Anda di halaman 1dari 36

STUDENT PROJECT

INTOKSIKASI ORGANOFOSFAT

Disusun oleh:

SGD KU A-04

Diana Putri (1602511175)


Agus Arya Mahottama (1602511219)
I Gusti Ayu Agung Sriska Pradnya Dewi (1602511042)
Wayan Arlis Saputra (1602511078)
Dewa Ayu Agung Maya Gayatri (1602511079)
Tu Bagus Adnan Angga Prawira (1602511151)
Etik Nurhidayati (1602511028)
Luh Putu Putri Sanjiwani (1602511055)
Jourdan Wirasugianto (1602511087)
Trisha Anindya (1602511139)
Gusti Ngurah Prana Jagannatha (1602511202)
Ni Komang Vina Indriyani (1602511017)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2019
STUDENT PROJECT

INTOKSIKASI ORGANOFOSFAT

Disusun oleh:

SGD KU A-04

Diana Putri (1602511175)


Agus Arya Mahottama (1602511219)
I Gusti Ayu Agung Sriska Pradnya Dewi (1602511042)
Wayan Arlis Saputra (1602511078)
Dewa Ayu Agung Maya Gayatri (1602511079)
Tu Bagus Adnan Angga Prawira (1602511151)
Etik Nurhidayati (1602511028)
Luh Putu Putri Sanjiwani (1602511055)
Jourdan Wirasugianto (1602511087)
Trisha Anindya (1602511139)
Gusti Ngurah Prana Jagannatha (1602511202)
Ni Komang Vina Indriyani (1602511017)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan student project yang berjudul
“INTOKSIKASI ORGANOFOSFAT” tepat pada waktunya.

Dalam proses penyusunan student project ini, penulis banyak mendapat


bimbingan, arahan, dukungan, dan saran dari berbagai pihak. Untuk itu, melalui
kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Dr. dr. Tjok Gde Agung Senapathi,Sp.AnKAR selaku ketua blok Emergency
Medicine.
2. Dr. dr. I Ketut Agus Somia, SpPD KPTI sebagai Pembimbing sekaligus
Evaluator Group A-04 dalam student project ini.
3. Serta dosen, teman-teman, dan semua pihak yang membantu dalam
menyelesaikan student project ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu.

Jika dalam penyampaian penulis terdapat hal yang kurang berkenan dalam
student project ini, penulis mohon maaf yang sedalam-dalamnya. Dengan segala
kerendahan hati, penulis menyadari bahwa student project ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun tetap penulis
harapkan untuk menyempurnakan student project ini. Semoga student project ini
dapat bermanfaat bagi pembaca.

Denpasar, 20 Maret 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i

KATA PENGANTAR .................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................... iii

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .............................................................................. 2
1.3. Tujuan Penulisan................................................................................. 3
1.4. Manfaat Penulisan .............................................................................. 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Definisi Intoksikasi Organofosfat ....................................................... 5
2.2. Epidemiologi Intoksikasi Organofosfat .............................................. 5
2.3. Etiologi dan Faktor Risiko Intoksikasi Organofosfat ......................... 6
2.4. Patofisiologi Intoksikasi Organofosfat ............................................... 8
2.5. Manifestasi Klinis Intoksikasi Organofosfat ...................................... 11
2.6. Diagnosis dan Diagnosis Banding Intoksikasi Organofosfat.............. 12
2.7. Pemeriksaan Penunjang Intoksikasi Organofosfat.............................. 17
2.8. Penatalaksanaan Intoksikasi Organofosfat ......................................... 18
2.9. Komplikasi dan Prognosis Intoksikasi Organofosfat.......................... 25
2.10. Pencegahan Intoksikasi Organofosfat ................................................ 25

BAB III PENUTUP


3.1. Ringkasan ............................................................................................ 27
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 28

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Gambar 2.1 Mekanisme kerja organofosfat pada sinpas.............. 9


Gambar 2.2 Patofisiologi sindrom kolinergik terhadap system autonomy
dan system saraf somatic ............................................................. 11

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Intoksikasi Organofosfat berasal dari dua kata yaitu Intoksikasi atau


Keracunan dan Organofosfat. Intoksikasi diartikan sebagai suatu keadaan
masuknya zat berupa racun ke dalam tubuh melalui saluran cerna, pernapasan,
maupun kulit dan mukosa sehingga dapat menimbulkan gejala keracunan pada
penderita. Sedangkan, organofosfat merupakan suatu zat kimia sintesis yang
terkandung pada pestisida untuk membunuh hama (serangga, jamur atau
gulma) (Somasetia, 2017).
Intoksikasi organofosfat merupakan masalah kesehatan yang sering
terjadi di dunia, dengan perkiraan 3.000.000 kasus serta 300.000 kematian
setiap tahunnya. Di negara berkembang, khususnya di wilayah Asia-Pasifik,
kasus intoksikasi ini biasanya terjadi dalam bentuk self-poisoning pestisida
organofosfat. Negara-negara berkembang berpotensi memiliki risiko lebih
tinggi dikarenakan pelepasan senyawa ini sering terjadi pada transportasi atau
dari fasilitas penyimpanan setelah kecelakaan atau bencana alam (Faria et al,
2017).
Organofosfat merupakan insektisida yang paling toksik di antara jenis
pestisida lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada manusia. Bila
tertelan hanya dalam jumlah sedikit maka dapat menyebabkan kematian pada
manusia. Keracunan organofosfat dapat dilihat dari aktivitas kholinesterase
darah. Sehingga faktor risiko keracunan organofosfat adalah faktor-faktor
yang menyebabkan rendahnya aktivitas kholinesterase darah seperti usia,
status gizi dan jenis kelamin (Teguh, 2009).

Tubuh manusia dapat terpapar organofosfat melalui jalur inhalasi,


kontak kulit, dan tertelan, kemudian akan diabsorpsi dengan baik sesuai jalur
masuknya. Patogenesis organofosfat memiliki kaitan yang erat dengan
asetilkolin. Komponen organofosfat akan menghambat hidrolisis multiple

1
2

carboxyl ester ini, termasuk AChE dan butirilkolinesterase (yang dikenal


sebagai plasma kolinesterase atau pseudokolinesterase). Pemisahan ikatan
kolin dengan enzim pada metabolisme ACh dapat selesai dalam beberapa
detik dan ikatan organofosfat organik dengan enzim dapat menetap hingga
beberapa jam, sehingga dapat menyebabkan asetilkolin pada seluruh sinaps
kolinergik meningkat sehingga terjadinya toksisitas. (Sudoyo, 2014. Lorke,
2013). Gejala keracunan organofosfat akan berkembang selama pemaparan
atau 12 jam kontak. Pestisida yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami
perubahan secara hidrolisa di dalam hati dan jaringan-jaringan lain (Prihadi,
2008).
Komplikasi tersering dari toksisitas organofosfat adalah respiratory
distress dan gangguan mental, beberapa pasien juga mengalami koma setelah
mengalami gejala akut toksisitas organofosfat dan sebanyak 50% pasien
meninggal akibat komplikasi organofosfat (Faiz M S et al, 2011). Maka dari
itu, diperlukannya pemahaman lebih lanjut mengenai instoksikasi
organofosfat dengan melakukan studi pustaka dan membahasnya lebih lanjut
dalam bentuk student project ini agar dapat meningkatkan pengetahuan
mahasiswa, masyarakat dan tenaga medis terhadap kegawatdaruratan yang
disebabkan oleh karena intoksikasi organofosfat ini.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan dari latar belakang di atas, adapun rumusan masalah


yang akan kami bahas dalam student project ini adalah:

1. Apakah definisi dari intoksikasi organofosfat?


2. Bagaimana epidemiologi intoksikasi organofosfat?
3. Apa saja etiologi dan faktor risiko dari intoksikasi organofosfat?
4. Bagaimanakah patofisiologi dari intoksikasi organofosfat?
5. Bagaimanakah manifestasi klinis dari intoksikasi organofosfat?
6. Diagnosis dan Diagnosis Banding intoksikasi organofosfat?
7. Pemeriksaan Penunjang intoksikasi organofosfat?
3

8. Bagaimanakah penatalaksanaan dari intoksikasi organofosfat?


9. Bagaimakah Komplikasi dan Prognosis dari intoksikasi organofosfat?
10. Bagaimanakah cara mencegah intoksikasi organofosfat?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui definisi dari intoksikasi organofosfat.


