Anda di halaman 1dari 97

Inti Permasalahan Akuntansi Pajak

dari Tahun 1983 hingga Kini


e-Training | 26 Ags 2020 | Zoominar
Dr. Prianto Budi Saptono, Ak., CA., MBA
2

 Nama lengkap : Dr. Prianto Budi Saptono, Ak., CA., MBA


 Nama panggilan : Prianto atau Prie
 Tempat, tgl lahir : Purwokerto, 8 September 1971
 Keluarga : 1 istri, 6 anak, 2 menantu, 2 cucu
 Pendidikan : D4 STAN (1999) - S2 UGM (2012) - S3 FISIP UI (2020)
 Pekerjaan : • Pernah bekerja di Ditjen Pajak - pemeriksa fungsional di Karikpa Jakarta Enam (1994 – 1999)
• Pernah bekerja sebagai auditor/konsultan di KAP Kanaka Puradiredja & Rekan (1999-2004)
• Pendiri/pemilik PT Pratama Indomitra Konsultan dengan 100 pegawai (2010 – skrg)
• Pengajar S1 Fak. Ilmu Administrasi UI (Sep 2014 – skrg)
• Pengajar S2 Magister Administrasi Institut STIAMI (mulai 2020)
 Organisasi : • Ketua Bidang Kompartemen Akuntan Pajak Ikatan Akuntan Indonesia Wilayah Jakarta
• Ketua Bid. Penelitian & Pengembangan IKPI (Ikatan Konsultan Pajak Indonesia) Pusat
• Anggota Komite Perpajakan IAPI (Institut Akuntan Publik Indonesia)

Biodata Narasumber
e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center
3

1. Basis pemajakan: Penghasilan vs. Konsumsi


2. Pemajakan berbasis Penghasilan (Konsep Penghasilan,
Mekanisme Pemajakan)
3. Sistem Pembukuan Pajak (One-book system, Two-book
system, & Three-book system
4. Akuntansi Pajak (Pengertian, Awal perkembangan,
Periode pemajakan dan periode akuntansi) Agenda
5. Akuntansi Keuangan sebagai Basis Akuntansi Pajak
(Perkembangan Akuntansi Keuangan. Entity Theory &
Pembahasan
Corporate Tax, Decision-Usefulness Theory)
6. Perkembangan akuntansi pajak di Indonesia (Dasar
Pengaturan, Tujuan, Konsep Dasar dan Prinsip,
Perkembangan Paradigma Pengakuan dan/atau
Pengukuran)

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


4

 Akuntansi pajak menjadi salah satu sumber tax dispute


yang terjadi di dalam praktik saat ini.
 Dari sisi perpajakan, akuntansi pajak tidak terlepas dari
basis pemajakan yang mengacu pada penghasilan
perusahaan (corporate tax).
 Dari sisi ilmu akuntansi, istilah akuntansi yang berasal
Ringkasan dari akar kata “to account” (mempertanggungjawabkan)
muncul ketika di dalam bisnis ada pemisahan antara
Pembahasan pengelola (manajemen) dan pemilik modal (investor).
Berdasarkan kondisi demikian, timbul teori entitas.
 Investor menyetorkan modalnya untuk dikelola oleh
manajemen sehingga manajemen harus
mempertangungjawabkan kinerjanya kepada pemilik
modal.
e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center
5

 Kinerja perusahaan berasal dari laporan laba rugi yang


disusun untuk setiap periode akuntansi dan terdiri dari
penghasilan minus biaya
 Konsep periode akuntansi timbul karena sifat
pemerolehan penghasilan terjadi terus menerus (going
concern) sehingga harus ada “cut-off” yang dilakukan
untuk setiap periode.
Ringkasan
 Pilihan kebijakan atas pemajakan berbasis penghasilan
Pembahasan korporat adalah apakah pemajakan tersebut mengacu
pada laporan laba rugi yang disusun berdasarkan
akuntansi keuangan atau terpisah.
 Secara umum, corporate tax mengacu pada laporan laba
rugi perusahaan yang disajikan untuk investor, yang
terdiri dari (1) debt investor dan (2) equity investor.
e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center
6

 Karena tujuan pelaporan keuangan dan pelaporan pajak


berbeda, pengaturan akuntansi pajak dimungkinkan
berbeda dari pengaturan akuntansi keuangan.
 Perbedaan tujuan financial reporting yang disusun
berdasarkan akuntansi keuangan dan tax reporting yang
disusun berdasarkan akuntansi pajak tersebut
Ringkasan memunculkan Book-Tax Difference (BTD).

Pembahasan  Para ahli menganggap bahwa BTD ini merupakan akibat


dari beberapa perilaku, yaitu:
1) financial reporting abuses (Plesko, 2004, hal. 178);
2) konservatisme di dalam penentuan laba kena pajak
(Heltzer, 2006, hal. v);
3) earnings management (Tang T. Y., 2006, hal. 1, 30;
Lee, Vetter, & Williams, 2015, hal. 55);

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


7

4) tax management (Tang T. Y., 2006, hal. 1, 30);


5) tax avoidance (Tang T. Y., 2014, hal. 25; Fadilah &
Wijayanti, 2017);
6) tax planning (Wahab & Holland, 2014, hal. 4);
7) tax sheltering (Lee, Vetter, & Williams, 2015, hal. 55); dan
8) aggressive tax planning (Martinez, Souza, & Monte-Mor,
2016, hal. 177).
Ringkasan  Menurut Formigoni dkk (2009, hal. 44-45), BTD tidak
Pembahasan selamanya ditimbulkan oleh perilaku-perilaku oportunistik.
 BTD yang disebabkan oleh perilaku oportunistik tersebut
dinamakan Abnormal BTD (ABTD)
 BTD yang disebabkan oleh perbedaan antara standar
akuntansi dan peraturan pajak disebut sebagai Normal
BTD (NBTD).

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


8

Basis Pemajakan:
Penghasilan vs. Konsumsi
Agenda 1

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


9

 Menurut Musgrave & Musgrave (1989, hal. 224), penghasilan


(income) telah diterima secara luas sebagai ukuran ability to pay.
 Berdasarkan ukuran penghasilan ini, muncul istilah “income-based
tax”. Akan tetapi, setelah itu telah muncul dukungan untuk
menjadikan konsumsi sebagai pilihan utama untuk mengukur
ability to pay.
 Berdasarkan ukuran konsumsi ini, muncul istilah “expenditure-
Basis based tax” atau “consumption tax”. Baik pendukung income-based
tax maupun expenditure-based tax sepakat bahwa dasar
Pemajakan pengukuran masing-masing harus didefinisikan secara
komprehensif.
 Menurut Bankman & Weisbach (2007, hal. 791), kedua basis
pemajakan di atas menjadi “the two leading tax bases” dan
reformasi dunia nyata akan mengarahkan sistem perpajakan ke
salah satu dari dua basis pengukuran tersebut.

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


10

 Pertanyaan tentang apakah sistem pajak seharusnya


dibangun berdasarkan basis pengukuran pendapatan
atau basis konsumsi telah menjadi masalah utama di
dalam kebijakan pajak selama bertahun-tahun.
 Kedua basis pengukuran pajak tersebut masing-masing
memiliki beberapa fitur menarik.
 Kebanyakan ahli percaya bahwa pajak berbasis
Basis konsumsi akan lebih mudah diterapkan dan lebih
Pemajakan unggul.
 Pendukung pajak berbasis penghasilan umumnya
memiliki keyakinan bahwa pajak penghasilan lebih
adil atau (tidak sering diperdebatkan) lebih efisien
dari pajak konsumsi (Bankman & Weisbach, 2007,
hal. 791).

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


11

 Beberapa analis mengatakan bahwa penghasilan


memiliki indikator yang lebih baik tentang konsep
ability to pay karena semua penghasilan
merepresentasikan kemampuan untuk melakukan
konsumsi dan untuk menabung.
 Apakah penghasilan itu dipakai untuk konsumsi atau
Basis ditabung tidak menjadi persoalan karena semua
Pemajakan penghasilan pada dasarnya dapat dipakai untuk
konsumsi.
 Jadi, ukuran yang dipakai adalah kemampuan untuk
melakukan konsumsi, bukan konsumsinya itu sendiri
(The Congress of the US, 1983, hal. 114-115).

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


12

 Sebagian analis lainnya mengatakan bahwa pajak konsumsi


lebih adil —sesuai konsep ability to pay— dari pajak
penghasilan. Pertimbangan mereka adalah tidak adil jika
tabungan dipajaki dua kali, yaitu saat diperoleh penghasilan
dan saat tabungan tersebut menghasilkan bunga.
 Pajak konsumsi tidak dikenakan atas imbal hasil dari tabungan
tersebut (The Congress of the US, 1983, hal. 115-116).
Basis
 Pechman (1980) secara khusus merangkum perdebatan para
Pemajakan ahli tentang apa yang harus dipajaki: penghasilan atau
pengeluaran. Perdebatan mana yang lebih unggul antara pajak
berbasis penghasilan dan pajak berbasis konsumsi, seperti
diuraikan di atas, sudah berlangsung sejak lama dan masih
berlangsung hingga kini.

