulu mata lebih panjang dari anak normal.
6. Kulit pasien biasanya kering dengan menunjukkan garis-garis kulit yang lebih dalam dan
lebar. Sering ditemukan hiperpigmentasi dan bersisik. Yang khas untuk penyakit kwashiorkor
yaitu crazy pavement dermatosis berupa bercak-bercak putih merah muda dengan tepi hitam
yang ditemukan pada bagian tubuh yang sering tertekan, misalnya di bokong, fosa poplitea, lutut,
buku kaki, dan lipat paha.
7.  Pembesaran hati , kadang-kadang batas hati setinggi pusat. Hati teraba kenyal, permukaannya
licin dan tepinya tajam. Pada hati yang membesar terdapat perlemakan hebat begitupun hati yang
tidak membesar.
8.   Anemia; bila pasien menderita cacingan, anemia lebih menjadi berat. Jenis anemia pada
pasien kwashiorkor yang terbanyak normositik normokrom, jumlah sel sistim eritropoietik
berkurang dalam sumsum tulang. Hypoplasia atau aplasia sumsum tulang ini disebabkan oleh
defisiensi protein dan infeksi yang menahun, defisiensi zat besi, kerusakan hati, insufisiensi
hormon, dan sebagainya.
9.   Kelainan kimia darah; kadar albumin serum rendah, kadar globulin normal atau sedikit
meninggi, sehingga perbandingan albumin/globulin terbalik kurang dari 1. Kadar kolestrerol
serum rendah.
10. Pada biopsy hati ditemukan perlemakan yang kadang-kadang demikian hebat, hampir semua
sel hati mengandung vakuol lemak besar, sering ditemukan tanda fibrosis, nekrosis, dan infiltrasi
sel mononukleus.
11. Hasil autopsy pasien kwashiorkor yang berat menunjukkan hampir semua organ mengalami
perubahan seperti degenerasi otot jantung, osteoporosis tulang, dan sebagainya.

 Ø manifestasi klinik marasmus pada mulanya ada kegagalan menaikkan berat badan,
disertai dengan kehilangan berat sampai berakibat kurus, dengan kehilangan turgor pada kulit
sehingga menjadi berkerut dan longgar karena lemak subkutan hilang.
 Ø manifestasi khusus klinik kwashiorkor tidak jelas tetapi meliputi letargi, apatis atau
iritabilitas. Bila terus maju, mengakibatkan pertumbuhan tidak cukup, kurang stamina,
kehilangan jaringan muskuler, bertambah kerentanan terhadap infeksi, dan edema.
Imunodefisiensi sekunder merupakan salah satu dari manifestasi yang paling serius dan konstan.
Misalnya campak. Penyakit yang relatif benigna pada anak gizi baik, dapat memburuk dan
mematikan pada anak malnutrisi
H. Pemeriksaan Diagnostik
Pada data laboratorium penurunan albumin serum merupakan perubahan yang paling
khas. Ketonuria sering ada pada stadium awal kekurangan makan tetapi seringkali menghilang
pada stadium akhir. Harga glukosa darah rendah, tetapi kurva toleransi glukosa dapat bertipe
diabetic. Ekskresi hidroksiprolin urin yang berhubungan dengan kreatinin dapat turun. Angka
asam amino esensial plasma dapat turun relatif terhadap angka asam amino non-esensial, dan
dapat menambah aminoasiduria. Defisiensi kalium dan magnesium sering ada. Kadar kolesterol
serum rendah, tetapi kadar ini kembali ke normal sesudah beberapa hari pengobatan. Angka
amilase, esterase, kolinesterase, transaminase, lipase dan alkalin fosfatase serum turun. Ada
penurunan aktivitas enzim pancreas dan santhin oksidase, tetapi angka ini kembali normal segera
sesudah mulai pengobatan. Anemia dapat normositil, mikrositik, atau makrositik. Tanda-tanda
defisiensi vitamin dan mineral biasanya jelas. Pertumbuhan tulang biasanya terlambat. Sekresi
hormon pertumbuhan mungkin bertambah.
Diagnosa banding kehilangan protein adalah infeksi kronik, penyakit yang menyebabkan
kehilangan protein berlebihan melalui urin atau tinja, dan keadaan ketidakmampuan metabolik
untuk mensintesis protein.
I.Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Medis
Prinsip pengobatan adalah makanan yang mengandung banyak protein bernilai tinggi, banyak
cairan, cukup vitamin dan mineral, masing-masing dalam bentuk yang sudah dicerna dan
diserap. Karena toleransi makanan masih rendah pada permulaan, maka makanan jangan
diberikan sekaligus banyak, tetapi dinaikkan bertahap setiap hari. Diperlukan makanan yang
mengandung protein 3-4 gram/ kg BB/ hari 150-175 kalori. Antibiotik diberikan jika terdapat
infeksi penyakit penyerta marasmus. Antibiotik efektif harus diberikan parenteral selama 5-10
hari.
Untuk dehidrasi ringan sampai sedang, cairan diberikan secara oral atau dengan pipa nasogastrik.
Bayi ASI harus disusui sesering ia menghendaki. Untuk dehidrasi berat, cairan intravena
diperlukan. Jika cairan intravena tidak dapat diberikan, infuse intraosseus (sumsum tulang) atau
intaperitoneal 70 ml/ kg larutan Ringer Laktat setengah kuat dapat menyelamatkan jiwa.
Penatalaksanaan Keperawatan
Pasien yang menderita defisiensi gizi tidak selalu dirawat di rumah sakit kecuali yang menderita
malnutrisi berat, kwashiorkor/ marasmik kwashiorkor atau melnutrisi dengan komplikasi
penyakit lainnya. Masalah pasien yang perlu diperhatikan ialah memenuhi kebutuhan gizi,
bahaya terjadi komplikasi, gangguan rasa aman dan nyaman/ psikososial, dan kurangnya
pengetahuan orang tua pasien mengenai makanan anak.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A.  Pengkajian Keperawatan
Data-data yang perlu dikaji adalah data-data yang didapatkan pada anak berkaitan dengan
malnutrisi (khas), sebagai berikut.
Anamnesa :
1.    Identitas.
2.    Keluhan utama.
3.    Riwayat kesehatan sekarang.
4.    Riwayat kesehatan yang lalu.
5.    Riwayat kesehatan keluarga.

Pemeriksaan fisik :
a. Pada anak penderita kwashiorkor ditemukan keluhan dan gejala, yaitu :
1)   Muka sembab.
2)   Letargi.
3)   Edema.
4)   Warna rambut pirang seperti rambut jagung.
5)   Alopesia (botak).
6)   Anoreksia (kurang nafsu makan).
7)   Anemia (anemis).
8)   Apatis.
9)   Gagal tumbuh.
10)  Pada pemeriksaan antropometri, berat badan dan tinggi badan mengalami keterlambatan.
11)  Jaringan otot mengecil (atrofi).
12)  Jaringan subkutan tipis dan lembut.
13)  Kulit bersisik.
 
b.  Pada anak penderita marasmus ditemukan keluhan dan gejala, yaitu :
1)        Kurus (perubahan berat badan).
2)        Tampak seperti orang tua (old face).
3)        Letargi.
4)        Ubun-ubun cekung pada bayi.
5)        Malaise.
6)        Asites.
7)        Apatis dan kelaparan.
8)        Pada pemeriksaan antropometri status gizi kurang.
9)        Turgor kulit rusak.
10)    Kulit berkeriput.
11)    Jaringan subkutan hilang.
 
Penunjang diagnosis; pemeriksaan yang sering dilakukan adalah :
1.    Pemeriksaan darah, umumnya didapatkan hasil :
a)    Hb dan eritrosit menurun.
b)   Leukosit normal, menurun, atau meningkat.
c)    Kadar albumin rendah.
d)   Kadar glukosa darah rendah.
e)    Kadar kolesterol serum rendah.
 
2.    Pemeriksaan urin, umumnya didapatkan hasil :
a)    Berat jenis urin.
b)   pH urin.
c)    Ketonuria.
d)   Ekskresi hidroksiprolin urin yang berhubungan dengan kreatinin turun.
3.    Pemeriksaan Chest X- Ray : Pembesaran hepar dan lien.
B.  Diagnosis/Masalah Keperawatan
Diagnosis atau masalah keperawatan yang terjadi pada bayi dengan malnutrisi energi protein
(kwashiorkor dan marasmus) antara lain :
1.      Kurang nutrisi (kurang dari kebutuhan).
2.      Kurang volume cairan.
3.      Gangguan integritas kulit.
4.      Risiko infeksi.
5.      Kurang pengetahuan.
C.  Intervensi/Rencana Tindakan Keperawatan
1.      Kurang Nutrisi (Kurang Dari Kebutuhan)
Masalah kurang nutrisi (kurang dari kebutuhan) pada anak dengan malnutrisi energi dan protein
(kwashiorkor dan marasmus) ini disebabkan nafsu makan menurun yang juga dikarenakan
gangguan pada saluran pencernaan, kurangnya enzim yang diperlukan dalam pencernaan
makanan atau juga adanya atrofi vili usus sehingga dapat mengganggu proses penyerapan.
Tujuan rencana keperawatan yang dapat dilakukan adalah mengatasi masalah kurang nutrisi
(kurang dari kebutuhan) agar proses metabolisme dalam tubuh kembali normal..
2.      Kurang Volume Cairan
Kekurangan volume cairan pada malnutrisi energi protein dapat disebabkan karena kemampuan
proses penyerapan yang kurang dan berkembang biaknya flora usus yang selanjutnya
menimbulkan diare. Untuk itu, rencana tindakan yang dapat dilakukan adalah mengatasi
kekurangan volume cairan melalui peningkatan hidrasi. Tanda keberhasilan upaya hidrasi yang
ditunjukkan dengan tidak cekungnya daerah ubun-ubun, turgor kulit normal, membrane mukosa
lembap, dan jumlah serta berat jenis urin kembali normal.
3.      Gangguan Integritas Kulit
Terjadinya gangguan integritas kulit disebabkan karena tubuh mengalami kekurangan zat gizi
zeperti kalori dan protein sehingga memudahkan terjadi kerusakan pada kulit, sangat mudah
lecet. Untuk mengatasi masalah tersebut, integritas kulit perlu ditingkatkan. Peningkatannya
dapat ditunjukkan oleh kulit yang tidak bersisik, tidak kering, dan elastisitasnya normal.
4.      Risiko Infeksi
Risiko infeksi ini kemungkinan dapat ditemukan pada kurang kalori protein karena penurunan
daya tahan tubuh khususnya sistem kekebalan seluler, mengingat kekurangan zat gizi. Risiko
infeksi yang dapat ditimbulkan seperti bronkopneumonia, dan tuberculosis.
5.      Kurang Pengetahuan
Masalah kurang pengetahuan pada anak dengan malnutrisi energi protein ini banyak dijumpai
pada anak dengan keluarga berpendidikan rendah dengan sosial ekonomi lemah. Hal tersebut
dapat juga disebabkan karena minimnya informasi tentang penyediaan cara pemberian makan
pada anak dengan gizi yang seimbang. Untuk itu, rencana keperawatan yang dapat dilakukan
adalah dengan meningkatkan pengetahuan keluarga.
D.  Implementasi/Tindakan Keperawatan
a. Kurang nutrisi (kurang dari kebutuhan), tindakan yang dilakukan :
1)   lakukan pengaturan makanan dengan berbagai tahap, salah satunya adalah tahap penyesuaian
yang dimulai dari pemberian kalori sebanyak 50 kal/ kg bb/ hari dalam cairan 200 ml/ kg bb/ hari
pada kwashiorkor dan 250 ml/ kg bb/ hari pada marasmus.
2)   Berikan makanan tinggi kalori (3-4 gram/ kg bb/ hari) dan tinggi protein (160-175 gram/ kg
bb/ hari) pada kekurangan energi dan protein berat, serta berikan mineral dan vitamin.
3)  Pada bayi berat badan kurang dari 7 kg berikan susu rendah laktosa (low lactose milk-LLM)
dengan cara 1/3 LLM ditambah glukosa 10% tiap 100 ml susu ditambah 5 gram glukolin untuk
mencegah hipoglikemia selama 1-3 hari kemudian, pada hari berikutnya 2/3.
4)  Apabila berat badan lebih dari 7 kg maka pemberian makanan dimulai dengan makanan
bentuk cair selama 1-2 hari, lanjutkan bentuk lunak, tim, dan seterusnya, dan lakukan pemberian
kalori mulai dari 50 kal/ kg bb/ hari.
5)   Lakukan evaluasi pola makan, berat badan, tanda perubahan kebutuhan nutrisi; seperti
turgor, nafsu makan, kemampuan absorpsi, bising usus, dan tanda vital
b. Kurang volume cairan, tindakan yang dilakukan :
1)      Berikan cairan tubuh yang cukup melalui rehidrasi jika terjadi dehidrasi.
2)      Monitor keseimbangan cairan tubuh dengan mengukur asupan dan keluaran, dengan cara
mengukur berat jenis urin.
3)      Pantau terjadinya kelebihan cairan serta perubahan status dehidrasi.
4)      Berikan penjelasan terhadap makanan yang dianjurkan untuk membantu proses
penyerapan, seperti tinggi kalori, tinggi protein, mengandung vitamin, dan mineral.
5)      Lihat pengelolaan diare.

1. Gangguan integritas kulit, tindakan yang dilakukan :


 
1)      Pertahankan agar kulit tetap bersih dan kering dengan cara memandikan dua kali sehari
dengan air hangat dan apabila kotor atau basah segera ganti pakaian. Keringkan daerah basah
dengan memberikan bedak (krim kulit).
2)      Lakukan pergantian posisi tidur setiap 2-3 jam dengan dan lakukan pembersihan pada
daerah yang tertekan dengan air hangat, jika perlu gunakan alat matras yang lembut.
3)      Berikan suplemen vitamin.
4)      Berikan penjelasan untuk menghindari penggunaan sabun yang dapat mengiritasi kulit.
5)      Monitor keutuhan kulit setia 6-8 jam.
d. Risiko infeksi, tindakan yang dilakukan :
1)      Gunakan standar kehati-hatian umum (universal precaution) seperti dalam mencuci tangan,
menjaga kebersihan, cara kontak dengan pasien, dan menghindarkan anak dari penyakit infeksi.
2)      Berikan imunisasi pada anak yang belum diimunisasi sesuai dengan jadwal imunisasi.
3)      Pantau adanya tanda lanjut dari infeksi, seperti mengkaji suhu, nadi, leukosit, atau tanda
infeksi lainnya.
e. Kurang pengetahuan, tindakan yang dilakukan :
1)      Ajarkan pada keluarga tentang cara pemenuhan kebutuhan nutrisi dengan gizi yang
seimbang dengan mendemonstrasikan atau memberikan contoh bahan makanan, cara memilih
dan memasak, serta tunjukkan makanan pengganti protein hewani apabila dirasakan mahal,
seperti tempe, tahu, atau makanan yang dibuat dari kacang-kacangan.
2)      Anjurkan untuk aktif dalam kegiatan posyandu agar pemantauan status gizi dan pemberian
makanan tambahan dapat diatasi.
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN JUVENILE DM
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
        Definisi
Diabetes  Melitus Tipe-1 merupakan kelainan sistematik akibat gangguan metabolisme
glukosa yang ditandai oleh hiperglikemia kronik. Keadaan ini disebabkan oleh kerusakan sel-β
pankreas baik oleh proses autoimun maupun idiopatik sehingga produksi insulin berkurang atau
berhenti.
Diabetes mellitus tipe 1 (Diabetes Juvenile), dahulu disebut insulin-dependent
diabetes (IDDM, diabetes yang bergantung pada insulin), dicirikan dengan rusaknya sel-
β penghasil insulin pada pulau-pulau Langerhans sehingga terjadi kekurangan insulin pada
tubuh. Diabetes tipe ini dapat diderita oleh anak-anak maupun orang dewasa.
Dalam kondisi normal, sistem kekebalan tubuh akan menyerang dan membentengi tubuh
dari bakteri dan substansi-substansi atau virus yang menyusup ke dalam tubuh. Namun pada
diabetes tipe 1, tanpa alasan yang pasti, sistem imun menyerang pankreas serta menghancurkan
sel beta dan menyebabkan terhambatnya produksi hormon insulin.
Penderita diabetes tipe-1 hanya memproduksi insulin dalam jumlah yang sangat sedikit
atau bahkan tidak sama sekali. Akibatnya glukosa dalam darah semakin meningkat
(hiperglikemia) dan sel-sel tubuh tidak mendapatkan asupan energi yang cukup. Kondisi tersebut
dapat menyebabkan :
a.                Dehidrasi
Tingginya kadar gula dalam darah akan meningkatkan frekuensi urinasi (buang air kecil)
sebagai reaksi untuk mengurangi kadar gula. Saat gula darah keluar bersama urine, tubuh juga
akan kehilangan banyak air, sehingga mengakibatkan dehidrasi.
b.      Kehilangan berat badan
Gula dalam darah (glukosa) merupakan sumber energi bagi tubuh. Glukosa yang
terbuang bersama urin juga mengandung banyak nutrisi dan kalori yang diperlukan tubuh
manusia. Oleh karena itu penderita diabetes tipe 1 juga akan kehilangan berat badannya secara
drastis.
c.                Kerusakan tubuh
Tingginya level gula dalam darah akan menyebabkan kerusakan pada jaringan tubuh.
Kondisi ini juga akan merusak pembuluh darah kecil pada mata, ginjal dan jantung. Penderita
diabetes beresiko tinggi mengalami serangan jantung dan stroke.
Sampai saat ini diabetes tipe 1 tidak dapat dicegah. Kebanyakan penderita
diabetes tipe 1 memiliki kesehatan dan berat badan yang baik saat penyakit ini mulai dideritanya.
Selain itu, sensitivitas maupun respons tubuh terhadap insulin umumnya normal pada penderita
diabetes tipe ini, terutama pada tahap awal.
Penyebab terbanyak dari kehilangan sel beta pada diabetes tipe 1 adalah kesalahan reaksi
autoimunitas yang menghancurkan sel beta pankreas. Reaksi autoimunitas tersebut dapat dipicu
oleh adanya infeksi pada tubuh.
2        Epidemiologi
Insidens DM tipe-1 sangat bervariasi baik antar negara maupun didalam suatu negara.
Insidens tertinggi terdapat di Finlandia yaitu 43/100.000 dan insidens yang rendah di Jepang
yaitu 2,4/100.000 dan di Cina 0,1/100.000 untuk usia kurang 15 tahun. Insidens DM tipe-1 lebih
tinggi pada ras kaukasia dibandingkan ras-ras lainnya.
Berdasarkan data dari rumah sakit terdapat 2 puncak insidens DM tipe-1 pada anak yaitu
usia 5-6 tahun dan 11 tahun.
3        Etiologi
Dokter dan para ahli belum mengetahui secara pasti penyebab diabetes tipe- 1. Namun
yang pasti penyebab utama diabetes tipe 1 adalah faktor genetik/keturunan. Resiko
perkembangan diabetes tipe 1 akan diwariskan melalui faktor genetik.
a.                Faktor Genetik
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri; tetapi mewarisi suatu
predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya DM tipe I. Kecenderungan genetik
ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA (human leucosite antigen). HLA
merupakan kumpulan gen yang bertanggung jawab atas antigen transplantasi dan proses imun
lainnya.
b.      Faktor-faktor Imunologi
Adanya respons autotoimun yang merupakan respons abnormal dimana antibodi terarah
pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya
seolah-olah sebagai jaringan asing, yaitu autoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans dan
insulin endogen.
c.   Faktor lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan destruksi sel beta.
4        Klasifikasi
Klasifikasi DM tipe 1, berdasarkan etiologi sebagai berikut :
Pada DM tipe I, dikenal 2 bentuk dengan patofisiologi yang berbeda.
a.       Tipe IA, diduga pengaruh genetik dan lingkungan memegang peran utama untuk terjadinya
kerusakan pankreas. HLA-DR4 ditemukan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan
fenomena ini.
b.      Tipe IB berhubungan dengan keadaan autoimun primer pada sekelompok penderita yang juga
sering menunjukkan manifestasi autoimun lainnya, seperti Hashimoto disease, Graves disease,
pernicious anemia, dan myasthenia gravis. Keadaan ini berhubungan dengan antigen HLA-DR3
dan muncul pada usia sekitar 30 - 50 tahun.
5        Patofisiologi
Diabetes tipe-1 disebabkan oleh infeksi atau toksin lingkungan yang menyerang orang
dengan sistem imun yang secara genetis merupakan predisposisi untuk terjadinya suatu respon
autoimun yang kuat yang menyerang antigen sel B pankreas. Faktor ekstrinsik yang diduga
mempengaruhi fungsi sel B meliputi kerusakan yang disebabkan oleh virus, seperti virus
penyakit gondok (mumps) dan virus coxsackie B4, oleh agen kimia yang bersifat toksik, atau
oleh sitotoksin perusak dan antibodi yang dirilis oleh imunosit yang disensitisasi. Suatu
kerusakan genetis yang mendasari yang berhubungan dengan  replikasi atau fungsi sel B
pankreas dapat menyebabkan predisposisi terjadinya kegagalan sel B setelah infeksi virus.
Lagipula, gen-gen HLA yang khusus diduga meningkatkan kerentanan terhadap virus
diabetogenik atau mungkin dikaitkan dengan gen-gen yang merespon sistem imun tertentu yang
menyebabkan terjadinya predisposisi pada pasien sehingga terjadi respon autoimun terhadap sel-
sel pulaunya (islets of Langerhans) sendiri atau yang dikenal dengan istilah autoregresi.
Diabetes tipe 1 merupakan bentuk diabetes parah yang berhubungan dengan terjadinya
ketosis apabila tidak diobati. Diabetes ini muncul ketika pankreas sebagai pabrik insulin tidak
dapat atau kurang mampu memproduksi insulin. Akibatnya, insulin tubuh kurang atau tidak ada
sama sekali. Penurunan jumlah insulin menyebabkan gangguan jalur metabolik antaranya
penurunan glikolisis (pemecahan glukosa menjadi air dan karbondioksida), peningkatan
glikogenesis (pemecahan glikogen menjadi glukosa), terjadinya glukoneogenesis.
Glukoneogenesis merupakan proses pembuatan glukosa dari asam amino, laktat, dan gliserol
yang dilakukan counterregulatory hormone (glukagon, epinefrin, dan kortisol). Tanpa insulin,
sintesis dan pengambilan protein, trigliserida , asam lemak, dan gliserol dalam sel akan
terganggu. Seharusnya terjadi lipogenesis namun yang terjadi adalah lipolisis yang menghasilkan
badan keton.Glukosa menjadi menumpuk dalam peredaran darah karena tidak dapat diangkut ke
dalam sel. Kadar glukosa lebih dari 180 mg/dL  ginjal tidak dapat mereabsorbsi glukosa dari
glomelurus sehingga timbul glikosuria. Glukosa menarik air dan menyebabkan osmotik diuretik
dan menyebabkan poliuria. Poliuria menyebabkan hilangnya elektrolit lewat urin, terutama
natrium, klorida, kalium, dan fosfat merangsang rasa haus dan peningkatan asupan air
(polidipsi). Sel tubuh kekurangan bahan bakar (cell starvation) pasien merasa lapar dan
peningkatan asupan makanan (polifagia).
Biasanya, diabetes tipe ini sering terjadi pada anak dan remaja tetapi kadang-kadang juga
terjadi pada orang dewasa, khususnya yang  non obesitas dan mereka yang berusia lanjut ketika
hiperglikemia tampak pertama kali. Keadaan tersebut merupakan suatu gangguan katabolisme
yang disebabkan karena hampir tidak terdapat insulin dalam sirkulasi, glukagon plasma
meningkat dan sel-sel B pankreas gagal merespon semua stimulus insulinogenik. Oleh karena
itu, diperlukan pemberian insulin eksogen untuk memperbaiki katabolisme, mencegah ketosis,
dan menurunkan hiperglukagonemia dan peningkatan kadar glukosa darah (Tandra,2007).
Perbedaan antara DM Tipe 1 dengan Tipe 2 adalah sebagai barikut :
DM Tipe 1 DM Tipe 2

Penderita menghasilkan sedikit insulin atau sama Pankreas tetap menghasilkan insulin, kadang
sekali tidak menghasilkan insulin. kadarnya lebih tinggi dari normal. Tetapi tubuh
membentuk kekebalan terhadap efeknya, sehingga
terjadi kekurangan insulin relatif.

Umumnya terjadi sebelum usia 30 tahun, yaitu Bisa terjadi pada anak-anak dan dewasa, tetapi
anak-anak dan remaja. biasanya terjadi setelah usia 30 tahun.

Para ilmuwan percaya bahwa faktor lingkungan Faktor resiko untuk diabetes tipe 2 adalah obesitas
(berupa infeksi virus atau faktor gizi pada masa dimana sekitar 80-90% penderita mengalami
kanak-kanak atau dewasa awal) menyebabkan obesitas. Tipe 2 merupakan suatu proses jangka
sistem kekebalan menghancurkan sel penghasil panjang dalam tubuh dimana pola hidup dan pola
insulin di pankreas. Untuk terjadinya hal ini makan yang salah membuat organ tubuh menjadi
diperlukan kecenderungan genetik. rusak, dan tidak mampu berfungsi baik lagi.