2. Untuk mengetahui epidemiologi intoksikasi organofosfat.
3. Untuk mengetahui etiologi dan faktor risiko dari intoksikasi organofosfat.
4. Untuk mengetahui patofisiologi dari intoksikasi organofosfat.
5. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari intoksikasi organofosfat.
6. Untuk mengetahui diagnosis dan diagnosis banding intoksikasi organofosfat.
7. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang intoksikasi organofosfat.
8. Untuk mengetahui bagaimanakah penatalaksanaan dari intoksikasi
organofosfat.
9. Untuk mengetahui bagaimakah Komplikasi dan Prognosis dari intoksikasi
organofosfat.
10. Untuk mengetahui cara mencegah intoksikasi organofosfat.

1.4 Manfaat Penulisan

1. Dapat mengetahui definisi dari intoksikasi organofosfat.


2. Dapat mengetahui epidemiologi intoksikasi organofosfat.
3. Dapat mengetahui etiologi dan faktor risiko dari intoksikasi organofosfat.
4. Dapat mengetahui patofisiologi dari intoksikasi organofosfat.
5. Dapat mengetahui manifestasi klinis dari intoksikasi organofosfat.
6. Dapat mengetahui diagnosis dan diagnosis banding intoksikasi organofosfat.
7. Dapat mengetahui pemeriksaan penunjang intoksikasi organofosfat.
8. Dapat mengetahui bagaimanakah penatalaksanaan dari intoksikasi
organofosfat.
9. Dapat mengetahui bagaimakah Komplikasi dan Prognosis dari intoksikasi
organofosfat.
4

10. Dapat mengetahui cara mencegah intoksikasi organofosfat.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Intoksikasi Organofosfat

Intoksikasi Organofosfat dilihat dari terminologinya berasal dari dua kata


yaitu Intoksikasi atau Keracunan dan Organofosfat. Dimana Intoksikasi adalah suatu
keadaan masuknya zat racun ketubuh, baik melalui saluran cerna, napas, maupun
kulit dan mukosa sehingga menimbulkan gejala keracunan. Untuk Organofosfat ini
adalah zat kimia sintesis yang terkandung pada pestisida untuk membunuh hama
(serangga, jamur atau gulma). Selain itu organofosfat juga digunakan dalam produk
rumah tangga, seperti pembasmi nyamuk, kecoa, dan hewan pengganggu lainnya
(Somasetia, 2017).

2.2. Epidemiologi Intoksikasi Organofosfat

Intoksikasi organofosfat merupakan masalah kesehatan yang sering terjadi di


dunia, dengan perkiraan 3.000.000 kasus serta 300.000 kematian setiap tahunnya. Di
negara berkembang, khususnya di wilayah Asia-Pasifik, kasus intoksikasi ini
biasanya terjadi dalam bentuk self-poisoning pestisida organofosfat. Negara-negara
berkembang berpotensi memiliki risiko lebih tinggi dalam intoksikasi organofosfat
karena pelepasan senyawa ini biasa terjadi pada transportasi atau dari fasilitas
penyimpanan setelah kecelakaan atau bencana alam (Faria et al, 2017). Di Indonesia,
data yang diperoleh dari hasil penelitian di Instalasi Gawat Darurat RSUD Prof. Dr.
Margono Soekarjo Purwokerto tahun 2012 – 2014 menunjukkan bahwa persentase
intoksikasi organofosfat sebesar 2,8% dari 117 kasus keracunan yang terjadi (Safitrih
et al, 2016). Sedangkan di Bali sendiri, berdasarkan data pemeriksaan aktivitas
cholinesterase yang dilakukan UPT Balai Hiperkes dan KK Provinsi Bali pada tahun
2013, prevalensi petani di Bali yang mengalami keracunan pestisida sebesar 41%,
salah satunya adalah organofosfat (Samosir et al, 2017).

5
6

2.3. Etiologi dan Faktor Risiko Intoksikasi Organofosfat

Organofosfat adalah insektisida yang paling toksik di antara jenis pestisida


lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada manusia. Bila tertelan, meskipun
hanya dalam jumlah sedikit, dapat menyebabkan kematian pada manusia (Teguh,
2009).

Berdasarkan tingkat toksisitasnya, organofosfat digolongkan sebagai berikut


(Putra TR, et al, 2013):

1. Tingkat toksisitas tinggi ( LD50<50 mg/kg)


a. Octamethyl pyro phospharamide (OMPA)
b. Tetraethyl pyrophosphate (TEPP, Fosfex,Tetron)
c. Diisopropylfluorophosphate (DFP)
d. Sulfo tetraethyl pyrophosphate (Sulfo TEPP)
e. Parathion (Follidol,eketox,Kilphos,Rhyntox)
f. Phosphimidon
2. Tingkat toksisitas sedang(LD50>500 mg/kg)
a. Dichlorvos
b. Quinnaphos
c. Fenthion
d. Diazinon
e. Fenitrothion
3. Toksisitas rendah (LD50>1000 mg/kg)
a. Malathion
b. Temephos

Keracunan organofosfat dapat dilihat dari aktivitas kholinesterase darah.


Sehingga faktor risiko keracunan organofosfat adalah faktor-faktor yang
menyebabkan rendahnya aktivitas kholinesterase darah. Adapun faktor risiko
keracunan organofosfat yaitu (Teguh,2009):
7

1. Usia
Semakin bertambah usia maka kadar rata-rata kholinesterase dalam darah
akan semakin rendah sehingga akan mempermudah terjadinya keracunan
pestisida organofosfat.
2. Status gizi
Pada seseorang yang status gizinya buruk maka jumlah protein akan terbatas
di dalam tubuh sehingga pembentukan enzim kholinesterase yang terbentuk
dari protein akan terganggu.
3. Jenis Kelamin
Jenis kelamin sangat mempengaruhi akatifitas enzim kholinestrase. Pada laki-
laki aktivitas enzim kholinesterase lebih rendah dibandingkan perempuan,
tetapi pada saat kehamilan kadar rata-rata kholinesterase cenderung turun.

