Anda di halaman 1dari 18

Referat

Asma Kerja

Disusun Oleh:

Fadholi Hibatullah : 1510070100038


Lisa Wulan Sari : 1610070100007
Wenny Sagita : 1610070100009

Preseptor:

dr. Sari Nikmawati, Sp.P

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH M. NATSIR SOLOK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BAITURRAHMAH
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa karena kehendak-Nya
penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Asma Kerja”. Referat ini
dibuat sebagai salah satu tugas dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Paru.
Mengingat pengetahuan dan pengalaman penulis serta waktu yang tersedia untuk
menyusun referat ini sangat terbatas, penulis sadar masih banyak kekurangan
baik dari segi isi, susunan bahasa, maupun sistematika penulisannya. Untuk itu
kritik dan saran pembaca yang membangun sangat penulis harapkan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dr.
Sari Nikmawati, Sp.P selaku preseptor Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Paru di
Rumah Sakit Umum Daerah M. Natsir Solok, yang telah memberikan masukan
yang berguna dalam penyusunan referat ini.

Akhir kata penulis berharap kiranya referat ini dapat menjadi masukan
yang berguna dan bisa menjadi informasi bagi tenaga medis dan profesi lain
terkait dengan masalah kesehatan pada umumnya, khususnya mengenai Asma
Kerja.

Solok, 9 Agustus 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar................................................................................................................................. ii

Daftar Isi............................................................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ........................................................................................................................... 1

1.2 Tujuan Penulisan....................................................................................................................... 2

1.2.1 Tujuan Umum..................................................................................................................... 2

1.2.2 Tujuan Khusus .................................................................................................................... 2

1.3 Manfaat Penulisan ..................................................................................................................... 3

1.4 Metode Penulisan ...................................................................................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................................. 4

Asma Kerja ......................................................................................................................................... 4

2.1 Definisi.................................................................................................................................. 4

2.2 Klasifikasi............................................................................................................................. 5

2.3 Faktor Resiko ....................................................................................................................... 6

2.4 Patofisiologi.......................................................................................................................... 7

2.5 Gejala Klinik ........................................................................................................................ 8

2.6 Diagnosis .............................................................................................................................. 9

2.7 Tatalaksana........................................................................................................................... 11

BAB III KESIMPULAN ............................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................... 14

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kemajuan dalam bidang industri sampai sekarang telah menghasilkan bahan


berupa logam, bahan kimia, pelarut, plastik , karet, pestisida, gas dan sebagainya,
yang digunakan secara umum dalam kehidupan sehari-hari dengan tujuan
memberikan kenyamanan dan kemudahan bagi manusia, namun bahan–bahan
tersebut dapat menimbulkan berbagai dampak seperti cedera dan penyakit.
Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang diakibatkan oleh atau dihubungkan
dengan lingkungan kerja. Lingkungan kerja tidak hanya terbatas pada tempat kerja
formal seperti pabrik atau tempat kerja lain yang terorganisir dengan baik tetapi
dapat juga tempat kerja informal seperti industri rumah tangga, industri tekstil
yang dikelola secara sederhana, pengelolaan timbal aki bekas, penggunaan
pestisida oleh petani, penggunaan solder timah pada jasa perbaikan alat elektronik
dan lain-lain. Penyakit pertama yang diduga merupakan penyakit akibat kerja
adalah silikosis yang sudah terjadi pada masa manusia membuat peralatan dari
batu api. Pada abad ke 18 Bernardino Ramazzini pertama kali melaporkan pekerja
yang terpapar tepung terigu menderita penyakit saluran nafas yang dikenal dengan
Bakers asthma, sehingga dikenal sebagai Bapak Kesehatan Kerja. Sedangkan
Profesor Jack Pepys dikenal sebagai Bapak Asma Akibat Kerja, karena
menemukan test Provokasi Bronkus Spesifik (Specific Inhalation Challenge) yang
merupakan gold standar untuk diagnosis Asma Akibat Kerja. Penyakit akibat
kerja yang tersering adalah yang mengenai saluran nafas yaitu asma dan rhinitis.

