Anda di halaman 1dari 21

BAB II

SALING MENASIHATI DAN BERBUAT BAIK (IHSAN)


(Q.S. Luqmān/31: 13-14 dan Q.S. al-Baqarah/2: 83
Serta hadis terkait)

Pembahasan tentang saling menasihati dan berbuat ihsan (berbakti kepada


orang tua) adalah pembahasan penting setelah masalah tauhid kepada Allah swt.
Banyak hak yang harus dipenuhi oleh manusia, pertama hak Allah swt., hak
Rasulullah saw., hak kedua orang tua kemudian hak-hak lainnya. Karena itulah,
berbakti kepada kedua orang tua hukumnya wajib, -setelah bertauhid pada Allah
Swt.- Dengan demikian, secara fitrah, meskipun manusia tidak mendapatkan
pendidikan secara formal, akan merasa dan meyakini, akan kewajibannya untuk
menghormati, mentaati, menyayangi, dan memuliakan kedua orang tuan. Karena
secara dzahiriyah adanya manusia di dunia ini, karena sebab adanya orang tua.
Sedangkan secara sosio-kultural, dimana saja manusia berada dan dari mana saja
asalnya, berbakti kepada kedua orang tua merupakan suatu keniscayaan yang tak
terbantahkan, karena jasanya yang tak ternilai. Tentunya cara dan bentuk kebaktian
itu sangat beragam dalam implementasinya. Di sisi lain, kewajiban berbakti kepada
orang tua sesuai doktrin agama Islam yang normatif-transendental, merupakan
bentuk kewajiban yang harus dilakukan.
Banyak ayat-ayat al-Qur'an yang menjelaskan tentang berbakti kepada kedua
orang tua dan batas-batasnya, diantaranya:, Q.S. al-Nisâ /4: 36, Q.S. al-Isrâ/17: 23-
24), Q.S. al-An’âm/6: 151, Q.S. al-’Ankabût/29: 8, Q.S. Luqmān /31: 13-15, dan Q.S.
al-Ahqâf/46: 15. Namun dalam buku pengayaan ini, hanya akan membahas tafsir dari
Q.S. Luqmān/31: 13-14 saja, sedangkan yang lainnya sebagai penafsiran antar ayat
dan pembanding, karena adanya munâsabah al-âyat dengan ketiga ayat yang akan
ditafsirkan, ditambah pula oleh hadis-hadis Nabi saw. yang sahih.

A. Kajian Q.S. Luqmān/31: 13-14

1. Teks Ayat dan Terjemahan

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia


memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu

22
mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah
benar-benar kezaliman yang besar". Dan Kami perintahkan kepada manusia
(berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah
mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan
menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua
orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Q.S. Luqmān/31: 13-
14).