Dari etiologi dan faktor risiko tersebut maka ada beberapa cara terjadinya keracunan
meliputi :

1. Self poisoning
Keracunan ini terjadi karena ketidaktahuan dan penggunaan yang kurang hati-
hati. Misalnya menggunakan pestisida organofosfat dengan dosis berlebihan
tanpa tahu berapa dosis yang seharusnya digunakan
2. Attempted poisoning
Keracunan ini terjadi pada orang yang sengaja ingin mengakhiri hidupnya
dengan mengkonsumsi pestisida organofosfat
3. Accidental poisoning
Keracunan ini murni akibat kecelakaan tanpa adanya unsur kesengajaan.
Biasanya terjadi pada anak-anak di bawah 5 tahun karena kebiasaan
memasukan benda-benda ke mulutnya.
4. Homicidal poisoning
Keracunan ini digolongkan sebagai tindak kejahatan dimana seseorang dengan
sengaja ingin meracuni orang lain (Sudoyo, 2014).
8

2.4. Patofisiologi Intoksikasi Organofosfat

Tubuh manusia dapat terpapar organofosfat melalui jalur inhalasi, kontak


kulit, dan tertelan, kemudian akan diabsorpsi dengan baik sesuai jalur masuknya. Jika
melalui kulit, bahan racun dapat memasuki pori pori atau terserap langsung ke dalam
system tubuh, terutama bahan yang larut minyak (polar) ingesti atau pajanan
subkutan umumnya membtuhkan waktu lebih lama untuk menimbulkan tanda dan
gejala. Kulit yang luka, dermatitis, dan temperature lingkungan yang tinggi akan
menigkatkan absorpsi melalui kulit (Sudoyo, 2014).

Kondisi tertinggi organofosfat organik pada manusia dideteksi 6 jam setelah


tertelan. Meskipun waktu paruhnya beberapa menit hingga beberapa jam, absorpsi
yang lebih lama atau retribusi dari cadangan lemak menyebabkan kadar zat ini masih
dapat terdeteksi hingga 48 hari. Organofosfat mengalami metabolisme oksidasi di
hati dan mukosa usus, akan tetapi jalur pastinya belum diketahui. Kemampuan
fosforilasi organofosfat akan berkurang jika sebagian rantainya mengalami hidrolisis.
Hasil metabolit yang inaktif ini akan diekskresikan melalui urin. Mekanisme kerja
organofosfat secara langsung menghambat asetilkolin tanpa menggangu struktur
tubuh (Sudoyo, 2014).

Racun akut ditimbulkan oleh bahan-bahan racun yang larut air dan dapat
menimbulkan gejala keracunan tidak lama setelah racun terserap ke dalam tubuh
manusia. Contoh dari racun akut yang terdiri dari senyawa organofosfat adalah
insektisida racun serangga untuk rumahan yang seringkali disalahgunakan untuk
meracuni diri, yang efeknya dapat terlihat dalam beberapa menit setelah racun masuk
ke dalam tubuh dan dapat menyebabkan kematian (Sudoyo, 2014).

Patogenesis organofosfat memiliki kaitan yang erat dengan asetilkolin.


Asetilkolin merupakan neurotransmitter yang dapat ditemukan pada ganglia
prasimpatis dan simpatis, skeletal neuromuscular junction, terminal junction dari
postganglion saraf parasimpatis, postganglion serat simpatis kelenjar keringat serta
beberapa ujung saraf pada Sistem Saraf Pusat (SSP). Pada saat depolarisasi, vesikel
9

akson terminal yang mengadung asetilkolin akan menyatu dengan membrane


eksternal dan rupture, kemudian melepaskan asetilkolin ke dalam neuromuscular
junction (sinaps). Asetilkolin kemudian berikatan dengan reseptor postsinaptik
menyebabkan terjadinya aktivasi. Pada keadaan normal, asetilkolinesterase (AChE)
akan cepat menghidrolisis asetilkolin menjadi asam asetat dan kolin (Sudoyo, 2014).

Gambar 2.1 Mekanisme kerja organofosfat pada sinpas (Depts.washington.edu., 2007)

Komponen organofosfat akan menghambat hidrolisis multiple carboxyl ester


ini, termasuk AChE dan butirilkolinesterase (yang dikenal sebagai plasma
kolinesterase atau pseudokolinesterase). Hambatan ini akan menghasilkan ikatan
terhadap enzim seperti substansi normal. Pemisahan ikatan kolin dengan enzim pada
metabolisme ACh selesai dalam beberapa detik, sedangkan ikatan organofosfat
organik dengan enzim dapat menetap hingga beberapa jam. Bahkan jika dalam
beberapa jam ikatan tersebut tidak terlepas maka akan terjadi ikatan permanen antara
asetilkolinesterase dengan organofosfat, sehingga menyebabkan asetilkolin pada
10

seluruh sinaps kolinergik meningkat sehingga terjadi toksisitas. (Sudoyo, 2014.


Lorke, 2013).

Reseptor muskarinik dan nikotin-asetilkolin dapat ditemukan pada system


saraf pusat dan perifer. Pada system saraf perifer asetilkolin dilepaskan di ganglion
otonomik melalui sinaps preganglion simpatis dan parasimpatis, sinaps postganglion
parasimpatis, dan neuromuscular junction pada otot rangka. Pada sistem saraf pusat,
reseptor asetilkolin berperan pada terjadinya toksisitas insektisida organofosfat yang
menyebabkan terjadinya gangguan pada pusat system pernapasan dan pusat
vasomotor. Asetilkolin berperan sebagai neurotransmitter untuk memperbanyak
konduksi saraf perifer dan saraf pusat atau memulai kontraksi otot. Efek asetilkolin
diakhiri melalui hidrolisis dengan munculnya enzim asetilkolinesterase (AChE). Ada
dua bentuk AchE yaitu cholinesterase dan asetilkolinesterase yang ditemukan pada
eritrosit, saraf, dan neuromuscular junction serta pseudokolinesterase atau serum
cholinesterase berada terutama serum, plasma, dan hati. (Sudoyo, 2014).

Insektisida organofosfat bekerja menghabat AChE melalui proses fosforilasi


pada gugus esteranion, sehingga menginaktifkan enzim kolinesterase yang berfungsi
menghidrolisis neurotransmitter asetilkolin (ACh) menjadi kolin yang tidak aktif.
Ikatan fosfor ini sangat kuat dan irreversible. Aktivitas AChE akan tetap dihambat
hingga enzim baru terbentuk atau suatu reaktivator kolinesterase diberikan.
Akibatnya terjadi penumpukan Ach pada sinaps-sinaps kolinergik sehingga
menimbulkan gejala keracunan organofosfat. Pada pajanan dosis rendah, tanda dan
gejala umumnya dihubungkan dengan stimulasi reseptor perifer muskarinik,
sedangkan pajanan pada dosis lebih besar juga mempengaruhi reseptor nikotinik dan
reseptor sentral muskarinik. Aktivitas ini kemudian akan menurun, dalam dua atau
empat minggu pada pseudocholinesterase plasma dan empat minggu sampai beberapa
bulan untuk true cholinesterase eritrosit. (Sudoyo, 2014).
11

Gambar 2.2 Patofisiologi sindrom kolinergik terhadap system autonomy dan system saraf somatik
(Sudoyo, 2014)

2.5. Manifestasi Klinis Intoksikasi Organofosfat

Gejala keracunan organofosfat akan berkembang selama pemaparan atau 12


jam kontak. Pestisida yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami perubahan secara
hidrolisa di dalam hati dan jaringan-jaringan lain. Hasil dari perubahan atau
pembentukan ini mempunyai toksisitas rendah dan akan keluar melalui urine. Adapun
gejala keracunan pestisida golongan organofosfat adalah sebagai berikut:
1. Gejala awal
Gejala awal akan timbul : mual atau rasa penuh di perut, muntah, rasa lemas,
sakit kepala dan gangguan penglihatan.
2. Gejala Lanjutan
Gejala lanjutan yang ditimbulkan adalah keluar ludah yang berlebihan,
pengeluaran lendir dari hidung (terutama pada keracunan melalui hidung),
12

kejang usus dan diare, keringat berlebihan, air mata yang berlebihan,
kelemahan yang disertai sesak nafas, akhirnya kelumpuhan otot rangka.
3. Gejala Sentral
Gelaja sentral yan ditimbulkan adalah sukar bicara, kebingungan, hilangnya
reflek, kejang dan koma (Prihadi, 2008).
Jadi ada salah satu jurnal yang menyebutkan mnemonic yang paling sering digunakan
untuk memudahkan mengingat efek muskarinik yang ditimbulkan dari intoksikasi
organofosfat yaitu DUMBELS (Robb dan Baker, 2019).
 D = Defecation/diaphoresis
 U = Urination
 M = Miosis
 B = Bronchospasm/bronchorrhea
 E = Emesis
 L = Lacrimation
 S = Salivation