Asma akibat kerja adalah penyakit yang ditandai dengan adanya obstruksi
saluran nafasyang reversible atau saluran nafas yang hiperresponsif terhadap
berbagai sebabatau kondisi yang berhubungan dengan lingkungan kerja tertentu
dan tidak terhadap rangsangan yang berasal dari luar tempatkerja.
Asma akibat kerja merupakan penyakit paru akibat kerja yang sering
dijumpai dimasyarakat terutama dinegara maju. Prevalensi asma akibat kerja
berbeda antara satu Negara dengan yang lain tergantung pada , secara umum

1
terjadi sekitar 5-10 % penduduk. Dari hasil observasiAmerican Thoracis society
(ATS) dinegara maju, para pekerja 15% menderita asma akibat kerja dan
merupakan penyakit tersering akibat kerja. Dari penelitian The Surveillance of
Work Occupational Respiratory Disease (SWORD) penderita asma akaibat kerja
sekitar 26 % di Inggris dan diperkirakan 52 % terdapat di Columbia. Di Amerika
Serikat diperkirakan 15% penderita asma akibat kerja. Di Jepang 15% dari kasus
asma adalah asma akibat kerja, makin lama penderita asma akibat kerja semakin
meningkat, terlihat dari laporan di Kanada, dimana tahun 1977 asma kerja
peringkatnya dibawah penderita asbestosis dan silikosis, namun tahun 1986
berada di urutan teratas.
Di Indonesia belum ada data pasti tentang penyakit asma akibat kerja namun
diperkirakan 2-10% penduduk dan 2% dari seluruh penderita asma tersebut adalah
asma akibat kerja, sedangkan Karnen melaporkan bisinosis pada 30% karyawan
pemintalan dan 19,25% karyawan pertenunan.
Tujuan penulisan referat ini adalah, karena kemajuan dibidang industri
menyebabkan terjadinya peningkatan kejadian asma akibat kerja sehingga
diperlukan pedoman dalam mendiagnosis dan penatalaksanaannya.

1.2 Tujuan Penulisan

1.2.1 Tujuan Umum

Referat ini disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik senior dibagian
ilmu penyakit paru RSUD M. Natsir dan diharapkan agar dapat menambah
pengetahuan penulis serta bias menjadi bahan referensi bagi para pembaca
khususnya kalangan medis mengenai Asma Kerja.

1.2.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui mengenai
defenisi, pembagian, patofisiologi, gejala klinik dan tatalaksana dari Asma Kerja.

2
1.3 Manfaat Penulisan

1. Sebagai sumber media informasi mengenai Asma Kerja.

2. Untuk memenuhi tugas referat kepanitraan klinik senior dibagian ilmu

penyakit paru RSUD M. Natsir.

1.4 Metode Penulisan

Referat ini dibuat dengan metode tinjauan kepustakaan yang merujuk pada

berbagai literature.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

ASMA KERJA

2.1 Definisi

Asma yang berhubungan dengan pekerjaan (work-related asthma) adalah


penyakit yang ditandai oleh keterbatasan aliran saluran nafas yang bervariasi dan
atau hiperresponsif bronkus non spesifik yang disebabkan oleh penyebab dan
keadaan lingkungan pekerjaan tertentu dan rangsangan itu tidak dijumpai di luar
tempat kerja.

Asma yang berhubungan dengan pekerjaan dibagi menjadi menjadi asma


yang diperburuk oleh faktor pekerjaan (work-exacerbated asthma) dan asma kerja
(occupational asthma). Asma yang diperburuk oleh faktor pekerjaan (work
exacerbated asthma) adalah asma yang dicetuskan oleh berbagai faktor di tempat
kerja (aeroallergens, irritants, atau exercise) pada pekerja yang diketahui
sebelumnya (Tarlo et.al, 2008). Sedangkan asma kerja adalah penyakit yang
ditandai oleh hambatan jalan napas dan/atau kepekaan saluran nafas dan/atau
peradangan saluran napas terhadap pajanan berbagai zat di tempat kerja dan tidak
terjadi pada rangsangan di luar tempat kerja (Bernstein, 2008; Baur et al., 2012).

