Korupsi Dalam Film Indonesia
Korupsi Dalam Film Indonesia
Rhafidilla Vebrynda
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Jl. Lingkar Selatan, Kasihan, Bantul, Yogyakarta 55183
Email: dillareswa@yahoo.com
Abstract: Corruption has been rooted and institutionalized in our smallest environment. The
campaign to fight corruption comes from various organizations through numerous varieties of
means. This study looks at the Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) campaign through a film
entitled “Kita Versus Korupsi”. This study uses narrative analysis by looking at the elements of
narrative, narrative structure, the analysis model of aktan and the Greimas’ semiotic square. It is
found that the film narrates corruption as trouble and resistor. The various forms of corruption are
narrated using the combination of techniques scene, dialogue and flashback.
Abstrak: Korupsi sudah mengakar dan melembaga hingga lingkungan terkecil kita. Kampanye untuk
melawannya datang dari berbagai pihak melalui beragam sarana. Penelitian ini melihat kampanye
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui film “Kita Versus Korupsi”. Menggunakan metode
analisis naratif dengan melihat unsur naratif, struktur naratif, analisis model aktan dan oposisi
segi empat Algirdas Greimas, penelitian ini menemukan bahwa korupsi dinarasikan sebagai
gangguan dan penghambat. Film tersebut selalu menghadapkan pelaku korupsi dengan pihak
yang tidak korupsi secara langsung. Latar belakang pengetahuan tokoh utama tentang korupsi
berpengaruh dalam pengambilan keputusannya. Berbagai bentuk korupsi dinarasikan dengan
teknik penggabungan scene, dialog dan flashback.
Korupsi sudah menjadi masalah yang tidak Latin Corruptio atau Corruptus, bahasa
asing lagi bagi seluruh negara di dunia, Inggris dan Prancis menyebut Corruption,
tak terkecuali Indonesia. Tindak korupsi dan dalam bahasa Belanda Corrupti.
sudah mengakar dan melembaga sampai Menurut Andi Hamzah, dari bahasa Belanda,
ke lingkungan terkecil sekalipun. Pejabat Corrupti, ini lah istilah tersebut turun ke
pemerintah, pegawai swasta, hingga tukang bahasa Indonesia menjadi “korupsi” (Irfan,
parkir pun pernah melakukan korupsi. Tak 2011, h. 33). Ada beberapa definisi umum
heran bila masyarakat internasional me- lain mengenai korupsi, yakni:
nempatkan Indonesia sebagai salah satu …esensi korupsi sebagai pencurian melalui
penipuan dalam situasi mengkhianati
negara terkorup di dunia (Napitupulu, kepercayaan. Korupsi merupakan perwujudan
2010, h. 5). immoral dari dorongan untuk memperoleh
sesuatu dengan metode penipuan dan pencurian.
Istilah “korupsi” berasal dari bahasa …istilah korupsi secara umum sebagai
tindakan gelap dan tidak sah (illicit or illegal
151
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI VOLUME 11, NOMOR 2, Desember 2014: 151-164
152
Rhafidilla Vebrynda. Korupsi dalam Film...
Management System International (MSI) dan individu yang kemudian akan membentuk
sineas perfilman Indonesia, KPK membuat karakter bangsa (Mabruri, 2013, h. 3).
sebuah film berjudul “Kita Versus Korupsi”. Beberapa pengertian di atas menuntun
Film tersebut dibuat dalam rangka kampanye kita untuk mengambil simpulan bahwa
menumbuhkan budaya anti korupsi dan sudah film memiliki pengaruh besar bagi audiens
diputar di tujuh belas kota di Indonesia. yang menyaksikannya. Oleh karena itu,
Film tersebut menarik antusiasme yang menjadikan film sebagai media kampanye
tinggi dalam beberapa kali pemutarannya. atau persuasi bagi masyarakat merupakan
Pada 28 Februari 2012, di Djakarta Theater, suatu cara yang tepat di masa sekarang ini.