2.6. Diagnosis dan Diagnosis Banding Intoksikasi Organofosfat

a. Diagnosis
Diagnosis intoksikasi organofosfat didasarkan pada karakteristik gambaran
klinis dan riwayat pajanan terhadap senyawa organofosfat. Sebagian besar kasus
keracunan organofosfat mudah ditegakkan karena informasi riwayat minum racun
serangga sering mudah didapatkan melalui heteroanamnesis. Diagnosis intoksikasi
organofosfat terkadang sulit untuk dilakukan jika tidak ada informasi pasti yang
menyatakan pasien baru saja minum senyawa organofosfat, karena gejala
intoksikasi organofosfat hampir mirip dengan intoksikasi senyawa carbamate.
Sehingga anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat akan sangat membantu
menegakkan diagnosis (Narang U et al, 2015).
13

1. Anamnesis
Anamnesis bertujuan untuk mencari kemungkinan kontak dengan
senyawa organofosfat. Anamnesis dilakukan dengan prinsip basic 4 sacred 7
dan mencakup hal-hal berikut ini:
 What (tipe agen)

 What else (jenis agen lain, apakah termasuk alcohol)

 How much (berapa banyak, idealnya mg/kg)

 When (waktu paparan)

 Route of exposure (inhalasi, ingestion, kulit, atau kontak mukus)

 Who (apakah anak-anak, orang tua, ibu hamil )

 Why (alasan dari paparan, apakah suatu kecelakaan, bunuh diri,


penyalahgunaan terapeutik, atau pekerjaan) (Lotti M, 2001)

Meskipun anamnesis penting, informasi yang didapatkan selama


anamnesis terkadang tidak relevan seperti misalnya pada pasien bunuh diri.
Sehingga anamnesis perlu dilakukan terhadap anggota keluarga, kerabat,
teman, atau orang yang melihat langsung atau dekat dengan pasien karena
akan memberikan informasi yang lebih relevan untuk membantu dalam
penanganan pasien dengan keinginan bunuh diri (Lotti M, 2001).

2. Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan head to toe hanya dilakukan jika pasien sudah stabil.
Pemeriksaan fisik diperlukan untuk mengetahui berat ringannya gejala klinis
terutama jika pasien datang dalam keadaan tidak sadar. Penilaian klinis paling
awal dan paling penting adalah status kesadaran. Alat ukur kesadaran yang
digunakan adalah skor GCS. Selain itu penemuan klinis seperti ukuran pupil
mata, frekuensi nafas, dan denyut jantung mungkin dapat membantu
penegakan diagnosis pada pasien dengan penurunan kesadaran. Setelah pasien
14

stabil, maka pemeriksaan selanjutnya adalah pemeriksaan vital sign yaitu


tekanan darah, heart rate, respiratory rate, respiratory depth, dan temperature
(Aaron C K, 2001). Dalam pemeriksaan fisik terhadap pasien dengan
intoksikasi harus mecakup tiga komponen pemeriksaan berikut ini:
a. Look ( melihat kondisi pasien secara langsung seperti ukuran pupil dan
melihat kondisi rongga mulut)

b. Feel (Melakukan palpasi dan merasakan untuk menilai temperature dan


apakah pasien berkeringat atau tidak)

c. Smell (menilai apakah ada bau-bau zat –zat tertentu pada pasien)

Temuan klinis yang khas yang dapat ditemui pada pasien dengan intoksikasi
organofosfat adalah sebagai berikut:

a. Overstimulai muskarinik, yaitu bradikardi, bronchorrea, bronkospasme,


diare, hipotensi, lakrimasi, miosis, hipersaliva, urinasi, vomiting.

b. Overstimulai nikotinik pada saraf perifer, yaitu agitasi, midriasis,


berkeringat, dan takikardi.

c. Overstimulasi nikotinik pada saraf neuromuscular junction, yaitu


fasiculasi, kelemahan otot, dan paralisis (Aaron C K, 2001).

3. Pemeriksaan penunjang
Analisis toksikologi harus dilakukan sedini mungkin, hal ini selain
untuk membantu penegakan diagnosis, juga berguna untuk kepentingan
penyelidikan polisi pada kasus kejahatan. Diagnosis pasti intoksikasi
organofosfat ditegakkan dengan pengukuran butirilkolinesterase atau
asetilkolinesterase di darah atau plasma. Asetilkolinesterase atau enzim
kolinesterase adalah suatu enzim yang terdapat di jaringan tubuh yang
berperan menjaga sistem saraf pusat berfungsi dengan tepat. Kolinesterase
dapat ditemukan pada membrane sel terminal saraf kolinergik dan juga pada
membrane lainnya seperti dalam plasma darah dan sel plasenta. Kolinesterase
15

sebagai katalisis untuk menghidrolisis asetilkolin menjadi kolin dan asetat


(Lotti M, 2001).

Kadar kolinesterase akan rendah ditemui pada pasien dengan intoksikasi


organofosfat. Aktivitas kolinesterase plasma menurun < 50% sebelum gejala
tampak, 20-50% pada keracunan ringan, 10 – 20% pada keracunan sedang, <
10% pada keracunan berat. Sampel yang digunakan dalam pemeriksaan ini
adalah muntah dan darah dari pasien (Rani AA et al, 2006).

Selain itu, pemeriksaan penunjang yang juga diperlukan pada pasien


yang dicurigai mengalami intoksikasi organofosfat adalah sebagai berikut:
1. Laboraturium Klinik
 Analisis gas darah

 Darah lengkap

 Serum elektrolit

 Pemeriksaan fungsi hati dan ginjal

 Sedimen urin

Pemeriksaan ini berguna untuk melihat dampak yang ditimbulkan dari


intoksikasi organofosfat (Narang U et al, 2015).

2. EKG
EKG perlu dilakukan pada kasus intoksikasi organofosfat karena
sering diikuti dengan gangguan irama jantung dapat berupa sinus
takikardi, sinus bradikardi, takikardi supraventricular, ventrikel takikardi,
torsade de pointes, fibrilasi ventrikel dan lainnya (Narang U et al, 2015).

3. Pemeriksaan radiologi
Dilakukan terutama bila curiga adanya aspirasi zat racun melalui
inhalasi atau dugaan adanya perforasi lambung (Narang U et al, 2015).
16

b. Diagnosis Banding
1. Intoksikasi karbamat
Karbamat adalah kelas insektisida yang secara struktural dan mekanis
mirip dengan insektisida organofosfat (OP). Karbamat adalah N-metil
Karbamat yang berasal dari asam karbamat dan menyebabkan karbamilasi
asetilkolinesterase pada sinapsis neuron dan persimpangan neuromuskuler.
Sementara mereka memiliki mekanisme aksi yang mirip dengan fosforilasi
asetilkolinesterase ireversibel oleh organofosfat, karbamat mengikat
asetilkolinesterase secara reversibel. Selanjutnya, karbamat memiliki
presentasi toksikologis yang mirip dengan keracunan OP dengan durasi
toksisitas yang biasanya kurang dari 24 jam.

