Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH KELOMPOK

“ESTETIKA DALAM DUNIA MELAYU”

Diajukan untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah


Bahasa Indonesia

Disusun oleh :

1. ERLINA DWI SAFITRI


2. SYAFIQ FUADI NASUTION
3. RIO RONALDI

Semester/Kelas:

Dosen Pembimbing :

Eldipama Kesambamula, S.Pd., M.Pd.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM KUANTAN SINGINGI
TELUK KUANTAN
2021
KATA PENGANTAR

Assalamu ‘alaikum Wr. Wb

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang mana atas berkat rahmat dan karunia-Nya
kami bisa menyelesaikan penulisan Makalah “ Estetika Dalam Dunia Melayu” yang
penulis susun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Bahasa Indonsia .

Tak lupa shalawat dan salam semoga tetap tercurah pada Nabi akhir zaman
Muhammad SAW, kepada keluarga, para sahabat dan seluruh umatnya.

Penulis mengakui dalam makalah yang sederhana ini mungkin banyak sekali terjadi
kekurangan sehingga hasilnya jauh dari nama kesempurnaan. Penulis sangat berharap kepada
semua pihak untuk kiranya memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun. Besar
harapan penulis dengan terselesaikannya makalah ini dapat menjadi bahan tambahan bagi
penilaian guru bidang studi Penjas dan mudah-mudahan isi dari makalah penulis ini dapat di
ambil manfaatnya oleh semua pihak yang membaca makalah ini.

Wasalamualaikum Wr.Wb

...................27 Oktober 2021


Penulis

ERLINA DWI SAFITRI


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………….. i


DAFTAR ISI ……………………………………………………………… ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ………………………………………………………. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 1
1.3 Tujuan Masalah….…………………………………………………… 1

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Apa Pengertian Estetika Melayu ……………………….................... 5


2.2 Apa Fungsi Estetika Melayu .……………………………………….. 6
2.3 Jelaskan Estetika Sebagai Teori Seni ………………………………. 7
2.4 Bagaimana Pandangan Estetika Dalam Dunia Melayu....................... 7
2.5 Jelaskan Muatan Konsep Estetika Dalam Dunia Melayu................... 12

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan …………………………………………………………. 14


3.2 Saran ………………………………………………………………… 14

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………. 15


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Estetika kebudayaan sebuah negara merupakan kesatuan masyarakat dalam bidang


bahasa, agama, ekonomi, kesenian, pelajaran yang berkaitan dengan kelakuan dan kegiatan
manusia. Secara keseluruhan, kebudayaan adalah penyatuan jumlah corak-corak perlakuan
manusia. Dalam bidang kesenian, suatu masyarakat memiliki corak-corak kesenian yang
khusus dan unik.
Kebudayaan dalam masyarakat melayu mempunyai berbagai macam kebudayaan
baik yang tradisional maupun yang modern, yang melambangkan kebudayaan melayu. Dalam
makalah ini penulis membahas tentang estetika melayu, yang tentunya kebudayaan-
kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat melayu itu sendiri, yang di dalam budaya-
budaya masyarakat melayu banyak terdapat nilai-nilai estetika yang sangat menarik.

1.2  Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Estetika Melayu ?


2. Apa Fungsi Estetika Melayu ?
3. Jelaskan Estetika Sebagai Teori Seni !
4. Bagaimana Pandangan Estetika Dalam Dunia Melayu ?
5. Jelaskan Muatan Konsep Estetika Dalam Dunia Melayu !

1.3  Tujuan Pembuatan Makalah


Sejalan dengan rumusan masalah, penelitian ini bertujuan diantaranya untuk
menyelesaikan masalah yang ada pada Rumusan Masalah : :
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Estetika Melayu


