Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PRAKTIKUM

KIMIA PEMISAHAN DAN PENGUKURAN


PENENTUAN KADAR Cu2+ DALAM SAMPEL AIR LIMBAH MENGGUNAKAN
SPEKTROMETER SERAPAN ATOM
Diajukan untuk Memenuhi salah Satu Tugas Mata Kuliah Praktikum Kimia Pemisahan dan Pengukuran
Dosen Pengampu : Dr.H.Wiji, M.Si
: Dr.Hernani, M.Si

Tanggal Percobaan Awal : Senin, 1 November 2021


Akhir : 8 November 2021

Disusun oleh:
Khiyarotul uyun (1903283)

DEPARTEMEN PENDIDIKAN KIMIA


FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2020
PENENTUAN KADAR Cu2+ DALAM SAMPEL AIR LIMBAH MENGGUNAKAN
SPEKTROMETER SERAPAN ATOM

Tanggal Percobaan Awal : Senin, 1 November 2021


Akhir : 8 November 2021

I. TUJUAN
Melalui kegiatan ini diharapkan mahasiswa dapat:
1. Menguasai prinsip preparasi sampel yang akan ditentukan kadar ion logamnya
dengan alat spektrometer serapan atom (SSA).
2. Menyiapkan larutan kerja untuk sampel yang akan ditentukan kadarnya dengan
metode adisi standar.
3. Menjelaskan prinsip penentuan kadar ion logam dalam suatu sampel dengan
instrumen SSA dan metode adisi standar.
II. PRINSIP DASAR
Spektometer Serapan Atom

Spektra emisi nyala mulai digunakan untuk analisis kuantitatif sejak tahun 1930.
Sedangkan teknik absorpsi (serapan) baru beberapa puluh tahun kemudian oleh Walsh
dari Austalia. Untuk penerapan serapan atom melalui absorpsi atom telah dikembangkan
oleh Kirchoff pada tahun 1960. Teknik fotometri nyala maupun serapan atom pada
prinsipnya mempunyai banyak kesamaan dan keduanya dapat digunakan untuk
menganalisis baik kuatitatif maupun kuantitatif unsur-unsur logam maupun unsur-unsur
yang bersifat logam (Hendayana, Sumar. 2008; 3.2).

Spektrometri Serapan Atom (SSA) adalah suatu alat yang digunakan pada metode
analisis untuk penentuan unsur-unsur logam dan metalloid yang pengukurannya
berdasarkan penyerapan cahaya dengan panjang gelombang tertentu oleh atom logam
dalam keadaan bebas (Skoog et al., 2000).

Prinsip Dasar
Metode AAS berprinsip pada absorpsi cahaya oleh atom. Atom atom menyerap
cahaya tersebut pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada sifat unsurnya
(Djunaidi, Cholid, 2018; 4).

Misalkan Natrium menyerap pada 589 nm, Uranium pada 358,5 nm, sedang
Kalium pada 766,5 nm. Cahaya pada  ini mempunyai cukup energi untuk mengubah
tingkat elektronik suatu atom. Transisi elektronik suatu unsur bersifat spesifik (Djunaidi,
Cholid, 2018; 4).

Proses penyerapan dan pemancaran energy dapat dilihat dari skema berikut:

Gambar 1. Skema Umum Komponen pada Alat SSA (sumber: Hendayana, Sumar, 2008).

Dari skema tersebut tampak bahwa spektroskopi emisi radiasi dipancarkan oleh
atom-atom yang terdapat dalam keadaan tereksitasi, sedangkan pada spektroskopi
serapan atom, atom-atom dalam keadaan dasar (groundstate) dapat menyerap tenaga
radiasi (Hendayana, Sumar. 2008; 3.3).

Prinsip Kerja

Prinsip kerja Spektrofotometri serapan atom yaitu adanya atom-atom yang


tereksitasi dalam keadaan dasar dan mengabsorbsi radiasi dari sumber cahaya dengan
panjang gelombang tertentu (Gusti Ayu Rai Saputri, N. A, 2007).

Hukum Dasar Spektrometer Serapan Atom


Apabila cahaya dengan panjang gelombang tertentu dilewatkan pada suatu sel
yang mengandung atom-atom bebas yang bersangkutan maka sebagian cahaya tersebut
akan diserap dan intensitas penyerapan akan berbanding lurus dengan banyaknya atom
bebas logam yang berada dalam sel. Hubungan antara absorbansi dengan konsentrasi
diturunkan dari:

1. Hukum Lambert : Bila suatu sumber sinar monokromatik melewati medium


transparan, maka intensitas sinar yang diteruskan berkurang dengan
bertambahnya ketebalan medium yang mengabsorpsi.
2. Hukum Beer : Intensitas sinar yang diteruskan berkurang secara eksponensial
dengan bertambahnya konsentrasi spesi yang menyerap sinar tersebut.
(Al Anshori, Jamaludin, 2005: 6).

Metode AAS adalah metode spektrometri yang didasari oleh adanya


serapan/absorpsi cahaya ultra violet (uv) atau visible (vis) oleh atom-atom suatu unsur
dalam keadaan dasar yang berada di dalam nyala api. Cahaya UV atau vis yang diserap
berasal dari energi yang diemisikan oleh sumber energi tertentu. Besarnya cahaya yang
diserap oleh suatu atom dalam keadaan dasar sebanding dengan konsentrasinya. Hal ini
berdasarkan hukum Lambert-Beer yang secara sederhana dirumuskan sebagai berikut:

Dengan metode adisi, larutan stándar dengan konsentrasi tertentu


ditambahkan ke larutan cuplikan. Dengan metode ini kesalahan “matriks” dapat
dikurangi, karena kondisi larutan standar dengan cuplikan sama.