2. Penjelasan Umum
Wahbah Zuhaily dalam Tafsir al-Munir menerangkan bahwa surah
Luqmān termasuk surah Makiyah terdiri dari 34 ayat, diturunkan setelah
surah as-Shaffat. Sementara al-Qurtubi menjelaskan bahwa surah Luqman
termasuk kelompok surah Makiyah, kecuali ayat 27-29. Ketiganya turun di
Madinah. Dinamakan surah Luqman karena dalam surah tersebut terdapat
kisah Luqman, yang nama lengkapnya adalah Luqman bin Ba’ura, salah
seorang putra dari Nabi Ayyub, termasuk suku Naubah dan merupakan
bagian dari masyarakat Ailah, yakni sebuah kota yang berada di sekitar laut
Qulzum. Ia hidup pada masa Nabi Daud dengan julukan al-hakim (yang
bijak). Sementara mufassir lain termasuk Ibnu Katsir menerangkan bahwa
nama lengkap Luqman adalah Luqman bin ‘Anqa’ bin Sadun, sedang nama
putranya adalah Tsaran (ada yang menyebutnya Taran, An’am atau Asykam
pen.). mereka penduduk biasa dari Habasyah (Ethiopia).
Luqman adalah seorang yang saleh dan memiliki akhlaq yang mulia,
yaitu akhlaq yang berbasiskan kepada keimanan yang kokoh. Namanya
diabadikan oleh Allah dalam salah satu surat di dalam al-Qur an, yakni surat
ke 31. Sehingga di dalam surat ini Allah memberikan pelajaran kepada kita
akan kesalehan Luqman dalam memberikan nasehat kepada anaknya, yakni
nasehat yang mengandung unsur “keilmuan” yang mendalam, “keihklasan”
yang suci dan “kecintaan” yang tinggi. Luqman adalah sosok ayah pilihan
Allah. Nasehat yang disampaikan pada anaknya diabadikan dalam al-Qur'an.
Ketika kita membaca Q.S. Luqmān ayat 13 disitu dimulai dengan hentakan
kata " Ingatlah takala ". Kata ini menandakan pentingnya atas nasehat yang
akan disampaikan.
Dalam sebuah kitab tafsir (Ibnu Katsir) diceritakan bahwa Luqman
adalah seorang budak, ciri-ciri tubuhnya sama seperti orang Ethiopia lainya
yang kebanyakan berkulit hitam legam dan berbibir tebal. Tetapi Allah tak
pernah melihat dari bentuk fisik. Hati Luqman memancarkan cahaya iman
dan keagungan seorang manusia. Kejernihan hidup tergambar dibalik rendah
martabatnya sebagai budak. Sebenarnya nasehat Luqman yang terdapat dalam
al-Qur'an itu hanyalah nasehat kepada anaknya sendiri. Tetapi Allah
mengabadikan dalam al-Qur'an, agar setiap umat Islam belajar dari apa yang
dilakukan Luqman. Karena nasehat pada anak adalah sangat penting untuk
membentuk karakter dan perwatakan sebagai bekal kehidupan kelak.
Mayoritas mufasir mempermasalahkan kedudukan Luqman, apakah ia
seorang Nabi ataukah hanya hamba Allah Swt. yang salih yang diberi
kelebihan hikmah. Dalam hal ini, Imam asy-Syaukani menjelaskan, mayoritas

23
mufassirin menyimpulkan bahwa Luqman al-Hakim bukan seorang Nabi,
tetapi hamba Allah Swt., yang diberi kelebihan dari hamba lainnya, yakni
diberi hikmah. Luqman adalah sosok yang banyak merenung, dia mencintai
dan dicintai Allah Swt. sehingga Allah Swt. menganugerahkan hikmah
kepadanya. Abu Darda’ pernah berkata bahwa Allah Swt.. menyayangi
Luqman, dan Dia menganugerahkan hikmah kepadanya bukan karena
keluarga, harta, rupa atau keturunannya. Luqman proto tipe manusia yang
tahan uji dan sabar mengahadapi ujian dari Allah Swt., putra-putranya
meninggal dunia, tetapi dia tidak larut dalam kesedihan berkepanjangan atas
kematian mereka. Dia menyadari bahwa semua yang ada padanya termasuk
anak-anak adalah amanah Allah Swt. yang dititipkan kepadanya yang
sewaktu-waktu bisa diambil kembali oleh-Nya. Luqman dikenal sebagai
orang yang suka mendatangi pertemuan-pertemuan para ahli hikmah dan
mengambil pelajaran darinya, karena itu Allah telah menganugerahkannya
dengan hikmah.

3. Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Ayat)