Menurut Dharsono (2007:3) estetika berasal dari bahasa Yunani “aisthetika” berarti
hal-hal yang dapat diserap oleh pancaindera. Oleh karena itu estetika sering diartikan sebagai
persepsi indera ( sense of perception). Estetika adalah salah satu cabang filsafat. Secara
sederhana, estetika adalah ilmu yang membahas keindahan, bagaimana ia bisa terbentuk, dan
bagaimana seseorang bisa merasakannya. Pembahasan lebih lanjut mengenai estetika adalah
sebuah filosofi yang mempelajari nilai-nilai sensoris, yang kadang dianggap sebagai
penilaian terhadap sentimen dan rasa. Estetika merupakan cabang yang sangat dekat dengan
filosofi seni. Menurut Dharsono, (2007: 3 ) estetika diartikan sebagai suatu cabang filsafat
yang memperhatikan atau berhubungan dengan gejala yang indah pada alam dan seni.
Sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia estetika adalah cabang filsafat
yang menelaah dan membahas tentang seni dan keindahan serta tanggapan manusia.
Sedangkan melayu adalah suatu suku bangsa di Sumatra, semenanjung Malaysia, dan di
pelbagai daerah Asia Tenggara. Jadi kesimpulannya estetika melayu adalah suatu ilmu yang
menelaah dan membahas tentang seni-seni dan keindahan yang bercorak melayu.
Estetika melayu berarti segala keindahan yang ada di dalam melayu menjawab
tuntutan dan tantangan telaah terhadap karya sastra Melayu sastra Melayu berfungsi sebagai
penawar dan penghibur, sekaligus dapat memahami dan menelusuri aspek nilai-nilai
keindahannya sebagai ikhtiar kepada pembaca. Dalam implementasinya menunjukkan bahwa
konsep estetika sangat penting dalam pemikiran sastra Melayu, sebuah karya sastra yang
berestetika Melayu datangnya dari pengalaman yang berorientasi suatu ajaran dan
menggunakan teks yang kuat serta kukuh dalam penceritaan. Semuanya, memperlihatkan
bahwa setiap peristiwa dalam karya sastra sebagai ucapan bermakna dan menekankan bahwa
aspek keindahannya
lahir dari warisan tetua-tetua dahulu. Estetika melayu meliputi, yang terdapat di dalam
masyarakat melayu, seperti salah satunya adalah puisi, syair, dan lain sebagainya.

Secara etimologis, istilah “estetika” berasal dari bahasa Latin “aestheticus” atau
bahasa Yunani “aestheticos” yang artinya merasa atau hal-hal yang dapat dicerap oleh panca
indera manusia. Ada juga yang menyebutkan bahwa arti estetika adalah suatu cabang ilmu
filsafat yang membahas tentang keindahan, dan biasanya terdapat di dalam seni dan alam
semesta.

Estetika merupakan bagian dari seni, seni berhubungan dengan keindahan,maka


estetika merupakan sebuah pengukuran keindahan akan sebuah seni. Dalamseni musik musik
klasik misalnya, kita sering melihat para pemain orkestramenggunakan kostum yang rapi dan
menggunakan jas lengkap. Hal inimerupakan estetikanya sebuah orkestra yang berasal dari
budaya Barat. Orang-orang “Barat” pada tahun 1600-an mengidentikkan musik dengan
sesuatu yang mewah yang disimbolkan dengan jas, sehingga yang kita ketahui musik mereka
seperti itu, inilah yang disebut estetika

Dharsono (2007: 9) mengatakan bahwa “ fakta estetika itu fata jiwa, suatukarya seni
bagaimanapun nyata tampak, namun bukan pada pengaamatan semula,itu hadir dalam
pengamatan dan penikmatan”. Hal ini berarti ukuran estetikabukan pada asumsi awal tetapi
merupakan proses interpretasi yang panjang dari penngalaman-pengalaman melihat dan
merasakan seni.Estetika merupakan pandangan umum yang kita ketahui bersama mencirikan
sesuatu. Estetikanya wanita tentu berambut panjang dan menggunakan rok, estetikanya
seorang pria tentu berambut pendek dan menggunakan celana panjang. Estetika berhubungan
dengan pengetahuan umum semua orang akan sesuatu. Selain memiliki kedudukan di benak
masyarakat secara umum, estetika cukup penting untuk dipelajari khususnya bagi insan seni.
Sebagai seorang insan akademis ada hal penting yang harus diketahui, diantaranya (i)
mengetahui sejauh mana parameter estetika itu dibangun dan dibentuk dan (ii) memahami
filosofi estetika dari berbagai sudut pandang. Kedua hal tersebut merupakan indikator dalam
memahami lingkup estetika secara khusus.

