Anda di halaman 1dari 211

JAVA COLLAPSE

DARI KERJA PAKSA


HINGGA
LUMPUR LAPINDO
JAVA COLLAPSE
DARI KERJA PAKSA
HINGGA
LUMPUR LAPINDO

Tim Riset Java Collapse


Irhash Ahmady
Tatang Elmy W.
Torry Kuswardono
Khalisah Khalid
B. C. Nusantara
V. Santoso
Judul:
JAVA COLLAPSE : Dari Kerja Paksa Hingga Lumpur Lapindo

Copyright, Hak Penerbitan © INSISTPress 2010


Pertama kali diterbitkan oleh INSISTPress dan Walhi tahun 2010
Anggota IKAPI

Penulis:
Tim Riset Java Collapse
Irhash Ahmady
Tatang Elmy W.
Torry Kuswardono
Khalisah Khalid
B. C. Nusantara
V. Santoso

Editor:
Wiranta Yudha Ginting
Fitri Indra Harjanti

Rancang Sampul:
Eddy Susanto

Tata Letak:
Handoko

PERPUSTAKAAN NASIONAL: Katalog Dalam Terbitan (KDT)


JAVA COLLAPSE
Dari Kerja Paksa Hingga Lumpur Lapindo
Editor: Wiranta Yudha Ginting & Fitri Indra Harjanti ; Yogyakarta, Mei 2010
14 x 21cm, 211 halaman
ISBN: 978-602-8384-36-0

1. keberlangsungan layanan alam


2. perbaikan sosial ekologis
3. keselamatan manusia dan keamanan Sosial I. JUDUL

Diterbitkan oleh INSISTPress bekerjasama dengan Walhi

Walhi
Jl. Tegal Parang Utara No. 14 Jakarta 12790. Indonesia
T.+62-21-791933 63-65 F. +62-21-7941673
info@walhi.or.id
www.walhi.or.id

INSISTPress
Jl. Gandok Tambakan No.85 RT04 RW20, Sinduharjo, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta.
Tel/Faks: 0274-883452.
press@insist.or.id
www.insist.or.id
Sekapur Sirih

Alam butuh keseimbangan untuk dapat mendukung rantai


kehidupan yang harmoni dan berkelanjutan. Dan pada dasarnya
sistem alamiah yang berlaku di alam jagad raya ini mampu untuk
memenuhi kebutuhan manusia secara seimbang. Masalahnya adalah
ketika keinginan manusia untuk mengeksploitasi alam melampaui
daya dukung kemampuan alam itu sendiri untuk tetap seimbang.
Maka yang akan terjadi adalah kerusakan dan kehancuran.
Penurunan kualitas kehidupan manusia dan kemampuan alam
berdampak pada interaksi negatif keduanya. Hal ini memicu
timbulnya ancaman dan kerentanan masyarakat. Pada akhirnya
akan berujung pada bencana dan krisis multidimensi.
Krisis ekologi, sosial, ekonomi dan politik yang terjadi dan
saling berkelindan adalah akibat dari bekerjanya suatu sistem
tatanan ekonomi politik yang menempatkan alam dengan segala
isinya sebagai barang komoditas. Sistem ekonomi politik seperti
ini berorientasi pada kepentingan pasar dan akumulasi kapital.
Sehingga menegasikan keseimbangan aspek ekologi dan sosial
budaya. Sistem ini telah meluluhlantakkan sistem, norma, dan tata
nilai lokal yang berkembang sebelumnya, yang justru lebih mampu
menjamin keselamatan, kesejahteraan, dan keberlanjutan tatanan
kehidupan yang seimbang.
Proyek infrastruktur wilayah pada berbagai skala, selalu bertujuan
untuk menciptakan laba bagi semua pelaku yang terlibat di seluruh
rantai pengaturannya. Namun meluputkan manfaatnya bagi warga

v
dan wilayah setempat. Studi kasus dalam buku Java Collapse ini
secara gamblang memaparkan pembangunan dan perluasan proyek
infrastruktur wilayah yang selalu mengatasnamakan kemakmuran
dan kesejahteraan warga. Sementara yang terjadi, hanya lingkaran
kelompok elit saja yang menikmati keuntungan. Kemakmuran
untuk elit dibangun di atas kesengsaraan warga dengan darah dan
nyawa.
Untuk mencapai kemakmuran, tindakan-tindakan kreatif
destruk­tif menjadi bagian dari proses pembangunan Jawa. Perom­
bakan sistem kehidupan dilakukan secara besar-besaran melalui
pengerukan kekayaan tanah Jawa yang semuanya berbiaya tinggi.
Oleh karenanya, respon pelaku terhadap penurunan batas-laba
usaha (selalu) langsung berpengaruh terhadap perombakan tata-
kuasa, tata-produksi, tata-konsumsi dan bentang alam setem­pat
dengan rakyat sebagai korban tetapnya.
Hal tersebut di atas mengakibatkan subsidi rakyat bagi
kelompok elit terus berlangsung hingga hari ini. Sebenarnya
rakyat memahami bahwa negara tidak pernah memberi manfaat
atas subsidi (pajak) yang telah dibayarkannya. Rakyat sebagai
pemberi subsidi ke(meng)hilang(k)an memori sosialnya setelah
mengalami perombakan ekstrem wilayah akibat campur-tangan
pembangunan. Kondisi ini tidak pernah diperhitungkan dalam
pembangunan itu sendiri. Risiko dan biaya proses industrialisasi
(faktor eksternal usaha) tidak pernah memperhitungkan beban
atau biaya yang ditanggung warga dan lingkungan hidup setempat.
Paradigma industri domestik tetap berkarakter rent-seeker.
Meskipun itu di sektor strategis yang memiliki risiko tinggi, modal
besar dan penggunaan teknologi tinggi (high-risk, high-capital dan
high-tech). Sama seperti sektor industri yang non-strategis. Industri
migas yang digolongkan sebagai sektor strategis, tidak pernah
melibatkan pengurus wilayah dalam perencanaannya.
Industrialisasi (ternyata) tidak tumbuh secara terencana dan
selalu berbenturan dengan tata ruang di tiap wilayah. Dampak

vi
bencana yang terjadi akibat industri selalu mengorban rakyat. Hal
tersebut diakui oleh pengurus wilayah bahwa negara tidak berdaya
untuk merespon situasi bencana.
Buku ini menafsirkan beberapa hal mengenai keselamatan dan
kesejahteraan rakyat, daya tahan masyarakat untuk tetap dapat
bertahan hidup dan meningkatkan kualitas hidup, dan bagaimana
kelangsungan jasa alam serta lingkungan. Dalam penulisan yang
tertunda selama dua tahun karena berbagai hal, akhirnya dengan
bantuan dari berbagai pihak maka buku ini pun diterbitkan.
Buku Java Collapse diharapkan menjadi rujukan bagi beragam
tindakan pembelaan, baik yang bersifat kasuistik hingga sistemik;
menggugat kebijakan publik dan struktur pengurusan yang timpang.
Dengan kata lain, isu lingkungan hidup tidak lagi menjadi suatu
bahasan eksklusif. Tetapi mengarus utama dalam perdebatan-
perdebatan tentang peran negara untuk menjamin terpenuhinya
kebutuhan warga dan perlindungan kepentingan publik. Tak kalah
pentingnya, menjadi rujukan efektif bagi perumusan konsep-
konsep tanding kebijakan negara mengurus wilayah, baik di Jawa
maupun pulau lain.
Pada gilirannya, campur tangan kebijakan yang tepat, ber­
potensi menjadi mesin pembangkit kekritisan publik untuk mulai
menggugat tanggung jawab pengurus negara dalam menjamin
terpenuhinya syarat-syarat keselamatan, kesejahteraan dan
produktivitas warga. Pada saat yang sama juga menjamin terus
berlangsungnya jasa lingkungan.
Atas terbitnya buku ini kami ucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada rakyat korban yang telah memberikan
pengetahuan luar biasa. Sehingga kami semakin yakin atas
pendirian dan keberpihakan kami. Terimakasih tidak lupa kami
haturkan kepada segenap kawan-kawan Tim Java Collapse yang
telah bekerja keras meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk
menuangkan gagasan sehingga menjadi sebuah buku yang sangat
penting. Terimakasih juga kepada kolega serta kawan-kawan yang

vii
ikut menyumbangkan ide dalam penulisan buku ini maupun yang
membantu sehingga buku ini bisa terbit. Akhirnya kepada para
pembaca, kami harapkan kritik dan saran agar ke depan menjadi
lebih baik lagi. Semoga buku ini dapat memberikan manfaat bagi
kita semua. Amin.

Jakarta, April 2010

Berry Nahdian Forqan


Direktur Eksekutif Nasional WALHI

viii
Daftar Isi

Sekapur Sirih v

Bagian 1. Tentang Java Collapse 1


Mengelola Pengetahuan 2

Bagian 2. Belajar dari Jawa 7


Keunggulan Pulau Jawa 7
Kemakmuran Siapa? 14

Bagian 3. Merekam Jejak, Membaca Krisis 21


Jawa Menuju Kolaps 23
Membaca Krisis 24
Kolaps Pertama Jawa 29
Jalan Raya Pos (tahun 1808 – 1811) 32
Kekuasaan Ala Daendels 33
Tanam Paksa 36
Perlawanan babak Pertama 38
Kolaps Kedua Jawa 40

Bagian 4. Dari Daendels ke Lapindo 48


Mengapa Jalan Raya Pos Daendels 48
Mengapa Sampah Bandung 50
Mengapa Betawi? 51
Mengapa Gempa Yogya 52
Mengapa Lapindo? 54

Bagian 5. Jalan Raya Pos:


Daendelisme dalam Industrialisasi Jawa 56
Letak Jalan Raya Pos 58
Persaingan Dagang ke Peperangan 60

ix
Perombakan Kuasa : pilihan atau paksaan? 62
Dasar integrasi industri Jawa 66
Jalan Raya Pos pada akhirnya 71
Ongkos-ongkos eksperimen industrialisasi 72
Perubahan Ekologik 73
Perluasan infrastruktur dan migrasi 75
Mendorong kelaparan 77
Jawa pada Akhirnya 80
Referensi 81

Bagian 6. Sampah gaya Hidup atau gaya Hidup sampah? 84


Tak terkecuali Bandung. 85
Kawasan ekonomi Kota Bandung setali tiga uang. 90
Ada apa di Leuwigajah? 93
Penanganan Sampah: Corak Bertahan Hidup 96
Bertahan dengan Sampah 99
Gaya Hidup Sampah & Industri FO 102
Bandung Kreatif 104
Ekonomi Bawah Tanah 106
Greater Bandung Kolaps 108
Terjebak Mekanisme Pasar 111
Referensi 116

Bagian 7. Trayek Eksodus Masyarakat Betawi:


Kuningan-Depok-Bojong Gede via Warung Buncit 117
Terkikisnya Ikatan Tenurial 119
Pembangunan Kota yang Sesat 123
Kosmopolitan & Masyarakat Betawi 128
Masyarakat Betawi, Siapa Peduli? 133
Referensi 136

Bagian 8. Gempa Yogyakarta: Do It Yourself (DIY) 138


Tanggap Darurat: Serba Darurat dan Ala Kadarnya 140

x
Pemulihan: Tanggap Darurat Jilid Dua 145
Rehabilitasi & Rekonstruksi? Sami Mawon! 146
Solidaritas Kolektif di Dusun Blado 149
Kunci Perubahan 151
Pasar Baru Gempa: Elit diuntungkan 152
Tata Ruang, Memperburuk Kerentanan 156
Anggaran-anggaran 159
Referensi 162

Bagian 9. Lapindo - Jer Basuki(ku) Mawa Bea(mu) 163


Jawa Timur Kaya Migas 168
Lapindo & Hancurnya Sumber Hidup 171
Blok Brantas 180
Porong 180
Tanggulangin 182
Jabon 183
Industri Migas, bom waktu kolapsnya sebuah wilayah 184
Penutup 191
Referensi 194

Indeks 196

xi
xii
BAGIAN 1

TENTANG JAVA COLLAPSE

R egu belajar Java Collapse lahir dari refleksi panjang kerja-kerja


lapangan WALHI, Organisasi Non Pemerintah (Ornop)
lingkungan terbesar di Indonesia. Regu ini merupakan perwujudan
dari sebuah pengalaman pembelaan kepentingan publik yang
dilakukan berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta
Organisasi Masyarakat Sipil (OMS). Refleksi tersebut melahirkan
tesis tentang lemahnya basis pengetahuan cara kerja sistemik
tentang berbagai peristiwa yang menyebabkan penderitaan publik.
Regu belajar Java Collapse – selanjutnya disebut Tim Java
Collapse – membangun sebuah sistem pengelolaan pengetahuan.
Sistem ini diharapkan dapat menjadi rujukan utama setiap tindakan
pembelaan dengan sifat pre-emptif atau pencegahan. Tidak lagi
bersifat reaktif atau siap saji, dengan konteks yang sempit dan
cenderung normatif, seperti yang banyak dilakukan oleh sebagian
LSM. Pembelaan kepentingan publik bersifat efektif dan progresif.
Mampu memberikan penilaian secara jitu pada dampak tak
terhindarkan dari kebijakan-kebijakan atau pelaksanaan berbagai
rencana negara terhadap kehidupan warga suatu wilayah.
Sebagai ruang pre-emptif, Tim Java Collapse wajib menjadi
penyedia bahan-bahan dasar dan konteks bagi kerja-kerja pem­
belaan kepentingan publik, serta kerja jangka panjang pengem­
bangan pendidikan dan pembelajaran dua generasi rombongan
WALHI ke depan. Mimpi besarnya adalah merombak paradigma
pengembangan wilayah negara kepulauan ini.

1
Itulah sebabnya Tim Java Collapse dirancang sedemikian rupa
dengan strategi pengelolaan pengetahuan (knowledge management
strategy). Bukan mengarahkannya sebagai pusat informasi.
Buku ini merupakan produk pertama dari Riset Tematik Tim
Java Collapse. Selain nantinya juga ada Basis Data Peristiwa Kolaps
dan Catatan Tahunan Tematik. Kesemuanya diharapkan menjadi
rujukan bagi beragam tindakan pembelaan. Baik yang bersifat
kasuistik hingga sistemik, untuk menggugat kebijakan publik.
Dengan kata lain, isu lingkungan hidup harusnya tak lagi suatu
bahasan eksklusif. Tetapi mengarus utama dalam perdebatan-
perdebatan tentang peran negara untuk menjamin terpenuhinya
kebutuhan warga dan perlindungan kepentingan publik.
Selanjutnya, hasil riset Tim Java Collapse akan diusung ke ranah
publik bersama arus utama kebijakan publik. Harapannya, menjadi
landasan kuat dan rujukan efektif bagi perumusan konsep-konsep
tanding kebijakan negara mengurus wilayah di Jawa maupun di
pulau lain.
Pada gilirannya, campur tangan kebijakan yang tepat, ber­
potensi menjadi mesin pembangkit kekritisan publik untuk mulai
menggugat tanggung jawab pengurus negara dalam menjamin
terpenuhinya syarat-syarat keselamatan, kesejahteraan dan
produk­tivitas warga. Pada saat yang sama juga menjamin terus
berlangsungnya jasa lingkungan.

Mengelola Pengetahuan
Mengapa Jawa? Jawa merupakan pulau berpenduduk paling
padat di Indonesia. Jawa bisa menjadi contoh membongkar
paradigma pembangunan daerah di Indonesia. Selain itu, Jawa
biasanya menjadi ukuran dan rujukan kemajuan Indonesia serta
pusat produksi dan konsumsi bermukim. Di saat yang sama,
telah lebih dari sepuluh dekade, Jawa terus menerus mengalami
kemerosotan mutu daya dukung dan produktivitas akibat bencana-
bencana alami maupun buatan.
Bencana buatan terjadi karena akumulasi dampak kegiatan

2
manusia. Daya rusaknya diperbesar oleh akumulasi kerusakan daya
dukung dan produktivitas wilayah. Bencana-bencana tersebut bisa
jadi ekspresi ambruk, terban, atau kolapsnya Pulau Jawa. Oleh
karenanya, Jawa layak menjadi medan belajar awal.
Tim Java Collapse digerakkan oleh sebuah kelompok yang
bekerja terarah. Mereka adalah perwakilan Eksekutif Daerah
WALHI di Pulau Jawa, yang kemudian disebut Tim Java Collapse.
Tim ini terdiri dari perwakilan regu belajar di Jawa Barat, DKI
Jakarta, Jawa Tengah, Yogyakarta hingga Jawa Timur.
Kelola pengetahuan yang dilakukan Tim Java Collapse
menghasilkan peta lengkap kolapsnya Jawa sebagai landasan
berpikir. Terdiri dari struktur Basis Data Peristiwa Kolaps dan
Buku Putih Kolaps Jawa. Media penggerak sistem pengelolaan
pengetahuan ini adalah Riset Tematik, Basis Data Peristiwa
Kolaps dan Catatan Tahunan tematik.
Pertama, Riset Tematik tentang kolaps Jawa. Dilakukan tiap
empat bulan, meliputi tema utama kolaps dan studi kasus kolaps.
Tema utama merupakan pokok pikiran utama Catatan Tahunan
Kolaps Jawa yang menggambarkan karakter dominan peristiwa-
peristiwa bencana kehidupan di Pulau Jawa.
Pemilihan tema utama mempertimbangkan kekontrasan
dengan pikiran arus utama kebijakan, daya lekat ingatan kolektif
publik, serta kemampuan meyakinkan publik betapa pentingnya
tema ini terhadap keberlanjutan hidupnya.
Selanjutnya dilakukan studi kasus kolaps. Studi kasus yang
dipilih sesuai dengan tema utama. Lingkup studi kasus adalah
faktor penyebab (langsung, tak langsung, dan pendorong), dimensi
daya rusak, tindakan atau respon publik korban, tindakan atau
respon kebijakan pengurus negara (wilayah), hikmah atau pelajaran
yang dipetik (maupun yang tidak), dan relevansi dengan potret
kontemporer pulau Jawa. Hasil riset akan menjadi penyedia data
sistem basis data kolaps serta menjadi bahan utama penyusunan
catatan tahunan.

3
Penetapan dan penyepakatan tematik dan agenda riset
dilakukan melalui serangkaian diskusi terfokus. Untuk pertama
kali, Tim Java Collapse menetapkan peta lengkap kolapsnya Jawa
sebagai landasan berpikir, struktur Basis Data Peristiwa Kolaps,
dan kerangka utama Buku Putih Kolaps Jawa, yang akan menjadi
acuan penerbitan Catatan Tahunan Kolaps Jawa tematik untuk
tahun-tahun berikutnya. Selanjutnya, Tim Java Collapse akan
melakukan serangkaian diskusi terfokus untuk menyepakati tema
yang dipilih, juga agenda riset mengacu hasil refleksi dan evaluasi
tim.
Pengumpulan data dan kajian temuan yang merujuk pada
agenda riset, melibatkan berbagai metode yang dinilai tepat serta
sesuai secara teknis dan kontekstual. Langkah-langkah umum
pengumpulan data dilakukan. Mulai dari identifikasi sumber
data (status keterbaharuan data dan kemudahan perolehannya),
identifikasi senjang data dan informasi yang tersedia dengan
kebutuhan agenda riset, pemilihan metode pengumpulan data,
penyetoran dan penyimpanan data pada Basis Data Peristiwa
Kolaps, pembahasan dan pengkajian temuan hingga penyusunan
laporan riset.
Kedua, Basis Data Peristiwa Kolaps Jawa hakikatnya merupakan
ruang-ruang penangkap data yang digali dan disarikan dari berbagai
peristiwa yang menyebabkan penderitaan dan kesusahan publik.
Secara umum, dibagi dalam dua kelompok utama; (a) basis data
dasar geografis, demografis, dan pengurusan wilayah, dan (b) basis
data peristiwa kolaps.
Basis data dasar geografis, demografis, dan pengurusan wilayah
di pulau Jawa adalah sebuah struktur penangkap dan penyimpan
data dasar yang digali dari sumber-sumber resmi: kantor-kantor
negara, kantor-kantor lembaga internasional, maupun riset-riset
yang dipublikasikan. Basis data dasar geografis, demografis, dan
pengurusan wilayah di Pulau Jawa ditinjau ulang setahun sekali
untuk pemutakhiran serta perbaikan struktur.

4
Sementara Basis Data Peristiwa Kolaps adalah sebuah struktur
penangkap dan penyimpan data dasar yang digali dari berbagai
sumber pemberitaan publik. Baik yang beredar di wilayah tertentu,
berskala nasional, berskala regional maupun global. Basis Data
Peristiwa Kolaps di Pulau Jawa ditinjau-ulang setahun sekali untuk
keperluan pemutakhiran serta perbaikan-perbaikan strukturnya.
Ketiga, Catatan Tahunan Kolaps Jawa. Tim Java Collapse akan
menyusun dan menyiapkan catatan tahunan berdasar hasil Riset
Tematik serta data yang dikelola Basis Data Peristiwa Kolaps.
Tematik catatan tahunan ditetapkan saat penyusuan agenda riset.
Ini dimulai segera setelah riset tematik selesai.
Catatan Tahunan Kolaps Jawa berisi kajian, lembar fakta, studi
kasus serta isu-isu sorotan utama, yang penting diketahui dan
dipahami publik. Lebih spesifik, kerangka utama Catatan Tahunan
Kolaps Jawa diorganisir mengikuti tema, catatan kritis, lembar fakta
peristiwa kolaps, studi kasus relevan, rekaman kesaksian korban
dan tindakan-tindakan darurat dan bertahan hidup (survival) yang
disarankan.
Penerbitan Catatan Tahunan Kolaps Jawa tematik dirancang
sedemikian rupa agar menyita perhatian publik. Juga dapat meng­
gerakan dan menggulirkan rangkaian diskusi serta perdebatan
lebih lanjut. Upaya ini akan melibatkan pihak-pihak pemegang
wewenang dan tanggung jawab serta para calon korban.
Lebih ambisius lagi, tematik Catatan Tahunan Kolaps Jawa
harus mampu diangkat secara kontekstual pada perdebatan-
perdebatan di daerah lain, di luar pulau Jawa, demi menghindari
dan atau paling sedikit, mengurangi potensi resiko terjadinya
bencana terhadap kepentingan publik.
Proses penulisan bunga rampai Catatan Tahunan Kolaps Jawa
hakekatnya adalah “puncak” dari rangkaian Riset Tematik Tim.
Laporan-laporan riset yang dihasilkan akan menjadi rujukan
utama penyusunan Catatan Tahunan Kolaps Jawa. Catatan ini
akan disebarluaskan secara cuma-cuma kepada berbagai pihak

5
yang dinilai strategis. Antara lain: Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), kantor-kantor negara di Jakarta yang relevan dengan tema,
kantor-kantor gubernur di Jawa serta dinas-dinas yang relevan,
kantor-kantor bupati/walikota serta instansi departemen dan non-
departemen yang relevan, redaksi-redaksi media massa cetak dan
elektronik berskala daerah, nasional, regional dan internasional,
lembaga-lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat sipil,
organisasi-organisasi kampus di berbagai daerah di pulau Jawa.
Hal terpenting dari pekerjaan Tim Java Collapse adalah
bersinggungan dan berbincang dengan publik luas mengenai
temuan serta kajian yang dihasilkan melalui lokakarya keliling.
Ini merupakan lokakarya berantai tentang tematik khusus terkait
Catatan Tahunan Kolaps Jawa. Langkah ini menjadi salah satu
pilihan bagi Tim Java Collapse terus berinteraksi dan berdialog
dengan publik luas.
Lokakarya keliling berpotensi menjaring masukan dan umpan-
balik bagi hasil kajian Tim Java Collapse. Ia juga menjadi suatu
sarana pengujian pemodelan kolaps yang dikembangkan dan
dirumuskan tim. Lokakarya akan menjadi sarana pengujian yang
ekstrem bagi pemodelan kolaps.
Catatan Tahunan Kolaps Jawa, laporan hasil riset, dan Basis
Data Peristiwa Kolaps akan menjadi sumber inspirasi dan gagasan
yang tak ada habisnya bagi penyusunan seri penerbitan buku atau
produk cetakan tentang kolaps Jawa.
Seri Java Collapse akan menjadi contoh dan pendorong bagi
kerja-kerja serupa di pulau lain di Indonesia. Untuk itu, tim
diusahakan konsisten mengusung gagasan-gagasan tandingan
tentang pengurusan wilayah di pulau Jawa dan wilayah lain.
Gagasan tandingan yang menjadikan Jawa barometer, tauladan
kebijakan, dan strategi pengembangan wilayah di pulau lain.
Tim Java Collapse berharap, dengan memperbaiki cara baca
dan belajar, LSM dan OMS dapat memperbaiki cara pembelaan
publik.

6
Bagian 2

Belajar dari Jawa

K ekayaan Pulau Jawa sudah menjadi perbincangan sejak


lama. Bahkan sebelum Nabi Isa lahir. Konon, raja-raja
Han di China memerintahkan para pembantunya mengunyah
cengkeh Jawa sebelum berbicara di depan raja1. Winchester
(2003) menggambarkan betapa rempah dari negeri-negeri timur,
termasuk Jawa, adalah bagian kemewahan kuliner dunia berharga
tinggi. Sejarah pun mencatat, perdagangan rempah sebagai bagian
kekayaan Jawa, merupakan pintu masuk perubahan kuasa politik
yang berujung perombakan tata guna lahan, corak produksi, dan
pembangunan infrastruktur yang membentuk Jawa, hingga seperti
sekarang ini.
Pulau Jawa memiliki kepadatan tertinggi di Asia Tenggara,
memiliki infrastruktur termodern seantero kepulauan Indonesia,
dan tetap kokoh menjadi pusat perdagangan dan industri
manufaktur Indonesia.
Mengapa Jawa menarik minat pelbagai bangsa? Mengapa pula
keterlanjuran elit kekuasaan terhadap pulau Jawa menghasilkan
industrialisasi luar biasa, meninggalkan pulau-pulau lain di
negeri ini? Apakah letak geografis, geologi, dan ekologinya yang
mempengaruhi daya tarik pulau ini dari zaman ke zaman?

Keunggulan Pulau Jawa


Pulau Jawa terletak di tenggara Selat Malaka, ramai oleh
perdagangan dan peperangan sejak berabad-abad lalu. Posisi Selat

1 Winchester, dalam bukunya Krakatoa hal 26.

7
Malaka yang strategis sebagai pintu gerbang menuju Asia Timur,
menjadi ajang rebutan banyak bangsa dari zaman ke zaman. Di
masa awal penjelajahan bangsa Eropa, kekuatan ekonomi dan
politik Selat Malaka berpindah-pindah tangan dari Spanyol,
Portugis, dan terakhir Inggris, yang kemudian menguasai seluruh
semenanjung Malaya, hingga sebagian kecil Sumatera.
Meski saat itu Pulau Jawa merupakan penghasil rempah
terbesar, tetapi bukan merupakan garis depan perebutan antar
bangsa. Bisa jadi karena kekuatan Kesultanan Banten yang terlalu
kuat sehingga bangsa-bangsa Eropa lebih suka berdagang dengan
Banten, dibanding menaklukannya. Tetapi ketika pelaut-pelaut
Belanda mendapatkan harta berharga berupa merica, pala dan
cengkeh, nafsu memonopoli perdagangan dari berbagai sumber
produksi menguat. Mengakibatkan penaklukan Kesultanan Banten
menjadi kebutuhan mutlak.
Memiliki pos dagang di Jawa amat penting, mengingat sumber
rempah-rempah bukan hanya ada di sini. Kepulauan Maluku
merupakan sumber produksi yang tak kalah penting, terkenal
dengan rempah-rempahnya, terutama pala dan cengkeh. Terlebih
lagi, pada saat yang sama Portugis justru sudah merambah ke
timur, mendahului Belanda.
Pulau Jawa dapat menjadi pos perantara untuk beristirahat
dan mengisi perbekalan sekaligus pasokan rempah-rempah lain
sebelum dibawa ke Eropa2. Atas alasan ini, VOC (Verenidging
Oost Indie Compagnie) mendirikan pos dagang tetap dekat Sunda
Kelapa pada tahun 16193. Mendapatkan merica dari Hindia Timur,
bagi para pelaut-pelaut Belanda, seperti mendapat harta karun tak
ternilai. Ketika kembali ke negerinya, keuntungan mereka bisa
berlipat 400 persen!
Keuntungan demikian tinggi tentunya amat menarik. Terlebih
jika seluruh peredaran rempah bisa dimonopoli. Dan tentu saja,
Jawa memang tempat menarik. Ia unggul dari segi jumlah produksi

2 Day, Clive. The Policy and Administration of The Dutch in Java hal 41
3 ibid

8
maupun letak geografis. Raffles mencatat, produksi rempah-
rempah Jawa jauh melampaui pulau-pulau lainnya, bahkan lebih
tinggi dari Kepulauan Maluku.
Salah satu kunci tingginya produktivitas rempah-rempah
Pulau Jawa adalah kesuburan tanahnya. Secara geologi, hampir
keseluruhan pulau di Indonesia memiliki jenis tanah vulkanik.
Terbentuk dari mineralisasi akibat letusan gunung berapi.
Jawa memiliki gunung berapi aktif dari ujung barat hingga
timur. Tercatat, Jawa memiliki 79 gunung berapi aktif yang
pernah meletus sejak tahun 1600-an. Ada 29 gunung berapi yang
pernah meletus sebelum tahun 1600-an. Terdapat juga 21 gunung
berapi yang bertipe fumarola dan solfatara yang sudah lama sekali
padam4.
Banyaknya gunung berapi dan batuan muda serta morfologinya,
membentuk sifat tanah Pulau Jawa yang subur dibanding pulau
lain. Jawa disebut memiliki kesuburan enam kali lipat dibanding
pulau lainnya. Memiliki dataran aluvial luas di daerah pantai utara
yang cocok menjadi wilayah pertanian pangan. Bahkan sejak dulu
kala, nama Jawa dikaitkan dengan jewawut (padi).
Morfologi Pulau Jawa dari barat ke Timur dibagi menjadi tiga
golongan. Yaitu satuan morfologi dataran pantai, satuan morfologi
pegunungan tengah, dan satuan morfologi pegunungan selatan.
Satuan morfologi dataran pantai membentang di bagian utara
Pulau Jawa. Terhampar dari Serang hingga dataran Surabaya dan
menyempit ke arah Panarukan5.
Pegunungan tengah dan dataran pantai merupakan wilayah
subur serta cocok untuk berbagai tanaman pertanian. Tanah
pegunungan tengah umumnya layak ditanami jenis yang berumur
panjang. Sementara dataran pantai yang terbentuk dari sedimen
aluvial serta wilayah imbuhan air, merupakan lahan subur padi-
padian, tebu, nila dan banyak tanaman umur pendek lainnya.

4 Profil Lingkungan Geologi Pulau Jawa, Direktorat Tata Lingkungan Geologi


dan Pertambangan, Ditjen Geologi dan Sumber Daya Mineral, Departemen
Energi dan Sumber Daya Mineral 2004.
5 ibid II-1
9
Karena kondisi morfologi dan pembentukan tanah pulau Jawa
inilah, sepanjang peradaban manusia, wilayah penghasil pangan
serta pusat pertumbuhan Jawa berada di wilayah yang sama – itu-
itu saja. Meski wilayah dataran pantai subur baik di darat maupun
daerah lahan basahnya yang cukup luas, tetapi wilayah ini tidak
memiliki drainase yang baik. Air cenderung menggenang ketika
banjir, membentuk rawa-rawa disertai sedimentasi yang tinggi
secara alamiah.
Dataran pantai dan satuan pegunungan tengah mengalami
tekanan terkuat karena karakter bio-fisiknya yang menggairahkan.
Amatan hingga 1990-an, wilayah pegunungan tengah terus meng­
alami penggerusan. Studi BAPPENAS tahun 2004 menjelaskan
wilayah pantai utara Jawa adalah yang paling krisis, dilihat dari
menyusutnya fungsi-fungsi alam dan keragaman hayati.
Seluruh pengembangan infrastruktur sejak zaman Hindia
Belanda bertujuan menggairahkan wilayah satuan dataran pantai dan
pegunungan tengah sebagai basis industri pertanian dan kehutanan.
Buktinya, wilayah dataran pantai, lembah Sungai Bengawan Solo,
Brantas, dataran Madiun, hingga sabuk pegunungan mencapai
ketinggian 1200 meter, berubah jadi wilayah produksi beras dan
komoditas perkebunan yang paling laku saat itu.
Wilayah pegunungan selatan memiliki karakter berbeda diban­
ding pegunungan tengah dan dataran pantai di bagian utara.
Wilayah pegunungan selatan umumnya pegunungan kapur, yang
ketersediaan airnya jauh lebih sedikit dibanding pegunungan tengah
maupun pantai utara. Karenanya, boleh jadi tekanan terhadap
pegunungan selatan, tak sebanyak yang dialami pegunungan
tengah maupun dataran pantai.
Namun, percobaan mengubah pegunungan selatan bukan tidak
pernah dilakukan. Kisah kegagalan fatal pembukaan pegunungan
Sewu untuk lahan perkebunan kopi, salah satu contohnya.
Kegagalan yang berdampak pada kekeringan yang berlangsung
terus hingga lebih seabad, karena tidak cocoknya tanah untuk

10
tanaman kopi, sekaligus rentannya kawasan berkarakter gamping
dan karst ini.
Meningkatnya kapasitas industri Jawa, menyebabkan keleng­
kapan-kelengkapan pendukung seperti produksi buruh terlatih
juga meningkat. Sejumlah sekolah didirikan, mulai sekolah mantri
kesehatan, sekolah carik, hingga sekolah teknik. Hal ini menarik
kedatangan penduduk luar Jawa untuk bersekolah di Jawa.
Boomgard (1996) mencatat kenaikan penduduk Jawa sepan­
jang pengembangan industri, terutama zaman liberalisasi dan
politik etis. Sayangnya, tak ada kejelasan pasti mengapa jumlah
penduduk bertambah banyak pada periode industrialisasi per­
tanian dan manufaktur saat itu. Salah satu hal yang dicatat
adalah meningkatnya produksi pertanian pangan dan pelayanan
kesehatan. Inilah yang berkontribusi terhadap panjangnya harapan
hidup penduduk. Namun, apakah betul terjadi ledakan penduduk
pada zaman tanam paksa hingga akhir abad 19, belum terjawab.
Donner (1987) menjelaskan tidak adanya sensus yang cukup
memadai di abad 17 sampai 19. Semua catatan jumlah penduduk
hanya berdasarkan perkiraan. Namun yang patut dicatat, salah
satu alasan industrialisasi dilakukan di Jawa, bukan hanya karena
tanahnya subur dan bentuk morfologinya. Tetapi juga ketersediaan
tenaga kerjanya. Artinya, populasi penduduk Jawa sejak lama
memang sudah cukup tinggi untuk memenuhi kebutuhan tenaga
kerja, mulai dari pembangunan jalan raya pos, tanam paksa, zaman
liberalisasi, hingga industri manufaktur akhir abad ke 19.
Secara singkat, Pulau Jawa memiliki sejumlah keunggulan
dari segi geografis, geologis, ekologi, maupun manusianya. Secara
geografis, posisinya menguntungkan karena berada di tengah-
tengah jalur perdagangan rempah, antara wilayah timur dan barat.
Secara geologi memiliki kesuburan tinggi yang memungkinkan
industri pertanian dan perkebunan berkembang pesat. Serta jumlah
manusia yang memadai untuk menjadi tenaga kerja dengan moda
apapun, feodalistik atau kapitalistik.

11
Pulau Jawa kemudian bertumbuh secara alamiah, yang boleh
jadi tanpa rencana. Buruknya perencanaan Pulau Jawa terus
diulangi hingga zaman kemerdekaan. Di zaman pembangungan
yang dipimpin Soeharto, Jawa menjadi pusat pertumbuhan industri
manufaktur dan pengolahan. Alasan dipilihnya Jawa sebagai pusat
pembangunan berkaitan dengan tersedianya infrastruktur yang
sudah dibangun sepanjang 150 tahun lalu.
Sejumlah infrastruktur raksasa seperti jalan raya, bendungan
raksasa, kawasan perdagangan, kawasan industri, dan pemukiman
justru memperparah kondisi pulau Jawa yang subur namun rentan.
Departemen Pekerjaan Umum mencatat, dalam kurun kurang dari
satu abad, terdapat 85 persen satuan wilayah sungai di pulau Jawa
rusak parah. Ketersediaan air tanah menurun di pedesaan hingga
perkotaan. Wilayah-wilayah yang dahulunya kawasan tangkapan
air maupun penahan air, diubah menjadi kawasan industri,
pemukiman dan infrastruktur. Banjir Jakarta yang meluas dan
makin parah adalah contoh nyata tidak patuhnya tindakan manusia
di Jawa pada kondisi alam.
Bahkan hingga abad 21, Jawa tetap menjadi pusat pertumbuhan
jasa dan perdagangan. Sebagai contoh, proyek 10 GW listrik
yang dicanangkan Pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono.
Sebagian besar diperuntukkan Pulau Jawa, Madura, dan Bali.
Demikian pula dengan sarana transportasi seperti jalan tol 1000
km di sepanjang pantai utara Pulau Jawa.
Konsekuensi timpangnya pertumbuhan pulau Jawa dibanding
pulau-pulau lainnya di Indonesia berdampak pada tetap tingginya
angka migrasi ke pusat-pusat perkotaan di seluruh kota di Jawa.
Perkotaan di Indonesia tumbuh cepat mengikuti migrasi
penduduk dari pedesaan. Banyak kajian menyebutkan, pem­
bangunan pedesaan telah gagal. Sama persis dengan kebijakan
yang diberlakukan pemerintah Hindia Belanda. Pedesaan di Pulau
Jawa diperas habis-habisan untuk menyediakan pangan murah.
Bahkan tanpa diimbangi pengurusan infrastruktur pendukungnya.

12
Mundurnya daerah pedesaan karena sistem pertanian,
per­dagangan, desakan perluasan kota, dan kerusakan alam
menimbulkan migrasi dalam jumlah besar. Indikasi meningkatnya
angka migrasi dapat dilihat setiap lebaran. Jakarta menjadi pilihan
pertama bagi penduduk desa untuk mengadu peruntungan di kota.
Meskipun dengan bermodal nekat.
Migrasi ke Jakarta adalah indikator memburuknya situasi
pedesaan. Dengan luas yang terbatas, Jawa masih tetap menarik
bagi para perantau pedesaan yang mengadu nasib, ketimbang
hidup di desa. Tanda-tanda kolapsnya pedesaan ini bahkan sudah
terjadi selama seabad lalu (lihat studi kasus Jalan Raya Pos). Namun
tidak ada tindakan memadai yang mampu menahan runtuhnya
kehidupan sosio-ekologik pedesaan. Runtuhnya pedesaan justru
menjadi pertanyaan besar dari impian pembangunan.
Di perkotaan kondisi juga tidak membaik. Kesenjangan yang
semakin tinggi dan meluasnya wilayah kumuh di setiap sudut
kosong perkotaan dijawab dengan tindakan berulang sejak zaman
orde baru: penggusuran. Lingkungan yang memburuk semakin
tampak di abad ke 21. Banjir, penyakit, dan gagalnya pengelolaan
persampahan terjadi di mana-mana, di tengah perumahan elit yang
meluas di kota-kota metropolitan.
Pada akhirnya kita bisa menyimpulkan, manusia di Jawa tidak
pernah mengalami perubahan cara hidup. Para pemimpinnya tetap
bermimpi atas kekayaan, kekuasaan dan penumpukan kapital di
atas penderitaan warga lainnya. Sementara warga miskin perkotaan
maupun pedesaan juga tidak berubah. Mereka bertahan dengan
kondisi lingkungan yang memburuk atau mengungsi ke perkotaan.
Hanya satu yang membedakan antara abad 19 dan pertengahan
abad 20 hingga 21. Pilihan migrasi ke luar batas negara sebagai
tenaga kerja rendahan. Jawa belum sepenuhnya kolaps, tetapi
sejumlah wilayah telah kolaps ditinggalkan warganya.

13
Kemakmuran Siapa?
Jawa, dalam sejarah keberadaannya hingga kini, selalu menjadi
sebuah potret yang menarik untuk dilihat sebagai sebuah alur
cerita krisis. Sebuah cerita penguasaan warga biasa oleh elit sejak
zaman kerajaan, kolonialisasi, hingga saat ini. Mengatasnamakan
pembangunan, setiap kelas yang berkuasa pada zamannya,
menancapkan kekuasaannya, melanggengkan eksistensinya sebagai
elit kuasa.
Pemimpin-pemimpin di Pulau Jawa, dalam sistem kekuasaannya
(power system), telah menempatkan diri sebagai sebuah elit meng­
atasnamakan kelas yang dikuasainya. Dalam hal ini, warga biasa
selalu menjadi objek dalam seluruh cerita pembangunan untuk
mewujudkan mimpi kemakmuran dan kesejahteraan elit.
Daendels adalah sosok pertama pada zaman kolonialisasi
Belanda yang meletakkan dasar-dasar industrialisasi di Pulau
Jawa. Dalam sejarahnya, dia memimpikan dapat menguasai tata
kelola perdagangan dan jalur ekonomi di pulau Jawa, bahkan
Indonesia Timur. Dilakukan dengan pembangunan infrastruktur
untuk mendukung aktifitas ekonomi. Diantaranya, mega proyek
infrastruktur yang paling terkenal: Jalan Raya Pos. Jalan raya yang
menjadi poros jalur perdagangan dari barat pulau Jawa ke arah
timur.
Pembangunan ini mempertimbangkan Pulau Jawa yang dinilai
sangat strategis dari segi politik dan ekonomi. Selain itu, juga
kaya dengan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang
dapat dipekerjakan secara paksa. Situasi politik Jawa pun sangat
mendukung. Para pemimpin politik di Jawa dapat dijadikan
penghubung atau mitra Belanda untuk memonopoli jalur
perdagangan. Inilah pondasi alur kolonialisasi secara ekonomi,
beriringan dengan kolonialisasi secara politik.
Meski hanya tiga tahun berkuasa, prinsip-prinsip elit kuasaan
Daendels diamini secara baik oleh generasi penerus Daendels. Baik
di masa kolonial maupun dimasa sesudahnya hingga hari ini. Yaitu,

14
praktek industrialisasi yang disokong infrastruktur skala raksasa.
Ini menjadi landasan atau pijakan model pembangunan yang
berujung pada tata kuasa, tata penggunaan lahan, tata produksi
dan tata konsumsi yang menguntungkan segelintir kuasa politik
dan kuasa modal.
Tanam Paksa adalah kebijakan lanjutan yang dilancarkan
kolonial Belanda setelah Jalan Raya Pos. Tujuannya, mengamankan
pasokan produksi komoditas Jawa untuk dijual di pasar dunia.
Tanam Paksa menjadi alat efektif untuk memobilisasi produksi
ekonomi. Namun menciptakan kesengsaraan dan kemiskinan
jutaan warga di Jawa. Betul memang, tanam paksa mendorong
pertumbuhan bidang ekspor pertanian dan terlibat dalam proses
perdagangan internasional. Tapi dari seluruh cerita ini, yang
memetik keuntungan dan kepentingan terhadap perdagangan
tersebut adalah kongsi dagang Belanda. Bukan warga tani yang
mengerjakan tanam paksa.
Paska pembangunan jalan Anyer-Panarukan, di zaman Orde
Baru, entitas politik di Pulau Jawa mengikuti dan memperkokoh
praktek pembangunan infrastruktur untuk kepentingan industri.
Pembangunan ekonomi menjadi sebuah mitos yang terus menerus
disuarakan pengurus negara dan kuasa modal untuk menguasai
tata guna lahan, tata produksi dan tata konsumsi manusia di Pulau
Jawa. Kebijakan pembangunan yang diusung, sama halnya dengan
Daendels, tidak pernah menghitung nilai-nilai keberlanjutan
kehidupan warga di Jawa. Hanya menghitung keberlanjutan
ekonomi tanpa mempertimbangkan keselamatan, kesejahteraan,
produktivitas dan keberlanjutan pelayanan alam.
Di masa orde baru, pembangunan infrastruktur industri
manufaktur dan modern menjadi mesin utama cerita pertumbuhan
ekonomi. Soekarno pernah mencoba mengusung tatanan ekonomi
pedesaan setelah diporakporandakan oleh kolonialis Belanda.
Namun kembali diubah oleh Soeharto menjadi masyarakat industri,
meskipun segala prasyarat untuk menuju masyarakat industri sama
sekali belum terpenuhi.
15
Dalam konteks kekinian, pembangunan jalan merupakan
prioritas utama Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin hingga Fauzi
Bowo. Pembangunan hanya ditujukan untuk menyediakan sarana
dan fasilitas pendukung investasi bagi yang menanamkan modalnya
di Jakarta.
Pembangunan infrastruktur ibukota dilakukan begitu pesatnya.
Berusaha memenuhi kebutuhan investasi dan meningkatkan laju
pertumbuhan ekonomi nasional. Ini dilakukan dengan membangun
ruas jalan, jembatan layang, jalan tol, dan berbagai pembangunan
infrastruktur lainnya dengan pembebasan lahan warga berbiaya
murah. Semuanya mengatasnamakan pembangunan dan jargon
kesejahteraan rakyat. Di kemudian hari, hal ini kerap menimbulkan
persoalan panjang yang terus berlanjut sesudahnya. Diantaranya
penggusuran dan pengambilalihan lahan warga demi kepentingan
pembangunan.
Bagaimana kita melihat dan menyaksikan sebuah bentuk
pengorbanan yang diminta elit kuasa terhadap rakyatnya, untuk
memudahkan pengembangan ekonomi dan laju investasi, ada di
Jakarta.
Pembangunan sejumlah jalan di Jakarta memang disiapkan
untuk menyediakan tanah-tanah bagi kepentingan bisnis. Itu
artinya elit kuasa sedang mendorong industri dan memainkan
perannya yang begitu besar dalam pembangunan perkotaan.
Kebijakan pemerintah melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 36
tahun 2005, kemudian direvisi menjadi Perpres No. 52 tahun 2006,
melegitimasi pengambilan tanah-tanah rakyat untuk membangun
infrastruktur atas nama kepentingan umum. Pembangunan
dan perluasan infrastruktur, dipastikan akan menggusur ribuan
orang, yang dipaksa berkorban atas nama kepentingan bersama,
kepentingan bangsa. Dan yang lebih menjijikkan, atas nama
stabilitas ekonomi dan politik.
Bagi pengurus negara, pengorbanan adalah sebuah kewajaran
dalam cerita pembangunan. Cerita orang mati pada masa kerja

16
paksa zaman Daendels untuk membangun jalan Anyer-Panarukan.
Cerita hilangnya ruang hidup 23.380 jiwa yang menempati 37
desa di tiga kabupaten dan tujuh kecamatan yang tenggelam saat
pembangunan Kedung Ombo pada jama Orde Baru. Ini dinilai
sebagai bentuk pengorbanan rakyat kepada elit kuasa atau negara,
atas nama pembangunan.
Cerita Lumpur Lapindo menjadi cerita paling kontekstual
dewasa ini. Cerita tentang industri yang telah menjadi sebuah
malaikat baru. Siap mencabut nyawa rakyat, kapanpun dan
dimanapun dia mau. Dalam cerita Lapindo, industri migas menjadi
sebuah industri yang memiliki kekuatan ekonomi politik.
Sampai hari ini, industri di sektor tambang dan migas menjadi
industri paling tertutup informasinya bagi publik. Padahal di
sekitarnya, rakyat tidak bisa hidup dengan jaminan keselamatan,
produktivitas, kesejahteraan dan keberlanjutan pelayanan alam.
Kasus Lapindo sebuah potret utuh, bagaimana industri mampu
dalam sekejap menghancurkan bangunan hidup yang dirintis susah
payah rakyat Sidoarjo.
Dalam sejarah pertambangan minyak di Indonesia menjelang
abad 19, industri minyak bahkan menjadi kunci dalam dinamika
proses diplomasi di awal kemerdekaan. Dengan komitmen
penyerahan beberapa blok yang dapat dikuasai asing maka tidak ada
sedikitpun keuntungan politik sosial yang didapat rakyat. Setelah
melaluinya secara berdarah-darah dalam perjuangan selama 350
tahun tersebut. Strategisnya industri ini membuat elit kuasa sebagai
alat kuasa modal perlu melibatkan militer untuk mengamankan
berbagai instalasi penambangan di Indonesia hingga hari ini.
Di perkotaan, hegemoni industri bahkan sudah memasuki
sumsum kehidupan masyarakat perkotaan. Industri mampu
mengubah pola konsumsi masyarakat, melahirkan sebuah gaya
hidup sampah yang dikemas sedemikian apik dan menarik melalui
reklame gaya hidup. Pola konsumsi yang dibangun industri,
terus menempatkan masyarakat menjadi korban. Korban sebagai

17
konsumen yang tingkat konsumsinya disetir industri. Maupun
korban ikutan yang justru harus merasakan dampak pola konsumsi
yang terus membesar. Itu terjadi di Bandung, tak kurang 125
orang mati tertimbun sampah, akibat sebuah pola konsumsi yang
dibangun oleh elit kuasa dan modal.
Cerita lain masyarakat perkotaan di Pulau Jawa adalah hilangnya
ruang hidup rakyat, tersingkir derasnya laju pembangunan dan
industrilisasi. Ini dialami komunitas pertama Jakarta-Betawi. Saat
ini tersisa 30 persen komunitas yang tinggal menunggu waktunya
tersingkir.
Pembangunan infrastruktur industri mengabaikan kerentanan
pulau Jawa terhadap bencana. Ini diperparah dengan tak adanya
hitungan bencana dalam angka belanja negara dan buruknya
penanganan bencana. Warga masyarakat kembali menjadi korban
kedua kalinya akibat lemahnya negara merespon bencana.
Bahkan, bencana kemudian menjadi sebuah komoditas baru.
Betapa tidak, berbagai bantuan yang datang diambil alih elit kuasa
dan modal. Ketika warga korban bertahan dengan caranya sendiri,
elit kuasa sibuk melakukan kampanye lewat pesan kesabaran.
Dan tanpa malu-malu, menyertakan nama Tuhan dalam cerita
komoditas baru bernama bencana. Kurang lebih 6.400 orang
meninggal dunia dalam bencana gempa di Yogya. Belum lagi
ribuan orang yang kehilangan tempat tinggal.
Lalu bagaimana dengan impian kemakmuran yang selalu
disuarakan lantang oleh kelas yang berkuasa di Jawa. Apakah
kemakmuran untuk seluruh rakyat? Jika ditarik garis lurus, kelas
yang berkuasa pada zamannya, dari zaman kolonial hingga rezim
saat ini, meletakkan sebuah pondasi pembangunan dengan
mimpi yang sama. Yakni, kemakmuran dan kesejahteraan bagi
pelanggengan kekuasaannya dan mengorbankan warganya. Bahkan
menggunakan bacaan yang sama. Seluruh cerita pembangunan
infrastruktur industri digunakan sebagai sebuah ajang bagi
konsolidasi modal, politik (kekuasaan) dan militer.

18
Kemakmuran, dalam seluruh cerita pembangunan, menjadi
impian para elit dalam sistem kekuasaan (power system). Menem­
pat­kan rakyat sebagai objek seluruh alur perwujudan cerita impian
kemakmuran ini. Kemakmuran adalah angka-angka penderitaan
rakyat yang dapat dimanipulasi melalui asumsi yang tidak
masuk akal dan menghina akal sehat. Antara lain dengan angka
kemiskinan.
Bagi rakyat yang selalu menjadi objek, kemakmuran hanya
sebuah ilusi atau mimpi yang tidak pernah menjadi kenyataan.
Sebaliknya rakyat selalu berkorban. Dari waktu ke waktu, sejak
zaman kolonialisasi, orde lama, orde baru, hingga masa reformasi,
rakyat selalu ditempatkan sebagai objek semata. Jika melihat krisis
yang dialami rakyat dari tahun ke tahun, sesungguhnya kita sedang
melihat siklus yang sama. Derajat korban dari waktu ke waktupun
mengalami hal yang sama. Tak bernama, tak berwajah.
Kemiskinan menjadi sebuah fakta riil dari masa ke masa.
Dialami oleh rakyat yang tidak memiliki “kemampuan” merespon
krisis yang diciptakan akumulasi kekuatan modal dan kuasa.
Bahkan, krisis ini terus menerus lahir dengan durasi lebih panjang
dan meluas. Badan Pusat Statistik menyampaikan data kemiskinan
pada 2006 yang meningkat, mencapai 3,90 persen dari tahun
sebelumnya, menjadi 35,10 juta orang.
Angka itu sebagian besar ada di pedesaan. Penyebabnya adalah
semakin hilangnya sumber-sumber produksi karena dikuasai para
elit kuasa modal. Jangankan kesejahteraan atau kemakmuran,
keselamatan rakyat saja tak pernah dihitung sebagai sebuah
ongkos (cost), yang harusnya menjadi dasar pengambilan kebijakan
pembangunan.
Cerita pengentasan kemiskinan juga bukan hal baru. Pemerintah
selalu memiliki program pengentasan kemiskinan, bahkan lewat
utang luar negeri. Sayangnya program tersebut, justru tidak pernah
menjawab krisis yang terjadi. Bank Dunia bahkan menganjurkan
salah satu program pengentasan kemiskinan melalui program

19
pertumbuhan ekonomi. Padahal rumus ekonomi tidak pernah
memberikan distribusi yang adil bagi rakyat.
Sesungguhnya pertumbuhan ekonomi tak lebih hanya menjadi
bentuk akumulasi pemilik modal dan pengurus negara yang
menguasai tata kuasa, tata produksi, tata konsumsi, dan tata guna
lahan. Gizi buruk dan angka kematian ibu melahirkan yang masih
tinggi, menjadi sajian tiap hari media massa yang mengiringi
sarapan kita tiap pagi. Lalu di mana impian kemakmuran itu?

