Anda di halaman 1dari 16

A.

Pendahuluan

Hifema didefinisikan sebagai akumulasi sel darah merah pada anterior


chamber pada mata. Menurut definisi, darah harus terlihat jelas (grossly visible),
baik pada inspeksi langsung atau melalui pemeriksaan slit-lamp. Darah
terakumulasi dari gangguan pada pembuluh iris atau badan silia, biasanya karena
trauma atau kondisi medis lain yang mendasarinya. Hifema dapat terjadi setelah
trauma tumpul maupun tajam, setelah operasi intraokular, dapat terjadi spontan
karena kondisi seperti rubeosis iridis, xanthogranuloma juvenil, iris melanoma,
keratouveitis, leukia, hemofilia, penyakin von Willebrand, dan terkait
penggunaan obat-obatan yang mengganggu fungsi platelet atau thrombin
(ethanol, aspirin, warfarin).

B. Etiologi

Trauma tumpul adalah penyebab paling umum, meskipun trauma tembus


dan hifema yang terjadi secara spontan juga dapat terjadi. Kondisi medis tertentu
juga dapat membuat pasien berisiko terkena hifema diantaranya adalah
leukemia, hemofilia, penyakit von Willebrand, penyakit sickle cell anemia, dan
penggunaan obat antikoagulan. Neovaskularisasi mata, yang sering dikaitkan
dengan diabetes mellitus, juga dapat berisiko. Pada pasien pasca operasi mata
juga dapat terjadi hifema.

C. Epidemiologi

Insidensi hifema traumatis yaitu 12 dari 100.000, 70% terjadi pada anak-
anak. Paling sering terjadi pada pria berusia 10 hingga 20 tahun dan biasanya
terjadi karena cedera olahraga. Anak-anak biasanya cedera melalui olahraga
yang berhubungan dengan bola. Remaja dan orang dewasa lebih cenderung
terluka melalui pukulan berenergi tinggi pada mata. Etiologi lain termasuk
senjata paintball, senjata airsoft, dan airbag yang mengembang.
D. Patofisiologi

Perdarahan intraokular dapat disebabkan oleh laserasi atau ruptur pada


lapisan bola mata, namun kebanyakan hifema traumatik terjadi karena trauma
tumpul pada bola mata. Saat kekuatan dari trauma tumpul mengenai bola mata
bagian anterior, terjadi peningkatan tekanan mendadak pada bilik mata depan
(BMD), peregangan pada jaringan limbus, pergerakan humor aqueous posterior
dan perifer, serta berpindahnya iris dan lensa sehingga terjadilah robekan pada
badan siliar atau iris, yang sering terjadi pada area sudut bola mata.

Robekan pada bagian anterior dan badan siliar (disebut juga trauma resesi
pada sudut bola mata) merupakan sumber perdarahan yang paling sering terjadi
pada hifema. Cedera pada lokasi ini menyebabkan rupturnya sirkulus arteriosus
major iris, cabang corpus siliaris, arteri koroidal rekuren, atau vena yang terdapat
di antara korpus siliaris dan pleksus venosus episklera.

Traumatik siklodialisis juga merupakan salah satu penyebab hifema. Serat


longitudinal muskulus siliaris terpisah dari sklera sehingga terbentuk celah pada
rongga suprasiliar. Iridodialisis (disinsersi radiks iris) dan robekan stroma atau
sfinkter iris dapat menyebabkan hifema walaupun sangat jarang terjadi karena
hanya menyebabkan sedikit atau tanpa perdarahan.

Trauma penetrasi menghasilkan cedera langsung pada iris. Hifema spontan


sering mengenai pasien dengan kondisi medis yang memiliki predisposisi untuk
terjadi iskemia, neovaskularisasi atau kelainan pembuluh darah. Pasien-pasien
ini biasanya akan mengalami kebocoran pembuluh spontan. Pasien dalam
kondisi tersebut diantarnya adalah pasien dengan diabetes, tumor mata,
gangguan pembekuan, sickle cell anemia, dan mereka yang menggunakan
antikoagulan.