Untuk melakukan metode ini, ke dalam beberapa labu takar dengan


volume (Vt) dimasukkan sejumlah volume yang sama larutan cuplikan (Vx) dengan
konsentrasi Cx. Selanjutnya ke tiap labu takar ditambahkan larutan stándar (stok) dengan
konsentrasi tertentu (Cs) dengan volume berbeda-beda.
Bila hukum Lambert-Beer diperluas dengan prinsip adisi ini, maka:

Berdasarkan grafik hubungan linier A sebagai fungsi Vs, didapat intersep


() dan slop () dengan hubungan: A =  +  Vs .…………….. (2)

Dengan menghubungkan persamaan (2) dan (1) maka:

Cx dapat diperoleh dari perbandingan dua besaran  dan  serta harga konsentrasi stándar
(Cs) dan volume cuplikan (Vx).

Harga  dan  diperoleh berdasarkan persamaan regresi linier dari hubungan absorbansi
dengan volume stándar (Vs).

(LKI UPI, 2020: 21)

Syarat Berlakunya Hukum Lambert-Beer

a. Konsentrasinya harus rendah.


b. Zat pengadsorbsi tidak terdisosiasi, tidak bereaksi dengan pelarut, stabil.
c. Cahaya harus monokromatis.
d. Larutan harus jernih.
(Anna Permanasari,dkk, 2016: 1.12)

Emisi dan Serapan pada Nyala Api

 Pengukuran fotometri nyala dan serapan atom pada umumnya dilakukan pada
temperatur di bawah 3000oC, akibatnya sebagian besar atom-atom terdapa dalam
keadaan groundstate, sedangkan jumlah atom-atom dalam keadaan tereksitasi dan
intensitas emisi berubah secara eksponensial dengan temperatur.
 Pada prinsipnya alat yang sama dapat dipakai untuk fotometeri nyala dan serapan
atom, tetapi untuk pengukuran serapan radiasi terpisah. Adapun prinsip dasar
sistem fotometri nyala dan serapan atom dapat dilihat pada skema gambar berikut:
1. Fotometri Nyala

2. Serapan Atom

 Perbedaan lain yang penting antara emisi spektrofotometri dan serapan atom
adalah hubungan antara instrumen respon dan konsentrasi zat yang diukur.
 Pada spektrofotometri serapan atom bagi setiap unsur yang diukur
menggunakan sumber radiasi spesifik. Hal ini untuk mencegah adanya overlap
spektra-pita yang sering terdapat pada fotometri nyala api. Adanya tumpang
tindih spektra dalam fotometri nyala sering menimbulkan persoalan, sehingga
pemakaian sistem serapan atom lebih disukai.
(Hendayana, Sumar, 2008: 3.5-3.7).

Instrumentasi Spektrometer Serapan Atom

Pada alat SSA terdapat dua bagian utama yaitu suatu sel atom yang menghasilkan
atom-atom gas bebas dalam keadaaan dasarnya dan suatu sistem optik untuk pengukuran
sinyal. Suatu skema umum dari alat SSA adalah sebagai berikut:
Gambar 1. Skema Umum Komponen pada Alat SSA (sumber: Haswel, 1991).

Dalam metode SSA, sebagaimana dalam metode spektrometri atomik yang lain,
contoh harus diubah ke dalam bentuk uap atom. Proses pengubahan ini dikenal dengan
istilah atomisasi, pada proses ini contoh diuapkan dan didekomposisi untuk membentuk
atom dalam bentuk uap (Al Anshori, Jamaludin, 2005: 7).

Ada tiga komponen alat yang utama dalam SSA, yaitu (1) unit atomisasi, berupa
nyala api dari pembakaran bahan bakar tertentu dengan oksidan; (2) sumber energi,
berupa hollow cathode; dan (3) unit pengukur fotometrik, terutama berupa detektor
yang dapat mendeteksi intensitas cahaya yang melaluinya (Tim Penyusun Praktikum
Kimia Pemisahan, 2020: 21).

1. Atomisator
Atomisator/pembakar berfungsi untuk mengatomisasi logam-logam
sehingga dapat menyerap energi radiasi yang diberikan. Untuk memperoleh
atom-atom dalam keadaan dasar dilakukan dengan cara pemanasan.
Larutan cuplikan disemprotkan ke dalam nyala dengan menggunakan
nebulizer.

Ada tiga cara atomisasi (pembentukan atom) dalam AAS :


1) Atomisasi dengan nyala
Suatu senyawa logam yang dipanaskan akan membentuk atom logam
pada suhu ± 1700 ºC atau lebih. Sampel yang berbentuk cairan akan dilakukan
atomisasi dengan cara memasukan cairan tersebut ke dalam nyala campuran
gas bakar. Tingginya suhu nyala yang diperlukan untuk atomisasi setiap unsur
berbeda.
Beberapa unsur dapat ditentukan dengan nyala dari campuran gas yang
berbeda tetapi penggunaan bahan bakar dan oksidan yang berbeda akan
memberikan sensitivitas yang berbeda pula. Syarat-syarat gas yang dapat
digunakan dalam atomisasi dengan nyala:
 Campuran gas memberikan suhu nyala yang sesuai untuk atomisasi
unsur yang akan dianalisa.
 Tidak berbahaya misalnya tidak mudah menimbulkan ledakan.
 Gas cukup aman, tidak beracun dan mudah dikendalikan.
 Gas cukup murni dan bersih (UHP)
Campuran gas yang paling umum digunakan adalah Udara : C2H2
(suhu nyala 1900 – 2000 ºC), N2O : C2H2 (suhu nyala 2700 – 3000 ºC),
Udara : propana (suhu nyala 1700 – 1900 ºC). Banyaknya atom dalam nyala
tergantung pada suhu nyala. Suhu nyala tergantung perbandingan gas bahan
bakar dan oksidan.
Hal-hal yang harus diperhatikan pada atomisasi dengan nyala :
a. Standar dan sampel harus dipersiapkan dalam bentuk larutan dan
cukup stabil. Dianjurkan dalam larutan dengan keasaman yang rendah
untuk mencegah korosi.
b. Atomisasi dilakukan dengan nyala dari campuran gas yang sesuai
dengan unsur yang dianalisa.
c. Persyaratan bila menggunakan pelarut organik :
 Tidak mudah meledak bila kena panas
 Mempunyai berat jenis > 0,7 g/mL
 Mempunyai titik didih > 100 ºC
 Mempunyai titik nyala yang tinggi
 Tidak menggunakan pelarut hidrokarbon