20
Bagian 3

Merekam Jejak, Membaca Krisis

J ared Diamond, penulis yang memperkenalkan wacana kolaps


dalam bukunya Collapse, How Societies Choose to Fail or Succeed. Ia
menggunakan sebuah “kerangka kerja” ketika mempertimbangkan
situasi kolapsnya sebuah masyarakat. Terdiri atas lima “perangkat
faktor” yang berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Yaitu:
kerusakan lingkungan, perubahan iklim, permusuhan dengan
tetangga, lenyapnya mitra dagang, serta bagaimana masyarakat
merespon perubahan & kerusakan lingkungan hidup.
Buku ini menginspirasi Tim Java Collapse melakukan studi
tentang kolapsnya Jawa. Studi ini bermaksud menguraikan pola
relasi hidup antara manusia di Jawa dengan alam mereka. Interaksi
kehidupan manusia dan pengaruhnya terhadap kondisi dan
kelangsungan fungsi-fungsi alam merupakan topik besar; Jalan
menuju kolapsnya Jawa.
Dalam studi ini, kolaps Jawa diartikan sebagai proses penurunan
kualitas kehidupan manusia dan kemampuan alam. Hal ini akibat
interaksi antara manusia dan alam yang saling memangsa (predasi)
dalam sejarah sistem kekuasaan di Jawa. Interaksi keduanya
yang berdampak negatif akan memicu timbulnya krisis. Secara
telanjang, argument ini dapat dilihat dalam studi kasus buku ini –
mulai Daendels, Betawi dan Lapindo. Pada ketiga kasus tersebut,
krisis terjadi secara berulang, baik kualitas maupun kuantitas.
Pada tahap selanjutnya, krisis berimplikasi pada penurunan daya
bertahan hidup warga, yang berujung pada ketersingkiran dari
ruang hidupnya, bahkan kematian.
21
Tiga hal besar jalan menuju kolaps Jawa, yang dilihat dalam riset
ini sebagai sebuah tafsir Tim Java Collapse, didasarkan pada: (1)
keselamatan dan kesejateraan rakyat (2) daya melawan, memenuhi
dan memulihkan kualitas hidup (3) kelangsungan jasa alam dan
lingkungan.
a. Keselamatan dan Kesejahteraan
Tafsir terhadap keselamatan dan kesejahteraan diartikan
sebagai sebuah kondisi warga dan alam sekitar mereka melalui
beberapa prasyarat, antara lain : tidak ada ancaman terhadap hidup
dan ruang hidupnya, terjamin jati diri dan keberadaanya, mampu
menentukan kehidupan dan masa depannya, mampu memenuhi
hak-hak dan kebutuhan dasarnya, mampu memenuhi hak-hak
sipil dan politiknya.
Kurang selamat dan sejahtera ditafsirkan sebagi sebuah kondisi
warga dan alam sekitar mereka yang berada dalam keadaan. Yaitu:
rentan terhadap ancaman hidup dan ruang hidupnya, tidak ada
kepastian jaminan keselamatan, menyempitnya ruang hidup dan
berpenghidupan, bergantung kepada prakarsa pihak lain untuk
menentukan kehidupan & masa depannya, berada di bawah
hegemoni pihak lain untuk menentukan kehidupan dan masa
depannya.
Tidak selamat ditafsirkan sebagai sebuah kondisi warga yang
mengalami ketersingkiran dari ruang hidupnya. Bagai hidup
dengan selang infus pihak lain atau bahkan kematian massal.
b. Daya melawan dan Tidak melawan,
Daya melawan – memenuhi dan memulihkan kualitas
hidup, ditafsirkan sebagai sebuah kondisi warga dan alam
sekitar mereka, dengan beberapa prasyarat: mampu dan aktif
berekspresi dengan mengandalkan modal sosialnya, mampu
memenuhi kebutuhan sesuai dengan kemampuan secara
berkelanjutan, mampu mengamankan sumber produksinya.
Daya melawan yang kurang atau rendah ditafsirkan

22
sebagai kondisi warga dan alam sekitar mereka yang berada
dalam keadaan: berkurang modal sosial untuk berkreasi dan
berekspresi, terbatasnya ruang untuk berkreasi dan berekspresi.
Tidak ada daya melawan – memenuhi dan memulihkan
kulaitas hidup, ditafsirkan sebagai kondisi warga yang lenyap
modal sosialnya, tidak mempunya akses terhadap sumber
produksi, tidak mampu untuk berkreasi dan berekspresi.
c. Kelangsungan jasa alam dan lingkungan
Ditafsirkan sebagai kemampuan alam menyediakan
keberlangsungan siklus-siklus energi serta siklus air dan
arang (sesuai teori fotosintesa, input fotosintesa dan hukum
thermodinamika III).
Sedangkan jasa alam yang menyusut jumlah dan
ketersediaanya ditafsirkan sebagai kondisi kemampuan alam
yang terputus siklus energi vitalnya untuk kehidupan.
Lenyapnya jasa alam ditafsirkan sebagi kondisi kemampuan
alam yang lenyap siklus energi, air dan arang

Jawa Menuju Kolaps


Krisis merupakan rangkaian sebab-akibat dari berbagai
peristiwa alam dan kegiatan manusia dari waktu ke waktu.
Kejadian, peristiwa, dan kegiatan yang menimbulkan dampak
negatif terhadap warga dan aset-aset kehidupannya, merupakan
rangkaian proses terjadinya krisis. Studi kasus dalam riset ini
menjelaskan terjadinya krisis dan respon warga maupun alam
terhadap dampak negatif krisis. Ditentukan oleh tinggi rendahnya
kemampuan yang dimiliki. Kemampuan warga yang tinggi dalam
berhadapan dengan krisis merupakan prasyarat mempertahankan
eksistensi dan aset kehidupannya.
Proses penyebab terjadinya krisis dibedakan menjadi tiga
kategori: penyebab langsung, penyebab tidak langsung dan faktor
pendorong. Ketiganya bersumber dari peristiwa alam, maupun
kegiatan manusia. Dampak terhadap krisis yang ditimbulkan

23
alam dipengaruhi kegiatan respon warga, negara ataupun pihak
lain. Pengaruh tersebut akan dilihat, apakah menambah parah
dampak atau sebaliknya. Sedangkan dampak krisis yang dipicu
ulah manusia, juga dilihat lebih jauh, apakah diperparah kondisi
alam atau sebaliknya. Ini untuk mengetahui bagaimana pola relasi
manusia dan alam pada saat krisis terjadi. Studi kasus yang dipilih
juga akan menjelaskan, pola relasi manusia dan alam pada saat
terjadinya krisis, hingga jejak ekologi yang ditinggalkan.
Proses krisis dibedakan menjadi dua kategori. Proses yang
bersifat sporadik (tidak teratur dan tiba-tiba) dan krisis yang terjadi
secara berulang (teratur). Kedua kategori krisis akan dilihat dengan
alat ukur yang sama berdasarkan karakter khas krisis, yaitu cepat,
singkat, pendek - dengan rantai krisis yang membesar. Studi
kasus gempa Jogja dan Lapindo akan menguraikan bagaimana
proses krisis terjadi, baik secara sporadik maupun berulang, serta
bagaimana proses rantai krisis yang membesar terjadi.
Dampak atau keadaan akhir krisis terhadap manusia dan alam
merupakan hal penting yang diuraikan studi ini. Kondisi akhir
krisis pada manusia dan alam akan dilihat dengan alat ukur, yang
menunjukkan kemampuan terhadap keberlangsungan kehidupan.
Alat ukur untuk melihat beberapa kemungkinan kondisi akhir
krisis pada manusia dan alam. Pada manusia, kondisi itu
bisa menyebabkan kemiskinan, ketersingkiran dan kematian.
Sedangkan pada alam, kemungkinannya terpulihkan dan tidak
terpulihkan. Ketersediaan atau akses terhadap air, pangan dan
energi merupakan alat baca kondisi akhir krisis baik pada manusia
maupun alam.

Membaca Krisis
Cara membaca krisis yang terjadi di Jawa, diarahkan pada
agregat krisis yang ditetapkan Tim Java Collapse, antara lain: (1)
kebijakan pembangunan berisiko tinggi terhadap manusia dan
alam, (2) kebijakan (budaya) manusia di Jawa menggeser siklus
saling ketergantungan antara manusia dan alam, (3) kebijakan

24
pembangunan yang mengabaikan siklus alam, (4) ketiadaan
informasi siklus alam dan karakter wilayah, (5) ketegangan ekonomi
dan politik elit kekuasaan, mengorbankan rakyat kebanyakan.
a. Kebijakan Pembangunan berisiko tinggi terhadap manusia
dan alam.
Agregat ini dipilih berdasarkan kajian tim melihat
krisis-krisis yang terjadi di Pulau Jawa. Pandangan terhadap
situasi objektif, menunjukkan dominasi sistem kekuasaan
berkontribusi paling besar terhadap krisis yang terjadi.
Kebijakan pembangunan yang berisiko tinggi terhadap
manusia dan alam merupakan salah satu bentuknya. Dampak
besar atas serangkain krisis yang terjadi merupakan akumulasi
dari penerapan kebijakan, yang tidak pernah menghitung
risiko yang ditimbulkan. Baik terhadap keselamatan warga,
maupun aset-aset kehidupannya.
Dalam semua studi kasus yang dipilih, jelas dipaparkan
bagaimana kondisi diatas terjadi. Kebijakan dikatakan
berisiko tinggi, ditetapkan berdasarkan kesesuaian dengan
proses hukum alam yang ada. Kebijakan kekuasaan yang
bertentangan dengan hukum alam akan berisiko tinggi
terhadap keselamatan manusia dan lingkungannya. Besarnya
dampak yang ditimbulkan akibat terjadinya banjir, longsor,
gempa, kecelakaan industri dan kekeringan, merupakan
gambaran nyata kebijakan-kebijakan berisiko tinggi.
b. Kebijakan (budaya) manusia di Jawa menggeser siklus
ketergantungan antara manusia dan alam.
Dampak kebijakan yang menggeser siklus ketergantungan
antara manusia dengan alam merupakan proses panjang
kehidupan warga. Ini berujung pada perubahan tata kuasa dan
konfigurasi elit terkait penguasaan tanah, sumber produksi
dan kekuasaan. Pembangunan-pembangunan yang dilakukan,
secara langsung berakibat pada lenyapnya ruang hidup warga.
Ini kemudian memutus pola relasi antara warga dengan alam

25
sekitarnya, yang sudah berjalan sekian lama. Selanjutnya
fungsi-fungsi alam akan dimanipulasi sesuai kepentingan dan
tujuan impian kesejahteraan penguasa wilayah.
Implikasi lebih panjang, berakibat pada runtuh hingga
lenyapnya modal sosial di kalangan warga (relasi sosial,
kelembagaan, struktur kuasa dan koridor sarana fisik). Proses
ini merupakan awal terciptanya kondisi ketergantungan warga
terhadap institusi diluar diri mereka. Budaya dan tradisi hidup
selaras dengan alam, berubah dan terdegradasi menjadi budaya
dan sikap hidup berorientasi pemenuhan kebutuhan dengan
cara-cara instan.
Peningkatan penduduk di Jawa, karena perkembangan
maupun migrasi dari luar pulau, memicu terjadinya perubahan
budaya. Fenomena tersebut menyebabkan percepatan pe­
rubah­an orientasi konsumsi lebih besar dari produksi. Proses
ini terjadi akibat meningkatnya persaingan mendapatkan akses
terhadap pemenuhan kebutuhan dasar. Sedangkan sumber-
sumber produksi warga telah berkurang, bahkan habis akibat
pengambil-alihan yang dilakukan penguasa, bekerjasama
dengan pemodal. Salah satu bentuk transaksi keduanya adalah
kebijakan. Kebijakan yang bermakna sebaliknya, karena
berujung kepada derita warga. Keselamatan dan produktivitas
warga serta kelangsungan jasa alam tidak menjadi prioritas,
dalam penentuan keluarnya kebijakan tersebut.
c. Kebijakan pembangunan yang mengabaikan siklus alam
Banjir Bandang di Jember, banjir Das Bengawan Solo,
banjir Jakarta, gempa Jogja, tsunami Pangandaran dan letusan
gunung api Galunggung tercatat sebagai beberapa bencana
berdampak besar di Jawa. Dampak yang disebabkan oleh
pengabaian siklus alam setempat dalam proses pembangunan.
Contoh gempa Jogja, 27 Mei 2006. Piyungan, salah satu
kecamatan di kabupaten Bantul merupakan daerah yang
dilalui sesar aktif opak. Proses pembangunan di Kabupaten

26
Bantul justru menjadikan kawasan tersebut kawasan Industri
dan pemukiman. Potensi ancaman gempa dari aktifnya sesar
opak tak pernah menjadi pertimbangan penentu. Ini berarti,
secara sengaja penguasa menempatkan risiko besar di kawasan
itu. Menjadi sebuah kebodohan, ketika ancaman gempa bumi
telah diketahui sebelumnya.
Banjir Jakarta contoh lainnya. Pusat ekonomi dan
infrastruktur penunjang telah dibangun di tengah ancaman
banjir. Akibatnya, dampak menjadi lebih besar saat banjir
terjadi. Dampak diperparah ketika penyelenggara Negara tidak
menyiapkan sistem perlindungan terhadap ancaman banjir.
Informasi yang berkaitan dengan ancaman bencana
merupakan prasyarat dasar sistem perlindungan dari ancaman
bencana. Namun informasi tersebut sangat minim, bahkan
tidak diinformasikan kepada warga yang tinggal di wilayah
dampak. Ini tak terlepas dari informasi karakter wilayah
yang hanya berorientasi dan diprioritaskan untuk melayani
kepentingan korporasi.
Informasi meteorologi selama ini hanya digunakan untuk
keperluan menjamin keamanan dan keselamatan sektor
transportasi daerah-daerah strategis. Informasi geofisika hanya
digunakan untuk keperluan investasi pengerukan mineral dan
migas. Diperparah dengan kebijakan pembangunan yang
lebih berorientasi kepada pertahanan dan keamanan, sehingga
alokasi anggaran darurat lebih diarahkan untuk keperluan
militer.
d. Ketiadaan informasi tentang siklus alam dan kondisi wilayah
setempat.
Informasi mengenai potensi dan karakter wilayah,
merupakan sesuatu yang mendasari pola kehidupan di suatu
kawasan. Informasi wilayah, apabila diperoleh dan dipahami
secara utuh akan mencerminkan bagaimana keseimbangan
atau harmoni alam terjadi. Namun sering kali, informasi

27
yang tersedia hanyalah informasi mengenai potensi yang
menguntungkan untuk kegiatan ekonomi. Kondisi ini
tergambarkan dalam kebijakan pendidikan formal yang
mengepankan pengetahuan tentang potensi keruk wilayah,
dibandingkan risiko dan kerawanan bencana.
Informasi karakter wilayah, seperti geofisika hanya bisa
dibaca dan ditafsirkan oleh orang-orang yang memiliki latar
belakang disiplin terkait. Akibatnya, masyarakat sering kali
tidak mengetahui kondisi wilayahnya. Distribusi informasi
tentang siklus alam dan kondisi setempat, hanya beredar di
kalangan militer dan ilmuwan. Sistem pertahanan negara dan
pengembangan keruk wilayah merupakan prioritas utama dari
penggalian informasi karakter wilayah yang dilakukan negara.
Pada akhirnya, informasi ini menjadi bahan dagangan yang
disuguhkan kepada para investor.
Di sisi lain, pengetahuan masyarakat tentang siklus alam
lebih berorientasi kepada keselamatan produksi. Keselamatan
produksi merupakan prioritas utama untuk bertahan hidup.
Akibatnya, informasi yang berkaitan dengan siklus alam
lainnya tidak dianggap penting. Terbukti pada kejadian gempa
bumi 27 mei 2006 dan tsunami Pangandaran. Sebagian besar
masyarakat wilayah tersebut tidak mengetahui, jika daerah
mereka memunyai potensi gempa dan tsunami.
e. Ketegangan ekonomi-politik elit kekuasaan yang
mengorbankan rakyat kebanyakan.
Penggalangan massa menjelang pemilihan umum
atau peralihan kekuasaan merupakan pesta kekuatan elit
mengedepankan kekuatan derita warga. Berlegitimasi ajakan
untuk menuju kesejahteraan, elit mengundang warga dalam
pentas pesta perebutan kekuasaan. Seribu janji diucapkan,
milyaran rupiah dihamburkan dan derita rakyat kembali dijual.
Begitulah suasana pesta elit menjual derita rakyat, baik melalui
Pemilu ataupun Pilkada.

28
Kesempatan di atas juga ditanggapi gegap gempita oleh
warga ketika terlibat rangkain-rangkaian unjuk kekuatan,
selama proses perebutan kekuasaan berjalan. Keluguan
dan kepolosan warga yang ingin mendapatkan kehidupan
yang bermartabat, merupakan modal utama para pemburu
kekuasaan. Setelah kekuasaan diraih, warga kembali menjadi
objek penderita. Impian kesejeahteraan terwujud, hanya di
kalangan dekat penguasa negara atau wilayah. Sedangkan
rakyat kebanyakan, sama sekali tidak berubah kehidupannya,
tetap miskin dan terpinggirkan.
Struktur kekuasaan dan birokrasi yang koruptif merupakan
jalan impian kesejahteraan bagi para penguasa. Jalan rakyat
untuk memperbaiki kualitas hidupnya tidak pernah dibangun
penguasa negara.
Rakyat harus membangun sendiri jalan menuju kese­
lamatan­nya, di tengah-tengah struktur pengurusan masyarakat
sipil, yang mengandalkan pendekatan kekuatan dan kekuasaan.

Kolaps Pertama Jawa


Kerangka baca krisis Jawa dapat ditinjau dari perspektif
kesejarahan Jawa. Secara garis besar, kesejarahan pembangunan
Jawa dibagi dalam dua periodik, yaitu Kesejarahan Jawa Jilid Satu
dan Jilid Dua. Tim Jawa Collapse mencoba membaca Jawa dari
satu batasan (boundaries), untuk mengisahkan rekam jejak dalam
alur cerita Jawa dari masa ke masa. Proses dan gerak pembangunan
Jawa hingga masa kini.
Batasan periodik waktunya bisa dibagi dalam tujuh periodik
utama dengan merangkum kesejarahan Jawa Jilid Satu dan Jilid
Dua.
Kesejarahan Jawa jilid Satu dipilah tujuh tahapan, yaitu:
zaman VOC (1602 – 1799), zaman perdagangan Islam, zaman
pertarungan raja-raja Jawa, zaman tanam paksa (1849-1830),

29
zaman kebangkitan parastatal Belanda (1907-1850), zaman politik
etis (1919 - 1908), dan Zaman bergerak (1937 - 1920).
Sedangkan Tahapan Kesejarahan Jawa Jilid Dua dipilah dalam
12 tahapan, yaitu: jaman kebangkitan borjuasi pribumi (1938-
1941), zaman saudara tua (1942-1945), zaman perang-perangan
(1946-1948), zaman federalisme (1949-1956), zaman poros
anti-barat (1957-1964), zaman banjir darah (1965-1966), zaman
landasan moneter berbasis utang (1967-1971), zaman keemasan
minyak (1972-1977), zaman keemasan hutan (1978-1984), zaman
keemasan Cendana (1985-1994), zaman keemasan perbankan
(1995-1997), zaman bencana (1998-2006).
Kesejarahan Jawa dapat diuraikan dalam tujuh tahapan
pendekatan untuk membaca alur pikir krisis Jawa. Pertama,
pembangunan Jalan Raya Pos, (1808-1811); kedua, adopsi kreasi
masa kerajaan Daendels (1812-1819); ketiga, sewa tanah (1830-
1870); keempat, babak pertama perlawanan terhadap penjajahan
(1900-1945); kelima, berburu kekuasaan tahap I (1946-1965);
keenam, berburu kekuasaan tahap II (1966-1995); ketujuh,
kekompakan senasib perlawanan semu (2000 -2008).
Beberapa dekade sebelumnya, proses perkembangan Jawa sudah
berlangsung sejak tahun 1680, melalui pemaksaan deforestisasi
untuk penanaman kopi di Priangan (Donner W, 1987: h.62).
Proses itu berlanjut pada tahun 1749, saat pemberlakuan traktat
panjang & traktat pendek terhadap raja-raja Jawa dalam penyerahan
kewenangan wilayah terhadap Belanda (Ong Hok Kam, 2002:
h.159-160).
Belanda mempertegas kedudukannya melalui perusahaan
Belanda bernama VOC (Verenidging Oost- Indische Compagnie).
Masuknya VOC tahun 1602, tapi perusahaan dibubarkan karena
bangkrut dan tak menguntungkan lagi pada 1799.
Pada pola tata kuasa ekonomi terekam bagaimana traktat kerja
sama dengan pengecilan wilayah Mataram oleh Raja Amangkurat I
pada wilayah Pesisir Utara Jawa terhadap VOC. Di sisi lain, VOC

30
dalam menjalankan perdagangannya memberikan kemudahan
khusus untuk menguasai jalur distribusi dan penguasaan hak atas
tanah. Gambaran itu terekam dalam sumbangan upeti Kapitan
China saat berhubungan bisnis dengan kekuasaan, sebagai penawar
tertinggi dalam menyuap pemerintah awal abad 18 (Kano, Soerjo,
Huskens, 2001: h.12).
Rekam jejak dapat dibaca pada wilayah Besuki dan Probolinggo
yang dikuasai kompeni (VOC), melalui perjanjian dengan Paku
Buwana II pada tanggal 11 November 1743. Kontrak ini pada
hakekatnya berisi tentang penyerahan hak kekuasaan yang dimiliki
Paku Buwana II atas tanah-tanah wilayah ujung timur Jawa kepada
VOC (Putri Agus Wijayati, 2001).
Kedua wilayah tersebut, disewakan kembali oleh VOC
kepada tuan tanah Cina Han Boey. Pola penyewaan tanah ini
menggambarkan pelibatan swasta dalam penguasaan tanah,
melalui pajak yang harus disetorkan. Kepemilikan tanah waktu
itu juga mengandaikan tanah di Jawa dimiliki raja atau penguasa.
Negara (baca: Belanda) menganggap tanah adalah milik penguasa
dan rakyat harus menyerahkan upeti (pajak).
Swasta diberikan kemudahan khusus mengumpulkan hasil
bumi dan menjadi perantara dengan penguasa lokal, untuk
mengembangkan hasil bumi dan ekonomi wilayahnya. Pihak swasta
kebanyakan orang-orang Cina dan keluarga Demang (atau penguasa
lokal). Mereka diharuskan menyetor pajak dan upeti kepada Belanda
dengan jumlah tertentu. Akhirnya mereka memeras kembali rakyat
petani dengan segala upeti dan monopoli dagang sepihak.
Gambaran itu mempertegas bagaimana kekuasaan Hindia
Belanda mendapat kompensasi dari kekuasaan Mataram,
sedangkan pertumbuhannya memberikan ruang kepada orang-
orang Cina menjadi mesin penggerak pertumbuhan. Potensi
orang-orang Cina yang santun, penurut, ulet, dan rajin, menjadi
alat mempercepat proses akumulasi kapital dalam tata produksi
dan distribusi. Berabad-abad kemudian, terlihat bagaimana orang

31
Cina memainkan peran distribusi dalam penjualan hasil bumi dan
kepemilikan tanah di Jawa.

Jalan Raya Pos (tahun 1808 – 1811)


Penekanan tulisan ini dimulai dengan pembangunan Jalan
Raya Pos (1808-1811), yang korbannya diperkirakan hampir 12
ribu jiwa meninggal karena kerja paksa. Jalan yang dibangun dalam
3 tahun ini memiliki panjang 1000 Km, membentang dari Anyer
hingga Panarukan (Pramudya Toer, 2005).
Tak ada catatan pasti korban tewas dalam pembangun Jalan
Raya Pos. Mereka meninggal karena kelelahan, penyakit malaria
dan kolera yang ganas. Di Jawa Tengah, bahkan ada Kabupaten
Batang, yang berarti mayat. Merupakan monumen neraka
pembangunan Jalan Raya Pos.
Pembangunan Jalan Raya Pos menggambarkan ambisiusnya
Daendels dengan kekuasaannya untuk eksploitasi penaklukan. Di
sisi lain, juga menggambarkan proses pengembangan infrastruktur
ekonomi dan wilayah kekuasaan. Prinsip kekuasaannya, meng­
optimumkan wilayah jajahan dengan masif dan mengirim
keuntungannya untuk negara asal mereka.
Perpaduan ambisi kekuasaan dan ekonomi, akhirnya mencipta­
kan tata kuasa dengan alat produksinya Pulau Jawa sebagai sebuah
komoditas hasil bumi. Kecerdasan dan keserakahan menjadi
sebuah alat penaklukan yang masif.
Jalan Raya Pos, hingga saat ini menjadi salah satu poros utama
transportasi Pulau Jawa. Pada waktu itu, memegang peran penting
moda transportasi seluruh pulau dan menjadi potret berlanjutnya
cerita pengembangan industri di Pulau Jawa. Oleh karenanya,
dapat dijadikan titik acuan untuk memahami perkembangan Pulau
Jawa dengan proses tumbuh-kembangnya hingga saat ini.
Pola perkembangan Industri di Jawa saat ini, melanjutkan jejak
pembangunan Jalan Raya Pos yang menempati seluruh pesisir
wilayah utara Jawa. Selain secara geografik lebih landai, pesisir
utara Jawa relatif aman dari titik gerak gempa dibanding wilayah

32
Jawa bagian tengah dan selatan.
Basis industri di Cilegon, Tangerang, dan Jakarta menjadi pusat
perkembangan industri berat logam, sektor manufaktur dan sektor
riil. Sedangkan Jawa Tengah terpusat di koridor Semarang, Pati
dan Kudus terus ke timur. Pusat industri di Jawa Timur dapat
dibaca mulai dari pesisir utara yaitu, Tuban, Lamongan, Gresik
dan Surabaya memanjang ke arah Bangkalan, sejalan proses
pembangunan Jembatan Suramadu.
Pembangunan dan perluasan beberapa infrastruktur dalam
koridor kekinian sebenarnya menyempurnakan perluasan Jalan
Raya Pos. Sebagai gambaran: ruas jalan Merak-Jakarta-Bogor,
ruas koridor tol di Cirebon, ruas tol Semarang ke arah barat, dan
rencana pengembangan tol Malang-Surabaya-Gresik-Lamongan
dan Tuban.
Desain ini merupakan kesatuan infrastruktur, ada jalan baru
dengan basis perluasan jalan Raya Pos dan penambahan ruas
jalan baru. Titik perluasan jalan baru dapat dibaca sebagai moda
penyatuan pesisir utara Jawa dengan pembangunan jalan tol, mulai
dari Merak-Jakarta-Cirebon-Semarang-Surabaya terus melaju ke
ujung timur Jawa (Banyuwangi).

Kekuasaan Ala Daendels


Pada era ini, ditandai dengan bangkrutnya pemerintah
Hindia Belanda (1799) yang melemahkan kondisi Pemerintahan.
Hancurnya tata kuasa dan tata produksi, membuat pemerintah
Hindia Belanda berusaha mendapatkan dana cepat. Salah satu
caranya dengan menjual tanah luas kepada pihak swasta.
Penjualan tanah negara pertama kali dimulai pada wilayah
ujung timur – wilayah Besuki, Panarukan dan Probolinggo pada
medio 1810. Ini dilakukan Daendels dengan Han Tjan Pit,
yang sebelumnya menyewa tanah tersebut (Putri Agus Wijayati,
2001. Sistem penjualan tanah sekaligus kekuasaannya, di satu sisi
menguntungkan tuan tanah, di sisi lain menambah beban untuk
petani (rakyat).

33
Pajak tanah merupakan salah satu instrumen pembaharuan
keuangan dalam hubungan antara orang pribumi dengan Eropa.
Sistem Pajak Tanah mulai dikenalkan Raffles tahun 1813. Raffles
memandang sistem pajak tanah tidak hanya membebaskan
penduduk dari perbudakan dan ikatan feodal, tetapi mengubah tata
kuasa sosial antara penguasa lokal dengan masyarakat. Meskipun,
kepentingan keuangan pemerintah Inggris (penjajah) menjadi
tujuan utama. Sistem pajak tanah atau dikenal dengan sistem sewa
tanah.
Negara dipandang sebagai pemilik tanah, sedangkan petani
hanya memiliki hak pakai dan hak garap atas tanah – asumsinya
menyewa dari negara. Persoalannya adalah, banyak rakyat tidak
memiliki uang kontan, tak mampu memenuhi pajaknya dalam
wujud uang. Beban pajak yang berlipat bertambah berat saat
keuntungan swasta diakumulasikan dalam pajak, yang semuanya
dibebankan kepada rakyat.
Sistem pajak, swasta mendapat hak istimewa melalui beberapa
kompensasi yang menguntungkan pemerintah Belanda maupun
swasta. Demang diberi tugas mengumpulkan hasil bumi di
daerahnya dan kemudian dijual dalam lelang umum kepada
pedagang pemborong, untuk diekspor kembali. Negara mengambil
pajak dari pemborong dengan cukai ekspor, walaupun pada
akhirnya dihapuskan pada 1 Juli 1813 (Putri Agus Wijayati, 2001).
Pemajakan kepemilikan tanah dikumpulkan oleh petinggi aris
(pejabat pribumi tingkat desa). Mereka mengumpulkan petani
untuk dikenakan pajak sesuai kepemilikan tanah dan hasil yang
ditanam. Petinggi aris diawasi pejabat kompeni yang berjenjang di
atasnya.
Dalam perkembangannya, Raffles mengubah sistem yang dibuat
sebelumnya. Sistem pajak tanah yang dikuasai orang Cina ditebus
kembali oleh negara. Ia mengeluarkan peraturan, pemilik tanah
mendapatkan sewa tanah perorangan. Sistem kontrak individu
ditetapkan sesuai jenis kepemilikan tanah dan diharapkan dapat
melemahkan hak milik individu atas tanah.
34
Sistem baru itu diterapkan dengan ryotwari atau kontrak
individu seluruh Jawa. Petani langsung dikenakan beban pajak per
individu. Pola sebelumnya pemungutan pajak berbasiskan desa.
Implikasinya, kekuasaan aris di desa melemah dan tingkat struktur
sosial desa menjadi rapuh. Sejalan pola itu, perintah memungut
pajak juga datang dari bekas distrik yang dikuasai orang-orang
Cina, kecuali pajak perorangan.
Dalam beberapa era berikutnya, paska Daendels sampai era
Komisaris Jenderal De Buss, sistem Perpajakan tanah Daendels
tetap dipertahankan, walaupun muncul beberapa perubahan pola
dan sistemnya. Pejabat aris tetap dipakai karena mereka berada
pada penguasaan lingkup lokal dan desa, seperti era sebelum Raffles
menerapkan pajak berbasis individu.
Pemungutan itu diharapkan menambah pundi-pundi pajak,
sekaligus melemahkan fungsi struktur sosial petani, yang berubah
dari basis desa atau distrik menjadi basis individu (keluarga).
Pola baru, berupa pola penyewaan dan penjualan tanah kepada
orang cina secara langsung tanpa perantara, mulai diperkenalkan.
Penguasaan tanah partikelir mulai marak dari hasil penjualan
tanah.
Dampak penyewaan dan penjualan tanah langsung kepada
rakyat adalah mengalirnya uang kepada kelompok masyarakat
langsung. Dampak ikutannya adalah penyewaan ternak dan
lahan sawah turut berkembang. Di sisi lain, penunjukkan pejabat
aris dalam pemungutan pajak di desa juga memperluas jaringan
penyelewengan keuangan yang dikumpulkan, dan pola suap
menyuap tumbuh subur.
Pola penjualan lahan dan penguasaan struktur ekonomi
mengalami banyak perubahan. Tata kuasa pada tingkat menengah
bawah dan akar rumput ditandai dengan sogokan, upeti yang
saling menguntungkan. Pola ekonomi inilah yang menjadikan
Jawa hingga kini, mengalami penyakit kronis tata kuasa dan relasi
ekonomi, yang kita kenal sangat korup.

35
Tanam Paksa
Van Den Bosch mengenalkan pola sistem Tanam Paksa di Pulau
Jawa (1830). Menurutnya, Pulau Jawa sangat menguntungkan dan
produk yang dikembangkan adalah komoditas perkebunan yang
dibutuhkan bangsa Eropa. Itu dianggap sangat menguntungkan
jika produktivitasnya dilakukan masif. Usulan Van Den Bosch
disampaikan kepada Komisaris Jenderal Du Bush, yang berkuasa
saat itu.
Pendekatan tanam paksa era itu juga bertujuan menekan
pengeluaran di tanah jajahan dan melunasi utang yang telah dibuat
sebelumnya. Jenis tanaman yang diwajibkan adalah tebu, dimulai
tahun 1830. Berkembangnya tanaman tebu hampir di seluruh Jawa
dan mulai dikenalkannya penggilingan tebu dan pendirian pabrik
gula di Cirebon tahun 1830, menyusul di beberapa wilayah lainnya.
Pada perkembangan berikut, tanaman wajib tak hanya tebu,
tetapi juga komoditas bernilai di pasaran Eropa (1850) seperti kopi,
cengkeh, kayu manis, kehutanan, karung goni, nila, ternak, nopal,
cochineal, lada, beras, sutera, gula, teh dan tembakau. Komoditas
ini dibutuhkan dan dijadikan pengembangan dari tanaman tebu
pada awal tanam paksa.
Para bupati diberikan kekuasaan turun temurun, luasan
tanah, seperangkat pelayan dan perlengkapan keprajuritan serta
perlindungan khusus. Balasannya, mereka harus memperkenalkan
dan menggalang dukungan bagi penanaman di daerah masing-
masing, melalui mobilisasi rakyat di wilayahnya.
Sistem tanam paksa merupakan klaim atas tanah ketimbang
terhadap tenaga kerja. Banyak orang yang dilibatkan dalam kerja
tanam tidak membayar sewa tanah. Kebutuhan tenaga dibebankan
kepada desa lewat perantara elit supra desa. Peran yang lebih
besar diberikan kepada bupati dan memperkecil intervensi pada
tingkat desa. Sistem tanam paksa merupakan rangkaian akomodasi
setempat dengan kebiasaan dan peraturan-peraturan lokal.
Dampak warisan sistem tanam paksa secara ekonomi

36
adalah pembentukan modal, tenaga kerja murah dan ekonomi
pedesaan. Pembentukan modal tercipta dari penduduk desa yang
menguasai tanah terkena pajak sewa. Sedangkan pengusaha Eropa
(perkebunan besar) memanfaatkan tanah-tanah terlantar yang
belum dibudidayakan dengan menyewa dari pemerintah. Pola
lainnya, perkebunan swasta yang mengadakan kontrak dengan
beberapa pangeran Jawa atas pemakaian tanah apanese mereka di
Vorstelanden.
Tenaga kerja murah terbentuk karena diwajibkan bekerja dalam
66 hari. Apabila bekerja kurang dari waktu tersebut, mereka tidak
mendapatkan upah. Hasil bumi dan tenaga kerja murah menjadi
pengaturan fungsional. Gambaran itu pada akhirnya berlanjut
menjadi cerita-cerita industri di Jawa pada abad selanjutnya.
Tenaga kerja murah dan kepemilikan lahan, menjadi terbatas pada
pengaturan fungsional mengenai hubungan antara pengusaha,
pekerja dan pemerintah (konteks tripartit industri).
Sistem tanam paksa meletakkan hal penting bagi perkembangan
pembangunan Pulau Jawa. Dalam cerita ini, laju kerusakan hutan
dan sistem pertanian yang dimiliki masyarakat dimasifikasi untuk
kepentingan Belanda. Cerita lanjutan pola itu di Jawa dapat dilihat
dari pola penguasaan Perhutani dan PTPN Perkebunan. Konflik
antara Perhutani dan PTPN dengan masyarakat lokal dalam
berbagai skalanya, biasanya terkait dengan klaim atas kepemilikan
tanah dan hasil garapan perkebunannya.
Pada 1870, sistem tanam paksa dibubarkan, terjadi beberapa
perubahan setelahnya. Praktik eksploitasi kolonial menjadi lebih
efektif. Ini juga bagian pokok dari arus sejarah panjang dalam
mengintegrasikan Jawa ke sistem ekonomi pasar. Pada waktu
sama, UU Agraria (Agrarishche Wet) mulai diberlakukan (Zuhdi,
S., 2002: h.xv). Pokok UU Agraria adalah tanah-tanah yang belum
digarap, dapat disewa berdasarkan perjanjian kontrak jangka
panjang, sedangkan tanah-tanah desa yang sudah ditanami dapat
disewa dari desa selama 3 tahun.

37
Paska tanam paksa dan awal abad 19, terjadi penumbuhan
produksi yang tinggi, perluasan areal tanam dan peningkatan
ekspor hasil bumi yang luar biasa. Dominasi bank perkebunan dan
manajemen korporasi semakin menguat dalam dunia perekenomian.
Sebaliknya, tingkat kesejahteraan penduduk pribumi cenderung
stagnan, bahkan menurun. Anomali pertumbuhan makro, yang
tidak mengalir pada cerita kesejahteraan dan keselamatan rakyat.
Cerita konflik tanah dan lahan sebenarnya warisan yang
ditimbulkan sejak era tanam paksa. Perubahan tata sosio politik
dan kultural, ternyata seringkali memunculkan cerita perlawanan
rakyat karena bagian dari derita. Sedangkan keuntungan dan
kekuasaan adalah cerita elit, baik penguasa politik (pejabat politik)
dan penguasa ekonomi (Direksi perhutani dan PTPN). Dari cerita
ini dapat dibaca, mental inlandeer begitu merasuk hingga bawah
sadar.
Mental di mana kekuasaan menjadi alat untuk menindas rakyat
jelata. Sedangkan antar mitra bisnisnya adalah saling menjaga
untuk mendapat kekuatan yang lebih besar dengan menjilat bahkan
cenderung didikte, atas nama kekuasaan dan ekonomi. Rekam
jejak era tanam paksa menegaskan cerita itu dalam masa kekinian.

Perlawanan babak Pertama


Cerita kebangkitan awal pergerakan pribumi, ditandai
terbentuknya kesadaran elit kelas pribumi. Pergerakan yang
lahir dari politik etis (politik balas budi). Tujuan dari politik etis
adalah meningkatkan kesejahteraan hidup kaum pribumi dengan
pendekatan pendidikan (Ricklefs, M.C., 2005: h.320). Pendidikan
melahirkan kaum elit pribumi. Pendekatan ini diharapkan lebih
mudah mengendalikan kekuasaan (Ricklefs, M.C., 2005: h.329).
Dibangunnya sekolah untuk rakyat jelata tahun 1891 (Ricklefs,
M.C., 2005: h.330-331). Pendekatan pendidikan mulai dan
berkembang terus sejalan politik etis. Pada 1912, sudah ada sekitar
2500 sekolah desa. Pada era itu, berdiri Yayasan Kartini di Belanda,
misinya pendidikan untuk perempuan. Surat-surat Kartini berjudul

38
“Habis Gelap terbitlah Terang” juga mereka publikasikan.
Kebangkitan Nasional ditandai lahirnya pergerakan sosial yang
diprakarsai Boedi Oetomo (1908). Tumbuhnya gerakan-gerakan
sosial (ideologis, kelas, agama dan etnik) menjadikan langkah
berhimpun rakyat jelata menjadi satu ikatan yang lebih solid.
Gerakan-gerakan seperti Sarekat Dagang Islam (1911), Nadhatul
Ulama oleh Hadratus Syech Hasyim Asyari dan Muhammadiyah
oleh K.H Ahmad Dahlan (1912), serta gerakan-gerakan lain, yang
memainkan peran dalam pergerakan awal menuju kemerdekaan
Indonesia.
Pada era politik etis, juga mulai diberlakukan transmigrasi
penduduk keluar Jawa (Ricklefs, M.C., 2005: h.320). Kepadatan
penduduk kira-kira 690 jiwa/km2 di Jawa, kebutuhan tenaga kerja
untuk pengembangan perkebunan di luar Jawa, dan peningkatan
kesejahteraan, menjadi alasan Belanda melakukan transmigrasi.
Inilah langkah awal tersingkirnya masyarakat secara paksa, atas
nama kesejahteraan dan pertumbuhan.
Perbaikan infrastruktur pertanian dengan sistem pengairan
teknis untuk meningkatkan hasil pertanian dan perkebunan. Di sisi
lain, mulai terbentuk Perkumpulan Buruh Bumiputera pada 1919
dan melakukan aksi mogok pertamanya menuntut kenaikan upah
(Zuhdi, S., 2002: h.53). Inilah bentuk perlawanan rakyat jelata
pada struktur kuasa.
Tata guna lahan di Jawa sebagian besar diperuntukkan menjadi
sawah pada awal abad 19, dan dikonversi untuk tanaman tebu sebesar
20% (Kano, Soerjo, Huskens, 2001: h.64). Di sisi lain, kepadatan
penduduk mulai meningkat sekitar 700 hingga 1300 jiwa/km2,
meningkat sangat pesat pada 1930. Peningkatan sangat pesat dan
masifikasi tanaman tebu meluas sejak ditemukannya varietas tebu
baru dan unggul. Ini mendorong konversi lahan semakin cepat.
Pada 1929, sekitar 70 persen modal Belanda diinvestasikan di Jawa
dan separuhnya untuk tanaman tebu (Ricklefs, M.C., 2005: h.323).
Sejalan meningkatnya penanaman tebu, makin banyak
pabrik-pabrik gula didirikan, terutama di sekitar basis tanaman
39
Tebu. Perubahan jenis penanaman ini, juga menyuburkan pola
masyarakat yang dekat dengan prostitusi, mabuk dan perjudian.
Rimba kultural yang dekat dengan cerita rakyat jelata.
Ekspansi karet secara besar-besaran di Sumatra, juga
berimplikasi pada pengerahan tenaga kerja besar-besaran dari
Jawa (Thomas, L., 2002: h.213). Pengerahan ini berdampak pada
cerita tata produksi dan tata distribusi. Perkembangan komoditas
dan peningkatan simpul-simpul baru pertumbuhan di Sumatera,
dengan basis perluasan komoditas Karet.
Sekitar 70 persen penduduk Indonesia hidup di Jawa,
menggambarkan bagiamana ketimpangan jumlah penduduk
dengan wilayah lainnya. Desa di Jawa, sekitar 30.500 desa dan pada
akhirnya digabungkan oleh Belanda menjadi 18.584 desa (Ricklefs,
M.C. 2005: h.329). Penggabungan dan pertumbuhan Jawa dan
daerah lain dapat dibaca sebagai penyatuan administratif ruang dan
pergerakan orang dalam mesin pertumbuhan ekonomi. Mesin yang
pada akhirnya menghasilkan kutub-kutub pertumbuhan wilayah.
Pertumbuhan wilayah keresidenan sebagai basis pendekatan
pertumbuhan menjadi cerita yang terus berlanjut pada pendekatan
tata ruang, kisah pembangunan Indonesia. Tata kuasa dan tata
produksi yang terjadi sesungguhnya menguntungkan kuasa modal
dan penguasa. Karena rakyat dipandang sebagai alat produksi,
yaitu tenaga kerja dan disetarakan dengan komoditas sebagai basis
produksi.
Mengenai penguasaan tanah kepada perorangan, pemerintah
hanya menekankan peruntukkannya. Dalam kenyataan,
peruntukkan juga merupakan hasil pemikiran bagaimana membagi
kapling lahan, yang direncanakan oleh pengusaha (baca modal).
Pengaplingan lahan tanaman tebu, sebenarnya paksaan terhadap
keberadaan petani dengan mengikuti keinginan pemerintah, sebab
menguntungkan secara ekonomis.

Kolaps Kedua Jawa


Babak baru konstruksi menuju kolaps Jawa dimulai medio 20

40
tahun setelah Soekarno memplokamirkan kemerdekaan Indonesia.
Setelah masa 10 tahun sebelumnya terjadi pergolakan luar biasa
kekuatan negara-negara Eropa-Amerika dalam berebut kekuasaan
dan dominasi atas berbagai wilayah belahan dunia, termasuk
Indonesia. Negeri ini, selama 200 tahun dikooptasi VOC dan
dilanjutkan 100 tahun berikutnya, melalui cengkeraman langsung
kekuasaan monarki Belanda. Dihisap untuk menunjang kebutuhan
hidup Kerajaan Belanda, mengabaikan cerita keselamatan rakyat.
Pesta perebutan atas kuasa wilayah oleh bangsa Eropa bergeser
kepada kekuatan besar, salah satunya negara Asia yang mengklaim
dirinya sebagai saudara tua, Jepang. Di negara-negara jajahan
Eropa, Jepang dengan mudah mendapatkan simpati warga terjajah
karena menaklukkan kuasa lama.
Berikutnya, kuasa atas wilayah negara jajahan “Indonesia”
dikembangkan Jepang selama kurun tiga tahun. Kebutuhan
mengkonsolidasi wilayah dan mempertahankan kuasanya,
membuat sang penjajah secara masif memaksa warga terjajah.
Tak pelak, kuasa pemerintahan Belanda dan sekutu dagangnya
di berbagai wilayah tergusur dalam waktu singkat. Militer Jepang
dengan segera mengamankan aset tinggalan penguasa lama,
melalui perbaikan infrastruktur dan bahkan melatih tenaga kerja
khusus, melalui pendirian dua sekolah yang melatih tenaga lokal.1
Wilayah pelosok pun tak luput dari pengamanan mereka.
Beberapa bungker militer Jepang, sampai saat ini masih dapat
ditemukan di berbagai titik strategis, mulai pantura Jawa hingga
selatannya. Sebuah bungker di Bajulmati Banyuwangi mudah dilihat
dari tepi jalan raya utama Surabaya-Banyuwangi. Di perkebunan
dan hutan konservasi Meru Betiri Jember dan Banyuwangi, juga
ditemukan bunker-bunker ini. Di Bukittinggi, arsitek militer
Jepang ditunjukkan dengan adanya bungker sepanjang sembilan
kilometer di bawah pusat kota.
Namun, sejarah mencatat peninggalan utama sang ‘saudara
tua’ ini identik dengan kerja paksa “romusha”. Konon, pada
1 WALHI JATIM, Buku Putih Migas – hasil penelusuran Sejarah Migas, 2007
41
masa itu kondisi warga lebih berdarah-darah daripada masa
penjajah sebelumnya. Tidak hanya perih “mendedikasikan” tenaga
memenuhi kebutuhan pembangunan pertahanan wilayah dengan
menjadi pekerja romusha. Bahkan menyediakan tubuh untuk
pemuas nafsu seksual penjajah – jughunianfu, menjadi pilihan tak
terelakkan untuk menghindari kematian.
Artinya, penjajah baru ini memanfaatkan benar situasi infra­
struktur sosial ekonomi budaya, yang telah dibentuk penguasa
sebelumnya. Bahkan meningkatkan frekuensi optimalisasi
“sumber-sumber daya tersedia” (captive resources) dalam waktu
yang relatif singkat masa pendudukannya.
Cerita perlawanan masa pendudukan ini tak banyak rekamnya.
Cukup sulit menemukan perlawanan yang mucul. Kemungkinan
terbesar adalah karena jargon Jepang sebagai ‘Saudara Tua’, yang
sarat pengharapan untuk lepas dari belenggu penguasa Belanda,
memperangah seluruh elemen warga. Meski pada masa-masa
terakhir menjelang 1945 terjadi perlawanan di berbagai wilayah,
namun tata kuasa Jepang sebagai penjajah cenderung tidak
mengalami pergolakan dibanding masa-masa sebelumnya.
Bisa juga dibaca, minimnya perlawanan saat itu akibat
pendekatan Jepang lewat janji memerdekakan Indonesia.
Jepang membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI), dilanjutkan dengan Badan Pelaksana Untuk Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang cukup membuat sibuk
kaum ‘kelas menengah’.
Desain Jepang atas kuasa Indonesia, yang saat ini masih
digunakan adalah tata kuasa struktur warga yang dikelola hingga
kelompok terkecil dalam desa, dikenal sebagai Rukun Tetangga
(RT). Ini dapat dibaca sebagai strategi cerdik luar biasa Jepang
memudahkan membaca wilayah kekuasaannya dan melakukan
kontrol penuh hidup warga. Gaya militerisasi Jepang dengan budaya
penghormatan kepada Dewa Matahari dalam bentuk upacara, juga
masih terjadi hingga kini. Meski tak ada lagi ritualisasi hormat
kepada ‘sang matahari’ dengan membungkukkan diri.
42
Bumi hangus Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika Serikat
sebagai balasan serangan Jepang terhadap pangkalan tentara
Amerika Serikat di Pearl Harbour, menjadi klimaks Perang
Dunia II. Sekaligus sejarah besar ‘kebiadaban’ Amerika Serikat
dalam perang dengan menghabisi dua kota, yang kebanyakan
menjadi pusat perkembangan sipil. Sebuah alur menarik untuk
dilihat sebagai sejarah kooptasi Amerika atas negara-negara dunia,
dengan kenekatan luar biasa.
Dalam masa-masa berikutnya, lewat mencitrakan diri sebagai
penjaga perdamaian dunia, Amerika Serikat melakukan agresi-
agresi ke berbagai negara. Vietnam di tahun 60-an, Iran masa 90-
an, hingga berlanjut tahun 2000-an kepada Irak. Menyerahnya
Jepang kepada Amerika Serikat dan sekutunya menjadi momen bagi
beberapa kelompok terdidik dan kaum muda yang terkonsolidasi
pada tahun-tahun sebelumnya, melakukan deklarasi kemerdekaan
Indonesia. Pada cerita berikutnya tentara rakyat, tentara bekas
KNIL Belanda, dan bentukan Jepang PETA, juga melakukan
pemberontakan dan bersama pejuang melakukan perlucutan
senjata di mana-mana.
Runutan berikutnya, Belanda melalui kekuatan militer sekutu
melakukan ‘agresi’ kembali di wilayah-wilayah jajahannya. Praktis,
trauma penjajahan sepanjang 350 tahun sebelumnya menjadi
pijakan perlawanan yang sama oleh segenap elemen kekuatan
warga. Sejarah mencatat, perlawanan di mana-mana selama
kurun dua hingga tiga tahun berikutnya. Cerita heroik pertahanan
wilayah oleh ‘kaum pribumi’ setidaknya mencatat 4 kejadian utama:
Bandung Lautan Api (Bandung), Palagan Ambarawa (Semarang),
Serangan Umum (Jogjakarta), dan 10 November (Surabaya).
Yang menarik, perihal penyerahan tata kuasa perminyakan
di wilayah Langkat Sumatera Utara oleh pihak sekutu kepada
Indonesia, melalui Jepang. Namun, kuasa Jepang terhadap hasil
produksi masih melekat hingga terjadi kesepakatan-kesepakatan
berikutnya pada 1960, dengan berbagai kompensasi dari pemerintah
Jepang berupa kredit sebesar 8.845.000 yen (US$53 juta) dengan
43
imbalan hasil minyak mentah.2
Meski dalam sepuluh tahun sebelumnya terjadi pergolakan
dalam sistem kuasa perminyakan Indonesia, dengan nasionalisasi
aset-aset bekas kuasa Belanda kepada pemerintah kala itu. Namun
masa darurat, pemerintah melalui Menteri Perindustrian dan
Perdagangan memberikan kuasa kepada Kepala Staff Angkatan
Darat (KSAD) untuk pengelolaan Tambang Minyak Sumatera
Utara. Bahkan, pada tahun 1957 terjadi kesepakatan antara
pemerintah dan militer untuk pengelolaan migas Indonesia dengan
dibentuknya PT. Permina yang dilanjutkan kerjasama dengan
pihak asing.
Cerita Sumatera Utara mungkin saja tidak terjadi, jika sumur
minyak pertama di Maja, Majalengka Jawa Barat yang dibor tahun
1871 oleh seorang pengusaha Belanda Jan Reerink, menghasilkan
minyak. Ini berselisih jarak hanya 12 tahun dari operasionalisasi
sumur minyak Telaga Tiga dan Pangkalan Susu, dekat Pangkalan
Brandan Sumatera Utara pada 1883.3
Kekuasaan distribusi wilayah sektor hutan dan perkebunan pada
masa berikutnya, mengalami pergolakan lebih hebat, catatan sejarah
penuh pertumpahan darah. Pertarungan idiologi kuasa wilayah
yang dipertarungkan oleh elit pemegang kuasa negara, baik di
pemerintahan maupun militer telah memperlihatkan sejarah yang
luar biasa. Soekarno dengan sosialisnya telah melakukan distribusi
kuasa tanah melalui landreform yang termaktub dalam semangat
UU no. 5/1960 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Agraria.
‘Distribusi’ yang berjalan sepertinya mengancam mode
kapitalistik penguasaan wilayah, yang disemangati beberapa
elemen penguasa negara. Terjadilah peristiwa 30 September,
yang hingga saat ini menyisakan ke’tidakadil’an penguasaan tanah
kepada warga negara Indonesia. Berikutnya, konsesi dari kejadian
luar biasa pembantaian massal 1965 merupakan kemudahan-
kemudahan untuk negara-negara Amerika dalam menguasai
2 ibid
3 Ibid, hal 56-57

44
pengelolaan sebuah wilayah.
Hingga tahun 2000-an, militer masih menguasai berbagai
sektor perkebunan di berbagai wilayah. UU Penanaman Modal
Asing (PMA) bisa dilihat sebagai regulasi yang memungkinkan
pihak asing mengelola kekayaan di Indonesia dengan jeminan dari
penguasa administratif negara. Setidaknya ini diawali dengan kuasa
pertambangan Freeport McMoran di Papua, yang dilakukan hanya
beberapa bulan setelah regulasi ini lahir. Meski dalam beberapa
referensi menyatakan telah ada kesepakatan dengan sebuah faksi
dalam tubuh pemerintahan/militer sebelum periode 1965an.
Rejim penguasa berikutnya tidak memberikan ruang sedikit
pun untuk distribusi dan cenderung menganulir tanah-tanah, yang
terlanjur didistribusikan terutama pada wilayah perkebunan di
Jawa. Lahirlah regulasi penguasaan oleh pemerintah pada sektor
kehutanan yang menjamin diteruskannya model jawatan kehutanan
dan perkebunan besar melalui pendirian Perhutani dan Perusahaan
Perkebunan.
Kemudahan-kemudahan pemerintah rejim berikutnya (Suharto
dan militer) dalam masa kuasa 32 tahun mendapatkan dukungan
kredit untuk pembangunan. Ini setidaknya bisa dilihat sebagai
kompensasi diberikannya kuasa bagi asing untuk mengeksploitasi
kekayaan Indonesia dengan kemudahan regulasi dan jaminan
kepastian hukum investasi. Agaknya stabilitas kondisi ekonomi
lokal dan jaminan keamanan menjadi kunci penting investasi
melalui kemudahan ekploitasi jangka panjang.
Dalam waktu relatif singkat, rejim baru mampu meredam krisis
yang dialami warga dengan menciptakan stabilitas harga kebutuhan
pokok. Namun demikian, peran militer dalam menjamin ‘desain
pembangunan’ sebagai transaksi besar dengan elit penguasa
pemerintah telah melahirkan ‘keamanan’ dan ‘kestabilan’ yang
menjamin investasi, pengembangan bisnis dan usaha kapitalis lokal
dan asing. Setidaknya potret dominasi kekuasaan rejim pemerintah,
diciptakan melalui berbagai teror terhadap perlawanan desain

45
pembangunan. Dari sinilah lahir stigmasi ‘PKI’ kependekan Partai
Komunis Indonesia, terhadap kekuatan perlawanan yang muncul.
Perlahan namun pasti pembangunan dalam kemasan ‘PELITA’,
untuk sekali periode kepemimpinan menunjukkan perkembangan
signifikan bagi tata kehidupan di Jawa. Penyediaan infrastruktur
sebagai prasyarat pengembangan menjadi pijakan pemerintah
menggalang utang. Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan IMF
menjadi penyokong utama tersedianya pembiayaan pembangunan,
yang menjadi prasyarat masuknya investasi asing di Indonesia.
Kumpulan negara pemberi utang juga memberikan bantuan
teknis perencananaan pembangunan melalui IGGI. Kemudian
dibubarkan dan berubah menjadi CGI, akibat memberi saran sangat
‘kontroversial’ pada pembangunan waduk Kedungombo.
Dampak utang-utang jangka panjang memang belum
dirasakan pada masa penguasaan rejim Soeharto yang relatif
cukup lama. Namun pengembangan yang penuh penyelewengan
atas utang yang diberikan, mengakibatkan keterpurukan luar
biasa terhadap pembangunan yang dilakukan. Pembangunan
waduk besar Gajahmungkur dan Kedungombo tidak memberikan
dampak signifikan terhadap kesejahteraan energi dan pangan,
seperti yang dijanjikan. Kedungombo dibangun pada 1985, telah
menenggelamkan 37 desa di 3 kabupaten dan menggusur 5.268
keluarga. Ditargetkan mampu mengairi 67 ribu hektar lahan
pertanian dan menghasilkan listrik 22,5 megawatt, hanya bertahan
dalam waktu relatif singkat. Tahun 2007, 500 juta meter kubik air
yang mestinya bisa ditampung, hanya 40 persen saja bisa terpenuhi.4
Cerita ini tidak beda dengan kejadian banjir sepanjang DAS
Bengawan Solo, yang berlangsung akhir 2007 hingga awal 2008,
selama lebih 4 bulan. Gajahmungkur pada wilayah hulu sungai,
hanya mampu menampung 25 persen air luput dari jumlah hitung
dikreasikan. Tak pelak pertumbuhan ekonomi yang menjadi dasar
hitungan, menimbulkan dampak kehancuran luar biasa ketika
tidak berhitung faktor keselamatan rakyat.
4 WALHI JATENG, Factsheet Climate Change, 2007
46
Proyek-proyek atas nama pembangunan yang berasal dari
dana utang sarat penyelewengan, mengalami masa ‘pencerahan’
dengan beban utang yang mesti dikembalikan. Rakyat yang mesti
menanggung akibatnya. Alokasi dana APBN dipakai membayar
utang, selanjutnya negara melakukan pemotongan-pemotongan
kewajibannya mensejahterakan warganya.
Penguasaan aset kekayaan sumber daya oleh sebagian elit
kekuasaan tak pelak mengakibatkan krisis berkepanjangan sejak
1997. Sektor perbankan yang banyak mengalami jatuh tempo
utang, membuat negara memberikan ‘talangan’ yang muasalnya juga
utang. Hasilnya, perbaikan sektor perbankan Bantuan Likuiditas
Bank Indonesia (BLBI) banyak diselewengkan. Pada akhirnya
menjadi beban utang baru yang mesti dipikul seluruh warga negara.
Sebuah cerita konyol, saat penyelewengan dilakukan, hukum
malah ditegakkan dengan memberikan berbagai kelonggaran, tiada
banding dengan derita rakyat yang berkepanjangan.
Kisah krisis ekonomi 1995 keatas, juga dimaknai dengan
penyelesaian melalui berbagai bantuan, yang sarat penyelewengan
hingga cerita penyelesaian, merupakan keniscayaan jika perilaku
dan sindikat penyeleweng masih menguasai sistem pemerintahan.
Tak terhitung cerita kebobrokan lain yang terjadi. Bencana
yang mengalami peningkatan akumulasi kejadian merupakan
jawaban dari desain pembangunan yang begitu bobrok. Satu hal
yang selalu disisakan adalah derita rakyat berkepanjangan. Sejak
1990-an cerita perlawanan mulai terjadi sebagai akibat ke’semu’an
desain pembangunan yang tak menghasilkan kesejahteraan.