Acetylcholinesterase (AChE) biasanya menghidrolisis asetilkolin


menjadi asam asetat dan kolin, yang menyebabkan berhentinya pensinyalan
neurotransmitter. Karbamat menyebabkan penghambatan reversibel enzim
asetilkolinesterase, yang terdapat pada ganglia parasimpatis dan simpatis,
persimpangan terminal muskarinik parasimpatis, serat simpatis yang terletak
di kelenjar keringat, dan reseptor nikotinik pada skeletal neuromuscular
junction .

Kadar asetilkolin yang terus meningkat karena penghambatan AChE


menyebabkan peningkatan pensinyalan neurotransmitter. Gejala sistem saraf
pusat dari peningkatan asetilkolin seperti kebingungan, delirium, halusinasi,
tremor, dan kejang. Peningkatan kadar asetilkolin dalam sistem saraf otonom
meningkatkan aktivitas simpatis dan parasimpatis. Gejala adrenergik dari
takikardia, hipertensi, dan midriasis juga dapat terjadi karena aktivasi yang
bergantung pada asetilkolin dari reseptor nikotinik didalam ganglia simpatis.
Pada kasus keracunan karbamat mungkin mendominasi gejala parasimpatis.

hipersalivasi, lakrimasi, gangguan GI, bronkorea, dan diaforesis pada


pemeriksaan mendukung diagnosis. Pasien dapat menunjukkan gejala
17

bradikardik atau takikardi serta pada pemeriksaan pupil, pupil menunjukkan


miosis atau midriasis karena stimulasi campuran dari sistem saraf
parasimpatis dan simpatik (Silberman J dan Taylor A, 2018).

2. Intoksikasi Nikotin
Dari beberapa tanaman, yang paling dikenal luas adalah Nicotina
tabacum, dari rokok tembakau komersial dan alat alat lain yang mengandung
nikotinat sudah tersedia untuk dikonsumsi manusia. Penggunaan produk –
produk tersebut, terutama rokok, telah menyebabkan konsekuensi jangka
panjang pada kesehatan masyarakat. Nikotin mudah diserap melalui semua
rute paparan seperti rute gastrointestinal, dermal, intranasal, dan inhalasi
termasuk bahan tanaman yang dihisap. Karena onset dan gejala yang relatif
cepat, biasanya dalam waktu 30 – 90 menit. Nikotin dan nikotin seperti
alkaloid bekerja secara agonis pada reseptor asetilkolin (kolinergik). Dimana
reseptor sodium terdapat secara luas di sistem saraf pusat dan otonom, dan
neuromuscular junction ( pre atau post sinaps).

Nikotinik alkaloid bekerja sebagai agonis pada nAChRs, menyebabkan


peningkatan ion natrium melalui kanalnya, sehingga menyebabkan
depolarisasi membran yang berkepanjangan dan akibatnya akan meningkatkan
potensial aksi. Setelah paparan akut, gejala biasanya mengikuti pola bifasik.
Fase awal terdiri dari stimulasi kolinergik nikotinik yang menghasilkan gejala
seperti nyeri perut, hipertensi, takikardia, dan tremor. Fase penghambatan
kedua tertunda dan sering ditandai oleh hipotensi, bradikardia, dan dispnea,
yang akhirnya menyebabkan koma dan gagal napas (Schep L J et al, 2009).

2.7. Pemeriksaan Penunjang Intoksikasi Organofosfat

Pemeriksaan penunjang pada intoksikasi organofosfat meliputi mengukur


kadar AChE dalam sel darah merah dan plasma, penting untuk memastikan diagnosis
keracunan akut maupun kronik.
18

a. Keracunan akut :
- Ringan : 40 -70% N
- Sedang : 20% N
- Berat : dibawah 20% N
b. Keracunan kronik yaitu bila kadar AChE menurun sampai 25 – 50%, setiap
individu yang berhubungan dengan insektisida ini harus segera disingkirkan
dan baru diizinkan bekerja kembali bila kadar AChE telang meningkat diatas
75% N.
Pemeriksaan PA juga dapat dilakukan, pada keracunan akut, hasil pemeriksaan
patologi biasanya tidak khas. Sering ditemukan edema paru, dilatasi kapiler, hiperemi
paru, otak dan organ-organ lainnya (Ria Carisna A, 2016).

2.8. Penatalaksanaan Intoksikasi Organofosfat

a. Stabilisasi
Langkah pertama yang harus dilakukan dalam menangani pasien dengan
keracunan organofosfat adalah dengan memeriksa saluran/jalan nafas,
pernafasan, dan sirkulasi (airway, breathing, circulation/ABC). Apabila
ditemukan masalah pada jalur nafas, maka kita harus membebaskan jalan
nafas pasien bisa dengan melakukan intubasi dalam kasus-kasus gangguan
pernapasan karena laringospasme, bronkospasme, bronkorea, atau kejang;
memperbaiki fungsi pernafasan dengan dengan pemberian oksigen yang
adekuat untuk mengatasi kondisi hipoksia; serta perbaikan sistem sirkulasi
darah seperti dengan memberikan cairan normal salin secara intravena untuk
mengatasi hipotensi. Resusitasi kardiopulmoner harus dilakukan dengan cepat
dan tepat serta dekontaminasi simultan harus dilakukan bersamaan untuk
mencegah kematian akibat keracunan organofosfat (Djoko W dan Katu S,
2014).
19

b. Dekontaminasi
Organofosfat dapat meracuni orang dengan beberapa cara, seperti
melalui kulit (rambut dan kuku), mata, mulut/saluran gastrointestinal (dengan
menelan), atau melalui udara (dengan menghirup). Setiap kasus keracunan
organofosfat, memiliki penanganan yang berbeda, hal tersebut bergantung
pada rute paparannya.
1) Dekontaminasi kulit yang terpapar organofosfat
Kebanyakan keracunan organofosfat terjadi akibat terserapnya
organofosfat melalui kulit. Kondisi ini dapat terjadi ketika organofosfat
dituangkan dan tumpah, atau terciprat ketika campuran organofosfat
diaduk sebelum disemprotkan, atau ketika pasien menyentuh tanaman yang
baru saja disemprot. Organofosfat juga dapat menyentuh kulit melalui
Pakaian seperti ketika mencuci pakaian yang terkena paparan organofosfat
sebelumnya. Kadang-kadang sepatu kulit, ikat pinggang dan gelang jam
tangan sulit untuk didekontaminasi, sehingga harus segera dibuang.
Untuk mengatasi kondisi tersebut, maka yang bisa dilakukan terhadap
pasien adalah dengan melepaskan pakaian, jam tangan, alas kaki dan aksesoris
lainnya yang digunkan oleh pasien, kemudian dimasukkan dalam wadah
plastik yang kedap air dan tutup rapat. Kemudian cuci (scrubbing) bagian
kulit pasien yang terpapar organofosfat dengan air mengalir dan sabun
minimal 10 menit. Kemudian keringkan kulit pasien dengan handuk kering
dan lembut. Zat kering seperti tepung, pasir, atau bentonit juga dapat
digunakan untuk mendekontaminasi kulit. Jika kulit pasien melepuh akibat
organofosfat, maka bersihkan dengan air dingin, jangan lepaskan apapun yang
menempel di luka tersebut, jangan oleskan salep, minyak, atau mentega,
jangan mencoba untuk memecahkan lepuhan kulit tersebut, jangan lepaskan
kulit yang terkelupas, serta tutup kulit yang melepuh dengan kasa steril.
Apabila rambut yang lebat dan panjang terpapar organofosfat, maka
diperlukan pencucian dengan shampo berulang dan jika perlu mencukur
rambut kepala (Djoko W dan Katu S, 2014).
20