2.2 Fungsi Estetika Melayu


Estetika atau nilai-nilai keindahan dalam sastra Melayu berfungsi menunjukkan
sebagai tegangan untuk mempertahankan nilai yang lama sebagai inspirasi, motivasi, dan
menjadi cermin kekuatan karya sastra Melayu tradisi Melayu dalam mengungkap dan
menggambarkan zamannya. Sekaligus, perwujudan estetika atau nilai-nilai keindahan yang
dibangun menguak kesadaran berbilang bangsa atas keberadaan masyarakat dan bangsa di
alam Melayu. Kesadaran yang demikian merupakan pemahaman bahwa sebuah eksistensi
tidak dapat terwujud baik tanpa keberadaan orang, masyarakat ataupun bangsa lain. Suatu
masyarakat atau bangsa itu tahu bahwa ia tidak akan menjadi apa-apa kecuali bangsa lain
mengenalnya sebagai suatu identitas tertentu. Keberlangsungan perwujudan keberadaan,
kedirian, dan identitas adalah perekat bagi suatu masyarakat dengan bangsa dan bangsa
dengan bangsa lain.
2.3 Estetika Sebagai Teori Seni
Sebagai cabang filsafat, estetika secara luas sering diartikan sebagai filsafat keindahan
dan secara khusus sebagai filsafat seni. Sebagai teori seni, estetika membicarakan antara lain
apa tujuan 2 penciptaaan karya seni dan bagaimana karya seni dicipta sehingga dapat
memberikan kenikmatan estetik. Melalui kenikmatan estetik itulah seorang pengarang atau
penyair dapatmempengaruhi jiwa masyarakatnya, dan melaluinya pula ia dapat
menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan-perasaannya. Batasan ringkas tentang estetika
sebagai teori seni tidaklah bertentangan dengan pengertian estetika itu sendiri sebagai filsafat
seni. Kata estetika (aesthetics) diperkenalkan pertama kali oleh Baumgarten, seorang filosof
rasionalis Jerman abad ke-18 M, dalam bukunya Aesthetica (1750). Diambil dari kata-kata
Yunani aesthesis, yang artinya pengamatan indera atau ssesuatu yang merangsanmg indera,
estetika diartikan sebagai pengetahuan yang berkaitan dengan obyek-obyek yang dapat
diamati secara inderawi dan merangsang indera. Obyek-obyek yang dapat diamati secara
inderawi dan memberi pengetahuan khusus adalah karya seni. Di dalam perkataan aesthesis
juga tercakup pengertian berkaitan reaksiorganism tubuh dan jiwa manusia terhadap
rangsangan yang datang dari luar. 
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa estetika sangat berkaitan dengan
perasaan manusia, khususnya perasaan yang indah atau perasaan positif. Keindahan yang
dimaksud di sini bukan hanya sesuatu yang dapat dilihat bentuknya, tapi juga makna atau arti
yang terkandung di dalamnya.