47
Bagian 4

Dari Daendels ke Lapindo

Mengapa Jalan Raya Pos Daendels

C erita tentang perubahan infrastruktur baik fisik maupun non


fisik di tanah Jawa bisa jadi dimulai ketika VOC (Verenigde
Oostindische Compagnie) didirikan 20 Maret 1602, melalui parlemen
Belanda. VOC diberi hak monopoli dan kegiatan kolonial di wilayah
Hindia Belanda, yang bermarkas di Batavia. Dalam menjalankan
monopoli perdagangan, VOC mempraktikkan cara-cara terpimpin
dan eksploitatif. Memperkaya perusahaan dagang tersebut untuk
kepentingan Belanda. VOC yang berjaya dan berkuasa atas sumber
daya alam Hindia Belanda, dinyatakan bangkrut tahun 1799.
Hindia Belanda sebutan Indonesia, negara jajahan waktu itu,
dijalankan secara eksploitatif dan terpimpin. Adalah Gubernur
Jenderal Belanda di Hindia Belanda Daendels, yang memulai
praktik ekploitatif dan terpimpin dalam memuluskan kepentingan
kolonialisme. Daendels pengganti Gubernur Jedral Albertus Wiese.
Tugas utamanya melindungi Pulau Jawa dari serangan tentara
Inggris, karena merupakan satu-satunya wilayah yang belum jatuh
ke tangan Inggris. Dalam agendanya, Daendels membangun
infrastruktur pedukung ketahanan Jawa dari ancaman. Rumah sakit,
tangsi militer, sekolah militer, gudang senjata dan pembangunan
benteng seperti di Meester Cornelis (Jatinegara) dan Lodewijk di
Surabaya. Salah satunya yang terkenal Jalan Raya Pos1.
Jalan raya Pos merupakan proyek raksasa pembuatan jalan yang
melibatkan jutaan warga Jawa. Motif awalnya, sebagai pertahanan

1 Baca : Jalan Raya Pos, Jalan Daendels;Pramoedya Ananta Toer,2005

48
melawan invasi Ingris, tapi tak dapat dipungkiri, ada motif lain,
yaitu memudahkan mobilisasi barang untuk kepentingan ekonomi.
Tahun-tahun sebelum Daendels berkuasa, proses ekonomi
bergantung pada perlayaran yang memakan waktu lama dan risiko
perdagangan tinggi. Proyek pembanguan raksasa ini bisa disebut
sebagai proyek bergaya Napoleon2. Tak heran ketika Daendels
disambut sendiri oleh Napoleon di Istana Tuiliries dengan
permadani merah, ketika diminta untuk memimpin pasukan di
kesatuan Wurtemberg dan terlibat dalam penyerbuan ke Rusia
pada tanggal 22 Juni 18123.
Pembangunan jalan raya pos, disebut sebagai penanda
percepatan pra abad kedua puluh karena dibangun hanya dalam
waktu 3 tahun, antara tahun 1808-1811 yang menembus jalur
utama pesisir utara Pulau Jawa, dari Anyer di wilayah barat Jawa dan
Panarukan di wilayah timur Pulau Jawa4. Betapa tidak, mobilisasi
massa secara massif selama tiga tahun, mampu menyelesaikan Jalan
Raya Pos sepanjang sekitar 1000 km. Setiap penguasa pribumi
lokal diwajibkan memobilisasi rakyat. Yang gagal, termasuk para
pekerjanya, dibunuh. Kepala mereka digantung di pucuk-pucuk
pepohonan di kiri-kanan ruas jalan. Ribuan warga menjadi korban
ambisi Daendels ini.
Di daerah Cadas Pangeran, sebagai jalur yang menghubungkan
Bandung-Semarang, pembuatan jalan diperkirakan memakan
korban lebih 5000 orang mati akibat penyakit dan kelaparan. Korban
meningkat juga disebabkan beratnya pekerjaan yang dipikul. Cadas
Pangeran merupakan daerah karang yang sulit di tembus. Walau
angka-angka korban di daerah ini tak pernah dilaporkan. Mudah
diduga, betapa banyaknya warga korban kematian, yang menjadi
makanan empuk malaria ganas5.
Praktek pembangunan ala Daendels terus berlangsung, dan
2 Adalah seorang jendral Prancis pada abad ke 19 yang melakukan invasi secara
massif ke seluruh daratan Eropa.
3 http://id.wikipedia.org/wiki/Jalan_Raya_Pos
4 Baca Engineers of Happy Land;Rudolf Mrazek;2006,hal 8
5 Baca : Jalan Raya Pos, Jalan Daendels ;Pramoedya Ananta Toer,2005, hal 29

49
menjadi acuan proses industrialsasi Jawa di abad-abad selanjutnya.
Bahkan, saat ini Jalan Raya Pos adalah proyek infrastruktur skala
raksasa pertama di Jawa, yang memberi dampak lanjutan kepada
model-model pengembangan wilayah selanjutnya.

Mengapa Sampah Bandung


Bandung, salah satu kota besar, yang terletak di dataran tinggi,
dan dijadikan pusat pemerintahan Jawa Barat. Inilah keunikan
tersendirinya dibanding kota besar lainnya di Indonesia. Jika dilihat
aspek historis, Bandung merupakan wilayah dengan banyak kisah
yang pantas dibincangkan. Pada masa kolonial Belanda, Bandung
merupakan wilayah perkebunan dan tempat pembuangan tahanan
Belanda. Selanjutnya, kota di tengah cekungan Bandung ini
memiliki kisah yang akan dikenang baik, terutama monumental
sejarah perjuangannya, baik nasional maupun internasional.
Perubahan tata kuasa paling monumental adalah ketika ibu
kota Karapiyak, Dayeuh Kolot sebagai kota utama, dipindah
Daendels ke Bandung. Perubahan ini berkembang menurut
kepentingan kolonialis, menempatkan kota Bandung sebagai Parij
Van Java. Disebut demikian karena kondisi bentang alam dan gaya
hidupnya bisa disamakan dengan kota Paris di Eropa. Pemerintah
Hindia Belanda bahkan berniat menjadikan Bandung Kolonial-
Stad, Kota Taman. Bandung juga sempat direncanakan menjadi
ibukota nusantara. Sampai sejauh ini, kajian ilmiah kesejarahan
menunjukkan, hanya rencana pertama dari tiga ide pengembangan
tersebut yang berhasil diwujudkan. Ide lainnya lenyap begitu saja.
Perkembangan kota yang cukup signifikan, pada abad berikutnya
memberi dampak yang luar biasa pada tata konsumsi warga.
Perombakan tata konsumsi, akibat pembangunan yang terfokus
pada kondisi yang serba menguntungkan bagi kuasa modal dan
kuasa wilayah, meletakkan resiko besar bagi warga.
Pembangunan yang sangat mementingkan pertumbuhan
ekonomi membuat perencanaan wilayah melenceng dari konsep
awal. Kini, Bandung menjadi kota serba terbuka dan serakah. Kini

50
menjadi pusat pemerintahan Jawa Barat, pusat perdagangan lokal
dan regional, pusat pendidikan dan pengetahuan, pusat kebudayaan
dan sejarah. Ditambah kota wisata belanja dan pariwisata. Dan ini
harus dibayar mahal penduduk kota.
Peristiwa paling merusak citra Bandung sebagai kota mode
adalah saat longsor sampah di Tempat Pembuangan akhir (TPA)
Leuwigajah pada 21 Februari 2005. Korbannya ratusan jiwa.
Tumpukan sampah keseharian manusia, memang tak masuk
hitungan perencanaan wilayah. Sampah tak pernah dihitung
sebagai keluaran tak terhindarkan proses industrialisasi perkotaan.
Kasus longsor ini memberikan kejut terapi bagi pengurus wilayah.
Ada dua alasan mengapa sampah merusak citra Bandung.
Pertama, Bandung adalah trend-setter gaya hidup perkotaan
Indonesia. Kedua, pada saat sampah domestik perkotaan tak
tertangani, saat itu industri gaya-hidup di sana sedang di puncak
kejayaannya. Ini ditandai menjamurnya factory outlet dan distro.
Celakanya, sebuah agenda regional pertemuan Asia Afrika akan
diselenggarakan seminggu setelah longsor terjadi.

Mengapa Betawi?
Jakarta, sebuah nama yang memiliki arti penting bagi rakyat
Indonesia. Selain menjadi pusat kekuasaan negeri ini, Jakarta
memberi daya tarik tersendiri bagi warga pedesaan datang mengadu
nasib. Maket kehidupan modern sebuah bangsa ditampilkan di
kota yang sering dilanda banjir tahunan tapi terus dipakai sebagai
parameter pertumbuhan Indonesia saat ini. Jakarta tumbuh dengan
sendiriya meninggalkan kota besar lainnya di Indonesia.
Sejarah perkembangan Jakarta sebagai pusat kekuasaan terjadi
sejak zaman kolonial. Waktu itu bernama Batavia, menjadi pusat
kekuasaan Belanda selama tiga abad menguasai Indonesia. Meski
ibu kota negara sempat pindah ke Jogja selama masa perjuangan
dan kemerdekaan, namun setelah kondisi politik membaik pusat
kekuasaan kembali ke Jakarta.
Dibalik kemegahan pembangunan, kota Jakarta meninggalkan

51
kisah yang kompleks terhadap kehidupan warga, khususnya
masyarakat asli Betawi. Gempuran budaya akibat tingginya
urbanisasi membuat masyarakat Betawi kehilangan jatidiri dan
identitas. Perubahan besar percampuran budaya ini ditandai
mobilisasi budaya Indonesia ke ibu kota negara. Pemerintahan
Soeharto dengan konsep developmentalism, mengkonsentrasikan
aneka ragam budaya bangsa ke kota ini. Jejaknya dapat dilihat di
Taman Mini Indonesia Indah.
Konsentrasi budaya pada satu titik tentu akan memberikan
dampak bagi budaya yang sudah ada. Akulturasi dan asimilasi
budaya, juga percampuran genetik telah menghilangkan jejak
masyarakat Betawi. Pembangunan Jakarta membuat kondisi
dan ruang masyarakat Betawi menyempit. Penguasaan mereka
terhadap alat produksi, tidak menjamin mereka bertahan hidup.
Alih fungsi alat produksi mengakibatkan perubahan tata kuasa
lahan. Sementara, ketidakmampuan mengelola tanah menjadi
sumber penghidupan adalah alasan lain mempertahankan
eksistensi. Lemahnya ikatan tenurial, dalam komunitas Betawi
telah meminggirkan mereka dari pusat kota, seperti Kuningan
Jakarta ke daerah-daerah pinggiran seperti Bojong gede,Depok

Mengapa Gempa Yogya


Pulau Jawa memiliki potensi dan kerentanan terhadap gempa.
Infromasi ini dengan mudah ditemukan dalam berbagai literatur
geologi. Ia berada di pertemuan lempeng eurasia dan indo–australia
sepanjang pesisir selatan Jawa (samudra hindia). Potensi besar
bencana yang berada di depan mata. Sejak 1867-2006, beberapa kali
terjadi gempa di pulau Jawa. Gempa bumi DIY dan Jawa Tengah
yang terjadi 27 Mei 2006 dapat dikategorikan gempa berskala dan
daya rusak besar. Menimbulkan korban terbanyak dalam sejarah
bencana gempa bumi Indonesia, korbanya 5930 meninggal.
Gempa bumi di DIY dan Jawa Tengah luput dari pengamatan
para ahli dan pengurus wilayah. Kurangnya pemetaan komprehensif
terhadap pengamatan daerah bencana menyebabkan besarnya

52
jumlah korban yang meninggal. Padahal peristiwa gempa terjadi tak
lama setelah bencana tsunami Aceh, Desember 2004. Korban yang
begitu besar merupakan bukti pengurus negara tidak mau belajar
dari pengalaman bencana tsunami. Kesigapan (responsiveness) dan
efektifitas penanganan bencana, sama sekali tidak terlihat dalam
penanganan paska gempa.
Ketidaksiapsiagaan pengurus wilayah dan ketidakmampuan
menangani bencana, seolah bertolak belakang dengan upaya warga
korban. Menanggapi kondisi paska gempa, warga justru lebih sigap
mengurus keselamatannya secara mandiri. Jaminan keamanan
keluarga dan keselamatan aset yang tersisa, yang tidak mampu
dijaga pengurus wilayah, diambil perannya oleh warga korban.
Jaminan yang semestinya diberikan negara ketika posisi warga
adalah korban.
Penanganan bencana yang mengandalkan solidaritas sesama
warga dan kerabat, jauh lebih efektif dibanding sistem yang dibuat
dan dilaksanakan negara serta lembaga-lembaga internasional.
Buktinya, banyak masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya, yang tidak
terkena dampak gempa, datang berbondong-bondong membantu.
Mereka membawa barang dan alat untuk membantu korban gempa
membersihkan puing-puing bangunan, membuat tempat tinggal
sementara, membuka akses jalan, sampai merobohkan bangunan-
bangunan yang rusak berat.
Yogyakarta salah satu tonggak penting industri pariwisata dan
pendidikan. Namun ternyata tidak melengkapi dirinya dengan
cara-pikir, cara-tindak serta instrumen merespon bencana. Itu
terlihat di daerah piyungan, salah satu daerah rusak parah dan
dilalui sesar aktif (sesar opak). Dalam tata ruang kabupaten Bantul,
wilayah yang sebelumnya sebagai kawasan pemukiman malah
menjadi kawasan industri, yang dapat menimbulkan korban lebih
banyak saat terjadi gempa.

53
Mengapa Lapindo?
Hari Senin bisa jadi awal untuk segala kegiatan, tapi tidak bagi
warga yang bermukin di Sidoarjo. Senin 29 Mei 2006 merupakan
sejarah tak terlupakan bagi warga Sidoarjo khususnya. Kabupaten
Sidoarjo memiliki 18 Kecamatan dengan luas wilayah 71.424,25
Ha. Wilayah ini berbatasan sebelah utara dengan Surabaya dan
Kabupaten Gresik, di sebelah barat dengan Mojokerto, Pasuruan
di selatan, dan selat Madura di bagian timur.
Adalah perusahaan kontraktor bagi hasil (KPS) yang di
wakili BP Kangean, Lapindo Brantas, dan Kodeco Energi yang
melakukan eksplorasi migas. Masing-masing memproduksi gas
sebanyak 175 MMSCFD, 48 MMSCFD, dan 80 MMSCFD6.
Kegiatan pengeboran di kawasan potensi besar dan sangat kaya
minyak ini mengalami kegagalan sistem. Akibatnya fatal terhadap
kelangsungan hidup warga Porong. Ribuan kubik lumpur panas
menutup sebagian besar kecamatan di Sidoarjo, terutama Porong.
Sampai saat ini, belum ada kepastian kapan luapan lumpur itu
dapat dihentikan.
Sayangnya, kondisi tanpa kepastian itu justru tak membuat
warga korban bereaksi marah dan melakukan perlawanan yang
kuat dan masif. Reaksi yang alamiah harusnya muncul, apalagi
semburan lumpur terus mengancam kehidupan mereka. Logika
umum, ketika keselamatan dan produktivitas diganggu, warga
akan melakukan perlawanan. Misalnya karena penggusuran dan
perampasan tanah petani.
Kenyataan ini makin pahit, saat warga sekitar yang tak terkena
dampak semburan lumpur hanya memberikan empati kasihan.
Tidak ada bedanya dengan warga yang tinggal di luar pulau Jawa.
Rasa marah dan solidaritas tinggi ini, seolah tak sebanding jika
dihadapkan pada peristiwa-peristiwa olah raga. Heroisme dan
fanatisme wilayah dalam mendukung klub sepakpola dipentas liga
nasional, sama sekali tak muncul dalam solidaritas warga Porong di
Sidorarjo.
6 Potret Eksploitasi Gas Bumi Jatim, JATAM 2005
54
Bencana lumpur Lapindo potret nyata kebobrokan pengurus
Negara. Ekstraksi migas dilakukan di tengah permukiman
penduduk. Tanpa kalkulasi risiko yang akan ditimbulkan akibat
kegiatan tersebut. Mengejar investasi semata, tanpa memperdulikan
keselamatan warga dan keberlangsungan ekologi menjadi ciri khas
bangsa ini. Semoga saja masih ada waktu untuk belajar.

55
Bagian 5

Jalan Raya Pos:


Daendelisme dalam Industrialisasi Jawa

P ada masanya, Jalan Raya Pos atau Jalan Raya Daendels, atau
Jalan Raya Anyer-Panarukan, merupakan salah satu poros
utama transportasi Pulau Jawa. Jalan raya pos memegang peranan
penting bagi perkembangan pulau Jawa hingga hampir dua abad.
Meski perannya mulai tergantikan dengan ratusan kilometer
jalan tol di beberapa ruas seperti: Merak-Jakarta-Bogor, Jakarta-
Cikampek-Bandung-Cileunyi, Semarang, Gresik, Surabaya.
Namun tetap saja Jalan Raya Pos menjadi semacam garis bantu
sketsa, yang mendorong perkembangan seluruh cerita infrastruktur
transportasi di Jawa dalam empat dekade terakhir.
Pembangunan Jalan Raya Pos merupakan tonggak penting
sejarah industrialisasi dan perdagangan kepulauan Indonesia,
khususnya Jawa. Ketika Jalan Raya Pos dibangun, bangsa Eropa
saling bersaing satu dengan lainnya dalam menguasai perdagangan
dunia. Persaingan ini hanya memiliki satu tujuan yaitu monopoli.
Semua hal dilakukan, misalnya saling meniadakan satu sama
lain lewat peperangan, baik negara dan kongsi dagang, maupun
menggunakan segala kreatifitas demi memenangkan persaingan.
Demi memperoleh akumulasi keuntungan berkelanjutan,
strategi mempertahankan dan memperluas pasokan menjadi
hal penting. Semua tindakan dan keputusan yang dikeluarkan
Daendels selama tiga tahun di republik kepulauan ini adalah
tindakan sadar dan sistematik. Bukan berupa respon survival
seperti yang dialami VOC (Verenidging Oost-Indische Compagnie)

56
di abad-abad sebelumnya.
Bila dibandingkan, tindakan Daendels jauh lebih teren­
cana daripada niat dagang tradisionil ala VOC. Daendels
mengintegrasikan kepentingan-kepentingan dagang, industri,
pertahanan, dan administrasi pemerintahan sekaligus. Dampak
yang dihasilkan pun luar biasa, dibanding yang pernah dibuat
VOC dalam 200 tahun!
Konteks kontemporer dengan ambisi serupa Daendels dan para
Gubernur Jenderal Hindia Belanda adalah pembangunan ruas
jalan tol sepanjang 1000 km, di awal pemerintahan Letjen (Purn)
Soesilo Bambang Yudhoyono.
Kongsi Dagang Belanda di Hindia Timur (VOC) menaklukan
dan menguasai sebagian Jawa sebagai tanggapan terhadap
gangguan-gangguan perdagangan yang dilancarkan penguasa lokal.
Keterlibatan VOC dalam percaturan politik Jawa, secara alamiah
merupakan upaya bertahan dalam memenangkan monopoli
perdagangan (Clive Day:1904). Jatuhnya wilayah Priangan, pesisir
utara Jawa, dan pesisir timur Jawa merupakan satu proses transaksi
politik elit lokal dan Belanda, baik lewat diplomasi, intrik, maupun
peperangan.
Ada hal yang unik dari cerita Jalan Raya Pos – sang garis bantu
transportasi Jawa. Yaitu, adanya puji-pujian sekaligus hujatan.
Dalam berbagai rujukan sejarah, jalan parakarsa Daendles selalu
digambarkan sebagai kisah buruk bertinta darah. Pengorbanan
12 ribu kuli kerja paksa yang dikerahkan untuk membuat Jalan
Raya Pos dan selalu digaris bawahi dalam setiap risalah tentang
Daendels. Meskipun begitu, para pengurus republik kepulauan ini,
bahkan warga negara kebanyakan pun merasa amat terbantu. Jalan
Raya Pos dikembangkan sebagai jalur utama transportasi di Jawa.
Bahkan proyek skala raksasa ini pun ditiru untuk mengembangkan
ruas jalan di belahan pulau lain. Hal ini mempercepat perpindahan
manusia dan barang antar wilayah sekaligus membuat Pulau Jawa
menjadi pulau terpadat di dunia.

57
Tulisan ini, mencoba mengetengahkan perubahan-perubahan
yang didorong oleh munculnya Jalan Raya Pos. Diantaranya adalah
peran jalan raya ini dalam perubahan-perubahan ekologis, sosial,
dan politik demi pertumbuhan ekonomi pada abad ke 19. Ongkos
sosial yang tercipta dari perubahan-perubahan tersebut di pelbagai
bagian pulau Jawa. Terpenting adalah upaya kesatuan wilayah-
wilayah berdaulat mencoba bertahan hidup dalam perubahan-
perubahan tersebut.
Perkembangan lanjut dari Jalan Raya Pos tak lebih dan tak
bukan meneruskan ambisi Daendels. Pengembangan emporium
bisnisnya harus dibayar dengan ongkos-ongkos yang ditanggung
rakyat. Di zaman Daendels dan para penerusnya, kapitalisme
menemukan ruang ekspresi kreatif-destruktif. Perombakan sistem
kehidupan besar-besaran, ditambah perubahan infrastruktur
raksasa yang mendorong percepatan pengerukan kekayaan tanah
Jawa, dan perubahan-perubahan berbiaya tinggi.

Letak Jalan Raya Pos


Dalam bukunya Jalan Raya Pos, Pramoedya menuturkan
Daendels sama sekali tak membuat jalan baru dari Anyer ke
Panarukan. Daendels hanya memerintahkan pelebaran dan
pengerasan jalan hingga 7 meter. Sebagian besar jalan Anyer
Panarukan telah ada, jauh sebelum Daendels tiba di Jawa, 5 Januari
1808.
Tak banyak catatan yang bisa ditemukan mengenai siapa yang
membangun jalan penghubung pelabuhan-pelabuhan di pantai
utara Jawa. Meskipun jalur tersebut bukan jalur perdagangan
maupun jalur militer utama. Ekspedisi kerajaan-kerajaan di Jawa
mulai dari zaman Majapahit hingga VOC tiba, menggunakan
jalan tersebut untuk mengerahkan pasukan maupun berdagang
(Raffles, 1811). Dalam beberapa catatan, jalur darat juga menjadi
sarana meraih akses kayu di hutan-hutan untuk pembangunan
kapal-kapal, perumahan, dan pembukaan wilayah pesawahan padi.

58
Karena kondisi geografis yang landai dan laut lebih tenang,
pantai utara Jawa pun menjadi wilayah paling sibuk. Pelabuhan-
pelabuhan di pantai utara Jawa menjadi pintu gerbang arus keluar
masuk Jawa dari dulu hingga saat ini. Sejarah telah mencatat
tumbuh dan tenggelamnya pelabuhan-pelabuhan penting di
Jawa seperti: Banten, Sunda Kelapa, Cirebon, Semarang, Tegal,
Semarang, Demak, Jepara, Tuban, Gresik, dan Surabaya.
Jalan Raya berawal dari Anyer, pusat kesultanan Banten lama
dan berakhir di Panarukan, satu daerah di sebelah selatan Surabaya.
Itulah alasan mendapat julukan Jalan Raya Anyer-Panarukan.
Ketika Daendels membangun Jalan Raya Pos, rute utama justru
tak mengikuti garis pantai. Dari Batavia, Jalan Raya Pos berbelok
ke arah selatan, ke arah Pasar Minggu menuju Bogor (Buitenzorg),
terus ke arah Ciawi, Puncak, Cianjur hingga Bandung.
Dari Bandung, Daendels memerintahkan jalan raya diteruskan
menembus pegunungan di daerah Sumedang hingga Cirebon.
Dari sini, pembangunan Jalan Raya Pos konsisten mengikuti garis
Pantai, menghubungkan pelabuhan-pelabuhan di pantai utara
Jawa.
Namun, sebagai infrastruktur utama Pulau Jawa, Daendels
tidak hanya berpikir untuk sebuah jalur di utara Pulau Jawa. Tapi
juga perlunya sarana jalan ke daerah pedalaman. Menuju pusat-
pusat kerajaan Mataram yang sama kaya dengan pantai utara.
Menggantikan arah aliran barang yang dulunya diangkut melalui
sungai-sungai besar seperti Bengawan Solo, Brantas, Serang,
Kalimas, dan Cimanuk yang menjadi jalur keluar masuk barang
dan manusia (Pratiwo: 2002, Raffles: 1818).
Jalur ke pedalaman sudah ada sejak lama. Bahkan menjadi jalur
utama kerajaan-kerajaan di Jawa, umumnya berpusat di pedalaman.
Salah satu yang cukup terkenal adalah jalan raya Mataram, yang
menghubungkan pusat kerajaan Mataram ke Demak dan Jepara
melalui Salatiga.

59
Persaingan Dagang ke Peperangan
Jawa adalah laboratorium raksasa emporium bisnis kerajaan
Belanda, sekaligus pabrik komoditas-komoditas dagang paling
laris. Seperti gula, kopi, teh, nila, dan tembakau pada abad ke 19.
Untuk menghasilkan keuntungan berlimpah dari perdagangan
dan industri, terdapat sejumlah kata kunci yang tidak bisa
dihilangkan. Yaitu: efisiensi, ketersediaan pasokan bahan dan
tenaga kerja, serta pasar. Sejarah menunjukkan seluruh revolusi
perdagangan dan industri adalah upaya meningkatkan efisiensi,
mempertahankan pasokan bahan dan tenaga kerja di seluruh mata
rantai industri, sambil terus mempertahankan dan memperluas
pasar.
Hal ini membutuhkan dukungan pranata sosial. Emporium
bisnis manapun, amat memahami hal ini. Maka tak bisa dipungkiri,
hingga saat ini, kebutuhan upaya dagang seringkali dilengkapi
kekuatan politik dan militer. Tak heran, di akhir abad pertengahan,
seluruh armada dagang Eropa diperlengkapi kekuatan militer.
Sejak zaman VOC, efisiensi dan ketersediaan pasokan merupa­
kan masalah utama yang harus diselesaikan demi memenangkan
persaingan dagang diantara bangsa-bangsa Eropa maupun
kerajaan-kerajaan pribumi di kepulauan nusantara.
Tetapi, Jawa begitu seksi. Letaknya yang strategis serta
kesuburan tanahnya yang luar biasa, membuat VOC bukan hanya
membuka pos perantara dan gudang di Pulau Jawa. VOC bahkan
memindahkan konsentrasi dagangnya dari Kepulauan Maluku ke
Pulau Jawa.
Setelah mengobrak-abrik Maluku dan sukses memonopoli
perdagangan di belahan timur nusantara itu, VOC mulai merambah
Pulau Jawa. Kesuburan dan hasil bumi rempah-rempah Jawa jauh
lebih produktif dibanding Kepulauan Maluku (Raffles: Stockdale).
Selain itu, kondisi politik Jawa di abad ke 17 cukup
menguntungkan bagi pihak yang ingin menguasai perdagangan
Pulau Jawa. Sengketa para raja mulai dari Banten hingga Blam­

60
bangan melawan Mataram, tengah berlangsung. Peperangan
terjadi di mana-mana, berebut pengaruh atas sisa-sisa kejayaan
Majapahit.
Pada awalnya, VOC tidak memiliki kebijakan atau keinginan
untuk ikut campur dalam sengketa elit kerajaan-kerajaan itu. Tapi
demi mempertahankan pasokan dan monopoli perdagangan, mau
tidak mau, VOC menggunakan kekuatannya dan terlibat dalam
gonjang-ganjing politik Jawa.
Sengketa berkepanjangan dan peperangan antar kerajaan di
Jawa, dimanfaatkan VOC menaklukan Jaya Katra (atau Jakatra)
dari tangan Kesultanan Cirebon (1527). De Graaf mencatat,
sepanjang dua abad, kerajaan-kerajaan di Jawa sungguh diobok-
obok oleh kepentingan dagang Eropa. Sekaligus ambisi para elit
kuasa hampir di seluruh bagian Jawa, bahkan hingga Madura dan
Bali.
Sir Thomas Stamford Raffles mencatat dalam dua abad, bahkan
hingga kedatangan kongsi dagang Eropa, Pulau Jawa diperintah
oleh banyak kesultanan/kerajaan yang saling serang satu sama
lain. Ketika Portugis mengunjungi Pulau Jawa awal abad ke 16,
Kesultanan Demak baru tumbuh dan sibuk melebarkan kuasanya
ke barat, timur, dan selatan di pedalaman Pulau Jawa.
Ketika Belanda tiba di Sunda Kelapa, Kesultanan Mataram baru
mulai tumbuh dan berperang dengan kerajaan-kerajaan pesisir di
barat hingga timur. Tidak ada satu kesatuan yang kuat dan siap
berhadapan dengan arus balik (Pramoedya: Arus Balik) ekspansi
dari Barat. Pulau Jawa terlalu sibuk menjadi panggung teater elit-
elit sisa kerajaan Majapahit.
Alhasil, sengketa antar kerajaan yang masih berkerabat ini
dimanfaatkan VOC, British East India Company, dan Portugis.
Kedatangan kongsi dagang Eropa yang berniat memonopoli
perdagangan rempah-rempah dari Hindia Timur tidak menjadi
picu bersatunya kesultanan-kesultanan yang ada di Jawa, bahkan di
nusantara. Persaingan antar kesultanan seringkali memanfaatkan

61
kehadiran kongsi dagang Eropa ini untuk menghantam lawan-
lawannya, terutama sekali di abad 17 dan 18.
Sengketa para elit seringkali berujung peperangan antar kerajaan
dan kesultanan. Dalam catatan sejarah masa lampau, pertarungan
elit dicatat dengan cukup detail oleh Raffles. Kemudian dikoreksi
oleh DeGraaf dan Pigeaud (1974).

Perombakan Kuasa : pilihan atau paksaan?


Dilihat dari sejarah Jawa, seringnya pergantian dinasti-dinasti,
bangkit dan runtuhnya kerajaan-kerajan, adalah upaya untuk
merebut, mempertahankan, dan memperluas alir sumber daya,
kekayaan, kejayaan, dan kesenangan. Pada beberapa peristiwa,
raja-raja Jawa tampak antisipatif terhadap serangan pihak luar.
Sayangnya tidak setiap generasi mampu mempertahankan semangat
pendahulunya, bahkan emoh mengikuti. Bercokolnya VOC dan
Hindia Belanda hingga tiga abad, menjadi sebuah pilihan para elit
yang bersengketa.
Setiap sengketa, konflik, hingga peperangan seringkali
berujung pada perubahan kuasa terhadap wilayah. Perombakan
struktur kuasa, perubahan penguasaan atas warga dan tenaga kerja.
Demikian juga yang terjadi di Jawa.
Sejak zaman dahulu, peperangan menghasilkan dinasti-dinasti
baru, pergeseran pengaruh wilayah, perubahan alir sumber daya dan
ketersediaan tenaga kerja. Menguatnya kerajaan-kerajaan Islam di
pesisir utara Jawa adalah contoh paling mengemuka. Berdirinya
kesultanan mengubah lanskap kekuasaan kerajaan-kerajaan Hindu,
yang pada akhirnya runtuh lewat ekspansi persekutuan kerajaan
Islam pesisir ke seluruh penjuru Jawa.
Alir sumber daya yang dahulunya mengalir ke daerah pedalaman
berhenti, dan terakumulasi di wilayah pesisir. Pengislaman
penduduk dilakukan secara masif sistematik. Salah satunya
dalam rangka pengalihan kesetiaan dari kerajaan-kerajaan lama;
Majapahit dan Pajajaran. Semakin banyak penduduk Jawa yang
diislamkan, makin banyak yang beralih kesetiaannya pada wilayah

62
pesisir. Selain itu, peralihan ini tentunya mengubah aliran upeti
dan ketersediaan tenaga kerja ke Demak.
Saling membantu dan saling menikam adalah sesuatu yang terus
terjadi sepanjang dua abad di Jawa. Frederick dan Worden dalam
Indonesia: A Country Study menulisnya sebagai perrenial instability,
atau ketidakstabilan abadi. Sejak jatuhnya Majapahit hingga
pecahnya Mataram, bisa dikatakan tidak pernah ada perdamaian
antar elit di Pulau Jawa.
Kebangkitan Eropa di abad pertengahan dan upaya ekspansi
perdagangan Eropa ke Asia Tenggara sempat dibaca oleh
Kesultanan Demak yang baru bangkit. Upaya mencegah masuknya
Eropa, yang akan menyaingi perdagangan saudagar-saudagar islam
di nusantara, dilakukan lewat penyerangan Pati Unus ke Malaka,
tahun 1511. Namun upaya ini gagal dan tak pernah berlanjut.
Setelah kegagalan dan kematian Pati Unus, raja-raja Islam Jawa
memilih menyibukkan diri memperluas kekuasaan. Tak pelak lagi,
peperangan menyelimuti seluruh Jawa hingga berdirinya Mataram,
puluhan tahun kemudian.
Ketika Mataram di pedalaman mulai bangkit dan menolak
membayar pajak ke Pajang di sebelah timur Jawa dan mulai
menyerang kerajaan-kerajaan pesisir, peralihan-peralihan terus
berlangsung. Peperangan menyebar dari ujung barat hingga timur
Pulau Jawa, membentuk kesetiaan-kesetiaan baru dan perubahan
aliran sumber daya.
Mataram di bawah pimpinan Sultan Agung I, sempat melakukan
serangan besar-besaran ke Jayakarta, Pos perdagangan VOC, dua
kali di tahun 1628 hingga 1629. Tapi serangan ini gagal, VOC
tetap bertahan di Jayakarta, menunggu saat-saat penting untuk
menancapkan monopolinya di Jawa.
Sejak gagalnya serangan Sultan Agung ke Jayakarta. Mataram
mengarahkan perluasannya ke arah timur, menaklukkan kerajaan-
kerajaan di pesisir seperti Gresik, Surabaya, Tuban, dan Jepara.
Mataram bahkan menutup seluruh pelabuhan di pesisir dari
kegiatan perdagangan.
63
Kampanye Mataram ke Timur bukan tanpa perlawanan.
Peperangan berlangsung dari satu generasi ke generasi lain. Pada
saat-saat tertentu, Mataram mencari bantuan pihak lain demi
memadamkan pemberontakan. Bantuan itu datang dari VOC,
yang pernah menjadi musuh Mataram di zaman Sultan Agung I.
Beberapa kali di abad ke 17 dan 18, Mataram meminta
bantuan VOC mengatasi pemberontakan sisa-sisa kerajaan pesisir.
Berkat bantuan VOC, Amangkurat I dari Mataram berhasil
memadamkan pemberontakan Trunojoyo. Tapi, tak ada bantuan
gratis. Imbalannya, VOC mendapat hak monopoli atas gula, beras,
dan opium serta wilayah nan subur di daerah Priangan.
Demikian pula yang terjadi di Kesultanan Banten. Sengketa
elit kerajaan antara Putra Mahkota Banten, Sultan Haji dengan
ayahandanya, mengundang VOC terlibat. Hasilnya dapat diduga,
monopoli perdagangan dari Kesultanan Banten. Hingga akhir
abad ke 18, Banten bukan lagi pesaing VOC dalam perdagangan
rempah-rempah.
Sengketa antar kerajaan di Jawa berakhir pertengahan abad 18
lewat penandatanganan perjanjian Gianti (1755). Perjanjian ini
menegaskan kehadiran VOC secara mutlak. Bukan saja dalam
rangka monopoli perdagangan, tetapi juga perubahan-perubahan
tata kuasa wilayah secara dramatik. Setelah wilayahnya diperkecil
lewat penyerahan Priangan dan Pantai Utara, Kerajaan Mataram di
bagi empat. Sementara itu Banten dan Cirebon berakhir menjadi
wilayah boneka.
Kebebasan berdagang yang sempat dinikmati sebelum
kongsi dagang Eropa hadir, hilang. Para raja harus membagi
keuntungannya kepada VOC, meski tetap memiliki kuasa atas
tenaga kerja. Tetapi hal ini tidak berlaku mutlak.
Banyak elit-elit kuasa, seperti adipati dan bupati yang kecewa
bahkan disingkirkan saat kekuasaannya mengecil dan tidak
memiliki kebebasan berdagang. Namun tak sedikit pula, yang
justru menikmati hubungan dagang yang tidak seimbang ini. Harga

64
beli yang rendah dibebankan kepada rakyat. Seringkali rakyat tidak
menerima bayaran atau bekerja paksa kepada para bupati untuk
menghasilkan panen tanaman komoditas.
Walaupun kerajaan-kerajaan jatuh bangun dan kesetiaan-
kesetiaan pada ’yang dipertuan’ berubah-ubah, namun hubungan
kuasa antara para raja dan bangsawan tetap tak berubah. Hingga
akhir abad 19, Raffles mencatat langgengnya hubungan hamba dan
tuan di kalangan masyarakat Jawa. Pola relasi feodalistik desa dan
pusat-pusat kekuasaan, di mana desa-desa memberikan upeti atau
hasil panennya kepada raja tanpa diganti, masih tetap berlangsung.
Melalui relasi feodalistik ini, VOC mengeruk keuntungan luar
biasa dari perdagangan dengan para raja dan elit lokal.
VOC pada dasarnya tidak memiliki kebebasan menguasai tenaga
kerja di seluruh Jawa. Pada beberapa wilayah seperti di Priangan,
VOC memberlakukan Prianganstelsel, yang memaksa petani, lewat
bupati dan adipati di daerah Priangan, menanam kopi di sebagian
lahannya. Kopi ini kemudian dibeli VOC dengan harga yang
dipatok sepihak, yang menjadi sumber pemasukan penting VOC.
Di kemudian hari, Gubernur Jenderal Van den Bosch model
mereplikasi Priangan Stelsel dalam tanam paksa (cultuur stelsel).
Di wilayah lain, seperti di pesisir utara dan timur Jawa, VOC
melakukan kesepakatan-kesepakatan dengan para raja, tanpa
menyentuh langsung urusan produksi di lapang. Para raja atau
bupati setempatlah yang membangun mekanisme-mekanisme agar
alir hasil bumi dan rempah-rempah tetap terjamin untuk VOC.
Lewat struktur lokal feodalistik, yang disokong relasi tuan dan
hamba, penguasa-penguasa lokal memasok hasil-hasil komoditas
kepada VOC. Rakyat dengan berbagai cara, dipaksa menjadi
penyuplai hasil bumi yang nantinya diserahkan pada VOC.
Hingga abad ke 19, tak tercatat munculnya perlawanan rakyat
jelata kepada VOC ataupun kepada para raja. Rakyat tetap dalam
kehidupan yang tak jauh berbeda dari zaman keemasan Majapahit,
meski arus sudah berubah, ke zaman Neerlandica.

65
Runtuhnya Jawa adalah pilihan. Para elit politik Jawa
begitu sibuknya berperang dan bersaing hingga lupa adanya
ancaman intervensi dari luar. Elit Jawa memilih menikmati dan
mempertahankan kesenangan dan kekuasaannya sendiri, dibanding
melakukan kesepakatan dramatik demi mempertahankan diri dari
serangan luar.

Dasar integrasi industri Jawa


Sebagai sebuah infrastruktur raksasa, Jalan Raya Pos adalah
manifestasi upaya integrasi kepentingan-kepentingan ekonomi,
militer, dan pengurusan wilayah. Pembangunan Jalan Raya Pos
bukan hanya pembangunan fisik, tetapi sebuah upaya sistematik
perombakan ekologi dan sistem politik-ekonomi Jawa menjadi
lebih kapitalistik. Pengembangan infrastruktur pada era Daendels
terjadi bukan hanya pada sektor fisik, pekerjaan umum, pertanian,
dan kehutanan, tetapi juga di bidang hukum dan pemerintahan.
Apa yang dibangun Daendels adalah sketsa awal pengembangan
industrialisasi Jawa pada masa-masa sesudahnya.
Jalan Raya Pos dibangun pada saat persaingan dagang dan
industri Eropa memuncak. Revolusi industri yang didorong oleh
ditemukannya mesin uap dan moda perekonomian baru atas tenaga
kerja bebas dan pasar, mendorong sejumlah revolusi di Eropa.
Pada akhir abad ke 18 dan awal ke 19, Eropa sedang bergolak.
Napoleon Bonaparte melakukan kampanye menaklukkan negara-
negara tetangganya, termasuk Belanda. Peperangan di Eropa,
terutama pertikaian antara Inggris dan Perancis menjalar hingga
ke negeri-negeri jajahan, termasuk kepulauan nusantara.
Kemajuan ekonomi Inggris dan kemampuannya menguasai jalur
perdagangan laut dunia, mengharuskan Prancis mempertahankan
seluruh wilayah yang mendukung perekonomian perangnya.
Kerajaan Belanda yang saat itu berada dibawah penaklukan Perancis,
kebagian tugas mempertahankan pusat-pusat produksinya dari
serangan Inggris, termasuk Jawa.
Inggris yang bercokol di Bengkulu dan Malaka adalah ancaman

66
bagi kelangsungan perdagangan Belanda di nusantara. Kekalahan
armada Prancis di Teater Eropa menghasilkan siasat baru untuk
mempertahankan daratan. Apalagi saat itu, Jawa adalah pulau
terkaya di dunia yang membuat VOC menjadi parastatal terkaya
di dunia.
Marschalk Herman William Daendels, seorang perwira Belanda
yang bertugas pada angkatan perang Napoleon, ditugaskan oleh
raja Belanda kala itu, Lodewijk Bonaparte, mempertahankan pulau
Jawa dari serangan Inggris.
Daendels hadir di Pulau Jawa berhadapan dengan kekacauan
administrasi dan kepemerintahan peninggalan VOC yang korup,
merugi, dan dibubarkan tahun 1799. Sistem administrasi VOC
mengandalkan monopoli perdagangan saja, tanpa melakukan
kendali langsung atas produksi. VOC mengandalkan hubungan
dan paksaan kepada pribumi penguasa wilayah yang menjual
hasil bumi. Sementara itu, perkembangan corak produksi yang
berkembang di Inggris dan negeri-negeri jajahannya mampu
memberi keuntungan. Sementara VOC mengalami kerugian
menerus akibat korupsi pejabat VOC dengan elit-elit Jawa.
Daendels dengan segala ambisi dan keteguhannya, mengukuhkan
kembali kekuatan politik-ekonomi Belanda-Prancis di Pulau Jawa.
Dalam sejarah kiprah Belanda di Hindia Timur, Daendels adalah
gubernur jenderal resmi, yang benar-benar mewakili raja Belanda
untuk menjalankan pemerintahan di Hindia Timur sebagai negeri
‘jajahan’ (Burger: 1962). Daendels secara sengaja dan sungguh-
sungguh merestrukturisasi sistem politik warisan VOC. Struktur
pemerintahan yang ada dan kekuasaan serta kewenangan, yang
masih dimiliki oleh raja-raja dan adipati-adipati Jawa, dapat
menghambat misi Belanda-Prancis membangun pertahanan pantai
Pulau Jawa.
Dengan segera Daendels melibas hambatan-hambatan yang
diakibatkan kolusi pejabat-pejabat VOC dan penguasa lokal.
Sistem pemerintahan yang cenderung otonom di masa VOC
diganti menjadi terpusat dengan model pegawai negeri. Seluruh
67
raja-raja maupun penguasa wilayah pribumi tidak diperkenankan
memungut sendiri hasil bumi dan membagi atau menjual hasilnya
kepada Belanda. Administrasi Belandalah yang mengelola
pengambilan hasil bumi; gula, kopi, nila, dan lada termasuk kayu
jati.
Raja-raja dan pribumi penguasa wilayah dijadikan pegawai yang
menerima gaji, tunduk dan patuh pada majikannya. Lewat sistem
ini pula, Daendels memerintahkan para raja dan bupati di seluruh
Jawa mengerahkan rakyat menjadi kuli kerja paksa. Memaksa
rakyat menyerahkan hasil panen berasnya untuk memasok pangan
bagi para kuli dan mandor-mandor pembangunan jalan.
Hubungan Belanda dan penguasa pribumi tidak lagi berkaitan
dengan dagang, tetapi sudah menjadi tuan dan kaki tangannya.
Dengan demikian, sebagai gubenur jenderal, Daendels berhak
dan berwenang memerintahkan penguasa pribumi mengerahkan
budak dan beras untuk membangun Jalan Raya Pos atau De
Grote Postweg atau La Grande Route, dari Anyer ke Panarukan
sepanjang 1000 km dan selesai hanya dalam 1 tahun! Targetnya
tiga tahun tapi bisa dikerjakan dalam satu tahun.
Operasi perlucutan kekuasaan adalah agenda penting memenuhi
kebutuhan kuli-kuli pembangunan jalan dan penyediaan pasokan
makanan. Tidak semua wilayah bersedia menyerahkan hak-hak
istimewa sebagai raja-raja, yang mendapat bagian dari perdagangan
dengan VOC. Penguasa-penguasa pribumi menanggapi tindakan
Daendels bermacam-macam. Tercatat sejumlah wilayah melaku­
kan perlawanan terbuka. Namun ada pula yang pasrah dan bersedia
dilucuti tanpa perlawanan. Patuh mengerahkan rakyat membangun
jalan raya pos, sambil menikmati kucuran gulden gaji pegawai
kerajaan Belanda.
Beberapa upaya perlawanan terhadap instruksi Daendels terjadi
di Banten. Penolakan Kesultanan Banten untuk mengerahkan
rakyat bagi pengembangan jalan dari Anyer ke Batavia berakhir
dengan takluknya sultan Banten.

68
Perlawanan sengit juga terjadi di sekitar Sumedang. Pangeran
Kornel menolak dan berperang melawan Daendels, yang memaksa
dibukanya jalan di daerah cadas di dekat Sumedang. Perlawanan
Pangeran Kornel dipatahkan, dan ribuan rakyat dipaksa membuka
salah satu ruas tersulit sepanjang jalan itu.
Perlawanan frontal dari dua wilayah, Cirebon dan Banten
berujung pada dihapuskannya kesultanan Banten dan Cirebon.
Wilayah kedua diambil alih administrasinya oleh Belanda.
Daendels memang hanya tiga tahun berkuasa, namun
keberadaannya sungguh menghasilkan horor bagi penduduk yang
dilalui Jalan Raya Pos. Sepanjang waktu tersebut, setidaknya
12 ribu orang tewas kelaparan dan kelelahan, akibat kerja paksa
(rodi) melebarkan jalan raya. Angka ini yang sempat dicatat oleh
administrasi Inggris di zaman Raffles. Tidak pernah ada angka
pasti jumlah manusia yang tewas saat membangun Jalan Raya Pos.
Jalan Raya Pos bukan hanya menelan rakyat pribumi. Puluhan
pejabat kulit putih turut menjadi korban akibat kelelahan dan
penyakit malaria serta kolera. Batang, di Jawa Tengah sekarang,
adalah salah satu wilayah yang paling banyak mengalami korban
jiwa. Nama Batang sendiri berarti mayat, untuk mengenang neraka
jalan raya pos.
Tapi apakah karya Daendels hanya berhenti pada infrastruktur
jalan raya saja?
Daendels tidak hanya bermimpi menjalankan tugas kemiliteran­
nya. Secara resmi jabatannya adalah gubernur jendral yang wajib
mengurus koloni agar bermanfaat bagi Kerajaan Belanda. Bawahan
Daendels (Clive Day:1904) menulis bagaimana Daendels memaksa
penduduk asli dan para elit kuasa lokal mengerahkan tenaga
kerjanya. Tak hanya untuk perdagangan tetapi juga pekerjaan-
pekerjaan umum, macam infrastruktur jalan, untuk pertahanan,
biaya rutin para pejabat serta berdirinya departemen-departemen
pemerintahan.
Selain membiayai persiapan perang, Daendels ditugaskan
menunjukkan kepiawaiannya menambah pundi-pundi kerajaan
69
Belanda, yang kala itu berada di bawah protektorat Prancis.
Produksi tanaman perdagangan tetap menjadi pilihan Daendels.
Daendels paham, surutnya pemasukan kas bagi Kerajaan
Belanda salah satunya disebabkan oleh korupsi dan pungli pegawai-
pegawai VOC dan para bupati. Daendels memutus pertalian yang
rentan pungutan ini lewat tindakan-tindakan perlucutan. Namun,
Daendels tidak hanya membersihkan dan mengubah sistem
pemerintahan dan perdagangan yang rentan pungutan menjadi
lebih efisien. Lebih dari itu, ia memperluas wilayah produksi
tanaman seperti kopi di sepanjang Pantai utara Jawa.
Bahkan, demi menjamin keberlangsungan pasokan kayu,
Daendels dengan sengaja mencabut kewenangan Bupati Rembang
dan Jepara terhadap hutan Jati di wilayah tersebut. Daendels
membentuk semacam departemen kehutanan yang bertugas
merawat dan memastikan pasokan kayu jati untuk kebutuhan-
kebutuhan Belanda.
Di zaman inilah secara mutlak Belanda berkuasa pada sebagian
besar wilayah Jawa. Kecuali sisa-sisa kerajaan Mataram yang masih
memiliki keistimewaan terbatas sebagai protektorat. Pada zaman
ini juga, Daendels melakukan klaim bahwa tanah-tanah di luar
tanah-tanah privat dan kerajaan Mataram adalah milik kerajaan
Belanda. Integrasi kepentingan kapital dikerjakan secara sungguh
dan memberikan fondasi bagi perkembangan industrialisasi
selanjutnya.
Sementara itu, peperangan dan persaingan makin tajam
antar kerajaan-kerajaan di Eropa. Gagasan-gagasan modern atas
akumulasi kapital, menyertai kepergian Daendels yang bertugas
mempertahankan Pulau Jawa, sambil terus mengakumulasi
keuntungan. Daendels mengubah watak pemerintahan ala
VOC menjadi pemerintahan yang tersentralisasi. Menciptakan
landasan industrialisasi lewat pembangunan infrastruktur fisik,
perluasan lahan produksi, modifikasi corak pengerahan tenaga
kerja, perubahan-perubahan struktur politik, sistem peradilan, dan
pemberlakuan pajak.
70
Waktu berkuasa yang singkat membuat Daendels tidak bisa
menyelesaikan semua pekerjaan. Sebagian hanya berupa prinsip-
prinsip yang kemudian dikembangkan dan dimodifikasi oleh
gubernur jenderal Inggris dan Belanda selanjutnya: Raffles, Van
der Cappelen dan Van den Bosch (van Zanden, Clive Day:1904).
Tetapi apa yang dilandaskan oleh Daendels menjadi fondasi
perubahan-perubahan lebih lanjut di Pulau Jawa. Memberikan
keuntungan berlipat ganda bagi Kerajaan Belanda. Turut dinikmati
oleh elit-elit lokal Jawa, lewat mengorbankan warga kebanyakan.

