Anda di halaman 1dari 147

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/316472731

Fauna Anopheles

Book · July 2013

CITATIONS READS

0 1,486

12 authors, including:

Mara Ipa Endang Puji Astuti


National Institute of Health Research and Development National Institute of Health Research and Development
57 PUBLICATIONS   83 CITATIONS    35 PUBLICATIONS   54 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Joni Hendri Pandji Wibawa Dhewantara


National Institute of Health Research and Development The University of Queensland
21 PUBLICATIONS   36 CITATIONS    41 PUBLICATIONS   58 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Insecticide susceptibility of Aedes aegypti in Banten View project

Spatial epidemiology of Dengue in Indonesia View project

All content following this page was uploaded by Mara Ipa on 26 April 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


FAUNA ANOPHELES

Heni Prasetyowati
Yuneu Yuliasih
Endang Puji Astuti
Mara Ipa
Roy Nusa RES
Rohmansyah WN
Hubullah Fuadzy
Rina Marina
Joni Hendri
Djani H. W. Hermanus
Asep Jajang K.
Pandji Wibawa D.
Firda Yanuar Pradani
Lukman Hakim
Marliah Santi HR.

Heni Prasetyowati
Lukman Hakim
(Editor)

Health Advocacy
Yayasan Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat
Bekerja sama dengan;
Loka Litbang P2B2 Ciamis
FAUNA ANOPHELES

Penulis:
Heni Prasetyowati, Yuneu Yuliasih, Endang Puji Astuti, Mara Ipa
Roy Nusa RES, Rohmansyah WN, Hubullah Fuadzy, Rina Marina
Joni Hendri, Djani H. W. Hermanus, Asep Jajang K., Pandji Wibawa D.,
Firda Yanuar Pradani, Lukman Hakim, Marliah Santi HR.

Editor:
Heni Prasetyowati
Lukman Hakim

©2013 Health Advocacy

Cetakan Pertama – Juli 2013


Penata Letak – Agung Dwi Laksono
Desain Sampul – Agung Dwi Laksono
ISBN: 978-602-17626-1-5

Diterbitkan oleh:
Health Advocacy
Yayasan Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat
Jl. Kalibokor 2/45 Surabaya
Email: healthadvocacy@information4u.com

Bekerja sama dengan;

Loka Litbang P2B2 Ciamis


Badan Litbang – Kementerian Kesehatan RI.
Jl. Raya Pangandaran KM 3
Kp. Kamurang, Desa Babakan, Kec. Pangandaran
Pangandaran. Telp. (0265) 639375

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh
isi buku ini tanpa izin tertulis dari Pemegang Hak Cipta.

ii
KATA PENGANTAR

Semangat Pagi!
Puji dan syukur senantiasa kami panjatkan
kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan
rahmat serta hidayahNya sehingga kami dapat selesai
menyusun buku ini. Buku ini merupakan kumpulan hasil
penelitian, pengamatan dan kegiatan kami di Loka Litbang
P2B2 Ciamis. Penyebaran hasil penelitian dan tuntutan
masyarakat akan pentingnya informasi penyakit tular
vektor terutama malaria menjadi tujuan utama buku ini
kami buat. Di dalam buku ini berisi mengenai berbagai
informasi mengenai nyamuk Anopheles, peranan dan
faunanya sebagai vektor penyakit di beberapa berbagai
tempat di Indonesia.
Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak
terimakasih karena tanpa bantuan dari berbagai pihak
mungkin kami tak akan mampu menyelesaikan buku ini.
Kedepan, semoga buku tentang Fauna Anopheles ini
bermanfaat bagi masyarakat dan mampu menjadi acuan
bagi masyarakat ilmiah yang membutuhkan informasi
mengenai penyakit tular vektor.
Sungguh kami menyadari bahwa buku ini jauh dari
sempurna. Masih banyak kekurangan dan berbagai
macam kesalahan, untuk itu segala macam kesalahan
dalam buku ini kami memohon maaf atasnya. Tidak ada

iii
gading yang tak retak, kami menerima semua komentar,
kritik, saran dan pesan-pesan yang dapat membangun
kami untuk lebih baik dalam mengeluarkan edisi buku yang
berikutnya.

Salam,

Loka Litbang P2B2 Ciamis

iv
DAFTAR ISI

Halaman Judul i
Kata Pengantar iii
Daftar isi v

Bab 1. Anopheles dan Peranannya sebagai Vektor 1


Penyakit Malaria di Beberapa Daerah di
Indonesia
Heni Prasetyowati, Yuneu Yuliasih

Bab 2. Fauna Nyamuk Anopheles di Wilayah Pantai 23


dan Perkebunan Kecamatan Cibalong,
Kabupaten Garut
Endang Puji Astuti, Mara Ipa

Bab 3. Fauna Anopheles di Wilayah Perbukitan 37


Desa Pandean, Kab Trenggalek dan
Potensinya sebagai Vektor Malaria
Roy Nusa RES, Rohmansyah WN

Bab 4. Karakteristik Anopheles nigerrimus Giles 51


sebagai Vektor Malaria
Hubullah Fuadzy, Rina Marina

v
Bab 5. Anopheles spp. di Kecamatan Amurang, 63
Kabupaten Minahasa Selatan,
Sulawesi Utara
Joni Hendri, Djani H. W. Hermanus

Bab 6. Fauna Sesaat Nyamuk Anopheles spp. di 73


Desa Modu Waimaringu, Kecamatan Kota
Waikabubak, Kabupaten Sumba Barat
Heni Prasetyowati, Asep Jajang

Bab 7. Keanekaragaman Jenis Nyamuk Anopheles 81


(Diptera: Culicidae) di Dataran Rendah
Desa Pesisir, Ciamis Selatan
Pandji Wibawa Dhewantara, Firda Yanuar P.

Bab 8. Fauna dan Bionomik Nyamuk Anopheles 99


spp. di Kecamatan Simboro, Kabupaten
Mamuju, Propinsi Sulawesi Barat
Lukman Hakim, Marliah Santi HR.

Bab 9. Anopheles spp., Vektor Malaria yang 115


Bersifat Local Specific Area
Mara Ipa, Endang Puji Astuti

vi
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Sebaran Nyamuk Anopheles spp. di 17


Indonesia
Tabel 3.1. Jenis, Jumlah dan Persentase Nyamuk 41
Tertangkap Bulan Februari-Desember
2011 di Desa Pandean pada Semua
Metode Penangkapan
Tabel 3.2. Jumlah Nyamuk Tertangkap per Metode 42
Penangkapan di Desa Pandean Selama
Bulan Februari-Desember 2011
Tabel 3.3. Frekuensi Nyamuk Tertangkap Menurut 43
Spesies dan Metodenya di Desa
Pandean Februari-Desember 2011
Tabel 3.4. Besaran Kelimpahan Nyamuk 43
Tertangkap per Spesies dan Metodenya
di Desa Pandean Februari-Desember
2011
Tabel 3.5. Besaran Angka Dominansi Nyamuk 44
Tertangkap menurut Spesies dan
Metodenya di Desa Pandean Periode
Februari-Desember 2011
Tabel 5.1. Frekuensi Anopheles spp. yang 66
Tertangkap Malam Hari dengan
Berbagai Metode Penangkapan

vii
Tabel 5.2. Kelimpahan Nisbi Spesies Anopheles 67
spp. yang Tertangkap Malam Hari
dengan Berbagai Metode Penangkapan
Tabel 6.1. Jumlah dan Spesies Nyamuk Anopheles 76
yang Tertangkap di Desa Modu
Waimaringu
Tabel 7.1. Jenis dan Jumlah Masing-Masing Jenis 86
Nyamuk Anopheles spp. yang
Tertangkap pada 10 Kali Pengamatan
per Metode Penangkapan
Tabel 7.2. Korelasi Kelimpahan Jenis dengan 91
Faktor Lingkungan (Suhu dan
Kelembaban)
Tabel 9.1. Distribusi Bionomik Anopheles spp. di 121
Indonesia

viii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Morfologi Larva Anopheles spp. 4


Gambar 1.2. Perbedaan Fase Perkembangan 5
Anopheles dengan Genera yang
Lain
Gambar 1.3. Morfologi Nyamuk Anopheles 7
Betina Dewasa
Gambar 1.4. Telur Anopheles dengan Pelampung 8
di Kedua Sisinya
Gambar 1.5. Larva Anopheles 9
Gambar 1.6. Pupa Anopheles 11
Gambar 1.7. Perbedaan Anopheles Jantan dan 12
Betina
Gambar 1.8. Siklus Hidup Plasmodium dalam 16
Tubuh Nyamuk dan Manusia
Gambar 2.1. Fauna Nyamuk Anopheles spp. 28
Yang Tertangkap di Desa Sagara,
Kec. Cibalong, Kab. Garut, Jawa
Barat tahun 2005
Gambar 2.2. Fauna Nyamuk Anopheles 28
Tertangkap di Desa Maroko, Kec.
Cibalong, Kab. Garut, Jawa Barat
Tahun 2005

ix
Gambar 2.3. Kelimpahan Nisbi Nyamuk 29
Anopheles spp. per Metode Survai
di Desa Sagara, Kec. Cibalong, Kab.
Garut Tahun 2005
Gambar 2.4. Kelimpahan Nisbi Nyamuk 30
Anopheles spp. per Metode di Desa
Maroko, Kec. Cibalong, Kab. Garut,
Jawa Barat Tahun 2005
Gambar 4.1. Jumlah Penderita Malaria di 53
Provinsi Jambi pada Tahun 2005-
2008
Gambar 7.1. Jumlah Nyamuk Anopheles spp. 87
Tertangkap dengan Metode Umpan
Orang pada 10 Kali Penangkapan
Gambar 7.2. Jumlah Nyamuk Anopheles spp. 89
Tertangkap dengan Metode Resting
di Kandang pada 10 Kali
Penangkapan
Gambar 7.3.a. Fluktuasi Kelimpahan Nyamuk 90
Anopheles spp. dan Suhu pada 10
Kali Penangkapan
Gambar 7.3.b. Fluktuasi Kelimpahan Nyamuk 90
Anopheles spp. dan Kelembaban
pada 10 kali penangkapan
Gambar 8.1. Lokasi Desa Tapandullu dan Desa 104
Sumare, Kecamatan Simboro,
Kabupaten Mamuju, Provinsi
Sulawesi Barat

x
Gambar 8.2. Rata-rata Kepadatan Menggigit per 108
Jam Nyamuk An. subpictus Hasil
Penangkapan di Alam Pagi Hari di
Desa Tapandullu, Kecamatan
Simboro, Kabupaten Mamuju,
Sulawesi Barat
Gambar 8.3. Angka Kesakitan Malaria Klinis 111
Bulanan (MoMI) per Desa di
Wilayah Puskemas Rangas,
Kecamatan Simboro, Kabupaten
Mamuju, Propinsi Sulawesi Barat
Gambar 9.1. Peta Penyebaran Anopheles spp. 118
Vektor Malaria di Indonesia
Gambar 9.2. Skema Distribusi Nyamuk 119
Anopheles spp. Berdasarkan
Karakteristik Topografi dan
Penggunaan Lahan di Pulau
Jawa

xi
xii
Bab 1.
Anopheles dan Peranannya
sebagai Vektor Penyakit Malaria
di Beberapa Daerah di Indonesia
Heni Prasetyowati, Yuneu Yuliasih

PENDAHULUAN
Kasus malaria di Indonesia termasuk tinggi karena
masih terdapat sekitar 15 juta penderita malaria klinis yang
mengakibatkan 30.000 orang meninggal dunia (Depkes,
2003), dan pada tahun 2010 mencapai 1,96 per 1.000
penduduk, dan sejak 4 tahun terakhir menunjukkan
peningkatan. Malaria umumnya ditemukan di daerah-
daerah terpencil dan sebagian besar penderitanya dari
kelompok ekonomi berpenghasilan rendah. Di Jawa dan
Bali meningkat dari 0,12 per 1.000 penduduk pada tahun
1997 menjadi 0,52 per 1.000 penduduk pada tahun 1999,
pada tahun 2001 meningkat lagi menjadi 0,62 per 1000
penduduk dan pada tahun 2002 turun menjadi 0,47 kasus
per 1.000. Di luar Jawa dan Bali juga meningkat dari 16,0
per 1.000 penduduk pada tahun 1997 menjadi 25,0 per
1
Fauna Anopheles

1.000 penduduk pada tahun 1999, pada tahun 2001


menjadi 26.2 per 1.000 penduduk dan pada tahun 2002
turun menjadi 19,65 kasus per 1.000 penduduk. Pada
periode tahun 1998-2000, terjadi kejadian luar biasa (KLB)
malaria di 11 propinsi yang meliputi 13 kabupaten, di 93
desa dengan jumlah penderita hampir 20.000 orang
dengan 74 kematian (Depkes, 2003). Malaria mudah
menyebar pada penduduk di daerah yang cukup memiliki
tempat perindukan (breeding site) nyamuk Anopheles yang
menjadi vektor (penular) malaria, terutama di daerah
persawahan, perkebunan, perhutanan maupun pantai
(Anies, 2005).
Dalam susunan taksonomi, nyamuk Anopheles
termasuk Phylum Arthropoda, Kelas Insecta, Ordo Diptera,
Famili Culicidae dan Subfamili Anophelinae (Bruce-chwatt,
1985). Secara keseluruhan di muka bumi ini terdapat
kurang lebih 4.500 spesies nyamuk, sedangkan nyamuk
Anopheles spp. berjumlah 424 spesies yang 70 spesies di
antaranya telah terbukti sebagai vektor malaria (WHO,
1997). Nyamuk Anopheles yang ada di Indonesia
berjumlah 80 spesies (Connor & Sopa 1981), 24 spesies di
antaranya telah dikonfirmasi sebagai vektor penular
penyakit (Depkes 2006).
Penelitian tentang keragaman Anopheles spp. di
Indonesia telah banyak dilakukan di beberapa daerah,
antara lain di wilayah Jawa telah dilakukan di daerah
Kokap Kabupaten Kulonprogo (Daerah Istimewa

2
Fauna Anopheles

Yogyakarta), ditemukan spesies Anopheles balabacencis,


An. maculatus, An. vagus dan An. annularis (Effendi 2002).
Nyamuk Anopheles spp. yang tertangkap dengan umpan
orang di dalam dan luar rumah serta perangkap cahaya di
Desa Sedayu Kabupaten Purworejo (Jawa Tengah) adalah
An. aconitus, An. flavirostris, An. vagus, An. kochi, An.
annularis, An. balabacensis, An. barbirostris, An. minimus,
An. maculatus dan An. subpictus (Noor, 2002).
Penelitian di wilayah Sumatera telah dilakukan di
Desa Pondok Mega Jambi Luar (Kota Muaro Jambi, Jambi),
melaporkan ditemukannya 10 spesies nyamuk Anopheles
yaitu An. barbirostris, An. vagus, An. nigerrimus, An.
aconitus, An. kochi, An. tesselatus, An. indefinitus, An.
umbrosus, An. peditaeniatus dan An. schueffueri (Maloha,
2005). Sedangkan penelitian di wilayah Kalimantan
melaporkan bahwa di Desa Alat Hantakan (Kabupaten Hulu
Sungai Tengah, Kalimantan Selatan) ada empat spesies
yang menonjol yaitu An. kochi, An. letifer, An. nigerrimus,
An. barbirostris dibandingkan spesies lainnya yakni An.
sinensis, An. vagus, An. aconitus, dan An. maculatus
(Salam, 2005). Di Sulawesi Tengan yaitu di daerah
Bolapapu dilaporkan terdapat 10 spesies yaitu An.
barbirostris, An. umbrosus, An. leucosphyrus, An. kochi, An.
vagus, An. indefinitus, An. tesselatus, An. seperatus, An.
maculatus dan An. hyrcanus (Sulaeman 2004).

3
Fauna Anopheles

MORFOLOGI NYAMUK ANOPHELES


Nyamuk mengalami metamorfosis sempurna,
selama hidupnya mengalami 4 fase perkembangan yaitu
dari telur berubah menjadi larva, berubah lagi menjadi
pupa, dan terakhir menjadi dewasa. Stadium telur, larva,
dan pupa hidup di dalam air, sedangkan stadium dewasa
hidup di darat dan udara. Karena itu, morfologi nyamuk
termasuk Anopheles spp. dapat dipelajari pada setiap
siklus hidupnya.

Gambar 1.1.
Morfologi Larva Anopheles spp.
Sumber : wisebrain.info
Berbeda dengan spesies nyamuk lain, telur nyamuk
Anopheles mempunyai pelampung dan diletakkan satu per
satu terpisah di permukaan air. Telur yang baru diletakkan
berwarna putih, tetapi sesudah 1-2 jam berubah menjadi
hitam (Hoedojo, 2000). Telur menetas menjadi larva
dengan ciri khas tidak mempunyai tabung udara (siphon),
beberapa ruas abdomen memiliki bulu kipas, pada
beberapa ruas abdomen terdapat tergal plate, adanya
4
Fauna Anopheles

utar-utar pada beberapa ruas abdomen. Pada waktu


istirahat larva nyamuk Anopheles sejajar dengan
permukaan air dan bebas berenang di air.

Gambar 1.2.
Perbedaan Fase Perkembangan Nyamuk Anopheles
dengan Genera yang Lain.
Sumber : cc.shsmu.edu.cn

5
Fauna Anopheles

Bagian tubuh nyamuk dewasa terdiri dari kepala,


dada dan perut. Bagian kepala terdiri dari proboscis, palpi,
dan antenna. Bagian dada terdiri dari scutellum, halter,
sayap dan urat-uratnya, sedangkan perut tersusun atas
ruas-ruas abdomen. Sayap Anopheles terdiri dari costa,
sub costa, urat-urat sayap, jumbai. Bagian kaki terdiri dari
coxa, femur, tibia, tarsus. Nyamuk Anopheles dewasa bisa
dikenali dari ciri-ciri yang khasnya yang terdapat pada
bagian-bagian tubuhnya.
Ciri-ciri khas nyamuk Anopheles dewasa yaitu
mempunyai proboscis dan palpi sama panjang, scutellum
berbentuk satu lengkungan (½ lingkaran), urat sayap
bernoda pucat dan gelap, jumbai biasanya terdapat noda
pucat. Pada palpi bergelang pucat atau sama sekali tidak
bergelang. Kaki Anopheles panjang dan langsing. Pada kaki
belakang sering terdapat bintik-bintik (bernoda pucat).
Nyamuk betina dewasa memiliki palpi dan proboscis sama
panjang, sedangkan palpi nyamuk jantan pada bagian
ujung berbentuk alat pemukul. Pada saat menggigit
nyamuk Anopheles membentuk sudut 45o - 60o. Nyamuk
Anopheles lebih menyukai mengisap darah di luar
bangunan (eksofagik) dan istirahat di dalam bangunan
(endofilik) (Depkes, 2007).

6
Fauna Anopheles

Gambar 1.3.
Morfologi Nyamuk Anopheles Betina Dewasa
Sumber : www.enchantedlearning.com

BIONOMIK ANOPHELES
Kehidupan pradewasa (telur, larva , pupa) nyamuk
Anopheles berada di air, pemilihan macam tempat
genangan air dilakukan secara genetik oleh seleksi alam
yang berbeda antar spesies nyamuk. Larva nyamuk
biasanya berkumpul pada bagian-bagian dimana diperoleh
makanan dan terlindung terutama dari arus air dan
predator.

Telur
Telur Anopheles diletakkan satu persatu di atas
permukaan air, biasanya peletakkan dilakukan pada malam
hari. Telur berbentuk seperti perahu yang bagian

7
Fauna Anopheles

bawahnya konveks dan bagian atasnya konkaf dan


mempunyai sepasang pelampung yang terletak pada
sebuah lateral sehingga telur dapat mengapung di
permukaan air. Jumlah telur yang dikeluarkan oleh nyamuk
betina Anopheles bervariasi, biasanya antara 100-150 butir
(Santoso, 2002). Telur Anopheles tidak dapat bertahan
lama di bawah permukaan air, dan akan gagal menetas bila
di bawah permukaan air dalam waktu lama (melebihi 92
jam). Suhu optimal bagi telur Anopheles adalah 28°C-36°C.
Suhu di bawah 20°C dan di atas 40°C adalah suhu yang
tidak menguntungkan bagi perkembangan telur (Santoso,
2002).

Gambar 1.4.
Telur Anopheles dengan Pelampung di Kedua Sisinya
Sumber : impact.malaria.com

8
Fauna Anopheles

Larva
Larva nyamuk mempunyai 4 bentuk (instar)
pertumbuhan yang masing-masing instar mempunyai
ukuran dan bulu yang berbeda (Santoso, 2002). Stadium
larva Anopheles yang di tempat perindukan tampak
mengapung sejajar dengan permukaan air dengan spirakel
selalu kontak dengan udara luar. Sekali-sekali larva
Anopheles mengadakan gerakan-gerakan turun ke dalam/
bawah air untuk menghindari predator/musuh alaminya,
atau karena adanya rangsangan di permukaan seperti
gerakan-gerakan dan lain-lain. Untuk perkembangan
hidupnya, larva nyamuk memerlukan kondisi lingkungan
yang mengandung makanan antara lain mikroorganisme
terutama bakteri, ragi dan protozoa yang cukup kecil
sehingga dapat dengan mudah masuk mulutnya (Santoso,
2002).
Gambar 1.5.
Larva Anopheles
Sumber :
fmel.ifas.ufl.edu

9
Fauna Anopheles

Tanaman air tidak hanya menggambarkan sifat fisik


atau genangan air, tetapi juga menggambarkan susunan
kimia dan suhu air. Dengan demikian, keberadaan berbagai
jenis tanaman air dapat dijadikan indikator keberadaan
larva nyamuk spesies tertentu. Penyebaran larva pada
tempat-tempat perindukan tidaklah merata. Pada tempat
– tempat perindukan yang kecil larva akan selalu
berkumpul didaerah pinggir atau sekitar benda-benda yang
terapung di air atau tanaman air (Depkes 2004).