2) Dekontaminasi mata yang terpapar organofosfat


Apabila organofosfat masuk melalui mata, maka tindakan yang harus
dilakukan untuk membersihkan mata adalah dengan memposisikan kepala
pasien menengadah dan miring ke sisi mata yang terkena atau terburuk
kondisinya. Kemudian buka kelopak mata pasien perlahan dan irigasi larutan
aquades atau NaCl 0.9% perlahan sampai racunnya diperkirakan sudah hilang,
namun usahakan agar bekas larutan pencucian tidak mengenai wajah atau
mata lainnya. Selanjutnya, tutup mata dengan kasa streril dan konsultasikan
dengan dokter mata (Djoko W dan Katu S, 2014).
3) Dekontaminasi saluran gastrointestinal yang terpapar organofosfat
Organofosfat dapat tertelan jika seseorang makan, minum, atau merokok
sambil bekerja dengan organofosfat, atau meminum air yang sudah
terkontaminasi oleh organofosfat. Anak-anak dapat memakan atau meminum
organofosfat terutama jika organofosfat disimpan dalam wadah
yang juga digunakan untuk menyimpan makanan, atau dibiarkan di tempat ter
buka atau di tempat yang rendah dan mudah terjangkau oleh anak-
anak.Penelanan merupakan rute paparan yang tersering, sehingga tindakan
pemberian bahan pengikat/karbon aktif, pengenceran atau mengeluarkan isi
lambung dengan cara menginduksi muntah atau aspirasi dan kumbah lambung
untuk mengurangi jumlah paparan bahan toksik. Dekontaminasi diindikasikan
jika konsentrasi organofosfat mencapai 20% atau lebih. Sedangkan,
dekontaminasi ini akan dikontra indikasikan bila pasien tidak sadar atau
sangat mengantuk, pasien kejang, pemaparan lebih dari 4 jam dan jika bahan
pelarutnya petroleum distillate, karena tidak yakin aman akibat adanya
kemungkinan terjadi henti nafas mendadak dan kejang (Putra TR, et al.,
2013).
Dekontaminasi dilakukan dengan memuntahkan zat organofosfat yang
sudah tertelan. Cari kemasan organofosfatnya dan segera baca label atau
informasi yang tertera. Label tersebut akan menjelaskan apakah pasien harus
dibuat memuntahkan racunnya atau tidak. Jangan sampai pasien muntah bila
21

instruksi label melarang muntah. Bila pasien menelan organofosfat yang


mengandung bensin, minyak tanah, xylene, atau cairan lain yang mengandung
bahan bakar, jangan pernah muntah karena akan memperburuk kondisi
(Djoko dan Katu, 2014). Rangsang muntah dapat dilakukan dengan
menyentuh pangkal tenggorokan menggunakan jari atau ujung sendok (Putra
TR, et al., 2013).
Jika rangsang muntah tidak berhasil, maka direkomendasikan untuk
melakukan aspirasi dan kumbah lambung jika konsentrasi mencapai 20% atau
lebih. Metode ini efektif bila dilakukan 2- 4 jam pertama dan dengan teknik
yang baik. Atau dapat pula menggunakan arang aktif dengan dosis tunggal 1
gram/kg atau pada dewasa 30-100 gram dan anak-anak 15-30 gram. Cara
pemberiannya adalah dicampur rata dengan perbandingan 5-10 gram arang
aktif dengan 100-200 ml air sehingga seperti sop kental. Pada orang dewasa,
diberikan 10 gram, dan pada anak diberikan 5 gram tiap 20 menit (Putra TR,
et al., 2013).
4) Dekontaminasi pulmonal yang terpapar organofosfat
Bila organofosfat dilepas ke udara, kita menghirupnya melalui hidung
dan mulut. Begitu masuk keparu-paru, dengan cepat organofosfat masuk ke
dalam darah dan menyebar racun ke seluruh tubuh.Beberapa organofosfat
tidak berbau sehingga sulit diketahui keberadaannya di udara. Untuk
mendekontaminasi, dapat berupa tindakan menjauhkan korban dari pemaparan
inhalasi zat racun. Monitor kemungkinan gawat nafas dan berikan oksigen
lembab 100% dan jika perlu berikan ventilator (Djoko W dan Katu S, 2014).
c. Eliminasi
Eliminasi dilakukan untuk mempercepat pengeluaran racun yang sedang
beredar dalam darah atau saluran cerna setelah lebih dari 4 jam pasca paparan.
Apabila masih di dalam saluran cerna, maka dapat diberikan arang aktif secara
berulang dengan dosis 30-50 gram (0,5-1 gram/kgBB) setiap 4 jam secara
oral/enteral. Tindakan eliminasi lain yang bisa dilakukan adalah diuresis paksa
(forced diuresis), alkalinisasi urin, asidifikasi urin, dan hemodialisis/peritoneal
22

dialisis. Namun metode eliminasi tersebut harus dikonsultasikan pada dokter


spesialis penyakit dalam karena merupakan tindakan yang spesialistik (Djoko
W dan Katu S, 2014).
d. Perawatan suportif
Pada kasus keracunan organofosfat, kematian biasanya disebabkan oleh
kegagalan respirasi karena kekakuan dan kelumpuhan otot nafas dan akibat
bronchorrhea. Oleh karena itu, perlu dilakukan intubasi endotrakea, namun
pemberian suksinilkolin dan mivacurium harus dihindari karena
dimetabolisme oleh butyrylcholinesterase sehingga paralisis dapat lebih lama
hingga 24 jam atau lebih (Djoko W dan Katu S, 2014).
e. Antidotum
1) Atropin
Digunakan untuk mengontrol aktivitas muskarinik yang berlebihan.
Ayropin sulfat akan berkompetisi dengan antagonis Ach pada reseptor
muskarinik (Murray et al, 2012). Dosis yang diberikan untuk orang dewasa
adalah 1-2 mg (4-8 ampul) dan dosis untuk anak-anak adalah 0,002-0,05
mg/kg BB IV. Dosis tersebut diulang setiap 10-15 menit sampai tercapai
atropinisasi, yang ditandai dengan sekresi pernafasan mengering, pupil
midriasis, kulit kemerahan (flushing) takikardi, mulut dan kulit kering (Rajpal
et al, 2010). Dosis maksimum yang dapat diberikan adalah 50 mg (200 ampul)
dalam 24 jam. Namun pada kasus yang berat dapat mencapai 100 mg.
Dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan selama 2x24 jam. Pemberiannya
dilakukan secara intermiten dengan interval 30 menit, 60 menit, 2 jam dst atau
dengan infuse kontinu 0,02-0,08 mg/kgBB/jam. Rata-rata pasien intoksikasi
organofosfat memerlukan 40 mg atropine/hari, tetapi dapat juga sampai 1000
mg/hari. Dosis sulfas atropine yang berlebih dapat menimbulkan agitasi dan
takikardi. Jika sulfat atropin tidak dapat diberikan secara IV, dapat diberikan
melalui IM, subkutan atau endotrakheal (2,5 kali dosis IV) atau intraosseus
(pada anak). Untuk meningkatkan toleransi atropin dapat diberikan diazepam
23