Ayat 13 dan 14 ini turun satu paket dengan ayat sebelum dan
sesudahnya, yakni ayat 12 dan ayat 15 tentang kisah Luqman. Kisah ini
diawali dengan pendahuluan yang termaktub pada ayat ke-12. Pada ayat
tersebut dijelaskan profil Luqman yang diberi hikmah. Dengan hikmah
tersebut ia dapat mengajarkan langkah-langkah agar mampu bersyukur. Jika
orang bersyukur, maka keuntungannya buat dirinya sendiri, sedang siapa
yang kufur, Allah pun tidak rugi. Ayat berikutnya merupakan rincian atau
langkah-langkah penanaman hikmah agar menjadi hamba yang bersyukur.
Ayat 13-14 merupakan sisipan atau jumlah i’tiradiyyah di tengah kisah
Luqman.
Para mufassir sepakat -diantaranya Ibnu Katsir, al-Maraghi, dan
Wahbah Zuhaily- bahwa ayat ini turun pada kisah Sa’ad bin Abi Waqash
dengan Ibunya. Dalam kasus tersebut, Ibu Sa’ad bin Abi Waqash yang
bernama Hamnah binti Abi Sufyan, mengancam mogok makan, jika Sa’ad
terus menjadi pengikut Nabi Muhammad saw. Ancaman tersebut bukan
hanya gertak sambal: dua hari Hamnah mogok makan. Sa’ad pun gelisah,
khawatir ibunya meninggal. Pada saat menegangkan seperti itu, Sa’ad
menemui Rasulullah saw. Rasul membacakan Q.S. Luqmān ayat 13 dan 14
ini. Berbekal dua ayat itu, Sa’ad menemui ibunya dan berkata, “Bunda,
kalaulah bunda memiliki tujuh puluh nyawa dan bunda keluarkan satu
persatu, saya tidak akan keluar dari Islam. Jika bunda mogok makan sampai
meninggal dunia, silahkan, dan jika mau makan ya silahkan”. Dengan
ungkapan yang lembut tapi tegas, ibunya pun tidak meneruskan aksinya.
Meskipun ayat tersebut dianggap sisipan, ia sangat erat kaitannya dengan
perintah bersyukur yang dijelaskan pada ayat sebelumnya.
Sebab turunnya Surat Luqman ayat 13, diperkuat pula dengan sebuah
riwayat, Mudjab Mahali dalam bukunya Asbabun Nuzul menerangkan bahwa
ketika ayat ke-82 dari surat al-An’am diturunkan, para sahabat merasa
keberatan. Maka mereka datang menghadap Rasulullah saw, seraya berkata
“Wahai Rasulullah, siapakah diantara kami yang dapat membersihkan

24
keimanannya dari perbuatan zalim?”.Jawab beliau “Bukan begitu, bukanlah
kamu telah mendengarkan wasiat Lukman Hakim kepada anaknya: “Hai
anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya
mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar.”
(H.R.Bukhori dari Abdillah).

4. Penjelasan Tafsir Ayat (Menurut Mufassir)

a. Menurut al-Thabary
Dalam menafsirkan Q.S. Luqmān ayat 14 dan 15, Ibnu Jarîr al-
Thabary dalam tafsirnya Jami’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur'ân (lebih
dikenal dengan Tafsîr al-Thabary) menafsirkan bahwa kata washsha
diartikan dengan amara wa qarrara (perintah dan ketetapan). Oleh karena
itu, menurut pandangan al-Thabary, ayat ini mengandung perintah dan
ketetapan untuk berbuat baik atau berbakti kepada kedua orangtua, karena
orangtua (ibunya) dengan kondisi lemah di atas kelemahan (dha’fan
fauqa dha’fin). Dalam ayat ini Allah memerintahkan suatu perintah yang
alasannya disebutkan pada ayat yang sama
b. Tafsîr Ibnu Katsîr
Dalam kitabnya Tafsîr al-Qur’ân al-’Adzîm, Imam Ibn Katsir
menjelaskan bahwa ayat ini merupakan lanjutan dari ayat sebelumnya
yang menjelaskan tentang nasehat Luqman kepada anaknya. Sehingga
ayat ini mengandung makna bahwa Luqman mewasiatkan kepada
anaknya untuk ibadah kepada Allah saja dan tidak mensekutukan-Nya
dan berbakti kepada kedua orang tuanya. Hal ini sebagaimana firman
Allah swt. dalam Q.S. al-Isrâ/17: 23,

”Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah


selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-
duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia”.
Dengan mengutip pendapat Imam Mujahid dan Qatadah, Imam Ibn
Katsir menjelaskan bahwa kata wahnan ’alâ wahnin, maknanya adalah
kesulitan dan kesusahan yang pasti dialami oleh seorang ibu. Karena itu,
ia mencurahkan segala daya dan upaya yang dimilikinya agar bisa
mengeluarkan bayinya. Lebih lanjut Imam Ibn Katsir menjelaskan bahwa