film ini dipuji oleh wakil presiden Budiono: Namun perhatian lebih perlu kita arahkan
“Sangat mengena. Realistis. Semua bagian pada proses produksi atau pesan yang
film ini bagus. Saya ucapkan selamat untuk ingin disampaikan film tersebu. Pertanyaan
para pembuat filmnya,” (E-newsletter TI- yang berpotensi muncul seperti “Apakah
Indonesia, 2012, h. 4). pesannya dapat benar-benar sampai kepada
Selain itu, Wakil Ketua KPK masyarakat?” dan “Apakah semua yang
menyebutkan bahwa film “Kita Versus diinginkan pembuat film bisa juga dipahami
Korupsi” yang diputar di 17 kota berhasil secara utuh dan benar oleh audiensnya?”.
menyedot hampir 800 ribu penonton KPK menjadikan film “Kita Versus
(RIS/AF, 2013). KPK yang bekerjasama Korupsi” sebagai media kampanye
dengan berbagai pihak melakukan proses dalam upayanya memberantas korupsi
produksi pesan melalui sebuah film dengan di Indonesia. Sama seperti film lainnya,
target audiens seluruh lapisan masyarakat film ini diharapkan dapat memengaruhi
Indonesia dan bermaksud memberikan dan mengubah cara pandang masyarakat
pengetahuan atau ingin mengubah kognisi tentang korupsi. Film ini mengandung
audiens film tersebut mengenai korupsi. nilai-nilai yang ingin ditanamkan ke benak
Film diartikan sebagai lakon (cerita) audiens dan representasi berbagai bentuk
gambar hidup. Lakon berarti bahwa korupsi agar audiens dapat bersama-sama
film tersebut merepresentasikan sebuah menangkap pesan yang ingin disampaikan
cerita dari tokoh tertentu secara utuh dan pembuat film.
terstruktur (Mabruri, 2013, h. 2). Film Film “Kita Versus Korupsi” merupakan
diartikan juga sebagai pranata sosial dan sebuah film omnibus. Film yang berdurasi 1
media komunikasi massa. Hal ini berarti jam 10 menit 52 detik itu terdiri dari empat
bahwa film mempunyai fungsi memengaruhi film pendek dengan sutradara, pemain,
orang. Pengaruh yang muncul, baik negatif dan cerita berbeda. Keempat film pendek
maupun positif, bergantung dari pengalaman tersebut adalah “Rumah Perkara” dengan
dan pengetahuan masing-masing individu. sutradara Emil Heradi, “Aku Padamu”
Secara umum, film adalah media komunikasi dengan sutradara Lasja F. Susatyo,
yang mampu memengaruhi cara pandang “Selamat Siang Risa” dengan sutradara Ine
153
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI VOLUME 11, NOMOR 2, Desember 2014: 151-164
154
Rhafidilla Vebrynda. Korupsi dalam Film...
155
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI VOLUME 11, NOMOR 2, Desember 2014: 151-164
156
Rhafidilla Vebrynda. Korupsi dalam Film...
Pertama, dalam hal struktur narasi, tiga korupsi adalah bukan pemeran utama dalam
dari empat film tersebut menyatakan korupsi film. Selain itu, film kedua ini menggunakan
di babak ketiga (film “Rumah Perkara”, pendekatan kisah cinta dan tidak fokus pada
“Selamat Siang Risa”, dan “Psssttt… Jangan masalah korupsi yang dihadapi pemeran
Bilang Siapa-siapa”) yang merupakan babak utama. Kasus korupsi dalam film kedua
sadar akan adanya gangguan. Pada kasus hanya merupakan flashback kehidupan
film di mana pemeran utamanya melakukan tokoh utama, sedangkan porsi terbanyak
tindakan korupsi (“Rumah Perkara”), dalam film diambil oleh kisah Vano dan
munculnya gangguan yang berupa indikasi Laras yang hendak menikah.