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


13

Basis
Pemajakan

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


(Holmes, 2001, The Concept of Income: A Multi-disciplinary Analysis, p. 51)
14

Pemajakan berbasis
Penghasilan
Agenda 2

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


15

 Untuk menerapkan pajak atas penghasilan atau


membebaskan jenis penghasilan tertentu dari pengenaan
pajak, perlu lebih dulu didefinisikan apa itu penghasilan.
 Penerapan definisi penghasilan ini menjadi salah satu
hambatan terbesar di dalam mencapai konsensus di
dalam pembuatan dan penerapan kebijakan pajak.
Konsep  Orang awam mungkin berpikir bahwa “penghasilan” dapat
dengan mudah didefinisikan.
Penghasilan
 Penghasilan dapat meliputi kebanyakan gaji yang dibawa
pegawai ke rumahnya dan setiap bunga atau dividen
yang dia peroleh. Akan tetapi, para akademisi melihat
bahwa jenis-jenis penerimaan tersebut menjadi
permulaan tentang apa itu penghasilan (McMillan, 2010,
hal. 463).
e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center
16

 Definisi penghasilan mungkin menjadi paling relevan di


dalam dunia nyata untuk menghitung kewajiban
berdasarkan ketentuan PPh (McMillan, 2010, hal. 464).
 Penghasilan berbeda dari konsep kekayaan atau
“wealth”, yang secara mendasar mengukur sejauh mana
gambaran finansial seseorang (hal. 464).
Konsep  Konsep penghasilan berkaitan dengan suatu perhitungan
untuk suatu periode waktu, biasanya dalam satu tahun
Penghasilan pajak, dan meliputi setiap satu sen uang yang diperoleh
Wajib Pajak (hal. 464).
 Penghasilan biasanya didefinisikan di dalam undang-
undang. Penerimaan tertentu dianggap sebagai
penghasilan, sedangkan penerimaan lainnya tidak
tercakup (hal. 464).
e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center
17

 Secara teoritis, konsep penghasilan telah menjadi perdebatan


panjang di antara para akademisi dan peneliti.
 Definisi penghasilan yang ada di UU PPh (UU No. 36 Tahun 2008)
tidak terlepas dari landasan konseptual tentang penghasilan.
 Secara konseptual, formulasi penghasilan pertama kali
dikembangkan oleh Henry C. Simon (Personal Income Taxation:
The Definition of Income as A Problem of Fiscal Policy, 1938) pada
Konsep tahun 1938.
Penghasilan  Definisi Simons tersebut berdasarkan definisi yang dibuat oleh
Robert Murray Haig (The Federal Income Tax, 1921) dan George
von Shantz.
 Definisi penghasilan dari Haig dan Simon tersebut biasa dikenal
dengan istilah definisi penghasilan menurut Haig-Simon (Thuronyi,
1990, hal. 45-46; McMillan, 2010; King, 1995) atau S-H-S Concept
of Income

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


18

 Definisi penghasilan Haig-Simon secara komprehensif


dirumuskan sbb.: “...income for a given period is the sum
of a taxpayer’s change in real wealth and her
consumption during this period” (McMillan, 2010, hal.
465).
 Perumusan definisi tersebut dapat dibuat persamaan
Konsep aljabarnya menjadi terlihat di gambar pada slide di
Penghasilan halaman berikut.
 Simons (1938, hal. 50) sendiri mengatakan bahwa
penghasilan tersebut merupakan “...the result obtained by
adding consumption during the period to "wealth" at the
end of the period and then subtracting "wealth" at the
beginning”.

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


19

 Definisi penghasilan Haig-Simon secara komprehensif


dirumuskan sbb.: “...income for a given period is the sum
of a taxpayer’s change in real wealth and her
consumption during this period” (McMillan, 2010, hal.
465).
 Perumusan definisi tersebut dapat dibuat persamaan
Konsep aljabarnya menjadi terlihat di gambar pada slide di
Penghasilan halaman berikut.
 Simons (1938, hal. 50) sendiri mengatakan bahwa
penghasilan tersebut merupakan “...the result obtained by
adding consumption during the period to "wealth" at the
end of the period and then subtracting "wealth" at the
beginning”.

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


20

Sumber: (McMillan, 2010, hal. 465)

Konsep Penghasilan

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


21

 Secara konseptual, di banyak negara, definisi legal tentang


penghasilan berasal dari dua struktur definisi (Avi-Yonah, Sartori, &
Marian, 2011, hal. 17; Ault & Arnold, 2010, hal. 197), yaitu:
 global system, atau
 schedular system
 Global taxation system:
 Pajak dikenakan atas seluruh penghasilan hanya dengan
Mekanisme menggunakan satu tarif (Ault & Arnold, 2010, hal. 197).
 Semua penghasilan, dengan nama dan dalam bentuk apapun
Pemajakan serta dari manapun sumbernya, dimasukkan ke dalam satu
kelompok penghasilan. Di dalam hal ini, diperkenankan
pengurang penghasilan tanpa dilihat tipe penghasilan yang
terkait dengan pengurang tersebut (hal. 197).
 Secara ringkas, penghasilan dan pengurang penghasilan
digabungkan untuk mendapatkan penghasilan kena pajak
yang menjadi dasar pengenaan PPh (hal. 197).

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


22

 Schedular system,
 Tarif pajak dikenakan secara terpisah-pisah
tergantung dari kebijakan pajak suatu negara.
 Tarif pajak pada umumnya dikenakan
berdasarkan sistem withholding tax dengan
Mekanisme persentase yang berbeda-beda sesuai dengan
Pemajakan pengelompokan penghasilannya.
 Penerapan tarif pajak progresif sesuai dengan
prinsip “ability-to-pay” menjadi sulit untuk
dilakukan pada sistem skedul (Ault & Arnold,
2010, hal. 197).
e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center
23

Sistem Pembukuan
Agenda 3

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


24

 Gordon (1996, p. 1) menyatakan bahwa “tax administration law


covers an enormous number of issues”.
 Salah satu isu yang perlu dibuatkan pengaturannya, menurut
Gordon (1996, p. 9), adalah kewajiban Wajib Pajak
menyelenggarakan pembukuan atau catatan lainnya yang
diperlukan untuk menghitung kewajiban pajaknya.
Sistem  Variasi praktik Wajib Pajak untuk menentukan metode
akuntansi pajak yang tepat terjadi di berbagai negara (Burns &
Pembukuan Krever, 1998, p. 23).
 Di beberapa negara (misalnya Perancis & Jerman), undang-
undang pajak menyerahkan praktik akuntansi pajak tersebut
ditentukan oleh prinsip akuntansi keuangan yang berlaku,
sedangkan negara lainnya (misalnya Australia)
menyerahkannya ke pengadilan (p. 23).

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


25

 Di negara-negara Anglo-Amerika, aturan akuntansi


keuangan biasanya disusun berdasarkan GAAP yang
disiapkan oleh asosiasi profesi akuntansi otonom (p. 24).
 Di negara-negara dengan tradisi civil law system,
pengaturan akunatnsi keuangan ditetapkan oleh undang-
undang akuntansi atau undang-undang perdagangan (p.
25).
Sistem
 Sistem pembukuan yang dikaitkan dengan kebijakan
Pembukuan pajak, khususnya untuk menghitung pajak berbasis
penghasilan, di dalam literatur terbagi menjadi dua, yaitu
one-book system dan two-book system.
 Setelah penerapan IFRS di banyak negara, muncul
sistem pembukuan yang ketiga, “three-book system”.
Ketiga sistem pembukuan tersebut bersifat dinamis.
e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center
26

 Misalnya, karena penerapan IFRS di Uni Eropa, negara-


negara anggota Uni Eropa yang menerapkan “uniform
accounting” mulai mengganti “one-book system” (sistem
satu pembukuan) menjadi “two-book system” (sistem dua
pembukuan).
Sistem  Sistem dua pembukuan tersebut akan memisahkan
Pembukuan akuntansi pajak dan akuntansi keuangan.
 Jerman merupakan satu contoh negara terbesar di Uni
Eropa yang menerapkan “uniform accounting” atau “one-
book system” dan mulai beralih ke “two-book system”
(Schanz & Schanz, 2010, hal. 311-312).

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


27

 Misalnya, karena penerapan IFRS di Uni Eropa, negara-


negara anggota Uni Eropa yang menerapkan “uniform
accounting” mulai mengganti “one-book system” (sistem
satu pembukuan) menjadi “two-book system” (sistem dua
pembukuan).
 Sistem dua pembukuan tersebut akan memisahkan
Sistem akuntansi pajak dan akuntansi keuangan.
Pembukuan  Jerman merupakan satu contoh negara terbesar di Uni
Eropa yang menerapkan “uniform accounting” atau “one-
book system” dan mulai beralih ke “two-book system”
(Schanz & Schanz, 2010, hal. 311-312).
 Contoh negara yang menerapkan “two-book system”
adalah Amerika Serikat (AS).

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


28

Sumber: diadaptasi dari Watrin dkk (Watrin, Ebert, & Thomsen, 2012, hal. 36; 2014, hal. 60)

Sistem Pembukuan
e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center
29

Jenis Laporan Σ Sampel


Kasus Sistem
LK konsolidasian LK Tersendiri Laporan Pajak firm-year
Hubungan kuat dengan LK tersendiri -
1 One-book IFRS IFRS 2.637
“IFRS”
Hubungan lemah dengan LK tersendiri -
2a Two-book IFRS IFRS 395
“Tax GAAP”
Hubungan kuat dengan LK tersendiri -
2b Two-book IFRS Local GAAP 5.629
“Local GAAP”
Hubungan lemah dengan LK tersendiri -
3 Three-book IFRS Local GAAP 9.917
“Tax GAAP”
Sumber: diadaptasi dari Watrin, Ebert, & Thomsen (2012, hal. 37)

Sistem Pembukuan
e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center
30

Akuntansi Pajak
Agenda 4

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


31

 Istilah “akuntansi pajak” merujuk pada aturan pengakuan


dan pengukuran yang diterapkan perusahaan di dalam
menyiapkan SPT, misalnya untuk menentukan
penghasilan kena pajak (taxable profit) dan rugi fiskal (tax
loss) di dalam satu periode pembukuan.
Pengertian  Pengertian tersebut merujuk pada Gielen & Hegarty
Akuntansi Pajak (2007, pp. 1-2), seperti dikutip sbb:
“...tax accounting refers to the recognition and
measurement rules that a company applies in preparing
its tax returns, i.e. in determining the taxable profit (tax
loss) for the period” (Gielen & Hegarty, 2007, pp. 1-2).