90% sel penghasil insulin (sel beta) mengalami Diabetes Mellitus tipe 2 juga cenderung diturunkan
kerusakan permanen. Terjadi kekurangan insulin secara genetik dalam keluarga.
yang berat dan penderita harus mendapatkan
suntikan insulin secara teratur.
6       Manifestasi Klinis
Keluhan umum pasien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia pada DM umumnya
tidak ada. Sebaliknya yang sering mengganggu pasien adalah keluhan akibat komplikasi
degeneratif kronik pada pembuluh darah dan saraf.
Manifestasi klinis DM tipe 1 sama dengan manifestasi pada DM tahap awal, yang  sering
ditemukan :
a)        Poliuri (banyak kencing)
Hal ini disebabkan oleh karena kadar glukosa darah meningkat sampai melampaui daya
serap ginjal terhadap glukosa sehingga terjadi osmotic diuresis yang mana gula banyak menarik
cairan dan elektrolit sehingga klien mengeluh banyak kencing.
b)        Polidipsi (banyak minum)
Hal ini disebabkan pembakaran terlalu banyak dan kehilangan cairan banyak karena
poliuri, sehingga untuk mengimbangi klien lebih banyak minum.
c)        Polifagia (banyak makan)
Hal ini disebabkan karena glukosa tidak sampai ke sel-sel mengalami starvasi (lapar).
Sehingga untuk memenuhinya klien akan terus makan. Tetapi walaupun klien banyak makan,
tetap saja makanan tersebut hanya akan berada sampai pada pembuluh darah.
d)        Berat badan menurun, lemas, lekas lelah, tenaga kurang.
Hal ini disebabkan kehabisan glikogen yang telah dilebur jadi glukosa, maka tubuh
berusama mendapat peleburan zat dari bahagian tubuh yang lain yaitu lemak dan protein, karena
tubuh terus merasakan lapar, maka tubuh selanjutnya akan memecah cadangan makanan yang
ada di tubuh termasuk yang berada di jaringan otot dan lemak sehingga klien dengan DM
walaupun banyak makan akan tetap kurus.
e)        Mata kabur
Hal ini disebabkan oleh gangguan lintas polibi (glukosa – sarbitol fruktasi) yang
disebabkan karena insufisiensi insulin. Akibat terdapat penimbunan sarbitol dari lensa, sehingga
menyebabkan pembentukan katarak.
f)           Ketoasidosis.
Anak dengan DM tipe-1 cepat sekali menjurus ke-dalam ketoasidosis diabetik yang
disertai atau tanpa koma dengan prognosis yang kurang baik bila tidak diterapi dengan baik.
7        Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
1.      Pemeriksaan Fisik
a.       Inspeksi               :           pada DM tipe 1 didapatkan klien mengeluh kehausan, klien
tampak banyak makan, klien tampak kurus dengan berat badan menurun, terdapat penutunan
lapang pandang, klien tampak lemah dan mengalam penurunan tonus otot.
b.      Palpasi               :           denyut nadi meningkat, tekanan darah meningkat yang
menandakan terjadi hipertensi.
c.       Auskultasi           :           adanya peningkatan tekanan darah
2.      Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dlakukan pada DM tipe 1 dan 2 umumnya tidak jauh
berbeda. 
a.       Glukosa darah : meningkat 200-100 mg/dL
b.      Aseton plasma (keton) : positif secara mencolok
c.       Asam lemak bebas : kadar lipid dan kolesterol meningkat
d.      Osmolalitas serum : meningkat tetapi biasanya kurang dari 330 mOsm/l
e.       Elektrolit :
                                  i.          Natrium : mungkin normal, meningkat, atau menurun
                                      ii.          Kalium : normal atau peningkatan semu ( perpindahan seluler), selanjutnya akan
menurun.
                                    iii.          Fosfor : lebih sering menurun
f.       Hemoglobin glikosilat : kadarnya meningkat 2-4 kali lipat dari normal yang mencerminkan
control DM yang kurang selama 4 bulan terakhir ( lama hidup SDM) dan karenanaya sangat
bermanfaat untuk membedakan DKA dengan control tidak adekuat versus DKA yang
berhubungan dengan insiden ( mis, ISK baru)
g.      Gas Darah Arteri : biasanya menunjukkan pH rendah dan penurunan pada HCO3 ( asidosis
metabolic) dengan kompensasi alkalosis respiratorik.
h.      Trombosit darah : Ht mungkin meningkat ( dehidrasi) ; leukositosis : hemokonsentrasi
;merupakan respon terhadap stress atau infeksi.
i.        Ureum / kreatinin : mungkin meningkat atau normal ( dehidrasi/ penurunan fungsi ginjal)
j.        Amilase darah : mungkin meningkat yang mengindikasikan adanya pancreatitis akut sebagai
penyebab dari DKA.
k.      Insulin darah : mungkin menurun / atau bahkan sampai tidak ada ( pada tipe 1) atau normal
sampai tinggi ( pada tipe II) yang mengindikasikan insufisiensi insulin/ gangguan dalam
penggunaannya (endogen/eksogen). Resisten insulin dapat berkembang sekunder terhadap
pembentukan antibody. ( autoantibody)
l.        Pemeriksaan fungsi tiroid : peningkatan aktivitas hormone tiroid dapat meningkatkan glukosa
darah dan kebutuhan akan insulin.
m.    Urine : gula dan aseton positif : berat jenis dan osmolalitas mungkin meningkat.
n.      Kultur dan sensitivitas : kemungkinan adanya infeksi pada saluran kemih, infeksi pernafasan
dan infeksi pada luka.
8        Penatalaksanaan
Ada enam cara dalam penatalaksanaan DM tipe 1   meliputi:
1.      Pemberian insulin
Yang harus diperhatikan dalam pemberian insulin adalah jenis, dosis, kapan pemberian,
dan cara penyuntikan serta penyimpanan. Terdapat berbagai jenis insulin berdasarkan asal
maupun lama kerjanya, menjadi kerja cepat/rapid acting, kerja pendek(regular/soluble),
menengah, panjang, dan campuran.
Penatalaksanaan Terapi Insulin.
                            a.      pemberian /penyuntikan hormone insulin
                           b.      Indikasi dan kontra indikasi pemberian /penyuntikan  hormone Cara insulin.
                            c.      Efek samping pemberian / penyuntikan hormone insulin.dll
Suntikan insulin untuk pengobatan diabetes dinamakan terapi insulin. Tujuan terapi ini
terutama untuk :
1)   Mempertahankan glukosa darah dalam kadar yang normal atau mendekati normal.
2)   Menghambat kemungkinan timbulnya komplikasi kronis pada diabetes.
Keberhasilan terapi insulin juga tergantung terhadap gaya hidup seperti program diet dan
olahraga secara teratur.
Indikasi penggunaan terapi insulin harus memenuhi kriteria di bawah ini :
a.       Menggunakan insulin lebih dari 3 kali sehari
b.      Kadar glukosa darah sering tidak teratur
c.       Ingin mengurangi resiko hipoglikemi
d.      Ingin mengurangi resiko komplikasi yang berkelanjutan
e.       Ingin lebih bebas beraktifitas dan gaya hidup yang lebih fleksibel
Enam tipe insulin berdasarkan mulai kerja, puncak, dan lama kerja insulin tersebut, yakni :
1.      Insulin Kerja Cepat (Short-acting Insulin)
2.      Insulin Kerja Sangat Cepat (Quick-Acting Insulin)
3.      Insulin Kerja Sedang (Intermediate-Acting Insulin)
4.      Mixed Insulin
5.      Insulin Kerja Panjang (Long-Acting Insulin)
6.      Insulin Kerja Sangat Panjang (Very Long Acting Insulin)
Cara Pemberian Insulin
Struktur kimia hormon insulin bisa rusak oleh proses pencernaan sehingga insulin tidak
bisa diberikan melalui tablet atau pil. Satu-satunya jalan pemberian insulin adalah melalui
suntikan, bisa suntikan di bawah kulit (subcutan/SC), suntikan ke dalam otot
(intramuscular/IM), atau suntukan ke dalam pembuluh vena (intravena/IV). Ada pula yang
dipakai secara terus menerus dengan pompa (insulin pump/CSII) atau sistem tembak (tekan
semprot) ke dalam kulit (insulin medijector).
Dosis anak bervariasi berkisar antara 0,7-1,0 U/kg per hari. Dosis insulin ini berkurang
sedikit pada adanya fase remisi yang dikenal sebagai honeymoon periode dan kemudian
meningkat pada saat pubertas.
Saat awal pengobatan insulin diberikan 3-4 kali injeksi. Bila dosis optimal dapat
diperoleh, diusahakan untuk mengurangi jumlah suntikan menjadi 2 kali dengan menggunakan
insulin kerja mengengah atau kombinasi kerja pendekb dan menengah (split-mix regimen).
Penyuntikan setiap hari secara subkutan dipaha, lengan atas, sekitar umbilicus secara bergantian.
Insulin sebaiknya disimpan dalam lemari es pada suhu 4-8 0C.
2.      Pengaturan makan/diet
                        a.          Jumlah kebutuhan kalori untuk anak usia 1 tahun sampai dengan usia pubertas dapat
juga ditentukan dengan rumus sebagai berikut :
1000 + (usia dalam tahun x 100) = ....... Kalori/hari
                        b.          Komposisi sumber kalori per hari sebaiknya terdiri atas : 50-55% karbohidrat, 10-
15% protein (semakin menurun dengan bertambahnya umur), dan 30-35% lemak.
                        c.          Pembagian kalori per 24 jam diberikan 3 kali makanan utama dan 3 kali makanan
kecil sebagai berikut :
a)         20% berupa makan pagi.
b)         10% berupa makanan kecil.
c)         25% berupa makan siang.
d)        10% berupa makanan kecil.
e)         25% berupa makan malam.
f)          10% berupa makanan kecil.
Dari sisi makanan penderita diabetes atau kencing manis lebih dianjurkan mengkonsumsi
karbohidrat berserat seperti kacang-kacangan, sayuran, buah segar seperti pepaya, kedondong,
apel, tomat, salak, semangka dll. Sedangkan buah-buahan yang terlalu manis seperti sawo, jeruk,
nanas, rambutan, durian, nangka, anggur, tidak dianjurkan.
Menurut peneliti gizi asal Universitas Airlangga, Surabaya, Prof. Dr. Dr. H. Askandar
Tjokroprawiro, menggolongkan diet atas dua bagian, A dan B. Diet B dengan komposisi 68%
karbohidrat, 20% lemak, dan 12% protein, lebih cocok buat orang Indonesia dibandingkan
dengan diet A yang terdiri atas 40 – 50% karbohidrat, 30 – 35% lemak dan 20 – 25% protein.
Diet B selain mengandung karbohidrat lumayan tinggi, juga kaya serat dan rendah kolesterol.
Berdasarkan penelitian, diet tinggi karbohidrat kompleks dalam dosis terbagi, dapat memperbaiki
kepekaan sel beta pankreas.
Serat makanan
Tipe diet ini berperan dalam penurunan kadar total kolesterol dan LDL (low-density
lipoprotein) kolesterol dalm darah. Peningkatan kandungan serat dalam diet dapat pula
memperbaiki kadar glukosa darah sehingga kebutuhan insulin dari luar dapat dikurangi.
Mekanisme kerja serat terlarut diperkirakan berhubungan dengan pembentukan gel dalam
traktus gastrointestinal. Gel ini akan memperlambat pengosongan lambung dan gerakan makanan
yang melalui saluran cerna bagian atas. Efek penurunan glukosa yang potensial oleh serat
makanan tersebut mungkin disebabkan oleh kecepatan absorpsi glukosa yang lebih lambat.
Sementara itu tingginya serat dalam sayuran jenis A(bayam, buncis, kacang panjang,
jagung muda, labu siam, wortel, pare, nangka muda) ditambah sayuran jenis B (kembang kol,
jamur segar, seledri, taoge, ketimun, gambas, cabai hijau, labu air, terung, tomat, sawi) akan
menekan kenaikan kadar glukosa dan kolesterol darah. Bawang merah dan putih (berkhasiat 10
kali bawang merah) serta buncis baik sekali jika ditambahkan dalam diet diabetes karena secara
bersama-sama dapat menurunkan kadar lemak darah dan glukosa darah.
Alkohol
Alkohol dapat menurunkan reaksi fisiologi normal dalam tubuh yang memproduksi
glukosa (glukoneogenesis). Jadi, jika seorang penderita diabetes minum minuman beralkohol
pada saat lambung kosong, maka kemungkinan terjadinya hipoglikemia akan meningkat.
Konsumsi alcohol yang berlebihan  dapat menggganggu kemampuan seseorang untuk
mengidentifikasi serta mengatasi keadaan hipoglikemia dengan tepat dan mengikuti rencana
makan yang sudah diresepkan untuk mencegah hipoglikemian.
3.      Olahraga
Dianjurkan latihan jasmani teratur 3-4 kali tiap minggu selam kurang lebih 30 menit yang
sifatnya sesuai CRIPE (Continous Rytmical Interval Progressive Endurance Training). Latihan
yang dapa dijadikan pilihan adalah jalan kaki, jogging, lari, renang, dan bersepeda.
4.      Obat hipoglikemik oral (OHO)
Jika pasien telah melakukan pengturan makan dan kegiatan jasmani yang teratur, tetapi
kadar glukosa darahnya masih belum baik, dipertimbangkan pemakaian obat berhasiat
hipoglikemik.
a.       Sulfoniurea
Berfungsi untuk menstimulasin pelepasan insulin yang tersimpan, menurunkan ambang sekresi
insulin, meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa.
b.      Biguanid
Menurunkan kadar glukosa darah tapi tidak sampai di bawah normal. Dianjurkan untuk pasien
gemuk.
c.       Inhibitor α glukosidase
Bersifat kompetitif menghambat kerja enzim α glukosidase sehingga menurunkan penyerapan
glukosa dan menurunkan hiperglikemia pascaprandial.
d.      Insulin sentizing agent
Berfungsi meningkatkan sensitifitas insulin tanpa menyebabkan hipoglikemia.
5.      Edukasi
Kegiatan edukasi meliputi pemahaman dan pengertian penyakit dan komplikasinya,
memotivasi penderita dan keluarga agar patuh berobat.
6.      Pemantauan mandiri/home monitoring
Pasien serta keluarga harus dapat melakukan pemantauan kadar glukosa darah dan
penyakitnya di rumah. Halini sangat diperlukan karenasangat menunjang upaya pencapaian
normoglikemia. Pamantauan dapat dilakukan secara langsung (darah) dan secara tidak langsung
(urin).
9   Komplikasi
Komplikasi DM baik pada DM tipe 1 maupun 2, dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu
komplikasi akut dan komplikasi menahun.
                   a.      Komplikasi Metabolik Akut
1)   Ketoasidosis Diabetik (khusus pada DM tipe 1)
Apabila kadar insulin sangat menurun, pasien mengalami hiperglikemi dan glukosuria berat,
penurunan glikogenesis, peningkatan glikolisis, dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas
disertai penumpukkan benda keton, peningkatan keton dalam plasma mengakibatkan ketosis,
peningkatan ion hidrogen dan asidosis metabolik. Glukosuria dan ketonuria juga mengakibatkan
diuresis osmotik dengan hasil akhir dehidasi dan kehilangan elektrolit sehingga hipertensi dan
mengalami syok yang akhirnya klien dapat koma dan meninggal.
2)                  Hipoglikemi
Seseorang yang memiliki Diabetes Mellitus dikatakan mengalami hipoglikemia jika kadar
glukosa darah kurang dari 50 mg/dl. Hipoglikemia dapat terjadi akibat lupa atau terlambat makan
sedangkan penderita mendapatkan therapi insulin, akibat latihan fisik yang lebih berat dari
biasanya tanpa suplemen kalori tambahan, ataupun akibat penurunan dosis insulin. Hipoglikemia
umumnya ditandai oleh pucat, takikardi, gelisah, lemah, lapar, palpitasi, berkeringat dingin, mata
berkunang-kunang, tremor, pusing/sakit kepala yang disebabkan oleh pelepasan epinefrin, juga
akibat kekurangan glukosa dalam otak akan menunjukkan gejala-gejala seperti tingkah laku
aneh, sensorium yang tumpul, dan pada akhirnya terjadi penurunan kesadaran dan koma.
    b.          Komplikasi Vaskular Jangka Panjang (pada DM tipe 1 biasanya terjadi memasuki tahun ke
5)
1)                  Mikroangiopaty
Merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang kapiler dan arteriola retina (retinopaty
diabetik), glomerulus ginjal (nefropatik diabetic/dijumpai pada 1 diantara 3 penderita DM tipe-
1), syaraf-syaraf perifer (neuropaty diabetik), otot-otot dan kulit. Manifestasi klinis retinopati
berupa mikroaneurisma (pelebaran sakular yang kecil) dari arteriola retina. Akibat terjadi
perdarahan, neovasklarisasi dan jaringan parut retina yang dapat mengakibatkan
kebutaan. Manifestasi dini nefropaty berupa protein urin dan hipetensi jika hilangnya fungsi
nefron terus berkelanjutan, pasien akan menderita insufisiensi ginjal dan uremia. Neuropaty dan
katarak timbul sebagai akibat gangguan jalur poliol (glukosa—sorbitol—fruktosa) akibat
kekurangan insulin. Penimbunan sorbitol dalam lensa mengakibatkan katarak dan kebutaan. Pada
jaringan syaraf terjadi penimbunan sorbitol dan fruktosa dan penurunan kadar mioinositol yang
menimbulkan neuropaty. Neuropaty dapat menyerang syaraf-syaraf perifer, syaraf-syaraf kranial
atau sistem syaraf otonom.
2)                  Makroangiopaty
Gangguan-gangguan yang disebabkan oleh insufisiensi insulin dapat menjadi penyebab berbagai
jenis penyakit vaskuler. Gangguan ini berupa :
a.       Penimbunan sorbitol dalam intima vascular.
b.      Hiperlipoproteinemia
c.       Kelainan pembekun darah
Pada akhirnya makroangiopaty diabetik akan mengakibatkan penyumbatan vaskular jika
mengenai arteria-arteria perifer maka dapat menyebabkan insufisiensi vaskular perifer yang
disertai Klaudikasio intermiten dan gangren pada ekstremitas. Jika yang terkena adalah arteria
koronaria, dan aorta maka dapat mengakibatkan angina pektoris dan infark miokardium.
            Komplikasi diabetik diatas dapat dicegah jika pengobatan diabetes cukup efektif untuk
menormalkan metabolisme glukosa secara keseluruhan.
10    Prognosis
DM tipe 1 merupakan penyakit kronik yang memerlukan pengobatan seumur hidup. DM
tipe 1 tidak bisa disembuhkan tetapi kualitas hidup penderita dapat dipertahankan seoptimal
mungkin dengan mengusahakan control metabolic yang baik. Yang dimaksud control metabolic
yang baik adalah mengusahakan kadar glukosa darah berada dalam batas normal atau mendekati
nilai normal, tanpa menyebabkan hipoglikemia.
   Sekitar 60 % pasien DMT1 yang mendapat insulin dapat bertahan hidup seperti orang
normal, sisanya dapat mengalami kebutaan, gagal ginjal kronik, dan kemungkinan untuk
meninggal lebih cepat. Anak dengan DM tipe-1 cepat sekali menjurus ke-dalam ketoasidosis
diabetik yang disertai atau tanpa koma dengan prognosis yang kurang baik bila tidak diterapi
dengan baik. Oleh karena itu, pada dugaan DM tipe-1, penderita harus segera dirawat inap.
Prognosis ditentukan oleh regulasi DM dan adanya komplikasi. Regulasi teratur dan baik
akan memberikan prognosis baik.
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN ITP
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
A.     DEFINISI

ITP adalah singkatan dari Idiopathic Thrombocytopenic Purpura. Idiopathic berarti


tidak diketahui penyebabnya. Thrombocytopenic berarti darah yang tidak cukup memiliki keping
darah (trombosit). Purpura berarti seseorang memiliki luka memar yang banyak (berlebihan).
Istilah ITP ini juga merupakan singkatan dari Immune Thrombocytopenic Purpura. (Family
Doctor, 2006).
Idiophatic (Autoimmune) Trobocytopenic Purpura (ITP/ATP) merupakan kelainan
autoimun dimana autoanti body Ig G dibentuk untuk mengikat trombosit.
Tidak jelas apakah antigen pada permukaan trombosit dibentuk. Meskipun antibodi
antitrombosit dapat mengikat komplemen, trombosit tidak rusak oleh lisis langsung. Insident
tersering pada usia 20-50 tahum dan lebi serig pada wanita dibanding laki-laki (2:1). (Arief
mansoer, dkk).
ITP (Idiopathic Thrombocytopenic Purpura) juga bisa dikatakan merupakan suatu
kelainan pada sel pembekuan darah yakni trombosit yang jumlahnya menurun sehingga
menimbulkan perdarahan. Perdarahan yang terjadi umumnya pada kulit berupa bintik merah
hingga ruam kebiruan. (Imran, 2008)
Dalam tubuh seseorang yang menderita ITP, sel-sel darahnya kecuali keping darah
berada dalam jumlah yang normal. Keping darah (Platelets) adalah sel-sel sangat kecil yang
menutupi area tubuh paska luka atau akibat teriris/terpotong dan kemudian membentuk bekuan
darah. Seseorang dengan keping darah yang terlalu sedikit dalam tubuhnya akan sangat mudah
mengalami luka memar dan bahkan mengalami perdarahan dalam periode cukup lama setelah
mengalami trauma luka. Kadang bintik-bintik kecil merah (disebut Petechiae) muncul pula pada
permukaan kulitnya. Jika jumlah keping darah atau trombosit ini sangat rendah, penderita ITP
bisa juga mengalami mimisan yang sukar berhenti, atau mengalami perdarahan dalam organ
ususnya. (Family Doctor, 2006)
Idiopatik trombositopeni purpura disebut sebagai suatu gangguan autoimun yang
ditandai dengan trombositopenia yang menetap (angka trombosit darah perifer kurang dari
15.000/μL) akibat autoantibodi yang mengikat antigen trombosit menyebabkan destruksi
prematur trombosit dalam sistem retikuloendotel terutama di limpa. Atau dapat diartikan bahwa
idiopatik trombositopeni purpura adalah kondisi perdarahan dimana darah tidak keluar dengan
semestinya. Terjadi karena jumlah platelet atau trombosit rendah. Sirkulasi platelet melalui
pembuluh darah dan membantu penghentian perdarahan dengan cara menggumpal. Idiopatik
sendiri berarti bahawa penyebab penyakit tidak diketahui. Trombositopeni adalah jumlah
trombosit dalam darah berada dibawah normal. Purpura adalah memar kebiruan disebabkan oleh
pendarahan dibawah kulit. Memar menunjukkan bahwa telah terjadi pendarahan di pembuluh
darah kecil dibawah kulit. (ana information center, 2008).
Trombosit berbentuk bulat kecil atau cakram oval dengan diameter 2-4µm. Trombosit
dibentuk di sumsum tulang dari megakariosit, sel yang sangat besar dalam susunan hemopoietik
dalam sumsum tulang yang memecah menjadi trombosit, baik dalam sumsum tulang atau segera
setelah memasuki kapiler darah, khususnya ketika mencoba untuk memasuki kapiler paru. Tiap
megakariosit menghasilkan kurang lebih 4000 trombosit (Ilmu Penyakit Dalam Jilid II).
Megakariosit tidak meninggalkan sumsum tulang untuk memasuki darah. Konsentrasi
normal trombosit ialah antara 150.000 sampai 350.000 per mikroliter. Volume rata-ratanya 5-8fl.
Dalam keadaan normal, sepertiga dari jumlah trombosit itu ada di limpa. Jumlah trombosit dalam
keadaan normal di darah tepi selalu kurang lebih konstan. Hal ini disebabkan mekanisme kontrol
oleh bahan humoral yang disebut trombopoietin. Bila jumlah trombosit menurun, tubuh akan
mengeluarkan trombopoietin lebih banyak yang merangsang trombopoiesis.
Idiopathic thrombocytopenic Purpura mempengaruhi anak-anak dan orang dewasa.
Anak-anak sering mengalami idiopathic thrombocytopenic Purpura setelah infeksi virus dan
biasanya sembuh sepenuhnya tanpa pengobatan. Pada orang dewasa yang menderita penyakit
ITP sering lebih kronis. ITP diperkirakan merupakan salah satu penyebab kelainan perdarahan
didapat yang banyak ditemukan oleh dokter anak, dengan insiden penyakit simtomatik berkisar 3
sampai 8 per 100000 anak per tahun. Di bagian ilmu kesehatan Anak RSU Dr. Soetomo terdapat
22 pasien baru pada tahun 2000.
Delapan puluh hingga 90% anak dengan ITP menderita apisode pendarahan akut, yang
akan pilih dalam beberapa hari atau minggu dan sesuai dengan namanya (akut) akan sembuh
dalam 6 bulan. Pada ITP akut ada perbedaan insiden laki-laki maupun perempuan dan akan
mencapai puncak pada usia 2-5 tahun. Hampir selalu ada riwayat infeksi bakteri, virus, atau pun
imunisasi 1-6 minggu sebelum terjadinya penyakit ini. Perdarahan serinh terjadi saat trombosit
dibawah 20.000/mm3. ITP kronis terjadi pada anak usia > 7 tahun, sering terjadi pada anak
perempuan. ITP yang rekuen di definisikan sebagai adanya episode trombositopenia > 3 bulan
dan terjadi 1-4% anak dengan ITP. ITP merupakan kelainan auto imun yang menyebabkan
meningkatrnya penghancuran trombosit dalam retikuloendotelial. Kelainan ini biasanya
menyertai infeksi virus atau imunisasi yang disebabkan oleh respons sistem imun yang tidak
tepat.
B.     ETIOLOGI
1.      Penyebab dari ITP tidak diketahui secara pasti, mekanisme yang terjadi melalui pembentukan
antibodi yang menyerang sel trombosit, sehingga sel trombosit mati. (Imran, 2008). Penyakit ini
diduga melibatkan reaksi autoimun, dimana tubuh menghasilkan antibodi yang menyerang
trombositnya sendiri. Dalam kondisi normal, antibodi adalah respons tubuh yang sehat terhadap
bakteri atau virus yang masuk ke dalam tubuh. Tetapi untuk penderita ITP, antibodinya bahkan
menyerang sel-sel keping darah ubuhnya sendiri. (Family Doctor, 2006).
Meskipun pembentukan trombosit sumsum tulang meningkat, persediaan trombosit yang
ada tetap tidak dapat memenuhi kebutuhan tubuh. Pada sebagian besar kasus, diduga bahwa ITP
disebabkan oleh sistem imun tubuh. Secara normal sistem imun membuat antibodi untuk
melawan benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Pada ITP, sistem imun melawan platelet
dalam tubuh sendiri. Alasan sistem imun menyerang platelet dalam tubuh masih belum
diketahui. (ana information center, 2008).
2.      ITP kemungkinan juga disebabkan oleh hipersplenisme, infeksi virus, intoksikasi makanan
atau obat atau bahan kimia, pengaruh fisis (radiasi, panas), kekurangan factor pematangan
(misalnya malnutrisi), koagulasi intravascular diseminata (KID), autoimun. Berdasarkan etiologi,
ITP dibagi menjadi 2 yaitu primer (idiopatik) dan sekunder. Berdasarkan awitan penyakit
dibedakan tipe akut bila kejadiannya kurang atau sama dengan 6 bulan (umumnya terjadi pada
anak-anak) dan kronik bila lebih dari 6 bulan (umunnya terjadi pada orang dewasa). (ana
information center, 2008)
3.      ITP juga terjadi pada pengidap HIV. sedangkan obat-obatan seperti heparin, minuman keras,
quinidine, sulfonamides juga boleh menyebabkan trombositopenia. Biasanya tanda-tanda
penyakit dan faktor-faktor yang berkatan dengan penyakit ini adalah seperti yang berikut :
purpura, pendarahan haid darah yang banyak dan tempo lama, pendarahan dalam lubang hidung,
pendarahan rahang gigi, immunisasi virus yang terkini, penyakit virus yang terkini dan calar atau
lebam.
C.    EPIDEMOLOGI
Ada dua tipe ITP berdasarkan kalangan penderita :
1.      Tipe pertama umumnya menyerang kalangan anak-anak, anak-anak berusia 2 hingga 4 tahun
yang umumnya menderita penyakit ini.
2.      Tipe kedua menyerang orang dewasa, sebagian besar dialami oleh wanita muda, tapi dapat pula
terjadi pada siapa saja. ITP bukanlah penyakit keturunan. (Family Doctor, 2006).
ITP juga dapat dibagi menjadi dua, yakni akut ITP dan kronik ITP. Batasan yang
dipakai adalah waktu jika dibawah 6 bulan disebut akut ITP dan diatas 6 bulan disebut kronik
ITP. Akut ITP sering terjadi pada anak-anak sedangkan kronik ITP sering terjadi pada dewasa.
(Imran, 2008)
Tabel Perbedaan ITP akut dengan ITP kronik
ITP akut ITP kronik
Awal penyakit 2-6 tahun 20-40 tahun
Rasio L:P 1:1 1:2-3
Trombosit <20 .000=".000"
l="l" o:p="o:p">
30.000-100.000/mL
Lama penyakit
2-6 minggu
Beberapa tahun
Perdarahan
Berulang
Beberapa hari/minggu
  (Bakta, 2006; Mehta, et. al, 2006) 
D.     MANIFESTASI KLINIS
1.      Bintik-bintik merah pada kulit (terutama di daerah kaki), seringnya bergerombol dan
menyerupai rash. Bintik tersebut ,dikenal dengan petechiae, disebabkan karena adanya
pendarahan dibawah kulit .
2.      Memar atau daerah kebiruan pada kulit atau membran mukosa (seperti di bawah mulut)
disebabkan pendarahan di bawah kulit. Memar tersebut mungkin terjadi tanpa alasan yang jelas.
Memar tipe ini disebut dengan purpura. Pendarahan yang lebih sering dapat membentuk massa
tiga-dimensi yang disebut hematoma.
3.      Hidung mengeluarkan darah atau pendarahan pada gusi. Ada darah pada urin dan feses.
Beberapa macam pendarahan yang sukar dihentikan dapat menjadi tanda ITP. Termasuk
menstruasi yang berkepanjangan pada wanita. Pendarahan pada otak jarang terjadi, dan gejala
pendarahan pada otak dapat menunjukkan tingkat keparahan penyakit.
4.      Jumlah platelet yang rendah akan menyebabkan nyeri, fatigue (kelelahan), sulit berkonsentrasi.

