Anda di halaman 1dari 33

sastra100km

PERIODE TAHUN 30 ANGKATAN PUJANGGA BARU

sastraseratuskilometer sastraseratuskilometer

8 tahun yang lalu

Iklan

A. MAJALAH PUJANGGA BARU

Nama Pujangga Baru memiliki dua pengertian yang satu dengan yang lain erat hubungannya. Dua
pengertian itu adalah: (1) Pujangga Baru sebagai nama majalah, dan (2) sebagai nama angkatan dalam
Sastra Indonesia.

Pujangga Baru sebagai nama majalah mengalami dua periode penerbitan, yaitu Pujangga Baru sebelum
(Juli 1933-Maret 1942) dan sebelum perang (Maret 1948-Maret 1953). Dua periode penerbitan majalah
itu masing-masing memiliki kedudukan yang berbeda dalam perkembangan sastra Indonesia. Majalah
Pujangga Baru sebelum perang tidak penting lagi artinya sebagai pembawa kehidupan sastra, walaupun
tenaga perawatnya bertambah.

Majalah Pujangga Baru sebelum perang bersifat homogen, artinya pembawa semangat dari satu cita-
cita, sedangkan sebelum perang bersifat heterogen, artinya kecuali pembawa semangat Angkatan
Pujangga Baru, juga pembawa suara sebelumnya.

Majalah Pujangga Baru terbitan pertama (Juli 1933) dipimpin oleh Armijn Pane dan Sutan Takdir
Alisjahbana. Pada terbitan nomor-nomor berikutnya Sutan Takdir Alisjahbana selalu duduk dalam
pimpinan, sedangkan beberapa pengarang yang pernah duduk sebagai sekretaris redaksinya yang
penting adalah Armijn Pane, WJS Purwadarminta, dan HB Jassin. Pengarang Angkatan 45 yang
ditambahkan pada staf redaksi majalah Pujangga Baru sebelum perang, antara lain Achdiat
Kartamihardja dan Idrus.

Majalah Pujangga Baru, terutama periode sebelum perang adalah pembawa suara dan dari Angkatan
Pujangga Baru. Cita-cita, dan pikiran-pikiran berkembang pada angkatan itu sebagian besar konsep pada
majalah Pujangga Baru. Untuk mendapatkan gambaran perkembangan majalah itu dan masalah pokok
yang menjadi perhatian Angkatan Pujangga Baru dapat dilihat dari perubahan subtitel majalah tersebut.

Tahun pertama : Majalah kesusastraan dan bahasa sastra kebudayaan umum.

Tahun kedua : Majalah bulanan kesusastraan dan bahasa serta seni dan kebudayaan.

Tahun ketiga : Pembawa semangat baru dalam kesusastraan, seni budaya, dan tentang masyarakat
umum.
Tahun keempat dan selanjutnya : Pembimbing semangat baru yang dinamis untuk membentuk
kebudayaan baru, kebudayaan persatuan Indonesia.

Dari perkembangan perubahan sub judul itu jelas bahwa sifat dan perhatian majalah itu sebagai
pembawa suara Angkatan Pujangga Baru semakin luas dan tegas. Subtitel pada majalah periode
sebelum perang cukup singkat, yaitu majalah kebudayaan; karena memang majalah itu tidak lagi
berperan sebagai pembawa suatu angkatan.

B. KARAKTERISASI ANGKATAN PUJANGGA BARU

Di dalam Angkatan Pujangga Baru berkumpul sekelompok pengarang yang memiliki berbagai
keanekaragaman. Berlainan halnya dengan Angkatan Balai Pustaka, yang sebagian besar pengarangnya
berasal dari satu lingkungan daerah dan dari satu lingkungan keyakinan hidup.

Walaupun para pengarang Pujangga Baru memiliki suatu keanekaragaman, mereka merupakan satu
angkatan karena mereka terikat oleh satu cita-cita yang sama yang hendak mereka perjuangkan. Mereka
semua bercita-cita ingin membentuk budaya baru, budaya persatuan kebangsaan Indonesia.
Keanekaragaman yang terdapat pada Angkatan Pujangga Baru itu, misalnya tampak pada:

1. Daerah asalnya: Bali (I Gusti Nyoman Panji Tisna), Madiun (Sutomo Jauhar Arifin), Sangihe (Marius
Ramis Dayoh), Minahasa (JE Tatengkeng), Tapanuli (Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, dan
sebagainya), Padang (Rustam Effendi), Bangka (Hamidah), Aceh (M. Ali Hasyim), Langkat (Amir Hamzah),
dan Maluku (Paulus Supit).

2. Kepercayaan agamanya: Nasrani (JE Tatengkeng), Hindu Bali (I Gusti Nyoman Panji Tisna), Islam (Amir
Hamzah, Sutan Takdir Alisjahbana, dan sebagian besar pengarang Pujangga Baru yang lain).

Hal tersebut besar pengaruhnya bagi perkembangan karya sastra pada angkatan itu, terutama bagi
perkembangan kosakata dan perluasan unsur-unsur penceritaan.

Pujangga Baru sebagai jumlah sejumlah pengarang yang kesemuannya berusaha untuk mencoba bidang-
bidang kebudayaan Indonesia. Karena sastra tempat menyuarakan cita-cita mereka itu bernama
Pujangga Baru yang terbit pertama kali kali pada bulan Juli 1933 maka Ankatan Pujangga Baru lazim
disebut juga Ankatan 33 atau Angkatan 30.

Berdasarkan karya seni pikiran mereka, karakterisasi Angkatan Pujangga Baru kiranya dapat dituturkan
sebagai berikut:

1. Tema pokok cerita pada umumnya bukan lagi berkisar pada kawin paksa atau masalah adat yang di
daerah-daerah, melainkan masalah kehidupan kota atau kehidupan masyarakat modern, misalnya
masalah perubahan (Manusia Baru – Sanusi Pane); masalah kedudukan wanita (Layar Terkembang –
Sutan Takdir Alisjahbana); masalah kedudukan suami istri dalam hidup berumah tangga (Belenggu –
Armijn Pane); dan sebagainya.
2. Sudah jelas menceritakan kebangsaan atau tidak nasionalitas, baik karangan yang berbentuk prosa
maupun yang berbentuk puisi. Puisi-puisi Asmara Hadi jelas sekali mengandung unsur nasionalitas itu
sehingga ia sering dijuluki penyair api nasionalisme.

3. Memiliki kebebsan dalam menentukan bentuk pengucapan sesuai dengan pribadinya. Angkatan
Pujangga Baru melepaskan diri dari bentuk-bentuk tradisi lama dan juga merasa tidak ditentukan oleh
syarat-syarat yang ditentukan oleh pihak penguasa. Kebebsan ini menumbuhkannya keanekaragaman
pada karya sastra. Jika karya sastra sebagian besar berupa novel, sastra Pujangga Baru meliputi bentuk-
bentuk: novel, cerpen, esai, kritik, dan puisi dengan bermacam-macam bentuk.

4. Bahasa sastra Pujangga Baru adalah bahasa Indonesia yang hidup dalam masyarakat; yang dalam
beberapa hal menyimpang dari bahasa yang dipakai dalam sastra resmi Balai Pustaka. Hal ini tampak
misalnya pada:

a. Tambahnya kosa kata yang berasal dari berbagai bahasa daerah di Indonesia dan juga berasal dari
bahasa asing;

B. Tumbuhnya dan kombinasi kata-kata baru, misalnya mendatang, semakin besar, sambur limbur,
sinau-kilau, dan sebagainya;

C. Timbulnya susunan kalimat dan pembentukan-pembentukan kata akibat pengaruh bahasa asing,
misalnya mengejar cita-cita, mengambil bagian, memiliki gambaran, dan lain-lain;

D. Tumbuhnya ungkapan-ungkapan baru.

5. Baik prosa maupun puisinya besar mengandung suasana romantis, bahkan sering dikatakan romantis
idealistik. Ciri romantik itu sepintas lalu saja tampak pada:

a. Nama-nama buku karangan mereka, misalnya Puspa Mega, Madah Kelana, Buah Rindu, Rindu
Dendam, Tebaran Mega, Nyanyian Sunyi, dan sebagainya.

B. Banyaknya karangan yang mengambil bahan dari sejarah, misalnya Ken Arok dan Ken Dedes, Kerta
Jaya, Sandhyakalaning Majapahit, Gajah Mada, dan sebagainya.

C. Lukisan sesuatu dengan bahasa yang indah-indah, yang sering terasa lebih berlebih-lebihan.

6. Adanya unsur pengaruh dari sastra lain, terutama dari Angkatan 80 (de Tachtigers Baweging) di negeri
Belanda. Di dalam usaha untuk mencari bentuk nama yang baru, para pengarang Pujangga Baru
berkenalan dengan Angkatan 80; yang keduanya mersakan semangat hidup yang sama, yaitu sama-sama
sastra sebelumnya yang dilihat sudah terjadi kebetulan pula pada masa itu bangsa Indonesia ada di
bawah kekuasaan pemerintah Belanda.

Demikian garis besar sifat-sifat khas sastra Pujangga Baru. Dibandingkan dengan sastra Balai Pustaka
memang masih ada beberapa persamaan, terutama dalam hal tendens cerita dan unsur didaktis yang
terdapat di dalamnya. Sastra Pujangga Baru belum terlepas dari masalah tendens, lebih-lebih karangan
Sutan Takdir Alisjahbana.
C. ANGKATAN 80 DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUJANGGA BARU

1. Angkatan 80 dan Tokoh-Tokohnya

Pada tahun 1880 di negeri Belanda tampil beberapa orang pengarang yang berusaha untuk mengadakan
kontak di bidang kebudayaan. Sesuai dengan tahun munculnya, gerakan itu disebut Gerakan 80 (de
Tachtigers Baweging). Tokoh dari gerakan itu adalah Willem Kloos, Yacques Perk, Frederik van Eeden,
Albert Verwey, Herman Gorter, dan Lodewyk van Deyssel. terbitan majalah bernama De Nieuwe Gids
artinya Pandu Baru, yang terbit pada tahun 1885. Nama itu sebagai dengan majalah yang sudah terbit
sebelumnya yang bernama De Gids (Pandu) pada Tahun 1840 yang diusahakan oleh Potgieter, Busken
Huet, dan Vosmaer. De Gids dapat dilihat sebagai jembatan antara sastra pendeta dengan sastra
Angkatan 80. Angkatan 80 bertentangan dengan sastra pendeta yang dipandang sebagai sastra yang
bersifat lamban.

Tokoh-tokoh Angkatan 80 mencari ilham bagi karangan-karangannya dari negeri-negeri sekitarnya,


seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Pujangga Baru. Puisi Angkatan 80 banyak menerima pengaruh
dari aliran romantik di negeri Inggris yang berkembang pada permulaan abad ke-19, sedangkan
prosanya menerima pengaruh naturalisme di negeri Prancis. Akan tetapi, di dalam Angkatan 80 aliran
romantik lebih kuat berkembang dan itu pula yang banyak mempengaruhi corak sastra Pujangga Baru.

Dalam perkembangannya kemudian muncullah semacam perpecahan dalam tubuh angkatan itu, yaitu
antara golongan WillemKloos dengan golongan Albert Verwey. Golongan Albert Verwey tidak
menyetujui Willem Kloos yang terlalu individualistis dan terpisah dari masyarakat. Perasaan romantis
Willem Kloos berupa cinta pada keindahan yang lebih-lebihan. Willem Kloos berkata bahwa seni harus
berupa penggunaan yang paling individual tentang emosi yang paling individu (de aller individueelste
espressie van de aller – individueelste emotie). Seni bagi Willem Kloos bersifat sangat subjektif,
individual dan asosial. Yang harus dikedepankan dalam seni adalah keindahan semata-mata. Lodewyk
van Deyssel sebagai kelompok Willem Kloos bersemboyan bahwa seni adalah kegairahan (kunst is
passie). Bagi mereka menjadi tujuan menciptakan seni. Seni tidak lagi memedulikan ukuran-ukuran
kesusilaan, tidak lagi untuk memberikan pendidikan, tetapi semata-mata demi keindahan. Seni untuk
seni (I'art port I'art).

Golongan Albert Verwey tidak setuju dengan paham Willem Kloos yang terlalu individualistis itu, yang
memuja-muja keindahan, tetapi lepas dari kehidupan masyarakat. Seni harus sesuai dengan tujuan
hidup yang tidak memisahkan diri dari masyarakat. Frederik van Eeden mengatakan bahwa seorang
penyair yang tidak berbicara kepada orang banyak, dia bukan apa-apa.