Pupa
Stadium pupa merupakan masa tenang, umumnya
tidak aktif tapi dapat juga melakukan gerakan-gerakan
yang aktif. Apabila sedang tidak aktif, pupa berada
mengapung di permukaan air. Kemampuannya mengapung
disebabkan adanya ruang udara yang cukup besar di sisi
bawah sefalotoraks.
Pupa tidak menggunakan rambut dan kait untuk
melekat pada permukaan air, tetapi dengan bantuan dua
terompet yang cukup besar yang berfungsi sebagai spirakel
dan dua rambut panjang stellate yang berada pada segmen
satu abdomen (Santoso, 2002). Pupa mempunyai tabung
pernapasan (respiratory trumpet) yang bentuknya lebar
dan pendek dan digunakan untuk pengambilan O2 dari
udara (Gandahusada, 1998). Perubahan dari pupa menjadi
dewasa biasanya antara 24 jam sampai dengan 48 jam
tergantung pada kondisi lingkungan terutama suhu
(Santoso, 2002).
10
Fauna Anopheles

Gambar 1.6.
Pupa Anopheles
Sumber : medent.usyd.edu.au

Nyamuk Dewasa
Pada stadium dewasa, palpus nyamuk jantan dan
betina mempunyai panjang hampir sama dengan panjang
probosis. Perbedaannya adalah pada nyamuk jantan ruas
palpus bagian apikal berbentuk gada (club form),
sedangkan pada nyamuk betina ruas tersebut mengecil.
Sayap pada bagian pinggir (costa dan vena) ditumbuhi
sisik-sisik sayap yang berkelompok membentuk gambaran
belang-belang hitam dan putih. Di samping itu, bagian
ujung sisik sayap membentuk lengkung (tumpul). Bagian
posterior abdomen tidak seruncing nyamuk Aedes dan juga
tidak setumpul nyamuk Mansonia, tetapi sedikit melancip
(Gandahusada, 1998).

11
Fauna Anopheles

Nyamuk Anopheles terutama hidup di dearah


tropik dan subtropik, namun bisa juga hidup di daerah
beriklim sedang dan bahkan di Arktika. Anopheles jarang di
temukan pada ketinggian lebih dari 2000-2500m, sebagian
besar hidup di dataran rendah.

Gambar 1.7.
Perbedaan Anopheles Jantan dan Betina
Sumber : itg.content-e.eu

Daerah yang disenangi nyamuk yang tersedia


tempat beristirahat, adanya hospes yang disukai dan
tempat untuk berkembangbiak. Setiap nyamuk pada waktu
beraktivitas akan melakukan orientasi terhadap habitatnya
untuk mengetahui keadaan-keadaan yang disenangi untuk

12
Fauna Anopheles

memenuhi kebutuhan fisiologisnya, dan akan berkumpul


pada tempat yang disenanginya.
Pergerakan populasi nyamuk pada berbagai bagian
habitatnya dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti suhu,
kelembaban, daya tarik hospes, daya tarik terhadap
tempat berkembangbiak dan tempat istirahat. Suhu dan
kelembaban yang tidak baik serta tidak tersedianya
sumber darah menyebabkan nyamuk berpindah tempat
untuk mencari yang lebih cocok sebagai tempat
berkembangbiak.
Nyamuk Anopheles betina umumnya hanya satu
kali kawin dalam hidupnya. Untuk proses perkembangan
telurnya, nyamuk memerlukan darah dengan frekuensi
kebutuhan tergantung pada spesiesnya serta dipengaruhi
oleh suhu dan kelembaban udara. Nyamuk jantan tidak
memerlukan darah. Di daerah iklim tropis, siklus
pematangan telur (gonotropic) umumnya berlangsung 48-
96 jam.
Nyamuk Anopheles pada umumnya mencari darah
(menggigit) pada malam hari, mulai senja hingga pagi.
Nyamuk akan terbang berkeliling sampai menemukan
hospes yang cocok. Berdasarkan kesukaan menggigit untuk
mengisap darah pada berbagai hospes, nyamuk dibedakan
menjadi antropofilik jika nyamuk lebih suka mengisap
darah manusia, zoofilik jika nyamuk lebih suka mengisap
darah binatang, dan indiscriminate endofagik biter jika
nyamuk mengisap darah tanpa kesukaan tertentu
13
Fauna Anopheles

terhadap hospes (tidak spesifik). Berdasarkan tempat


menggigitnya nyamuk dikatakan eksofagik apabila nyamuk
lebih banyak menggigit di luar rumah. Tetapi nyamuk yang
bersifat eksofagik bisa saja menjadi endofagik jika ada
hospes yang cocok di dalam rumah. Bila hospes yang
disukai tidak ada, nyamuk akan mengisap darah dari
hospes lain yang tersedia. Orientasi terhadap hospes
diakibatkan adanya bau spesifik dari hospes, suhu dan
kelembaban yang dapat dideteksi dari jarak yang cukup
jauh.
Nyamuk Anopheles mempunyai dua cara istirahat
yaitu istirahat sebenarnya selama waktu menunggu proses
perkembangan telur, dan istirahat sementara pada waktu
sebelum dan sesudah mencari darah. Nyamuk mempunyai
perilaku istirahat berbeda-beda, An. aconitus lebih banyak
beristirahat di tempat dekat tanah, sedangkan An.
sundaicus beristirahat ditempat yang lebih tinggi (Depkes,
1999; Warrel dan Gilles, 2002). Pada waktu malam hari
nyamuk masuk ke dalam rumah untuk mengisap darah lalu
keluar, ada pula yang terlebih dahulu istirahat hinggap di
dinding untuk istirahat sebelum atau sesudah mengisap
darah.
Beberapa Anopheles spp. memiliki kepadatan
populasi yang berbeda-beda. Kepadatan populasi nyamuk
An. aconitus sangat dipengaruhi oleh musim tanam padi.
Larvanya mulai ditemukan di sawah kira-kira pada waktu
padi berumur 2-3 minggu setelah tanam dan paling banyak

14
Fauna Anopheles

ditemukan pada saat tanaman padi mulai berbunga sampai


menjelang panen. Di daerah yang musim tanamnya tidak
serempak dan sepanjang tahun ditemukan tanaman padi
pada berbagai umur, maka nyamuk ini ditemukan
sepanjang tahun dengan dua puncak kepadatan yang
terjadi sekitar Bulan Februari-April dan sekitar Bulan Juli-
Agustus (Barodji, 1987 dalam Saputra, 2001).
Kepadatan larva nyamuk An. balabacencis bisa
ditemukan pada musim penghujan maupun kemarau.
Larva An. balabacencis ditemukan di genangan air yang
berasal dari mata air, seperti penampungan air yang dibuat
untuk mengairi kolam, untuk merendam bambu/kayu,
mata air, bekas telapak kaki kerbau dan kebun salak.
Puncak kepadatan An. maculatus dipengaruhi oleh
musim. Pada musim kemarau kepadatan meningkat, hal ini
disebabkan banyak terbentuk tempat perindukan berupa
genangan air di pinggir sungai dengan aliran lambat atau
tergenang. Perkembangbiakan nyamuk An. maculatus
cenderung menurun bila aliran sungai menjadi deras
(flushing) yang tidak memungkinkan adanya genangan di
pinggir sungai sebagai tempat perindukan (Saputra, 2001).

PERANAN ANOPHELES SEBAGAI VEKTOR MALARIA


Malaria pada manusia hanya dapat ditularkan aleh
nyamuk betina Anopheles. Dari lebih 400 spesies
Anopheles spp. di dunia, hanya sekitar 67 spesies yang

15
Fauna Anopheles

telah terbukti mengandung sporozoit dan dapat


menularkan ke manusia. Di setiap daerah yang terjadi
transmisi malaria, biasanya hanya ada satu atau paling
banyak 3 spesies Anopheles spp. yang menjadi vektor
penting. Di Indonesia telah ditemukan 24 spesies
Anopheles spp. yang sudah dikonfirmasi menjadi vektor.

Gambar 1.8.
Siklus Hidup Plasmodium dalam Tubuh Nyamuk dan Manusia
Sumber : hmkuliah.wordpress.com

Spesies nyamuk Anopheles spp. yang menjadi vektor


malaria di suatu daerah tertentu, belum tentu di daerah
lain juga mampu menularkan penyakit malaria. Nyamuk

16
Fauna Anopheles

Anopheles spp. dapat dikatakan sebagai vektor malaria


apabila kontaknya dengan manusia cukup tinggi,
merupakan spesies yang selalu dominan, anggota populasi
pada umumnya berumur cukup panjang sehingga
memungkinkan perkembangan dan pertumbuhan
Plasmodium spp. hingga menjadi sporozoit, dan ditempat
lain telah terbukti sebagai vektor.
Berikut jenis nyamuk Anopheles spp. Yang terbukti
menjadi vektor malaria di beberapa Propinsi di Indonesia:
Tabel 1.1. Sebaran Nyamuk Anopheles spp. di Indonesia
No Propinsi Vektor predominan
1 D. I. Aceh An. balabacensis, An. sundaicus
2 Sumatera Utara An. sundaicus, An. maculatus,
An. letifer
3 Sumatera Barat An. sundaicus, An. maculatus
4 Riau An. sundaicus, An. maculatus,
An. letifer
5 Jambi An. sundaicus, An. maculatus
An. letifer
6 Sumatera Selatan An. sundaicus, An. maculatus,
An. letifer
7 Bengkulu An. sundaicus, An. maculatus
8 Lampung An. sundaicus, An. maculatus,
An. aconitus
9 DKI Jakarta An. sundaicus
10 Jawa barat An. sundaicus, An. maculatus,
An. aconitus
11 Jawa Tengah An. sundaicus, An. maculatus,
An. aconitus, An. balabacensis
12 D.I Yogyakarta An. sundaicus, An. maculatus,
An. balabacensis

17
Fauna Anopheles

No Propinsi Vektor predominan


13 Jawa Timur An. sundaicus, An. maculatus,
An. aconitus, An. balabacensis
14 Bali An. sundaicus, An. maculatus,
An. aconitus
15 Kalimantan Barat An. sundaicus, An. maculatus,
An. letifer, An. balabacensis
16 Kalimantan An. maculatus, An. letifer,
Tengah An. balabacensis
17 Kalimantan An. sundaicus, An. maculatus,
Selatan An. letifer, An. balabacensis
18 Kalimantan An. sundaicus, An. maculatus,
Timur An. letifer, An. balabacensis
19 Sulawesi Utara An. sundaicus, An. subpictus,
An. barbirostris
20 Sulawesi tengah An. subpictus, An. barbirostris
21 Sulawesi Selatan An. sundaicus, An. subpictus,
An. barbirostris
22 Sulawesi An. sundaicus, An.balabacensis,
Tenggara An. maculatus, An.aconitus,
An. subpictus, An. barbirostris
23 Nusa Tenggara An. sundaicus, An. maculatus,
Barat An. aconitus, An. balabacensis,
An. subpictus, An. barbirostris
24 Nusa Tenggara An. sundaicus, An. maculatus
Timur An. Aconitus, An. balabacensis
An subpictus, An. barbirostris
25 Maluku An subpictus, An. farauti,
An. puncutulatus
26 Papua An. farauti, An. puncutulatus,
An. koliensis
Sumber: dari berbagai sumber

18
Fauna Anopheles

Efektivitas vektor dalam menularkan malaria


ditentukan oleh kepadatan populasi vektor, kedekatan
dengan pemukiman manusia, kesukaan mengisap darah
manusia ataupun hewan, frekuensi mengisap darah
(tergantung dari suhu), lamanya siklus sporogoni
(berkembangnya parasit dalam tubuh nyamuk sehingga
menjadi infektif).
Di dalam program pemberantasan malaria, selain
pengobatan penderita, yang utama dilakukan adalah
pemberantasan vektor. Untuk mendapatkan hasil yang
optimal, pemberantasan vektor perlu dilakukan
berdasarkan data entomologi setempat terutama yang
berkaitan dengan spesies nyamuk Anopheles spp., musim
penularan serta perilaku atau bionomik vektor.

DAFTAR PUSTAKA
Anies. 2005. Manajemen Berbasis Lingkungan (Solusi Mencegah
dan Menanggulangi Penyakit Menular). Jakarta : PT. Elex
Media Komputindo.
Bruce-Chwatt L.J. 1985. Essential Malariology 2nd edition.
William Heinemann Medical Books Ltd London.
Departemen Kesehatan RI. 2003. Pedoman Tatalaksana Kasus
Malaria. Direktorat Pemberantasan Penyakit Bersumber
Binatang, Direktorat Jenderal PPM&PLP.
Depkes RI. 2006. Profil Kegiatan Program Pengendalia Penyakit
Bersumber Binatang tahun 2005, Dirjen PP&PL . Jakarta

19
Fauna Anopheles

Effendi, A. 2002. Studi Komunitas Nyamuk Anopheles di Desa


Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta. ENK-IPB.
Bogor
Gandahusada,S. 1998. Parasitologi Kedokteran Edisi ke tiga.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Gaya Baru:
Jakarta.
Hiswani. 2004. Gambaran Penyakit dan Vektor Malaria di
Indonesia. http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-
hiswani11.pdf. Diakses pada tanggal 1 Maret 2012.
Maloha, M.M. 2005.Fauna Nyamuk Anopheles di Desa Pondok
meja, Jambi luar kota, muaro jambi, Jambi. ENK-IPB.
Bogor
Noor, E. 2002. Studi Komunitas Nyamuk Anopheles di Desa
Sedayu Kecamatan Loana Kabupaten Purworejo Jawa
Tengah. ENK-IPB, Bogor
O’Connor C.T dan Tine Sopa. 1981. A check-list of the
mosquito of indonesia. Aspesial publication of the Us
Naval Medical Research Unit no 2. Jakarta
Salam A. 2005. Komunitas Nyamuk Anopheles di desa Alat
Hantakan Kabupaten Hulu Sungan Tengah Kalimantan
Selatan. ENK-IPB. Bogor
Sulaiman DS. 2002. Studi Komunitas dan Populasi Nyamuk
Anopheles di Desa Bolapapu Sulawesi Tengah Kaitannya
dengan Epidemiologi Malaria, ENK IPB Bogor

20
Fauna Anopheles

Santoso, Budi. 2002. Studi karakteristik habitat Larva Nyamuk


Anopheles maculatus Theobald dan Anopheles
balabacensis Baisas serta beberapa faktor yang
mempengaruhi populasi Larva di Desa Hargotirto
kecamatan Kokap Kabupaten Kulon Progo,
DIY.http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/1234567
89/7522/2002nbs.pdf?sequence=4. Diakses pada tanggal
20 Maret 2012.
Saputra. 2011. Pengaruh Lingkungan Terhadap Nyamuk
Anopheles pada Proses Transmisi Malaria.
http://uripsantoso.wordpress.com.Diakses pada tanggal
30 Mei 2012.
WHO. 1997. Ecology and Control of vektor of public health
no555. Geneva

21
Fauna Anopheles

22
Bab 2.
Fauna Nyamuk Anopheles di Wilayah Pantai
dan Perkebunan Kecamatan Cibalong
Kabupaten Garut
Endang Puji Astuti, Mara Ipa

PENDAHULUAN
Malaria di Indonesia saat ini masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat terutama di beberapa
wilayah rural atau terisolir. Penyakit ini banyak menyerang
usia produktif yang dapat mengakibatkan menurunnya
tingkat produktivitas, sehingga memberikan dampak pada
sosial ekonomi masyarakat terutama di wilayah endemis
dengan tingkat perekonomian rendah. Penyebaran
malaria disebabkan berbagai faktor antara lain agent,
perubahan lingkungan, vektor, sosial budaya masyarakat
dan resistensi obat. selain itu juga karena keterbatasan
jangkauan pelayanan kesehatan. Malaria tetap menjadi
indikator upaya pencapaian Millenium Development Goals
(MDGs) sampai tahun 2015.

23
Fauna Anopheles

Data malaria yang dikeluarkan oleh Badan


Kesehatan Dunia (WHO), menunjukkan pada tahun 2010
Indonesia masih belum bebas dari kasus malaria. Dari 242
juta penduduk Indonesia, masih tercatat 37% populasi
penduduk tergolong berisiko penularan tinggi, 7% risiko
rendah dan 56% sudah terbebas (WHO, 2012).
Jawa Barat merupakan provinsi yang masih
mempunyai wilayah endemis malaria. Berdasarkan data
Pusdatin, terdapat peningkatan kasus yang signifikan dari
tahun 2005 – 2008 yang berturut-turut sebagai berikut,
1.124; 29.901; 22.240; 43.560 penderita malaria (Depkes
RI, 2009). Kabupaten Garut merupakan salah satu daerah
reseptif malaria di wilayah Provinsi Jawa Barat selain
Kabupaten Tasikmalaya, Ciamis, Kuningan dan Sukabumi
dengan incidence rate (IR) malaria 0,13 pada tahun 2007
(Depkes RI., 2009).
Salah satu Puskesmas di Kabupaten Garut dengan
kasus malaria yang terus meningkat adalah Puskesmas
Cibalong. Selama lima tahun terakhir Annual Parasite
Incidence (API) Puskesmas Cibalong adalah tertinggi
dibandingkan dengan 7 Puskesmas lain di wilayah
Kabupaten Garut. Data tahun 2003 API Cibalong adalah
13,9310/00 dengan 474 penderita yang terdiri dari
Plasmodium falcifarum dan P. vivax (Dinas Kesehatan
Kabupaten Garut, 2004).

24
Fauna Anopheles

Luas Kecamatan Cibalong adalah 23.318 Ha,


terletak antara Kecamatan Pameungpeuk, Kecamatan
Cisompet, Kecamatan Pendeuy dan berbatasan dengan
wilayah Kabupaten Tasikmalaya serta Samudera
Indonesia. Wilayahnya terdiri dari 7 (tujuh) desa, namun
yang kasus malarianya tinggi adalah Desa Sagara dan Desa
Maroko. Kedua desa ini mempunyai ekosistem yang
berbeda. Ekosistem Desa Sagara terdiri dari pantai,
perkampungan, dan persawahan seluas 4.907,50 Ha serta
hutan dalam jarak ± 1 km. Ekologi Desa Maroko adalah
meliputi perkebunan dan persawahan seluas 4.052,06 Ha
(Dinas Kesehatan Kabupaten Garut, 2004).
Karakteristik lingkungan di Kecamatan Cibalong
sangat cocok sebagai habitat nyamuk vektor malaria
sehingga kepadatannya harus dikendalikan untuk
menghindari penularan malaria. Upaya pengendalian
malaria sangat membutuhkan data entomologi vektor,
sedangkan di Kecamatan Cibalong data dimaksud belum
tersedia, karena itu telah dilakukan survai untuk
mengetahui fauna, kepadatan dan kelimpahan nisbi
nyamuk Anopheles spp.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Desa Sagara dan Desa
Maroko Kecamatan Cibalong Kabupaten Garut selama
delapan bulan, pada Bulan Mei sampai dengan Bulan

25
Fauna Anopheles

Desember 2005 dengan metode observasional melalui


pendekatan cross sectional.
Survai dimulai dengan mnentukan empat rumah
sebagai catching station dengan kategori berdekatan
dengan tempat perkembangbiakkan nyamuk Anopheles
spp. dengan jarak maksimal 500 meter atau rumah yang
mempunyai kandang ternak.
Survai dilakukan mulai jam 18.00–06.00 WIB
dengan metode penangkapan nyamuk hinggap (landing) di
dalam dan luar rumah oleh 6 orang kolektor, 3 orang
didalam rumah dan 3 orang di luar rumah. Penangkapan
dilakukan selama 40 menit, dilanjutkan dengan
penangkapan nyamuk yang istirahat di dinding dalam
rumah dan di sekitar kandang ternak (kerbau/sapi) selama
10 menit. Sisa waktu 10 menit di setiap jamnya, digunakan
untuk istirahat kolektor dan persiapan penangkapan pada
jam selanjutnya. Nyamuk yang tertangkap dikelompokkan
berdasarkan jam, lokasi penangkapan (luar dan dalam
rumah) serta istirahat di dinding dan kandang, kemudian
diidentifikasi spesiesnya.
Data penangkapan nyamuk dianalisis secara
deskriptif berdasarkan distribusi nyamuk tertangkap per
spesies, selanjutnya dihitung kelimpahan nisbi per spesies.
Kelimpahan nisbi adalah hasil pembagian jumlah spesies
nyamuk tertentu dengan jumlah nyamuk yang tertangkap
per metode penangkapan. Data yang telah dihitung
selanjutnya disajikan dalam bentuk grafik.
26
Fauna Anopheles

HASIL PENELITIAN
Jumlah nyamuk Anopheles spp. tertangkap di Desa
Sagara selama 8 (delapan) kali survai adalah 205 ekor,
terdiri dari 7 (tujuh) spesies yaitu Anopheles aconitus, An.
annularis, An. barbirostris, An. kochi, An. sundaicus, An.
tesselatus dan An. vagus. Nyamuk yang paling banyak
tertangkap dengan metode umpan orang dan resting
kandang adalah An. sundaicus (80 ekor) dan An. vagus (72
ekor).
Nyamuk Anopheles spp. yang tertangkap di Desa
Maroko lebih sedikit dibandingkan di Sagara yaitu 49 ekor,
terdiri dari 6 (enam) spesies yaitu An. aconitus, An.
barbirostris, An. kochi, An. maculatus, An. minimus dan
An. vagus. Nyamuk dominan yang tertangkap adalah An.
barbirostris (17 ekor) dan An. vagus (15 ekor).
Nyamuk An. vagus ditemukan di kedua desa
dengan kepadatan yang dominan. Nyamuk An. aconitus
juga ditemukan di kedua lokasi tersebut, namun di Desa
Sagara jumlahnya paling sedikit dibandingkan dengan
spesies lainnya.