E.      PATOLOGI DAN PATOFISIOLOGI ITP


Kerusakan trombosit pada ITP melibatkan autoantibody terhadap gliko protein yang
terdapat pada membran trombosit. Penghancuran terjadi terhadap trombosit yang diselimuti
antibody, hal tersebut dilakukan oleh magkrofag yang terdapat pada limpa dan organ retikulo
endotelial lainnya. Megakariosit pada sumsum tulang bisa normal atau meningkat pada ITP.
Sedangkan kadar trombopoitein dalam plasma, yang merupakan progenitor proliferasi dan
maturasi dari trombosit mengalami penurunan yang berarti, terutama pada ITP kronis.
Adanya perbedaan secara klinis maupun epidemologis antara ITP akut dan kronis,
menimbulkan dugaan adanya perbedaan mekanisme patofisiologi terjadinya trombsitopenia
diantara keduanya. Pada ITP akut, telah dipercaya bahwa penghancuran trombosit meningkat
karena adanya antibody yang dibentuk saat terjadi respon imun terhadap infeksi bakteri atau
virus atau pada imunisasi, yang bereaksi silang dengan antigen dari trombosit.
Mediator lainnya yang meningkat selama terjadinya respon imun terhadap produksi
trombosit. Sedangkan pada ITP kronis mungkin telah terjadi gangguan dalam regulasi sistem
imun seperti pada penyakit autoimun lainnya yang berakibat terbentuknya antibodi spesifik
terhadap antibodi.
Saat ini telah didefinisikan (GP) permukaan trombosit pada ITP, diantaranya GP Ib-
lia, GP Ib, dan GP V. Namun bagaimana antibodi antitrombosit meningkat pada ITP, perbedaan
secara pasti patofisiologi ITP akut dan kronis, serta komponen yang terlibat dalam regulasinya
masih belum diketahui.
Gambaran klinik ITP yaitu: 1) onset pelan dengan perdarahan melalui kulit atau
mukosa berupa : petechie, echymosis, easy bruising, menorrhagia, epistaksis, atau perdarahan
gusi. 2) perdarahan SSP jarang terjadi tetapi dapat berakibat fatal. 3) splenomegali pada <10
kasus.="kasus." o:p="o:p">
F.     PATHWAY
Idiopathic, infeksi virus, hipersplenisme

Antigen (makrofag) menyerang trombosit

Destruksi trombosit dalam sel penyaji antigen (dipicu oleh antibody)

Pembentukan neoantigen

Trombositopeni

Nyeri  ←  Perdarahan

                    Anemia              Splenomegali  

             mudah lelah     

             ↓
nafsu makan

          Gg keseimbangan nutrisi       Intoleransi aktivitas                            
                                                                                                           
 
                                                                                                             purpura
Gg. Pemenuhan keb. O2   ←   ↓ Hemoglobin                                              ↓
                                                             ↓                                    Gg. Integritas kulit
                  Gg. Perfusi jaringan

G.     PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.      Hitung darah lengkap dan jumlah trombosit menunjukkan penurunan hemoglobin, hematokrit,
trombosit (trombosit < 20.000 / mm3).
2.      Anemia normositik: bila lama berjenis mikrositik hipokrom.
3.      Leukosit biasanya normal: bila terjadi perdarahan hebat dapat terjadi leukositosis.
Ringan pada keadaan lama: limfositosis relative dan leucopenia ringan.
4.      Sum-sum tulang biasanya normal, tetapi megakariosit muda dapat bertambah dengan
maturation arrest pada stadium megakariosit.
5.      Masa perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, retraksi pembekuan abnormal,
prothrombin consumption memendek, test RL (+).
H.     PENCEGAHAN
1.      Idiopatik Trombositopeni Purpura (ITP) tidak dapat dicegah, tetapi dapat dicegah
komplikasinya.
2.      Menghindari obat-obatan seperti aspirin atau ibuprofen yang dapat mempengaruhi platelet dan
meningkatkan risiko pendarahan.
3.      Lindungi dari luka yang dapat menyebabkan memar atau pendarahan. Lakukan terapi yang
benar untuk infeksi yang mungkin dapat berkembang.
4.      Konsultasi ke dokter jika ada beberapa gejala infeksi, seperti demam. Hal ini penting bagi
pasien dewasa dan anak-anak dengan ITP yang sudah tidak memiliki limfa.
I.       TERAPI
Terapi ITP lebih ditujukan untuk menjaga jumlah trombosit dalam kisaran aman
sehingga mencegah terjadinya pendarahan mayor. Selain itu, terapi ITP didasarkan pada berapa
banyak dan seberapa sering pasien mengalami pendarahan dan jumlah platelet. Terapi untuk
anak-anak dan dewasa hampir sama. Kortikosteroid (ex: prednison) sering digunakan untuk
terapi ITP. kortikosteroid meningkatkan jumlah platelet dalam darah dengan cara menurunkan
aktivitas sistem imun. Imunoglobulin dan anti-Rh imunoglobulin D. Pasien yang mengalami
pendarahan parah membutuhkan transfusi platelet dan dirawat dirumah sakit.
Terapi awal ITP (standar) :
a.      Prednison
Terapi awal prednisoon atau prednison dosis 0,5-1,2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu.
Respon terapi prednison terjadi dalam 2 minggu dan pada umumnya terjadi dalam minngu
pertama, bila respon baik dilanjutkan sampai 1 bulan, kemudian tapering.
b.      Imunoglobulin intravena (IgIV)
Imunoglobulin intravena dosis 1g/kg/hr selam 2-3 hari berturut-turutndigunakan bila
terjadi pendarahan internal, saat AT(antibodi trombosit) <5000 .="." ada="ada"
adanya="adanya" atau="atau" beberapa="beberapa" bersifat="bersifat" dalam="dalam"
dan="dan" dapat="dapat" dengan="dengan" digunakan="digunakan" efikasi="efikasi"
hari="hari" individual.="individual." kedua="kedua" konvensional="konvensional"
kortikosteroid="kortikosteroid" kurangnya="kurangnya" lini="lini" luasnya="luasnya"
membaik="membaik" mendapat="mendapat" menggambarkan="menggambarkan"
meskipun="meskipun" ml="ml" o:p="o:p" pasien="pasien" pendekatan="pendekatan"
pilihan="pilihan" progresif.="progresif." purpura="purpura" relatif="relatif" standar="standar"
telah="telah" terapi="terapi" tidak="tidak" untuk="untuk" variasi="variasi" yang="yang">
1.      Steroid dosis tinggi
Terapi pasien ITP refrakter selain prednisolon dapat digunakan deksametason oral dosis
tinggi. Deksametason 40 mg/hr selama 4minggu, diulang setiap 28 hari untuk 6 siklus.
2.      Metiprednisolon
Metilprednisolon dosis tinggi dapat diberikan pd ITP anak dan dewasa yang resisten
terhadap terapi prednison dosis konvensional. Dari hasil penelitian menggunakan dosis tinggi
metiprednisolon 3o mg/kg iv kemudian dosis diturunkan tiap 3 hr samapi 1 mg/kg sekai sehari.
3.      IgIV dosis tinggi
Imunoglobulin iv dosis tinggi 1 mg/kg/hr selama 2 hari berturut-turut, sering dikombinasi
dengan kortikosteroid, akan meningkatkan AT dengan cepat. Efek samping, terutama sakit
kepala, namun jika berhasil maka dapat diberikan secara intermiten atau disubtitusi dengan anti-
D iv
4.      Anti-D iv
Dosis anti-D 50-75 mg/ka/hr IV. Mekanisme kerja anti-D yakni destruksi sel darah merah
rhesus D-positif yang secara khusus diberikan oleh RES terutama di lien, jadi bersaingdengan
autoantibodi yang menyelimuti trombosit melalui Fc reseptor blockade.
5.      Alkaloid vinka
Misalnya vinkristin 1 mg atau 2 mg iv, vinblastin 5-10 mg, setiap minggu selama 4-6
minggu.
6.      Danazol
Dosis 200 mg p.o 4x sehari selama sedikitnya 6 bulan karena respon sering lambat. Bila
respon terjadi, dosis diteruskan sampai dosis maksimal sekurang-kurangnya hr 1 tahun dan
kemudian diturunkan 200mg/hr setiap 4 bulan.
7.      Immunosupresif dan kemoterapi kombinasi
Imunosupresif diperlukan pada pasien yang gagal beresponsdengan terapi lainya. Terapi
dengan azatioprin (2 mg kg max 150 mg/hr) atau siklofosfamiddenga sebagai obat tunggal dapat
dipertimbangkan dan responya bertandng tertahan sampai 5%.
8.      Dapsone 
Dosis 75 mg p.o per hari, respon terjadi dalam 2 bulan. Pasien harus diperiksa G6PD,
karena pasien dengan kabar G6PD yang rendah mempunyai risiko hemolisis yang serius.
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN MENINGITIS
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.      Definisi
Meningitis adalah infeksi cairan otakdan disertai proses peradangan yang mengenai
piameter, araknoid dan dapat meluas ke permukaan jarinag otak dan medula spinalis yang
menimbulkan eksudasi berupa pus atau serosa yang terdapat secara akut dan kronis.
Meningitis dibagi menjadi dua :
a.       Meningitis purulenta
Yaitu infeksi selaput otak yang disebabkan oleh bakteri non spesifik yang menimbulkan
eksudasi berupa pus atau reaksi purulen pada cairan otak. Penyebabnya adalah pneumonia,
hemofilus influensa, E. Coli.
b.      Meningitis tuberkulosa
Yaitu radang selaput otak dengan eksudasi yang bersifat serosa yang disebabkan oleh
kuman tuberkulosis, lues, virus, riketsia.
Berdasarkan lapisan selaput otak yang mengalami radang meningitis dibagi menjadi :
1)      Pakimeningitis, yamg mengalami adalah durameter
2)      Leptomeningitis, yang mengalami adalah araknoid dan piameter.
2.      Patofisiologi
Meningitis terjadi akibat masuknya bakteri ke ruang subaraknoid, baik melalui
penyebaran secara hematogen, perluasan langsung dari fokus yang berdekatan, atau sebagai
akibat kerusakan sawar anatomik normal secara konginetal, traumatik, atau pembedahan. Bahan-
bahan toksik bakteri akan menimbulkan reaksi radang berupa kemerahan berlebih (hiperemi)
dari pembuluh darah selaput otak disertai infiltrasi sel-sel radang dan pembentukan eksudat.
Perubahan ini terutama terjadi pada infeksi bakteri streptococcus pneumoniae dan H.
Influenzae dapat terjadi pembengkakan jaringan otak, hidrosefalus dan infark dari jaringan otak.
Efek peradangan akan menyebabkan peningkatan cairan cerebro spinalis yang dapat
menyebabkan obstruksi dan selanjutnya terjadi hidrosefalus dan peningkatan TIK. Efek patologi
dari peradangan tersebut adalah hiperemi pada meningen. Edem dan eksudasi yang kesemuanya
menyebabkan peningkatan intrakranial.
Penyebaran hematogen merupakan penyebab tersering, dan biasa terjadi pada adanya
fokus penyakit lain (misalnya, pneumonia, otitis media, selulitis) atau akibat bakteremia spontan.
Oleh karena patogen-lazim menyebar melalui jalur pernapasan , peristiwa awalnya adalah
kolonisasi traktus respiratorius bagian atas.
Meningitis yang disebabkan oleh penyebaran nonhematogen mencakup penyebaran
infeksi dari daerah infeksi yang berdekatan ( otitis media, mastoiditis, sinusitis, osteomielitis
vertebralis atau tulang kranialis) serta kerusakan anatomi (fraktur dasar tengkorak, pasca-
prosedur bedah saraf, atau sinus dermal konginetal di sepanjang aksis kraniospinalis). Gambaran
lazim setiap penyebab infeksi adalah masuknya bakteri patogen ke dalam ruang subaraknoid dan
perbanyakan bakteri. 
Meningitis biasanya mulai perlahan-lahan tanpa panas atau terdapat kenaikan suhu yang
ringan saja, jarang terjadi akut dengan panas yang tinggi. Sering dijumpai anak mudah
terangsang atau menjadi apatis dan tidurnya sering terganggu. Anak besar dapat mengeluh nyeri
kepala. Anoreksia, obstipasi, dan muntah juga sering dijumpai.
Stadium ini kemudian disusul dengan stadium transisi dengan kejang. Gejala di atas
menjadi lebih berat dan gejala rangsangan meningeal mulai nyata, kuduk kaku, seluruh tubuh
menjadi kaku dan timbul opistotonus. Refleks tendon menjadi lebih tinggi, ubun-ubun menonjol
dan umumnya juga terdapat kelumpuhan urat saraf mata sehingga timbul gejala strabismus dan
nistagmus. Sering tuberkel terdapat di koroid. Suhu tubuh menjadi lebih tinggi dan kesadaran
lebih menurun hingga timbul stupor.
Stadium terminal berupa kelumpuhan-kelumpuhan, koma menjadi lebih dalam, pupil
melebar dan tidak bereaksi sama sekali. Nadi dan pernapasan menjadi tidak teratur, sering terjadi
pernafasan `Cheyne-Stokes`.
Hiperpireksia timbul dan anak meninggal tanpa kesadarannya pulih kembali. Tiga
stadium tersebut biasanya tidak mempunyai batas yang jelas antara satu dengan lainnya, namun
jika tidak diobati umumnya berlangsung 3 minggu sebelum anak meninggal.
3.      Gejala Klinis
Trias klasik gejala meningitis adalah demam, sakit kepala, dan kaku kuduk. Namun pada
anak di bawah usia dua tahun, kaku kuduk atau tanda iritasi meningen lain mungkin tidak
ditemui. Peruban tingkat kesadaran lazim terjadi dan ditemukan pada hingga 90% pasien. 
Gejala dari meningitis berdasarkan golongan usia sebagai berikut:
a.       Anak dan Remaja
1)      Awitan biasanya tiba-tiba
2)      Demam
3)      Mengigil
4)      Sakit kepala
5)      Muntah
6)      Perubahan pada sensorium
7)      Kejang (seringkali merupakan tanda-tanda awal )
8)      Peka rangsang
9)      Agitasi
10)  Dapat terjadi:
-          Fotofobia
-          Delirium
-          Halusinasi
-          Perilaku agresif atau maniak
-          Mengantuk
-          Stupor
-          Koma
11)  Kekakuan nukal. Dapat berlanjut menjadi opistotonus
12)  Tanda Kernig dan Brudzinski positif
13)  Hiperaktif tetapi respons refleks bervariasi
14)  Tanda dan gejala bersifat khas untuk setiap organisme:
-          Ruam ptekial atau purpurik (infeksi meningokokal), terutama bila berhubungan dengan status
seperti syok.
-          Keterlibatan sendi (infeksi meningokokal dan H. influenzae)
-          Drain telinga kronis (meningitis pneumokokal)
b.      Bayi dan Anak Kecil
Gambaran klasik jarang terlihat pada anaka-anak antara usia 3 bulan dan 2 tahun
1)      Muntah
2)      Peka rangsangan yang nyata
3)      Sering kejang (seringkali disertai dengan menangis nada tinggi)
4)      Fontanel menonjol
5)      Kaku kuduk dapat terjadi dapat juga tidak
6)      Tanda Brudzinski dan Kernig bersifat tidak membantu dalam diagnosa
7)      Sulit untuk dimunculkan dan dievaluasi dalam kelompok usia
8)      Empihema subdural (infeksi Haemophilus influenza)
c.       Neonatus: Tanda-tanda Spesifik
1)      Secara khusus sulit untuk didiagnosa
2)      Manifestasi tidak jelas dan tidak spesifik
3)      Baik pada saat lahir tetapi mulai terlihatmenyedihkan dan berperilaku buruk dalam beberapa
hari
4)      Menolak untuk makan
5)      Kemampuan menghisap buruk
6)      Muntah atau diare
7)      Tonus buruk
8)      Kurang gerakan
9)      Menangis buruk
10)  Fontanel penuh, tegang, dan menonjol dapat terlihat pada akhir perjalanan penyakit
11)  Leher biasanya lemas
d.      Tanda-tanda Nonspesifik yang Mungkin Terjadi pada Neonatus
1)      Hipotermia atau demam (tergantung pada maturitas bayi)
2)      Ikterik
3)      Peka rangsang
4)      Mengantuk
5)      Kejang
6)      Ketidakteraturan pernapasan atau apnea
7)      Sianosis
8)      Penurunan berat badan
4.      Komplikasi
a.       Ketidaksesuaian sekresi ADH
b.      Pengumpulan cairan subdural
c.       Lesi lokal intrakranial dapat mengakibatkan kelumpuhan sebagian badan
d.      Hidrocepalus yang berat dan retardasi mental, tuli, kebutaan karena atrofi nervus II ( optikus )
e.       Pada meningitis dengan septikemia menyebabkan suam kulit atau luka di mulut,
konjungtivitis.
f.       Epilepsi
g.      Pneumonia karena aspirasi
h.      Efusi subdural, emfisema subdural
i.        Keterlambatan bicara
j.        Kelumpuhan otot yang disarafi nervus III (okulomotor), nervus IV (toklearis ), nervus VI
(abdusen). Ketiga saraf tersebut mengatur gerakan bola mata.
5.      Pemeriksaan diagnostik
a.       Punksi Lumbal : tekanan cairan meningkat, jumlah sel darah putih meningkat, glukosa
menurun, protein meningkat.
Indikasi Punksi Lumbal:
1)      Setiap pasien dengan kejang atau twitching baik yang diketahui dari anamnesis atau yang
dilihat sendiri.
2)      Adanya paresis atau paralysis. Dalam hal ini termasuk strabismus karena paresis N.VI.
3)      Koma.
4)      Ubun-ubun besar menonjol.
5)      Kuduk kaku dengan kesadaran menurun.
6)      Tuberkulosis miliaris dan spondilitis tuberculosis.
7)       Leukemia.
b.      Kultur swab hidung dan tenggorokan
c.       Darah: leukosit meningkat, CRP meningkat, U&E, glukosa, pemeriksaan factor pembekuan,
golongan darah dan penyimpanan.
d.      Mikroskopik, biakan dan sensitivitas: darah, tinja, usap tenggorok, urin, rapid antigen screen.
e.       CT scan: jika curiga TIK meningkat hindari pengambilan sample dengan LP.
f.       LP untuk CSS: merupakan kontra indikasi jika dicurigai tanda neurologist fokal atau TIK
meningkat.
g.      CSS pada meningitis bakteri: netrofil, protein meningkat (1-5g/L), glukosa menurun (kadar
serum <50%)
h.      CSS pada meningitis virus: limfosit (pada mulainya netrofil), protein normal/meningkat ringan,
glukosa normal, PCR untuk diagnosis.
i.        CSS: mikroskopik (pulasan Gram, misal, untuk basil tahan asam pada meningitis TB), biakan
dan sensitivitas.
6.      Penatalaksanaan
Penatalaksanaan efektif untuk meningitis bergantung pada terapi suportif agresif yang
dini dan pemilihan antimikroba empirik yang tepat untuk kemungkinan patogen. Tindakan
suportif umum diindikasikan bagi setiap pasien yang menderita patologi intrakranium berat.
Pasien dengan Meningitis purulenta pada umumnya dalam keadaan kesadaran yang
menurun dan seringkali disertai muntah-muntah atau diare. Untuk menghindari kekurangan
cairan/elektrolit, pasien perlu langsung dipasang cairan intavena. Jika terdapat gejala asidosis
harus dilakukan koreksi. Pengelolaan cairan merupakan hal yang sangat penting pada pasien
meningitis. Sindrom sekresi hormon antidiuretik yang tidak tepat (SIADH, syndrome of
inappropriate antidiuretic hormone secretion) terjadi pada sekitar 30% pasien meningitis, dan
jika ditemukan, harus dilakukan pembatasan cairan. Meskipun demikian, sebuah studi klinis
telah membuktikan pentingnya memelihara tekanan perfusi otak yang adekuat pada penyakit ini.
Pembatasan cairan secara tidak tepat dapat menimbulkan deplesi volume, yang jika ekstrim,
dapat menuju pada ketidakadekuatan volume sirkulasi. Sebaiknya cairan mula-mula dibatasi,
sementara menunggu pemeriksaan elektrolit urin dan serum. Bila terdapat SIADH, pembatasan
cairan sampai dua pertiga cairan pemeliharaan merupakan tindakan yang tepat, sampai kelebihan
hormon antidiuretuk pulih; bila tidak terdapat SIADH, cairan harus diberikan dalam jumlah yang
sesuai dengan derajat kekurangan cairan, dan elektrolit diawasi secara seksama.
Terapi peningkatan tekanan intrakranium harus diarahkan pada pemeliharaan derajat
tekanan perfusi otak yang adekuat, seperti pada kondisi lain yang dipersulit oleh hipertensi
intrakranium. Cara yang ada bisa termasuk hiperventilasi, pengambilan CSS melalui kateter
intraventrikel, atau mungkin pemakaian obat diuretikosmotik secara hati-hati.
Pada kecurigaan meningitis, antibiotik intravena diberikan secara empiric sementara
menunggu hasil biakan. Pemilihan antibiotik awal didasarkan pada kemungkinan pathogen
menurut kelompok usia, pajanan yang diketahui, dan setiap faktor resiko yang tidak lazim bagi
pasien. Prinsip terapi antimikroba meningitis mencakup pemilihan antibiotik yang bersifat
bakterisid terhadap pathogen yang dicurigai dan yang mampu mencapai konsentrasi CSS
setidaknya sepuluh konsentrasi bakterisid minimal untuk organisme tersebut, karena inilah
konsentrasi yang dalam penelitian hewan telah terbukti berkolerasi dengan sterilisasi CSS paling
efektif. 
Bila pasien masuk dalam keadaan status konvulsivus, diberikan diazepam 0,5 mg/kg
BB/kali IV, dan dapat diulang dengan dosis yang sama 15 menit kemudian bila kejang belum
berhenti. Ulangan pemberian diazepam berikutnya (yang ketiga kali) dengan dosis sama tetapi
diberikan secara IM. Setelah kejang dapat diatasi, diberikan fenobarbital dosis awal untuk
neonatus 30 mg; anak < 1 tahun 50 mg dan anak > 1 tahun 75 mg. Selanjutnya untuk pengobatan
rumat diberikan fenobarbital dengan dosis 8-10 mg/kg BB/hr dibagi dalam 2 dosis, diberikan
selama 2 hari (dimulai 4 jam setelah pemberian dosis awal). Hari berikutnya dengan dosis 4-5
mg/kgBB/hr dibagi dalam 2 dosis.  Bila tidak tersedia diazepam, fenobarbital dapat langsung
diberikan dengan dosis awal dan selanjutnya dosis rumat.
Penyebab utama meningitis purulenta pada bayi atau anak di Indonesia(Jakarta) ialah H.
influenzaedan pneumoccocus sedangkan meningococcus jarang sekali,maka diberikan ampisilin
IV sebanyak 400mg/kg BB/hr dibagi 6 dosis ditambah kloramfenikol 100mg/kg BB/hr iv dibagi
dalam 4 dosis. Pada hari ke 10 pengobatan dilakukan pungsi lumbal ulangan dan bila ternyata
menunjukkan hasil yang normal pengobatan tesebut dilanjutkan 2 hari lagi. Tetapi jika masih
belum dan pengobatan dilanjutkan dengan obat dan cara yang sama seperti di atas dan diganti
dngan obat yang sesuai dengan hasil biakan dan uji resistensi kuman.
Meningitis paru pada neunatus berbeda,karena biasa dan disebabkan oleh baksil colifom
danstaphylococcus, maka pengobatan pada neonatus sebagai berikut:
Pilihan pertama: Sefalosporin 200mg/kg BB/hr IV dibagi dalam 2 dosis, dikombinasi
dengan amikasin dengan dosis awal 10 mg/kg BB/hr IV,dilanjutkan dengan dosis 15 mg/kg
BB/hr atau dengan gentamisin 6 mg/kg BB/hr masing-masing dibagi dalam 2 dosis.
Pilihan kedua : Amphisilin 300-400 mg/kg BB/hr IV dibagi dalam 6 dosis,dikombinasi
dengan kloramfenikol 50 mg/kg BB/hr IV dibagi dalam 4 dosis. Pada bayi kurang bulan dosis
kloramfenikol tidak boleh melebihi 30 mg/kg Bb/hr (dapat terjadi grey baby).
Pilihan selanjutnya kotrimoksazol 10 mg TMP/kg BB/hr IV dibagi dalam 2 dosis selama
3 hari dilanjutkan dengan dosis 6 mg TMP/kg BB/hr IV dibagi dalam 2 dosis. Lama pengobatan
neonatus adalah 2 hr.
Sefalosporin dan kotrimaksozol tidak diberikan pada bayi yang berumur kurang 1
minggu. Ulangan pungsi lumbal pada meningitis paru anak dilakukan pada hari ke 10
pengobatan sedang pada neunatus pada hari ke 21.  Terapi pilihan pada bayi yang telah
mengalami meningitis bakterial dengan komplikasi hidrocephalus adalah dilakukan pembedahan
dengan tujuan untuk pemasangan shunt guna mengalirkan cerebrospinal fluid yang tersumbat di
dalam otak. Ada beberapa jenis shunt antara lain (VP) ventrikulo peritoneal shunt dan (VA)
ventriculoatrial shunt. Penatalaksanaan pada bayi dengan hidrocehalus adalah pemberian posisi
head up dan pengawasan pemberian cairan yang adekuat.
B.     Konsep Asuhan Keperawatan
1.      Pengkajian
a.       Riwayat keperawatan: riwayat kelahiran, penyakit kronis, neoplasma riwayat pembedahan
pada otak, cedera kepala
b.      Pada Neonatus: kaji adanya perilaku menolak untuk makan, reflek menghisap kurang, muntah
atau diare, tonus otot kurang, kurang gerak dan menangis lemah
c.       Pada anak-anak dan remaja: kaji adanya demam tinggi, sakit kepala, muntah yang diikuti
dengan perubahan sensori, kejang mudah terstimulasi dan teragitasi, fotofobia, delirium,
halusinasi, perilaku agresif atau maniak, penurunan kesadaran, kaku kuduk, opistotonus, tanda
Kernig dan Brudzinsky positif, refleks fisiologis hiperaktif, ptechiae atau pruritus
d.      Bayi dan anak-anak (usia 3 bulan hingga 2 tahun): kaji adanya demam, malas makan, muntah,
mudah terstimulasi, kejang, menangis dengan merintih, ubun-ubun menonjol, kaku kuduk, dan
tanda Kernig dan Brudzinsky positif
2.      Diagnosa Keperawatan
a.       Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi
b.      Resiko terjadinya peningkatan tekanan intrakranial berhubungan dengan infeksi pada selaput
otak
c.       Resiko tinggi cedera berhubungan dengan kejang,reflek meningkat
d.      Perubahan proses keluarga berhubungan dengan anak yang menderita penyakit serius
3.      Perencanaan keperawatan
a.       Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi
1)      Tujuan 1 :
Pasien tidak mengalami nyeri atau nyeri menurun sampai tingkat yang dapat diterima anak
2)      Intervensi keperawatan/Rasional:
a)      Biarkan anak mengambil posisi yang nyaman:
-          Gunakan posisi miring, bila ditoleransi, karena kaku kuduk
-          Tinggikan sedikit kepala tempat tidur tanpa menggunakan bantal karena hal ini seringkali
menjadi posisi yang paling tidak nyaman
b)      Berikan analgesik sesuai ketentuan, terutama asetaminofen dengan kodein
3)      Hasil yang diharapkan:
Anak tidak menunjukkan tanda-tanda nyeri atau tanda-tanda nyeri yang dialami anak minimum
b.      Resiko terjadinya peningkatan tekanan intrakranial berhubungan dengan infeksi pada selaput
otak.
1)      Tujuan:
Tekanan intra karanial (TIK) tetap atau berkurang menuju normal
2)      Intervensi keperawatan/rasional:
a)      Kaji tanda vital, GCS (jika dapat dilakukan) dan tanda-tanda dari terjadinya penurunan
kesadaran
b)      Ciptakan dan pertahankan lingkungan yang tenang dan nyaman
c)      Beri posisi head up ± 3 cm
d)     Ukur lingkar kepala setiap hari
e)      Olaborasi dalam pemberian cairan adekuat
f)       Berikan obat sesuai dengan program; antibiotic, antipiretik, dan antikonvulsan
g)      Ikut sertakan keluarga dalam perawatan bayi secara aktif
3)      Hasil yang diharapkan:
Tidak terjadi peningkatan tekanan intrakranial selama dalam masa perawatan, dengan kriteria;
reaksi pupil terhadap cahaya (+), refleks normal, gerak dan tangis yang kuat, respirasi spontan,
suhu dalam batas normal.
c.       Resiko tinggi cedera berhubungan dengan kejang,reflek meningkat
1)      Tujuan 1:
Pasien tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi
2)      Intervensi keperawatan/Rasional:
a)      Bantu praktisi kesehatan mendapat kultur yang diperlukan untuk mengidentifikasikan
organisme penyebab
b)      Berikan antibiotic, sesuai resep, dan segera setelah diinstruksikan
c)      Pertahankan rute intravena untuk pemberian obat
3)      Hasil yang diharapkan:
Anak menunjukkan bukti-bukti penurunan gejala
4)      Tujuan 2:
Pasien tidak menyebabkan infeksi ke orang lain
5)      Intervensi keperawatan/ Rasional:
a)      Implementasikan pengendalian infeksi yang tepat:
-          Tempatkan anak di ruang isolasi selama sedikitnya 24 jam setelah awal terapi antibiotik
-          Pantau tanda-tanda vital untuk tanda awal proses infeksi
-          Observasi adanya tanda-tanda infeksi khusus pada penyakit anak
b)      Instruksikan orang lain (keluarga, anggota staf) tentang kewaspadaan yang tepat
c)      Berikan vaksinasi yang tepat:
-          Berikan vaksin rutin sesuai usia (mis., vaksin untuk mencegah H. influenzae tipe B [Hib])
-          Identifikasi kontak erat dan anak berisiko tinggi yang dapat memperoleh manfaat dari
vaksinasi (mis., vaksinasi meningokokus)
6)      Hasil yang diharapkan: Orang lain tetp bebas dari infeksi
7)      Tujuan 3 : Pasien tidak mengalami komplikasi
8)      Intervensi keperawatan/ Rasional:
a)      Observasi dengan ketat adanya tanda-tanda komplikasi, terutama peningkatan TIK, syok, dan
distres pernapasan, sehingga dapat dilakukan tindakan kedaruratan
b)      Pertahankan hirasi optimal sesuai ketentuan
c)      Pantau dan catat masukan dan keluaran untuk mengidentifikasi komplikasi seperti ancaman
syok atau peningkatan akumulasi cairan yang berhubungan dengan edema serebral atau efusi
subdural
d)     Kurangi stimulus lingkungan, karena anak mungkin sensitif terhadap kebisingan, sinar terang,
dan stimulus eksternal lainnya
e)      Implementasikan kewaspadaan keamanan yang tepat karena anak sering gelisah dan kejang
f)       Jelaskan pentingnya perawatan tindak lanjut pada orang tua karena sekuel neurologis,
termasuk penurunan pendengaran mungkin tidak tampak selama penyakit akut
9)      Hasil yang diharapkan:
Anak tidak mengalami komplikasi
d.      Perubahan proses keluarga berhubungan dengan anak yang menderita penyakit serius
1)      Tujuan :
Pasien (keluarga) mendapatkan dukungan yang adekuat
2)      Intervensi keperawatan/Rasional:
a)      Dorong keluarga untuk mendiskusikan perasaan untuk meminimalkan rasa bersalah dan saling
menyalahkan
b)      Yakinkan keluarga bahwa awitan meningitis bersifat tiba-tiba dan bahwa mereka sudah
bertindak dengan penuh tanggung jawab dengan mencari bantuan medis untuk meminimalkan
rasa bersalah dan saling menyelahkan
c)      Pertahankan agar keluarga tetap mendapat informasi tentang kondisi anak, kemajuan, prosedur,
dan tindakan untuk mengurangi kecemasan
3)      Hasil yang diharapkan: Anak (keluarga) mendapatkan dukungan yang cukup
4.      Pelaksanaan
Pelaksanaan keperawatan merupakan kegiatan yang dilakukan sesuai dengan rencana
yang telah ditetapkan. Selama pelaksanaan kegiatan dapat bersifat mandiri dan kolaboratif.
Selama melaksanakan kegiatan perlu diawasi dan dimonitor kemajuan kesehatan klien.
5.      Evaluasi
Angka motalitas meningitis sangat bervariasi, tergantung pada usia pasien dan patogen
penyebab. Pasien dengan meningitis meningokokus tanpa meningokoksemia berat mempunyai
angka fatalitas sebesar hanya 20%, sedangkan neonatus dengan meningitis gram negative
meninggal dalam 70 kasus. Angka kematian akibat H. influenzae dan S. pneumoniae masing-
masing adalah sekitar 3% dan 6%.
Gejala sisa penyakit terjadi pada kira-kira 30% penderita yang bertahan hidup, tetapi juga
terdapat predileksi usia serta petogen, dengan insidensi terbesar pada bayi yang sangat muda
serta bayi yang terinfeksi bakteri gram negative dan S. pneumoniea.
Gejala sisa neurologi tersering adalah tuli, yang terjadi pada 3-25% pasien; kelumpuhan
saraf kranial pada 2-7% pasien; dan cidera berat seperti hemiparesis atau cidera otaku mum pada
1-2% pasien. Lebih dari 50% pasien dengan gejala sisa neurologi pada saat pemulangan dari RS
akan membaik seiring waktu, dan keberhasilan dalam implant koklea belum lama ini memberi
harapan pada anak dengan kehilangan pendengaran.
Pencegahan meningitis saat ini terdiri atas dua bentuk: kemoprokfilaksis terhadap
individu rentan yang diketahui terpajan pada pasien yang mengidap penyakit (pasien indek) serta
imunisasi aktiv. Sekarang, kemoprokfilaksis diindikasikan untuk mencegah meningitis sekunder
yang disebabkan oleh H. influenzae dan N. meningitides.
Imunisasi aktiv terhadap H. influenzae telah menghasilkan penguangan dramatis pada
penyakit invasive, dengan pengurangan sebanyak 70-80% pada meningitis akibat organisme
tersebut. Saat ini imunisasi dianjurkan untuk bayi sebagai rangkain imunisasi tiga dosis pada usia
2,4,6 bulan.
6.      Penkes
a.       Ajarkan pada orang tua tentang pemberian obat dan pemantauan efek samping.
b.      Ajarkan bagaimana untuk mempertahankan nutrisi yang adekuat ; makanan rendah lemak.
c.       Jelaskan pentingnya istirahat.
d.      Ajarkan cara mencegah infeksi.
e.       Ajarkan pada orang tua untuk memantau komplikasi jangka panjang serta tanda dan gejalanya.
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN KEJANG
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.Pengertian
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
rectal diatas 38oc) yang disebabkan oleh suatu proses ekstracranial (mansjoer, 2000)
Kejang demam sering juga disebut kejang demam tonik-klonik, sangat sering dijumpai
pada anak-anak usia di bawah 5 tahun. Kejang ini disebabkan oleh adanya suatu awitan
hypertermia yang timbul mendadak pada infeksi bakteri atau virus. (Sylvia A. Price, Latraine M.
Wikson, 1995).
Kejang demam adalah terbebasnya sekelompok neuron secara tiba-tiba yang
mengakibatkan suatu kerusakan kesadaran, gerak, sensasi atau memori yang bersifat sementara
(Hudak and Gallo,1996).
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan kejang demam adalah bangkitan kejang yang
terjadi karena peningkatan suhu tubuh yaitu 380 C yang sering di jumpai pada usia anak dibawah
lima tahun.
2.   Etiologi
Penyebab kejang demam yang sering ditemukan adalah :
a.   Faktor predisposisi :
1)   Keturunan, orang tua yang memiliki riwayat kejang sebelumnya dapat diturunkan pada
anakmya.
2)  Umur, (lebih sering pada umur < 5 tahun), karena sel otak pada anak belum matang sehingga
mudah mengalami perubahan konsentrasi ketika mendapat rangsangan tiba-tiba.
b.   Faktor presipitasi
1)      Adanaya proses infeksi ekstrakranium oleh bakteri atau virus misalnya infeksi saluran
pernapasan atas, otitis media akut, tonsilitis, gastroenteritis, infeksitraktus urinarius dan
faringitis.
2)      Ketidak seimbangan ion yang mengubah keseimbangan elektrolit sehingga mengganggu
homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron misalnya
hiponatremia, hipernatremia, hipoglikemia, hipokalsemia, dan hipomagnesemia.
3)      Kejang demam yang disebabkan oleh kejadian perinatal (trauma kepala, infeksi premature,
hipoksia) yang dapat menyebabkan kerusakan otak.
3.    Patofisiologi
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel / organ otak diperlukan energi yang
didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah
glucose,sifat proses itu adalah oxidasi dengan perantara pungsi paru-paru dan diteruskan ke otak
melalui system kardiovaskuler.
Berdasarkan hal diatas bahwa energi otak adalah glukosa yang melalui proses oxidasi,
dan dipecah menjadi karbon dioksida dan air. Sel dikelilingi oleh membran sel. Yang terdiri dari
permukaan dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran
sel neuron dengan mudah dapat dilalui oleh ion Kalium (K+). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel
neuron tinggi dan konsentrasi NA+ rendah. Sedangkan di luar sel neuron terdapat keadaan
sebaliknya,karena itu terdapat perbedaan jenis dan konsentrasi ion didalam dan diluar sel. Maka
terdapat perbedaan membran yang disebut potensial membran dari neuron. Untuk menjaga
keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim NA, K, ATP yang
terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah dengan perubahan konsentrasi ion
diruang extra selular, rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau
aliran listrik dari sekitarnya. Perubahan dari patofisiologisnya membran sendiri karena
penyakit/keturunan.
Pada seorang anak sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh dibanding dengan
orang dewasa 15 %. Dan karena itu pada anak tubuh dapat mengubah keseimbangan dari
membran sel neuron dalam singkat terjadi difusi di ion K + maupun ion NA+ melalui membran
tersebut dengan akibat terjadinya lepasnya muatan listrik.
Lepasnya muatan listrik ini sedemikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel
maupun membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter sehingga
mengakibatkan terjadinya kejang. Kejang yang yang berlangsung singkat pada umumnya tidak
berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa tetapi kejang yang berlangsung lama lebih 15
menit biasanya disertai apnea, NA meningkat, kebutuhan O2 dan energi untuk kontraksi otot
skeletal yang akhirnya terjadi hipoxia dan menimbulkan terjadinya asidosis.
Demam