Jalan Raya Pos pada akhirnya


Pemerintah Hindia Belanda mendapat keuntungan mutlak
dari infrastruktur maha besar pada zaman itu, Jalan Raya Pos.
Di sepanjang Jalan Raya Pos bertumbuhlah kota-kota yang
menjadi pos-pos ekonomi industri perkebunan dan pabrik-pabrik
pengolahnya. Nas dan Pratiwo (2002) menulis, Jalan Raya Pos
ternyata mendorong terbentuknya Jawa sebagai kota terpanjang di
dunia. Jalan Raya Pos menjadi konfigurasi pemukiman ekonomi
yang dahulunya berbasis sungai ke basis jalan. Peran sungai sebagai
sarana mobilitas ditinggalkan dan menurun.
Menurunnya peran sungai dalam kehidupan penduduk Jawa
berdampak tidak terurusnya wilayah sungai. Terjadi pendangkalan
di sejumlah sungai penting di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Sejumlah
pelabuhan tradisional di muara sungai seperti Lasem, ditinggalkan
sejak Jalan Raya Pos berdiri. Jalur laut tidak lagi menjadi jalur
utama perdagangan. Semua beban akibat industrialisasi jatuh ke
darat.
Sayangnya tidak ada studi lanjut tentang dampak ditelantar­
kannya sungai-sungai sebagai sarana penting kegiatan manusia.
Perubahan besar yang juga terjadi adalah perluasan perkebunan
kopi, tebu, dan nila di wilayah sekitar Jalan Raya Pos, serta seluruh
industrialisasi yang menyokongnya. Jalan Raya Pos tidak serta
merta memberikan akibat langsung pada perubahan-perubahan
drastis ekologi, kehidupan sosial-politik, dan ekonomi Jawa. Tetapi

71
patut diingat, Daendels menanamkan prinsip-prinsip integrasi
infrastruktur fisik, administrasi pertanahan, perindustrian, hukum,
dan tata pengurusan wilayah dalam sekali pukul.
Para penerus Daendels menggunakan dan memodifikasi terus
menerus hingga industrialisasi terus mengalirkan untung bagi
Hindia Belanda dan sejumlah kecil elit di Jawa. Sementara ongkos-
ongkos eksperimen industri terus menerus ditanggung rakyat dari
zaman ke zaman.

Ongkos-ongkos eksperimen industrialisasi


Paska Daendels, upaya-upaya perluasan industri di bawah
administrasi Hindia Belanda dilakukan sistematik. Setelah Raffles
meninggalkan Jawa, tahun 1819 hingga 1830 merupakan masa uji
coba industrialisasi. Kepatuhan dan ketertiban ala penguasa baru,
Hindia Belanda. Tahun 1830, dalam kondisi yang penuh utang
dan pembelajaran atas penguasa-penguasa terdahulu, Gubernur
Jenderal Van den Bosch menjalankan misi Hindia Belanda yang
sesungguhnya. Mengurus Jawa sebagai alat produksi yang memberi
keuntungan bagi Kerajaan Belanda, demi membayar utang-utang
terdahulu dan membangun kembali kerajaan, yang porak poranda
akibat perang Eropa.
Van den Bosch menerapkan sistem kultur (cultuur stelsel) atau
dikenal sebagai tanam paksa. Mewarisi nafas Daendels membangun
industrialisasi Jawa. Van den Bosch tinggal mengikuti apa yang
telah ditinggalkan Daendels, secara fisik maupun prinsip-prinsip
pengembangan industrialisasi.
Perluasan perkebunan lewat tanam paksa menemukan tanah
subur setelah Daendels mengembangkan: jalur transportasi baru,
klaim sebagian besar tanah Jawa sebagai milik Raja Belanda,
perlucutan kuasa-kuasa lokal menjadi kaki tangan resmi Kerajaan
Belanda, dan penerapan peradilan kontinental.
Bagian ini memamparkan sejumlah analisis faktual perubahan-
perubahan sosio-ekologik Jawa. Sebuah gambaran daya rusak
industrialisasi raksasa yang diawali oleh Jalan Raya Pos. Sebuah

72
kreativitas kapitalistik demi profit margin yang tinggi dan harga
sebuah kesempatan mengembangkan emporium gula dan kopi
terbesar di dunia.

Perubahan Ekologik
Perubahan ekologik terbesar yang dipicu industrialisasi
perkebunan adalah deforestasi. Tahun 1830 adalah titik awal
perubahan ekologik yang paling menonjol dalam hampir dua abad.
Sebelum era tanam paksa, penggunaan kayu dalam jumlah
besar dipakai membangun kapal-kapal Belanda. Tanam paksa
mendorong petani memperluas lahan pertaniannya untuk
menanam tanaman perdagangan. Kopi, cengkeh, dan teh adalah
tanaman umur panjang yang mengubah pemandangan hutan-
hutan Jawa (Whitten, 1996). Meski awalnya tanam paksa hanya
mewajibkan 5% lahan petani ditanami tanaman komoditas, pada
praktiknya petani terpaksa menggarap tanah lebih luas lagi.
Sistem tumpang sari yang dianjurkan Pemerintah Hindia
Belanda hanya bisa diperlakukan pada tanaman tertentu seperti
nila, tebu, dan tembakau di areal-areal sawah. Tapi komoditas lain
yang jadi andalan seperti kopi dan teh, mengharuskan para petani
membongkar hutan dan menggantinya menjadi kebun kopi dan
teh. Dampaknya sungguh luar biasa. Dalam waktu singkat seluruh
pegunungan di Jawa dari ketinggian 600 hingga 1000 meter
berubah menjadi sabuk kopi, menghilangkan ekosistem hutan
selama-lamanya (Heffner, 1990).
Dalam kurun waktu kurang 25 tahun, sejak 1898-1922 hutan
yang hilang mencapai 22 ribu km2 atau 220 ribu ha (Whitten:
1996). Sebagian besar digunakan untuk pembangunan jalan kereta
api mengikuti Jalan Raya Pos. Sementara itu, sejak 1830-an hingga
1900, hutan yang hilang mencapai 5 juta ha. Hingga 1973 saja,
hutan alam di Jawa hanya tinggal 11% (Donner: 1987).
Kopi dan teh adalah tanaman utama yang mengganti vegetasi
hutan. Percepatan perluasan perkebunan kopi terjadi pada kurun
waktu 1830-1833. Pada 1833 saja, jumlah pohon kopi di seluruh

73
Jawa mencapai 116 juta pohon. Dua pertiga wajib tanam kopi
berada di Cirebon, Jawa Tengah, dan Jawa Timur (Burger: 1962).
Jika satu pohon kopi membutuhkan luas lahan 4 meter persegi
saja, maka luas lahan kopi pada 1833 sudah mencapai 464 ribu ha.
Berkontribusi hampir 10% terhadap hilangnya hutan alam selama
70 tahun.
Salah satu kejadian berdampak fatal dari perluasan tanaman kopi
terjadi di Gunung Sewu, pesisir selatan Jawa. Pada 1850, Belanda
mencoba menanam kopi di Gunung Sewu. Saat itu hutan alami
di sana adalah tanah aluvial yang subur dan cocok untuk tanaman
kopi. Belanda mengganti sebagian besar vegetasi dengan tanaman
kopi. Kenyataannya, wilayah tersebut tidak cocok untuk tanaman
kopi. Vegetasi hutan Gunung Sewu, yang merupakan pegunungan
kapur dan juga wilayah karst tidak dapat tergantikan oleh tanaman
lain, seperti kopi. Upaya penanaman ribuan pohon kopi gagal
dan ditinggalkan begitu saja. Dampak hilangnya vegetasi hutan
oleh kegagalan kopi adalah kekeringan di wilayah tersebut yang
berlangsung hingga 1,5 abad kemudian.
Perluasan wilayah perkebunan juga disokong peralihan-
peralihan kuasa atas lahan. Pada zaman liberalisasi industri paska
tanam paksa, sejumlah besar lahan diserahkan pada perkebunan-
perkebunan swasta. Hasilnya, 1860 hingga 1870-an, Belanda telah
menganugerahkan hak guna kepada hanya 345 orang untuk lahan
seluas satu juta hektar di Jawa (Donner, 1987).
Pengubah ekologi Jawa yang lain adalah perkebunan-
perkebunan tebu dan nila yang dikembangkan di daerah lahan
basah sepanjang pantai utara dan dataran pedalaman. Seperti di
Madiun, daerah-daerah Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta.
Burger mencatat pengembangan daerah tebu mencapai lebih dari
141 ribu bau.

74
Tabel: Luas Tanaman Tebu di Pulau Jawa 1833 – 1910 (bau)
Karesidenan 1833 1860 1910
Banten 2254
Cirebon 1460 4200 15000
Pekalongan 777 1500 3500
Tegal 560 3200 10.000
Semarang 543 1800 3300
Jepara 5118 3700 8800
Rembang 1221 - -
Banyumas - 300 5000
Madiun 3512 800 6400
Kediri 642 1900 20.000
Surabaya 4424 8600 36.000
Pasuruan 8361 6000 13.000
Probolinggo - 4700 13.000
Besuki 3.850 2000 7000
Banyuwangi
Jumlah Jawa 33.722 38.100 141.300

Sumber: Burger, 1962

Cerita tebu merupakan salah satu cerita paling mengharu biru


dalam sejarah Jawa. Hingga awal abad ke 20, Jawa adalah penghasil
tebu terbesar di dunia dan memberi keuntungan luar biasa bagi
Kerajaan Belanda.

Perluasan infrastruktur dan migrasi


Demi mempercepat mengalirnya barang dari wilayah produksi
ke pelabuhan-pelabuhan dagang, seperti Batavia, Semarang, dan
Surabaya, infrastruktur jalan raya di perluas. Jaringan jalan dengan
Jalan Raya Pos sebagai tulang belakangnya sudah menghubungkan
pelabuhan-pelabuhan dan beberapa wilayah produksi di Priangan
dan Pantai Utara Jawa. Diperluas lagi hingga ke pegunungan
penghasil kopi dan teh.
Sejumlah bendungan dan irigasi dibangun, terutama di wilayah-
wilayah penghasil tebu. Pelabuhan-pelabuhan diperluas dan kota-

75
kota berdiri dengan cepat, seiring peningkatan produksi ekspor.
Perluasan jalan mempercepat perpindahan penduduk ke
wilayah-wilayah yang dahulunya terisolasi, seperti pegunungan
Tengger. Jalan raya ke pedalaman mempercepat arus perpindahan
manusia ke wilayah-wilayah pegunungan, menghindari tanam
paksa tebu.
Selain didorong peperangan, perpindahan penduduk yang
umumnya petani-petani, untuk menghindari tanam paksa tebu
yang butuh waktu dan tenaga luar biasa besar. Dibanding menanam
padi yang bisa dimakan atau kopi. Kopi tidak membutuhkan
kerja banyak terutama setelah masa tanam. Karena itu banyak
petani dataran pergi ke daerah pegunungan menjadi petani kopi
menghindari kerja berat di perkebunan tebu di dataran.
Akibatnya tekanan terhadap ekosistem pegunungan meningkat
pesat. Di wilayah Tengger, jumlah penduduk meningkat lebih 20
kali lipat dalam 1 abad. Pada 1830 penduduk Tengger berjumlah
2200 an orang dan menjadi 49 ribu orang pada tahun 1930.
Pertumbuhan tercepat terjadi pada kurun waktu 1830 hingga 1870.
Sebelum industrialisasi paksa ada, pergiliran kerja di perkebunan
atau di pabrik tidak pernah ada. Tetapi tanam paksa mengharuskan
kepala-kepala desa mengatur waktu penduduk sedemikian rupa.
Termasuk membebaskan penduduk dari kerja sosial desa jika
mendapat kewajiban kerja di pabrik. Orang-orang kaya membayar
orang lain untuk melakukan kerja wajib dan ini terus berlangsung,
dari sebuah adaptasi menjadi permanen.
Perluasan tanaman tebu dan nila (indigo) di dataran, sungguh
berdampak pada kehidupan rakyat. Demi memenuhi pasokan
pabrik-pabrik gula, para petani kerja paksa, terpaksa menghabiskan
waktunya hanya untuk tebu dan nila. Organisasi sosial di pedesaan
pun terpaksa berubah, demi memenuhi pasokan tenaga kerja untuk
pabrik-pabrik maupun perkebunan.
Tahun 1841, sekitar 2000 orang pindah dari daerah Bagelen
karena tak kuat menanggung beban kerja begitu berat. Dibutuhkan

76
waktu lebih 9 tahun untuk mengupayakan jumlah penduduk
kembali meningkat di wilayah tersebut (Burger, 1962).

Mendorong kelaparan
Di sepanjang abad ke 19, berdasarkan analisa Boomgard (2002),
Jawa mengalami sejumlah pemburukan. Merupakan gabungan
antara kekacauan iklim dan faktor-faktor ekonomi-politik.
Periode-periode tersebut adalah 1816 hingga 1824, kemudian
1844 hingga 1854, dan 1862-1870.
Periode tahun 1816 hingga 1824 dipenuhi kejadian-kejadian
kelaparan skala besar yang menimba Lombok, Bali dan Jawa.
Setidaknya terdapat dua tahun yang sangat kering dan dua
tahun yang sangat basah, yang tidak menguntungkan bagi usaha
pertanian. Iklim yang berubah yang diduga disebabkan oleh letusan
G. Tambora, menyebabkan gagal panen di sejumlah besar wilayah.
Pengembangan Jalan Raya Pos sejak 1808 hingga 1811
mengakibatkan rakyat Pulau Jawa mengalami penurunan
kemampuan dalam bertahan hidup. Raffles dan Van der Cappellen
hadir di Jawa menggantikan Daendels. Keduanya membawa
nafas liberalisasi. Berupaya menerapkan sistem yang berlaku pada
kerajaan-kerajaan Eropa di Pulau Jawa. Struktur kerja feodalistik
yang digunakan VOC maupun dimanfaatkan Daendels hendak
dihapuskan. Seluruh tanah diambil alih oleh kerajaan induk (Inggris
di zaman Raffles, dan Belanda di zaman Van-der Cappelen).
Pada saat ini pula, sebuah sistem baru bernama pajak tanah dan
pajak kepala diperkenalkan. Dahulu, setidaknya hingga Daendels
tiba, para raja maupun bupati memiliki wewenang atas tanah dan
tenaga kerja. Para raja atau bupati memungut upeti dari rakyat
yang kemudian dijual kepada VOC dengan harga yang sudah
ditetapkan. Ketika VOC dibubarkan sistem ini masih berlanjut.
Seiring runtuhnya feodalisme di Eropa, Daendels dan para
penerusnya menganggap hubungan feodalistik yang masih ada di
Pulau Jawa menghambat industrialisasi. Bisnis dan pemerintahan
harus dipisahkan. Orang perlu diberikan kebebasan memiliki alat

77
produksi, demikian pula tenaga kerja bebas. Negara (dalam hal ini
Hindia Timur) mendapat pemasukan dari pajak dan sewa tanah.
Namun untuk itu kekuatan-kekuatan feodal harus dihilangkan.
Hubungan dengan hamba-hambanya harus diputus sehingga
perbudakan hilang dan rakyat menjadi tenaga kerja bebas atau
menyewa tanah untuk berproduksi.
Raffles dan Van der Cappellen memberlakukan pajak agar
Hindia Timur mendapatkan pemasukan. Rakyat dibebani pajak
dan sewa tanah jika mereka menggarap lahan bahkan untuk hidup
subsisten. Akibatnya, rakyat berproduksi mati-matian tetapi hanya
untuk membayar pajak. Sejumlah catatan tentang ekonomi abad ke
19 menunjukkan bahwa pendapatan rakyat yang baru berkenalan
dengan ekonomi uang, diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah
kolonial Raffles maupun Van der Cappelen. Jika tidak, tanah atau
aset mereka akan disita pemerintah kolonial.
Kondisi perekonomian yang belum membaik sehabis perang
Eropa dan pembangunan Jalan Raya Pos, ditambah iklim yang
buruk, membuat rakyat terpaksa menjual seluruh hasil panen
yang tidak seberapa, demi membayar pajak. Kadangkala tidak
ada lagi uang tersisa untuk membeli makan. Kehidupan subsisten
pun semakin sulit akibat pembayaran pajak. Maka tak heran jika
pada zaman percobaan liberalisasi Raffles dan Van der Cappellen,
kelaparan melanda di beberapa bagian Pulau Jawa.
Pada episode yang lain, di zaman tanam paksa, kelaparan juga
masih melanda beberapa bagian Pulau Jawa. Kali ini, kisahnya
bukan diakibatkan oleh produksi yang harus dijual sepenuhnya
demi membayar pajak. Kelaparan di zaman tanam paksa muncul
akibat laju produksi beras yang terhambat karena didesak oleh
perluasan tanaman tebu.
Kerja yang demikian berat plus pengerahan tenaga kerja yang
besar di perkebunan tebu dan nila, mengakibatkan petani tidak
mengurus padi lagi. Seluruh tenaga dan waktu tercurah untuk
tanaman perdagangan. Akibatnya panen padi menyusut dan

78
kekurangan pangan terjadi.
Kondisi kelaparan di zaman tanam paksa berbeda dengan
zaman liberalisme coba-coba ala Raffles dan Van der Cappellen.
Di zaman tanam paksa, menurunnya produksi beras menghasilkan
kelangkaan beras. Harga beras dan bahan pangan lainnya naik
akibat produksi yang tidak memadai.
Rakyat yang mendapat upah dari perkebunan-perkebunan
partikelir tidak sanggup lagi membeli beras. Demikian pula
subsistensi yang pudar akibat pengerahan tenaga kerja untuk
menanam tebu dan tanaman komoditas lainnya.
Masalah lain yang dihadapi industri Pamanukan-Ciasem adalah
lahan tebu. Kebun-kebun tebu yang dibuka tidak diletakkan di
sawah, tetapi dilakukan pembukaan tanah yang sama sekali baru.
Maka diperlukan ketekunan tersendiri untuk menyiapkan tanah
darat menjadi tanah sawah. Padahal, tebu adalah tanaman manja
yang menuntut irigasi dan drainase intensif. (Cahyono, 1988)
Sejumlah wilayah yang dahulunya mampu mengekspor beras
ke wilayah lain, bahkan keluar Jawa, menyusut kemampuannya.
Bahkan, panen padi di zaman tanam paksa untuk beberapa daerah,
tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan setempat. Pamanukan-
Ciasem, Cirebon, Banyumas, Bagelen, dan Bojonegoro adalah
wilayah yang mengalami kelaparan di abad 19.
Di wilayah Bagelen, tanah menjadi tidak subur akibat tanaman
nila. Padi tidak lagi tumbuh subur jika sawah sebelumnya ditanami
nila. Petani menjadi frustasi dan meninggalkan desa-desa bukan
hanya karena kerja yang berat. Tetapi karena rusaknya kesuburan
tanah akibat tanaman perdagangan.
Mundurnya sektor pertanian padi, diakibatkan tak hanya karena
lahan-lahan basah dikembangkan untuk nila dan terutama tebu.
Tetapi juga air. Irigasi yang dikembangkan pemerintah Hindia
Belanda tak lagi diperuntukkan mendukung tanaman padi, tetapi
tebu.
Setelah dihajar oleh kelaparan, Jawa masih harus pula didera

79
bencana lain, penyakit. Boomgard (2002) mencatat munculnya
wabah cacar, kolera, dan demam tifus di sebagian besar pulau
Jawa. Terutama di daerah-daerah yang mengalami minus pangan.
Sayangnya, tim penulis belum menemukan catatan seberapa besar
korban jatuh akibat wabah penyakit ini, juga kaitan antara wabah
dengan runtuhnya kemampuan subsistensi rakyat zaman itu.
Bagaimana rakyat yang masih bertahan dapat selamat dan
keluar dari situasi ini? Migrasi adalah salah satu caranya. Meski
beberapa wilayah mengalami pemburukan situasi akibat tanam
paksa, beberapa wilayah lain tidak mengalami kondisi pemburukan
yang cukup serius. Wilayah Surabaya, Probolinggo, dan Pasuruan
yang merupakan produsen gula terbesar di Pulau Jawa saat itu,
menjadi salah satu sasaran migrasi.
Burger dan Atmosudirjo (1962) menulis bahwa salah satu
akibat tanam paksa adalah munculnya tenaga kerja bebas. Rakyat
yang tidak memiliki tanah atau lari dari kewajiban tanam paksa,
memilih menjadi pekerja upahan di perkebunan-perkebunan
partikelir. Mereka mengembara di wilayah-wilayah perkebunan
dan seringkali terlibat masalah-masalah pelanggaran hukum.
Sebagai pekerja upahan bebas, golongan ini menghidupi sektor-
sektor ‘penghibur’ yaitu perjudian, candu, dan ronggeng. Bandar-
bandar judi dan candu serta para penari ronggeng hidup dari uang
para pekerja bebas ini.

Jawa pada Akhirnya


Hingga abad ke 21, watak perusakan alam lewat mega proyek
berujung pada penggusuran masif, pemindahan paksa, dan
kerusakan siklus alam yang terus menerus. Menghasilkan korban
manusia, yang terus menerus hidup dalam kondisi survival. Tetap
terus berjalan, terus menerus ada.
Migrasi ke perkotaan adalah fenomena yang tak tertangani dari
zaman ke zaman. Tumbuhnya pemukiman kumuh di perkotaan
dan turunnya derajat kesehatan di banyak wilayah adalah fenomena
yang telah berlangsung di abad sebelumnya. Meluasnya wilayah

80
yang semakin rentan terhadap bencana merupakan indikasi model
pembangunan seperti yang dimimpikan oleh Daendels dan diikuti
oleh para penggantinya. Baik di masa kolonial maupun republik.
Gagal mewujudkan mimpi kemakmuran bagi mayoritas penduduk
Jawa.
Jawa adalah potret nyata sebuah watak kreatif namun destruktif.
Selalu menggunakan rumus yang sama dalam menentukan siapa
yang mendapat untung. Mengabaikan korban manusia dan alam
yang berjumlah besar. Lebih jauh lagi, umpan balik dari model
pembangunan yang disokong infrastruktur raksasa, pada waktunya
menghasilkan perluasan krisis yang dijawab dengan rumus yang
sama pula. Perbaikan atau penambalan skala raksasa, dengan
tujuan yang seolah-olah mulia, namun tetap hanya memberikan
keuntungan pada segelintir orang dan menyengsarakan orang lain.
Pertanyaannya: bagaimana warga Jawa beserta para pemimpin­
nya bisa memutus lingkaran setan watak, mimpi, dan praktik
Daendels?

Referensi
Burger, D.H dan Prajudi Atmosoedirjo. 1962. Sejarah Ekonomis
Sosiologis Indonesia. Jilid Pertama. Jakarta: Pradnya Paramitra.
Day, Clive. 1972. The Policy and Administration of the Dutch in Java.
Kuala Lumpur: Oxford University Press.
De Graaf, H.J and, TH.G Pigeaud. 1974. Kerajaan-kerajaan Islam
di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram. Grafittipers
dan KITLV.
De Vries, Egbert. 1985. Pertanian dan Kemiskinan di Jawa. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Diamond, Jarred. 2005. Collapse: How Societies Choose to Fail or
Survive. New York: Penguin Group.
Donner, Wolf. 1987. Land Use and Environment in Indonesia. C.
Hurst & Co.Ltd.
Frederick, William H. and Robert L Worden (editors). 1993.

81
Indonesia: A Country Study. Washington: GPO for the
Library of Congress.
Heffner, Robert. W. 1999. Geger Tengger: Perubahan Sosial dan
Perkelahian Politik. Yogyakarta: LkiS.
Moertono, Soemarsaid. 1985. Negara dan Usaha Bina-Negara di
Jawa Masa Lampau: Studi tentang Masa Mataram II Abad
XVI sampai XIX. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Pelluso, Nancy. 1992. Rich Forest Poor People: Resource Control and
Resistance in Java. Berkeley: University of California Press.
Penders, C.L.M. 1984. Bojonegoro 1900-1942, A story of Endemic
Poverty in North-East Java- Indonesia. Singapore: Gunung
Agung.
Penders, C.L.M. (editors). 1977. Indonesia: Selected Documents on
Colonialism 1830-1942. University of Queensland Press.
Raffles, S. Thomas. 1978. The History of Java:Vol I and II. Kuala
Lumpur: Oxford University Press.
Stockdale, John Joseph. 2003. Island of Java. Singapore: Periplus.
Toer, Pramoedya Ananta. 2003. Jalan Raya Pos. Hasta Mitra.
Van Niel, Robert. 2003. Sistem Tanam Paksa di Jawa. Jakarta:
LP3ES.
Whitten, Tony, Soeriatmadja and Suraya Affif. 2000. The Ecology
of Java and Bali. Singapore: Periplus.

Sumber Lain
Boomgard, Pieter. 1993. “The development of colonial health care
in Java; An exploratory introduction” dalam Bijdragen tot de
Taal, Land-en Volkenkunde 149, no: 1, Leiden. www.kitlv-
journals.nl
Cahyono, Edi. 1998. Karesidenan Pekalongan Kurun Cultuurstelsel:
Masyarakat Pribumi Menyongsong Pabrik Gula. Skripsi
Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
http://members.fortunecity.com/edicahy/thesis/index.html
Pratiwo, Nas. P. 2002. “Java and de Groote Postweg, La Grande

82
Route, the Great Mail Road, Jalan Raya Pos” dalam Bijdragen
tot de Taal, Land-en Volkenkunde, On the road The social
impact of new roads in Southeast Asia 158, no: 4, Leiden,
707-725”, www.kitlv-journals.nl
Purwanto, Bambang. 2002. “Peasant Economy and Institutional
Changes in Late Colonial Indonesia”. Paper presented to
the International Conference on Economic Growth and
Institutional Change in Indonesia in the 19th and 20th
Centuriesh, Amsterdam 25-26 February 2002. www.iisg.
nl.

83
Bagian 6

Sampah gaya Hidup atau gaya


Hidup sampah?

Mengapa kita membangun kota metropolitan?


Dan alpa terhadap peradaban di desa?
Kenapa pembangunan menjurus kepada penumpukan, dan tidak
kepada pengedaran...?
WS Rendra, penyair

B andung yang kita kenal, dulunya adalah bagian wilayah


Kerajaan Padjadjaran (1466). Ketika VOC menjajah,
wilayah ini menjadi tempat buangan orang terhukum di Eropa.
Perkembangan penting terjadi sekitar tahun 1810. Ketika Gubernur
Jenderal Hermann W. Daendels menancapkan sebuah tongkat di
suatu titik (Kilometer 0) di Jalan Raya Pos (Groote Postweg) di kota
Bandung. Tepatnya Jalan Asia Afrika. Jalan yang menghubungkan
Batavia (Jakarta) ke wilayah Jawa lainnya. Sebuah mega proyek
yang menjadi role model pembangunan sampai hari ini1.
Sejak itu, pembangunan berbagai infrastruktur dan sarana kota
intensif dilakukan. Selama dekade 1920-1930-an, tercatat begitu

1 Selain itu juga Bandung ditetapkan sebagai salah satu kota administratif
dibawah kendali Daendles yang disebut Gemeente. Posisi ini juga
menempatkan Bandung sebagai kekuatan politik dan sosial yang ada di Jawa.

84
banyak bangunan monumental berdiri. Kemudian menjadi ciri
dan identitas kota Bandung hingga kini. Diantaranya, bangunan
Department Verkeer en Waterstaat atau kini dikenal Gedung Sate.
Gedung ini dikenal sebagai pusat pemerintahan nasional. Bangunan
Aula Barat dan Timur Kampus ITB, serta master plan kampus
untuk cikal bakal sekolah tinggi teknik pertama di Indonesia.
Gedung lainnya tak kalah menarik, macam Vila Isola, Hotel Savoy
Homann, Hotel Preanger, Gedung Merdeka, dan lainnya.
Para arsitek Belanda merancang dan membangun banyak
gedung menarik. Pembangunan ini menempatkan Bandung
di urutan ke sembilan dari 10 kota dengan arsitektur Art Deco
terbanyak di dunia. Satu kelas di atas kota Paris di Perancis.
Selain bangunan, rancangan ruang-ruang terbuka hijau kota
ikut membentuk identitas Bandung. Bandung memiliki banyak
taman, lapangan dan ruang terbuka kota. Tampaknya, kota taman
(garden city) yang digagas Sir Thomas More pada 1516 hendak
diwujudkan para perencana kota Bandung waktu itu. Tak heran,
dengan penataan alam, taman dan lingkungannya itu, Bandung
mendapatkan julukan dan dipuji sebagai Kota Kembang.
Bandung juga menjadi salah satu basis perlawanan rakyat dalam
perjuangan kemerdekaan. Diantaranya adalah peristiwa bumi
hangus pada Maret 1946, yang dikenal dengan Bandung Lautan
Api. Peristiwa paling monumental terjadi pada 1955. Saat itu,
Bandung menjadi tuan rumah Konferensi Asia Afrika. Sebuah
pertemuan yang menyatukan kelompok negara-negara yang Anti
Imperialisme dan Anti kolonialisme dalam sikap politik Non-Blok.
Selang 50 tahun, perubahan mendasar terjadi. Sikap anti
Imperialisme tidak terlihat lagi. Globalisasi masuk secara masif.
Salah satu indikasi, dibangunnya mega proyek jalan tol yang
menghubungkan Jakarta dan Bandung. Ini merupakan penanda
bom waktu kegiatan industrialisasi di Bandung.

Tak terkecuali Bandung.


Bentang alam Bandung tepat di tengah-tengah kawasan

85
yang mirip seperti mangkok besar atau biasa disebut cekungan.
Dikelilingi sejumlah bukit dan gunung-gunung. Konon, cekungan
ini merupakan danau purba besar dan masih menyimpan jutaan
kubik air di dalamnya. Pusat cekungan Bandung adalah Kota
Bandung, ibu kota Provinsi Jawa Barat. Sebagai kota terbesar di
Jawa Barat, Bandung memiliki keunggulan sarana dan prasarana,
yang menjadi daya tarik segala kegiatan.
Sedemikian serakahnya, Bandung bisa dijuluki “kota serba
terbuka” yang menampung berbagai kegiatan. Yaitu, sebagai pusat
pemerintahan Jawa Barat, pusat perdagangan lokal dan regional,
pusat pendidikan dan pengetahuan, kota pariwisata, kebudayaan
dan konferensi, serta pusat industri. Ini memberi tekanan dan beban
cukup berat bagi Cekungan Bandung. Kini pengembangannya
merangsek ke kawasan gunung.
Julukan-julukan di atas menjadi daya tarik investor menanamkan
modalnya. Pada gilirannya, modal mempercepat laju pertumbuhan
ekonomi makro, yang selama ini diamini sebagai satu-satunya
indikator kemajuan. Harapan itu memang tidak meleset. Selama
1975-1985 misalnya, laju pertumbuhan Kota Bandung (saat itu
berstatus kotamadya) mencapai rata-rata sembilan persen per
tahun. Pada 1985-1990, meningkat tajam menjadi 12,02 persen.
Jauh di atas rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat, yang
hanya 7,6 persen.
Namun, meningkatnya investasi tersebut mendorong naiknya
arus migrasi. Padahal secara geografis, Bandung memiliki karakter
berbeda dari kota-kota besar lain di Indonesia. Secara bentang
alam, Bandung satu-satunya kota besar dan ibu kota provinsi yang
berada di daerah dataran tinggi (hinterland). Sementara kota besar
lain biasanya di daerah pesisir. Bandung juga dikelilingi banyak
gunung. Inilah yang membuat Bandung memiliki keterbatasan
geografis, walaupun sudah lima kali mengalami perluasan wilayah.
Ketika pertama kali dibentuk sebagai Gemeente2 pada 1 April
2 Pada saat Gemente dibentuk, Bandung dibagi menjadi dua kecamatan. Yaitu:
Kecamatan Bandung Kulon (Barat) dan Bandung Wetan (Timur). Status

86
1906, penduduknya mencapai 38.403 jiwa dengan wilayah seluas
1.922 ha. Kini luas wilayah Bandung sekitar 16.729,65 hektar.
Berpenduduk 2,5 juta jiwa dengan rata-rata kepadatan 128 jiwa
per hektar. Jauh di bawah standar yang ditetapkan PBB sebanyak
60 jiwa per hektar.
Menurut Bapedda Jawa Barat, luas wilayah Cekungan Bandung
adalah sebesar 348.891,38 ha. Meliputi: Kota Bandung, Kab.
Bandung, Kota Cimahi, Kab. Sumedang (Kec. Tanjungsari,
Cimanggung, Jatinangor, Sukasari, Pamulihan). Berjumlah
penduduk 7.554.747 jiwa, dengan kepadatan 22 jiwa/ hektar. Kota
Bandung dengan luas 16.729,65 ha menjadi wilayah terpadat,
dengan laju pertumbuhan 4,37%.
Penggunaan lahan di kawasan Cekungan Bandung semakin
mengurangi luas hutan primer, hutan sekunder, perkebunan,
dan sawah. Pada 1994, hutan primer Cekungan Bandung seluas
57.294,4 hektar; berkurang 1.545,7 hektar pada 2001. Perkebunan
dan lahan sawah juga kian menyempit.
Perubahan tata guna lahan sebenarnya bertentangan dengan
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang telah ditetapkan
untuk mengatasi perluasan masif populasi. Luas pemukiman
meningkat 10 persen setiap tahunnya. Pada 1991 saja, luas
pemukiman mencapai 29.914,9 hektar. Sepuluh tahun berikutnya
menjadi seluas 33.025,1 hektar.
Pemukiman bisa dijumpai di wilayah Gedebage dan Margacinta.
Dua kawasan itu merupakan lahan persawahan luas dengan fungsi
sebagai tanggul. Penahan air agar kabupaten Bandung tak dilanda
banjir tahunan. Situasi ini tak beda dengan kondisi Bandung
Utara, terutama kawasan Punclut. Berbagai tipe perumahan telah
berdiri disana. Padahal wilayah ini ditetapkan sebagai kawasan
resapan air Bandung. Tak hanya itu, wilayah ini mengancam pusat
pengamatan bintang Boscha, dengan cahaya lampunya yang begitu
terang pada malam hari.
Bandung yang baru ini sebagai penanda meningkatnya peran Bandung dalam
percaturan sosial politik Jawa (KotaTua Kota Baru, Sejarah Kota-Kota di
Indonesia, 2005, hal. 189.
87
Kawasan Cekungan Bandung bagian selatan telah menjadi
pusat kawasan industri yang tumbuh pesat. Pada 1999, kawasan
industri luasnya 2.356,2 hektar. Pada 2001 meningkat menjadi
2.478,8 hektar. Setiap tahun, grafik pertumbuhannya naik pesat.
Tahun 2005 saja, angka investasi naik mencapai Rp 3.658
trilyun. Ini berakibat meningkatnya penggunaan lahan untuk
industri. Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi adalah kawasan
industri terbesar. Tak hanya tekstil, tapi juga berbagai industri
makan, mainan, kimia, kayu, bambu, rotan dan industri logam.
Industrialisasi dua wilayah tersebut menyebar ke berbagai
kecamatan. Misalnya Cimahi Selatan, Leuwigajah (keduanya
bagian wilayah kota Cimahi), Dayeuhkolot, Banjaran, Cikancung,
Cipeunduey, dan sebagainya.

Arahan Penggunaan Lahan Penyimpangan


Peruntukan Lahan
(Ha)
Luas (Ha) % Luas (Ha) %

Penggunaan
1077.12 466.1 43.27 606.5 3.32
Lahan Industri
Penggunaan
11748.08 7770.11 66.14 3941.07 20.97
Lahan Perumahan
Penggunaan
lahan 430.92 235.72 54.70 252.8 1.11
perdagagan/jasa

Penggunaan
1114.28 463.21 41.57 701.32 3.68
konversi lahan

Sumber : Annual State of the Environment Report 2003

Pertumbuhan Cekungan Bandung memberi dampak pada Kota


Bandung yang terletak di tengahnya. Pembangunan Kota Bandung
pesat meninggalkan kota-kota sekitarnya.
Problematika pertumbuhan kota sebenarnya sudah diantisipasi

88
sejak 30 tahun silam. Pada 1974, ada konsep pengembangan kota
Bandung Urban Development Strategies (BUDS). Konsep BUDS
merupakan usaha memindahkan sebagian fungsi primer dan
sekunder pada wilayah satelit sekitar Bandung. Seperti Cimahi,
Dayeuh Kolot, Banjaran, serta beberapa wilayah lain. Konsep ini
diyakini dapat menyelesaikan problematika kota. Namun pada
akhirnya tidak berjalan, bahkan melahirkan persoalan baru dalam
pengembangan kota.
Konsep ini berlanjut ke periode 1977-1978. Hanya berubah
nama menjadi Bandung Urban Development and Sanitation Study
(BUDSS). Periode 1979-1986, muncul program Bandung Urban
Development Project (BUDP) I dan BUDP II pada 1986-1994.
Semua konsep itu bertujuan menata dan mengembangkan kawasan
cekungan agar lebih baik.
Sayangnya, dokumen-dokumen itu ternyata tersedat dan tidak
diterapkan secara terarah di lapangan. Kota-kota kecil sekitar
Bandung, seperti Banjaran, Cicalengka, Cimahi, Cileunyi dan
Lembang, berkembang pesat namun tidak mengarah pada fungsi
awalnya sebagai kota satelit yang harus menopang. Mereka
cenderung menyatu dengan Kota Bandung.
Tidak tumbuhnya kota-kota satelit tersebut sebagai penopang
Bandung bisa dilihat dari corak perkembangan masing-masing
wilayah. Cimahi misalnya, hanya mengalami perubahan
admistratif menjadi Kotamadya. Namun tak terlihat Cimahi
mampu membangun kota sendiri. Begitu juga Lembang. Kota ini
justru menjadi pusat wisata alternatif untuk Bandung yang penuh
sesak. Biasanya, wisatawan domestik yang datang ke Bandung
tidak sekedar mengunjungi Kota Bandung untuk belanja, tapi juga
berkunjung ke kota-kota di wilayah Cekungan Bandung lainnya.
Kota Bandung yang memiliki banyak peran ini, ternyata tak
didukung kebijakan memadai. Ini terlihat pada kasus Kawasan
Bandung Utara (KBU) yang terus jadi polemik dan belum
terselesaikan. KBU otomatis berubah fungsi dari kawasan

89
tangkapan dan resapan menjadi kawasan pemukiman elit dengan
konsep pembangunan rumah mewah.
Tingkat populasi terus menunjukan pertumbuhan yang
mendorong konsumsi kebutuhan pokok dan non pokok. Sejak
2002 hingga 2005, jumlah pasar Kabupaten Bandung meningkat
hampir dua kali lipat. Dari 29 pasar bertambah menjadi 45 pasar.
Hal yang sama dialami Kota Bandung, dari 48 pasar menjadi 98
pasar pada tahun 2005.

Kawasan ekonomi Kota Bandung setali tiga uang.


Pesatnya pertumbuhan ekonomi Bandung ditandai dengan
maraknya pusat-pusat industri dan pasar-pasar. Situasi ini
menjadikan Bandung sebagai salah satu pusat perbelanjaan di Jawa.
Ramai orang berkunjung untuk menukarkan uangnya dengan
berbagai produk industri Bandung.
Pusat-pusat industri Bandung memiliki ciri khas masing-
masing, tapi tidak tertata rapi. Diantaranya, Cihampelas terkenal
dengan pakaian jeans, Binongjati dengan industri rajutnya,
Cibaduyut dengan sepatu dan tas kulitnya, dan jasa sablon di
Surapati-Cicaheum (Suci). Salah satu pusat industri yang menarik
adalah Cigondewah, pusat industri tekstil.
Kawasan Cigondewah luasnya sekitar 300 ha. Terdiri dari
tiga desa, yaitu: Cigondewah Kaler, Cigondewah Kidul, dan
Cigondewah Rahayu. Selain itu, ada satu desa lagi yang menjadi
bagian Kabupaten Bandung yaitu Cigondewah Hilir. Luasnya
sebesar 121.232 hektar. Daerah yang berada di kawasan Bandung
bagian barat ini dikenal sebagai ”kuya”. Artinya ‘kumuh tetapi
kaya’3.
Cigondewah mulai berkembang menjadi daerah industri
sejak 20 tahun terakhir. Perkembangan spektakuler terjadi dua
tahun terakhir, sejak dicanangkan sebagai ‘Kawasan Belanja
Kain’. Cigondewah tumbuh pesat menjadi pusat berbagai macam
3 Kawasan Cigondewah merupakan kawasan Industri yang maju pada awal
tahun 2000 sampai saat ini

90
transaksi tekstil dan olahannya. Juga bahan-bahan daur ulang dari
pabrik sekitar Bandung. Ratusan pengusaha kain berkembang bak
jamur di musim hujan. Jumlah pengusaha kain disini tidak kurang
400 orang. Itu belum termasuk para pengusaha kardus, karung,
makanan, dan sebagainya.
Sebagai kawasan industri tekstil, Cigondewah memang terlihat
kumuh. Limbah tekstil berupa kain sisa terlihat berceceran. Sampah
rumah tangga menumpuk di jalanan maupun di halaman rumah.
Meski kumuh, dan sebagian besar pengusaha hanya mengecap
pendidikan dasar (SD), daerah ini terkenal kaya. Mereka hidup
berkecukupan dari limbah tekstil itu.
Selain tradisi keluarga turun temurun menjadi pengusaha,
kondisi geografis adalah pendukung lainnya. Cigondewah mudah
diakses dari berbagai jurusan sepanjang jalan tol Padalarang-
Ciluenyi. Inilah yang membuat letaknya menjadi strategis,
Kelebihan lainnya, Cigondewah merupkan kawasan terpadu.
Ini bisa dilihat dari jenis usaha yang berkembang di sana. Mulai
dari produksi dan penjualan kain, dompet, topi, kasur, keset,
pakaian anak dan dewasa, busana muslim, bahan-bahan pendukung
industri tekstil. Terdapat juga bahan daur ulang pabrik seperti
kardus, karung, plastik, majun, benang, dan perca. Serta olahan
makanan seperti borondong dan kerupuk. Produk-produk yang
dihasilkan berkualitas baik dengan harga yang murah.
Berkembangnya pusat-pusat industri mendorong tumbuhnya
sejumlah pasar tempat memasarkan berbagai produk. Berbagai
pusat belanja marak dibangun. Mulai dari mall di setiap sudut
kota, factory outlet (FO), hinga pusat distro. Beberapa dari mereka
menggusur pasar tradional yang berdiri puluhan tahun lalu. Selain
pusat-pusat perdagangan resmi, terdapat juga pasar-pasar ‘kaget’,
yang biasanya menempati ruang-ruang terbuka di berbagai sudut
kota.
Di Kota Bandung, pasar kaget muncul di beberapa sudut
kota pada hari-hari tertentu, seperti Minggu. Pasar macam ini

91
bisa dijumpai di Tegalega, taman dan ruas jalan bagian depan
Perumahan Metro-Margahayu Raya (lapak PKL dan jajan pasar),
halaman depan parkir barat Bandung Super Mall (bursa mobil
bekas), halaman parkir Makro (bursa mobil bekas), kawasan
Ciumbeuleuit (jajan pasar, sayur mayur dan hasil bumi yang lebih
menyerupai pasar tradisional), dan ruas jalan utama Perumahan
Arcamanik.
Lapangan Gasibu, depan Gedung Sate – Kantor Gubernur
Provinsi Jawa Barat, barangkali pasar kaget terbesar di Kota
Bandung. Pasar yang biasa disebut Pasar Gasibu ini hadir tiap
minggu. Memanjang di Lapangan Gasibu, meluber ke Jalan
Supratman, tepat di depan Gedung Satu. Kawasan ini menjadi
lapak pedagang kaki lima dan beragam jajan pasar, baik makanan
ataupun panganan lainnya.
Selain pasar kaget hari minggu, ada juga yang hanya buka pada
tanggal-tanggal tertentu. Diantaranya, pasar kaget depan Taman
Lansia kawasan Gedung Sate, yang hanya buka tiap tanggal 1
dan 2 setiap bulannya. Bertepatan dengan waktu gajian Pegawai
Negeri Sipil. Juga pasar kaget di ujung timur ruas Jalan Naripan,
yang buka tiap tanggal 7 hingga 10 tiap bulan. Bertepatan dengan
jadwal pengambilan pensiun PNS.
Jika dicermati, kehadiran pasar-pasar dadakan ini memiliki ciri
khas. Mereka menempati ruang Kota Bandung secara temporer.
Fenomena ini dikenal sebagai urban spatio temporal places (USTP).
Sebenarnya bukan hanya pasar kaget yang masuk kategori
USTP4. USTP juga berlaku waktu-waktu tertentu saat ruang
kota dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan. Namun fungsi utama
ruang tersebut tak berubah atau beralih fungsi. Pemanfaatan ruang
tersebut dapat terjadi secara formal atau informal.
Kehadiran pasar-pasar kaget menggunakan ruang terbuka pada
hari Minggu ataupun hari-hari lainya, bukan karena Bandung

4 Pengertian lebih ditujukan kepada pemanfaatan suatu ruang kota secara


temporer untuk berbagai macam kegiatan.

92
kekurangan pasar. Namun, lebih karena motif lain5.
Bagi warga Bandung, hari Minggu bisa disebut hari pasar dan
rekreasi di satu sisi. Di sisi lain, sebagai waktu yang dinantikan
untuk mencari rejeki bagi yang lain. Disinilah alasan pasar-pasar
kaget itu muncul. Bahkan beberapa lokasi, sejak subuh hingga
menjelang tengah hari, berubah menjadi pasar kaget. Di sana
menggelar berbagai jenis dagangan.
Bagi warga kota, kesempatan berbelanja hari minggu lebih
bersifat rekreasi daripada berbelanja kebutuhan pokok. Alhasil,
produksi sampah meningkat setiap minggunya akibat konsumsi
yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan. Model gaya hidup
seperti inilah yang memberikan sumbangan terhadap kondisi
Bandung saat ini. Suatu kondisi yang tak lagi kondusif dan sensitif
lingkungan. Itulah yang dirasakan Leuwigajah, muara pembuangan
sampah warga Kota Bandung.

Ada apa di Leuwigajah?


Leuwigajah berada di perbatasan Cimahi dan Bandung. Pada
21 Pebruari 2005 lalu menjadi pusat perhatian lokal, nasional dan
regional. Bukan karena keindahan wilayahnya. Tetapi, karena
longsor besar di Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah yang
terjadi pada pukul 02.00 WIB dini hari. Longsor dipicu hujan
deras tiga hari berturut-turut. Sekitar 2,7 juta meter kubik sampah
yang menggunung longsor ke arah lembah. Menimbun wilayah
pemukiman penduduk.
Paska longsor, selama satu minggu lebih Bandung menjadi
kota sampah karena sampahnya tak tertangani. Ironisnya, pada
saat bersamaan sedang digelar sebuah pertemuan tingkat dunia,
Konferensi Asia Afrika. Bandung yang terkenal dengan keindahan
dan disejajarkan dengan Paris, berubah menjadi kota sampah. Tak
pelak ini membuat gerah pejabat nasional. Akhirnya, Presiden pun
turun tangan.
Leuwigajah kawasan pembuangan sampah (TPA) terbesar Jawa

5 Hasil survei lebih dari 75% responden di tiga lokasi pasar ‘kaget’.
93
Barat. Secara geografis berada di ketinggian 715-725 meter dari
permukaan laut. TPA ini berada di tiga wilayah: Kota Bandung,
Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi. Berfungsi menampung
sampah dari wilayah-wilayah sekitarnya6. Luas TPA sekitar 23.505
hektar. Pengguna terbesar adalah Kota Bandung, sekitar 17.005
hektar . Sisanya digunakan Cimahi dan Kabupaten Bandung.
TPA milik Kota Bandung ini dibangun pada 1984 hingga 1985,
lewat Surat Keputusan Gubenur Jawa Barat No.791/PM.130-
Pem/SK.1980. Beroperasi mulai Januari 1987, sebelum ditutup
pada bulan Juni tahun yang sama. Kemudian dibuka kembali pada
Oktober 1987 hingga longsor terjadi.
Longsor TPA Leuwigajah bukan pertama kali. Sebelumnya,
longsor terjadi pada 1992. Namun tak banyak memakan korban
seperti tahun 2005. Tanda-tanda gagalnya sistem TPA sudah
terlihat sejak TPA lain di Kota Bandung tidak berfungsi.
Diantaranya TPA Cicabe dan Jelekong, yang telah habis masa
pakainya. Sedangkan TPA Sarimukti, jarak tempuhnya lebih jauh
dari Leuwigajah. Akhirnya, Leuwigajah dipilih menjadi TPA.
Longsor ini tak akan menjadi mimpi buruk dan mencoreng
muka Bandung, jika penanganan sampah dikontrol baik. Tiap
harinya, lebih 4 ribu ton sampah ditumpuk di TPA Leuwigajah.
Sampah Kota Bandung rata-rata 6,5 ribu-7,5 ribu meter kubik per
hari. Setara dengan 1.864 ton per hari. Sampah dari pemukiman
penyumbang terbesar, sekitar 3.028 m3. Disusul sampah pasar 459
meter kubik, industri 366 meter kubik, jalan 295 meter kubik,
fasilitas umum 184 meter kubik, dan usaha/komersial 168 meter
kubik. Tak terbayangkan banyaknya sampah menumpuk dalam
satu bulan di sana.

6 Debit timbunan sampah didasarkan pada hasil survei yang menunjukkan


bahwa rata-rata timbunan sampah per penduduk per hari sebanyak 3, 02 liter
atau setara dengan 0,76 kg/penduduk/hari.

94
Sisa
Sumber Volume Volume
yang tak %Tak
No Timbulan Timbulan terangkut
tertangani Tertangani
Sampah (m3) (m3)
(m3)

1. Pemukiman 3,978 3, 028 950 24%

2. Pasar 613 459 154 25%

3. Jalan 449 295 154 34%

4. Industri 787 366 421 53%

Usaha/
5. Komer 312 168 144 46%
Sial

Fasilitas
6. 361 184 177 49%
Umum

Timbunan sampah di Kota Bandung, Sumber PD Kebersian 2003

Secara geologis, kawasan Leuwigajah merupakan daerah


berkapur. Bagian dari bentangan bukit-bukit kapur di daerah
Padalarang. Setelah TPA berdiri, banyak warga datang
menggantungkan hidupnya dari limbah sampah. Faktor ekonomi
mendorong mereka untuk menetap di sekitar wilayah pembuangan
sampah. Segala risiko, polusi bau, polusi air tanah, dan ancaman
keselamatan jiwa, bukan faktor penting bagi mereka. Hingga
dampak luar biasa dirasakan pada 21 Februari 2005. Puluhan
rumah tertimbun bersama ratusan orang yang tinggal di dalamnya7.
Bencana ini merupakan bencana beruntun yang dialami
Indonesia. Menurut seorang jurnalis Amerika Andre Vlatchek,
bencana yang banyak terjadi di Indonesia tidak hanya faktor alam
semata seperti Gunung Merapi dan tsunami. Tetapi juga faktor
7 Meningkatnya mobilitas masyarakat di kawasan the greater Bandung dipicu
oleh ketidakkonsistenan pengurus wilayah dalam mengendalikan kawasan
cekungan. Sebelum mega proyek tol dibangun, industri jasa telah berkembang
dengan pesat.

95
yang disebabkan oleh manusia itu sendiri8. Benar yang dikatakan
Mahatma Gandhi bahwa bumi cukup untuk memenuhi kebutuhan
kita semua. Namun ia tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
segelintir orang yang tamak. TPA Leuwigajah merupakan salah
satu bencana yang disebabkan kelalaian, ketamakan manusia.

Penanganan Sampah: Corak Bertahan Hidup


Pembangunan yang mengedepankan keuntungan (profit
oriented), telah menghasilkan beragam risiko yang membuat
kawasan makin rentan. Rekayasa wilayah Greater Bandung tidak
menghitung efek dominonya. Konsekuensinya, meningkatnya
produksi buangan atau sampah. Jumlah atau volume sampah
sebanding dengan tingkat konsumsi terhadap barang atau material
yang digunakan sehari-hari. Jenis sampah bergantung jenis material
yang dikonsumsi. Karenanya pegelolaan sampah tak bisa lepas dari
pengelolaan gaya hidup rakyat.
Kasus TPA Leuwigajah dapat menjadi contoh sistem yang tidak
memperhitungkan kerentanan alam. Kealpaan kalkulasi sampah
dalam pembangunan, ditambah salah urus penanganan sampah
kota, berakibat bencana ekologi yang dikenal dengan longsor
sampah. Pengurusan sampah juga masih dipandang dari sisi proyek
yang dapat menghasilkan sumber pendapatan asli daerah (PAD).
Bukan sebagai bentuk pelayanan publik.
Penanganan sampah TPA Leuwigajah menggunakan sistem
control landfill. Sampah dipadatkan kemudian ditutup tanah
sewaktu-waktu untuk mengurangi pencemaran udara. Akibat
keterbatasan alat dan dana, pembuangan dilakukan dengan sistem
open dumping, dibuang dan ditumpuk di alam terbuka. Metode ini
tenyata melahirkan masalah baru. Menurut hasil penelitian, cara
ini tidak memperhitungkan kondisi geografis yang rawan longsor.
Hasil studi BIGS (Bandung Institute of Governance Studies)

8 Artikel ditulis di salah satu media Amerika menyikapi beruntunnya bencana


yang terjadi di Indoesia. Dia bahkan menempatkan Indonesai sebagai negara
bencana pertama menggantikan Bangladesh.
96
(2005) mencatat, Perusahaan Daerah (PD)9 Kebersihan Kota
Bandung hanya mendapat dana Rp 7 miliar dari pos pelayanan
publik. PD Kebersihan mendapat dana hasil retribusi sampah yang
dipungut dari warga. Pada 2005, pemasukan retribusi mencapai Rp
14 miliar. Namun penggunaannya lebih banyak untuk membiayai
kebutuhan operasional dan gaji pegawai. BIGS juga mengindikasi
terjadinya korupsi dalam program pengelolaan sampah kota.