27
Fauna Anopheles

Gambar 2.1.
Fauna Nyamuk Anopheles spp. yang Tertangkap
di Desa Sagara, Kec. Cibalong, Kab. Garut,
Jawa Barat Tahun 2005

Gambar 2.2.
Fauna Nyamuk Anopheles spp. yang Tertangkap
di Desa Maroko, Kec. Cibalong, Kab. Garut,
Jawa Barat Tahun 2005

28
Fauna Anopheles

0,400

0,350

0,300

0,250

0,200

0,150

0,100

0,050

0,000
An.annularis An.barbirostris An.kochi An.sundaicus An.tesselatus An.vagus
Rest Kd 0,030 0,035 0,095 0,259 0,035 0,343
Rest Dd 0,000 0,005 0,000 0,085 0,015 0,000
UOL 0,005 0,000 0,005 0,035 0,005 0,000
UOD 0,000 0,000 0,000 0,020 0,015 0,015

Gambar 2.3.
Kelimpahan Nisbi Nyamuk Anopheles spp. per Metode Survai
di Desa Sagara Kecamatan Cibalong Kabupaten Garut
Tahun 2005

Pada penangkapan umpan orang di Desa Sagara,


hanya ditemukan 3 spesies yaitu An. sundaicus, An.
tesselatus dan An. vagus. Nyamuk dengan kelimpahan
nisbi tertinggi adalah An. sundaicus sebesar 0,035 (umpan
orang luar/UOL) dan 0,020 (umpan orang dalam/UOD).
Nyamuk An. vagus hanya tertangkap pada metode umpan
orang dalam dengan angka kelimpahan nisbi 0,015 yang
sama dengan An. tesselatus.

29
Fauna Anopheles

0,30

0,25

0,20

0,15

0,10

0,05

0,00
aconitus barbirostris kochi maculatus minimus vagus
rest kd 0,08 0,27 0,00 0,00 0,00 0,22
rest dd 0,10 0,02 0,04 0,00 0,00 0,04
uol 0,04 0,02 0,00 0,02 0,00 0,02
uod 0,04 0,04 0,00 0,00 0,02 0,02

Gambar 2.4.
Kelimpahan Nisbi Nyamuk Anopheles spp. per Metode
di Desa Maroko, Kec. Cibalong, Kab. Garut,
Jawa Barat Tahun 2005

Hasil penangkapan di Desa Maroko menunjukkan


nyamuk Anopheles spp. yang tertangkap dengan metode
resting kandang, lebih banyak dibanding metode lain.
Angka kelimpahan nisbi An. barbirostris adalah yang
tertinggi yaitu 0,27, kemudian nyamuk An. vagus sebesar
0,22. Nyamuk Anopheles yang tertangkap di desa Maroko
ditemukan pada semua metode, kecuali An. kochi yang
tidak tertangkap pada umpan orang. Pada penangkapan
umpan orang di luar, An.aconitus lebih dominan dibanding
dengan spesies lainnya yaitu 0,04, namun pada
penangkapan di dalam sama dengan An. barbirostris
dengan kelimpahan nisbi 0,04.

30
Fauna Anopheles

PEMBAHASAN
Nyamuk dominan yang ditemukan di desa Sagara
adalah An. sundaicus dengan tempat perkembangbiakkan
sawah air payau dan lagun “Haminteu” yang berjarak
dengan pemukiman penduduk ± 100 m. Kadar garam
(salinitas) rata-rata 4‰, dengan pH rata-rata 6. Kondisi
lagun terang pencahayaan dengan vegetasi padi, semanggi
dan lumut.
Hasil penelitian ini agak berbeda dengan penelitian
yang dilakukan Sembiring (2005) di Asahan Sumatera
Utara, yang menyebutkan habitat nyamuk An. sundaicus
ditemukan pada daerah yang tidak terpengaruh pasang
surut air laut (PSAL) adalah rawa-rawa terbengkalai yang
ditumbuhi ganggang, rumput air dengan salinitas 0,05 –
1,35 %. Sedangkan daerah yang dipengaruhi PSAL dengan
salinitas 1,45–2,53‰ kurang cocok untuk perkembangan
larva An. sundaicus.
Angka kelimpahan nisbi, An. sundaicus sebagai
tersangka vektor di daerah pantai adalah dominan pada
kebiasaan menggigit manusia di luar rumah (0,035). Hal ini
sama dengan hasil penelitian yang dilakukan Loka Litbang
P2B2 Ciamis, di Desa Pamotan Ciamis yang merupakan
daerah pantai, yang menunjukkan kebiasaan menggigit
nyamuk An. sundaicus di luar rumah lebih tinggi
dibandingkan di dalam rumah (Loka Litbang P2B2 Ciamis,
2004).

31
Fauna Anopheles

Nyamuk yang dominan ditemukan di Desa Maroko


adalah An. aconitus yang sudah dikonfirmasi sebagi vektor
di Jawa. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Efansyah
(2002) di Desa Sedayu Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa
Tengah yang menemukan 10 (sepuluh) spesies Anopheles
spp. yaitu An. aconitus, An. barbirostris, An. flavirostris, An.
vagus, An. kochi, An. annularis, An. minimus, An.
maculatus dan An. subpictus dengan spesies dominan
adalah An. aconitus. Tempat perkembangbiakkan nyamuk
An. aconitus di Desa Maroko adalah aliran air pesawahan
dari irigasi dan kolam yang ditumbuhi tanaman kangkung,
pH rata-rata 7 dengan keadaan sinar matahari yang cukup.
Nyamuk An. barbirostris dan An. vagus adalah spesies
yang dominan di Desa Sagara dan Desa Maroko. Kedua
lokasi penelitian mempunyai wilayah persawahan, Desa
Sagara merupakan wilayah pantai dan Desa Maroko
merupakan wilayah perkebunan sehingga kedua spesies ini
ditemukan di kedua lokasi tersebut. Hal ini sejalan dengan
penelitian fauna di Kabupaten Donggala, bahwa di tempat
lokasi survei ditemukan adanya An. barbirostris dan An.
vagus. Nyamuk An. barbirostris merupakan tersangka
vektor di Kab. Donggala Sulawesi Tengah (Jastal et al.,
2001).
Hasil penelitian di Halmahera sejalan dengan
penelitian ini, yaitu nyamuk An. vagus ditemukan di
wilayah persawahan baik larva maupun dewasa dengan
kadar salinitas habitatnya adalah 0 (Soekirno et al., 1997).

32
Fauna Anopheles

Spesies nyamuk An. barbirostris dan An. vagus juga


ditemukan di habitat sawah dan rawa-rawa di Kupang,
Nusa Tenggara Timur (Meomanu, 2012).
Hasil penelitian ini yang menunjukkan terdapat
perbedaaan keragaman fauna Anopheles spp. pada
keadaan geografis yang berbeda, sama dengan penelitian
yang dilakukan Mardiana et al. (2002) di Kabupaten
Trenggalek Jawa Timur. Lokasi penelitian yaitu Desa
Sawahan adalah daerah pedalaman yang berbukit-bukit
dengan ada hutan pinus, ditemukan 5 (lima) spesies yaitu
An. vagus, An. maculatus, An. flavirostris, An. barbirostris
dan An. kochi. Sedangkan desa Damas yang terletak di
sekitar pantai dan terdapat beberapa lagun, ditemukan
nyamuk An. sundaicus, An. vagus, dan An. barbirostris.

KESIMPULAN
Fauna nyamuk Anopheles spp. di Kecamatan
Cibalong Kabupaten Garut adalah An. sundaicus, An.
barbirostris, An. vagus, An. aconitus, An. kochi, An.
maculatus, An. minimus, An. annularis, dan An. tesselatus.
Spesies yang dominan di Desa Sagara yang
merupakan daerah pantai adalah An. sundaicus dengan
tempat perkembangbiakan adalah lagun dan sawah air
payau. Sedangkan yang dominan di Desa Maroko yang
merupakan daerah perkebunan dan hutan adalah nyamuk

33
Fauna Anopheles

An. aconitus. Nyamuk lain yang ditemukan di kedua lokasi


tersebut adalah An. barbirostris dan An. vagus.

DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. Bank Data Pusdatin. [disitasi tanggal 3 Mei 2012].
http://www. bankdata.depkes.go id. 2009.
Dinas Kesehatan Kabupaten Garut. Laporan Tahunan P2 Malaria
tahun 2003. Garut. 2004.
Jastal et al. Fauna Nyamuk Anopheles pada Beberapa Tempat di
Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah dan Peranannya
dalam Penularan Penyakit Malaria. Media Litbang
Kesehatan. vol. 11(1) 2001. DEPKES RI. Jakarta. 2001.
Loka Litbang P2B2 Ciamis. Studi Dinamika Penularan Malaria di
Desa Pamotan Kecamatan Kalipucang Kabupaten Ciamis
Jawa Barat. [Laporan]. Ciamis. 2004.
Meomanu, Yukundus. Studi Fauna Anopheles di Kelurahan
Oesao Kecamatan Kupang Timur Kabupaten Kupang, Nusa
Tenggara Timur. [disitasi 3 Mei 2012].
http://www.fkm.undip.ac.id. 2011.
Mardiana, Shinta et al. Berbagai Jenis Nyamuk Anopheles dan
Tempat Perindukannya yang ditemukan Di Kabupaten
Trenggalek Jawa Timur. Media Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan. Vol 12 No 4 (Des) 2002.
ISSN:0853-9987. 2002.
Noor, Efansyah. Studi Komunitas Nyamuk Anopheles di Desa
Sedayu Kecamatan Loano Kabupaten Purworejo Provinsi
Jawa Tengah. [Tesis]. IPB Bogor. 2002.

34
Fauna Anopheles

Soekirno, Santiyo, Nadjib et al. Fauna Anopheles dan Status,


Pola Penularan serta Endemisitas Malaria di Halmahera,
Maluku Utara. Cermin Dunia Kedokteran : No 118 1997.
Jakarta. 1997
Sembiring, Terang Uli Jendalim. Karakteristik Habitat Larva
Anopheles sundaicus (Rodenwalt) (Diptera : Culicidae) di
Daerah Pasang Surut Asahan Sumatera Utara. [Tesis]. IPB
Bogor. 2005.
World Health Organization. Laporan WHO 2012, Malaria.
[disitasi tanggal 2 Juli 2013]. http://mdgsindonesia.org.
2012.

35
Fauna Anopheles

36
Bab 3.
Fauna Nyamuk Anopheles di Wilayah
Perbukitan Desa Pandean, Kab. Trenggalek
dan Potensinya sebagai Vektor Malaria

Roy Nusa RES, Rohmansyah WN

PENDAHULUAN
Malaria ada hampir di seluruh daerah di Indonesia,
tersebar di daerah endemis malaria di Jawa–Bali maupun
di luar Jawa–Bali (Depkes RI., 1999). Peningkatan malaria,
salah satunya disebabkan masuknya penderita malaria ke
daerah yang terdapat vektor malaria atau biasa disebut
malariogenic potentia yang dipengaruhi oleh receptivity
dan vulnerability. Receptivity adalah adanya vektor malaria
dalam jumlah besar dan terdapatnya faktor-faktor ekologis
yang memudahkan penularan, sedangkan vulnerability
menunjukkan suatu daerah malaria atau kemungkinan
masuknya seorang atau sekelompok penderita malaria dan
atau vektor yang telah terinfeksi (Harijanto, 2000).

37
Fauna Anopheles

Infeksi malaria di Indonesia mencapai 15 juta kasus.


Tingginya kasus ini disebabkan antara lain karena usaha
masyarakat dan/atau pemerintah yang tidak berwawasan
kesehatan lingkungan, mobilitas penduduk dari dan ke
daerah endemis malaria, adanya resistensi nyamuk vektor
terhadap insektisida yang digunakan dan juga resistensi
Plasmodium spp. obat malaria yang makin meluas,
perhatian masyarakat termasuk masalah kesehatan
terhadap malaria berkurang, sumber daya yang menurun
dan lain–lain (Depkes RI., 2000).
Salah satu daerah reseptif yang pernah mengalami
peningkatan kasus malaria beberapa tahun lalu adalah
Desa Pandean Kecamatan Dongko Kabupaten Trenggalek
Provinsi Jawa Timur. Terdapat kecenderungan penurunan
angka parasit dari tahun 2007 sampai dengan 2010,
berturut-turut adalah 4,5‰, 2,3‰, 1,8‰ dan 1,4‰.
Sebagian besar adalah kasus impor yang dibawa oleh para
pekerja musiman saat pulang kampung, tetapi juga
terdapat kasus indigenous yang berasal dari kasus impor.
Dengan demikian, wilayah tersebut merupakan daerah
yang rawan terhadap terjadinya penularan malaria
(Harijanto, 2000).
Program pemberantasan malaria yang meliputi
penemuan penderita, pemeriksaan parasitologi malaria,
pengobatan dengan ACT, pembagian kelambu
berinsektisida, IRS/penyemprotan rumah dan surveilans
vektor, tidak dapat dilaksanakan di semua desa di

38
Fauna Anopheles

Puskesmas Pandean karena keterbatasan sumber daya.


Data entomologi nyamuk vektor belum tersedia di Desa
Pandean termasuk informasi keragaman fauna nyamuk
Anopheles spp. dewasa. Padahal informasi tersebut sangat
diperlukan untuk mendukung upaya eliminasi malaria
yang berbasis bukti.
Guna pengumpulan informasi entomologi vektor
malaria, telah dilakukan penelitian di wilayah perbukitan
Pandean Trenggalek dengan tujuan mengetahui fauna
Anopheles spp. dan potensinya sebagai vektor malaria

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian observasional
dengan rancangan cross sectional (Murti, 1997), dilakukan
selama 11 bulan mulai Februari 2011 sampai dengan
Desember 2011. Pengumpulan nyamuk dewasa dengan
empat metode, yaitu human landing atau umpan orang di
dalam dan di luar rumah, koleksi nyamuk resting di dinding
dan disekitar ternak (kandang) masing-masing dilakukan
oleh 3 orang kolektor selama 12 jam (18.00- 06.00 WIB).
Nyamuk yang tertangkap diidentifikasi dengan
menggunakan kunci bergambar untuk Anopheles spp.
betina dari Indonesia (O’connor c.t. dan soepanto A.,
2000). Data yang terkumpul dianalisa untuk memperoleh
gambaran frekuensi, kelimpahan nisbi dan angka
dominansi spesies yang tertangkap per metode yang

39
Fauna Anopheles

dihitung menurut Sigit 1968 (dalam Taviv, 2005). Untuk


mengetahui keberadaan sporozoit pada nyamuk dilakukan
uji Polymerase Chain Reaction (PCR) yang mendeteksi
protein Circum Sporozoite.

HASIL PENELITIAN
Desa Pandean memiliki bentang alam yang
didominasi oleh ladang dan persawahan dengan irigasi non
teknis, merupakan daerah pegunungan dengan ketinggian
antara 420 sampai 610 meter dari permukaan laut,
berjarak sekitar 40 km dari ibu kota kabupaten.
Selama 11 bulan pengumpulan data diperoleh 298
ekor nyamuk Anopheles spp. terdiri dari delapan spesies
(Tabel 3.1) yang diperoleh pada semua metode
penangkapan (Tabel 3.2).

40
Tabel 3.1.
Jenis, Jumlah dan Persentase Nyamuk Tertangkap Bulan Februari-Desember 2011
di Desa Pandean pada Semua Metode Penangkapan.

Bulan
Spesies Jumlah %
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
An. aconitus 1 5 21 76 3 106 5.66
An. annularis 1 1 0.05
An. barbirostris 69 94 120 96 202 160 149 94 18 94 38 1.134 60.60
An. indefinitus 34 5 39 2.08
An. kochi 6 1 4 11 0.58
An. maculatus 6 21 27 1.44
An. umbrosus 2 2 0.10
An. vagus 37 10 504 551 29.44
Total 70 94 120 96 202 160 149 148 84 170 578 1.871 100

41
Tabel 3.2.
Jumlah Nyamuk Tertangkap per Metode Penangkapan
di Desa Pandean Selama Bulan Februari-Desember 2011.
Metode
Spesies Jumlah
DD KD UOD UOL
An. aconitus 1 61 19 25 106
An. annularis 1 1
An. barbirostris 67 993 19 55 1.134
An. indefinitus 1 37 1 39
An. kochi 1 10 11
An. maculatus 21 6 27
An. umbrosus 2 2
An. vagus 9 528 14 551
Total 79 1653 38 101 1.871
% 4.22 88.30 2,00 5.40 100
Keterangan: DD = Dinding dalam Rumah
KD = Di Sekitar Kandang Ternak
UOD = Umpan Orang Dalam Rumah
UOL = Umpang Orang Luar Rumah

Frekuensi dan Kelimpahan Nyamuk Anopheles spp.


Selama periode pengumpulan data, penangkapan
nyamuk dilakukan 132 kali. Frekuensi tertinggi nyamuk
yang tertangkap adalah 132/132 = 1 (Tabel 3.3).

42
Tabel 3.3.
Frekuensi Nyamuk Tertangkap Menurut Spesies dan Metodenya
di Desa Pandean Februari-Desember 2011
Metode
Spesies
KD DD UOD UOL
An. aconitus 0,14 0,01 0,05 0,05
An. annularis 0,01 - - -
An. barbirostris 0,85 0,23 0,06 0,18
An. indefinitus 0,07 0,01 - 0,01
An. kochi 0,06 0,01 - -
An. maculatus 0,07 - - 0,02
An. umbrosus 0,01 - - -
An. vagus 0,17 0,05 - 0,05
Keterangan: DD = Dinding dalam Rumah
KD = Di Sekitar Kandang Ternak
UOD = Umpan Orang Dalam Rumah
UOL = Umpang Orang Luar Rumah
Tabel 3.4.
Besaran Kelimpahan Nyamuk Tertangkap per Spesies dan
Metodenya di Desa Pandean Februari-Desember 2011
Metode
Spesies
DD KD UOD UOL
An. aconitus 1.27 3.69 50.00 24.75
An. annularis - 0.06 - -
An. barbirostris 84.81 60.07 50.00 54.46
An. indefinitus 1.27 2.24 - 0.99
An. kochi 1.27 0.60 - -
An. maculatus - 1.27 - 5.94
An. umbrosus - 0.12 - -
An. vagus 11.39 31.94 - 13.86
Keterangan: DD = Dinding dalam Rumah
KD = Di Sekitar Kandang Ternak
UOD = Umpan Orang Dalam Rumah
UOL = Umpang Orang Luar Rumah
43
Angka Dominansi Anopheles spp.
Selanjutnya untuk menggambarkan besarnya
dominansi fauna nyamuk yang ditemukan sesuai metode
yang digunakan, disajikan pada Tabel 3.5.
Tabel 3.5.
Besaran Angka Dominansi Nyamuk Tertangkap Menurut Spesies
dan Metodenya di Desa Pandean
Periode Februari-Desember 2011

Metode
Spesies
DD KD UOD UOL
An. aconitus 0.01 0.52 2.50 1.24
An. annularis - 0.00 - -
An. barbirostris 19.51 51.06 3.00 9.80
An. indefinitus 0.01 0.16 - 0.01
An. kochi 0.01 0.04 - -
An. maculatus - 0.09 - 0.12
An. umbrosus - 0.00 - -
An. vagus 0.57 5.43 - 0.69
Keterangan: DD = Dinding dalam Rumah
KD = Di Sekitar Kandang Ternak
UOD = Umpan Orang Dalam Rumah
UOL = Umpang Orang Luar Rumah

Keberadaan Sporozoit pada Nyamuk


Hasil pemeriksaan PCR diketahui bahwa sporozoit
yang ditemukan adalah Plasmodium vivax pada spesies
An. aconitus. Jumlah nyamuk yang mengandung sporozoit
sebanyak tiga ekor dari 25 nyamuk (12%).
44
Fauna Anopheles

PEMBAHASAN
Salah satu faktor penyebab adanya sumber
penularan malaria adalah banyaknya mobilitas penduduk
ke daerah endemis malaria di luar Jawa. Terdapatnya
vektor dan kebiasaan masyarakat saat tidur yang tidak
memakai kelambu juga merupakan faktor pendukung
penularan malaria.
Ditemukannya 8 spesies nyamuk Anopheles spp.
menunjukkan Desa Pandean memiliki keragaman
Anopheles spp. yang tinggi. Menurut Taviv (2005),
keragaman spesies nyamuk dipengaruhi oleh kondisi
setempat seperti topografi, suhu, kelembaban, curah
hujan dan variasi tata guna lahan. Kemunculan spesies
tertentu pada bulan tertentu diduga dipengaruhi oleh
curah hujan yang mengakibatkan terbentuknya tempat
berkembangbiak nyamuk. Variasi tataguna lahan meliputi
permukiman, persawahan, perkebunan, areal hutan, dan
sungai diduga juga berkontribusi atas adanya variasi
spesies Anopheles. Spesies nyamuk Anopheles spp. paling
banyak ditemukan adalah An. barbirostris, selanjutnya
adalah An. vagus dan An. aconitus.
Spesies lain yang kelimpahannya juga relatif tinggi
adalah An. aconitus pada human landing di dalam dan di
luar rumah. Frekuensi tertangkap tertinggi adalah An.
barbirostris yang ditemukan di sekitar ternak (Tabel 3.3.).
Pada metode human landing, frekuensi tertinggi masih An.
barbirostris di dalam dan di luar rumah, kemudian An.
45
Fauna Anopheles

aconitus. Angka dominansi terbesar pada metode human


landing berturut-turut adalah An. barbirostris diikuti An.
aconitus. Selain kedua spesies itu tiga spesies lain yang
juga tertangkap pada metode human landing adalah An.
indefinitus, An. maculatus dan An. vagus.
Berdasarkan metode pengumpulan nyamuk,
jumlah nyamuk terbanyak ditemukan di sekitar
ternak/kandang, yaitu sebesar 88,30%. Hasil ini relatif
konsisten dengan hasil lainnya, misal Sulaeman (2004)
yang melaporkan hasil koleksi umpan ternak/sekitar ternak
memberikan hasil yang lebih banyak dibanding metode
lainnya.
Untuk mengetahui keberadaan sporozoit pada
nyamuk dilakukan uji PCR yang mendeteksi protein Circum
Sporozoite pada nyamuk. Metode ini memiliki sensitivitas
dan spesifitas yang tinggi (Han GD, et al., 1999). Deteksi
protein Circum Sporozoite pada nyamuk juga pernah
dilakukan dengan hasil positif di Kabupaten Kulon Progo
(Wigati R.A., dkk., 2010).
Uji Circum Sporozoite dilakukan pada nyamuk yang
terkumpul dari metode human landing di dalam dan di luar
rumah saja. Hanya pada nyamuk yang tertangkap diluar
rumah ditemukan adanya siklus sporozoit, pada nyamuk
yang tertangkap di dalam rumah tidak ditemukan adanya
siklus sporozoit. Circum Sporozoite Protein merupakan
antigen terpenting yang terdapat pada permukaan
sporozoit, memainkan peranan dalam menimbulkan
46
Fauna Anopheles

perlindungan diperantarai antibodi terhadap parasit. Hasil


pemeriksaan PCR diketahui bahwa sporozoit yang
ditemukan adalah P. vivax yang ditemukan pada spesies
An. aconitus. Jumlah nyamuk yang mengandung sporozoit
sebanyak tiga ekor dari 25 nyamuk (12%).
Terdapat beberapa spesies Anopheles spp. di Desa
Pandean, salah satunya adalah An. aconitus yang terbukti
mengandung sporozoit. Kontak nyamuk tersebut dengan
manusia di dalam rumah lebih besar dari pada di luar
rumah. Kondisi lingkungan yang banyak terdapat
persawahan terasering dengan irigasi berasal dari mata air
atau sungai mendukung kehadiran An. aconitus. Di sisi lain
besar kemungkinan populasi manusia di Desa Pandean
adalah kelompok rentan terhadap infeksi Plasmodium spp.
Untuk mengantisipasi berkembangnya masalah
malaria, perlu dilakukan upaya antara lain pemanfaatan
ternak sebagai cattle barrier di sekitar permukiman
dengan jarak yang memadai, intensifikasi survei vektor
dengan melibatkan peran serta masyarakat, upaya
pengendalian larva dengan pengeringan sawah secara
berkala, intensifikasi upaya penemuan penemuan
penderita sebagai sumber penularan dan pengobatan
penderita yang memadai.
KESIMPULAN DAN SARAN
Terdapat delapan spesies Anopheles spp. di Desa
Pandean, yaitu An. aconitus, An. annularis, An. barbirostris,

47
Fauna Anopheles

An. indefinitus, An. kochi, An. maculatus, An. umbrosus,


dan An. vagus. Spesies yang terbukti mengandung
sporozoit adalah An. Aconitus, yang kontak dengan
manusia di dalam rumah lebih besar dari pada di luar
rumah, sehingga berpotensi sebagai vektor malaria di Desa
Pandean.