25
kata wahnan ’alâ wahnin wa fishâluhû fî ’âmain, mengandung arti bahwa
pengorbanan, rasa kepayahan dan lelah yang dialami seorang ibu dalam
memelihara anaknya sangatlah panjang yang dimulai dari masa hamil
sampai melahirkan dan menyusuinya selama dua tahun. Hal ini Allah
sebutkan agar seorang anak dapat mengingat dan memahami kebaikan
orangtuanya yang diberikan pada masa kecilnya, sehingga ia
diperintahkan untuk berbakti kepadanya dan selalu mendo’akannya,
sebagaimana firman Allah swt. dalam Q.S. al-Isrâ/17: 24,

”Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh


kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka
keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.

c. Tafsir al-Qurthuby
Menurut al-Qurthuby, dalam menafsirkan Q.S. Luqmān ayat 13-14,
ada lima hal penting yang dapat dielaborasi dari ayat tersebut, adalah;
1) Ayat wawashshaina al-insâna biwâlidaihi dan setelahnya adalah
jumlah isti’radziyah untuk ayat sebelumnya yang berkaitan dengan
nasehat Luqman kepada anaknya. Sehingga dapat dipahami bahwa
Luqman menasehati anaknya dengan tidak mempersekutukan Allah
dengan yang lainnya dan tidak mentaati kedua orang tua dalam
kemusyrikan atau dalam mempersekutukan Allah. Sesungguhnya
Allah berwasiat kepada manusia agar mentaati kedua orang tua pada
perkara yang tidak mengandung unsur kemusyrikan. Dengan
demikian, ayat tersebut menerangkan bahwa ketaatan kepada kedua
orang tua tidak membolehkan untuk berbuat dosa besar ataupun
meninggalkan kewajiban, tetapi kwajiban mentaati kedua orang tua
hanya pada perkara-perkara yang mubah (boleh menurut agama), serta
diperbolehkan meninggalkan ketaatan/ibadah kepada Allah yang
bersifat mandûb (dianjurkan, sunnat), terlebih amalan mandûb
tersebut dapat dilakukan pada waktu yang lain.
2) Allah mendahulukan ibu di atas keutamaan bapak dengan
menyebutkan kata al-hamlu yang berarti mengandung, dan menyebut
kata rodho’ yang berarti menyusui. Dengan kedua peran dan
pengorbanan seorang ibu, kedudukan seorang ibu lebih tiga derajat
dibandingkan kedudukan seorang bapak yang hanya satu derajat atau
keutamaan. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi saw. ketika ditanya oleh
seseorang.

26
‫َخَبَرنَا َب ْه ُز بْ ُن َح ِكي ٍم‬ ٍِ
ْ ‫َخَبَرنَا حَيْىَي بْ ُن َس عيد أ‬ ْ ‫َح َّد َثنَا حُمَ َّم ُد بْ ُن بَ َّش ا ٍر أ‬
‫ال‬
َ َ‫ك ق‬ َ َ‫ول اللَّ ِه َم ْن أ ََبُّر ق‬
َ ‫ال أ َُّم‬ َ ‫ت يَا َر ُس‬ ُ ‫ال ُق ْل‬ َ َ‫َح َّدثَيِن أَيِب َع ْن َجدِّي ق‬
‫ت مُثَّ َم ْن‬
ُ ‫ال ُق ْل‬َ َ‫ك ق‬ َ ‫ال أ َُّم‬
َ َ‫ت مُثَّ َم ْن ق‬ُ ‫ال ُق ْل‬
َ َ‫ك ق‬ َ ‫ال أ َُّم‬
َ َ‫ت مُثَّ َم ْن ق‬ ُ ‫ُق ْل‬
.‫ب‬َ ‫ب فَاأْل َ ْقَر‬
َ ‫اك مُثَّ اأْل َ ْقَر‬
َ َ‫ال مُثَّ أَب‬ َ َ‫ق‬
3) Firman Allah ”wahnan ’alâ wahnin” berarti mengandung anaknya
dalam keadaan lemah, yang kelemahan ini makin hari makin
bertambah. Makna lainnya adalah wanita itu diciptakan dalam
keadaan lemah secara fisik dibanding dengan laki-laki dan ia
bertambah lemah ketika sedang hamil.
4) Ditinjau dari segi kwajiban memberi nafkah, masa menyusui itu
berlangsung selama dua tahun. Sedangkan dilihat dari segi hukum,
susu yang karenanya bisa menjadikan mahram bagi saudara
sesusunya, adalah masa maksimal dua tahun dan ketika seorang anak
itu disapih meskipun belum sampai dua tahun.
5) Kewajiban bersyukur kepada Allah dan bersyukur kepada kedua orang
tua, karena Allah telah memberi berbagai macam nikmat, terutama
nikmat iman, sehingga bersyukur dalam hal ini disebut dengan
bersyukur nikmat. Sedangkan bersyukur kepada orang tua itu karena
orang tua telah memberi nikmat pemeliharaan dan pengasuhan.