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


32

 Definisi di atas mengacu pada kondisi empirik bahwa


perusahaan secara umum membuat catatan akuntansi
berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK).
 Dari catatan akuntansi tersebut, perusahaan menghitung
laba (rugi) akuntansi.

Pengertian  Laba (rugi) akuntansi tersebut dihitung sebelum pajak, —


biasanya disebut “earnings before tax” (EBT), dan
Akuntansi Pajak menjadi ukuran kinerja perusahaan.
 Catatan akuntansi menjadi bagian dari aspek pengakuan
dan pengukuran di dalam akuntansi pajak sesuai dengan
definisi pengukuran menurut SAK.

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


33

 Pengakuan (recognition) didefinisikan di dalam SAK (IAI, 2016a, p.


26) sebagai “proses pembentukan suatu pos di dalam laporan
posisi keuangan atau laporan laba rugi yang memenuhi definisi
unsur serta kriteria pengakuan…”.
 Pos yang memenuhi definisi suatu unsur diakui jika: (a) ada
kemungkinan bahwa manfaat ekonomik masa depan yang
berkaitan dengan pos tersebut akan mengalir ke atau dari entitas;
Pengertian dan (b) pos tersebut mempunyai biaya atau nilai yang dapat diukur
dengan andal.
Akuntansi Pajak  Bentuk pengakuannya dengan menyatakan pos tersebut melalui
kata-kata maupun dalam jumlah moneter dan mencantumkannya
di dalam laporan posisi keuangan atau laporan laba rugi.
 Dari sisi perpajakan, pengakuan mengandung pengertian bahwa
penghasilan dan keuntungan diakui sebagai objek pajak dan
dikenai pajak (Madeo, Anderson, & Jackson, 1994, p. 117)

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


34

 Pengukuran (measurement) didefinisikan di dalam SAK


(IAI, 2016a, p. 29) sebagai “proses penetapan jumlah
moneter ketika unsur-unsur laporan keuangan akan
diakui dan dicatat dalam laporan posisi keuangan dan
laporan laba rugi”.
 Proses di atas mencakup dasar pengukuran tertentu,
Pengertian yang meliputi:
a) biaya historis (historical cost);
Akuntansi Pajak b) biaya kini (current cost);
c) nilai realisasi (realizable/settlement cost);
d) nilai kini (present value).
 Proses pengukuran ini menjadi aspek utama dan aktivitas
yang paling fundamental di dalam proses pelaporan
keuangan (Barth, 2007, p. 7; Singh J. P., 2017, p. 51).

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


35

 Dari perspektif historis, perhitungan penghasilan kena


pajak di AS mulai berlaku ketika Kongres mengesahkan
UU PPh yang pertama di tahun 1913.
 Mulai tahun itu dan sampai dengan awal 1940-an, praktik
akuntansi secara universal (terkecuali untuk utilitas)
Awal dijadikan sebagai dasar untuk menentukan utang pajak.
Perkembangan  Selama periode tersebut, PPh-nya relatif kecil dan distorsi
Akuntansi Pajak dari perbedaan antara laba akuntansi dan laba pajak, jika
ada, tidak signifikan (Crawford, 1946, p. 756; Rayburn,
1986, p. 89; Schroeder, Clark, & Cathey, 2020, p. 415).
 Karena itu, alokasi PPh pada saat itu bukan merupakan
isu besar sampai dengan tahun 1940-an.

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


36

 Akuntansi PPh untuk pertama kalinya menjadi isu signifikan


ketika Internal Revenue Code (IRC) diamandemen selama
Perang Dunia II (PD II) sehingga perusahaan boleh melakukan
penyusutan dipercepat biaya fasilitas emergensi untuk tujuan
pajak (Rayburn, 1986, p. 91; Schroeder, Clark, & Cathey, 2020,
p. 415). Sementara itu, penyusutan akuntansinya berjalan
Awal normal (Rayburn, 1986, p. 91).
 Kebijakan pajak di atas menjadi esensial bagi perusahaan di
Perkembangan AS karena masih terjadi perang (Rayburn, 1986, p. 91;
Akuntansi Pajak Schroeder, Clark, & Cathey, 2020, p. 415) dan saat PD II
(1939-1945) terjadi peningkatan tarif PPh badan dari 19%
menjadi 38% (Schultz & Johnson, 1998, p. 82).
 Kondisi di atas mengakibatkan laba kena pajak turun dan lebih
rendah dari laba akuntansi dan perbedaan antara akuntansi
dan pajak semakin besar.

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


37

 Perdebatan yang muncul dari kondisi di atas adalah apakah PPh


yang terutang dan dibayarkan ke negara tersebut merupakan
beban di laporan laba rugi atau distribusi laba ke pemerintah
(Carey, 1944a, p. 425; 1944b, p. 267; Rayburn, 1986, p. 91).
 Perhatian para akuntan saat itu adalah ketika dikredit utang PPh,
didebit akun apa (Schultz & Johnson, 1998, p. 83).
Awal  Jika pajak dianggap sebagai beban, pendapat ini konsisten
Perkembangan dengan teori kepemilikan (proprietorship theory) karena pajak
dapat diperlakukan seperti pembayaran bunga yang menjadi
Akuntansi Pajak beban operasi perusahaan (p. 83).
 Kalau pajak dianggap sebagai distribusi laba, pendapat ini sejalan
dengan teori entitas (entity theory) yang memosisikan kreditor
dan investor sebagai penyedia dana dan pajak yang dibayarkan
diperlakukan seperti pembayaran bunga kepada kreditor (p. 83).

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


38

 Pada akhirnya, Committee on Accounting Procedure


(CAP) —yang menjadi pendahulu dari Accounting
Principles Board (APB) dan Financial Accounting
Standards Board (FASB) (Schultz & Johnson, 1998) —
menerbitkan ARB No. 23: Accounting for Income Taxes
Awal (American Institute of Accountants, 1944).
Perkembangan  ARB (Accounting Research Bulletin) No. 23 tersebut
Akuntansi Pajak menyimpulkan bahwa PPh merupakan beban yang
disajikan di dalam laporan laba rugi (p. 183).
 Di tahap perkembangan berikutnya, prinsip PPh sebagai
beban tersebut diterima secara luas (Shield, 1957, p. 53;
Schultz & Johnson, 1998, p. 83).

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


39

 Jadi, berdasarkan dua opsi perlakuan PPh di atas, ketika PPh


diperlakukan sebagai distribusi laba ke pemerintah, jumlah PPh
yang dibayarkan setiap tahun buku merupakan porsi laba yang
tidak ditujukan untuk pemilik usaha dan penentuannya
mengacu pada undang-undang yang berlaku. Di dalam konteks
ini, tidak ada konsekuensi perbedaan temporer antara
Awal akuntansi dan pajak.
 Untuk opsi kedua, jika PPh diperlakukan sebagai beban
Perkembangan perusahaan, konsep akuntansi akrual harus diterapkan dan
Akuntansi Pajak dampak perbedaan temporer tersebut harus tercermin di
laporan keuangan.
 Berdasarkan ARB No. 23 di atas, mulai berkembang akuntansi
PPh yang memperlakukan dampak PPh akibat perbedaan
temporer yang muncul dari perbedaan perlakuan akuntansi dan
pajak atau book-tax difference (BTD).

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


40

 Tahun pemajakan ini menjadi satu konsep fundamental untuk


setiap sistem PPh. Alasannya adalah karena penghasilan dan
pengurang penghasilan ditentukan secara periodik setiap tahun
dan dialokasikan sesuai dengan tahun pemajakan.
 Untuk kesederhanaan, periode pemajakan seringkali ditentukan
secara tahunan. Di setiap tahun pajak, kewajiban pajak ditentukan
Periode dan PPh terutang dihitung secara periodik (p. 77).

Pemajakan dan  Periode pemajakan disebut juga sebagai “tax period” (Burns &
Krever, 1998, p. 20) atau “taxable period” (Avi-Yonah, Sartori, &
Periode Akuntansi Marian, 2011, p. 77), yang didefinisikan sebagai “...the periodic
basis on which income tax is imposed” (Avi-Yonah, Sartori, &
Marian, 2011, p. 77).
 Periode akuntansi (accounting period) didefinisikan sebagai “...the
periodic basis on which the profits and expenses of a business are
allocated for accounting and book purposes” (p. 77).

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


41

 Menurut Burns & Krever (1998, p. 23), pengaturan


penggunaan tahun pajak (tax year) perlu dibuat guna
mengukur penghasilan dari aktivitas ekonomi yang
berjalan terus dan berlangsung lebih dari setahun.
 Pengaturan tahun pajak tersebut bertujuan untuk
Periode mengalokasikan penghasilan dan biaya ke tahun pajak
Pemajakan dan tertentu.
Periode Akuntansi  Berdasarkan metode neraca dan metode penerimaan dan
pengeluaran, alokasi penghasilan dan biaya dilakukan
berdasarkan model akrual (accrual model) atau model
kas (cash model) (Burns & Krever, 1998, p. 23; Avi-
Yonah, Sartori, & Marian, 2011, p. 80).