DAFTAR PUSTAKA
Data Sekunder Laporan Rutin Puskesmas Pandean. 2010.
Data Sekunder Laporan Rutin Puskesmas Pandean. 2010.
Depkes RI. (1999). Pedoman Pemberantasan Penyakit Malaria.
Jakarta: Dirjen PPM dan PLP.
Depkes RI. (2000). Gebrak Malaria. Jakarta: Dirjen PPM dan PLP.
Han GD, Zhang XJ, Zhang HH, et al. Use of PCR/DNA probes to
identify circumsporozoite genotype of Plasmodium vivax
in China. Show all Southeast Asian J Trop Med Public
Health. 1999 Mar;30(1):20-3.
Han GD, Zhang XJ, Zhang HH, et al. Use of PCR/DNA probes to
identify circumsporozoite genotype of Plasmodium vivax
in China. Show all Southeast Asian J Trop Med Public
Health. 1999 Mar; 30(1):20-3.
Harijanto P.N. (2000). Malaria Epidemiologis, Patogenesis,
Manifestasi Klinis dan Penanganan. Jakarta: EGC.
Harijanto P.N. (2000). Malaria Epidemiologis,
Patogenesis,Manifestasi Klinis dan Penanganan. Jakarta:
EGC.
Murti Bhisma. (1997). Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.

48
Fauna Anopheles

O’connor c.t. dan soepanto A. 2000.kunci bergambar untuk


Anopheles betina dari Indonesia. Dirjen pp&pl. depkes.
R.i. Indonesia.
Sulaeman DS. 2004. Studi Komunitas dan Populasi nyamuk
Anopheles di desa bolapapu kaitannya dengan
epidemiologi malaria [Tesis]. Program pasca sarjana,
institut pertanian bogor. Bogor.
Taviv Y. 2005. Fauna nyamuk di Desa Segara Kembang
Kecamatan Lengkiti, Ogan Komering Ulu, Sumatera
Selatan. IPB Bogor.
Taviv Y. 2005. Fauna nyamuk di desa segara kembang
kecamatan lengkiti, ogan komering ulu, sumatera selatan.
IPB Bogor.
Wigati R.A., Mardiana, Mujiyono, S Alfiah. Deteksi Protein
Circum Sporozoite Pada Spesies Nyamuk Anopheles Vagus
Tersangka Vektor Malaria di Kecamatan Kokap,
Kabupaten Kulon Progo Dengan Uji
Enzymelinkedimmunosorbent Assay (Elisa). Media Litbang
Kesehatan Volume XX Nomor 3 Tahun 2010
Wigati R.A., Mardiana, Mujiyono, S Alfiah. Deteksi Protein
Circum Sporozoite Pada Spesies Nyamuk Anopheles Vagus
Tersangka Vektor Malaria di Kecamatan Kokap,
Kabupaten Kulon Progo Dengan Uji
Enzymelinkedimmunosorbent Assay (Elisa). Media Litbang
Kesehatan Volume XX Nomor 3 Tahun 2010

49
Fauna Anopheles

50
Bab 4.
Karakteristik Anopheles nigerrimus Giles
sebagai Vektor Malaria

Hubullah Fuadzy, Rina Marina

PENDAHULUAN
Malaria merupakan penyakit infeksi yang dapat
menyebabkan kerugian ekonomi mencapai tiga triliun
lebih setiap tahunnya. Kerugian ekonomi meliputi biaya
kesehatan masyarakat akibat malaria sebesar 40%, serta
menurunkan Produk Domestik Bruto sebesar 1,3% (PDB)
(WHO, 2010). Malaria juga senantiasa menimbulkan
dampak negatif bagi kesehatan bahkan kematian terutama
pada kelompok risiko tinggi yaitu bayi, balita dan ibu hamil
(Depkes, 2008).
Penyebaran malaria merata di daerah tropis dan
subtropis, pada wilayah yang terletak pada 60o lintang
utara sampai dengan 32o lintang selatan, dari daerah

51
Fauna Anopheles

dengan ketinggian 433 meter di bawah permukaan laut


sampai dengan daerah yang ketinggiannya mencapai 2.666
m dpl (Ariati, 2004). Sebaran ini mulai dari daerah yang
tidak berpenghuni hingga daerah yang berpenduduk padat
yang mengakibatkan tingginya manusia berisiko tertular
malaria.
Pada tahun 2000, malaria masuk sebagai prioritas
target ke 8 Millenium Development Goals (MDGs) yang
dideklarasikan oleh 189 negara anggota PBB, termasuk
Indonesia. Eliminasi malaria di Indonesia telah dimulai
sejak tahun 2004 dengan sasaran pada tahun 2030
Indonesia bebas dari malaria. Berbagai intervensi telah
dilakukan untuk tujuan percepatan penanggulangan
malaria, antara lain penggunaan kelambu berinsektisida
untuk penduduk berisiko, pengobatan yang tepat untuk
penduduk yang terinfeksi menggunakan Artemisinin Based
Combination Therapy (ACT), penyemprotan rumah dengan
insektisida, dan pengobatan pencegahan pada ibu hamil
(Balitbangkes, 2010).
Indonesia sebagai wilayah yang beriklim tropis,
merupakan daerah yang cocok bagi perkembangbiakan
nyamuk penular (vektor) malaria. Menurut catatan Lokollo
(1993) dalam orasi ilmiah Guru Besar di UNDIP Semarang,
masalah malaria di Indonesia berkaitan dengan jumlah
penduduk yang menempati urutan 4 dunia dan disparitas
tingkat kemampuan sumber daya manusia, sehingga
menyebabkan usaha pemberantasan tidak dapat dilakukan

52
Fauna Anopheles

secara serempak di seluruh tanah air. Data kasus baru


malaria dalam satu tahun (2009/2010) yang diperoleh
melalui wawancara anggota rumah tangga di seluruh
Indonesia adalah 22,9‰, lebih banyak pada laki-laki
(24,9‰), pada pendidikan tidak tamat SD (27,5‰), serta
pada daerah pedesaan (29,8‰). Untuk kawasan luar pulau
Jawa dan Bali, besarnya angka kasus baru malaria adalah
45,2‰ (Balitbangkes, 2010).
Sebagai contoh kasus adalah kasus malaria di
Provinsi Jambi yang mencapai 52,3‰ (Balitbangkes, 2010).
Penelitian Taviv (2008), menjelaskan bahwa di antara
penyakit tular vektor di wilayah Provinsi Jambi, yang paling
dominan adalah malaria dengan jumlah yang mengalami
fluktuasi dalam kurun waktu 2005 – 2008 (Gambar 4.1).

Gambar 4.1.
Jumlah Penderita Malaria di Provinsi Jambi
pada Tahun 2005-2008
Sumber : bankdata.depkes.go.id

53
Fauna Anopheles

Pada periode tahun 2005-2008, walaupun terjadi


fluktuasi, tapi Jumlah penderita malaria di Provinsi Jambi
cenderung mengalami kenaikan. Munculnya kasus baru
malaria dalam kurun waktu tiga tahun berturut-turut
menempatkan Provinsi Jambi sebagai wilayah endemik
malaria tinggi.
Malaria dominan disebabkan oleh parasit
Plasmodium falcifarum dan P. vivax atau campuran
keduanya, ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles sp.
Proses penularan terjadi apabila nyamuk yang telah
terinfeksi Plasmodium spp. mengeluarkan ludah sewaktu
menggigit manusia yang mengandung parasit dalam
bentuk sporozoit, selanjutnya berkembang dalam tubuh
manusia dan dapat menyebabkan malaria. Apabila
penderita malaria digigit oleh nyamuk Anopheles spp,
parasit dalam bentuk gametosit akan ikut terhisap,
selanjutnya akan berkembang dalam tubuh nyamuk untuk
kemudian menularkan kepada manusia lain.
Mengendalikan nyamuk vektor malaria secara
efektif dan efisien, perlu dilakukan berdasarkan dukungan
data entomologi, terutama yang berkaitan dengan
pemetaan fauna nyamuk dan monitoring populasi nyamuk
secara berkelanjutan. Pelaksanaan pengembangan
program pengendalian nyamuk, dapat dilakukan dengan
menggabungkan cara kimia dan non kimia, serta
penyuluhan kepada masyarakat secara terus menerus
(Depkes. 2008).

54
Fauna Anopheles

Menurut catatan Sigit (2006) dalam Hama


Pemukiman Indonesia, jumlah nyamuk yang teridentifikasi
di dunia telah mencapai 3.100 spesies dan 34 genus. Di
Indonesia, terdapat 457 spesies nyamuk, di antaranya
terdapat 80 spesies Anopheles spp., yang telah dinyatakan
sebagai vektor sebanyak 25 spesies dengan tempat
perkembangbiakan yang berbeda. Salah satu spesies
nyamuk Anopheles yang telah dikonfirmasi sebagai vektor
adalah An. nigerrimus.

ANOPHELES NIGERRIMUS
Nyamuk An. nigerrimus telah dikonfirmasi sebagai
vektor malaria dan filariasis. Di Indonesia banyak
ditemukan di Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi
(Gandahusada, 2006). Pertama kali dikonfirmasi sebagai
vektor malaria di Palembang Sumatera Selatan pada tahun
1940. Nyamuk An. nigerrimus dahulu dikenal sebagai An.
hyrcanus varian X, kemudian Giles pada tahun 1900
memberikan nomenklatur An. nigerrimus (www.wrbu.org)
karena memiliki karakteristik morfologi berbeda dengan
spesies An. hyrcanus lainnya. Perbedaan tersebut meliputi
tidak adanya tanda gelap preapical urat 1 tanpa sisik-sisik
pucat atau kalaupun ada hanya sedikit, gelang-gelang tarsi
kaki belakang berukuran sedang dan gelang pucat pada
ruas 3-4 sama panjangnya dengan atau kurang dari ruas 5,
bagian apex tarsi kaki belakang bergelang pucat yang
lebar, di sternit VII abdomen ada sikat terdiri sisik-sisik
gelap, segmen pada ujung palpi jarang dan seluruhnya
55
Fauna Anopheles

pucat, serta palpi dengan gelang-gelang pucat (O’connor


dan Soepanto, 1979).
Laporan kegiatan Laboratorium Entomologi Loka
Litbang P2B2 Ciamis di Provinsi Jambi, menyebutkan dalam
penangkapan nyamuk Anopheles spp. di Desa Selat
Kecamatan Pemayung Kabupaten Batanghari, telah
ditemukan 6 spesies nyamuk Anopheles spp. yaitu An.
nigerrimus, An. tesellatus, An. vagus, An. kochi, An.
barbirostris, dan An. indefinitus. Nyamuk Anopheles spp.
yang telah dinyatakan sebagai vektor adalah An.
nigerrimus, sedangkan 5 spesies yang lainnya masih
dinyatakan sebagai suspect vektor malaria di wilayah
Jambi. Nyamuk An. tesellatus telah dinyatakan positif
sporozoit di daerah Sumatera, Papua dan Maluku, An.
vagus positif sporozoit di daerah Sulawesi Utara dan
Sukabumi, nyamuk An. kochi positif sporozoit di daerah
Sulawesi Tenggara, nyamuk An. barbirostris positif
sporozoit di daerah NTB, NTT, Sulawesi Utara, Sulawesi
Tenggara, dan nyamuk An. indefinitus masih belum
dinyatakan sebagai vektor (Depkes, 1985).
Hardwood & James (1979) menjelaskan bahwa
parameter yang mempengaruhi status nyamuk Anopheles
spp. menjadi vektor adalah :
1) Kemampuan nyamuk menerima dan mendukung
pertumbuhan parasit patogen,
2) Spesifisitas inang vertebrata terhadap patogen,
3) Mobilitas nyamuk,

56
Fauna Anopheles

4) Umur nyamuk,
5) Frekuensi menghisap darah manusia,
6) Kepadatan nyamuk, dan
7) Kemampuan nyamuk untuk beradaptasi terhadap
pengaruh dari luar tubuh, terutama kerentanan nyamuk
terhadap insektisida.
Nyamuk An. nigerrimus pernah dilaporkan positif
mengandung sporozoit di daerah Benteng Sulawesi Selatan
dengan sporozoit indeks 9,2%. Kemudian, ditemukan pula
mengandung sporozoit di daerah Karangbinangoen,
Lamongan, Jawa Timur dengan sporozoit indeks 10%. Hasil
perhitungan kapasitas vektorial di daerah Kecamatan Teluk
Dalam, berkisar antara 0,002 – 3,732 (Boewono, 1994;
1997).
Habitat nyamuk An. nigerrimus yang dilaporkan
dari Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat adalah
pesawahan atau kolam air yang tergenang disekitar
pesawahan dengan suhu air antara 22,9oC – 31,2oC,
konsentrasi ion hydrogen berkisar antara 6,44 – 7,88, nilai
kekeruhan antara 70 – 150 NTU (nephelometric turbidity
unit) (Saleh, 2002). Nyamuk ini menyukai habitat
perkembangbiakan dataran rendah dan lembah yang
dingin dengan vegetasi mengapung di permukaan air serta
terkena sinar matahari langsung, seperti kanal, rawa-rawa,
kolam dengan arus yang deras, dan sawah.
Penelitian Saleh (2002) menjelaskan pula bahwa
An. nigerrimus ditemukan sepanjang malam disekitar
57
Fauna Anopheles

kandang ternak. Lebih lanjut dijelaskan bahwa di wilayah


endemik malaria Dusun Mataram Lengkong Kabupaten
Sukabumi, An. nigerrimus merupakan nyamuk yang paling
dominan di antara 7 spesies Anopheles spp. yang
tertangkap, aktif menggigit manusia di dalam rumah mulai
pukul 18.00 s.d. 06.00 WIB dan di luar rumah mulai pukul
19.00 s.d. 24.00 WIB.
Salah satu syarat nyamuk dapat dikatakan sebagai
vektor adalah adanya interaksi langsung antara nyamuk
dengan manusia. Nyamuk An. nigerrimus memiliki
kebiasaan menggigit/menghisap darah manusia sepanjang
malam baik di dalam maupun di luar rumah, mulai pukul
18.00 - 06.00 WIB.
Salah satu upaya dalam eliminasi malaria adalah
penggunaan kelambu ketika tidur di malam hari. Penelitian
Taviv (2008) membuktikan bahwa di Jambi penggunaan
kelambu oleh penduduk, berpengaruh terhadap
penurunan angka kesakitan malaria. Penduduk yang tidak
menggunakan kelambu berpeluang tertular malaria 2,14
kali lebih tinggi dibanding yang menggunakan kelambu
berinsektisida. Sedangkan penduduk yang menggunakan
kelambu tidak berinsektisida, berpeluang tertular malaria
1,4 kali lebih tinggi dibanding yang menggunakan kelambu
berinsektisida.
Oleh karena itu, penduduk yang berisiko tertular
malaria, disarankan menggunakan kelambu berinsektisida
pada saat tidur di malam hari sebagai upaya mengurangi
58
Fauna Anopheles

kontak dengan nyamuk dalam upaya menekan penularan


malaria.

PENUTUP
Nyamuk An. nigerrimus telah dikonfirmasi sebagai
vektor malaria. Apabila di daerah yang berisiko terjadi
penularan malaria ditemukan An. nigerrimus, perlu
dilakukan kajian entomologi lebih lanjut, khususnya yang
bertujuan untuk mengetahui kapasitas vektorial sebagai
upaya kewaspadaan dini terhadap peningkatan laju
interaksi vektor dengan agent.

DAFTAR PUSTAKA
Ariati Y. 2004. Studi Kromosom Mitotik Vektok Malaria Nyamuk
Anopheles maculutus Theobald Di Daerah Purworejo,
Jawa Tengah. Tesis Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
Balitbangkes. 2010. Riset Kesehatan Dasar, RISKESDAS 2010.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Boewono DT, et al. Penentuan Vektor Malaria Di Kecamatan
Teluk Dalam Nias. Cermin Dunia Kedokteran No.
118/1997. http://www.kalbefarma.com/files/cdk/files/
cdk_118_malaria.pdf. Diunduh tanggal 22 Desember
2011.
Damar T, Sustriayu N, Sularto T, Mujiono, Sukarno. 1994.
Anopheles hyrcanus spesies group dan potensinya sebagai
vektor malaria di pulau Nias.

59
Fauna Anopheles

Damar T, Sustriayu N, Sularto T, Mujiono, Sukarno. 1997.


Penentuan Vektor Malaria Di Teluk Dalam, Nias. Cermin
Dunia Kedokteran No. 118 ; 9-14.
Depkes. 1985. Vektor Malaria Di Indonesia. Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan Pemukiman, Departemen Kesehatan RI.
Jakarta. 39p.
Depkes. 1987. Pemberantasan Vektor dan Cara-Cara
Evaluasinya. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman,
Departemen Kesehatan RI. Jakarta. 35p.
Depkes. 2008. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria Di
Indonesia. Dit.Jen.P2PL, Depkes RI. Jakarta.
Gandahusada S. 2006. Parasitologi Kedokteran. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Hardwood & James. 1979. Entomology and Human and Animal
Health. 4th ed. Mac Millan Publishing Co. Inc. New York.
Harrison and Scanlon 1975 :65 (M*, F*, P*, L*; distr.). Anopheles
nigerrimus. www.wrbu.org/SpeciesPages_ANO/ANO_A-
hab/ANnig_hab.html. Diunduh tanggal 22 Desember
2011.
Husin H. 2007. Analisis Faktor Risiko Kejadian Malaria Di
Puskesmas Sukamerindu Kecamatan Sungai Serut Kota
Bengkulu Propinsi Bengkulu. Tesis Program Pascasarjana
UNDIP Semarang. http://eprints.undip.ac.id/17530/
1/Hasan_Husin.pdf. Diunduh tanggal 22 Desember 2011.
Laporan Kegiatan Penangkapan Nyamuk Laboratorium
Entomologi, Loka Litbang P2B2 Ciamis. (onprogress)

60
Fauna Anopheles

Lokollo DM. 1999. Penanggulangan Malaria Untuk Menyehatkan


Masyarakat Dalam Rangka Peningkatan Kualitas Sumber
Daya Manusia Indonesia. Dalam Pidato Pengukuhan Guru
Besar. http://eprints.undip.ac.id/205/1/Daniel_Marinus
Lokollo.pdf. Diunduh tanggal 22 Desember 2011
Nasrorudin, dkk. 2007.Penyakit Infeksi Indonesia, Solusi Kini dan
Mendatang. Airlangga University Press. Surabaya
O’connor dan Soepanto. 1979. Kunci Bergambar Nyamuk
Anopheles Dewasa. Dirjen P2MPL Depkes RI. Jakarta
Pusdatin Depkes RI. www.bankdata.depkes.go.id
Rampengan T H. 2007.Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. EGC.
Jakarta
Saleh DS. Studi Habitat Anopheles nigerrimus Giles 1900 dan
Epidemiologi Malaria Di Desa Lengkong Kabupaten
Sukabumi. Tesis Program Pascasarjana IPB. 2002.
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/
6452/Cover_2002dss.pdf?sequence=7. Diunduh tanggal
22 Desember 2011
Sigit SH, et. al. 2006. Hama Permukiman Indonesia, Pengenalan,
Biologi, dan Pengendali Anopheles Unit Kajian
Pengendalian Hama Pemukiman IPB. Bogor
Simanjuntak P H, Arbani P R. 1989. Status Malaria Di Indonesia.
Cermin Dunia Kedokteran No. 55/0125 – 913X.hal 3-7
Taviv Y, Salim M, Yenny A. 2008. Perilaku Penggunaan Kelambu
Dan Rumah Sehat Terhadap Kejadian Penyakit Tular
Vektor (Malaria, Filariasis, DBD) Pada Masyarakat di
Propinsi Jambi
World Health Organization-WHO. 2010. Fact_Sheet Malaria.
http://whqlibdoc.who.int diunduh tanggal 22 Desember
2011

61
Fauna Anopheles

62
Bab 5.
Anopheles spp. di Kecamatan Amurang,
Kabupaten Minahasa Selatan,
Sulawesi Utara

Joni Hendri, Djani H. W. Hermanus

PENDAHULUAN
Malaria masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat dibeberapa wilayah di Indonesia, termasuk di
Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara
(Anonim, 2011) yang pada tahun 2010 ditemukan 135
kasus positif malaria (Dinkes Kab. Minahasa Selatan, 2010).
Salah satu daerah endemis malaria di Kabupaten
Minahasa Selatan adalah Kecamatan Amurang terutama di
Desa Ranoketang Tua. Desa tersebut terletak kurang lebih
275 meter di atas permukaan laut (dpl). Keadaan
geografisnya berbukit-bukit dan merupakan daerah
perkebunan kelapa. Mata pencaharian penduduk
umumnya bekerja sebagai petani kelapa yang sehari-hari
merawat dan memanen kelapa untuk dijual ke perusahaan
kopra.

