Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI DENGAN ASFIKSIA NEONATORUM

A. KAJIAN PUSTAKA 1. Definisi Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan teratur segera atau beberapa saat setelah lahir. Secara klinik ditandai dengan sianosis, bradikardi, hipotonia, dan tidak ada respon terhadap rangsangan, yang secara objektif dapat dinilai dengan skor APGAR. Keadaan ini disertai hipoksia, hiperkapnia, dan berakhir dengan asidosis. Konsekuensi fisiologis yang terutama terjadi pada bayi dengan asfiksia adalah depresi susunan saraf pusat dengan kriteria menurut WHO tahun 2008 didapatkan adanya gangguan neurologis berupa Hypoxic Ischaemic Enchepalopaty (HIE), akan tetapi kelainan ini tidak dapat diketahui dengan segera. (Kosim, 1998; Hasan, 1985; dan Depkes RI, 2005) Asfiksia dapat terjadi selama kehamilan atau persalinan. Asfixia dalam kehamilan dapat disebabkan oleh penyakit infeksi akut atau kronis, keracunan obat bius, uremia, toksemia gravidarum, anemia berat, cacat bawaan, atau trauma. Sementara itu, asfiksia dalam persalinan disebabkan oleh partus yang lama, ruptura uteri, tekanan terlalu kuat kepala anak pada plasenta, prolapsus, pemberian obat bius yang terlalu banyak dan pada saat yang tidak tepat, plasenta previa, solusia plasenta, serta plasenta tua (serotinus) (Nurarif, 2013).

2. Klasifikasi dan Manifestasi Klinis Asfiksia Asfiksia dapat dibedakan menjadi dua, yaitu asfiksia pallida dan asfiksia livida dengan masing-masing manifestasi klinis sebagai berikut (Nurarif, 2013): Tabel 1. Karakteristik Asfiksia Pallida dan Asfiksia Livida Perbedaan Asfiksia Pallida Asfiksia Livida Warna Kulit Tonus Otot Reaksi Rangsangan Bunyi Jantung Prognosis Pucat Sudah kurang Negatif Tidak teratur Jelek Kebiru-biruan Masih baik Positif Masih teratur Lebih baik

Klasifikasi asfiksia dapat ditentukan berdasarkan nilai APGAR (Nurarif, 2013). Tabel 2. APGAR score Nilai Tanda 0 A : Appearance (color/warna kulit) P : Pulse (heart rate/denyut nadi) G : Grimance (reflek) A : Activity (tonus otot) R : Respiration (usaha bernapas) Biru/pucat 1 Tubuh kemerahan, ekstremitas biru < 100x per menit Gerakan sedikit Fleksi lemah Lemah, merintih 2 Tubuh dan ekstremitas kemerahan >1100x per menit Menangis Aktif Tangisan kuat

Tidak ada Tidak ada Lumpuh Tidak ada

Bayi akan dikatakan mengalami asfiksia berat jika APGAR score berada pada rentang 0-3, asfiksia sedang dengan nilai APGAR 4-6, dan bayi normal atau dengan sedikit asfiksia jika APGAR score berada pada rentang 7-10 (Nurarif, 2013).

3. Etiologi Asfiksia dapat terjadi karena beberapa faktor (Nurarif, 2013). a. Faktor ibu Beberapa keadaan pada ibu dapat menyebabkan aliran darah ibu melalui plasenta berkurang. Akibatnya, aliran oksigen ke janin juga berkurang dan dapat menyebabkan gawat janin dan akhirnya terjadilah asfiksia. Berikut merupakan keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan asfiksia pada bayi baru lahir (Depkes RI, 2005 dan Nurarif, 2013): 1) Preeklamsia dan eklamsia 2) Demam selama persalinan 3) Kehamilan postmatur 4) Hipoksia ibu 5) Gangguan aliran darah fetus, meliputi : a) gangguan kontraksi uterus pada hipertoni, hipotoni, tetani uteri b) hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan c) hipertensi pada penyakit toksemia 6) Primi tua, DM, anemia, riwayat lahir mati, dan ketuban pecah dini b. Faktor plasenta Keadaan berikut ini berakibat pada penurunan aliran darah dan oksigen melalui tali pusat ke bayi, sehingga bayi mungkin mengalami asfiksia (Depkes RI, 2005 dan Nurarif, 2013): 1) Abruptio plasenta 2) Solutio plasenta 3) Plasenta previa c. Faktor fetus Pada keadaan berikut bayi mungkin mengalami asfiksia walaupun tanpa didahului tanda gawat janin (Depkes RI, 2005 dan Nurarif, 2013): 1) Air ketuban bercampur dengan mekonium 2) Lilitan tali pusat 3) Tali pusat pendek atau layu 4) Prolapsus tali pusat 3

