Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH ESTETIKA

Tentang: Estetika Aksiologis

OLEH:

Muhammad Ilham: 21020069


Nurcholis Tamlicho Ritonga:21020073

DOSEN PENGAMPU:
Ramalis Hakim, M.Pd Asra Ilal
Khairi, S.Pd, M.Pd

PENDIDIKAN SENI RUPA FAKULTAS


BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI
PADANG 2023
KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati, kita panjatkan puji dan syukur atas kehadirat
Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis bisa
menyelesaikan Makalah “Estetika Aksiologis”. Dan tentunya sebagai salah satu
cermin pemahaman kami terhadap apa yang telah kami presentasikan.

Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah Estetika oleh Bapak Ramalis Hakim, M.Pd dan Bapak Asra Ilal Khairi, S.Pd,
M.Pd pada program studi Pendidikan Seni Rupa. Makalah ini bertujuan untuk
menambah wawasan tentang Estetika Aksiologis bagi para pembaca dan juga bagi
penulis.

Penulis menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan-kekurangan dalam


penulisan makalah ini, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Padang, 12 April 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR.................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................1
1.1 Latar Belakang............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................3
2.1 Nilai Dalam Estetika...................................................................................4
2.2 Nilai Objektif Dalam Estetika....................................................................5
2.4 Nilai Subjektif Dalam Estetika...................................................................8
2.5 Perumusan Nilai Estetika ........................................................................
BAB III PENUTUP....................................................................................................10
3.1 Kesimpulan.................................................................................................10
3.2 Saran...........................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................11

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1: Ornamen Di Madrasah Ulugh Beg, Samarkand....................................6


Gambar 2.2 : Sudjana Kertn, Leisure Time...............................................................6
Gambar 2.3 : Krisna Murti, De-collection No 5........................................................7
Gambar 2.4 : Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro.......................................7
Gambar 2.5 : Golden Selection..................................................................................7
Gambar 2.6 : Golden Rectangle.................................................................................8
Gambar 2.7 : Krisna Murti, De-collection No 5........................................................7
Gambar 2.8 : Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro.......................................7
Gambar 2.9 : Contoh Kriya Kulit...............................................................................7
Gambar 2.10 : Contoh Kriya Batu.............................................................................8
Gambar 2.11: Ornamen Di Madrasah Ulugh Beg, Samarkand..................................6
Gambar 2.12 : Sudjana Kertn, Leisure Time.............................................................6
Gambar 2.13 : Krisna Murti, De-collection No 5......................................................7
Gambar 2.14 : Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro.....................................7
Gambar 2.15 : Golden Selection................................................................................7
Gambar 2.16 : Golden Rectangle...............................................................................8

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Secara etimologis, aksiologi berpunca berpangkal tekanan suara Yunani
Kuno, yaitu “aksios” yang berisi ideal dan cakap “logos” berisi ajaran. Jadi,
aksiologi, mengadakan cawang paham yang memerhatikan ideal. Dengan cakap lain,
aksiologi adalah ajaran ideal. Memperbincangkan aksiologi tetap meributkan dan
mengoperasi pasal ideal. Apa sebenarnya ideal itu? Bertens (2007) mengkritik ideal
seumpama perabot yang menyentuk kurang seseorang, perabot yang menyenangkan,
perabot yang dicari, perabot yang disukai dan diinginkan. Pendeknya, ideal adalah
perabot yang baik.
Estetika disebut juga tambah paham keindahan (philosophy of beauty), yang
berpunca berpangkal cakap Yunani yaitu aisthetika atau aisthesis. Kata termasuk
berisi surah-surah yang bisa dicerap tambah indera atau impresi indera. Estetika
seumpama potongan berpangkal aksiologi selalu mengomongkan permasalahan,
pertanyaan, dan berita angin-berita angin mengenai keindahan, sal lingkupnya, ideal,
pengalaman, tata susila ajaran seniman, seni, menimbrung peristiwa estetika dan seni
bagian dalam acara manusia (Wiramiharja, 2006).
Pembahasan hal yang berkaitan dengan refleksi kritis terhadap nilai-nilai
atas sesuatu yang disebut indah atau tidak indah, beberapa tokoh seperti Marcia
Eaton, Edmund Burke dan David, serta Imanuel Kant memiliki pandangan yang
berbeda-beda. Tentang estetika, Marcia Eaton menyatakan bahwa konsep tersebut
berkaitan dengan deskripsi dan evaluasi objek serta kejadian artistik dan estetika
(Wiramihardja, 2006). Edmund Burke dan David seperti yang dilansir
Wiramihardja (2006), memandang estetika sebagai suatu konsep yang berkaitan
dengan empirik atau sesuatu yang bersifat objektif. Pandangan kedua tokoh
tersebut didasarkan pada cara pengamatan respons psikologis dan fisik yang dapat
membedakan individu satu dengan lainnya untuk objek dan kejadian yang
berbeda. Sedangkan Imanuel Kant memiliki sudut pandang yang berbeda. Bahwa

