Anda di halaman 1dari 22

STRATEGI DAN STANDAR EVALUASI PROGRAM

Evaluasi program pendidikan yang efektif merupakan cara yangs istematis


untuk meningkatkan program pendidikan dan tindakan pelayanan pendidikan dengan cara
melibatkan prosedur yang berguna, layak, etis, dan akurat. Kerangka direkomendasikan
dikembangkan untuk memandu para profesionaldalam menggunakan evaluasi program.
Kerangka ini dirancang untuk merangkum dan mengatur elemen-elemen penting dari evaluasi
program. Kerangka kerja ini terdiri dari langkah-langkah dalam praktek evaluasi dan standar
untuk evaluasi yang efektif(Non profit Developed Instuted: p.7 ). Kerangka kerja ini terdiri
dari enam langkah yang harus diambil dalam evaluasi apapun. Ke enam langkah-langkahnya
adalah sebagai berikut (Non profit Developed Instuted).
Langkah1: Engage Stakeholders (Melibatkan Stakeholder)
Stakeholder harus terlibat dalam penyelidikan untuk memastikan mengenai sudut
pandang dari program yang dievaluasi sesuai dengan pemahaman mereka. Ketika stakeholder
tidak terlibat, evaluasi tidak mungkin membahas unsur penting dari tujuan program, operasi,
dan hasil. Oleh karena itu, hasil evaluasi dapat diabaikan, dikritik, atau bahkan ditolak karena
evaluasi tidak mengatasi masalah para Stakeholder. Berikut adalah tiga kelompok utama
dalam mengidentifikasi stakeholder:
1.        Mereka yang terlibat dalam operasi program
Orang atau organisasi yang terlibat dalam operasi program yang memiliki kepentingan
mengenai bagaimana kegiatan evaluasi dilakukan karena program tersebut dapat dijadikan
sebagai hasil dari apa yang dipelajari (misalnya, sponsor, kolaborator, mitra koalisi, pejabat
pendanaan, administrator, manajer, dan staf)
2.        Mereka yang dilayani atau dipengaruhi oleh program (misalnya, klien, anggota keluarga,
organisasi lingkungan, institusi akademik, pejabat terpilih, kelompok advokasi, asosiasi
profesi, skeptis, lawan, dan staf dari organisasi terkait atau bersaing)
3.        Pengguna utama dari evaluasi
Pengguna utama dari evaluasi adalah orang-orang tertentu yang berada dalam posisi untuk
melakukan atau memutuskan sesuatu mengenai program. Dalam prakteknya, pengguna utama
akan menjadi bagian dari semua pemangku kepentingan yang diidentifikasi

Langkah 2: Describe The Program (Deskripsi Program)


Deskripsi program menjelaskan mengenai misi dan tujuan dari program yang sedang
dievaluasi. Deskripsi harus cukup rinci untuk memastikan pemahaman tentang tujuan
program dan strategi. Deskripsi program menetapkan kerangka acuan bagi semua keputusan
selanjutnya dalam evaluasi. Aspek-aspek yang ada dalam deskripsi program adalah sebagai
berikut:
1.     Kebutuhan à Ciri penting untuk menggambarkan kebutuhan program termasuk adalah
besarnya masalah, populasi yang terpengaruh, apakah kebutuhan berubah, dan dengan cara
apa kebutuhan berubah.
2.      Efek yang diharapkan à Deskripsi dari harapan yang menggambarkan bagaimana suatu
program dianggap berhasil (efek program).
3.      Kegiatan à Menggambarkan kegiatan program, langkah-langkah spesifik, strategi, atau
tindakan yang harus tersusun secara sistematis
4.      Sumber daya à Sumber daya termasuk dalam waktu, informasi, sarana prasarana, teknologi,
biaya, dan aset lain yang tersedia untuk melakukan kegiatan-kegiatan program.
5.      Tahap Pengembangan à Tahap penegembangan meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan efek
program.
6.      Konteks à Deskripsi konteks program harus mencakup lata belakang dan pengaruh
lingkungan (misalnya, sejarah, geografi, politik, kondisi sosial dan ekonomi, dan upaya
organisasi terkait atau bersaing) di mana program beroperasi.
7.      Logic Model à Sebuah model logika yang menggambarkan tentang bagaimana program ini
seharusnya bekerja, Sering, model ini ditampilkan dalam sebuah diagram alur, peta, atau
tabel untuk menggambarkan urutan langkah-langkah yang mengarah ke hasil program

Langkah 3: Focus The Evaluation Design (Fokus Desain Evaluasi)


Evaluasi harus difokuskan untuk menilai isu-isu yang menjadi perhatian terbesar
bagi para pemangku kepentingan saat menggunakan waktu dan sumber daya seefisien
mungkin. Fokus evaluasi meliputi tujuan, pengguna, penggunaan, pertanyaan, metode, dan
perjanjian.
1.      Tujuan à Mengutarakan tujuan evaluasi sebelum waktunya akan mencegah pengambilan
keputusan tentang bagaimana evaluasi harus dilakukan. Evaluasi memiliki empat tujuan
umum yaitu
a.       Mendapatkan informasi tentang
b.      Untuk mengubah praktik, yang sesuai dalam tahap implementasi program yang dibentuk
ketika berusaha untuk menggambarkan apa yang telah dilakukan dan sejauh mana informasi
tersebut dapat digunakan, untuk lebih menggambarkan proses program, untuk meningkatkan
bagaimana program beroperasi, dan untuk menyempurnakan strategi program secara
keseluruhan.
c.       Menguji hubungan antara kegiatan program dan konsekuensi yang diamati
d.      Melibatkan menggunakan proses penyelidikan evaluasi untuk mempengaruhi orang-orang
yang berpartisipasi dalam penyelidikan
2.      Pengguna à Pengguna adalah orang-orang tertentu yang akan menerima temuan-temuan
evaluasi
3.      Penggunaan à Penggunaan adalah cara tertentu di mana informasi yang dihasilkan dari
evaluasi akan diterapkan.
4.      Pertanyaan à Pertanyaan menetapkan batas-batas untuk evaluasi dengan menyatakan apa
aspek program akan dibahas.
5.      Metode à Metode untuk evaluasi diambil dari pilihan penelitian ilmiah, terutama yang
dikembangkan dalam ilmu-ilmu sosial, perilaku, dan kesehatan. Sebuah klasifikasi jenis
desain mencakup desain eksperimental, kuasi-eksperimental, dan observasional.
6.      Perjanjian à Perjanjian meringkas prosedur dan memperjelas peran dan tanggung jawab di
antara mereka yang akan melaksanakan rencana evaluasi. Perjanjian menjelaskan bagaimana
rencana evaluasi akan dilaksanakan dengan menggunakan sumber daya yang tersedia
(misalnya, uang, tenaga, waktu, dan informasi)

Langkah 4: Gather Credible Evidence (Mengumpulkan Bukti yang Kredibel)


Evaluasi harus berusaha untuk mengumpulkan informasi yang akan menyampaikan
gambaran yang menyeluruh dari program sehingga informasi dipandang sebagai sesuatu yang
kredibel oleh pengguna utama evaluasi. Ketika para pemangku kepentingan yang terlibat
dalam mendefinisikan dan mengumpulkan data yang mereka temukan kredibel, mereka akan
lebih cenderung untuk menerima kesimpulan evaluasi dan untuk bertindak atas
rekomendasinya. Aspek pengumpulan bukti yang biasanya mempengaruhi persepsi
kredibilitas termasuk indikator, sumber, kualitas, kuantitas, dan logistik.
1.             Indikator à Indikator mendefinisikan atribut program yang berkaitan dengan fokus evaluasi
dan pertanyaan.
2.             Sumber à Sumber disini merupakan bukti dalam evaluasi, yaitu orang-orang, dokumen, atau
pengamatan yang menyediakan informasi untuk penyelidikan. Memilih berbagai sumber
memberikan kesempatan untuk memasukkan perspektif yang berbeda mengenai program dan
dengan demikian meningkatkan kredibilitas evaluasi.
3.             Kualitas à Kualitas mengacu pada kesesuaian dan mutu informasi yang digunakan dalam
evaluasi. Data berkualitas tinggi yaitu data yang dapat diandalkan, valid, dan informatif.
4.             Kuantitas àKuantitas mengacu pada jumlah bukti yang dikumpulkan dalam suatu evaluasi.
Jumlah informasi yang dibutuhkan harus diperkirakan terlebih dahulu, atau di mana proses
berkembang yang digunakan, kriteria harus ditetapkan untuk memutuskan kapan harus
berhenti mengumpulkan data.
5.             Logistik. Logistik mencakup metode, waktu, dan infrastruktur fisik untuk mengumpulkan
bukti-bukti dan penanganan. Setiap teknik yang dipilih untuk mengumpulkan bukti harus
disesuaikan dengan sumber, rencana analisis, dan strategi untuk menkomunikasikan temuan
hasil evaluasi.
Langkah 5: Justify Conclusions (Perkuatlah Kesimpulan)
Kesimpulan evaluasi dianggap benar jika terkait dengan bukti yang dikumpulkan dan
dinilai sesuai dengan kesepakatan nilai-nilai atau standar yang telah ditetapkan oleh
stakeholders. Membenarkan kesimpulan berdasarkan bukti meliputi standar, analisis dan
sintesis, interpretasi, penilaian, dan rekomendasi.
1.      Standar à Standar mencerminkan nilai-nilai yang dipegang oleh stakeholder, dan nilai-nilai
memberikan dasar untuk membentuk penilaian tentang kinerja program.
2.      Analisis dan Sintesis à Analisis dan sintesis temuan evaluasi ini mungkin mendeteksi pola
dalam bukti, baik dengan mengisolasi temuan penting (analisis) atau dengan menggabungkan
sumber informasi untuk mencapai pemahaman yang lebih besar (sintesis).
3.      Interpretasi àInterpretasi adalah upaya mencari tahu apa temuan yang berarti dan merupakan
bagian dari upaya menyeluruh untuk memahami bukti yang dikumpulkan dalam suatu
evaluasi.
4.      Penilaian à Penilaian adalah pernyataan mengenai prestasi, nilai, atau makna dari program.
Penilaian dibentuk dengan membandingkan temuan dan interpretasi mengenai program
dengan standar yang ditetapakan sebelumnya.
5.      Rekomendasi à Rekomendasi adalah tindakan untuk dipertimbangkan akibat evaluasi.