National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) memberi


definisi kasus sueveilans asma kerja; yang memerlukan diagnosis asma dari
dokter, adanya hubungan antara gejala asma dengan pekerjaan, dan sekurang-
kurangnya satu diantara 4 hal berikut : (1) paparan tempat kerja terhadap bahan
atau proses yang sebelumnya berhubungan dengan asma kerja (2) perubahan
volume ekspirasi paksa 1 detik (VEP1) atau arus puncak ekspirasi (APE) yang
bermakna, atau (3) perubahan pada respons jalan nafas yang diukur dengan
nonspesific inhalation challenge, atau (4) respons yang positif terhadap tes
provokasi inhalasi dengan suatu bahan paparan di tempat kerja (Jimenez et al.,
2000; Tarlo dan Liss, 2003).

4
2.2 Klasifikasi

Panel konsensus the American College of Chest Physicians (ACCP)


membagi asma kerja menjadi dua subkategori yaitu:

2.2.1 Asma kerja dengan periode laten (Allergic Occupational Asthma).

Allergic Occupational Asthma disebabkan oleh sensitisasi atau menjadi


alergi terhadap agen kimia tertentu di tempat kerja selama jangka waktu tertentu.
Ini adalah mekanisme untuk sebagian besar (> 90%) kasus asma akibat kerja.
Proses sensitisasi tidak terjadi setelah satu paparan tetapi berkembang seiring
waktu (yaitu, periode latensi). Periode laten bervariasi dan bisa sesingkat beberapa
minggu atau selama 30 tahun. Jika eksposur konsisten, periode risiko terbesar
adalah dua tahun pertama paparan tetapi risiko tidak hilang setelah itu.

Tabel 2.1. Contoh agen dan pekerjaan yang terkait dengan paparan

Agen Pekerjaan
Agen dengan berat molekul rendah
Debu kayu (misalnya cedar Pekerja gergaji, tukang bangunan, tukang
merah barat, kayu merah, oak) kayu
Platinum Salt Dokter gigi, fotografer, kimiawan, pekerja
industri elektronik
Isocyanates Industri kimia, mekanika, pekerja industri
otomotif, pekerja produksi busa, pelukis
Formaldehide Industri komestik, pekerja industri
kertas/karet/plastik, pekerja laboratorium,
pekerja layanan kesehatan, penata rambut
Agen dengan berat molekul tinggi
Latex Pekerja layanan kesehatan, pekerja industri
tekstil, penangan makanan, produsen
mainan
Tepung dan debu Koki, pedagang, pembuat pizza, prtani,
tukang roti
Alergen hewan (misalnya Dokter hewan, pekerja toko hewan
urin,bulu) peliharaan, peternak hewan

5
2.2.2 Irritant Induced Occupational Asthma

Irritant Induced Occupational Asthma biasanya berkembang setelah satu


kali paparan yang sangat tinggi terhadap bahan kimia yang mengiritasi. Ini
merupaka efek "membakar" langsung pada saluran udara dan tidak terkait dengan
sistem kekebalan. Contoh agen penyebab termasuk amonia, asam dan asap.
Tingginya tingkat paparan yang diperlukan biasanya merupakan hasil dari
kecelakaan atau beberapa kegagalan kontrol, sering kali di ruang tertutup. Para
pasien hampir selalu menunjukkan gejala asma dalam 24 jam setelah pemaparan,
yaitu tidak ada periode laten. Gejala akan cenderung membaik dari waktu ke
waktu dan mungkin hilang sepenuhnya tetapi mungkin juga jika gejala bertahan di
luar 6 bulan, masalah persisten mungkin terjadi.

2.3. Faktor risiko asma kerja

2.3.1 Agen/bahan penyebab

Struktur kimiawi suatu bahan merupakan faktor penentu potensial untuk


menimbulkan sensitisasi. Kapasitas suatu bahan iritan unuk menimbulkan reactive
airway dysfunction syndrome tergantung pada kemampuan korosif, reaktiviti dan
kelarutannya dalam air (Youakim,2001).