d. Faktor persalinan Keadaan yang dapat menyebabkan asfiksia yaitu (Nurarif, 2013): 1) Persalinan kala II lama 2) Pemberian analgetik dan anastesi pada operasi caesar yang berlebihan sehingga menyebabkan depresi pernapasan pada bayi e. Faktor neonatus Berikut merupakan kondisi bayi yang mungkin mengalami asfiksia (Nurarif, 2013): 1) Bayi preterm (belum genap 37 minggu kehamilan) dan bayi posterm 2) Persalinan sulit (letak sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ekstraksi vakum, forsep) 3) Kelainan konginetal seperti hernia diafragmatika, atresia/stenosis saluran pernapasan, hipoplasi paru, dll. 4) Trauma lahir sehingga mengakibatkan perdarahan intracranial

4. Faktor Resiko Faktor resiko yang dapat menyebabkan asfiksia perinatal yaitu faktor maternal, plasenta-tali pusat, dan fetus atau neonatus (Volpe, 2001; Aurora, 2004; dan Levene, 2005) : a. Kelainan maternal, dapat meliputi hipertensi, peyakit vaskular, diabetes, drug abuse, penyakit jantung, paru, gangguan susunan saraf pusat, hipotensi, ruptura uteri, tetani uteri, panggul sempit. b. Kelainan plasenta dan tali pusat, meliputi infark dan fibrosis plasenta, prolaps atau kompresi tali pusat, kelainan pembuluh darah umbilikus. c. Kelainan fetus atau neonatus meliputi anemia, hidrops, infeksi, pertumbuhan janin terhambat, serotinus. Selain itu, kurangnya kesadaran calon ibu untuk melakukan ANC, status nutrisi yang rendah, perdarahan saat melahirkan, dan infeksi saat kehamilan juga merupakan faktor resiko terjadinya asfiksia. Ditambah lagi dengan letak bayi sungsang dan kelahiran dengan berat bayi kurang dari 2500 gram, maka akan memperburuk keadaan dan meningkatkan resiko 4

asfiksia (Majeed, 2007 dan Pitsawong, 2011). Namun sayangnya, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ogunlesi dkk (2013) dinyatakan bahwa dari 354 orang responden yang diteliti, hampir seluruhnya tidak mengetahui faktor resiko terjadinya asfiksia (Ongunlesi, 2013).

5. Patofisiologi
Paralisis pusat pernapasan Persalinan lama, lilitan tali pusat, presentasi janin abnormal Faktor lain : obat-obatan

ASFIKSIA

Janin kekurangan O2 dan kadar CO2 meningkat Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif

Paru-paru terisi cairan

Gangguan metabolisme dan perubahan asam basa

Suplai O2 dalam darah Resiko Ketidakseimbangan Suhu Tubuh

Suplai O2 dalam paru Kerusakan otak

Asidosis respiratorik Gangguan perfusi-ventilasi Napas cuping hidung, sianosis, hipoksia Gangguan Pertukaran Gas

Napas cepat Apneu Kematian bayi Proses Keluarga Terhenti

DJJ dan TD Ketidakefektifan Pola Napas Janin tidak bereaksi terhadap rangsangan

Resiko Cidera

Resiko Sindrom Kematian Bayi Mendadak

Gambar 1. Bagan Patofisiologi Asfiksia 5

6. Pemeriksaan Diagnostik Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan diantaranya yaitu (William, 2004) : a. Analisa Gas Darah (AGD) : pH kurang dari 7,20 b. Penialaian APGAR score, meliputi warna kulit, frekuensi jantung, usaha napas, tonus otot, dan reflek c. Pemeriksaan EEG dan CT-Scan jika sudah timbul komplikasi d. Pengkajian spesifik