Pemilihan Nyala :
Dalam analisis AAS biasanya ada empat jenis nyala yang didasarkan
pada sifat-sifat unsur karena dari keempat jenis nyala tersebut sealin berbeda
dalam suhu nyala juga berbeda dalam daya perduksi, transmitans, dsb.
Keempat nyala tersebut yaitu :
 Nyala Udara-Asetilen
Untuk analisis aas yang paling sesuai dan paling umum digunakan
adalah nyala udara asitilen. Akan tetapi unsur-unsur yang oksidanya
mempunyai energi disosiasi tinggi tidak mungkin dianalisis dengan nyala ini
karena pada suhu rendah akan menghasilkan sensitivitas yang rendah. Nyala
udara-asitilen mempunyai transmitan rendah pada daerah panjang gelombang
yang pendek ( ultraviolet ).
 Nyala N2O-Asetilen
Suhu nyala ini sangat tinggi akrena dinitrogen oksida mempunyai
daya pereduksi yang kuat sehingga N2O asiltilen dapat digunakan untuk
analisis yang unsur-unsurnya sulit diuraikan atau sulit dianalisis dengan
nyala lain. Jika unsur-unsur yang seuai dengan nyala udara-sitilen dilakukan
analisis dengan nyala ini maka asensitivitasnya akan menurun, hal ini
disebabkan oleh jumlah atom dalam keadaan terekitasi bertambah sedangkan
atom-atom dalam keadaan dasar menurun dan jumlah atom-atom yang terurai
akan terionisasi lebih lanjut oleh kenaikan suhu.
 Nyala Udara-Hidrogen
Dibandingkan dengan nyala udara asitilen nyala ini mempunyai
transmitan yang baik pada daerah panjang gelombang pendek yaitu unuk
analisis spektrum pada daerah 230 nm. Nyala udara ini efektif untuk analisis
unsur Pb, Cd, Sn, dan Zn selain sesuai nyala ini mempunyai sensitivitas yang
tinggi dengan unsur diatas. Tetapi nyala ini lebih rendah sedikit daripada
nyala udara-asitilen sehingga cendrung lebih banyak mengakibatkan
interfernsi.
 Nyala Argon-Hidrogen
Nyala ini mempunyai transmitan yang lebih baik daripada nyala
udara-hidrgen pada daerah panjang gelombang pendek, nyala ini sesuai untuk
analisis unsur As (192,7 nm) dan Se (196 nm). Akan tetapi karena suhu nyala
yang sangat rendah memungkinkan adanya interferensi yang besar.

2) Atomisasi tanpa nyala


Atomisasi tanpa nyala dilakukan dengan mengalirkan energi listrik pada
batang karbon (CRA – Carbon Rod Atomizer) atau tabung karbon (GTA –
Graphite Tube Atomizer) yang mempunyai 2 elektroda. Sampel dimasukan ke
dalam CRA atau GTA. Arus listrik dialirkan sehingga batang atau tabung
menjadi panas (suhu naik menjadi tinggi) dan unsur yang dianalisa akan
teratomisasi. Suhu dapat diatur hingga 3000 ºC. pemanasan larutan sampel
melalui tiga tahapan yaitu :
 Tahap pengeringan (drying) untuk menguapkan pelarut
 Pengabuan (ashing), suhu furnace dinaikkan bertahap sampai terjadi
dekomposisi dan penguapan senyawa organik yang ada dalam sampel
sehingga diperoleh garam atau oksida logam
 Pengatoman (atomization)

3) Atomisasi dengan pembentukan senyawa hidrida


Atomisasi dengan pembentukan senyawa hidrida dilakukan untuk unsur
As, Se, Sb yang mudah terurai apabila dipanaskan pada suhu lebih dari 800 ºC
sehingga atomisasi dilakukan dengan membentuk senyawa hibrida berbentuk
gas atau yang lebih terurai menjadi atom-atomnya melalui reaksi reduksi oleh
SnCl2 atau NaBH4, contohnya merkuri (Hg).

2. Sumber Radiasi

Sumber Cahaya Sumber cahaya yang digunakan dalam alat AAS ialah;

1. Lampu katoda berongga (hollow cathode lamp).

Lampu ini terdiri dari suatu katoda dan anoda yang terletak dalam
suatu silinder gelas berongga yang terbuat dari kwarsa. Katoda terbuat dari
logam yang akan dianalisis. Silinder gelas berisi suatu gas lembam pada
tekanan rendah. Ketika diberikan potensial listrik maka muatan positif ion
gas akan menumbuk katoda sehingga tejadi pemancaran spektrum garis
logam yang bersangkutan (Al Anshori, Jamaludin, 2005: 9).

Gambar 5. Lampu Katoda Berongga (sumber: http://www_azwestern_edu-chemnasa-


AASprimerweb_files-image002_jpg.htm).
Proses emisi hollow cathode terihat pada gambar dibawah ini;

Gambar 6. Proses emisi dalam HCl (sumber: (Djunaidi, Cholid, 2018).