Penyerapan darah pada hifema dimulai dari bilik anterior menuju anyaman
trabekular, jaringan jukstakanalikular, atau kanal Schlemm. Iris juga dapat
menjadi salah satu tempat absorbsi darah melalui mekanisme fibrinolisin yang
melepaskan eritrosit dari gumpalan fibrin sehingga sel darah merah dapat keluar
melalui anyaman trabekular.

E. Klasifikasi

Klasifikisasi hifema
terdiri atas beberapa
variabel yang bermanfaat
dalam evaluasi derajat
keparahan, prognosis,
dan manajemen hifema
itu sendiri. Klasifikasi
hifema yang paling
penting adalah
berdasarkan jumlah
darah pada bilik mata
depan oleh Edwards and
Layden, terbagi menjadi
4 derajat. Derajat 0 atau
mikrohifema apabila
ditemukan sel darah
merah pada pemeriksaan slit lamp, Derajat 1 apabila darah memenuhi <1/3
volume BMD, derajat 2 bila volume darah berkisar 1/3 hingga ½ BMD, derajat
3 bila darah melebihi setengah volume BMD dan derajat 4 atau disebut juga
eight ball hyphema bilamana darah memenuhi seluruh volume BMD. Selain itu,
hifema juga diklasifikasikan berdasarkan etiologi, asal anatomisnya, tipe, durasi,
karakteristik, serta kondisi klinis pasien. Klasifikasi tersebut dirangkum pada
tabel di bawah ini.

Tabel 1. Klasifikasi hifema


Etiologi Kontusio
Laserasi atau ruptur
Asal perdarahan Sfingter atau stroma iris
Radiks iris (iridodialisis)
Fasia korpus siliaris (resesi sudut bola mata)
Disinsersi korpus siliaris (siklodialisis)
Anomali vaskular atau neovaskularisasi
Perdarahan vitreous
Tipe Primer
Sekunder (rebleeding)
Kontinu
Durasi Akut (1-7 hari)
Subakut (7-14 hari)
Kronis (>14 hari)
Klinis pasien Normal
Gangguan pembekuan
Hemoglobinopati sickle

F. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Pasien dengan hifema harus ditanyakan dan dicatat mengenai waktu, lokasi,
mekanisme terjadinya cedera, penggunaan kacamata, cedera terkait, dan saksi
yang melihat kejadian tersebut. Dokter harus menimbang apakah ada kondisi
medis terkait yang dapat menyebabkan hifema seperti sickle cell disease,
gangguan hati atau ginjal, kehamilan, gangguan perdarahan, riwayat penyakit
mata, dan penggunaan obat-obatan.

Pemeriksaan mata lengkap untuk evaluasi harus dilakukan, kecuali


pemeriksaan yang dapat menimbulkan rebleeding seperti gonioskopi dan depresi
sklera.

Tahapan yang terpenting adalah mengevaluasi potensi terjadinya open


globe atau penetrating eye injury. Jika disebabkan oleh trauma, pasien harus
dievaluasi kemungkinan terjadinya orbital compartement syndrome. Tanda-
tanda orbital compartement syndrome diantaranya proptosis, penurunan visus,
gangguan pupil aferen relatif. Setelah open globe dan sindrom kompartemen
orbital disingkirkan, evaluasi menyeluruh dapat dilakukan. Dokter harus
memeriksa kelopak mata, bulu mata, lakrimal, dan kornea. Mengevaluasi
respons pupil langsung dan konsensual. Ketajaman visual, lapang pandang, dan
otot ekstra okuler semua harus dievaluasi. Temuan khas dalam mekanisme
terjadinya hifema yaitu termasuk penurunan ketajaman visual, fotofobia,
anisokoria, dan temuan visual darah di ruang anterior.