2.3.2 Paparan

Intensitas dan lamanya paparan berpengaruh pada sensitisasi pekerja.


Tingkat paparan tergantung pada proses industri, prosedur operasional, jenis
pekerjaan dan penggunaan alat proteksi diri (APD) (Youakim, 2001).

2.3.3 Host

Beberapa penelitian telah menunjukkan hubungan antara molekul HLA II


(human leucocyte antigen class II) dengan risiko terjadinya allergic OA akibat
paparan bahan yang tergolong Low Molecular Weight Agents/LMW (Youakim,
2001; Horne et al., 2000). Pekerja dengan riwayat atopi akan cenderung
mengalami sensitisasi terutama terhadap bahan yang tergolong High Molecular
Weight Agents/HMW, demikian pula dengan pekerja yang merokok terjadi

6
peningkatan laju sensitisasi terhadap sejumlah besar bahan HMW dan beberapa
bahan LMW (Youakim, 2001).

2.4. Patofisiologi

Inflamasi jalan napas memegang peranan penting dalam patogenesis asma


kerja seperti halnya asma lainnya. Komponen inflamasi jalan napas meliputi
perubahan epitel dan sel otot polos, infiltrasi sel inflamasi seperti limfosit T, sel
mast, eosinofil dan netrofil, dan penebalan dinding jalan napas (Redlich dan
Balmes, 2000). Bahan yang tergolong HMW dapat menginduksi respons IgE dan
menimbulkan asma melalui mekanisme yang dimediasi IgE seperti yang terjadi
pada asma atopik. Ikatan molekul IgE dengan alergen menyebabkan degranulasi
sel mast dan diawalinya kaskade inflamasi sehingga terjadi inflamasi dan
hiperresponsiviti jalan napas. Hal ini menjelaskan mengapa pasien dengan riwayat
keluarga atopi berisiko tinggi mengalami asma kerja akibat paparan bahan yang
tergolong HMW (Aronica, 2005).

Mekanisme patogenesis bahan LMW belum sepenuhnya dimengerti


namun tampaknya terdapat beberapa mekanisme, baik imunologis maupun non
imunologis yang berperan. Bahan LMW dapat berberan sebagai hapten dan
berikatan dengan protein tubuh dalam saluran pernapasan sehingga membentuk
imunogen yang lengkap. Beberapa bahan LMW yang telah banyak diteliti aadalah
diisocyanate dan plicatic acid (suatu zat yang terdapat pada debu kayu WRC). IgE
spesifik terhadap isosianat dan plicatic acid hanya dijumpai pada sebagian kecil
pekerja yang mengalami asma akibat paparan bahan tersebut (Aronica, 2005).

Aktivasi sel T juga berperan penting pada patogenesis dan inflamasi asma
kerja seperti asma bentuk lainnya. Biopsi bronkial pasien asma akibat isosianat
dan plicatic acid menunjukkan banyak sel T yang teraktivasi (Aronica, 2005).

Mekanisme lain bahan LMW menginduksi asma adalah efek/aksi


farmakologik secara langsung. Isosianat dapat memblokir reseptor β2-adrenergik
dan konsentrasi plicatic acid yang tinggi dapat mengaktivasi komplemen.selain itu
isosianat dan bahan lainnya dapat merangsang saraf sensorik, yang menyebabkan
pelepasan substansi P dan neuropeptida lainnya. Bahan tersebut juga dapat

7
menghambat endopeptidase yang berfungsi menginaktivasi substansi P (Looney et
al., 2004, Aronica M, 2005). Substansi P akan mempengaruhi sel-sel dalam
saluran napas sehingga menimbulkan batuk, kontraksi otot polos dan produksi
mukus (Aronica, 2005).