Anggaran Biaya PD Kebersihan

Tahun 2002 Tahun 2003

Biaya Biaya
Pendapatan Pendapatan
operasional operasional

Rp. Rp. Rp. Rp.


7.301.29.025 19.969.384.695 20.018.101.755 21.027.438.538

Tahun 2004

Biaya
Pendapatan
operasional

Rp. Rp.
21.730.239.270 28.590.226.558

Sumber : Dinas Kebersihan 2004

9 Merupakan perusahaan yang ditunjuk mengurus sampah kota Bandung

97
Sistem pengolahan sampah open dumping10 dan sanitary landfill
merupakan cara umum kota-kota besar menangani sampahnya. Ini
juga dipraktikkan pada tempat-tempat pembuangan sampah (TPS)
di Jakarta yang membuang sampahnya ke Bantar Gebang Bekasi.
Cara ini membutuhkan ruang terbuka lebih banyak. Padahal tak
banyak ruang yang tersedia bagi pembuangan sampah kota.
Konflik kepentingan juga terjadi karena persoalan sampah suatu
kota dipindahkan ke wilayah lain. Contoh kasus TPST Bojong
Bogor. Warga sekitar tak mau wilayah pemukiman mereka
dijadikan tempat pembuangan sampah Jakarta. Wajar penolakan
terjadi, mereka khawatir lingkungannya tercemar. Terakhir,
penolakan warga Gedebage kota Bandung, menolak pengolahan
sampah menggunakan insenerator11 .
Berbagai cara dilakukan untuk menangani sampah kota.
Namun yang sebenarnya terjadi hanyalah memindah satu masalah
ke tempat lain. Penanganan sampah tanpa mengubah cara
pengambilan hingga pengelolaannya, tak akan menyelesaikan
masalah. Meski memakai teknologi canggih sekalipun. Apalagi
sebagian besar sampah yang dihasilkan merupakan sampah basah.
Berdasarkan penelitian, sampah basah memakan biaya sangat
besar untuk mengelolanya menjadi produk yang dapat digunakan
kembali (reuse). Sampah basah dihasilkan dari sisa produksi pasar
tradisional dan rumah tangga. Jumlah sampah basah ini mencakup
60 hingga 70 persen total volume sampah.
Tingkat konsumsi dan pertumbuhan ekonomi terbukti men­

10 Data ini, merupakan kajian dari Tim Satgas ITB yang dibentuk pasca longsor
Leuwigajah. Tiga bulan sebelum bencana longsor terjadi sebenarnya Teknik
lingkungan ITB telah memberikan gambaran akan potensi bencana namun
pihak terkait tidak melakukan preventif.
11 Penolakan ini berkembang karena terindikasi banyak pelanggaran yang
dilakukan pemerintah kota. Baik dalam tender, teknologi yang membutuhkan
biaya tinggi, dan lain-lain. Konflik kepentingan juga muncul dalam
penanganan sampah kota antara pihak pemerintah provinsi yang masih ingin
mempertahankan TPA Leuwigajah menjadi TPST dengan Pemerintah
Kota Bandung yang mengajukan konsep pengolahan sampah menjadi energi
dengan metode insenerator.

98
dorong naiknya volume sampah di kawasan The greater Bandung.
Situasi yang tak jauh berbeda dengan kota besar lain di Indonesia.
Volume sampah Jakarta, Yogyakarta, Semarang, dan Surabaya
pada 2006, masing-masing mencapai 6.000 ton, 1.724 ton, 1.000
ton dan 2.175 ton per hari.

Bertahan dengan Sampah


Sampah kerap kali dikaitkan dengan hasil produksi manusia
yang sudah tak dipakai lagi. Maknanya dekat sekali dengan
sebutan Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPA). Tetapi
makna semantiknya sebenarnya tidak hanya diartikan sampah
di TPA. Menurut Ensiklopedia Indonesia, sampah merupakan
material sisa yang tak diinginkan setelah berakhirnya suatu proses.
Sampah merupakan konsep buatan manusia. Dalam proses-proses
alam tidak ada sampah, yang ada hanya produk-produk yang tak
bergerak.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI 2006), definisi
sampah adalah barang atau benda yang dibuang karena tidak
terpakai lagi. Barang bekas adalah tanda yang tertinggal atau tersisa
(sudah dipegang, diinjak, dilalui, dan sebagainya).
Jika mengacu pemahaman di atas, sampah merupakan material
sisa hasil produksi yang tak diinginkan. Maka, definisi sampah
bukan saja yang dibuang dan berada di TPA, tapi juga berkaitan
dengan sisa ekspor, sisa impor dan barang apkir (reject). Namun
yang berkembang, justru makna yang pertama. Di sinilah cerita
gaya hidup sampah berawal.
Menarik mencermati perkembangan kota Bandung beberapa
tahun belakangan. Di era 1990-an, sentra sepatu Cibaduyut mulai
menjadi primadona kunjungan dan belanja warga Indonesia.
Produksi Cibaduyut sangat ditunggu. Disamping kualitasnya
baik, harganya juga bersaing. Setelah krisis melanda tahun 1997,
perkembangan sentra industri Cibaduyut sepatu tersendat. Kini,
bahkan tak mampu memproduksi dan memasarkan produk sepatu
massal.

99
Ekonomi kembali menggeliat sekitar 1998. Semenjak pakaian
bekas impor, khususnya dari Korea dan Jepang, secara bertahap
masuk Indonesia. Di berbagai kota menyeruak sentra-sentra
pakaian bekas macam ini.
Awalnya, kiriman barang impor bekas ini tak mendapat
perhatian pemerintah, karena tidak masuk kategori impor-ekspor
dan tidak dikenai pajak. Ketika mejadi lahan bisnis dan layak
diperjualbelikan, bisnis ini berkembang pesat, menggiurkan.
Meski bagai membeli ”kucing dalam karung”, tapi penjual bisa
mendapatkanya dengan harga murah. Satu bal atau sekarung besar,
dibeli hanya ratusan ribu rupiah saja.
Ketika karung dibongkar dan potongan pakaian dijual,
keuntungan berlipat ganda. Kadang, ditemukan berbagai pakaian
layak jual dengan harga tinggi. Para cukong baju bekas ini bisa kaya
mendadak karena satu barang bisa dijual 50 ribu hingga 150 ribu.
Bayangkan keuntungan diraupnya, jika satu bal berisi sekitar 500
potong baju.
Jika ditelusur, jejak barang bekas impor dapat dilihat mulai
dari Cibadak Mall, wilayah Alun-alun Kota Bandung, dan Jalan
Cibadak. Disini ratusan lapak dan kapling-kapling tenda plastik
menyediakan sandang impor bekas. Jalan Cibadak menjadi
terkenal karena barang bekas yang kemudian berkembang menjadi
gaya hidup Kota Bandung. Cibadak Mall menjadi tren berburu
baju bekas layak jual. Jika beruntung, pengunjung bisa menemukan
baju atau celana yang kantongnya berisi uang Korea atau Cina.
Besarnya antusias warga mengunjungi tempat itu membuat
kawasan Alun-alun terganggu. Pemerintah kota lantas
mengalihkannya ke wilayah Tegalega. Meski jauh dari pusat kota,
masih banyak yang memburu pakaian bekas di tempat baru ini.
Kini jalan Cibadak tak seramai dulu. Lapak-lapak tenda sudah
dibongkar pemerintah kota, begitu juga di Tegalega. Namun,
beberapa gerai pakaian bekas masih dapat temui. Salah satunya
di Kiaracondong dan Pasar Gedebage. Meski negara mengalami
kerugian besar karena memasukkan barang bebas bea, kegiatan
100
jual-beli barang impor bekas ini terus terjadi.
Selain bisnis pakaian bekas impor, peralatan bekas juga banyak
dicari. Perkakas bekas rumah tangga atau kantor mudah ditemukan
di setiap sudut Kota Bandung. Ada yang dijual di tempat terbuka
dan ada di tempat tertutup. Kawasan Cihapit dan Tegalega
merupakan penjualan terbuka dengan lapak-lapak tanpa tenda. Di
sini, pembeli bisa menemukan barang yang tak lagi dijumpai di
pasaran.
Ada juga tempat yang tertutup, memberikan kenyamanan
berbelanja bagi para pemburu barang bekas murah. Lupakan
lapak-lapak lusuh yang berdesak-desakan, dan panas. Gerai-gerai
toko barang bekas Kota Bandung sangat menarik. Lengkap dengan
ruang sejuk ber-AC, pramuniaga berseragam, label harga pas, tak
perlu tawar-menawar. Tersedia juga Café jika ingin beristirahat
sejenak. Kasir tak hanya menerima pembayaran tunai, tapi juga
‘kartu gesek’. Gerai Barang Bekas (Babe), Old & New, Barang
Titipan Anda (Batian), Barang Second (Base), maupun Barang
Bekas (Rangkas) merupakan beberapa gerai barang bekas yang
paling diminati pembeli.
Berbagai jenis barang tersedia di situ. Diantaranya alat musik,
alat pancing, alat olah raga, mixer, jam tangan, sepatu, baju,
jaket dan masih banyak yang lainnya. Tidak semua barang bekas
ini berusia tua, ada juga yang agak baru, mulus tanpa cacat. Jika
mencari barang yang tidak lagi dijual di pasaran, datanglah ke
gerai-gerai ini.
Bisnis barang bekas makin berkembang, tak hanya menerima
barang bekas pakai rumah tangga, tapi juga barang bekas pabrik dan
sisa ekspor. Saat ini, lebih 65 persen barang yang dijual gerai-gerai
tersebut barang sisa ekspor dari gudang pabrik. Sisanya, barang
bekas dari gudang rumah tangga. Penjualannya menggunakan
sistem titip dengan biaya murah. Keuntungan di antara kedua belah
pihak dapat dilihat dari murahnya harga barang yang dititipkan.
Setelah barang terjual, pemilik gerai mendapat persenan dari hasil
penjualan.
101
Gaya Hidup Sampah & Industri FO
Mega proyek jalan tol penghubung Jakarta-Bandung
mem­per­­mudah akses dua wilayah tersebut. Infrastruktur ini
merupakan daya dukung kota Bandung dalam meningkatkan dan
mengembangkan kawasan bisnis wisatanya. Tak jelas, mana yang
menjadi varian bebas atau terikat, apakah jalan tol yang kemudian
diikuti menjamurnya kawasan FO dan kuliner, atau sebaliknya.
Yang pasti, efek ini menambah beban bagi Cekungan Bandung.
Menurut Litbang PU (2006), terdapat lebih 20 ribu kendaraan
tiap akhir pekan memasuki Kota Bandung. Mereka berasal dari
berbagai daerah, khususnya Jakarta. Banyak yang datang bersama
keluarga untuk berwisata belanja dan kuliner di sekitar kawasan
FO.

Tabel Kepadatan Kendaraan pada hari Jum’at di Tol


Pasteur
Jumlah
Waktu
Kendaraan
08.00-10.00 120
10.00-12.00 115
12.00-14.00 105
14.00-16.00 130
16.00-18.00 245
18.00-20.00 275
20.00-22.00 130
22.00-24.00 101

Total 1221

Sumber: enggamerasandi.blogspot.com
Wilayah Bandung kini hanya dilihat sebagai peluang bisnis.
Berbagai bangunan indah bernuansa art deco, yang sesuai pola
pembangunannya menjadi landmark kota, berubah fungsi menjadi
berbagai macam FO. Pemandangan ini mudah ditemui sepanjang
kawasan Dago dan Jalan Riau.

102
Dalam usia 196 tahun, nyaris dua abad, Kota Bandung justru
tidak menampilkan kemapanan sebuah kota yang terkelola dan
terkonsep rapi. Jika dianalogikan, dalam usia menua tersebut,
Bandung justru makin rapuh menyangga beban pertumbuhan yang
kian menghimpit. Potret Kota Bandung kekinian bergeser jauh
dari konsep Bandung kawasan bernuansa alam, yang diidamkan
dulu.
Pembangunan infrastruktur jalan tol Jakarta-Bandung telah
mendorong mobilitas warga Jakarta datang ke Bandung. Jumlahnya
meningkat setiap minggunya. Hanya membutuhkan waktu dua
jam untuk sampai ke Bandung. Salah satu tujuan utama meraka
adalah gerai FO. Jika belum ke FO berarti belum mengunjungi
kota Bandung, kata mereka. Tiap akhir pekan, gerai-gerai FO di
kawasan Dago dan Riau penuh deretan mobil berplat B, nomor
seri kendaran untuk wilayah Jakarta.
Pada akhir minggu, FO memang daya tarik tersendiri para
pengikut trend mode dan bermerek. Merek-merek terkenal macam
Versace, Aigner, Guess, dan Calvin Klein mudah ditemukan di
gerai-gerai FO. Meski terdapat cacat di sana-sini atau tak seperti
produk asli berharga ratusan ribu atau bahkan jutaan rupiah. Di
FO, produk tersebut bisa dimiliki dengan harga puluhan ribu
rupiah saja.
Yang menarik, pengunjung FO justru orang-orang kalangan
menengah atas. Mereka menggunakan mobil-mobil mewah
yang diparkir berjejer di depan gerai FO. Pengunjungnya, ada
perempuan paruh baya memakai kacamata Cartier dengan ponsel
mahal seri terbaru di tangan, sibuk mengacak-acak box bertuliskan:
diskon 80 persen. Ada juga om-om berbadan besar memakai celana
pendek, dengan jam tangan rolex terbaru, sedang asik mencoba
ikat pinggang Versace.
Dalam kategori pasar ekspor internasional, sebenarnya barang-
barang FO termasuk pakaian tak layak jual atau produk buangan
(sampah), produk ekspor yang dianggap cacat dan ditolak para
pembeli. Kalangan industri mendefinisikan produk yang gagal
103
dijual dan dikonsumsi sebagai sampah.
Awalnya FO membantu memasarkan sisa ekspor produk dalam
negeri. Pada perkembangannya, FO tak hanya menjual sisa ekpor
dalam negeri, tapi juga sisa ekspor negara lain. Impor pakaian sisa
negara lain dilatarbelakangi ketidakmampuan industri dalam negeri
menangkap selera pasar. Produk impor lebih mengedepankan
barang-barang bermerek yang diinginkan pasar. Meski itu barang
sisa tak layak ekspor. Tak heran, banyak FO diisi pakaian sisa
ekspor negara lain atau impor untuk menjaga keeksklusifannya.
Selain itu, harga produk impor tergolong murah jika
mempertimbangkan sejumlah pajak yang harus dibayar ketika
masuk Indonesia. Barang yang harusnya dipasarkan ke Eropa dan
Amerika Serikat tersebut dijual dengan harga murah. Misalnya,
celana jeans dan korduroi dijual Rp 70.000, kemeja Rp 35.000, dan
baju kaus Rp 20.000.
Pada awal 2000-an, sebagian besar FO mengimpor karena
banyak barang yang melebihi permintaan. Sisanya dilempar pihak
industri tekstil ke pasaran, sehingga tak lagi ekskusif. Meski
demikian, FO sudah memperlihatkan perubahan secara perlahan.
Produk-produk sisa ekspor dalam negeri sudah memasuki sebagian
besar pasar FO. Bahkan ada FO yang sudah menjual sisa ekspor
dalam negeri. Ini dapat dilihat dari nilai pasar kain dan garmen
dalam negeri yang bisa mencapai Rp 20 triliun per tahun.
Sementara nilai pasar garmen dunia mencapai hingga US$199
miliar per tahun.

Bandung Kreatif
Kota Bandung memang memberikan citra dan gayanya sendiri
sebagai trend setter gaya hidup. Kemampuan rakyatnya dalam
mencipta ide dan gaya, menjadikan Bandung sebagai pusat mode
Indonesia, patut diacungi jempol.
Bagaimana tidak, banyak cara mereka kembangkan untuk
beradaptasi dengan perkembangan zaman dan bertahan sebagai
trend setter. Mulai dari perkembangan sentra-sentra ekonomi, baik

104
yang sesuai rencana maupun yang tidak terencana. diantaranya
Cihampelas, Cibaduyut, Cibadak Mall hingga FO. Kemampuan
tersebut diikuti kemampuan dalam melihat potensi pasar. Hanya
mall-mall mungkin, yang tidak dapat dikelompokkan sebagai
bentuk adaptasi Bandung.
FO fenomena paling menarik. Bisa dibilang, ia adalah potret
adaptasi yang unik dan terkini Kota Bandung. Setiap minggunya,
pendatang berbagai kota, terutama Jakarta, berduyun-duyun
mengunjungi Bandung. Mereka memadati pojok-pojok kota,
yang menyajikan wisata belanja FO. Fenomena ini adalah luberan
dan cara Bandung bertahan hidup ketika fonomena pasar jeans
di Cihampelas memudar pertengahan 1990-an, disusul Cibadak
Mall tahun 2000-an. Saat itu, beberapa pengusaha Bandung mulai
khawatir dan berusaha keras mencari format baru memancing
konsumen datang ke Bandung.
Fonomena urban spatio temporal places (USTP) Kota Bandung
dengan ‘pasar kaget’-nya merupakan cara bertahan hidup budaya
ekonomi tradisional (pasar tradisional), di tengah maraknya budaya
konsumtif belanja di FO, atau budaya konsumtif metropolitan
lainnya.
Pakar budaya atau sosiolog kota barangkali sepakat, jika ini
disebut sebagai salah satu budaya kreatif warga kota Bandung
di bidang ekonomi. Apa bentuknya? Menghadirkan hari pasar,
membawa kita pada suasana hari pasar dalam budaya ekonomi
tradisional. Bentuk kreatifitas lainnya, membangun budaya factory
outlet, penjualan barang bekas, bursa mobil bekas dan inovasi dalam
industri rumah tangga hingga berbagai jenis panganan seperti
pisang molen, batagor dan lain-lain.
Selain itu, ada juga ekonomi kerakyatan yang dikembangkan
warga Cigondewah yang sangat luar biasa. Sistem yang mereka
kembangkan, akhirnya menyelamatkan warga setempat dari krisis
ekonomi yang meluluhlantakkan sebagian besar industri tekstil.
Ekonomi kerakyatan seperti dipraktikkan Cigondewah dan
daerah-daerah lainnya, berhasil bertahan.
105
Perkembangan FO sedemikian rupa tentu tak akan semarak ini
beberapa tahun ke depan. Kreasi rakyat Bandung merespon situasi
yang berkembang, akan melahirkan bentuk baru dari cara rakyat
bertahan. Sedangkan pemerintah, makin terlihat menjadi bagian
yang tak berkontribusi apa-apa terhadap warga Bandung.

Ekonomi Bawah Tanah


Dalam kondisi ekonomi yang tidak menentu saat ini.
Rakyat dipaksa menciptakan ruang-ruang eknomi baru untuk
meningkatkan kualitas hidupnya. Tanpa bergantung pada negara,
yang tak kunjung memberikan kesejahteraan. Negara justru
menciptakan ruang dan jurang lebih dalam bagi rakyatnya sendiri.
Meningkatnya jumlah rakyat miskin dan pengganguran setiap
tahun adalah fakta yang tidak dapat ditutupi oleh kebijakan
ekonomi makro, yang diagung-agungkan pemerintah dan ekonom
pendukungnya. Berdasarkan data Dinas Kependudukan kota
Bandung, pada 2007 terdapat jumlah penduduk sebesar 2.771.138
jiwa. Dari jumlah tersebut terdapat 330 ribu penduduk miskin,
ditambah wilayah sekitar Bandung yang angkanya tidak jauh
berbeda.
Dalam upaya mempertahankan hidup di tengah perkembangan
ekonomi bermodal besar, muncul kreasi rakyat agar bertahan. Itu
yang dilakukan Bandung dalam mempertahankan citra mereka
sebagai trend setter gaya hidup.
Tapi, pertumbuhan industri yang begitu cepat, tak sebanding
dengan Indeks Pembangunan Masyarat (IPM). IPM Indonesia,
tercatat pada posisi 109 dari 173 negara. Sedangkan di level
ASEAN, menempati posisi terendah ke tiga. Indonesia memiliki
IPM 69,2 persen. Hanya unggul dari Vietnam yang IPM-nya 69,1
persen (posisi 112) dan Timor Leste 43,6 persen pada posisi 158.
IPM Jawa Barat menurut NHDP-UNDP, BPS tahun 2003,
mencapai 67,87 persen. Sedikit lebih baik dibanding pencapaian
2002 yang hanya 67,45 persen atau meningkat 0,42 poin. Jawa
Barat berada di urutan ke-22.

106
Pencapaian IPM itu, masih jauh di bawah provinsi lainnya
seperti Sulawesi Utara (71,3 persen), Yogyakarta (70,8 persen),
Kalimantan Timur (70%), Sumatra Utara (68,8%). Peletakan
paradigma pembangunan yang berbasis SDM ini, sangat tepat
untuk mengejar pertumbuhan ekonomi.
Sritua Arief pernah mengangkat persoalan black economy di
Indonesia pada 1990-an12. Black economy adalah bagian dari
ekonomi di bawah tanah (underground economy), yang mengandung
kegiatan-kegiatan ekonomi formal namun melanggar undang-
undang dan peraturan yang berlaku (ilegal), dan kegiatan-kegiatan
ekonomi informal, yang disebabkan berbagai hal tidak tercatat atau
tidak sepenuhnya tercatat dalam perhitungan pendapatan nasional.
Underground economy sering juga disebut sebagai shadow
economy, ekonomi informal, parallel economy, atau juga hidden
economy. Oleh karena ada kegiatan illegal maka dikenal juga adanya
black economy. Hal ini sejalan dengan definisi yang digunakan
Schneider dan Enste bahwa shadow economy mencakup tak hanya
kegiatan-kegiatan legal tetapi juga pendapatan yang tidak tercatat,
dari produksi barang dan jasa, entah transaksinya menggunakan
alat pembayaran (uang) ataupun hanya dengan cara barter.
Dalam berbagai studi, memang sulit mengategorikan suatu
usaha ekonomi masuk ke dalam underground economy. Namun jika
dicermati, hilangnya potensi pajak daerah, maka usaha ekonomi di
Bandung bercorak underground economy. Gerai FO, Cimall, Barang
Bekas, jual beli sampah masuk dalam kategori pajak apa?
Underground sebetulnya mencakup semua kegiatan ekonomi
yang dapat dikenakan pajak bila kegiatan-kegiatan itu tercatat
pada otoritas pajak. Oleh sebab itu diyakini bahwa semakin besar
underground economy, makin besar potensi pajak hilang.
Meski cukup banyak penelitian tentang ekonomi bawah tanah,
belum banyak yang menghitung besarnya potensi pajak yang lolos
dari kegiatan ekonomi bawah tanah. Sasmito Wibowo (2001)
memprediksikan besarnya nilai ekonomi bawah tanah yakni 25%
12 dikutip dari tulisan Aloysius Gunadi Brata 2004
107
dari PDB. Bahkan Luki Alfirman (2003), menggunakan metode
yang sedikit berbeda, memprediksi kegiatan ini akan semakin besar
dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 15 persen per tahun.
Berdasarkan penelitian Enste dan Dr Schneider (2002),
persentasi kegiatan ekonomi bawah tanah di negara maju
mencapai 14-16 persen PDB, sedang di negara berkembang dapat
mencapai 35-44 persen PDB. Kegiatan ekonomi bawah tanah ini
tak pernah dilaporkan sebagai penghasilan dalam formulir surat
pemberitahuan tahunan (SPT) pajak penghasilan. Sehingga masuk
dalam kriteria penyelundupan pajak (tax evasion).
Kecenderungan terjadinya underground economy bukan saja di
negara miskin, tapi juga negara kaya. Namun demikian, krisis yang
melanda Indonesia pada 1997 memungkinkan berkembang dan
meningkatnya underground economy.
Kegiatan ekonomi di Bandung, memberikan ciri ekonomi
bawah tanah. Cara-cara rakyat bertahan hidup ditengah himpitan
ekonomi, justru melebihi ekspektasi sang rakyat sendiri. Hal ini
dapat dilihat usaha-usaha ekonomi yang begitu mengairahkan di
Kota Bandung, meskipun usaha tersebut adalah usaha sampah.

Greater Bandung Kolaps


Sistem perencanaan pembangunan yang berlaku di Indonesia
saat ini, mengacu pada Permendagri No. 9 tahun 1982 tentang
P5D (Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian
Pembangunan Daerah). Pedoman ini menggambarkan secara
sederhana hubungan antara perencanaan pembangunan daerah
dengan perencanaan keruangan wilayah. Sedianya, pembangunan
sejalan antara pembangunan daerah dengan perencanaan wilayah.
Namun hal ini tidak terlihat di kota-kota besar Indonesia.
Kota Bandung sebagai salah satu kota terbesar di Indonesia, gagal
memerankan fungsinya karena desakan pertumbuhan ekonomi.
Rencana tata ruang mengabaikan pertimbangan kerentanan
wilayah, seperti yang tertuang dalam Perda No.02 tahun 2004
tentang Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandung. Konsep

108
pengembangan kota Bandung ditujukan untuk mewujudkan
pemerataan pertumbuhan, pelayanan dan keserasian perkembangan
kegiatan pembangunan antar wilayah, dengan mempertahankan
keseimbangan lingkungan dan ketersedian sumber daya daerah.
Konsep pembangunan kota yang dituangkan dalam RTRW
kental kebutuhan pasar. Perencanaan kota cenderung mengarah
kebijakan pro pasar, sehingga kedepannya, warga kota akan
membayar ongkos ekonomi. Inkonsistensi pemerintah dapat
ditebak. Hanya untuk memperlancar arus modal, bukan
mempertimbangkan daya dukung lingkungan.
Salah satunya, revisi Perda No. 2 Tahun 2004 tentang
Tata Ruang yang baru berumur satu tahun. Ada indikasi, revisi
terjadi karena dorongan kepentingan pihak tertentu. Motifnya
adalah kepentingan ekonomi jangka pendek dan mengabaikan
kepentingan publik rakyat Bandung keseluruhan. Perubahan ini
akan membawa dampak sangat besar bagi ekologi Kota Bandung.
Perubahan peraturan, memberi pengaruh pada peta tata guna lahan.
Salah satu akibatnya, kawasan Punclut yang dulunya berstatus
kawasan Lindung dan konservasi, berubah fungsi menjadi kawasan
pemukiman dengan kepadatan rendah.
Perubahan kota, tanpa diikuti penjagaan keseimbangan alam,
akan mengakibatkan luberan persoalan baru yang tidak dapat
dikendalikan pengurus wilayah. Pada masa pemerintahan Megawati,
perkembangan Kota Bandung sudah mendapat perhatian serius.
Khususnya mengenai tingkat pelayanan Kota Bandung kepada
rakyatnya yang sudah pada titik mengkhawatirkan.
Selain persoalan sampah, berbagai persoalan juga terjadi:
krisis air, perubahan terhadap iklim mikro, polusi udara, dan
lainnya. Semuanya merupakan buah kebijakan tata ruang yang
tak memperhatikan aspek lingkungan. Kerusakan lingkungan
sudah tidak terbendung lagi. Alih fungsi lahan dan alih fungsi
peruntukan, harusnya mendapat perhatian lebih saat ini.
Beberapa penelitian memperkirakan, pada tahun 2010
warga Bandung mengalami kesulitan air tanah. Penyebabnya,
109
pengambilan air tanah yang melebihi kapasitas tersedia, terutama
di kawasan industri. Sebuah cara murah mendapatkan air,
memanfaatkan air tanah dengan membuat sumur artesis. Makin
banyak sumur artesis, laju produksi (discharge) air tanah lebih besar
dari laju pengisiannya (recharge). Akibatnya, permukaan air tanah
makin menurun.
Tahun 1997, permukaan air tanah di Cimahi Selatan,
Leuwigajah, dan Cibeureum adalah 98,25 meter. Artinya, untuk
mendapatkan air, harus menggali sampai kedalaman lebih 98,25
meter. Padahal permukaan air tanah di wilayah tersebut tahun
1928 adalah 18,5 meter. Artinya air keluar dalam bentuk mata air,
tanpa harus digali. Di kawasan lindung seperti Kawasan Bandung
Utara, kerusakan lahan akibat alih fungsi menjadi perumahan
meningkatkan krisis kota Bandung. Belum lagi buruknya
pengelolaan air layanan konsumen.
Data Ditjen Penataan Ruang menunjukkan hingga 1993,
kebocoran PDAM Bandung paling besar di Indonesia. Mencapai
53 persen. Sayangnya, problematika kompleks di atas tak menjadi
peringatan penguasa kota. Terbukti, masih diperdebatkannya alih
fungsi kawasan Bandung Utara, yang jelas-jelas berstatus kawasan
konservasi. Berfungsi menjaga keseimbangan sistem hidrologi
kawasan sekitarnya. Tak saja di Kota Bandung, tapi juga kota-kota
satelit lainnya yang bergantung pada Cekungan Bandung.
Kasus sampah merupakan satu dari banyak kegagalan
pemerintahan (government failure) dalam menyediakan pelayanan
publik. Meskipun pengelola sampah kota Bandung ditangani oleh
PD Kebersihan, namun tidak memberikan solusi. Bandung dan
Bekasi, dua kota di Jawa Barat bahkan mendapat peringkat kota
terkotor di Indonesia. Tapi kenyataan tak membuat pemerintah
tergerak menata ulang rekayasa wilayahnya.
Wali Kota Bandung Dada Rosada bahkan mengaku tidak
kecewa, dan sangat ’sumamprah’ terhadap kondisi yang ada.
Pemerintah tidak menunjukkan itikad memperbaiki situasi yang
ada. Ketergantungan manusia terhadap alam sebagai bentuk
110
stabilnya ekologi, tidak lagi menjadi prioritas. Disaat makhluk
lain menyerahkan sistem pada alam, manusia seakan berusaha
menaklukkan alam.
Perkembangan kota yang tidak terkendali merupakan tabungan
penciptaan kolaps Kota Bandung. Situasi ini terlihat dari inisiasi
rakyat ditengah alpanya keberpihakan pengurus wilayah terhadap
keselamatan mereka. Jared M. Diamond dalam bukunya How
Societies Choose to Fail or Succeed menulis, sebagian besar bangsa yang
mampu menghindari kolaps adalah bangsa yang lincah beradaptasi
dengan perubahan, melakukan seleksi, mana perubahan yang
menguntungkan, ataupun yang mampu melenyapkan eksistensi
kelompok.
Potret rakyat Bandung masa ke masa, menunjukkan perubahan
kerentanan lingkungan. Baik tata hubungan dengan rakyat,
tetangga maupun kelembagaan politik-pemerintah Kota Bandung.
Dalam perkembangan itu, tambah Jared, sejauh mana rakyat atau
pemerintah memberikan kontribusi variabel ’asupan’ sehingga
memberikan indikasi bagi terciptanya kondisi kolaps atau variabel
’keluaran’.
Bisa dikatakan, selama ini sampah sebagai konsekuensi
logis dari kegiatan manusia tidak menjadi pertimbangan dalam
setiap kebijakan pembangunan. Sampah tidak menjadi faktor
hitungan dalam peningkatan ekonomi pembangunan. Tak
heran perkembangan cekungan yang demikian pesat menjadi
stimulan terciptanya kolaps Bandung. Selain indikasi di atas,
menurut Jared, kolapnya sistem juga dipicu permusuhan dengan
tetangga, kehilangan mitra dagang (pertukaran barang dan jasa).
Berkembangnya industri ’sampah’ yang diekspresikan pesatnya
perkembangan FO dan berbagai variannya, telah memberikan
ancaman bagi pedagang-pedagang di kawasan industri lain.

Terjebak Mekanisme Pasar


Jargon pembangunan ekonomi konvensional yang kerap
didengungkan antara lain adalah: “pasar itu baik” dan “intervensi

111
pemerintah itu buruk”. Lantas, jika nasib negara bangsa Indonesia
diserahkan bulat-bulat pada pasar, apa yang akan terjadi? Jawabnya,
negara bangsa ini akan ambruk, seperti gelembung busa di tengah
lautan, diombang ambing ombak sesukanya. Argumennya bisa
dilacak pada konsep land-rent, yang melekat dalam paham ekonomi
konvensional.
Setiap sektor ekonomi memiliki kemampuan yang berbeda
dalam membayar nilai sewa tanah (land rent) pada ruang tertentu.
Perniagaan merupakan sektor ekonomi yang mampu membayar
sewa tanah paling tinggi. Karena itu, sektor inilah yang mampu
hadir di tengah perkotaan. Sedangkan sektor lainnya akan bergeser
menjauhi pusat kota.
Kota Bandung dewasa ini, bisa menjadi salah satu model, di
mana kekuatan ekonomi sangat dominan terhadap sektor lain.
Pertumbuhan kota yang berorientasi pasar, telah mendorong
ketidakseimbangan fungsi kota. Selama ini, Kota Bandung dikenal
dengan Kota Jasa dan Kota Pendidikan.
Sebagai kota jasa, Bandung mungkin telah membuktikannya
dengan mengubah tata kota menuju metropolitan, dengan segala
risikonya. Sebagai kota pendidikan, mungkin sisi lain yang tidak
pernah diperhitungkan terhadap kondisi kota Bandung. Setiap
ajaran baru ribuan calon mahasiswa berdatangan ke kota Bandung
menuntut ilmu. Banyak sarjana dan ahli-ahli lahir di kota ini.
Pertanyaan mendasar, seberapa jauh pendidikan memberikan
sumbangan terhadap pembangunan. Berbagai institusi pendidikan
ada di kota Bandung baik swasta maupun negeri. Dua diantaranya,
Universitas Padjadjaran (Unpad) dan Institut Teknologi Bandung
(ITB). Menjadi incaran tujuan belajar calon mahasiswa seluruh
pelosok negeri. ITB bisa jadi sebuah intitusi yang sangat bergengsi.
Bagaimana tidak, ITB merupakan pangkalan teknologi nasional
dan barometer perkembangan IPTEK, tidak hanya di Indonesia
tapi juga dunia.
ITB berdiri sejak 1959, merupakan sekolah tinggi teknik
pertama Indonesia. Visinya, ITB berharap menjadi lembaga
112
pen­didikan tinggi dan pusat pengembangan sains, teknologi dan
seni yang unggul, handal dan bermartabat di dunia, bersama
dengan lembaga terkemuka menghantarkan rakyat Indonesia
menjadi bangsa yang bersatu, berdaulat dan sejahtera. Melakukan
penguasaan serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang dilakukan secara utuh dan terpadu, dalam suatu kiprah
sebagai Research and Development University. Pengembangan
keilmuan dan teknologi di ITB berdasarkan kebutuhan, menunjang
pelaksanaan pembangunan bangsa. Dengan demikian ITB akan
mengembangkan dirinya dalam riset dan manufaktur, teknologi
komunikasi dan informasi, transportasi darat, laut dan dirgantara,
lingkungan, serta bio-teknologi dan biosains.
Dari visi misi ITB, dapat dikatakan pendidikan yang
dikembang­kan adalah model pendukung sistem pembangunan.
Dalam konsep perencanaan suatu kota, ITB memiliki pengetahuan
teknik planologi, sedangkan dalam menjaga sistem lingkungan,
ITB memiliki pengetahuan teknik lingkungan. Kedua jurusan,
menjadi acuan institusi pendidikan lainnya di Indonesia.
Bukan rahasia umum jika ITB menjadi bagian berbagai proyek
pengembangan wilayah, terutama untuk Kota Bandung. Menjadi
bahan pertimbangan dalam konteks ilmiah pengembangan
wilayah. Namun pertanyaannya, seberapa jauh ITB menjadi pusat
rekayasa pengembangan wilayah, memberi ide dan gagasan untuk
keseimbangan ekologis dan perkembangan kota.
Keterlibatan ITB selama ini, justru memperlihatkan ketidak­
mampuan dan kegagalan ITB memberikan solusi persoalan
kota. Itu bisa dilihat dalam kontek sosialnya. ITB sangat jarang
mempertimbangkan biaya-biaya sosial pembangunan (cost sosial).
Cenderung tak memiliki kepedulian terhadap lingkungan. Berbagai
proyek yang melibatkan ITB, memberikan dampak ekologis yang
cukup tinggi. Salah satunya kasus TPST Bojong Bogor.
Dalam penelitiannya, rekomendasi ITB menyebut daerah
tersebut secara keilmuan dapat dijadikan Tempat pem­
buangan Sampah Terpadu (TPST). Namun mereka tidak
113
mempertimbangkan persoalan sosial yang timbul. Terlihat dalam
rekomendasi Tim Satgas ITB untuk TPA Leuwigajah, Kawasan
Bandung Utara, DAS Citarum, dan berbagai pengembangan
wilayah yang tidak mempertimbangkan biaya sosial. ITB terkesan
tak memberikan apapun untuk kota dan berbagai persoalan di
dalamnya. Sebaliknya, justru menambah persoalan baru.
Berhasilnya pembangunan mega proyek jalan tol Cikampek-
Purwakarta-Bandung merupakan andil ITB. Konsekuensi
terbukanya akses, langsung, dan cepat telah menambah beban kota
Bandung. Meningkatnya jumlah kendaraan bermotor di Bandung,
terutama setiap akhir minggu, menambah kemacetan dan polusi
udara.
Jika demikian, di mana sebenarnya posisi ITB selama ini? Apa
hanya menjadi alat pembenar untuk proyek-proyek besar tanpa
mempertimbangkan kerentanan alam dan lingkungan?
Sistem pengetahuan modern telah mereduksi alam menjadi
onggokan komoditas, yang bisa direkayasa dan dieksploitasi
untuk keuntungan ekonomi jangka pendek. ITB sebagai institusi
pengembangan IPTEK, mungkin telah gagal mewujudkan visi
dan misinya. Peran ITB dalam menata sistem pembangunan yang
terencana, terdominasi oleh kepentingan kebutuhan pasar dan
mengabaikan keselamatan hidup warga. Kebutuhan pragmatisme
mengorbankan keberlanjutan jasa layanan alam demi anak cucu di
masa depan.
Di tengah semrawutnya Kota Bandung, ITB tidak memberikan
kontribusi yang jelas dan solutif terhadap persoalan kota. Peran ITB
sebagai Pelaku utama pengembangan wilayah secara ilmiah takluk
terhadap kekuatan pasar. Kegagalan ITB dalam menyelesaikan
problematika tersebut jelas melenceng dari visi dan misi ITB
sendiri sebagai Research and Development University. ITB menjadi
pusat rekayasa pengembangan wilayah yang tidak memberikan
dampak apapun terhadap Kota Bandung, yang sudah berada dalam
kondisi kolaps.

114
Pada akhirnya, Kota Bandung dengan visi kota metropolitannya
tak mampu menata sistem wilayah meski telah memiliki perencanaan
kota (masterplan). Kegagalan ini disebabkan ketidakmampuan
kota menahan laju modal dan kebutuhan pasar yang begitu tinggi.
Pertumbuhan kota sama sekali tidak meperhatikan kerentanan
lingkungan dan alam. Akibatnya, sampah sebagai hasil produksi
tidak mendapat tempat dalam perencanaan kota. Kasus sampah
di TPA Leuwigajah bukti nyata dan akan terus menjadi persoalan
utama Kota Bandung. Beban kota yang makin tinggi, bisa
melahirkan banyak persoalan lingkungan krisis air, polusi udar,
dan lain-lain.
Hal yang menarik adalah kemampuan rakyatnya menciptakan
kreasi-kreasi yang sesuai masanya, ditengah hantaman kekuatan
modal besar. Dalam pertumbuhan kota yang menganut ekonomi
kapitalistik, Bandung mampu memberikan cirinya sendiri.
Berkembangannya sentra industri Cibaduyut, Cigondewa,
Cihampelas, Cimall dan FO adalah kreasi rakyat merespon situasi
tersebut.
Perkembangan ekonomi di Bandung tenyata keluar dari mindset
yang telah dibangun pemerintah kota. Rakyat hidup dengan
caranya sendiri dan ternyata mampu bertahan hidup dari tekanan
ekonomi dengan menciptakan ekonomi bawah tanah.
Sampah sebagai sumber produksi wilayah, ternyata berkembang
pesat dalam ekonomi bawah tanah. Menjadi denyut nadi ekonomi
rakyat Bandung. Sampah mendorong pertumbuhan kota melalui
pasar tradisional, modern dan pasar ’kaget’. Dan gaya hidup
sampah dengan tumbuhnya ekonomi bawah menjadi penyebabnya
kolaps Bandung.
Pemerintah kota justru membiarkan dan menikmati kondisi
yang terus berlangsung hingga saat ini.

115
Referensi
Brata, Aloysius Gunadi. 2004. Krisis Dan Underground Economy
Di Indonesia.
“Menyimak Pasar Industri Kecil Garmen”. Harian Umum Bisnis
Indonesia 13 Mei 2003.
Diamond, Jared. 2005. Collapse: How Societies Choose to Fail or
Succeed.
Siswadi, Edi., Dr. H. M.Si. Membaca Kinerja Makro di Bandung.
Koelsch, F., K. Fricke, C. Mahler, E. Damanhuri. 2005. Stability
of Landfills – The Bandung Dumpsite Disaster.
Kafi, Kurnia. “Kompetisi”. Majalah Berita Mingguan Gatra Edisi
35, Jumat 9 Juli 2004.
Lianda. Bandung Ruang Temporer Dalam Kreatifitas Warga
Bandung. Harian Umum Kompas 19 Maret 2006.
Daud, J.R. Pahlano. Pengelolaan Sampah, Pengelolaan Gaya Hidup.
Menyulap Sampah Menjadi Rupiah
Silitonga, Erwin. 2006. Ekonomi Bawah Tanah, Pengampunan
Pajak, dan Referendum.
Vltchek, Andre. 2007. “Nature Not Solely to Blame for Disasters in
Indonesia”. Ohmy News.

Sumber lain
Ada Apa Dibalik Merek? https://www.kompas.com/kompas cetak/
peka@indo.net.id. Mengutip dari Intrik, Majalah Berita Mingguan
Gatra Edisi 35, Jumat 9 Juli 2004.
http://id.wikipedia.org/wiki/Sampah
http://www.itb.ac.id/about_itb/mission.html
Kawasan Cigondewah Kumuh Tetapi Kaya. Pikiran-rakyat.online.
com
Bandung Metropolitan Berbagi Beban Dinamika Sosial. Pikiran-
Rakyat-online.com

116
Bagian 7

Trayek Eksodus Masyarakat


Betawi: Kuningan-Depok-Bojong Gede via
Warung Buncit

Di Jakarta, Tuhan sedang membuat orang Indonesia1,


dan warga Betawi kemudian bingung dengan jati dirinya,
akibat proses percampuran berbagai budaya dalam kosmo­
politanisme­nya.

Melting-pot, Lance Castle

B anyak cerita mengupas sejarah perjalanan masyarakat Betawi


dan kehidupan yang dilakoninya. Salah satu temanya adalah
keberadaan mereka yang cukup lama menjadi komunitas penghuni
kota metropolitan Jakarta. Padahal, sejarah mencatat, Betawi yang
dulu bernama Batavia, merupakan daerah rawa-rawa yang tak
banyak dihuni warga.
Dalam buku sejarah, keberadaan Betawi disebut dalam
prasasti tugu tertua bertuliskan zaman Taruma Negara abad ke-5.
Ditemukan di daerah Kramat Tunggak Tanjung Priok. Dari sini
diketahui, kekuasaan Taruma Negara telah mencapai daerah yang
dijuluki Queen of the East ini. Diketahui pula, kawasan tersebut telah
dihuni jauh sebelum kedatangan budak-budak pada masa JP Coen
– Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang menaklukkan Jayakarta
pada 30 Mei 1619. Ia lantas mengubah Jayakarta menjadi Batavia.
Sebagai sebuah kota yang didesain pada masa kolonial, Belanda

1 Lance Castles, Profil Etnik Jakarta, Masup Jakarta, Juni 2007, xxiv
117
membangun wilayah ini sesuai kebutuhan dan cita rasa mereka.
Termasuk bandar Sunda Kelapa yang menjadi tempat persekutuan
politik, militer dan perdagangan. Begitu kota ini kembali
ke pangkuan Indonesia dan berubah nama menjadi Jakarta,
fungsinya masih sama. Sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dan
pemerintahan.
Namun tak banyak yang tahu, penyebab orang-orang Betawi
makin tersingkir dari ruang hidupnya. Dan mengapa hanya sedikit
cerita perlawanan kolektif mereka dalam mempertahankan ruang
hidupnya, dari serbuan pertumbuhan ekonomi Jakarta. Kota yang
juga barometer pertumbuhan kota-kota lain negeri ini.
Yang terdengar hanyalah sebuah cerita kekalahan dan kepasrahan
warga Betawi, karena ketiadaan pilihan lain untuk bertahan. Ini
dialami masyarakat Betawi yang tinggal di Kuningan Timur dan
hampir semua tempat yang dulunya adalah pemukiman warga
Betawi.
Tulisan ini mencoba mengupas cerita lain proses ketersingkiran
masyarakat Betawi dari sudut pandang respon yang mereka lakukan
saat ruang hidupnya tersingkir. Seperti ditulis Jared Diamond
dalam teori collapse-nya. Mengapa masyarakat Betawi begitu
mudah melepaskan tanahnya yang menjadi tempat tinggal seluruh
keluarganya? Meski terkadang, mereka tak tahu untuk apa tanah
tersebut dibebaskan.
Kemudian mencoba melihat sistem penguasaan tanah perkotaan
yang sesungguhnya. Bukan hanya sisi penguasaan lahan, melainkan
juga etnisitas dan akses terhadap ruang. Sayangnya, masih sedikit
rujukan yang bisa menjadi bahan kajian dibanding persoalan urban
lainnya macam kemiskinan. Sebuah situasi yang jamak terjadi di
kota-kota besar seperti Jakarta.
Selanjutnya akan mencoba menarik garis tebal, ketersingkiran
masyarakat Betawi dalam sistem penguasaan tanah dan hubungan­
nya dengan pembangunan perkotaan. Pembangunan yang akhirnya
memindahkan kepemilikan masyarakat Betawi ke tangan spekulan
tanah.
118
Sampai saat ini, studi-studi masih belum menemukan siapa
sesungguhnya pemilik awal kota Jakarta. Meski diketahui, telah
ada komunitas pertama yang diyakini mendiami daerah ini. Dialah
masyarakat Betawi. Dalam sensus penduduk tahun 2000, disebutkan
penduduk Betawi tinggal 30 persen dari jumlah penduduk Jakarta.
Ia menjadi kelompok kecil yang terasing di ”rumah”nya sendiri.2
Selama ini, distribusi dan kepemilikan lahan, sebagai sebuah
simbol tata kuasa masyarakat di kota-kota besar Asia Tenggara,
tidak pernah dilihat dalam kacamata etnisitas. Sesungguhnya kajian
ini menjadi sangat penting, karena justru banyak masalah sosial dan
kerusuhan yang berlangsung di kota disebabkan distribusi lahan
yang tak adil terhadap komunitas asli, yang harusnya dilindungi
negara.3 Seperti itulah gambaran kepemilikan lahan di Jakarta.
Tidak dilekatkan pada masyarakat Betawi sebagai sebuah etnis.
Inilah yang mendorong perlunya sebuah cara baca baru melihat
krisis yang dialami masyarakat Betawi, yang terasing di rumahnya
sendiri. Bagaimana mereka tersingkir dari ruang hidupnya akibat
nilai kekuasaan terhadap tanah. Sayangnya, sedikit rujukan yang
bercerita soal struktur pengusaan tanah masyarakat Betawi.
Keterbatasan ini hanya diletakkan pada dua hal, agama dan
kekuatan fisik. Dua hal ini menjadi penyebab hilangnya ikatan
tenurial dan cerita pertumbuhan ekonomi dan pusat pemerintahan
yang dibangun penguasa dan pemodal.

Terkikisnya Ikatan Tenurial


Ada dua hal yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat
Betawi. Yaitu, agama dan kekuatan fisik. Dua hal ini, berpengaruh
besar terhadap pandangan masyarakat Betawi dalam menilai
tanah sebagai simbol tata kuasa mereka. Keduanya, pada akhirnya
mendorong proses menghilangnya ikatan tenurial.
Tanah yang semula menjadi alat produksi berubah menjadi
2 Menjadi Asing di Rumah Sendiri, Fokus Kompas, 15 Juni 2005
3 Hans – Dieter Evers & Rudiger Korff, Urbanisme di Asia Tenggara, makna
dan kekuasaan dalam ruang-ruang social. Yayasan Obor Indonesia. hlm 325

119
komoditas yang bisa dijual dengan mudah. Tanpa menyadari,
ketika tanah dijual, mereka bukan hanya kehilangan tanahnya.
Mereka juga kehilangan identitas diri sebuah komunitas yang
turun temurun menempati tanah itu.
Sebagai komunitas yang religius, masyarakat Betawi sangat
menaruh hormat kepada tokoh agama. Ini bisa kita lihat dari
model perjuangan orang-orang Betawi di masa kolonial. Mereka
menempatkan ulama sebagai pemimpin saat melawan Belanda.
Landasan perjuangannya adalah melawan kekafiran para penjajah.
Ridwan Saidi mengatakan masyarakat Betawi memang sangat
taat pada agamanya. Ulama-ulama memiliki peranan besar dalam
kehidupan mereka.4 Sehingga, suara ulama begitu mempengaruhi
sistem kehidupan masyarakat Betawi. Dalam kehidupan sehari-
hari sampai kepada pilihan politik mereka.
Saat pemilihan umum datang, mereka lebih suka memilih
partai-partai berbasis Islam. Tak heran jika kemudian partai-partai
Islam selalu menang di Jakarta. Mulai dari Partai Masyumi pada
Pemilu 1955, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada 1982,
hingga yang terkini, Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Agama kemudian dipakai sebagai alat menunjukkan eksisetensi
sosial pada komunitas Betawi, yang banyak menggunakan simbol
agama. Salah satu simbol tersebut adalah ibadah haji. Rukun
iman paling akhir dalam ajaran Islam. Belakangan, ibadah haji
bergeser dari upaya menjalankan perintah agama menjadi upaya
mendapatkan gelar. Sebutan ”haji” akan menaikkan status sosial
di mata masyarakat. Gelar ini bisa membuat mereka menjadi tokoh
atau elit baru yang akan dihormati masyarakat luas. Padahal untuk
datang ke Mekkah dan melaksanakan ibadah haji, banyak yang
harus mereka korbankan. Termasuk menjual tanah yang harusnya
dipertahankan untuk keberlanjutan hidup. Dari sinilah lahir istilah
‘haji gusuran’.
Namun, pendapat diatas ditolak H. Irwan Syafi’i. Seorang
tokoh Betawi yang pernah menjadi lurah selama puluhan tahun.
4 Wawancara dengan Ridwan Saidi, Jakarta, Januari 2007
120
Dalam buku karya Ridwan saidi, ia menyebutkan tidak ada istilah
haji gusuran. Zaman dulu, menurutnya, orang Betawi menunaikan
ibadah haji menggunakan biaya dari hasil jerih payah sendiri yang
dikumpulkan dalam waktu lama. Selain itu harga nilai jual tanah
juga kecil sekali.5
Nyatanya, dalam masa-masa berikutnya, hal itu terjadi. Mereka
rela menjual tanah untuk ongkos naik haji. Agama yang harusnya
menjadi dasar pegangan perjuangan mempertahankan ruang hidup,
justru menjadi pembenar menjual ruang hidupnya. 
Hal kedua yang cukup berpengaruh adalah kekuatan fisik.
Dimiliki para jawara yang sangat disegani atau ditakuti. Mereka
dianggap jagoan. Meskipun makna jawara menurut masyarakat
Betawi, sebagaimana disampaikan H. Irwan Syafi’i, adalah jagoan
kampung yang menjadi ”palang dade” atau benteng penghalang
orang luar yang mencoba mengganggu keamanan kampung
Betawi.6
Ironisnya, harapan perlindungan dari para jawara ini bergeser
menjadi alat penguasa mempertahankan, memperbesar dan
memperluas kekuasaannya. Ini tak hanya terjadi pada masa
pemerintahan kolonial. Namun terus dipertahankan hingga saat
ini. Sebagai bentuk penguasaan kolonial terhadap daerah Jakarta,
tanah-tanah yang dikuasai Belanda diberikan kepada elit-elit
pemerintah lokal, macam Lurah yang sering disebut dengan
bek. Termasuk juga centeng-centeng atau pengawal yang bisa
memungut pajak seenaknya dari masyarakat. Di sinilah mulainya
penguasaan tanah Betawi oleh elit-elit yang memiliki kekuataan
terhadap kekuasaan atau pengaruhnya disegani.
Mereka menjadi tuan-tuan tanah. Menguasai banyak tanah di
Jakarta. Jika kita telusuri, pemilikan tanah (tuan tanah) masyarakat
Betawi biasanya diwariskan turun temurun. Tuan tanah saat
ini mendapatkan warisan dari orang tua mereka, yang dulunya
memiliki pengaruh di komunitasnya. Baik karena keagamaannya

5 Alwi Shahab, Robin Hood Betawi, Republika 2002, hlm 112


6 Ibid, hlm 1
121
maupun kekuatan fisiknya.
Terlebih pada masa Indonesia mulai melakukan pembangunan
fisik di mana-mana. Di Jakarta, pemerintah daerah mengeluarkan
kebijakan jual-beli tanah yang harus menyertakan akte jual-beli
di hadapan notaris atau pejabat pembuat akta tanah. Kebijakan
tersebut memberi hak kepemilikan tanah dalam bentuk sertifikat
kepada masyarakat Betawi, yang telah lama berdiam di situ. Setelah
proses sertifikasi tanah, giliran Pemerintah mengajukan jual beli
dan mulai melakukan pembebasan lahan-lahan untuk kebutuhan
pembangunan Jakarta.
Biasanya, pemerintah melibatkan jawara-jawara yang dulunya
disegani dan ditakuti dalam pembebasan tanah ini. Mereka
bertindak sebagai calo tanah. Membantu pemerintah mempercepat
proses bebasnya lahan. Kondisi ini berlanjut sampai kini. Bahkan
menguat bersama munculnya organisasi-organisasi massa berbasis
identitas kebetawian. Mereka mencoba menunjukkan entitas
masyarakat Betawi. Sayangnya, lagi-lagi menggunakan simbol
kekuatan fisik. Ujungnya, mereka kembali dimanfaatkan penguasa.
Hal ini mengaburkan makna krisis sebenarnya yang dialami
masyarakat Betawi.
Salah satu potret krisis terjadi pada kasus Meruya Selatan. Kasus
sengketa tanah antara warga dengan PT Portanigra. Mahkamah
Agung memenangkan PT Portanigra. Kepemilikan tanah akhirnya
jatuh ke tangan perusahaan. Padahal, warga memiliki bukti
kepemilikan tanah sah. Adalah Djuhri bin Geni, Yahya bin Geni,
dan M. Yatim Tugono, tiga orang makelar tanah bergelar mandor.
Mereka menjual tanah seluas 44 ha kepada PT Portanigra pada
tahun 1972. Bukti jual-belinya hanya dengan girik atau bukti
kepemilikan tanah saat itu.
Kasus ini membuktikan tumpang tindihnya penguasaan tanah
di Jakarta. Salah satu penyebabnya ternyata urusan kekuatan fisik.
Para mandor yang juga jawara di kampung bertindak sebagai
“penguasa”. Mengatasnamakan warga, menjual tanahnya ke PT
Portanigra dan kemudian menjual lagi kepada perusahaan lainnya.
122
Penguasa tampaknya mengenal betul model tata kuasa komunitas
Betawi. Sehingga cara-cara penaklukkan untuk mendapat tanah
juga menggunakan pendekatan sama. Sangat beralasan jika para
pemimpin di kota kosmopolitan Jakarta selalu berasal dari militer.
Mereka biasanya berkolaborasi dengan para ulama, yang bisa
”menguasai” kehidupan komunitas Betawi.
Sampai disini, kita dapat memahami bahwa yang dimiliki
warga Betawi hanya tata kuasa, tanpa tata produksi. Itulah yang
menyebabkan mereka mudah melepaskan tanahnya. Untuk
pemenuhan konsumsi yang dibentuk oleh pasar, kebutuhan uang
tunai.