1
estetika merupakan konsep yang bersifat subjektif meski manusia, pada taraf yang
paling mendasar dan secara universal, memiliki perasaan yang sama terhadap apa
yang membuat mereka nyaman dan senang ataupun menyakitkan dan tidak
nyaman.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah yang di uraikan diatas, maka dapat ditarik
rumusan masalahnya:
1. Apa yang dimaksud nilai dalam estetika?
2. Jelaskan nilai objektif dalam estetika?
3. Jelaskan nilai subjektif dalam estetika?
4. Bagaimana perumusan nilai estetika?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Menjelaskan tentang nilai dalam estetika
2. Mengetahui nilai objektif dalam estetika
3. Mengetahui nilai subjektif dalam estetika
4. Menguraikan perumusan nilai estetika

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Nilai Dalam Estetika


Aksiologi (pandangan hidup) semenjak berpunca logat Yunani, yaitu
berpunca celotehan axios yang bermakna pandangan hidup dan logos artinya akaid
atau kekhususan. Menurut leksikon logat Indonesia (KBBI), bahwa Aksiologi adalah
kemangkusan kekhususan opini bilang pekerjaan jiwa, tilikan peri pandangan hidup-
pandangan hidup khususnya etika. Sementara memeluk Mohammad Adib, Aksiologi
adalah cawang ajaran yang menggosipkan peri pembiasaan atau pandangan hidup
suatu pekerjaan, sehingga disebut juga serupa akaid pandangan hidup. Sebab ia bisa
bekerja corong pembiasaan jiwa bagian dalam andil melayani suatu pertanyaanyang
amat fundamental.
Dalam pengenalan aksiologi, tampak sangat eksplisit bahwa kesulitan ukuran
adalah kupasan bab nilai. Nilai yang dimaksud adalah zat yang dimiliki orang kepada
mengerjakan berbagai tanda mengenai apa yang dinilai. Nilai juga digunakan seperti
suara peranti abstrak, bagian dalam pengenalan yang lebih sempit serupa halnya baik,
mendudut dan bagus. Sedangkan bagian dalam pengenalan yang lebih sukatan
mencengap seperti komplemen segala komposisi kewajiban, evidensi dan kesucian.
Nilai menjadikan penanda yang digunakan untuk merebut pokok negatif atau
negatif dari zat. Nilai estetis upas dirumuskan seumpama penanda yang digunakan
subjek untuk memancang pokok mendudut (attractive) atau tidak mendudut
(unattractive) hadap suatu korban.Karena etik berkutub klise/negatif, tinggi/rendah,
atau banyak/sedikit, berwai suatu korban bisa bermanfaat klise atau negatif. Dengan
demikian, korban estetis bisa ditakar bermanfaat melepaskan atau tidak melepaskan.
Komparasi kisi-kisi esa korban estetis pakai korban estetis lain dimungkinkan. Layout
suatu majalah, misalnya, bisa dinilai melepaskan atau tidak melepaskan; layout itu juga
bisa dibandingkan pakai layout lainnya. Berdasarkan unit tersebut, pertandingan atau
sayembara seni bisa berlangsung

3
Senada tambah itu, Ferdinand de Saussure berasumsi bahwa suruhan atau
gawai menyimpan pandangan hidup jika bisa dipertukarkan kepada ayat lain yang
berbeda, atau dibandingkan tambah ayat lain yang serupa. Ini arah-arah tambah
seimbang cakap yang bisa dipertukarkan tambah imaji tertentu, atau dibandingkan
tambah cakap yang lain.

Dalam aksiologi, presensi pandangan hidup didiskusikan secara mendalam.


Risieri Frondizi misalnya, menuangkan bahwa pandangan hidup tidak kedapatan
kepada dirinya sendiri, ia berharap penyelenggara kepada berada. Oleh karena itu,
pandangan hidup bukan mewujudkan gawai atau faktor berasal gawai, menyendirikan
resam atau nilai yang dimiliki target tertentu. Karena bercorak nilai, pandangan hidup
mewujudkan kedapatan (being) yang bersemangat parasitis, yaitu tidak bisa raga tanpa
didukung oleh target yang riel.