Kebutuhan O2 dan energi otak meningkat

Metabolisme otak meningkat

Perubahan perkembangan dari membran sel neuron

Difusi ion kalium dan natrium

Lepas muatan listrik

Kejang

Neurotran smiter

4.   Gejala klinis
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan
suhu badan yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat :
misalnya tonsilitis, otitis media akut, ISPA, UTI, serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam
pertama sewaktu demam,berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-
klonik.
5.   Komplikasi
a.       Epilepsi
Terjadi akibat adanya kerusakan pada daerah lobus temporalis yang berlangsung lama dan dapat
menjadi matang
b.      Retardasi mental
Terjadi pada pasien kejang demam yang sebelumnya telah terdapat gangguan perkembangan
atau kelainan neurologis
c.       Hemiparese
Biasanya terjadi padaa pasien yang mengalemi kejang lama (berlangsung lebih dari 30 menit)
d.      Gagal pernapasan
Akibat dari ektivitas kejang yang menyebabkan otot-otot pernapasan menjadi spasme
e.       Kematian

6.    Pemeriksaan Diagnostik
Adapun pemeriksaan yang dapat dilakukan pada pasien kejang demam antara lain :
a.   Pemeriksaan Laboratorium
1)      Elektrolit
2)      Tidak seimbang dapat berpengaruh atau menjadi predisposisi pada  aktivitaskejang
3)      Glukosa
Hipoglikemia ( normal 80 - 120)
4)      Ureum / kreatinin
Meningkat (ureum normal 10 – 50 mg/dL dan kreatinin normal =< 1,4 mg/dL)
5)      Sel Darah Merah (Hb)
Menurun ( normal 14-18 g/dl, 12-16 g/dl )
6)      Lumbal punksi
Tes ini untuk memperoleh cairan cerebrospinalis dan untuk mengetahui keadaan lintas likuor.
Tes ini dapat mendeteksi penyebab kejang demam atau kejang karena infeksi pada otak.
a)   Pada kejang demam tidak terdapat gambaran patologis dan pemeriksaan lumbal pungsi
b)   Pada kejang oleh infeksi pada otak ditemukan :
         Warna cairan cerebrospinal : berwarna kuning, menunjukan pigmen kuning santokrom.
         Jumlah cairan dalam cerebrospinal menigkat lebih dari normal (normal bayi 40-60ml, anak
muda 60-100ml, anak lebih tua 80-120ml dan dewasa 130-150ml).
         Perubahan biokimia : kadar Kalium menigkat ( normal dewasa 3.5-5.0 mEq/L, bayi 3.6-
5.8mEq/L)
b.    EEG (electroencephalography)
EEG merupakan cara untuk merekam aktivitas listrik otak melalui tengkorang yang utuh untuk
menentukan adanya kelainan pada SSP, EEG dilakukan sedikitnya 1 minggu setelah suhu
normal. Tidak menunjukkan kelainan pada kejang demam sederhana, gelombang EEG yang
lambat di daerah belakang dan unilateral menunjukkan kejang demam kompleks
c.    CT  Scan
Tidak  dianjurkan pada kejang demam yang beru terjadi pada pertama kalinya
d.   Pemeriksaan Radiologis
1.      Foto tengkorak diperhatikan simetris tulang tengkorak, destruksi tulang peningkatan tekanan
intrakranial
2.      Pneumonsefalografi dan ventrikulografi dilakukan atas indikasi tertentu yaitu untuk melihat
gambaran sistem ventrikal, rongga subaraknoid serta gambaran otak sehingga dapat diketahui
adanya atrofi otak, tumor serebri, hidrosefalus araknoiditis
3.      Arteriografi untuk melihat keadaan pembuluh darah di otak, apakah ada penyumbatan    atau
peregangan.
7.   Penatalaksanaan
Pada penatalaksanaan kejang demam ada 3 hal yang perlu dikerjakan yaitu :
a.       Pengobatan Fase Akut
a)      Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu kejang pasien dimiringkan untuk mencegah
aspirasi ludah atau muntahan. Jalan napas harus bebas agar oksigennisasi terjamin. Perhatikan
keadaan vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu, pernapasan dan fungsi jantung. Suhu tubuh
tinggi diturunkan dengan kompres air dan pemberian antipiretik.
b)      Obat yang paling cepat menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan intravena atau
intrarektal. Dosis diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1-2 mg/menit
dengan dosis maksimal 20 mg. bila kejang berhenti sebelum diazepam habis, hentikan
penyuntikan, tunggu sebentar, dan bila tidak timbul kejang lagi jarum dicabut. Bila diazepam
intravena tidak tersedia atau pemberiannya sulit gunakan diazepam intrarektal 5 mg
(BB≤10 kg) atau 10 mg(BB≥10kg) bila kejang tidak berhenti dapat diulang selang 15 menit
kemudian. Bila tidak berhenti juga, berikan fenitoin dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB secara
intravena perlahan-lahan 1 mg/kgBb/menit. Setelah pemberian fenitoin, harus dilakukan
pembilasan dengan Nacl fisiologis karena fenitoin bersifat basa dan menyebabkan iritasi vena.
c)      Bila kejang berhenti dengan diazepam, lanjutkan dengan fenobarbital diberikan langsung
setelah kejang berhenti. Dosis awal untuk neonatus 30 mg, bayi 1 bulan -1 tahun 50 mg dan
umur 1 tahun ke atas 75 mg secara intramuscular. Empat jama kemudian diberikan fenobarbital
dosis rumat. Untuk 2 hari pertama dengan dosis 8-10 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis, untuk
hari-hari berikutnya dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis. Selama keadaan belum
membaik, obat diberikan secara suntikan dan setelah membaik per oral. Perhatikan bahwa dosis
total tidak melebihi 200mg/hari. Efek sampingnya adalah hipotensi,penurunan kesadaran dan
depresi pernapasan. Bila kejang berhenti dengan fenitoin,lanjutkna fenitoin dengan dosis 4-
8mg/KgBB/hari, 12-24 jam setelah dosis awal.
b.      Mencari dan mengobati penyebab
Penyebab dari kejang demam baik kejang demam sederhana maupun kejang epilepsi yang
diprovokasi oleh demam biasanya ISPA dan otitis media akut. Pemberian antibiotika yang tepat
dan adekuat utnuk mengobati infeksi tersebut. Biasanya dilakukan pemeriksaan fungsi lumbal
untuk mengetahui faktor resiko infeksi di dalam otak, misalnya: meningitis. Apabila menghadapi
penderita dengan kejang demam lama, pemeriksaan yang intensif perlu dilakukan, seperti:
pemeriksaan darah lengkap.
c.       Pengobatan rumat
Pengobatan ini dibagi atas 2 bagian:
1.      Pengobatan profilaksis intermiten: untuk mencegah terulangnya kejadian demam dikemudian
hari, orang tua atau pengasuh harus cepat mengetahui bila anak menderita demam. Disamping
pemberian antipiretik, obat yang tepat untuk mencegah kejang waktu demam adalah diazepam
intrarektal. Diberiakan tiap 12 jam pada penderita demam dengan suhu 38,5 oC atau lebih. Dosis
Diazepam diberikan 5 mg untuk anak kurang dari 3 tahun dan 7,5 mg untuk anak lebih dari 3
tahun atau dapat diberikan Diazepam oral 0,5 mg/kgBB pada waktu penderita demam
(berdasarkan resep dokter).
2.      Pengobatan profilaksis jangka panjang yaitu dengan pemberian antikonvulsan tiap hari. Hal ini
diberikan pada penderita yang menunjukkan hal berikut;
                                                   i.      Sebelum kejang demam penderita sudah ada kelainan neurologis atau
perkembangannya.
                                                 ii.      Kejang demam lebih dari 15 menit, fokal atau diikuti kelainan neurologis
sementara atau menetap.
                                               iii.      Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung
                                               iv.      Kejang demam pada bayi atau kejang multipel pada satu episode demam.
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN GANGGUAN PERTUMBUHAN DAN
PERKEMBANGAN
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.      Definisi pertumbuhan dan perkembangan AUD
pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini seringkali dipergunakan seolah-olah
keduanya mempunyai pengertian yang sama, karena menunjukan adanya suatu proses perubahan
tertentu yang mengarah kepada kemajuan. Padahl sesungguhnya istilah pertumbuhan dan
perkembangan ini mempunyai pengertian yang berbeda.
Pertumbuhan dapat diartikan sebagai perubahan yang bersifat kuantitatif, sebagai akibat dari
adanya pengaruh luar atau lingkungan. Pertumbuhan mengandung arti adanya perubahan alam
ukuran dan struktur tubuh sehingga lebih banyak menyangkut perubahan fisik.
Selain dari pengertian diatas, pertumbuhan dapat didefinisikan pula sebagai perubahan secara
fisiologis sebagai hasil dari proses pematangan fungsi-fungsi fisik yang berlangsung secara
normal pada diri individu yang sehat dalam fase-fase tertentu. Hasil dari pertumbuhan ini berupa
bertambah panjang tulang-tulang terutama lengan dan tungkai, bertambah tinggi dan berat badan
serta semakin bertambah sempurnanya susunan tulang dan jaringan syaraf. Pertumbuhan ini akan
terhenti setelah adanya maturasi atau adanya kematangan pada diri individu.
Berbeda dengan pertumbuhan, perkembangan adalah suatu perubahan fungsional yang bersifat
kualitatif, baik dari fungsi-fungsi fisik maupun  mental sebagai hasil keterkaitannya dengan
pengaruh lingkungan.
Perkembangan dapat juga dikatakan sebagai suatu urutan-urutan perubahan yang bersifat
sistematis, dalam arti saling kebergantungan atau saling mempengaruhi antaraspek-aspek fisik
dan psikis merupakan satu kesatuan yang harmonis. (contoh: anak diperkenalkan bagaimana cara
memegang pensil, membuat huruf-hurufdan diberi latihan oleh orang tuanya). Kemampuan
belajar menulis akan mudah dan cepat dikuasai anak apabila proses latihan diberikan padasaat
otot-ototnya telah tumbuh dengan sempurna, dan saat untuk memehami bentuk huruf telah
diperoleh.
Dengan demikian anak akan mampu memegang pensil dan membaca bentuk huruf. Selain itu
perubahan juga bersifat  progresif, yang berarti bahwa perubahan yang terjadi bersifat maju,
meningkat an mendalam baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Contoh, perubahan
pengetahuan dan kemampuan anak dari yang bersifat sedehana berkembang kearah yang lebih
berkesinambungan merupakan ciri lain dari perubahan yang terjadi, artinya perubahan itu
berlangsung secara beraturan atau berurutan, tidak bersifat meloncat-loncat atau karena unsur
kebetulan. Contoh, agar anak mampu berlari maka sebelumnya anak harus mapu berdiri dan
merangkak terlebih dahulu.
Melalui belajar anak akan berkembang, dan akan mampu mempelajari hal-hal yang baru.
Perkembangan akan dicapai karena adanya proses belajar, sehingga anak memperoleh
pengalaman baru dan menimbulkan perilaku baru.
Dari uraian pengertian diatas perlu disadari bahwa pertumbuhan fisik dipengaruhi perkembangan
psikis individu, karena pada suatu saat tertentu kedua istilah tersebut dapat digunakan secara
bersamaan. Dengan kata lain, perkembangan merupakan hasil dari pertumbuhan, pematangan
fungsi-fungsi fisik, kematangan fungsi-fungsi psikis dan usaha belajar.
Dari uraian di atas kita dapat mengetahui bahwa pertumbuhan dan perkembangan anak memiliki
pengertian yang berbeda tetapi memiliki kesinambungan  makna yang membangun karakter dan
pendidikan anak usia dini. Begitu juga kita perlu mengetahui prinsip-prinsip perkembangan anak
usia dini.
2.      Ciri-ciri perkembangan anak usia dini
Pada umumnya ciri-ciri perkembangan bayi dan anak kecil sifatnya individual dan kontekstual.
Bayi dapat mengalami dan menghayati secara langsungkeadaan disekitarnya melalui indera
mereka seperti melihat, mendengar, mengecap, mencium, dan merasakan. Bayi yang
berkembang secara normal akan secara aktif memfungsikan inderanya untuk menangkap,
merasakan, dan menghayati hal-hal yang ada di luar dirinya secara langsung. Namun aktivitas
bayi secara biologis, psikologis, dan sosiologis berbeda dengan anak kecil, remaja atau dewasa.
Seekor anak itik baru tetas dari telur bisa langsung berenang, tetapi bayi tidak langsung berjalan.
Ia masih belum berdaya meskipun memiliki potensi untuk berkembang. Karena itu ia
memerlukan bantuan dari orang dewasa agar ia bisa tumbuh mengenal dan memahami
lingkungannya.
Dengan demikian orang dewasa sangat memegang peranan penting dalam membantu anak dalam
ketidakberdayaannya melalui sosialisasi nilai-nilai, kebiasaan, dan norma-norma kehidupan
sosial. Hubungan yang hangat dan positif antara orang dewasa dengan bayi dan anak-anak akan
membantu bayi dan anak kecil untuk dapat mengembangkan rasa percaya diri terhadap
lingkungan. Selain itu, orang dewasa perlu mengajarkan nilai-nilai dasar bagi pengembangan
disiplin, kemandirian, dan tanggung jawab anak. Misalnya anak mulai dilatih, dibiasakan, dan
dididik untuk dapat mengatur diri sendiri seperti makan, berpakain, mandi serta buang air. Dalam
hal ini orangtua, para pengasuh, dan tenaga profesional perlu memahami dan mengembangkan
berbagai metode dan teknik pedidikan, bimbingan da pengembangan anak usia dini.
Selanjutnya agar pendidik dapat menanamkan dan mengajarkan disiplin pada anak maka
tentunya harus mengetahui dengan jelas taraf  perkembangan menurut usia anak dan beberapa
prinsip dasar sehingga dapat membimbing anak tersebut. Ciri-ciri perkembangan anak adalah
sebagai berikut:
  Seumur hidup(life-long) adalah tidak ada periode usia yang mendominasi perkembangan
individu.
  Multidimensional  adalah terdiri atas biologis,kognitif,dan sosial
  Multidirectional adalah beberapa komponen dari satu dimensi dapat meningkat dalam
pertumbuhan,sementara komponen lain menurun. Misalnya, orang dewasa dapat semakin aif
tetapi kecepatan memproses informasi lebih buruk.
  Lentur(plastis) adalah bergantung pada kondisi kehidupan individu
3.     Faktor-faktor yang mempengaruhi anak usia dini
         Faktor lingkungan
Faktor lingkungan disini ialah berupa lingkungan fisik yang ada di PAUD deperti halnya adanya
suara,cahaya,suhu,dan desain kelaas. Apabila lingkungan fisik tersebut terkontrol dengan baik
maka anak usia dini akan merasa nyaman dalam belajar.
Contohnya : ketika desaian ruangan di dalam lingkungan kelas belajar di desaian dengan sangat
menarik,anak akan lebih tertarik dan semangat untuk belajar.
         Faktor sosial
Faktor sosial ini sangat berpengaruh dalam perkembangan kecakapan sosial anakakan belajar
bagaimana bekerja sama,berinteraksi,sehingga anak akan belajar menghargai orang lain. Ketika
faktor sosial berperan sangat baik di dalam pendidikan anak usia dini,maka perkembangan
belajar anakpun nantinya juga akan meningkat,khususnya dalam bidang sosial
         Faktor emosi
Faktor emosi berkaitan dengan motivasi anak dalam belajar. Ketika anak memiliki emosi yang
bagus dia akan semangat dalam belajar dan ketika mereka sedang dalam emosi yang tidak bagus
anak usia dini cenderung tidak mau untuk diajak belajar. Karena kondisi emosi tiap anak
berbeda-beda,maka pendidik memiliki tugas ekstra untuk mencari strategi yang dapat
membangkitkan motivasi mereka dalam belajar.
         Faktor fisik
Faktor fisik dalam anak usia dini harus memerlukan kesiapa fisik yang cukup baik untuk belajar.
Kesiapan fisik yang dimaksud disini adalah berkaitan dengan kondisi anak yang berkaitan
dengan kondisi dengan makan dan minum,istirahat,kecukupan waktu tidur,dan aktivitas yang
dilakukan. Ketika kondisi anak tidak dalam keadaan baik,misalnya terlalu lelah,hal tersebut akan
mempengaruhi bagaimana anak dalam belajar. Ketika anak lelah anak akan tidak semangat lagi
dalam belajar. Oleh karena itu faktor kegiatan yang dilakukan dalam pembelajaran di PAUD
harus memperhatikan hal tersebut sehingga kegiatan dalam pembelajaran dapat berlangsung
dengan optimal.
4.     Aspek-aspek perkembangan Anak usia dini
Menurut catron dan allen menyebutkan bahwa terdapat 6 aspek perkembangan anak usia dini.
Diantaranya :
          Kesadaran personal : perkembangan kesadaran sosial bermain mendukung anakk tumbuh
secara mandiri dan memiliki kontrol atas lingkungannya. Melalui bermain anak dapat
menemukan hal yang baru,bereksplorasi. Meniru dan mempraktekkan kehidupan sehari-hari
sebagai sebuah langkah dalam membangun ketrampilan menolong diri sendiri, ketrampilan ini
membuat anak untuk mengenal diri mereka dan untuk mengembangkan pola perilaku yang
memuaskan dalam hidup.
         Pengembangan emosi : melalui permainan anak dapt belajar menerima berekspresi dan
mengatasi masalah
         Membangun sosialisasi : kemamuan sosialisai dan memperluas empati terhadap orang lain
serta mengurangi sikap egosentrisme.
         Kemampuan berbahasa anak : memperluas kosa kata dan mengembangkan daya penerimaan
serta mengekspresikan kemampuan berbahasa mereka melalui interaksi dengan anak-anak lain
dan orang dewasa pada situasi bermain spontan.
         Pengembangan kognitif : memenuhi kebutuhan anak untuk secara aktif terlibat dengan
lingkungan.
         Pengembangan kemampuan motorik : kesempatan yang luas untuk bergerak pengalaman
belajar untuk menemukan aktivitas sensorik motor yang meliputi penggunaan otot-otot besar dan
kecil. Memungkinkan anak untuk memenuhi perkembangan preseptual motorik.
5.     Permasalahan kesulitan anak usia dini
Masalah ganngguan belajar kerap kali dijumpai pada anak-anak. Masalah ini bisa timbul
disekolah maupun di luar sekolah. Anak yang mengalami gangguan pemusatan
perhatian(kosentrasi),gangguan daya ingat,gangguan membaca,menulis,berhitung,dll. Dampak
yang dialami oleh anak yang mengalami gangguan belajar bukan hanya pada proses tumbuh
kembangnya,tetapi juga berdampak pada proses tumbuh kembangnya,tetapi jyga berdampak
pada proses interaksi anak tersebut dengan lingkungannya. Terkadang bukan keharmonisan
keluarga juga dapat terganggu,diantara kedua orang tua saling menyalahkan,merasa
frustasi,marah,dll.
Kesulitan belajar adalah gangguan belajar pada anak yang ditandai dengan adanya
kesenjangan antara taraf intelegensi dengan kemampuan akademik yang harus dicapai.
  Ciri-ciri anak kesulitan belajar :
1.      Terlambat bicara dibanding dengan anak seusianya.
2.      Memiliki kesulitan dalam mengucapkan beberapa kata.
3.      Dibandingkan anak seusianya,penguasaan jumlah katanya lebih sedikit(terbatas)>
4.      Sering tidak mampu menemukan kata yang sesuai untuk satu kalimat yang akan ditemukan.
5.      Sulit mempelajari dan mengenali angka,huruf,dan nama-nama hari.
6.      Sulit merangkai kata untuk menjadi sebuah kalimat.
7.      Sering gelisah yang berlebihan.
8.      Mudah terganggu kosentrasinya.
9.      Sulit berinteraksi dengan teman sesuainya.
10.  Sulit mengikuti instruksi yang diberikan untuknya.
  Jenis-jenis kesulitan belajar :
1.      Gangguan membaca(disleksia)
Gangguan membaca adalah sebuah kondisi ketidakmampuan belajar pada anak yang disebabkan
oleh kesulitan dalam melakukan aktivitas membaca dan menulis.
Contoh : kesulitan mengenali huruf atau mengejanya.
2.      Gangguan menulis(disgrafia)
Gangguan menulis adalah gangguan belajar yang terjadi karena anak kesulitan dalam
mendengar,berbicara,menulismenganalisis,dan memecahkan persoalan.
Contoh: sulit memegang bolpoin maupun pensil dengan mantap. Caranya memegang alat tulis
seringkali terlalu dekat bahkan hampir menempel kertas.
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN LUKA BAKAR
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
            Luka bakar adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan
sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik, dan radiasi ( Moenajat, 2001).
B. ETIOLOGI
            Menurut dr Sunarso K, Sp B (2009) panas bukan merupakan satu-satunya penyebab dari
luka bakar, beberapa jenis bahan kimia dan arus listrik juga bisa menyebabkan terjadinya luka
bakar. Biasanya bagian tubuh yang terbakar adalah kulit, tetapi luka bakar juga bisa terjadi pada
jaringan di bawah kulit, bahkan organ dalampun bisa mengalami luka bakar meskipun kulit tidak
terbakar.
Sebagai contoh, meminum minuman yang sangat panas atau zat kaustik (misalnya asam)
bisa menyebabkan luka bakar pada kerongkongan dan lambung. Menghirup asap dan udara
panas akibat kebakaran gedung bisa menyebabkan terjadinya luka bakar pada paru-paru. Luka
bakar listrik bisa disebabkan listrik yang dihasilkan oleh suatu arus listrik yang mengalir dari
sumber listrik ke dalam tubuh manusia.
Resistensi (kemampuan tubuh untuk menghentikan atau memperlambat aliran listrik) yang tinggi
terjadi pada kulit yang bersentuhan dengan sumber listrik, karena itu pada kulit tersebut banyak
energi listrik yang diubah menjadi panas sehingga permukaannya terbakar. Luka bakar listrik
juga menyebabkan kerusakan jaringan dibawah kulit yang sangat berat. Ukuran dan
kedalamannya bervariasi dan bisa menyerang bagian tubuh yang jauh lebih luas daripada bagian
kulit yang terluka. Kejutan listrik yang luas bisa menyebabkan kelumpuhan pada sistem
pernafasan dan gangguan irama jantung sehingga denyut jantung menjadi tidak beraturan. Luka
bakar kimia bisa disebabkan oleh sejumlah iritan dan racun, termasuk asam dan basa yang kuat,
fenol dan kresol (pelarut organik), gas mustard dan fosfat.
Menurut A.A.GN. Asmarajaya (2003), berdasarkan perjalanan penyakitnya luka bakar
dibagi menjadi 3 fase, yaitu :
1. Fase akut
             Pada fase ini masalah yang ada berkisar pada gangguan saluran napas karena adanya
cedera inhalasi dan gangguan sirkulasi. Pada fase ini terjadi gangguan keseimbangan sirkulasi
cairan dan elektrolit akibat cedera termis yang bersifat sistemik.
2. Fase sub akut
            Fase ini berlangsung setelah syok berakhir. Luka terbuka akibat kerusakan jaringan (kulit
dan jaringan dibawahnya) menimbulkan masalah inflamasi, sepsis dan penguapan cairan tubuh
yang disertai panas / energi.
3. Fase lanjut
            Fase ini berlangsung setelah terjadi penutupan luka sampai terjadi maturasi. Masalah
pada fase ini adalah timbulnya penyulit dari luka bakar berupa parut hipertrofik, kontraktur, dan
deformitas lainnya.
  C. PATOFISIOLOGI
Menurut Iswinarno (2003) luka bakar mengakibatkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah sehingga air, klorida dan protein tubuh akan keluar dari dalam sel dan
menyebabkan edema yang dapat berlanjut pada keadaan hipovolemia dan hemokonsentrasi. Burn
shock ( shock Hipovolemik ) merupakan komplikasi yang sering terjadi, manisfestasi sistemik
tubuh terhadap kondisi ini adalah :
1. Respon kardiovaskuler
             Perpindahan cairan dari intravaskuler ke ekstravaskuler melalui kebocoran kapiler
mengakibatkan kehilangan Na, air dan protein plasma serta edema jaringan yang diikuti dengan
penurunan curah jantung. Hemokonsentrasi sel darah merah, penurunan perfusi pada organ
mayor, dan edema menyeluruh.
2. Respon Renalis
            Dengan menurunnya volume inravaskuler maka aliran ke ginjal dan GFR menurun
mengakibatkan keluaran urin menurun dan bisa berakibat gagal ginjal
3. Respon Gastro Intestinal
             Respon umum pada luka bakassr > 20 % adalah penurunan aktivitas gastrointestinal. Hal
ini disebabkan oleh kombinasi efek respon hipovolemik dan neurologik serta respon endokrin
terhadap adanya perlukaan yang luas. Pemasangan NGT mencegah terjadinya distensi abdomen,
muntah dan aspirasi.
4. Respon Imonologi
           Sebagian basis mekanik, kulit sebgai mekanisme pertahanan dari organisme yang masuk.
Terjadinya gangguan integritas kulit akan memungkinkan mikroorganisme masuk kedalam luka.
Pembagian zona kerusakan jaringan menurut A.A GN. Asmarajaya SpB (2003) :
1.      Zona koagulasi yang merupakan daerah yang langsung mengalami kerusakan
( koagulasi       protein ) akibat pengaruh panas.
2.       Zona statis yang merupakan daerah yang berada langsung di luar zona koagulasi, di daerah ini
terjadi kerusakan endotel pembuluh darah disertai kerusakan trombosit dan leukosit, sehingga
terjadi gangguan perfusi ( no flow phenomena) diikuti perubahan permeabilitas kapiler dan
respon inflamasi lokal. Proses ini berlangsung selama 12- 24 jam pasca cedera, dan mungkin
berakhir dengan nekrosis jaringan.
3.       Zona hiperemi yang merupakan daerah di luar zona statis yang ikut mengalami reaksi berupa
vasodilatasi tanpa abnyak melibatkan reaksi seluler.
D. KLASIFIKASI
             Untuk membantu mempermudah penilaian dalam memberikan terapi dan perawatan,
luka bakar diklasifikasikan berdasarkan penyebab, kedalaman luka, dan keseriusan luka, yakni :
1. Berdasarkan penyebab
a. Luka bakar karena api
Luka bakar karena api termasuk angka kejadian yang banyak dalam masyarakat.
Terutama akibat kompor gas yang meledak, percikan api listrik atau juga akibat kelalaian saat
menyalakan lilin. Hal tersebut hanya merupakan beberapa contoh dari kejadian luka bakar
karena api. Hal yang perlu diwaspadai pada luka bakar karena api adalah adanya kejadian cedera
inhalasi, terutama jika terdapat riwayat terjebak di dalam suatu ruangan, sehingga komplikasi
yang ditimbulkan akan lebih berat. ( Poengki, 2009)
b. Luka bakar karena air panas
Menurut dr Poengki (2009) Luka bakar merupakan bahaya yang potensial terjadi di setiap
rumah tangga, dan banyak laporan menunjukkan luka bakar oleh karena air panas atau cairan
panas adalah jenis yang paling sering terjadi pada anak. Luka bakar pada anak 65,7% disebabkan
oleh air panas atau uap panas (scald).
Mayoritas dari luka bakar pada anak-anak terjadi di rumah dan sebagian besar dapat
dicegah. Dapur dan ruang makan merupakan daerah yang seringkali menjadi lokasi terjadinya
luka bakar. Anak yang memegang oven, menarik taplak dimana di atasnya terdapat air panas,
minuman panas atau makanan panas. Dalamnya luka bakar tergantung pada suhu agen penyebab
luka bakar dan lamanya kontak dengan agen penyebab luka bakar tersebut. Suhu yang kurang
dari 400C dapat ditoleransi dalam periode waktu yang lama tanpa menyebabkan luka bakar.
c. Luka bakar karena bahan kimia
Menurut Sjamsuhidajat (2005) luka bakar dapat disebabkan oleh asam, alkali dan hasil-
hasil pengolahan minyak. Luka bakar alkali lebih berbahaya dari asam, sebab alkali lebih dalam
merusak jaringan. Segeralah bersihkan bahan kimia tersebut dari luka bakar. Kerusakan jaringan
akibat luka bakar bahan kimia dipengaruhi oleh lamanya kontak, konsentrasi bahan kimia dan
jumlahnya. Segera lakukan irigasi dengan air sebanyak- banyaknya, bila mungkin gunakan
penyemprot air. Lakukan tindakan ini dalam waktu 20-30 menit. Untuk luka bakar alkali,
diperlukan waktu yang lebih lama. Bila bahan kimia merupakan bubuk, sikatlah terlebih dahulu
sebelum irigasi.
Jangan memberikan bahan- bahan penetral ( neutralizing agent) sebab reaksi kimiawi
yang terjadi akibat pemberian bahan penetral dapat menimbulkan panas dan akan memperberat
kerusakan yang terjadi. Untuk luka bakar pada mata, memerlukan irigasi terus- menerus selama
8 jam pertama setelah luka bakar. Untuk irigasi ini dapat digunakan kanula kecil yang dipasang
pada sulcus palpebra.
d. Luka bakar karena listrik
Dalam ATLS (1997) kecelakaan akibat arus listrik dapat terjadi karena arus listrik
mengaliri tubuh, karena adanya loncatan arus, atau karena ledakan tegangan tinggi, antara lain
karena petir. Arus listrik menimbulkan kelainan karena rangsangan terhadap saraf dan otot.
Energi panas akibat tahanan jaringan yang dilalui arus menyebabkan luka bakar pada jaringan
tersebut. Tubuh merupakan penghantar tenaga listrik, dan panas yang ditimbulkannya
menyebabkan luka bakar pada tubuh. Perbedaan kecepatan hilangnya panas dari jaringan tubuh
superficial dengan jaringan tubuh yang lebih dalam, menghasilkan keadaan dimana jaringan
yang lebih dalam bisa mengalami nekrosis, sedangkan kulit diatasnya bisa terlihat
normal.Rabdomiolisis menghasilkan pelepasan mioglobin yang dapat menyebabkan kegagalan
ginjal.
Penanganan harus segera dilakukan pada penderita dengan luka bakar listrik meliputi
perhatian terhadap jalan nafas, pernafasan, pemasangan infuse, ECG, dan pemasangan kateter.
Apabila urin berwarna gelap, mungkin urin mengandung hemokhromogens. Janganlah
menunggu konfirmasi laboratorium untuk melakukan terapi terhadap mioglobinuria. Pemberian
cairan harus ditingkatkan sedemikian rupa sehingga tercapai produksi urin sekurang- kurangnya