Apabila terdapat perbedaan potensial antara kedua elektroda, maka


atom gas mulia di sekitar anoda akan terionisasi menjadi bermuatan + dan
dengan kecepatan tinggi tertarik ke arah katoda. Benturan antara ion gas
dengan katoda akan menyebabkan terpentalnya atom-atom dari katoda
yang disebut sebagai "sputtering". Benturan lebih lanjut dari ion gas mulia
akan memancarkan radiasi emisi pada waktu atom-atom logam kembali ke
permukaan katoda ( keadaan dasar ) (Djunaidi, Cholid, 2018; 11).

2. Elektrodeless Discharge Lamps (EDLs)

Lampu ini terbuat dari tabung kuarts tertutup yang mengandung


sedikit torr gas inert seperti argon dan sedikit logam (atau garam) yang
memiliki spektrum menarik. Lampu ini tidak mengandung elektroda tetapi
terenergi oleh penangkap intens frekuensi radio atau radiasi microwave
(Mardhiyah, Farhati, 2013).

3. Monokromator dan Sistem Optik


Berkas cahaya dari lampu katoda berongga akan dilewatkan melalui celah
sempit dan difokuskan menggunakan cermin menuju monokromator.
Monokromator dalam alat SSA akan memisahkan, mengisolasi dan mengontrol
intensitas energi yang diteruskan ke detektor. Monokromator yang biasa
digunakan ialah monokromator difraksi grating (Al Anshori, Jamaludin, 2005: 9).
4. Detektor dan Sistem Elektronik
 Energi yang diteruskan dari sel atom harus diubah ke dalam bentuk sinyal
listrik untuk kemudian diperkuat dan diukur oleh suatu sistem pemproses data.
Proses pengubahan ini dalam alat SSA dilakukan oleh detektor.
 Detektor yang biasa digunakan ialah tabung pengganda foton (photomultiplier
tube), terdiri dari katoda yang dilapisi senyawa yang bersifat peka cahaya dan
suatu anoda yang mampu mengumpulkan elektron. Ketika foton menumbuk
katoda maka elektron akan dipancarkan, dan bergerak menuju anoda. Antara
katoda dan anoda terdapat dinoda-dinoda yang mampu menggandakan
elektron. Sehingga intensitas elektron yang sampai menuju anoda besar dan
akhirnya dapat dibaca sebagai sinyal listrik.
 Untuk menambah kinerja alat maka digunakan suatu mikroprosesor, baik pada
instrumen utama maupun pada alat bantu lain seperti autosampler.

Gambar 7. Photo Multiplier Tube (sumber: Al Anshori, Jamaludin, 2005).

(Al Anshori, Jamaludin, 2005: 10).


5. Amplifier
Amplifier (penguat) Berfungsi sebagai penguat sinyal listrik yang
dihasilkan oleh detector (Djunaidi, Cholid, 2018; 12).
6. Pencatat
Berfungsi sebagai pengubah sinyal listrik menjadi tampilan-tampilan
tertentu sehingga bisa dibaca. Untuk tujuan kuantitatif lebar garis emisi hollow
cathode harus lebih sempit dari lebar garis absorpsi analit dalam sampel
(Djunaidi, Cholid, 2018; 12).

Kategori Interferensi yang Dapat Terjadi

1. Chemical Interference ( gangguan Kimia )


Interferensi ini paling sering terjadi dan paling mengganggu pada analisa
dengan AAS.
 Tempat terjadi : Pada Sel sampel ( nyala )
 Penyebab : Terjadinya reaksi kimia antara pengotor/pengganggu
(kontaminan) dengan analit yang menghasilkan senyawa stabil secara
thermal.
 Akibat : Pengurangan pembentukan atom-atom gas pada keadaan dasar,
sehingga menurunkan absorbansi logam yang dianalisa (sensitifitas
berkurang).
2. Ionization Interference (Gangguan Interferensi )
 Penyebab : Ionisasi atom gas.
 Terjadi karena temperatur nyala mempunyai cukup energi untuk
menyebabkan elektron lepas dari atom membentuk ion dan karena
temperatur nyala yang sangat tinggi.
 Akibat : Atom-atom pada keadaan dasar berkurang sehingga mengurangi
sensitifitas, karena garis spektrum dari ion-ion unsur tidak terjadi pada
yang sama dengan garis spektrum atom unsur tersebut, maka ionisasi
cenderung menurunkan absorbansi.
3. Matrix Interference
 Penyebab : perbedaan sifat-sifat fisis seperti viskositas dan tegangan
penguapan antara sampel dan larutan standar. Hal ini disebabkan karena
sampel mengandung garam/asam yang brut, suhu yang berbeda atau karena
pelarut yang berbeda antara sampel dan standar. Bisa juga karena beda
kecepatan dan efisiensi nebulization yang menyebabkan viskositas dan
tegangan permukaan sampel dan viskositas berbeda.
 Akibat : dapat memperkuat sinyal analit/sensitifitas atau sebaliknya.
4. Spektral Interference (Gangguan Spektrum )
 Penyebab : 1)Terdapat garis-garis spektr un yang sangat berdekatan antara
garis spektrum analit dengan garis spektrum unsur atau pita moiekul yang
tidak ditentukan sehingga gagal dipisahkan oleh monokromator sehingga
akan dibaca seluruhnya oleh detector; 2) Keterbatasan kemampuan
monokromator untuk mendispersi.
 Akibat : Hasil analisa yang lebih besar ( karena adanya kontribusi
unsur /molekul lain ).
 Biasa Terjadi pada : Penggunaan lampu multi elemen.
5. Background Absorption (Absorpsl Background)
 Penyebab : 1) Penghamburan cahaya hollow cathode oleh partikel-partikel
gas 31 dalam nyala; 2) Absorpsi molekular ( pita lebar ) yang tidak stabil
secara thermal cahaya hollow cathode oleh molekul-molekul dalam nyala.
 Akibat : Cahaya yang diteruskan menjadi berkurang maka absorbsi sinyal
bertambah.
6. Emission Interference (Gangguan Emisi )
 Penyebab : Konsentrasi analit yang tinggi sehingga sinyal emisi masuk ke
dalam bandpass spektrum yang digunakan.
 Terjadi karena "elektronic noise" photomultiplier sebanding dengan total
sinyal yang mengenainya, walaupun hanya sinyal absorpsi termodulasi
yang diukur.
 Akibat : kesalahan analisa ( mengurangi jumlah absorbansi ).
(Djunaidi, Cholid, 2018; 19-32).