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


42

 Pada umumnya, banyak negara mengadopsi tahun


kalendar sebagai tahun pajak meskipun masing-
masing negara menerapkan pengecualian (Avi-
Yonah, Sartori, & Marian, 2011, p. 77).
Periode  Kebutuhan untuk menyamakan periode pemajakan
Pemajakan dan dengan periode akuntansi akan semakin nyata
Periode Akuntansi ketika penentuan penghasilan kena pajak
tergantung pada laba akuntansi (p. 77).
 Dari uraian di atas, selanjutnya muncul pembahasan
tentang akuntansi pajak.

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


43

Akuntansi Keuangan sebagai


Basis Akuntansi Pajak
Agenda 5

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


44

 Perkembangan teori akuntansi keuangan dapat dianalisis


berdasarkan pendekatan historiografi akuntansi.
 Pendekatan tersebut mengacu pada socio-historical
accounting research, yang menggunakan pendekatan
sosiologi sejarah untuk meneliti peristiwa masa lalu
sesuai teori dan metode yang berasal dari sosiologi dan
Perkembangan ilmu sosial (Napier C. J., 2009, p. 32).
Akuntansi  Salah satu penelitian tentang perkembangan akuntansi
Keuangan keuangan dilakukan Shortridge & Smith (2009, p. 15)
yang membuat perkembangan paradigma akuntansi
berdasarkan pendekatan perkembangan ekonomi dan
para penyedia informasi yang terkait (information
professionals). Pendekatan tersebut dibuat oleh Elliott &
Jacobson (2002).

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


45

Sumber: diadaptasi dari Shortridge & Smith (2009, pp. 12-15)

Periode Ringkasan Penjelasan


Sebelum  Menurut Elliott & Jacobson (2002), yang dirujuk oleh Shortridge & Smith (2009), jika dikaitkan dengan karakteristik
1760 penyedia informasi (information professionals atau information specialists), perkembangan ekonomi terbagi menjadi
empat periode, yaitu: (1) hunting & gathering era dengan dukun (shaman) sebagai penyedia informasinya, (2)
agricultural era dengan juru tulis (scribe) sebagai penyedia informasinya, (3) industrial era dengan akuntan sebagai
penyedia informasinya, dan (4) information era dengan penyedia informasi baru lainnya.
 Sebelum Revolusi Industri tahun 1760, perekonomian berada pada era agrikultur (agricultural economy). Sumber
informasinya berasal dari juru tulis dan karya Pacioli yang menyajikan sistem double-entry bookkeeping lengkap untuk
pertama kalinya di dalam sejarah menjadi bukti dari perkembangan akuntansi di era agrikultur ini (Pin, 1993, hal. 161).
1760-  Periode ini disebut oleh Elliott & Jacobson (2002, pp. 70, 73, 74) sebagai industrial era karena korporasi yang
2002 mendapatkan kucuran dana dari pasar modal mendominasi bentuk bisnis dan akuntan menjadi penyedia informasi
utama.
 Karakteristik akuntansi di era industrial ini adalah historical cost accounting, transaction focused, rules-based, dan
reliability/verifiability.

Perkembangan Akuntansi Keuangan


e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center
46

Periode Ringkasan Penjelasan


2002-skrg  Menurut Elliott & Jacobson (2002, p. 73), tahun 2002 sudah memasuki era informasi yang ditandai oleh pengetahuan
sebagai sumber utama pertumbuhan di banyak negara maju dan jasa memainkan peran besar di dalam
perekonomian yang sudah maju.
 Akuntansi di era informasi yang sudah mengglobal ini mengalami perubahan radikal. Historical cost accounting
bergeser menjadi fair value accounting. Transaction focused bergeser ke economic event focused. Rules-based
approach berubah menjadi primciples-based approach. Reliability/verifiability digantikan oleh faithful representation.

Sumber: diadaptasi dari Shortridge & Smith (2009, pp. 12-15)

Perkembangan Akuntansi Keuangan


e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center
47

Sumber:
diadaptasi dari Shortridge
& Smith (2009, pp. 12-15)

Perkembangan Akuntansi Keuangan


e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center
48

 Perkembangan akuntansi pajak dimulai ketika sudah


muncul teori akuntansi dan teori entitas dan pemerintah
mengenakan pajak atas penghasilan korporasi (corporate
tax).
 Kepentingan yang berbeda antara akuntansi keuangan
Perkembangan dan akuntansi pajak menyebabkan tujuan penyajian
Akuntansi laporan keuangan juga berbeda.
Keuangan  Perkembangan teori akuntansi tidak terlepas dari
perkembangan pajak. Hubungan keduanya sudah terjalin
sejak lama dan tetap akan terjalin di masa mendatang. Di
dalam perkembangan keduanya, akuntansi dan pajak
memiliki hubungan yang dinamis.

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


49

 Perkembangan akuntansi keuangan saat ini menggabungkan


teori normatif berdasarkan decision-usefulness approach dan
pendekatan akuntansi positif yang memunculkan subdisiplin
ilmu behavioral accounting.
 Teori akuntansi normatif didasarkan pada beragam opini
tentang apa yang seharusnya disajikan di dalam laporan
Perkembangan keuangan (Godfrey, Hodgson, Tarca, Hamilton, & Holmes,
Akuntansi 2010, p. 8).
 Secara konseptual, teori normatif dimulai dengan pernyataan
Keuangan ruang lingkup dan tujuan akuntansi, asumsi pendasar, dan
definisi-definisi semua konsep utama (Godfrey, Hodgson,
Tarca, Hamilton, & Holmes, 2010, p. 24).
 Ada juga prinsip-prinsip akuntansi yang akurat dan detil, aturan
dan penjelasan logis hasil keluaran akuntansi (p. 24).

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


50

 Teori akuntansi positif fokus pada “menjelaskan” alasan-alasan


praktik akuntansi yang saat ini terjadi dan “memprediksi” peran
informasi akuntansi dan informasi lainnya yang terkait di dalam
keputusan ekonomi individu, perusahaan, atau pihak-pihak
yang memiliki kontribusi terhadap pasar dan perkembangan
ekonomi (Godfrey, Hodgson, Tarca, Hamilton, & Holmes, 2010,
Perkembangan p. 28).
 Ciri lainnya dari teori akuntansi positif adalah menjelaskan
Akuntansi  bagaimana orang berperilaku;
Keuangan  bagaimana orang berperilaku, misalnya, untuk mencapai
tujuan memaksimalkan nilai perusahaan atau kekayaan
individu; atau
 bagaimana prediksi atas apa yang telah atau akan orang
lakukan. Penjelasan atau prediksi tersebut tidak melihat
apakah tindakan orang tersebut benar atau tidak (p. 28)

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


51

 Ault dkk (2020, p. 444) menyatakan “a basic structural decision in


the design of a corporate tax is the determination of which entities
or organizations should be subject to the tax...”.
 Masing-masing menerapkan hukum undang-undang tentang
organisasi atau perdagangan yang memungkinkan beragam
bentuk organisasi. Untuk entitas bisnis, bentuknya dapat berupa
perseroan terbatas.
Entity Theory &  Menurut Thuronyi dkk (2016, p. 250), hampir semua negara yang
menerapkan PPh secara universal mengenakan pajak atas
Corporate Tax korporasi dengan sebutan corporate tax, tax on profit of legal
person, profit tax, atau hanya PPh Badan.
 Pengenaan pajak atas korporasi dipersamakan dengan
pengenaan pajak atas orang perseorangan (p. 250). Hal demikian
terjadi di negara-negara dengan civil law systems yang biasanya
menempatkan sebuah entitas sebagai subjek pajak perusahaan
karena dianggap sebagai “legal person” (p. 250).

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


52

 Penetapan subjek pajak korporasi ini tidak terlepas dari


kemunculan teori entitas.
 Pemisahan aktivitas bisnis dan pemilik perusahaan pada
akhir abad ke-19 menjadi penekanan dari kemunculan
teori entitas (entity theory) (Hendriksen, 1965, p. 25;
Littleton A. C., 1966, 1988, p. 191).
Entity Theory &  Teori entitas muncul ketika teori propietorship yang
Corporate Tax menjadi satu langkah maju dari pengembangan kerangka
logis teori akuntansi, menurut Hendriksen (1965, p. 25),
tidak lagi memadai untuk korporasi.
 Kemunculan perusahaan-perusahaan besar pada saat itu
menempatkan pemilik sebagai pemegang saham
perusahaan pada posisi yang berbeda.

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


53

 Pembukuan berdasarkan teori entitas ini lebih menekankan


akuntansi untuk pihak luar ("outsiders") dan hal demikian
sangat kontras dengan teori proprietorship, yang lebih
menekankan akuntansi pada pemilik (“proprietor”) (Littleton A.
C., 1966, 1988, p. 191; Hendriksen, 1965).
 Menurut Hendriksen (1965), persamaan dasar akuntansi
Entity Theory & berdasarkan theory of entity menjadi Asset = Equities atau
Asset = Liabilities + Equities, bukan Asset – Liabilities =
Corporate Tax Proprietorship.
 Di dalam hal ini, aset merepresentasikan hak yang diakui oleh
perusahaan atau entitas, sedangkan kreditor berada pada
posisi yang sama dengan pemilik perusahaan, yang sama-
sama memiliki hak terhadap aset perusahaan (Hendriksen,
1965, p. 25).