Pembangunan Kota yang Sesat


Jakarta sebagai model pertumbuhan ekonomi perkotaan di
Indonesia, memberi sumbangan besar terhadap ketersingkiran
masyarakat Betawi. Jakarta memiliki karakter pembangunan yang
menghamba pada pertumbuhan ekonomi. Tujuan pembangunan
Jakarta selalu akan menyingkirkan ruang hidup komunitas
yang ada jauh sebelumnya. Masyarakat Betawi, komunitas awal
penghuni Jakarta, memiliki tata kuasa. Tetapi tidak pernah
dilengkapi penataan produksi ini. Mereka menjadi korban utama
dan mengalami proses penyingkiran secara sistematis.
Jika kita melihat berbagai jejak cerita sejak lima abad lalu, Jakarta
memang dijadikan sebuah simpul dan pangkal kekuasaan kolonial.
Pramoedya Ananta Toer menyebutkan kolonial Belanda dibawah
kepemimpinan JP Coen, telah membangun Ibukota Hindia ini
dengan mengorbankan enam puluh ribu orang pribumi.7
Jakarta ditetapkan sebagai ibukota negara Indonesia setelah
Belanda melakukan agresi militer yang kedua dan menyerahkan
kekuasaan kepada Pemerintah Indonesia. Menurut Undang-
Undang Darurat Republik Indonesia Serikat No. 125/1950, Jakarta
disebut dengan kota praja Jakarta raya. Walikota pertamanya adalah
7 Jejak Langkah, Pramoedya Ananta Toer, Hasta Mitra Edisi Pembebasan
Karya Pulau Buru, hlm 3

123
Soewirjo. Sejak itulah, pusat pemerintahan Indonesia berada di
Jakarta, setelah sebelumnya hijrah ke Yogyakarta.8
Untuk mendukung keputusan itu, dibuat perundang-undangan
yang mengaturnya secara khusus, yaitu UU No. 2 PNPS/1961.
Jakarta kemudian diperkuat statusnya sebagai Daerah Khusus
Ibukota Jakarta lewat Undang-undang No. 11/1990, yang
menempatkan Jakarta sebagai ibukota negara.
Sebagai ibukota negara, Jakarta memiliki kekhasan tersendiri
dengan daerah lainnya. Baik dari segi beban tugas, tanggung jawab,
ataupun tantangan yang lebih kompleks. Diantaranya, luas wilayah
yang terbatas dan jumlah dan populasi penduduk yang membeludak
dengan segala dampak yang ditimbulkannya. Kompleksitas ini
berkaitan dengan keberadaannya sebagai pusat pemerintahan
negara. Untuk itu, Jakarta ditumbuhkembangkan sebagai satu
kesatuan perencanaan dan pengawasan yang diharapkan dapat
memberikan pelayanan tepat dan terpadu kepada masyarakat.
Penetapan Jakarta sebagai pusat pemerintahan didasari
penilaian, bahwa Jakarta memiliki sarana dan prasarana cukup
lengkap sejak masa kolonial Belanda. Ia bisa dijadikan pusat
pertumbuhan ekonomi, politik, sosial dan budaya yang kelak
menjadi barometer pembangunan Indonesia.
Kelengkapan sarana dan prasarana ini dibangun sejak
lama. Tepatnya sejak penaklukan Batavia pada 1527 oleh
Fatahillah. Dilanjutkan pada masa penjajahan Belanda yang
memproyeksikan Jakarta sebagai pusat Pemerintahan. Ini dapat
dilihat dari pembangunan kantor-kantor pemerintahan Belanda,
jalan-jalan, dan sarana transportasi massal. Salah satunya,
kereta yang menghubungkan Jakarta dan Bogor (Buitenzorg)
untuk mempermudah akses dan kontrol terhadap penguasaan
pemerintahan saat itu.
Sebagai pusat pemerintahan di masa pemerintahan orde
lama, Soekarno menginginkan Jakarta bisa dikenal masyarakat
8 Biro Humas DKI Jakarta, Jakarta Meniti Jalan Menuju Parasamya
Purnakarya Nugraha, 1994 hlm 17

124
Internasional. Dia ingin mensejajarkan bangsa Indonesia dengan
bangsa lain, lewat simbol-simbol pembangunan fisik di Jakarta.
Memperlihatkannya sebagai pusat pemerintahan negara.
Sejak itulah pembangunan fisik marak. Mulai pembangunan
bandara internasional, pelabuhan internasional, Gelora Senayan,
Tugu Selamat Datang, Monumen Nasional (Monas), Hotel
Indonesia, dan lain-lain. Semua itu diharapkan dapat menyampaikan
pesan, inilah Ibukota Jakarta, besar dan megah. Menunjukkan
kebesarannya sebagai pusat Pemerintahan Indonesia.
Kita bisa melihat banyak bangunan simbolik di sekitar Monas.
Diantaranya, Istana Presiden, Masjid Istiqlal, kantor pemerintahan,
dan masih banyak lainnya. Bangunan-bangunan inilah yang
dianggap ‘mendukung fungsi dan kedudukan sebagai pemerintah
negara’. Simbol identitas nasional yang dapat melambangkan
kebesaran dan kedaulatan bangsa.
Soekarno menunjuk Ali Sadikin sebagai Gubernur Jakarta untuk
memulai pembangunan kota secara besar-besaran. Mendukung
pembangunan Jakarta sebagai pusat pemerintahan, ekonomi dan
budaya. Pembangunan Jakarta sebagai pusat pemerintahan negara
pun dimulai. Gubenur melakukan penataan ruang berbasiskan
sejarah pertumbuhan Jakarta di masa Batavia. Mengedepankan
percepatan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
Menurut mantan Gubenur Jakarta Ali Sadikin, penataan
ruang sesungguhnya memiliki sebuah ideologi. Sebuah nilai atau
semangat yang mendasari pemanfaatan ruang di Jakarta. Jika
melihat kepentingan pemerintah Jakarta, pemanfaatan ruang
diarahkan sebagai pusat pemerintahan Indonesia dan pusat
pertumbuhan ekonomi. Namun penataan ruang Jakarta luput
dari pengembangan demokrasi. Akibatnya, penyediaan sarana dan
prasarana tak menjamin kegiatan berpolitik warga negaranya.
Sarana transportasi pendukung pemerintahan kota dibangun
melalui sistem transportasi kota. Pada masa kolonial, pembangunan
jalan difungsikan sebagai sarana mempermudah Belanda men­
jalankan pemerintahannya. Sekaligus strategi mempertahan­kan
125
kekuasaannya, baik kekuasaan teritori maupun ekonomi.
Pembangunan sarana transportasi dan jalan begitu pesat.
Diarahkan untuk melayani publik yang datang ke pusat Pemerin­
tahan, baik jalur internasional maupun domestik. Misalnya bandara
internasional, pelabuhan internasional, terminal antar kota dan
propinsi, stasiun kereta api dan sarana lain yang mengikutinya
seperti terminal, stasiun. Semuanya mengalami peningkatan
mengikuti tinginya kebutuhan alat-alat transportasi.
Selain pusat pemerintahan, Jakarta juga berfungsi sebagai
pusat pertumbuhan ekonomi, sekaligus barometer pembangunan
daerah-daerah lainnya. Ali Sadikin merupakan seorang gubernur
yang meyakini pembangunan ekonomi tidak terpisahkan dengan
pembangunan politik. Hasil pembangunan ekonomi yang dicapai
pemerintah akan berdampak pada stabilitas politik dan keamanan
nasional. Ini dibutuhkan untuk menyampaikan kepada rakyat arti
pembangunan. Sehingga rakyat bisa mengerti serta berpartisipasi
dalam pembangunan tersebut.9
Dimulai pada masa Ali Sadikin, pemerintah menyediakan
sarana dan fasilitas yang mendukung investor menanamkan
modalnya di Jakarta. Antara lain pembangunan infrastruktur
seperti jalan dan jembatan. Pembebasan lahan dengan biaya
murah, dipercaya sebagai mesin utama penggerak ekonomi. Meski
seringkali menimbulkan persoalan panjang dikemudian hari karena
menggusur masyarakat. Dalam penataan ruang, sistem transportasi
bertujuan melakukan efesiensi terhadap pertumbuhan ekonomi.
Pembangunan infrastruktur transportasi Jakarta dilakukan agar
dapat memudahkan distribusi industri dan modal bekerja. Oleh
karenanya, tanah menjadi salah satu alat produksi investasi yang
harus disiapkan di Jakarta yang sempit. Pemerintah memberikan
jaminan pembebasan tanah-tanah masyarakat untuk kepentingan
pembangunan infrastuktur. Tentu saja atas nama pembangunan
dan jargon kesejahteraan rakyat.
9 Ramadhan KH, Bang Ali Demi Jakarta 1966-1977, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta 1992, hlm 83

126
Pertumbuhan ekonomi yang bersifat sentralistik menjadi
pendorong utama laju perpindahan penduduk dari desa-desa ke
ibukota. Mereka berpikir, Jakarta pasti membutuhkan banyak
tenaga kerja. Mereka datang dari desa-desa di luar Jakarta yang
sudah tidak lagi memiliki modal produksi. Mereka rela menjadi
buruh murah di pabrik-pabrik atau bekerja di sektor informal.
Jakarta kemudian menjadi magnet yang menarik orang luar untuk
mengadu nasib dan hidup di kota metropolitan ini.
Sejak orde lama hingga masa pemerintah orde baru, pertumbuh­
an industri Jakarta meningkat pesat. Sebagian besar terpusat di
daerah Pulogadung dan Tanjung Priok Jakarta Utara. Di sini saja,
pada tahun 2000 terdapat 996 jumlah industri yang menyerap
sekitar 191.467 orang per tahun.
Bahkan untuk memudahkan pengembangan ekonomi dan
laju investasi di Jakarta, pembangunan sejumlah jalan disiapkan.
Tanah-tanah disediakan bagi kepentingan bisnis. Artinya, industri
memilii peran besar dalam pembangunan perkotaan.
Di sisi lain, tata konsumsi masyarakat perkotaan menjadi salah
satu penguat fungsi Jakarta sebagai pusat pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi Jakarta pada 1980-1990, rata-rata per
tahun mencapai 8,26 persen dibandingkan dengan 5,9 persen
angka nasional. Sektor jasa memberikan kontribusi tertinggi (72
persen). Sedangkan sektor industri, baru mengalami peningkatan
pada tahun 1990, mencapai 26,37 persen. Angka ini menujukkan,
tata konsumsi masyarakat perkotaan yang diciptakan pasar.
Melanggengkan dan merawat kebutuhan orang terhadap barang
dan jasa.
Kondisi ini bukan lahir dengan sendirinya. Pasar berperan
sebagai roda pertumbuhan ekonomi yang digulirkan penguasa.
Ia dapat merekayasa sebuah gaya hidup yang mendorong orang-
orang kota menjadi konsumtif. Bahkan menilai semua unsur dalam
kehidupan sebagai komoditas bernilai jual. Semuanya didorong
oleh keinginan gaya hidup yang diciptakan industri, dan menjadi
sebuah kebutuhan hidup. Seolah-olah ada stigma ketinggalan
127
jaman atau tidak modern, jika tak mengikuti gaya hidup kota saat
ini.
Fenomena di atas disampaikan oleh warga di Kuningan Timur,
ketika mereka menjual tanah atau rumahnya. Pasti yang dibeli adalah
kendaraan bermotor, dengan jumlah yang melebihi kebutuhan.
Suatu indikasi kuat bagaimana gaya hidup perkotaan menjadi tata
konsumsi masyarakat perkotaan. Mereka sesungguhnya sedang
menciptakan diri dan merawat gaya hidup sesuai dengan pasar.
Pembangunan Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan
pertum­buhan ekonomi menyisakan berbagai persoalan sosial
yang terus berlangsung hingga sekarang. Janji Presiden Soeharto
mengentaskan kemiskinan, tak pernah menyebutkan kepemilikan
lahan kota sebagai jawaban. Khususnya kepada masyarakat Betawi.
Politisi dan pejabatlah yang justru paling banyak terlibat dalam
penguasaan lahan kota. Kemudian para spekulan tanah yang
selanjutnya dijual kepada industri.
Bagaimanapun, besarnya laju pertumbuhan ekonomi Jakarta
telah menyingkirkan masyarakat yang sekian lama bermukim di
sana. Pembangunan meninggalkan jejak-jejak ketersingkiran
sebuah komunitas dari ruang hidupnya, dan menjadi penonton
ditengah laju pertumbuhan ekonomi Indonesia yang begitu
dramatik.
Inilah gambaran cerita perwujudan kota yang memiliki
karak­teristik mengejar pertumbuhan ekonomi. Melakukan
perombakan terhadap tata konsumsi, mengambil alih tata kuasa
yang dimiliki sebuah komunitas. Perebutan kue pembangunan
selalu dimenangkan oleh pasar dan industri, yang menguasai tata
konsumsi dan tata produksi masyarakat.10

Kosmopolitan & Masyarakat Betawi


Jika melihat desain awal lima abad lampau, pembangunan
memang tak pernah memberi ruang pada masyarakat Betawi untuk
10 Suwito Santoso, Artikel di Kompas, Fungsi ruang, memperebutkan kue di
senayan. 24 Mei 2007

128
menunjukkan eksistensi dirinya dalam sebuah ikatan terhadap
tanahnya.
Sebagai kawasan kosmopolitan, Jakarta begitu terbuka dengan
segala macam budaya yang masuk. Ini diistilahkan Lance Castle
dengan Melting-pot. Ia menyebutkan bahwa di Jakarta, Tuhan
sedang membuat orang Indonesia,11 dan masyarakat Betawi
kemudian menjadi komunitas yang semakin bingung dengan jati
dirinya, akibat proses percampuran berbagai kebudayaan dari cerita
kosmopolitanisme ini.
Terbukanya Jakarta untuk didatangi orang luar, tidak dibarengi
dengan kemampuan masyarakat Betawi beradaptasi terhadap
pertumbuhan kota. Untuk bertahan hidup, mereka memilih
menyingkir dari ruang hidup yang telah ditempati selama ini.
Itulah cara mereka beradaptasi.
Proses ketersingkiran masyarakat Betawi dimulai saat pem­
bangunan gedung olah raga, atau Gelora Senayan tahun 1962.
Gedung dibangun untuk pesta pertandingan olahraga Asian
Games IV. Pemerintah menggunakan lahan seluas 350 ha. Dengan
alasan pembangunan kepentingan umum dan negara, ribuan warga
Betawi digusur. Masyarakat Betawi tak mampu berbuat apa-apa
saat dipindahkan ke daerah Tebet.12
Belakangan, Gelora Senayan tak hanya sebuah fasilitas olahraga.
Tetapi juga hotel bintang lima Hilton yang kemudian berganti
nama menjadi Hotel Sultan. Ratu Plaza kemudian dibangun pada
1980-an. Pusat perbelanjaan mewah pertama di kawasan Senayan
yang hanya bisa dijangkau masyarakat kelas atas. Ratu Plaza
disebut-sebut sebagai pusat perbelanjaan ”generasi baru” yang
menjual produk-produk fashion dari luar negeri.
H. Irwan Syafrie menyatakan penyesalannya melihat arah
perkembangan kawasan senayan saat ini. Padahal, menurutnya,
masyarakat Betawi waktu itu bersedia melepas tanahnya karena
berpikir Gelora Senayan sebagai sarana olahraga publik. Apalagi
11 Lance Castles, Profil Etnik Jakarta, Masup Jakarta, Juni 2007, xxiv
12 Alwi Shahab, Betawi Queen of the East, Republika , Juni 2002, hlm 133

129
disiapkan untuk berlangsungnya Asian Games. Pesta olah raga
yang mempertaruhkan nama baik Indonesia. Bukan untuk hotel,
plaza dan gedung-gedung lainnya yang saat ini berdiri.
Tapi sesal kemudian tiada guna. Pembangunan area senayan
terus berlangsung hingga saat ini. Dan ruang hidup mereka tak
mungkin kembali seperti semula.
Rupanya, proses ketersingkiran ini bukan terakhir. Dalam
beragam proyek pembangunan berikutnya, pola yang sama terus
terjadi. Hingga hari ini, respon masyarakat Betawi menanggapi
penggusuran atas nama pembangunan, tak berubah banyak. Jejak
lainnya ada di Kuningan Jakarta Selatan.
Penggusuran Betawi di Kuningan sesungguhnya dimulai sejak
1973 hingga 1992. Kawasan Kuningan dikenal sebagai kawasan segi
tiga emas Jakarta. Dulunya ini kawasan pertanian dan peternakan
warga Betawi. Di sini terdapat peternakan sapi perah dan kebun
buah-buahan, yang memasok kebutuhan warga Jakarta.
Susu sapi perah Kuningan dulu paling terkenal di Jakarta. Setiap
pagi dan sore, para pengantar membawakan pelanggannya susu
yang dikemas dalam botol-botol. Alwi Shahab, wartawan senior
dan penulis buku yang lahir di Jakarta dan banyak menulis tentang
kehidupan masyarakat Betawi, menyebut kawasan ini sebagai
bisnis susu segitiga emas.13
Pemukiman Betawi dan susu sapinya di Kuningan, kini tinggal
cerita. Pembangunan segi tiga emas Kuningan menggusur ribuan
masyarakat Betawi.
Berbagai cara dilakukan pemerintah untuk membebaskan lahan-
lahan pertanian kala itu. Antara lain melalui pejabat kelurahan yang
bertindak sebagai calo melakukan bujuk rayu. Juga membohongi
warga dengan alasan untuk fasilitas publik, kepentingan umum,
hingga melakukan intimidasi secara halus. Misalnya dengan
memagari tanah yang sudah dibeli. Sehingga warga lainnya yang
belum melepas tanahnya, tidak memiliki akses jalan. Atau mereka
13 Alwi Shahab, Maria Van Engels Menantu Habib Kwitang, Republika 2006,
hlm 97

130
memilih pindah karena mengalami banjir akibat urukan tanah
gedung sebelah. Warga Betawi terpaksa merelakan tanahnya untuk
dibangun student center dan sarana olahraga.
Faktanya, hanya pembangunan gelanggang olahraga mahasiswa
Brojosoemantri, yang berhasil diwujudkan. Sisanya, lebih banyak
untuk membangun gedung-gedung kantor pemerintahan dan
kantor-kantor industri yang membuka prakteknya di Indonesia.
Salah satunya di Gedung 89, kantor PT Freeport Indonesia –
perusahaan tambang emas terkaya di Indonesia.
Pada kasus Kuningan, banyak warga yang hingga kini tak
mendapatkan hak ganti rugi pembebasan tanah secara layak.
Sayangnya, tak banyak orang tahu. Mereka pasrah dan menerimanya
sebagai pengorbanan bagi pembangunan dan kesejahteraan bangsa.
Lebih menyedihkannya lagi, masyarakat Betawi Kuningan
Timur pada tahun 1992, tidak tahu untuk apa tanah mereka dilepas.
Bahkan mereka tidak mengetahui, kepada siapa tanahnya dijual,
selain kepada calo-calo tanah. Umumnya, calo-calo ini adalah
pejabat kelurahan setempat dan tokoh kampung yang disegani.
Berbagai cara mereka lakukan untuk membuat warga betawi
bersedia menjual lahannya. Salah satunya dengan menumpuk tanah
galian bangunan dekat saluran air sehingga mengakibatkan banjir.
Ini membuat warga tidak betah dan terpaksa menjual tanahnya.14
Tanah mereka dijual dengan harga kepantasan, antara Rp 500
ribu hingga Rp 1,25 juta per meter. Bagi warga tergusur saat
itu, yang terpenting adalah uang gusuran bisa mereka gunakan.
Salah satunya untuk pergi haji. Pulang dari Mekkah, mereka akan
mendapat gelar Haji. Strata sosial mereka kemudian meningkatkan
di mata komunitas Betawi.
Seperti yang dialami salah seorang tukang ojek yang mangkal di
depan Masjid Al-Mughni. Menurutnya, orang tergusur biasanya
pindah ke dekat daerah Kuningan seperti daerah Buncit atau
sekarang dikenal dengan nama Mampang Prapatan. Namun,

14 Wawancara dengan bang Pirin, tukang ojek yang rumahnya tergusur dari
Kuningan Timur, Februari 2007
131
banyak juga teman-teman Mughni yang terpaksa menjual tanah
atau rumah mereka. Pindah ke tempat lain yang lebih murah.
Seperti daerah Pasar Minggu pinggiran, Lenteng Agung, hingga
memilih tinggal di Bojong.
Mughni dulunya tinggal di Kuningan Timur. Untuk keluarga­
nya, ia mencari nafkah jauh dari tempat tinggalnya sekarang.
Sambil menangis, dia menceritakan apa yang dialami keluarganya
yang dulu memiliki tanah luas di Kuningan. ”Sekarang kami
hanya bisa menatap gedung-gedung yang dulunya rumah kami.
Dari jauh dan tidak bisa masuk kedalamnya. Dulu, kami tidak
pernah membayangkan bernasib seperti ini. Kehilangan tanah dan
menjadi tukang ojek. Mengantarkan orang-orang yang bekerja di
perkantoran dan berbelanja di mall. Tadinya kami berpikir sisa
uang gusuran dapat dipakai modal usaha. Ternyata banyak dari
kami yang gagal di tempat yang baru. Dan tidak ada alternatif lain
karena kami tidak berpendidikan tinggi, selain menjadi tukang
ojek disini. Meskipun jarak cukup jauh dari rumah”.
Saat ini, masyarakat Betawi daerah Kuningan Timur hanya
tersisa keluarga besar H. Guru Mughni. Namanya diabadikan
menjadi nama jalan disana. Keluarga H. Mughni tetap bertahan di
daerah ini. Mereka yakin, harus menempati tanah turun temurun
milik keluarga. Mereka bahkan membangun sekolah dan masjid
besar Baitul Mughni, di belakang Gedung Parta Jasa Kuningan.15
Mughni adalah sebuah keluarga yang memiliki pengaruh besar
di masyarakat Kuningan Timur. Guru Mughni merupakan salah
satu tokoh Betawi yang dihormati di Jakarta. Ia dikenal sebagai
ulama dan guru agama yang disegani masyarakat Betawi.
Kuningan, Depok, Bojong Gede via Warung Buncit, seakan
jadi trayek eksodus atau pengungsian dari penggusuran massif yang
dialami masyarakat Betawi, komunitas pertama penghuni Jakarta.
Dikatakan trayek eksodus, karena tidak mungkin bagi mereka
kembali ke ruang hidupnya semula.
Celakanya, mereka juga tidak mungkin menempati daerah baru

15 Wawancara dengan keluarga guru H. Mughni, Februari 2007


132
dengan kondisi yang lebih baik di dalam kota. Uang ganti rugi
tidak cukup membeli tanah dalam kota. Bergeser ke pinggiran
Jakarta merupakan pilihan yang tak bisa ditawar.
Belum lagi, mereka juga kehilangan sumber pendapatan ekonomi
sebelumnya. Dengan keterampilan terbatas, mereka harus bersaing
dengan para pendatang yang menyerbu Jakarta. Para pendatang ini
memiliki strategi bertahan hidup dengan cara produksi subsisten,
guna memenuhi kebutuhan hidup meraka paling minimal. Sebuah
kemampuan yang tak dimiliki kebanyakan masyarat Betawi.
Kuningan menjadi lokasi pembangunan central business
district, dengan menggusur ribuan orang Betawi dari ”rumahnya”.
Tragisnya, pusat bisnis ini terbukti juga gagal dan tidak mampu
membendung krisis moneter yang menerpa Indonesia, kala itu.

Masyarakat Betawi, Siapa Peduli?


Sayangnya, dari seluruh cerita ketersingkiran itu, tak ada
satupun yang melihat hal ini sebagai krisis yang dihadapi komunitas
pertama daerah ini. Apalagi membantu menemukan jawabannya.
Kenyataan di atas akhirnya lebih banyak dimaklumi, apalagi
masyarakat Betawi sebagai korban lebih banyak diam. Tak
menyadari bahwa ini bagian dari skenario penghilangan ikatan
tenurial. Diciptakan sejak berabad-abad lamanya oleh penguasa.
Alih-alih, stigma negatiflah yang kemudian dilekatkan pada
masyarakat Betawi. Mereka sering dikatakan malas dan tidak
berpendikan. Sehingga dianggap wajar jika tersingkir ke pinggiran
kota. Stigma ini perlahan-lahan menjadi tembok tebal yang
dihadapi kelompok urban poor, antara para pendatang dengan
komunitas Betawi. Padahal letak persoalannya bukan pada
penduduk asli atau pendatang. Melainkan krisis sebuah komunitas
yang digusur pembangunan kota.
Berbagai pilihan untuk menjawab ketersingkiran masyarakat
Betawi dilakukan tanpa membaca proses krisis ini. Mirip
pendekatan negara yang membiarkan Betawi tersingkir dari
ruang hidupnya. Biasanya masalah mereka hanya dibahas di masa

133
pemilihan Gubernur DKI Jakarta atau pada saat ulang tahun kota
Jakarta. Krisis warga Betawi hanya menjadi komoditas politik
saat pesta Pilkada, Pemilu bahkan event seremonial. Sudah pasti,
semuanya tidak mampu mengatasi krisis yang dihadapi masyarakat
Betawi.
Menjadi sangat aneh jika ketersingkiran masyarakat Betawi,
dijawab dengan melestarikan kebudayaan Betawi, makanan orang
Betawi dan bahkan membangun cagar budaya Betawi. Upaya
tersebut lebih pada menarik simpati atau popularitas. Tapi akhirnya
menjadi salah kaprah dalam mengatasi krisis sebenarnya. Sebab,
entitas komunitas bukan hanya sekedar contoh material, melainkan
juga nilai filosofis kehidupan mereka. Hasil interaksi ruang hidup
yang tenggelam dalam gegap gempita kota kosmopolitan.
Jika kita melihat krisis eksodus masyarakat Betawi, akar
masalah­nya adalah karakter sesat pembangunan kota. Inilah yang
harus diubah. Jangan lagi mengejar pertumbuhan ekonomi, yang
hanya menguntungkan sistem kapitalisme, tapi mesti juga memberi
sebuah jaminan keselamatan ruang hidup warganya, khususnya
komunitas Betawi.
Respon dari masyarakat Betawi sendiri menjadi sebuah
keharusan, jika tidak ingin terus-terusan menjadi penonton. Ikatan
tenurial yang lepas akibat sistem penguasaan lewat dua kekuatan
- religiusitas dan kekuatan fisik, harus ditinjau ulang dalam tafsir
yang benar. Agama harusnya menjadi sebuah ikatan baru yang bisa
menjadi dasar pikir dan tindak untuk mempertahankan hak atas
ruang hidupnya, bukan menjadi alat kekuasaan.
Sayangnya hingga saat ini, organisasi lokal yang harusnya
menjadi basis perlawanan masyarakat Betawi, justru menjadi alat
penguasa untuk menyingkirkan kelompok miskin kota lainnya,
yang senasib dengan masyarakat Betawi.
Tulisan ini juga ingin mengajak masyarakat Betawi untuk
”marah” dan tidak selalu menerima kekalahan. Terlebih dengan
alasan kesabaran sebagaimana yang diajarkan agama mereka.

134
Sebab, sesungguhnya laju pertumbuhan ekonomi perkotaan, tidak
pernah menempatkan nilai agama sebagai sebuah pertimbangan
keselamatan masyarakat Betawi. Harusnya, agama bisa menjadi
dasar kemarahan masyarakat Betawi untuk mempertahankan
ruang hidupnya.
Bukankah secara tegas Islam menyatakan, Allah SWT tidak
akan mengubah nasib suatu kaum, jika kaum itu tidak mau
mengubah nasibnya sendiri.
Sebenarnya, cerita perlawanan masyarakat Betawi yang terkait
dengan konflik agraria pernah dilakukan tokoh yang bernama H.
Entong. Ia memimpin petani melakukan perlawanan terhadap
seorang keluarga Belanda. Pemilik tanah partikulir di Cililitan
Besar pada 15 April 1916. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan
revolusi bulan April di Condet.16 Setelah itu, hampir tidak ada
catatan perlawanan masyarakat Betawi terhadap penguasa tanah
yang merugikan mereka.
Demikian juga dengan kelompok sipil yang selama ini bekerja
untuk isu-isu urban. Mereka tidak pernah melirik akar krisis yang
dihadapi masyarakat Betawi sebagai upaya memahami dan mencari
jawab krisis sebenarnya. Sehingga, upaya yang dilakukan untuk
membantu masyarakat Betawi bukan hanya untuk ”kepentingan”
politik mereka, melainkan membantu membebaskan masyarakat
Betawi dari kungkungan krisis yang dihadapi.
Membangun kemandirian dan penguatan organisasi lokal yang
lahir dari bacaan krisis yang benar dan mencari solusi krisis yang
tepat, harus segera dilakukan. Sistem politik pembangunan kota
Jakarta mestinya menjadi salah satu sasaran utamanya, yang akan
membantu meningkatkan posisi tawar masyarakat Betawi agar
diperhitungkan penguasa.
Pembelajaran lainnya. Jakarta bukanlah barometer yang
baik sebuah model pembangunan kota. Oleh karenanya, jangan
lagi karakteristik pembangunan kota Jakarta, sebagai pusat

16 Alwi Shahab, Maria Van Engels Menantu Habib Kwitang, Republika, 2006
hlm 170
135
pemerintahan dan pusat pertumbuhan ekonomi, diadopsi daerah
lain.
Sayangnya, kota-kota besar di Indonesia, menjiplak habis gaya
Jakarta. Maraknya mall atau pusat perbelanjaan dianggap pertanda
maju dan modern. Proses ketersingkiran komunitas asli kota
tersebut adalah keniscayaan.
Tulisan ini memang belum cukup mendalam membaca krisis
ketersingkiran masyarakat Betawi. Tapi paling tidak, menawarkan
sisi lain melihat krisis komunitas Betawi. Setidaknya, para wakil
rakyat di Senayan, yang mengklaim bekerja untuk rakyat, lebih
cerdas dalam memberikan solusi krisis sebenarnya masyarakat
Betawi.

Referensi
Alwi Shahab. “Betawie, Queen of the east”. Harian Umum Republika.
Alwi Shahab. “Robin Hood Betawi”. Harian Umum Republika
Republika.
Alwi Shahab. “Maria Van De Endels, Menantu Habib Kwitang”.
Harian Umum Republika Republika .
Biro Humas DKI Jakarta, Jakarta Meniti Jalan Menuju Parasamya
Purnakarya Nugraha, Jakarta 1994
Castles, Lance. “Profil Etnik Jakarta”. Jakarta: Masup Juni 2007
Evers, Hans-Dieter & Rudiger Korff. Urbanisme di Asia Tenggara,
Makna dan Kekuasaan Dalam Ruang-Ruang Sosial. Yayasan
Obor Indonesia.
Harian Umum Warta Kota 11 Mei 2007.
Ramadhan KH. 1992. Ali Sadikin, Demi Jakarta 1966-1977.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Santoso, Suwito. “Fungsi Ruang, Memperebutkan Kue di Senayan”.
Harian Umum Kompas 24 Mei 2007.
Toer, Pramoedya Ananta. Jejak langkah. Hasta Mitra (Edisi
pembebasan karya pulau buru).

136
Sumber Lain
Wawancara Ridwan Saidi, Jakarta Januari 2007.
Wawancara dengan keluarga guru H. Mughni, Februari 2007
Wawancara dengan bang Pirin, tukang ojek, Februari 2007

137
Bagian 8

Gempa Yogyakarta: Do It Yourself (DIY)

D IY (baca: di-ay-way) adalah ungkapan Bahasa Inggris Do It


Yourself. Artinya, mengerjakan segala sesuatu atau memenuhi
kebutuhan secara mandiri.1 Gempa bumi 27 Mei 2006 memang
terjadi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta atau DIY. Namun
warga DIY yang menjadi korban tanpa perlu memahami ungkapan
Bahasa Inggris DIY, memenuhi semua kebutuhan mereka
mengandalkan apa yang mereka miliki saat itu.
Dua DIY ini menampilkan potret yang memiliki, paling sedikit
tiga tafsir. Tafsir pertama, menggambarkan kemandirian rakyat
sebagai warga. Tafsir kedua, menyangkut peran pengurus wilayah
yang absen, minimal pada saat penanganan bencana tersebut.
Tafsir ketiga, menyangkut kelelahan rakyat sebagai warga untuk
dapat mempercayai pengurus negara dalam menunaikan tanggung
jawab menjamin keselamatan rakyat. Potret tersebut begitu kasat,
sesaat setelah kejadian gempa bumi hingga proses rekontruksi
berjalan. Inilah yang akan dipaparkan tulisan ini dalam kasus
Gempa Yogyakarta.
Sabtu pagi 27 Mei 2006, pukul 05.55 WIB. Warga wilayah
Yogyakarta dan sekitarnya dikejutkan guncangan gempa bumi
berkekuatan 5,9 Skala Richter (SR). Dampak bencana gempa
bumi telah melumpuhkan aset-aset kehidupan di wilayah Provinsi
DIY dan sebagian wilayah Provinsi Jawa Tengah. Seperti korban
1 Wikipedia menyebutkan, DIY sebagai sub-kultur merupakan kritik terbuka
terhadap budaya konsumtif, yang selalu mengandalkan jalan-keluar semua
persoalan dengan pembelian sesuatu dan menumpulkan kemampuan orang
untuk lebih kreatif mencari jalan-keluar mengandalkan apa yang dimiliki saat
itu. Lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/DIY.

138
jiwa, fisik, finansial, sosial dan lingkungan.
Saat gempa, warga berhamburan menyerbu beberapa rumah
sakit. Baik yang jaraknya dekat maupun yang cukup jauh. Data
resmi menyebut angka 4.715 jiwa warga DIY meninggal dan ribuan
lainnya luka-luka.2 Daya tampung rumah sakit setempat sangat
terbatas dibanding jumlah warga korban yang harus memperoleh
penangan medis. Apalagi sarana kesehatan lain memiliki
kemampuan pelayanan lebih terbatas, seperti Pusat Kesehatan
Masyarakat (Puskesmas) serta klinik-klinik swasta. Tidak ada
pilihan lain bagi warga kecuali mengurus diri mereka sendiri.
Respon korban untuk mengurus keselamatan diri secara
mandiri seolah-olah sebuah reaksi yang sewajarnya. Termasuk
menjamin keamanan keluarga dan menjaga aset yang tersisa, pasti
dilakukan siapapun yang tertimpa bencana. Namun menjadi tidak
wajar, ketika korban didudukkan sebagai warganegara yang berada
dalam keadaan mendesak. Membutuhkan jaminan keselamatan
dan perlindungan hidup oleh Negara. Korban gempa bumi 27 Mei
2006, lebih tepat disebut sebagai segerombolan orang yang hidup
di suatu tempat antah-berantah tanpa klaim Negara.
Kerepotan warga korban mengurus diri mereka, dapat dilihat pada
semua tahap penanganan dampak bencana gempa3. Gerombolan
orang yang tertimpa bencana gempa bumi tersebut berada dalam
yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mereka
mengambil alih tanggung jawab negara, yang harusnya melindungi,
meringkankan upaya warga korban memenuhi kebutuhan dasar
mereka pada situasi bencana. Harus diterima kenyataan, warga
korban telah menyubsidi atau meringkankan beban negara dalam
penanganan bencana. Bahkan di saat mereka dalam kondisi kritis
2 Data UNDP korban meninggal 5.778 jiwa untuk DIY dan Jateng, Oxfam
GB korban meninggal 5.736 Jiwa untuk DIy dan Jateng dan Di WALHI DI.
Jogjakarta Korban Meninggal Adalah 4.867 jiwa di DIY 1.063 jiwa di Jawa
Tengah
3 Konsep Tahapan Penanganan Bencana: Tanggap-darurat (emergency),
bantuan Kemanusiaan ( relief ), Pemulihan ( recovery ) serta rehabilitasi dan
rekontruksi Pasal 52 – 59 UU no 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan
Bencana.
139
ketika hanya bertahan hidup.

Tanggap Darurat: Serba Darurat dan Ala Kadarnya


”Saya tidak tahu harus bagaimana melihat rumah-rumah
roboh? Harta benda ada di dalam semua, banyak orang terluka,
harus mencari pertolongan kemana? Kemudian malam-malam
saya mendengar kalau ingin mencari tenda, logistik dan sebagainya
supaya datang ke rumah dinas bupati. Dan saya pun pergi kesana
tetapi sesampainya disana ternyata tidak ada apa-apa”.4 Demikian
penuturan M. Yuchron, tokoh masyarakat Dusun Pacar, Desa
Timbulharjo, Juli dua tahun lalu.
Sebagian warga lain mengungkapkan dengan sudut berbeda,
dengan tekanan pada ketiadakpercayaan kepada pengurus wilayah.
”Saya sudah pesimis Mas untuk bisa mendapatkan tenda. Akhirnya
keluarga saya ungsikan ke tengah sawah di gubuk tua, yang sehari-
harinya digunakan berteduh sementara para perajin batu-bata. Gak
cuma kedinginan, tetapi air hujan bocor kemana-mana. Sampai-
sampai saya tidak tidur karena anak menangis terus”.5 Demikian
ujar Ngadiono, ayah dua orang anak dari Dusun Dadapan.
Meski dua ungkapan di atas hanya contoh kecil yang disajikan,
tetapi cukup mewewakili gelagat ketiadaan peran negara dalam
menjamin keselamatan warga.
Pasca guncangan gempa, masyarakat menunjukkan kemampuan
dan daya bertahan hidup (survival) yang luar biasa. Tidak hanya
gubuk ditengah sawah yang dijadikan tempat berlindung, bahkan
kandang ternak sapi dan kambing pun berubah fungsi menjadi
tempat tinggal. Daya bertahan hidup yang lahir akibat absennya
perlindungan negara, yang seharusnya meringankan beban hidup
mereka sebagai korban.
Pasca gempa bumi, pengurus negara belum juga merespon
lebih jauh. Hanya memberikan ilusi dengan janji-janji. Seperti
disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Ia adalah Kepala Badan
4 Komunikasi pribadi pada bulan juli 2006.
5 pribadi pada bulan juni 2006.

140
Koordinasi Nasional Penanganan Bencana (Bakornas). Kalla
menjanjikan uang senilai Rp 1 juta per kepala keluarga per bulan
untuk jangka waktu tiga bulan. Dengan rincian, Rp 3 ribu per
orang untuk lauk pauk, Rp 100 ribu per bulan per kepala keluarga
untuk peralatan rumah tangga, Rp 100 ribu per orang per bulan
untuk pembelian pakaian, serta 12 kilogram beras per orang per
bulan.6 Janji lainnya, uang tunai untuk perbaikan rumah senilai Rp
30 juta rupiah untuk rumah roboh, Rp 20 juta rupiah untuk rumah
rusak berat, dan Rp 10 juta rupiah untuk perbaikan rumah rusak
ringan.
Warga menanggapi janji pengurus negara secara beragam. Dari
tak acuh, ragu-ragu, berharap, hingga bergantung sepenuhnya janji
itu dipenuhi.
Sebagian besar warga mengganggap janji itu tidak perlu
dianggap serius. Mereka terus berjuang bangkit dari keterpurukan,
mengandalkan yang tersisa paska gempa. Sementara, kebutuhan
dasar macam bahan pangan, air, kesehatan dan tempat tinggal
sementara, menjadi sulit terpenuhi. Tindakan bertahan hidupnya
beragam. Mereka menjual ternak, tanaman, hingga tanah untuk
membiayai pemulihan mereka.
Sekelompok orang lanjut usia, mengungkapkan kesan mereka
yang merasa kembali hidup dimasa lampau. Pada saat Indonesia
atau Jawa mengalami krisis pangan, sehingga harus makan nasi
aking dan parutan kelapa.7
Tapi kondisi sulit tak menyurutkan semangat warga untuk
bangkit. Mereka membangun tempat tinggal sementara, meman­
faatkan puing-puing rumah yang masih bisa digunakan. Kebutuhan
pangan dan obat-obatan diperoleh dengan memanfaatkan berbagai
tanaman umbi-umbian dan tumbuhan yang sering digunakan
sebagai obat-obatan tradisional alternatif yang masih tumbuh di
pedesaan.
6 Bantuan untuk Korban Gempa, Tiap Kepala Keluarga Dapat sekitar Rp. 1
Juta, Kompas 29 Mei 2006
7 Wawancara penulis dengan beberapa warga Dusun Tembi Desa
Timbulharjo, Bantul.
141
Semangat itu masih sangat tingggi saat peringatan Hari
Kemerdekaan RI 17 Agustus. Seperti di Kampung Karanganyar
Brontokusuman Mergangsan, Kota Yogyakarta. Gempa bumi di
kampung ini membuat 150 kepala keluarga atau 515 jiwa kehilangan
tempat tinggal, sembilan orang meninggal, 15 orang luka berat.
Situasi itu tidak menyurutkan semangat warga menyelenggarakan
perayaan kemerdekaan secara meriah. Seperti yang biasa mereka
lakukan pada tahun-tahun sebelumnya. Panitia mengadakan
lomba-lomba untuk semua jenis umur. Kebersamaan tercermin
dari meriahnya pesta kemerdekaan di tengah puing-puing dan
tenda-tenda. Potret serupa ditemukan di hampir semua wilayah
yang terkena bencana gempa bumi 27 Mei itu.
Di sisi lain, warga yang sangat berharap janji pengurus negara,
tidak kenal lelah terus menagih, memantau perkembangan. Mereka
berupaya memenuhi persyaratan-persyaratan administratif yang
diwajibkan. Tapi, upaya ini terlihat begitu absurd. Warga secara
sengaja dan terencana merobohkan bangunan tempat tinggalnya,
untuk memenuhi kondisi yang disyaratkan. Yaitu, rumah roboh
untuk mendapat bantuan tunai Rp 30 juta rupiah. Padahal untuk
merobohkan rumah, mereka harus membayar upah tukang.
Warga lainnya, yang tak terlalu berharap janji pengurus
Negara, memandang tindakan tersebut sebagai hal konyol. Sebab,
dibutuhkan biaya yang lebih besar untuk membangun kembali
rumah-rumah yang sengaja dirobohkan itu.
Nyatanya, janji-janji hanya menyisakan harapan belaka.
Biaya jatah hidup (Jadup) yang dijanjikan tidak berumur
panjang. Jadup hanya mengalir satu bulan, itu pun tidak merata
pembagiannya. Pegalaman ini dipakai warga korban sebagai tolok
ukur ketidakseriusan pengurus negara. Khususnya terkait dana
rekontruksi rumah. Sebagian warga menyikapi dengan melakukan
desakan dan tekanan kepada pengurus wilayah setempat. Sebagian
lainnya, makin tak acuh, tidak percaya janji-janji pemerintah.
Tak hanya urusan rumah, penanganan medis bagi korban bencana
gempa bumi pun tidak terintegrasi dengan pemenuhan kebutuhan
142
lainnya. Kasus-kasus pasien yang dipulangkan rumah sakit tanpa
mempertimbangkan perawatan pasien selanjutnya adalah salah
satu bukti. Setiba di rumah, pasien harus mengupayakan tempat
tinggal layak karena rumahnya tak bisa lagi dipakai. Akibatnya,
proses pemulihan kesehatan menjadi terganggu. Ini dialami Dwi,
pemuda Dusun Ngasem Kelurahan Timbulharjo Sewon Bantul.
Sepulang rumah sakit, dia kebingungan mencari tenda untuk
dirinya dan ibunya.
Kasus serupa terjadi di Rumah Sakit Dharma. Pada saat terjadi
gempa susulan 3,2 SR, ada 21 pasien ketakutan dilarikan keluar
rumah sakit. Ironisnya, mereka harus bermalam di lapangan
terbuka tanpa tenda. Padahal kondisi sakitnya cukup parah.
Memasuki minggu keenam paska gempa, masih banyak warga
berdatangan ke rumah sakit umum dan rumah sakit lapang. Dinas
Kesehatan DIY mencatat 1.142 korban yang menjalani rawat jalan.
Sedangkan rawat inap mencapai 679 orang. Mereka dirawat pada
24 rumah sakit umum dan 10 rumah sakit lapang.8 Ribuan korban
masih membutuhkan perawatan dan penyembuhan, baik yang luka
ringan, apalagi luka berat. Sebagian besar yang mengalami patah
tulang, membutuhkan perawatan lebih lanjut.
Selain itu, warga korban menghadapi ancaman penyakit potensial
kejadian luar biasa (KLB) seperti infeksi saluran pernapasan akut
(ISPA), diare, dan penyakit kulit. Terutama mereka yang tinggal di
tenda karena belum mampu membangun kembali rumah mereka.
Beban tugas Dinas Kesehatan DIY bertambah berat setelah
kepergian beberapa tim medis asing, seperti tim medis Amerika
Serikat, China, Spanyol, dan Qatar. Selama ini, mereka membantu
pelayanan medis korban gempa. Ditambah pula sarana kesehatan,
seperti puskesmas yang rusak, belum bisa memberikan pelayanan
optimal. Keterbatasan Dinas Kesehatan DIY, secara tak langsung
juga menjadi faktor penyumbang kematian korban gempa, bersama
faktor lainnya seperti kondisi luka korban, waktu dan kecepatan
penanganan, mutu penanganan serta informasi atau pengetahuan
8 Tanggap Darurat Kesehatan layak diperpanjang, Kompas 30 Juni 2006
143
yang dimiliki warga. Kecepatan waktu penanganan berkontribusi
terhadap keselamatan korban yang kritis.
Apabila penanganan korban bisa dilakukan sesaat setelah
kejadian bencana, peluang selamat bertambah besar. Mutu
penanganan ini berkaitan dengan ketersediaan sumberdaya dan
material yang dibutuhkan pada kondisi darurat. Sedangkan
informasi atau pengetahuan yang berkaitan dengan pola hidup sehat
paska bencana merupakan hal penting mencegah berkembangnya
berbagai penyakit di saat kondisi masyarakat masih rentan.
Kondisi lingkungan yang aman paska gempa juga luput dari
perhatian. Masyarakat resah, kejadian kriminal marak terjadi.
Kelelahan dan tekanan jiwa terlihat jelas pada warga, karena saat
yang sama, mereka masih harus menjaga keamanan wilayah dari
ancaman kriminalitas. Di Dusun Tembi, Bantul, seorang pemuda
bernama Mulyadi harus jaga ronda di kampungnya. Setelah
lima hari berturut-turtut, dia berteriak histeris dan memukuli
ibu kandungnya sendiri di satu malam hingga harus dilarikan ke
rumah sakit. Ia bermimpi menangkap seorang pencuri yang akan
menjarah rumahnya.9
Pada tahapan tanggap-darurat (emergency), ada dua hal yang
seharusnya dilihat untuk mengetahui sejauh mana perkembangan
penanganan dilakukan, yaitu:10
1. Perlindungan rasa aman terhadap masyarakat korban
bencana.
2. Pemenuhan kebutuhan dasar korban bencana yang
meliputi pangan, tempat hunian sementara, sandang, air,
sanitasi, pelayanan kesehatan, psikologis dan pendidikan.
Nampaknya pada kasus gempa bumi DIY, syarat-syarat
minimum penanganan dampak bencana pada tindakan tanggap-
darurat gagal dipenuhi negara. Inilah ironi negeri rawan bencana

9 Pengamatan dan wawancara dengan Ibu Asmo Dusun Tembi Bantul,


Agustus 2006
10 Pasal 6 dan 48 UU no 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana

144
Indonesia. Semangat hidup warga yang begitu tinggi, melakukan
segalanya sendiri, benar-benar Do It Your self. Namun gagal
menyentuh nurani pengurus negara untuk menunaikan tanggungj
awab, menjamin perlindungan keselamatan warga.

Pemulihan: Tanggap Darurat Jilid Dua


Proses pemulihan tidak jauh berbeda dengan tahap tanggap-
darurat. Warga kembali pontang-panting melakukan perbaikan
kondisi dengan sumber dayanya sendiri. Mereka menjual harta
benda, menggalang bantuan saudara, mencari bantuan berbagai
organisasi dan upaya lainnya. Upaya warga makin berat memasuki
tahap pemulihan. Ini terlihat dari besarnya belanja warga untuk
proses penanganan paska bencana gempa.11 Lagi-lagi, warga
korban menyubsidi negara dalam usahanya untuk menyelamatkan
diri.
Sungguh menghina akal sehat, ketika tahap tanggap-darurat
”ditutup secara resmi” lewat dikucurkannya dana Jadup senilai 185
Milyar Rupiah dan 5,1 Milyar Rupiah dana Operasional.12 Lagi-
lagi tak sesuai janji. Dana Jadup yang dijanjikan tiga bulan, hanya
berumur satu bulan.
Meski dana Jadup dikucurkan, bukan berarti kebutuhan darurat
warga terpenuhi dan tanggung jawab negara selesai. Nilai dana
Jadup berupa uang Rp 90 ribu dan beras 10 kg per orang adalah
standar kualitas kehidupan yang ditawarkan negara kepada warga
korban gempa. Angka yang tak berarti untuk memenuhi kebutuhan
mereka sehari-hari, apalagi bicara pemulihan. Besarnya belanja
negara untuk penanganan tanggap-darurat hingga dimulainya
tahap pemulihan, sangatlah kecil dibandingkan nilai nominal yang
dikerahkan warga korban.
Proses pemulihan dilakukan sangat cepat oleh warga korban
secara mandiri. Dalam waktu tiga hari setelah gempa bumi, pada
11 Subsidi tersebut bisa dilihat dari total kebutuhan yang diupayakan
masyarakat sendiri ulai dari tanggap darurat hingga proses rekontruksi.
12 Tahap Tanggap Darurat di Yogyakarta dan Jateng dinyatakan selesai,
Kompas 30 Juni 2006
145
hampir semua daerah bencana di DIY dan sebagian Jawa Tengah
– warga terlihat sibuk. Mereka bekerjasama mengembalikan fungsi
sarana-sarana penting seperti sekolah, tempat ibadah, Puskesmas,
jalan, serta saluran irigasi yang rusak.
Salah satunya dapat dilihat di Dusun Kentolan Guasari Pajangan
Bantul. Di kampung ini, warga bergotong-royong membangun
sekolah darurat, memfungsikan bangunan sekolah dasar negeri yang
runtuh terkena guncangan gempa bumi. Penyediaan lahan, bahan
bangunan bambu dan kayu, serta tenaga kerja mereka tanggung
bersama. Mereka tak ingin mengorbankan proses pendidikan dan
menghambat masa depan anak-anak karena ketiadaan sarana.
Masalah mendesak lain yang dihadapi adalah air bersih, seperti
yang terjadi di Dlingo Bantul. Gempa menyebabkan sumber air
mengering. Setiap harinya, warga harus mengambil air bersih ke
tempat lain berjarak 3-4 kilometer. Mereka yang mampu, bisa
membeli kebutuhan air bersih dengan harga Rp 75 ribu per tangki.
Situasi serupa dialami warga Patuk Gunung Kidul. Untuk mencari
sumber air baru, warga harus membuat sumur dengan kedalaman
hingga 27 meter. Biaya pembuatan tiap sumur mencapai Rp 3 juta.
Meski tahap tanggap-darurat “secara resmi ditutup” lewat
pengucuran dana Jadup, kenyataannya warga tetap berada pada
tahap tanggap-darurat, memenuhi beragam kebutuhan mendesak.
Dan itu semua tak akan mungkin dilakukan, jika warga hanya
mengandalkan dana Jadup.

Rehabilitasi & Rekonstruksi? Sami Mawon!