Golongan atau kelompok itu akhirnya terpecah-pecah pula. Masing-masing dengan dasar dan tujuan
sendiri. Willem Kloos tetap meuja keindahan secara berlebihan-lebihan, sifatnya terlalu individualistis.
Lodewyk van Deyssel semula memuja perasaan, kemudian semakin bersifat naturalistis. Frederik van
Eeden berusaha mencari kebenaran terutama dari dasar keagamaan, sedangkan Albert Verwey dari
Filsafat. Herman Gorter akhirnya menjadi seorang komunis bersama-sama dengan seorang pengarang
wanita terkenal yang bernama Henriette Roland Holst.

2. Perbedaan dan Persamaan antara Pujangga Baru dengan Angkatan 80

Di atas sudah dikemukakan, bahwa ada dua alasan pokok yang menyebabkan Pujangga Baru mendapat
pengaruh dari Angkatan 80, yaitu: (a) adanya semangat hidup yang sama, dan (b) kebetulan bangsa kita
pada masa itu di bawah kekuasaan pemerintah Belanda.

Adanya pengaruh dari sastra asing bukan suatu kelemahan, tetapi untuk menunjukkan adanya suatu
kehidupan yang dinamis, yang menuju pada perkembangan dan kemajuan. Menerima pengaruh bukan
berarti menerima dan menerima begitu saja sesuatu yang tidak baru, melainkan mengolah dan
menempa unsur baru itu sesuai dengan pribadi sendiri. Antara kedua angkatan itu tetap tampak adanya
perbedaan dan persamaan.

Perbedaan Pujangga Baru dengan Angkatan 80 adalah sebagai berikut:

A. Pada umumnya Angkatan 80 mengutamakan unsur estetis yang murni, sedangkan pujangga Baru
umumnya lebih mengutamakan unsur tujuan sosial yang jelas. Hal ini disebabkan oleh pengarang-
pengarang Angkatan 80 lebih dari tugas-tugas seni, sedangkan Pujangga Baru lebih merupakan tugas-
tugas kemasyarakatan.

B. sebagian besar pengarang Pujangga Baru menolak sifat individualisme yang dianut oleh beberapa
pengarang Angkatan 80 yang tidak memiliki gaya kemasyarakatan sama sekali, dan juga membuang ciri-
ciri naturalisme pada angkatan yang tidak memiliki tujuan yang nyata. Hal ini disebabkan oleh
pengarang-pengarang Pujangga Baru menyadari bahwa mereka menjadi anggota masyarakat dan ingin
merombak masyarakat bangsanya dari masyarakat yang lama dengan kesusastraannya yang statis
menjadi masyarakat yang dinamis dengan kesusastraannya yang dinamis pula.

Akan tetapi, akhirnya perbedaan kedua angkatan tersebut menjadi nerkurang juga apabila kemudian
ternyata bahwa cita-cita masuk juga pada Angkatan 80 (Frederik van Eeden, Herman Gorter, dan
sebagainya); dan sebaliknya sebagai seni masuk juga pada Pujangga Baru (Sanusi Pane) walaupun
berbeda dengan seni untuk seninya Willem Kloos.

Adapun persamaan antara kedua angkatan itu adalah sebagai berikut:

a. Selanjutnya sastra sebelumnya yang sudah ada yang bernilai dan yang penuh konvensi-konvensi.
Pujangga Baru sastra Melayu klasik yang dirasa statis dan beku; sedangkan Angkatan 80 sastra domine
(pendeta) yang dirasa sangat lamban.

B. Di dalam mencari menemukan pencarian yang baru, keduanya dari contoh luar negeri. Pujangga Baru
mendapat pengaruh dari Angkatan 80, sdangkan Angkatan 80 mendapat pengaruh pula dari Inggris
(terutama pada puisinya) dan dari Prancis (terutama pada prosanya).
Penyair Pujangga Baru yang banyak terpengaruh oleh Willem Kloos, misalnya JE Tatengkeng yang
pernah menulis puisi yang khusus ditujukan untuk lagu pujangga baru Angkatan 80 tersebut. Sanusi
Pane mengatur perubahan dalam sikap pendirian tentang seni untuk seni, walaupun mengontrol dan
mengontrolnya berlainan. Sutan Takdir Alisjahbana sejajar dengan Lodewyk van Deyssel terutama dalam
hal tulisan-tulisannya yang penuh dinamika dan berapi-api.

D. PUJANGGA BARU SEBAGAI ALIRAN KEBUDAYAAN

Seperti yang kita ketahui, bahwa pengarang-pengarang Pujangga Baru merupakan satu kesatuan dan
mendukung mereka bekerja sama karena mereka mendukung cita-cita yang sama, yaitu cita-cita hendak
membangun budaya baru dan dinamis, budaya persatuan bangsa Indonesia . Akan tetapi, tentang rupa
(wujud) kebudayaan baru itu dan bagaimana cara membangunnya antara yang berbeda dengan yang
lain. Cita-cita mereka sama, tapi bagaimana cara mewujudkan cita-cita itu mereka berbeda-beda.
Perbedaan itu tampak jelas dari sikap dan pendirian dari tiga tokoh Pujangga Baru, yaitu Sutan Takdir
Alisjahbana, Sanusi Pane, dan Armijn Pane. Secara ringkas berikut ini adalah sikap pendirian mereka.

1. Kebudayaan Pembentukan Baru menurut Sutan Takdir Alisjahbana (STA)

Sebelum menjelaskan bagaimana mewujudkan kebudayaan Indonesia yang baru, STA terlebih dahulu
mengemukakan bahwa sejarah Indonesia baru dimulai dalam abad ke-20, ketika suatu generasi yang
benar-benar memiliki perasaan dan semangat keindonesiaan. Sebelum itu adalah zaman pra-Indonesia,
zaman jahiliyah keindonesiaan. Zaman Indonesia bukan sambungan atau terusan yang biasa dari zaman
pra-Indonesia yang hanay mengenal sejarah Mataram, sejarah Aceh, sejarah Banjarmasin, dan lain-lain.

Kebudayaan Indonesia juga bukan sambungan dari Kebudayaan Jawa, Kebudayaan Sunda, dan lain-lain.
Kebudayaan Indonesia bersifat statis sehingga tidak dapat berperan dalam pembangunan kebudayaan
Indonesia yang baru.

Akan tetapi, hal itu bukan berarti bahwa dalam kebudayaan Indonesia yang sedang tumbuh tidak
terdapat unsur pra-Indonesia. Tidak pasti ada, hanya mendapat arti lain. Masyarakat dan Kebudayaan
Indonesia yang akan kita tuju harus bersifat dinamis karena masyarakat yang dinamislah yang dapat
maju. Bangsa Barat dapat maju karena memiliki sifat dinamis dengan unsur-unsur kebudayaan yang
terdiri dari: individualisme, meterialisme, dan intelektualisme.

Jika ingin maju, bangsa Indonesia harus memiliki unsur budaya itu, dan kita tidak perlu takut akan ekses-
ekses negatif yang mungkin timbul karena unsur-unsur itu, misalnya timbul egoisme, kapitalisme, dan
liberalisme karena perkembangan Indonesia belum sejauh itu. Jadi, untuk membentuk kebudayaan
Indonesia yang baru, kita harus mengambil unsur-unsur kebudayaan barat, karena unsur-unsur itulah
yang membuat bangsa menjadi maju dan dinamis.

Kiranya perlu juga ditambahkan bagaimana pendapat STA tentang perkembangan kebudayaan
Indonesia. Pendapat itu jelas pada bicara Wisuda Pengukuhan Anggota-Anggota Akademi Jakarta pada
tanggal 24 Agustus 1970 yang berjudul Perkembangan Seni Indonesia dalam Masyarakat Kebudayaan
yang Sedang Tumbuh. Dalam bicaranya itu, STA menilai kebudayaan bangsa kita merupakan suatu
kebudayaan yang dikuasai oleh nilai-nilai seni dan agama. Karena agama dan seni ekspresi mempunyai
kedudukan yang penting, kebudayaan seperti itu disebut kebudayaan ekspresif. Kebudayaan ekspresif
lebih banyak berdasarkan perasaan, intuisi, fantasi, dan tradisi sehingga ilmu dan ekonomi yang lebih
banyak berdasarkan akal dan perhitungan-perhitungan tidak mengalami perkembangan yang maju.
Kebudayaan ekspresif menjadi bersifat lamban dan tradisional.

Sebaliknya, kebudayaan modern yang berkembang pesat dewasa ini terutama yang dikuasai oleh nilai-
nilai ilmu dan ekonomi. Kebudayaan ekspresif membawa masyarakat suatu bangsa menjadi kaya akan
nilai-nilai di bidang rohani, tetapi terbelakang di bidang teknik kemajuan dan kemakmuran materi.
Demikian juga sebaliknya yang terjadi. Bangsa kita maju di bidang teknik dan ekonomi sehingga menjadi
suatu keharusan adanya persentuhan antara kebudayaan progresif dengan kebudayaan ekspresif yang
hakikatnya mengalami krisis.

Dengan demikian, budaya kita sekaligus mengalami dua krisis, yaitu dari tradisi ke dunia modern dan
krisis dari dunia modern ke dunia baru yang sedang tumbuh merupakan perpaduan antara budaya maju
dengan budaya ekspresif.

Dalam keadaan terombang-ambing antara dua krisis itu, ada kemungkinan kita mengembangkan budaya
ekspresi sekaligus pada perpaduannya dengan kebudayaan modern yang progresif yang penuh dengan
dinamika.

Dengan pendapat tersebut, STA benar-benar menyadari pentingnya pentingnya nilai-nilai rohani dalam
pembangunan budaya yang akan datang.

2. Pembentukan Kebudayaan Baru menurut Sanusi Pane

Pertama-tama, Sanusi Pane tidak dapat menyetujui pendapat STA yang mengatakan bahwa zaman
Indonesia tidak boleh dianggap sebagai sambungan atau terusan zaman pra-Indonesia. Sanusi Pane
berpendapat bahwasejarah itu seperti suatu mata rantai ketika-ketika, yang timbulnya dari yang di
belakang. Zaman Indonesia sudah ada sejak dahulu.

Kemudian tentang pembentukan kebudayaan baru, Sanusi Pane berpendapat bahwa dalam kebudayaan
Indonesia baru yang akan dibentuk itu harus dipertemukan dengan unsur-unsur kebudayaan Timur.
Unsur-unsur kebudayaan Timur oleh Sanusi Pane dilambangkan dengan Arjuna, seorang tokoh di dalam
perwayangan yang mempersembahkan dirinya untuk mendapatkan keluhuran budi. Unsur-unsur
kebudayaan timur itu berupa: (a) kolektivisme (yang mengutamakan kehidupan bersama); (b)
spiritualisme (yang mengutamakan kerohanian); (c) perasaan.

Kebudayaan Barat oleh Sanusi Pane dilambangkan dengan Faust, seorang tokoh mitologi dalam sastra
Barat (karangan Goethe); yang mengorbankan dirinya asal menguasai materi.

Kebudayaan baru yang kita bentuk itu harus merupakan perpaduan antara Faust dan Arjuna, harus
memesrakan individualisme, materialisme, dan intelektualisme dengan kolektivisme, spiritualisme, dan
perasaan atau merupakan perpaduan antara unsur-unsur kebudayaan Barat dengan kebudayaan Timur.
3. Kebudayaan Pembentukan Baru menurut Armijn Pane

Armijn Pane berpendirian bahwa sifat dinamis itu bukan monopoli bangsa Barat saja. Setiap bangsa
pada suatu ketika mengalami sifat dinamis itu; seperti halnya bangsa kita di masa kejayaan Kerajaan
Majapahit.

televisi itu, setiap bangsa memiliki garis pertumbuhan masing-masing dan memiliki unsur-unsur budaya
sendiri yang belum tentu dapat diambil oleh bangsa lain. Kita hanya dapat mengambil budaya bangsa
lain yang sesuai dengan garis pertumbuhan budaya sendiri, baik dari Barat, dari Timur, maupun dari
mana saja.

Menurut Armijn Pane, dalam membangun kebudayaan Indonesia yang baru kita harus bebas dari unsur-
unsur kebudayaan mana saja, asal sesuai dengan garis pertumbuhan kebudayaan itu sendiri.

E. ASAS SENI PADA PUJANGGA BARU

Masalah yang dipersoalkan adalah tentang seni bertendens dan seni untuk seni. Ada pengarang
Pujangga Baru yang condong pada asas seni bertendens dan adapula yang sebaliknya.

Asas seni bertendens maksudnya mencipta seni dengan suatu tujuan tertentu. Keindahan cipta seni itu
menjadi alat untuk mencapai tujuan tersebut. Asas seni untuk memandang tujuan pokok terciptanya
seni keindahan. Keindahan menjadi tujuan, bukan alat. Apakah seni tersebut dipahami oleh masyarakat,
berguna atau tidak bagi masyarakat, tidak menjadi soal. Seni bersifat otonom, ukuran di luar seni tidak
dapat digunakan untuk menilai suatu karya seni. Kehidupan seni terpisah dari kehidupan masyarakat.