d. Tafsîr al-Marâghi
Menurut al-Maraghi ayat ini merupakan sisipan yang diletakkan
Allah ditengah nasehat Luqman. Menurutnya Allah Swt. menyebutkan
wasiat yang bersifat umum ditujukan kepada semua anak.Juga
mewasiatkan kepada mereka supaya memperlakukan orang tua mereka
dengan cara yang baik, dan selalu memelihara hak-haknya sebagai orang
tua. Hal itu sebagai balas jasa atas semua kebaikan dan nikmat yang telah
diberikan oleh kedua orang tua mereka. Sekalipun demikian dalam rangka
berbakti kepada kedua orang tua mereka, tidak boleh melanggar hak-hak
Allah swt. yakni mempersekutukan-Nya, sebagaimana dijelaskan pada
ayat 13.
Perintah berbakti kepada kedua orang tua, menurut Tafsir al-
Marâghi disebabkan karena: 1) kedua orang tua yang memberikan kasih
sayang pada anaknya dengan susah payah dalam memberikan kebaikan
pada Allah; 2) anak merupakan belahan jiwa dari orang tua; 3) orang tua
memberikan kebahagiaan kepada anak tatkala anak itu dalam keadaan
lemah dan tak berdaya; dan 4) orang tua merupakan sebab dzahiriyah
adanya anak, memeliharanya dengan penuh kasih sayang dan keikhlasan.
Dalam berbakti kepada orang tua menurut al-Maraghi, bahwa yang
dijadikan pegangan adalah apa yang ada di dalam hati anak, berupa niat
untuk berbakti dan berbuat kebaikan dengan keikhlasan melakukannya,
dengan syarat kedua orang tua tidak membatasi kemerdekaan anak dalam