korupsi dilanjutkan ke babak keempat dengan Meskipun diposisikan dalam babak
melakukan tindakan korupsi. Pemeran utama yang berbeda, tindakan korupsi selalu
dalam film pertama menganggap bahwa diikuti dan diawali oleh penyebab dan
melakukan tindakan korupsi merupakan akibat yang ditimbulkan. Pengetahuan
upaya mengembalikan ke keadaan semula, tokoh utama mengenai tindakan korupsi
meskipun pada akhirnya dia menyesal telah akan menjadi acuan bagi tindakannya
melakukan tindakan tersebut. dalam memutuskan akan melakukan
Sedangkan pada kasus pemeran utama tindakan korupsi atau tidak. Hal ini secara
tidak melakukan tindakan korupsi (“Selamat tidak langsung menyiratkan bahwa tokoh
Siang Risa” dan “Psssttt… Jangan Bilang utama dalam film yang dihadapkan pada
Siapa-siapa”), tindakan korupsi yang ada kondisi korupsi sebenarnya menyadari
pada babak ketiga merupakan lanjutan dari tindakan yang dilakukannya tersebut.
indikasi yang terlihat pada babak kedua Kedua, dalam hal unsur narasi.
dalam film. Ini menunjukkan pemeran Pada film pertama, korupsi dinarasikan
utama menganggap korupsi sebagai sebuah di dalam plot film “Rumah Perkara”.
gangguan dan gangguan semakin besar yang Korupsi tersebut dilakukan oleh Yatna
muncul pada babak ketiga harus dihilangkan yakni dengan cara menyalahgunakan
dengan melakukan cara-cara tertentu pada kekuasaannya sebagai lurah. Yatna yang
babak keempat, misalnya, pada “Selamat seharusnya melindungi warganya malah
Siang Risa” dengan meyakinkan dirinya atas menyetujui dan menandatangani proyek
tindakan ayahnya dan pada “Psssttt… Jangan yang diminta oleh Jaya. Karena Yatna
Bilang Siapa-siapa” dengan mengaku kalau terdesak dan merasa punya hutang dengan
menggunakan cara yang tidak benar untuk Jaya, maka Yatna melakukan pemaksaan
memperoleh keinginannya. juga kepada Ella (pemaksaan dengan
Berbeda dengan film kedua, “Aku menggunakan wewenang yang merugikan
Padamu”, yang hanya menempatkan orang yang berhak juga dikatakan
tindakan korupsi di babak keempat, yakni korupsi, sesuai dengan UU No. 31 tahun
babak upaya mengatasi gangguan. Itupun 1999 jo UU 20 tahun 2001). Pemaksaan
terjadi karena pihak yang hendak melakukan kepada Ella yang berhak terhadap tanah
157
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI VOLUME 11, NOMOR 2, Desember 2014: 151-164
dan rumahnya, dilakukan Yatna untuk pelaku tindak pidana korupsi. Korupsi yang
memenuhi keinginan Jaya, sang pengusaha terjadi masih digambarkan sebagai bentuk
yang ingin memperkaya diri. Pada film penyalahgunaan kekuasaan oleh orang
pertama, korupsi dinarasikan sebagai dengan kekuasaan yang lebih besar, dalam
penyalahgunaan kekuasaan oleh seorang hal ini guru, kepala sekolah dan atasan, yang
lurah. dapat memaksa orang lain untuk melakukan
Pada film kedua, korupsi dinarasikan tindakan memperkaya diri dan rekayasa
dengan penyalahgunaan kekuasaan yang terhadap anggaran. Pada film keempat ini juga
dilakukan ayah Laras, kepala dinas yang dinarasikan bahwa korupsi merupakan hal
menerima suap untuk menerbitkan Surat biasa dan sudah tidak asing lagi, bahkan pihak
Keputusan (SK) menjadi guru tetap (pegawai yang tidak melakukan tindakan korupsi pun
negeri). Narasi korupsi ditempatkan dalam dianggap aneh oleh orang yang melakukan
cerita di film kedua ini. Sedangkan indikasi korupsi.
korupsi ditempatkan di dalam plot yaitu Berdasarkan keempat film tersebut
saat Vano hendak memberikan sejumlah dapat disimpulkan bahwa narasi korupsi
uang sebagai bentuk suap kepada calo yang yang ditampilkan dalam film “Kita
memang sudah biasa melakukan tindakan Versus Korupsi” adalah penyalahgunaan
korupsi. Pada film kedua, penyalahgunaan kekuasaan oleh penyelenggara negara,
kekuasaan masih menjadi narasi korupsi misalnya lurah, kepala dinas dan petugas
yang sama, ditambah dengan adanya calo di KUA yang menjadi calo, serta dalam sebuah
lingkungan Kantor Urusan Agama (KUA). instansi, yakni kepala sekolah, guru, siswa,
Pada film ketiga, korupsi memang tidak dan seorang pengusaha yang memberikan
dilakukan oleh pemeran utama, melainkan hadiah kepada pejabat yang berwenang.
