Anda di halaman 1dari 3

Alon-Alon Waton Kelakon

“Nih lihat mbah, biar kurus kerempeng begini, dalem


bisa angkat karung gabah besar ini ..” anak kecil itu
menunjukkan ‘telur’ di dua lengannya seraya
menunjukkan gaya binaragawan. Jelas tidak ada yang menonjol
dari kedua lengannya yang kecil itu, hanya garis-garis
belulang di tubuh telanjangnya yang justru membuat mbah
putri terkekeh-kekeh. Dan …

Satu, dua, ti … Ups, anak itu terjungkal bersama


karung yang coba diangkatnya. Mbah putri tambah keras
tertawanya melihat ulah sang cucu yang masih duduk di
bangku kelas 5 sekolah dasar. Jelas, tangan kecilnya tak
mampu merengkuh lingkar karung yang besar dan tingginya
melebihi tinggi badannya. Biasanya hanya orang-orang dewasa
yang sanggup memanggul karung-karung gabah itu yang diambil
dari tempat penggilingan padi di desa.

Anak itupun nampak sedih, ia begitu murung karena merasa


gagal menunjukkan kepada mbah-nya bahwa sebagai anak
laki-laki ia patut dibanggakan dan bisa diandalkan membantu
keluarga. “wis to lik … ra sah sedih
…” si mbah pun tak kehabisan akal, di
turunkannya karung gabah dan diambil sebagian kecil untuk
dimasukkan dalam sebuah karung yang berukuran kecil agar
bisa dipanggul oleh cucunya. Sambil membantu mengangkat
karung itu sampai ke pundak sang cucu, bibirnya berkata
lembut, “alon-alon waton kelakon yo liik
…”

Sungguh, kata-kata itu masih terngiang-ngiang ditelinga


saya sampai saat ini. Itu tujuh belas tahun yang lalu
sehabis musim panen di desa Bejalen, Ambarawa. Mbah putri
yang sudah sepuh dan ringkih kini masih menetap disana,
jelas ia tidak lagi memanggul karung gabah. Sementara saya
yang jauh berada di Kota sayup-sayup terkadang masih sering
mendengar suara-suara lembut mbah yang sarat makna, baik
tutur katanya maupun tembang-tembang pengantar tidurnya.
Dalem kangen mbah …

Alon-alon waton kelakon, prinsip yang konon senantiasa


dipakai oleh orang-orang Jawa dalam menyelesaikan semua
pekerjaannya, sebenarnya tidak identik dengan kelambanan
dalam bergerak. Tentu makna sesungguhnya adalah seperti
nilai-nilai yang tertuang dalam kandungan ayat Al
Qur’an, bahwa kita tidak mesti terburu-buru dalam
mengerjakan sesuatu. Bahwa ada hal-hal yang mesti
disegerakan penyelesaiannya, bukan berarti harus dilakukan
dengan tergesa-gesa (isti’jal) karena hal itu jelas
akan melawan gerak alam ini sendiri yang semuanya terjadi
secara bertahap. Allah Sang Maha Kuasa, dengan segenap
kemampuannya yang Maha Dahsyat sebenarnya dalam sekejap
bisa menciptakan alam semesta, tapi kenapa Dia harus
melakukannya dalam enam tahap. Inilah pelajaran yang Allah
berikan kepada semua makhluk bahwa segala sesuatu harus
berproses.
Seperti contoh mengangkat karung gabah yang diluar
kemampuan, jika dipaksakan hanya akan membuat badan sakit
sehingga dikemudian hari malah sama sekali tidak bisa
melakukan apa-apa. Alon-alon waton kelakon juga bukan
seperti kura-kura yang harus berjalan lambat, jika memang
mampu berbuat lebih cepat dari biasanya, kenapa tidak
dilakukan sehingga bisa lebih banyak pekerjaan diselesaikan
dari waktu yang tersedia.