Analisis Logam Tembaga dengan AAS

Salah satu permasalahan dalam daerah permukiman di sekitar DAS terlebih


permukiman padat penduduk adalah air limbah domestic (Sulistia, S, 2018: 58).

Air limbah domestik dari daerah permukiman tersebut biasanya dibuang langsung
ke sungai yang merupakan badan air sehingga menyebabkan pencemaran sungai. Air
limbah domestik adalah air limbah yang berasal dari dapur, kamar mandi, cucian, air
limbah dari industri rumah tangga dan kotoran manusia. Limbah merupakan buangan
atau sesuatu yang tidak terpakai berbentuk cair, gas dan padat. Dalam air limbah terdapat
bahan kimia yang sukar untuk dihilangkan dan berbahaya termasuk di dalamnya logam
berat (Sulistia, S, 2018: 58).
Secara alamiah logam berat dapat masuk ke perairan melalui berbagai cara. Hg
dapat masuk ke badan perairan umumnya berasal dari kegiatankegiatan gunung api,
rembesan-rembesan air tanah yang melewati daerah deposit merkuri dan lain-lainnya. Pb
masuk ke perairan melalui pengkristalan Pb di udara dengan bantuan air hujan,
disamping itu proses korosifikasi dari batuan mineral akibat hempasan gelombang dan
angin. Cu masuk ke perairan melalui peristiwa erosi atau pengikisan batuan mineral dan
melalui persenyawaan Cu di atmosfer yang dibawa turun melalui hujan. Cd secara
alamiah masuk ke perairan dalam jumlah yang sedikit (Palar, 1994).

Sedang dari aktifitas kehidupan manusia diantaranya adalah berasal dari limbah
industri yang berkaitan dengan Hg, Pb, Cu, dan Cd seperti industri kertas, limbah
pertambangan bijih timah hitam, pertambangan Cu dan buangan sisa industri baterai dan
lain-lain (Palar, 1994).

Logam berat adalah unsur-unsur kimia dengan bobot jenis lebih besar dari 5
gr.cm-3 , terletak di sudut kanan bawah sistem periodik, mempunyai afinitas yang tinggi
terhadap unsur S dan biasanya bernomor atom 22 sampai 92 dari perioda 4 sampai 7.
Sifat toksisitas logam berat dapat dikelompokan ke dalam 3 kelompok, yaitu bersifat
toksik tinggi, sedang, dan rendah. Logam berat yang bersifat toksik tinggi terdiri dari
unsur-unsur Hg, Cd, Pb, Cu, dan Zn. Bersifat toksik sedang terdiri dari unsur-unsur Cr,
Ni, dan Co, sedangkan bersifat tosik rendah terdiri atas unsur Mn dan Fe. Adanya logam
berat di perairan, berbahaya baik secara langsung terhadap kehidupan organisme, maupun
efeknya secara tidak langsung terhadap kesehatan manusia. (Sulistia, S, 2018: 58-59).

Hal ini berkaitan dengan sifat-sifat logam berat (Moore dan Ramamoorthy, 1984) yaitu:

1. Sulit didegradasi, sehingga mudah terakumulasi dalam lingkungan perairan dan


keberadaannya secara alami sulit terurai(dihilangkan);
2. Dapat terakumulasi dalam organisme termasuk kerang danikan;
3. Memiliki EC10 dan LC50- 96 jam yang rendah;
4. Memiliki waktu paruh yang tinggi dalam tubuh biota laut;

Pencemaran logam berat ini menimbulkan berbagai permasalahan diantaranya


(Palar,1994):
1. Berhubungan dengan estetika (perubahan bau, warna dan rasa air),
2. Berbahaya bagi kehidupan tanaman dan binatang,
3. Berbahaya bagi kesehatan manusia,
4. Menyebabkan kerusakan pada ekosistem.

Pada konsentrasi 2,3 – 2,5 mg/L dapat mematikan ikan dan akan menimbulkan
efek keracunan, yaitu kerusakan pada selaput lendir (Saeni, 1997). Tembaga dalam tubuh
berfungsi sebagai sintesa hemoglobin dan tidak mudah dieksresikan dalam urine karena
sebagian terikat dengan protein, sebagian dieksresikan melalui empedu ke dalam usus
dan dibuang kefeses, sebagian lagi menumpuk dalam hati dan ginjal, sehingga
menyebabkan penyakit anemia dan tuberculosis (Marganof, 2003: 8).

Jika kadar Cu sampel belum melebihi batas (ambang batas) yang ditetapkan
pemerintah yaitu 20 ppm untuk Cu, maka sesuai Keputusan Dirjen POM No.
03725/B/SK/VII/89 sampel air tersebut aman untuk dikonsumsi (Agus Taftazani, 2005:
35).

Destruksi Basah pada AAS

Destruksi merupakan suatu perlakuan pemecahan senyawa menjadi unsur-


unsurnya sehingga dapat dianalisis. Istilah destruksi ini disebut juga perombakan, yaitu
dari bentuk organik logam menjadi bentuk logam-logam anorganik. Pada dasarnya ada
dua jenis destruksi yang dikenal dalam ilmu kimia yaitu destruksi basah (oksida basah)
dan destruksi kering (oksida kering). Kedua destruksi ini memiliki teknik pengerjaan dan
lama pemanasan atau pendestruksian yang berbeda (Kristianingrum S, 2012: 197).