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


54

 Teori decision-usefulness diinisiasi oleh Staubus (1954) melalui


disertasi doktoralnya (Previts & Flesher, 2015, p. 52). Selanjutnya,
disertasi tersebut diterbitkan dengan judul “A Theory of Accounting
to Investor” (Staubus, 1961).
 Teori decision-usefulness bersifat normatif dan deduktif yang fokus
pada tujuan pelaporan keuangan karena pada dasarnya informasi
laporan keuangan yang disiapkan oleh manajemen adalah untuk
Decision- memberikan informasi bermanfaat di dalam proses pengambilan
Usefulness keputusan.
 Staubus (2004, p. 268) menyatakan bahwa bertanya tentang
Theory tujuan pelaporan keuangan merupakan faktor kunci yang
memungkinkan banyak jawaban diperoleh, khususnya berkaitan
dengan “decision-usefulness objectives”.
 Jawaban yang banyak tersebut mau tak mau mengarah ke
pertanyaan tentang siapa pengguna laporan keuangan dan
kegunaannya apa (p. 269).

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


55

 Jika laporan keuangan difokuskan untuk manajer perusahaan


sebagai pengguna, penyajian laporan keuangannya difokuskan
pada activity costing (p. 269).
 Bila fokus pelaporan keuangan ada pada pengguna eksternal,
para pengguna ini sangat beragam. Ada otoritas pajak, institusi
pemerintah lainnya, pelanggan, pemasok, serikat pekerja,
Decision- pemegang saham, dan/atau kreditor.

Usefulness  Terkait hal di atas, Staubus (1954, p. 18) telah menganalisis


kebutuhan informasi dari berbagai pengguna laporan keuangan
Theory dan kemungkinan respon akuntan selaku penyusun laporan
keuangan terhadap kebutuhan mereka,
 Staubus (1954, p. 18) menyimpulkan bahwa laporan keuangan
yang dipublikasikan oleh perusahaan harus memberikan
informasi yang fokus pada kebutuhan investor jangka pendek
maupun jangka panjang (Staubus, 1977, p. 21).

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


56

 Paradigma fair value yang sekarang diadopsi oleh IFRS


berpangkal tolak dari decision usefulness paradigm yang
diformulasikan di dalam proyek kerangka konseptual
FASB (Hitz, 2007, p. 328).
 Pergeseran ke fair value paradigm tidak hanya dilakukan
oleh FASB, tapi juga oleh IASB.
Decision-  Menurut Hitz (2007, p. 328), salah satu akar masalah
Usefulness yang menjadi titik tolak pergeseran paradigma tersebut
Theory adalah model pelaporan keuangan yang menggunakan
revenue-expense approach sesuai konsep Paton &
Littleton (1940).
 Model tersebut dianggap tidak lagi memadai sehingga
model pelaporannya berubah ke arah pendekatan neraca
atau asset-liability approach (p. 328).
e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center
57

Perkembangan Akuntansi Pajak


di Indonesia
Agenda 6

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


58
A

Akuntansi
B

Akuntansi Pajak (AP)


D

E
(1) (2) (3) (4)

Amandemen III UU PPh


Perpajakan

Amandemen II UU PPh Amandemen IV UU PPh

Konvergensi IFRS
Amandemen I UU PPh
1925

1991

2012
1973

1984

1994

2000

2008

2020
Periodisasi Perkembangan Akuntansi Pajak
e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center
59

 Pilihan kebijakan pajak, yang berkaitan dengan akuntansi pajak


di Indonesia, dilandasi oleh konstitusi sesuai Pasal 23 ayat (2)
UUD 1945 (PPKI, 1945) dan Pasal 23A UUD 1945 (Perubahan
Ketiga UUD 1945, 2001).
 Ketentuan tersebut pada intinya menyatakan bahwa semua
Dasar ketentuan pajak di Indonesia harus berdasarkan hukum tertulis
berupa undang-undang.
Pengaturan  Undang-undang pajak yang pengaturannya berkaitan dengan
Akuntansi Pajak akuntansi pajak adalah UU KUP dan UU PPh. Pendekatan
pengaturan pajak mengacu pada rules-based approach.
 Secara khusus, pengaturan akuntansi pajak tertuang di dalam
ketentuan Pasal 13 ayat (1) UU PPh (UU No. 7/1983), beserta
penjelasannya (untuk periode 1984-1994).

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


60

“Pasal 13
(1) Wajib Pajak dalam negeri yang menerima atau
memperoleh penghasilan dari usaha dan/atau pekerjaan
bebas, wajib menyelenggarakan pembukuan di Indonesia,
sehingga dari pembukuan tersebut dapat dihitung
besarnya penghasilan kena pajak berdasarkan undang-
undang ini” (UU No. 7/1983).
Dasar Penjelasan Pasal 13 ayat (1):
Pengaturan “Dari laba netto atau dari penghasilan netto tersebut
selanjutnya akan dihitung penghasilan kena pajak Wajib Pajak
Akuntansi Pajak tersebut. Karena pembukuan yang dipakai oleh Wajib Pajak
menjadi titik tolak untuk menghitung penghasilan kena pajak,
maka pembukuan harus berdasarkan suatu cara atau sistem
yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Prinsip-
prinsip Akuntansi Indonesia yang disusun oleh Ikatan Akuntan
Indonesia” (UU No. 7/1983).

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


61

 Jadi, perumusan akuntansi pajak di UU KUP (UU No.


6/1983) dan UU PPh (UU No. 7/1983) mengacu pada PAI
1973 karena saat itu belum ada PAI 1984.
 Sementara itu, implementasi akuntansi pajak menurut
kedua ketentuan pajak tersebut mengacu pada PAI 1984
Dasar yang dikembangkan dan menjadi penyempurna dari PAI
1973.
Pengaturan  PAI 1984 disahkan pada tanggal 22 Desember 1984 dan
Akuntansi Pajak mulai berlaku untuk tahun buku yang berakhir pada
tanggal 31 Desember 1985 (IAI, 1984, p. vii).
 Pada subperiode 1995-2000, akuntansi pajak masih
mengacu pada PAI 1984, sesuai Pasal 28 ayat (4) UU
KUP (UU No. 9/1994).

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


62

“Pasal 28
(4) Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan
mengenai harta, kewajiban atau utang, modal,
penghasilan dan biaya, serta penjualan dan
pembelian, sehingga dapat dihitung besarnya pajak
Dasar yang terutang” (UU No. 9/1994).

Pengaturan Penjelasan Pasal 28 ayat (4):


Akuntansi Pajak “Dengan demikian pembukuan harus diselenggarakan
dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia
misalnya berdasarkan Prinsip Akuntansi Indonesia,
kecuali peraturan perundang-undangan perpajakan
menentukan lain” (UU No. 9/1994).

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


63

 Karena PAI 1973 dan PAI 1984 masih mengacu pada sistem
akuntansi di AS (Murwanto, Khanna, & Zijl, 2011, p. 158) dan
perancang naskah UU KUP dan UU PPh 1983 juga berasal
dari AS (Heij, 2007, p. 71), banyak rumusan akuntansi pajak di
UU KUP dan UU PPh mengacu pada struktur teori akuntansi
yang berkembang di AS saat itu.
Dasar  PAI 1984 merupakan penyempurnaan dari PAI 1973 karena
Pengaturan ada tekanan pemerintah saat itu kepada IAI agar standar
akuntansi mendukung implementasi undang-undang pajak baru
Akuntansi Pajak (Murwanto, Khanna, & Zijl, 2011, p. 158).
 Meskipun pada tahun 1994, kiblat akuntansi di Indonesia sudah
bergeser dari US GAAP ke IAS, UU KUP 1994 (UU No.
10/1994) masih tetap mendasarkan praktik akuntansi pajaknya
pada PAI 1984.

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


64

 Untuk periode 2001–2011, rujukan akuntansi pajak bagi


perusahaan publik mengacu pada Pasal 28 ayat (7) UU KUP
(UU No. 16/2000; UU No. 28/2007), termasuk penjelasannya.
 Pasal 28
(7) Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan
mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya,
serta penjualan dan pembelian, sehingga dapat dihitung
Dasar besarnya pajak yang terutang” (UU No. 16/2000; UU No.
Pengaturan 28/2007).
 Penjelasan Pasal 28 ayat (7):
Akuntansi Pajak “Dengan demikian pembukuan harus diselenggarakan dengan
cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia misalnya
berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan
perundang-undangan perpajakan menentukan lain” (UU No.
16/2000; UU No. 28/2007).