Pemeriksaan utama adalah visus, tekanan bola mata, dan slit lamp untuk
mendeskripsikan hifema lebih jelas dan melihat apakah ada corneal blood
staining. CT scan atau MRI dapat digunakan apabila didapatkan kecurigaan
adanya benda asing, fraktur, maupun trauma nervus optikus.

G. Komplikasi
1. Meningkatnya Tekanan Intra Okular (TIO)
Setidaknya sepertiga pasien dengan hifema mengalami peningkatan
tekanan intraokular (TIO). Peningkatan TIO akut dapat terjadi oleh karena
oklusi anyaman trabekular oleh gumpalan, sel inflamasi, maupun debris
eritrosit serta blokade pupil sekunder karena gumpalan darah pada bilik mata
anterior dan posterior. Rebleeding juga dapat terjadi oleh karena peningkatan
TIO. Apabila pada hifema total / derajat IV didapatkan tekanan bola mata
yang normal maupun rendah, dokter harus curiga terjadinya ruptur bola
mata.
Glaukoma dengan onset yang lama dapat terjadi beberapa hari hingga
tahun sejak cedera pertama kali terjadi karena kerusakan, siderosis, dan
fibrosis pada anyaman trabekular serta terbentuknya sinekira anterior perifer
yang menyebabkan glaukoma sudut tertutup sekunder.
2. Perdarahan Sekunder / Rebleeding
Rebleeding terjadi oleh karena lisis pada gumpalan darah dan retraksi.
Rebleeding dapat diketahui apabila: 1) volume perdarahan pada bilik mata
depan meningkat atau 2) bila terdapat lapisan darah kemerahan pada darah
yang lebih kecoklatan pada BMD dan 3) Sebaran eritrosit di atas gumpalan
darah. Pada total hifema yang biasanya terlihat berwarna merah kegelapan,
biasanya akan terlihat warna merah cerah pada bagian perifer. Rebleeding
dapat meningkatkan ukuran volume hifema yang pada akhirnya akan terkait
dengan terjadinya komplikasi lain seperti peningkatan terkanan intraokular,
corneal bloodstaining, atrofi optik, dan sinekia anterior perifer. Rebleeding
biasanya terjadi pada 2 hingga 7 hari pasca terjadinya trauma dan mengarah
pada prognosis yang lebih buruk.
Pasien dengan kondisi medis seperti gangguan darah seperti hemofilia
dan penyakit von Willebrand, serta penyakit sickle cell memiliki risiko tinggi
terjadinya rebleeding. Penggunaan obat-obatan antiplatelet seperti aspirin,
anti inflamasi non steroid, serta antiplatelet lainnya dapat meningkatkan
terjadinya rebleeding sehingga beberapa peneliti merekomendasikan untuk
menghindari penggunaan obat-obatan tersebut.
3. Atrofi Optik
Atrofi optik terjadi sekunder pada kontusio optik maupun glaukoma
sekunder. Risiko terjadinya atrofi optik meningkat dengan peningkatan
tekanan intraokular (TIO) >50mmHg selama >5hari atau TIO>35mmHg
selama >7hari.
4. Corneal Blood Staining
Insidensi corneal blood staining meningkat seiring dengan tingginya
derajat hifema, rebleeding, retraksi gumpalan darah, dan peningkatan TIO.
Read dan Goldberg menyatakan bahwa pasien dengan TIO >25mmHg
selama lebih dari 6 hari meningkatkan risiko terjadinya corneal blood
staining. Apabila volume hifema tidak berkurang sebanyak 50% hingga hari
ke-6, tindakan operatif biasanya diperlukan untuk mencegah komplikasi.
Darah yang terdapat pada COA memproduksi protoporphyrin yang
merupakan komponen fototoksik. Dekompensasi dan degenerasi sel endotel
merupakan tahapan awal pada patogenesis corneal bloodstaining.
Fotosensitisasi endotelium oleh porphyrin dengan adanya cahaya juga dapat
mengganggu fungsi endotel, sehingga eye patch pada hifema dapat
mengurangi risiko terjadinya corneal bloodstaining.
Corneal blood staining biasanya bermula pada pewarnaan kuning pada
sentral stroma dan menyebar ke perifer. Blood staining menghilang secara
sentripetal dalam waktu beberapa bulan hingga 3 tahun. Corneal blood
staining dapat menyebabkan kerusakan penglihatan permanen dan ambliopia
pada anak-anak.
5. Peripheral Anterior Synechiae
Hifema yang menetap lebih dari 1 minggu dapat menyebabkan
terbentuknya sinekia anterior perifer. Insidensi sinekia anterior meningkat
apabila volume semakin banyak dan durasi hifema lebih dari 8 hari.
Terbentuknya sinekia merupakan akibat dari inflamasi dan pembentukan
gumpalan darah.