Langkah 6: Ensure Use and Share Lesson Learned (Pastikan Penggunaan dan Pelajaran yang
diperoleh)
Pelajaran dalam proses evaluasi tidak secara otomatis diterjemahkan ke dalam
tindakan pengambilan keputusan dan sesuai informasi. Persiapan penggunaan melibatkan
pemikiran strategis dan tetap waspada, yang keduanya dimulai pada tahap awal keterlibatan
stakeholder dan terus berlanjut selama proses evaluasi. Lima elemen sangat penting untuk
memastikan penggunaan evaluasi, termasuk desain, persiapan, feedback (umpan balik),
follow up (tindak lanjut)
1.      Desain à Desain mengacu pada bagaimana pertanyaan-pertanyaan evaluasi, metode, dan
proses keseluruhan dibangun. Proses pembuatan desain yang jelas akan menyoroti cara-cara
stakeholders, melalui kontribusi mereka, dapat meningkatkan relevansi, kredibilitas, dan
utilitas keseluruhan evaluasi.
2.      Persiapan à Persiapan mengacu pada langkah-langkah yang diambil untuk melatih
penggunaan akhir hasil temuan evaluasi.
3.      Feedback à Umpan balik adalah komunikasi yang terjadi di antara semua pihak untuk
evaluasi. Memberi dan menerima umpan balik menciptakan suasana saling percaya antara
para pemangku kepentingan.
4.      Follow-Up à Tindak lanjut mengacu pada dukungan teknis dan emosional yang pengguna
butuhkan selama evaluasi dan setelah mereka menerima temuan evaluasi
STANDAR EVALUASI (STANDARD EVALUATION)
Standar evaluasi diperlukan untuk menghidari kemungkinan adanya salah satu
stakeholder atau evaluator yang tidak sinkron terhadap apa yang sudah dirumuskan
sebelumnyya (subjektifitas dalam hasil evaluasi program). Dalam evaluasi, standar evaluasi
merupakan aspek penting dari setiap praktek evaluasi. Dengan adanya standar, dapat
membantu memastikan bahwakomunikasi antara evaluator dan klien dapat berjalan secara
efektif, dapat mencapai suatu pemahaman yang sama, jelas, saling mengenal kriteria yang
harus dipenuhi dalam evaluasi. Tanpa adanya standar, kredibilitas prosedur evaluasi, hasil,
atau pelaporan yang tersisa akan diragukan (tidak valid).
Ada beberapa fungsi spesifik dari standar evaluasi program, yaitu:
1.      Memberikan prinsip-prinsip umum tentang bagaimana mengatasi berbagai masalah dalam
proses evaluasi
2.      Membantu memastikan bahwa evaluator akan menggunakan praktik
terbaikpadabidangevaluasi yang tersedia.
3.      Memberikan arah untuk melakukan evaluasi perencanaan yang efisien dan termasuk
pertanyaan evaluasi yang bersangkutan.
4.      Menyediakan konten utama untuk pelatihan dan pembimbingan evaluator dan peserta lain
dalam proses evaluasi.
5.      Kehadiran evaluator dan konstituen mereka dengan bahasa yang sama untuk memfasilitasi
komunikasi dan kolaborasi
6.      Membantu arsip evaluator dan memelihara kredibilitas di antara profesi lain
7.      Mendapatkan dan mempertahankan kredibilitas terhadap badan pengawasan publik dan klien
8.      Mendapatkan dan memelihara kepercayaan publik di bidang evaluasi
9.      Melindungi konsumen dan masyarakat dari praktek-praktek berbahaya atau merusak
10.  Menyediakan kriteria objektif untuk menilai dan memperkuat layanan evaluasi
11.  Memberikan dasar untuk akuntabilitas oleh evaluator
12.  Memberikan dasar untuk mengadili klaim malpraktek dan sengketa lainnya
13.  Menyediakan kerangka kerja konseptual dan definisi kerja untuk membantu panduan
penelitian dan pengembangan evaluasi.

Dalam melaksanakan kegiatan Evaluasi Program seorang evaluator harus mengikuti


kaidah dan prosedur tertentu agar evaluasi dapat berjalan baik sesuai standar evaluasi
program. Standar evaluasi yang paling komprehensip dan rinci dikembangkan oleh Comittee
on Standard for Educational Evaluation, Joint Comittee (1981) dalam Tayibanapis (8: 2000)
menyebutkan bahwa 4 kategori standar evaluasi yaitu standart utility (kegunaan), feasibility
(kelayakan), propriety (kesahihan) dan accuracy (ketepatan).
1.      Utility standard (Standar Utilitas/ Kegunaan (Utility standard)
Standar Utilitas ini untuk memastikan bahwa evaluasi akan menyajikan informasi
yang sesuai dengan keperluan pemakai Standar utilitas (disingkat U) terdiri dari 7 komponen
(U1-U7), sbb:
a.    Stakeholder Identification (Identifikasi Stakeholder)
Pihak yang terlibat oleh evaluasi ini perlu diidentifikasi agar kebutuhan mereka dapat 
tercakupi, sehingga evaluator mengetahui apa sesungguhnya yang dibutuhkan oleh
stakeholders dari evalusi tersebut.
b.    Evaluator Credibility (Kredibilitas Evaluator)
Seseorang yang melaksanakan evaluasi harus terpercaya dan kompeten sehinga hasil evaluasi
mencapai kredibilatas dan penerimaan yang tinggi, ini sangat penting untuk diperhatikan,
karena apabila standar kredebilitas evaluator sudah terpenuhi dengan baik, maka hasil dari
sebuah evaluasi tersebut bisa digeneralisasi, dalam arti jika kondisi suatu program yang ingin
dievaluasi sama, maka ketika standar yang telah ditetapkan terpenuhi semuanya, evaluator
tersebut bisa menjadi tenar, dan tentunya banyak stakeholder yang ingin menggunakan
jasanya dalam mengevaluasi program yang dibuat oleh Stakeholder.
c.    Information Scope and Selection (Seleksi & Ruang Lingkup Informasi)
Informasi yang didapat harus luas dan juga terseleksi untuk menjawab pertanyaan –
pertanyaan yang berkaitan dengan program dan responsif terhadap kebutuhan klien dan
stakeholder
d.   Values Identification (Identifikasi Nilai-Nilai)
Sudut pandang, prosedur dan alasan rasional yang digunakan untuk menginterpretasi temuan
harus digambarkan secara hati-hati sehingga dasar untuk mempertimbangkan nilai-nilai
menjadi jelas.
e.    Report Clarity (Kejelasan Pelaporan)
Laporan evaluasi harus jelas menggambarkan konteks, tujuan, prosedur dan temuan dari
evaluasi sehingga informasi yang penting dapat dipaparkan dan mudah dimengerti.
f.     Report Timeliness and Dissemination (Penyebaran dan Ketepatan Waktu Pelaporan)
Seorang evaluator harus benar-benar menepati waktu dalam menyelesaikan pengevaluasian
yang telah dilaksanakan, karena ini menunjukan keprofesisionalan atau tidaknya seorang
evaluator.
g.    Evaluation Impact (Dampak Evaluasi)
Evaluasi seharusnya direncanakan, dilaksanakan dan dilaporkan dengan cara yang membuat
para stakeholder bisa menindaklanjuti dan menggunakan hasil evaluasi tersebut

2.      Feasbility Standards (Standar kelayakan)


Standar kelayakan dimaksudkan untuk memastikan bahwa evaluasi akan menjadi realistis,
bijaksana, diplomatik, dan hemat. Standar kelayakanmeliputi:
a. Practical Procedures (Prosedur Praktis).
Prosedur evaluasi harus praktis, hal ini dimaksudkan untuk meminimalkan adanya gangguan
dalam memperoleh informasi yang diperlukan.

b. Political Viability (Viabilitas Politik).


Evaluasi harus direncanakan dan dilakukan dengan mengantisipasi posisi yang berbeda dari
berbagai kepentingan kelompok, agar dapat terjalin kerjasama yang baik sehingga dapat
meminimalisir kesenjangan antar kelompok dan penyalahgunakan hasil evaluasi.

c. Cost Effectiveness (Efektivitas Biaya).


Evaluasi harus memberikan informasi yang mutunya cukup mewakili sumber-sumber yang
ada.

3.      Propriety Standard (Standar Kepatutan)


Suatu evaluasi harus memenuhi kondisi kepatutan. Harus didasarkan pada kejelasan,
perjanjian tertulis mendefinisikan kewajiban evaluator dan klien untuk mendukung dalam
pelaksanaan evaluasi. Standar Kepatutan diinginkan untuk meyakinkan agar evaluasi
terlaksana secara secara legal, etis dan dengan mempertimbangkan ketentraman pihak-pihak
yang terlibat dan terpengaruh kegiatan evaluasi. Berikut hal-hal yang harus diperhatikan
dalam standar kepatutan:
a.       Service Orientasi (Orientasi Pelayanan)
Evaluasi seharusnya didesain untuk membantu organisasi dalam melayani kebutuhan anggota
secara luas.
b.      Formal Agreement (Perjanjian Formal)
Kewajiban masing-masing pihak terhadap evaluasi harus disetujui secara tertulis.
c.       Right of Human Subject  (Hak Asasi Subjek)
Evaluasi wajib didesain dan dilaksanakan dengan menghargai dan menjaga hak-hak asasi dan
ketentraman orang-orang yang terlibat.
d.      Human Interaction  (Interaksi yang manusiawi)
e.       Complete and Fair Assesment  (Penilaian yang lengkap dan jujur)
Evaluator harus adil dalam menyelidiki dan mencatat kelebihan dan kekurangan dari program
f.       Disclosure of Finding  (Pengungkapan Temuan)
g.      Conflict of Interest (Konflik Kepentingan)
Konflik kepentingan harus ditangani secara terbuka dan jujur sehingga tidak berkompromi
dengan proses dan hasil evaluasi
h.      Fiscal Responsibility  (Tanggung jawab fiskal)

4.      Accuracy Standards (Standar Akurasi)


Standar akurasi dimaksudkan untuk memastikan bahwa evaluasi akan
mengungkapkan dan menyampaikan informasi teknis yang memadai tentang objek yang
dievalusi serta kegunaan atau manfaatnya. Standar akurasi meliputi:

a. Object Identification (Identifikasi Objek)


Objek evaluasi harus dipelajari dengan sungguh-sungguh, sehinnga setiap komponen dalam
program dapat diidentifikasi dengan jelas.

b. Context Analysis (Analisis Konteks).


Konteks pelaksanaan program harus diperiksa secara rinci, sehingga dapat mengidentifikasi
hal-hal yang mungkin mempengaruhi program.

c. Describe Purpose and Procedure (Menjelaskan Tujuan dan Prosedur)


Tujuan dan prosedur evaluasi harus dimonitor dan dijelaskan secara rinci, sehingga dapat
diidentifikasi dan dinilai.

d. Defensible Information Source (Mempertahankan Sumber Informasi)


Sumber informasi yang digunakan dalam evaluasi program harus dijelaskan secara detail,
sehingga kecukupan informasi dapat dinilai.

e. Valid Measurement (Validitas Pengukuran).


Instrument dan prosedur pengumpulan informasi harus dipilih, dikembangkan dan
diimplementasikan agar validitasnya terjamin.

f. Reliabel Measurement (reliabilitas Pengukuran).


Instrument dan prosedur pengumpulan informasi harus dipilih, dikembangkan dan
diimplementasikan agar peliabilitasnya terjamin.

g. Systematic and Control (Sistematik dan kontrol)


Informasi yang dikumpulkan kemudian diproses, dilaporkan, direview dan diperbaiki agar
hasil evaluasi dapat diterima.

h. Analysis of Quantitative (Analisis Kuantitatif)


Informasi kuantitatif dalam suatu evaluasi harus dianalisis secara tepat dan sistematis.

i. Analysis of Qualitative (Analisis Kualitatif)


Informasi kualitatif dalam suatu evaluasi harus dianalisis secara tepat dan sistematis.

j. Justified Conclutions (Pembenaran Kesimpulan)


Kesimpulan yang dicapai dalam evaluasi harus secara eksplisit dibenarkan, sehingga
stakeholder dapat memberikan penilaian untuk mengambil keputusan.
k. Objective Reporting (Objektivitas Pelaporan)
Prosedur pelaporan harus waspada terhadap gangguan yang disebabkan oleh subjektivitas dan
bias dari setiap hal yang menyangkut evaluasi, sehingga laporan evaluasi mencerminkan
temuan evaluasi.

l. Metaevaluation (Meta evaluasi).