63
Fauna Anopheles

Kasus malaria di Desa Ranoketang Tua selalu ada


tiap bulannya dan cenderung meningkat pada bulan yang
sama. Berdasarkan wawancara dengan petugas Puskesmas
setempat, pada Bulan Agustus 2011 terdapat 2 kasus
positif malaria Plasmodium vivax dengan indikasi
penularan setempat.
Kegiatan yang penting dalam eliminasi malaria di
Indonesia adalah pengendalian vektor karena penularan
malaria dari orang sakit ke orang sehat umumnya melalui
perantaraan nyamuk Anopheles spp. Maka, di setiap
daerah endemis malaria diperlukan informasi vektor
termasuk bionomiknya sebagai dasar pengendalian yang
tepat. Pengamatan vektor di Provinsi Sulawesi Utara,
dilakukan melalui kerjasama dengan Global Fund di Desa
Ranoketang Tua di Kecamatan Ranoketang Tua dengan
tujuan mengetahui fauna nyamuk sesaat.

METODE PENELITIAN
Pengamatan dilakukan pada bulan September 2011
selama satu malam. Pengumpulan data dilakukan dengan
metode survai entomologi sesaat (spot survey) meliputi
survai nyamuk dewasa berdasarkan metode baku Ditjen
P2M&PL (2003). Survey dilakukan pada malam hari dari
jam 18.00 sampai jam 06.00 pagi hari, dengan jumlah
penangkap 9 orang yang dibagi ke dalam 3 tim untuk 3
rumah.

64
Fauna Anopheles

Kegiatan penelitian meliputi penangkapan nyamuk


dengan umpan orang (man landing collection) di dalam
dan di luar rumah, penangkapan nyamuk resting dinding,
penangkapan nyamuk resting sekitar kandang, dan
penangkapan nyamuk resting alam. Identifikasi nyamuk
Anopheles spp. dilakukan berdasarkan Kunci Identifikasi
Nyamuk oleh O’Connor dan Arwati (1999). Data yang
diperoleh diolah dan didistribusikan dalam bentuk tabel
dan gambar untuk memperoleh informasi sesuai dengan
tujuan survei.

HASIL PENELITIAN
Nyamuk tertangkap selama penelitian sebanyak
712 ekor, yang terdiri dari 3 spesies yaitu An. barbirostris,
An. parangensis dan An. flavirostris.
Ketiga spesies Anopheles spp. ditemukan melalui
metode umpan orang di luar dan di dalam rumah maupun
resting di sekitar kandang. Sedangkan yang istirahat di
dinding hanya ditemukan An. barbirostris (Tabel 5.1).

65
Fauna Anopheles

Tabel 5.1.
Frekuensi Anopheles spp. yang Tertangkap Malam Hari dengan
Berbagai Metode Penangkapan

Jam Metode Penangkapan


Spesies
Penangkapan UOD OUL DD KD
An. barbirostris 0,67 0,67 0,42 1,00
18.00-06.00
An. parangensis 0,08 0,33 0 1,00
(12 jam)
An. flavirostris 0,17 0,42 0 0,50
Sumber : Data Primer
Keterangan:
- UOD = Umpan Orang Dalam rumah
- UOL = Umpan Orang Luar rumah
- DD = Dinding Dalam rumah
- KD = Di sekitar Kandang ternak

Frekuensi kemunculan tertinggi pada metode


umpan orang baik di dalam maupun di luar rumah adalah
An. barbirostris. Di setiap jam penangkapan, An.
barbirostris juga mendominasi jumlah nyamuk yang
tertangkap kecuali pada jam ke-10 dan jam ke-11. Pada
penangkapan resting kandang, An. barbirostris dan An.
parangensis merupakan dua spesies yang selalu ditemukan
pada setiap jam penangkapan. Kelimpahan nisbi untuk
masing-masing spesies seperti tergambar pada Tabel 5.2.

66
Fauna Anopheles

Tabel 5.2.
Kelimpahan Nisbi Spesies Anopheles spp. yang Tertangkap
Malam Hari dengan Berbagai Metode Penangkapan
Metode Penangkapan
Spesies UOD UOL DD KD
Jml % Jml % Jml % Jml %
An. barbirostris 18 0,78 28 0,62 5 1,00 46 0,07
An. ophelesparangensis 1 0,04 5 0,11 0 0 587 0,92
An. flavirostris 4 0,18 12 0,27 0 0 6 0,01
Jumlah 23 1,00 45 1,00 5 1,00 639 1,00
Sumber : Data Primer

Data hasil survai menunjukkan bahwa An.


barbirostris merupakan spesies dengan kelimpahan nisbi
tertinggi pada metode umpan orang baik didalam maupun
diluar serta resting dinding dengan angka dominansi 12
(UOD), 18,67 (UOL) dan 1,67 (DD). Sedangkan An.
parangensis merupakan spesies dengan kelimpahan nisbi
tertinggi pada penangkapan resting kandang dengan angka
dominansi 587.
Pada penangkapan pagi hari dengan sasaran
nyamuk resting tidak diperoleh satu spesies pun dari
semua lokasi yang diduga menjadi tempat nyamuk
beristirahat.

67
Fauna Anopheles

PEMBAHASAN
Hasil spot survey entomologi malaria di Desa
Ranoketang Tua Kecamatan Amurang Minahasa Selatan
menunjukkan bahwa walaupun jumlah spesies yang
tertangkap hanya 3 spesies, namun jumlah nyamuk yang
diperoleh cukup banyak. Hal ini dimungkinkan karena
banyaknya tempat perindukan potensial di sekitar
pemukiman penduduk berupa kolam ikan terbengkalai dan
beberapa telaga. Di sekeliling kolam atau telaga banyak
dipenuhi pohon gulma dan semak semak lainnya. Sedang
di dalam kolam banyak ditumbuhi tanaman air dan jatuhan
daun kering, sehingga cocok sebagai tempat perindukan
nyamuk Anopheles terutama An. barbirostris seperti
pernah ditemukan ditempat lain di Sulawesi (Jastal, dkk,
2003).
Semua spesies nyamuk yang ditemukan
mempunyai frekuensi kemunculan yang berbeda tiap jam
penangkapan. Jika menilai hasil yang diperoleh melalui
metode umpan orang, diperoleh informasi bahwa nyamuk
hanya dapat tertangkap sampai jam ke 9 selanjutnya baru
muncul kembali pada jam ke 12. Hal ini diduga karena
adanya angin yang cukup kencang menjelang pagi hari di
lokasi survei.
Ketiga spesies nyamuk yang ditemukan merupakan
spesies yang ditempat lain di Sulawesi merupakan nyamuk
yang diduga kuat sebagai vektor karena pernah
dikonfirmasi (Uji ELISA/Enzyme-Linked Immunosorbent
68
Fauna Anopheles

Assay) sebagai suspect vector malaria di Sulawesi


(Marwoto, dll., 1996). Adanya perbedaan spesies vektor
antara tempat satu dengan tempat lainnya sangat mungkin
terjadi. Selain itu adanya lebih dari satu spesies yang
diduga vektor di suatu tempat juga sering terjadi, seperti
yang diperoleh dari penelitian lainnya di Sulawesi
(Sukowati, dkk., 2004 & Jastal, dkk., 2003).
Nyamuk dikatakan menjadi vektor jika terdapat
kontak dengan manusia dalam aktifitasnya mencari darah.
Metode yang paling sering digunakan untuk mengetahui
kebiasaan nyamuk dalam mencari darah manusia adalah
dengan metode umpan orang. Dengan melihat hasil
penangkapan di Desa Ranoketang Tua dengan metode
tersebut, diperoleh informasi bahwa ketiganya aktif dalam
mencari darah manusia dengan frekuensi dan kelimpahan
nisbi yang berbeda.
Nyamuk An. parangensis merupakan spesies
dengan angka kelimpahan nisbi tertinggi pada
penangkapan di sekitar kandang, hanya sebagian kecil saja
yang diperoleh dari hasil pengkapan umpan badan. Dengan
demikian ada kecenderungan nyamuk tersebut lebih
menyukai hewan (zoofilik). Sedangkan An. barbirostris
merupakan nyamuk yang diduga kuat sebagai vektor di
Desa Ranoketang Tua karena mendominasi kemunculan
maupun jumlah hasil penangkapan metode umpan orang
di dalam maupun di luar rumah. Di beberapa penelitian
lain, An. barbirostris merupakan nyamuk yang diduga

69
Fauna Anopheles

bertanggung jawab pada penularan malaria di Sulawesi


Utara (Nurdin, et al, 2003 dan Hanley, 2001). Selain An.
barbirostris, An. flavirostris juga merupakan spesies yang
mempunyai kandidat sebagai vektor di Desa Ranoketang
Tua. Walaupun dengan angka angka dominansi lebih
sedikit, tapi lebih dari 70% yang tertangkap merupakan
hasil penangkapan metode umpan badan terutama di luar
rumah, sehingga lebih bersifat antropofilik.
Penelitian ini hanya bersifat survai sesaat sehingga
perlu adanya longitudinal survey untuk memperoleh
informasi yang lebih lengkap mengenai fauna dan
bionomik nyamuk di Desa Ranoketang Tua. Selain itu
pembuktian yang lebih lanjut berdasarkan pada adanya
Plasmodium spp. dalam tubuh nyamuk baik melalui
pembedahan kelenjar ludah maupun berdasarkan
biomolekuker (PCR/Polymerase Chain Reaction) akan lebih
memastikan nyamuk Anopheles spp. yang
bertanggungjawab pada penularan malaria di Desa
Ranoketang Tua.

KESIMPULAN
Nyamuk Anopheles spp. yang ditemukan dengan
berbagai metode penangkapan adalah 3 spesies yaitu An.
barbirostris, An. parangensis dan An. flavirostris. Nyamuk
An. barbirostris mendominasi kemunculan maupun jumlah

70
Fauna Anopheles

yang tertangkap pada metode umpan orang dan resting


dinding.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2011. Manado today: Penyakit Malaria Mulai ‘Serang’
Minsel. (http://www.manadotoday.com/penyakit-
malaria-mulai-‘serang’-minsel/21186.html, diakses
tanggal 29 Desember 2011)
Anonime.2010. Profil Puskesmas Kecamatan Amurang.
Minahasa selatan : Dinas Kesehatan Minahasa Selatan
Chadijah, S. Veridiana, N.N dan Kurniawa, A. 2010. Konfirmasi
Nyamuk Anopheles Sebagai Vektor Malaria Dengan Elisa
Di Desa Pinamula Kec. Momunu Kab. Buol. Jurnal Vektor
Penyakit Vol IV(1): 1-8
Dinkes Kab. Minahasa Selatan. 2010. Laporan Analisis Situasi
Malaria Kabupaten Minahasa Selatam. Minahasa selatan.
Ditjen PPM&PL.2003. Modul Entomologi Malaria 3. Jakarta:
Depkes RI.
Jastal, Wijaya, Y. Wibowo, T dan Patonda, M. 2003. Beberapa
Aspek Bionomik Malaria Di Sulawesi Tengah. Jurnal
ekologi Kesehatan Vol. 2(2); 217-222
Marwoto, H.A. Richie, T.L. Atmosoedjono, S. Tuti, S dan
Tumewu, M. 1996.Transmisi Lokal Malaria Di Kodya
Manado. Bull. Penelitian Kesehatan Vol.24(4): 60-68
NAMRU-2 dalam Hanley, D. 2001. Malaria Fast and Present: The
Case of North Sulawesi, Indonesia. Southeast Asian Trop
Med Publicc Health Vol.32(3) pp:595-607

71
Fauna Anopheles

Nurdin, A. Syafruddin, D. Wahid, I. Noor, N.N. Sunahara, T. Dan


Mogi, M. 2003. Malaria and Anopheles spp in the villages
of Salubarana and Kadaila, Mamuju District, South
Sulawesi Province, Indonesia. Med J Indones Vol.12: 252-
259
O’Connor dan Arwati, S. 1999. Kunci Bergambar untuk
Anopheles Betina Di indonesia: edisi 3. Ditjen
PPM&PL:Depkes RI. Jakarta
Sukowati, S. Andris, H. Sondakh, J dan Shinta. 2004. Penelitian
Spesies Sibling Anopheles Barbirostris Vander Wulp Di
Indonesia. Jurnal ekologi Kesehatan Vol. 4(1); 172-180

72
Bab 6.
Fauna Sesaat Nyamuk Anopheles spp.
di Desa Modu Waimaringu,
Kecamatan Kota Waikabubak,
Kabupaten Sumba Barat

Heni Prasetyowati, Asep Jajang K.

PENDAHULUAN
Nyamuk kerap kali menjadi masalah dalam
kehidupan manusia, salah satunya karena dapat menjadi
vektor penyakit. Vektor adalah arthropoda yang dapat
menimbulkan dan menularkan infectious agent dari
sumber infeksi kepada induk semang yang rentan. Dalam
kesehatan masyarakat, binatang yang termasuk kelompok
vektor, dapat merugikan kehidupan manusia karena
disamping mengganggu secara langsung juga dapat
sebagai perantara penularan penyakit (Hadi dan
Koesharto, 2006).
Anopheles merupakan genus nyamuk yang dalam
berbagai laporan penelitian disebutkan sebagai vektor

73
Fauna Anopheles

malaria. Tiga spesies di antaranya telah dikonfirmasi


sebagai vektor malaria di Propinsi Nusa Tenggara Timur
(NTT) yaitu Anopheles barbirostris, An. subpictus, dan An.
sundaicus (Loka Litbang P2B2 Waikabubak, 2011).
Kabupaten Sumba Barat terletak di Pulau Sumba
Provinsi NTT, merupakan daerah endemis malaria dengan
jumlah kasus malaria klinis yang tinggi. Tahun 2007
ditemukan 10.382 kasus dengan annual malaria incidence
(AMI) 104‰ dan tahun 2008 naik menjadi 14.879 kasus
dengan AMI 143‰. Angka kematian penderita malaria
yang rawat inap di Rumah Sakit Umum Sumba Barat pada
tahun 2007 adalah 20 orang, tahun 2008 sebanyak 14
orang, dan tahun 2009 sebanyak empat orang (Anonim,
2009).
Salah satu desa di Kabupaten Sumba Barat dengan
kesakitan malaria tinggi adalah Desa Modu Waimaringu
yang terletak di Kecamatan Kota Waikabubak. Bentang
alamnya meliputi persawahan dan semak, ditemukan
adanya genangan air berupa kubangan ternak yang dapat
dijadikan sebagai tempat potensial perkembangbiakan
nyamuk Anopheles spp. Karena kasus penyakit tular vektor
khususnya malaria masih cukup tinggi, maka diperlukan
informasi jenis nyamuk Anopheles spp. dan segala
aspeknya sebagai dasar pengendalian.

74
Fauna Anopheles

METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Desa Modu Waimaringu,
Kecamatan Kota Waikabubak Kabupaten Sumba Barat.
Pengumpulan data dengan survai entomologi sesaat (spot
survey) pada pukul 18.00-06.00 WITA dengan
penangkapan nyamuk resting di sekitar kandang dan
umpan orang. Nyamuk yang tertangkap, diidentifikasi
menggunakan kunci identifikasi nyamuk oleh O’Connor
dan Arwati (1999). Data yang di peroleh kemudian
dianalisis secara deskriptif.

HASIL PENELITIAN
Pengamatan hanya menghasilkan 5 spesies nyamuk
dewasa yang tertangkap yaitu An. barbirostris, An. vagus,
An. indefinites, An. tesselatus dan An. anullaris dengan
jumlah yang berbeda setiap spesiesnya (Tabel 6.1).
Nyamuk yang paling banyak tertangkap adalah An.
barbirostris yaitu 127 ekor, urutan kedua adalah An. vagus
sebanyak 97 ekor, dan urutan ketiga adalah An. indefinitus
sebanyak 28 ekor. Selain penangkapan nyamuk, juga
dilakukan pengukuran suhu dan kelembaban dengan
menggunakan alat hygrothermometer, suhu yang terukur
rata-rata 24oC dan kelembaban rata-rata 68%.

75
Fauna Anopheles

Tabel 6.1.
Jumlah dan Spesies Nyamuk Anopheles
yang Tertangkap di Desa Modu Waimaringu
JUMLAH (EKOR)
KELIMPAHAN
SPESIES UMPAN TOTAL
KANDANG NISBI
ORANG
An. barbirostris 125 2 127 55,9%
An. vagus 97 0 97 42,7%
An. indefinitus 28 0 28 12,3%
An. tesselatus 4 0 4 1,7%
An. Anullaris 1 0 1 0,4%
TOTAL 225 2 227 100%
Sumber: Data Primer

PEMBAHASAN
Survai entomologi sesaat Desa Modu Waimaringu
mendapatkan 5 spesies nyamuk, An. barbirostris adalah
spesies yang paling dominan dengan jumlah yang
tertangkap sebanyak 127 ekor. Spesies ini terdapat di
seluruh Indonesia, baik di dataran tinggi maupun di
dataran rendah. Jentik biasanya berkembang dalam air
jernih, alirannya tidak begitu cepat, ada tumbuh–
tumbuhan air dan pada tempat yang agak teduh seperti
sawah dan parit.
Bentang alam di Desa Modu Waimaringu terdiri
dari sawah dan semak serta banyak kubangan ternak,
sangat cocok sebagai tempat perkembangbiakan An.
barbirostris. Ini sesuai dengan Jastal, dkk. (2003) yang

76
Fauna Anopheles

mengemukakan bahwa nyamuk An. barbirostris menyukai


tempat perkembangbiakan berupa kolam, sawah yang
dipenuhi pohon gulma dan semak lainnya.
Keragaman nyamuk Anopheles spp. di Desa Modu
Waimaringu lebih sedikit dibandingkan yang tertangkap di
Kabupaten Sumba Barat Daya. Penelitian fauna Anopheles
spp. di Kabupaten Sumba Barat Daya pernah dilakukan di
tiga lokasi yaitu desa Weepaboba, Pero Batang dan
Kalimbuweri oleh Adnyana dkk (2012). Data dikumpulkan
berdasarkan penangkapan nyamuk dewasa dengan
metode landing collection di dalam maupun di luar rumah
serta resting collection di dinding dan kandang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa fauna spesies
Anopheles di lokasi penelitian terdiri dari An. barbirostris,
An. maculatus, An. aconitus, An. annullaris, An. tesselatus,
An. vagus, An. indefinitus, An. kochi dan An. subpictus.
Terdistribusi pada masing-masing lokasi, Desa Kalimbuweri
keragamannya cukup tinggi terdiri dari 8 spesies kecuali
An. subpictus. Sedangkan desa Weepaboba dan Pro Batang
masing-masing tiga spesies yaitu An. vagus, An. indefinitus,
An. kochi dan An. vagus, An. kochi, An. subpictus.
Di Kabupaten Sumba Barat, nyamuk An. barbirostris
merupakan vektor potensial penular malaria, selain An.
sundaicus dan An. subpictus. Nyamuk An. barbirostris telah
dinyatakan sebagai vektor malaria di Propinsi Nusa
Tenggara Timur. Pengamatan yang diiakukan di Dusun
Lifuleo, didapati bahwa nyamuk An. barbirostris menggigit
77
Fauna Anopheles

manusia pada siang hari; spesies lain yaitu An. subpictus


(Laumalay, 2012). Nyamuk An. barbirostris menggigit
manusia setiap jam sepanjang hari (malam dan siang)
dengan kepadatan yang berbeda-beda setiap jamnya.
Sedangkan An. subpictus menggigit hanya pada malam
hari. Habitat perkembangbiakan kedua spesies pada
tempat yang sama.
Nyamuk An. vagus adalah spesies dominan kedua
setelah An. barbirostris, tempat perkembangbiakan yang
disenangi adalah air yang tidak mengalir. Jenis perairan
yang sama juga disenangi nyamuk An.indefinitus, An.
leucosphirus sebagai tempat berkembang biak. Air yang
tenang atau sedikit mengalir seperti sawah sangat
disenangi oleh An. aconitus, An. vagus, An. barbirostris, An.
anullaris untuk berkembang biak.
Hasil pengamatan menghasilkan nyamuk An.
barbirostris di Desa Modu Waimaringu sebagai populasi
yang dominan. Di tempat lain di NTT, An. barbirostris telah
terbukti sebagai vektor malaria, dengan demikian spesies
nyamuk ini perlu diwaspadai untuk mencegah meluasnya
penularan malaria di desa tersebut.