Bagaimana cara seni yang baik dan tepat bagi pembentukan kebudayaan Indonesia yang baru, para
pengarang Pujangga Baru berbeda-beda pendapat.

1. Asas Seni Sutan Takdir Alisjahbana

Sutan Takdir Alisjahbana sama sekali tidak menolak untuk seni karena menyadari bahwa seni dapat
menghasilkan karya seni yang bernilai. Akan tetapi, karena bangsa Indonesia sedang dalam masa
perjuangan untuk membentuk kebudayaan yang baru maka setiap seniman sebagai anggota masyarakat
harus ikut serta dalam perjuangan itu. Tiap seniman harus memilih mana yang bermanfaat bagi
bangsanya dan mana yang tidak. Bagi STA, perjuangan bangsa lebih tinggi nilainya daripada sekedar cita-
cita seni yang mengabdi kepada kehidupan semata-mata. Menurut STA, keindahan adalah alat yang
dijelmakan agar isi karya seni itu lebih menarik dan lebih mudah diresapi oleh masyarakat. Dengan
keterangan ini, jelas STA berpendirian seni bertendens. Tiap hasil seni harus memberikan manfaat bagi
masyarakat bangsanya.

Seni untuk seni walaupun mampu menghasilkan seni yang nilainya tinggi, kebanyakan hanya
menghasilkan seni yang kosong, tidak berjiwa, dan tidak berguna bagi masyarakat. Karena STA lebih
mementingkan kegunaan atau bertendens daripada keindahan semata-mata maka ia sering disebut
sebagai utilitarian. Asas seni bertendens STA ini tampak jelas pada beberapa karya sastra yang
dihasilkan, terutama novelnya yang berjudul Layar Terkembang, yang terkenal sebagai novel
bertendens.

Sikap STA yang lebih mengutamakan kegunaan suatu karya seni daripada keindahannya, tampak pada
kritiknya terhadap novel Belenggu Armijn Pane dan drama Sandyakalaning Majapahit Sanusi Pane.

Novel Belenggu yang ditutup dengan kalimat terakhir yang berbunyi: “Pintu ke on it?”; dirasakan oleh
STA sungguh-sungguh sebagai suatu kesangsian sehingga novel tersebut dinilai sebagai defaitistis dan
deterministis, putus asa dan menyerah pada takdir (nasib).

Demikina juga pendapat STA tentang drama Sandyakalaning Majapahit, yang terdapat dalam novel
Layar Terkembang. Dengan melalui mulut Tuti ia mengatakan drama itu bagus, tetapi kelemahannya itu
adalah hati dan tenaga karena drama itu mengandung filsafat Budha yang menganggap kebahagiaan itu
hanya dapat dicapai di dunia ini.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa STA sebagai penggemar seni lebih mengutamakan daripada
bentuk, lebih mengutamakan keguanaan daripada melulu.

2. Asas Seni Sanusi Pane

Pada mulanya Sanusi Pane menolak asas seni untuk seni karena sikap itu timbul dari sikap individualisme
yang terlepas dari kehidupan dan kepentingan masyarakat. Akan tetapi, dalam tulisan-tulisannya Sanusi
Pane mengarah pada asas itu. Ia berpendapat bahwa seni bersifat otonom. Dalam mencipta seni
seorang pujangga harus bersatu dengan seluruh kosmos dan dengan seluruh kemanusiaan. Dalam
penjelasannya ia mengatakan

“Pada detik mencipta seniman bersatu dengan alam dan kemanusiaan. Karena seniman bersatu dengan
alam dan karena derita serta bahagia, cita-cita, kebimbangan dan harapan kemanusiaan hidup dalam
seniman, maka hasil seni yang diciptakan dengan sendirinya sehingga hasil seni tidak memiliki tendensi.
Seniman tidak memedulikan moral dan kegunaan hasilnya karena dia berasal dari semua moral dan
tujuan. Ini tidak berarti senimannya, tetapi seniman mengatasinya, karena ia merasa satu dengan alam
dan kemanusiaan.”

Memang untuk memahami asas seni Sanusi Pane orang harus mengerti paham filsafatnya uni mistika,
yaitu ingin bersatu dengan seluruh jagat raya ini.

Dengan demikian, jelas bahwa asas seni untuk seni Sanusi Pane terutama dipuji oleh pafam filsafat unio
mistika dan juga keinginannya agar seni tidak menjadi alat propaganda. Berlainan halnya dengan seni
untuk seni William Kloos yang terutama disorong oleh sikap individualismenya yang keterlaluan.
Memang Sanusi Pane menolak sikap yang hanya mementingkan keindahan dan segala hal yang akan
dicapai dunia. Akan tetapi, ia pun menolak seni yang hanya tinggal pada susila dan tendens saja, karena
itu bukan lagi bernama seni.

Sanusi Pane pernah mengatakan bahwa ia menolak seni untuk seni, tetapi akhirnya ia kembali pada asas
itu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa seni untuk seni Sanusi berpangkal pada dasar pikiran, agar
dalam menciptakan seni tidak ada ide yang semata-mata diabdikan untuk sesuatu yang menyebabkan
hal itu tidak wajar lagi. Penciptaan seni harus wajar sesuai dengan hakikat seni, mengatasi segala susila
dan segala.

Tentang hubungan isi dan bentuk, sebagai seorang yang cenderung pada asas seni untuk seni, Sanusi
Pane pada mulanya lebih mengutamakan bentuk dari isi. Hasil ini pada puisinya berikut ini.

Di mana harga karangan sajak

Bukan dalam maksud isinya

Dalam bentuk kata nan rancak

Di cari timbang dengan pilihnya

(“Sajak” – Puspa Mega)

Akan tetapi, kemudian berganti pendirian; dan ini tampak pada puisinya yang berjudul “Sajak” juga,
yang termuat pada kumpulan puisinya Madah Kelana.

O, dalam kata yang rancak

Kata yang pelik kebagusan

O, pujangga buang segala kata,

Yang kan Cuma mempermainkan mata,

Dan hanya dibaca selintas lalu,

Karena tak keluar sukmamu.

(“Sajak” – Madah Kelana)


Jadi, kesimpulannya dalam hal bentuk dan isi, akhirnya Sanusi Pane menghendaki adanya bentuk yang
benar-benar wajar sesuai dengan jiwa seniman itu, bukan bentuk yang kosong dan juga yang
dipaksakan.

3. Asas Seni Armijn Pane

Armijn Pane tidak dengan tegas mengatakan pendapatnya tentang seni untuk seni atau seni bertendens.
Dalam tulisannya pada Pujangga Baru th. I. No. 1 Juli 1933 ia mengatakan, “Begitulah kami bukan abdi
seni, yang hanya bersifat seni sendiri-mata, tetapi kami abdi seni, yang sebagai salah satu abdi
masyarakat, harus mengabdikan diri kepada masyarakat.”

Dengan keterangan itu maka dalam pembuatan seni Armijn Pane tidak semata-mata mengabdi pada
keindahan, tetapi keindahan itu harus bermanfaat bagi masyarakat. Rupa-rupanya ia berusaha untuk
berdiri di tengah kedua asas seni tersebut.

Demikian pula pendapatnya tentang hubungan isi dan bentuk. Meskipun ia berdiri di tengah, masih
lebih penting dari pada bentuk. Dikatakan oleh Armijn Pane, “Yang paling penting bagi kita adalah isi
sajak atau karangan. Rupa dan bentuknya hanya penolong yang akan menyatakan dan akan menarik
perhatian terhadap isinya. Dalam hal itu, rupa dan bentuknya tidak boleh disia-siakan, sebab isinya tidak
akan berharga jika rupa dan bentuknya tiada sepadan.”

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Armijn Pane memandang lebih penting daripada bentuk,
tetapi bentuk itu sendiri tidak boleh diabaikan. Bentuk bertalian erat dengan isi. Pendapat ini sesuai
dengan pendapatnya tentang asas seni. Dibandingkan dengan dua pendapat tokoh Pujangga Baru yang
lain terasa bahwa pendapat Armijn Pane lebih dekat dengan pendapat Sutan Takdir Alisjahbana
daripada pendapat Sanusi Pane.

4. Asas Seni JE Tatengkeng

Bagaimana pendapat JE Tatengkeng tentang asas seni? Berikut kutipan dari sebagain karangannya yang
berjudul Maksud dan Seni yang dimuat dalam majalah Pujangga Baru th. AKU AKU AKU. No. 1 Juli 1935.
Dalam menghadapi tantangan antara asas seni bertendens dengan seni untuk seni, JE Tatengkeng
berpendirian:

“Kebenaran dalam hal ini –seperti pada banyak hal yang lain– adalah terdapat di tengah-tengahnya;
atau dengan kata lain, dalam ketajamannya, kedua tempat itu mengandung kebenaran.

Kita tidak boleh menjadikan seni itu Allah, tetapi sebaliknya janganlah kita menjadikan seni itu alat
semata-mata. Seni harus tinggal seni.

Dalam pada itu, seni selalu lahir dan tumbuh dalam masyarakat, pergaulan; ia berbentuk dalam alam, ia
berwujud dalam waktu. Sepetutnya ia memberi buah kepada masyarakat dan pergaulan.”
Kutipan di atas menunjukkan bahwa JE Tatengkeng berdiri di antara dua itu. Ia tidak setuju dengan
pendirian yang menganggap seni itu seperti Allah (seperti dikemukakan oleh Yaques Perk), yang memuji
keindahan itu secara berlebihan-lebihan. Sebaliknya ia pun tidak dapat menerima pendapat yang
memandang seni itu hanya sekedar alat untuk mencapai suatu. Akan tetapi, jika kita teliti dengan benar-
benar kutipan di atas dan juga beberapa cipta sastra yang dihasilkan, tampak bahwa JE Tatengkeng
dalam berusaha berdiri di tengah, masih cenderung seperti seni untuk seni. Ia hanya mengatakan seni
ituepatutnya” memberi buah kepada masyarakat, bukan kewajiban dan kewajiban.

F. PARA PENGARANG PUJANGGA BARU

Di dalam buku antologiya yang berjudul Pujangga Baru: Prosa dan Puisi, HB Jassin telah mencoba
mengumpulkan beberapa tulisan dari beberapa pengarang Pujangga Baru. televisi lima tokoh penting
Pujangga Baru seperti STA, Sanusi Pane, Armijn Pane, Amir Hamzah, dan Moh. Yamin, terdapat nama-
nama pengarang M. Taslim Ali, Sutomo Jauhar Arifin, LK Bohang, MR Dayoh, Hamidah, Rustam effendi,
Asmara Hadi, A. Hasymi, Mozasa, Suman Hs., Yogi, dan lain-lain.

Bila deret nama pengarang itu kita bandingkan dengan nama-nama pengarang dalam penggolongan
yang dilakukan oleh Teeuw dalam bukunya Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru, maka
terdapat beberapa perbedaan. Hamidah, I Gusti Nyoman Panji Tisna, Suman Hs., yang oleh Teeuw
digolongkan ke dalam pengarang Balai Pustaka, oleh Jassin dimasukkan ke dalam golongan pengarang
Pujangga Baru. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan Teeuw mwmpwrgunakan ukuran-ukuran yang
keras dalam menilai hasil-hasil karya sastra ketiga pengarang tersebut belum jelas membawakan aspirasi
perpustakaan. Memang setiap penggolongan pada umumnya tidak bersifat mutlak. Perbedaan pendapat
selalu mungkin terjadi, terutama pada hal-hal yang ada di batas penggolongan.

Beberapa pengarang Pujangga Baru secara ringkas berikut ini.

1. Sutan Takdir Alisjahbana

Sutan Takdir Alisjahbana lahir di Natal, Tapanuli, 11 Pebruari 1908. Ia pernah bekerja sebagai redaktur
kepala di Balai Pustaka pada tahun 1930. Oleh Teeuw, pengarang ini dilukiskan sebagai orang yang
banyak memiliki keahlian dan pengarang novel, pengarang esai, pengarang tata bahasa , pengarang,
puisi, ahli hukum, ahli kebudayaan, seorang usahawan, dan juga seorang politikus yang mewujudkan
kemajuan bangsanya. Banyaknya kualitas yang sering kali berakibat pada pekerjaan menjadi kurang
mendalam dan tidak mendalam pula. Sebagai usahawan ia memimpin percetakan dan penerbitan
Pustaka Rakyat, dan tiga majalah yang pernah di bawah asuhannya yaitu Pembina Bahasa Indonesia,
Pujangga Baru, dan Ilmu Teknik dan. Sesudah Pujangga Baru menghentikan penerbitannya, ia
menerbitkan majalah Konfrontasi,

Hasil karangan STA secara keseluruhan adalah, yang berupa novel: Tak Putus di Rundung Malang (1929);
Dian yang Tak Kunjung Padam (1932); Anak Perawan di Sarang Penyamun (1932); Layar Terkembang
(1936); Grotta Azzura: Kisah Chinta dan Chita (tiga jilid, 1970-1971). Yang berupa kumpulan puisi:
Tebaran Mega (1936). Berrupa kumpulan esai tentang bahasa Indonesia: Dari Perjuangan dan
Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957). Berrupa antologi (bunga rampai): Puisi Lama (1940); Puisi Baru
(1946); Pelangi. Berrupa terjemahan: Nelayan di Lautan Utara (terjemahan dari Pecheurs d'Islande
karangan Picerro Loti); Nyanyian Hidup (terjemahan dari The Song of Life karangan Krishnamurti);
Kurban Manusia (terjemahan dari Niku-Dan karangan Tadayeshi Sakurai diterjemahkan bersama
Subadio Sastrosatomo).