Evaluasi itu sendiri harus secara formatif dan sumatif dievaluasi terhadap standar terkait
lainnya, sehingga pelaksanaanya dengan tepat dipandu dan pada saat penyelesaian
stakeholder dapat memeriksa kekuatan dan kelemahan program.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi dan Cepi Safruddin AJ. (2008). Evaluasi Program   Pendidikan. Jakarta : Bumi
Aksara.
Jodi L. Fitzpartrick, James R. Sanders, Blaine R. Worthen. 2011. Program Evalution Alternative
Approaches and Practical Guidelines, United States: Pearson.
Nonprofit Developement Institute, Inc. Program Evaluation A Primer for Nonprofit Organization.
www.phsc-inc.com/resources/EvaluationPrimer[1].pdf. diakses pada 19 Maret 2013
Tayibnafis, Farida Yusuf, (2000), Evaluasi Program, Jakarta: Rineka Cipta.
http://catatannana.blogspot.com/2010/11/standar-evaluasi-program.html diakses pada 19
Maret 2013
Cara Pengembangan Kompetensi Guru
1.      Program sertifikasi
Sertifikasi guru adalah proses perolehan sertifikat pendidik bagi guru. Sertifikat pendidik
bagi guru berlaku sepanjang yang bersangkutan menjalankan tugas sebagai guru sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Serifikat pendidik ditandai dengan satu nomor
registrasi guru yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional.
Sertifikasi diperoleh melalui pendidikan profesi yang diakhiri dengan uji kompetensi.
Dalam program sertifikasi telah ditentukan kualifikasi pendidikan bagi semua guru di semua
tingkatan, yaitu minimal sarjana atau Diploma IV. Dengan kualifikasi itu, diharapkan guru
akan memiliki kompetensi yang memadai. Menurut Undang-undang Nomor 14 tahun 2005
kompetensi guru meliputi kompetensi paedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi
sosial, dan kompetensi profesional. Apapun penjelasannya sebagai berikut.
Kompetensi paedagogik meliputi pemahaman guru terhadap peserta didik, perancangan
dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar dan pengembangan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Kompetensi kepribadian merupakan
kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan
berwibawa dan menjadi teladan bagi peserta didik serta berakhlak mulia.
Kompetensi Sosial merupakan kemampuan guru untuk berkomunikasi dan bergaul secara
efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga pendidikan, orang tua/wali peserta
didik dan masyarakat sekitar. Kompetensi profesional`merupakan penguasaan materi
pembelajaran secara luas dan mendalam yang mencakup penguasaan materi kurikulum mata
pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materinya. Kompetensi ini juga
disebut dengan penguasaan sumber bahan ajar atau sering disebut dengan bidang studi
keahlian.
Dalam praktik keempat kompetensi itu merupakan satu kesatuan yang utuh, dan
kompetensi profesional sebenarnya merupakan “payung”, karena telah mencakup kompetensi
lainnya. Guru yang memenuhi kualifikasi pendidikan dan memenuhi persyaratan dapat
disertifikasi dengan berpedoman pada ketentuan peraturan-peraturan perundangan yang
berlaku. Sertifikasi guru diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program
pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi atau ditunjuk pemerintah. Setelah
disertifikasi guru akan memperoleh sertifikat pendidik, yaitu bukti formal sebagai pengakuan
yang diberikan kepada guru sebagai tenaga profesional. Dengan memiliki sertifikat pendidik,
guru akan memperoleh penghasilan di atas kebutuhan minimum, meliputi: gaji pokok,
tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan
fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai
guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi. Guru yang diangkat
oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah diberi
gaji sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sementara guru yang diangkat oleh satuan
pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat diberi gaji berdasarkan perjanjian kerja
atau kesepakatan kerja bersama.
Undang-undang Nomor 14/ 2005 memberi angin segar kepada guru, karena memberikan
kesempatan kepada mereka untuk mengembangkan karier dan mendapatkan penghargaan
yang sepantasnya. Undang-undang itu akan dapat mengangkat harkat dan martabat guru yang
memiliki kedudukan dan peranan strategis dalam pembangunan nasional, yang sebelum
adanya undang-undang tersebut tampak kurang mendapatkan perhatian.
Untuk memperoleh sertifikat pendidik tidak semudah membalikkan telapan tangan, dan
memerlukan kerja keras para guru. Sertifikat pendidik akan dapat diperoleh guru apabila
mereka benar-benar memiliki kompetensi dan profesionalisme.  Bagi para guru yang
memiliki kompetensi dan profesionalisme, hal ini mungkin bukan merupakan persoalan yang
pelik, melainkan tinggal menunggu waktu. Sebaliknya, para guru yang kurang memiliki
kompetensi dan profesionalisme, hal ini dapat menjadi persoalan yang pelik ketika giliran
untuk disertifikasi telah tiba. Sehubungan dengan hal itu, sesuatu yang pasti adalah guru
harus mempersiapkan diri sedini mungkin untuk disertifikasi, agar kesempatan yang baik itu
tidak hilang begitu saja karena tidak adanya persiapan yang memadai. Guru harus siap
mental, keilmuan, dan finansial.  Dalam kaitan dengan persiapan dalam hal keilmuan, guru
perlu meningkatkan kompetensi dan profesionalismenya.
2.      Peningkatan Kompetensi dan Profesionalisme Guru
Untuk kepentingan sertifikasi dan menjamin mutu pendidikan perlu dilakukan
peningkatan kompetensi dan profesionalisme seorang guru. Hal ini perlu dipahami karena
dengan adanya pasca sertifikasi guru harus tetap meningkatkan kemampuan dan
profesionalismenya agar mutu pendidikan tetap terjamin. Peningkatan kompetensi dan
profesionalisme guru dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain sebagai berikut ini.
a.       Studi Lanjut Program Strata 2
Studi lanjut program Strata 2 atau Magister merupakan cara pertama yang dapat ditempuh
oleh para guru dalam meningkatkan kompetensi dan profesionalismenya. Ada dua jenis
program magister yang dapat diikuti, yaitu program magister yang menyelenggarakan
program pendidikan ilmu murni dan ilmu pendidikan. Ada kecenderungan para guru lebih
suka untuk mengikuti program ilmu pendidikan untuk meningkatkan kompetensi dan
profesionalismenya.
b.      Kursus dan Pelatihan
Keikutsertaan dalam kursus dan pelatihan tentang kependidikan merupakan cara kedua
yang dapat ditempuh oleh guru untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalismenya.
Walaupun tugas utama seorang guru adalah mengajar, namun tidak ada salahnya dalam
rangka peningkatan kompetensi dan profesionalismenya juga perlu dilengkapi dengan
kemampuan meneliti dan menulis artikel/ buku.
c.       Pemanfaatan Jurnal
Jurnal yang diterbitkan oleh masyarakat profesi atau perguruan tinggi dapat dimanfaatkan
untuk peningkatan kompetensi dan profesionalisme. Artikel-artikel di dalam jurnal biasanya
berisi tentang perkembangan terkini suatu disiplin tertentu. Dengan demikian, jurnal dapat
dipergunakan untuk memutakhirkan pengetahuan yang dimiliki oleh seorang guru. Dengan
memiliki bekal ilmu pengetahuan yang memadai, seorang guru bisa mengembangkan
kompetensi dan profesionalismenya seorang guru dalam mentransfer ilmu kepada peserta
didik. Selain itu, jurnal-jurnal itu dapat dijadikan media untuk mengomunikasikan tulisan
hasil pemikiran dan penelitian guru yang  dapat digunakan untuk mendapatkan angka kredit
yang dibutuhkan pada saat sertifikasi dan kenaikan pangkat.
d.      Seminar
Keikutsertaan dalam seminar merupakan alternatif keempat yang dapat ditempuh untuk
meningkatkan kompetensi dan profesionalisme seorang guru. Tampaknya hal ini merupakan
cara yang paling diminati dan sedang menjadi trend para guru dalam era sertifikasi, karena
dapat menjadi sarana untuk mendapatkan angka kredit. Melalui seminar guru mendapatkan
informasi-informasi baru. Cara itu sah dan baik untuk dilakukan. Namun demikian, di masa-
masa yang akan datang akan lebih baik apabila guru tidak hanya menjadi peserta seminar
saja, tetapi lebih dari itu dapat menjadi penyelenggara dan pemakalah dalam acara seminar.
Forum seminar yang diselengarakan oleh dan untuk guru dapat menjadi wahana yang baik
untuk mengomunikasikan berbagai hal yang menyangkut bidang ilmu dan profesinya sebagai
guru.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
kompetensi guru dapat dimaknai sebagai suatu gambaran tentang apa yang
seyogyanya dapat dilakukan oleh seseorang guru dalam melaksanakan pekerjaannya, baik
berupa kegiatan, berperilaku maupun hasil yang dapat ditunjukkan. Ada tiga jenis kompetensi
guru, yaitu kompetensi professional kompetensi kemasyarakatan dan kompetensi personal.
Cara pengembangan kompetensi guru ada 2 macam, yaitu dengan program sertifikasi,
dan peningkatan kompetensi dan profesionalisme guru. Sertifikasi diperoleh melalui
pendidikan profesi yang diakhiri dengan uji kompetensi, sedangkan peningkatan kompetensi
dan profesionalisme guru dapat dilakukan dengan cara Studi Lanjut Program Strata 2, kursus
dan pelatihan, pemanfaatan jurnal, dan seminar.
Meta
Evaluasi Program Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah di
SMK
Jokebet Saludung
F
akultas
T
eknik
-
UNM Makassar
E
-
mail: jokebet@yahoo.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk me
lakukan
E
valuasi
Meta terhadap
Program Peningkatan Mutu
Berbasis Sekolah di SMK (Sekolah Menengah Kejuruan)
dengan menggunakan Model
Evaluasi
Meta yang dikembangkan melalui penelitian dan pengembangan (
Research and Development
).
Penelitian ini
akan
d
ilaksanakan
di Toraja Utara dengan
p
opulasi 22 SMK. Sampel diambil
secara
purposive
.
Subjek penelitian adalah guru, kepala sekolah/wakil, kepala tata usaha dan
siswa
.
Prosedur penelitian dirancang dua tahun sesuai tahapan
R&D
yaitu:
(1) Analisis
kebutuhan, (2) Pengembangan produk, (3) Uji
coba dan revisi produk, (4) Implementasi dan
diseminasi.
Tahun pertama (2015), diawali dengan mengembangkan model evaluasi meta
dengan perangkat instrumennya
yang
akan diimplementasikan pada penelitian t
ahun kedua
(
2016)
.
Hasil yang dicapai
tahun pertama
ialah:
(1). Model Evaluasi Meta hasil pengembangan
dengan perangkat instrumen evaluasi, (2).
Model penelitian dan pengembangan (
R&D
) yang
digunakan, (3).
Teori/Hipotesis baru, informasi dan desain, d
ata dan laporan penelitian, artikel,
synopsis, (4
)
.
Rekom
endasi hasil penelitian.
= 14
2
kata
Total Dibaca: 8871

PENGEMBANGAN KOMPETENSI PROFESIONAL


GURU MELALUI PEMBERDAYAAN KELOMPOK
KERJA
User Rating:  / 7
Poor Best 

1. Kesimpulan

Guru profesional adalah seseorang yang memiliki jabatan guru berdasarkan keilmuan dan
keahliannya dengan mengabdikan diri sepenuhnya atas pekerjaan yang dipilihnya, dengan
selalu berusahan mengembangkan diri dan keahlian yang berkaitan dengan jabatan gurunya.