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


65

 Hal paling mendasar dari perbedaan akuntansi keuangan


dan akuntansi pajak adalah tujuan penyajian informasi
keuangannya.
 Karena itu, pengecualian pengaturan pembukuan untuk
tujuan pajak dimungkinkan terjadi sesuai penjelasan
Pasal 28 ayat (4) UU KUP (UU No. 9/1994).
Tujuan  Untuk tujuan pajak berdasarkan teori decision usefulness,
UU pajak sejak 1983 hingga kini telah menegaskan
Akuntansi Pajak bahwa pembukuan Wajib Pajak digunakan untuk
menghitung nilai pajak yang terutang.
 Agar informasi yang disajikan bermanfaat, tujuan
pelaporan keuangan untuk perpajakan juga dilengkapi
karakteristik kualitatif yang disebut di PAI 1984 (IAI, 1984,
p. 2) sebagai tujuan kualitatif.
e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center
66

No Perlakuan Akuntansi Pajak Ketentuan PPh


1. Pengakuan penghasilan Pasal 4 UU PPh (UU No. 36/2008)
2. Pengakuan pengurang penghasilan Pasal 6 dan Pasal 9 UU PPh (UU No. 36/2008)
3. Pengakuan kompensasi rugi fiskal Pasal 6 ayat (2) UU PPh (UU No. 36/2008)
4. Pengukuran harga perolehan harta Pasal 10 UU PPh (UU No. 10/1994)
5. Pengukuran setelah pengakuan awal harta berwujud Pasal 11 UU PPh (UU No. 36/2008)
6. Pengukuran setelah pengakuan awal harta Pasal 11A UU PPh (UU No. 36/2008)
takberwujud
7. Pengakuan dan pengukuran PPh Pasal 17 UU PPh (UU No. 36/2008), Pasal 28A UU PPh
(UU No. 10/1994), Pasal 29 (UU No. 36/2008)

Pengakuan dan/atau Pengukuran Akuntansi Pajak


e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center
67

 Definisi penghasilan menurut Pasal 4 ayat (1) UU


PPh (UU No. 36/2008) yang tidak pernah berubah
sejak 1983:
“...(1) setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
Definisi (2) diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang
(3) berasal dari Indonesia maupun dari luar
Penghasilan
Indonesia, yang dapat dipakai (4) untuk konsumsi
atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang
bersangkutan, (5) dengan nama dan dalam bentuk
apapun...”.

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


68

No Elemen Penjelasan
1. setiap tambahan kemampuan ekonomis Elemen ini mengacu pada “accretion concept of income”
2. diterima atau diperoleh Elemen ini mengacu timing of recognition (cash accounting
concept & accrual accounting concept)
3. berasal dari Indonesia maupun dari luar Elemen ini mengacu pada global taxation system
Indonesia
4. untuk konsumsi atau untuk menambah Elemen ini sesuai dengan S-H-S model
kekayaan Wajib Pajak
5. dengan nama dan dalam bentuk apapun Elemen ini mengacu pada konsep “substance over form”

Definisi Penghasilan
e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center
69

 Definisi penghasilan menurut Pasal 4 ayat (1) UU PPh


menerapkan definisi yang luas (broad definition) dan
sesuai dengan pendekatan global taxation system.
 Menurut Burns & Krever (Taxation of Income from
Business and Investment, 1998, hal. 7), penggunaan
definisi penghasilan secara luas di atas dapat membantu
Definisi otoritas pajak yang menerapkan standar akuntansi
sebagai dasar penghitungan penghasilan kena pajak
Penghasilan ketika standar akuntansi tersebut berevolusi.
 Alasannya adalah karena aspek kepastian dan
kesederhanaan di dalam penetapan dasar pengenaan
PPh dapat tercapai (hal. 7). Selain itu, isu-isu yang
berkaitan dengan beban administrasi dan ketidakpastian
hukum dapat dihindari (hal. 7).

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


70

 Mansury (Pembahasan Mendalam Pajak atas Penghasilan,


2000, p. 39) menegaskan bahwa konsep S-H-S diadopsi ke
dalam pengertian penghasilan menurut Pasal 4 ayat (1) UU
PPh 1983 (UU No. 7/1983).
 Mansury (2000, p. 39) mengkritik bahwa konsep S-H-S
mengenakan pajak atas penghasilan atas kenaikan nilai
belaka, sedangkan kenaikan nilai harta Wajib Pajak sulit diikuti
oleh petugas pajak. Sebagai akibatnya, konsep S-H-S tersebut
Definisi sulit dilaksanakan di dalam praktik jika semua penghasilan
menurut konsep S-H-S tersebut harus dikenai pajak.
Penghasilan  Karena itu, untuk mencapai “the ease of administration” di
dalam penentuan opsi kebijakan pajak yang tertuang di dalam
Rancangan UU PPh 1983, diputuskan bahwa pengertian
penghasilan —yang baru dikenakan pajak— adalah
penghasilan yang tercakup di dalam “realized economic-power
accretion”.

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


71

 Jika konsep penghasilan menurut S-H-S dianggap sebagai “the


best concept of income”, “the realized income concept” dianggap
sebagai “the second best concept of income” (Mansury R. , 2000,
p. 40), sesuai dengan teori “the second best” yang dikemukakan
oleh Lipsey & Lancaster (1956).
 Untuk mencapai penerimaan pajak tertentu yang beban dapat
dibagikan secara adil kepada semua Wajib Pajak, the second best
concept of income di atas tetap memungkinkan untuk
Definisi diimplementasikan.

Penghasilan  Perbedaannya hanya terletak pada saat pengenaan pajak yang


diundurkan dari saat ketika ada tambahan kemampuan ekonomis
menjadi saat ketika terjadi realisasi. Di dalam hal ini, fiskus
mendapatkan sarana yang baik untuk mengetahui saat terjadi
realisasi tambahan kemampuan ekonomis. Realisasi tersebut
terjadi saat terjadi transaksi sehingga diketahui penghasilan yang
diterima atau diperoleh (Mansury R. , 2000, p. 40).

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


72

Pembagian Penghasilan
e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center
73

 Sesuai dengan global taxation system, PPh dikenakan atas


penghasilan neto sehingga secara teoritis, semua biaya yang
dikeluarkan untuk mendapatkan penghasilan dari usaha harus
diakui untuk menentukan penghasilan neto meskipun waktu
pengakuannya dapat berbeda-beda (Burns & Krever, 1998, p. 9).
 Masalahnya adalah bagaimana memisahkan biaya-biaya yang
boleh, dan tidak boleh, dikurangkan dari penghasilan bruto (Avi-
Pengurang Yonah, Sartori, & Marian, 2011, p. 47). Masalah tersebut tertuang
di dalam UU PPh yang mengatur pengurang penghasilan di dalam
penghasilan Pasal 6 dan Pasal 9.
bruto  Sesuai dengan “profit-and-loss method” (Avi-Yonah, Sartori, &
Marian, 2011, p. 6) yang diterapkan di UU PPh, taxable business
income dihitung berdasarkan penghasilan sebagai objek pajak
nonfinal dikurangi dengan pengurang yang diperbolehkan
(allowable deductions), yang diatur di Pasal 6 UU PPh. Metode ini
dikenal juga sebagai matching cost against revenue.

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


74

 Ketentuan di Pasal 6 dan Pasal 9 UU PPh merupakan model


alternatif, sebagaimana disebut oleh Burns & Krever (1998, p. 10).
 Sesuai model tersebut, ketentuan pengurang dimulai dari bahasa
yang luas dan tidak membatasi (broad & nonrestrictive language),
seperti terlihat di Pasal 6 ayat (1) UU PPh (UU No. 36/2008) berikut
ini.
Pengurang “Pasal 6
(1) Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam
penghasilan negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan
penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih,
bruto dan memelihara penghasilan, termasuk:...” (UU No. 36/2008)
 Selanjutnya, ketentuan umum sesuai frasa “...biaya untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan...” dilengkapi
dengan ketentuan jenis-jenis penghasilan yang diperbolehkan
(deductible expenses), yang disebut Burns & Krever (1998, p. 10)
sebagai “the positive limbs”.

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


75

 Selain ketentuan deductible expenses, ada ketentuan non-


deductible expenses yang diatur di Pasal 9 UU PPh (UU No.
36/2008) sebagai “the negative limbs” agar terakomodasi “dual-
purpose expenses” (Burns & Krever, 1998, p. 10).
 Ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU PPh sejalan dengan kategori
Pengurang negative limbs menurut Burns & Krever (1998, p. 10), yaitu:
1) biaya pribadi (personal expenses), yang diatur di dalam
penghasilan Pasal 9 ayat (1) UU PPh;
bruto 2) belanja modal (capital outgoings) yang harus dibebankan
melalui penyusutan sesuai Pasal 11 atau amortisasi
sesuai Pasal 11A UU PPh (UU No. 36/2008); dan
3) pertimbangan kebijakan (policy considerations).

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


76

 Konsep dasar dari pengurang penghasilan bruto di Pasal 6 ayat (1)


UU PPh 1984 mengacu pada pendekatan matching cost against
revenue.
 Di dalam hal ini, PAI 1973 dan 1984 secara tegas juga
menggunakan konsep matching cost against revenue, sesuai
dengan kutipan di bawah ini.
Pengurang “…pembebanan biaya sedapat mungkin dihubungkan dengan
pendapatan, namun untuk biaya tertentu —meskipun tidak dapat
penghasilan dihubungkan dengan pendapatan— pelaporan dilakukan dalam
bruto periode terjadinya beban, karena beban tersebut memberikan
manfaat untuk periode berjalan atau tidak memberikan manfaat
lagi untuk masa mendatang” (IAI, 1984, p. 6).
 Ketentuan perpajakan juga secara eksplisit menegaskan bahwa
konsep tersebut diadopsi di dalam beleid PPh, seperti dikutip di
bawah ini.

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


77

 Pasal 17 Peraturan Pemerintah No. 94/2010


Dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak, dapat
ditetapkan saat pengakuan penghasilan dan biaya dalam
hal-hal tertentu sesuai dengan kebijakan Pemerintah” ().
 Penjelasan Pasal 17 Peraturan Pemerintah No. 94/2010:
Pengurang
“Pada dasarnya saat pengakuan biaya dan penghasilan
penghasilan dilakukan secara taat asas berdasarkan prinsip akuntansi
bruto tentang pengaitan biaya dengan penghasilan (matching
of costs againts revenues). Namun, dalam hal-hal
tertentu karena kebijakan Pemerintah, Direktur Jenderal
Pajak dapat mengatur saat pengakuan penghasilan dan
biaya yang berbeda”.