Demikian pula, Max Scheler mengasa bahwa pandangan hidup mewujudkan


nilai yang tidak terserah depan pembawanya. Filsuf terjadinya 1874 di Munchen ini
memperlainkan rencana perihal pandangan hidup tambah pandangan hidup itu
sendiri. Benda berguna adalah kurir pandangan hidup, serupa gawai kurir warna.
Nilai, cakap Scheler, mewujudkan nilai yang bisa terhasil bagian dalam gawai, tetapi
tidak identik tambah gawai tersebut.

2.2 Nilai Objektif Dalam Estetika


Teori objektif, pada umunnya, berkuasa sejak abad ke-5 SM hingga kisaran
abad ke-18; setelahnya, teori subjektif mulai merebak dengan dorongan filsafat
Empirisme dan Romantikisme. Perubahan pandangan estetika ini dikenal dengan
istilah putaran subjektif (subjective turn). Pada teori estetika kontemporer, keindahan
cenderung dilihat sebagai interaksi dinamis antara objek dengan subjek.
Pendukung keindahan objektif melihat keindahan sebagai sifat yang melekat
pada objek, terlepas dari pengamat; spektator hanya menemukan atau menyingkap
sifat indah yang sudah ada pada suatu benda dan sama sekali tidak mampu
mempengaruhi atau mengubahnya. Dengan kata lain, menurut keindahan objektif,
keindahan terletak pada objek estetis. Dalam lukisan, contohnya, keindahan terletak
pada garis, warna, bentuk, tekstur, komposisi, proporsi, atnu hal-hal kebentukan
lainnya.

4
Keindahan objektif antara lain dijumpai pada pendapat Plato, Thomas
Aquinas, dan Muhammad Iqbal. Plato, dalam Republic, menyatakan bahwa
kecantikan sebuah bejana dibuat berdasarken aturan- aturan yang tepat. Thomas
Aquinas, pada Summa Teological, mengemukakan bahwa keindahan dihasilkan dari
proporsi, kecemerlangan, kejelasan, dan kesatuan; sedangkan kejelekan adalah
pengingkaran proporsi. Menurut Iqbal, keindahan merupakan kualitas benda yang
muncul dari ekspresi benda itu sendiri; untuk memperoleh keindahannya, benda tidak
berhutang pada jiwa penanggap, melainkan pada tenaga hidupnya sendiri. Gagasan-
gagasan tersebut berkesesuaian dengan pendapat Minke, tokoh imajinatif dalam novel
Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer; menurutnya, kecantikan terdapat pada
letak dan bentuk tulang yang tepat yang diikat oleh lapisan daging yang tepat juga,
kulit yang halus lembut, mata yang bersinar, dan bibir yang pandai berbisik.
Objektifisme, mengatakan bahwa nilai itu terletak pada objek itu sendiri, sama
sekali lepas atau tidak tergantung dari keinginan subjek atau kesukaan manusia. Nilai
itu sudah ada sebelum orang itu menilai. Jadi nilai itu adanya absolut. (Parmono,
1991:9). Salah seorang tokoh dari aliran ini adalah Plato, yang mengatakan bahwa
nilai merupakan dunia yang tetap dan ternyata, nilai berada di dalam dunia konsep,
dunia ide. Sedangkan Prof. E.C Spoulding mengatakan bahwa: nilai-nilai adalah
"subsistens" yang berexistensi dalam ruang dan waktu, karena subsisten nilai-nilai itu
bebas dari keinginan dan kesukaan manusia (Parmono, 1991:10).
Nilai estetis objektif akan melihat keindahan suatu karya seni rupa tersusun
dari komposisi baik, perpaduan warna yang pas, penempatan objek yang membentuk
kesatuan dan keseimbangan, dan lain-lain.
Keindahan adalah keserasian suatu obyek dengan tujuan yang dikandungnya,
sejauh objek tersebut tidak ditinjau dari segi fungsi. Pengalaman akan keindahan
semacam ini kebalikan dari keindahan subjektif tadi. Pada tahap ini, pengalaman
akan keindahan sudah dapat diantisipasi dan dirasakan oleh manusia bahkan sebelum
dia mengalami pengalaman tersebut. Misalnya pengalaman mendapatkan nilai ujian
yang baik, pengalaman mendapatkan undian berhadiah, dan seterusnya.