Selain yang di atas, ia juga menulis beberapa karangan yang tidak langsung berhubungan dengan bahasa
dan sastra, antara lain Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia (dua jilid), dan Pembimbing ke Filsafat. Dari
semua kegiatannya itu, STA terutama penting sebagai pengarang novel dan pengarang esai, sedangkan
sebagai puisi ia tidak begitu berarti.

Novelnya yang pertama Tak Putus di Rundung Malang ditulis ketika ia masih duduk di bangku sekolah
lanjutan atas. Ceritanya melukiskan penderitaan hidup kakak beradik yang menjadi yatim piatu ketika
mereka masih kecil. Karena tidak tahan hidup bersama dengan pamannya, kemudian mereka pergi ke
Bengkulu. Di sanapun mereka mengalami berbagai kemalangan. Lasinah bunuh diri ketika Mansur,
abangnya, masuk penjara karena tuduhan palsu. sesudah kehidupan dari penjara Mansur menjadi
kehidupan, hanya menunggu ajal, adiknya yang dicintainya sudah meninggal. Akhirnya, Mansur
menemui ajalnya jatuh di laut di tempat adiknya meninggal terlebih dahulu.

Novelnya yang kedua Dian yang Tak Kunjung Padam menceritakan kegagalan cinta kasih karena
perbedaan darah dan kedudukan. Yasin dan Molek saling mencintai. Yasin anak orang kaya lagi miskin,
sedangkan molek anak bangsawan dan kaya pula.larangan orang tua Yasin ditolak dan Molek dipaksa
kawin olah orang tuanya dengan seorang Arab yang kaya. Setelah gagal berhasil untuk melarikan Molek,
Yasin mengasingkan diri sebagai setengah pertapa jauh dari pergaulan masyarakat. Yasin merasa
terobati ketika kemudian ia berhasil melindungi seorang pemuda yang merawat gadis itu.

Novel yang ketiga Anak Perawan di Sarang Penyamun menceritakan kisah seorang gadis, Sayy namanya,
yang jatuh di tangan kawanan penyamun. Walaupun setahun lebih hidup bersama dengan orang-orang
kasar itu, ia tetap suci. Kawanan penyamun itu akhirnya musnah kecuali pimpinannya yang bernama
Medasing. Sayu pulang ke rumah orangtuanya bersama Medasing, dan ternyata masih sempat melihat
senyuman ibunya yang saat itu sakit keras. Berolahraga kembali hidup menjadi orang baik-baik bersama
Sayu dan bahkan sempat menunaikan ibadah haji ke Makkah.

Novel Anak Perawan di Sarang Penyamun dinilai oleh Teeuw sebagai novel yang paling lemah di antara
karangan STA. Isi karangannya tidak mungkin terjadi, misalnya tentang seorang gadis yang setahun lebih
hidup bersama kawanan penyamun, tetapi tetap suci. Dialog hampir-hampir tidak ada dalam cerita itu.

Dalam sebuah tulisannya Idrus pernah membantah pendapat Teeuw tersebut, oleh Idrus dikatakan
bahwa novel Anak Perawan di Sarang Penyamun merupakan novel STA yang paling berhasil. Gadis itu
tetap suci walaupun setahun lebih hidup bersama dengan penyamun, hal itu bisa saja terjadi. Sebab,
Medasing yang menjadi pimpinan yang paling disegani di antara kawanan penyamun itu, pada dasarnya
bukan orang jahat. Ia menjadi penyamun karena dibesarkan di lingkungan penyamun. Ketika masih
berumur tujuh tahun, ia jatuh di tangan kawanan penyamun itu dan melewati ke tengah hutan. Ada
persamaan nasib antara Medasing dan Sayu. Jadi, jika Sayu tetap dijaga kesuciannya oleh Medasing,
adalah sesuatu yang dapat dipahami dan mungkin terjadi. televisi itu, novel tersebut memiliki satu
keistimewaan, yaitu cara STA melukiskan hutan belantara secara tepat dan indah sekali. Sedikitnya
dialog dalam novel itu bukan suatu kelemahan, melainkan semata-mata disesuaikan dengan masalah
dan latar belakang ceritanya.

Novel STA yang paling terkenal adalah Layar Terkembang, suatu novel bertendens yang sejelas-jelasnya.
Isinya menceritakan kehidupan dua orang gadis kakak beradik yang masing-masing memiliki sifat dan
watak yang berlainan. Maria sifatnya periang, tidak suka akan pergerakan, dan perbuatannya lebih
banyak dikuasai oleh perasaan. Tuti, kakak Maria, sifatnya berbeda sekali dengan adiknya. Ia aktif dalam
pergerakan wanita dan tindakannya lebih banyak didasarkan pada pikiran.

Suatu ketika Maria jatuh sakit, dan ternyata sakit TBC. Oleh karena itu, ia harus dirawat di Sonatarium
Pacet. Tuti bersama-sama Yusuf sering berkunjung ke rumah sakit dan pulangnya sering singgah di
rumah Ratna, istri Saleh, yang sekarang hidup berkebun dan bersawah, walaupun mereka orang
terpelajar.

Penyakit Maria tidak tertolong lagi, dan sebelum meninggal ia berpesan agar Tuti dan Yusuf dapat hidup
sebagai suami istri. Dengan Layar Terkembang, Tuti siap mengarungi samudera kehidupan bersama
Yusuf dengan berbekal perpaduan pikiran, perasaan, dan perbuatan, berkat pergaulannya dengan Maria
dan Ratna selama ini.

Novel Layar Terkembang sebenarnya adalah beberapa pemikiran STA yang dijelmakannya dalam bentuk
cerita. Dengan melalui mulut Tuti mengemukakannya pikiran-pikiran STA tentang peranan dan
kedudukan wanita yang memiliki hak yang sama dengan kaum pria. televisi itu, dikemukakan juga oleh
STA tentang pahamnya mengenai hidup dan kehidupan dunia yang berlawanan dengan paham Sanusi
Pane.

Layar Terkembang lazim disebut sebagai salah satu puncak novel Pujangga Baru di samping Belenggu
terutama menarik karena masalahnya yang dengan jelas dan bahasanya yang sederhana dan lancar.
Pelaku-pelakunya kurang hidup karena harus mengabdi pada tendens yang telah ditentukan.

Di dalam karangan-karangannya yang berupa esai, tampak ketajaman pikiran dan sikap STA yang tegas
dengan bahasa yang ingin dan berapi-api dalam mengemukakan masalah. Memang ia seorang yang
vitalisme, semangat hidup yang penuh dengan kegembiraan untuk berjuang demi kemajuan bangsanya.
Sebagian esai-esai STA termuat dalam buku Polemik Kebudayaan yang dikumpulkan oleh Achdiat Karta
Mihardja.

Sebagai penyair STA tidak penting. Satu-satunya kumpulan puisinya berjudul Tebaran Mega dan ditulis
beberapa hari setelah istrinya yang pertama meninggal. Sebagian besar puisi yang terdapat di dalamnya
menjelmakan rasa, walaupun bukan kemurungan yang berlarut-larut.

Jika diperhatikan benar-benar keseluruhan karangan STA, pada umumnya tampak adanya beberapa sifat
pada karangan-karangan itu.
A. Karangan itu terutama didorong oleh hasratnya untuk berjuang membawa bangsanya ke arah
kemajuan sesuai dengan perkembangan masyarakat modern.

B. Bahasa yang digunakan sederhana bersahaja dalam arti yang mudah dipahami dan mudah ditebak.

C. sebagian besar karangannya mengandung suasana kegembiraan dan suasana optimisme. Pada
beberapa puisinya yang suasana kedukaan karena kematian yang terkandung di dalamnya tetap tampak
sikap STA yang tidak terlepas dari suasana optimisme itu.

2. Amir Hamzah

Amir Hamzah lahir di Binjai, 28 Pebruari 1911, putra Tengku Muhammad Adil yang menjadi pangeran
(wakil sultan) di Langkat Hulu, berkedudukan di Binjai dan bergelar Bendahara Paduka Raja. Kemudian
atas biaya pamannya yang menjadi Sultan Langkat pada waktu itu, ia melanjutkan studinya di Pulau
Jawa. Meskipun memperoleh pendidikan secara Barat, suasana istana yang penuh tradisi dan konvensi
itu tidak terlepas sama sekali.demikian juga dalam karangan-karangannya, ia tidak terlepas dari unsur
Melayu dan unsur lama. Bentuk-bentuk puisinya sebagian besar masih menyerupai pantun dan syair.
Baris-barisnya tersusun atas dwi-angga-tunggal dengan jeda (caesure) di tengah baris. Misalnya:

Kicau murai / tiada merdu

Pada beta / bujang Melayu

Himbau pungguk / tiada merindu

Dalam telingaku / seperti dahulu

(Buah Rindu)

Akan tetapi, tidak semua puisinya berbentuk demikian. Ada uga bait-bait yang kurang atau yang lebih
dari empat baris; dan tiap baris pun tidak selalu terdiri dari empat kata; ada yang lebih dan ada yang
kurang.

televisi pada bentuk-bentuk puisinya, unsur Melayu pada Amir Hamzah tampak juga pada:

a. Sifatnya yang suka berhina-hina diri, misalnya untuk menyebut dirinya dipakai kata kelana, dagang,
musyafir hina, fakir, bujang Melayu, dan sebagainya.

B. Pemakaian Kosa kata dan perbandingan-perbandingan. Kata-kata yang berasal dari Barat hampir tidak
kita dapati dalam karangannya.

C. Ia tidak pernah menggunakan bentuk soneta dalam karangan puisinya, walaupun bentuk itu sangat
digemari orang di masa itu.
Memang Amir Hamzah adalah seorang penyair yang tetap berakar pada yang lama. Sastra asing yang
diterjemahkan juga berasal dari yang lama. Oleh karena itu, Teeuw (1953:81) mengatakan sebagai
berikut:

Jika betul dalam kesusastraan Indonesia modern yang lama dapat hidup dalam yang baru nyatalah
bahwa hal itu telah terdapat dalam puisi Amir Hamzah. bentuk-bentuk lama itu, bahasa kuno itu tidak
mati bahkan mengandung kekayaan dan serba corak yang menakjubkan.”

Usaha dan usaha untuk menghidupkan yang lama itu membuktikan bahwa Amir Hamzah seorang
penyair yang memiliki kedudukan tersendiri dalam sejarah sastra Indonesia. Oleh Jassin ia disebut
sebagai Raja Pujangga Baru. Karangan yang dihasilkannya adalah sebagai berikut. “Sajak asli 50, sajak
terjemahan 77, prosa liris asli 13, dan prosa terjemahan 1, jadi semua kembali 160 tulisan, dalam masa
kegiatan 14 tahun (1932-1946)” (Jassin, 1962: 7).

Adapun karangan-karangannya yang telah dibukukan adalah:

Buah Rindu (kumpulan puisi, 1941). Buah Rindu merupakan kumpulan puisi Amir Hamzah yang pertama;
isi 25 puisi. Hampir semua puisi dalam kumpulan ini menyatakan rasa keduakaan karena gelora asmara
yang tidak kesampaian. Satu puisi yang mungkin lepas dari rasa duka ini adalah Balada Hang Tuah. Puisi-
puisi nya dalam Buah Rindu masih bersifat romantis, belum ada ketetapan hati dan kesimbangan jiwa.
Amir Hamzah banyak berdialog dengan alam atau dengan Tuhan yang belum terarah. Ia mengadukan
halnya pada cempaka, mawar, melur, kamboja, teratai, burung pungguk, bulan purnama raya, atau juga
kepada Tuhan. Sementara itu, bentuk puisinya dalam Buah Rindu masih dekat sekali dengan pantun dan
syair; tidak banyak variasi.

Nyanyi Sunyi (Kumpulan Puisi, 1935.) dalam bentuk Nyanyi Sunyi lebih bebas, lebih mengenal variasi.
Hal itu sudah jelas pada puisi yang pertama yang berjudul Padamu Jua.