H. Manajemen dan Tatalaksana


Tujuan utama dari tatalaksana hifema adalah mempercepat absorpsi darah dan
mencegah terjadinya komplikasi di atas. Tatalaksananya dapat berupa tindakan
medikasi hingga operatif. Berikut adalah beberapa manajemen dari hifema:
1. Bed Rest

Beberapa peneliti menyebutkan bahwa bed rest pada hifema dapat


menurunkan risiko terjadinya rebleeding, namun beberapa studi tidak
mendukung hal yang sama dan tidak terdapat hasil yang signifikan
dibandingkan dengan pasien yang tidak bedrest.

Tindakan rawat inap dan bedrest ketat diutamakan pada pasien dengan
hifema berat, dengan penyakit sickle cell, pasien yang kurang kooperatif,
anak-anak, dan pasien yang berisiko terjadinya rebleeding dengan kondisi
medis tertentu. Elevasi kepala bertujuan untuk menumpuk darah di bagian
inferior sehingga mendukung terjadinya rehabilitasi visual dan mencegah
terbentuknya gumpalan darah pada aksis pupil.

2. Penutup Mata

Dahulu penutup mata direkomendasikan pada pasien hingga hifema


meresap dengan sempurna. Penutup mata dipercaya dapat meningkatkan
kenyamanan pasien dan imobilisasi untuk mempercepat penyembuhan abrasi
kornea, bila terdapat abrasi. Pasien dengan hifema yang lama dan terpapar
sinar matahari terkena risiko untuk terjadi disfungsi endotel dan corneal
bloodstaining.

3. Antikoagulan dan Antiplatelet

Antikoagulan seperti warfarin, heparin dan antiplatelet seperti aspirin,


clopidogrel tidak menunjukkan peningkatan risiko perdarahan spontan dalam
operasi intraokular. Akan tetapi, dalam manajemen hifema, obat-obatan ini
nampaknya memiliki risiko terjadinya rebleeding dan hifema yang persisten.

4. Midriatik dan siklopegik

Penggunaan obat-obatan siklopegik seperti atropine topikal menurunkan


risiko terjadinya sinekia posterior dan memberikan kenyamanan bagi pasien
dengan iritis. Obat siklopegik juga secara teori memberikan keuntungan
dengan menurunkan risiko terjadinya rebleeding dengan imobilisasi jaringan
iris ataupun korpus siliaris, meningkatkan aliran uveo-sklera dan mencegah
terjadinya pembentukan sinekia posterior. Rekomendasi penggunaan
siklopegik saat ini adalah obat tetes mata atropin sulfat tiga kali sehari selama
dua minggu dan mengurangi dosis pemakaian selama keadaan siklopegia
tercapai.

5. Antifibrinolitik

Obat-obat antifibrinolitik seperti asam transheksamat dan asam


aminokaproat terbukti secara signifikan mengurangi rebleeding setelah
traumatik hifema. Asam aminokaproat, analog lisin, secara kompetitif
menginaktifasi plasmin sehingga mencegah lisis gumpalan darah dengan
menstabilkan permukaan antara gumpalan darah dan dinding pembuluh
darah.