5
2.3 Nilai Subjektif Dalam Estetika
Keindahan subjektif menyatakan bahwa ciri-ciri keindahan pada suatu objek
sesungguhnya tidak ada; keindahan hanyalah tanggapan perasaan dalam diri subjek
yang mengamati objek tersebut; keindahan semata-mata tergantung pada percerapan
pengamat, dengan demikian bersifat relatif. Singkat kata, keindahan terdapat pada
pemahaman spektator. Sebuah film menjadi indah, contchnya, karena seseorang
mengalami perasaan keindahan ketika menonton film tersebut; jika ia tidak
mengalaminya maka film itu tidak akan dikatakan indah.
Keindahan subjektif, contohnya, disampaikan oleh John Locke, Jonathan
Edwards, Immanuel Kant, dan Benedetto Croce. Locke dan Edwards melihat
keindahan bukan sebagai kualitas objektif suatu benda tetapi kualitas yang diterima
dalam suatu penginderaan oleh seorang individu. Menurut Kant, keindahan tidak
bersifat objektif, tidak berada pada objek yang dialami, tetapi berwatak subjektif,
berada pada subjek yang mengalami. Dalam doktrin Croce, keindahan, sepenuhnya,
adalah ekspresi dari emosi penanggap.
Dengan berseloroh Voltaire dalam Philosophical Dictionary menggambarkan
keindahan subjektif, "Tanyakan pada katak tentang kecantikan yang sebenarnya. Dia
akan menjawab bahwa keindahan adalah mata bulat yang menonjol dari kepala,
kerongkongan lebar, dan tubuh hijau berbintik-bintik. Tanyakan juga pada seorang
Negro dari Guinea, bagi mereka mereka keindahan atau kecantikan adalah kulit hitam
berminyak, mata cekung, dan hidung datar. Lalu tanyakan pada hantu, dia akan
menjawab bahwa kecantikan adalah sepasang tanduk, empat cakar, dan ekor yang
tajam."
Subjektifisme, mengatakan bahwa nilai sama sekali tergantung atau
ditentukan oleh subjek. Edmund Burke mengatakan bahwa keindahan ditentukan oleh
selera. Suatu objek baru bernilai apabila diinginkan atau didambakan oleh subjek.
Subjeklah yang memasukkan nilai ke dalam objek, sehingga objek itu bernilai
(Parmono, 1991:10).

6
Nilai subjektif adalah nilai keindahan yang dimiliki suatu karya seni, yang
tidak hanya fokus pada unsur-unsur fisik yang diserap oleh mata secara visual, tetapi
juga ditentukan oleh selera penikmatnya atau orang yang melihatnya.
Keindahan adalah sesuatu yang tanpa direnungkan dan tanpa disangkut
pautkan dengan kegunaan praktis yang dapat mendatangkan rasa senang terhadap
subjek. Pengalaman akan keindahan semacam ini tidak pernah bisa diantisipasi atau
dipikirkan terlebih dahulu. Ia datang secara spontan dan tidak bergantung pada situasi
di luar yang turut mempengaruhi lahirnya pengalaman keindahan tersebut, misalnya
kita melihat suatu hal itu indah karena berguna bagi kita, dan seterusnya.

2.4 Perumusan Nilai Estetis


Berikut ini teri yang pernah diajukan Monroe Beardsley dan De Witt Henry
Parker; selain itu, golden section juga akan sedikit diulas.
1. Kesatuan, Keragaman dan Intensitas
Monroe Beardsley mengajukan tiga unsur yang menjadi sifat keindahan karya
seni, yaiutu: kesatuan (unity), keragaman (diversity), dan intensitas
(intensity).Pertaama, kesatuan adalah ikatan antara satu unsu bentuk dengan unsur
bentuk lainnya untuk menimbulkan harmoni. Kesatuan suatu karya seni tegantung
pada relasi unsur pembentukannya. Elemen atau unsur artistik tersebut dalam seni
rupa disebut elemen visual yang terdiri dari garis, warna, bidang, bentuk, maupun
tekstur. Elemen tersebut dapat disusun dalam komposisi-komposisi tertentu,
misalnya, objek yang ditempatkan secara menggerombl atau objek yang ditempatkan
secara terpisah. Mungkin juga elemen tersebut disatukan secara repetitive
sebagaimana pada ornament, seperti pengulangan pola pada Madrasah Ulugh Beg,
Samarkand. Dapat pula semua unsurnya dibangun untuk tujuan tunggal yang
memiliki efek pertalian kuat, misalnya plot cerita yang sebagian besar unsurnya
ditujukan untuk menutup cerita.