dilakukan oleh orang lain. Di dalam plot Durasi dalam keempat film tersebut
maupun cerita yang ditampilkan melalui teks, menunjukkan struktur yang sama, yaitu
kedua-duanya tidak menerima uang suap. cerita yang lebih lama dibandingkan
Korupsi dalam film ketiga ini dinarasikan plot serta durasi teks yang lebih singkat.
sebagai pemberian hadiah untuk melakukan Sebagaimana dalam pendahuluan yang
atau tidak melakukan hal yang menjadi menyatakan ada bagian yang ditekankan
wewenang seorang pemilik kekuasaan, ada dan tidak ada, durasi teks menggunakan
meskipun dengan melakukan tindakan teknik penggabungan scene, flashback dan
melawan hukum dan memperkaya diri dan dialog cerita untuk menekankan bagian
orang lain. yang ada di dalam film. Di dalam film “Kita
Pada film keempat, korupsi dinarasikan Versus Korupsi”, durasi teks yang tidak
sebagai kegiatan yang melembaga. Tidak lebih dari dua puluh menit dianggap sudah
hanya dilakukan oleh seorang saja, namun mampu mewakili tindakan korupsi serta
mulai dari siswa, guru, kepala sekolah bahkan mampu menjadikan film ini sebagai media
ibu dan ayah siswa juga dinarasikan sebagai kampanye antikorupsi.
158
Rhafidilla Vebrynda. Korupsi dalam Film...
Ketiga, melalui analisis model aktan, korupsi, film terakhir juga menarasikan
tiga dari empat film menarasikan pelaku pelaku korupsi sebagai penghalang.
korupsi sebagai penghalang akan tujuan Keempat, pada analisis dengan model
subjek, kecuali film pertama yang menjadikan oposisi segi empat, keempat film menyatakan
pelaku korupsi sebagai subjek, meskipun pelaku korupsi dinarasikan dalam posisi
dukungan untuk melakukan korupsi juga VII, yaitu korupsi+tidak berintegritas.
dilakukannya bersama penghalang. Pada film Pada keempat film tersebut, pelaku korupsi
pertama, subjek juga menginginkan kebaikan, melakukan penyalahgunaan kekuasaan
namun posisi yang terdesak oleh penghalang dan mengutamakan ketidakjujuran dalam
menyebabkan ia melakukan korupsi juga. menjalankan amanah yang diembannya.
Pelaku korupsi lebih terlihat dalam Pada keempat film itu juga, narasi korupsi
flashback, dialog atau cerita dalam tiap yang menyatakan bahwa ketika seorang
teks. Sedangkan dalam plot, pelaku korupsi melakukan korupsi yang terstruktur, maka
ditempatkan sebagai penghambat dan integritasnya juga dipertaruhkan.
relasinya hampir sama, yaitu menghalangi Sedangkan kebalikannya, pada posisi
subjek untuk mencapai keinginannya. Di VIII, yakni berintegritas+tidak korupsi, juga
dalam film, pelaku korupsi dinarasikan selalu ada karakter yang menempati posisi
sebagai penghalang, berarti narasi dalam tersebut dalam film. Hal ini menjelaskan
film ini mengatakan bahwa keadaan yang bahwa sebuah oposisi menjadi cara
normal dan baik sesuai dengan yang menarasikan korupsi. Jika ada tokoh yang
diinginkan objek adalah hal baik yang melakukan korupsi, maka tokoh tersebut
merupakan keadaan tanpa korupsi. akan dilawankan dengan tokoh jujur yang
Melalui latar belakang nilai-nilai yang menolak tindakan korupsi. Pun dalam proses
dibawa subjek pada film kedua, ketiga, interaksinya, di setiap film, secara langsung
dan keempat, pelaku korupsi mampu pelaku korupsi dan pelaku yang tidak mau
dikalahkan oleh subjek. Di dalam hal melakukan korupsi selalu dihadapkan.