Habis kikis

Segala cintaku hilang terbang

Pulang kembali aku seperti

dahulu

Nada pada puisinya dalam kumpulan ini menyatakan juga rasa kedukaan dalam kemeraan. Hampir
semua puisi Amir Hamzah berpangkal di latar belakang yang sama. Pada waktu Amir Hamzah belajar di
Pulau Jawa, ia menemukan gadis pilihannya. Akan tetapi, kekasih yang dicintainya itu –bahkan juga
studinya—harus ditinggalkannya karena ia dipanggil pulang oleh Sultan Mahmud, pamannya yang
membiayainya selama itu. Ia dikawinkan dengan putri sultan yang bergelar putri Kamaliah pada tahun
1938. Peristiwa inilah yang merupakan suatu goncangan bagi kehidupan Amir Hamzah. Tema pokok
dalam hampir semua gubahan puisinya berupa cinta kasih yang gagal, kerinduan pada kekasih, ratapan
pada nasibnya, dan akhirnya pada diri Tuhan.

Berbeda dengan Buah Rindu, puisi-puisinya dalam Nyanyi Sunyi ebih menunjukkan kematangan jiwa,
dan Tuhan tempat memulangkan nasib pun sudah jelas dan tertentu. Sekilas tentang hal ini sudah
tampak dari judul-judul puisinya pada kumpulan itu: Padamu Jua, Permainanmu, Karena Kasihmu, Sebab
Dikau, dan sebagainya. Yang Tuhan –Mu dan Dikau pada judul-judul tersebut adalah.

Puisi-puisinya pada Nyanyi Sunyi oleh Chairil Anwar dikatakan sebagai puisi gelap (duistere poezie)
sebab puisi-puisi tersebut tidak akan dapat dipahami sebaik-baiknya tanpa pengetahuan tertentu,
misalnya tentang pengetahuan sejarah dan agama, karena perumpamaan dan perbandingan yang
terdapat di dalamnya diambil dari sejarah dan agama (Islam).

Puisi-puisi pada Nyanyi Sunyi memiliki kecenderungan bersifat mistis religius; dalam arti tampak seperti
gambaran yang digambarkan untuk bersatu dengan Tuhannya, tidak pernah tercapai sepenuhnya
tercapai itu.

Karangan Amir Hamzah yang lain: Setanggi Timur (Kumpulan puisi lama dari sastra India, Arab, Cina,
Parsi, dan sebagainya); Bhagawat Gita (prosa terjemahan); Gitanyali (terjemahan dari karangan
Rabindranath Tagore); Sastra Melayu Lama dan Raja-Rajanya (prosa).

3. Sanusi Pane

Ia lahir di Muara Sipongi, Tapanuli, 14 Nopember 1905. Di dalam beberapa hal, tulisan-tulisan Sanusi
Pane menimbulkan adanya kontradiksi-kontradiksi. Hal ini tampak misalnya pada pendapatnya tentang
bentuk dan isi, masalah pelaksanaan seni, dan lain-lain.

Dalam drama Manusia Baru yang bermain di tanah India, pada pengantarnya ia mengatakan, “Lakon ini
mesti ditonton sebagai hasil seni saja. Kalau orang hendak menarik juga daripadanya, dan itu
sebenarnya bukan maksud pengarangnya, karena ia hendak memberi seni saja.” Sebenarnya drama
Manusia Baru ini mengandung tendensi juga, yaitu adanya suatu pemikiran agar antara buruh dengan
majikan itu dapat diselesaikan dengan damai karena pemogokan itu hanya merugikan kedua pihak.

Tidak adanya-pertentangan itu bisa dimengerti apabila kita kembalikan pada Filsafat unio mistika yang
dianut oleh Sanusi Pane. Realitas dalam kehidupan ini dilihat dalam persekutuan dengan seluruh
kosmos, dalam hubungan jagat raya.

Sanusi Pane menulis sudah sejak tahun20-an. Dalam majalah Yong Sumatra, terbitan tahun 1921 di
muaturun puisinya berjudul Tanah Airku. Bentuk dan isinya hampir tidak berbeda dengan Tanah Air-nya
Moh. Yamin.
Baik dalam kumpulan karangannya yang oertama, maupun pada kumpulan puisinya yang kemudian,
sebagian besar terdiri dari bentuk soneta dan prosa lirik. Kedua bentuk itu pulalah yang disukai oleh
pengarang-pengarang Angkatan 80 di negeri Belanda, sebagai alat untuk melahirkan perasaan dan
sebagai ciri romantik. Madah Kelana kumpulan puisi Sanusi Pane yang terbit pertama kali tahun 1931,
berisi 49 puisi, yang terdiri dari 13 prosa lirik dan 11 bentuk soneta, sedangkan selebihnya berupa
bentuk-bentuk yang disusun secara teratur: terzina, kuartren, kuin, dan lain-lain. satu puisinya yang
panjang dalam kumpulan itu berjudul Syiwa Nataraja, yaitu Syiwa yang menari dalam api dunia terang
benderang, sambil mencipta dan memelihara alam semesta ini.

Walaupun dalam karangan-karangan Sanusi Pane tampak adanya pengaruh dari Barat, pengaruh India
dan Filsafat Budha keras sekali. Pengaruh India ini terlihat dari pikiran-pikiran yang dikemukakan dalam
karangan-karangannya atau pada judul-judul karangan itu sendiri, misalnya Taj Mahal, Kepada Krisyna,
Di Tepi Jamuna, Candi Mendut, Syiwa Nataraja, dan sebagainya. India, negara yang pernah
dikunjunginya memang banyak berpengaruh dalam kehidupan jiwa Sanusi Pane. Beberapa karangannya
bermain dan berlatar belakang tanah India, yang oleh Sanusi Pane disebut juga tanah mulia, bahkan
beberapa puisinya digubahnya di "tanah bahagia" itu juga. Pada halaman terakhir Madah Kelana tertulis
“terkarang di Hindustan dan Jawa 1929-1930”.

Dibandingkan dengan Sutan Takdir Alisjahbana dan Amir Hamzah, Sanusi Pane memiliki banyak
perbedaan, misalnya dalam hal jumlah karangannya, kedudukannya dalam kehidupan sastra,
pandangannya tentang kebudayaan, dan kedudukannya sebagai puisi.

Perbedaan antara STA dengan Sanusi Pane nyata sekali. Sanusi Pane adalah antipoda STA. Persoalan
yang sama sebagai tanggapan yang berbeda karena dasar filsafatnya yang. Sanusi Pane memandang
candi sebagai tempat bernaung untuk mendapatkan kebahagiaan dan kebahagiaan di nirwana sebab
kebahagiaan dunia tidak akan dapat diperolehnya. Dikatakan dalam puisinya berikut ini.

Diam hatiku, jangan bercita,

Jangan kau lagi mengandung rasa,

Mengharap bahagia dinia Maya.

Terbang termenung, ayuhai, jiwa,

Menuju kebiruan angkasa

Kedamaian Petala Nirwana

(Candi Mendut – Madah Kelana)


Sebaliknya, STA memandang candi sebagai tempat yang memicu dorongan untuk membangun seni baru
yang sesuai dengan kemajuan zaman.

Hatiku tiada rindu ketika, ketika para pendeta meniarap

di hadapan Syiwa, ketika jiwa berbakti menjelma candi berarca.

Tidak, tidak! Tidak, tidak!

Ya Allah, ya Rabbani, kembalikan pengalaman jiwa bebakti

pembentuk candi kepada umatmu!

Dan aku akan melahirkan seni baru, tidak serupa-sebentuk

ini…, abadi selaras dengan gelora sukma dan zamanku

(Seni Baru, di Candi Perambanan – Puisi Baru)

Perbedaan mereka tampak juga pada pandangan simboliknya pada laut. Pada puisinya yang berjudul
Menuju Ke Laut STA memandang laut sebagai lambang kehidupan yang penuh dengan perjuangan,
tetapi juga yang menggembirakan dan mengasyikkan; sedangkan Sanusi Pane dalam puisinya Sungai
memandang laut sebagai tempat istirahat yang aman dan damai sebelum perjuangan berakhir.

Perbedaan yang lain tentang kedua pengarang ini sebagian besar sudah ada pada bagain sebelumnya,
misalnya perbedaan dalam hal konsepsinya tentang kebudayaan, tentang asas seni, dan tentang
masalah hubungan isi dan bentuk.

Jika STA dikenal sebagai seorang pengarang novel dan esais, Amir Hamzah sebagai seorang penyair,
Sanusi Pane terutama penting sebagai seorang pengarang drama. Pembicaraan tentang drama Sanusi
Pane ini sudah dilakukan oleh YU Nasution dalam buku kritiknya yang berjudul Pujangga Sanusi Pane.

Adapun karangan-karangan Sanusi Pane yang sudah diterbitkan adalah: Pancaran Cinta (prosa berirama,
1926); Puspa Mega (kumpulan puisi, 1927); Madah Kelana (kumpulan puisi, 1931); Manusia Baru
(drama, 1940); Arjuna Wiwaha (terjemahan dari bahasa Jawa Kuno Kekawin Mpu Kanwa, 1940). televisi
itu, beberapa karangannya yang pernah dimuat dalam majalah Timbul, yaitu: Airlangga (drama dalam
bahasa Belanda, 1928); Damar Wulan (gita pahlawan, bahasa Belanda, 1929); Eenzame Garudavlucht
(drama dalam bahasa Belanda, 1929); Kertajaya (drama dalam bahasa Indonesia, 1932); dan
Sandhyakalaning Majapahit (drama dalam bahasa Indonesia, 1933).

4. Armijn Pane
Armijn Pane lahir di Muara Sipongi, Tapanuli, 18 Agustus 1908. Dalam tulisan-tulisannya ia memakai
nama samaran yang berbeda-beda, antara lain Adinata, A. Jiwa, A. Mada, A. Panji, Empe, dan Karnoto.
Karangannya meiputi berbagai macam bentuk: novel, drama, puisi, puisi, esai, dan bahkan juga karangan
tentang tata bahasa. Seperti halnya Nur Sutan Iskandar, masa kegiatan Armijn Pane tidak terhenti
walaupun usianya telah tua. Ia masih sering menulis puisi, beberapa di antaranya pernah dimuat dalam
majalah Medan Bahasa (sekarang sudah tidak terbit lagi), meskipun nilai sastranya semakin menurun.

Armijn Pane terkenal terutama karena novelnya yang berjudul Belenggu (1938). Novel yang pernah
ditolak Balai Pustaka itu, sebelum terbit ternyata mendapat sambutan yang luas dari masyarakat.
Beberapa di antara sambutan-sambutan itu dimuat pada bagian kitab novel tersebut pada cetakan
ketiga. Armijn Pane menyadari bahwa pa yang dikemukakan dalam novel itu, dan bagaimana cara
mengemukakan banyak reaksi dan tantangan dari masyarakat. Oleh karrena itu, pada halaman asal
ditegaskan oleh pengarang, “Kalau keyakinan sudah jadi pohon beringin, robohlah segala pertimbangan
lain-lain.”

Terbitnya novel Belenggu merupakan babak baru dalam sejarah perkembangan novel di Indonesia.
Novel tersebut menyajikan beberapa hal baru dibandingkan dengan cerita-cerita novel sebelumnya.
Tema ceritanya tidak lagi berhubungan dengan masalah adat suatu daerah, masalah kawin paksa,
masalah Barat dan Timur, atau masalah kaum muda dengan kaum tua, tetapi berhubungan dengan
masalah manusia, yaitu manusia Indonesia atau manusia pada umumnya.

Plot cerita terutama tidak tersusun atas rangkaian-rangkaian peristiwa yang tampak pada perbuatan,
tingkah laku atau dialog pelaku-pelakunya, tetapi tersusun atas pikiran-pikiran dan kehidupan
perjuangan batin pelaku-pelaku itu. Oleh karena itu, sepintas lalu novel tersebut sukar diikuti jalan
ceritanya. Tentang ini STA (1961: 6) mengatakan sebagai berikut.

“Pada hakikatnya Armijn adalah seorang romantikus, yang suka mengembara ddalam jiwanya, dengan
tiada memedulikan logika dan kausalitet kejadian…..”

Bahasanya pun lain dari bahasa karangan-karangan sebelumnya. Novel bahasa Belenggu mirip dengan
tutur bahasa, yang banyak menyimpang dari kaidah-kaidah bahasa Indonesia pada umumnya. Teeuw
menyebut bahasa Armijn ini sebagai bahasa Melayu Eropa. Jadi, dalam hal pelaksanaan berbahasa
ternyata Armijn lebih bersifat Barat daripada STA.

Satu hal yang dianggap sebagai sesuatu yang baru dalam novel tersebut percakapan batin pelaku-
pelakunya atau monologue intereieur, meskipun dalam bentuk yang belum kompleks. Tidak yakin ini
mendukung pengarang untuk menghadirkan pelaku-pelaku dalam arti yang sebenarnya, yaitu hidup
dalam segala keinginan dan nafsu-nafsunya.
Di samping itu, ada lagi hal yang membedakan novel Belenggu dengan novel-novel sebelumnya, yaitu
alur cerita. Akhir cerita Belenggu bersifat terbuka (open-ended) artinya penyelesaian cerita sepenuhnya
diserahkan kepada pembaca.