7. Penatalaksanaan Asfiksia merupakan kejadian kegawatan pada janin sehingga memerlukan tindakan yang cepat. Adapun prosedur pertolongan bayi dengan asfiksia adalah sebagai berikut (Depkes RI, 2005):
PENILAIAN : Bayi tidak menangis, tidak bernapas atau megap-megap LANGKAH AWAL (dilakukan dalam 30 detik) : 1). Jaga bayi tetap hangat, 2). Atur posisi bayi : leher agak ekstensi, 3). Isap lendir, 4). Keringkan dan rangsang taktil, 5). Reposisi --------------------------------------------------------------------------------------------------Penilaian apakan bayi menangis atau bernapas spontan dan teratur

Ya

Tidak

VENTILASI : Pasang sungkup, perhatikan lekatan Ventilasi 2 kali dengan tekanan 30 cm air, amati gerakan dada bayi Bila dada bayi mengembang, lakukan ventilasi 20 kali dengan tekanan 20 cm air dalam 30 detik -----------------------------------------------------------------------------------------4. Penilaian apakan bayi menangis atau bernapas spontan dan teratur 1. 2. 3.

Ya

Tidak Lanjutkan ventilasi, hentikan tiap 30 detik -------------------------------------------------------------------------Penilaian apakan bayi menangis atau bernapas spontan dan teratur

Ya ASUHAN PASCA RESUSITASI : 1. Jaga bayi agar tetap hangat 2. Lakukan pemantauan 3. Konseling 4. Pencatatan

Tidak Setelah ventilasi selama 2 menit tidak berhasil, siapkan rujukan Bila bayi tidak bisa dirujuk dan tidak bisa bernapas, hentikan ventilasi setelah 20 menit Konseling dukungan emosional dan pencatatan bayi meninggal

Gambar 2. Manajemen Asfiksia Bayi Baru Lahir

Pada pertolongan persalinan, setiap petugas perlu mengetahui apakah bayi mempunyai resiko mengalami asfiksia. Pada keadaan tersebut, bicarakan dengan ibu dan keluarganya kemungkinan diperlukannya tindakan resusitasi. Akan tetapi, pada keadaan tanpa faktor resiko pun beberapa bayi dapat mengalami asfiksia. Oleh karena itu, petugas harus siap melakukan resusitasi bayi setiap melakukan pertolongan persalinan (Depkes RI, 2005). Tahap persiapan meliputi (Depkes RI, 2005): a. Persiapan keluarga Bicarakan dengan keluarga mengenai kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada ibu dan bayi sebelum menolong persalinan. b. Persiapan tempat Tempat untuk resusitasi harus hangat, terang, rata, keras, bersih, kering, sebaiknya dekat pemancar panas, dan tidak berangin. c. Persiapan alat resusitasi Alat yang digunakan meliputi : 1) Kain ke 1 : untuk mengeringkan bayi 2) Kain ke 2 : untuk membungkus bayi 3) Kain ke 3 : untuk mengganjal bahu bayi 4) Alat pengisap lendir DeLee 7

5) Tabung dan sungkup 6) Kotak alat resusitasi 7) Handscun 8) Stopwatch atau jam tangan d. Persiapan diri Penolong harus mencuci tangan dan menggunakan APD sebelum menolong persalinan. Keputusan melakukan resusitasi dinilai dari kondisi bayi tidak bernapas atau bernapas megap-megap. Selain itu, resusitasi juga dilakukan jika air ketuban bercampur dengan mekonium. Dalam manajemen asfiksia, proses penilaian sebagai dasar pengambilan keputusan bukanlah suatu proses sesaat yang dilakukan hanya satu kali. Pada setiap tahapan manajemen asfiksia senantiasa dilakukan penilaian untuk membuat keputusan, tindakan apa yang tepat untuk dilakukan (Depkes RI, 2005). Setelah dilakukan resusitasi, maka bayi baru lahir dengan asfiksia diberikan asuhan pasca resusitasi. Asuhan pasca resusitasi merupakan perawatan intensif selama 2 jam pertama. Asuhan yang diberikan sesuai dengan hasil resusitasi, meliputi (Depkes RI, 2005 dan Agarwal, 2008): a. Bila resusitasi berhasil Hal yang pertama kali dilakukan setelah resusitasi berhasil yaitu memindahkan bayi ke ruangan bayi dan menjaga bayi agar tetap hangat. Kemudian lakukan monitoring tanda-tanda vital secara berkala. Lakukan juga pemeriksaan analisa gas darah, kadar gula darah, hematokrit, dan kadar kalsium. Sementara itu, berikan konseling kepada ibu terkait pemberian ASI, menjaga kehangatan bayi dengan teknik Kangoroo Mother Care, dan jelaskan kepada ibu bagaimana tanda-tanda bahaya pada bayi baru lahir. Selain itu, selalu monitor warna kulit, suhu, dan respirasi rate minimal pada dua jam pertama, serta lakukan pencatatan atau dokumentasi.