Guru IPA yang profesional dibentuk melalui pendidikan keguruan IPA yang terakreditasi,
selanjutnya guru tersebut akan melalui jenjang pendidikan dan pelatihan In service untuk
mengembangkan profesionalismenya, atau dapat juga mengembangkan diri melalui
Forum MGMP, atau melalui pembinaan dari Kepala Sekolah dan Pengawas.

In service training bagi guru IPA antara lain melalui diklat berjenjang, yang meliputi :
Diklat tingkat dasar, Diklat Calon Instruktur, Diklat Instruktur dan Diklat TOT (Training
of the Trainers).

MGMP merupakan organisasi guru bidang studi yang harus mampu mengembangkan
program strategis, a.l.: Program penyamaan persepsi dan komitmen yang tinggi dalam
peningkatan mutu pembelajaran; Program koordinasi dan kolaborasi peningkatan mutu
persiapan pembelajaran; Program pemecahan masalah pembelajaran; Program
pengembangan kurikulum/silabus implementatif yang sesuai dengan standar kompetensi
pada mata pelajaran terkait; Program pengembangan bahan ajar berbasis kompetensi pada
mata pelajaran terkait; Program pengembangan metode pembelajaran yang sesuai,
menarik dan menyenangkan; Program pengembangan media pembelajaran yang sesuai,
menarik dan menyenangkan untuk mata pelajaran terkait; dan Program pengembangan
alat peraga pembelajaran yang bermutu untuk mata pelajaran terkait.

Kepala sekolah dan Pengawas berperan penting dalam mengembangkan profesionalisme


guru IPA. Oleh karenaya Kepala Sekolah dan Pengawas harus mampu melakukan :
Supervisi terhadap Profesi Mengajar; membantu guru dalam memahami strategi belajar
mengajar; Membantu guru dalam cara merumuskan tujuan pembelajaran; membantu guru
dalam cara merumuskan pengalaman belajar; membantu guru dalam cara merumuskan
keaktifan belajar; membantu guru dalam meningkatkan keterampilan dasar mengajar;
keterampilan memulai dan mengakhiri pelajaran; dan membantu guru dalam mengelola
kelas dan mendinamiskan kelas sebagai suatu proses kelompok