2.4 Pandangan Estetika Dalam Dunia Melayu

Ibnu Sina dan Estetika Melayu


Estetika Melayu, terutama seperti tampak dalam sastranya, adalah turunan dari
estetika Islam yang dasar-dasarnya antara lain diletakkan oleh Ibn Sina dan Imam al-Ghazali.
Karena itu ada baiknya saya paparkan secara ringkas pandangan dua filosof Muslim awal itu
mengenai estetika, baik sebagai teori seni maupun sebagai filsafat keindahan.Ibnu Sina, dan
juga pendahulunya al-Farabi, adalah filosof Muslim awal yang secara tersurat membicarakan
pentingnya estetika dalam hubungannya dengan perkembangan seni dalam Islam. Walaupun
risalahnya tentang estetika yaitu Kitab al-Shi`r membicarakan estetika penulisan puisi atau
puitika, namun secara tersurat membicarakan pula konsepkonsep yang berkaitan dengan
penciptaan seni secara umum terutama seni rupa. Ini terbukti dengan besarnya pengaruh
pemikiran Ibnu Sina dalam perkembangan seni rupa Islam khususnya lukisan geometri dan
arabesque (seni hias tetumbuhan) yang merupakan bentuk seni rupa menonjol dalam Islam
selain kaligrafi (khat). Pembahasan Ibn Sina antara lain bertolak dari dua konsep kunci
mengenai penciptaan seni yang diperdebatkan oleh Plato dan Aristoteles di Yunani, yaitu
mimesis (tiruan) dan creation (ciptaan). Menurut Plato seni yang dicipta berdasarkan prinsip
mimesis atau tiruan dari kenyataan/alam bukan merupakan karya seni yang bagus. Seniman
yang melahirkan karya seni berdasarkan prinsip mimesis mengandalkan semata-mata pada
pengamatan inderawi. Seni atau sastra yang baik adalah turunan atau salinan kreatif
(creation) dari idea yang ada dalam pikiran seniman. Seni seperti lahir melalui aktivitas
kontemplasi dan meditasi. Aristoteles sebaliknya memandang sebaliknya. Seni yang baik
menurutnya dicipta berdasar prinsip mimesis. Walau seperti meniru kenyataan atau alam,
namun peniruan itu dilakukan seniman itu melalui proses intelektual tertentu. Dikotomi
mimesis dan creation sebagai asas penciptaan seni ini terus diperdebatkan hingga kini dalam
seni modern, namun dalam tradisi Islam sudah dipecahkan hingga tidak dipersoalkan lagi.
Yang berjasa memecahkan persoalan ini ialah al-Farabi dan Ibnu Sina.Bertolak dari sinthesa
pandangan Plato dan Aristoteles, seraya meneliti perkembangan seni Islam khususnya puisi
pada zamannya, Ibn Sina mengatakan bahwa seni/puisi adalah persembahan estetis
berdasarkan mimesis (mutabaqah) dengan menyertakan prinsip penciptaan secara kreatif
untuk suatu tujuan tertentu melebihi persembahan non-puitik. Dalam proses penciptaan,
seorang seniman tidak hanya mencipta dengan bersandar pada akal rasionalnya, tetapi juga
menggunakan apa yang disebut imaginasi (takhyil).
Seorang penyair, kata Ibnu Sina, mencipta untuk menjelmakan pengalaman estetik
(iltizat) ke dalam obyek visual/ gambar-gambar atau citra yang dicerap indera yang dengan
itu apa yang hendak dikemukakan dapat dihidupkan kembali dalam imaginasi
penikmatnya.Melalui citraan-citraan yang menggambarkan suatu perasaan atau pikiran itu,
seorang penyair terutama ingin memberikan kenikmatan estetis kepada penikmatnya seraya
menyampaikan pesan moral atau kerohanian tertentu. Menurut Ibn Sina, karya seni/puisi
pada hakekatnya bersifat imajinatif (mutakhayyil). Kata mutakhayyil, sebagaimana takhyil,
dibentuk berdasarkan akar kata kh y l, yang arti harfiahnya “membuat percaya”. Berdasar
pengertian yang diberikan kepada akar katanya itu, maka perkataan takhyil (imajinasi)
diberi arti “seperangkat tindakan yang dapat menyebabkan seseorang memberi tanggapan
langsung tanpa perlu berpikir lama terhadap sesuatu”, yaitu puisi atau karya seni. Sedangkan
kata mutakhayyil (imajinatif) diberi arti, “obyek pengetahuan yang dapat ditangkap secara
langsung tanpa berpikir lama, misalnya mengenai pikiran dan perasaan tertentu yang
diungkap atau diekspresikan dlalam sebuah puisi.” (Abdul Hadi W. M. 2004:251-2). 7Di lain
