INTOKSIKASI ORGANOFOSFAT
Disusun oleh:
SGD KU A-04
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2019
STUDENT PROJECT
INTOKSIKASI ORGANOFOSFAT
Disusun oleh:
SGD KU A-04
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2019
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan student project yang berjudul
“INTOKSIKASI ORGANOFOSFAT” tepat pada waktunya.
Jika dalam penyampaian penulis terdapat hal yang kurang berkenan dalam
student project ini, penulis mohon maaf yang sedalam-dalamnya. Dengan segala
kerendahan hati, penulis menyadari bahwa student project ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun tetap penulis
harapkan untuk menyempurnakan student project ini. Semoga student project ini
dapat bermanfaat bagi pembaca.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .............................................................................. 2
1.3. Tujuan Penulisan................................................................................. 3
1.4. Manfaat Penulisan .............................................................................. 3
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
5
6
1. Usia
Semakin bertambah usia maka kadar rata-rata kholinesterase dalam darah
akan semakin rendah sehingga akan mempermudah terjadinya keracunan
pestisida organofosfat.
2. Status gizi
Pada seseorang yang status gizinya buruk maka jumlah protein akan terbatas
di dalam tubuh sehingga pembentukan enzim kholinesterase yang terbentuk
dari protein akan terganggu.
3. Jenis Kelamin
Jenis kelamin sangat mempengaruhi akatifitas enzim kholinestrase. Pada laki-
laki aktivitas enzim kholinesterase lebih rendah dibandingkan perempuan,
tetapi pada saat kehamilan kadar rata-rata kholinesterase cenderung turun.
Dari etiologi dan faktor risiko tersebut maka ada beberapa cara terjadinya keracunan
meliputi :
1. Self poisoning
Keracunan ini terjadi karena ketidaktahuan dan penggunaan yang kurang hati-
hati. Misalnya menggunakan pestisida organofosfat dengan dosis berlebihan
tanpa tahu berapa dosis yang seharusnya digunakan
2. Attempted poisoning
Keracunan ini terjadi pada orang yang sengaja ingin mengakhiri hidupnya
dengan mengkonsumsi pestisida organofosfat
3. Accidental poisoning
Keracunan ini murni akibat kecelakaan tanpa adanya unsur kesengajaan.
Biasanya terjadi pada anak-anak di bawah 5 tahun karena kebiasaan
memasukan benda-benda ke mulutnya.
4. Homicidal poisoning
Keracunan ini digolongkan sebagai tindak kejahatan dimana seseorang dengan
sengaja ingin meracuni orang lain (Sudoyo, 2014).
8
Racun akut ditimbulkan oleh bahan-bahan racun yang larut air dan dapat
menimbulkan gejala keracunan tidak lama setelah racun terserap ke dalam tubuh
manusia. Contoh dari racun akut yang terdiri dari senyawa organofosfat adalah
insektisida racun serangga untuk rumahan yang seringkali disalahgunakan untuk
meracuni diri, yang efeknya dapat terlihat dalam beberapa menit setelah racun masuk
ke dalam tubuh dan dapat menyebabkan kematian (Sudoyo, 2014).
Gambar 2.2 Patofisiologi sindrom kolinergik terhadap system autonomy dan system saraf somatik
(Sudoyo, 2014)
kejang usus dan diare, keringat berlebihan, air mata yang berlebihan,
kelemahan yang disertai sesak nafas, akhirnya kelumpuhan otot rangka.
3. Gejala Sentral
Gelaja sentral yan ditimbulkan adalah sukar bicara, kebingungan, hilangnya
reflek, kejang dan koma (Prihadi, 2008).
Jadi ada salah satu jurnal yang menyebutkan mnemonic yang paling sering digunakan
untuk memudahkan mengingat efek muskarinik yang ditimbulkan dari intoksikasi
organofosfat yaitu DUMBELS (Robb dan Baker, 2019).