b. Bila perlu rujukan Bayi perlu rujukan jika : 1) RR < 30x per menit, atau > 60x per menit 2) Adanya tarikan dinding dada 3) Bayi merintih (ada bunyi napas saat ekspirasi) atau megap-megap (ada bunyi napas saat inspirasi) 4) Tubuh bayi pucat atau kebiruan 5) Bayi lemas Siapkan surat rujukan dan lakukan pencatatan atau dokumentasi setiap kali selesai melakukan tindakan. c. Bila resusitasi tidak berhasil 1) Lakukan konseling berupa pemberian dukungan moral kepada keluarga yang kehilangan. Ibu akan merasa sedih, bahkan menangis. Perubahan hormon setelah kehamilan mungkin menyebabkan perasaan ibu sangat sensitif. Jelaskan kepada ibu dan keluarga bahwa ibu memerlukan istirahat, dukungan moral, dan makanan bergizi. 2) Berikan asuhan tindak lanjut berupa kunjungan nifas. 3) Lakukan pencatatan atau dokumentasi Ada beberapa hal yang tidak dianjurkan dilakukan terhadap bayi dengan asfiksia. Berikut adalah tindakan-tindakan yang sebaiknya dihindari saat melakukan pertolongan kepada bayi dengan asfiksia beserta akibat yang ditimbulkannya (Depkes RI, 2001) : Tabel 3. Tindakan yang Tidak Dianjurkan dan Akibat yang Mungkin Ditimbulkannya Tindakan Akibat Menepuk bokong Menekan rongga dada Menekankan paha ke perut bayi Mendilatasi sfingter ani Kompres dingin atau panas Meniupkan oksigen atau udara dingin ke muka atau tubuh bayi 9 Trauma dan melukai Fraktur, pneumototaks, gawat napas, kematian Ruptura hepar atau lien, perdarahan Robek atau luka pada sfingter Hipotermi, luka bakar Hipotermi

Berdasarkan penelitian oleh Berglund dkk (2008) dinyatakan bahwa kepatuhan terhadap protap penatalaksanaan atau manajemen asfiksia bayi baru lahir masih rendah dan harus ditingkatkan, terutama menyangkut tindakan ventilasi. Pendokumentasian juga harus diperbaiki agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan (Berglund, 2008). Penatalaksanaan dari sisi medikamentosa dapat dilakukan dengan (Depkes RI, 2005 dan IAI, 2012): a. Cairan penambah volume darah Cairan diberikan jika bayi terlihat pucat, kehilangan darah, dan atau tidak memberikan respon yang memuaskan terhadap resusitasi. Cairan yang dipakai dapat berupa garam fisiologis (dianjurkan), ringer laktat, dan dapat juga berupa darah O-negatif dengan dosis 10 ml/kgBB/5-10 menit melalui jalur vena umbilikalis. b. Epinefrin Epinefrin diberikan setelah VTP (ventilasi tekanan positif) 30 detik dan VTP+kompresi dada selama 30 detik tidak memberikan hasil positif sehingga frekuensi jantung tetap > 60 kali per menit. Dosis yang diberikan sebanyak 0,1 s.d. 0,3 ml/kgBB melalui rute IV dengan pengenceran 1 : 10.000 dan diberikan secepat mungkin. c. Natrium bikarbonat Hanya diberikan jika dicurigai terjadinya asidosis metabolik atau terbukti sudah terjadi asidosis metabolik. Dosis pemberian yaitu sebanyak 2 mEq/kgBB (larutan 4,2%) melalui jalur vena umbilikus dengan kecepatan < 1 mEq/kgBB/menit. Natrium bikarbonat tidak boleh diberikan jika ventilasi masih belum adekuat. Penelitian yang dilakukan oleh Gregorio dkk (2011) menyatakan bahwa ternyata kafein dapat digunakan untuk penanganan apneu pada bayi baru lahir prematur sehubungan dengan belum matangnya sistem saraf pada bayi tersebut. Dinyatakan bahwa kafein memiliki toksisitas yang rendah dan waktu paruh yang panjang. Beberapa penelitian juga melaporkan beberapa