Gambar 2.4 : Patofisiologi Asma Kerja

2.5. Gejala Klinis

Gejala klinis bervariasi umumnya penderita asma akibat kerja mengeluh


batuk berdahak dan nyeri dada, sesak nafas serta mengi, beberapa pekerja
merasakan gejala penyerta seperti rhinitis, iritasi pada mata dan dermatitis.
Keluhan dan gejala umumnya sama dengan bentuk asma lainnya. Gejala berupa
dipsneu dan wheezing, batuk kering atau berdahak dapat timbul 3 atau 4 jam
setelah paparan dan mencapai puncaknya setelah 8 jam, sering pula disertai gejala
alergi pada mata, hidung dan kulit (Redlich dan Balmes, 2000).

8
2.6. Diagnosis

2.6.1 Anamnesis

Diagnosis asma kerja ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan


fisis, uji fungsi paru, uji provokasi bronkus dan uji pajanan dengan alergen
spesifik. Anamnesis yang teliti meliputi riwayat, jenis pekerjaan, lama kerja dan
gejala-gejala yang timbul. Pertanyaan kunci yang harus dilontarkan adalah:

 Adakah perubahan pada proses pekerjaan pada suatu periode yang


mengawali awitan gejala klinis?
 Adakah pajanan kerja yang tidak biasa pada 24 jam sebelum awitan gejala
asma awal?
 Apakah gejala asma berbeda selama jauh dari tempat kerja seperti pada
saat akhir pekan atau liburan?
 Adakah gejala rinitis dan atau konjungtivitis yang memburuk pada saat
bekerja?

Pertanyaan pertama menunjukkan adakah bahan baru yang sebelumnya


belum pernah terpajan pada penderita atau meningkatnya derajat pajanan terhadap
bahan yang sudah pernah terpajan sebelumnya. Pertanyaan kedua meningkatkan
kecurigaan akan asma yang diinduksi oleh iritan. Pekerjaan ketiga tidak spesifik
untuk asma kerja tetapi sensitif untuk menegakkan diagnosis asma kerja.
Pertanyaan terakhir meningkatkan kemungkinan terjadinya asma kerja sensitizer-
induced. Diagnosis asma kerja berdasarkan anamnesis atau kuesioner saja
mempunyai sensitivitas yang tinggi antara 87% - 92% tetapi spesifitasnya rendah
yaitu 14% - 32% karena itu diperlukan pemeriksaan objektif lain (Yunus, 2009).

2.6.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada penderita asma umumnya normal kecuali dalam


serangan. Pemeriksaan fisik difokuskan pada saluran napas atas dan bawah.

9
2.6.3 Pemeriksaan Penunjang

A. Spirometri

Spirometri diperlukan pada semua pasien yang dicurigai AAK. Hal ini
digunakan sebagai instrumen utama untuk memantau fungsi paru secara
longitudinal selama surveilans, juga selama pengukuran hiperresponsif bronkus
non-spesifik (NSBHR). Banyak pekerja dengan AAK memiliki spirometri normal
ketika dilihat di klinik. Ada juga peran untuk mengukur resistensi saluran napas
atau konduktansi spesifik untuk memantau fungsi paru-paru ketika pasien tidak
dapat merekam FEV1nya.

B. Tes fungsi paru-paru serial

Jika AAK klinis ada, paparan tingkat rutin agen penyebab harus
menghasilkan penurunan fungsi paru yang dapat diukur dalam beberapa jam
setelah terpapar. Ini biasanya dilakukan dengan alat pengukur aliran puncak
ekspirasi sederhana (PEF) atau dengan spirometer portabel.

C. Pengukuran respon saluran napas nonspesifik

Uji dengan methacholine adalah bagian dari diagnosis awal. Ini juga dapat
diukur sebelum dan sesudah periode paparan kerja dan selama dilakukan uji
inhalasi spesifik. Sejumlah besar studi dari berbagai pusat menggunakan
metodologi yang berbeda menunjukkan bahwa peningkatan NSBHR sering
ditemukan pada pekerja dengan AAK. Namun demikian, banyak laporan dari
methacholine normal atau reaktivitas histamin dalam 24 jam paparan pada pekerja
dengan AAK .