D = Defecation/diaphoresis
U = Urination
M = Miosis
B = Bronchospasm/bronchorrhea
E = Emesis
L = Lacrimation
S = Salivation
a. Diagnosis
Diagnosis intoksikasi organofosfat didasarkan pada karakteristik gambaran
klinis dan riwayat pajanan terhadap senyawa organofosfat. Sebagian besar kasus
keracunan organofosfat mudah ditegakkan karena informasi riwayat minum racun
serangga sering mudah didapatkan melalui heteroanamnesis. Diagnosis intoksikasi
organofosfat terkadang sulit untuk dilakukan jika tidak ada informasi pasti yang
menyatakan pasien baru saja minum senyawa organofosfat, karena gejala
intoksikasi organofosfat hampir mirip dengan intoksikasi senyawa carbamate.
Sehingga anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat akan sangat membantu
menegakkan diagnosis (Narang U et al, 2015).
13
1. Anamnesis
Anamnesis bertujuan untuk mencari kemungkinan kontak dengan
senyawa organofosfat. Anamnesis dilakukan dengan prinsip basic 4 sacred 7
dan mencakup hal-hal berikut ini:
What (tipe agen)
2. Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan head to toe hanya dilakukan jika pasien sudah stabil.
Pemeriksaan fisik diperlukan untuk mengetahui berat ringannya gejala klinis
terutama jika pasien datang dalam keadaan tidak sadar. Penilaian klinis paling
awal dan paling penting adalah status kesadaran. Alat ukur kesadaran yang
digunakan adalah skor GCS. Selain itu penemuan klinis seperti ukuran pupil
mata, frekuensi nafas, dan denyut jantung mungkin dapat membantu
penegakan diagnosis pada pasien dengan penurunan kesadaran. Setelah pasien
14
c. Smell (menilai apakah ada bau-bau zat –zat tertentu pada pasien)
Temuan klinis yang khas yang dapat ditemui pada pasien dengan intoksikasi
organofosfat adalah sebagai berikut:
3. Pemeriksaan penunjang
Analisis toksikologi harus dilakukan sedini mungkin, hal ini selain
untuk membantu penegakan diagnosis, juga berguna untuk kepentingan
penyelidikan polisi pada kasus kejahatan. Diagnosis pasti intoksikasi
organofosfat ditegakkan dengan pengukuran butirilkolinesterase atau
asetilkolinesterase di darah atau plasma. Asetilkolinesterase atau enzim
kolinesterase adalah suatu enzim yang terdapat di jaringan tubuh yang
berperan menjaga sistem saraf pusat berfungsi dengan tepat. Kolinesterase
dapat ditemukan pada membrane sel terminal saraf kolinergik dan juga pada
membrane lainnya seperti dalam plasma darah dan sel plasenta. Kolinesterase
15
Darah lengkap
Serum elektrolit
Sedimen urin
2. EKG
EKG perlu dilakukan pada kasus intoksikasi organofosfat karena
sering diikuti dengan gangguan irama jantung dapat berupa sinus
takikardi, sinus bradikardi, takikardi supraventricular, ventrikel takikardi,
torsade de pointes, fibrilasi ventrikel dan lainnya (Narang U et al, 2015).
3. Pemeriksaan radiologi
Dilakukan terutama bila curiga adanya aspirasi zat racun melalui
inhalasi atau dugaan adanya perforasi lambung (Narang U et al, 2015).
16
b. Diagnosis Banding
1. Intoksikasi karbamat
Karbamat adalah kelas insektisida yang secara struktural dan mekanis
mirip dengan insektisida organofosfat (OP). Karbamat adalah N-metil
Karbamat yang berasal dari asam karbamat dan menyebabkan karbamilasi
asetilkolinesterase pada sinapsis neuron dan persimpangan neuromuskuler.
Sementara mereka memiliki mekanisme aksi yang mirip dengan fosforilasi
asetilkolinesterase ireversibel oleh organofosfat, karbamat mengikat
asetilkolinesterase secara reversibel. Selanjutnya, karbamat memiliki
presentasi toksikologis yang mirip dengan keracunan OP dengan durasi
toksisitas yang biasanya kurang dari 24 jam.