Armijn Pane ditempatkan oleh Teeuw sebagai tokoh penghubung dalam masa lagu antara Angkatan
Pujangga Baru dengan Angkatan 45, walaupun ia berdiri di pihak Angkatan Pujangga Baru. Penilaian
Teeuw tersebut terutama berdasarkan karangan-karangan Armijn yang berbentuk prosa. Karangan-
karangan yang menunjukkan tidak menonjolkan sesuatu yang baru dibandingkan dengan pengarang-
pengarang seangkatannya. Bentuk puisinya sebagian besar mengikuti pola pola tertentu yang teratur,
misalnya distikon, terzina, kuartren, dan lain-lain.

Novel Belenggu menceritakan kehidupan rumah tangga yang tidak diperhatikan karena suami istri
masing-masing menurut selera hidup sendiri. Dokter Sukartono terlalu mementingkan urusan pasiennya
dan melupakan istrinya. Sebaliknya, Sumartini, istri selalu mementingkan organisasi sehingga melalaikan
kewajibannya sebagai istri. Rokayah atau Nyonya Eni, teman sekolah Sukartono di MULO terlebih
dahulu, yang sekarang menempuh jalan sesat, berusaha keras melawan dokter Sukartono. Rumah
tangga yang gersang itu, memberikan peluang kepada dr. Sukartono untuk mendapatkan kesenangan
dan kebahagiaan hidup di rumah Rokayah. Tahu akan suaminya melakukan tidak senonoh, Sumartini
melampiaskan keinginannya kepada Yah atau Rokayah. Akan tetapi, Sumartini bahkan dibuat tidak
berkutik karena tahu rahasia hubungan cinta Sumartini dengan Hartono, sebelum Sumartini kawin
dengan Sukartono. Akhirnya, Sumartini minta cerai dan kemudian pergi ke Surabaya bekerja di sebuah
rumah yatim piatu. Sukartono pergi ke rumah Yah, tapi Yah sudah berangkat ke Kaledoni Baru dan hanya
meninggalkan sebuah plat gramafon yang berisi lagu Siti Hayati atau Rokayah juga. Kemudian Sukartono
mengambil keputusan akan lamanya untuk memperdalam ilmu kedokteran.

Dalam novel tersebut semua pelakunya terbelenggu. Sukartono terbelenggu oleh sikapnya yang tidak
tegas terhadap istrinya, Sumartini terbelenggu oleh sifatnya yang ingin selalu menang sendiri,
sedangkan Yah terbelenggu oleh nafsunya untuk selalu mendapatkan kenikmatan hidup. Akan tetapi
terikat itu sudah ada sejak semula karena Sukartono kawin dengan Sumartini tidak lagi berdasarkan
perasaan saling mencintai yang tulus ikhlas.

Karangan Armijn Pane yang lain adalah kumpulan kumpulan yang berjudul Kisah Antara Manusia (1953).
Dalam kumpulan ini memuat cerpen Armijn sebelum perang dan sebelum perang, yang sebagain cerpen
tersebut pernah dimuat di majalah, kecuali satu yang memang baru dalam kumpulan itu, yaitu yang
berjudul Imperialis Terpagar.

Karangan-karangan Armijn Pane yang lain kecuali yang di atas adalah: Jiwa Berjiwa (kumpulan puisi,
1939); Ratna (drama saduran Ibsen Nora, 1943); Sanjak-Sanjak Masa Muda Bpk. Moh. Yamin (1954);
Membangun Hari Kedua (terjemahan Tweede Scheppingsdog karangan Ilya Ehrenburg, 1956); Jinak-
Jinak Merpati (kumpulan drama, 1953); Gamelan Jiwa (kumpulan puisi); Kort Overzicht van de Moderne
Indonesisch Literatuur (1949); Mencari Sendi Baru Tatabahasa Indonesia.

Selain pengaruh dari Angkatan 80, pada beberapa karangan Armijn Pane ada pengaruh dari Dostojevsky,
Maxin Gorki, Rabindranath Tagore, dan Khrisnamurti.
5. JE Tatengkeng

JE Tatengkeng lahir di Sangihe, 19 Oktober 1907. Dibandingkan dengan pengarang-pengarang Pujangga


Baru yang memiliki kekhususan, yaitu tentang asal daerahnya dan keyakinan hidupnya. Ia berasal dari
Indonesia Timur, berarti bahasa Indonesia memiliki lebih banyak asing dari pengarang-pengarang lain
yang umumnya berasal dari Sumatra. Demikian juga keyakinan hidupnya. Ia beragama Kristen, berbeda
dengan kebanyakan pengarang Pujangga Baru yang lain.

Di antara pengarang Pujangga Baru yang paling dekat dengan Angkatan 80 adalah JE Tatengkeng. Jika
van Deyssel bersemboyan Kunts is passie, dan Bilderdijk bersemboyan Kunts is gevoel, JE Tatengkeng
bersemboyan Seni yaitu gerakan sukma yang menjelma ke indah kata.

Tidak mau terikat-erat

Kusuka merdeka mengabdikan seni

Kusuka hanya syarat syarat syarat syarat

gerak sukma

Kusuka hidup! Gerakan sukma,

Yang berpancaran dalam mata

Terus menjelma

Ke indah kata

(Rindu Dendam)

Dalam hubungan dengan Angkatan 80 ia pernah menulis soneta yang berjudul In Memoriam bagi
Willem Kloos dalam majalah nomor peringatan lima tahun Pujangga Baru.

Pengaruh pengaruh Angkatan 80 sangat jelas pada JE Tatengkeng, antara keduanya terlihat adanya
perbedaan-perbedaan seperti yang dikemukakan oleh Teeuw sebagai berikut.

A. Jika puisi-puisi Angkatan 80 umumnya berisi kemuraman dan puisi, puisi-puisi JE Tatengkeng lebih
banyak suasana kegembiraan.

B. Pada Angkatan 80 terdapat antara agama dengan umat Kristen karena keyakinan menurut agama,
penyair-penyair Angkatan 80 telah durhaka dan takabur serta menganggap keindahan dan seni sebagai
Tuhannya. Pada JE Tatengkeng mengharapkan itu tidak ada. Pada puisi-puisinya terpancar sikap puisi
sebagai pemeluk yang taat. Pada puisinya berjudul Rindu Dendam ditutup dengan baris terakhirnya yang
berbunyi: Seli Deo Gloria. Meski demikian, pada puisinya perasaan terkesan cenderung memuja seni itu
berlebihan-lebihan:

Jika kau datang raksasa

Atau kau menjelma secantik juita

Kusedia hati

Akan berbakti

Dalam tubuh kau berkuasa

Dalam dada kau bertkhta!

(Rindu Dendam)

Sastu-satunya kumpulan puisinya yang pernah diterbitkan adalah Rindu Dendam (1934). Dalam hal
jumlah baris dan jumlah suku kata setiap baris ia lebih bebas daripada Yamin.tidak ada kata-kata yang
berbeda, walaupun bentuknya berbeda-beda. Salah satu kebebasan dalam bentuk teratur tampak pada
sonetanya berikut ini.

SEPANTUN LAUT

Duduk di pantai waktu senja

Naik di rakit buaian ombak

Sambil bercermin di air-kaca

Lagi diayunkan lagu ombak

Laut besar bagi bermimpi

Tidak gerak, tetap masalah…..

Tapi pandang karang di tepi,

Di sana ombak memecah nyaring…..

Diam dalam gerak,


Gerak dalam diam,

Menangis dalam gelak,

Gelak dalam bermuram.

Demikian sukma menerima alam,

Bercinta, meratap, merindu-dendam

(Rindu Dendam)

Sesudah Pereng Dunia II, JE Tatengkeng giat dalam politik dan pemerintahan. Ia pernah menjadi Menteri
Pengajaran di Negara Indonesia Timur, kemudian menjadi Perdana Menteri (1949). Sesudah Negara
Kesatuan terbentuk ia pernah ditunjuk menjadi Kepala Jwatan Kebudayaan Kementerian P dan K di
Makassar (1951). Meskipun demikian, kegiatan di bidang sastra dan kebudayaan tidak pernah terhenti.
Puisi-puisinya banyak di muabah di majalah-majalah Pembangunan, Siasat, Zenith, dan Indonesia.

Dalam sebuah tulisan yang berjudul Tujuh Tahun Sesudah Wafatnya Chairil Anwar (Horison no. 41 th. II
April 1967) JE Tatengkeng berusaha menilai kembali terhadap puisi-puisi Chairil Anwar. Tujuh puluh puisi
Chairil Anwar yang oleh Jassin dikatakan sebagai puisi asli, menurut penyelidikan JE Tatengkeng dua di
antara puisi-puisi itu ternyata berupa plagiat dalam bentuk saduran, yaitu puisi Di Mesjid saduran dari
De Waanzinnigie gubahan Yan H. Eekhout dan puisi Taman saduran dari De Tuin ciptaan Anthonie
Donker.

JE Tatengkeng sebagai penyair memang tidak produktif, berhubung dengan perhatiannya yang
mencakup berbagai macam kegiatan. Akan tetapi, dalam maupun deret Pujangga Baru ia termasuk
penyair yang penting karena memiliki berbagai kekhususan, baik tentang dirinya tentang puisi-puisinya.
Dalam perkembangan sastra Indonesia menjadi lebih penting lagi karena kepenyairannya tidak terhenti
dalam usia yang bertambah lanjut.

6. Hamidah

Nama sesungguhnya adalah Fatimah Hasan Delais. Ia lahir tahun 1914 dan meninggal pada 8 Mei 1953
di Palembang. Ia pernah menjadi pembantu majalah Pujangga Baru dari Palembang. Ia pengarang
wanita dari Pujangga Baru. Namanya menjadi penting karena pengarang dari kaum wanita pada masa
itu belum banyak, dan karangan Hamidah memang memiliki corak khusus. Satu-satunya novel yang
pernah diterbitkan berjudul Kehilangan Mestika (1935). Ceritanya berbentuk “aku”, menceritakan
kehidupan yang penuh dengan pengalaman dan penderitaan. Setelah kematian ayah (mestikanya), ia
kehilangan kekasihnya yang diambil orang. Karena putus asa, saya menyetujui kawin dengan seseorang
yang tidak dicintainya.

penderitaan tidak berakhir dengan perkawinan itu. Karena perkawinan itu tidak memperoleh keturunan,
terpaksa ia mengadopsi istri yang kedua. Karena kemudian timbul berbagai kesulitan, akhirnya ia pulang
ke Muntok sebagai perempuan tua yang terasing dari kehidupan masyarakat. Pada saat ia akan
meninggal, masih sempat diketahui bahwa kekasihnya dahulu tetap setia kepadanya.

Cerita sedih dalam bentuk “aku” ini kemungkinan banyak mengandung sifat biografis. Betapa sedihnya
ia ditinggalkan oleh kekasihnya tampak pada sonetanya yang berjudul Berpisah berikut ini.

Sungguh berat rasa berpisah

'Ninggalkan berusuh hati

duduk berdiri sama gelisah

Ke mana hiburan akan di cari

Kian kemari mencari kesunyian

'Ngenangkan kasih diri masing-masing

Hati mengagumi dilipur nyanyian

Tapi suara tak mau mendering

Di awak dapat

bernyanyi sukma

Hati pikiran berusuh diri?

Di mana dapat bersuka ria?

Tidakkah badan sebatang kara?

Kenangan melayang nyebrang segara?

(Pujangga Baru)

7. I Gusti Nyoman Panji Tisna (Anak Agung Panji Tisna)

Ia seorang pengarang yang berasal dari Bali, beragama Hindu. Lahir di Singaraja, 8 Pebruari 1908.
Karangannya telah banyak diterbitkan. sebagian besar karangannya mengambil tema yang berhubungan
dengan adat kepercayaan masyarakat Bali dan dengan sendirinya mengambil latar belakang kehidupan
di daerah Bali pula.

Novelnya I Swasta Setahun di Bedahulu misalnya, kita tidak akan dapat memahami sepenuhnya cerita
itu tanpa kita mengerti akan kepercayaan terhadap hukum karma. Novel tersebut berlatar lingkungan
istana dan dipandang sebagai novel sejarah yang berlaku ± tahun 996. Kepercayaan lama yang juga
tampak dalam cerita adalah adanya keberadaan gaib yang mengambil peran dalam kehidupan manusia.
Jika rakyat berdosa, dewa marah dan Gunung Batur memuntahkan lahar.

Sesuai dengan judulnya, novel tersebut menceritakan pengalaman I Swasta selama setahun di Bedahulu,
ibu negeri Bali pada masa itu. Novel ini sudah disadur Armijn Pane menjadi sebuah drama dengan judul
yang sama.