ini, penghalang dikatakan juga sebagai Adapun pihak yang berada dalam
pendukung tindakan korupsi. Keempat film posisi III (tidak berintegritas) dan V
tersebut menjadikan penghalang sebagai (tidak berintegritas+tidak korupsi), juga
karakter yang menyebabkan subjek atau ditampilkan dalam film. Beberapa film
tokoh dalam film melakukan tindakan menarasikan seseorang yang terpaksa
korupsi, baik secara langsung maupun melakukan ketidakjujuran, namun tidak
tidak langsung. berniat melakukan tindakan korupsi karena
Di film terakhir, posisi tiap karakter banyak hal, semisal karena desakan atau
tidak terisi penuh karena karakter-karakter memang tidak mengetahui kalau hal
tersebut dimainkan sendiri oleh subjek yang tersebut sudah masuk dalam ranah korupsi,
memang melakukan semuanya sendiri. mengingat di beberapa film, korupsi
Namun, dalam hubungannya dengan narasi dinarasikan sebagai sesuatu yang biasa.
159
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI VOLUME 11, NOMOR 2, Desember 2014: 151-164
160
Rhafidilla Vebrynda. Korupsi dalam Film...
161
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI VOLUME 11, NOMOR 2, Desember 2014: 151-164
dari korupsi juga berusaha dinarasikan. Film dalam interaksinya, pelaku korupsi selalu
ini menempatkan posisinya sesuai dengan dihadapkan dengan pelaku yang tidak mau
kondisi Indonesia pada zamannya atau setting melakukan korupsi. Berdasarkan pengamatan
waktu film. peneliti pada beberapa film Indonesia, oposisi
Mengingat film ini merupakan media atau kebalikan antara sifat baik dan jahat atau
kampanye antikorupsi, maka banyak nilai- hitam dan putih sebagai penggambaran tokoh
nilai kejujuran yang berusaha ditanamkan. memang menjadi sesuatu yang sudah umum
Meskipun pada akhirnya penonton diberi di dalam penarasian sebuah film. Selalu
keleluasaan untuk menyimpulkan dan ada tokoh yang dianggap baik dan jahat,
memutuskan sendiri tindakannya, narasi film disesuaikan dengan kebudayaan masyarakat
tersebut banyak menyajikan bentuk-bentuk setempat.
korupsi, peluang-peluang terjadinya korupsi, Keempat film di atas mengambil latar
nilai-nilai yang ditanamkan melalui tokoh belakang lingkup kecil dan dekat dengan
utamanya dan porsi kekuasaan yang menjadi masyarakat, sehingga perlu diperhatikan
kekuatan tokoh untuk mengambil keputusan kembali tingkat pendidikan antikorupsi yang
akan melakukan atau tidak melakukan korupsi dipahami masing-masing tokoh. Peneliti tidak
dalam hubungannya dengan tokoh lain. dapat menyamaratakan pemahaman masing-
Melalui analisis model aktan, masing tokoh terhadap korupsi, sehingga
terlihat bahwa film “Kita Versus Korupsi” dalam penentuan posisi, peneliti benar-benar
menarasikan pelaku korupsi (orang yang melihat tindakan tokoh dari scene dan dialog
mendorong melakukan korupsi) sebagai yang menunjukkan tingkat pengetahuan tokoh
penghalang terhadap keinginan tokoh utama tentang tindak korupsi yang mereka lakukan.
(subjek) yang baik. Pelaku tindakan korupsi, Melalui analisis naratif kita dapat
dalam hubungannya dengan karakter lain, mengetahui bagaimana pengetahuan, makna,
memberikan contoh buruk dan dinarasikan dan nilai diproduksi dan disebarkan dalam
tidak sesuai dengan keinginan subjek. masyarakat. Pada penelitian ini, pengetahuan
Keempat, melihat fenomena korupsi dan makna yang dibangun mengenai korupsi
dengan menggunakan analisis oposisi disesuaikan dengan keadaan mayoritas
segi empat. Tokoh pelaku korupsi yang masyarakat Indonesia sekarang, yakni
ditampilkan dalam film selalu berada di posisi menganggap korupsi itu sebagai sebuah
VII, yakni korupsi+tidak berintegritas dan kejahatan yang biasa dan wajar (Hafidhudin,
selalu dihadapkan dengan posisi VIII, yakni dalam Semma, 2008, h. 33).
