Pendahuluan
B. Etiologi
C. Epidemiologi
Insidensi hifema traumatis yaitu 12 dari 100.000, 70% terjadi pada anak-
anak. Paling sering terjadi pada pria berusia 10 hingga 20 tahun dan biasanya
terjadi karena cedera olahraga. Anak-anak biasanya cedera melalui olahraga
yang berhubungan dengan bola. Remaja dan orang dewasa lebih cenderung
terluka melalui pukulan berenergi tinggi pada mata. Etiologi lain termasuk
senjata paintball, senjata airsoft, dan airbag yang mengembang.
D. Patofisiologi
Robekan pada bagian anterior dan badan siliar (disebut juga trauma resesi
pada sudut bola mata) merupakan sumber perdarahan yang paling sering terjadi
pada hifema. Cedera pada lokasi ini menyebabkan rupturnya sirkulus arteriosus
major iris, cabang corpus siliaris, arteri koroidal rekuren, atau vena yang terdapat
di antara korpus siliaris dan pleksus venosus episklera.
Penyerapan darah pada hifema dimulai dari bilik anterior menuju anyaman
trabekular, jaringan jukstakanalikular, atau kanal Schlemm. Iris juga dapat
menjadi salah satu tempat absorbsi darah melalui mekanisme fibrinolisin yang
melepaskan eritrosit dari gumpalan fibrin sehingga sel darah merah dapat keluar
melalui anyaman trabekular.
E. Klasifikasi
Klasifikisasi hifema
terdiri atas beberapa
variabel yang bermanfaat
dalam evaluasi derajat
keparahan, prognosis,
dan manajemen hifema
itu sendiri. Klasifikasi
hifema yang paling
penting adalah
berdasarkan jumlah
darah pada bilik mata
depan oleh Edwards and
Layden, terbagi menjadi
4 derajat. Derajat 0 atau
mikrohifema apabila
ditemukan sel darah
merah pada pemeriksaan slit lamp, Derajat 1 apabila darah memenuhi <1/3
volume BMD, derajat 2 bila volume darah berkisar 1/3 hingga ½ BMD, derajat
3 bila darah melebihi setengah volume BMD dan derajat 4 atau disebut juga
eight ball hyphema bilamana darah memenuhi seluruh volume BMD. Selain itu,
hifema juga diklasifikasikan berdasarkan etiologi, asal anatomisnya, tipe, durasi,
karakteristik, serta kondisi klinis pasien. Klasifikasi tersebut dirangkum pada
tabel di bawah ini.
Pasien dengan hifema harus ditanyakan dan dicatat mengenai waktu, lokasi,
mekanisme terjadinya cedera, penggunaan kacamata, cedera terkait, dan saksi
yang melihat kejadian tersebut. Dokter harus menimbang apakah ada kondisi
medis terkait yang dapat menyebabkan hifema seperti sickle cell disease,
gangguan hati atau ginjal, kehamilan, gangguan perdarahan, riwayat penyakit
mata, dan penggunaan obat-obatan.
Pemeriksaan utama adalah visus, tekanan bola mata, dan slit lamp untuk
mendeskripsikan hifema lebih jelas dan melihat apakah ada corneal blood
staining. CT scan atau MRI dapat digunakan apabila didapatkan kecurigaan
adanya benda asing, fraktur, maupun trauma nervus optikus.
G. Komplikasi
1. Meningkatnya Tekanan Intra Okular (TIO)
Setidaknya sepertiga pasien dengan hifema mengalami peningkatan
tekanan intraokular (TIO). Peningkatan TIO akut dapat terjadi oleh karena
oklusi anyaman trabekular oleh gumpalan, sel inflamasi, maupun debris
eritrosit serta blokade pupil sekunder karena gumpalan darah pada bilik mata
anterior dan posterior. Rebleeding juga dapat terjadi oleh karena peningkatan
TIO. Apabila pada hifema total / derajat IV didapatkan tekanan bola mata
yang normal maupun rendah, dokter harus curiga terjadinya ruptur bola
mata.
Glaukoma dengan onset yang lama dapat terjadi beberapa hari hingga
tahun sejak cedera pertama kali terjadi karena kerusakan, siderosis, dan
fibrosis pada anyaman trabekular serta terbentuknya sinekira anterior perifer
yang menyebabkan glaukoma sudut tertutup sekunder.
2. Perdarahan Sekunder / Rebleeding
Rebleeding terjadi oleh karena lisis pada gumpalan darah dan retraksi.