7
Gambar 2.1: Ornamen Di Madrasah Ulugh Beg, Samarkand
Sumber: https://www.istockphoto.com/id/foto/mosaik-di-ulugh-beg-
madrasah-di-samarkand- uzbekistan-gm640352932-115960467

Kedua, intesitas adalah penekeanan efek estetis atau artistic pada suatu objek.
Intesitas karya seni dapat terjadi pada tataran bentuk maupun ekspresi.
Intensitas pada bentuk merupakan penekanan pada bentuk tertentu di anatara
seluruh bentuk yang ada dalam suatu kmpisis. Penekanan seperti ini menimbulkan
pusat perhatian (center of interest). Pusat perhatian, dalam seni rupa, dapat dibentuk
dengan cara: membuat sesuatu yang berbeda, seperti warna dingin atau bentuk
lingkaran diantara segitiga; kontras antara warna gelap dengan warna terang; bentuk
yang jelas diantara bentuk yang kabur; puncak suatu ritme; maupun penempatan
posisi di tengah.
Intensitas ekspresi merupakan penekanan emosi yang inign ditampilkan karya
seni, seperti kesdiaan atau kelucuan. Suatu karya seni dapat, menimbulkan keriangan,
kesuraman atau kekerasan dalam tingkatan yang berbeda; intensitas keriangan,
contohnya, tampak pada lukisan Sudjana Kertn, Leisure Time. Ini adalah dimensi
kualitataif yang ditawarkan karya seni. Apabila kualitas seperti itu tampak dalam
derajat intensitas yang berbeda – tinggi, tengah, atau rendah maka kualitas
pengalaman estetis terhadapa karya seni akan dialami dalam intensitas yang berbeda
pula.

8
Gambar 2.2 : Sudjana Kertn, Leisure Time
Sumber: https://artsandculture.google.com/asset/kgFb3TdgKcYN9Q?hl=th

Ketiga, kepelbagaian adalah kelainan elemen yang terselip bagian dalam


produk seni. Keragaman dan deretan menemukan ayat yang saling terkait. Jika
produk seni menjabat kegandrungan pakai berbagai komponen yang berbeda,
kesatusnnya raih akan berkurang; sebaliknya, jika teras atau elemennya diulang,
perbedaannya semakin berkurang. Misalnya, keselarasan muka atlas hitam putih
suntuk lebih mudah dicapai jika dibandingkan pakai atlas bercelup ini karena atlas
bercelup lebih berbagai ragam ketimbang atlas hitam puth. Digital print produk
Krisna Murti, De-collection No 5, misalnya, menyinggir simpangsiuran teras, yaitu
melumerkan gatra gatra tradisional pakai modern (kemungkaran esa seni
postmodern).