berintegritas dan tidak korupsi. Tokoh-tokoh Di dalam film “Kita Versus Korupsi”,
lain yang terlibat dimasukkan dalam posisi V, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
yakni tidak berintegritas+tidak korupsi dan yang selalu mengampanyekan antikorupsi
posisi III, yakni tidak berintegritas. Sedangkan dengan jargon “Berani Jujur Hebat” banyak
posisi lain tidak dijelaskan dalam teks. menanamkan dan menyebarkan nilai-nilai
Di setiap film, secara langsung, kejujuran kepada masyarakat. Film tersebut
162
Rhafidilla Vebrynda. Korupsi dalam Film...
diproduksi dengan pesan bahwa kejujuran melakukan korupsi- adalah mereka yang
juga bisa membuat kita hidup layak dan lebih cenderung memiliki tingkat ekonomi lebih
tenang. Film ini, melalui narasinya, juga rendah, tidak memiliki kuasa, serta tidak
menegaskan kepada audiens agar tidak malu memiliki kekuatan untuk melawan dan
ketika berbuat jujur, sekalipun hal tersebut melaporkan tindak korupsi yang terjadi.
berbeda dari kewajaran banyak orang karena Kalaupun menolak, mereka tetap tak berdaya
nantinya kita sendiri pula yang memperoleh menghadapi situasi yang terjadi.
manfaat dari kejujuran tersebut. Jika dikaitkan dengan fungsi lain naratif,
Melalui narasinya, film ini juga men- yakni memungkinkan kita menyelidiki hal
jelaskan bahwa ketidakjujuran sangat dekat yang laten dan tersembunyi dalam teks media,
dengan tindakan korupsi. Selain itu, korupsi serta merefleksikan kontinuitas dan per-
yang dilakukan di ranah pejabat pemerintahan, ubahan komunikasi, peneliti dapat menarik
institusi atau pemilik kekuasaan sangat rentan simpulan bahwa dengan setting waktu yang
terjadi. Padahal, korupsi akan mengurangi berbeda, sejak tahun 1970-an hingga 2000-
kewibawaan serta menghilangkan integritas an, pandangan mengenai korupsi semakin
pelaku korupsi itu sendiri serta berpotensi berkembang. Film tahun 2000-an cenderung
menimbulkan berbagai masalah lainnya. menampilkan korupsi, tindakan suap, dan
Melalui penelitian naratif, kita dapat ketidakjujuran sebagai sebuah kewajaran.
terbantu untuk memahami bagaimana dunia Sedangkan film tahun 1970-an justru meng-
sosial dan politik diceritakan dari perspektif anggap korupsi dan ketidakjujuran sebagai
tertentu dan hal tersebut dapat membantu sesuatu yang memalukan, harus ditutupi, dan
kita mengetahui kekuatan dan nilai sosial sebisa mungkin dihindari. Dilihat dari aspek
yang dominan dalam masyarakat. Hasil setting lokasi, semakin mendekati daerah
penelitian narasi korupsi dalam film “Kita pedesaan, korupsi dan ketidakjujuran semakin
Versus Korupsi” ini memperlihatkan bahwa dianggap sebagai tindakan tercela. Sedangkan
korupsi di Indonesia dianggap sebagai suatu di kota perbuatan seperti itu semakin dianggap
masalah, gangguan, dan perbuatan keliru. sebagai sesuatu yang wajar dan biasa saja.