Karena tema dan unsur-unsur cerita masih mengingatkan kita pada cerita-cerita Balai Pustaka pada
umumnya maka Teeuw memasukkan I Gusti Nyoman Panji Tisna sebagai pengarang Balai Pustaka.
Karangan-karangannya yang lain adalah: Sukreni Gadis Bali (1936); Ni Rawit Ceti Penjual Orang (1935);
Dewa Karuna (1938); dan I Made Widiadi (Kembali kepada Tuhan).

8. Suman Hs. (Hasibuan)

Ia lahir di Bengkalis pada tahun 1904. Suman Hs. terkenal sebagai pengarang cerita detektif, walaupun ia
juga menulis beberapa puisi yang dimuat dalam majalah Panji Pustaka. Ciri khas pada semua karangan
Suman Hs. yang paling menonjol adalah:

a. Bahasa yang digunakan sungguh lancar, hidup dan perhatian. Kenikmatan karangan Suman terutama
terletak pada kedalaman isi, melainkan pada kejenakaannya yang digubah dalam bahasa yang hidup,
segar, berirama, dan mengasyikkan. Tentang bahasa Suman ini, STA memberikan keterangan sebagai
berikut:

“Diantara pengarang-pengarang prosa zaman baru, Suman Hs. mempunyai kedudukan yang luar biasa.
Sedangkan tentang pilihannya ia tida berapa jauh meninggalkan bahasa Melayu yang lama, berhubung
dengan pergaulannya di Sumatera Timur dan didikannya sebagai guru, tetapi tentang gaya bahasanya
dan tentang pandangannya dan perasaannya tentang bahasa, ia masuk golongan pengarang baru.

Dalam tangan Suman, bahasa Melayu lama yang telah kaku dan beku oleh karena telah menjadi susunan
dan acuannya, menjadi cair kembali lemas mengalir berliku-liku, ringan beriak beralun-alun.” (1964: 1).

B. Sifat kejenakaan terdapat di hampir semua karangannya. Dalam kumpulan cerpennya Kawan
Bergelut, mungkin hanya satu yang tidak lucu, yaitu berjudul Pilu. Sifat humor ini terpancar juga pada
semua novel detektifnya; meskipun kadang-kadang menimbulkan kesan keterlaluan, misalnya
perbuatan Syekh Wahab menanggalkan kumis palsunya sehabis sembahyang Idul Fitri (Kasih Tak
Terlerai). Akan tetapi, bagaimanapun, seloroh dan kejenakaan Suman selalu menarik perhatian.

C. Semua novelnya mengandung unsur detektif walaupun sifat detektifnya masih sederhana dan mudah
menebak penyelesaian permasalahannya. Hal itu kiranya cocok dengan tingkat pertimbangan
masyarakat kita pada masa itu, biasanya kurang ada kesanggupan untuk menemukan ketajaman
inteligensinya untuk menemukan pemecahan masalah yang rumit dan kompleks. Memang pada waktu
itu bacaan yang populer dikalangan masyarakat luas yaitu cerita-cerita novel berseri yang banyak
beredar di kota-kota besar, yang umumnya mengandung unsur detektif “gampang-gampangan”
semacam novel Suman tersebut.

Adapun novel Suman Hs. yang telah diterbitkan adalah: Kasih Tak Terlerai (1929); Percobaan Setia
(1931); Mencari Pencuri Anak Perawan (1932); Kasih Tersesat (1932); Tebusan Darah (1939). Cerpen-
cerpen Suman yang dikumpulkan dalam Kawan Bergelut sebagian besar pernah dimuat dalam majalah
Panji Pustaka, kecuali cerpennya yang berjudul Itulah Asalku Tobat, Selimut Bertuah, Salah Mengerti,
Papan Reklame, dan Kelakar si Bogor.

Bergelut dalam bahasa Minang berarti bergurau. Kawan Bergelut artinya kawan bergurau; dan memang
menghibur kita untuk bersendau gurau terutama dua cerpennya yang terakhir dalam kumpulan
tersebut. Novel-novel detektifnya umumnya mengolah cerita yang sama, semacam klise, yang kemudian
dihidupkan dan dibuat macam-macam variasi. Pola ceritanya adalah dua muda mudi yang sudah
bertemu, karena ada sesuatu yang mengganggu, keduanya tercerai. Kemudian tampil peran detektif
yang berhasil mempertemukan mereka kembali dan happy ending. Suatu contoh misalnya novel
Mencari Pencuri Anak Perawan. Sir Joon yang sudah seperti pinang bertemu tampuknya dengan si Nona,
anak angkat tukang ransum, akhirnya harus putus pertunangan mereka karena perbuatan si Tairo
seorang peranakan Hindi yang berhasil menyuap tukang ransum dengan uang ratusan dolar. Tiba-tiba
pecah kabar si Nona hilang. Sir Joon meminta dari tuduhan tentang harga dari Nona tersebut karena ia
baru sakit terkilir akibat main bola. Dengan pura-pura menunjukkan kebaikan, Sir Joon bersedia pula
membantu mencarikan si Nona, asal diberi surat kawin agar tidak menyebabkan ia membawa kembali
gadis itu. lubang Sir Joon dikabulkan dan kemudian menjemput si Nona, terus pergi pergi meninggalkan
kampung halaman, karena tidak ada orang lain yang menyembunyikan si Nona adalah Sir Joon sendiri.

Walaupun pola ceritanya hampir serupa, membaca karangan Suman, kita “dipaksa” menyelesaikan
sampai akhir cerita karena gaya ceritanya yang penuh kejenakaan dan bahasanya yang mengasyikkan.

G. PENGARANG-PENGARANG PUJANGGA BARU YANG LAIN

1. MR Dayoh

Karangannya: Peperangan Orang Minahasa dengan Orang Spanyol (1931); Pahlawan Minahasa (novel
sejarah, 1935); Syiar untuk ASIB (Algemeen Steunfonds voor Inheemse Beheeftigen= Fonds Sokongan
Umum untuk Fakir Bumiputra); Putera Budiman (1941).

2. Asmara Hadi

Nama sebenarnya Abdul Hadi, nama samarannya Asmara Hadi, HR Hadi Ratna, Ipih, dan Ipih A. Hadi. Ia
banyak menulis puisi dalam beberapa majalah, belum ada yang dibukukan tersendiri. YU Nasution sudah
membicarakan puisi-puisi tersebut dalam bukunya yang berjudul Asmara Hadi, Penyair Api Nasionalisme
(1965). Karangan Asmara hadi yang sudah diterbitkan: Di Belakang Kawat Berduri (1942).

3. A. Hasymy (M. Ali Hasyim)


Ia pernah menjadi gubernur Aceh tahun 1957. Hampir semua sajaknya bernafaskan Islam dan
mengandung unsur nasionalisme. Karangannya: Kisah Seorang Pemembara (kumpulan puisi, 1936);
Dewan Sajak (kumpulan puisi, 1940); Bermandi Cahaya Bulan, Suara Azan dan Lonceng Gereja, dan
Sepanjang Jalan Raya Dunia.

4. Sutomo Jauhari Arifin

Karyanya: Andang Taruna (novel 1942).

H. SASTRA PERIODE TAHUN 30 DI LUAR PUJANGGA BARU

A. Teeuw membagi sastra Indonesia sebelum perang menjadi tiga golongan, yaitu: (1) sastra hasil
Pujangga Baru; (2) sastra penerbitan Balai Pustaka; dan (3) sastra berupa seri cerita-cerita roman.

Batas antara ketiga golongan itu tidak jelas, masing-masing saling melengkapi satu sama lain. Walaupun
karya Suman Hs. sebagian masuk golongan satu, setengahnya masuk golongan tiga. Demikian pula
HAMKA, sebagai pengarang jarang dimasukkan karena ke dalam golongan-golongan satu atau dua hasil
sastra sebagian besar tetapi penerbitannya melalui golongan tiga, karangan-karangannya sebagian
bersifat golongan dua.

Sastra periode tahun 1930 di luar Pujangga Baru umumnya berupa seri cerita-cerita roman yang
diterbitkan di kota-kota besar, seperti Semarang, Padang, Solo, Surabaya, dan yang terutama adalah
Medan. Oleh karena itu, sering disebut juga sastra penerbitan Medan.

Seri cerita-cerita roman adalah penerbitan roman atau novel berjilid-jilid dalam satu seri dengan nama
bermacam-macam, misalnya Seri Roman Indonesia di Padang, Dunia Pengalaman, dan Lukisan Pujangga
di Medan, Seri Suasana Baru, Seri Kejora, Seri Panorama, dan lain-lain -lain.

Tidak semua penerbitan seri cerita roman beruparoman picisan, walaupun sebagian nilai memang
kurang. Demikian pula seorang penulis yang telah banyak menulis cerita yang dinilai sebagai roman
picisan, tidak termasuk bahwa semua karangannya tidak ada yang layak sastra. Hal ini perlu ditegaskan
untuk mengetahui kejadian yang kurang tepat tentang diri seorang pengarang dan hasil karangannya.

Seorang pengarang yang penting di luar golongan satu dan dua, dan hasil sastra yang mempunyai
kedudukan penting dalam sejarah sastra Indonesia adalah Hamka. Berhubungan dengan itu, kedua hal
tersebut akan diuraikan secara ringkas tentang dua hal tersebut, yaitu roman picisan dan Hamka.

1. Roman Picisan

Dalam bahasa Belanda ada istilah stuiversroman, yang maksudnya hampir sama dengan roman atau
novel picisan dalam bahasa Indonesia. Keduanya menunjukkan pengertian sesuatu yang kurang
berharga atau kurang berharga; Walaupun istilah yang digunakan berbeda (stuiver = 5 sen; sepicis = 10
sen).
Roman picisan adalah jenis bacaan dalam buku-buku kecil yang berisi cerita roman atau novel yang
umumnya termasuk dalam suatu seri dan yang dipandang dari penilaian sastra banyak mengandung
kelemahan. Roman picisan itu banyak diterbitkan di kota-kota besar terutama di daerah Sumatera
Timur. Akan tetapi, tidak berarti bahwa semua roman picisan tidak ada yang layak sastra sebab dalam
beberapa hal penyimpangan itu selalu ada.

Sesuai dengan tulisan R. Roolving tentang Roman Picisan Bahasa Indonesia yang dimuat pada buku
Pokok dan Tokohdalam Kesusastraan Indonesia Baru karangan A. Teeuw, maka beberapa corak seri
roman picisan ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. Penerbitan roman picisan pada umumnya bersifat perdagangan sehingga isi dan ceritanya lebih
banyak diarahkan pada pembaca. Cerita-ceritanya bersifat dramatis, kocak sesuai kehendak zaman,
tentang cinta yang cengeng, dan banyak pula yang mengandung unsur detektif walaupun dalam tingkat
kecerdasan masyarakat pada umumnya.

B. Lukisan watak-watak pelakunya kurang mendalam dan tidak cocok dengan kenyataan hidup manusia
yang sesungguhnya. Seakan-akan hanya ada dua watak manusia, yaitu baik atau buruk saja, tanpa
variasi. Tentang lukisan watak tersebut Roolvink berkata sebagai berikut:

“Dipandang dari kesusastraan buku-buku itu dapat dikatakan berhasil. Jalan ceritanya biasanya indah,
tetapi tidak mendalam pun. Orang-orang serta tabiat-tabiat yang dilukiskan samar saja dan tidak sampai
diperkembangkan, lagi untuk dikatakan bahwa lukisan-lukisan watak itu menurut ilmu jiwa dapat
diperjelas, supaya gerak-gerik masing-masing pelaku dalam buku-buku itu dapat masuk pada akal. ”
(Teeuw, 1953: 243)

C. Persoalannya berkaitan dengan budaya antara kebudayaan kota modern dengan kebudayaan kuno,
kolot, tua, dan sebagainya. Oleh karena itu, pada umumnya cerita-cerita roman picisan itu bermain di
kota-kota besar dengan kehidupan kota yang dipandangnya serba modern: menonton bioskop, makan
minum di restoran, tempat merokok yang serba mahal, pergi tamasya, dan lain-lain. Demikian pula cara
berhias serba modern, secara Barat dengan model-model terakhir.

D. Sering dalam cerita itu sering disisipkan reklame atau propaganda untuk sesuatu badan usaha atau
untuk barang dagangan. Dalam perkembangan teknik reklame, cara seperti itu sekarang banyak
dikembangkan melalui cerita-cerita pedalaman , sandiwara radio, dan sebagainya.

e. Materi cerita dan bahasa yang digunakan umumnya kurang terpelihara. Isi ceritanya sering tidak
runtut, hubungan kausalitasnya tidak jelas. Bahasa yang digunakan dengan lancar, tetapi pemilihan kata,
pemakaian perbandingan, dan tanda bacanya sering kurang tepat.