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


78

 Prinsip matching yang diterapkan di UU PPh menunjukkan


bahwa orientasi pengukuran penghasilan mengacu pada
income statement approach, bukan balance sheet approach.
 Menurut Whitred (Accounting for the Extractive Industries: Use
or Abuse of the Matching Principle?, 1978, p. 155), konsep
matching tersebut diperkenalkan pertama kali oleh Paton &
Pengurang Littleton (An Introduction to Corporate Accounting Standards,
Monograph No. 3, 1940, pp. 14-15) yang melihat bahwa
penghasilan aktivitas bisnis itu memiliki kontinuitas yang panjang sesuai
konsep going concern.
bruto  Untuk mengetahui kemajuan aktivitas bisnis yang sudah dibuat
dari waktu ke waktu, diperlukan mekanisme akuntansi melalui
pencocokan berkala antara biaya dan pendapatan (periodic
matching of the costs and revenues) di setiap interval waktu
(pp. 14-15), yang selanjutnya disebut sebagai tahun buku dan
tahun pajak.
e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center
79

 Di dalam UU PPh, meskipun prinsip matching mendasari


ketentuan Pasal 6 dan Pasal 9, pertimbangan kebijakan juga
menjadi salah satu faktor biaya apa saja yang menjadi
allowable deductions ataupun non-allowable deductions.
 Jika penentuan non-deductible expenses atau negative limbs
Pengurang menurut Burns & Krever (1998, p. 10) dapat didasari oleh
pertimbangan kebijakan, untuk konteks UU PPh di Indonesia,
penghasilan penentuan deductible expenses juga mengacu pada
bruto pertimbangan kebijakan.
 Contohnya adalah biaya sumbangan yang secara umum
merupakan non-deductible expense sesuai Pasal 9 ayat (1)
huruf g UU PPh, tapi ada biaya sumbangan yang
diperbolehkan (Pasal 6 ayat (1) huruf i, j, k, l, dan m UU PPh)

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


80

 Penerapan pelaporan pajak berdasarkan “tahun pajak” di Pasal 1


UU PPh (UU No. 10/1994) merujuk pada konsep dasar accounting
period postulate dan going concern postulate.
 Pengukuran penghasilan secara tahunan berdasarkan aktivitas
ekonomi yang berlangsung bertahun-tahun dapat menyebabkan
fluktuasi pengukuran di setiap tahunnya(Avi-Yonah, Sartori, &
Marian, 2011, p. 84).
Kompensasi  Sebagai akibatnya, di suatu tahun pajak penghasilan bruto lebih
kecil dari pengurang yang diperbolehkan (allowable deductions)
Rugi Fiskal sehingga timbul rugi fiscal (p. 84).
 Penerapan ini menjadi salah satu keterbatasan bagi Wajib Pajak
ketika Wajib Pajak tersebut memiliki laba di satu tahun pajak
 Pertanyaan yang muncul adalah apakah laba tersebut dapat
dikompensasikan dengan rugi fiskal dari tahun pajak yang berbeda
(p. 84).

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


81

 Secara teoritis, menurut Avi-Yonah, Sartori, & Marian, 2011, p.


84, ada tiga pendekatan untuk kompensasi rugi, yaitu:
1) tidak boleh dikompensasi sama sekali;
2) boleh dikompensasi ke tahun-tahun berikutnya atau
sebelumnya; dan
3) boleh dikompensasi ke tahun-tahun sebelumnya dan
berikutnya.
Kompensasi  Untuk konteks Indonesia, sejak tahun 1983, rugi fiskal di satu
Rugi Fiskal tahun pajak dapat dikompensasikan selama lima tahun
berikutnya (Pasal 6 ayat (2) UU PPh) Ketentuan ini tidak
berubah hingga kini. Dari sisi akuntansi keuangan
 Kompensasi rugi yang diperkenankan oleh UU PPh dan dapat
dimanfaatkan (tidak hangus) memunculkan isu aset pajak
tangguhan (deferred tax asset).

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


82

 Ketentuan Pasal 10 UU PPh (UU No. 10/1994) mengatur


cara penilaian harta untuk menghitung penghasilan. Cara
tersebut berhubungan dengan:
 penggunaan harta oleh perusahaan,
 penghitungan keuntungan atau kerugian untuk
penjualan atau pengalihan harta, dan
Penentuan  penghitungan penghasilan dari penjualan barang
Harga dagangan.
Perolehan  Sesuai dengan Pasal 28 ayat (4) UU KUP (UU No.
9/1994), ketentuan Pasal 10 UU PPh (UU No. 10/1994)
tersebut masih mengacu pada PAI 1984.
 Tidak ada rincian lebih detil tentang definisi harta
sehingga sesuai penjelasan Pasal 28 ayat (7) UU KUP
(UU No. 28/2007).
e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center
83

No Transaksi Dasar Pengukuran di UU PPh PAI 1984


1. Jual beli harta yang tidak dipengaruhiHarga perolehan/pertukaran sebesar Sesuai dengan Prinsip Aktiva (Prinsip
hubungan istimewa sebagaimana jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan 1.2)
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) UU PPh
atau diterima
2. Jual beli harta yang dipengaruhi hubungan
Jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau --
istimewa sesuai Pasal 18 ayat (4) UU PPh
diterima
3. Tukar-menukar harta Jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau Sesuai dengan Prinsip Aktiva (Prinsip
diterima berdasarkan harga pasar 1.4 dan 4.2.3)
4. Pengalihan harta karena likuidasi,  Jumlah yang seharusnya Sesuai dengan Prinsip Laporan
penggabungan, peleburan, pemekaran, dikeluarkan atau diterima Keuangan (Prinsip 10.2 dan 10.3), tapi
pemecahan, atau pengambilalihan usaha berdasarkan harga pasar hanya diatur penggabungan usaha
(purchase method), atau
 Berdasarkan penetapan Menkeu
(nilai buku atau pooling of interest
method)

Pengukuran Awal Harta


e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center
84

No Transaksi Dasar Pengukuran di UU PPh PAI 1984


5. Pengalihan harta berupa bantuan atau  nilai sisa buku dari pihak yang --
sumbangan sepanjang pemberi dan melakukan pengalihan, atau
penerima pengalihan tidak memiliki  nilai yang ditetapkan oleh Dirjen
hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, Pajak
atau penguasaan
6. Pengalihan harta berupa bantuan atau nilai pasar harta yang dialihkan Sesuai dengan Prinsip Aktiva (Prinsip
sumbangan sepanjang pemberi dan 4.2.5), tapi tidak ada persyaratan
penerima pengalihan memiliki hubungan “...sepanjang pemberi dan penerima
usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau pengalihan memiliki hubungan usaha,
penguasaan; pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan”
7. Pengalihan harta hibahan nilai pasar harta yang dialihkan --

Pengukuran Awal Harta


e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center
85

No Transaksi Dasar Pengukuran di UU PPh PAI 1984


8. Pengalihan harta sebagai pengganti nilai pasar harta yang dialihkan Sesuai dengan Prinsip Modal (Prinsip
saham atau sebagai pengganti penyertaan 1.3)
modal
9. Persediaan dan pemakaian persediaan harga perolehan (FIFO atau average Sesuai dengan Prinsip Aktiva (Prinsip
untuk penghitungan harga pokok method) 2.4.3), tapi metodenya terdiri dari FIFO,
LIFO, dan rata-rata.

Pengukuran Awal Harta


e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center
86

 Pengukuran setelah pengakuan awal atas aset/harta berwujud


berkaitan dengan nilainya yang mengalami fluktuasi.
 Simons (1938) menyatakan bahwa sistem PPh yang
komprehensif dan ideal mengharuskan revaluasi semua aset
sehingga diakui laba atau rugi dari hasil revaluasi tersebut
(Gordon, 1998, p. 1).
 Menurut Gordon (1998, p. 1), atas beberapa tipe aset tertentu,
Pengukuran kebanyakan sistem akuntansi pajak memperkenankan atau
Setelah mensyaratkan perusahaan untuk secara periodik mengestimasi
keuntungan atau kerugian.
Pengakuan Awal  Contoh yang paling umum untuk estimasi kerugian adalah
penyusutan (p. 1). Contoh untuk pengukuran setelah pengakuan
awal harta berwujud adalah revaluasi.
 Pasal 9 ayat (1) huruf e, Pasal 11 dan Pasal 19 UU PPh menjadi
wujud konkret bahwa sistem PPh di Indonesia juga menerapkan
sistem akuntansi pajak yang banyak diadopsi di dunia.