10

kemungkinan menarik dari efek yang dihasilkan oleh kafein, seperti efek perlindungan kafein terhadap otak dan paru-paru (Gregorio, 2011). Penelitian lain yang dilakukan oleh Gathwala dkk (2010) menyatakan bahwa pemberian magnesium dalam dosis tertentu kepada bayi dengan asfiksia berat dapat memberikan perlindungan terhadap sistem saraf bayi. Ion magnesium mempunyai reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA) yang dapat melindungi otak dari kerusakan lebih lanjut akibat asfiksia (Gathwala, 2010).

8. Komplikasi Komplikasi dapat mengenai beberapa organ pada bayi, diantaranya adalah sebagai berikut (Karlsson, 2008) : a. Otak : hipoksik iskemik ensefalopati, edema serebri, palsi serebralis b. Jantung dan paru : hipertensi pulmonal persiste pada neonatus, perdarahan paru, edema paru c. Gastrointestinal : enterokolitis nekotikos d. Ginjal : tubular nekrosis akut, SIADH, anuria atau oliguria (< 1 ml/kg/jam) untuk 24 jam atau lebih dan kreatinin serum > 100 mmol/L e. Hematologi : DIC f. Hepar : aspartate amino transferase > 100 U/L, atau alanine amino transferase > 100 U/L sejak minggu pertama kelahiran Komplikasi yang khas pada asfiksia neonatorum yaitu Enselopati Neonatal atau Hipoksik Iskemik Enselopati yang merupakan sindroma klinis berupa gangguan fungsi neurologis pada hari-hari awal kehidupan bayi aterm (Moster, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Azzopardi dkk (2009) serta penelitian oleh Wintermark dkk (2011) menyatakan bahwa meskipun induksi hipotermia sedang selama 72 jam pada bayi dengan asfiksia neonatorum tidak secara signifikan mengurangi tingkat kematian maupun cacat berat, tetapi menghasilkan pengaruh baik terhadap sistem saraf pada bayi yang selamat (Azzopardi, 2009 dan Wintermark, 2011).

11

B. ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian Hal-hal yang dikaji pada bayi baru lahir dengan asfiksia setelah tindakan resusitasi meliputi (Carpenito, 2007 dan Mansjoer, 2000) : a. Sirkulasi Nadi apikal dapat berfluktuasi dari 110-180 kali per menit. Tekanan darah 60-80 mmHg sistolik dan 40-45 mmHg diastolik 1) Bunyi jantung, lokasi di mediasternum dengan titik intensitas maksimal tepat di kiri dari mediasternum pada ruang intercostae III/IV 2) Mur-mur biasanya terjadi pada selama beberapa jam pertama kehidupan 3) Tali pusat putih dan bergelatin, mengandung 2 arteri dan 1 vena b. Eleminasi Dapat berkemih saat lahir c. Makanan atau cairan (status nutrisi) 1) Berat badan : 2500-4000 gram 2) Panjang badan : 44-45 cm 3) Turgor kulit elastis (bervariasi sesuai dengan gestasi d. Neurosensori 1) Tonus otot : fleksi hipertonik dari semua ekstremitas 2) Sadar dan aktif mendemonstrasikan refleks menghisap selama 30 menit pertama setelah kelahiran (periode pertama reaktivitas). Penampilan asimetris (molding, edema, hematoma) 3) Menangis kuat, sehat, nada sedang (nada menangis tinggi