hal dalam Kitab Ihsa` al-`Ulum al-Farabimemberi artiarti terhadap kata takhyil sebaga
“proses kejiwaan yang menyebabkan seni menjadi imajinatif, evokatif, dan kreatif”. Kata
takhyil digunakan di sini untuk menggantikan kata mimesis sebagaimana digunakan Plato
ddan Aristoteles. Sebab, menurut al-Farabi, dalam kata-kata imajinatif dan imajinasi, sudah
terkandung pengertian yang merujuk kepada meniru, menyalin, atau menggubah berdasarkan
sesuatu yang dijadikan gubahan. Penyalinan menggunakan imajinasi yang dilakukan
penyair/seniman berbeda dari penyalinan yang dilakukan ilmuwan dalam melahirkan wacana
ilmiah. Yang terakhir ini mendasarkan diri pada obyektivitas dan penalaran rasional logis,
sedangkan imajinasi bersifat subyektif dan pribadi, dan tidak memerlukan pembktian rasional
obyektif atau logis untuk meyakinkan penikmat seni. Yang hendak disajikan penyair atau
sastrawan bukanlah kebenaran ilmiah, melainkan bentukbentuk pengalaman spiritual yang
disebut iltizat, yaitu yang lazim disebut pengalaman estetik.
Berdasar pandangan ini Ibn Sina mengatakan bahwa hubungan antara obyek-obyek
estetis dalam karya seni dan realitas/alam dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) tahsin,
artiharafiahnya stilisasi atau upaya membuat sesuatu lebih indah dan teratur, jadi kenyataan
sudah dirobah untuk tujuan estetis; (2) taqbih, arti harafiahnya deformasi; (3) mutabaqah,
yaitu pemberian keseimbangkan antara dimensi lahiriah dan rohaniah obyek/kenyataan.
Disini sesuatu tidak hanya ditonjolkan sosok lahiriyahnya melainkan disingkap juga keadaan
rohaniahnya. Dari sini lahir konsep tentang bentuk (surah) dan isi (ma`na). Prinsip ini
ditegaskan dalam bentuk puisi Melayu yang popular yaitu pantun, yang terdiri dari sampitan
dan isi.
Gagasan bahwa seni/puisi merupakan salinan dari pengalaman estetik melahirkan
pandangan bahwa tidak ada hubungan langsung antara kenyataan dalam karya seni/sastra dan
kenyataan dalam kehidupan sehari-hari. Penyair menulis puisi bukan untuk menyajikan
kenyataan sebagaimana adanya, tetapi kenyataan yang telah diresapi dengan perasaan, pikiran
atau gagasan yang ada dalam jiwanya. Dengan perkataan lain, kenyataan yang disajikan
dalam puisi adalah kenyataan yang telah dibentuk oleh pengalaman batin dan pandangan
hidupnya sendiri, serta diberi nilai secara pribadi oleh sang penyair. Wawasan estetika yang
diletakkan Ibn Sina dan al-Farabi, dilanjutkan oleh beberapa penulis sufi seperti Imam
alGhazali, Ibn `rabi, Jalaluddin Rumi, dan lain-lain. Menurut mereka, puisi atau karya seni
pada umumnya, bukanlah salinan langsung dari kenyataan melainkan salinan dari dari
kenyataan yang hidup dalam jiwa penyair/seniman. Puisi tidak lebih dari ibarat atau
perumpamaan tentang yang ada di dalam alam mithal atau jiwa manusia. Sebagai ibarat,
puisi/seni menyampaikan sesuatu melalui sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain disebut mithal
(simbol) dan yang diibaratkan disebut yang disimbolkan atau dimisalkan. Yang dimisalkan
inilah pesan atau isi suatu karya seni, yang dengan perkataan lain disebut ma`na. Sedangkan
perumpamaan/simbolnyadisebut surah. Berdasarkan pemikiran ini penulis-penulis sufi
kemudian mengembangkan teori representasi. Karya seni/sastra tidak lain adalah
representasi/penggambaran secara simbolik
dari gagasan dan pengalaman seorang seniman. Penggambaran itu sendiri dilakukan
melalui suatu perenungan yang mendalam, sehingga timbul pendirian bahwa karya seni
adalah hasil perenungan terhadap gagasan dan pengalaman batin yang ditransformasikan ke
dalam ungkapan estetik seni. Dengan munculnya pendirian ini maka teori bentuk dan teori
ekspressi yang dominan dalam seni modern, tidak memadai untuk menjelaskan wawasan
estetika yang berkembang di dunia Melayu. Khususnya sehubungan dengan penciptaan karya