dengan dosis dewasa 5-10 mg dan anak-anak 0,24-0,4 mg/kg IV (Putra TR, et
al., 2013).
2) Oximes
Pada kasus keracunan organofosfat yang sedang-berat, yang biasanya
ditandai dengan adanya paralisis otot pernafasan atau kejang, perlu diberi
reaktivator asetilkolinesterase berupa oximes yang diberikan setelah
pemberian antidotium sulfas atropine (Putra TR, et al., 2013).
3) Pralidoksin (2-PAM)
Obat ini bekerja dengan memperbaiki AchE karena atropin tidak dapat
melawan efek nikotinik. Pemberian obat ini dilakukan ketika efek toksik
nikotinik muncul atau dosis atropin sesuai standar pedoman ACLS dan PALS
sudah berlebihan (Rajpal et al, 2010). Dosis awal pada dewasa adalah 2 gram,
sedangkan pada anak adalah 30 mg/kgBB IV diikuti infus kontinu 8 mg/kg
BB/jam selama minimal 24 jam dan diberikan sampai perbaikan klinis
(Murray et al, 2012). Atau alternatif lainnya dengan pemberian intermiten IV
atau IM dengan dosis 30 mg /kg BB 4 jam. Dosis total 10 -15 gram/hari
(kadar plasma 20-40 mg/L), efek merugikan yang mungkin muncul adalah
takikardi, hipertensi dan spame laring. Atau diberikan obidoxime dengan
dosis awal pada dewasa adalah 0,25 gram atau pada anak 4mg/kgBB IV
diikuti Infus kontinu 0,5 mg/kgBB/jam selama minimal 24 jam dan diberikan
sampai perbaikan klinis. Atau alternatif lainnya dengan pemberian intermiten
IV atau IM dengan dosis 2 mg/kg BB tiap 4 jam. Efek merugikan yang
mungkin muncul adalah hepatotoksik, malaise dan hipertermi. Pada kasus
yang sangat berat, dapat diberikan dosis lebih tinggi untuk mencapai
reaktivitas enzim asetilkolinesterase. Observasi ketat dilakukan setelah selesai
pemberian oximes karena dapat terjadi rekurensi manifestasi klinis keracunan
yang memerlukan terapi oximes lagi. Kemungkinan dapat terjadi sindrom
intermediet, yaitu kelemahan otot yang rekuren beberapa hari setelah
pemaparan, yang dicurigai terjadi akibat terapi oximes yang tidak adekuat
(Putra TR et al, 2013).
24

f. Terapi gejala penyerta atau penyulit


1) Gangguan cairan, elektrolit dan asam basa
Apabila ada gangguan cairan, elektrolit dan asam basa maka harus
dikoreksi sesuai dengan derajat beratnya. Kebutuhan dasar cairan harian
adalah 30-35ml/kgBB/hari, natrium 1-1,5 mmol/kgBB/hari, kalium 1
mmol/kgBB/hari.
2) Gangguan irama jantung
Apabila terjadi sinus bradikardi yang disertai hipotensi dapat diberikan
atropin 0,6 mg i.v.. Pada sinus takikardi tidak diberikan terapi spesifik, beta
bloker tidak dianjurkan untuk diberikan karena dapat menyebabkan
dekompensasi. Apabila terjadi SVT disertai gangguan hemodinamik. Berikan
kardioversi sinkronisasi, setelah stabil berikan adenosin 3 mg i.v. bolus dan
bila perlu dapat diulang tiap 1-2 menit dengan dosis 6 mg dan kemudian 12
mg (Cha et al, 2014).
3) Methaemoglobinaemia (metHb)
Pada kasus ringan (kadar metHb < 30%) diberikan oksigen, sedangkan
kasus berat diberikan metilen biru 1-2 mg/kgBB dalam > 5 menit, selanjutnya
periksa ulang kadar metHb setelah 1 jam (Rajapakse et al, 2011).
4) Hiperemesis
Apabila pasien terus menerus muntah, maka dapat diberikan
metoklopropamid 10 mg i.v. atau proklorperazin 10mg oral atau ondansetron
8 mg i.v. pelan.
5) Distonia
Gejala ekstrapiramidal harus diterapi dengan procyclidine 5-10 mg
i.v./i.m. maksimum 20 mg/24 jam atau diberikan benztropine 1-2 mg i.v./i.m.
6) Rabdomiolisis
Dapat diberikan rehidrasi cairan i.v. dan alkalinisasi urin (Muñoz et al,
2016).
25

7) Sindrom antikolinergik
Dapat diterapi secara simptomatik dan suportif (Djoko W dan Katu S,
2014).

2.9. Komplikasi dan Prognosis Intoksikasi Organofosfat

a. Komplikasi toksisitas organofosfat


Komplikasi tersering dari toksisitas organofosfat adalah respiratory
distress dan gangguan mental, beberapa pasien juga mengalami koma setelah
mengalami gejala akut toksisitas organofosfat. Selain itu komplikasi pada fase
akut yang terjadi dalam waktu 4 minggu yaitu diare, hipotensi, hiperglikemi,
dan gagal ginjal akut. Sebanyak 50% pasien meninggal akibat komplikasi
organofosfat. Komplikasi yang terjadi setelah 4 minggu atau disebut delayed
complications antara lain monoplegia, paraplegia, dan kelemahan ekstremitas
bawah (Faiz M S et al, 2011).

b. Prognosis toksisitas organofosfat


Pada suatu penelitian 12 dari 71 pasien meninggal akibat toksisitas
organofosfat. Berikut kondisi yang menyebabkan buruknya prognosis pasien

 Tingginya konsentrasi laktat dalam darah selama kurang lebih 6 jam


 Rendahnya pH darah
 Rendahnya ekskresi laktat setelah berada di dalam darah selama kurang
lebih 6 jam (Tang W et al, 2016).

2.10. Pencegahan Intoksikasi Organofosfat

Pengetahuan tentang pestisida yang disertai dengan praktek penyemprotan


akan dapat menghindari petani/penyemprot dari keracunan.
Ada beberapa cara untuk meghindari keracunan antara lain :
26

a) Pembelian pestisida
Dalam pembelian pestisida hendaknya selalu dalam kemasan yang asli,
masih utuh dan ada label petunjuknya.

b) Perlakuan sisa kemasan


Bekas kemasan sebaiknya dikubur atau dibakar yang jauh dari sumber
mata air untuk mengindai pencemaran ke badan air dan juga jangan sekali-kali
bekas kemasan pestisida untuk tempat makanan dan minuman.

c) Penyimpanan
Setelah menggunakan pestisida apabila berlebih hendaknya di simpan
yang aman seperti jauh dari jangkauan anak-anak, tidak bercampur dengan
bahan makanan dan sediakan tempat khusus yang terkunci dan terhindar dari
sinar matahari langsung.

d) Penatalaksanaan Penyemprotan
Pada pelaksanaan penyemprotan ini banyak menyebabkan keracunan
oleh sebab itu di wajibkan memakai alat pelindung diri yang lengkap setiap
melakukan penyemprotan, tidak melawan arah angin atau tidak melakukan
penyemprotan sewaktu angin kencang, hindari kebiasaan makan-minum serta
merokok di waktu sedang menyemprot, setiap selesai menyemprot dianjurkan
untuk mandi pakai sabun dan berganti pakaian (Bloom H L, 1992).
27