menunjukkan abnormalitas genetik, hipoglikemia, atau efek nekrotik) e. Pernapasan 1) APGAR score optimal : antara 7 s.d. 10 2) Rentang RR normal dari 30-60 kali per menit, pola periodik dapat terlihat 3) Bunyi napas bilateral, kadang-kadang krekels umum awalnya silidrik thorax : kertilago xifoid menonjol umum terjadi 12

f. Keamanan Suhu normal pada 36,5 s.d. 37,5 0C. Ada verniks (jumlah dan distribusi tergantung pada usia gestasi g. Kulit Kulit lembut, fleksibel, pengelupasan kulit pada tangan atau kakai dapat terlihat, warna merah muda atau kemerahan, mungkin belang-belang menunjukkan memar minor (misal : kelahiran dengan forseps), atau perubahan warna herliquin, petekie pada kepala atau wajah (dapat menunjukkan peningkatan tekanan berkenaan dengan kelahiran atau tanda nukhal), bercak portuine, telengiektasis ( kelopak mata, antara alis dan mata, atau pada nukhal), atau bercak mongolia (terutama punggung bawah dan bokong) dapat terlihat.Abrasi kulit kepala mungkin ada (penampakan elektroda internal)

2. Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul antara lain yaitu (Nurarif, 2013 dan NANDA, 2009) : a. Gangguan pertukaran gas b.d. ventilasi-perfusi b. Ketidakefektifan pola napas b.d. hipoventilasi, kerusakan neurologis c. Resiko keterlambatan perkembangan, faktor resiko berupa kekurangan oksigen ke otak d. Resiko ketidakseimbangan suhu tubuh, faktor resiko berupa pemajanan suhu lingkungan yang ekstrem, umur dan berat badan ekstrem. e. Resiko cidera, faktor resiko berupa hipoksia jaringan f. Resiko infeksi, faktor resiko berupa pertahan tubuh primer tidak adekuat g. Resiko sindrom kematian bayi mendadak, faktor resiko berupa prematuritas organ

13

3. Prioritas Masalah Prioritas masalah dapat ditentukan dari berbagai cara. Cara yang pertama adalah dengan melihat seberapa berbahayanya masalah yang bersangkutan terhadap kelangsungan hidup pasien. Semakin masalah tersebut mengancam nyawa pasien, maka semakin diprioritaskan masalah tersebut untuk segera diselesaikan. Cara yang kedua yaitu dengan melihat apakah masalah yang bersangkutan bersifat aktual atau potensial. Masalah yang bersifat aktual akan lebih diprioritaskan dibandingkan dengan masalah yang bersifat potensial. Cara selanjutnya yang dapat dilakukan yaitu berdasarkan keluhan yang paling sering dikeluhkan oleh pasien atau keluhan yang dianggap paling mengganggu oleh pasien. Selain itu, melakukan prioritas masalah juga dapat dilakukan berdasarkan Hierarki Keperluan Abraham Maslow dari tingkat yang paling rendah, yaitu : a. Kebutuhan fisiologis b. Keselamatan dan rasa aman c. Mencintai dan dicintai d. Kebutuhan untuk dihargai e. Aktualisasi diri Pada bayi dengan asfiksia neonatorum, hal yang paling mengancam keselamatan bayi yaitu terkait permasalahan pada sistem pernapasan yang dapat menyebabkan kematian. Masalah ini juga merupakan permasalahan yang aktual, dan berdasarkan hierarki Maslow termasuk dalam pemenuhan kebutuhan fisiologis. Oleh karena itu, diagnosa prioritas yang diangkat yaitu Ketidakefektifan pola napas b.d. hipoventilasi dan kerusakan neurologis.