D. Tes provokasi bronkus dengan alergen spesifik

Merupakan gold standard untuk diagnosis asma akibat kerja, tetapi karena
banyak menimbulkan serangan asma serta harus dilaksanakan dirumah sakit pusat
dengan tenaga yang terlatih, maka tes ini jarang dilakukan. Sebelum tes
dilakukan, harus diketahui bahan yang dicurigai sebagai alergen ditempat kerja

10
dan kadar pajanan serta dalam bentuk apa bahan tersebut berada dilingkungan
kerja. Indikasi utama uji provokasi bronkus dengan bahan spesifik adalah:

1. Bila pekerja asma akibat kerja, tidak diketahui zat penyebabnya.


2. Bila pekerja terpajan lebih dari satu zat penyebab asma kerja.
3. Bila diperlukan konfirmasi untuk diagnosis penyakit sebelum pekerja
berhenti atau pindah karena diduga menderita asma kerja

Adapun kriteria diagnosis asma kerja berdasarkan American College of Chest


Physician mencakup:

a. Diagnosis asma.
b. Onset gejala asma setelah terpajan zat di tempat kerja.
c. Ada hubungan antara gejala asma dengan pekerjaan.
d. Memenuhi satu atau lebih kriteria berikut, yaitu:
 Diketahui bahan di tempat kerja yang dapat menimbulkan asma.
 Terdapat perubahan APE atau VEP, yang berhubungan dengan kerja
 Ada perubahan hiperaktivitas bronkus yang berhubungan dengan kerja
 Ada respons positif pada uji provokasi bronkus
 Onset asma mempunyai hubungan jelas dengan iritan di tempat kerja.

Selain itu dikenal pula asma yang memburuk di tempat kerja, yang
meliputi kriteria A + C ditambah riwayat bahwa pekerja telah menderita asma
atau tidak mendapat pengobatan sebelum bekerja dan gejala bertambah setelah
bekerja di tempat yang baru (Yunus 2009).

2.7. Tatalaksana
A. Pencegahan paparan terhadap agen penyebab atau pencetus :
 Ketika disebabkan oleh agen sensitisasi, semua paparan ke agen
penyebab harus dihilangkan karena peningkatan risiko obstruksi
saluran napas yang irreversibel, bronkospasme berat bahkan kematian.
 Bila disebabkan oleh iritan, eliminasi paparan diinginkan tetapi reduksi
paparan yang signifikan mungkin cukup.
B. Dimana jika pendekatan ini gagal dan kondisi klinis menjamin,
pemindahan pekerja dari tempat kerja mungkin diperlukan

11
C. Obat-obatan :
1. Obat-obatan hanya boleh digunakan bersama dengan pencegahan
paparan.
2. Tes spirometri diperbolehkan sesuai kebutuhan untuk memantau
efektivitas terapi. Karena sifatnya yang unik, AAK sering
membutuhkan pendekatan terapi yang lebih agresif daripada asma
bukan akibat kerja.

Pendekatan terapeutik yang disarankan adalah sebagai berikut:

a. Langkah 1: Obat golongan β-agonist onset cepat yang diperlukan


untuk mengontrol gejala asma yang terjadi kurang dari tiga kali per
minggu.
b. Jika ini gagal, maka : Langkah 2: Kortikosteroid dosis
rendahmenengah yang dihirup untuk mengobati peradangan,
dikombinasikan dengan golongan β-agonist onset cepat yang
diperlukan untuk mengendalikan gejala asma.
c. Jika ini gagal, maka: Langkah 3: Tingkatkan kortikosteroid
inhalasi ke dosis tinggi, ditambah golongan β-agonist inhalasi
long-acting dan / atau teofilin dengan penggunaan lanjutan dari
golongan β-agonist onset cepat yang diperlukan untuk mengontrol
gejala asma.
d. Jika ini gagal, maka: Langkah 4: Tambahkan kortikosteroid oral.