Kandungan logam berat tersebut dapat ditentukan dengan metode AAS. Metode
AAS (Atomic Absorption Spectrophotometry) merupakan salah satu metode analisis yang
dapat digunakan untuk mengetahui keberadaan dan kadar logam berat dalam berbagai
bahan, namun terlebih dahulu dilakukan tahap pendestruksi cuplikan. Pada metode
destruksi basah dekomposisi sampel dilakukan dengan cara menambahkan pereaksi asam
tertentu ke dalam suatu bahan yang dianalisis. Asam-asam yang digunakan adalah asam-
asam pengoksidasi seperti H2SO4, HNO3, H2O2, HClO4, atau campurannya. Pemilihan
jenis asam untuk mendestruksi suatu bahan akan mempengaruhi hasil analisis
(Kristianingrum S , 2012: 195-196).

Kandungan matriks atau ion-ion lain dapat mengganggu proses analisis logam
berat dengan spektroskopi serapan atom. Hal ini mengakibatkan akurasi hasil analisis
menjadi rendah. Oleh karena itu sebelum analisis dilakukan destruksi untuk
menghilangkan/memisahkan kandungan ion lain, dengan perlakuan awal diharapkan
kesalahan pada saat analisis dapat ditekan seminimal mungkin. Metode perlakukan awal
yang digunakan adalah metode destruksi yaitu dengan memutuskan ikatan unsur logam
dengan komponen lain dalam matriks sehingga unsur tersebut berada dalam keadaan
bebas kemudian dianalisis menggunakan AAS karena pengerjaannya cepat, sensitif,
spesifik untuk unsur yang ditentukan, dan dapat digunakan untuk penentuan kadar unsur
yang konsentrasinya sangat kecil tanpa harus dipisahkan terlebih dahulu (Murtini dalam
Kristianingrum S, 2012: 196).
III. ALAT DAN BAHAN
1. Alat
 Gelas kimia 600 mL 1 buah
 Gelas ukur 10 mL 1 buah
 Batang pengaduk 1 buah
 Pipet gondok 10 mL 1 buah
 Labu takar 100 mL 1 buah
 Labu takar 25 mL 5 buah
 Buret 10 mL 1 buah
 Corong kecil 1 buah
 Pipet tetes 1 buah
 Pipet gondok 5 mL 1 buah
 pH Universal 1 lembar

2. Bahan
 Larutan HNO3 pekat 0,2M
 Larutan stock Cu(II) 1000 ppm
 Aquades Secukupnya
 Kertas Saring Secukupnya
 Cuplikan/sampel limbah 50 ml
IV. SPESIFIKASI BAHAN
No Nama Bahan Sifat Fisika Sifat Kimia
1. Aquades (H2O) Wujud : Cair - Pelarut universal
Warna : Tidak berwarna - Bersifat stabil
0
0 0 Bau : Tidak berbau - Bersifat polar
0
Titik didih : 100℃
Titik beku : 0℃
Berat Molekul : 18 g/mL
ρ : 0,998 g/mL
Bahaya Penanggulangan
Bahan ini tidak Jika tumpah tidak ada
diklasifikasikan sebagai perlakuan khusus,
bahan berbahaya tutup botol harus rapat
2. Asam Nitrat Sifat Fisika Sifat Kimia
Wujud : Cair Bersifat iritasi
(HNO3)
Warna : Tidak berwarna Pengoksidasi kuat
Bau : pedih Korosif terhadap
Titik didih : 122℃ logam
Titik lebur : -41℃ Dapat didistilasi dalam
Berat Molekul : 63,01 keadaan terurai
g/mol
Bahaya Penanggulangan
2 - Bersifat iritasi - Segera ganti
3 0
- Kontak dengan pakaian yang
logam menyebabkan terkontaminasi,
terbentuknya gas gunakan krim
nitrogen dan - Wadah jangan
hidrogen terbuat dari logam
3. Sifat Fisika Sifat Kimia

1
3 0
Tembaga (II) Wujud : padat Mudah larut dalam air
Nitrat Trihidrat Warna : biru Sangat sedikit larut
(Cu(NO3)2 . H2O) Bau : tidak berbau dalam amonia cair
Titik didih : 170℃ Praktis tidak larut
Titik leleh : 114,5℃ dalam ethyl acetate
Berat molekul : 241,6 Stabil
g/mol
Bahaya Penanggulangan
- Mudah terbakar - Jangan didekatkan
- Iritasi dengan api
- Oksidator - Cuci tangan
setelah memegang

V. LANGKAH KERJA
1. Pembuatan Larutan Blanko

± 500 ml aquades

Dimasukkan kedalam gelas kimia

Dimasukkan HNO3 menggunakan gelas


ukur 10 ml, ukur 6,25 ml kedalam aquades.

Diaduk hingga homogen

Hasil

2. Pembuatan Larutan Stok Cu(II) 10 ppm

Larutan stok Cu(II) 1000 ppm

Diambil dan dimasukkan ke dalam labu


takar 100 ml.

Larutan Blanko
3. Preparasi Cuplikan Limbah (Telah disiapkan)

Cuplikan air limbah

Diambil sebanyak 50 ml secara kuantitatif

Ditambahkan 0,625 ml (12-13 tetes) HNO 3


pekat, diaduk dengan batang pengaduk
hingga homogen.

Dihitung berapa kira-kira pH dari cuplikan


limbah tersebut.

Hasil

4. Pembuatan Larutan yang Akan diukur Absorbannya

Cuplikan limbah

Disiapkan 5 buah labu takar 25 mL yang


bersih dan telah dibilas dengan larutan
blanko, labeli labu 1, 2, 3, 4, dan 5.