100 cc/ jam ( pada dewasa). Bila urin belum tampak jernih, berikan segera 25 gr manitol dan
tambahan 12,5 gr manitol pada tiap penambahan 1 liter cairan untuk mempertahankan dieresis
sejumlah tersebut diatas. Bila terjadi asidosis metabolic, pertahankan perfusi sebaik mungkin dan
berikan natrium bikarbonat untuk membuat urin menjadi alkalis dan meningkatkan kelarutan
mioglobin dalam urin.s
e. Luka bakar karena radiasi
Menurut ATLS (1997) efek dini dari radiasi dosis tinggi akan tampak jelas dalam waktu
beberapa menit atau beberapa hari. Efek lanjut mungkin baru tampak beberapa minggu, bulan
atau bahkan bertahun-tahun kemudian. Mutasi (pergeseran) bahan genetik dari sel-sel organ
kelamin akan tampak jelas hanya jika korban pemaparan radiasi memiliki anak, dimana anaknya
mungkin terlahir dengan kelainan genetik.
Efek kerusakan yang terjadi akibat radiasi tergantung kepada jumlah (dosis), lamanya
pemaparan, kecepatan pemaparan dan banyaknya bagian tubuh yang terkena radiasi.. Dimana
dosis tunggal yang diberikan dalam waktu singkat bisa berakibat fatal, tetapi dosis yang sama
yang diberikan selama beberapa minggu atau beberapa bulan bisa hanya menimbulkan efek yang
ringan. Jumlah dosis total dan kecepatan pemaparan menentukan efek radiasi terhadap bahan
genetik pada sel.
Banyaknya bagian tubuh yang terkena radiasi Jika disebarluaskan ke seluruh permukaan
tubuh, radiasi yang lebih besar dari 6 gray biasanya menyebabkan kematian, tetapi jika hanya
diarahkan kepada sebagian kecil permukaan tubuh (seperti yang terjadi pada terapi kanker),
maka 3-4 kali jumlah tersebut bisa diberikan tanpa menimbulkan efek yang berbahaya bagi
tubuh Penyebarluasan radiasi di dalam tubuh, bagian tubuh dimana sel-sel membelah dengan
cepat (misalnya usus dan sumsum tulang), lebih mudah mengalami kerusakan akibat radiasi
daripada sel-sel yang membelah secara lebih lambat (misalnya otot dan tendo). Oleh karena itu,
selama menjalani terapi radiasi untuk kanker, diusahakan agar bagian tubuh yang lebih peka
terhadap radiasi dilindungi sehingga bisa digunakan radiasi dosis tinggi.
Kecepatan dosis adalah jumlah radiasi yang diterima seseorang selama periode waktu tertentu.
Kecepatan dosis radiasi dari lingkungan yang tidak dapat dihindari adalah rendah, yaitu sekitar
1-2 miligray/tahun (1 miligray sama dengan 1/1,000 gray), yang tidak menimbulkan efek pada
tubuh. Efek radiasi sifatnya kumulatif, setiap pemaparan baru akan ditambahkan kepada
pemaparan sebelumnya untuk menentukan dosis total dan kemungkinan efeknya pada tubuh.
Semakin tinggi kecepatan dosis atau dosis totalnya, maka semakin besar kemungkinan timbulnya
resiko.
Jika seseorang menjadi sakit setelah menjalani terapi radiasi atau setelah terkena radiasi
dalam suatu kecelakaan, maka kemungkinan telah terjadi cedera akibat radiasi. Tidak ada
pemeriksaan khusus untuk mendiagnosis keadaan ini. Pemeriksaan darah dan sumsum tulang
berulang bisa memberikan informasi tambahan tentang beratnya cedera yang terjadi.
Radiasi kronik yang pemaparannya tidak diketahui atau tidak dihiraukan, sulit atau bahkan tidak
mungkin terdiagnosis. Jika diduga telah terjadi suatu cedera akibat radiasi, biasanya dicari
kemungkinan terjadinya pemaparan di tempat kerja dan dilakukan pemeriksaan kromosom
(pembawa bahan genetik di dalam sel) secara periodik meskipun hasilnya mungkin tidak pasti.
Pemeriksaan mata juga dilakukan secara periodik untuk mengetahui adanya katarak.
Kulit yang terkontaminasi oleh bahan radioaktif harus segera dicuci dengan air yang banyak dan
(jika ada) dengan larutan yang memang dibuat untuk mencuci bahan radioaktif. Luka tusuk yang
kecil harus benar-benar dibersihkan agar semua partikel radioaktif terbuang meskipun
menimbulkan nyeri.n Jika bahan radioaktif tertelan, harus dirangsang untuk muntah. Pemaparan
radioaktif yang berlebihan mungkin perlu dipantau dengan pemeriksaan pernafasan dan air
kemih untuk radioaktif.
Sindroma otak akut selalu berakibat fatal, karena itu pengobatan dimaksudkan untuk
mengurangi nyeri, kecemasan dan gangguan pernafasan. Untuk mengatasi kejang diberikan obat
penenang. Gejala sakit radiasi akut akibat terapi radiasi pada perut bisa dikurangi dengan obat
anti-mual dan anti-muntah yang diberikan sebelum pasien menjalani terapi radiasi. Sindroma
saluran pencernaan bisa diatasi dengan anti-muntah, obat penenang dan makanan lunak. Cairan
diberikan sesuai dengan kebutuhan.
Pada 4-6 hari sesudah radiasi, dilakukan transfusi darah berulang dan diberikan
antibiotik, sampai sel-sel baru mulai tumbuh di dalam saluran pencernaan. Pada sindroma
hematopoietik, untuk menggantikan sel darah yang hilang dilakukan transfusi. Untuk mencegah
infeksi diberikan antibiotik dan penderita dijauhkan dari orang-orang yang sedang menderita
suatu infeksi. Kadang dilakukan pencangkokkan sumsum tulang, tetapi angka keberhasilannya
rendah.
Langkat pertama untuk mengatasi efek lanjut dari pemaparan jangka panjang adalah
menghilangkan sumber radiasi. Bahan radioaktif tertentu (misalnya radium, torium dan
radiostrontium) dapat dibuang dari dalam tubuh dengan obat-obatan yang menempel pada bahan
tersebut dan kemudian dibuang melalui air kemih. Obat-obat tersebut akan sangat efektif jika
diberikan segera setelah terjadinya pemaparan.
Luka terbuka dan kanker diangkat atau diperbaiki melalui pembedahan.Pengobatan
leukemia akibat radiasi adalah dengan kemoterapi. Sel darah bisa digantikan melalui transfusi
tetapi tindakan ini hanya bersifat sementara karena sumsum tulang yang telah mengalami
kerusakan akibat radiasi tidak mungkin tumbuh kembali. Tidak ada pengobatan yang dapat
mengembalikan kesuburan, tetapi kelainan fungsi indung telur dan buah zakar yang
menyebabkan rendahnya kadar hormon seksual dapat diatasi dengan terapi sulih hormon.
f. Luka bakar karena suhu rendah
Cedera akibat suhu tubuh dingin terutama terjadi pada bagian ujung tubuh yang langsung
terkena suhu dingin, seperti jari kaki dan tangan, telinga, dan hidung. Faktor kelembaban udara
yang rendah serta angin kencang memperberat kerusakan pada daerah yang tidak terlindung
pakaian.
Awalnya bagian tubuh yang terpajan terasa dingin, kemudian diikuti rasa tebal, lalu
bagian itu kehilangan daya rasa. Kadang rasa nyeri terasa menyengat atau berdenyut. Kulit mula-
mula kemerahan , lalu menjadi pucat seperti lilin.Pada waktu suhu jaringan turun, terjadi
vasokonstriksi arteriol dan terjadi hipoksia sel.
Jenis- jenis trauma dingin ( dalam ATLS 1997 ) dibagi menjadi 3 bentuk, yaitu :
Frosnip yang merupakan bentuk yang paling ringan, ditandai dengan adanya rasa nyeri,
tampak pucat dan anestesi di daerah yang terkena. Keadaan tersebut bersifat reversible akan
pulih setelah tindakan pemanasan dan tidak terdapat kehilangan jaringan, kecuali bila keadaan
ini berulang dalam beberapa tahun, akan menyebabkan kehilangan bantalan lemak atau terjadi
atrofi.
Frosbite yaitu adanya pembekuan jaringan yang terjadi karena pembentukan kristal
intraselluler dan oklusi mikrovaskuler sehingga terjadi anoksia jaringan. Beberapa dari
kerusakan jaringan terjadi akibat reperfusion injury setelah upaya penghangatan tubuh. Sama
halnya seperti pada luka bakar, frostbite biasanya dibagi menjadi 4 derajat kerusakan,
Non Freezing Injury ( trauma dingin tidak membekukan ) yaitu terjadi kerusakan endotel
mikrovaskuler, stasis dan oklusi vaskuler “trench frost” (kaki parit) atau kaki dan tangan tercelup
( immersion foot or hand) menjelaskan satu keadaan nonfreezing injury dari tangan atau kaki,
khususnya sering terjadi pada tentara, pelaut dan nelayan, sebagai akibat kontak menahun
dengan “keadaan basah”, suhu dingin diatas titik beku. Meskipun kaki tampak hitam, tetapi tidak
terjadi kerusakan jaringan dalam. Terjadi keadaan- keadaan vasospasme dan vasodilatasi
pembuluh darah dengan akibat bahwa jaringan yang terkena mula- mula dingin dan anestetik
berlanjut menjadi hyperemia dalam waktu 24 -48 jam.
Dengan keadaan hyperemia, terjadi rasa nyeri hebat seperti terbakar dan “disestesi”
disertai timbulnya gambaran kerusakan jaringan misalnya edema, timbulnya vesikel / bula ,
kemerahan, ekimosis dan ulserasi. Dapat terjadi penyakit infeksi berupa selulitis, limfangitis atau
gangrene. Dengan selalu memperhatikan upaya- upaya hygiene kaki, dapat dicegah terjadinya
penyakit tersebut.
Perasaan gatal pada tangan dan kaki ( Chilblain atau Pernio) merupakan manifestasi kulit
sebagai akibat kontak berulang dengan keadaan atau suasana lembab atau dingin, seperti terjadi
pada para nelayan, atau kontak dengan keadaan dingin dan kering pada pendaki gunung.
Keadaan ini terutama terjadi pada daerah muka, tibia anterior, bagian daerah dari tangan dan kaki
dan pada daerah- daerah yang tidak terlindung dengan baik.
2. Berdasarkan kedalaman luka bakar
a. Luka bakar derajat I
1) Kerusakan terjadi pada lapisan epidermis
2) Kulit kering, hiperemi berupa eritema
3) Tidak dijumpai bulae
4) Nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi
5) Penyembuhan terjadi spontan dalam waktu 5-10 hari
b. Luka bakar derajat II
1.      Kerusakan meliputi epidermis dan sebagian dermis, berupa reaksi inflamasi disertai proses
eksudasi.
2.       Dijumpai bulae.
3.       Nyeri karena ujung-ujung saraf teriritasi.
4.       Dasar luka berwarna merah atau pucat, sering terletak lebih tinggi diatas kulit normal.
c.Luka bakar derajat II ini dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu :
o   Derajat II dangkal (superficial)
Kerusakan mengenai bagian superfisial dari dermis, Organ-organ kulit seperti folikel rambut,
kelenjar keringat, kelenjar sebasea masih utuh. Penyembuhan terjadi spontan dalam waktu 10-14
hari.
o    Derajat II dalam (deep)
Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis.Organ-organ kulit seperti folikel rambut,
kelenjar keringat, kelenjar sebasea sebagian besar masih utuh.Penyembuhan terjadi lebih lama,
tergantung epitel yang tersisa. Biasanya penyembuhan terjadi lebih dari sebulan.
c. Luka bakar derajat III
Luka bakar ini sangat dalam dan merusak organ-organ dibawah kulit seperti otot, syaraf,
tulang dan bila terjadi karena listrik dapat merusak organ-organ tubuh lainnya seperti hati, ginjal
dan jantung. Kulit tampak putih dan kaku bila digerakan. Kulit yang kaku ini bila terdapat
melingkar pada anggota gerak harus segera dilakukan insisi(robekan) kulit untuk menghilangkan
tekanan pada pembuluh darah Nadi yang ada dibawahnya. Bila tidak bagian anggota gerak
bagian distal(bawah) dari lesi akan mengalami kematian.
1.      Kerusakan meliputi seluruh lapisan dermis dan lapisan yang lebih dalam.
2.       Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea mengalami
kerusakan.
3.       Tidak dijumpai bulae.
4.       Kulit yang terbakar berwarna abu-abu dan pucat. Karena kering letaknya lebih rendah
dibanding kulit sekitar.
5.      Terjadi koagulasi protein pada epidermis dan dermis yang dikenal sebagai eskar.
6.      Tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi, oleh karena ujung-ujung saraf sensorik
mengalami kerusakan/kematian.
7.       Penyembuhan terjadi lama karena tidak terjadi proses epitelisasi spontan dari dasar luka.
d. luka bakar derajat IV
Luka bakar derajat IV adalah luka bakar yang mengenai otot, bahkan hingga ke tulang.
3.Berdasarkan tingkat keseriusan luka
American Burn Association menggolongkan luka bakar menjadi tiga kategori, yaitu:
a. Luka bakar mayor        
1.      Luka bakar dengan luas lebih dari 25% pada orang dewasa dan lebih dari 20% pada anak-anak.
2.      luka bakar fullthickness lebih dari 20%.
3.       Terdapat luka bakar pada tangan, muka, mata, telinga, kaki, dan perineum
4.       Terdapat trauma inhalasi dan multiple injuri tanpa memperhitungkan derajat dan luasnya luka.
5.       Terdapat luka bakar listrik bertegangan tinggi.
b. Luka bakar moderat
1) Luka bakar dengan luas 15-25% pada orang dewasa dan 10-20% pada anak-anak.
2) Luka bakar fullthickness kurang dari 10%.
3) Tidak terdapat luka bakar pada tangan, muka, mata, telinga, kaki, dan perineum.
c. Luka bakar minor
Luka bakar minor seperti yang didefinisikan oleh Trofino (1991) dan Griglak (1992)
adalah :Luka bakar dengan luas kurang dari 15% pada orang dewasa dan kurang dari 10 % pada
anak-anak.
1) Luka bakar fullthickness kurang dari 2%.
2) Tidak terdapat luka bakar di daerah wajah, tangan, dan kaki.
3) Luka tidak sirkumfer.
4) Tidak terdapat trauma inhalasi, elektrik, fraktur.
4.Ukuran dan luas luka bakar
Dalam menentukan ukuran luas luka bakar kita dapat menggunakan beberapa metod
yaitu :
a. Rule of nine dari Wallace
Kepala dan leher : 9%
Dada depan dan belakang : 18%
Abdomen depan dan belakang : 18%
Tangan kanan dan kiri : 18%
Paha kanan dan kiri : 18%
Kaki kanan dan kiri : 18%
Genital : 1%
b. Diagram Penentuan luas luka bakar pada anak- anak dengan diagram Lund dan
Browder sebagai berikut:
LOKASI USIA (Tahun)
0-1 1-4 5-9 10-15 DEWASA
KEPALA 19 17 13 10 7
LEHER 2 2 2 2 2
DADA & PERUT 13 13 13 13 13
PUNGGUNG 13 13 13 13 13
PANTAT KIRI 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5
PANTAT KANAN 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5
KELAMIN 1 1 1 1 1
LENGAN ATAS KA. 4 4 4 4 4
LENGAN ATAS KI. 4 4 4 4 4
LENGAN BAWAH KA 3 3 3 3 3
LENGAN BAWAH KI. 3 3 3 3 3
TANGAN KA 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5
TANGAN KI 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5
PAHA KA. 5,5 6,5 8,5 8,5 9,5
PAHA KI. 5,5 6,5 8,5 8,5 9,5
TUNGKAI BAWAH KA 5 5 5,5 6 7
TUNGKAI BAWAH KI 5 5 5,5 6 7
KAKI KANAN 3,5 3,5 3,5 3,5 3,5
KAKI KIRI 3,5 3,5 3,5 3,5 3,5
c. Perhitungan luas luka bakar menurut Linch dan Blocker (Rumus 10) untuk bayi:
Kepala: 20%
Tangan, masing-masing 10%
Kaki, masing-masing 10%
Badan kanan 20 %, kiri 20 %
E. PENATALAKSANAAN
Dalam Iswinarno (2003) prinsip penatalaksanaan dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase akut,
subakut dan lanjut.
Pada Fase Akut / Awal :
Cedera inhalasi merupakan factor yang secara nyata memiliki korelasi dengan angka
mortalitas. Kematian akibat cedera inhalasi terjadi dalam waktu singkat, dalam 8 sampai 24 jam
pertama pasca cedera. Pemasangan pipa endotrakea dan atau krikotirotomi merupakan suatu
tindakan mandatorik pada kasus dengan kecurigaan adanya cedera inhalasi. Sementara
penatalaksanaan lanjutan setelah tindakan penyelamatan tersebut ( terapi inhalasi, pembebasan
saluran nafas dari produk secret mukosa, pengaturan posisi penderita dan fisioterapi seawall
mungkin). Masing- masing turut berperan dalam keberhasilan terapi awal. Penderita yang
bertahan hidup setelah ancaman cedera inhalasi dalam waktu 8- 24 jam pertama ini, masih
dihadapkan pada komplikasi saluran pernafasan yang biasanya terjadi dalam 3-5 hari pasca
trauma. Komplikasi dari cedera inhalasi, dikenal sebagai kondisi ARDS, yang juga memiliki
prognosis sangat buruk.
1.      Penanggulangan terhadap shock, terutama syok hipovolemik yang merupakan suatu proses
yang terjadi pada luka bakar sedang sampai berat.( Baxter, Barkland).
2.      mengatasi gangguan keseimbangan cairan
 Protokol pemberian cairan mengunakan rumus Brooke yang sudah
dimodifikasi yaitu :
24 jam I : Ciran Ringer Lactat : 2,5 – 4 cc/kg BB/% LB.
Dimana ½ bagian diberikan dalam 8 jam pertama (dihitung mulai dari jam kecelakaan) dan ½
bagian lagi diberikan dalam 16 jam berikutnya.
24 jam II : Cairan Dex 5 % in Water : 24 x (25 + % LLB) X BSA cc.
Albumin sebanyak yang diperlukan, (0,3 – 0,5 cc/kg/%).
3.       Mengatasi gangguan pernafasan
4.       Mengatasi infeksi
5.       Eksisi luka scar dan skin graft.
6.       Pemberian nutrisi dilakukan setelah keadaan umum pasien baik, sebelumnya pasien
dipuasakan.
7.       Rahabilitasi
8.       Penaggulangan terhadap gangguan psikologis.
Pada fase subakut atau lanjutan:
Kerusakan / kehilangan kulit/ jaringan karena cedera termis menimbulkan masalah yang
dapat dikelompokan dalam dua golongan, dan masing- masing saling berhubungan, yaitu
memicu stress metabolism dan memicu SIRS, sepsis dan SDOM.
Kulit sebagai organ yang memiliki fungsi mencegah penguapan, dengan sendirinya
kerusakan kulit menyebabkan penguapamn berlangsung tanpa kendali dan penguapan yang
terjadi tidak ahnya sekedar cairan namun juga melibatkan protein dan energy (evaporation heat
loss). Kondisi pertama yang terjadi adalah hipotermi, yang disusul dengan menurunnya kadar
protein total, khususnya albumin. Imbalans protein timbul sebagai akibat, namun segera disusul
oleh imbalans karbohidrat dan lemak disamping imbalans cairan yang memang sudah terjadi
sebelumnya.
Gangguan keempat system homeostasis yang memicu pelepasan katekolamin dan
hormone stress lain, sehingga terjadi deteriorisasi system pengaturan, dalam kondisi gangguan
sirkulasi yang belum mencapai level normal ( dalam 3- 4 hari pasca cedera ), kondisi stress yang
timbul merupakan faktor yang memiliki nilai prognostik. Dengan kehilangan kulit yuang
berperan sebagai barier terhadap infeksi, invasi kuman menyebabkan sepsis luka yang yang
memperberat keadaan. Kedua hal tersebut diatas dapat menjadi factor yang berperan dalam
memicu timbulnya respons inflamasi sistemik, sepsis dan sindrom disfungsi organ multiple.
Jaringan yang rusak melepas kompleks lipid- protein yang dulu dikenal sebagai burn-toxin,
memiliki kekuatan ribuan kali dibandingkan endotoksin. Zat ini menyebabkan inhibisi proses
fosforilasi oksidatif yang mengganggu fungsi sel ( Kremer 1978, 1979) dan memicu pelepasan
sitokin dan mediator kimia lain yang breperan pada proses inflamasi ( interleukin, tromboksane,
tumor necrotizing factor, prostaglandin, termasuk radikal bebas). Reaksi yang mulanya bersifat
lokal berkembang menjadi suatu bentuk reaksi sistemik, meliputi beberapa tahapan (kaskade)
yang rumit, dan berkaitan dengan status gizi dan system imunitas penderita. Sindrom respons
inflamasi sistemik yang berkembang tidak dapat dihentikan melalui suatu system intervensi,
sindrom disfungsi organ multiple adalah rangkaian akhir dari perjalanan penyakit yang berakhir
dengan kematian. Bila sudah terjadi kegagalan organ ( jantung, paru , ginjal ), angka kematian
berkisar 70.
Penatalaksanaan secara sistematik dapat dilakukan :
1. Clothing
singkirkan semua pakaian yang panas atau terbakar. Bahan pakaian yang menempel dan tak
dapat dilepaskan maka dibiarkan untuk sampai pada fase cleaning.
2. Cooling
Dinginkan daerah yang terkena luka bakar dengan menggunakan air mengalir selama 20 menit,
hindari hipotermia (penurunan suhu di bawah normal, terutama pada anak dan orang tua). Cara
ini efektif samapai dengan 3 jam setelah kejadian luka bakar – Kompres dengan air dingin (air
sering diganti agar efektif tetap memberikan rasa dingin) sebagai analgesia (penghilang rasa
nyeri) untuk luka yang terlokalisasi – Jangan pergunakan es karena es menyebabkan pembuluh
darah mengkerut (vasokonstriksi) sehingga justru akan memperberat derajat luka dan risiko
hipotermia – Untuk luka bakar karena zat kimia dan luka bakar di daerah mata, siram dengan air
mengalir yang banyak selama 15 menit atau lebih. Bila penyebab luka bakar berupa bubuk, maka
singkirkan terlebih dahulu dari kulit baru disiram air yang mengalir.
3. Cleaning
pembersihan dilakukan dengan zat anastesi untuk mengurangi rasa sakit. Dengan membuang
jaringan yang sudah mati, proses penyembuhan akan lebih cepat dan risiko infeksi berkurang
4. Chemoprophylaxis
pemberian anti tetanus, dapat diberikan pada luka yang lebih dalam dari superficial partial-
thickness (dapat dilihat pada tabel 4 jadwal pemberian antitetanus). Pemberian krim silver
sulvadiazin untuk penanganan infeksi, dapat diberikan kecuali pada luka bakar superfisial. Tidak
boleh diberikan pada wajah, riwayat alergi sulfa, perempuan hamil, bayi baru lahir, ibu
menyususi dengan bayi kurang dari 2 bulan
5. Covering and
penutupan luka bakar dengan kassa. Dilakukan sesuai dengan derajat luka bakar. Luka
bakar superfisial tidak perlu ditutup dengan kasa atau bahan lainnya. Pembalutan luka (yang
dilakukan setelah pendinginan) bertujuan untuk mengurangi pengeluaran panas yang terjadi
akibat hilangnya lapisan kulit akibat luka bakar. Jangan berikan mentega, minyak, oli atau
larutan lainnya, menghambat penyembuhan dan meningkatkan risiko infeksi.
6. Comforting                  
Dapat dilakukan pemberian pengurang rasa nyeri untuk membantu pasien mengatasi
kegelisahan karena nyeri yang berat.
Prinsip Penanganan Frosbite dan Trauma Dingin Non Beku yaitu penanganan harus
sesegera mungkin dilakukan untuk mengurangi waktu pembekuan jaringan. Upaya pemanasan
hendaknya tidak dilakukan bila penderita beresiko untuk mengalami pembekuan ulang. Baju-
naju yang sempit harus dilepaskan dan diganti dengan selimut hangat. Apabila penderita bisa
minum, berikan minuman hangat. Rendam bagian tubuh yang kedinginan dengan air hangat
bersuhu 40oC ( jika mungkin air tersebut berputar ) hingga warna kulit dan perfusi kembali
normal. Hindari pemanasan kering dan jangan lakukan tindakan mengurut. Tindakan
penghangatan akan menimbulkan rasa nyeri yang hebat sehingga memerlukan pemberian obat-
obat analgesik. Dianjurkan untuk melakukan monitoring jantung sewaktu tindakan penghangatan
tubuh.
 ( American College of Surgeons Committee on Trauma, 1997 )Dikenal dua cara
merawat luka :
1. Perawatan terbuka (exposure method)
2. Perawatan tertutup (occlusive dressing method)
Keuntungan perawatan terbuka adalah mudah dan murah. Permukaan luka yang selalu
terbuka menjadi dingin dan kering sehingga kuman sulit berkembang. Kerugiannya bila
digunakan obat tertentu, misalnya mitras-argenti, alas tidur menjadi kotor. Penderita dan
keluargapun merasa kurang enak karena melihat luka yang tampak kotor.
Perawatan terbuka ini memerlukan ketelatenan dan pengawasan yang ketat dan aktif.
Keadaan luka harus diamati beberapa kali dalam sehari. Cara ini baik untuk merawat LB yang
dangkal. Untuk LB III dengan eksudasi dan pembentukan pus harus dilakukan pembersihan luka
berulang-ulang untuk menjaga luka tetap kering. Penderita perlu dimandikan tiap hari, tubuh
sebagian yang luka dicuci dengan sabun atau antiseptik dan secara bertahap dilakukan eksisi
eskar atau debridement.
Perawatan tertutup dilakukan dengan memberikan balutan yang dimaksudkan untuk
menutup luka dari kemungkinan kontaminasi. Keuntungannya adalah luka tampak rapi,
terlindung dan enak bagi penderita. Hanya diperlukan tenaga dan biaya yang lebih karena
dipakainya banyak pembalut dan antiseptik. Untuk menghindari kemungkinan kuman untuk
berkembang biak, sedapat mungkin luka ditutup kasa penyerap (tole) setelah dibubuhi dan
dikompres dengan antispetik. Balutan kompres diganti beberapa kali sehari. Pada waktu
penggantian balut, eskar yang terkelupas dari dasarnya akan terangkat, sehingga dilakukan
debridement. Tetapi untuk LB luas debridement harus lebih aktif dan dicuci yaitu dengan
melakukan eksisi eskar.
Indikasi rawat inap pasien luka bakar yaitu :
1.       Derajat II (dewasa > 30 %, anak > 20 %).
2.       Derajat III > 10%
3.       Luka bakar dengan komplikasi pada saluran nafas, fraktur, trauma jaringan lunak yang hebat.
4.      Luka bakar akibat sengatan listrik
5.       Derajat III yang mengenai bagian tubuh yang kritis seperti muka, tangan, kaki, mata,
telinga,      dan anogenital.
6.       Penderita syok atau terancam syok bila luas luka bakar > 10% pada anak atau > 15% pada
orang dewasa.
7.       Terancam edema laring akibat terhirupnya asap atau udara hangat.
8.       Letak luka memungkinkan penderita terancam cacat berat, seperti pada wajah, mata, tangan,
kaki atau perineum
9.       Luka bakar mengenai wajah, tangan, alat kelamin atau kaki
10.   Penderita akan mengalami kesulitan dalam merawat lukanya secara baik dan benar di rumah
11.   Penderita berumur kurang dari 2 tahun atau lebih dari 70 tahun
12.   Terjadi luka bakar pada organ dalam.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.      Laboratorium : Hb, Ht, Leucosit, Thrombosit, Gula darah, Elektrolit, Ureum, Kreatinin,
Protein, Albumin, Hapusan luka, Urine lengkap.
2.      Analisa gas darah (bila diperlukan).
3.      Rontgen : Foto Thorax
4.      EKG
5.      CVP : untuk mengetahui tekanan vena sentral, diperlukan pada luka bakar lebih dari 30 %
dewasa dan lebih dari 20 % pada anak.
G. KOMPLIKASI
1. Infeksi.
 Infeksi merupakan masalah utama. Bila infeksi berat, maka penderita dapat mengalami
sepsis. Berikan antibiotika berspektrum luas, bila perlu dalam bentuk kombinasi. Kortikosteroid
jangan diberikan karena bersifat imunosupresif (menekan daya tahan), kecuali pada keadaan
tertentu, misalnya pda edema larings berat demi kepentingan penyelamatan jiwa penderita.
2. Curling’s ulcer (ulkus Curling).
 Ini merupakan komplikasi serius, biasanya muncul pada hari ke 5–10. Terjadi ulkus pada
duodenum atau lambung, kadang-kadang dijumpai hematemesis. Antasida harus diberikan secara
rutin pada penderita luka bakar sedang hingga berat. Pada endoskopi 75% penderita luka bakar
menunjukkan ulkus di duodenum.
3. Konvulsi.
 Komplikasi yang sering terjadi pada anak-anak adalah konvulsi. Hal ini disebabkan oleh
ketidakseimbangan elektrolit, hipoksia, infeksi, obat-obatan (penisilin, aminofilin,
difenhidramin) dan 33% oleh sebab yang tak diketahui.
4. Komplikasi luka bakar
 yang lain adalah timbulnya kontraktur dan gangguan kosmetik akibat jaringan parut yang
dapat berkembang menjadi cacat berat. Kontraktur kulit dapat mengganggu fungsi dan
meyebabkan kekakuan sendi sehingga memerlukan program fisioterapi yang intensif dan
tindakan bedah.
5. Gangguan Jalan nafas.
 Paling dini muncul dibandingkan komplikasi lainnya, muncul pada hari pertama. Terjadi
karena inhalasi, aspirasi, edema paru dan infeksi. Penanganan dengan jalan membersihkan jalan
nafas, memberikan oksigen, trakeostomi, pemberian kortikosteroid dosis tinggi dan antibiotika.
Cedera Inhalasi yang dibahas di dalam alam dr M. Sjaifudin Noer (2003), cedera inhalasi
merupakan terminologi yang digunakan untuk menjelaskan perubahan mukosa saluran nafas
akibat adanya paparan terhadap suatu iritan yang dapat menimbulkan manifestasi klinis berupa
distress pernafasan. Pada kebakaran dalam ruang tertutup atau bila luka bakar mengenai daerah
muka (wajah ), dapat menimbulkan kerusakan mukosa jalan nafas akibat gas, asap atau uap
panas yang terhisap. Edema yang terjadi dapat menyebabkan gangguan berupa hambatan jalan
nafas karena edema laring. Gejala yang timbul adalah sesak nafas, takipneu, stridor, suara serak
dan dahak berwarna gelap karena jelaga.
Mekanisme pada cedera inhalasi dibagi menjadi tiga penyebab, yaitu karbon monoksida,
trauma panas langsung pada daerah saluran nafas atau digestive, dan inhalasi dari produk bahan
yang terbakar atau terhirup bahan toksik atau korosif.
Trauma panas langsung adalah terhirupnya sesuatu yang sangat panas, produk- produk
yang tidak sempurna dari bahan yang terbakar seperti bahan jelaga dan bahan khusus yang
menyebabkan kerusakan dari mukosa langsung pada percabangan trakeobronkial.
Keracunan asap disebabkan oleh termodegradasi material alamiah dan material yang diproduksi.
Akibat dari termodegradasi menyebabkan terbentuknya gas toksius seperti hydrogen sianida,
nitrogen dioksida, hydrogen klorida, akreolin, dan partikel- partikel tersuspensi. Efek akut dari
bahan kimia ini pada saluran nafas adalah iritasi dan bronkokonstriksi.
Kecurigaan adanya cedera inhalasi adalah bila pada penderita luka bakar terdapat 3 atau
lebih dari tanda- tanda berikut :
1. Riwayat terjebak dalam rumah atau tempat industry yang tertutup ( in door)
2. Sputum yang tercampur arang
3. Luka bakar perioral, termasuk hidung, bibir, mulut atau tenggorokan.