Meskipun dua dari empat film menyatakan
bahwa korupsi dapat menyelesaikan konflik SIMPULAN
yang dihadapi tokoh utama, pada akhirnya Film menjadi salah satu medium baru
kedua film tersebut kembali memperlihatkan upaya kampanye. KPK menggunakan
bahwa korupsi merupakan perbuatan yang film “Kita Versus Korupsi” sebagai sarana
seharusnya tidak dilakukan. kampanye antikorupsi. Melalui analisis
Kejujuran menjadi nilai dominan yang struktur narasinya, film ini menarasikan
harus dilakukan oleh orang yang baik (tokoh korupsi sebagai gangguan dan babak sebelum
utama) untuk terlepas dari belenggu tindak atau sesudahnya merupakan penyebab dan
korupsi. Film tersebut selalu menyatakan akibat dari tindakan korupsi yang dilakukan.
bahwa orang-orang baik --yang tidak mau Pada analisis unsur narasi, film ini menarasikan
163
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI VOLUME 11, NOMOR 2, Desember 2014: 151-164
korupsi sebagai tindakan yang akan dan menganalisisnya dengan kajian lain, seperti
tidak akan dilakukan seseorang berdasarkan analisis wacana ataupun analisis isi. Fokus
latar belakang pengetahuan dan pengalaman penelitian dapat pula diperluas, tidak hanya
mengenai korupsi yang dimilikinya. Melalui terbatas pada teks filmnya, namun dapat pula
analisis model aktan, pelaku korupsi atau menggunakan analisis khalayak untuk melihat
orang yang mengajak melakukan korupsi respons atau pengaruh yang disampaikan film
dianggap sebagai penghambat dalam sebuah “Kita Versus Korupsi” ini.
plot di suatu teks film. Sedangkan melalui
analisis oposisi segi empat, pelaku korupsi DAFTAR RUJUKAN
dinarasikan berada dalam posisi VII yakni E-newsletter TI-Indonesia. (2012). 8(1), 4. <www.
korupsi+tidak berintegritas. Tokoh yang ti.or.id/ media/documents/2013/01/07/e/-/e-
tidak melakukan korupsi berada dalam posisi newsletter_edisi_1_feburari_2012.pdf>
Eriyanto. (2013). Analisis naratif. Jakarta, Indonesia:
VIII, berintegritas+tidak korupsi. Film ini
Kencana.
selalu menempatkan orang yang melakukan
Fulton, H. (2005). Narrative and media. New York,
tindakan korupsi dan orang yang menentang
NY: Cambridge University Press.
tindakan korupsi berhadapan secara langsung.
RIF/AF. (2013). KPK gelar festival film anti korupsi.
Penelitian ini menjelaskan pula <http://m.beritasatu.com/nasional/140322-kpk-
kecenderungan yang terjadi di masyarakat gelar-festival-film-anti-korupsi.html>
dalam menghadapi korupsi. Semakin modern Irfan, N. (2011). Korupsi dalam hukum pidana Islam.
Jakarta, Indonesia: Amzah.
dan berorientasi kota suatu masyarakat,
Mabruri, A. (2013). Manajemen produksi program
semakin mereka menganggap tindakan suap,
acara TV: Format acara drama. Jakarta,
korupsi dan ketidakjujuran sebagai tindakan
Indonesia: Grasindo.
yang wajar. Sebaliknya, semakin kuno dan
Maheka, A. (2006). Mengenali memberantas korupsi.
berorientasi desa suatu masyarakat, semakin Jakarta, Indonesia: KPK.
mereka menganggap korupsi sebagai hal tabu Napitupulu, D. (2010). KPK in Action. Jakarta,
yang harus dihindari. Analisis naratif ini juga Indonesia: Raih Asa Sukses.
menunjukkan bahwa korupsi di kalangan Semma, M. (2008). Negara dan korupsi. Jakarta,
pejabat pemerintahan sangat rentan terjadi. Indonesia: Yayasan Obor Indonesia.
Orang yang semakin kuat dan berkuasa lebih Zulkifli, A. (2013). KPK tak lekang. Jakarta, Indonesia:
Kepustakaan Populer Gramedia.
cenderung melakukan tindakan korupsi.
Film ini juga menunjukkan bahwa terjadi
pembiaran atau ketiadaan perlawanan dari
masyarakat ketika mengetahui korupsi terjadi
dan sudah mengakar seperti sekarang ini.
Penelitian selanjutnya diharapkan dapat
melihat fenomena ini secara mendetail.
Tidak hanya menggunakan analisis model
yang telah disebut di atas, namun dapat pula
164