Kalau kita melihat ada orang-orang yang berhasil dan sukses


dan coba mempelajarinya. Mestinya kita semakin tahu bahwa
tidak ada orang yang sukses atau kaya tanpa proses panjang
yang terkadang melelahkan yang harus ditempuhnya. Jika
memang ada yang tanpa melewatinya tanpa proses panjang,
bisa kemungkinan didapatnya dengan cara yang tidak wajar.
Alon-alon waton kelakon bisa merupakan sebuah strategi
untuk mencapai kesuksesan, meski masih harus ditambah
strategi dan bekal lainnya. Bahwa setiap orang harus
menapaki satu demi satu tangga kesuksesan dengan memulainya
dari anak tangga terbawah, itu sebuah keharusan. Karena
jika ada yang mencoba memaksakan diri untuk looping ke anak
tangga kedua atau ketiga dengan maksud lebih cepat meraih
sukses, bisa-bisa tergelincir dan tersungkur yang didapat,
dan justru harus lebih lama lagi sukses diraih karena harus
recovery terlebih dulu. Pertanyaan sederhana, buat apa ada
anak tangga pertama jika semua orang mampu melakukan
lompatan ke anak tangga berikutnya?

Kalaupun ada orang yang telah meraih sukses, tentu bukan


karena ia punya waktu lebih banyak dari kita. Semua manusia
memiliki waktu yang sama 24 jam sehari, 60 detik permenit.
Bedanya hanya bagaimana cara orang memanfaatkan waktunya
dengan baik, benar dan tepat. Bukan pula karena ia punya
kemampuan untuk melakukan lompatan ke anak tangga kedua,
karena bisa dipastikan sebelum seseorang merasa mampu untuk
melompat ke anak tangga kedua, ia telah terlebih dulu
menjajal anak tangga pertama. Jika kemudian ia rasakan
begitu mudah dan bisa menjangkau anak tangga kedua, itulah
yang ia lakukan.

Faidzaa faroghta fanshob, dan apabila kamu telah selesai


(dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh
(urusan) yang lain. (QS. Alam Nasyrah:7), bisa juga
diartikan sebuah perintah untuk mengerjakan suatu pekerjaan
(urusan) satu persatu, tidak sekaligus. Saya masih ingat
satu lagi pesan mbah putri, bahwa manusia tidak akan pernah
bisa berdiri di dua urusan, harus ada yang menjadi
prioritas. Karena jika dipaksakan merangkul keduanya,
alternatifnya cuma tiga, keduanya selesai tapi
setengah-setengah, salah satu gagal dan (atau) dua-duanya
gagal. Wallahu a’lam, mungkin harus ada yang perlu
membuktikannya.

Alon-alon waton kelakon, tambah mbah, juga mengandung makna


tuma’ninah. Tenang dan tidak grusa-grusu dalam
mengerjakannya. Sesuatu yang dilakukan dengan tenang insya
Allah akan membuahkan hasil yang lebih rapih. Ketenangan
salah satunya cuma didapat dari mengingat Allah
(dzikrullah), mungkin disinilah makna ketenangan dari
prinsip orang Jawa itu dalam bekerja. Bahwa dalam kesibukan
bekerja, berpacu dengan waktu yang berlari cepat, tetap ada
waktu-waktu kita berhenti untuk menghadap-Nya dan
menyerahkan segala urusan hanya kepada Allah. Itulah
mungkin makna yang diberikan dari ayat selanjutnya pada
Surat yang sama, wa ilaa robbika farghob, dan hanya kepada
Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.

Duh, rasanya koq saya rindu untuk kembali melihat wajah


teduh mbah, hingar bingar kota terkadang membuat kita
terlecut untuk berlari cepat dan takut tertinggal. Tetapi
disisi lain justru saya meninggalkan orang-orang yang
secara tidak langsung sudah membantu meraih sukses. Izinkan
dalem kembali mbah, diri ini rindu ketenangan yang dulu
… (Bayu Gautama)

Anda mungkin juga menyukai