Rebleeding dapat diketahui apabila: 1) volume perdarahan pada bilik mata
depan meningkat atau 2) bila terdapat lapisan darah kemerahan pada darah
yang lebih kecoklatan pada BMD dan 3) Sebaran eritrosit di atas gumpalan
darah. Pada total hifema yang biasanya terlihat berwarna merah kegelapan,
biasanya akan terlihat warna merah cerah pada bagian perifer. Rebleeding
dapat meningkatkan ukuran volume hifema yang pada akhirnya akan terkait
dengan terjadinya komplikasi lain seperti peningkatan terkanan intraokular,
corneal bloodstaining, atrofi optik, dan sinekia anterior perifer. Rebleeding
biasanya terjadi pada 2 hingga 7 hari pasca terjadinya trauma dan mengarah
pada prognosis yang lebih buruk.
Pasien dengan kondisi medis seperti gangguan darah seperti hemofilia
dan penyakit von Willebrand, serta penyakit sickle cell memiliki risiko tinggi
terjadinya rebleeding. Penggunaan obat-obatan antiplatelet seperti aspirin,
anti inflamasi non steroid, serta antiplatelet lainnya dapat meningkatkan
terjadinya rebleeding sehingga beberapa peneliti merekomendasikan untuk
menghindari penggunaan obat-obatan tersebut.
3. Atrofi Optik
Atrofi optik terjadi sekunder pada kontusio optik maupun glaukoma
sekunder. Risiko terjadinya atrofi optik meningkat dengan peningkatan
tekanan intraokular (TIO) >50mmHg selama >5hari atau TIO>35mmHg
selama >7hari.
4. Corneal Blood Staining
Insidensi corneal blood staining meningkat seiring dengan tingginya
derajat hifema, rebleeding, retraksi gumpalan darah, dan peningkatan TIO.
Read dan Goldberg menyatakan bahwa pasien dengan TIO >25mmHg
selama lebih dari 6 hari meningkatkan risiko terjadinya corneal blood
staining. Apabila volume hifema tidak berkurang sebanyak 50% hingga hari
ke-6, tindakan operatif biasanya diperlukan untuk mencegah komplikasi.
Darah yang terdapat pada COA memproduksi protoporphyrin yang
merupakan komponen fototoksik. Dekompensasi dan degenerasi sel endotel
merupakan tahapan awal pada patogenesis corneal bloodstaining.
Fotosensitisasi endotelium oleh porphyrin dengan adanya cahaya juga dapat
mengganggu fungsi endotel, sehingga eye patch pada hifema dapat
mengurangi risiko terjadinya corneal bloodstaining.
Corneal blood staining biasanya bermula pada pewarnaan kuning pada
sentral stroma dan menyebar ke perifer. Blood staining menghilang secara
sentripetal dalam waktu beberapa bulan hingga 3 tahun. Corneal blood
staining dapat menyebabkan kerusakan penglihatan permanen dan ambliopia
pada anak-anak.
5. Peripheral Anterior Synechiae
Hifema yang menetap lebih dari 1 minggu dapat menyebabkan
terbentuknya sinekia anterior perifer. Insidensi sinekia anterior meningkat
apabila volume semakin banyak dan durasi hifema lebih dari 8 hari.
Terbentuknya sinekia merupakan akibat dari inflamasi dan pembentukan
gumpalan darah.
Tindakan rawat inap dan bedrest ketat diutamakan pada pasien dengan
hifema berat, dengan penyakit sickle cell, pasien yang kurang kooperatif,
anak-anak, dan pasien yang berisiko terjadinya rebleeding dengan kondisi
medis tertentu. Elevasi kepala bertujuan untuk menumpuk darah di bagian
inferior sehingga mendukung terjadinya rehabilitasi visual dan mencegah
terbentuknya gumpalan darah pada aksis pupil.
2. Penutup Mata
5. Antifibrinolitik
6. Kortikosteroid
9. Tindakan Operatif
2. Identifikasi dan tatalaksana Semua pasien dengan hifema Pemeriksaan mata lengkap (kecuali gonioskopi dan
cedera serta kondisi terkait depresi sklera) bila memungkinkan
Ekografi, CT-scan, MRI apabila diperlukan
Pemeriksaan hemoglobin sickle pada seluruh pasien
Amerika-Afrika dan pemeriksaan koagulasi serta
kehamilan pada beberapa pasien
3. Terapi suportif Semua pasien dengan hifema
Elevasi kepala 30 derajat
Eye patching
Mengurangi aktivitas