PEMBINAAN PROFESIONALISME GURU


MELALUI SUPERVISI PENDIDIKAN
Masyarakat telah mempercayai, mengakui dan menyerahkan kepada guru untuk mendidik
anak-anak bangsa dan membantu  mengembangkan potensinya secara professional.
Kepercayaan, keyakinan dan penerimaan ini merupakan substansi dari pengakuan masyarakat
terhadap profesi guru. Implikasi dari pengakuan tersebut mensyaratkan guru harus memiliki
kualitas yang memadai, tidak hanya pada tataran normatif saja namun juga menyangkut
pengembangkan kompetensi yang dimiliki, baik kompetensi pedagogik, kepribadian,
professional maupun sosial dalam ranah aktualisasi kebijakan pendidikan.
Memang guru merupakan elemen kunci dalam sistem pendidikan, khususnya di sekolah.
Semua komponen lain mulai dari kurikulum, sarana prasarana dan sebagainya tidak akan
banyak berarti apabila esensi pembelajaran yaitu interaksi guru dan peserta didik tidak
berkualitas. Semua komponen lain, terutama kurikulum akan “hidup” apabila dilaksanakan
oleh guru (Surya Dharma, 2008:48).
Guru dalam jenjang pendidikan manapun mulai dari TK, SD, SLTP dan SLTA memiliki
peran sangat penting dan strategis dalam merencanakan, menyiapkan, menyelenggarakan dan
mengevaluasi kegiatan pembelajaran.  Hal tersebut lantaran guru merupakan penentu
keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya pada tataran institusional dan eksperiensial,
sehingga upaya meningkatkan mutu pendidikan harus dimulai dari aspek “guru” dan tenaga
kependidikan lainnya yang menyangkut kualitas keprofesionalannya maupun kesejahteraan
dalam satu manajemen pendidikan yang professional.
Memang, sebagai agen pembelajaran dan pengembang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
serta sebagai pengabdi kepada masyarakat guru bersentuhandengan para peserta didik hanya
dalam beberapa jam saja dalam sehari, tetapi itu mempunyai dampak pembinaan kejiwaan
dan intelektualitas yang sangat mempengaruhi kepribadian mereka. Bila guru benar-benar
melaksanakan tugas dan fungsinya dengan kualitas sebagai pendidik (bukan hanya sebagai
pengajar) maka pendidikan di sekolah akan menjadi titik awal bagi pembuka cakrawala baru
bagi para peserta didik, dan ini merupakan modal yang sangat penting dan menentukan bagi
perkembangan kejiwaan dan intelektual mereka (Ali Rohmad, 2005:35).
Dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya pendidikan, guru merupakan komponen
sumber daya manusia yang harus dibina dan dikembangkan terus-menerus. Pembentukan
profesi guru dilaksanakan melalui program pendidikan pra-jabatan maupun program dalam
jabatan. Tidak semua guru yang dididik di lembaga pendidikan terlatih dengan baik dan
kualified. Potensi sumber daya guru itu perlu terus bertumbuh dan berkembang agar dapat
melakukan fungsinya secara potensial. Selain itu pengaruh perubahan yang serba cepat
mendorong guru-guru untuk terus-menerus belajar menyesuaikan diri dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta mobilitas masyarakat.
Peningkatan mutu dan profesionalisme guru dalam kinerjanya sangat berkaitan erat dengan
efektifitas pelayanan supervisi. Maka diharapkan (menjadi keharusan) kegiatan supervisi
hendaknya mampu mendorong guru untuk meningkatkan kualitasnya dalam berbagai
kompetensi baik kompetensi pedagogik, kepribadian, professional maupun sosialnya
sebagaimana disebutkan di atas.
Kompetensi yang Harus Dimiliki Guru
Dalam UU No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen dijelaskan bahwa kompetensi
merupakan seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki,
dihayati dan dikuasai oleh guru dalam melaksanakan tugas profesinya
(www.bloggermajalengka.com).
Dari gambaran pengertian di atas dapatlah disimpulkan bahwa kompetensi merupakan
kemampuan dan kewenangan guru dalam melaksanakan profesi keguruannya.
Banyak ahli yang mengemukakan pendapat tentang kompetensi yang seharusnya dikuasai
oleh guru. Cooper  mengemukakan bahwa guru harus memiliki kemampuan merencanakan
pengajaran, menuliskan tujuan pengajaran, menyajikan bahan pelajaran, memberikan
pertanyaan kepada siswa, mengajarkan konsep, berkomunikasi dengan siswa, mengamati
kelas, dan mengevaluasi hasil belajar.
Lebih lanjut UU No. 14 tahun 2005 mengemukakan kompetensi yang harus dikuasai seorang
guru profesional meliputi: kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetesi sosial
dan kompetensi kepribadian.
Kompetensi pedagogik pada dasarnya adalah  kemampuan yang harus dimiliki guru dalam
mengajarkan materi tertentu kepada siswanya, meliputi: memahami karakteristik peserta
didik dari berbagai aspek, sosial, moral, kultural, emosional dan intelektual; memahami gaya
belajar dan kesulitan belajar peserta didik; memfasilitasi pengembangan potensi peserta
didik; menguasai teori dan prinsip belajar serta pembelajaran yang mendidik;
mengembangkan kurikulum yang mendorong keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran;
merancang pembelajaran yang mendidik; melaksanakan pembelajaran yang mendidik;
memahami latar belakang keluarga dan masyarakat peserta didik dan kebutuhan belajar
dalam konteks kebhinekaan budaya serta mengevaluasi proses dan hasil pembelajaran.
Kompetensi profesional menyangkut kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara
luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta didik memenuhi standar
kompetensi. Diharapkan guru menguasai substansi bidang studi dan metodologi
keilmuannya, menguasai struktur dan materi kurikulum bidang studi, mengorganisasikan
materi kurikulum bidang studi, menguasai dan memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi dalam pembelajaran, meningkatkan kualitas pembelajaran melalui evaluasi dan
penelitian.
Kompetensi sosial menyangkut kemampuan guru dalam komunikasi secara efektif dengan
peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali dan masyarakat. 
Diharapkan guru dapat berkomunikasi secara simpatik dan empatik dengan peserta didik,
orang tua peserta didik, sesama pendidik dan tenaga kependidikan dan masyarakat, serta
memiliki kontribusi terhadap perkembangan siswa, sekolah dan masyarakat, dan dapat
memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk berkomunikasi dan
pengembangan diri.
Sedangkan kompetensi kepribadian mengarah kepada kepribadian seorang guru harus
mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik dan
masyarakat, serta berakhlak mulia sehingga menjadi teladan bagi siswa dan masyarakat serta
mampu mengevaluasi kinerja sendiri (tindakan reflektif) dan mampu mengembangkan diri
secara berkelanjutan.
Namun jika dipadukan dan disederhanakan, kompetensi yang seharusnya dimiliki oleh guru
dapat dikelompokkan menjadi:
1.      Penguasaan terhadap proses belajar mengajar.
2.      Penguasaan terhadap evaluasi belajar.
3.      Penguasaan terhadap pengembangan diri sebagai profesional.
4.      Penguasaan tentang wawasan pendidikan.
5.      Penguasaan bahan ajar.
Guru Profesional
Undang Undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen pasal 1 ayat 1 menyebutkan
bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada
pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan
menengah.
Arti kata profesionalisme dapat dirunut dari makna kata profesi (profession). Profesi pada
hakekatnya adalah suatu pernyataan atau janji terbuka dari seseorang (to profess artinya
menyatakan) bahwa seseorang itu mengabdikan dirinya pada suatu karya, kerja, jabatan  dan
atau pelayanan karena orang tersebut merasa terpanggil untuk menjabat dan menggeluti
pekerjaan itu dengan segala konsekuensinya. (Arena Almamater, 1997: 53).
Selanjutnya menurut (Chandler, 1960), sebagaimana dinukil R. Kunjana Rahardi, hal-hal
yang berkenaan dengan profesi dapat diungkapkan sebagai berikut:
1.      Menunjukkan bahwa orang yang memegang profesi itu hendaknya lebih mementingkan
layanan kemanusiaan daripada kepentingan pribadinya. Dasar untuk ciri yang pertama ini
adalah sikap altruistik  dari seseorang. Dengan demikian semakin orang itu bersifat egois
apalagi egois itu cenderung sempit, akan semakin sulitlah orang itu untuk menjadi
profesional dalam hidupnya. Dikatakan demikian karena orang yang tidak memiliki jiwa
altruistik (mementingkan orang lain) akan cenderung untuk menganggap dirinyalah yang
lebih dari yang lainnya. Orang yang demikian ini cenderung tidak memiliki sikap positif
terhadap sesuatu.
2.      Masyarakat mengakui bahwa profesi itu mempunyai status yang tinggi. (Harbison,
1962) dalam Human Resource Development Planing in Modernizing Economies menyebut
bahwa orang yang yang berprofesi itu sebagai high-level manpower. High-level manpower
itu dapat dibedakan menjadi dua yaknikelompok yang ia sebut sebagai sub-professional
(pegawai kantor, sekretaris, guru, dosen) dan kelompok full-professional (dokter, ekonom,
ilmuwan). Kedua golongan yang telah disebutkan itu, semuanya memegang sebuah profesi
dalam bidangnya masing-masing dan profesi yang dipegang tersebut berstatus baik dalam
suatu masyarakat.
3.      Praktek pofesi itu didasari oleh penguasaan dan penghayatan terhadap pengetahuan
yang secara khusus dan penuh ketekunan. Pengetahuan yang pada gilirannya akan menjadi
sebuah ilmu pengetahuan itu, sumbernya harus nyata, jelas dan mapan. Praktek kerja tukang
sihir, tukang klenik dan tukang santet, tidak dapat dikategorikan sebagai suatu profesi dalam
pembicaraan ilmiah. Dikatakan demikian karena syarat ketiga agar suatu kerja dapat disebut
sebagai suatu profesi tidak dapat dipenuhi oleh tukang sihir, tukang klenik maupun tukang
santet.
4.      Profesi itu selalu bersifat menantang orang-orang yang terlibat di dalamnya agar
memiliki keaktifan intelektual dan keahlian/kemahiran. Adanya kreatifitas intelektual dan
kemahiran itu merupakan salah satu ciri mendasar bagi si pemegang profesi. Sehubungan
dengan ciri yang keempat ini dapat disampaikan bahwa si pemegang profesi hendaknya
memiliki sifat aktif, proaktif (tidak menunggu), kreatif (ada inovasi dalam hidupnya). Dalam
sebuah profesi selalu perlu diupayakan apa yang disebut dengan istilah pertumbuhan profesi
(professional growth) sebagai salah satu bentuk kreativitas intelektual/kemahiran. Kelompok
orang profesional itu biasanya suka membentuk kelompok-kelompok profesional dalam
bidangnya masing-masing utnuk membentuk masyarakat intelektual professional (intelectual
society) dan melakukan kegiatan latihan-latihan intelektual (intelectual exercises) untuk
mengembangkan keprofesionalannya. Inilah dasar dari terbentuknya ikatan-ikatan profesional
seperti Ikatan Dokter, Ikatan Sekretaris, Ikatan Perawat dan sebagainya. Dalam sebuah ikatan
biasanya solidaritas antar anggota terjalin sangat kuat.
5.      Adanya moral atau etika serta perilaku dan tindak-tanduk, baik dari individu maupun
kelompok profesional itu. Orang profesional akan selalu mempertimbangkan nilai-nilai moral
dan etis dalam menjalankan profesinya. Terjadinya banyak kasus pelecehan profesi
disebabkan karena pemegang profesi itu tidak lagi memegang dan mengimani ciri profesi
yang kelima ini.
Dari pengertian dan ciri-ciri profesidi atas dapat diturunkan kata profesional, yang berarti
bersifat seperti terkandung dalam ciri-ciri profesi itu, dan kata profesionalitas yang berarti
upaya (proses) menuju ke arah kepemilikan ciri-ciri profesi baik dilakukan secara individual
maupun secara kelompok. Manakala arah kepemilikan ciri-ciri profesi itu menjangkau
kelompok orang dalam jumlah besar, maka profesi itu sudah membentuk suatu macam aliran
tertentu (-isme), maka muncullah istilah profesionalisme.
Profesionalisme menjadi tuntutan setiap pekerjaan. Apalagi profesi guru yang sehari-hari
menangani makhluk hidup bernama siswa (baca: peserta didik) dengan berbagai karakteristik
yang masing-masing individu berbeda. Pekerjaaan sebagai guru menjadi lebih berat tatkala
menyangkut peningkatan kemampuan anak didiknya, sedangkan kemampuan dirinya
mengalami stagnasi.
Guru profesional adalah mereka yang memiliki kemampuan profesional dengan berbagai
kapasitasnya sebagai pendidik. Mendidik memiliki makna luas dan dalam. Mendidik tidak
hanya diartikan sebagai mengajar. Mengajar hanya pada sebatas penyampaian materi
pelajaran dalam target tertentu. Sedangkan guru profesional harus memiliki pengalaman
mengajar, kapasitas intelektual, moral, keimanan, ketaqwaan, disiplin, tanggungjawab,
wawasan kependidikan yang luas, kemampuan manajerial, trampil, kreatif, memiliki
keterbukaan profesional dalam memahami potensi, karakteristik dan masalah perkembangan
peserta didik, mampu mengembangkan rencana studi dan karir peserta didik serta memiliki
kemampuan meneliti dan mengembangkan kurikulum(Wikiberita.NET, News and Discussion
Journal).
Dengan bertitik tolak pada pengertian ini, maka pengertian guru profesional adalah orang
yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu
melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal. Atau dengan
kata lain, guru profesional adalah orang yang terdidik dan terlatih dengan baik, serta memiliki
pengalaman yang kaya di bidangnya. Sedangkan yang dimaksud dengan terdidik dan terlatih
bukan hanya memperoleh pendidikan formal tetapi juga harus menguasai berbagai strategi
atau teknik di dalam kegiatan belajar mengajar serta menguasai landasan-landasan
kependidikan seperti yang tercantum dalam kompetensi guru yang profesional.
Semua guru sebenarnya memiliki komitmen yang sama ingin mencerdaskan anak bangsa.
Dewasa ini image seorang guru dimata masyarakat bergeser bahwa guru pada masa kini tidak
lagi memiliki pengabdian tinggi di dunia pendidikan seperti masa-masa lalu, yang benar-
benar ingin mengabdikan hidupnya untuk mendidik biarpun tanpa imbalan yang layak, tapi
guru adalah sebuah profesi yang dihargai sebagai layaknya sebuahprofesi. Syarat sebagai
guru profesionalmemang merupakan hal yang harus dimiliki oleh setiap guru. Guru
profesional merupakan impian semua guru (di Indonesia). Untuk menjadi seorang guru
profesional tidaklah sulit, karena profesionalnya seorang guru datang dari guru itu sendiri.
Di Amerika Serikat, isu tentang profesionalisme guru ramai dibicarakan pada pertengahan
tahun 1980-an. Jurnal terkemuka manajemen pendidikan, Educational Leadershipedisi Maret
1983 menurunkan laporan mengenai tuntutan guru professional.
Menurut jurnal tersebut, untuk menjadi professional, seorang guru dituntut memiliki lima hal,
yakni:
1.      Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya. Ini berarti bahwa
komitmen tertinggi guru adalah kepada kepentingan siswanya.
2.      Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkan serta cara
mengajarkannya kepada siswa. Bagi guru, hal ini merupakan dua hal yang tidak dapat
dipisahkan.
3.      Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik
evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku siswa sampau tes hasil belajar.
4.      Guru mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya, dan belajar dari
pengalamannya. Artinya, harus selalu ada waktu untuk guru guna mengadakan refleksi dan
koreksi terhadap apa yang telah dilakukannya. Untuk bisa belajar dari pengalaman, ia harus
tahu mana yang benar dan salah, serta baik dan buruk dampaknya pada proses belajar siswa.
5.      Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan
profesinya, misalnya PGRI dan organisasi profesi lainnya (Supriadi, 1999:98).
Dalam konteks aplikatif, kemampuan profesional guru dapat diwujudkan dalam penguasaan
sepuluh kompetensi guru, yaitu:
1.      Menguasai materi, meliputi: menguasai materi bidang studi dalam kurikulum serta
menguasai materi pengayaan/penunjang bidang studi.
2.      Mengelola program belajar-mengajar, meliputi: merumuskan tujuan pembelajaran,
mengenal dan menggunakan prosedur pembelajaran yang tepat, melaksanakan program
belajar-mengajar serta mengenal kemampuan anak didik.
3.      Mengelola kelas, meliputi: mengatur tata ruang kelas untuk pelajaran serta menciptakan
iklim belajar-mengajar yang serasi.
4.      Menggunakan media atau sumber, meliputi: mengenal, memilih dan menggunakan
media, membuat alat bantu yang sederhana,  menggunakan perpustakaan dalam proses
belajar-mengajar serta menggunakan micro teaching untuk unit program pengenalan
lapangan.
5.      Menguasai landasan-landasan pendidikan.
6.      Mengelola interaksi-interaksi belajar-mengajar.
7.      Menilai prestasi siswa untuk kepentingan pelajaran.
8.      Mengenal fungsi layanan bimbingan dan konseling di sekolah, meliputi:  mengenal
fungsi dan layanan program bimbingan dan konseling serta menyelenggarakan layanan
bimbingan dan konseling.
9.      Mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah.
10.   Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian pendidikan guna keperluan
pengajaran (Suryasubrata,1997:4-5).
Supervisi Pendidikan sebagai Sarana Pembinaan Profesi
Istilah supervisi pendidikan dapat dijelaskan baik menurut asal usul (etimologi), bentuk
perkataannya (morfologi), maupun isi yang terkandung dalam perkataan itu sendiri
(semantik).
Secara etimologi istilah supervisi diambil dari perkataan bahasa Inggris “supervision” yang
artinya pengawasan di bidang pendidikan. Orang yang melakukan supervisi disebut
supervisor.Secara morfologi supervisi terdiri dari dua kata super berarti atas atau lebih
dan visiberarti lihat, tilik atau awasi. Seorang supervisor memang memiliki posisi di atas atau
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari pada orang yang disupervisi.Sedangkan secara
semantik kata supervisi pada hakekatnya merupakan isi yang terkandung dalam definisi yang
rumusannya tergantung dari orang yang mendefinisikannya. Depdiknas (1994) merumuskan
supervisi sebagai pembinaan yang diberikan kepada seluruh staf sekolah agar mereka dapat
meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan situasi belajar mengajar yang lebih
baik.Supervisi juga diartikan sebagai segenap bantuan yang diberikan oleh seseorang dalam
mengembangkan situasi belajar mengajar di sekolah ke arah yang lebih baik (Burhanudin,