Dana rekonstruksi yang dijanjikan pemerintah turun angkanya
dari Rp 30 juta menjadi Rp 15 juta. Berita ini bercampur-aduk
dengan berbagai selentingan kabar bahwa turunnya angka tersebut
terkait dengan adanya bantuan dari organisasi non-pemerintah
(NGOs) internasional, bantuan sektor swasta serta pihak lain.
Beredar pula selentingan, warga korban yang telah mendapat
bantuan dari pihak-pihak luar negara, tidak akan mendapat
dana rekontruksi resmi. Puncak kekacauan informasi ini adalah

146
penolakan warga terhadap uluran bantuan pihak-pihak non-negara.
Mereka khawatir kehilangan hak mendapatkan dana rekontruksi
dari negara. Pemerintah kebingungan menghadapi situasi tersebut.
Apakah berkurangnya nilai dana rekonstruksi memang
dilakukan agar warga korban tidak kebanjiran dana bantuan? Atau,
negara memang tidak menganggap upaya pemulihan kehidupan
warga korban bencana sebagai prioritas dibandingkan pos belanja
anggaran lain?
Nilai dana rekonstruksi untuk dua provinsi dikucurkan dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2006
sebesar Rp 1,2 trilyun. Sejumlah Rp 749 milyar atau 70 persen
anggaran untuk DIY pada tahap pertama. Tiap rumah mendapat
Rp 15 juta. Nilainya tak sebanding dengan jumlah rumah yang
harus dibangun kembali, yakni 206 ribu rumah. Agaknya angka
lima belas juta rupiah untuk rumah tahan gempa adalah standar
kualitas hidup dan keselamatan yang ditetapkan pengurus negara.
Dana rekontruksi disalurkan melalui kelompok masyarakat
(Pokmas) yang dibentuk di tiap dusun. Tiap Pokmas beranggotakan
10-15 orang. Dana digulirkan bertahap, tetapi tata-distribusinya
berbeda antara Pokmas satu dengan yang lain. Ada yang
menggunakan tata-distribusi bagi rata, yang populer disebut sistem
Bagita, ada juga yang sistem prioritas. Warga korban cenderung
memilih tata-distribusi bagita, khawatir dana rekonstruksi akan
bernasib seperti dana Jadup, yang umurnya hanya sebulan.
Kepercayaan warga korban kepada aparat negara masa
rekonstruksi, ditunjukkan lewat berbagai sikap. Ada yang
melakukan unjuk-rasa, ada yang acuh tak acuh, mengabaikan
janji pemerintah, terus mengupayakan pemulihan mereka
sendiri. Seperti yang dilakukan Ibnu Sudiro (54 tahun), petani
Desa Timbulharjo Bantul. Dia sama sekali tidak mempedulikan
dana rekonstruksi dari negara. Beberapa minggu setelah gempa,
ia bersama dua orang tetangganya langsung membuat batu bata
sendiri. Selama satu bulan, kurang lebih 25 ribu batu-bata berhasil

147
dibuatnya. ”Ada bantuan pemerintah, ya syukur. Gak ada bantuan,
ya saya masih yakin bisa hidup. Saya sudah memunyai material
sendiri Mas. Saya bisa nyicil bikin rumah baru”, ujarnya.13
Kebijakan rekonstruksi mengarah kepada upaya-upaya
perbaikan bangunan fisik. Terbaca pada polemik di surat kabar.
Tiada satu haripun terlewat memberitakan kekacauan dana
rekontruksi rumah.14 Kebijakan rekonstruksi yang mengarah pada
bangunan fisik membuat beban hidup warga makin berat. Upaya-
upaya pemulihan ekonomi terutama aset mata pencaharian, luput
perhatian Negara.
Warsito (32 tahun), perajin cinderamata asal Pundong Bantul,
berusaha membangun kembali usahanya tiga minggu setelah
kejadian. Meskipun alat produksinya luluh-lantak akibat gempa.
Ia tidak menemukan kemungkinan bantuan pemerintah yang
bertujuan memulihkan penghidupan warga. Warsito akhirnya
mengandalkan barang-barang tersisa sebagai modal awal. Dia tidak
lagi mempedulikan apakah ada bantuan dari negara atau tidak.
Hal serupa dialami Ibu Ayom (47 tahun), penjual aneka jajan
pasar sebelah timur pintu masuk Sasono Hinggil Alun-Alun
Selatan Yogyakarta. Rumah tinggalnya di Dusun Cabean Desa
Panggungharjo, Sewon Bantul, hancur lebur digempur gempa.
Bahkan ia harus dirawat di rumah sakit selama seminggu karena
terluka tertimpa reruntuhan rumahnya sendiri. Namun sebulan
setelah gempa, pelanggan setianya sudah dapat membeli jajan
pasar seperti urap, pecel, cenil, lupis, dan ketan juruh seperti sedia
kala. Alasan Ibu Ayom begitu sederhana: “Supaya tidak nglangut
terus di rumah.”15
Ibu Ayom bangkit kembali bukan karena bantuan anggaran
negara. Tetapi bantuan modal senilai Rp 580 ribu, yang dia terima
13 Komunikasi pribadi dengan Ibnu sudiro, bulan Juli 2006
14 Warga patuk Gerudug Bupati Pertanyakan Realisasi dana Rekons,
Kedaulatan Rakyat 1 Januari 2007; Penyaluran bantuan Rekontruksi
Prosesnya Harus di permudah, Bernas 21 Januari 2007; Data Dana
Rekontruksi Dimanipulasi, Kompas 25 Januari 2007.
15 www.mediacenteraji-yogya.com

148
dari orang-orang yang biasa berolah raga di Alun-Alun Selatan
tiap pagi. Para pelanggan tetapnya.
Masih banyak warga korban gempa yang menjalani hidup
seperti Warsito dan Ibu Ayom di Yogyakarta maupun Jawa Tengah.
Kreativitas dan siasat hidup warga korban gempa begitu tinggi.
Terbukti mereka mampu menyelamatkan kehidupannya sendiri
(Lihat Lampiran1. Tabel penanganan bencana gempa bumi).

Solidaritas Kolektif di Dusun Blado


Matahari pagi bersinar belum begitu terang di Dusun Blado
ketika berbondong-bondong warga Dusun Blado terlihat
mengusung ember dan jerigen. Mereka menaiki jalan bebatuan
yang menanjak. Tua, muda, laki-laki juga perempuan menjadi satu
dalam kegiatan tiap pagi itu. Mereka pergi mengambil air.
Dusun Blado didiami 95 Kepala Keluarga (KK). Merupakan
salah satu dusun di Desa Giritirto Kecamatan Purwosari Kabupaten
Gunung Kidul Yogyakarta. Dusun ini bisa dicapai menggunakan
kendaraan pribadi atau berjalan kaki sekitar 9 km dari Kepolisian
Sektor (Polsek) Purwosari. Memang belum ada akses kendaraan
umum ke dusun yang terletak pada ketinggian 1500 m dari
permukaan laut ini. Wilayah dusun ini didominasi bukit kapur
(karst) yang kurang subur dan beresiko mengalami kesulitan air
musim kemarau.
Gempa tektonik menyebabkan rekahan sepanjang 4 km pada
perbukitan kapur Bangsri yang terdapat di bagian atas dusun.
Sewaktu-waktu dikhawatirkan longsor menimpa pemukiman
warga Blado di bawahnya.
“Sebelumnya ada rembug warga karena ancaman longsoran ini.
Mayoritas warga sepakat untuk merelokasi pemukiman mereka
ke atas Bukit Bangsri. Tempat yang dipandang lebih aman. Lalu
mulailah dipersiapkan lokasi pemukiman baru, yang letaknya lebih
tinggi dari pemukiman sebelumnya. Ada yang memanfaatkan
tegalan yang memang sudah mereka miliki sebelum gempa.
Ada juga yang melakukan tukar guling tanah dengan pemilik

149
sebelumnya. Tetapi tukar gulingnya ndak mahal, harganya
relatif murah.”16 Ujar Ponijo seorang tokoh masyarakat ketika
diwawancara WALHI DIY.
Proses penyiapan lokasi permukiman baru, bukanlah proses
mudah. Tidak sesederhana mengubah tegalan menjadi tempat
permukiman atau mengurus proses tukar guling tanahnya.
Tantangan yang dihadapi untuk menyiapkan permukiman mereka
adalah mengubah bukit kapur, yang permukaannya tidak rata,
berbatu kapur ukuran besar. Menjadikannya lokasi yang landai
dan stabil untuk permukiman. Warga Dusun Blado membutuhkan
waktu dua bulan menyiapkan lokasi permukiman baru.
Mereka bergotong royong memecah batu kapur, melandaikan
tanah, kemudian memindah rumah warga. Bekas lahan (tegalan)
telah berubah menjadi kampung. Kandang sapi pun berganti
menjadi rumah-rumah warga. Meski keadaannya masih harus
diperbaiki, setidaknya di rumah semi permanen ini, mereka dapat
terlindung dari terik siang, juga dingin udara dan angin kencang
malam hari.
“Memang tidak semuanya pindah. Dari 95 KK, baru 52 KK
yang pindah. Tetapi sebagian besar kegiatan warga terpusat di atas
bukit. Kekhawatiran masyarakat akan resiko longsor juga sudah
dapat diminimalisir dengan kepindahan mereka ke lokasi baru.
Pemukiman sekarang, letaknya jauh lebih tinggi dari lokasi lama.
Supaya aman dari kemungkinan longsoran rekahan bukit paska
gempa.”17 ujarnya lagi.
Selain urusan pemukiman, persoalan berikutnya adalah air. Di
pemukiman lama, jarak mata air relatif dekat. Air dialirkan ke rumah
warga menggunakan pipa dan selang. Setelah gempa, beberapa mata
air mati tertimbun longsoran tanah dan bebatuan dari bukit. Tersisa
hanya dua titik mata air di bawah bukit. Akibatnya, warga harus
naik turun bukit setinggi 70 meter. Menyiasati persoalan tersebut,
warga dan beberapa relawan pendamping bergotong-royong
16 www.walhi-jogja.or.id
17 Sumber :Database WALHI DIY 2006

150
membuat bak penampung. Memasang pipa untuk mengalirkan air
ke atas bukit. Kemudian dialirkan ke rumah-rumah warga. Dari
sinilah warga Blado memenuhi kebutuhan airnya.
Disela-sela berbenah diri membangun kampung baru, kegiatan
pemenuhan kebutuhan sehari-hari tetap berjalan. Irama kehidupan
terus terdengar. Di terik matahari siang yang menyengat, terlihat
beberapa warga masih menggarap lahan tegalan untuk bertanam.
Beberapa perempuan sibuk menjemur hasil panen seperti tembakau,
penopang produktivitas warga Dusun Blado. Blado adalah potret
kecil bagaimana kekuatan kebersamaan warga satu dusun, mampu
membangun sebuah kampung baru paska bencana.

Kunci Perubahan
Iring-iringan truk bermuatan manusia begitu panjang di Jalan
Bantul, Jalan Parangtritis dan Imogiri. Ketiga jalan tersebut
merupakan pintu masuk menuju Kabupaten Bantul, yang
mengalami kerusakan paling parah. Kejadian ini berlangsung
hingga tiga bulan paska gempa bumi. Dari mana dan untuk
apa mereka datang ke Kabupaten Bantul, menimbulkan tanya
beberapa pelancong asing dan pekerja kemanusiaan asing yang
menyaksikannya.
Iring-iringan truk itu bentuk solidaritas warga yang tidak terkena
dampak gempa bumi. Mereka berasal dari Yogyakarta dan Jawa
Tengah. Terutama yang berdekatan dengan Provinsi DIY seperti
Purworejo, Magelang, Semarang, Wonosobo, Temanggung,
Wonogiri, Solo, Banyumas dan wilayah lainnya. Mereka datang
membawa bambu, kayu, alat-alat pertukangan hingga bahan-
bahan untuk keperluan hidup selama bekerja di daerah bencana.
“Ini yang bisa kami lakukan untuk saudara-saudara kita di
Jogja Mas. Yang datang dengan 25 orang”, ungkap Jalu, Pimpinan
rombongan relawan dari Desa Melung Banyumas.18
“Membersihkan puing-puing bangunan, membuat tempat
tinggal sementara, membuka akses jalan, sampai merobohkan

18 Juni 2006.
151
bagungan-bangunan yang rusak berat akibat gempa. Kami siap
melakukan. Kita tidak ingin merepotkan saudara-saudara disini.
Untuk itu, kita membawa keperluan logistik sendiri”, tambahnya.
Tidak lama setelah bencana, solidaritas warga lahir dengan
sendirinya melalui pengerahan bantuan mandiri dari berbagai
wilayah sekitanya. Kekuatan solidaritas beralas tali kekerabatan
tersebut adalah modal besar yang mendorong pemulihan dalam
waktu relatif singkat. Hasilnya mencengangkan. Mereka tak
perlu menunggu kehadiran pengurus negara, berikut anggaran
bantuannya. Solidaritas warga meskipun beralas tali kekerabatan,
seharusnya tidak berhenti hanya dalam penanganan situasi bencana
seperti gempa bumi 27 Mei saja.

Pasar Baru Gempa: Elit diuntungkan


“Sedia sembako, obat-obatan, material bangunan dan jasa
kontraktor!”
Pasca gempa, kebutuhan warga terhadap sembilan bahan
pokok (sembako) dan bahan bangunan berada pada urutan teratas
prioritas belanja warga. Hukum pasar berlaku tanpa kenal situasi,
bahkan pada situasi paling kritis pun. Toko-toko baru penyedia
sembako menjamur. Demikian juga air mineral, bahan bangunan
hingga jasa arsitek dan kontraktor pembangunan rumah. Namun
maraknya “pasar bencana” tersebut tidak menyebabkan harga-harga
bahan pokok turun. Hampir semua bahan bangunan mengalami
kenaikan harga. Seperti pasir, kayu, besi, semen, bambu, batu bata,
genting, dan keramik. Lantas apa yang dapat dilakukan dengan
dana rekonstruksi Rp 15 juta tiap rumah, melawan hukum pasar
ini?
Kebingungan terjadi di tiap pokmas dalam rangka mencari
bahan-bahan yang sesuai kebutuhan dan kemampuan mereka.
Belum lagi urusan administratif laporan penggunaan dana
rekontruksi dari pemerintah. Seperti yang dituturkan Sunarto,
Ketua Pokmas Dusun Bawuran Pleret Bantul. ”Harga bahan
bangunan naik hampir sampai 100%. Seperti pasir dari Rp 50 ribu

152
menjadi Rp 180 ribu, batu-bata dari Rp 170 ribu menjadi Rp 350
ribu, genteng Rp 850 dan harus pesan 2 bulan sebelumnya.”19
Siapa yang sebenarnya diuntungkan dari kondisi ini? Sayang,
warga korban tidak punya kemewahan memikirkan hal tersebut.
Beberapa bahan dasar yang merepotkan warga korban antara
lain pasir, kayu, dan besi. Pasir salah satu bahan dasar yang banyak
dibutuhkan untuk rekontruksi bangunan fisik. Sumber utama
bahan pasir di Yogyakarta dan sekitarnya adalah dari produksi
aktif Gunung Merapi. Aliran pasir Gunung Merapi mengalir
ke beberapa sungai antara lain, Gendol, Opak, Krasak. Serta ke
beberapa sungai yang melewati perkotaan seperti Code, Gajah
Wong dan Winongo.
Di sungai-sungai itulah pasir ditambang berbagai pihak untuk
kebutuhan rekontruksi. Selain wilayah sungai, penambangan pasir
juga dilakukan di lahan-lahan produktif. Lahan produktif yang
berubah fungsi menjadi lahan pasir terutama terjadi di kawasan
lereng Merapi. Fenomena ini menjadi pro-kontra di tingkat warga
setempat.
Banyak lokasi penambangan pasir baru bermunculan, yang
ternyata disponsori pejabat dan pengusaha setempat. Lokasi baru
terentang dari daerah hulu hingga hilir sungai. Dampak maraknya
penambangan pasir itu terhadap lingkungan memang tidak
langsung dirasakan masyarakat sekitar lokasi penambangan.
Kebutuhan kayu untuk proses rekontruksi penanganan
bencana juga sangat besar. Penghitungan Greenomics untuk
skenario minimum dan menengah kebutuhan kayu rekonstruksi,
diperkirakan antara 461-577 ribu meter kubik kayu gergajian (lihat
Tabel 1). Ini setara dengan 916 ribu - 1,14 juta meter kubik kayu
bulat. Kebutuhan tersebut belum termasuk kerusakan-kerusakan
lain yang belum terdata dan kebutuhan kayu untuk fase tanggap
darurat.

19 Sumber : Hasil Laporan Fact Finding LABH Yogyakarta, 2006

153
Tabel 1. Perkiraan Sementara Kebutuhan Kayu untuk
Rekonstruksi Yogya-Jateng
Kayu Gergajian (m3) Kayu Bulat (m3)
Kerusakan Unit
  Minimum Menengah Minimum Menengah

Rumah
84.643 250.881,85 313.602,32 501.763,70 627.204,63
(rata tanah)
Rumah
135.038 200.126,32 250.157,90 400.252,63 500.315,79
(rusak berat)
Sekolah
861 10.208,02 2.760,02 13.160,16 16.450,20
(rusak berat)
Kantor
61 271,21 339,01 542,41 678,02
(rusak berat)

TOTAL 220.603 461.487,39 576.859,24 915.718,91 1.144.648,64

Catatan:
Sumber: Studi Greenomics Indonesia tentang Deforestasi dan Degradasi Hutan Pulau Jawa
(Februari 2006)

a. Selama 2 tahun (periode 2002-2004), kawasan konservasi dan hutan lindung di Pulau Jawa yang
terdegradasi atau mengalami kehilangan kualitas fungsi hutan mencapai lebih dari 330.000 hektar
yang tersebar di 76 titik pada kawasan konservasi dan hutan lindung di wilayah Provinsi Banten,
Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, dan Jawa Timur. Kawasan konservasi yang terdegradasi
seluas lebih dari 133.000 hektar dan hutan lindung yang mencapai lebih dari 197.000 hektar.
b. Tidak hanya degradasi hutan, selama 2 tahun tersebut, praktik pembabatan dan perambahan hutan
(deforestasi) di kawasan konservasi dan hutan lindung di Pulau Jawa mencapai lebih dari 102.000
hektar, yang terdiri dari lebih dari 40.000 hektar kawasan konservasi dan 62.000 hektar lebih hutan
lindung. Provinsi Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah merupakan penyumbang deforestasi
terbesar di Pulau Jawa. Kondisi tersebut terjadi dalam periode 2 tahun saja. Artinya, tingkat
pembabatan dan perambahan kawasan konservasi dan hutan lindung di Pulau Jawa dapat dikatakan
cukup tinggi.
c. Bencana ekologis yang lebih parah diperkirakan akan mengancam 61 kabupaten di ketiga wilayah
provinsi tersebut dalam beberapa tahun ke depan. Jumlah kabupaten tersebut melebihi 90 persen
wilayah kabupaten yang dikategorikan oleh Greenomics sebagai kabupaten-kabupaten paling
berisiko terancam bencana ekologis akibat terganggunya ekosistem kawasan konservasi dan hutan
lindung di Pulau Jawa.
d. Tingkat degradasi dan deforestasi hutan pulau Jawa telah mengganggu 123 titik Daerah Aliran Sungai
dan Sub-Daerah Aliran Sungai (DAS/Sub-DAS) di Pulau Jawa. Greenomics memperkirakan bahwa
jika tren deforestasi dan degradasi hutan Pulau Jawa selama 2002-2004 terus berlangsung selama
2 tahun ke depan, diprediksi sekitar 10,7 juta hektar DAS/Sub-DAS di Pulau Jawa akan terancam
kualitas fungsi ekologis secara serius, yang pada akhirnya akan berpotensi menimbulkan kerugian
ekonomi sebesar Rp136,2 triliun per tahun sebagai akibat terjadinya banjir, tanah longsor, dan
kekeringan dalam skala lebih besar dengan dampak yang berkepanjangan.

Sumber: Kalkulasi sementara Greenomics Indonesia berdasarkan data kerusakan


sementara dari Media Center Gempa Yogya per 5 Juni 2006
154
Berdasar data di atas, kayu di wilayah Yogyakarta maupun Jawa
Tengah jelas tak mungkin memenuhi kebutuhan kayu. Hal ini
diperkirakan mendorong deforestisasi yang meluas. Tidak hanya di
wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah tetapi di wilayah lain termasuk
luar Jawa. Bencana lain yang harus diwaspadai adalah penggundulan
hutan besar-besaran untuk memenuhi kebutuhan rekontruksi.
Di sisi lain, tingkat kebutuhan yang tinggi membuat harga kayu
melambung. Kayu-kayu yang didatangkan dari luar daerah menjadi
alasan menaikkan harga kayu. Situasi tersebut mendorong maraknya
penjualan kayu di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Negara tak
mampu memberikan subsidi kebutuhan kayu. Subsidi transportasi
seharusnya diberikan untuk pengangkutan dari daerah penghasil
kayu ke wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah yang terkena bencana.
Berbeda dengan pasir dan kayu, besi untuk bangunan hanya di
produksi oleh beberapa pabrik saja. PT Krakatau Steel salah satunya.
Pabrik besi baja terbesar di Indonesia ini cukup banyak meraup
keuntungan dengan tingginya permintaan besi bangunan. Sebelum
gempa terjadi, besi dengan diameter 10 mm dapat dibeli seharga
Rp 26 ribu. Setelah gempa, harga naik menjadi Rp 31 ribu. Ukuran
dan standar besi yang beragam menambah kebingungan warga
mencari standar besi tahan gempa yang ditetapkan pemerintah.
Besi cukup banyak dibutuhkan untuk membangunan rumah
tahan gempa. Namun kemampuan masyarakat memenuhi semua
kebutuhan tersebut sangat terbatas. Sebagian warga menyiasatinya
dengan bambu. Ini dilakukan M. Zaini dari Dusun Bejen Bantul.
”Ya, begini Mas. Kita siasati jumlah besi supaya tidak banyak. Kita
pakai bambu saja untuk membuat ring bawah yang menghubungkan
dinding-dinding ini.”20
Subsidi warga korban kepada negara makin besar, saat
harga-harga barang tak terkendali dan berlangsung spontan.
Apakah mungkin birokrat dan aparat tidak memiliki wewenang
mengendalikan harga-harga ini? Kalau pemerintah dan aparat-

20 Sumber : Komunikasi pribadi dengan M. Zaini ( Warga Dusun Bejen Bantul


), November 2006.
155
aparatnya memiliki wewenang, apa sebenarnya yang terjadi?
Berbagai kebutuhan masyarakat paska gempa tidak mendapat
subsidi dari negara. Subsidi yang seharusnya menjadi tanggung
jawab negara. Kemana sesungguhnya dana-dana rakyat yang
dibayarkan setiap bulannya? Dana rutin berbagai macam pajak yang
dibayar rakyat kepada negara. Namun semuanya tidak menjadi
amunisi negara untuk melindungi rakyatnya. Akhirnya rakyat yang
harus menanggung sendiri.

Tata Ruang, Memperburuk Kerentanan


Kabupaten Bantul dan Klaten merupakan wilayah yang
terkena dampak gempa bumi terparah, baik korban jiwa ataupun
infrastruktur. Hal ini karena gempa disebabkan patahan antar
batuan mengenai Sesar Opak (Kec. Kretek, Pundong, Imogiri,
Jetis, Pleret, Berbah, Piyungan hingga Kec. Prambanan). Getaran
gempa juga menggoyang zona patahan Sesar Jiwo di Klaten.
Meliputi kecamatan Wedi, Gantiwarno, Bayat dan Cawas.
Sesar opak merupakan garis patahan memanjang yang mem­
bentuk lembah Sungai Opak. Wilayah ini merupakan perbatasan
antara formasi geologi semilir di sebelah timur dan zona formasi
geologi endapan Gunung Merapi muda di bagian barat. Sesar ini
aktif sepanjang 12 kilometer, sedang patahan memanjang dari
Sanden Bantul hingga Tulung Klaten sejauh 60 kilometer (lihat
Peta Sesar pada Lampiran2).
Dampak gempa bumi begitu besar di sepanjang dan sekitar
Sesar Opak. Pertanyaannya, apakah pemerintah daerah dan juga
masyarakat mengetahui keberadaan sesar ini? Untuk menjawabnya,
kita perlu melihat dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah, acuan
pengembangan dan pembangunan Kabupaten Bantul.
Peninjauan Kembali RTRW Kabupaten Bantul dilakukan
terakhir kali tahun 1999/2000 oleh Pusat Penelitian Perencanaan
Pembangunan Nasional Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Konon pendekatan perencanaan yang digunakan adalah perencanaan
pengembangan menyeluruh dan terpadu (comprehensive & integrated

156
development planning). Sedangkan rencana alokasi penggunaan
ruang menggunakan konsep pengembangan Corridor and Radial
Concrencrict Development. Yaitu, pengembangan mengacu pada pusat
perkembangan yang lebih tinggi tingkat pelayanannya, maupun
frekuensi kegiatannya. Berikut petikan hasil Peninjauan Kembali
RTRW Kabupaten Bantul tentang Kawasan Rawan Bencana.21
”Kawasan rawan bencana di Kabupaten Bantul disebabkan oleh
longsoran dan erosi. Bencana alam erosi dan longsoran terjadi pada
pegunungan Baturagung, selain itu erosi terjadi juga di pegunungan
kapur. Luas kawasan rawan bencana ini berada hampir di seluruh
lahan yang berfisiografi perbukitan dan pegunungan dengan luas
179 hektar, atau 0,353 % luas seluruh Bantul. Kebijaksanaan
pemanfaatan ruang pada kawasan rawan bencana diutamakan pada
pemantapan kawasan rawan bencana alam, dengan tujuan untuk
melindungi manusia dan kegiatannya dari bencana”.
Jika memang perencanaan dengan pendekatan pengem­bangan
menyeluruh dan terpadu, mengapa tidak menghitung potensi
ancaman gempa bumi? Sudah jelas Pulau Jawa secara umum dan
DIY khususnya, termasuk wilayah rawan bencana gempa. Hasil
rumusan RTRW oleh Pusat Penelitian Perencanaan Pembangunan
Nasional Universitas Gajah Mada sama sekali tak mencantumkan
informasi ini sebagai salah satu pertimbangan. Apakah hal ini sesuai
pendekatan yang digunakan? Atau apakah pekerjaan penyusunan
dokumen RTRW hanya sekedar proyek?
Tidak adanya pertimbangan ancaman bencana yang lengkap
dalam penyusunan RTRW, berimplikasi pada dampak bencana
lebih besar. Dalam RTRW Kabupaten Bantul, Kecamatan Piyungan
sebagai wilayah yang dilewati Sesar Opak, malah diperuntukkan
menjadi kawasan pengembangan industri. Akibatnya, jumlah korban
jiwa cukup besar, juga mengalami kerusakan fisik parah. Ini sangat
bertolak belakang dengan arah pengembangan wilayah sebagai
kawasan industri. Seperti termaktub pada RTRW Kabupaten
Bantul. Peta RTRW juga tidak mencantumkan daerah tersebut
21 Dokumen Peninjauan Kembali RTRW Kabupaten Bantul, 2000.
157
sebagai daerah rawan gempa (lihat Tabel 2).
Baik pelaku industri maupun warga yang bermukim di wilayah
itu, tidak pernah mengetahui adanya ancaman bencana gempa bumi.

Tabel 2. Data kebencanaan Kecamatan Piyungan

Kecamatan Piyungan

Jumlah
Kondisi Penyintas
Penyintas
Jumlah
No Desa
Dusun
Luka Luka
Jiwa KK Meninggal
Berat Ringan

`1 Siti Mulyo 22 15189 4407 96 0 0


`2 Sri Martani 16 15764 4025 99 0 0
`3 Sri Mulyo 5 12731 3750 48 0 0
JUMLAH 43 43684 12182 243 0 0

Rumah Rusak

Jumlah
No Desa
Dusun Rusak
Rusak Jumlah
Berat /
Ringan Total
Roboh

`1 Siti Mulyo 22 3046 1058 4104


`2 Sri Martani 16 3332 1082 4414
`3 Sri Mulyo 5 2595 995 3590
JUMLAH 43 8973 3135 12108
Sumber: Database WALHI Yogyakarta.

158
Merupakan ironi, negara sebagai pihak yang paling bertang­
gung jawab pada keadaan tersebut, ternyata bukan tempat yang
tepat untuk memperoleh kepastian jaminan keselamatan bagi
warga negaranya sendiri. Dampak yang besar pada semua kasus
bencana, tentunya menambah berat upaya pemulihan dan
penanganannya. Inilah harga mahal sebuah kebijakan yang hanya
berorientasi ekonomi dan investasi. Keselamatan rakyat tak penting
diperhatikan, apalagi dijadikan dasar utama penentuan kebijakan
pembangunan.

Anggaran-anggaran
Dalam urusan penanganan gempa, kita perlu lihat RAPBD
2007 Kabupaten Bantul. Alokasi dana pengelolaan bencana lebih
banyak digunakan untuk belanja pegawai dan pembelian barang/
jasa. Penggunaan ini sungguh jauh dari harapan mengurangi
resiko bencana. Jumlah dana yang kecil, ditambah alokasi yang
tidak tepat, adalah cermin kapasitas dan komitmen negara atas
keselamatan rakyat. Dana pengelolaan bencana berada dibawah
anggaran Kesbanglimas, dengan rincian  yang dapat dilihat pada
Tabel 3.

Tabel 3. RAPBD Kabupaten Bantul tahun 2007


No Kegiatan Anggaran Jumlah

Kegiatan Pemantauan &


Penyebarluasan Informasi POT
1.
a) Belanja Pegawai 17.010.000,00
b) Belanja Barang & Jasa 32.990.000,00 51.000.000,00

Kegiatan Rehab Kesejahteraan


Pasca Bencana Alam & Banjir
2. a) Belanja Pegawai 25.600.000,00
b) Belanja Barang & Jasa 25.400.000,00
c) Belanja Modal 4.000.000,00 55.000.000,00

159
Kegiatan Sosialisasi Mitigasi
Penanggulangan Bencana Alam &
3. Sosial Kab. Bantul 44.280.000,00
a) Belanja Pegawai 19.175.000,00
b) Belanja Barang & Jasa 25.105.000,00

Kegiatan Peningkatan Ketrampilan


& Kualitas Anggota
4.
a) Belanja Pegawai 10.040.000,00
b) Belanja Barang & Jasa 14.960.000,00 25.000.000,00

Kegiatan Pemberdayaan Anggota


LINMAS Dalam Penanggulangan
5. Bencana
a) Belanja Pegawai 2.250.000,00
b) Belanja Barang & Jasa 12.750.000,00 15.000.000,00

Kegiatan Pembentukan Tim


Reaksi Cepat
6. 11.325.000,00
a) Belanja Pegawai
35.030.000,00 46.355.000,00
b) Belanja Barang & Jasa

Kegiatan Peningkatan Sarana &


Prasarana SAR LINMAS
7. a) Belanja Pegawai 171.000.000,00
b) Belanja Barang & Jasa 9.610.000,00
c) Belanja Modal 94.390.000,00 275.000.000,00

Kegiatan Peningkatan Ketrampilan


Anggota KORSIK
8.
a) Belanja Pegawai 26.325.000,00
b) Belanja Barang dan Jasa 13.675.000,00 40.000.000,00

Kegiatan Persiapan Pemeliharaan


Pemadam Kebakaran
9.
a) Belanja Pegawai 24.260.000,00
b) Belanja Barang dan Jasa 92.740.000,00 117.000.000,00

Dana pengelolaan bencana dalam RAPBD Kabupaten Bantul


masih bersifat top down. Ini menunjukkan, betapa upaya pengelolaan
bencana masih belum menempatkan masyarakat sebagai salah satu
aktor penting. Penguatan keterampilan dan kapasitas lebih banyak
dilakukan untuk instansi pemerintah. Ironisnya bentuk kegiatannya
pun tidak sistematis dan berkelanjutan.
160
RAPBD tidak menempatkan komunitas sebagai aktor utama
dalam pengelolaan penanganan bencana. Kerentanan masyarakat
belum menjadi prioritas dalam pembangunan pengurangan resiko
bencana. Kegiatan untuk memetakan jenis dan karakter ancaman
juga tidak secara rinci dianggarkan dalam RAPBD. Seringkali kita
mendengar bahwa pemerintah kekurangan dana pembangunan.
Tidak adanya anggaran tentang hal-hal tersebut di atas, bisa
dikatakan sebagai sebuah garansi bahwa kegiatan tersebut memang
tidak akan dilakukan.
Kegiatan-kegiatan yang tercantum seolah-olah hanya formalitas.
Pengurangan resiko bencana dalam pembangunan tinggalah cita-
cita. Pada akhirnya, rakyat harus bersiap-siap lagi menjadi korban
bencana-bencana yang akan datang.
Apabila kita bandingkan dengan anggaran lain pada APBD
Kabupaten Bantul 2006, maka alokasi RAPBD untuk pengelolaan
bencana tergolong kecil. Misalnya jika dibandingkan dengan Belanja
Administrasi Umum yang mencapai Rp 1.623.192.700. Hal yang
sama juga terjadi di pusat. Tercatat dalam APBN 2006, anggaran
penanganan bencana hanya diperuntukan usaha tanggap darurat.
Pengurangan resiko bencana dalam pembangunan yang dilakukan
departemen-departemen pemerintahan, juga tidak pernah jelas
mencantumkan perspektif pengurangan resiko bencana.
Bencana gempa bumi Yogyakarta dan Jawa Tengah, paska
bencana Tsunami Aceh, adalah bukti Indonesia sebagai kawasan
rawan bencana. Tapi, seperti juga Aceh, penanganan dampak
gempa bumi 27 Mei pun cerminan bahwa setiap ancaman bencana
di Indonesia selalu menjadi bencana bagi warganya. Cerita
masyarakat Yogyakarta dan Jawa Tengah, yang turut andil dalam
menangani dampak gempa, merupakan gambaran selalu absennya
penguasa dalam setiap kejadian bencana.
Usaha-usaha masyarakat memenuhi kebutuhannya sendiri saat
bencana hingga paska bencana, bagai potret warga menyubsidi
negaranya. Penguasa selalu absen saat warga berada pada titik
nadir bertahan hidup. Keselamatan menjadi tanggung jawab warga
161
sendiri. Meski mereka hidup dalam negara yang selalu memungut
berbagai pajak dari warganya.

Referensi
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2006.
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah (RAPBD)
Kabupaten Bantul 2007.
Dokumen Peninjauan Kembali RTRW Kabupaten Bantul. 2000.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1976/1977. Sejarah
Dawerah Istimewa Yogyakarta. Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Kebudayaan daerah.
Pemerintah Provinsi DIY. 2006. Laporan Pasca Bencana Gempa
Bumi DI.Yogyakarta.
Paripurno, ET. “Telaah Penanggulangan Bencana di Indonesia”.
(Tidak diterbitkan).
Peraturan Daerah DIY 2003 tentang Tata Ruang Provinsi.
Green Ekonomik. 2006. Press Release:Kebutuhan Kayu Untuk
Rekontruksi Jogja-Jateng.
WALHI DIY. 2006. Press Release: Menyikapi Dengan Arif
Emergency Respon Gempa 27 Mei.
WALHI DIY. 2006. Matrik Penanganan Bencana Gempa Bumi.

Sumber Lain
www.kr.co.id
www.mediacenter-ajiyogya.com
www.walhi-jogja.or.id
www.walhi.or.id

162
Bagian 9

Lapindo - Jer Basuki(ku) Mawa Bea(mu)1

B ab ini akan menyajikan betapa buruk pengelolaan sektor


migas Indonesia. Hanya dengan sebuah kecelakaan pada satu
sumur maka empat desa tenggelam. Sejumlah 13 desa di sekitarnya
menerima resiko dan dampak yang sama. Tanpa mendapat
keuntungan apapun dari keberadaan sumur-sumur migas, wilayah-
wilayah padat pemukiman warga di Sidoarjo ini lenyap. Warga
dipaksa harus rela kehilangan ruang hidupnya.
Pengelolaan yang setengah-setengah menjadikan persoalan
lumpur ini berlarut-larut hingga tiga tahun sesudahnya (2009).
Judul Jer Basuki(ku) Mawa Bea(mu) berasal dari kata bijak Jer
Basuki(ku) Mawa Bea(mu), kurang lebih berarti sesuatu yang diraih
haruslah dengan pengorbanan. Pilihan yang pas menggambarkan
situasi warga korban yang harus menunggu hingga batas tak
menentu untuk mendapatkan kembali hak mereka. Sedangkan
si pemilik perusahaan tetap menjadi orang kaya di negeri ini. Ya,
kesejahteraanmu karena biayaku.
Hari Senin 29 Mei 2006 adalah sejarah terburuk Provinsi Jawa
Timur. Perhatian dunia tertuju pada sebuah kabupaten yang luas
wilayahnya paling kecil di Jawa Timur, Sidoarjo. Sebuah kabupaten
dengan 18 kecamatan dan luas wilayah 71.424,25 hektar.
Berbatasan sebelah utara dengan Surabaya dan Kabupaten Gresik,
di sebelah barat dengan Mojokerto, dan Pasuruan di selatan, serta
selat Madura di bagian timur. Ketika tulisan ini disusun, volume

1 Bab 9 ini, merupakan pengembangan Paper dari Penulis (vinsen santoso)


pada Jurnal Bisnis Watch Indonesia (BWI) dengan Judul “ Harga Industrialisasi
Sektor Migas- Semburan Lumpur Lapindo sebagai Kelemahan Negara dalam
Menghadapi Korporas Esktratfi Hidrokarban. Terbitan Edisi VII/Juli –
Agustus 2007
163
semburan lumpur Lapindo sebesar 150.000 meter kubik per hari.
Menyembur keluar dari perut bumi sejak semburan pertama pada
23 Mei 20062.

Gambar 1 Peta Jawa Timur mendudukkan posisi Sidoarjo

Sumber : RTRW Jatim 2006-2020

Warga setempat tergagap karena wilayah ini mengandalkan


industri manufaktur, pertanian, perikanan dan perdagangan jasa
sebagai basis pembangunan ekonominya. Bukan industri minyak
dan gas (migas). Semburan lumpur panas terjadi karena praktik
ceroboh operasi pertambangan migas di Porong yang dilakukan
oleh PT. Lapindo Brantas. Kejadian itu membuka mata warga
setempat tentang potensi besar sumber energi di daerahnya.
Namun pemerintah tidak mampu menjamin proses pembangunan
memberikan keselamatan atas warganya.
Kejadian semburan lumpur panas menambah deretan panjang
derita warga akibat bencana ekologis di Jawa Timur. Penyebabnya
adalah manajemen pembangunan yang salah urus. Sebagai
gambaran singkat, rangkaian bencana ekologis di Provinsi Jawa
2 Hasil Wawancara dengan Masyarakat Renokenongo, yang menjadi saksi
dalam penyelidikan Komnas HAM di Surabaya.
164
Timur dalam dasawarsa terakhir antara lain:
• Banjir bandang di Sitibondo tahun 2000;
• Luapan banjir di Mojokerto, Bojonegoro, Lamongan
dan Gresik diakibatkan luapan sungai Brantas dan
Bengawan Solo (2001);
• Banjir dan longsor di Pemandian Air Panas Pacet
Padusan, Mojokerto (2002);
• Banjir bandang di Mojokerto, banjir dan longsor di
Sitiarjo Kabupaten Malang, dan banjir bandang di
Magetan, Tulungagung, Situbondo pada awal tahun
2003;
• Banjir bandang di Blitar Selatan (2004);
• Banjir bandang yang dipicu oleh longsornya daerah
perkebunan di wilayah pegunungan Argopuro Jember
Jawa Timur pada Januari 2006, setelah itu Trenggalek
dan Jombang menyusul dengan kondisi yang sama.
• Banjir bandang yang dipicu luapan Bengawan Solo:
Madiun, Ngawi, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, dan
Gresik di wilayah Jawa Timur sebagai rangkaian dari
wilayah Jawa Tengah pada tahun 2007 akhir dan masih
terus berlangsung hingga Maret 2008.
Jawa Timur menempati urutan keenam dalam jumlah cadangan
gas yang dimiliki dari seluruh wilayah Indonesia. Keseluruhan
cadangan terbukti,3 maupun potensi, diperkirakan berjumlah 170,3
TSCF.4 Total terbesar cadangan terbukti secara berurut berada di
Natuna (31,4 TSCF dan potensi 22,4 TSCF), Kalimantan Timur

3 Jumlah perkiraan minyak dan gas yang dapat diekstrak dari ladang-ladang
yang teridentifikasi sesuai kondisi ekonomi dan kemampuan operasional
yang ada. Ditentukan berdasarkan hasil pengeboran, produksi dan pola
kecenderungan. Sumber: http://www.theresourceinvestor.com/RI-archive/
gloss-oil.html#P
4 Trillion (million million) standard cubic feet of gas atau standar trilyun kubik
kaki gas.
165
(28,8 TSCF dan 22,5 TSCF), Papua(14,6 TSCF - 9,3 TSCF),
Sumatera bagian selatan (7,5 TSCF - 7,4 TSCF), Aceh (3,7 TSCF
- 6,7 TSCF), Jawa Barat (3,4 TSCF - 4,4 TSCF), Jawa Timur (2,0
TSCF - 3,2 TSCF). Disusul Sulawesi Selatan, Sumatera bagian
tengah, dan Sumatera bagian utara yang masing-masing cadangan
terbukti dan potensial kurang dari satu persen.5

Tabel 1. Cadangan Gas di Indonesia, Data Jatam


Penyebaran Cadangan Gas Bumi Status 2000 (TSCF)
Lokasi Terbukti Potensial Total
Aceh 3.7 6.7 10.4
Sumbagut 1.3 0.3 1.6
Natuna 31.4 22.4 53.8
Sumbagteng 0.3 0.3 0.6
Sumbagsel 7.5 7.4 14.9
Jawa Barat 4.4 3.4 7.8
Jawa Timur 2.0 3.2 5.2
Kalimantan Timur 28.8 22.5 51.3
Sulawesi Selatan 0.7 0.1 0.8
Irian Jaya 14.6 9.3 23.9
Total 94.7 75.6 170.3
Sumber: Ditjen MIGAS

Informasi di atas tidak pernah disampaikan secara utuh


kepada publik Jawa Timur. Informasi ini hanya diketahui dan
beredar di segelintir pihak, seperti kuasa modal (korporasi),
elit pemerintahan dan politikus. Dokumen Rencana Penataan
Ruang Jatim sama sekali tidak menyebutkan potensi
kandungan gas di wilayah tersebut. Dalam proses pembebasan
lahan oleh PT. Lapindo Brantas Inc pada tahun 1996,6 warga
desa Renokenongo disesatkan oleh keterangan bahwa kegiatan
industri yang akan dilakukan perusahaan tersebut adalah
5 Report BP MIGAS tahun 2000
6 WALHI JATIM, Internal Report Investigasi Lapindo 2006

166
peternakan ayam. Pertanyaannya, mengapa operasi eksplorasi
gas itu harus dilakukan mengendap-endap dan penuh misteri?
Sidoarjo menyimpan kandungan besar gas selain wilayah
Mojokerto dan Pasuruan. Pada blok Brantas, terdapat 49 sumur,
43 sumurnya berada di Sidoarjo, empat di Mojokerto dan dua di
Pasuruan yang masuk dalam wilayah kelola PT. Lapindo Brantas,
Inc. Lapindo melakukan kegiatan eksploitasi sejak tahun 1997.
Mmengelola 21 sumur yang telah memiliki Analisa Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL). Sedangkan ke-11 sumur
lainnya, termasuk Banjar Panji #1 di Porong, masih dalam tahapan
eksplorasi dan proses penyusunan AMDAL.

Gambar 2. Wilayah Konsesi Blok Brantas (bentuk peta)

Semburan lumpur hingga akhir tahun 2006, telah menimbulkan


kerugian besar bagi warga Porong dan Tanggulangin. Wilayah
delapan desa di sekitar sumur pengeboran Banjar Panji#1 yang
dikelola PT. Lapindo Brantas Inc, hampir seluruhnya terendam.
Posisi Sidoarjo yang berada pada pusat persilangan empat poros

167
wilayah Jawa Timur, semakin menambah derita ekonomi wilayah
Jawa Timur. Lumpur lapindo mematikan jalur transportasi utama
jalan tol Sidoarjo-Gempol Pasuruan yang menghubungkan wilayah
Barat dan Timur, Utara dan Selatan.
Warga korban luapan lumpur tidak berdaya menghadapi luapan
lumpur panas dari sumur Banjar Panji#1 yang semakin hari semakin
meluas dan tidak terkendali. Sebagian warga mengalami tekanan
kejiwaan. Pemerintah Daerah Kabupaten Sidoarjo berada dalam
posisi sulit, menghadapi tekanan dari atas secara struktural dan
tekanan masyarakat bawah. Industri manufaktur yang selama ini
menjadi tonggak penghidupan warga setempat kolaps. Demikian
halnya dengan wilayah subur yang sebelumnya menjadi penyedia
utama beras, Desa Renokenongo lenyap ditenggelamkan jutaan
kubik lumpur panas.
Penderitaan dan ketidakberdayaan diperparah oleh ketidakjelasan
sikap pengurus negara dalam menghadapi situasi. Negara juga
bersikap ragu-ragu menindak pihak PT. Lapindo Brantas Inc. yang
menjadi penyebab utama penderitaan berkepanjangan ini. Apa
sesungguhnya yang dilindungi para pengurus negara dan politikus
sehingga memilih untuk mengorbankan 24.500 jiwa warga di
delapan desa Kabupaten Sidoarjo ini?7 Sebegitu digdayanyakah
PT. Lapindo Brantas Inc, sehingga membuat semua pihak tutup
mulut dan menghindar? Atau, apakah ini karakter sektor industri
migas, yang beresiko dan harus didahulukan di atas kepentingan
keselamatan warga?

Jawa Timur Kaya Migas


Jatim merupakan wilayah yang potensi migasnya cukup
besar. Sekurangnya terdapat 14 cekungan8 hidrokarbon9 yang
7 Jumlah korban pada bulan November 2007 dan terus bertambah (WALHI
JATIM, Factsheet untuk Climate Change Bali, 2007).
8 Cekungan (geologis) adalah bentukan struktural lapis batuan yang sangat
luas yang timbul akibat tekanan tektonik dari lapis datar sebelumnya.
Lihat definisi cekungan geologik atau structural basin di Wikipedia, http://
en.wikipedia.org/wiki/Structural_basin.
9 Hidrokarbon disebutkan mengandung “tulang punggung” atau “kerangka”
168
mengandung minyak dan gas. Cadangan gas yang terbukti adalah
13 TCF dan yang telah dieksploitasi sebesar 2,5 TCF dengan
taksiran nilai USD 5 triliun. Pada tahun 2003, kekayaan gas alam
telah dieksploitasi oleh tiga korporasi dengan sistem Kontrak bagi
Hasil (KPS) yaitu, BP Kangean (dengan produksi 175 MMSCFD),
Lapindo Brantas (dengan produksi 48 MMSCFD) dan Kodeco
Energi (kapasitas produksi 80 MMSCFD.10
Awal tahun 2003, Jatim gencar mengajukan permintaan bagi
hasil atas kekayaan alam migas yang dimilikinya. Sebagai pemilik
daerah eksplorasi migas, Jatim merasa berhak untuk memperoleh
sharing 50 persen atas pengelolaan migas. Permintaan resmi dari
Gubernur Jatim dan Ketua DPRD Jatim telah disampaikan kepada
Presiden Megawati Soekarnoputri tanggal 2 Januari 2003. Pada
tanggal 2 Januari 2003, Gubernur Jatim Imam Utomo dan Ketua
DPRD Jatim Bisjrie Abdul Djalil, mengirim surat kepada Presiden
Megawati Soekarnoputri. Surat bernomor 545/12/022/2003 itu
berisi usulan sharing (pembagian) pengelolaan sumber daya minyak
dan gas bumi di Jatim. Untuk memuluskan permintaan bagian
50 persen itu, Pemprov Jatim membentuk konsorsium pengelola
migas di bawah bendera PT Petrogas Wira Jatim. Institusi yang
digandeng antara lain PT PAL, PT Barata Indonesia, PT Boma
Bisma Indra, dan Institut Teknologi Sepuluh November (ITS).11
Sebagai perbandingan dapat dilihat dalam Pengelolaan Blok
Cepu di Bojonegoro oleh Exxon Mobil dan Pertamina. Kawasan
Blok Cepu meliputi dua propinsi, Jateng dan Jatim. Terdapat
di dua kabupaten yaitu Blora di Jateng dan Bojonegoro Jatim.
Komposisi kepemilikan saham terbagi dalam pengelolaan KPC
yang merupakan senyawa karbon dan air (hidrogen) serta unsur kimia
lain yang tidak memiliki unsur yang dapat mendorong terjadinya reaksi
pembakaran tanpa pengaruh yang berlawanan. Mayoritas hidrokaron
ditemukan di alam pada minyak mentah, yang merupakan hasil penguraian
bahan-bahan organik yang mengandung karbon dan hidrogen dalam jumlah
besar yang menyatu sebagai sebuah rantai. Lihat definisi hidrokarbon pada
Wikipedia di http://en.wikipedia.org/wiki/Hydrocarbon
10 Lihat JATAM (2005): Potret Eksploitasi Gas Bumi Jatim.
11 JATAM, Potret Eksploitasi Gas Bumi Jatim,

169
antara Exxon Mobil dengan Pertamina, di mana Exxon12 sebagai
operator utama dalam pengelolaan di blok ini. Pemerintah Daerah
diberikan saham kepemilikannya sepuluh persen yang akan dibagi
untuk dua propinsi dan dua kabupaten.