sastra.8 Ada beberapa alasan bisa dikemukakan mengapa demikian. Salah satu di antaranya
pandangan hidup (way of life) Melayu tentang keindahan dan nilai-nilai keindahan.
Pandangan ini bersumber dari Islam yang memandang bahwa keindahan rohaniah lebih
penting dari keindahan lahiriah. Alasan lain ialah gambaran dunia (Weltanschauung) Melayu,
yang memandang bahwa alam semesta adalah bagaikan sebuah Kitab Agung yang di
dalamnya terhampar dan terbentang ayat-ayat-Nya atau tanda-tanda-Nya yang menakjubkan.
Wawasan estetika penulis Melayu sangat dipengaruhi oleh pandangan hidup dan gambaran
dunia ini. Alasan lain yang muncul kemudian ialah konvensi yang mengharuskan karangan
sastra, apa pun bentuk, jenis dan coraknya, mesti mengandung pengajaran atau
hikmah.Dengan begitu karangan yang baik tidak hanya indah bahasanya, melainkan harus
mengandung isi sehingga bermanfaat. Dalam sastra sufi, lebih jauh karangan sastra seperti
syair dikarang sebagai suluk atau jalan keruhanian. Sebagai jalan keruhanian, sebuah puisi
misalnya, dapat dijadikan kendaraan jiwa untuk naik dari alam jasmani menuju alam ruhani
dan ketuhanan.
Pandangan penulis Melayu tentang pentingnya keindahan ruhaniah dibanding
keindahan lahiriah, sangat dipengaruhi oleh pandangan Islam. Hadis Nabi misalnya
mengatakan bahwa keindahan ruhaniah (jamal) merupakan keindahan mutlak yang
mengandung hikmah, sedangkan keindahan lahiriah (husn) sifatnya memukau (sihr).
Pandangan itu lebih jauh dapat dirujuk pada Imam al-Ghazali, yang kitabnya Ihya
`Ulumuddin menjadi bacaan luas para ulama dan cendekiawan Melayu termasuk para
penulisnya. Dalam kitabnya itu Imam al-Ghazali mengatakan lebih kurang, “Ketahuilah
olehmu bahwa orang yang terkungkung oleh imajinasi dan pancaindra mungkin menganggap
keindahan dan kenikmatan ialah tidak lain dari keselarasan bentuk dan keindahan
warna….Memang, keindahan sering disangka manusia sebagai sesuatu yang menarik
pandangan dan paling sering manusia melihat kecantikan (rupa) manusia lain. Oleh karena itu
dia mungkin berpikir: mustahil membayangkan keindahan sesuatu yang tidak dilihat mata,
yang tidak terjangkau oleh imajinasi, yang tidak mempunyai rupa dan warna…”. Lebih jauh
Imam al-Ghazali mengatakan, bahwa , “ Keindahan tidak terbatas dalam rangka benda-benda
yang dilihat dan tidak pula merupakan sekadar keselarasan bentuk dan rupa yang penuh
harmoni.”. Selain keindahan yang dapat cerap oleh pancaindera dan terjangkau imajinasi,
ada keindahan yang hanya bisa dicerap oleh akal budi dan intuisi seperti akhlaq mulia,
pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu, kecerdasan, budi bahasa, keberanian, iman yang
teguh, kemurahan jati dan lain-lain.Keindahan ruhaniah seperti inilah yang terutama harus
ditekankan dalam sebuah karangan sastra, sehingga dengan demikian karya sastra
mengandung pengajaran yang bermanfaat. Pandangan seperti ini tentu saja tidak akan dapat
ditampung baik oleh teori bentuk siginifikan maupun oleh teori ekspresi. Mengenai alasan
yang kedua, sumber rujukannya bisa ditemui dalam al-Qur’an. Misalnya ayat yang
mengatakan bahwa “Ayatayat-Nya terbentang di alam semesta dan dalam diri manusia”.
Bahkan, menurut al-Qur’an, 
“Kapal-kapal yang berlayar di lautan dan tegak bagaikan gunung-gunung adalah juga
ayatayat-Nya, yaitu tanda-tanda keberadaan-Nya yang menakjubkan.”. Diipengaruhi oleh
gambaran al-Qur’an tentang alam atau dunia ini;ah penulis-penulis Melayu memandang
alam semesta sebagai sebuah kitab agung yang indah, sebuah karya sastra. Sang Pencipta
menjelmakan dunia dari Perbendaharaan pengetahuan-Nya yang tersembunyi (kanz
makhfiy). Ia, dunia, ditulis dengan Kalam Tuhan pada Lembaran yang sangat
terpelihara (lawhul mahfudz) (Braginsky 1993:1). Pribadi manusia, dengan wujud zahir
dan batinnya, juga merupakan sebuah kitab, sebuah karya sastra. Keseluruhan hikmah