9
Gambar 2.3: Krisna Murti, De-collection
No 5 Sumber: Buku Estetika Jalinan Subjek,
Objek dan Nilai

2. Enam Asas Bentuk Estetis


De Witt Henry Parker merumuskan enam asas bentuk estetis (a logic of
aesthetic form), yaitu: asas kesatuan organis (the principle of organic unity), asas
tema (the principle of theme), asas variasi tematik (the principle of thematic
variation), asas keseimbangan (the principle of balance), asas perkembangan (the
principle of evolution), dan asas tata jenjang (the principle of hierarchy).
Pertama, ketentuan kelompok organis mengadakan kelompok berpangkal
berbagai elemen; jika dibandingkan pakai sinopsis Beardsley berisi menangkap
kelompok dan kesurupan sekaligus. Penyatuan berbagai elemen, bagian dalam seni
rupa, sirat-sirat lain bisa dilakukan pakai lembaga tubian elemen optis yang serupa,
serupa pelaksanaan desain yang serupa diantara warn yang berbeda.
Kedua, ketentuan primer tercantol pakai dasar berwenang bagian dalam rakitan
seni. Tiap elemen berorientasi atau menggendong primer induk. Display mall
menyoroti lebran, misalnya, elemen seruan yang didisplay akan berorientasi ke primer
lebaran, serupa figur ketupat atau masjid.
10
Ketiga, asas variasi tematik merupakan variasi atau kembangan tema di
samping tema dominan tadi. Tentu saja, varian tema tidak bersaing dengan tema
pokok, tetapi mendukungnya atau paling tidak dapat digunakan sebagai "tempat
istirahat" bagi spektator. Dalam pertunjukan tradisional ketoprak, misalnya, kendati
tema pokoknya adalah peperangan antar kerajaan yang sangat panas, di tengah cerita
disisipi dagelan yang menyegarkan. Ini menjadi "tempat istirahat" bagi penonton agar
tidak terlalu tegang.
Keempat, asas keseimbangan merupakan distribusi tiap unsur secara tepat
pada suatu komposisi. Keseimbangan dalam karya seni, sebagaimana dalam
kehidupan sosial, tidak selalu berarti sama rata sama rasa bahwa semua unsur harus
menebar sama persis calam seluruh bidang; jika hal itu terjadi justru akan
mengakibatkan kekakuan.
Dalam nirmana atau desain elementer diajarkan, keseimbangan tidak selalu
berupa keseimbangan simetri (symmetrical balance) yang mensyaratkan bidang kiri
terisi sama dengan bidang karan; atau keseimbangan memanear (radial balance) yang
membuat sama persis bagian kiri, kanan, atas, dan bawah, layaknya sebaal ruda
berjari-jari; tetapi juga dapat berupa keseimbangan sederajat (obvious balance), yaitu
keseimbangan komposisi antara ruang sebelah kiri dengan sebelah kanan tanpa
mempedulikan bentuk pada masing-masirng ruang, misalnya, ruang kanan berisi
lingkaran sedangkan ruang kiri berisi segiempat; bahkan keseimbangan juga dapat
berupa keseimbangan tersembunyi (axial balance), yaitu keseimbangan antara ruang
satu dengan ruang lainnya yang tidak diperoleh dengan ukuran bentuk yang sama,
biasanya berupa ruang padat dimbangi dengan ruang kosong, Umumnya,
keseimbangan sederajat dan keseimbangan tersembunyi digolongkan sebagai
keseimbangan asimetri (asymmetrical balance).
Kelima, asas perkembangan dimaksudkan sebagai keutuhan suatu proses
ketika bagian yang lebih awal menentukan bagian-bagian berikutnya dan secara
bersama-sama menciptakan arti keseluruhan. Alur dalam novel atau drama adalah
contoh yang tepat.

11
Keenam, asas tata jenjang adalah pembedaan peran antara tiap unsur, unsur
satu dibuat lebih penting ketimbang unsur lain. Dalam sinetron, contohnya, terdapat
peran utama, peran pembantu, maupun figuran; dalam lukisan, misalnya, terdapat
objek pokok, objek pendukung, dan latar belakang. Jika semua unsur dibuat sama
persis, suatu karya seni akan terasa datar.

Keenam kanon di ujung bisa dilihat calam skema Penangkapan Pangeran


Diponegoro, rakitan Raden Saleh perian 1857. Asas parade organis dibentuk tambah
kebiasaan mengarahkan berbagai bentuk, serupa manusia, bangunan, pohon, dan
sebagainya, dan juga berbagai normal sketsa dan kecil, tetapi itu semua diikat tambah
pola monokromatik yang relatif serupa dekat tiap bidang. Untuk kanon jantung,
jantung standar skema itu adalah penangkapan Pangeran Diponegoro. Asas kelainan
tematik gabak dekat sejumlah fragmen di bagian luar penangkapan, misalnya,
seseorang yang jarak menjangka landasan kaki yang terdapat di aspek selatan bawah;
jantung ini meninggikan dramatis dan individual semangat penangkapan itu, dan
pencitraan jantung ini tidak melayani jantung standar karena dibuat tambah tonalitas
pola yang teredam dan tidak dikomposisikan dekat simpulan ajaran. Asas
kesetimbangan ada tambah kesetimbangan tersembunyi, yang cukup diam-diam
dibuat, yaitu tambah mengimbuhkan negara atau auditorium zero seumpama
penyelaras Diponegoro seumpama korban standar. Asas peredaran gabak dekat tatanan
musik warga-warga yang terfokus dekat panutan Diponegoro; bagian dalam skema ini
bahkan Pandangan penonton juga diberi auditorium kesorangan tambah kebiasaan
melucutkan warga-warga yang bisa merintangi bagian Diponegoro berpunca ajaran
spektator, tiba seakan-akan terdapat media berlibur tegahan agar spektator bisa maju
menerima Diponegoro yang jarak dikhianati Belanda. Asas sistem bagian gabak dekat
jasa yang luar biasa kepada dimainkan tiap unsurnya: Dipenegoro menggamat jasa
standar; Letnan Jendral Hendrik Merkus de Kock, Panglima Militer Belanda, yang
datang di permulaan Diponegoro, berperan jasa antagonis; bahan lain berperan figuran.
Asas sistem bagian juga gabak dekat Diponegoro yang dibuat tambah divergensi yang
eksplisit bertara tambah pongsu yang dibuat kabur.
12
Gambar 2.4 : Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro, karya Raden
Saleh tahun 1857 Sumber:
https://www.goodnewsfromindonesia.id/2022/09/12/apakah-lukisan-raden-
saleh-
berharga-10-juta-dolar-seperti-di-film