4. Penurunan kesadaran termasuk confusion
5. Tanda distress nafas, seperti rasa tercekik, tersedak, malas bernafas dan adanya wheezing atau
rasa tidak nyaman pada mata atau tenggorokan, menandakan iritasi mukosa
6. Gejala distress nafas takipneu atau kelainan pada auskultasi seperti krepitasi atau ronkhi
7. Sesak atau tidak ada suara.
H. PROGNOSIS
Pemulihan tergantung kepada kedalaman dan lokasi luka bakar.
Pada luka bakar superfisial (derajat I dan derajat II superfisial), lapisan kulit yang mati akan
mengelupas dan lapisan kulit paling luar kembali tumbuh menutupi lapisan di bawahnya.
Lapisan epidermis yang baru dapat tumbuh dengan cepat dari dasar suatu luka bakar superfisial
dengan sedikit atau tanpa jaringan parut. Luka bakar superfisial tidak menyebabkan kerusakan
pada lapisan kulit yang lebih dalam (dermis).
Luka bakar dalam menyebabkan cedera pada dermis. Lapisan epidermis yang baru tumbuh
secara lambat dari tepian daerah yang terluka dan dari sisa-sisa epidermis di dalam daerah yang
terluka. Akibatnya, pemulihan berlangsung sangat lambat dan bisa terbentuk jaringan parut.
Daerah yang terbakar juga cenderung mengalami pengkerutan, sehingga menyebabkan
perubahan pada kulit dan mengganggu fungsinya. Luka bakar ringan pada kerongkongan,
lambung dan paru-paru biasanya akan pulih tanpa menimbulkan masalah. Luka yang lebih berat
bisa menyebabkan pembentukan jaringan parut dan penyempitan. Jaringan parut bisa
menghalangi jalannya makanan di dalam kerongkongan dan menghalangi pemindahan oksigen
yang normal dari udara ke darah di paru-paru.
Penanganan Luka Bakar yang Benar
Luka bakar sangat berbahaya. Jika salah dan terlambat dalam penanganan, akan berakibat
kematian. Dan mitos2 yg beredar di masyarakat turut serta mempersulit proses pengobatan
tersebut. Karena itu perlu kita ketahui, apa saja larangan pada penderita luka bakar.
Yang Tidak Boleh Dilakukan :
1.Jangan Melumuri Dengan Kecap, Margarin, Salep, dll.1.
Mungkin ini terdengar konyol. Tapi inilah kenyataannya. Pasien dengan luka bakar, ketika tiba
di rumah sakit seringkali sudah dalam keadaan dilumuri kecap atau mentega, atau bahkan
minyak tanah
Kecap, salep, obat gosok, dll justru akan sangat mengganggu proses pengobatan. Kulit yg
terbakar pasti akan dibersihkan oleh dokter. Dan karena kecap dkk menempel sangat kuat pada
kulit, sehingga sangat sulit membersihkan jaringan yg rusak..
2. Jangan Diperban.
Pembalutan yang salah justru akan memperparah keadaan. Selain itu justru akan
mempersulit proses pembersihan luka. Memang perban diperlukan untuk kasus2 tertentu, namun
sebaiknya dilakukan oleh tenaga medis atau paramedis. Dalam kasus luka bakar ada dua pilihan
perawatan dibalut atau tidak, semuanya mempunyai kelebihan dan kekurangan, itupun
tergantung kasusnya. Namun pembalutan dilakukan setelah luka dibersihkan, jadi tidak langsung
setelah terbakar.
3. Jangan Menekuk Tubuh
Ketika seluruh tubuh atau sebagian tubuh terbakar api, posisi tubuh harus dalam keadaan
menjauhi pusat tubuh. Misalnya tangan, jari2 harus dalam keadaan terbuka, tidak boleh
menggenggam. Siku tidak boleh ditekuk. Kepala jangan menunduk, kalau bisa diarahkan ke atas
(bahasa jawa : ndangak). Dan lain2.
Posisi tubuh harus tidak boleh dalam keadaan tertekuk, karena kulit akan mengkerut. Jika tangan
anda menggepal atau menekuk, maka posisinya akan tetap seperti itu ketika sembuh nanti.
Begitu juga dengan kepala, jika menunduk, maka ketika sembuh dagu akan dempet dengan dada.
Dan seterusnya.
Hal ini wajar, karena setiap makhluk hidup yg dipanaskan, pasti akan menkerut. Contohnya ikan
asin. Setelah di jemur pasti akan mengkerut, dan tentu bobotnyapun akan berkurang. Dan setelah
mengkerut, tidak mungkin ikan asin dapat kembali menjadi ikan segar.
Mungkin dengan kemajuan teknologi, hal ini dapat diperbaiki dengan operasi plastik, namun apa
salahnya mengurangi resiko kecacatan yang lebih parah.
Yang Harus dilakukan :
1. Bukalah Pakaian.
Lepaskan pakaian, cincin, jam tangan, dan ikat pinggang. Kecuali bila pakaian melekat di
tempat luka bakar. Hal ini dimaksudkan agar mempermudah dalam penanganan medis nantinya.
Dan juga untuk menurunkan suhu tubuh, terutama jika luka bakar akibat panas lingkungan (heat
stroke).
2. Siram dengan Air Bersih
Ini bertujuan untuk melokalisir kerusakan jaringan agar tidak meluas. Siram dengan air
mengalir atau celupkan langsung ke bak mandi selama kurang lebih 10-15 menit, tergantung
keadaan. Luka bakar akibat apapun, inilah perawatan pertamanya. Jika terbakar akibat bahan
kimia, air dapat berfungsi sebagai penetral dari bahan asam atau basa tersebut. Namun pada luka
bakar berat, bukan berarti harus disiram air lebih lama. Justru sebaliknya, siram air secukupnya
dan usahakan secepat mungkin mendapat perawatan medis.
3. Mendapat Perawatan Medis Secepatnya
Pada luka bakar berat, perlu mendapatkan perawatan medis yg segera. Karena seperti yg
telah saya jelaskan, luka bakar akan mengkerut, pada kasus2 tertentu luka bakar akan berakibat
pada tertutupnya jalan nafas. Jika ini terjadi lama, bisa dipastikan akan menyebabkan kematian.
Selain itu tubuh juga kekurangan cairan, oleh sebab itu memerlukan bantuan cairan infus agar
tidak dehidrasi.
Pengobatan secara alami
obat alami yang sangat ampuh dan terbaik yaitu obat alami bernama jelly gamat gold g.
Dengan anda oleskan ke bagian tubuh anda yang terkena luka bakar secara rutin, maka luka
bakar anda tersebut akan mengering dan sembuh sampai tuntas hilang tanpa bekas dari luka
bakar tersebut  secara terapi. pemakaiannya secara rutin dan terus menerus sampai luka bakar itu
mengering dengan sendirinya. Dan tubuh anda yang terkena luka bakar akan halus dan mulus
kembali. Dan anda juga dapat meminumnya untuk mempercepat luka tersebut bisa sembuh dari
dalam dan luarpun juga.
Dan untuk jelly gamat yang terbuat dari bahan yang berkualitas bagus dan sangat terbaik
diseluruh dunia. Yaitu terbuat dari bahan ekstrak gamat / teripang, hewan laut yang berhabitat
didasar laut. Yang mana telah diproses dengan alat teknologi modern yang prosesnya tersebut
terbebas dari bahan kimia. Sehingga tercipta sebuah produk alami jelly gamat gold dan jelly
gamat gold g ini aman untuk dikonsumsi oleh orang dewasa atau anak-anak, tanpa menimbulkan
efek samping. Serta jelly gamat ini akan melepaskan ketergantungan anda dari obat-obatan
berbahan kimia, karena jelly gamat ini banyak menbgandung manfaat bagi tubuh manusia.
Langkah-langkah perawatan luka bakar
Gejala luka bakar ringan adalah kulit memerah, ada pembengkakan, dan pada beberapa
kasus, bisa menyebabkan demam dan sakit kepala.
Walaupun tergolong ringan, luka bakar ringan tetap harus dirawat dengan baik. Yayasan
perawat mencoba memberikan langkah-langkah perawatan luka bakar ringan :
a.      Dinginkan luka bakar dengan air dingin yang mengalir secara terus menerus selama 15 menit.
Hal ini bisa dilakukan dengan meletakkan bagian yang mengalami luka bakar di bawah kran
dengan air yang terus mengalir, atau rendam dalam bak mandi atau ember yang berisi air dingin.
Tindakan ini berguna untuk mencegah atau mengurangi bengkak yang disebabkan oleh
kerusakan jaringan serta mencegah kerusakan merembet ke lapisan kulit yang lebih dalam.
b.      Tidak meletakkan es secara langsung pada luka bakar, karena dapat menyebabkan frosbite,
yaitu cedera atau kematian sel karena membeku.
c.       Jangan mengoleskan apapun ke kulit yang mengalami luka bakar sebelum anda melakukan
tindakan diatas. Mengoleskan pasta gigi atau mentega bukanlah tindakan yang tepat, bahkan
akan memicu munculnya infeksi.
d.      Yayasan Perawat menganjurkan Setelah luka bakar dingin, oleskan lotion yang mengandung
aloe vera atau vitamin E. Hal ini bertujuan untuk mencegah kulit menjadi kering atau rusak.
e.      Bila perlu anda dapat menutup kulit yang mengalami luka bakar dengan kasa steril yang
mengandung antibiotik  ( Sofratulle atau Daryantulle) dan plester. Tindakan ini dapat mencegah
terjadinya infeksi dan juga mengurangi nyeri akibat luka bakar bersentuhan dengan udara atau
pakaian.
f.        Yayasan Perawat menambahkan Selain kasa steril yg mengandung antibiotik anda juga bisa
mengoleskan krim antibiotik contohnya Bioplacenton ke luka bakar untuk mencegah infeksi.
g.      Untuk mengurangi rasa nyeri atau demam Yayasan Perawat menganjurkan meminum pereda
nyeri seperti paracetamol atau aspirin.
h.      Setelah luka bakar sembuh untuk mengurangi bekas luka dapat menggunakan mederma gel
yang bisa di beli di apotik-apotik terdekat
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN FRAKTUR
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
A.   Pengertian
1.    Fraktur atau patah tulang adalah keadaan dimana hubungan atau kesehatan jaringan tulang
terputus
2.    Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, disebabkan karena trauma langsung
misalnya fraktur tulang panjang maupun tak langsung misalnya fraktur clavicula dan wrist joint
karena jatuh menumpu tangan
3.    Fraktur adalah terpisanya kontinuitas tulang normal yang terjadi karena tekanan pada tulang
yang berlebihan.
B.   Etiologi
a.    Trauma atau benturan
Adanya 2 trauma atau benturan yang dapat  mengakibatka fraktur, yaitu :
1.    Bentyran langsung ( dikarenakan suatu benda jatuh atau di seruduk hewan )
2.    Benturan tidak langsung ( benda mental )
b.    Tekanan atau stres yang terusmenerus dan berlangsung lama
Tekanan kronis  berulang dalam jangka waktu lama akan mengakibatkan fraktur yang
kebanyakan terjadi pada tulang tibia, fibula atau mentatarsal pada olahragawan, militer maupun
penari. Ex’s : seseorang yang bisa melakukan baris berbaris dan menghentak-hentakan kakinya,
maka kemungkinan terjadi patah tulang di daerah tertentu
c.    Adanya keadaan yang tidsk normal pada tulang
Kelemahan tulang yang abnormal karena adanya proses patologis seperti tumor maka dengan
energi kekerasan yang minimal akan mengakibtkan fraktur yang pada orang normal belum dapat
menimbulkan fraktur
C.   Manifestasi klinis
1.    Nyeri
Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma, hal ini di karenakan adanya spaseme
(mengalami perenggangan) otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan sekitarnya.
2.    Bengkak atau odem
Edema muncul lebih cepat dikarena cairan serosa yang terlokalisir pada daerah fraktur dan
ektravasi daerah di jaringan sekitarnya
3.    Memar atau ekimosis
Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah di jaringan sekitarnya.
4.    Spame otot
Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi di sekitar fraktur
5.    Penurunan sensasi
Terjadi karena kerusakan saraf
6.    Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang patah, nyeri atau spasme otot
7.    Paralysis
Dapat terjadi karena kerusakan saraf
8.    Krepitasi
Merupakan rasa kemeretak yang terjadi pada bagian-bagian tulang digerakan atau pada sendi.
9.    Deformitas
Abnormalnya dari posisi tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan pergerakan otot
yang mendorong fragmen tulang keposisi abnormal, akan menyebabkan tulang kehilangan
bentuk normalnya.
10. Shock hopovolemik
Shock terjadi sebagai kompensasi jika terjadi perdarahan hebat.
11. Mobilitas abnormal
Adanya pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kondisi normalnya tidak terjadi
pergearakan, ini terjadi pada fraktur tulang panjang.
D.   Klasifikasi
1.    Menurut Depkes RI ( 1995 ), berdasarkan luas dan garis fraktur meliputi :
a)    Fraktur komplit
Adalah patah atau diskontinuitas jaringan tulang yang luas sehingga tulang terbagi menjadi 2
bagian atau garis patah menyeberang dari satu sisi kesisi lain serta mengenai seluruh korteks
b)    Fraktur inkomplit
Adalah patah atau diskontinuitas jaringan tulang dengan garis patah tidak menyeberang,
sehingga tidak mengenai korteks ( kortek masi atau dalam keadaan utuh )
2.    Menurut Black dan Matassarin ( 1993 ) yaitu fraktur berdasarkan hubungan dengan dunia luar,
meliputi :
a)     Fraktur tertutup
Yaitu fraktur tanpa adanya komplikasi, kulit masi utuh, tulang tidak menonjol melalui atau
menembus kulit.
b)     Fraktur terbuka
Yaitu fraktur yang merusak jaringan kulit, karena adanya hubungan dengan lingkungan luar,
maka fraktur terbuka potensial terjadi infeksi.
3.    Long ( 1996 ) mengenai fraktur berdasarkan garis patah tulang, yaitu :
a)     Greenstick
       Yaitu patah tulang pada sebelah sisi dari tulang, sering terjadi pada anak-anak
b)     Tranverse
       Yaitu patah tulang melintang
c)     Longitudinal
       Yaitu patah tulang memanjang
d)     Oblique
Yaitu patah tulang miring
e)     Spiral
       Yaitu [atah tulang melingkar
E.   Patofisiologi
Menurut Black dan Mtassarin ( 1993 ) serta Patridk dan Woods ( 1989 ) ketika patah tulang
terjasi akan timbul kerusakan pada korteks, pembuluh darah, sumsum tulang dan jaringan linak.
Akibat dari hal tersebut adalah terjadi perdarahan, kerusakan tulang dan jaringan sekitarnya.
Keadaan ini menimbulkan hematom pada kanal medulla antara tepi tulang dibawah periostium
dengan jaringan tulang yang mengalami fraktur. Terjadi respon inflamasi akibat adanya jaringan
nekrotik yang di tandai dengan vasodilatasi dari plasma dan leokosit. Hematom yang terbentuk
menyebabkan dilatasi kapiler di otot, sehingga meningkatkan tekanan kapiler.
F.    Pengkajian
1.    Pengkajian perimer
1)    Airway
Kaji adanya sumbatan atau obstruksi jalan nafas oleh adanyapenumpukan sekret akibat
kelemahan refleksi batuk.
2)    Breathing
Kaji adanya kelemahan menelan, batuk, dan tibulnya kesulitan bernafas perinsip kerja pada
breathing support adalah look, feel and listen.
a.    Look : status mental, kecemasan, agitasi, pergerakan dada dan usaha pernafasan.
b.    Feel : aliran udara dan krepitasi dinding dada.
c.    Listen : suara sumbatan ( stridor ) selama mengeluarkan nafas, suara nafas, dan suara lainya.
3)    Cirkulation
Kaji adanya kemungkinan kenaikan tekanan darah, hipotensi yang terjadi pada tahap lanjut,
takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan memberan mukosa pucat,
dingin, sianosis pada tahap lanjut.
2.    Pengkajian sekunder
1)    Aktifitas istirahat
Kehilangan fungsi pada bagian yang fraktur dan keterbatasan mobilitas.
2)    Sirkulasi
Hipertensi sebagai respon nyeri atau ansietas, hipotensi merupakan respon terhadap kehilangan
darah, takikardi, penurunan nadi pada bagian distal yang cedra, capilery refill melambat, pucat
pada bagian yang mengalami fraktur, terdapat masa hematoma pada sisi yang mengalami fraktur.
Neurosensori terjadi kesemutan. Deformitas, kerepitasi, pemendekan, kelemahan. Kenyamanan
lalu nyeri tiba-tiba saat cidera, spasme atau keram otot. Keamanan menjadi laserasi kulit,
perdarahan, perubahan warna, pembengkakan lokal.
3.    Mendiagnosis atau memastikan adanya patah tulang
1)    Riwayat
Setiap patah tulang umumnya mempunyai riwayat terauma yang di ikuti penggunaan
kemampuan anggota gerak yang terkena.
2)    Pemeriksaan
a.    Inspeksi :
Lihat dan bandingkan dengan sisi yang normal, dan perhatikan hal-hal dibawah ini :
1.    Adanya perubahan asimetris kanan dan kiri
2.    Adanya deformitas seperti agulasi ( membentuk sudut ) atau rotasi dan pemendekan
3.    Jejas ( tanda yang menunjukan bekas trauma )
4.    Pembengkaan
5.    Terlihat adanya tulang yang keluar dari jaringan lunak
b.    Palpasi ( meraba dan merasakan )
Bandingkan dengan sisi yang sehat sampai dapat dirasakan perbedaanya.
1.    Adanya nyeri tekan pada daerah cedra ( tenderness )
2.    Adanya krepitasi pada perabaan yang sedikit kuat
3.    Adanya gerak abnormal dengan perabaan agak kuat.
4.    Jangan lakukan pemeriksaan yang sengaja untuk mendapat bunyi krepitasi atau gerakan
abnormal, misalnya dengan meraba dengan kuat sekali.
c.    Gerakan
Terdapat dua gerakan yang dapat digunakan untuk menilai tingkat pergerakan akibat patah
tulang, yaitu :
1.    Gerakan aktif
Adalah pemeriksaan gerakan dengan meminta pasien untuk menggerakkan sendiri pada bagian
yang cidera
2.    Gerakan pasif
Perawat yang mrnggerakan bagian tubuh pasien yang mengalami patah tulang.
3)    Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan juga hal-hal lain sebagia berikut
Terdapat gerakan abnormal ketika menggerakan bagian yang cedra. Apabila pasien mengalami
kehilangan fungsi pada bagian yang cedera, maka dapat disebabkan oleh dua kemungkinan yaitu
karena adanya fraktur atau akibat kerusakan saraf yang mempersarafi bagian tersebut ( ini
diakibatkan oleh karena patah tulang merusak saraf tersebut )
4)    Pemeriksaan komplikasi
Periksa dibawah patah tulang , biasanya akan ditemukan kulit berwarna kebiruan dan pucat,
denyut nadi tak teraba. Selain itu pada bagian yang mengalami fraktur, otot disekitarnya
mengalami spame.
G.   Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanan fraktur menurut Hendeson ( 1997 ) yaitu :
1.    Mengembalikan atau memperbaiki bagian-bagian yang patah kedalam bentuk semula (anatomis)
2.    Imobilisasi untuk pertahanan bentuk
3.    Memperbaiki fungsi bagian tulang yang ruask.
Jenis-jenis fraktur Reduction yaitu :
1.    Manipulasi atau close reduction adalah tindakan non bedah untuk mengembalikan posisi,
panjang dan bentuk tulang. Close reduction dilakukan dengan menggunakan lokal anesthesia
ataupun umum. Ex’s : pemasangan Gips
2.    Open Reduction adalah perbaikan bentuk tulang dengan tindakan pembedahan sering dilakukan
denga internal fiksasi menggunakan kawat ( kichner Wire ), screw, plate, intermedullary rods
atau nail.
3.    Traksi yaitu dengan menggunakan alat traksi diberikan dengan kekuatan tarikan pada anggota
yang fraktur untuk meluruskan bentuk tulang. Traksi ada 2 macam : skin Traksi dan sekeletal
Traksi.
H.   Pemeriksaan penunjang
1.    Pemeriksaan foto radiologi dari fraktur : menentukan lokal, jenis fraktur dan luasnya.
2.    Pemeriksaan darah lengkap
3.    Arteriografi : dilakuak bila dicurigai adanya kerusakan vaskuler.
I.      Komplikasi
Komplikasi akibat fraktur menurut Doenges ( 2000 ) :
1.    Malunion : patah tulang sudah sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya
2.    Delayed union : proses penyembuhan terus berjalan tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat
dari keadaan normal
3.    Non union : tulang tidak dapat menyambung kembali
J.    Diagnosa keperawatan dan intervensi
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan cedra jaringan sekitar fraktur, kerusakan
rangka neuromaskuler
Tujuan :
1.    Setelah dilakukan tindakan keperawatan kerusakan mobilitas fisik dapat teratasi
Dengan kreteria hasil :
1.    Meningkatkan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang memungkinkan mempertahankan posisi
fungsional.
2.    Meningkatkan kekuatan atau fungsi bagian tubuh yang sakit.
3.    Menujukan kemampuan melakukan aktivitas.
Intervensi :
1.    Pertahankan tirah baring dalam posisi yang diprogramkan.
2.    Tingkatkan ektermitas yang sakit tanpa menimbulkan nyeri.
3.    Itruksikan pasien atau bantu dalam latihan rentan gerak pada eksermitas yang sakit dan yang
tidak sakit.
4.    Beri penyangga pada ekstrimitas yang sakit di atas dan dibawah fraktur ketika bergerak.
5.    Jelaskan pandangan dan keterbatasan dalam aktivitas.
6.   p Ubah posisi secara periodik.
7.    Kolaborasi dengan fisioterapi atau okupasi terapi.
Nyeri berhubungan dengan spasme otot, pergeseran fragma tulang
Tujuan :
1.    nyeri brkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan.
Dengan kriteria hasil :
1.    Pasien mengatakan nyeri berkurang.
2.    Pasien tampak rileks, mampuberpartisipasi dalam aktivitas atau tidur atau istirahat dengan tepat.
3.    Tekanan darah dalam batas normal
4.    Tidak ada peningkatan nadi dan respirasi
Intervensi :
1.    Kaji ulang lokasi, intensitas dan tipe nyeri.
2.    Pertahankan imobilisasi bagi yang sakit dengan tirah baring.
3.    Berikan lingkungan yang nyaman dan berikan dorongan untuk melakukan aktivitas hiburan.
4.    Ganti posisi dengan bantuan bila ditoleransi.
5.    Jelaskan prosedur sebelum memulai.
6.    Lakukan dan awasi latihan rentan gerak pasif atau aktif.
7.    Dorong menggunakan teknik manjemen stress, ex’s : relaksasi, latihan nafas dalam, imajinasi
visualisasi dan sentuhan.
8.    Observasi tanda-tanda vital.
9.    Kolaborasi pemberian analgetik.
Kerusakan itegritas karingan berhubungan dengan fraktur terbuka, bedah perbaikan
Tujuan :
1.    kerusakan itegritas jaringan dapat diatasi setelah dilakukan tindakan keperawatan
Dengan kreteria hasil :
1.    Penyembuhan luka sesuai dengan target waktu
2.    Tidak ada laserasi dan integritas kilit baik .
Intervensi :
1.    Kaji ulang integritas luka dan observasi terhadap adanya tanda infeksi.
2.    Monitor suhu tubuh.
3.    Lakukan perawatan kulit secara teratur pada patah tulang yang menonjol.
4.    Lakukan alih posisi secara rutin, pertahankan kesejajaran tubuh.
5.    Masage kulit sekitar akhir gips dengan alkohol.
6.    Perhatikan alas tempat tidur tetap kering dan bebas kerutan.
7.    Gunakan tempat tidur busa atau kasur udara sesuai indikasi.
8.    Kolaborasi pemberian antibiotik.
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN JANTUNG BAWAAN
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.      Definisi
      Congenital heart diseases (CHD) atau penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kelainan
bawaan yang sering ditemukan, yaitu 10% dari seluruh kelainan bawaan dan sebagai penyebab
utama kematian pada masa neonatus. Perkembangan di bidang diagnostik, tatalaksana
medikamentosa dan tehnik intervensi non bedah maupun bedah jantung dalam 40 tahun terakhir
memberikan harapan hidup sangat besar pada neonatus dengan CHD yang kritis. Bahkan dengan
perkembangan ekokardiografi fetal, telah dapat dideteksi defek anatomi jantung, disritmia serta
disfungsi miokard pada masa janin. Di bidang pencegahan terhadap timbulnya gangguan
organogenesis jantung pada masa janin sampai saat ini masih belum memuaskan, walaupun
sudah dapat diidentifikasi adanya multifaktor yang saling berinteraksi yaitu faktor genetik dan
lingkungan (Ide Bagus : 2008)
PJB adalah penyakit yang dibawa oleh anak sejak ia dilahirkan akibat proses pembentukan
jantung yang kurang sempurna. Proses pembentukan jantung ini terjadi pada awal pembuahan
(konsepsi). Pada waktu jantung mengalami proses pertumbuhan di dalam kandungan, ada
kemungkinan mengalami gangguan. Gangguan pertumbuhan jantung pada janin ini terjadi pada
usia tiga bulan pertama kehamilan, karena jantung terbentuk sempurna pada saat janin berusia
empat bulan .(USU, Institutional Repository, Dhania, 2009 ).
2.      Etiologi dan Faktor Resiko
a.       Faktor Prenatal
·   Ibu menderita penyakit infeksi: rubela
·   Ibu alkoholisme
·   Umur ibu lebih dari 40 tahun
·   Ibu menderita penyakit diabetes mellitus yang memerlukan insulin
·   Ibu meminum obat-obatan penenang atau jamu
b.      Faktor Genetik
·   Anak yang lahir sebelumnya menderita PJB
·   Ayah atau Ibu menderita PJB
·   Kelainan kromosom (mis; Sindrom Down)
·   Lahir dengan kelainan bawaan yang lain (Arif Muttaqin, 2009)
3.      Manifestasi Klinis
·         Gangguan pertumbuhan. Pada PJB nonsianotik dengan pirau kiri ke kanan, gangguan
pertumbuhan timbul akibat berkurangnya curah jantung. Pada PJB sianotik, gangguan
pertumbuhan timbul akibat hipoksemia kronis. Gangguan pertumbuhan ini juga dapat timbul
akibat gagal jantung kronis pada pasien PJB.
·         Sianosis. Sianosis timbul akibat saturasi darah yang menuju sistemik rendah. Sianosis mudah
dilihat pada selaput lendir mulut, bukan di sekitar mulut. Sianosis akibat kelainan jantung ini
(sianosis sentral) perlu dibedakan pada sianosis perifer yang sering didapatkan pada anak yang
kedinginan. Sianosis perifer lebih jelas terlihat pada ujungujung jari.
·         Toleransi latihan. Toleransi latihan merupakan petunjuk klinis yang baik untuk
menggambarkan status kompensasi jantung ataupun derajat kelainan jantung. Pasien gagal
jantung selalu menunjukkan toleransi latihan berkurang. Gangguan toleransi latihan dapat
ditanyakan pada orangtua dengan membandingkan pasien dengan anak sebaya, apakah pasien
cepat lelah, napas menjadi cepat setelah melakukan aktivitas yang biasa, atau sesak napas dalam
keadaan istirahat. Pada bayi dapat ditanyakan saat bayi menetek. Apakah ia hanya mampu
minum dalam jumlah sedikit, sering beristirahat, sesak waktu mengisap, dan berkeringat banyak.
Pada anak yang lebih besar ditanyakan kemampuannya berjalan, berlari atau naik tangga. Pada
pasien tertentu seperti pada tetralogi Fallot anak sering jongkok setelah lelah berjalan
·         Infeksi saluran napas berulang. Gejala ini timbul akibat meningkatnya aliran darah ke paru
sehingga mengganggu sistem pertahanan paru. Sering pasien dirujuk ke ahli jantung anak karena
anak sering menderita demam, batuk dan pilek. Sebaliknya tidak sedikit pasien PJB yang
sebelumnya sudah diobati sebagai tuberkulosis sebelum di rujuk ke ahli jantung anak.
·         Bising jantung. Terdengarnya bising jantung merupakan tanda penting dalam menentukan
penyakit jantung bawaan. Bahkan kadang-kadang tanda ini yang merupakan alasan anak dirujuk
untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Lokasi bising, derajat serta penjalarannya dapat
menentukan jenis kelainan jantung. Namun tidak terdengarnya bising jantung pada pemeriksaan
fisis, tidak menyingkirkan adanya kelainan jantung bawaan. Jika pasien diduga menderita
kelainan jantung, sebaiknya dilakukan pemeriksaan penunjang untuk memastikan diagnosis.
4. Klasifikasi
 CHD/PJB Non sianotik dengan vaskularisasi paru bertambah. Terdapat defek pada septum
ventrikel, atrium atau duktus yang tetap terbuka menyebabkan adanya pirau (kebocoran) darah
dari kiri ke kanan karena tekanan jantung dibagian kiri lebih tinggi daripada dibagian kanan.
o  Defek Septum Ventrikel (DSV)
DSV terjadi bila sekat ventrikel tidak terbentuk dengan sempurna. Akibatnya darah dari bilik kiri
mengalir ke bilik kanan pada saat sistole.
o Defek Septum Atrium(ASD)
Kelainan septum atrium disebabkan dari suatu lubang pada foramen ovale atau pada septum
atrium. Tekanan pada foramen ovale atau septum atrium,tekanan pada sisi kanan jantung
meningkat.
o  Duktus Arteriosus Persisten (PDA)
DAP adalah terdapatnya pembuluh darah fetal yang menghubungkan percabangan arteri
pulmonalis sebelah kiri (left pulmonary artery) ke aorta desendens tepat di sebelah distal arteri
subklavikula kiri. DAP terjadi bila duktus tidak menutup bila bayi lahir. Penyebab DAP
bermacam-macam, bisa karena infeksi rubella pada ibu dan prematuritas.
CHD/ PJB non sianotik dengan vaskularisasi paru normal
o Stenosis Aorta
Pada kelainan ini striktura terjadi diatas atau dibawah katup aorta. Katupnya sendiri mungkin
terkena atau retriksi atau tersumbat secara total aliran darah.
o Stenosis Pulmonal
Kelainan pada stenosis pulmonik, dijumpai adanya striktur padakatup, normal tetapi puncaknya
menyatu
o Koartasio Aorta
Kelaianan pada koartasi aorta, aorta berkontriksi dengan beberapa cara. Kontriksimungkin
proksimal atau distal terhadap duktus arteriosus. Kelaianan ini biasanyatidak segera diketahui,
kecuali pada kontriksi berat.
CHD/PJB dengan vaskularisasi paru berkurang
o Tetralogi fallotTetralogi fallot merupakan penyakit jantung yang umum, dan terdiri dari
4kelainan yaitu: 1) stenosis pulmonal, 2) hipertropi ventrikel kanan, 3) kelainanseptum
ventrikuler, 4) kelainan aorta yang menerima darah dari ventrikel danaliran darah kanan ke kiri
melalui kelainan septum ventrikel.
· CHD/ PJB sianotik dengan vaskularisasi paru bertambah
o Transposisi arteri besar/ Transpotition Great artery (TGA)