2. Intoksikasi Nikotin
Dari beberapa tanaman, yang paling dikenal luas adalah Nicotina
tabacum, dari rokok tembakau komersial dan alat alat lain yang mengandung
nikotinat sudah tersedia untuk dikonsumsi manusia. Penggunaan produk –
produk tersebut, terutama rokok, telah menyebabkan konsekuensi jangka
panjang pada kesehatan masyarakat. Nikotin mudah diserap melalui semua
rute paparan seperti rute gastrointestinal, dermal, intranasal, dan inhalasi
termasuk bahan tanaman yang dihisap. Karena onset dan gejala yang relatif
cepat, biasanya dalam waktu 30 – 90 menit. Nikotin dan nikotin seperti
alkaloid bekerja secara agonis pada reseptor asetilkolin (kolinergik). Dimana
reseptor sodium terdapat secara luas di sistem saraf pusat dan otonom, dan
neuromuscular junction ( pre atau post sinaps).
a. Keracunan akut :
- Ringan : 40 -70% N
- Sedang : 20% N
- Berat : dibawah 20% N
b. Keracunan kronik yaitu bila kadar AChE menurun sampai 25 – 50%, setiap
individu yang berhubungan dengan insektisida ini harus segera disingkirkan
dan baru diizinkan bekerja kembali bila kadar AChE telang meningkat diatas
75% N.
Pemeriksaan PA juga dapat dilakukan, pada keracunan akut, hasil pemeriksaan
patologi biasanya tidak khas. Sering ditemukan edema paru, dilatasi kapiler, hiperemi
paru, otak dan organ-organ lainnya (Ria Carisna A, 2016).
a. Stabilisasi
Langkah pertama yang harus dilakukan dalam menangani pasien dengan
keracunan organofosfat adalah dengan memeriksa saluran/jalan nafas,
pernafasan, dan sirkulasi (airway, breathing, circulation/ABC). Apabila
ditemukan masalah pada jalur nafas, maka kita harus membebaskan jalan
nafas pasien bisa dengan melakukan intubasi dalam kasus-kasus gangguan
pernapasan karena laringospasme, bronkospasme, bronkorea, atau kejang;
memperbaiki fungsi pernafasan dengan dengan pemberian oksigen yang
adekuat untuk mengatasi kondisi hipoksia; serta perbaikan sistem sirkulasi
darah seperti dengan memberikan cairan normal salin secara intravena untuk
mengatasi hipotensi. Resusitasi kardiopulmoner harus dilakukan dengan cepat
dan tepat serta dekontaminasi simultan harus dilakukan bersamaan untuk
mencegah kematian akibat keracunan organofosfat (Djoko W dan Katu S,
2014).
19
b. Dekontaminasi
Organofosfat dapat meracuni orang dengan beberapa cara, seperti
melalui kulit (rambut dan kuku), mata, mulut/saluran gastrointestinal (dengan
menelan), atau melalui udara (dengan menghirup). Setiap kasus keracunan
organofosfat, memiliki penanganan yang berbeda, hal tersebut bergantung
pada rute paparannya.
1) Dekontaminasi kulit yang terpapar organofosfat
Kebanyakan keracunan organofosfat terjadi akibat terserapnya
organofosfat melalui kulit. Kondisi ini dapat terjadi ketika organofosfat
dituangkan dan tumpah, atau terciprat ketika campuran organofosfat
diaduk sebelum disemprotkan, atau ketika pasien menyentuh tanaman yang
baru saja disemprot. Organofosfat juga dapat menyentuh kulit melalui
Pakaian seperti ketika mencuci pakaian yang terkena paparan organofosfat
sebelumnya. Kadang-kadang sepatu kulit, ikat pinggang dan gelang jam
tangan sulit untuk didekontaminasi, sehingga harus segera dibuang.
Untuk mengatasi kondisi tersebut, maka yang bisa dilakukan terhadap
pasien adalah dengan melepaskan pakaian, jam tangan, alas kaki dan aksesoris
lainnya yang digunkan oleh pasien, kemudian dimasukkan dalam wadah
plastik yang kedap air dan tutup rapat. Kemudian cuci (scrubbing) bagian
kulit pasien yang terpapar organofosfat dengan air mengalir dan sabun
minimal 10 menit. Kemudian keringkan kulit pasien dengan handuk kering
dan lembut. Zat kering seperti tepung, pasir, atau bentonit juga dapat
digunakan untuk mendekontaminasi kulit. Jika kulit pasien melepuh akibat
organofosfat, maka bersihkan dengan air dingin, jangan lepaskan apapun yang
menempel di luka tersebut, jangan oleskan salep, minyak, atau mentega,
jangan mencoba untuk memecahkan lepuhan kulit tersebut, jangan lepaskan
kulit yang terkelupas, serta tutup kulit yang melepuh dengan kasa steril.