3. Golden Section
Golden section adalah perbandingan (ratio) dalam sebuah garis dengan rumus:
a ditambah b dibagi a sebanding dengan a dibagi b (gb. 2.5). Jumlah pembagian
tersebut adalah phi atau 1.618. Jika diteruskan angkanya adalah
1.6180359887498948482…, dan ini belumlah selesai.
Formula itu dikenal sejak Yunani Kuno dalam dalil Euclides? Golden section
dalam bahasa Latin disebut sectio aurea. Nama lainnya adalah golden ratio, golden
mean, divire proportion, divine section, golden proportion, golden cut, extreme and
mean ratio, golden number; perbandingan keemasan, perbandingan agung, atau
proporsi agung.
Perbandingan garis tersebut muncul dalam persegi panjang keemasan (golden
rectangle) (gb. 2.6). Cara membuatnya adalah sebagai berikut: pertama, membuat
persegi (a-b-c-d); kedua, membagi sisi bawah persegi (a-b) pada bagian tengah (g);
ketiga, menarik garis g-c lalu memindahkannya menjadi garis g-e (g-c dan g-e sama
panjang); keempat, membentuk persegi panjang keemasan (a-e-f-d). Pada persegi

13
panjang itu, garis a-b dibagi garis b-e akan menghasilkan angka phi. Dengan
demikian, garis a-b-e adalah golden section.

Gambar 2.5 : Golden selection Gambar 2.6 : Golden


rectangle Sumber: Buku Estetika Jalinan Subjek,
Objek dan Nilai

Golden section banyak dijumpai di alam. Contohnya adalah proporsi daun


(gb. 2.7), proporsi kupu-kupu (gb. 2.8)

Gambar 2.7 : Golden selection pada daun Gambar 2.8 : Golden selection pada
kupu-kupu Sumber: Buku Estetika Jalinan Subjek, Objek dan
Nilai

Golden ratio juga banyak dimanfaatkan untuk penciptaan karya seni.


Contohnya adalah gedung Parthenon di Akropolis Athena (gb. 2.9), lukisan The
School of Athens karya seniman Renaissance Raphael (2.10) Taj Mahal di India
(2.11), dan bahkan pada desain sepeda (2.12).

14
Gambar 2.9: Golden section pada Parthenon
Sumber: https://www.keeindonesia.com/blogs/keelesson/komposisi-
golden-ratio-part-1

Gambar 2.10: Golden section pada lukisan The


School of Athens Sumber: Buku Estetika Jalinan
Subjek, Objek dan Nilai

15
Gambar 2.11: Golden section pada Taj
Mahal Sumber:
https://www.flickr.com/photos/jgury/1059617584
5

Gambar 2.12: Golden section pada Taj


Mahal Sumber: Buku Estetika Jalinan Subjek,
Objek dan Nilai

4. Deret Fibonacci
Golden section dikembangkan oleh Leonardo Pisano yang lebih dikenal dengan
Fibonacci. Rumusannya disebut Deret Fibonacci. Pria kelahiran Pisa Italia 1175 itu
membuat deret angka yang jika angka yang ada di depan dibagi dengan angka yang
16
ada di belakangnya akan menghasilkan angka phi 1.618. Deret angka tersebut adalah
1, 1, 2, 3, 5, 8, 13, 21, 34, 55, 89, 144, 233, 377, 610, dan seterusnya.

Semakin besar pembagian dua angka yang berdekatan akan semakin mendekati angka
phi. Berikut ini perhitungannya: 2 / 1 = 2.0; 3 / 2 = 1.5;5/ 3 = 1.67;8 / 5 = 1.6; 13 / 8 =
1.625; 21 / 13 = 1.615; 34 / 21 = 1.619; 55 / 34 = 1.618;89 / 55 =
1.618.
Rumus itu terinspirasi dari perkembangbiakan kelinci. Awalnya terdapat satu
pasangan kelinci. Kemudian pasangan itu melahirkan sebuah pasangan generasi
kedua. Lalu pasangan kedua melahirkan dua pasangan. Dari kedua pasangan terakhir
ini memberikan tiga pasang, selanjutnya berkembang menjadi lima pasang, dan
seterusnya.
Deret Fibonacci banyak terjadi di alam. Misalnya tampak pada pola yang ada
di tengah bunga dandelion. Jika pola itu dilihat searah jarum jam akan berjumlah 13,
sedangkan pola yang berlawan dengan arah jarum jam berjumlah 21 (gb. 2.13).
Model yang sama juga dapat ditemui pada bunga matahari atau kulit nanas.

17
Gambar 2.13: Deret Fibonacci pada Bunga
Dandelion Sumber: Buku Estetika Jalinan

Subjek, Objek dan Nilai

Deret Fibonacci melandasi komposisi musik Reflets dans L’eau gubahani


Claude Debussy. Intervainya mengikuti pola 34, 21, 13, dan 8. Klimaksnya ada di
posisi phi.

18
Deret Fibonacci dapat dikembangkan menjadi golden spiral (gb. 2.14). Spiral
ini dibuat dengan mendampingkan persegi pertama clan persegi kedua yang
berukuran sama, misalnya, persegi pertama 1 x 1 cm dan persegi kedua juga 1 x 1 cm.
Lalu keduanya ditambah dengan persegi ketiga dengan sisi 2 x 2 cm, dilanjutkan
dengan persegi keempat dengan sisi 3 x 3 cm, diteruskan persegi kelima dengan sisi 5
x 5 cm, diimbuhkan persegi keenam dengan sisi 8 x & cm, dan diteruskan
sebagaimana rumus deret Fibonacci. Kemudian, sudut persegi-persegi tadi digunakan
sebagai patokan pembuatan spiral keemasan.

Gambar 2.14: Golden Spiral


Sumber: https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Fibonacci_spiral.svg

Pola golden spiral terdapat pada kerang nautilus (gb. 2.15), lidah buaya (gb. 2.16),
dan galaksi (gb. 10.17).

Gambar 2.15: Golden Spiral pada Kerang Nautilus


Sumber: https://www.istockphoto.com/id/foto/nautilus-shell-fibonacci-simetri-
penampang-spiral- struktur-pertumbuhan-rasio-emas-

19
gm669044168-122249175

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Nilai estetis merupakan parameter yang digunakan untuk mengukur
kemenarikan atau ketidakmenarikan objek estetis. Karena nilai bersifat komparatif,
maka objek estetis satu dapat dibandingkan dengan objek estetis lain.
Nilai estetis bersifat subjektif dan objektif sekaligus. Pada diri subjek, nilai
estetis berupa emosi estetis, yaitu perasaan senang atau tertarik pada komposisi
bentuk suatu objek. Pada objek, nilai estetis mewujud pada properti estetis, yaitu
komposisi bentuk.
Monroe Beardsley dan De Witt Henry Parker mengajukan rumusan nilai
estetis. Menurut Beardsley, tiga unsur yang menjadi sifat keindahan karya seni adalah
kesatuan, keragaman, dan intensitas. Sementara itu, Parker merumuskan enam asas
bentuk estetis. Perhitungan golden section maupun Deret Fibonacci juga merupakan
upaya perumusan nilai estetis. Golden section adalah perbandingan untuk
memperoleh angka phi, 1.618.

3.2 Saran
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat
kesalahan dan kekurangan dalam hasil makalah yang telah dibuat. Dan masih terdapat
kekurangan dalam materi serta sumber rujukan pada makalah. Sehingga kami sangat
mengharapkan kritik dan juga saran yang membangun demi kesempurnaan makalah
dimasa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca,
terutama bagi pemakalah sendiri

20
DAFTAR PUSTAKA

Ani Rachman. 2022. Kompas.com : Seni Ukir: Pengertian, Jenis Motif, dan
Fungsinya.

Taufiqullah. 2021. TN Blogs : Sejarah Kriya di Indonesia.

Ruslan. 2019. PENGEMBANGAN BAHAN AJAR SENI KRIYA TEKNIK UKIR


UNTUK SISWA KELAS XI SMKN 3 GOWA. Makassar.

Faozan Tri Nugroho. 2022. Macam-Macam Teknik Pembuatan Seni Kriya


Sumber: https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Fibonacci_spiral.svg
.
Sumber: https://www.istockphoto.com/id/foto/nautilus-shell-fibonacci-simetri-
penampang-spiral- struktur-pertumbuhan-rasio-emas-
gm669044168-122249175

21
22
23
24

Anda mungkin juga menyukai