2007:1). Rumusan ini mengisyaratkan bahwa layanan supervisi pendidikan mencakup seluruh
aspek dari penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran. Karena aspek utama dalam supervisi
adalah guru maka layanan dan aktifitas supervisi harus lebih diarahkan kepada upaya
memperbaiki dan meningkatkan kemampuan guru dalam mengelola kegiatan belajar
mengajar.
Dari uraian diatas dapat diambil garis lurus tentang pengertian supervisi yaitu serangkaian
usaha pemberian bantuan kepada guru dalam bentuk layanan profesional yang diberikan oleh
supervisor (pengawas sekolah, kepala sekolah dan pembina lainnya) guna meningkatkan
mutu proses dan hasil belajar mengajar. Karena supervisi atau pembinaan guru tersebut lebih
menekankan pada pembinaan guru itu sendiri maka pembinaan itu lebih diarahkan pada
pembinaan profesional guru yakni pembinaan dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan
kemampuan profesional guru.
Supervisi merupakan istilah baru yang muncul kurang lebih dua dasawarsa terakhir ini.
Dahulu istilah yang sering digunakan di sekolah adalah “pengawasan”atau “pemeriksaan”
(Suharsimi Arikunto, 2004:2). Makanya seringkali hubungan antara guru dengan supervisor
dianggap sebagai hubungan yang membahayakan dan saling mengancam. Hal ini benar
apabila pertanyaan-pertanyaan yang digunakan bersifat mengorek kesalahan-kesalahan saja
dan bersifat inspektif. Cara-cara ini digunakan oleh supervisor konvensional yang mewarisi
cara lama dengan kebiasaan bersifat inspektif dan korektif. Supervisi modern perlu
pendekatan manusiawi dalam melaksanakan program supervisi pendidikan (Kunandar,
2007:104).
Konsep supervisi tidak bisa disamakan dengan inspeksi yanglebih menekankan pada
kekuasaan dan bersifat otoriter.Sedangkan supervisi lebih menekankan kepada persahabatan
yang dilandasi oleh pemberian pelayanan dan kerjasama yang lebih baik diantara guru-guru,
karena bersifat demokratis. Tujuan supervisi modern adalah mendalami kebutuhan guru
secara individual, membantu mereka secara individual pula, meneliti sistem yang digunakan
serta meneliti sarana dan prasarana sekolah. Hasil dari pendalaman dan penelitian tersebut
dijadikan sebagai bahan masukan bagi supervisor dalam rangka memberikan atau
mengadakan perbaikan di kemudian hari. Dengan demikian supervisor benar-benar
membantu menanggapi peningkatan usaha sekolah secara menyeluruh.
Guru merupakan penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya pada tataran
institusional dan eksperiensial, sehingga upaya meningkatkan mutu pendidikan harus dimulai
dari aspek guru menyangkut kualitas keprofesionalannya maupun kesejahteraan dalam satu
manajemen pendidikan yang professional. Peningkatan sumber daya guru bisa dilaksanakan
dengan bantuan supervisor yaitu orang ataupun instansi yang melaksanakan kegiatan
supervisi terhadap guru. Pada kenyataannya memang masih sangat banyak guru yang kurang
profesional, seperti yang diungkapkan bahwa dalam praktek pendidikan sehari-hari masih
banyak guru yang melakukan kesalahan-kesalahan dalam menunaikan tugas dan fungsinya.
Kesalahan-kesalahan seringkali tidak disadari oleh para guru, bahkan masih banyak
diantaranya yang menganggap hal biasa dan wajar (E. Mulyasa, 2005:10).
Permasalahan yang dihadapi dalam melaksanakan supervisi di lingkungan pendidikan dasar
adalah bagaimana cara mengubah pola pikir yang bersifat otokrat dan korektif menjadi sikap
yang konstruktif dan kreatif, yaitu sikap yang menciptakan situasi dan relasi di mana guru-
guru merasa aman dan diterima sebagai subjek yang dapat berkembang sendiri. Untuk itu,
supervisi harus dilaksanakan berdasarkan data dan fakta yang objektif (Sahertian, 2000:20).
Kegiatan supervisi pengajaran merupakan kegiatan yang wajib dilaksanakan dalam
penyelenggaraan pendidikan. Pelaksanaan kegiatan supervisi dilaksanakan oleh kepala
sekolah dan pengawas sekolah dalam memberikan pembinaan kepada guru. Hal tersebut
perlu dilakukan karena proses belajar-mengajar yang dilaksakan guru merupakan inti dari
proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Proses
belajar mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan
siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk
mencapai tujuan tertentu. Oleh karena itu kegiatan supervisi dipandang perlu untuk
memperbaiki kinerja guru dalam proses pembelajaran.
Dalam kegiatan supervisi pendidikan, ada dua supervisi pengajaran, yakni:
1.      Supervisi yang dilakukan oleh Kepala Sekolah kepada guru-guru. Secara rutin dan
terjadwal Kepala Sekolah melaksanakan kegiatan supervisi kepada guru-guru dengan harapan
agar guru mampu memperbaiki proses pembelajaran yang dilaksanakan. Dalam prosesnya,
kepala sekolah memantau secara langsung ketika guru sedang mengajar. Guru mendesain
kegiatan pembelajaran dalam bentuk rencana pembelajaran kemudian kepala sekolah
mengamati proses pembelajaran yang dilakukan guru.
2.      Supervisi yang dilakukan oleh Pengawas Sekolah kepada Kepala Sekolah dan guru-
guru untuk meningkatkan kinerja. Kegiatan supervisi ini dilakukan oleh Pengawas Sekolah
yang bertugas di suatu Gugus Sekolah. Gugus Sekolah adalah gabungan dari beberapa
sekolah terdekat, biasanya terdiri atas 5-8 Sekolah Dasar. Hal-hal yang diamati pengawas
sekolah ketika melakukan kegiatan supervisi untuk memantau kinerja guruadalah penyusunan
program semester, penyusunan rencana pembelajaran, penyusunan rencana harian, program
dan pelaksanaan evaluasi, kumpulan soal, buku pekerjaan siswa, buku daftar nilai, buku
analisis hasil evaluasi, buku program perbaikan dan pengayaan, buku program Bimbingan
dan Konseling serta buku pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler.
Dalam melaksanakan program supervisi ini sudah pasti diperlukan adanya evaluasi yang baik
yaitu evaluasi yang berpegang teguh pada prinsip-prinsip obyektif, kooperatif, integral dan
kontinyu (E. Mulyasa, 2005:134). Evaluasi program supervisi pendidikan bukan berarti
mengevaluasi suatu rencana program supervisi pendidikan, melainkan berusaha menentukan
sampai sejauh mana pelaksanaan supervisi pendidikan sudah tercapai. Dengan kata lain
evaluasi supervisi pendidikan menyangkut semua komponen yang terkait dengan pelaksanaan
supervisi pendidikan  meliputi aspek personal dan material serta aspek operasional dan hasil
supervisi pendidikan.
Kesimpulan
Guru merupakan elemen kunci dalam sistem pendidikan, khususnya di sekolah. Guru
merupakan penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya pada tataran institusional dan
eksperiensial, sehingga upaya meningkatkan mutu pendidikan harus dimulai dari aspek guru.
Kepercayaan, keyakinan dan penerimaan masyarakat terhadap guru merupakan substansi dari
pengakuan masyarakat terhadap profesi guru. Implikasi dari pengakuan tersebut
mensyaratkan guru harus memiliki kualitas yang memadai, tidak hanya pada tataran normatif
saja namun juga menyangkut pengembangkan kompetensi yang dimiliki, baik kompetensi
pedagogik, kepribadian, professional maupun sosial dalam ranah aktualisasi kebijakan
pendidikan.
Guru profesional adalah mereka yang memiliki kemampuan profesional dengan berbagai
kapasitasnya sebagai pendidik. Guru profesional harus memiliki pengalaman mengajar,
kapasitas intelektual, moral, keimanan, ketaqwaan, disiplin, tanggungjawab, wawasan
kependidikan yang luas, kemampuan manajerial, trampil, kreatif, memiliki keterbukaan
profesional dalam memahami potensi, karakteristik dan masalah perkembangan peserta didik,
mampu mengembangkan rencana studi dan karir peserta didik serta memiliki kemampuan
meneliti dan mengembangkan kurikulum.Guru profesional adalah orang yang memiliki
kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan
tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal. Guru profesional adalah
orang yang terdidik dan terlatih dengan baik, serta memiliki pengalaman yang kaya di
bidangnya.
Usaha pemberian bantuan kepada guru dalam bentuk layanan profesional sangat diperlukan
guna meningkatkan mutu proses dan hasil belajar mengajar yang dilakukan oleh guru.
Bantuan profesional kepada guru tersebut paling tepat adalah dalam bentuk layanan
supervisi.  Kegiatan supervisi dilakukan secara menyeluruh baik oleh kepala sekolah maupun
pengawas sekolah secara rutin, terjadwal serta berkesinambungan sehingga hasilnya benar-
benar dapat memberikan masukan untuk perbaikan kinerja guru bersangkutan.
Mengingat ruang lingkup supervisi pendidikan sangat luas dan hasil pelaksanaan supervisi
tidak dapat diukur dan dilihat dalam waktu singkat, maka perlu adanya evaluasi terhadap
program supervisi pendidikan itu sendiri. Evaluasi yang baik adalah evaluasi yang berpegang
teguh pada prinsip-prinsip obyektif, kooperatif, integral dan kontinyu. Evaluasi supervisi
pendidikan dilakukan untuk menentukan sejauh mana pelaksanaan supervisi pendidikan
sudah tercapai. Maka jelaslah bahwa supervisi pendidikan merupakan satu-satunya sarana
representatif yang dapat dijadikan sarana pembinaan dan evaluasi terhadap profesionalisme
guru.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi, Dasar-Dasar Supervisi, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004.
Burhanuddin, Supervisi Pendidikan dan Pengajaran: Konsep Pendekatan dan Penerapan
Pembinaan Profesional, Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang,
2007.
Dharma, Surya, Penilaian Kinerja Guru,  Jakarta: Direktorat Tenaga Kependidikan Ditjen
PMPTK, 2008.
E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan
Menyenangkan,Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005.
Harbison, F.H., Human Resource Development Planing in Modernizing  di dalam
International Labor Review, 1962.
Kunandar, Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
dan Sukses dalam Sertifikasi Guru, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.
Purwadarminta,WJS., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1986.
Rahardi, R. Kunjana, “Profesionalisme: Tuntutan Era Globalisasi”, Arena Almamater, No.
42 Tahun XII, Januari – Maret 1997.
Rohmad, Ali, Kapita Selekta Pendidikan, Jakarta: Bina Ilmu, 2005.
Sahertian, Piet A., Konsep-Konsep dan Teknik Supervisi Pendidikan Dalam Rangka
Pengembangan Sumber Daya Manusia, Jakarta: Rineka Cipta, 2000.
Supriadi,  Mengangkat Citra dan Martabat Guru, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 1999.
Suryasubrata, Proses Belajar Mengajar di Sekolah, Jakarta: Rineka Cipta, 1997.
UU RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