Dimasukkan 5 ml cuplikan ke dalam labu


takar 1 sampai 5.
Dimasukkan secara berturut-turut 0,00;
1,00; 2,00; 3,00; dan 4,00 mL larutan stok
Cu(II) 10 ppm kedalam labu takar 1 sampai
5.

Diencerkan larutan dalam labu takar 1


sampai 5 dengan larutan blanko sampai
tanda batas. Lalu dikocok sampai
homogen.
5. Pembuatan Kurva Standar Adisi dan Pengukuran Konsentrasi Cuplikan

Hasil yang telah dibuat pada langkah 3


Larutan

Diurutkan dari konsentrasi terendah

Diukur absorbansi masing-masing larutan


yang telah dibuat pada langkah 3 dengan
instrumen SSA.

Dibuat grafik hubungan absorbansi vs.


volume standar stok Cu(II) 10 ppm (Vs)
dengan program Excell,

Ditentukan persamaan matematik


hubungan linier antara absorbansi dengan
Vs.

Tentukan konsentrasi (ppm) tembaga(II)


dalam cuplikan limbah (Cx), dengan rumus:
Cx=  𝐶𝑠/  𝑉x

Hasil
VI. HASIL PENGAMATAN
 Setting alat AAS
Panjang gelombang : 324,8 nm
Slit : 0,4 nm
Main current : 3 mA
Bahan bakar : asetilen udara
Laju alir asetilen : 1 L/menit
Laju alir udara : 7 L/menit

 Data hasil pembacaan alat AAS

Sample name ABS S.D. RSD (%)


S0 (0 mL stok10) 0,0865 0,0002 0,1174
S1 (1 mL stok10) 0,2446 0,0027 1,1098
S2 (2 mL stok10) 0,4378 0,0001 0,0270
S3 (3 mL stok10) 0,6382 0,0028 0,6388
S4 (4 mL stok10) 0,8234 0,0007 0,1196

Keterangan:
Konsentrasi Larutan stok yang ditambahkan ke sampel: 10 ppm
Volume cuplikan limbah yang digunakan: 5 mL
Volume labu takar : 25 mL

VII. PENGOLAHAN DATA


 persamaan garis linier hubungan volume stándar dengan absorbansi
kurva standar adisi
0.9
0.8
f(x) = 0.19 x + 0.07
0.7 R² = 1
0.6
absorban
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5
konsentrasi

 harga slope dan intersepnya


Dari grafik di atas di dapat persamaan y = 0.1867x + 0.0726, dimana persamaan linear y
= mx + c Ekivalen y = β V s + α , jadi kita dapatkan
 Slope = β=¿ 0.1867
 Intercept = α =¿ 0.0726
 konsentrasi ion Cu(II) dalam sampel limbah
Diketahui :
 Konsentrasi saampel = 10 ppm
 Volume sampel = 5 ml
 A =β V s + α
 y = 0.1867x + 0.0726
 R2 = 0.9985
Untuk mengetahui konsentrasi gunkan persamaan sebagaiberikut :
α C s 0,0726 x 10 ppm 0,726
C x= = = =0,7777 ppm
βV x 0,1867 x 5 mL 0,9335
Jadi konsentrsi Cu dalam sampel air limbah adalah 0,7777 ppm
VIII. PEMBAHASAN

Praktikum berjudul “ Penentuan Kadar Cu(II) Dalam Sampel Air Limbah Menggunakan
Instrumen Spektrometer Serapan Atom (AAS) dengan Metode Adisi Standar” yang bertujuan
agar mahasiswa dapat menguasai prinsip preparasi sampel yang akan ditentukan kadar ion
logamnya dengan alat spektrometer serapan atom (SSA), dapat menyiapkan larutan kerja untuk
sampel yang akan ditentukan kadarnya dengan metode adisi standar dan dapat menjelaskan
prinsip penentuan kadar ion logam dalam suatu sampel dengan instrumen SSA dan metode adisi
standar. Praktikum ini berprinsip pada absorpsi cahaya oleh atom. Atom atom menyerap cahaya
tersebut pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada sifat unsurnya sedangkan Prinsip
kerja dari spektrometer serapan atom ini adalah memanfaatkan proses ionisasi dan pembelokan
elektron. Metode analisis spektrometer serapan atom ini digunakan untuk penentuan konsentrasi
suatu unsur dalam cuplikan yang didasarkan pada proses penyerapan radiasi sumber oleh atom-
atom yang berada pada tingkat energi rendah (ground state). Larutan kerja ataupun larutan
standar sampel diubah menajdi atom-atomnya dalam keadaan gas kemudian disinari
menggunakan hollow cathode yang spesifik dengan tembaga. Dalam AAS, sinar diteruskan (tidak
diserap) yang akan terdeeksi oleh detektor yang akan diubah menjadi sinyal hubungan antara
sinar yang diserap terhadap konsentrasi atau dinyatakan dengan absorbansi.

Cuplikan atau sampel yang akan dianalisa adalah air limbah. alat spektrometer serapan
atom hanya dapat digunakan untuk menentukan kadar unsur logam dan metaloid saja dikarnakan
unsur tersebut memiliki energy ionisasi yang kecil sehingga mudah untuk melepas elektron
membentuk ion positif dan mengalami eksitasi elektron.

Pada Tahapan preparasi dilakukan pengasama dengan menggunakan HNO 3 pekat. Agar
proses pemutusan ikatan atau destruksi berjalan dengan cepat dan efektif selain itu penambahan
HNO3 Penggunaan HNO3 pekat ini juga berguna untuk melarutkan garam-garam dalam sampel,
sehingga larutan sampel jernih serta bebas dari partikulat dan menjaga pH sampel agar terhindar
dari bakteri yang akan menggangu proses analisis.

Pelarut sampel dan strander yang gunakan adalah larutan blangko pekat yang diencerkan
dengan aquades , sehingga keberadaan HNO 3 tidak akan mempengaruhi proses absorbansi. Serta
larutan blanko dibuat asam agar atom Cu tidak membentuk endapan.