12
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Asma merupakan penyakit gangguan aliran nafas dan hiperaktifitas


bronkus. Sedangkan Asma akibat kerja (AAK) merupakan penyakit asma yang
terjadi akibat suatu keadaan di lingkungan kerja dan tidak terjadi pada rangsangan
diluar tempat kerja. Lebih dari 300 bahan kimia alami dan sintetis yang terlibat
dalam proses penyebab asma kerja, sering dibagi antara agen berat molekul tinggi
(BMT) dan berat molekul rendah (BMR).

Ada 2 bentuk asma akibat kerja, Irritant Induced Occupational Asthma


(sebelumnya disebut reactive airway dysfunction syndrome atau RADS) dan
Allergic Occupational Asthma. Ini adalah penyebab sebagian besar kasus asma
pekerjaan. Patogenesis AAK melalui mekanisme, Immunologi: IgE Dependen-
Independen dan Asma yang diinduksi oleh iritasi.

Diagnosis AAK dapat dilakukan dalam tiga langkah, (1) Membuat


diagnosis asma, (2) Identifikasi tempat kerja sebagai penyebab asma pasien dan
(3) Identifikasi agen khusus yang menyebabkan AAK. Penatalaksaan pada pasien
AAK yaitu, pencegahan paparan terhadap agen penyebab atau pencetus, dimana
jika pendekatan ini gagal dan kondisi klinis menjamin, pemindahan pekerja dari
tempat kerja mungkin diperlukan, obat- obatan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Utami, NR. Diagnosis dan Tatalaksana Terbaru Asma Akibat Kerja. Vol.
02, Jurnal Medica Utama. 2021.

Desdiani, Faisal, Nuryunita, Putri. Pajanan Debu Tepung Roti Dengan


Kejadian Asma Kerja Pada Pekerja Pabrik Roti. Vol. 35, J Respi Indo. 2015

Andisari, Rai, Suryana. Ada Korelasi Antara Pajanan Debu Kayu Dengan
Jumlah CD4 Serum Dan Tidak Ada Korelasi Dengan Eosinofil Serum Pada
Pekerja Industri Pengolahan Kayu. Jurnal Konker PAPDI XIV. 2017.

Karjadi T, Djauzi S. Dasar- Dasar Penyakit Akibat Kerja.Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam Jilid I edisi IV.Balai Penerbit FKUI Jakarta, 2006;122-123.

Baratawidjaja K, Harjono T. Asma Akibat Kerja.Buku Ajar Ilmu Penyakit


Dalam Jilid II edisi ketiga.Balai Penerbit FKUI Jakarta, 2001;33-42.

Yeung MC. Malo JL.Occupational Asthma.The New England Journal of


Medicine.vol 333 no 2, 2007;107-112.

Aditama TY.Asma Kerja. Penyakit Paru Akibat Kerja.Pendidikan


Kedokteran Berkelanjutan Ikatan Dokter Indonesia,1997;37-42.

Tarlo SM, Lemiere C. Occupational asthma. N Engl J Med.


2014;370(7):640–9.

Cooper JAD. Occupational Asthma, Byssinosis, and Industrial Bronchitis.


In: Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders. 2015.

Maestrelli P, Boschetto P, Fabbri LM, Mapp CE. Mechanisms of


occupational asthma. Vol. 123, Journal of Allergy and Clinical Immunology.
2009. 531–42.

14
Nicholson PJ, Cullinan P, Burge S. Concise guidance: diagnosis,
management and prevention of occupational asthma. Clin Med (Northfield Il).
2012;12(2):156–9.

Darmawan A, Ilmu B, Komunitas K, Kedokteran F, Kesehatan I, Jambi U.


Penyakit Sistem Respirasi Akibat Kerja. Jambi Med J. 2013;1:68–83.

Tarlo SM, Balmes J, Balkissoon R, Beach J, Beckett W, Bernstein D, et al.


Diagnosis and management of work-related asthma: American College of
Chest Physicians consensus statement. Chest. 2008;134(3 SUPPL.).

Nicholson PJ, Cullinan P, Burge S. Concise guidance: diagnosis,


management and prevention of occupational asthma. Clin Med.
2012;12(2):156–9.

15

Anda mungkin juga menyukai