Anda di halaman 1dari 26

HIFEMA Oleh :

Kunanti Anugrah Pawestri, S.Ked J510215074

Pembimbing :
dr. Ida Nugrahani, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
RSUD KABUPATEN KARANGANYAR
2021
Pendahuluan

Trauma mata adalah perlukaan/cedera mata yang dapat terjadi dalam bentuk trauma tumpul,
trauma tajam, trauma kimia, trauma termis dan trauma radiasi. Trauma mata merupakan
kasus kegawatdaruratan, jika tidak segera ditatalaksana dapat menyebabkan penurunan visus
hingga kebutaan.
Pendahuluan

Di Indonesia trauma mata merupakan penyebab kebutaan tersering setelah katarak,


glaukoma, kelanan refraksi, gangguan retina dan kelainan kornea. Berdasarkan jenis trauma
mata, hasil penelitian di Rumah Sakit Adam Malik dan di IGD RSUP Dr. M. Djamil Padang
menunjukkan bahwa trauma mata yang tersering adalah trauma tumpul, yaitu sebanyak 92
kasus (65,3%) dan 91 kasus (40,6%).
Pendahuluan

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi akibat trauma tumpul pada mata adalah erosi kornea,
iridoplegia, hifema, iridosiklitis, subluksasi lensa, luksasi lensa anterior, luksasi lensa
posterior, edema retina dan koroid, ablasi retina, rupture koroid, serta avulsi papil saraf optik.
Pada pembahasan kali ini akan di fokuskan pada hifema.
Anatomi Mata
Definisi
Hifema merupakan keadaan dimana terdapat darah di dalam bilik mata
depan, yaitu daerah diantara kornea dan iris.

Darah pada COA


Etiologi
Trauma tumpul adalah satu penyebab terjadinya hifema. Gaya
kontusif sering merobek pembuluh darah iris dan merusak sudut
bilik mata depan.
Patofisiologi
Mekanisme trauma pada hifema
dikaitkan dengan kompresi
anteroposterior bola mata yang diikuti
dengan peregangan limbus dan
pergeseran lensa atau diagfragma ke
posterior serta putusnya pembuluh
darah. Ekspansi tersebut dapat
menimbulkan stress pada struktur sudut
segmen anterior mata yang
mengakibatkan pecahnya stroma iris
dan atau pembuluh darah siliar.
Klasifikasi
Berdasarkan waktu terjadinya, hifema dibagi menjadi 2, yaitu :
1. Hifema primer, timbul segera setelah trauma hingga hari ke 2
setelah trauma
2. Hifema sekunder, timbul pada hari ke 2-5 setalah terjadi trauma.
⬩ Berdasarkan tampilan klinisnya dibagi menjadi beberapa grade
(Sheppard) :
⬩ Grade I : darah mengisi kurang dari sepertiga COA
⬩ Grade II : darah mengisi sepertiga hingga setengah COA
⬩ Grade III : darah mengisi hampir total COA
⬩ Grade IV : darah mengisi seluruh COA
Hifema pada 1/3 bilik mata depan dan Hifema pada ½ bilik mata depan
Penegakan Diagnosis
Diagnosis hifema dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Anamnesis : Pemeriksaan fisik :


⬩ Nyeri pada mata ⬩ Edema palpebra
⬩ Mata kabur ⬩ Darah pada COA
⬩ Mata berair ⬩ Iritasi konjungtiva dan perikorneal
⬩ Blefarospasme
⬩ Pupil midriasis
⬩ TIO meningkat
Tatalaksana
Biasanya hifema akan hilang sempurna. Apabila perjalanan penyakit tidak berjalan
demikian maka sebaiknya penderita dirujuk.
Prinsip penatalaksanaan hifema :
⬩ Menghentikan perdarahan
⬩ Menghindarkan timbulnya perdarahan sekunder
⬩ Mengeliminasi darah dari bilik depan bola mata dengan mempercepat absorsbi
⬩ Mengontrol glaukoma sekunder dan menghindari komplikasi yang lain
Terapi Konservatif
1. Tirah baring (bed rest)
Penderita diistirahatkan dengan posisi setengan duduk dan kepala tegak. Tidak boleh
banyak bergerak minimal 5 hari. Tirah baring dilakukan sampai tidak ada darah pada
COA
2. Berikan tetes antibiotic dan kortikosteroid pada mata yang sakit.
3. Pemberian Azetasolamid dan Timolol untuk menurunkan TIO
4. Sulfasatropin untuk midriasis pupil agar tidak terjadi perdarahan ulang
Terapi Operatif
⬩ Indikasi dilakukannya terapi operatif adalah :
⬩ Empat hari setelah hifema total (
⬩ Microscopic corneal bloodstaining (setiap waktu)
⬩ Total dengan dengan Tekanan Intra Okular 50 mmHg atau lebih selama 4 hari (untuk
mencegah atrofi optic)
⬩ Hifema total atau hifema yang mengisi lebih dari ¾ COA selama 6 hari dengan
tekanan 25 mmHg (untuk mencegah corneal bloodstaining)
⬩ Hifema mengisi lebih dari ½ COA yang menetap lebih dari 8-9 hari (untuk
mencegah peripheral anterior synechiae)
Terapi Operatif