Asam aminokaproat sistemik dan topikal memiliki efektivitas yang sama


dalam menurunkan insidensi rebleeding. Peneliti merekomendasikan
penggunaan asam aminokaproat sistemik dengan dosis 50mg/kgBB selama
lima hari dengan dosis maksimum 30g/hari atau topikal 1 tetes setiap 4 jam
pada mata yang terkait selama 5 hari. Asam aminokaproat topikal lebih aman
digunakan karena tidak terdapapt efek sistemik seperti mual, muntah, dan
hipotensi. Asam aminokaproat dikontraindikasikan pada pasien yang hamil
(efek teratogen), disfungsi ginjal maupun hepar, dan pasien dengan risiko
tinggi thromboemboli.

6. Kortikosteroid

Kortikosteroid topikal berguna untuk mencegah terjadinya rebleeding.


Obat tersebut dapat menstabilkan sawar darah-okular, sehingga mengurangi
influks plasminogen ke bilik anterior. Aktivitas antiinflamasi steroid
mengurangi pembentukan sinekia posterior. Penggunaan topikal steroid
direkomendasikan sebagai tatalaksana hifema, namun tidak untuk
penggunaan jangka panjang karena dapat menyebabkan glaukoma sekunder.
7. Anti-glaukoma

Peningkatan tekanan intraokuler (lebih dari 24 mmHg) dapat dikontrol


dengan beta-blocker topikal dan penghambat karbonik anhidrase.
Acetazolamide menurunkan pH plasma sehingga mempromosikan
pembentukan sel sabi sehingga methazolamide lebih dipilih pada pasien
dengan anemia sel sabit karena memiliki efek asidosis metabolik yang lebih
rendah dibandingkan penggunaan acetazolamide. Peningkatan TIO yang
tidak terkontrol dan berat (lebih dari 35mmHg) mungkin membutuhkan obat
sistemik tambahan seperti mannitol IV 1-1,5g/kgBB selama 45 menit dua kali
sehari.

8. Aspirin dan AINS

Penggunaan aspirin dan AINS meningkatkan risiko terjadinya rebleeding


karena efek antiplateletnya. Pasien dengan hifema seharusnya dihentikan
penggunaan obat-obatan dengan aspirin dan AINS.

9. Tindakan Operatif

Tindakan operatif diindikasikan bila terdapat tekanan intraokular yang


meningkat, corneal blood staining, dan hifema derajat tinggi. Read dan
Goldberg membuat kriteria empiris bagi pasien hifema untuk dilakukan
tindakan operatif:

- TIO >60mmHg selama 2 hari (mencegah terjadinya atrofi optik)


- TIO >24mmHg pada 24 jam pertama dan pada pemeriksaan
berikutnya meningkat lebih dari 30mmHg
- TIO >25mmHg dengan hifema total selama 5 hari (mencegah
terjadinya corneal bloodstaining)
- Mikroskopik corneal bloodstaining
- Hifema tidak berkurang sebanyak 50% volume bilik mata depan
dalam delapan hari (untuk mencegah terjadinya sinekia anterior
perifer)
I. Prognosis Visual
Hifema yang lebih berat berhubungan dengan prognosis visual yang lebih
buruk. Semakin tinggi derajat hifema, semakin besar pula kemungkinan untuk
terjadi komplikasi seperti corneal blood staining, rebleeding, glaukoma sekunder
sehingga pada akhirnya mengganggu fungsi penglihatan seutuhnya. Hifema
yang lebih ringan derajatnya biasanya akan sembuh dengan sendirinya dalam 4
hingga 5 hari. Beberapa faktor risiko terkait prognosis visual yang buruk adalah
derajat hifema, visus awal, penyebab, dan onset terjadinya cedera. Kemungkinan
kembalinya visus ke 20/50 atau lebih baik pada hifema derajat I adalah 75-90%,
65-70% pada hifema derajat II, 25-50% pada hifema derajat III dan IV.
Manajemen Rasionalisasi Terapi
1. Anamnesis lengkap Semua pasien dengan hifema  Okular: ambliopia, penyakit pada kornea, glaukoma
 Penyakit sistemik (penyakit sickle cell, blood dyscrasia,
gangguan trombotik, kehamilan, gangguan ginjal)
 Obat-obatan (warfarin, aspirin, AINS)
 Detail terjadinya cedera