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG

 Foto Thorak: Atrium dan ventrikel kiri membesar secara signifikan (kardiomegali),
gambaran vaskuler
 Ekhokardiografi: Rasio atrium kiri tehadap pangkal aorta lebih dari 1,3:1 pada bayi
cukup bulan atau lebih dari 1,0 pada bayi praterm (disebabkan oleh peningkatan volume
atrium kiri sebagai akibat dari pirau kiri ke kanan)
 Pemeriksaan dengan Doppler berwarna : digunakan untuk mengevaluasi aliran darah
dan arahnya.
 Elektrokardiografi (EKG) : bervariasi sesuai tingkat keparahan, pada PDA kecil tidak
ada abnormalitas, hipertrofi ventrikel kiri pada PDA yang lebih besar
 Kateterisasi jantung : hanya dilakukan untuk mengevaluasi lebih jauh hasil ECHO atau
Doppler yang meragukan atau bila ada kecurigaan defek tambahan lainnya (PPNI
Komisariat RSUD Salatiga, 2011).
6. Penatalaksanaan

 Pembedahan : Operasi penutupan defek, Pemotongan atau pengikatan duktus. Dianjurkan


saat berusia 5-10 tahun.
 Obat vasodilator, obat antagonis kalsium untuk membantu pada pasien dengan resistensi
kapiler paru yang sangat tinggi dan tidak dapat dioperasi.
 Pemotongan atau pengikatan duktus.
 Non pembedahan : Penutupan dengan alat penutup dilakukan pada waktu kateterisasi
jantung. 
7. Komplikasi

 Sindrom Eisenmenger.
Komplikasi ini terjadi pada PJB non-sianotik yang menyebabkan aliran darah ke paru
yang meningkat. Akibatnya lama kelamaan pembuluh kapiler di paru akan bereaksi
dengan meningkatkan resistensinya sehingga tekanan di arteri pulmonal dan di ventrikel
kanan meningkat. Jika tekanan di ventrikel kanan melebihi tekanan di ventrikel kiri maka
terjadi pirau terbalik dari kanan ke kiri sehingga anak mulai sianosis. Tindakan bedah
sebaiknya dilakukan sebelum timbul komplikasi ini.
 Serangan sianotik.
Komplikasi ini terjadi pada PJB sianotik. Pada saat serangan anak menjadi lebih biru dari
kondisi sebelumnya, tampak sesak bahkan dapat timbul kejang. Kalau tidak cepat
ditanggulangi dapat menimbulkan kematian.
 Abses otak.Abses otak biasanya terjadi pada PJB sianotik. Biasanya abses otak terjadi
pada anak yang berusia di atas 2 tahun. Kelainan ini diakibatkan adanya hipoksia dan
melambatnya aliran darah di otak. Anak biasanya datang dengan kejang dan terdapat
defisit neurologis.
BAB III
CONTOH KASUS
Seorang anak masuk RS dengan keluhan Ibu klien mengatakan klien mudah lelah, dan terlihat
biru jika melakukan aktivitas berlebihan. Ibu klien mengatakan saat hamil klien, beliau sering
mengkonsumsi jamu. Klien tampak sianosis pada ujung jari dan mukosa bibir. Klien tampak
bernafas menggunakan cuping hidung. Klien tampak sesak. Klien tampak lemas. Hasil
pemeriksaan TTV: TD: 130/100mmHg, HR:130x/menit, RR: 65x/menit, BB:17kg.
EKG:RVH(Right Ventricula Hypertrophy).
Data Subjektif Data Objektif
         Ibu klien mengatakan klien mudah         Klien tampak sianosis pada ujung jari
lelah dan mukosa bibir
   Ibu klien mengatakan klien terlihat biru         Klien tampak bernafas dengan cuping
jika melakukan aktivitas berlebihan hidung
      Ibu klien mengatakan saat hamil, beliau         Klien tampak sesak
sering mengkonsumsi jamu          Klien tampak lemas
         TTV: TD: 130/100mmHg,
HR:130x/menit, RR: 65x/menit, BB:17kg
         EKG : RVH(Right Ventricula
Hypertrophy).

Analisa Data

Data Fokus Masalah Keperawatan Etiologi


DS : Penurunan Curah Jantung Sirkulasi yang tidak efektif
         Ibu klien mengatakan dengan adanya Malformasi
klien mudah lelah Jantung
         Ibu klien mengatakan
klien terlihat biru jika
melakukan aktivitas
berlebihan
DO :
         Klien tampak sianosis
pada ujung jari dan mukosa
bibir
         Klien tampak bernafas
dengan cuping hidung
         Klien tampak sesak
         Klien tampak lemas
         TTV: TD:
130/100mmHg,
HR:130x/menit, RR:
65x/menit, BB:17kg
         EKG : RVH(Right
Ventricula Hypertrophy).
DS : Gangguan Pertukaran Gas Ketidakseimbangan Perfusi
         Ibu klien mengatakan Ventrikel
klien terlihat biru jika
melakukan aktivitas
berlebihan
DO :
         Klien tampak sianosis
pada ujung jari dan mukosa
bibir
         Klien tampak bernafas
dengan cuping hidung
         Klien tampak sesak
         Klien tampak lemas
         TTV: TD:
130/100mmHg,
HR:130x/menit, RR:
65x/menit, BB:17kg

Diagnosa
Penurunan Curah Jantung b.d Sirkulasi yang tidak efektif dengan adanya Malformasi
Jantung
Gangguan Pertukaran Gas b.d Ketidakseimbangan Perfusi Ventrikel

Intervensi

Diagnosa Tujuan dan KH Intervensi


Penurunan Curah Setelah diberikan asuhan 1. Observasi terhadap
Jantung b.d Sirkulasi yang keperawatan selama 3 x 24 tanda – tanda vital
tidak efektif dengan adanya jam, diharapkan penurunan klien.
Malformasi Jantung cardiac output pada klien 2.  Observasi adanya
dapat diatasi, dengan kriteria serangan sianosis
hasil : yang di alami klien.
3. Berikan posisi knee
 Denyut nadi klien – chest pada klien.
kembali normal, yaitu 4. Kolaborasi dalam:
60 – 100 x/mnt pemeriksaan serial
 Klien tidak terlihat EKG dan foto
pucat. thorax serta
 Klien tidak terlihat kolaborasi dalam
lemah tindakan
 warna kebiruan yang pembedahan, serta
timbul pada kolaborasi dalam
tubuh dapat pemberian terapi
berkurang digoxin.
Gangguan Pertukaran Setelah diberi asuhan 1. Melakukan
Gas b.d Ketidakseimbangan keperawatan 3 x 24 jam observasi terhadap
Perfusi Ventrikel diharapkan gangguan tanda – tanda vital
pertukaran gas dalam tubuh klien
klien, dapat diatasi dengan 2. Kaji frekuensi,
kriteria hasil : kedalaman dan
kemudahan
 bernafas dengan bernafas.
normal yaitu  18 – 3. Observasi warna
30 x/menit kulit, membrane
 saturasi O2 kembali mukosa, dan kuku,
normal. catat adanya
 warna kebiruan yang sianosis periferatau
timbul pada tubuh sianosis sentral.
dapat berkurang 4. Kolaborasi
pemberian terapi
oksigen dengan
benar.
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN LEUKIMIA
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 PENGERTIAN
Leukemia, asal berasal dari bahasa yunani leukos-putih dan haima-darah. Leukemia
adalah  jenis kanker yang mempengaruhi sumsum tulang dan jaringan getah bening. Semua
kanker bermula di sel, yang membuat darah dan jaringan lainnya. Biasanya, sel-sel akan tumbuh
dan membelah diri untuk membentuk sel-sel baru yang dibutuhkan tubuh. Saat sel-sel semakin
tua, sel-sel tersebut akan mati dan sel-sel baru akan menggantikannya.
Tapi, terkadang proses yang teratur ini berjalan menyimpang, Sel-sel baru ini terbentuk meski
tubuh tidak membutuhkannya, dan sel-sel lama tidak mati seperti seharusnya. Kejanggalan ini
disebut leukemia, di mana sumsum tulang menghasilkan sel-sel darah putih abnormal yang
akhirnya mendesak sel-sel lain.
Beberapa pengertian menurut para ahli yaitu sbb:
Leukimia adalah proliferasi sel darah putih yang masih imatur dalam jaringan pembentuk
darah. (Suriadi, & Rita yuliani, 2001 : 175).
Leukimia adalah proliferasi tak teratur atau akumulasi sel darah putih dalam sum-sum
tulang menggantikan elemen sum-sum tulang normal (Smeltzer, S C and Bare, B.G, 2002 : 248 )
Leukimia adalah suatu keganasan pada alat pembuat sel darah berupa proliferasio
patologis sel hemopoetik muda yang ditandai oleh adanya kegagalan sum-sum tulang
dalam membentuk sel darah normal dan adanya infiltrasi ke jaringan tubuh yang lain.
(Arief Mansjoer, dkk, 2002 : 495)
Leukemia adalah neoplasma akut atau kronis dari sel-sel pembentuk darah dalam
sumsum tulang dan limfa nadi (Reeves, 2001).
Sifat khas leukemia adalah proliferasi tidak teratur atau akumulasi sel darah putih dalam
sumusm tulang, menggantikan elemen sumsum tulang normal. Juga terjadi proliferasi di hati,
limpa dan nodus limfatikus, dan invasi organ non hematologis, seperti meninges, traktus
gastrointesinal, ginjal dan kulit.
Berdasarkan dari beberapa pengertian diatas maka penulis berpendapat bahwa leukemia
adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh proliferasi abnormal dari sel-sel leukosit yang
menyebabkan terjadinya kanker pada alat pembentuk darah.
2.2 ETIOLOGI
Penyebab yang pasti belum diketahui, akan tetapi terdapat faktor predisposisi yang
menyebabkan terjadinya leukemia, yaitu :
ü  Genetik
Adanya Penyimpangan Kromosom Insidensi leukemia meningkat pada penderita kelainan
kongenital, diantaranya pada sindroma Down, sindroma Bloom, Fanconi’s Anemia, sindroma
Wiskott-Aldrich, sindroma Ellis van Creveld, sindroma Kleinfelter, D-Trisomy sindrome,
sindroma von Reckinghausen, dan neurofibromatosis ( Wiernik, 1985; Wilson, 1991 ) .
Kelainan-kelainan kongenital ini dikaitkan erat dengan adanya perubahan informasi gen, misal
pada kromosom 21 atau C-group Trisomy, atau pola kromosom yang tidak stabil, seperti pada
aneuploidy.
ü  2 Saudara kandung
Dilaporkan adanya resiko leukemia akut yang tinggi pada kembar identik dimana kasus-kasus
leukemia akut terjadi pada tahun pertama kelahiran . Hal ini berlaku juga pada keluarga dengan
insidensi leukemia yang sangat tinggi ( Wiernik,1985 ) .
ü  Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan di ketahui dapat menyebabkan kerusakan kromosom dapatan, misal :
radiasi, bahan kimia, dan obat-obatan yang dihubungkan dengan insiden yang meningkat pada
leukemia akut, khususnya ANLL ( Wiernik,1985; Wilson, 1991 ) .
ü  Virus
Dalam banyak percobaan telah didapatkan fakta bahwa RNA virus menyebabkan leukemia pada
hewan termasuk primata . Penelitian pada manusia menemukan adanya RNA dependent DNA
polimerase pada sel-sel leukemia tapi tidak ditemukan pada sel-sel normal dan enzim ini berasal
dari virus tipe C yang merupakan virus RNA yang menyebabkan leukemia pada hewan.
( Wiernik, 1985 ) . Salah satu virus yang terbukti dapat menyebabkan leukemia pada manusia
adalah Human T-Cell Leukemia . Jenis leukemia yang ditimbulkan adalah Acute T- Cell
Leukemia . Virus ini ditemukan oleh Takatsuki dkk ( Kumala, 19990).
ü  Bahan Kimia dan Obat-obatan
Paparan kromis dari bahan kimia ( misal : benzen ) dihubungkan dengan peningkatan insidensi
leukemia akut, misal pada tukang sepatu yang sering terpapar benzen. ( Wiernik,1985; Wilson,
1991 ) Selain benzen beberapa bahan lain dihubungkan dengan resiko tinggi dari AML, antara
lain : produk – produk minyak, cat , ethylene oxide, herbisida, pestisida, dan ladang
elektromagnetik ( Fauci, et. al, 1998 ) .
ü  Obat-obatan
Obat-obatan anti neoplastik ( misal : alkilator dan inhibitor topoisomere II ) dapat
mengakibatkan penyimpangan kromosom yang menyebabkan AML . Kloramfenikol,
fenilbutazon, dan methoxypsoralen dilaporkan menyebabkan kegagalan sumsum tulang yang
lambat laun menjadi AML ( Fauci, et. al, 1998 ).
ü  Radiasi
Hubungan yang erat antara radiasi dan leukemia ( ANLL ) ditemukan pada pasien-pasien
anxylosing spondilitis yang mendapat terapi radiasi, dan pada kasus lain seperti peningkatan
insidensi leukemia pada penduduk Jepang yang selamat dari ledakan bom atom. Peningkatan
resiko leukemia ditemui juga pada pasien yang mendapat terapi radiasi misal : pembesaran
thymic, para pekerja yang terekspos radiasi dan para radiologis.
ü  Leukemia Sekunder
Leukemia yang terjadi setelah perawatan atas penyakit malignansi lain disebut Secondary Acute
Leukemia ( SAL ) atau treatment related leukemia . Termasuk diantaranya penyakit Hodgin,
limphoma, myeloma, dan kanker payudara . Hal ini disebabkan karena obat-obatan yang
digunakan termasuk golongan imunosupresif selain menyebabkan dapat menyebabkan kerusakan
DNA . Leukemia biasanya mengenai sel-sel darah putih. Penyebab dari sebagian besar jenis
leukemia tidak diketahui. Pemaparan terhadap penyinaran (radiasi) dan bahan kimia tertentu
(misalnya benzena) dan pemakaian obat antikanker, meningkatkan resiko terjadinya leukemia.
Orang yang memiliki kelainan genetik tertentu (misalnya sindroma Down dan sindroma
Fanconi), juga lebih peka terhadap leukemia.
2.3  KLASIFIKASI
1.      Leukemia akut
Berdasarkan klasifikasi French American British ( FAB ), leukemia akut terbagi menjadi 2
( dua ), Acute Limphocytic Leukemia ( ALL ) dan Acute Myelogenous Leukemia (AML).
Sedangkan Leukemia Kronis jg dibagimmnjadi 2 yaitu Leukemia Mielogenus Kronis (CML) dan
Leukemia Limfositik Kronis (CLL).
Luekemia Limfositik Akut (ALL) dianggap sebagai proliferasi ganas limfoblast. Sering
terjadi pada anak-anak, laki-laki lebih banyak dibanding perempuan, puncak insiden usia 4
tahun, setelah usia 15 ALL jarang terjadi. Manifestasi limfosit immatur berproliferasi dalam
sumsum tulang dan jaringan perifer, sehingga mengganggu perkembangan sel normal..
Acute Limphocytic Leukemia (ALL) sendiri terbagi menjadi 3, yakni :
a)      L1
Sel-sel leukemia terdiri dari limfoblas yang homogen dan L1 ini banyak menyerang anak.
b)     L2
Terdiri dari sel sel limfoblas yang lebih heterogen bila dibandingkan dengan L1. ALL jenis ini
sering diderita oleh orang dewasa.
c)      L3
Terdiri dari limfoblas yang homogen, dengan karakteristik berupa sel Burkitt. Terjadi baik pada
orang dewasa maupun anak-anak dengan prognosis yang buruk
Leukemia Mielogenus Akut (AML) mengenai sel stem hematopeotik yang kelak
berdiferensiasi ke semua sel Mieloid: monosit, granulosit, eritrosit, eritrosit dan trombosit.
Semua kelompok usia dapat terkena; insidensi meningkat sesuai bertambahnya usia. Merupakan
leukemia nonlimfositik yang paling sering terjadi.
2. Leukemia kronis
 1) Leukemia Mielogenus Kronis (CML) terbagi menjadi 8 tipe :
·         Mo ( Acute Undifferentiated Leukemia )
Merupakan bentuk paling tidak matang dari AML, yang juga disebut sebagai AML dengan
diferensiasi minimal .
·         M1 ( Acute Myeloid Leukemia tanpa maturasi )
Merupakan leukemia mieloblastik klasik yang terjadi hampir seperempat dari kasus AML. Pada
AML jenis ini terdapat gambaran azurophilic granules dan Auer rods. Dan sel leukemik
dibedakan menjadi 2 tipe, tipe 1 tanpa granula dan tipe 2 dengan granula, dimana tipe 1 dominan
di M1 .
·         M2 ( Akut Myeloid Leukemia )
Sel leukemik pada M2 memperlihatkan kematangan yang secara morfologi berbeda, dengan
jumlah granulosit dari promielosit yang berubah menjadi granulosit matang berjumlah lebih dari
10 % . Jumlah sel leukemik antara 30 – 90 %. Tapi lebih dari 50 % dari jumlah sel-sel sumsum
tulang di M2 adalah mielosit dan promielosit .
·         M3 ( Acute Promyelocitic Leukemia )
Sel leukemia pada M3 kebanyakan adalah promielosit dengan granulasi berat, stain
mieloperoksidase + yang kuat. Nukleus bervariasi dalam bentuk maupun ukuran, kadang-kadang
berlobul . Sitoplasma mengandung granula besar, dan beberapa promielosit mengandung granula
berbentuk seperti debu . Adanya Disseminated Intravaskular Coagulation ( DIC ) dihubungkan
dengan granula-granula abnormal ini.
·         M4 ( Acute Myelomonocytic Leukemia )
Terlihat 2 ( dua ) type sel, yakni granulositik dan monositik , serta sel-sel leukemik lebih dari 30
% dari sel yang bukan eritroit. M4 mirip dengan M1, dibedakan dengan cara 20% dari sel yang
bukan eritroit adalah sel pada jalur monositik, dengan tahapan maturasi yang berbeda-beda.
Jumlah monosit pada darah tepi lebih dari 5000 /uL. Tanda lain dari M4 adalah peningkatan
proporsi dari eosinofil di sumsum tulang, lebih dari 5% darisel yang bukan eritroit, disebut
dengan M4 dengan eoshinophilia. Pasien–pasien dengan AML type M4 mempunyai respon
terhadap kemoterapi-induksi standar.
·         M5 ( Acute Monocytic Leukemia )
Pada M5 terdapat lebih dari 80% dari sel yang bukan eritroit adalah monoblas, promonosit, dan
monosit. Terbagi menjadi dua, M5a dimana sel monosit dominan adalah monoblas, sedang pada
M5b adalah promonosit dan monosit. M5a jarang terjadi dan hasil perawatannya cukup baik.
·         M6 ( Erythroleukemia )
Sumsum tulang terdiri lebih dari 50% eritroblas dengan derajat berbeda dari gambaran morfologi
Bizzare. Eritroblas ini mempunyai gambaran morfologi abnormal berupa bentuk multinukleat
yang raksasa. Perubahan megaloblastik ini terkait dengan maturasi yang tidak sejalan antara
nukleus dan sitoplasma . M6 disebut Myelodisplastic Syndrome ( MDS ) jika sel leukemik
kurang dari 30% dari sel yang bukan eritroit . M6 jarang terjadi dan biasanya kambuhan terhadap
kemoterapi-induksi standar .
·         M7 ( Acute Megakaryocytic Leukemia )
Beberapa sel tampak berbentuk promegakariosit/megakariosit. ( Yoshida, 1998; Wetzler dan
Bloomfield, 1998 ).
Leukemia Mielogenus Kronis (CML) juga dimasukkan dalam sistem keganasan sel
sistem mieloid. Namun lebih banyak sel normal dibanding bentuk akut, sehingga penyakit ini
lebih ringan. CML jarang menyerang individu di bawah 20 tahun. Manifestasi mirip dengan
gambaran AML tetapi tanda dan gejala lebih ringan, pasien menunjukkan tanpa gejala selama
bertahun-tahun, peningkatan leukosit kadang sampai jumlah yang luar biasa, limpa membesar.
2) Leukemia Limfositik Kronis (CLL)
Leukemia Limfositik Kronis (CLL) merupakan kelainan ringan mengenai individu usia
50 sampai 70 tahun. Manifestasi klinis pasien tidak menunjukkan gejala, baru terdiagnosa saat
pemeriksaan fisik atau penanganan penyakit lain.
2.4 PATOFISIOLOGI
Manifestasi klinis penderita leukemia akut disebabkan adanya penggantian sel pada
sumsum tulang oleh sel leukemik , menyebabkan gangguan produksi sel darah merah . Depresi
produksi platelet yang menyebabkan purpura dan kecenderungan terjadinya perdarahan .
Kegagalan mekanisme pertahanan selular karena penggantian sel darah putih oleh sel lekemik,
yang menyebabkan tingginya kemungkinan untuk infeksi .
 Infiltrasi sel-sel leukemik ke organ-organ vital seperti liver dan limpa oleh sel-sel
leukemik yang dapat menyebabkan pembesaran dari organ-organ tersebut . ( Cawson, 1982 ).
Sedangkan pada penderita Leukemia itu sebdiri disebabkan sbb:
·         Normalnya tulang marrow diganti dengan tumor yang malignan, imaturnya sel blast.Adanya
proliferasi sel blast, produksi eritrosit dan platelet terganggu sehingga akan menimbulkan anemia
dan trombositipenia.
·          Sistem retikuloendotelial akan terpengaruh dan menyebabkan gangguan sistem
pertahanan tubuh dan mudah mengalami infeksi.
·         Manifestasi akan tampak pada gambaran gagalnya bone marrow dan infiltrasi organ, sistem
saraf pusat. Gangguan pada nutrisi dan metabolisme. Depresi sumsum tulang yang akan
berdampak pada penurunan lekosit, eritrosit, faktor pembekuan dan peningkatan tekanan
jaringan.
·         Adanya infiltrasi pada ekstra medular akan berakibat terjadinya pembesaran hati, limfe,nodus
limfe, dan nyeri persendian. (Suriadi, & Yuliani R, 2001: hal. 175).
2.5  MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinik yang sering dijumpai pada penyakit leukemia adalah sebagai berikut:
§  Pilek tidak sembuh-sembuh& sakit kepala.
§  Pucat, lesu, mudah terstimulasi, Merasa lemah atau letih.
§  Demam, keringat malam dan anorexia
§  Berat badan menurun
§   Ptechiae, memar  tanpa sebab, Mudah berdarah dan lebam (gusi berdarah, bercak
 keunguan di kulit, atau bintik-bintik merah kecil di bawah kulit)
§  Nyeri pada tulang dan persendian
§  Nyeri abdomen, Pembengkakan atau rasa tidak nyaman di perut (akibat pembesaran limpa).
(Suriadi & Rita Yuliani, 2001 : hal. 177, Cawson 1982; De Vita Jr.,1985, Archida, 1987; Lister,
1990; Rubin,1992 ).
2.6  INSIDEN
ALL (Acute Lymphoid Leukemia) adalah insiden paling tinggi terjadi pada anak-anak
yang berusia antara 3 dan 5 tahun. Anak perempuan menunjukkan prognosis yang lebih baik
daripada anak laki-laki. Anak kulit hitam mempunyai frekuensi remisi yang lebih sedikit dan
angka kelangsungan hidup (survival rate) rata-rata yang juga lebih rendah. ANLL (Acute
Nonlymphoid Leukemia) mencakup 15% sampai 25% kasus leukemia pada anak. Resiko terkena
penyakit ini meningkat pada anak yang mempunyai kelainan kromosom bawaan seperti Sindrom
Down. Lebih sulit dari ALL dalam hal menginduksi remisi (angka remisi 70%). Remisinya lebih
singkat pada anak-anak dengan ALL. Lima puluh persen anak yang mengalami pencangkokan
sumsum tulang memiliki remisi berkepanjangan. (Betz, Cecily L. 2002. hal : 300).
2.7  PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Hitung darah lengkap : menunjukkan normositik, anemia normositik