KESIMPULAN
Fauna nyamuk yang ditemukan di Desa Modu
Waimaringu adalah An. barbirostris, An. vagus, An.
indefinites, An. tesselatus dan An. anullaris. Spesies yang

78
Fauna Anopheles

paling banyak di temukan adalah An. barbirostris yang


merupakan vektor penyakit malaria di Kabupaten Sumba
Barat.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2009. Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Sumba Barat
tahun 2009. DKK Sumba Barat
Hadi UK, Koesharto FX., 2006. Nyamuk. Di dalam: Sigit HS, Upik
KH. Editor. Hama permukiman Indonesia: Pengendalian,
BiologidanPengendalian. UKPHP FKH-IPB. Bogor. Hal 23-
51
Hanani M. Laumalay, Muhamad Kazwaini, Ni Wayan Dewy
Adnyana, Jeriyanto Lebadara, 2012. Studi Perilaku
Vektor Malaria Anopheles Barbirostris di Daerah
Tambak Bandeng, Dusun Lifuleo Desa Tuadale
Kecamatan Kupang Barat Tahun 2010. Laporan
Penelitian. Badan Litbang Penelitian Kesehatan RI,
Jakarta
Jastal, Wijaya, Y. Wibowo, T dan Patonda, M. 2003. Beberapa
Aspek Bionomik Malaria Di Sulawesi Tengah. Jurnal
ekologi Kesehatan Vol. 2(2); 217-222
Loka P2B2 Waikabubak. 2011. Studi Kebijakan Dinamika
Penularan Malaria di Kecamatan Wanokaka Kabupaten
Sumba Barat. JKPKBPPK

79
Fauna Anopheles

Ni Wayan Dewi Adnyana, Ruben W. Willa, Hanani M. Laumalay,


Agus Fatma Wijaya, 2012. Fauna Anopheles sp. Di
Kabupaten Sumba Barat Daya. Laporan Penelitian. Badan
Litbang Penelitian Kesehatan RI, Jakarta

80
Bab 7.
Keanekaragaman Nyamuk Anopheles
(Diptera: Culicidae) di Dataran Rendah Pesisir,
Kabupaten Pangandaran

Pandji Wibawa Dhewantara, Firda Yanuar Pradani

PENDAHULUAN
Daerah dataran rendah di pesisir Pulau Jawa
merupakan daerah rawan malaria, karena menjadi habitat
beberapa jenis Anopheles spp. Secara keseluruhan di Pulau
Jawa telah dikonfirmasi 4 spesies Anopheles spp., sebagai
vektor malaria yaitu An. aconitus (di daerah persawahan
bertingkat), An. sundaicus (di daerah pesisir), An.
balabacensis, dan An. maculatus (di sungai-sungai kecil
daerah hutan atau pegunungan) (Kirnowardoyo, 1989).
Kemampuan nyamuk Anopheles spp. sebagai vektor
malaria di suatu wilayah, dipengaruhi beberapa faktor,
yaitu lama hidup, kepadatan, pilihan hospes atau kesukaan
menggigit, dan kerentanan terhadap infeksi parasit

81
Fauna Anopheles

malaria, serta faktor lingkungan yang meliputi temperatur


dan kelembaban udara (Hodgkin, 1956).
Hasil Riset Kesehatan Dasar 2007, Kabupaten
Ciamis adalah daerah yang mempunyai risiko malaria
cukup tinggi di Jawa Barat. Prevalensi malaria di Kabupaten
Ciamis (0,26%) lebih tinggi dari rerata Provinsi (0,23%)
(Badan Litbangkes, 2008). Data tersebut adalah waktu
wilayah Pangandaran masih bergabung dengan Kabupaten
Ciamis, tapi setelah Pangandaran menjadi daerah otonom
baru dengan nama Kabupaten Pangandaran pada tahun
2012, daerah pantai selatan yang merupakan daerah
endemis malaria bukan lagi wilayah Kabupaten Ciamis tapi
menjadi wilayah Kabupaten Pangandaran. Salah satu desa
di Kabupaten Pangandaran yang memiliki riwayat kasus
malaria tinggi adalah Desa Sukaresik Kecamatan Sidamulih
yang terletak di pantai Samudera Indonesia.
Dalam lima tahun terakhir, kasus malaria di Desa
Sukaresik serta Jawa Barat secara keseluruhan mengalami
penurunan secara signifikan. Data Dinas Kesehatan
Kabupaten Ciamis menunjukan di Desa Sukaresik pada
tahun 2008 ditemukan 6 kasus malaria dengan annual
parasite incidence mencapai 4,56‰. Malaria merupakan
re-emerging disease atau penyakit yang bisa muncul
kembali sesuai dengan perubahan fenomena alam
biasanya dalam periode lima atau sepuluh tahunan (WHO,
1993), misalnya mengikuti perubahan lingkungan yang
berkaitan dengan perkembangan nyamuk Anopheles spp.

82
Fauna Anopheles

serta mobilisasi penduduk (Eylenbosch, W.J., 1988). Karena


itu, meskipun kasus malaria sedang dalam trend menurun
bahkan di beberapa wilayah telah menghilang, tapi di masa
yang akan datang sangat berpeluang untuk meningkat
kembali karena tersedianya faktor risiko penularan.
Dengan demikian, informasi keragaman jenis Anopheles
spp. termasuk bionomiknya di suatu daerah dengan
riwayat malaria tinggi, perlu terus diperbaharui sebagai
dasar upaya pengendalian berkelanjutan.
Salah satu upaya untuk mengidentifikasi jenis
nyamuk Anopheles spp. di Desa Sukaresik telah dilakukan
studi dengan tujuan mengetahui tingkat keragaman jenis
dan perilaku pemilihan hospes nyamuk Anopheles spp.
serta hubungan faktor lingkungan (suhu dan kelembaban
terhadap kelimpahan nyamuk Anopheles di alam.

METODE PENELITIAN
Dilakukan survai eksploratif fauna nyamuk
Anopheles spp. di Desa Sukaresik, Kecamatan Sidamulih,
Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat (07°40’47,63”S;
108°35’16,37”E) selama 3 bulan (September-November)
tahun 2011. Penangkapan nyamuk dilakukan dengan
metode WHO (1975), dengan umpan orang (human-
landing collection) di dalam dan luar rumah, penangkapan
nyamuk resting di dinding dan kandang. Penangkapan
nyamuk dilakukan oleh enam orang kolektor di tiga rumah

83
Fauna Anopheles

dan kandang ternak dan dilakukan selama 12 jam (18.00 –


06.00). Nyamuk yang tertangkap diidentifikasi
menggunakan buku panduan identifikasi O’Connor dan
Soepanto (1979).
Data yang dikumpulkan meliputi jenis nyamuk
Anopheles spp. dan frekuensi tertangkap pada 10 kali
survei. Selanjutnya dilakukan analisis kuantitatif untuk
identifikasi kelimpahan relatif, frekuensi relatif, indeks
keragamanan dan indeks kesamaan jenis (evenness). Untuk
menguji hubungan antara kelimpahan jenis dan faktor
lingkungan (suhu dan kelembaban) dilakukan uji korelasi.

HASIL PENELITIAN
Desa Sukaresik berada di bagian selatan Kecamatan
Sidamulih yang berbatasan langsung dengan perairan
Samudera Indonesia, seluas 911.414 hektar. Wilayahnya
meliputi persawahan tadah hujan (282.220 ha),
permukiman (164.140 ha), ladang (417.227 ha), kolam
(9.500 ha), dan perairan binaan (pertambakan).

Kelimpahan Nisbi dan Frekuensi


Hasil survai ditemukan total 2.667 ekor nyamuk
Anopheles, terdiri dari 7 spesies yaitu An. sundaicus, An.
vagus, An. indefinitus, An. barbirostris, An. subpictus,
An. tesselatus, dan An. kochi; lebih dari 85% di antaranya
adalah An. sundaicus. Sedangkan An. subpictus, An.

84
Fauna Anopheles

tesselatus, dan An. kochi merupakan tiga spesies dengan


kelimpahan relatif kurang dari 10%. Secara keseluruhan,
indeks keanekaan Shannon-Wiener (H’) sebesar 0,57 dan
Indeks dominansi (C) sebesar 0,75.
Lebih dari separuh nyamuk Anopheles spp.
tertangkap melalui penangkapan metode umpan orang
(1.457 ekor). Nyamuk yang tertangkap di luar rumah 2,5
kali lebih banyak dibandingkan yang tertangkap di dalam
rumah. Sedangkan pada penangkapan resting, lebih dari
90% nyamuk tertangkap di kandang ternak.
Nyamuk An. sundaicus dan An. barbirostris adalah
dua jenis nyamuk yang selalu ditemukan pada setiap
malam penangkapan. Sebaliknya, An. subpictus,
An. tesselatus, dan An. kochi merupakan spesies nyamuk
dengan frekuensi terendah sepanjang 10 kali pengamatan.

85
Tabel 7.1.
Jenis dan Jumlah Masing-Masing Jenis Nyamuk Anopheles spp.
yang Tertangkap pada 10 Kali Pengamatan per Metode Penangkapan
Jumlah Individu* Frek.
Kelimpahan
Spesies Umpan Orang Resting Total Frek. Relatif
Relatif (%)
Dalam Luar Dinding Kandang (%)
An. sundaicus 418 1012 67 805 2302 86,31 10 100
An. vagus 2 4 1 149 156 5,85 8 80
An. indefinitus 4 7 1 90 102 3,82 6 60
An. barbirostris 5 4 2 68 79 2,96 10 100
An. subpictus 1 0 0 21 22 0,82 3 30
An. tesselatus 0 0 0 5 5 0,19 3 30
An. kochi 0 0 0 1 1 0,04 1 10
TOTAL 430 1027 71 1139 2667 10
Shannon-Wiener (H') 0,57
Simpsons (C) 0,75
Sumber: Data Primer
Keterangan: Total 10 kali penangkapan
86
Penangkapan Metode Umpan Orang
Jumlah nyamuk yang tertangkap pada metode
umpan orang mengalami penurunan selama 10 kali
pengamatan (terbanyak pada pengamatan kedua dan
terendah pada pengamatan terakhir), dan hanya
ditemukan 5 jenis Anopheles spp. Sebagian besar nyamuk
yang tertangkap adalah nyamuk An. sundaicus (1.430 dari
1.457 ekor yang tertangkap). Rata-rata setiap kolektor
menangkap 23,8 ekor per malam. Nyamuk An. vagus, An.
barbirostris, An. indefinitus, dan An. subpictus adalah
empat jenis nyamuk yang ditemukan dengan jumlah yang
sangat sedikit (Gambar 7.1).

Gambar 7.1.
Jumlah Nyamuk Anopheles spp. Tertangkap dengan Metode
Umpan Orang pada 10 Kali Penangkapan

87
Fauna Anopheles

Penangkapan Nyamuk Resting di Kandang Ternak


Sebanyak tujuh jenis nyamuk Anopheles spp.
ditemukan pada penangkapan nyamuk resting di sekitar
kandang ternak. Nyamuk An. sundaicus merupakan jenis
nyamuk dengan kelimpahan nisbi terbesar (70,67%) diikuti
oleh nyamuk An. vagus, An. barbirostris, An. indefinitus,
dan An. subpictus. Pada penangkapan metode ini juga
ditemukan An. tesselatus dan An. kochi meski dengan
jumlah yang relatif sedikit (kurang dari 0,5%).
Nyamuk An. sundaicus paling banyak ditemukan
pada pengamatan ketiga (194 ekor atau rata-rata 32,3 ekor
nyamuk setiap kolektor). Rata-rata setiap malam diperoleh
13,4 ekor per kolektor. Sementara, jenis An. barbirostris
ditemukan tidak lebih dari 11 ekor atau 1,83 ekor/kolektor
selama pengamatan berlangsung. Nyamuk An. vagus relatif
ditemukan rata-rata 2,48 ekor/kolektor/malam dan
cenderung banyak ditemukan pada tiga pengamatan
terakhir. Kecenderungan ini berlaku pula pada nyamuk An.
indefinitus dan An. subpictus (Gambar 7.2).

88
Fauna Anopheles

Gambar 7.2.
Jumlah Nyamuk Anopheles spp. Tertangkap dengan
Metode Resting di Kandang pada 10 Kali Penangkapan

Kelimpahan Nyamuk Anopheles spp.


dan Faktor Lingkungan (Suhu dan Kelembaban udara)
Fluktuasi kelimpahan pada 10 kali pengamatan
menunjukkan trend menurun. Namun, kekayaan jenis
justru bertambah pada 3 pengamatan terakhir dengan
adanya kemunculan jenis-jenis Anopheles spp. (Gambar
7.3.).
Suhu rata-rata berkisar pada (26,72 ± 1,06)°C dan
kelembaban relatif (80,69 ± 3,54)%. Hubungan antara
kelimpahan jenis dengan faktor suhu dan kelembaban
menunjukkan korelasi negatif, masing-masing r =-0,279
(p>0,05) dan r = -0,252 (p>0,05) (Tabel 7.2).

89
Fauna Anopheles

Gambar 7.3.a.
Fluktuasi Kelimpahan Nyamuk Anopheles spp.
dan Suhu pada 10 Kali Penangkapan

Gambar 7.3.b.
Fluktuasi Kelimpahan Nyamuk Anopheles spp. dan Kelembaban
pada 10 Kali Penangkapan

90
Fauna Anopheles

Tabel 7.2.
Korelasi Kelimpahan Jenis dengan Faktor Lingkungan
(Suhu dan Kelembaban)
Kelimpahan vs
Rerata ± SD (n = 10) r p-value
Faktor Lingkungan
Suhu 26,72 ± 1,06* -0,279 0,436
Kelembaban Relatif 80,69 ± 3,54* -0,252 0,486
Keterangan: p<0,05; SD = standar deviasi; r = koefisien korelasi

PEMBAHASAN
Nyamuk Anopheles merupakan genera dari famili
Culicidae yang erat hubungannya dengan malaria,
beberapa jenis Anopheles spp. telah dinyatakan sebagai
vektor utama malaria. Dua puluh empat jenis Anopheles
spp. tercatat di Indonesia dan 10 di antaranya dikonfirmasi
sebagai vektor malaria. Kesepuluh spesies tersebut adalah
An. aconitus, An. balabacensis, An. barbirostris, An. farauti,
An. koliensis, An. letifer, An. maculatus, An. punctulatus,
An. subpictus, dan An. sundaicus.
Ekosistem Desa Sukaresik berada di bagian selatan
Kabupaten Pangandaran yang meliputi persawahan,
kolam, dan pertambakan, sangat cocok bagi hidupnya
berbagai jenis Anopheles spp. Hal ini terbukti dengan
ditemukannya 7 jenis Anopheles spp. yaitu An. barbirostris,
An. subpictus, An. sundaicus, An. vagus, An. indefinitus, An.
kochi, dan An. tesselatus.

91
Fauna Anopheles

Nyamuk An. sundaicus ditemukan dengan jumlah


paling melimpah dibandingkan spesies lainnya, baik
dengan metode umpan orang maupun penangkapan di
kandang. Hasil ini membuktikan bahwa nyamuk An.
sundaicus cenderung bersifat eksofilik dan eksofagik, serta
umumnya antropofilik (Kirnowardoyo, 1985). Faktor lokasi
Desa Sukaresik yang didominasi oleh kolam dan
pertambakan (air payau) adalah habitat yang cocok bagi
jenis ini (Dhewantara, et al, 2013). Kondisi ini serupa
dengan hasil studi di Pandeglang dan Batam (Mardiana, et
al, 2007; Susanna, 2012). Nyamuk An. barbirostris, An.
vagus, dan An. indefinitus adalah tiga jenis Anopheles spp.
yang cukup melimpah di Desa Sukaresik. Keberadaannya
dimungkinkan karena adanya area persawahan, sungai,
parit, dan perbukitan, serta hutan sekunder dataran
rendah. Kondisi topografi serupa menunjukkan komposisi
jenis yang serupa dengan hasil studi di Sukabumi (Munif, et
al, 2007).
Selain itu, jenis An. tesselatus dan An. kochi juga
ditemukan pada penelitian ini meski dalam jumlah yang
sangat sedikit. Beberapa studi menyatakan bahwa An.
tesselatus juga ditemukan di Nias, Sumatera Barat tapi
tidak dinyatakan sebagai vektor malaria. Sementara,
An. kochi pada umumnya ditemukan di Sulawesi dan
Maluku, dan diduga belum menjadi vektor malaria
(Boewono, 1997; Soekirno, et al, 1997). Sebagian besar
keenam jenis Anopheles spp. tersebut ditemukan di

92
Fauna Anopheles

kandang ternak. Hal ini mengindikasikan sifatnya yang


cenderung eksofagik, eksofilik, dan zoofilik.
Perhitungan indeks keragaman ditujukan untuk
mengetahui tingkat keragaman jenis dalam suatu
komunitas (Odum, 1993). Pada umumnya indeks
keragaman yang sering digunakan untuk mengetahui
keanekaragaman jenis dalam suatu komunitas adalah
Indeks Keanekaan Shannon-Wiener. Digunakan log dengan
basis e, karena keanekaan jenis menunjukkan dinamika
yang berkaitan dengan perubahan kondisi habitat. Nilai
indeks diperoleh melalui persamaan H’= -Σ pi ln pi
Dimana, H’ = Indeks Keanekaan Shannon-Wiener; p =
jumlah individu suatu jenis dibagi jumlah total individu dari
seluruh jenis (Krebs, 1999). Indeks dominansi diperoleh
dengan menggunakan indeks Simpson Dimana,

C= indeks dominansi Simpson, ni= jumlah individu jenis ke-


i, N= jumlah total individu.
Keanekaragaman jenis Anopheles di Desa Sukaresik
menunjukan keragaman kondisi lingkungan sebagai habitat
nyamuk, karena setiap jenis Anopheles spp. memiliki
karakteristik habitat yang berbeda. Meski demikian, nilai
indeks keanekaragaman (H’) diklasifikasikan relatif kecil
dan tingkat kestabilan komunitas yang rendah, karena
indeks H’<2,3 (Legendre dan Legendre, 1998)
menggolongkan ke dalam kategori: keanekaragaman kecil
dan kestabilan komunitas rendah.

93
Fauna Anopheles

Dalam penelitian ini digunakan pula indeks


dominansi Simpson (C) yang bertujuan untuk mengetahui
berapa besar kesamaan penyebaran sejumlah individu
setiap marga pada tingkat komunitas. Secara matematis,
indeks dominansi sebesar 0,75 yang mengindikasikan
adanya jenis yang mendominansi sehingga ukuran
homogenitas kelimpahan (evenness) semakin kecil (Odum,
1993). Hal ini ditunjukkan dengan tingginya kelimpahan
relatif (lebih dari 85%) dan frekuensi kemunculan yang
tinggi nyamuk An. sundaicus di lokasi penelitian.
Secara tidak langsung, faktor lingkungan seperti
suhu dan kelembaban udara menentukan tingkat
kelimpahan suatu jenis spesies. Korelasi negatif dan tidak
signifikan ditunjukkan antara kelimpahan jenis (secara
keseluruhan) dengan suhu dan kelembaban relatif pada
penelitian ini. Beberapa studi telah mengemukakan hal
yang sama (Pramanik, et al, 2006) maupun sebaliknya.
Faktor musim dan keberadaan serta kesesuaian habitat
adalah beberapa dari sekian faktor yang mempengaruhi
sebaran dan kelimpahan suatu jenis di suatu daerah (Devi
& Jauhari, 2006; Munga, et al, 2006).

KESIMPULAN
Tujuh jenis Anopheles spp. ditemukan di Desa
Sukaresik Kabupaten Pangandaran, yaitu An. sundaicus,
An. vagus, An. indefinitus, An. barbirostris, An. subpictus,

94
Fauna Anopheles

An. tesselatus, dan An. kochi. Nyamuk An. sundaicus


merupakan spesies dengan kelimpahan nisbi terbesar
diikuti oleh An. vagus, An. indefinitus, dan An. barbirostris.
Faktor suhu dan kelembaban tidak secara langsung
menentukan kelimpahan jenis.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbangkes. 2008. Laporan Hasil Riskesdas Provinsi Jawa
Barat tahun 2007. Jakarta: Badan Litbangkes, Depkes RI.
Boewono DT, Nalim S, Sularto T, Mujiono, Sukarno. 1997.
Penentuan Vector Malaria di Kecamatan Teluk Dalam,
Nias. Cermin Dunia Kedokteran. 118.
Devi NP, Jauhari RK. 2006. Climatic variables and malaria
incidence in Dehradun, Uttaranchal, India.J Vect Borne Dis
43, pp. 21–28.
Dhewantara PW, Astuti EP, Pradani FY. 2013. Studi bioekologi
nyamuk Anopheles sundaicus di Desa Sukaresik
Kecamatan Sidamulih Kabupaten Ciamis.
Bul.Penelit.Kesehat. 41(1):26-36.
Eylenbosch, W.J., Noah, N.D., 1988, Surveillance in Health and
Disease. Oxford University Press. London.
Foley DH, Rueda LM, Wilkerson RC. 2007. Insight into global
mosquito biogeography from country species records. J
Med Entomol. 44:554-567.

95
Fauna Anopheles

Harbach RE. 2004. The classification of genus Anopheles


(Diptera: Culicidae): a working hypothesis of phylogenetic
relationships. Bull Entomol Res, 94:537-553.
Hodgkin EP. 1956. The transmission of malaria in
Malaya..Studies from the Institute for Medical Research
Federation of Malaya, No. 27. 98p.
Kirnowardoyo S. 1985. Status of Anopheles malaria vectors in
Indonesia. Southeast Asian J Trop Med Public Health.
Maret 16(1):129-32.
Kirnowardoyo S. 1989. Tinjauan penelitian tentang pola
penularan malaria yang telah dilakukan di Indonesia.Tin
jauan Peneliti Ekologi Kesehatan di Indonesia (1969–
1989). Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan. Badan Litbang
Kesehatan. Jakarta.hal. 181–192.
Krebs CJ. 1999. Ecological Methodology. New York: Harper &
Row, Publishers.
Mardiana, Sukowati S, Wigati RA. 2007. Beberapa aspek perilaku
nyamuk Anopheles sundaicus di Kecamatan Sumur
Kabupaten Pandeglang. J. Ekol.Kes, 6(3):621-627.
Munga S, Minakawa N, Zhou G, Mushinzimana E, Barrack OJ,
Githeko AK, Yan G. 2006. Association between land cover
and habitat productivity of malaria vectors in Western
Kenyan highlands.Am. J. Trop. Med. Hyg., 74(1), pp. 69–
75.
Munif A, Sudomo M, Soekirno. 2007. Bionomi Anopheles spp di
daerah endemis malaria di Kecamatan Lengkong,
Kabupaten Sukabumi. Bul. Penel. Kesehatan,35(2):57 – 80.