List Perusahaan Migas Di Jawa Timur


NO PERUSAHAAN BLOK
1 Amerada Hess (Indonesia Pangkah), Ltd. Pangkah
2 Anadarko Petroleum Corp. North East Madura II
3 Camar Resorces Canada Inc. Bawean
4 Conoco Phillips (Ketapang), Ltd. Ketapang
5 Easco East Sepanjang, PT East Sepanjang
6 Energy Timur Jauh, PT East Kangean
7 EMP Kangean, Ltd. Onshore & Offshore Kangean
Onshore & Offshore Madura
8 Husky Oil (Madura), Ltd.
Strait Area
9 JOB Pertamina – Medco Madura Onshore Madura Island
10 JOB Pertamina – Petrochina East java, Ltd Tuban
11 Knoc Nemone, Ltd. North East Madura II
12 Kufpec Indonesia (Onshore) B.V. Blora
13 Lapindo Brantas, Inc. Brantas
14 Orna International, Ltd. Rembang
15 Pertamina West Madura
Poleng
Jawa Bagian Timur Area - 1
16 Pertamina EP
Jawa Bagian Timur Area - 2
Jawa Bagian Timur Area – 3
17 PC. Muriah, Ltd. Muriah
18 Petronas Carigali North East Madura – IV
19 Petronas Carigali Karapan Limited Karapan
20 Santos (North Bali) Pty, Ltd. North Bali – I
21 Santos (Madura Offshore) Pty, Ltd. Madura Offshore
22 Santos (Sampang) Pty, Ltd. Sampang

12 WALHI JATIM, Factsheet Krisis Jawa Timur, 2007

170
23 Sebana, Ltd. Bulu
South Madura Exploration Company, Pte,
24 South Madura
Ltd.
25 Cepu Mobil Oil (Exxon) Cepu

Gambar 3. Peta Migas di Jatim dan kapling korporasi


(Data Jatam)

Sebagian besar wilayah utara Jawa Timur sudah dikapling oleh


perusahaan migas. Dengan kandungan migas terbukti sebesar 150
juta barrel dan potensi 133,7 juta barrel, Jawa Timur menempati
urutan keenam sebagai penghasil migas di Indonesia dengan
jumlah total 283,7 juta barrel.13

Lapindo & Hancurnya Sumber Hidup


Lumpur panas Lapindo adalah sebuah potret carut marutnya
pengelolaan industri migas Indonesia. Sebuah usaha yang selalu
mengusung jargon biaya tinggi, teknologi tingggi dan resiko tinggi

13 Data base Jatam Migas Jatim 2005

171
(high cost, high technology, dan high risk) ini tidak menempatkan
ketiga hal itu secara seimbang.
Biaya tinggi merupakan beban usaha bagi investasi sektor migas
yang dimainkan korporasi. Demikian pula halnya dengan teknologi
tinggi, diwakili pengembangan prosedur teknis pertambangan
yang dilakukan oleh expert dan praktisi. Namun, bagaimana halnya
dengan resiko tinggi? Dalam setiap usaha, nilai resiko seharusnya
menjadi beban investasi, sehingga keuntungan dan resiko kerugian
menjadi bagian melekat dari korporasi. Penerapan UU Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UU No. 23 Tahun 1997) mensyaratkan
ketentuan amdal dan pengelolaan limbah dalam setiap usaha yang
berdampak pada lingkungan.
Resiko yang tinggi selama ini menjadi beban lingkungan dan
masyarakat di mana kegiatan itu berada. Sebagai ilustrasi, industri
masih banyak yang membuang limbah ke sungai. Sungai-sugai di
wilayah Mojokerto, Sidoarjo, Gresik, dan Surabaya adalah bukti
perilaku buruk sektor industri. Kualitas air di wilayah Surabaya
tidak membaik dari tahun ke tahun. Meskipun telah ada regulasi di
bidang lingkungan hidup. Demikian halnya dengan Lumpur Panas
Lapindo, yang pada akhirnya mencapai volume 130.000 meter
kubik per hari. Menjadi godam yang meluluhlantakkan, tidak saja
lingkungan tetapi juga perekonomian lokal warga di sekitar lokasi
sumur pengeboran Banjar Panji #1 porong. Bahkan berdampak
pada ekonomi regional.
Siapa pihak yang menanggung resiko tinggi industri migas ini?
Pertama, adalah masyarakat yang menggantungkan penghidupan
mereka kepada wilayah yang kini tertutup lumpur (kurang lebih
9000 kepala keluarga). Mereka tidak lagi bisa menggunakan
dan mengolah lahan yang tertutup oleh lumpur. Kedua, industri
manufaktur (kurang lebih 20 pabrik) yang berhenti operasi karena
lumpur menggenanginya.
Ketiga, sektor lain yang menggantungkan keberadaan wilayah
ini sebagai poros utama transportasi antara bagian timur wilayah
Jatim (meliputi sembilan kabupaten/kota: Banyuwangi, Situbondo,
172
Jember, Bondowoso, Lumajang, Probolinggo, Pasuruan) dengan
bagian pusat-pusat pertumbuhan (Surabaya, Sidoarjo, Gresik,
Mojokerto) serta bagian utara wilayah Jatim (Lamongan, Tuban,
Bojonegoro). Wilayah Jawa Timur bagian selatan (Malang, Batu,
Blitar) juga mengalami hal yang sama untuk mencapai pusat-pusat
pertumbuhan provinsi.
Keempat, masyarakat pesisir di sektor hilir yaitu nelayan pesisir
Surabaya dan Madura serta petambak di Pesisir Timur Sidoarjo
yang menggantungkan hidupnya dari hasil laut dan budidaya
perikanan jika lumpur dibuang ke laut melalui kanal pembuangan.
Lapindo ternyata cukup kontroversial hingga berhasil
meengebor wilayah sumur Banjar Panji #1. Resistensi warga
Renokenongo Kecamatan Porong atas penggunaan wilayahnya
untuk aktivitas pengeboran migas ditunjukkan dengan kegigihan
mempertahankan lahannya untuk tidak dijual.
Sejarah peralihan lahan, banyak yang kontroversial, dimulai
pada tahun 1996. Melalui broker tingkat lokal dan kepala desa yang
membeli lahan pertanian warga. Ketika itu alasan yang digunakan
adalah akan dibangunnya peternakan disana. Tapi keganjilannya,
mengapa lahan yang dibutuhkan sangat luas? Dinamika di tingkat
lokal desa pada akhirnya meloloskan upaya pihak perusahaan
mendapatkan lahan untuk sumur pengeboran.14
Lapindo menyatakan memiliki ijin eksplorasi, yang mungkin
hingga saat ini hanya pihak Lapindo dan BP migas yang tahu.
Begitu halnya dengan ijin prinsip dan ijin lokasi. Hanya pihak
Lapindo dan birokrasi lokal pemerintah Kabupaten Sidoarjo dan
Pemerintah Propinsi Jatim yang mengetahui. Ini dikarenakan
adanya pasal kerahasiaan dan keterbatasan publik untuk mengakses
dokumen tersebut.
Dalam masa penyidikan, polisi telah mendapatkan bukti
berupa 11 dokumen mengenai prosedur dan dokumen pengeboran
Lapindo. Dari 11 dokumen tersebut, antara lain surat perencanaan
pengeboran, laporan pengeboran dan system operating procedure,
14 WALHI JATIM, Report Investigasi Lapindo 2006
173
dokumen analisis lingkungan, upaya kelola lingkungan, upaya
pemantauan lingkungan, IMB, izin gangguan, izin lokasi, izin
tanggap darurat dan hasil survei seismik. Namun Tidak ditemukan
adanya dokumen mengenai surat ijin eksplorasi pelaksanaan
pengeboran yang diberikan oleh pemerintah.15
Luapan lumpur panas yang terjadi telah meluluhlantakan
sosial ekonomi dan ekologis masyarakat di wilayah Porong dan
sekitarnya. Sampai saai ini warga yang mengungsi kurang lebih
13.000 KK (70.000 jiwa). Lahan sawah dan perkarangan seluas
1000 ha tertutup lumpur. Kerugian tidak hanya masyarakat, ada 20
perusahaan industri yang tutup di sekitarnya. Berdampak terhadap
3600 jiwa yang kehilangan pekerjaan.
Berdasarkan data PU Cipta Karya Sidoarjo, kerugian prasarana
sekolah mencapai 22,5 miliar. Meliputi bangunan SD, SMP
maupun SMA di kawasan Porong.16 Kawasan tempat pengungsian
di Pasar Baru Porong menjadi tempat pengungsian warga khusunya
warga Perum TAS I Kedungendo dan warga Renokenongo. Pasar
baru Porong (PBP) sampai awal 2007 telah diisi 5951 jiwa (1741
KK). Warga yang mengungsi akan bertambah karena dampak
semburan yang semakin luas. Tempat yang digunakan untuk
pengungsian adalah kios-kios di pasar dengan diisi beberapa
keluarga atau membangun bilik-bilik dengan sekat kain.
Warga dikelompokkan dalam kios berdasarkan desa di mana
mereka ada. Dalam setiap desa dikelompokkan lagi berdasarkan
RT masing-masing. Pengelompokkan ini untuk memudahkan
pendataan, sekaligus distribusi bantuan jika Satlak mengorganisir
bantuan makanan dan katering bagi warga. Mereka mengungsi di
PBP sambil menunggu dana kontrakkan dari pemerintah sebesar
2,5 juta/tahun, uang boyongan sebesar 500 ribu dan Jadup sebesar
300 ribu/bln bagi setiap keluarga yang diberikan oleh Dinas Sosial
Kabupaten Sidoarjo. Setelah menerima dana tersebut, mereka
15 Kompas, 23 Januari 2007
16 Kerusakan Sekolah Akibat Luapan Lumpur Capai Rp 22,5 M. Tersedia
di [http://www.mediacenter.or.id/pusatdata/27/tahun/2006/bulan/12/
tanggal/13/id/1296/] Diakses pada 8 Februari 2007.
174
diharapkan pindah dari tempat pengungsian sementara di PBP.
Persoalannya, bantuan yang diberikan tidak merata dan tidak
diterima seluruh korban di lapangan. Kegelisahan terjadi antara
korban beda desa karena ada yang diprioritaskan dan ada yang
dianaktirikan. Ada juga yang tidak sempat mengungsi ke PBP,
tetapi langsung ke tempat keluarganya di lain desa dan ada juga
yang pindah ke wilayah baru di seputar Sidoarjo atau Kabupaten
Pasuruan. Terpencarnya para korban juga melemahkan kolektivitas
warga karena tempat tinggal yang berjauhan.
Perubahan jalur transportasi makro juga terjadi. Jalur Arteri
Primer yang menghubungkan Surabaya-Malang telah dialihkan
sejak jalan tol ditutup total dari Porong ke Gempol, begitupun
sebaliknya. Kendaraan berat (truk dan bus) kadangkala dialihkan
untuk berputar melalui Mojokerto. Biasanya jarak tempuh
Surabaya Malang sekitar 2 jam, kini sampai 3,5 jam. Putusnya
jalan tol dan kepadatan yang menumpuk tinggi, menyebabkan
distiribusi orang dan barang menghadapi perubahan dan hambatan
yang sangat serius. Kondisi Jalan Raya Porong telah menjadi jalur
yang melelahkan bagi para supir truk dan bus.
Distribusi barang ke wilayah timur Jawa Timur juga menjadi
terganggu. Dari Surabaya menuju ke Pasuruan, Probolinggo
dan Banyuwangi juga sebaliknya harus melalui poros Jalan Raya
Porong. Terjadi pembengkakan biaya transport karena kemacetan
dan perubahan arus transportasi di seputar Jalan Porong.
Perubahan arus jalan ini juga menggambarkan bagaimana posisi
Sidoarjo sebagai poros utama Jatim menjadi terhambat diakibatkan
semburan lumpur. Belum lagi proses ganti rugi terhadap lahan
warga yang tergenang lumpur Lapindo.
Dalam situasi ini, yang paling berat menghadapi keadaaan
adalah Bupati Sidoarjo. Sebagai orang nomor satu di daerah
dan bertanggungjawab terhadap wilayahnya, dia menghadapi
dua arus tekanan. Dari atas dan bawah. Tekanan dari bawah
adalah mengakomodasi kebutuhan masyarakat yang lahannya

175
yang menjadi korban semburan lumpur. Walaupun payung
hukum Perpres menetapkan proses ganti rugi lahan warga dan
penghentian semburan lumpur dilakukan oleh Lapindo. Seringkali
warga menjadi pihak yang dirugikan, di situlah peran Bupati sangat
dibutuhkan dalam proses keberpihakan kepada warganya.
Bupati Sidoarjo Win Hendarso menolak keinginan Lapindo
Brantas yang hanya akan membeli tanah bersertifikat milik para
korban lumpur. Bupati mewajibkan Lapindo untuk membeli tanah
warga korban semburan lumpur seperti kesepakatan yang telah
dibuat. Hal ini didukung oleh Gubernur Jatim Imam Utomo dan
Badan Pertanahan Nasional yang mengesahkan pembelian tanah
korban lumpur tanpa sertifikat. Bupati menganggap tuntutan
Lapindo soal sertifikat hanyalah upaya perusahaan ini untuk
menghindar dari tanggung jawab membayar ganti rugi.17
Gubernur Jawa Timur H. Imam Utomo mengharapkan bupati/
walikota se-Jatim untuk berpartisipasi memikirkan masa depan
para korban bencana luapan lumpur panas di Porong Sidoarjo.
Penanganan masalah sosial dampak luapan lumpur hanya ditangani
sendiri oleh Pemerintah Kabupaten Sidoarjo. Jika masalah lumpur
tidak teratasi, dikhawatirkan akan menghancurkan ekonomi Jatim.
Dibutuhkan kerjasama dari pemerintah daerah kabupaten/kota
dan masyarakat Jatim secara keseluruhan.18
Dampak kerugian yang disebabkan oleh Lumpur Lapindo
sejauh ini adalah :
• Lahan dan ternak yang terkena dampak lumpur hingga
Agustus 2006 antara lain: lahan tebu seluas 25,61 hektar
di Renokenongo, Jatirejo dan Kedungcangkring; lahan
padi seluas 172,39 hektar di Siring, Renokenongo,
Jatirejo, Kedungbendo, Sentul, Besuki Jabon dan

17 Bupati Sidoarjo Tolak Keinginan Lapindo. Tersedia di [http://www.


tempointeraktif.com/hg/nusa/jawamadura/2006/12/20/brk,20061220-
89841,id.html] Diakses pada 9 Februari 2007.
18 Bupati/Walikota Ikut Pikirkan Lumpur Porong. Tersedia di http://
hotmudflow.wordpress.com/2007/02/01/bupatiwalikota-ikut-pikirkan-
lumpur-porong/#more-1562] Diakses pada 9 Februari 2007.
176
Pejarakan Jabon; serta 1.605 ekor unggas, 30 ekor
kambing, 2 sapi dan 7 ekor kijang.
• Pabrik-pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan
aktivitas produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja.
Tercatat 1.873 orang tenaga kerja yang terkena dampak
lumpur ini.
• Tidak berfungsinya sarana pendidikan (SD, SMP),
Markas Koramil Porong, serta rusaknya sarana dan
prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan telepon)
• Rumah/tempat tinggal yang rusak akibat diterjang
lumpur dan rusak sebanyak 1.810 unit. Rinciannya:
Tempat tinggal 1.810 (Siring 142, Jatirejo 480,
Renokenongo 428, Kedungbendo 590, Besuki 170),
• Bangunan dan fasilitas umum yang rusak adalah
sekolah 18 unit (7 sekolah negeri), kantor 2 unit (Kantor
Koramil dan Kelurahan Jatirejo), pabrik 15 unit, mesjid
dan mushola sebanyak 15 unit.
• Akibat amblesnya permukaan tanah di sekitar semburan
lumpur, pipa air milik Perusahaan Daerah Air Minum
(PDAM) Surabaya patah.19
• Meledaknya pipa gas milik Pertamina akibat penurunan
tanah karena tekanan lumpur.20
Ditutupnya ruas jalan tol Surabaya-Gempol hingga waktu
yang tidak ditentukan, dan mengakibatkan kemacetan di
jalur-jalur alternatif, yaitu melalui Sidoarjo-Mojosari-Porong
dan jalur Waru-tol-Porong. Penutupan ruas jalan tol ini
juga menyebabkan terganggunya jalur transportasi Surabaya-
19 Giliran Pipa PDAM Patah - Wapres: Tuntaskan Sertifikat Tanah Warga
Korban Lumpur. Kompas, Sabtu, 23 Desember 2006. http://www.kompas.
com/kompas-cetak/0612/23/daerah/3195071.htm.
20 Pipa Gas Meledak Diduga Akibat Pergerakan Tanah. MetroTV Online
Umum/Breaking News. Rabu, 22 November 2006 23:50 WIB. Lihat http://
www.metrotvnews.com/berita.asp?id=28428.

177
Malang dan Surabaya-Banyuwangi serta kota-kota lain di
bagian timur pulau Jawa. Ini berakibat pula terhadap aktivitas
produksi di kawasan Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang
selama ini merupakan salah satu kawasan industri utama di
Jawa Timur.21
Dalam perkembangannya pada bulan April 2007, pemerintah
membentuk lembaga baru Badan Penanggulangan Lumpur
Sidoarjo (BPLS) untuk menggantikan kerja Timnas Penanggungan
Lumpur Sidoarjo yang akan habis masa kerjanya. Pembentukan
badan baru tersebut dengan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun
2007.22 Pemerintah menetapkan bahwa dampak dari lumpur
dibagi dua. Penggantian infrastruktur akan ditanggung pemerintah
sedangkan Lapindo akan menalangi dana sosial dan penghentian
semburan lumpur. Pemerintah mendapatkan persetujuan alokasi
perbaikan infrastruktur milik negara pada anggaran negara dari
DPR. Gambaran ini merepresentasikan pengalihan tanggung
jawab Lapindo hanya pada kerugian sosial yang terjadi sedangkan
pada kerugian infrastruktur publik tetap ditanggung pemerintah.
Berdasarkan penetapan baru yang dikeluarkan pemerintah
adalah pergantian perumahan yang terendam lumpur pasca ledakan
pipa gas mencapai 2,3 miliar. Jumlah itu meliputi 899 rumah di
Desa Renokenongo, 6.652 rumah dan 265 ruko di Perumtas I, 768
rumah di Kedungbendo, 76 rumah di Desa Ketapang, 73 rumah di
desa Gempolsari dan 31 rumah di Kalitengah.23
Data tersebut adalah data pasca ledakan pipa gas pertamina.
Sehingga berbeda dengan data sebelumnya karena proses
kronologisnya terus berjalan (on going). Data yang disebutkan
sebelumnya adalah data sebelum ledakan. Di sisi lain Lapindo
juga mengganti kerugian sawah yang gagal panen sejak Juli 2006
sebesar 10 miliar kepada 1344 petani di tujuh desa.
21 Banjir Lumpur Panas Sidoarjo 2006. Tersedia di [http://id.wikipedia.org/
wiki/Semburan_lumpur_panas_di_Sidoarjo] Diakses pada 9 Februari 2007.
22 Kompas Jatim, hal J, Selasa, 10 April 2007.
23 Ibid.

178
Kerugian infrastruktur yang akan ditanggung pemerintah
sebesar 7,8 triliun meliputi Jalan Tol Porong-Gempol, Jalan
Arteri Porong-Gempol, Rel Kereta Api Porong-Gempol dan
Jalur Pipa Gas Porong-Gempol. Sejatinya, biaya yang ditanggung
masyarakat lebih besar daripada yang ditanggung oleh Lapindo dan
pemerintah akibat semburan lumpur ini kalau dikalkulasi. Seluruh
biaya infrastruktur itu ditanggung melalui anggaran APBN yang
notabene anggaran rakyat.
Mencengangkan temuan audit Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) yang menunjukkan pemerintah dalam hal ini BP Migas
tidak melakukan pengawasan sama sekali atas kuasa perusahaan
dalam eksploitasi migas Indonesia. BPK menunjukkan, dengan
perubahan berulangkali atas pemilikan kuasa kelola Blok Brantas,
bahwa pemerintah tidak melakukan pengawasan yang memadai
atas kinerja kontraktor eksploitasi blok migas yang ada.24
Hal yang sama dilakukan Lapindo Brantas selaku kontraktor blok
Brantas dalam melakukan pelaporan harian aktivitas pengeboran
(daily drilling report) yang tidak disampaikan kepada BP Migas.
BPK menemukan setidaknya dari tanggal 20 Mei hingga 31 Mei
2006, hanya ada dua laporan yang disampaikan kepada BP Migas.25
Dengan tidak adanya laporan ini, sangat sulit untuk melakukan
review atas pemboran yang dilakukan. Meski kewenangan untuk
meminta dokumen itu dimiliki oleh BP Migas dan lapindo Brantas
juga memiliki kewajiban untuk menyerahkannya. Namun hingga
4 Juni, BPK RI mengatakan dokumen tersebut masih belum
diterima BP Migas.
BP Migas tidak menunjukkan kesigapannya merespon kejadian
yang ada. Terbukti dengan pengiriman tim khusus yang baru
dilakukan pada 5 juni 2006.26 Apa yang ditemukan oleh BP Migas
juga tidak mampu mengatasi situasi sesuai dengan kewenangan
BP Migas dalam arahan teknis penanganan situasi darurat. Sub
24 Audit BPK RI, Ringkasan Eksekutif tentang Laporan Pemeriksaan atas
Penanganan Semburan Lumpur Panas Sidoarjo, 2007
25 ibid
26 ibid
179
kontraktor pelaksana yang digunakan oleh Lapindo Brantas yaitu
PT Medici Citra Nusantara tidak berpengalaman dalam melakukan
ekploitasi migas dan hanya satu kali pengalaman dalam pemboran
sejak tahun 2001.27
BPK RI juga menemukan prakiraan hitungan kerugian yang
ditimbulkan oleh semburan lumpur yang menjadi beban berbagai
pihak yang ada (Negara, BUMN, swasta, dan masyarakat) untuk
tahun 2006 hingga 2015. Prakiraan beban biaya yang ditanggung
oleh negara adalah sebesar 2,35 - 2,55 triliun rupiah; BUMN 2,1
miliar - 1,01 triliun; swasta 970 miliar - 1,961 triliun; dan masyarakat
29,366 - 29,372 triliun rupiah.28 Besaran yang fantastik dapat
dibaca dengan jelas betapa masyarakat adalah pihak yang harus
menanggung segala beban derita atas ketololan yang dilakukan
negara dan Lapindo dalam desain eksploitasi migas di Sidoarjo.

Blok Brantas29
Blok Brantas menguasai wilayah kerja yang secara administratif
meliputi tujuh kota/kabupaten Jawa Timur: Kabupaten Jombang,
Kabupaten Mojokerto, Kota Mojokerto, Kabupaten Sidoarjo,
Kabupaten Pasuruan, dan Kota Pasuruan. Terhitung 441 desa di
41 kecamatan dari 7 kota/kabupaten tersebut berada pada wilayah
kerja blok yang dikelola oleh PT. Lapindo Brantas Inc. Membujur
dari bagian terujung barat Kabupaten Jombang dan bagian paling
timur berada pada wilayah administratif Kabupaten Pasuruan.
Kawasan yang saat ini terkena dampak semburan lumpur berada di
Kabupaten Sidoarjo yang berbatasan langsung dengan Kabupaten
Pasuruan.

Porong
Kecamatan Porong memiliki 19 desa/kelurahan dengan luas
keseluruhan 2.982 hektar. Desa/kelurahan memiliki luasan
dengan variasi tersempit 63 hektar (Mindi) dan terluas 632 hektar

27 ibid
28 Ibid, hal 270
29 WALHI JATIM, Monografi Porong, 2007
180
(Plumbon). Jumlah keseluruhan penduduk di wilayah kecamatan
Porong adalah 62.032 jiwa, di mana sejumlah 34.901 diantaranya
adalah perempuan.
Ada empat desa yang terkena dampak langsung lumpur panas:
Mindi, Jatirejo, Renokenongo, dan Siring. Luas total keempat
desa ini adalah 420 hektar. Desa-desa/kelurahan lain yang berada
di kecamatan porong: Kebonagung, Porong, Plumbon, Gedang,
Juwetkenongo, Kedungsolo, Glagaharum, Kebalakan, Kesambi,
Pamotan, Wunut, Candipari, Lajuk, Kedungboto, dan Pesawahan.
Keseluruhan wilayah di kecamatan Porong ini berada di ketinggian
4 meter diatas permukaan air laut (dpl).
Pada wilayah desa yang saat ini terkena dampak luapan lumpur,
memiliki tanah sawah yang lebih luas dibandingkan tanah kering.
Hanya Jatirejo dan Siring yang luas sawahnya lebih kecil dibanding
tanah kering. Di Mindi, tanah sawah memiliki luas 27 hektar
sedangkan tanah kering seluas 36 hektar; Siring, sawah 20 hektar,
kering 60 hektar; Jatirejo, sawah 35 hektar, kering 66 hektar;
Renokenongo, sawah 108 hektar, kering 66 hektar. Desa Mindi
berpenduduk 4.414 jiwa; Jatirejo 5.659 jiwa; Renokenongo 4.181
jiwa; dan Siring 2.039 jiwa. Warga keempat desa ini memanfaatkan
sekurangnya 2.588 sumur sebagai sumber air utama berupa sumur
gali maupun pompa. Masing-masing di Mindi 672; Jatirejo 516;
Renokenongo 897; dan Siring 458. Hanya 620 penduduk yang
tercatat sebagai pelanggan air ledeng sampai dengan tahun 2005.
Mata pencaharian penduduk adalah sebagai buruh tani, buruh
swasta, petani, PNS, TNI, pedagang, tukang, pengrajin, dan jasa
transportasi. Buruh tani di lima desa/kelurahan berjumlah 473
orang; buruh swasta 2.022; petani 617; TNI/Polisi 133 orang; PNS
318 orang; pedagang 806 orang; pertukangan 292 orang; pengrajin
132 orang, dan jasa angkutan 102 orang.
Jatirejo memiliki 7 industri dengan 434 karyawan, Renokenongo
3 industri dengan 206 karyawan, Siring 7 industri dengan karyawan
539. Namun demikian masih terdapat 5 industri kerajinan di
Mindi dan Renokenongo dengan jumlah pekerja 54 orang yang
181
masih berjalan atau belum menjadi korban langsung. Selain empat
desa yang terdampak langsung, masih ada tiga desa lagi yang rawan
terdampak luapan lumpur. Yaitu, desa Wunut , desa Glagaharum
dan desa Gedang.

Tanggulangin
Ada tiga desa di Kecamatan Tanggulangin dari total keseluruhan
19 desa/kelurahan yang terdampak luapan lumpur panas. Tiga desa
tersebut adalah Kedungbendo, Ketapang, dan Sentul. Selain ketiga
desa tersebut, masih ada empat desa lagi yang terancam luberan
lumpur. Keempat desa tersebut adalah Desa Kedensari, Desa
Kalisampurno, Desa Gempolsari dan Desa Kalitengah.
Kedungbendo dengan luas mencapai 159 hektar memiliki areal
sawah seluas 5,3 hektar dan 153,89 hektar tanah kering. Sedangkan
luas keseluruhan Desa Ketapang hanya 134.4 hektar. Lebih kecil
dari luas Desa Kedungbendo dan memunyai areal persawahan seluas
46,39 hektar dan sisanya tanah kering seluas 88,6 hektar. Desa lain
yang terdampak lumpur adalah Desa Sentul dengan luas 204.37
hektar, yang terdiri dari areal persawahan seluas 144.05 hektar dan
areal tanah kering seluas 60.32 hektar. Total keseluruhan desa yang
terdampak lumpur di Kecamatan Tanggulangin luasnya mencapai
498 hektar.
Desa Kedungbendo merupakan desa yang paling padat jumlah
penduduknya dibandingkan dengan desa lain di Kecamatan
Tanggulangin. Jumlah penduduk keseluruhan Desa Kedungbendo
adalah 22.833 jiwa dan lebih dari separuhnya adalah perempuan.
Sebagian besar warga memanfaatkan sumur gali untuk mencukupi
kebutuhan air bersih. Jumlah sumur gali di Desa Kedungbendo
mencapai 5.674 dan sumur pompa 19 buah. Selebihnya adalah
pelanggan air ledeng sebanyak 108.
Sedangkan jumlah penduduk di Desa Sentul hanya 3.259 jiwa
dan terdiri dari 803 KK. Sebagian besar penduduk Desa Sentul juga
memanfaatkan sumur gali untuk memenuhi kebutuhan air sehari-
hari. Jumlah sumur gali di desa Sentul sebanyak 256, sumur pompa

182
ada 4 dan tidak ada yang berlangganan air ledeng.Sedangkan Desa
Ketapang jumlah penduduknya 4.713 jiwa. Terbagi menjadi 1.025
KK. Mata pencaharian sebagian besar warga Desa Ketapang adalah
buruh swasta sebanyak 2.506 jiwa, buruh tani, petani, pegawai
negeri, TNI, pedagang, pertukangan, usaha industri/kerajinan,
dan jasa angukutan. Sedang di Desa Kedungbendo, jumlah buruh
swasta sebanyak 1.754 jiwa, buruh tani 49 jiwa, petani 12 jiwa,
pegawai negri 139 jiwa, sebanyak 314 jiwa berprofesi sebagai TNI,
sebanyak 894 jiwa bekerja sebagai pedagang dan yang lainnya.
Penduduk Desa Gempolsari berjumlah 4.339 jiwa. Bekerja
sebagai buruh swasta sebanyak 1.018 jiwa, 376 jiwa sebagai buruh
tani, 191 jiwa sebagai petani, 13 jiwa sebagai pegawai negri, 540 jiwa
sebagai pedagang dan 491 jiwa bekerja di pertukangan. Sedangkan
sisanya adalah usaha industri/kerajinan, usaha/jasa angukutan dan
lainya.

Jabon
Luas wilayah kecamatan Jabon mencapai 6.224 hektar.
Terbagi menjadi 15 desa/kelurahan. Desa terluas 1.324 hektar
yakni Desa Kedungrejo dan desa tersempit 48 hektar yakni Desa
Pejarakan. Diantara kelima belas desa tersebut, tiga diantaranya
telah terendam oleh lumpur. Desa yang terendam antara lain
Desa Kedungcangkring, Desa Pejarakan, dan Desa Besuki. Selain
itu ada dua desa lagi yang rawan terdampak lumpur yaitu, Desa
Keboguyang dan Desa Permisan. Luas desa yang rawan terdampak
luapan lumpur ini mencapai 1.108 hektar.
Luas ketiga desa yang terendam lumpur itu mencapai 382
hektar. Terdiri dari tanah sawah seluas 257 hektar serta tanah
kering seluas 125 hektar. Luas lahan pertanian yang telah terendam
lumpur di ketiga desa tersebut mencapai 146 hektar. Sisanya
termasuk gedung-gedung sekolah, rumah pendududk dan fasilitas
umum lainnya.
Jumlah penduduk di Kecamatan Jabon mencapai 43.875 jiwa
dan terbagi menjadi 11.433 KK. Mata pencaharian sebagian besar

183
penduduk Kecamatan Jabon adalah sebagai buruh tani 8.541 jiwa,
petani 3.863 jiwa, buruh swasta 3.276 jiwa dan sisanya sebagai
pedagang, PNS, TNI, dan lainnya.

Industri Migas, bom waktu kolapsnya sebuah wilayah


Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi
Jatim tahun 2006-2020 yang telah ditetapkan dalam Peraturan
Daerah (Perda) No. 6 tahun 2006 sebagai acuan dan dasar dari
Rencana Induk (Master Plan) Wilayah Jatim, bahwa berbagai
kegiatan di atasnya harus berdasarkan pola pemanfaatan wilayah.
Secara umum Perda RTRW mengatur pola pemanfaatan wilayah
dalam dua kategori, yakni Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya.
Pola pemanfaatan Kawasan Budidaya di dalamnya termasuk
dalam pola pemanfaatan permukiman, pertanian, perikanan,
perkebunan, perdagangan, industri dan juga pertambangan. Industri
migas termasuk dalam pengelolaan Kawasan Pertambangan.
Mengacu kepada pola pemanfaatan wilayah pada RTRW Provinsi
Jatim, kawasan pertambangan yang diatur hanya pertambangan
galian C, tidak termasuk migas dan galian B.
Jatim merupakan wilayah yang kaya sumber-sumber tambang,
terutama bahan galian dan berbagai sumber daya mineral.
Berdasarkan sebaran bahan galian tambang di Jawa Timur, maka
dapat dibagi kedalam tiga zona30, yaitu:
• Zona Utara didominasi oleh mineral karbonat,
kelompok pasir kuarsa, fosfat, gipsum, kelompok
alumino silikat dan mineral lempung serta minyak dan
gas bumi yang dijumpai di Kabupaten Bojonegoro,
Tuban, Lamongan, Gresik, Bangkalan, Sampang,
Pemekasan dan Sumenep.
• Zona Tengah didominasi oleh kelompok mineral
agregat dan kelompok alumino silikat serta mineral

30 Perda No. 6 /2006 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jatim
2006-2020

184
lempung yang dapat dijumpai di Kabupaten Ngawi,
Magetan, Madiun, Nganjuk, Kediri, Jombang,
Mojokerto, Sidoarjo, Malang, Pasuruan, Probolinggo,
Lumajang, Jember, Bondowoso, dan Banyuwangi.
Khusus untuk Kabupaten Situbondo terdapat batuan
natrium dan belerang yang termasuk dalam kelompok
pasir kuarsa, fosfat, gipsum, dan mineral lain. Mineral
iodium terdapat di wilayah Jombang dan Mojokerto.
• Zona Selatan didominasi oleh kelompok alumino sikat
dan mineral lempung, kelompok mineral karbonat,
kelompok mineral agregat serta kelompok pasir
kuarsa, fosfat, gipsum, dan mineral lain yang dapat
dijumpai di Kabupaten Pacitan, Ponorogo, Trenggalek,
Tulungagung, Blitar dan Malang Selatan. Mineral
logam juga berkembang pada zona selatan meliputi
wilayah Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, Tulungagung,
Blitar, Malang, Lumajang, Jember dan Banyuwangi
Berdasarkan jenis mineralnya, pertambangan di Indonesia
terbagi menjadi tiga kategori, yaitu31:
1. Pertambangan Golongan A, meliputi mineral-mineral
strategis seperti: minyak, gas alam, bitumen, aspal,
natural wax, antrasit, batu bara, uranium dan bahan
radioaktif lainnya, nikel dan cobalt.
2. Pertambangan Golongan B, meliputi mineral-mineral
vital, seperti: emas, perak, intan, tembaga, bauksit,
timbal, seng dan besi.
3. Pertambangan Golongan C, umumnya mineral-mineral
yang dianggap memiliki tingkat kepentingan lebih
rendah daripada kedua golongan pertambangan lainnya.
Antara lain meliputi berbagai jenis batu, limestone, dan
lain-lain.
31 UU Pertambangan No 11 /1967

185
Bagian pesisir utara wilayah Jatim merupakan daerah
yang kaya sumber migas. Benturan penggunaan lahan terjadi
di kawasan tersebut karena penggunaan lahan untuk sektor
pertanian, perikanan, dan kawasan permukiman. Sejalan dengan
pertumbuhan wilayah tersebut. Merujuk pada RTRW Provinsi
Jatim maka peruntukkan pertambangan hanya pada galian C.
Sedangkan peruntukkan pertambangan migas tidak diatur dalam
perencanaannya.
Pertanyaannya, apakah sektor migas begitu digdaya dibanding­
kan sektor lainnya? Walaupun pemanfaatannya bukan untuk
pertambangan, mengapa terjadi perubahan fungsi peruntukkan
yang begitu mudah? Atau pelanggaran terjadi jika kawasan tersebut
wilayah pertambangan migas dan jenis galian strategis lainnya.
Gambaran ini dipertegas dalam RTRW dibawahnya, yaitu
RTRW Sidoarjo 2006-2013. Disebutkan bahwa wilayah Porong
peruntukannya sebagai kawasan industri, pemukiman dan
pertanian. Persoalannya, perubahan RTRW Sidoarjo juga baru
diadakan evaluasi. Namun pada RTRW sebelumnya 2003-2013,
masih tetap berlaku peruntukkan untuk pemukiman, pertanian
dan kawasan industri. Perubahan atau evaluasi RTRW Sidoarjo
2006-2013 ini baru ditetapkan setelah luapan lumpur terjadi.
Cukup untuk mempertanyakan apa sebenarnya yang sedang
diskenariokan?

186
Gambar 4 : Peta Land Use Sidoarjo secara tata ruang

Sumber : RTRW Jatim 2006 – 2020, Lampiran Perda RTRW Jawa Timur Bab
IV hal 65

Catatan
Dalam Arahan Pemanfaatan Surabaya Metropolitan Area,
Sidoarjo masuk dalam kawasan tersebut. Dalam Cluster
Sidoarjo nampak jelas bahwa Cluster Sidoarjo dan wilayah
Porong peruntukkannya pengembangan kawasan pemukiman
ditandai dengan peta warna kuning dan tidak diperuntukkan
bagi kawasan pertambangan migas. Sebelah Timur dan Barat
Porong, khususnya wilayah Jabon dan Ngoro baru diperuntukkan
sebagai zona industri.

187
Jelas industri migasi di Jatim, tidak masuk dalam rencana
peruntukkan di wilayah Sidoarjo. Baik secara regional Jawa Timur
maupun lingkup Sidoarjo. Lebih spesifik lagi, pelanggaran dari
peruntukkan yang telah ditetapkan dan pada kondisi existing
sebenarnya berupa pertanian irigiasi teknis. Jelas terjadi pelanggaran
peruntukkan ruang karena tidak sesuai dengan perencanaan
awal. Padahal kawasan strategis lainnya diatur seperti kawasan
militer dan kawasan PLTA, PLTGU dan lainnya. Gambaran ini
menegaskan, bahwa Migas adalah komoditas strategis nomor satu
di dunia sehingga mampu melampaui peruntukkan yang lainnya,
kekonyolan sekaligus realitas dalam konteks Indonesia.
Lokasi semburan lumpur ini berada di Porong, yakni sebuah
kecamatan di bagian selatan Kabupaten Sidoarjo, sekitar 12 km
sebelah selatan kota Sidoarjo. Kecamatan ini berbatasan dengan
Kecamatan Gempol (Kabupaten Pasuruan) di sebelah selatan.
Lokasi semburan hanya berjarak 150 meter dari sumur Banjar
Panji-1 (BJP-1), yang merupakan sumur eksplorasi gas milik
Lapindo Brantas sebagai operator blok Brantas.
Lokasi tersebut merupakan kawasan pemukiman dan
direncanakan kedepan dijadikan kawasan industri Ngoro di
sebelah barat Jalan Arteri dan Kawasan Industri Jabon di Sebelah
Timur Jalan Arteri. Tak jauh dari lokasi semburan terdapat jalan
tol Surabaya-Gempol, jalan raya Surabaya-Malang dan Surabaya-
Pasuruan-Banyuwangi (jalur pantura timur), serta jalur kereta api
lintas timur Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi.
Pada awalnya sumur tersebut direncanakan hingga kedalaman
8500 kaki atau sedalam 2590 meter untuk mencapai formasi
Kujung (batu gamping). Sumur akan dipasang selubung bor
(casing) yang ukurannya bervariasi sesuai dengan kedalaman untuk
mengantisipasi potensi circulation loss (hilangnya lumpur dalam
formasi) dan kick (masuknya fluida formasi tersebut ke dalam
sumur) sebelum pengeboran menembus formasi Kujung.
Desain awalnya, Lapindo “sudah” memasang casing 30 inchi
pada kedalaman 150 kaki, casing 20 inchi pada 1195 kaki, casing
188
(liner) 16 inchi pada 2385 kaki dan casing 13-3/8 inchi pada 3580
kaki32. Ketika Lapindo mengebor lapisan bumi dari kedalaman
3580 kaki sampai ke 9297 kaki, mereka belum memasang casing
9-5/8 inchi yang rencananya akan dipasang tepat di kedalaman
batas antara formasi Kalibeng Bawah dengan Formasi Kujung
(8500 kaki). Pada kedalaman tersebut terjadi (total loss circulation)
kehilangan lumpur pemboran dan kemudian Operator mencabut
pipa bor. Terjadi kick dan pipa terjepit pada kedalaman 4241 kaki.
Pipa tidak dapat digerakkan ke atas dan ke bawah sama sekali.
Kemudian menyemburkan H2S, air dan lumpur ke permukaan.33
Kegagalan prognosis pengeboran juga ditegaskan dalam
laporan Tritech Petroleum Consultants Limited kepada Medco
Energi International. Medco sebagai salah satu pemilik saham
Lapindo Brantas. Dalam laporan itu ditegaskan bahwa kesalahan
set casing pada kedalaman 9000 feet, 6500 feet dan tekanan balik
dari kedalaman 4241 feet memberikan kontribusi pada kehilangan
kontrol terhadap well pengeboran.34 Di situ juga ditegaskan bahwa
kelemahan kapasitas engineering team teknis lapindo dan Medici
menjadi faktor pendorong yang juga memberikan kontribusi selain
tidak kompeten dan capable team pengeboran Lapindo.35
Dari data tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
peristiwa keluarnya lumpur terjadi akibat kelalaian PT. Lapindo
dalam melaksanakan prosedur pengeboran. Akibat kelalaian aktivitas
usahanya terjadi semburan lumpur panas. Di sisi lain, negara sebagai
pihak yang memberikan ijin dan mengontrol jalannya aktivitas
usaha tidak melakukan tanggung jawabnya. Untuk menegaskan
hal tersebut, juga diajukan gugatan class action oleh YLBHI dan
disidangkan di PN Jakpus; di sisi lain WALHI juga mengajukan
gugatan legal standing dan perkaranya disidangkan di PN Jaksel.
32 Lapindo Press Rilis ke Publik, 15 Juni 2006.
33 Audit BPK RI, Ringkasan Eksekutif tentang Laporan Pemeriksaan atas
Penanganan Semburan Lumpur Panas Sidoarjo, 2007
34 Neal Adam Services, Causation Factors for the Banjar Panji No. 1 Blowout,
September 2006
35 Ibid.

189
Menarik sebenarnya hasil dari keputusan PN Jakpus dan
PN Jaksel. Keputusan pada PN Jakpus dalam gugatan YLBHI
menyimpulkan adanya kesalahan dalam proses pemboran. Dalam
putusan hukumnya Hakim menyatakan demikian :
“Menimbang bahwa dalam hal ini Majelis sependapat dengan
Penggugat dimana luapan lumpur karena kekuranghati-hatian
pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo (Turut Tergugat)
karena belum terpasang cassing/pelindung secara keseluruhan
sehingga terjadi kick kemudian terjadi luapan lumpur.”36
Meskipun menghasilkan putusan itu, namun hakim tidak
menghukum para pelaku. Ini dikarenakan Lapindo dan tergugat
lainnya telah berusaha optimal dalam pemenuhan hak korban dan
upaya penghentian semburan lumpur. Justru sebaliknya, gugatan
Walhi di PN Jaksel diputuskan berbeda dengan gugatan di PN
Jakpus. Kesimpulannya, penyebab semburan Lumpur Lapindo
diakibatkan oleh bencana alam, bukan karena aktivitas pengeboran
oleh Lapindo Brantas.
Dalam pertimbangannya Hakim di PN Jaksel menjelaskan
demikian :
“Menimbang bahwa dari pertimbangan tersebut oleh karena
pendapat seorang ahli dari Penggugat yaitu Dr. Ir. Rudi
Rubiandini yang pendapatnya telah dipatahkan oleh pendapat
saksi ahli dari Tergugat yaitu Dr. Ir. Agus Guntoro, Msi,
Prof. Dr. H. Sukendar Asikin, Ir. Mochamad Sofian Hadi
dan Dr. Ir. Dody Nawangsidi, dan pendapatnya tersebut
tidak didukung pula oleh alat bukti surat dari Penggugat,
sedangkan saksi ahli dari Tergugat pendapatnya sudah saling
bersesuaian dengan alat bukti dari Tergugat maka Majelis
Hakim berpendapat bahwa terjadinya semburan lumpur
panas di Banjar Panji 1 karena fenomena alam bukan akibat
kesalahan dari Tergugat I.”37

36 Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat dalam putusan No. 384/Pdt.G/2006/


PN.Jkt.Pst, dalam perkara Gugatan YLBHI dalam kasus Lapindo
37 Putusan dalam Perkara Atas Gugatan Walhi No. 284/Pdt.G/2006/ PN.Jak.
Sel

190
Walhi mengajukan banding dan pada akhirnya keputusan
Mahkamah Agung (MA) menguatkan keputusan PN Jaksel
dengan menyatakan pemerintah dan Lapindo tidak bersalah
karena semburan Lumpur Lapindo disebabkan oleh bencana alam.
Sebenarnya kalau kita kaji, kedua keputusan itu agak kontradiksi
dalam putusannya. Persoalannya kemudian, dalam perkara
pidananya Polda Jatim juga mengeluarkan SP3 (Surat Penghentian
Penyidikan Perkara) dalam kasus Lapindo. Salah satu alasannya
merujuk pada gugatan perdata Walhi, bahwa penyebab semburan
Lumpur Lapindo adalah bencana alam.
Akibat terjadinya luapan tersebut, beberapa pihak dianggap
harus bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan maupun
kelangsungan hidup para korban. Pihak tersebut terutama PT.
Lapindo Brantas yang dianggap sebagai penyebab terjadinya
luapan dan pemerintah sebagai regulator yang memberikan ijin.
Di sisi lain, fungsi pemerintah sebagai pengawas prosedur industri
di lapangan tidak menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya.
Tanggung jawab Lapindo dinilai sebagai yang terbesar karena harus
memenuhi dua tuntutan tersebut di atas dan sayangnya terlihat
negara malah mengikuti skenario penyelesaian yang diinginkan
Lapindo.
Belajar dari kasus Lumpur Lapindo, sampai hari ini begitu
besar dampaknya, secara langsung maupun tidak langsung. Bahkan
sampai tahun 2008, saat studi dituliskan, bencana ekologis Lapindo
belum dapat ditangani hingga tuntas. Bahkan kemungkinan akan
bertambah luas. Nilai kerugian ekonomis dan ekologis tidak
terkira, karena struktur dan fungsi sosial, ekonomi dan ekologis
serta budaya telah rusak parah akibat kejadian itu.

Penutup
RTRW Jatim 2005-2020 sebagai pedoman dan Rencana
Induk Peruntukkan Wilayah di Jatim harusnya menggambarkan
zona peruntukkan wilayah secara utuh dan komprehensif.
Selain itu RTRW Jatim berfungsi sebagai pengendalian wilayah

191
agar perkembangan dan pertumbuhannya dapat terencana.
Kenyataannya, kawasan pengembangan dan arahan pemanfaatan
pertambangan tidak memasukkan zona kawasan migas di Jatim.
Apalagi zona pertambangan migas banyak yang masuk dalam area
dan zoning kawasan pemukiman. Oleh karena itu, catatan ini
menjadi penting dalam bencana Korporasi Lumpur Lapindo yang
menimbulkan kerusakan lingkungan dan penghancuran nilai-nilai
sosial masyarakat disekitarnya.
Catatan ini menjadi gambaran kritis pentingnya RTRW Jatim
sebagai master plan. Wilayah tidak dibuat dan disembunyikan
untuk kepentingan korporasi semata tanpa melihat aspek sosial dan
ekologi itu sendiri. Implikasi dan dampak dari pelanggaran tata
ruang menyebabkan ruang ekonomi regional, sistem transportasi
wilayah dan pola kehidupan wilayah secara keseluruhan menjadi
korban dari pelanggaran nilai tata ruang dan eksplorasi migas
sebagai bagian dari entry point munculnya bencana korporasi itu
sendiri.
Oleh karena itu, perkembangan industri migas di Jatim paska
Lumpur Lapindo sempat mengalami gejolak sosial. Di Gresik,
eksplorasi migas oleh Petrochina di Desa Lengowangi sempat
ditentang oleh masyarakat sekitar. Secara tidak langsung kesadaran
masyarakat juga terbentuk akibat dampak lumpur Lapindo
Sidoarjo. Jika ditinjau dari kerentanan wilayah, maka masyarakat
dalam potensi rentan di Jatim berjumlah sekitar 13 juta jiwa,
terletak di pesisir utara Jatim sampai Kepulauan Madura.
Daya rusak industri migas seharusnya tidak diperlakukan sekedar
sebagai dampak yang realitanya dapat dengan mudah disiasati
lewat pemenuhan syarat-syarat administratif seperti AMDAL
dan instrumen teknis lainnya. Daya rusak menyatu utuh sebagai
karakter mendasar industri pertambangan, sehingga konteks resiko
semestinya tidak hanya berurusan dengan permodalan tetapi terkait
langsung dengan keselamatan warga di sekitar kawasan operasi.
Lumpur Lapindo adalah bukti nyata pembangunan memang
bukan ditujukan untuk menjamin keselamatan dan kesejahteraan
192
warga negara. Pembiaran operasi PT. Lapindo Brantas Inc di
kawasan padat huni, belum lagi fakta bahwa sebagian besar hasil
produksi lebih diarahkan untuk kepentingan ekspor dibandingkan
pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
Gambaran negara-negara kaya sumber daya alam yang
mendapatkan pengalaman seperti Belanda pada tahun 1970-an,
setelah ditemukan gas alam di Laut Utara tiba-tiba menyadari
bahwa menimbulkan masalah baru pada kinerja sektor lainnya.
Fenomena itu dikenal dengan ‘Dutch Disease’ (Ebrahim-Zadeh,
2003). Secara keseluruhan, ekstrasi sumber daya alam telah
menggerakkan sebuah dinamika yang memberikan keunggulan
pada dua sektor domestik-sektor sumber daya alam dan sektor
bukan perdagangan, seperti industri konstruksi tetapi dengan biaya
memburuknya kinerja sektor-sektor ekspor tradisional (Humprey,
Sachs dan Stiglitz, 2007: h.7).
Dalam kasus Belanda, yang memburuk kinerjanya adalah sektor
manufaktur, sedangkan di negara berkembang, kelihatannya yang
dirugikan adalah sektor pertanian. Pada level wilayah Jawa Timur,
menjadi penting kita melihat keberadaan sektor sumber daya
alam khususnya migas meluluhlantakkan sektor lainnya. Belum
lagi setelah ditutup nanti, sektor-sektor lainnya justru akan sulit
dipulihkan lagi.
Daya rusak pada hulu sektor migas sangat kasat mata pada
kasus Lumpur Lapindo. Saat yang sama warga korban masih
harus menanggung beban kehidupan sehari-hari karena tidak
ada usaha negara untuk meringankan penderitaan. Misalnya
dengan pembedaan harga bahan pokok dan BBM. Bencana
ekologis Lapindo memiliki daya rusak luar biasa yang mampu
melumpuhkan wilayah Sidoarjo serta Provinsi Jatim secara
menyeluruh. Keuntungan tidak dirancang mengalir kepada warga
Jatim, tetapi resiko bahaya dibebankan kepada warga setempat.
Dengan kata lain masyarakat menyubsidi eksternalitas negara dan
korporasi melalui biaya sosial, ekonomi dan lingkungan. Dengan

193
gambaran itu, pada dasarnya negara tidak sedang membangun,
melainkan menggali kuburan bagi diri sendiri menuju kolaps?

Referensi
Audit BPK RI. 2007. “Ringkasan Eksekutif tentang Laporan
Pemeriksaan atas Penanganan Semburan Lumpur Panas
Sidoarjo”.
Humphreys, Macartan, Jeffrey D, Sachs & Joseph E. Stigilitz.
2007. Escaping The Resource Curse. Columbia University
Press. (Edisi Bahasa Indonesia berjudul Berkelit dari
Kutukan Sumberdaya Alam. Samdhana Institute).
Kompas. 23 Januari 2007
Kompas Jatim. Selasa 10 April 2007.
Lapindo Press Rilis ke Publik. 15 Juni 2006
Neal Adam Services. September 2006. “Causation Factors for the
Banjar Panji No. 1 Blowout.
Neumann, Roderick P. 2005. Making Political Ecology. London:
Hodder Arnold.
Peraturan Daerah Jatim No. 6 tahun 2006 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) Jatim 2006-2020.
Putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat No. 384/
Pdt.G/2006/ PN.Jkt.Pst dalam perkara Gugatan YLBHI
dalam kasus Lapindo
Putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan No. 284/
Pdt.G/2006/ PN.Jak.Sel, dalam perkara Gugatan Walhi
terhadap Pemerintah dan Korporasi.
Report BP MIGAS tahun 2000
Santoso, Vinsen. 2007. “Harga Industrialisasi Sektor Migas-
Semburan Lumpur Lapindo sebagai Kelemahan Negara dalam
Menghadapi Korporas Esktratof Hidrokarban. Jurnal Bisnis
Watch Indonesia (BWI) Edisi VII/Juli – Agustus 2007.
Undang-Undang RI No 11 tahun 1967 tentang Pertambangan

194
WALHI JATIM. Internal Report Investigasi Lapindo 2006
WALHI JATIM. 2007. Monografi Porong.
WALHI JATIM. 2007. Factsheet Krisis Jawa Timur.
JATAM. 2005. Potret Eksploitasi Gas Bumi Jatim .

Sumber Lain
http://www.mediacenter.or.id/pusatdata/27/tahun/2006/
bulan/12/tanggal/13/id/1296
http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/
jawamadura/2006/12/20/brk,20061220-89841,id.html
http://hotmudflow.wordpress.com/2007/02/01/bupatiwalikota-
ikut-pikirkan-lumpur-porong/#more-1562
http://id.wikipedia.org/wiki/Semburan_lumpur_panas_di_
Sidoarjo
http://www.metrotvnews.com/berita.asp?id=28428.
http://www.theresourceinvestor.com/RI-archive/gloss-oil.html#P

195
Indeks cost 19, 113, 173
cost sosial 113
cultuur stelsel 65, 72

A D
Absurd 143 Dada Rosada 110
Agrarishche Wet 37 Daendels ix, 14, 15, 17, 21, 30, 32,
Agregat krisis 24 33, 35, 48-50, 56-59, 66-72,
Air bersih 147, 183 77, 81, 84
Akulturasi 52 daily drilling report 180
Ali Sadikin 16, 126, 127, 137 dana rekontruksi 143, 147, 148,
Amangkurat I 30, 64 149, 153
Anti Imperialisme 85 daya dukung v, 2, 3, 102, 109
Anti kolonialisme 85 deforestisasi 30, 156
asimilasi 52 De Graaf 61, 81
De Grote Postweg 68
B Department Verkeer en Waterstaat
85
Bank Dunia 19, 46 destruktif vi, 58, 81
Basis data 4 developmentalism 52
Batavia 48, 51, 59, 68, 75, 84, discharge 110
118, 125, 126 Do It Yourself x, 139
bencana ekologis 155, 165, 192 Donner 73, 74
black economy 107 Donner W 30
Blok Brantas xi, 168, 180, 181 Dutch Disease 194
Blowout 190, 195
Boedi Oetomo 39 E
Boomgard 11, 77, 80, 82
boundaries 29 ekonomi konvensional 111, 112
Buitenzorg 59, 125 ekonomi-politik 28, 77
Buku Putih 3, 4, 41 ekploitasi 45, 181
ekploitatif 48
C Ekspansi 40
Eksploitasi 54, 170, 196
captive resources 42 eksplorasi gas 168, 189
central business district 134 Emporium bisnis 60
circulation loss 189 Enste dan Dr Schneider 108
comprehensive & integrated devel- entitas komunitas 135
opment planning 157 entitas politik 15
control landfill 96 expert 173
Corridor and Radial Concrencrict
Development 158

196
F 78, 82-84
Jared Diamond 21, 119
Fatahillah 125 Jared M. Diamond 111
Fauzi Bowo 16 jewawut 9
feodalisme 77 jughunianfu 42
Frederick dan Worden 63 Jusuf Kalla 141
G K
Gempa tektonik 150 kapitalistik 11, 44, 66, 73, 115
Gizi buruk 20 Kawasan Pertambangan 185
government failure 110 Kebijakan rekonstruksi 149
keresidenan 40
H
Kesejarahan Jawa 29, 30
Hadratus Syech Hasyim Asyari 39 K.H Ahmad Dahlan 39
Han Boey 31 kick 189, 190, 191
Han Tjan Pit 33 knowledge management strategy 2
hegemoni industri 17 kolonialisasi 14, 19
Hermann W. Daendels 84 Kolonial-Stad 50
H. Guru Mughni 133 Komisaris Jenderal De Buss 35
high cost 173 komprehensif 52, 192
high risk 173 konflik agraria 136
high technology 173 konsorsium pengelola migas 170
hinterland 86 kontemporer 3, 57
H. Irwan Syafi’i 121, 122 Korporasi 193, 195
How Societies Choose to Fail or kosmopolitanisme 130
Succeed 21, 111, 116 Kota Kembang 85
krisis pangan 142
I
L
Ikatan Tenurial x, 120
industrialisasi vi, x, 7, 11, 14, 15, La Grande Route 68, 82
51, 56, 66, 70-73, 76, 77, 85 landmark 102
inlandeer 38 landreform 44
International Monetary Fund (IMF) land-rent 112
46 liberalisasi 11, 74, 77, 78
intimidasi 131 Lodewijk Bonaparte 67
Luki Alfirman 108
J
M
Jalan Raya Pos ix, x, 13-15, 30,
32, 33, 48, 49, 50, 56-59, manifestasi 66
66, 68, 69, 71-73, 75, 77, Marschalk Herman William Dae-
ndels 67

197
Meester Cornelis 48 Q
Megawati Soekarnoputri 170
Melting-pot 118, 130 Queen of the east 137
migrasi x, 12, 13, 26, 75, 80, 86
R
mindset 115
monumental 50, 85 recharge 110
morfologi 9, 10 rekontruksi 139, 140, 143, 146,
147-149, 153, 154, 156
N relevansi 3
Nabi Isa 7 religiusitas 135
Napoleon 49, 66, 67 Rencana Induk (Master Plan) 185
Napoleon Bonaparte 66 Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) 87, 185, 195
O Research and Development Uni-
versity 113, 114
Ong Hok Kam 30 Resistensi 174
open dumping 96, 98 responsiveness 53
Ridwan Saidi 121, 138
P Riset Tematik 2, 3, 5
pajak kepala 77 role model 84
pajak tanah 34, 77 romusha 41, 42
Paku Buwana II 31 ryotwari 35
palang dade 122
Pangeran Kornel 69 S
Parij Van Java 50 Sasmito Wibowo 107
pasar bencana 153 sedimen aluvial 9
penggusuran massif 133 sentralistik 128
Penguasaan tanah partikelir 35 Sesar opak 157
Peristiwa Kolaps 2-6 shadow economy 107
perjanjian Gianti 64 Sir Thomas Stamford Raffles 61
perrenial instability 63 sistematik 56, 62, 66, 72
Pertambangan Golongan A 186 sistem kapitalisme 135
Pertambangan Golongan B 186 Sistem pajak tanah 34
Pertambangan Golongan C 186 Soeharto 12, 15, 46, 52, 129
Petinggi aris 34 Soekarno 15, 41, 44, 125, 126
Pigeaud 62, 81 Soesilo Bambang Yudhoyono 12,
Pokmas 148, 153 57
power system 14, 19 Soewirjo 125
predasi 21 solidaritas warga 54, 152, 153
pre-emptif 1 sosio-ekologik 13, 72
Prianganstelsel 65 Sritua Arief 107
prognosis 190

198
Subsidi warga 156 70, 77, 84
subsistensi 79, 80 Vorstelanden 37
Sultan Agung I 63, 64
Sultan Haji 64 W
survival 5, 56, 80, 141 Winchester 7
Survive 81 W.S. Rendra 84
system operating procedure 174
Z
T
zaman kolonial 18, 51
tahapan eksplorasi 168 zaman Neerlandica 65
tanah apanese 37 Zuhdi, S. 37, 39
tanah vulkanik 9
Tanam Paksa ix, 15, 36, 82
tanggap-darurat (emergency) 145
tata guna lahan 7, 15, 20, 87, 109
tata konsumsi 15, 20, 50, 128, 129
tata kuasa 15, 20, 25, 30, 32-35,
42, 43, 50, 52, 64, 120, 124,
129
tata produksi 15, 20, 31, 33, 40,
124, 129
tenurial 52, 120, 134, 135
termaktub 44, 158
Thomas, L. 40
trayek eksodus 133
trend-setter 51
tukar guling tanah 150

U
Underground economy 107
urbanisasi 52
urban poor 134
urban spatio temporal places 92,
105

V
Van den Bosch 65, 71, 72
Van der Cappellen 77, 78, 79
Verenidging Oost- Indische Com-
pagnie (VOC) 8, 29, 30, 31,
41, 48, 56-58, 60-65, 67, 68,

199

Anda mungkin juga menyukai