2. Hemoglobulin : dapat kurang dari 10 gr/100ml
3. Retikulosit : jumlah biasaya rendah
4. Trombosit : sangat rendah (< 50000/mm)
5. SDP : mungkin lebih dari 50000/cm dengan peningkatan SDP immatur
6. PTT : memanjang
7. LDH : mungkin meningkat
8. Asam urat serum : mungkin meningkat
9. Muramidase serum : pengikatan pada leukemia monositik akut dan mielomonositik
10. Copper serum : meningkat
11. Zink serum : menurun
12. Foto dada dan biopsi nodus limfe : dapat mengindikasikan derajat keterlibatan.
2.8  PENATALAKSANAAN
1. Pelaksanaan kemoterapi
Sebagian besar pasien leukemia menjalani kemoterapi. Jenis pengobatan kanker ini
menggunakan obat-obatan untuk membunuh sel-sel leukemia. Tergantung pada jenis leukemia,
pasien bisa mendapatkan satu jenis obat atau kombinasi dari dua obat atau lebih.
Pasien leukemia bisa mendapatkan kemoterapi dengan berbagai cara:
·         Melalui mulut
·         Dengan suntikan langsung ke pembuluh darah balik (atau intravena).
·         Melalui kateter (tabung kecil yang fleksibel) yang ditempatkan di dalam pembuluh darah balik
besar, seringkali di dada bagian atas – Perawat akan menyuntikkan obat ke dalam kateter, untuk
menghindari suntikan yang berulang kali. Cara ini akan mengurangi rasa tidak nyaman dan/atau
cedera pada pembuluh darah balik/kulit.
·          Dengan suntikan langsung ke cairan cerebrospinal – jika ahli patologi menemukan sel-sel
leukemia dalam cairan yang mengisi ruang di otak dan sumsum tulang belakang, dokter bisa
memerintahkan kemoterapi intratekal. Dokter akan menyuntikkan obat langsung ke dalam cairan
cerebrospinal. Metode ini digunakan karena obat yang diberikan melalui suntikan IV atau
diminum seringkali tidak mencapai sel-sel di otak dan sumsum tulang belakang.
2. Terapi Biologi
Orang dengan jenis penyakit leukemia tertentu menjalani terapi biologi untuk
meningkatkan daya tahan alami tubuh terhadap kanker. Terapi ini diberikan melalui suntikan di
dalam pembuluh darah balik. Bagi pasien dengan leukemia limfositik kronis, jenis terapi biologi
yang digunakan adalah antibodi monoklonal yang akan mengikatkan diri pada sel-sel leukemia.
Terapi ini memungkinkan sistem kekebalan untuk membunuh sel-sel leukemia di dalam darah
dan sumsum tulang. Bagi penderita dengan leukemia myeloid kronis, terapi biologi yang
digunakan adalah bahan alami bernama interferon untuk memperlambat pertumbuhan sel-sel
leukemia.
3. Terapi Radiasi
Terapi Radiasi (juga disebut sebagai radioterapi) menggunakan sinar berenergi tinggi
untuk membunuh sel-sel leukemia. Bagi sebagian besar pasien, sebuah mesin yang besar akan
mengarahkan radiasi pada limpa, otak, atau bagian lain dalam tubuh tempat menumpuknya sel-
sel leukemia ini. Beberapa pasien mendapatkan radiasi yang diarahkan ke seluruh tubuh.
(Iradiasi seluruh tubuh biasanya diberikan sebelum transplantasi sumsum tulang.)
4. Transplantasi Sel Induk (Stem Cell)
Beberapa pasien leukemia menjalani transplantasi sel induk (stem cell). Transplantasi sel
induk memungkinkan pasien diobati dengan dosis obat yang tinggi, radiasi, atau keduanya. Dosis
tinggi ini akan menghancurkan sel-sel leukemia sekaligus sel-sel darah normal dalam sumsum
tulang. Kemudian, pasien akan mendapatkan sel-sel induk (stem cell) yang sehat melalui tabung
fleksibel yang dipasang di pembuluh darah balik besar di daerah dada atau leher. Sel-sel darah
yang baru akan tumbuh dari sel-sel induk (stem cell) hasil transplantasi ini.
Setelah transplantasi sel induk (stem cell), pasien biasanya harus menginap di rumah
sakit selama beberapa minggu. Tim kesehatan akan melindungi pasien dari infeksi sampai sel-sel
induk (stem cell) hasil transplantasi mulai menghasilkan sel-sel darah putih dalam jumlah yang
memadai.
 Terdapat tiga fase pelaksanaan kemoterapi :
a.      Fase induksiDimulasi 4-6 minggu setelah diagnosa ditegakkan. Pada fase ini diberikan terapi
kortikostreroid (prednison), vincristin dan L-asparaginase. Fase induksi dinyatakan behasil jika
tanda-tanda penyakit berkurang atau tidak ada dan dalam sumsum tulang ditemukan jumlah sel
muda kurang dari 5%.
b.       Fase Profilaksis Sistem saraf pusatPada fase ini diberikan terapi methotrexate, cytarabine dan
hydrocotison melaui intrathecal untuk mencegah invsi sel leukemia ke otak. Terapi irradiasi
kranial dilakukan hanya pada pasien leukemia yang mengalami gangguan sistem saraf pusat.
c.       KonsolidasiPada fase ini kombinasi pengobatan dilakukan unutk mempertahankan remisis dan
mengurangi jumlah sel-sel leukemia yang beredar dalam tubuh. Secara berkala, mingguan atau
bulanan dilakukan pemeriksaan darah lengkap untuk menilai respon sumsum tulang terhadap
pengobatan. Jika terjadi supresi sumsum tulang, maka pengobatan dihentikan sementara atau
dosis obat dikurangi.
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN GANGGUAN IMUN
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 PENGERTIAN
Leukemia, asal berasal dari bahasa yunani leukos-putih dan haima-darah. Leukemia
adalah  jenis kanker yang mempengaruhi sumsum tulang dan jaringan getah bening. Semua
kanker bermula di sel, yang membuat darah dan jaringan lainnya. Biasanya, sel-sel akan tumbuh
dan membelah diri untuk membentuk sel-sel baru yang dibutuhkan tubuh. Saat sel-sel semakin
tua, sel-sel tersebut akan mati dan sel-sel baru akan menggantikannya.
Tapi, terkadang proses yang teratur ini berjalan menyimpang, Sel-sel baru ini terbentuk meski
tubuh tidak membutuhkannya, dan sel-sel lama tidak mati seperti seharusnya. Kejanggalan ini
disebut leukemia, di mana sumsum tulang menghasilkan sel-sel darah putih abnormal yang
akhirnya mendesak sel-sel lain.
Beberapa pengertian menurut para ahli yaitu sbb:
Leukimia adalah proliferasi sel darah putih yang masih imatur dalam jaringan pembentuk
darah. (Suriadi, & Rita yuliani, 2001 : 175).
Leukimia adalah proliferasi tak teratur atau akumulasi sel darah putih dalam sum-sum
tulang menggantikan elemen sum-sum tulang normal (Smeltzer, S C and Bare, B.G, 2002 : 248 )
Leukimia adalah suatu keganasan pada alat pembuat sel darah berupa proliferasio
patologis sel hemopoetik muda yang ditandai oleh adanya kegagalan sum-sum tulang
dalam membentuk sel darah normal dan adanya infiltrasi ke jaringan tubuh yang lain.
(Arief Mansjoer, dkk, 2002 : 495)
Leukemia adalah neoplasma akut atau kronis dari sel-sel pembentuk darah dalam
sumsum tulang dan limfa nadi (Reeves, 2001).
Sifat khas leukemia adalah proliferasi tidak teratur atau akumulasi sel darah putih dalam
sumusm tulang, menggantikan elemen sumsum tulang normal. Juga terjadi proliferasi di hati,
limpa dan nodus limfatikus, dan invasi organ non hematologis, seperti meninges, traktus
gastrointesinal, ginjal dan kulit.
Berdasarkan dari beberapa pengertian diatas maka penulis berpendapat bahwa leukemia
adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh proliferasi abnormal dari sel-sel leukosit yang
menyebabkan terjadinya kanker pada alat pembentuk darah.
2.2 ETIOLOGI
Penyebab yang pasti belum diketahui, akan tetapi terdapat faktor predisposisi yang
menyebabkan terjadinya leukemia, yaitu :
ü  Genetik
Adanya Penyimpangan Kromosom Insidensi leukemia meningkat pada penderita kelainan
kongenital, diantaranya pada sindroma Down, sindroma Bloom, Fanconi’s Anemia, sindroma
Wiskott-Aldrich, sindroma Ellis van Creveld, sindroma Kleinfelter, D-Trisomy sindrome,
sindroma von Reckinghausen, dan neurofibromatosis ( Wiernik, 1985; Wilson, 1991 ) .
Kelainan-kelainan kongenital ini dikaitkan erat dengan adanya perubahan informasi gen, misal
pada kromosom 21 atau C-group Trisomy, atau pola kromosom yang tidak stabil, seperti pada
aneuploidy.
ü  2 Saudara kandung
Dilaporkan adanya resiko leukemia akut yang tinggi pada kembar identik dimana kasus-kasus
leukemia akut terjadi pada tahun pertama kelahiran . Hal ini berlaku juga pada keluarga dengan
insidensi leukemia yang sangat tinggi ( Wiernik,1985 ) .
ü  Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan di ketahui dapat menyebabkan kerusakan kromosom dapatan, misal :
radiasi, bahan kimia, dan obat-obatan yang dihubungkan dengan insiden yang meningkat pada
leukemia akut, khususnya ANLL ( Wiernik,1985; Wilson, 1991 ) .
ü  Virus
Dalam banyak percobaan telah didapatkan fakta bahwa RNA virus menyebabkan leukemia pada
hewan termasuk primata . Penelitian pada manusia menemukan adanya RNA dependent DNA
polimerase pada sel-sel leukemia tapi tidak ditemukan pada sel-sel normal dan enzim ini berasal
dari virus tipe C yang merupakan virus RNA yang menyebabkan leukemia pada hewan.
( Wiernik, 1985 ) . Salah satu virus yang terbukti dapat menyebabkan leukemia pada manusia
adalah Human T-Cell Leukemia . Jenis leukemia yang ditimbulkan adalah Acute T- Cell
Leukemia . Virus ini ditemukan oleh Takatsuki dkk ( Kumala, 19990).
ü  Bahan Kimia dan Obat-obatan
Paparan kromis dari bahan kimia ( misal : benzen ) dihubungkan dengan peningkatan insidensi
leukemia akut, misal pada tukang sepatu yang sering terpapar benzen. ( Wiernik,1985; Wilson,
1991 ) Selain benzen beberapa bahan lain dihubungkan dengan resiko tinggi dari AML, antara
lain : produk – produk minyak, cat , ethylene oxide, herbisida, pestisida, dan ladang
elektromagnetik ( Fauci, et. al, 1998 ) .
ü  Obat-obatan
Obat-obatan anti neoplastik ( misal : alkilator dan inhibitor topoisomere II ) dapat
mengakibatkan penyimpangan kromosom yang menyebabkan AML . Kloramfenikol,
fenilbutazon, dan methoxypsoralen dilaporkan menyebabkan kegagalan sumsum tulang yang
lambat laun menjadi AML ( Fauci, et. al, 1998 ).
ü  Radiasi
Hubungan yang erat antara radiasi dan leukemia ( ANLL ) ditemukan pada pasien-pasien
anxylosing spondilitis yang mendapat terapi radiasi, dan pada kasus lain seperti peningkatan
insidensi leukemia pada penduduk Jepang yang selamat dari ledakan bom atom. Peningkatan
resiko leukemia ditemui juga pada pasien yang mendapat terapi radiasi misal : pembesaran
thymic, para pekerja yang terekspos radiasi dan para radiologis.
ü  Leukemia Sekunder
Leukemia yang terjadi setelah perawatan atas penyakit malignansi lain disebut Secondary Acute
Leukemia ( SAL ) atau treatment related leukemia . Termasuk diantaranya penyakit Hodgin,
limphoma, myeloma, dan kanker payudara . Hal ini disebabkan karena obat-obatan yang
digunakan termasuk golongan imunosupresif selain menyebabkan dapat menyebabkan kerusakan
DNA . Leukemia biasanya mengenai sel-sel darah putih. Penyebab dari sebagian besar jenis
leukemia tidak diketahui. Pemaparan terhadap penyinaran (radiasi) dan bahan kimia tertentu
(misalnya benzena) dan pemakaian obat antikanker, meningkatkan resiko terjadinya leukemia.
Orang yang memiliki kelainan genetik tertentu (misalnya sindroma Down dan sindroma
Fanconi), juga lebih peka terhadap leukemia.
2.3  KLASIFIKASI
1.      Leukemia akut
Berdasarkan klasifikasi French American British ( FAB ), leukemia akut terbagi menjadi 2
( dua ), Acute Limphocytic Leukemia ( ALL ) dan Acute Myelogenous Leukemia (AML).
Sedangkan Leukemia Kronis jg dibagimmnjadi 2 yaitu Leukemia Mielogenus Kronis (CML) dan
Leukemia Limfositik Kronis (CLL).
Luekemia Limfositik Akut (ALL) dianggap sebagai proliferasi ganas limfoblast. Sering
terjadi pada anak-anak, laki-laki lebih banyak dibanding perempuan, puncak insiden usia 4
tahun, setelah usia 15 ALL jarang terjadi. Manifestasi limfosit immatur berproliferasi dalam
sumsum tulang dan jaringan perifer, sehingga mengganggu perkembangan sel normal..
Acute Limphocytic Leukemia (ALL) sendiri terbagi menjadi 3, yakni :
a)      L1
Sel-sel leukemia terdiri dari limfoblas yang homogen dan L1 ini banyak menyerang anak.
b)     L2
Terdiri dari sel sel limfoblas yang lebih heterogen bila dibandingkan dengan L1. ALL jenis ini
sering diderita oleh orang dewasa.
c)      L3
Terdiri dari limfoblas yang homogen, dengan karakteristik berupa sel Burkitt. Terjadi baik pada
orang dewasa maupun anak-anak dengan prognosis yang buruk
Leukemia Mielogenus Akut (AML) mengenai sel stem hematopeotik yang kelak
berdiferensiasi ke semua sel Mieloid: monosit, granulosit, eritrosit, eritrosit dan trombosit.
Semua kelompok usia dapat terkena; insidensi meningkat sesuai bertambahnya usia. Merupakan
leukemia nonlimfositik yang paling sering terjadi.
2. Leukemia kronis
 1) Leukemia Mielogenus Kronis (CML) terbagi menjadi 8 tipe :
·         Mo ( Acute Undifferentiated Leukemia )
Merupakan bentuk paling tidak matang dari AML, yang juga disebut sebagai AML dengan
diferensiasi minimal .
·         M1 ( Acute Myeloid Leukemia tanpa maturasi )
Merupakan leukemia mieloblastik klasik yang terjadi hampir seperempat dari kasus AML. Pada
AML jenis ini terdapat gambaran azurophilic granules dan Auer rods. Dan sel leukemik
dibedakan menjadi 2 tipe, tipe 1 tanpa granula dan tipe 2 dengan granula, dimana tipe 1 dominan
di M1 .
·         M2 ( Akut Myeloid Leukemia )
Sel leukemik pada M2 memperlihatkan kematangan yang secara morfologi berbeda, dengan
jumlah granulosit dari promielosit yang berubah menjadi granulosit matang berjumlah lebih dari
10 % . Jumlah sel leukemik antara 30 – 90 %. Tapi lebih dari 50 % dari jumlah sel-sel sumsum
tulang di M2 adalah mielosit dan promielosit .
·         M3 ( Acute Promyelocitic Leukemia )
Sel leukemia pada M3 kebanyakan adalah promielosit dengan granulasi berat, stain
mieloperoksidase + yang kuat. Nukleus bervariasi dalam bentuk maupun ukuran, kadang-kadang
berlobul . Sitoplasma mengandung granula besar, dan beberapa promielosit mengandung granula
berbentuk seperti debu . Adanya Disseminated Intravaskular Coagulation ( DIC ) dihubungkan
dengan granula-granula abnormal ini.
·         M4 ( Acute Myelomonocytic Leukemia )
Terlihat 2 ( dua ) type sel, yakni granulositik dan monositik , serta sel-sel leukemik lebih dari 30
% dari sel yang bukan eritroit. M4 mirip dengan M1, dibedakan dengan cara 20% dari sel yang
bukan eritroit adalah sel pada jalur monositik, dengan tahapan maturasi yang berbeda-beda.
Jumlah monosit pada darah tepi lebih dari 5000 /uL. Tanda lain dari M4 adalah peningkatan
proporsi dari eosinofil di sumsum tulang, lebih dari 5% darisel yang bukan eritroit, disebut
dengan M4 dengan eoshinophilia. Pasien–pasien dengan AML type M4 mempunyai respon
terhadap kemoterapi-induksi standar.
·         M5 ( Acute Monocytic Leukemia )
Pada M5 terdapat lebih dari 80% dari sel yang bukan eritroit adalah monoblas, promonosit, dan
monosit. Terbagi menjadi dua, M5a dimana sel monosit dominan adalah monoblas, sedang pada
M5b adalah promonosit dan monosit. M5a jarang terjadi dan hasil perawatannya cukup baik.
·         M6 ( Erythroleukemia )
Sumsum tulang terdiri lebih dari 50% eritroblas dengan derajat berbeda dari gambaran morfologi
Bizzare. Eritroblas ini mempunyai gambaran morfologi abnormal berupa bentuk multinukleat
yang raksasa. Perubahan megaloblastik ini terkait dengan maturasi yang tidak sejalan antara
nukleus dan sitoplasma . M6 disebut Myelodisplastic Syndrome ( MDS ) jika sel leukemik
kurang dari 30% dari sel yang bukan eritroit . M6 jarang terjadi dan biasanya kambuhan terhadap
kemoterapi-induksi standar .
·         M7 ( Acute Megakaryocytic Leukemia )
Beberapa sel tampak berbentuk promegakariosit/megakariosit. ( Yoshida, 1998; Wetzler dan
Bloomfield, 1998 ).
Leukemia Mielogenus Kronis (CML) juga dimasukkan dalam sistem keganasan sel
sistem mieloid. Namun lebih banyak sel normal dibanding bentuk akut, sehingga penyakit ini
lebih ringan. CML jarang menyerang individu di bawah 20 tahun. Manifestasi mirip dengan
gambaran AML tetapi tanda dan gejala lebih ringan, pasien menunjukkan tanpa gejala selama
bertahun-tahun, peningkatan leukosit kadang sampai jumlah yang luar biasa, limpa membesar.
2) Leukemia Limfositik Kronis (CLL)
Leukemia Limfositik Kronis (CLL) merupakan kelainan ringan mengenai individu usia
50 sampai 70 tahun. Manifestasi klinis pasien tidak menunjukkan gejala, baru terdiagnosa saat
pemeriksaan fisik atau penanganan penyakit lain.
2.4 PATOFISIOLOGI
Manifestasi klinis penderita leukemia akut disebabkan adanya penggantian sel pada
sumsum tulang oleh sel leukemik , menyebabkan gangguan produksi sel darah merah . Depresi
produksi platelet yang menyebabkan purpura dan kecenderungan terjadinya perdarahan .
Kegagalan mekanisme pertahanan selular karena penggantian sel darah putih oleh sel lekemik,
yang menyebabkan tingginya kemungkinan untuk infeksi .
 Infiltrasi sel-sel leukemik ke organ-organ vital seperti liver dan limpa oleh sel-sel
leukemik yang dapat menyebabkan pembesaran dari organ-organ tersebut . ( Cawson, 1982 ).
Sedangkan pada penderita Leukemia itu sebdiri disebabkan sbb:
·         Normalnya tulang marrow diganti dengan tumor yang malignan, imaturnya sel blast.Adanya
proliferasi sel blast, produksi eritrosit dan platelet terganggu sehingga akan menimbulkan anemia
dan trombositipenia.
·          Sistem retikuloendotelial akan terpengaruh dan menyebabkan gangguan sistem
pertahanan tubuh dan mudah mengalami infeksi.
·         Manifestasi akan tampak pada gambaran gagalnya bone marrow dan infiltrasi organ, sistem
saraf pusat. Gangguan pada nutrisi dan metabolisme. Depresi sumsum tulang yang akan
berdampak pada penurunan lekosit, eritrosit, faktor pembekuan dan peningkatan tekanan
jaringan.
·         Adanya infiltrasi pada ekstra medular akan berakibat terjadinya pembesaran hati, limfe,nodus
limfe, dan nyeri persendian. (Suriadi, & Yuliani R, 2001: hal. 175).
2.5  MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinik yang sering dijumpai pada penyakit leukemia adalah sebagai berikut:
§  Pilek tidak sembuh-sembuh& sakit kepala.
§  Pucat, lesu, mudah terstimulasi, Merasa lemah atau letih.
§  Demam, keringat malam dan anorexia
§  Berat badan menurun
§   Ptechiae, memar  tanpa sebab, Mudah berdarah dan lebam (gusi berdarah, bercak
 keunguan di kulit, atau bintik-bintik merah kecil di bawah kulit)
§  Nyeri pada tulang dan persendian
§  Nyeri abdomen, Pembengkakan atau rasa tidak nyaman di perut (akibat pembesaran limpa).
(Suriadi & Rita Yuliani, 2001 : hal. 177, Cawson 1982; De Vita Jr.,1985, Archida, 1987; Lister,
1990; Rubin,1992 ).
2.6  INSIDEN
ALL (Acute Lymphoid Leukemia) adalah insiden paling tinggi terjadi pada anak-anak
yang berusia antara 3 dan 5 tahun. Anak perempuan menunjukkan prognosis yang lebih baik
daripada anak laki-laki. Anak kulit hitam mempunyai frekuensi remisi yang lebih sedikit dan
angka kelangsungan hidup (survival rate) rata-rata yang juga lebih rendah. ANLL (Acute
Nonlymphoid Leukemia) mencakup 15% sampai 25% kasus leukemia pada anak. Resiko terkena
penyakit ini meningkat pada anak yang mempunyai kelainan kromosom bawaan seperti Sindrom
Down. Lebih sulit dari ALL dalam hal menginduksi remisi (angka remisi 70%). Remisinya lebih
singkat pada anak-anak dengan ALL. Lima puluh persen anak yang mengalami pencangkokan
sumsum tulang memiliki remisi berkepanjangan. (Betz, Cecily L. 2002. hal : 300).
2.7  PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Hitung darah lengkap : menunjukkan normositik, anemia normositik


2. Hemoglobulin : dapat kurang dari 10 gr/100ml
3. Retikulosit : jumlah biasaya rendah
4. Trombosit : sangat rendah (< 50000/mm)
5. SDP : mungkin lebih dari 50000/cm dengan peningkatan SDP immatur
6. PTT : memanjang
7. LDH : mungkin meningkat
8. Asam urat serum : mungkin meningkat
9. Muramidase serum : pengikatan pada leukemia monositik akut dan mielomonositik
10. Copper serum : meningkat
11. Zink serum : menurun
12. Foto dada dan biopsi nodus limfe : dapat mengindikasikan derajat keterlibatan.
2.8  PENATALAKSANAAN
1. Pelaksanaan kemoterapi
Sebagian besar pasien leukemia menjalani kemoterapi. Jenis pengobatan kanker ini
menggunakan obat-obatan untuk membunuh sel-sel leukemia. Tergantung pada jenis leukemia,
pasien bisa mendapatkan satu jenis obat atau kombinasi dari dua obat atau lebih.
Pasien leukemia bisa mendapatkan kemoterapi dengan berbagai cara:
·         Melalui mulut
·         Dengan suntikan langsung ke pembuluh darah balik (atau intravena).
·         Melalui kateter (tabung kecil yang fleksibel) yang ditempatkan di dalam pembuluh darah balik
besar, seringkali di dada bagian atas – Perawat akan menyuntikkan obat ke dalam kateter, untuk
menghindari suntikan yang berulang kali. Cara ini akan mengurangi rasa tidak nyaman dan/atau
cedera pada pembuluh darah balik/kulit.
·          Dengan suntikan langsung ke cairan cerebrospinal – jika ahli patologi menemukan sel-sel
leukemia dalam cairan yang mengisi ruang di otak dan sumsum tulang belakang, dokter bisa
memerintahkan kemoterapi intratekal. Dokter akan menyuntikkan obat langsung ke dalam cairan
cerebrospinal. Metode ini digunakan karena obat yang diberikan melalui suntikan IV atau
diminum seringkali tidak mencapai sel-sel di otak dan sumsum tulang belakang.
2. Terapi Biologi
Orang dengan jenis penyakit leukemia tertentu menjalani terapi biologi untuk
meningkatkan daya tahan alami tubuh terhadap kanker. Terapi ini diberikan melalui suntikan di
dalam pembuluh darah balik. Bagi pasien dengan leukemia limfositik kronis, jenis terapi biologi
yang digunakan adalah antibodi monoklonal yang akan mengikatkan diri pada sel-sel leukemia.
Terapi ini memungkinkan sistem kekebalan untuk membunuh sel-sel leukemia di dalam darah
dan sumsum tulang. Bagi penderita dengan leukemia myeloid kronis, terapi biologi yang
digunakan adalah bahan alami bernama interferon untuk memperlambat pertumbuhan sel-sel
leukemia.
3. Terapi Radiasi
Terapi Radiasi (juga disebut sebagai radioterapi) menggunakan sinar berenergi tinggi
untuk membunuh sel-sel leukemia. Bagi sebagian besar pasien, sebuah mesin yang besar akan
mengarahkan radiasi pada limpa, otak, atau bagian lain dalam tubuh tempat menumpuknya sel-
sel leukemia ini. Beberapa pasien mendapatkan radiasi yang diarahkan ke seluruh tubuh.
(Iradiasi seluruh tubuh biasanya diberikan sebelum transplantasi sumsum tulang.)
4. Transplantasi Sel Induk (Stem Cell)
Beberapa pasien leukemia menjalani transplantasi sel induk (stem cell). Transplantasi sel
induk memungkinkan pasien diobati dengan dosis obat yang tinggi, radiasi, atau keduanya. Dosis
tinggi ini akan menghancurkan sel-sel leukemia sekaligus sel-sel darah normal dalam sumsum
tulang. Kemudian, pasien akan mendapatkan sel-sel induk (stem cell) yang sehat melalui tabung
fleksibel yang dipasang di pembuluh darah balik besar di daerah dada atau leher. Sel-sel darah
yang baru akan tumbuh dari sel-sel induk (stem cell) hasil transplantasi ini.
Setelah transplantasi sel induk (stem cell), pasien biasanya harus menginap di rumah
sakit selama beberapa minggu. Tim kesehatan akan melindungi pasien dari infeksi sampai sel-sel
induk (stem cell) hasil transplantasi mulai menghasilkan sel-sel darah putih dalam jumlah yang
memadai.
 Terdapat tiga fase pelaksanaan kemoterapi :
a.      Fase induksiDimulasi 4-6 minggu setelah diagnosa ditegakkan. Pada fase ini diberikan terapi
kortikostreroid (prednison), vincristin dan L-asparaginase. Fase induksi dinyatakan behasil jika
tanda-tanda penyakit berkurang atau tidak ada dan dalam sumsum tulang ditemukan jumlah sel
muda kurang dari 5%.
b.       Fase Profilaksis Sistem saraf pusatPada fase ini diberikan terapi methotrexate, cytarabine dan
hydrocotison melaui intrathecal untuk mencegah invsi sel leukemia ke otak. Terapi irradiasi
kranial dilakukan hanya pada pasien leukemia yang mengalami gangguan sistem saraf pusat.
c.       KonsolidasiPada fase ini kombinasi pengobatan dilakukan unutk mempertahankan remisis dan
mengurangi jumlah sel-sel leukemia yang beredar dalam tubuh. Secara berkala, mingguan atau
bulanan dilakukan pemeriksaan darah lengkap untuk menilai respon sumsum tulang terhadap
pengobatan. Jika terjadi supresi sumsum tulang, maka pengobatan dihentikan sementara atau
dosis obat dikurangi.

Anda mungkin juga menyukai