  Penjabaran masing-masing level itu sebagai berikut.

1.0. Remember (retrieving relevant knowledge from long-term memory)–mengingat


(memunculkan kembali apa yang sudah diketahui dan tersimpan dalam ingatan jangka-
panjang);
1.1. Recognizing (mengenali lagi)
1.2. Recalling (menyebutkan kembali)
2.0. Understand (determining the meaning of instructional messages, including oral, written,
and graphic communication– paham, memahami (menegaskan pengertian atau makna bahan-
bahan yang sudah diajarkan, mencakup komunikasi lisan, tertulis, maupun gambar)
2.1. Interpreting (menafsiri, mengartikan, menerjemahkan)
2.2. Exemplifying (memberi contoh)
2.3. Classifying (menggolong-golongkan, mengelompokkan)
2.4. Summarizing (merangkum, meringkas)
2.5. Inferring (melakukan inferensi)
2.6. Comparing (membandingkan)
2.7. Explaining (memberikan penjelasan)
3.0. Apply (carrying out or using a procedure in a given situation)–menerapkan (melakukan
sesuatu, atau menggunakan sesuatu prosedur dalam situasi tertentu)
3.1. Executing (melaksanakan)
3.2. Implementing (menerapkan)
4.0. Analyze (breaking material into its constituent parts and detecting how the parts relate to
one another and to an overall structure or purpose)–analisis (menguraikan sesuatu ke dalam
bagian-bagian yang membentuknya, dan menetapkan bagaimana bagian-bagian atau unsur-
unsur tersebut satu sama lain saling terkait, dan bagaimana kaitan unsur-unsur tersebut
kepada keseluruhan struktur atau tujuan sesuatu itu)
4.1. Differentiating (membeda-bedakan)
4.2. Organizing (menata atau menyusun)
4.3. Attributing (meneteapkan sifat atau ciri)
5.0. Evaluate (making judgments based on criteria and standards–evaluasi atau menilai
(menetapkan derajat sesuatu berdasarkan kriteria atau patokan tertentu)
5.1. Checking (mengecek)
5.2. Critiquing (mengkritisi)
6.0. Create (putting elements together to form a novel, coherent whole or make an original
product)–mencipta (memadukan unsur-unsur menjadi sesuatu bentuk utuh yang koheren dan
baru, atau membuat sesuatu yang orisinil)
6.1. Generating (memunculkan)
6.2. Planning (merencanakan, membuat rencana)
6.3. Producing (menghasilkan karya).

Anda mungkin juga menyukai