14

15

16

17

18

19

20

21

22

23

DAFTAR PUSTAKA

Ackley BJ, Ladwig GB. 2011. Nursing Diagnosis Handbook an Evidence-Based Guide to Planning Care. United Stated of America : Elsevier. Agarwal R, Ashish J, Ashok K, Deorari, Vinod KP. 2008. Post-Resuscitation Management of Asphyxiated Neonates. Indian Journal of Pediatrics : 75; 175-80. Aurora S, Snyder EY. 2004. Perinatal Asphyxia. In : Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR eds. Manual of Neonatal Care 5th ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins; 536-55. Azzopardi DV, Brenda S, David E, Leight D, Henry LH, Edmund J, et al. 2009. Moderate Hypothermia to Treat Perinatal Asphyxial Encephalopathy. The New England Journal of Medicine : 361 (14); 1349-58. Berglund S, Mikael N, Charlotta G, Hans P, Sven C. 2008. Neonatal Resuscitation After Severe Asphyxia A Critical Evaluation of 177 Swedish Cases. Acta Pediatric : 97; 714-9. Bulecheck, Gloria M, et all. 2008. Nursing intervention Classification (NIC) Fifth Edition. USA: Mosbie Elsevier. Carpenito, LJ.2007. Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktik Klinis. Jakarta : EGC Departemen Kesehatan RI. 2001. Standar Pelayanan Kebidanan, Buku 1. Jakarta : Depkes RI Departemen Kesehatan RI. 2005. Manajemen Asfiksia Bayi Baru Lahir untuk Bidan. Jakarta : Depkes RI. Gathwala G, Khera A, Singh J, Balhara B. 2010. Magnesium for Neuroprotection in Birth Asphyxia. Jornal of Pediatric Neurosciences : (5); 102-4. Gregorio HO, Rojas DM, Villanueva D, Jaime HB, Bonilla XS, Gonzales LT, et al. 2011. Caffeine Therapy for Apnoea of Prematurity : Pharmacological Treatment. African Jornal of Pharmacy and Pharmacology : 5(4); 564-71. Hasan R, Alatas H. 1985. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK-UI. Ikatan Apoteker Indonesia. 2012. Informasi Sesialite Obat Indonesia volume 47. Jakarta : ISFI Penerbitan.

24

Karlsson M. 2008. On Evaluation of Organ Damage in Perinatal Asphyxia : an Experimental and Clinical Studi. Stockholm : Departemen of Clinical Science and Education Sodersjukhuset. Kosim MS. 1998. Asfiksia Neonatorum dalam Kumpulan Makalah Pelatihan Dokter Spesialis Anak dalam Bidang NICU untuk RSU Kelas B Tingkat Nasional. Semarang : IAI. Levene M, Evans DJ. 2005. Hypoxic-Ischemic Brain Injury. In : Rennie JM eds. Robertons Textbook of Neonatologi 4th ed. Philadelphia : Elsevier Limited; 1128-48. Majeed R, Yasmeen M, Farrukh M, Naheed PS, Uzma DMR. 2007. Risk Factor of Birth Asphyxia. J Ayub Med Coll Abbottabad : 19(3); 67-71. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius. Moorhead, Sue, et all. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC) Fourth Edition. USA: Mosbie Elsevier. Moster D, Lie RT, Markestad T. 2002. Joint Association of Apgar Scores and Early Neonatal Symptoms with Minor Disabilities at School Age. Arch. Dis. Child. Fetal Neonatal Ed : 86; 16-21. NANDA International. 2009. Nursing Diagnosis: Definition and Classification 2009-2011. USA: Willey Blackwell Publication. Nurarif AH, Kusuma H. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan Diagnosa Medis, NANDA, dan NIC-NOC. Yogyakarta : Media Action. Ongunlesi TA, Fetuga MB, Adekanmbi AF. 2013. Mothers Knowladge About Birth Asphyxia : The Need to Do More!. Nigerian Journal of Clinical Practice : 16(1); 31-6. Pitsawong C, Prisana P. 2011. Risk Factors Associated with Birth Asphyxia in Phramongkutklao Hospital. Thai J of Obstertrics and Gynaecology : 19; 165-71. Volpe JJ. 2001. Hypoxic-Ischemic Encephalopathy. In : Volpe JJ eds. Neurologi of the newborn 4th ed. Philadelphia : WB. Saunders Co; 217-394. William MG. 2004. Perinatal Asphyxia. Clin Evid : 12; 1-2. Wintermark P, Hansen A, Gregas MC, Soul J, Lebrecque M, Robertson RL, et al. 2011. Brain Perfusion in Asphyxiated Nerborns Treated with Therapeutic Hypothermia. Am J Neuroradiol : 32; 2023-29.

25

Anda mungkin juga menyukai