alam semesta direkamkan ke dalam diri atau pribadi manusia setelah diringkas dan
dipadatkan. Hikmah-hikmah tersebut hadir sebagai ayat-ayat-Nya yang penuh rahasia dan
patut direnungkan oleh mereka yang berkeinginan mengenal hakekat dirinya dan Tuhannya,
sebagaimana dinyatakan oleh Imam al-Ghazali (Ihya' Ulumuddin dan Kimya-i Saadah)
Selaras dengan gambaran tersebut, karya sastra mestilah dibentuk menyerupai
pribadi manusia. Ungkapan zahir atau bentuk luar karya sastra, sebagaimana tubuh
manusia dan wujud alam, hendaknya memberi bayangan tentang kehadiran rahasia dan
keberadaan Tuhan. Gejala-gejala alam, peristiwa-peristiwa kemanusiaan dan sejarah,
keindahan yang tak tepermanai dan berbagai-bagai di alam syahadah merupakan
manifestasi cinta Tuhan dan pengetahuan-Nya yang tidak terhingga. Semua itu dihadirkan
agar dikenal dan dijadikan jalan kenaikan. Ini sesuai dengan prinsip metafisika atau
ontologi Sufi: 'yang banyak' merupakan manifestasi keindahan Yang Satu, yakni cinta
dan pengetahuan-Nya. 'Yang banyak' tidak terbebas dari pengetahuan Tuhan, sebab 'yang
banyak' diliputi oleh pengetahuan-Nya, dan tidak terbebas pula dari cinta-Nya, yakni al-
rahman dan al-rahim-Nya. Karena itu penulis-penulis Melayu selalu memulai karangannya
dengan ucapan Basmalah atau puji-pujian kepada Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Cara
meresapi dan memahami hakekat penciptaan ini ialah melalui peresapan kalbu, atau
melalui `ishq (cinta) dan pemahaman spiritual, yaitu ma`rifah. Perkatan-perkataan
berahi, rindu, mabuk, takjub, lena, leka, gharib, asyik, karib, tamasya dan lain-lain -- yang
sering kita jumpai dalam karya-karya penyair Melayu -- merujuk kepada keadaan-keadaan
rohani yang dialami seorang asyik dan ahli makrifat dalam perjalanannya menuju Yang
Satu.Apa yang dikemukakan tampak dalam sajak ”Berdiri Aku” Amir Hamzah.
Berdiri aku di senja senyap
Camar melayang menepis buih
Melayah bakau mengurai punca
Berjulang datang ubur terkembang
Angin pulang menyejuk bumi
Menepuk teluk mengempas emas
Lari ke gunung memuncak sunyi
Berayun alun di atas alas
Benang raja mencelup ujung
Naik marak mengorak corak
Elang leka sayap tergulung
Dimabuk warna berarak-arak
Dalam rupa maha sempurna
Rindu sendu mengharu kalbu
Ingin datang merasa sentosa
Mencecap hidup bertentu tuju
Dalam sajak ini penyair mula-mula menggambarkan gerak-gerak alam atau gejala
pergerakan alam dengan memberikan pembayang terhadap kehadiran rahasia Tuhan dan
keluarbiasaan keindahan-Nya. Camar yang menepis buih, bakau yang mengurai puncak,
ubur yang terkembang, warna keemasan air laut dan pelangi yang memabukkan elang
10sehingga burung ini leka (fana) -- semua itu memberi gambaran bahwa gejala-gejala
alam membayangkan keindahan Sang Pencipta. Ungkapan-ungkapan seperti 'mengurai
puncak', 'berjulang datang', 'mengempas emas', 'memuncak sunyi', 'sayap tergulung' dan lain-
lain mengisyaratkan bahwa keindahan yang berbagai-bagai di alam syahadah ini
sebenarnya merupakan tangga naik menuju Yang Hakiki. Keindahan Yang Satu, yang
tampak di alam syahadah dan hadir sebagai ayat-ayatNya, dapat membawa pembaca
merasa rindu, leka (fana'), takjub, gharib (asing), mabuk (sukr) dan hanyut dalam keindahan
dan kebesaran-Nya. Memang kerinduan para penulis Melayu adalah mencapai semacam
keadaan fana', leka, lampus atau hanyut dalam keindahan Yang Satu. Setelah fana ia
akan kudus dan baqa' (hidup kekal) dalam Yang Abadi: "Ingin datang merasa
sentosa/Mencecap hidup bertentu tuju". Ini bukan eskapisme dan bukan kefanaan yang
menimbulkan kepasifan buta, tetapi suatu pencerahan yang menimbulkan gairah ketuhanan.
Pada gilirannya gairah ketuhanan, yang disebut Rumi sebagai `isyq (cinta berahi),
menumbuhkan sikap moral dan pandangan kerohanian yang positif, di samping keteguhan
pribadi dan rasa percaya diri.