Apabila rambut yang lebat dan panjang terpapar organofosfat, maka
diperlukan pencucian dengan shampo berulang dan jika perlu mencukur
rambut kepala (Djoko W dan Katu S, 2014).
20
dengan dosis dewasa 5-10 mg dan anak-anak 0,24-0,4 mg/kg IV (Putra TR, et
al., 2013).
2) Oximes
Pada kasus keracunan organofosfat yang sedang-berat, yang biasanya
ditandai dengan adanya paralisis otot pernafasan atau kejang, perlu diberi
reaktivator asetilkolinesterase berupa oximes yang diberikan setelah
pemberian antidotium sulfas atropine (Putra TR, et al., 2013).
3) Pralidoksin (2-PAM)
Obat ini bekerja dengan memperbaiki AchE karena atropin tidak dapat
melawan efek nikotinik. Pemberian obat ini dilakukan ketika efek toksik
nikotinik muncul atau dosis atropin sesuai standar pedoman ACLS dan PALS
sudah berlebihan (Rajpal et al, 2010). Dosis awal pada dewasa adalah 2 gram,
sedangkan pada anak adalah 30 mg/kgBB IV diikuti infus kontinu 8 mg/kg
BB/jam selama minimal 24 jam dan diberikan sampai perbaikan klinis
(Murray et al, 2012). Atau alternatif lainnya dengan pemberian intermiten IV
atau IM dengan dosis 30 mg /kg BB 4 jam. Dosis total 10 -15 gram/hari
(kadar plasma 20-40 mg/L), efek merugikan yang mungkin muncul adalah
takikardi, hipertensi dan spame laring. Atau diberikan obidoxime dengan
dosis awal pada dewasa adalah 0,25 gram atau pada anak 4mg/kgBB IV
diikuti Infus kontinu 0,5 mg/kgBB/jam selama minimal 24 jam dan diberikan
sampai perbaikan klinis. Atau alternatif lainnya dengan pemberian intermiten
IV atau IM dengan dosis 2 mg/kg BB tiap 4 jam. Efek merugikan yang
mungkin muncul adalah hepatotoksik, malaise dan hipertermi. Pada kasus
yang sangat berat, dapat diberikan dosis lebih tinggi untuk mencapai
reaktivitas enzim asetilkolinesterase. Observasi ketat dilakukan setelah selesai
pemberian oximes karena dapat terjadi rekurensi manifestasi klinis keracunan
yang memerlukan terapi oximes lagi. Kemungkinan dapat terjadi sindrom
intermediet, yaitu kelemahan otot yang rekuren beberapa hari setelah
pemaparan, yang dicurigai terjadi akibat terapi oximes yang tidak adekuat
(Putra TR et al, 2013).
24
7) Sindrom antikolinergik
Dapat diterapi secara simptomatik dan suportif (Djoko W dan Katu S,
2014).
a) Pembelian pestisida
Dalam pembelian pestisida hendaknya selalu dalam kemasan yang asli,
masih utuh dan ada label petunjuknya.
c) Penyimpanan
Setelah menggunakan pestisida apabila berlebih hendaknya di simpan
yang aman seperti jauh dari jangkauan anak-anak, tidak bercampur dengan
bahan makanan dan sediakan tempat khusus yang terkunci dan terhindar dari
sinar matahari langsung.
d) Penatalaksanaan Penyemprotan
Pada pelaksanaan penyemprotan ini banyak menyebabkan keracunan
oleh sebab itu di wajibkan memakai alat pelindung diri yang lengkap setiap
melakukan penyemprotan, tidak melawan arah angin atau tidak melakukan
penyemprotan sewaktu angin kencang, hindari kebiasaan makan-minum serta
merokok di waktu sedang menyemprot, setiap selesai menyemprot dianjurkan
untuk mandi pakai sabun dan berganti pakaian (Bloom H L, 1992).
27
BAB III
PENUTUP
3.1 Ringkasan
DAFTAR PUSTAKA
Aaron C K. 2001. Organophosphates and carbamates. In: Ford MD, Delaney KA,
Ling LJ, Erickson T, eds. Clinical toxicology. Philadelphia: WB Saunders Company :
819–28.
Bloom, HL. 1992. Plannng for Health, Development and Change Theory. Human
Science Press. New York.