1. Parasentesis
Parasentesis
2. Melakukan irigasi dibilik depan bola mata
dengan larutan fisiologis
3. Dengan cara seperti melakukan eskstraksi
katarak dengan membuka korneosclera
sebesar 120º
Prognosis
Prognosis dari hifema sangat bergantung pada: 
⬩ Tingginya hifema 
⬩ Ada/tidaknya komplikasi dari perdarahan/traumanya 
⬩ Cara perawatan
⬩ Keadaan dari penderitanya sendiri
Prognosis
Prognosis tergantung pada banyaknya darah yang tertimbun pada kamera okuli
anterior. Biasanya hifema dengan darah yang sedikit dan  tanpa disertai glaukoma,
prognosisnya kemungkinan baik (dubia ad bonam) karena darah akan diserap kembali
dan hilang sempurna dalam beberapa hari. Sedangkan hifema yang telah mengalami
glaukoma, prognosisnya bergantung pada seberapa besar glaukoma tersebut
menimbulkan defek pada ketajaman penglihatan. Bila tajam penglihatan telah
mencapai 1/60 atau lebih rendah maka kemungkinan prognosis penderita adalah buruk
(dubia ad malam) karena dapat menyebabkan kebutaan.
Komplikasi
1. Perdarahan sekunder
Perdarahan sekunder atau rebleeding terjadi jka terdaoat penambahan ukuran
hifema, atau ujia terlihat darah segar diatas bekuan darah sebelumnya yang berwarna
lebih gelap di COA. Rebleeding disebabkan oleh lisis dan retraksi bekuan darah dan
agregasi fibrin yang meyumbat pada awal trauma.
Komplikasi
2. Glaukoma Sekunder
Glaukoma dapat terjadi sebagai komplikasi dini atau terlambat. Sekitar 25% mata
terjadi peningkatan Tekanan Intra Okuler (TIO) > 25mmHg dan 10% mata , >35
mmHg. Peningkatan TIO akut pada hifema dapat disebabkan oleh oklusi dari
trabekular meshwork oleh gumpalan darah, sel-sel inflamasi, atau sisa eritrosit ; blok
pupil ; atau penyebab lainnya seperti rusaknya atau fibrosis dari trabekula
meshwork.
Komplikasi
3. Sinekia Anterior Perifer (Peripheral Anterior
Synechiae/PAS)
Sinekia anterior perifer, yaitu iris menempel ke kornea,
sering terjadi pada pasien dengan hifema yang menetap
pada periode yang panjang, biasanya mencapai 9 hari
atau lebih. Hal ini disebabkan oleh adanya iritasi kronik
akibat trauma awal atau adanya iritasi kimiawi karena
adanya darah di bilik mata depan. Kemungkinan
penyebab lainnya adalah adanya bekuan di sudut bilik
yang mengakibatkan fibrosis trabecular meshwork
sehingga menutup sudut tersebut.
Komplikasi
4. Corneal Blood Staining
Pewarnaan kornea (corneal bloodstaining atau
hemosiderosis kornea) terutama terjadi pada pasien dengan
hifema total dan terkait pula dengan peningkatan TIO.
Corneal bloodstaining lebih sering terjadi pada pasien
dengan hifema total yang bertahan selama minimal 6 hari
berturut-turut, diikuti dengan peningkatan TIO lebih dari
25mmHg, rebleeding, durasi bekuan yang memanjang, dan
disfungsi sel endotel kornea.
Komplikasi
5. Atrofi Saraf Optic
Atrofi saraf optik disebabkan oleh peningkatan TIO, baik
akut maupun kronik. Atrofi saraf optik non glaukomatosa
Atrofi Optic
yang terjadi pada pasien hifema dapat disebabkan oleh
trauma inisial ataupun periode transien dari peningkatan
TIO. Dalam keadaan hifema traumatika, atrofi saraf optik
cenderung terjadi sebagai akibat dari tekanan intraokular
yang tinggi atau karena kontusio saraf optik. Resiko
meningkat jika TIO berkisar 50 mmHg atau lebih selama 5
hari atau TIO berkisar 35 mmHg atau lebih selama 7 hari
Kesimpulan
Hifema merupakan keadaan dimana terdapat darah di dalam bilik mata depan,
yaitu daerah diantara kornea dan iris yang di akibatkan oleh trauma tumpul pada
mata. Penatalaksaan pada hifema meliputi tirah baring atau bed rest, terapi
medikamentosa, dan tindakan operatif. Prognosis dari hifema sangat bergantung
pada tingginya hifema, ada/tidaknya komplikasi dari perdarahan/traumanya, cara
perawatan hifema, keadaan dari penderitanya sendiri. Komplikasi yang dapat
terjadi antara lain perdarahan sekunder, glaukoma sekunder, corneal blood
staining, uveitis, dan atrofi optic.
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai