Anda di halaman 1dari 1

Beri Aku Nasihat �

Publikasi 03/10/2002 08:47 WIB

eramuslim - Pagi ini aku menerima sebuah pesan dalam telepon genggamku dari seorang
sahabat, �Saudaraku, beri nasihat untukku hari ini �� Aku sempat tertegun
membacanya, sambil menghela nafas kata-kata itu seperti menembus relung terdalam
bathinku yang sedang berteriak keras, bahwa sejujurnya disaat ini akulah yang
seharusnya lebih banyak mengirimkan pesan semacam itu kepada semua sahabat,
saudaraku dimana saja.

Sungguh aneh rasanya jika ada orang yang enggan menerima nasihat, dan lebih aneh
lagi jika ternyata ada orang yang gemar berkata-kata tanpa banyak menggunakan
telinganya untuk mendengarkan orang lain. Dilihat dari struktur indera yang kita
miliki, seharusnya setiap manusia sadar bahwa keberadaan dua telinga yang
ditempatkan Allah di kanan dan kiri manusia agar dapat menangkap setiap pesan dan
masukan lebih banyak. Bukan sebaliknya, menutup telinga rapat-rapat sementara
membuka mulut dengan lebar sambil mengeluarkan banyak kata. Fitrah dan kodratnya
demikian.

Allah ciptakan mulut dengan dua katup bibir yang bisa bergerak menutup dan membuka
agar manusia bisa mengerti kapan waktunya diam dan kapan waktunya bicara. Dua bibir
itu pula yang seharusnya mengontrol gerak lidah yang letaknya didalam rongga mulut.
Sudah jelas, jika bibir tidak terbuka maka lidah pun tidak akan bergerak sehingga
tak ada kata-kata yang keluar. Sedangkan Dia ciptakan sepasang telinga dengan
cuping yang lebar tanpa kemampuan bergerak menutup dan selamanya terbuka. Tentu
saja, karena Allah menginginkan kita terus menerus memasang telinga ini untuk
mendengar, filterisasinya hanya ada di otak manusia yang menyeleksi apakah setiap
pesan yang masuk akan diteruskan ke hati, mata da indera lainnya atau tidak.

Paul Madaule, Direktur The Listening Centre di Toronto dalam bukunya Earobics,
mengatakan bahwa otak bekerja lebih cepat daripada lidah, dimana otak menerima
masukan lebih banyak dari mendengar dan melihat (dua telinga dan dua mata). Ini
menyadarkan kita, bahwa kecil kemungkinan orang belajar dari kata-katanya sendiri.
Lagi pula biasanya lidah akan bekerja jika otak sudah menerima input dari indera
yang lain. Tentu saja, jika ada orang yang berbicara tanpa bekal masukan dari otak
(sebelumnya dari telinga dan mata), kita fahami bahwa apa yang keluar darinya tidak
lebih dari sekedar bualan belaka, nyaris tanpa makna.

Di halaman lain buku tersebut, Paul malah menegaskan bahwa dengan mengefektifkan
pendengaran, seseorang bisa mendapatkan energi baru, arah dan fokus untuk
membantunya menemukan motivasi kuat dalam langkah-langkah selanjutnya. Sekali lagi
kita mendapatkan pelajaran, bahwa jika mau disadari pada saat kita berbicara yang
kita harapkan adalah orang lain memusatkan perhatiannya sehingga menemukan energi
baru dari kata-kata yang kita keluarkan. Lalu kenapa tidak kita yang melakukan
proses mendengar itu?

Oleh karenanya, kepada sahabat yang pagi ini mengirimkan SMS untuk meminta nasihat
kepadaku, terus terang aku meminta, berlakulah adil kepada saudaramu ini. Bahwa
sebenarnya saat ini aku yang jauh lebih memerlukan masukan, agar aku mendapatkan
suntikan energi, arah dan motivasi yang lebih segar. Bukankah demikian perintah
yang berbunyi dalam Surah Al Ashr, bahwa orang beriman hendaknya saling menasihati.
Artinya, jika anda sudah sering mendapatkan nasihat dari saudara anda selama ini,
adillah kepadanya dengan memberikan nasihat kepadanya. Tentu saja, ini bukan
sekedar latihan bahwa kelak di akhirat mulut ini akan terkunci. Wallahu a�lam
bishshowaab (Bayu Gautama)

Anda mungkin juga menyukai