BAB III
PENUTUP

3.1 Ringkasan

Intoksikasi Organofosfat berasal dari dua kata yaitu Intoksikasi atau


Keracunan dan Organofosfat. Dimana Intoksikasi adalah suatu keadaan masuknya zat
racun ketubuh, baik melalui saluran cerna, napas, maupun kulit dan mukosa sehingga
menimbulkan gejala keracunan. Organofosfat merupakan zat kimia sintesis yang
terkandung pada pestisida untuk membunuh hama dan merupakan insektisida yang
paling toksik di antara jenis pestisida lainnya sehingga sering menyebabkan
keracunan pada manusia. Patogenesis organofosfat memiliki kaitan yang erat dengan
asetilkolin. Komponen organofosfat akan menghambat hidrolisis multiple carboxyl
ester ini, termasuk AChE dan butirilkolinesterase (yang dikenal sebagai plasma
kolinesterase atau pseudokolinesterase) sehingga menyebabkan asetilkolin pada
seluruh sinaps kolinergik meningkat sehingga terjadi toksisitas.
Gejala keracunan organofosfat akan berkembang selama pemaparan atau 12
jam kontak. Gejala awal akan timbul mual atau rasa penuh di perut, muntah, rasa
lemas, sakit kepala dan gangguan penglihatan. Penatalaksanaan keracunan
organofosfat dapat dimulai dari stabilisasi, dekontaminasi, eliminasi, perawatan
suportif, pemberian antidotum berupa atropine, pralidoksin (2-PAM), dan
benzodiazepine, lalu dapat juga dilakukan pemberian terapi gejala penyerta seperti
gangguan cairan, elektrolit dan asam basa, gangguan irama jantung,
methaemoglobinaemia (metHb), hiperemesis, distonia, rabdomiolisis, dan sindrom
antikolinergik. Komplikasi tersering dari toksisitas organofosfat adalah respiratory
distress dan gangguan mental. Pengetahuan tentang pestisida yang disertai dengan
praktek penyemprotan akan dapat menghindari petani/penyemprot dari keracunan.
28

DAFTAR PUSTAKA

Aaron C K. 2001. Organophosphates and carbamates. In: Ford MD, Delaney KA,
Ling LJ, Erickson T, eds. Clinical toxicology. Philadelphia: WB Saunders Company :
819–28.

Bloom, HL. 1992. Plannng for Health, Development and Change Theory. Human
Science Press. New York.

Cha, Y.S., Kim, H., Go, J., Kim, T.H., et al. 2014. Features of myocardial injury in
severe organophosphate poisoning. Clin Toxicol (Phila), 52(8):873-9.

Depts.washington.edu. 2007. Organophosphate Pesticides and Child Health: A


Primer for Health Care Providers - Acute Poisoning. [online] Available at:
http://depts.washington.edu/opchild/acute.html [Accessed 15 Mar. 2019].

Djoko W, Katu S. 2014. Keracunan insektisida. In: Siti Setiati: Buku Ajar Penyakit
Dalam. Interna Publishing, 1029-34.

Faiz M S, Mughal S, Memon A Q. 2011. Acute and Late Complications of


Organophosphate Poisoning. Journal of the college of physicians and surgeons
pakistan, Vol. 21 (5): 288-290.

Faria, M., Prats, E., Padrós, F., Soares, A., Raldúa, D. 2017. Zebrafish is A Predictive
Model for Identifying Compounds that Protect Against Brain Toxicity in Severe
Acute Organophosphorus Intoxication. Arch Toxicol 91:1891.

Lorke, D., Y. Hasan, M., M. Nurulain, S., Shafiullah, M., Kuca, K. and A. Petroianu,
G. 2013. Acetylcholinesterase Inhibitors as Pretreatment Before Acute Exposure to
Organophosphates: Assessment Using Methyl-Paraoxon. CNS & Neurological
Disorders - Drug Targets, 11(8), pp.1052-1060.
29

Lotti M. 2001. Clinical toxicology of anticholinesterase agents in humans. In: Krieger


R, ed. Handbook of pesticide toxicology. Volume 2. Agents, 2 edn. San Diego:
Academic Press : 1043–85.

Muñoz, Q.M., Lucero, B.A., Iglesias, V.P., Muñoz, M.P., et al. 2016. Chronic
exposure to organophosphate (OP) pesticides and neuropsychological functioning in
farm workers: a review. Int J Occup Environ Health,29:1-12.

Murray, D.B., Eddleston, M., Thomas, S., Jefferson, R.D., et al. 2012. Rapid and
complete bioavailability of antidotes for organophosphorus nerve agent and cyanide
poisoning in minipigs after intraosseous administration. Ann Emerg Med, 60(4):424-
30.

Narang U, Narang P , Gupta O P. 2015. Organophosphorus poisoning: A social


calamity. Journal of Mahatma Gandhi Institute of Medical Sciences. March 2015;
Vol 20;Issue 1

Prihadi. 2008. Faktor-faktor Yang Berhubungan dengan Efek Kronis Keracunan


Pestisida Organofosfat Pada Petani Sayuran di Kecamatan Ngablak Kabupaten
Magelang. PPs-UNDIP Semarang.

Putra, T.R., Suega, K., Artana, I.G.N.B. 2013. Pedoman Diagnosis Dan Terapi
Ilmu Penyakit Dalam. 610-14.

Rajapakse, B.N., Thiermann, H., Eyer, P., Worek, F., et al. 2011. Evaluation of the
Test-mate ChE (cholinesterase) field kit in acute organophosphorus poisoning. Ann
Emerg Med, 58(6):559-564.

Rajpal, S., Ali, R., Bhatnagar, A., Bhandari, S.K., et al. 2010. Clinical and
bioavailability studies of sublingually administered atropine sulfate. Am J Emerg
Med, 28(2):143-50.
30

Rani AA, Soegondo S, Nasir AUZ, Wijaya IP, Nafrialdi, Mansjoer A. 2006.
Keracunan Organofosfat. Dalam Panduan Pelayanan Medik. Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. pp. 153.

Raveh, L., Eisenkraft, A., Weissman, B.A. 2014. Caramiphen edisylate: An optimal
antidote against organophosphate poisoning. Toxicology, 325C:115-124.

Ria Carisna, A., Reko, A., Mukaram, A., Dwi Cahyani, A., Shamponu, E., Dita, W.
and Refualu, A. 2016. Asuhan Keperawatan Intoksikasi : IFO (Baygon).

Robb E L, Baker M B. 2019. Organophosphate Toxicity. OSF Saint Francis Medical


Center. [online] Available at : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470430/

Safitrih, L., Kusuma, AM., Wibowo, MI. 2016. Angka Kejadian dan Penatalaksanaan
Keracunan di Instalasi Gawat Darurat RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo
Purwokerto Tahun 2012–2014. Media Litbangkes 26(3):176.

Samosir, K., Setiani, O., Nurjazuli. 2017. Hubungan Pajanan Pestisida dengan
Gangguan Keseimbangan Tubuh Petani Hortikultura di Kecamatan Ngablak
Kabupaten Magelang. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia 16(2):64.

Schep L.J, et al. 2009. Nicotinic plant poisoning. National Poisons Centre,
Department of Preventive and Social Medicine, University of Otago, Dunedin, New
Zealand. 47, 771–781. [online] Available at : [https://www.ncbi.nlm.nih].

Silberman J, Taylor A. Carbamate Toxicity. 2018 Oct 27. [online] Available at :


[https://www.ncbi.nlm.nih].

Somasetia D H. 2017. Keracunan Organofosfat. Ikatan Dokter Anak Indonesia.


Indonesia Pediatric Society. [online] Available at :
http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/keracunan-organofosfat

Sudoyo, A., Setiati, S. and Alwi, I. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. 6th
ed. Jakarta: Interna Publishing, pp.1019-1024.
31

Sudoyo, A., Setiati, S. and Alwi, I. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. 6th
ed. Jakarta: Interna Publishing, pp.1023-1024.

Tang W, Ruan F, Chen Q, Chen S, Shao X, Gao J, et al. 2016. Independent


Prognostic Factors for Acute Organophosphorus Pesticide Poisoning. Respir Care.

Teguh BP. 2009. Analisis faktor risiko keracunan pestisida organofosfat pada
keluarga petani hortikultura di Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang. Tesis.
Magister Kesehatan Lingkungan: Universitas Diponegoro Semarang.

Anda mungkin juga menyukai