2.5 Muatan Konsep Estetika Dalam Dunia Melayu

Estetika melayu berarti segala keindahan yang ada di dalam kebudayaan melayu
Menjawab tuntutan dan tantangan telaah terhadap karya sastra Melayu sastra Melayu
berfungsi sebagai penawar dan penghibur, sekaligus dapat memahami dan menelusuri aspek
nilai-nilai keindahannya sebagai ikhtiar kepada pembaca.
Estetika atau nilai-nilai keindahan dalam sastra Melayu berfungsi menunjukkan ia
adalah sebagai tegangan untuk mempertahankan nilai yang lama sebagai inspirasi, motivasi,
dan menjadi cermin kekuatan karya sastra Melayu tradisi Melayu dalam mengungkap dan
menggambarkan zamannya.
Estetika atau nilai-nilai keindahan dalam sastra Melayu berfungsi menunjukkan sebagai
tegangan untuk mempertahankan nilai yang lama sebagai inspirasi, motivasi, dan menjadi
cermin kekuatan karya sastra Melayu tradisi Melayu dalam mengungkap dan
menggambarkan zamannya. Sekaligus, perwujudan estetika atau nilai-nilai keindahan yang
dibangun menguak kesadaran berbilang bangsa atas keberadaan masyarakat dan bangsa di
alam Melayu. Kesadaran yang demikian merupakan pemahaman bahwa sebuah eksistensi
tidak dapat terwujud baik tanpa keberadaan orang, masyarakat ataupun bangsa lain. Suatu
masyarakat atau bangsa itu tahu bahwa ia tidak akan menjadi apa-apa kecuali bangsa lain
mengenalnya sebagai suatu identitas tertentu. Keberlangsungan perwujudan keberadaan,
kedirian, dan identitas adalah perekat bagi suatu masyarakat dengan bangsa dan bangsa
dengan bangsa lain.
BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Estetika melayu berarti segala keindahan yang ada di dalam kebudayaan melayu
Menjawab tuntutan dan tantangan telaah terhadap karya sastra Melayu sastra Melayu
berfungsi sebagai penawar dan penghibur, sekaligus dapat memahami dan menelusuri aspek
nilai-nilai keindahannya sebagai ikhtiar kepada pembaca.
Estetika atau nilai-nilai keindahan dalam sastra Melayu berfungsi menunjukkan ia
adalah sebagai tegangan untuk mempertahankan nilai yang lama sebagai inspirasi, motivasi,
dan menjadi cermin kekuatan karya sastra Melayu tradisi Melayu dalam mengungkap dan
menggambarkan zamannya.

3.2  Saran
Hendaknya pembelajaran tentang drama dapat menambah pengetahuan siswa tentang
drama dan bisa menambah kegiatan ekstrakurikuler di bidang seni drama, agar siswa
mendapat bimbingan dan lebih dapat mengekspresikan bakatnya. Dan makalah ini dapat
bermanfaat bagi siswa, mahasiswa, masyarakat sebagai bahan pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA

Dharsono. 2007. Estetika. Bandung : Rekayasa Sains Bandung.


Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama.
http://melayuonline.com/ind/culture/dig/1703
http://www.usu.ac.id/id/files/pidato/wan.pdf

Anda mungkin juga menyukai