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


87

 Sesuai dengan konsep matching cost against revenue, yang


diterapkan di UU PPh, penyusutan merupakan suatu metode
alokasi biaya dan bukan sekedar masalah penilaian (Kieso,
Weygandt, & Warfield, 2014, p. 494).
 Aset yang dapat disusutkan (depreciable assets) biasanya
digunakan untuk mendapatkan penghasilan kena pajak (Gordon,
1998, p. 2).
Pengukuran  Jika kerugian karena penurunan nilai aset berupa biaya depresiasi
Setelah tidak diperkenankan, akan timbul mismatching antara penghasilan
dan biaya (p. 2).
Pengakuan Awal  Pengurang penghasilan bruto yang berasal dari penyusutan
biasanya dibatasi hanya dari aset yang digunakan untuk
mendapatkan penghasilan kena pajak (p. 2).
 Aset tetap yang tidak mengalami penurunan nilai tidak disusutkan
(p. 13). Hal demikian juga diadopsi di Pasal 6 ayat (1) huruf b dan
Pasal 11 UU PPh

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


88

 Permasalahan yang timbul di dalam praktik dari rules-


based approach di UU PPh ini dapat dilihat dari satu studi
kasus sengketa pajak PT Kereta Api Indonesia (persero)
(selanjutnya disebut “KAI”) untuk tahun pajak 2009 di
tingkat banding (Putusan Pengadilan Pajak No: Put-
53955/PP/M.XIIIA/15/2014).
Pengukuran  Pokok sengketa berpangkal pada frasa kalimat “...yang
Setelah dimiliki dan digunakan...” di Pasal 11 ayat (1) UU PPh.
Pengakuan Awal  Syarat penyusutan terhadap harta berwujud yang dimiliki
dan digunakan selalu muncul di Pasal 11 UU PPh dan
semua amandemennya.
 Jika dilihat dari PAI 1984 (IAI, 1984, p. 35), frasa tersebut
mengacu pada Prinsip Aktiva Tetap No. 4.1, No. 4.2.1,
No. 4.2.2, No. 4.2.3, No. 4.2.4, dan No. 4.2.5.
e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center
89

 Untuk kasus KAI tentang penyusutan, uraian ringkasnya sesuai


dengan isi putusan banding di atas dijabarkan berikut ini.
 Objek sengketa KAI di atas berasal dari biaya penyusutan aset
tetap dengan status BPYBDS (Bantuan Pemerintah Yang
Belum Ditentukan Statusnya).
 Aset BPYBDS tersebut digunakan untuk operasi KAI sehingga
Pengukuran KAI berhak mengakui pendapatan dari pengoperasian aset
Setelah BPYBDS tersebut.
Pengakuan Awal  Menurut otoritas pajak, tidak ada bukti legal di tahun 2009 yang
menyatakan bahwa aset tersebut dimiliki oleh KAI sebagai hasil
penyertaan modal negara oleh pemerintah.
 Selain itu, KAI baru dapat menyusutkan aset BPYBDS tersebut
setelah ada Peraturan Pemerintah yang menetapkan aset
tersebut sebagai bagian dari penyertaan modal negara.

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


90

 Ternyata, argumentasi otoritas pajak yang berpatokan pada


makna tekstual sesuai aturan (rules-based) di Pasal 11 ayat (1)
UU PPh berbeda dari majelis hakim Pengadilan Pajak yang
menangani perkara KAI.
 Sesuai dengan Pasal 76 dan Pasal 78 UU Pengadilan Pajak
(UU No. 14/2002), undang-undang perpajakan menggunakan
Pengukuran asas kebenaran materiil dan hakim juga memutus perkara
Setelah sesuai dengan asas tersebut dengan berdasarkan peraturan
perpajakan serta keyakinan hakim.
Pengakuan Awal
 Sesuai dengan uraian putusan banding, ada dua konsep
akuntansi yang digunakan majelis hakim untuk memutus
perkara, yaitu:
1. substance over form, dan
2. matching cost against revenue.
e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center
91

 Untuk konsep substance over form, hakim melihat fakta-


fakta seperti diuraikan berikut ini.
 Sejak awal, aktiva BPYBDS adalah untuk KAI dan
Kementerian Perhubungan sudah tidak mencatatnya
lagi di dalam pembukuannya.
Pengukuran  KAI selaku Pemohon Banding telah mencatat aktiva
BPYBDS di dalam pembukuannya sebagai bagian
Setelah dari kelompok asetnya.
Pengakuan Awal  KAI telah mengelola, memanfaatkan, dan
menggunakan aktiva BPYBDS untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan.
 KAI juga telah membayar biaya-biaya yang
berkenaan dengan aktiva tersebut.

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


92

 Majelis hakim mendasarkan doktrin substance over form


pada
 Pasal 4 ayat (1) UU PPh dan
 Peraturan Dirjen Pajak No. Per-62/PJ./2009 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda (P3B).

Pengukuran  Untuk konsep matching cost against revenue, majelis


hakim menekankan keharusan untuk menghubungkan
Setelah biaya dengan pendapatan yang diakui pada periode yang
Pengakuan Awal sama.
 Secara ekonomi, aktiva BPYBDS digunakan KAI untuk
menghasilkan pendapatan sehingga harus ada biayanya
dan majelis hakim meyakini bahwa biaya dimaksud
adalah penyusutan aktiva BPYBDS yang sudah
dibebankan oleh KAI.
e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center
93

 Tiga elemen yang diatur pengakuan dan pengukuran PPh di dalam


UU PPh, yaitu: (a) dasar pengukuran PPh Badan, (b) uang muka
PPh, dan (c) pengakuan piutang dan utang PPh.
 Dasar pengukuran PPh Badan
 Beban pajak dihitung berdasarkan tarif pajak badan sesuai
dengan UU PPh yang dikalikan dengan laba akuntansi.
 Utang pajak berasal dari penghasilan kena pajak yang
Pengakuan dan dikalikan dengan tarif pajak badannya.
 Untuk kasus di Indonesia, beban pajak tidak selalu sama
Pengukuran PPh dengan utang pajak karena ada perbedaan temporer dan
perbedaan permanen.

Jenis WP Perusahaan UU No. 36/2008 UU No. 2/2020


No
Terbuka 2009 2010-2019 2020-2021 Mulai 2022
1. WP pada umumnya 28% 25% 22% 20%
2. WP dengan kriteria 23% 20% 19% 17%
tertentu sesuai
Peraturan Pemerintah
e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center
94

 Penurunan tarif PPh Badan, menurut Holland & Vann


(1998, p. 9) merupakan bentuk insentif pajak yang
diberikan kepada Wajib Pajak.
 Salah satu tujuan pemberin insentif pajak tersebut,
menurut Apriana & Irawan (2019, p. 1196), adalah untuk
menarik investasi asing masuk ke Indonesia.
Pengakuan dan  Meskipun demikian, Apriana & Irawan (2019, p. 1196)
Pengukuran PPh juga mengungkapkan bahwa penelitian-penelitian
sebelumnya membuat kesimpulan berbeda ketika insentif
pajak dikaitkan dengan peningkatan investasi asing.
 Penurunan tarif PPh merupakan tren yang terjadi di dunia
dan tidak hanya di negara-negara anggota OECD (Avi-
Yonah, Sartori, & Marian, 2011, pp. 138-139).

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


95

 Penerapan kredit pajak terhadap PPh badan yang terutang


bertujuan untuk menghindari pengenaan pajak berganda karena
Wajib Pajak telah dipotong oleh pemberi penghasilan sesuai
dengan sistem pemotongan pajak (withholding tax system).
 Pemotongan PPh dapat dilakukan oleh pemberi penghasilan di
dalam negeri (domestic tax credit) ataupun di luar negeri (foreign
tax credit).

Pengakuan dan  Penerapan withholding tax system secara luas, menurut Bird
(2015, p. 33), menjadi instrumen yang cukup membantu
Pengukuran PPh peningkatan penerimaan pajak.
 Esensi dari sistem pemotongan pajak adalah bahwa pemerintah
memungut pajak tidak secara langsung dari penerima penghasilan
(Soos, 2002, p. 49).
 Pemungutan pajak dilakukan dari sumber atau pembayar yang
melakukan pemotongan pajak dari penghasilan yang dibayarkan
kepada penerima penghasilan (p. 49).

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


96

 Untuk konteks PPh Badan di Indonesia, sesuai dengan


Pasal 20 dan Pasal 28 ayat (1) UU PPh (UU No.
10/1994), sebagian pajak yang dipotong pihak lain
berdasarkan withholding system menjadi uang muka
PPh. Sebagian lagi menjadi beban PPh karena
pemotongan pajaknya bersifat final.
Pengakuan dan  Untuk uang muka PPh perusahaan terbuka, pemotongan
oleh pihak lain mengacu pada Pasal 22, Pasal 23, dan
Pengukuran PPh Pasal 24 UU PPh.
 Pemotongan pajak berdasarkan Pasal 22 dan Pasal 23
UU PPh merupakan domestic tax credit.
 Pemotongan pajak berdasarkan Pasal 24 UU PPh
merupakan foreign tax credit.

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center


97

 Berdasarkan penerapan kredit pajak atas PPh terutang sesuai


Pasal 28 ayat (1) UU PPh, ada tiga kemungkinan yang terjadi.
 Tidak ada pajak terutang karena nilai PPh terutang sama
dengan nilai total kredit pajak.
 Pajak terutang lebih kecil dari total kredit pajak sehingga
muncul piutang PPh sebagaimana diatur di Pasal 28A UU
Pengakuan dan PPh.
 Pajak terutang lebih besar dari total kredit pajak sehingga
Pengukuran PPh muncul utang PPh sebagaimana diatur di Pasal 29 UU
PPh.
 Pengakuan piutang dan utang PPh di laporan keuangan
sepenuhnya mengacu pada SAK yang berlaku dan diadopsi
oleh Wajib Pajak, seperti halnya pengaturan akuntansi untuk
pengakuan uang muka PPh.

e-Training | Dr. Prianto. Budi S. | Knowledge & Development Center

Anda mungkin juga menyukai