Apa yang dikemukakan di atas adalah ciri roman atau novel picisan pada umumnya. Akan tetapi, hal itu
tidak berarti bahwa setiap roman picisan mengandung semua ciri tersebut. Ada berbagai variasi antara
satu cerita dengan cerita yang lain. Bahkan, ada pula yang sebagian terluput dari ciri-ciri itu.

Mungkin secara keseluruhan suatu picisan roman ditinjau dari segi nilai sastranya kurang berharga,
tetapi cerita itu tetap berharga ditinjau dari segi lain. Paling tidak, bacaan itu apat memberi kesan
tentang kehidupan dalam kota-kota besar dan tentang kebudayaan kota Indonesia modern. tak dapat
sastra itu diabaikan begitu saja dalam menjawab pertanyaan apakah sekarang yang dibacakan di
Indonesia. Dalam sastra itu terbayang kehidupan rakyat jelata Indonesia modern.” (Teeuw, 1953:250).

Selain itu, ada pula manfaat yang lain. Roman picisan sebagai suatu bacaan populer yang dapat
mencapai sebagian besar lingkungan masyarakat luas, banyak yang mengandung kritik terhadap
beberapa hal yang dipandang kurang baik oleh masyarakat, misalnya tentang bahaya judi, tentang sikap
hidup yang berlebihan-lebihan, dan lain-lain.

Beberapa pengarang yang sebagian karangannya termasuk roman picisan, antara lain:

a. Matu Mona (nama sebenarnya Hasbullah Parinduri), beberapa karangannya adalah: Harta
Terpendam, Spionagendiest, Rol Pacar Merah Indonesia, Panggilan Tanah Air, Ja Umenek Jadi-Jadian,
Zaman Gemilang. Karangannya Zaman Gemilang merupakan hasil Matu Mona yang paling baik; yang
sebenarnya kurang tepat untuk disebut sebagai roman picisan.

B. A. Damhuri. Hasil karangannya: Mayapada, Bergelimang Dosa, Depok Anak Pagai, Mencari Jodoh,
Terompah Usang yang Tak Sudah Dijahit (1953).

C. Yusuf Sou'yb. Hasil karangannya yang terkenal adalah Elang Emas yang terdiri atas beberapa jilid.

D. Imam Supardi. Karangannya berupa sebuah novel kecil melalui penerbitan di Surabaya berjudul
Kintamani.

2. Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amarullah)

televisi menggunakan nama singkatan, Hamka sering menggunakan nama samaran: AS Hamid, Indra
Maha, dan Abu Zaki. Ia lahir di Sungai Batang, Maninjau, 16 Pebruari 1908, anak seorang ulama besar
yang bernama Doktor Haji Abdul Karim Amarullah.

Hamka memang memiliki menulis dan hasilnya produktif sekali. Karangannya mencakup berbagai
bidang: sastra, filsafat, agama, kemasyarakatan, ketatanegaraan, sejarah, dan lain-lain. Hamka terkenal
sebagai pengarang Islam, dan paham Islam itu terpancar pada semua karangannya. sebagian besar hasil
karangannya pertama kali dimuat dalam majalah-majalah Islam juga, misalnya Di Bawah Lindungan
Ka'bah terbit sebagai feuilletan (cerita bersambung) dalam majalah Pedoman Masyarakat (1936); dan
juga kumpulan cerpennya Di Dalam Lembah Kehidupan (1940) pernah dimuat secara terpisah dalam
majalah itu juga.

Novel Hamka yang pertama berjudul Di Bawah Lindungan Ka'bah tersebut kemudian diterbitkan oleh
Balai Pustaka pada tahun 1938 dan ternyata pada tahun 1962 telah mencapai cetak ke-9. Hal ini
menunjukkan populernya cerita tersebut dalam masyarakat. Novel Di Bawah Lindungan Ka'bah memiliki
sifat-sifat yang menarik. Novel tersebut dimulai dengan suatu “Cerita dari Mesir” yang berisi persetujuan
sahabat Hamka tentang penyusunan karangan novel itu; surat pada asalnya novel itu serta ceritanya
yang berbentuk “aku” memberi kesan yang pembaca, bahwa cerita novel tersebut benar-benar terjadi
(bersifat autentik). Memang, Hamka pandai menjalin peristiwa-peristiwa dalam komposisi cerita yang
mengasyikkan. Dipilihnya peristiwa-peristiwa yang sungguh-sungguh penting dan kemudian dipadatkan
lagi dengan sisipan surat-surat sehingga novel yang tebalnya 67 halaman itu cukup memberikan
gambaran lengkap tentang kehidupan pelaku-pelakunya. Ceritanya melukiskan cinta kasih antara Hamid
dan Zainab yang tetap membara di hati masing-masing dan tidak sampai pada jenjang perkawinan
karena perbedaan martabat dan kedudukan. Hamid sejak kecil setelah ayahnya meninggal, tinggal
bersama ibunya. Ia kemudian disekolahkan Haji Jafar, seorang saudagar kaya yang memiliki anak
perempuan bernama Zainab. Hamid sekolah bersama Zainab. Antara keduanya timbul jalinan cinta kasih
yang tersembunyi dalam-dalam. Karena ibu Hamid menyadari keadaan dirinya maka sebelum
meninggal, ia berpesan kepada anaknya agar api cinta itu dipadamkan dan Hamid akan berkonsultasi
dengan nasihat ibunya itu. Ibu Zainab bermaksud mengawinkan anaknya dengan saudara sepupunya
dan untuk maksud itu Hamid diminta untuk melunakkan hati Zainab. Meskipun berat hati, dilakukan
juga permintaan itu, dan ternyata tidak berhasil. Hamid kemudian mengembara meninggalkan kampung
halaman menuju ke Mekkah, dengan niat untuk melihat api cinta yang tumbuh di hati. Kedatangan
teman-temannya yang bernama Saleh ke Mekkah, yang menceritakan bahwa Zainab tetap
mencintainya, kembali api cinta yang hampir padam Akan tetapi, beberapa waktu kemudian kabar dari
istri Saleh, bahwa Zainab meninggal karena sakit menahan rindu. Mendengar itu Hamid jatuh sakit dan
meninggal di bawah lindungan Ka'bah.

Hamka suka pada hal-hal yang sedih-sedih dan sebagian besar ceritanya melukiskan hal-hal yang sedih.
Dengan bahasa yang merayu dan menawan hati, membaca cerita Hamka kita di bawa ikut merasakan
yang sedih-sedih itu. Sungguh-sungguh sungguh hati kita bila membaca surat-surat dalam novel Di
Bawah Lindungan Ka'bah. Oleh karena itu, Hamka sering disebut juga pujangga “air mata”.

Plot cerita novel itu pun memiliki keistimewaan. Dengan cerita “aku” pengarang mulai sebelum
menerima surat dari Mesir. Akan tetapi, “aku” pengarang tidak terus menerus bercerita. Mulai bab
kedua menceritakannya tokoh utama Hamid sendiri. Dengan demikian, “aku” dalam cerita itu bukan
“aku” pengarang selalu. Yunus Amir Hamzah mengemukakan skema plot novel tersebut sebagai berikut:

Pada tiga tahun puluhan masih jarang novel yang memberi sudut pandang cerita (sudut pandang)
bentuk “aku”, lebih-lebih yang kemudian dijalin dalam plot yang rumit seperti skema di atas.

Novel Hamka yang kedua berjudul Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Novel ini terbit pada tahun 1938
dan ternyata pada tahun 1959 telah mengalami cetak ulang yang ke-9. tapi lebih populer daripada yang
pertama, tapi nilai sastra yang pertama lebih berhasil.

Tenggelamnya Kapal Van der Wijck lebih tebal dari novel hamka yang pertama, terdiri atas 200 halaman
(cet. 9). Ceritanya berbentuk “dia” (author omniscient) dan sisipan surat-surat dalam cerita mencapai
jumlah 31 buah. dengan novelnya yang pertama, surat-surat dalam novelnya yang kedua ini tidak
fungsional, tidak memadatkan cerita, tetapi lebih banyak mengulang kembali sesuatu yang sudah
diceritakan.
Tema ceritanya hampir sama, yaitu masalah "kasih tak sampai". Zainuddin yang sudah tidak hidup
bersama dengan Hayati, lamarannya ditolak oleh orang tua Hayati karena Zainuddin orang berbangsa
dan tidak kaya pula. Hayati kawin dengan Azis yang oleh orangtuanya dilihat lebih kaya dan orang
berketurunan. Cerita kemudian pindah tempat, dari Padang ke Surabaya. Di Surabaya Zainuddin menjadi
seorang penulis dan penulis cerita-cerita sandiwara yang terkenal. Sebaliknya, di kota ini rumah tangga
Azis mengalami kesulitan-kesulitan dan karena tahan lagi, Azis tidak memilih bunuh diri dengan bunuh
diri. Hayati ingin kembali kepada Zainuddin. Meski cinta Zainuddin kepada Hayati tidak pernah padam,
perasaan itu dan keinginan Hayati ditolak oleh Zainuddin, bahkan Hayati menyambutnya pulang ke
Padang. Hayati menumpang kapal Van der Wijck dari Surabaya, dan belum lama kapal itu berangkat
tiba-tiba tenggelam. Karena kecelakaan itu, Hayati sakit parah dan dibawa ke rumah sakit Lamongan.
Sebelum meninggal masih sempat bertemu dengan Zainuddin yang menyusulnya. Tak lama kemudian
karena tak tahan penyesalan, Zainuddin pun meninggal dan dikuburkan di dekat kuburan Hayati.

Menilik cerita di atas, judul novel dengan cerita tersebut tidak terjalin secara organisasi, karena
tenggelamnya kapal Van der Wijck hanya suatu peristiwa yang terdapat pada bagian akhir cerita
sebelumnya. televisi bahasanya yang merayu-rayu dan akhir cerita yang salah, tokoh utama dalam novel
Hamka adalah tokoh yang ideal, tokoh manusia suci yang sukar diperoleh contohnya dalam masyarakat.

Pada tahun 1962, novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dihebohkan oleh masyarakat, terutama oleh
Lekra sebagai novel plagiat (curian) dalam novel dalam bahasa Prancis yang berjudul Sous Les Tilleuls (Di
Bawah Naungan Pohon Tillia) karangan Alphonse Karr (1808-1890). Novel Baptisto Alphonse Karr
tersebut pernah mengecewakan dalam bahasa Arab oleh Mustafa Luttfi al-Manfaluthi (1876-1924)
dengan judul Majdulin. Al-Manfaluthi adalah seorang pengarang Arab-Mesir yang sangat dikagumi
Hamka. Karena timbul heboh itu, Majdulin diterjemahkan oleh AS Alatas ke dalam bahasa Indonesia
dengan judul Maghdalena (1963).

Tidaknya menghadapi plagiat novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck yang menjadi heboh itu, HB
Jassin sebagai seorang kritikus yang terkenal menegaskan bahwa novel itu bukan jiplakan karena di
dalamnya ada pemikiran, penghayatan, dan pengalaman Hamka itu sendiri. Adanya pengaruh bukan
berarti plagiat. Karangan Hamka yang lain adalah kumpulan cerpen yang berjudul Di Dalam Lembah
Kehidupan. Sesuai dengan judulnya, cerpen yang terdapat di dalamnya menceritakan kisah kehidupan
seseorang yang penuh penderitaan.

televisi yang tersebut di atas, karangan Hamka yang lain yaitu Laila Majnun (1933); Salahnya Sendiri
(1939); Karena Fitnah (1938); Keadilan Ilahi (1940); Dijemput Mamaknya (1962); Menunggu Beduk
Berbunyi (1950); Terusir (1951); Merantau ke Deli (1959); dan Tuan Direktur (1961).

Hamka menulis pula riwayat hidupnya sendiri (autobiografi) dengan judul Kenang-Kenangan Hidup (4
jilid) terbit tahun 1951 dan riwayat hidup ayahnya Dr. Abdul Karim Amarullah dengan judul Ayahku
(1958). Ia juga menerjemahkan karangan Alexander Dumas ke dalam bahasa Indonesia dengan judul
Margaretha Cauthir (1960). Kisah perjalanan karangan Hamka yang telah diterbitkan adalah Tinjauan di
Lembah Nil (1951); di Tepi Sungai Dajlah (1953); Mandi Cahaya di Tanah Suci (1953); dan Empat Bulan di
Amerika (1954).
Dari semua karangan Hamka, baik yang bersifat sastra maupun yang berhubungan dengan filsafat,
ketatanegaraan, dan lain-lain, jelas sekali adanya ajaran Islam di dalamnya, yaitu ajaran Islam sebagai
suatu keyakinan, bukan sebagai suatu permasalahan.

Iklan

Bagikan ini:

Kategori: Sastra

Tinggalkan komentar

sastra100km

Kembali ke atas

Iklan

Anda mungkin juga menyukai