Metode yang digunakan saat pengukuran absorbansi adalah metode adisi standar. Metode
adisi standar yaitu dengan menambahkan sejumlah analit standar sesuai dengan konsentrasi
tertentu ke dalam suatu sampel yang akan dianalisis atau larutan stándar dengan konsentrasi
tertentu ditambahkan ke larutan cuplikan.

Sebelum digunakan, alat AAS dikondisikan sesuai parameter pengukuran yaitu bahan
bakarnya gas asetilen dan oksidannya udara (terdapat dua tabung yaitu oksigen dan
karbondioksida). Katodanya Cu dan anodanya tungsten, lampu yang digunakan yaitu neon.
Analisis kuantitatif dilakukan dengan cara kurva adisi antara absorbansi (sumbu y)
dengan Volume atau konsentrasi (sumbu x) volume larutan standar 10 ppm yang digunakan
adalah 1, 2, 3, 4 ml. Berdasarkan data pengamatan nilai absorbansi didapat, semakin besar
absorbansi maka semakin besar juga volume larutan begitupun dengan konsenrasi. Dari hasil
pengamatan pertama diperoleh persamaan diperoleh persamaan garis linear y = 0.1867x + 0.0726
R² = 0.9985. Dari kurva tersebut, dapat dilihat bahwa absorbansi berbanding lurus dengan
volume. Dari kurva tersebut diperoleh Slope = β=¿ 0.1853 dan Intercept = α =¿ 0.0726dan
berdasarkan perhitungan maka diperoleh konsentrasi ion Cu(II) sebesar 0,777 ppm

IX. KESIMPULAN
Dari Praktikum berjudul “ Penentuan Kadar Cu(II) Dalam Sampel Air Limbah
Menggunakan Instrumen Spektrometer Serapan Atom (AAS) dengan Metode Adisi Standar”
yang bertujuan agar mahasiswa dapat menguasai prinsip preparasi sampel yang akan ditentukan
kadar ion logamnya dengan alat spektrometer serapan atom (SSA), dapat menyiapkan larutan
kerja untuk sampel yang akan ditentukan kadarnya dengan metode adisi standar dan dapat
menjelaskan prinsip penentuan kadar ion logam dalam suatu sampel dengan instrumen SSA dan
metode adisi standar. Di dapat kesimpulan bahwa diperoleh persamaan garis linear y = 0.1867x +
0.0726
R² = 0.9985. Dari kurva tersebut, dapat dilihat bahwa absorbansi berbanding lurus dengan
volume. Dari kurva tersebut diperoleh Slope = β=¿ 0.1853 dan Intercept = α =¿0.0726 dan
berdasarkan perhitungan maka diperoleh konsentrasi ion Cu(II) sebesar 0,777 ppm
X. DAFTAR PUSTAKA

Agus Taftazani, dkk. (2005). Evaluasi Kadar Logam Berat dalam Sampel Lingkungan
Pantai Indramayu dengan Teknik Analisis Aktivasi Neutron. Prosiding PPI –
PDIPTN 2005, Puslitbang Teknologi Maju – BATAN, Hal 35-44.

Anna Permanasari,dkk. (2016). Kimia Analitik Instrumen. Tangerang Selatan: Penerbit


Universitas Terbuka.

Christina P, Maria. (2006). Petunjuk Praktikum Instrumentasi Kimia “Analisis


Kesalahan
Dalam Spektrometri Serapan Atom”. Yogyakarta : STTN-BATAN.

Djunaidi, Cholid. (2018). Studi Interferensi pada AAS (Atomic Absorption Spectroscopy):
Semarang: FMIPA Kimia UNDIP.
Gusti Ayu Rai Saputri, N. A. (2017). Penetapan Kadar Kalsium pada Brokoli (Brassica
oleracea, L.) Segar, Kukus, dan Rebus secara Spektrofotometri Serapan Atom
(SSA). Jurnal Analisis Farmasi, Volume 2, No. 4, Hal 251-257.

Hendayana, Sumar. (2008). Kimia Analitik Instrumen: Jakarta: Penerbit Universitas


Terbuka.

Kristianingrum, Susila. (2012). Kajian Beberapa Proses Destruksi dan Efeknya. Prosiding
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, hal 195-197.

Marganof. (2003). Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal,
Kadmium, dan Tembaga) di Perairan. Falsafah Sains, Hal 1-12.

Mardhiyah, Farhati. (2013). Electrodeless Discharge Lamp. [online]. Tersedia:


https://id.scribd.com/doc/168115522/Electrodeless-Discharge-Lamps. [

Moore, J. W. dan S. Ramamoorthy. (1984). Heavy Metals in Neutral Water. Springer


Verlag. New York.

Palar, H. (1994). Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Rineka Cipta, Jakarta.

Saeni, M.S. (1997). Penentuan Tingkat Pencemaran Logam Berat dengan Analisis
Rambut. Orasi Ilmiah, Guru Besar Tetap Ilmu Kimia Lingkungan, Fakultas
Matematika dan IPA IPB. Bogor.

Skoog. D. A., Donald M. West, F. James Holler, Stanley R. Crouch. (2000).


Fundamentals
of Analytical Chemistry. Hardcover: 992 pages, Publisher: Brooks Cole.

Sulistia, Susi. (2018). Konsentrasi Logam Berat dari Daerah Permukiman di Sungai
Cisadane. Jurnal Analisis Farmasi, Volume 1, No. 2, Hal 56-62.

Tim Penyusun Praktikum Kimia Pemisahan. (2020). Penuntun Praktikum Kimia


Pemisahan dan Pengukuran. Bandung: Laboratorium Kimia Instrumen FPMIPA
UPI.

Anda mungkin juga menyukai