27
menjalankan urusan-urusan pribadi (privasi) atau rumah tangganya, dan
tidak pula dalam perbuatan-perbuatan khusus, berkaitan dengan agama
dan negaranya. Jika mereka ingin merampasnya dalam hal tersebut, tidak
ada kwajiban untuk mengikuti dan mentaati keinginan mereka.
e. Tafsîr al-Munīr
Menurut Wahbah Zuhaily dalam Tafsîr al-Munîr menjelaskan kata
Ma’ruf
wabilwâlidaini ihsânan, bahwa Allah telah memerintahkan kepada
menurut terminologi manusia dan mewajibkannya untuk berbakti kepada kedua orang tua dan
ushul fiqh disebut ‘urf, mentaati keduanya, menunaikan hak-haknya, terutama berbakti kepada
yaitu suatu kebaikan
dan kebiasaan yang
ibu; karena mengandungnya dalam kelelahan di atas kelelahan dari
berlaku di masyarakat mengandung sampai saatnya melahirkan, nifas, menyusui dan menyapih
dan dipandang baik. selama dua tahun, memeliharanya siang dan malam. Cara-cara ihsân
Meskipun tidak tertulis
dalam al-qur’an dan
kepada orang tua sebagaimana yang Allah jelaskan dalam Q.S. al-Isrâ/17:
Hadits, tetapi tidak 23-24. Untuk itulah beliau menjelaskan mengapa harus berbakti kepada
bertentangan dengan orang tua, alasannya adalah karena Allah adalah sebab hakiki bagi adanya
hukum syar’i maka
para fuqaha
manusia. Sementara kedua orang tua menjadi sebab lahiriyah bagi adanya
memandangnya anak-anak dan memeliharanya dengan kelembutan, kasih sayang dan
mubah. Sebagaimana keikhlasan. Bahkan dengan menukil pendapat Ibnu Arabi, Wahbah
sabda Nabi saw. ‫ما رأه‬
‫المؤمنون حسنا فهو عند هللا‬
Zuhaily menjelaskan bahwa berbuat baik kepada kedua orang tua
‫( حسن‬Lihat Abdul merupakan salah satu rukun dari rukun-rukun agama yang diwajibkan,
Wahhab Khalaf, Ilmu baik dalam perkataan maupun perbuatan.
Ushûl Fiqh. Al-
Jumhûriyah,
Selanjutnya beliau menjelaskan, bahwa batasan berbakti kepada
Indonesia, 2004, hlm. kedua orang tua adalah tidak boleh mentaati atau mengikuti keinginan
89). kedua orang tua, jika orang tua menyuruh mensekutukan dan maksiat
pada Allah sebagaimana sabda Nabi saw.
ِ ِِ
َ َّ‫اعةَ يِف َم ْعصيَة اللَّه إِمَّنَا الط‬
‫اعةُ يِف الْ َم ْع ُروف‬ َ َ‫ال اَل ط‬
َ َ‫َوق‬
Secara bahasa al- Bergaul dengan keduanya di dunia dengan ”ma’ruf” yaitu berbuat
hikmah berarti baik kepada keduanya, mencukupi kebutuhan mereka, makan dan pakaian
ketepatan dalam mereka, merawat mereka di kala sakit, memakamkan keduanya ketika
ucapan dan amal (Lihat
Ali Ash-Shabuni, meninggal, dengan akhlak yang baik juga mengunjuginya, menerima dan
op.cit., Jilid 2, Dâr al- memuliakannya. termasuk mendoakannya. Dalam hal mendo’akan orang
Qalam, 1986, hlm. tua, Wahbah Zuhaily menjelaskan tafsirannya bahwa do’akan keduanya
491). Menurut ar-
Raghib, al-hikmah waktu hidup dengan memohon hidâyah dan irsyâd, dan memintakan
berarti mengetahui kepada keduanya rahmat, setelah beriman; apabila keduanya telah
perkara-perkara yang meninggal, maka dilarang memintakan ampun kepada Allah Swt. bagi
ada dan mengerjakan
hal-hal yang baik orang-orang musyrik yang telah meninggal walaupun orang tua atau
(Shihab al-Din al- kerabat. Sebagaiman firman Allah Swt. dalam QS. al-Taubah/9: 113,
Alusi, Rûh al-Ma’ânî,
jilid XI, Beirut, Dâr al-
Kutub al-Ilmiyyah,
1993, hlm. 82).
Menurut Mujahid, al-
hikmah adalah
pemahaman, akal, dan
kebenaran dalam ”Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman
ucapan selain kenabian memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun
(Muhammad bin Jarîr
al-Thabary, op.cit
orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (Nya), sesudah jelas bagi
Jami’ al-Bayân fî
Ta’wîl al-Qur’ân,
Saudi Arabia,
Muassasah al-Risâlah,
2000.,juz xi, hlm. 208). 28
mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka
jahanam”.