96
Fauna Anopheles

O’Connor, Soepanto A. 1979. Kunci Bergambar untuk Anopheles


Betina di Indonesia. Jakarta: Ditjen P2M & PLP, Depkes.
Odum EP. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Terjemahan: Tjahjono
Samingan, Penyunting: B. Srigandono. Yogyakarta: Gadjah
Mada Universitu Press.
Pramanik MK, Adityaa G, Srimanta K. Rauta. 2006. A survey of
anopheline mosquitoes and malarial parasite in
commuters in a rural and an urban area in West Bengal,
India.J Vect Borne Dis 43, December, pp. 198–202
Soekirno M, Santijo K, Nadjib AA, Suyitno, Mursiyatno, Hasyimi
M. 1997. Fanua Anopheles dan Status, Pola Penularan
serta Endmisitas Malaria di Halmahera, Maluku Utara.
Cermin Dunia Kedokteran. 118: p. 15 - 19.
Susanna D, Eryando T. 2012. The longevity of Anopheles
sundaicus in small area: Nongsa Pantai Villages, Batam
City, Indonesia. Malaria Journal. 11(Suppl 1): p.93.
World Health Organization. 1975. Manual on Practical
entomology in malaria.The WHO Division of malaria other
parasitic diseases part II. Geneva: WHO.
WHO, 1993. A Global Strategy for Malaria Control. Geneva.

97
Fauna Anopheles

98
Bab 8.
Fauna dan Bionomik Nyamuk Anopheles spp.
di Kecamatan Simboro, Kabupaten Mamuju,
Propinsi Sulawesi Barat
Lukman Hakim, Marliah Santi HR.

PENDAHULUAN
Puskesmas Rangas Kecamatan Simboro Kabupaten
Mamuju Provinsi Sulawesi Barat mempunyai wilayah kerja
4 desa yaitu Desa Simboro, Desa Rangas, Desa Sumare dan
Desa Tapandullu. Wilayahnya terletak di daerah pantai
seluas 22 km2 yang terdiri dari tanah rata dan berbukitan;
sebelah utara berbatasan dengan Desa Belang-belang,
sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Mamuju,
sebelah selatan berbatasan dengan Desa Botteng dan
sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Tapalang
Barat (Dinas Kesehatan Kabupaten Mamuju, 2010).
Berdasarkan sensus penduduk 2010, jumlah
penduduk di wilayah Puskesmas Rangas adalah 14.500
orang, terdiri dari laki-laki 7.405 orang dan perempuan

99
Fauna Anopheles

7.095 orang. Rata-rata kepadatan penduduk adalah 659


jiwa per km2, penyebarannya 30% berada di wilayah
pegunungan dan 70% di wilayah pantai.
Selama dua dekade terakhir, di wilayah Puskesmas
Rangas, tidak pernah dilakukan pemberantasan vektor
malaria. Berdasarkan keterangan pengelola Program
Pemberantasan Malaria Propinsi Sulawesi Barat maupun
Kabupaten Mamuju, pemberantasan terakhir dilakukan
sekitar era tahun 1980-an.
Penyebaran malaria ditentukan oleh beberapa
faktor diantaranya agent, host (penjamu) dan lingkungan
yang saling berinteraksi. Agent (parasit) hidup dalam
tubuh manusia (host intermediate) dan tubuh nyamuk
(host definitif). Dalam tubuh nyamuk, agent berkembang
menjadi bentuk infektif, siap menularkan ke manusia yang
berfungsi yang bisa terinfeksi dan menjadi tempat
berkembangnya agent (Vytilingam, 1992).
Nyamuk dapat berkembang-biak dengan baik
apabila lingkungan sesuai dengan kebutuhannya.
Kepentingan manusia dalam mengelola lahan pertanian,
perikanan, perkebunan, peternakan akan dimanfaatkan
untuk perkembangbiakan larva nyamuk, sehingga
berpengaruh terhadap kepadatan maupun perilaku
nyamuk di suatu tempat.
Nyamuk Anopheles sundaicus, An. subpictus dan
An. farauiti menularkan malaria di daerah pantai;

100
Fauna Anopheles

An. maculatus dan An. aconitus di daerah pegunungan


(Stojanovich & Scoth, 1966). Dengan demikian, segala
aspek yang berkaitan dengan nyamuk Anopheles spp.,
terutama bionomik dan kepadatannya, sangat berperan
dalam pemberantasan malaria. Karena itu, di wilayah
Kecamatan Simboro Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi
Barat, pada tanggal 24 s.d. 26 Februari 2011 telah
dilakukan spot survey entomologi malaria dengan tujuan
mengetahui jenis fauna dan kepadatan nyamuk,
mengetahui bionomik nyamuk yang meliputi cara
menggigit, berisitirahat, meletakkan telur, mengukur index
sporozoit, mengetahui kesukaan mencari darah (human
blood index), serta mengetahui tempat perkembangbiakan
potensialnya.

METODE PENELITIAN
Survai entomologi dilakukan dengan penangkapan
nyamuk umpan badan di dalam dan di luar rumah oleh 6
kolektor, pada tiga rumah, masing-masing melakukan
penangkapan di dalam rumah berbeda. Penangkapan
dilakukan dengan umpan badan, serta menangkap nyamuk
istirahat di dinding dan sekitar kandang. Rotasi kolektor
dilakukan setiap 3 jam dengan waktu penangkapan mulai
jam 18:00 sampai 06:00, per jam dilakukan penangkapan
selama 45 menit. Nyamuk yang tertangkap diidentifikasi
spesiesnya per jam dan tempat penangkapan, di dalam
maupun di luar rumah. Nyamuk Anopheles spp. betina
101
Fauna Anopheles

dilakukan pembedahan ovarium dari abdomen, kemudian


dikeringkan untuk mengetahui parous atau nulliparous.
Nyamuk yang tertangkap, selanjutnya dihitung
kepadatannya, yaitu man biting rate (MBR) yang
menunjukkan jumlah nyamuk menggigit per orang per
malam, dengan rumus MBR = Jumlah nyamuk tertangkap
per spesies dibagi jumlah penangkap dikali waktu
penangkapan, serta man hour density (MHD) yang
menunjukkan jumlah nyamuk tertangkap per orang per
jam. Selain itu juga dihitung sporozoit rate yaitu angka
yang menunjukkan proporsi nyamuk yang positif sporozoit
pada kelenjar ludahnya serta parity rate yaitu angka yang
menunjukkan proporsi nyamuk yang parous.
Untuk mengetahui jumlah nyamuk beristirahat di
luar rumah untuk menyelesaikan siklus gonotropiknya,
diamati kondisi perut apakah unfeed (U), blood feed (BF),
half gravid (HG) atau gravid (G). Pagi hari dilakukan
penangkapan nyamuk dewasa di alam terbuka.
Penangkapan dilakukan oleh 6 kolektor di tempat yang
diperkirakan sebagai tempat istirahat Anopheles spp.
misalnya semak, bebatuan, tumpukan kayu, bagian bawah
pohon pisang (pelepah yang sudah kering), dll.
Sedangkan untuk mengetahui tempat perkembang-
biakkan potensial, dilakukan penangkapan jentik di
genangan air dengan tujuan mengetahui spesies jentik
yang ada di genangan air, mengetahui kepadatan dan
penyebaran jentik vektor serta mengetahui jenis tempat
102
Fauna Anopheles

perkembangbiakan yang potensial. Untuk mengukur


kepadatan jentik di tiap jenis tempat perkembangbiakan,
maka dihitung kepadatan jentik dengan rumus jumlah
jentik Anopheles spp. yang tertangkap dibagi jumlah
pencidukan.

HASIL PENELITIAN
Nyamuk Dewasa
Survai dilaksanakan secara bersamaan di 2 lokasi
yaitu di Desa Sumare (koordinat 02o39’09,47” LS dan
118o48’38,24” BT) dan di Desa Tapandullu (koordinat
02o41’19,13” LS dan 118o47’23,73”).

Di Desa Tapandullu, dari penangkapan 3 hari


berturut-turut yaitu dari tanggal 24 s.d. 26 Februari 2011
hanya didapatkan 1 spesies nyamuk yaitu An. subpictus
dengan MBR di dalam rumah adalah 3,037 dan MBR di luar
rumah adalah 6,63. Pada penangkapan istirahat dinding
dalam rumah, penangkapan istirahat pagi hari di dalam
rumah serta penangkapan di alam terbuka, tidak
didapatkan nyamuk yang istirahat. Sedangkan
penangkapan nyamuk istirahat di sekitar kandang, tidak
dilakukan karena di perkampungan tidak ditemukan
kandang ternak karena ternak dibiarkan berkeliaran di
hutan yang jaraknya cukup jauh dari pemukiman
penduduk.

103
Fauna Anopheles

Gambar 8.1.
Lokasi Desa Tapandullu dan Desa Sumare, Kecamatan Simboro,
Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat

Puncak kepadatan menggigit pada penangkapan


dalam rumah (UOD) adalah jam 01.00-02.00 dengan
tertangkap 16 ekor atau kepadatan menggigit 7,11 nyamuk
per orang per jam; sedangkan puncak kepadatan menggigit
di luar rumah (UOL) adalah pada jam 18.00-19.00 dengan
tertangkap 29 ekor atau kepadatan menggigit 12,89
nyamuk per orang per jam.
Nyamuk An. subpictus (82 ekor hasil UOD dan 179
ekor hasil UOL atau total 261 ekor) yang tertangkap,
sebanyak 153 ekor dilakukan pembedahan ovarium. Pada
penangkapan UOD, dari 70 ekor nyamuk yang dibedah,
ditemukan 5 ekor masih nuliparous dan 65 ekor parous,
104
Fauna Anopheles

atau parity rate adalah 92,86%. Pada penangkapan UOL,


dari 153 ekor nyamuk yang dibedah, ditemukan 19 ekor
masih nuliparous dan 134 ekor parous, atau parity rate
adalah 87,58%. Secara keseluruhan, dari 223 ekor nyamuk
yang dibedah, ditemukan 24 ekor masih nulliparous dan
199 ekor parous, atau parity rate adalah 89,24%.
Pada penangkapan tanggal 25 Februari 2011, juga
hanya didapatkan 1 spesies nyamuk yaitu An. subpictus
dengan MBR di dalam rumah adalah 1.815 dan MBR di luar
rumah adalah 4.926. Puncak kepadatan menggigit pada
penangkapan dalam rumah (UOD) adalah pada jam 18.00-
19.00 dengan tertangkap 9 ekor atau kepadatan menggigit
4,00 nyamuk per orang per jam; sedangkan puncak
kepadatan menggigit di luar rumah (UOL) adalah pada jam
01.00-02.00 dengan tertangkap 26 ekor atau kepadatan
menggigit 11,56 nyamuk per orang per jam.
Nyamuk An. subpictus (49 ekor hasil UOD dan 133
ekor hasil UOL atau total 182 ekor) yang tertangkap,
sebanyak 106 ekor dilakukan pembedahan ovarium. Pada
penangkapan UOD, dari 36 ekor nyamuk yang dibedah,
ditemukan 2 ekor masih nulliparous dan 34 ekor parous,
atau parity rate adalah 94,44%. Pada penangkapan UOL,
dari 70 ekor nyamuk yang dibedah, ditemukan 3 ekor
masih nulliparous dan 67 ekor parous, atau parity rate
adalah 95,71%. Secara keseluruhan, dari 106 ekor nyamuk
yang dibedah, ditemukan 5 ekor masih nuliparous dan 101
ekor parous, atau parity rate adalah 95,28%.

105
Fauna Anopheles

Pada penangkapan tanggal 26 Februari 2011, juga


hanya didapatkan 1 spesies nyamuk yaitu An. subpictus
dengan MBR di dalam rumah adalah 2,593 dan MBR di luar
rumah adalah 4,222.
Puncak kepadatan menggigit pada penangkapan
dalam rumah (UOD) adalah jam 18.00-19.00 dengan
tertangkap 17 ekor atau kepadatan menggigit 7,56 nyamuk
per orang per jam; sedang puncak kepadatan menggigit di
luar rumah (UOL) adalah pada jam 05.00-06.00 dengan
tertangkap 25 ekor atau kepadatan menggigit 11,11
nyamuk per orang per jam.
Dari 184 ekor nyamuk An. subpictus (70 ekor hasil
UOD dan 114 ekor hasil UOL) yang tertangkap, sebanyak
102 ekor dilakukan pembedahan ovarium. Pada
penangkapan UOD, dari 37 ekor nyamuk yang dibedah,
ditemukan 2 ekor masih nulliparous dan 35 ekor parous,
atau parity rate adalah 94,59%. Pada penangkapan UOL,
dari 65 ekor nyamuk yang dibedah, ditemukan 7 ekor
masih nulliparous dan 58 ekor parous, atau parity rate
adalah 89,23%. Secara keseluruhan, dari 102 ekor nyamuk
yang dibedah, ditemukan 9 ekor masih nulliparous dan 102
ekor parous, atau parity rate adalah 91,88%.
Selama 3 hari penangkapan dari tanggal 24 s.d. 26
Februari 2011, hanya didapatkan 1 spesies nyamuk yaitu
An. subpictus dengan rata-rata MBR di dalam rumah
adalah 2.481 dan MBR di luar rumah adalah 5.259 atau
rata-rata 3,87.
106
Fauna Anopheles

Rata-rata puncak kepadatan menggigit pada


penangkapan dalam rumah (UOD) adalah jam 18.00-19.00
dengan tertangkap 33 ekor atau rata-rata kepadatan
menggigit 4,89 nyamuk per orang per jam; puncak
kepadatan menggigit di luar rumah (UOL) juga pada jam
18.00-19.00 dengan tertangkap 65 ekor atau kepadatan
menggigit 9,63 nyamuk per orang per jam.
Nyamuk An. subpictus (201 ekor hasil UOD dan 426
ekor hasil UOL atau total 627 ekor) yang tertangkap,
sebanyak 431 ekor dilakukan pembedahan ovarium. Pada
penangkapan UOD, dari 143 ekor nyamuk yang dibedah,
ditemukan 9 ekor masih nulliparous dan 134 ekor parous,
atau parity rate adalah 93,71%. Pada penangkapan UOL,
dari 288 ekor nyamuk yang dibedah, ditemukan 29 ekor
masih nulliparous dan 259 ekor parous, atau parity rate
adalah 89,93%. Secara keseluruhan, dari 403 ekor nyamuk
yang dibedah, ditemukan 38 ekor masih nulliparous dan
393 ekor parous, atau parity rate adalah 91,18% (Gambar
8.2).
Di Desa Sumare dari 3 malam penangkapan,
nyamuk hanya ditemukan pada tanggal 24 Februari 2011
saja yaitu pada penangkapan luar rumah (UOD), dua
malam berikutnya tidak ada nyamuk yang berhasil
ditangkap. Nyamuk yang berhasil ditangkap yaitu An.
barbirostris pada jam 18.00-19.00 sebanyak 1 ekor atau
MBR = 0,037 dan nyamuk An. vagus sebanyak 4 ekor pada
penangkapan jam 03.00-04.00 dengan MBR = 0,148.

107
Fauna Anopheles

Gambar 8.2.
Rata-rata Kepadatan Menggigit per Jam Nyamuk An. subpictus
Hasil Penangkapan di Alam Pagi Hari di Desa Tapandullu,
Kecamatan Simboro, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat

Pada penangkapan istirahat dinding dalam rumah,


penangkapan istirahat pagi hari di dalam rumah serta
penangkapan di alam terbuka, tidak didapatkan nyamuk
yang istirahat. Sedangkan penangkapan nyamuk istirahat
di sekitar kandang, tidak dilakukan karena di
perkampungan tidak ditemukan kandang ternak karena
ternak dibiarkan berkeliaran di hutan yang jaraknya cukup
jauh dari pemukiman penduduk. Karena hanya ditemukan
satu kali, jadi tidak bisa dihitung puncak kepadatannya.

Nyamuk Stadium Larva


Tempat perkembangbiakan nyamuk Anopheles spp.
yang ditemukan di Desa Tapandullu adalah 3 buah yaitu

108
Fauna Anopheles

lagun di dekat pantai, terletak di RT I Kampung Baru pada


koordinat 02o41’19,2” LS dan 118o46’46,7” BT dengan ukur
panjang sekitar 1 km dan lebar sekitar 2-3 meter. Airnya
payau dengan kadar garam 6 ppm dan pH 8, berjarak
sekitar 1 km dari pemukiman. Tempat perkembangbiakkan
lainnya adalah muara sungai kecil yang ada di tengah
pemukiman penduduk, terletak di RT II Dusun Tapandullu
Utara pada koordinat 02o40’49,0” LS dan 118o47’01,3” BT,
selebar +2 meter panjangnya sekitar 150 meter, airnya
payau dengan kadar garam 4 ppm, pH 5. Tempat
perkembangbiakkan ketiga adalah got terbuka di tepi
hutan dengan luas beberapa meter persegi, pada
koordinat 02 40’48,70” LS dan 118o47’08,2” BT jaraknya
o

sekitar 50 meter dari pemukiman, terletak di RT II Dusun


Tapandullu Utara, dengan kadar garam 0,5 dan pH 5.
Kepadatan larva pada lagun adalah 109 larva per 51
cidukan dan ditemukan predator terdiri dari ikan dan
udang kecil; kepadatan larva pada muara parit adalah 113
larva per 10 cidukan dengan ditemukan predator terdiri
dari ikan dan udang kecil, sedangkan kepadatan larva pada
got terbuka adalah 10 larva per 7, tidak ditemukan
predator.
Tempat perkembangbiakkan nyamuk Anopheles
spp. yang ditemukan di Desa Sumare adalah 3 buah yaitu
lagun di dekat pantai terletak di RT II Kampung Batu
Sumomba pada koordinat 02o38’35,6” LS dan
118o48’432,9” BT, airnya payau dengan kadar garam 0,5

109
Fauna Anopheles

ppm dengan pH 5. Tempat perkembangbiakan lainnya


adalah parit di RT I Dusun Kanuangan pada koordinat
02o40’02,8” LS dan 118o47’50,1” BT, dengan kadar garam
0,5 ppm, pH 6. Tempat perkembangbiakan ketiga adalah
got pada koordinat 02o39’50,0” LS dan 118o47’57,5” BT di
RT II Dusun Malauwa, dengan kadar garam 0,5 dan pH 6.
Kepadatan larva pada lagun adalah 4 larva per 10 cidukan
dengan ditemukan predator terdiri dari ikan dan udang
kecil; kepadatan larva pada parit adalah 4 larva per 10
cidukan dan ditemukan predator terdiri dari ikan dan
udang kecil, sedangkan kepadatan larva pada got adalah
13 larva per 10, tidak ditemukan predator.

Kasus Malaria Bulanan


Berdasarkan Buku Profil Kesehatan Puskesmas
Rangas tahun 2009, jumlah kesakitan malaria selama tahun
2009 adalah 340 kasus malaria klinis (AMI = 23,448‰)
terdiri dari 141 kasus di Desa Simboro (AMI = 17,669‰),
88 kasus di Desa Rangas (AMI = 24,163‰), 71 kasus di
Desa Sumare (AMI = 32,054‰) dan 40 kasus di Desa
Tapandullu (AMI = 60,332‰). Kesakitan malaria (klinis dan
hasil pemeriksaan mikroskopis) tahun 2010 berdasarkan
arsip laporan bulanan Puskesmas Rangas adalah 202 kasus
(AMI = 13,931‰) selama 11 bulan yaitu Februari 2010 s.d.
Desember 2010 (laporan Bulan Januari 2010 tidak
ditemukan arsipnya); terdiri dari 69 kasus di Desa Simboro
(AMI = 8,647‰), 85 kasus di Desa Rangas (AMI =
23,339‰), 31 kasus di Desa Sumare (AMI = 13,995‰) dan
110
Fauna Anopheles

17 kasus di Desa Tapandullu (AMI = 25,641‰). Sedang


kesakitan malaria pada bulan Februari 2011 sebanyak 33
kasus (MoMI = 2,276‰), terdiri dari 10 kasus di Desa
Simboro (MoMI = 1,253‰), 16 kasus di Desa Rangas
(MoMI = 4,393‰), 6 kasus di Desa Sumare (MoMI =
2,709‰) dan 1 kasus di Desa Tapandullu (MoMI =
1,508‰) (Gambar 8.3.).

Gambar 8.3.
Angka Kesakitan Malaria Klinis Bulanan (MoMI) per Desa di
Wilayah Puskemas Rangas, Kecamatan Simboro,
Kabupaten Mamuju, Propinsi Sulawesi Barat

PEMBAHASAN
Di kedua desa lokasi survai, nyamuk Anopheles spp.
yang tertangkap hanya An. subpictus, di Desa Tapandalu
dengan rata-rata MBR 3,87 dan parity rate 95,28%,

111
Fauna Anopheles

sedangkan rata-rata MBR di Desa Sumare adalah 0,148.