2. Identifikasi dan tatalaksana Semua pasien dengan hifema  Pemeriksaan mata lengkap (kecuali gonioskopi dan
cedera serta kondisi terkait depresi sklera) bila memungkinkan
 Ekografi, CT-scan, MRI apabila diperlukan
 Pemeriksaan hemoglobin sickle pada seluruh pasien
Amerika-Afrika dan pemeriksaan koagulasi serta
kehamilan pada beberapa pasien
3. Terapi suportif Semua pasien dengan hifema
 Elevasi kepala 30 derajat
 Eye patching
 Mengurangi aktivitas

4. Rawat inap  Hifema derajat III-IV


 Peningkatan tekanan intraokular
(TIO)
 Pasien yang tidak kooperatif
 Kecurigaan kekerasan
 Usia tua
 Memerlukan pemeriksaan lebih
lanjut
5. Terapi obat-obatan
a. Topikal siklopegik Meningkatkan kenyamanan pasien  Atropin 1% 1 tetes setiap hari 3x sehari hingga lima hari
dan evaluasi segmen posterior
b. Topikal kortikosteroid Mencegah rebleeding, mengurangi  Dexamethasone 0,1% 1 tetes pada hari ke-4 dan ke-5
iritis
c. Kortikosteroid sistemik Mencegah rebleeding, mengurangi  Prednisone 40mg PO dosis terbagi pada orang dewasa,
iritis 0,6mg/kgBB PO dosis terbagi pada anak-anak
d. Antifibrinolitik topikal Mencegah rebleeding  Asam aminocaproat (ACA) 1 tetes setiap 4 jam selama 5
hari
e. Antifibrinolitik sistemik Mencegah rebleeding  Asam aminocaproat (ACA) 50mg/kgBB dosis maksimal
30g/hari selama 5 hari
f. Beta bloker topikal Mengurangi tekanan intraokular  0,25%-0,5% timolol 1 tetes, sehari 2x
(TIO)
g. Karbonik anhydrase Mengurangi tekanan intraokular
 Acetazolamide 20mg/kgBB/hari pada 4 dosis terbagi pada
inhibitor (TIO) TIO >22mmHG pada dewasa
 Methazolamide 10mg/kgBB/hari pada 4 dosis terbagi
pada TIO>22mmHG pada pasien pediatri
h. Pemeriksaan dengan slit Pasien rawat inap
 Cek visus, TIO, kejernihan kornea, dan tinggi hifema
lamp setiap hari bila
memungkinkan
6. Pertimbangan rawat jalan
 Tidak ada trauma okular lain
 Hifema <1/2 volume BMD
 Tekanan intraokular normal
 Tidak ada blood dyscrasia
 Lingkungan rumah aman
 Pasien dapat mengurangi aktivitas
 Pasien patuh minum obat
7. Pertimbangan tindakan  Terdapat corneal blood staining
operatif  Risiko terjadinya corneal blood staining (total hifema
selama 4 hari atau hifema derajat III-IV dengan TIO
>25mmHg selama >6hari)
 Risiko terjadinya sinekia (hifema derajat III-IV selama
>8hari)
 Risiko terjadinya atrofi optik / CRAO (central retinal
artery occlusion) bila:
- TIO >25mmHg selama >24jam dengan penyakit
sickle cell
- Peningkatan TIO >30mmHg
- TIO >60mmHg selama 2 hari
- TIO >50mmHg selama >4hari
1. Brandt M, Haug R. Traumatic hyphema: A comprehensive review. Journal
of Oral and Maxillofacial Surgery. 2001;59(12):1462-1470.
2. Bansal S, Gunasekeran D, Ang B, Lee J, Khandelwal R, Sullivan P et al.
Controversies in the pathophysiology and management of hyphema. Survey
of Ophthalmology. 2016;61(3):297-308.
3. Walton W, Von Hagen S, Grigorian R, Zarbin M. Management of Traumatic