Cha, Y.S., Kim, H., Go, J., Kim, T.H., et al. 2014. Features of myocardial injury in
severe organophosphate poisoning. Clin Toxicol (Phila), 52(8):873-9.
Djoko W, Katu S. 2014. Keracunan insektisida. In: Siti Setiati: Buku Ajar Penyakit
Dalam. Interna Publishing, 1029-34.
Faria, M., Prats, E., Padrós, F., Soares, A., Raldúa, D. 2017. Zebrafish is A Predictive
Model for Identifying Compounds that Protect Against Brain Toxicity in Severe
Acute Organophosphorus Intoxication. Arch Toxicol 91:1891.
Lorke, D., Y. Hasan, M., M. Nurulain, S., Shafiullah, M., Kuca, K. and A. Petroianu,
G. 2013. Acetylcholinesterase Inhibitors as Pretreatment Before Acute Exposure to
Organophosphates: Assessment Using Methyl-Paraoxon. CNS & Neurological
Disorders - Drug Targets, 11(8), pp.1052-1060.
29
Muñoz, Q.M., Lucero, B.A., Iglesias, V.P., Muñoz, M.P., et al. 2016. Chronic
exposure to organophosphate (OP) pesticides and neuropsychological functioning in
farm workers: a review. Int J Occup Environ Health,29:1-12.
Murray, D.B., Eddleston, M., Thomas, S., Jefferson, R.D., et al. 2012. Rapid and
complete bioavailability of antidotes for organophosphorus nerve agent and cyanide
poisoning in minipigs after intraosseous administration. Ann Emerg Med, 60(4):424-
30.
Putra, T.R., Suega, K., Artana, I.G.N.B. 2013. Pedoman Diagnosis Dan Terapi
Ilmu Penyakit Dalam. 610-14.
Rajapakse, B.N., Thiermann, H., Eyer, P., Worek, F., et al. 2011. Evaluation of the
Test-mate ChE (cholinesterase) field kit in acute organophosphorus poisoning. Ann
Emerg Med, 58(6):559-564.
Rajpal, S., Ali, R., Bhatnagar, A., Bhandari, S.K., et al. 2010. Clinical and
bioavailability studies of sublingually administered atropine sulfate. Am J Emerg
Med, 28(2):143-50.
30
Rani AA, Soegondo S, Nasir AUZ, Wijaya IP, Nafrialdi, Mansjoer A. 2006.
Keracunan Organofosfat. Dalam Panduan Pelayanan Medik. Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. pp. 153.
Raveh, L., Eisenkraft, A., Weissman, B.A. 2014. Caramiphen edisylate: An optimal
antidote against organophosphate poisoning. Toxicology, 325C:115-124.
Ria Carisna, A., Reko, A., Mukaram, A., Dwi Cahyani, A., Shamponu, E., Dita, W.
and Refualu, A. 2016. Asuhan Keperawatan Intoksikasi : IFO (Baygon).
Safitrih, L., Kusuma, AM., Wibowo, MI. 2016. Angka Kejadian dan Penatalaksanaan
Keracunan di Instalasi Gawat Darurat RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo
Purwokerto Tahun 2012–2014. Media Litbangkes 26(3):176.
Samosir, K., Setiani, O., Nurjazuli. 2017. Hubungan Pajanan Pestisida dengan
Gangguan Keseimbangan Tubuh Petani Hortikultura di Kecamatan Ngablak
Kabupaten Magelang. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia 16(2):64.
Schep L.J, et al. 2009. Nicotinic plant poisoning. National Poisons Centre,
Department of Preventive and Social Medicine, University of Otago, Dunedin, New
Zealand. 47, 771–781. [online] Available at : [https://www.ncbi.nlm.nih].
Sudoyo, A., Setiati, S. and Alwi, I. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. 6th
ed. Jakarta: Interna Publishing, pp.1019-1024.
31
Sudoyo, A., Setiati, S. and Alwi, I. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. 6th
ed. Jakarta: Interna Publishing, pp.1023-1024.
Teguh BP. 2009. Analisis faktor risiko keracunan pestisida organofosfat pada
keluarga petani hortikultura di Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang. Tesis.
Magister Kesehatan Lingkungan: Universitas Diponegoro Semarang.