Dilihat dari spesies Anopheles spp. hasil tangkapan malam
hari di kedua desa tersebut, maka dicurigai spesies An.
subpictus adalah vektor malaria di wilayah itu. Hal ini
karena spesies tersebut telah terbukti sebagai vektor
malaria di beberapa wilayah Indonesia. Misalnya An.
subpictus merupakan salah satu vektor utama malaria di
daerah pantai kawasan Indonesia Timur seperti Sulawesi,
Nusa Tenggara Timur (Arbani, 1992) dan Nusa Tenggara
Barat (Siregar, 1995). Di pedalaman pulau Jawa, An.
subpictus bukan vektor malaria walaupun di daerah pantai
nyamuk ini merupakan vektor malaria sekunder (Utari
dkk., 2002). Tempat perkembangbiakkan An. subpictus
bervariasi, larva dapat hidup di air jernih maupun air
keruh, di air tawar maupun air payau. Larva An. subpictus
sering ditemukan bersama dengan larva An. sundaicus di
lagun dan bersama An. aconitus di persawahan.
Di beberapa daerah pantai Bali, An. subpictus dan
An. sundaicus sering ditemukan di kolam ikan buatan
(Soekirno, 1983). Di Sulawesi, walaupun sering terdapat
bersama-sama, jumlah larva An. subpictus selalu jauh lebih
banyak daripada An. sundaicus. Di daerah endemik malaria
Lombok dan Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, nyamuk An.
subpictus merupakan spesies yang dominan sepanjang
tahun (Siregar, 1995). Perbedaan kemampuan An.
subpictus sebagai vektor malaria dan variasi tempat
perkembangbiakkannya di Indonesia, mendukung hipotesis
bahwa An. subpictus memiliki variasi genetik dan
112
Fauna Anopheles

morfologi. Variasi tersebut dapat diuji antara lain dengan


teknik elektroforesis isozim dan pemeriksaan morfologi
secara rinci (refined morphological examination).

KESIMPULAN
Spesies nyamuk yang ditemukan dan dominan di
Desa Tapandullu adalah An. subpictus, hanya ditemukan
pada penangkapan umpan orang dengan rata-rata MBR
dalam rumah (UOD) 2,481, dan di luar rumah 5,259,
dengan puncak kepadatannya jam 18.00-19.00. Kondisi
perut nyamuk dominan un feed (86,27%), hasil
pembedahan ovarium adalah dominan parous (PR UOD =
93,71% dan PR UOL = 89,93%). Tempat
perkembangbiakkan yang ditemukan adalah lagun dengan
kepadatan 109 larva per 51 cidukan, muara sungai kecil di
tengah pemukiman dengan kepadatan 113 larava per 10
cidukan dan got terbuka dengan kepadatan larva 10 ekor
per 7 cidukan.
Di Desa Sumare tidak ditemukan spesies nyamuk
yang dominan karena hanya ditemukan nyamuk An. vagus
sebanyak 4 ekor (MBR=0,148) dan An. barbirostris
sebanyak 1 ekor (MBR = 0,037) masing-masing pada
penangkapan di luar rumah pada hari pertama, pada hari
berikutnya tidak ditemukan lagi nyamuk Anopheles spp.

113
Fauna Anopheles

DAFTAR PUSATAKA
Arbani P.R. Malaria control in Indonesia. The Southeast Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health 23 (Suppl.
4). 1992 : 29-37.
Dinas Kesehatan Kabupaten Mamuju Profil Dinas Kesehatan
kabupaten Mamuju Tahun 2009. Mamuju, 2010.
Siregar, A.A. Laporan Survei Entomologi Propinsi Nusa Tenggara
Barat Tahun 1994/1995. Mataram: Sub Dinas Pencegahan
Penyakit, Dinas Kesehatan Propinsi Daerah Tingkat I Nusa
Tenggara Barat. 1995.
Soekirno, M., Y.H. Bang, M. Sudomo, Tj.P. Pemayun, and G.A.
Fleming 1983. Bionomic of Anopheles sundaicus and other
anophelines associated with malaria in coastal areas of
Bali, Indonesia. World Health Organization Document.
WHO/VBC/83. 885. Geneva: WHO.
Stojanovich,C.J.and Scoth, H., 1966, Illustrated mosquito Key of
Vietnam Communicable Disease, Centre Atlanta, Georgia,
1966. 3033 ,1-158.
Utari, C.S., F.A. Sudjadi, and N. Gesriantuti. 2002. Genetic
analysis of Anopheles subpictus Grassi and Anopheles
aconitus (Diptera: Culicidae) around Yogyakarta using
RAPD-PCR. Programme & Abstract of International
Seminar on Parasitology and the 9th Congress of the
Indonesian Parasitic Disease Control Association. Bogor,
Indonesia, 11- 12 September 2002.
Vytilingam, I., Chiang, G.L. and Shing, K.I. Bionomic of important
mosquito vektor in Malaysia. Southeast Asean. J.
Trop.Public. Hlth, 1992 : 23 (4), 587-603.

114
Bab 9.
Anopheles spp., Vektor Malaria yang Bersifat
Local Specific Area

Mara Ipa, Endang Puji Astuti

PENDAHULUAN
Terjadinya malaria merupakan interaksi multi
faktor antara penderita (host) sebagai sumber infeksi,
Plasmodium spp. (agent) sebagai patogen penyakit,
nyamuk Anopheles spp. sebagai perantara (vektor) dan
faktor lingkungan yang mendukung terjadinya penularan.
Malaria adalah penyakit yang bersifat local specific area
karena kejadian penyakit dan penyebarannya sangat
dipengaruhi oleh lingkungan, musim, perilaku masyarakat
setempat, serta perilaku vektor penularnya. Selain local
specific area malaria disebut juga disebut sebagai penyakit
ekologis karena sangat dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan yang memungkinkan nyamuk untuk
berkembang biak dan berpotensi melakukan kontak
dengan manusia dan menularkan parasit malaria.

115
Fauna Anopheles

Peranan Anopheles spp. sebagai vektor malaria,


sudah sering dilaporkan dan dibuktikan melalui penemuan
sporozoit pada pembedahan kelenjar ludah nyamuk atau
dengan uji ELISA (Hardwood & James, 1979). Jumlah
Anopheles yang telah diidentifikasi secara morfologi
sebanyak 457 jenis, tetapi dengan ditemukannya spesies
sibling yang secara morfologi tidak bisa dibedakan, maka
diperkirakan jumlahnya mencapai 500 jenis. Distribusi
Anopheles spp., bioekologi, dan peranannya sebagai vektor
malaria sangat bervariasi dari daerah ke daerah. Oleh
karena itu perilaku vektor malaria dan distribusinya, perlu
terus diamati dengan baik secara individual maupun
spesies kompleks (WHO,2007).
Nyamuk Anopheles spp., sangat beragam daerah
sebaran maupun bioekologinya. Penyebarannya mengikuti
pola sebaran zoogeografi. Faktor-faktor lingkungan yang
menentukan penyebaran nyamuk Anopheles spp.
diantaranya adalah lingkungan fisik yang meliputi
ketinggian tempat, pemanfaatan lahan, kondisi cuaca dan
lingkungan mikro, berupa genangan air sebagai habitat
perkembangbiakan. Berdasarkan tempat perkembang-
biakannya, Anopheles spp. dibedakan menjadi 3 zona
topografi yaitu zona air payau, dataran pantai dan bukit/
pegunungan (Dit P2B2, 2011).

116
Fauna Anopheles

SEBARAN FAUNA ANOPHELES SPP.


Selama periode 1919 sampai tahun 2009,
ditemukan 25 Anopheles spp. positif membawa parasit
malaria menunjukkan perbedaan spesifik. Spesifikasi
tersebut dipengaruhi oleh letak geografis Indonesia
sebagai daerah kepulauan yang terletak antara benua Asia
dan Australia, sehingga sebaran nyamuk mengikuti pola
sebaran hewan yang dikelompokkan menjadi daerah
oriental dan daerah australasian. Bonne-Wepster (1953)
menyatakan bahwa garis perbatasan kelompok sebaran
Anopheles spp. terletak antara pulau Halmahera, Pulau
Seram dan Papua. Di bagian barat terdapat garis Weber
yang membatasi kepulauan Maluku dengan Pulau
Sulawesi. Di sebelah barat Pulau Sulawesi terdapat garis
Wallace yang menuju selatan melalui Selat Makasar
kemudian menuju Selat Lombok (Gambar 9.1).
Hans, et al (2002) mempelajari pengaruh struktur
lanskap terhadap kepadatan dan keragaman nyamuk
Anopheles spp. Hasilnya menunjukkan bahwa lahan
pertanian mempunyai struktur lanskap yang berukuran
kecil dan sangat bervariasi bentuknya dibandingkan
lokasi hutan. Hal ini mempengaruhi keragaman jenis
Anopheles spp.

117
Fauna Anopheles

Gambar 9.1.
Peta Penyebaran Anopheles spp. Vektor Malaria di Indonesia
Sumber : Dit P2B2 Kemkes, RI.

Penelitian Ndoen, et al (2011), mengenai hubungan


Anopheles spp. dengan topografi di Pulau Jawa
menunjukkan bahwa di daerah pantai banyak ditemukan
An. sundaicus dan An. tesselatus. Sedangkan An.
maculatus, An. aconitus dan An. vagus ditemukan di
daerah pantai dan perbukitan. Berbeda dengan An.
subpictus, nyamuk An. annularis, An. indefinitus, An. kochi
dan An. flavirostris hanya ditemukan didaerah perbukitan
saja. Demikian pula dengan An. barbirostris ditemukan
tidak hanya di daerah pantai namun juga ditemukan di
daerah dataran tinggi (Gambar 9.2).

118
Fauna Anopheles

Gambar 9.2.
Skema Distribusi Nyamuk Anopheles spp. Berdasarkan
Karakteristik Topografi dan Penggunaan Lahan di Pulau Jawa
Sumber : Ndoen, et al (2011)

HABITAT ANOPHELES SPP.


Spesies nyamuk Anopheles spp. memiliki
karakteristik habitat perkembangbiakan yang berbeda-
beda pada setiap zona geografi (Sukowati, 2008). Habitat
perkembangbiakan merupakan tempat perkembangbiakan
nyamuk saat pra dewasa, mulai dari telur, larva dan pupa.
Ada beberapa teori pembagian kelompok habitat larva
Anopheles, Bruce-Chwatt (1985) mengklasifikasikan habitat
larva dalam lima kelompok yaitu;
1) Air tawar yang menggenang permanen atau temporal
seperti rawa-rawa yang terbuka luas atau daerah rawa

119
Fauna Anopheles

yang merupakan bagian dari danau, kolam, genangan


air dan mata air.
2) Kumpulan air tawar yang sifatnya sementara seperti
genangan air terbuka di lapangan dan bekas tapak kaki
bintang.
3) Air yang mengalir permanen atau semi permanen
seperti sungai yang terbuka dengena vegetasi, air yang
mengalir dari selokan.
4) Tempat penampungan air alami seperti lubang pada
batu, pohon,lubang buatan hewan dan tempat
penampungan air buatan manusia seperti kaleng, ban,
tempurung kelapa.
5) Air payau seperti rawa-rawa pasang surut.
Habitat perkembangbiakan Anopheles spp. berbeda
di beberapa wilayah Indonesia di Indonesia antara lain :

120
Tabel 9.1.
Distribusi Bionomik Anopheles spp. di Indonesia

No. Spesies Distribusi Habitat Perilaku


1 Anopheles Jawa, Bali, NTT, NTB, Lagun berlumut kena sinar -Antropofilik
sundaicus Kalimantan (pantai). -Aktif 22.00-01.00
Salinity 12-18‰ -Rest: dlm rumah
2 Anopheles Jawa, Bali, NTT, NTB, Sama dengan sundaicus, -Zoofilik
subpictus Bengkulu, Sulawesi lebih toleran dengan salinity -Aktif 22.00-01.00
-Rest: dlm rumah
3 Anopheles Jawa, Kalimantan, Sawah, Saluran irigasi -Antrho/Zoofilik
aconitus NTT, NTB, Suma-tera, -Aktif 20.00-22.00
Sulawesi -Rest: tebing sungai
4 Anopheles Jawa, Bali, Sumatera, Sawah, Saluran irigasi -Antrho/Zoofilik
barbirostris NTT, NTB, Sulawesi kolam, rawa-rawa -Aktif 23.00-05.00
-Rest: dlm rumah,
pohon kopi, nanas
5 Anopheles Sumatera, Jawa, Bali, sungai kecil/mata air -Zoofilik
maculatus NTT, NTB, pegunungan yang kena -Aktif 21.00-03.00
Kalimantan, Sulawesi sinar, ada tanaman selada -Rest: dlm rumah,
pohon kopi, tebing
121
Fauna Anopheles

No. Spesies Distribusi Habitat Perilaku


6 Anopheles Sumatera, Jawa, Air tawar dalam hutan, - Antropofilik
balabacensis Kalimantan pinggiran sungai - Aktif 18.00-04.00
- Rest: pohon salak
7 Anopheles letifer Kalimantan, Sumatera Genangan air dalam hutan - Antro/zoofilik
yang terlindung sinar - Aktif 18.00-23.00
matahari,rawa-rawa - Rest:
8 Anopheles Kalimantan, Sumatera Sawah, -Antrho/Zoofilik
sinensis kolam terbuka, - Aktif 22.00-24.00
rawa-rawa - Rest: teduh
9 Anopheles Kalimantan, Sawah, rawa & air mengalir -Antrho/Zoofilik
nigerrimus Sumatera, Sulawesi perlahan, kolam yang - Aktif 19.00-21.00
berumput, juga air payau - Rest: teduh
10 Anopheles Sumatera, Sawah, - Zoofilik
annullaris Kalimantan, Sulawesi, kolam ikan air tawar - Aktif 23.00-24.00
NTT, NTB
23 Anopheles vagus Sumatera s/d Papua Air kotor agak berlumpur, - Zoofilik
Kubangan, kolam, - Aktif 21.00-23.00
Saluran irigasi

122
Fauna Anopheles

No. Spesies Distribusi Habitat Perilaku


24 Anopheles Sumatera s/d Maluku Sawah, kobakan, air - Zoofilik
tessellatus mengalir, kolam, dapat juga - Aktif 18.00-19.00
air payau
25 Anopheles Sumatera, Kalimantan Rawa di hutan terlindung - Antro/Zoofilik
umbrosus dari sinar matahari
Sumber: materi pelatihan management malaria, Subdit Malaria, Direktorat PPBB, Ditjen PP&PL.

123
Beberapa penelitian serupa mengenai habitat
perkembangbiakan Anopheles spp. menunjukkan hasil
yang serupa yaitu :

a. Anopheles sundaicus
Nyamuk An. sundaicus merupakan vektor malaria
yang signifikan di Indonesia, berada di wilayah pantai.
Spesies ini terdapat di Sumatra, Kalimantan, Jawa bagian
selatan, Madura, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan
Bali, tetapi tidak begitu banyak ditemukan di Maluku dan
Papua. Jentiknya ditemukan pada air payau yang biasanya
terdapat tumbuh-tumbuhan enteromopha, chetomorpha
dengan kadar garam adalah 1,2 sampai 1,8%. Di Sumatra
jentik ditemukan pada air tawar seperti di Mandailing
dengan ketinggian 210 meter dari permukaan air laut dan
Danau Toba pada ketinggian 1000 meter.

b. Anopheles aconitus
Di Indonesia, nyamuk An. aconitus ditemukan
hampir di seluruh kepulauan, kecuali Maluku dan Irian.
Biasanya dijumpai di dataran rendah tetapi lebih banyak di
daerah kaki gunung pada ketinggian 400-1000 meter
dengan persawahan bertingkat. Nyamuk ini merupakan
vektor pada daerah-daerah tertentu di Indonesia,
terutama di Tapanuli, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Bali.

124
Fauna Anopheles

c. Anopheles barbirostris
Spesies ini terdapat di seluruh Indonesia, baik di
dataran tinggi maupun di dataran rendah. Jentik biasanya
terdapat dalam air yang jernih, alirannya tidak begitu
cepat, ada tumbuh-tumbuhan air dan pada tempat yang
agak teduh seperti sawah dan parit.
Nyamuk An. barbirostris di Nusa Tenggara Timur
telah dikonfirmasi sebagai vektor malaria, demikian juga di
Sulawesi, Bali, Kepulauan Seribu Jakarta, Banten (Jawa
Barat), Nias (Sumatera utara) dan Lampung. Daerah pantai
di Timor Barat merupakan habitatnya An. barbirostris,
sedangkan di Pulau Jawa banyak terdapat di daerah
dataran tinggi. Nyamuk An. barbirostris berkembang biak
di rawa, lagun, kolam ikan air tawar, tambak yang
diabaikan, selokan dan sungai; juga ditemukan di daerah
dengan elevasi yang lebih tinggi, lahan sawah, kedalaman
air relatif dangkal, suhu air tinggi, konsentrasi pH dan
salinitas tinggi, dan jaraknya rata-rata jauh dari
pemukiman penduduk.

d. Anopheles kochi
Nyamuk An. kochi terdapat diseluruh Indonesia,
kecuali Irian. Jentik biasanya ditemukan pada tempat
perindukan terbuka seperti genangan air, bekas tapak kaki
kerbau, kubangan, dan sawah yang siap ditanami.

125
Fauna Anopheles

e. Anopheles maculatus
Penyebaran nyamuk An. maculatus di Indonesia
sangat luas, kecuali di Maluku dan Irian. Spesies ini
terdapat didaerah pengunungan sampai ketinggian 1.600
meter diatas permukaan air laut. Jentik ditemukan pada air
yang jernih dan banyak kena sinar matahari.

f. Anopheles subpictus
Nyamuk An. subpictus terdapat di seluruh wilayah
Indonesia. Nyamuk ini dapat dibedakan menjadi dua
spesies yaitu :
1) An. subpictus subpictus
Jentik ditemukan di dataran rendah, kadang-kadang
ditemukan dalam air payau dengan kadar garam
tinggi.
2) An. subpictus malayensis
Spesies ini ditemukan pada dataran rendah sampai
dataran tinggi. Jentik ditemukan pada air tawar,
pada kolam yang penuh dengan rumput pada
selokan dan parit.

g. Anopheles balabacensis
Spesies nyamuk An. balabacensis terdapat di
Purwakarta, Jawa Barat, Balikpapan, Kalimantan Timur,
Kalimantan Selatan. Jentik ditemukan pada genangan air
bekas tapak binatang, pada kubangan bekas roda dan pada
parit yang aliran airnya terhenti.

126
Fauna Anopheles

h. Anopheles annularis
Nyamuk An. annularis terdapat di daerah
perbukitan, terutama di Jawa. Hal ini mirip dengan
penelitian lain yang menemukan An. annularis di
persawahan, rawa dan lubang bervegetasi. An. annularis
juga ditemukan di Lampung, namun belum dikonfirmasi
sebagai vektor malaria. Hasil penelitian yang sama juga di
temukan oleh Ompusungu et al (1994), bahwa An.
annularis bukanlah vektor malaria potensial di Flores, Nusa
Tenggara Timor.

KESIMPULAN
1. Nyamuk Anopheles spp. sebagai vektor malaria
mempunyai karakteristik habitat yang berbeda-beda
sesuai topografinya, berkembang biak di persawahan,
perbukitan/hutan dan pantai/aliran sungai.
2. Spesifikasi tempat berkembang biak Anopheles spp.
sangat penting diketahui oleh pengambil keputusan
sebagai dasar pertimbangan untuk menentukan
intervensi dalam pengendalian vektor malaria yang
lebih efektif.

127
Fauna Anopheles

DAFTAR PUSTAKA
B2P2VRP, 2011. Kemenkes RI. Atlas Vektor Penyakit di
Indonesia, Jakarta
Bonne-Wepster, J. & Swellengrebel, 1953. N.H. The Anopheline
Mosquitoes of The Indo-Australian Region. J.H de Bussy,
Amsterdam
Bruce-Chwatt, L.J., 1985. Essential Malariology. Second Edition.
Oxford, Alden Press, London
Direktorat Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang,
Kemenkes RI., 2011. Epidemiologi Malaria di Indonesia.
Buletin Jendela Data dan Informasi: No 1 2011, Jakarta
Hardwood RF, James MT., 1979. Entomology in Human and
Animal Health. Macmillan Publishing.Co.Inc.USA
Mulyadi, 2010. Distribusi Spasial dan Karakteristik Habitat
Perkembangbiakan Anopheles spp serta Peranannya
dalam Penularan Malaria di Desa Doro Kabupaten
Halmahera Selatan Provinsi Maluku utara. Tesis. Institut
Pertanian Bogor
Ndoen et al., 2010. Relationships Between Anopheline
Mosquitoes And Topography In West Timor And Java,
Indonesia. Malaria Journal 2010, 9 : 242. Diunduh 16 Juli
2013. http://www.malariajournal.com
Ompusunggu S, et al., 1994. Pemberantasan Malaria di
Kabupaten Sikka. Cermin Dunia Kedokteran
Sandosham AA, Thomas V., 1983. Malariology, With Special
Reference to Malaya. Singapore University Press,
Singapore

128
Fauna Anopheles

Sukowati S., 2008. Masalah Keragaman Spesies Vektor Malaria


dan Cara Pengendalian di Indonesia. Orasi Pengukuhan
Profesor Riset Bidang Entomologi. Badan Litbangkes.
Depkes RI., Jakarta
WHO., 2007. Revised Malaria Control Strategy and
Implementary Report of an Inter Country Meeting.
Chiangmai, Thailand

129
Fauna Anopheles

130
Segera Terbit!
Buku
“Mengenal FILARIASIS;
Penyakit Tropis yang Terabaikan di Jawa Barat”

Hasil Kolaborasi
Health Advocacy dengan Loka Litbang P2B2 Ciamis

131
Health Advocacy
adalah wadah terbuka bagi setiap orang/lembaga yang
bersedia menjadi provokator untuk mewujudkan
kesempatan yang sama bagi setiap orang dalam
mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas

Visi dan Misi


Visi yang dikembangkan oleh Health Advocacy ini adalah
mampu memberikan pencerahan pada pembangunan
kesehatan secara holistik dalam berbagai sudut pandang
keilmuan.

Sedang misi yang diemban oleh Health Advocacy adalah :

• Memacu pengembangan kebijakan sistem


kesehatan daerah
• Memberikan overview dan advokasi
pengembangan dan pelaksanaan manajemen
kesehatan daerah
• Melakukan upaya pelaksanaan capacity building
stake holder pengelola pembangunan kesehatan
daerah
• Melakukan upaya pemberdayaan masyarakat grass
root dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan
daerah.

132
View publication stats

Anda mungkin juga menyukai