Hyphema. Survey of Ophthalmology. 2002;47(4):297-334.
4. Wilson F. Traumatic Hyphema. Ophthalmology. 1980;87(9):910-919.
5. Simanjuntak GW, Farinthska G, M Simanjuntak GA, Artini W, Natali R.
Risk factors for poor visual outcome in traumatic hyphema: Jakarta eye
trauma study. Niger J Clin Pract 2018;21:921-4.
6. Sankar P, Chen T, Grosskreutz C, Pasquale L. Traumatic Hyphema.
International Ophthalmology Clinics. 2002;42(3):57-68.
7. Harlan J, Pieramici D. Evaluation of patients with ocular trauma.
Ophthalmology Clinics of North America. 2002;15(2):153-161.
8. Brandt MT, Haug RH. Traumatic hyphema: a comprehensive review. J.
Oral Maxillofac. Surg. 2001. [PubMed: 11732035]
9. Kennedy RH, Brubaker RF. Traumatic hyphema in a defined population.
Am. J. Ophthalmol. 1988.[PubMed: 3400754]
10. Sankar PS, Chen TC, Grosskreutz CL, Pasquale LR. Traumatic hyphema.
Int Ophthalmol Clin. 2002. [PubMed: 12131583]
11. Walton W, Von Hagen S, Grigorian R, Zarbin M. Management of traumatic
hyphema. Surv Ophthalmol. 2002. [PubMed: 12161209]
12. Gharaibeh A, Savage HI, Scherer RW, Goldberg MF, Lindsley K. Medical
interventions for traumatic hyphema. Cochrane Database Syst Rev.2003.
[PubMed: 24302299]
13. Wilker SC, Singh A, Ellis FJ. Recurrent bleeding following traumatic
hyphema due to mild hemophilia B (Christmas disease). J AAPOS. 2007.
[PubMed: 17720569]
14. Farber MD, Fiscella R, Goldberg MF. Aminocaproic acid versus prednisone
for the treatment of traumatic hyphema. A randomized clinical trial.
Ophthalmology. 1991.[PubMed: 2023746]
15. Shiuey Y, Lucarelli MJ. Traumatic hyphema: outcomes of outpatient
management. Ophthalmology. 1998. [PubMed: 9593386]
16. Miller KN, Collins CL, Chounthirath T, Smith GA. Pediatric Sports- and
Recreation-Related Eye Injuries Treated in US Emergency Departments.
Pediatrics. 2018. [PubMed: 29311358]
17. Pieramici DJ. Sports-Related Eye Injuries. JAMA. 2017. [PubMed:
29279910]
18. Arey ML, Mootha VV, Whittemore AR, Chason DP, Blomquist PH.
Computed tomography in the diagnosis of occult open-globe injuries.
Ophthalmology. 2007. [PubMed: 17678689]
19. Lai JC, Fekrat S, Barrón Y, Goldberg MF. Traumatic hyphema in children:
risk factors for complications. Arch. Ophthalmol. 2001. [PubMed:
11146728]
20. Nasrullah A, Kerr NC. Sickle cell trait as a risk factor for secondary
hemorrhage in children with traumatic hyphema. Am. J. Ophthalmol. 1997.
[PubMed: 9535622]
21. Little BC, Aylward GW. The medical management of traumatic hyphaema:
a survey of opinion among ophthalmologists in the UK. J R Soc Med. 1993
[PubMed: 8078043]
22. Read J. Traumatic hyphema: surgical vs medical management. Ann
Ophthalmol. 1975. [PubMed: 1137285]
23. Deutsch TA, Weinreb RN, Goldberg MF. Indications for surgical
management of hyphema in patients with sickle cell trait. Arch. Ophthalmol.
1984 .[PubMed: 6704013]

Anda mungkin juga menyukai