f. Tafsir al-Mishbâh
Secara komprehensif tafsir Q.S. Luqmān ayat 13-14 dijelaskan dalam
Tafsir Al-Mishbâh, karya agung M. Quraish Shihab. Menurut Quraish
Shihab, ayat ini dinilai oleh banyak ulama bukan bagian dari pengajaran
Luqmân kepada anaknya. Ia disisipkan al-Qur’an untuk menunjukkan
betapa penghormatan dan kebaktian kepada kedua orang tua menempati
tempat kedua setelah mengagungkan kepada Allah Swt. Memang al-
Qur’an sering kali menggandengkan perintah menyembah Allah dan
perintah berbakti kepada kedua orang tua (Lihat Q.S al-An’âm/6: 151 dan
al-Isrâ/17: 23-24). Kendati nasihat ini bukan nasihat Luqman, namun itu
tidak berarti bahwa beliau tidak menasehati anaknya dengan nasehat
serupa. Sementara Al-Biqâ’i menilainya sebagai lanjutan dari nasehat
Luqman yang oleh Allah diberi keistimewaan berupa “hikmah”.
Karenanya ada perbedaan pendapat di kalangan para mufassir, apakah
Luqman itu nabi atau bukan.
Ayat di atas (Q.S. Luqmān ayat 14) menurut Quraish Shihab tidak
menyebut jasa bapak, tetapi menekankan pada jasa ibu. Ini disebabkan
karena ibu berpotensi untuk tidak dihiraukan oleh anak oleh karena
kelemahan ibu, berbeda dengan bapak. Di sisi lain, ”peranan bapak”
dalam konteks kelahiran anak, lebih ringan dibanding dengan peranan
ibu. Setelah pembuahan, semua proses kelahiran anak dipikul sendirian
oleh ibu. Bukan hanya sampai masa kelahirannya, tetapi berlanjut dengan
penyusuan, bahkan lebih dari itu. Memang bapak pun bertanggung jawab
menyiapkan dan membantu ibu agar beban yang dipikulnya tidak terlalu
berat, tetapi ini tidak langsung menyentuh anak, berbeda dengan peranan
ibu. Betapapun peranan bapak tidak sebesar peranan ibu dalam proses
kelahiran anak, namun jasanya tidak diabaikan karena itu anak
berkewajiban berdo’a untuk bapaknya, sebagaimana berdo’a untuk
ibunya. Perhatikanlah do’a yang diajarkan al-Qur'an: Rabbi, Tuhanku !
Kasihilah keduanya disebabkan karena mereka berdua telah mendidik aku
di waktu kecil.” (Q.S al-Isrâ [17]: 24).
Firman-Nya : (‫ع امني‬ ‫)وفص اله يف‬artinya dan penyapiannya di dalam
dua tahun, mengisyaratkan betapa penyusuan ini bukan sekadar untuk
memelihara kelangsungan hidup anak, tetapi juga bahkan lebih-lebih
untuk menumbuhkembangkan anak dalam kondisi fisik dan psikis yang
prima. Terkait dengan ini, dalam Q.S. al-Baqarah/2: 233 ditegaskan
bahwa masa dua tahun adalah bagi siapa yang hendak menyempurnakan
penyusuan. Firman Allah yang dimaksud adalah:

29
”Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.”

Penggalan ayat ini, jika dihubungkan dengan firman-Nya pada Q.S.


al-Ahqâf/46:15 yang menyatakan:”...mengandungnya sampai
menyapihnya adalah tiga puluh bulan,” diperoleh kesimpulan bahwa
masa kehamilan minimal adalah tiga puluh bulan kurang dua tahun yakni
enam bulan.
Menurut Quraish Shihab, dalam surat Luqman ayat 15, dipahami
bahwa setelah ayat yang lalu menekankan pentingnya berbakti kepada
kedua orangtua, maka diuraikan kasus yang merupakan pengecualian
mentaati perintah kedua orang tua, sekaligus menggarisbawahi wasiat
Luqman kepada anaknya tentang keharusan meninggalkan kemusyrikan
dalam bentuk serta kapan dan di mana pun. Di samping itu, Quraish
Shihab sepakat dengan pendapat Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha,
bahwa ihsân (bakti) kepada kedua orang tua yang diperintahkan agama
Islam, adalah bersikap sopan santun kepada keduanya dalam ucapan dan
perbuatan yang sesuai dengan adat kebiasaan masyarakat, sehingga
mereka merasa senang terhadap kita, serta mencukupi kebutuhan-
kebutuhan mereka yang sah dan wajar sesuai kemampuan kita (sebagai
anak).
Tidak termasuk sedikit pun (dalam kewajiban berbuat baik/berbakti
kepada keduanya) sesuatu yang mencabut kemerdekaan dan kebebasan
pribadi atau rumah tangga atau jenis-jenis pekerjaan yang bersangkut paut
dengan pribadi anak, agama, atau negaranya; maka sang anak tidak dinilai
durhaka, tidak pula dinilai tidak berbakti dari segi pandangn akal dan
syara’ karena kebaktian dan kebajikan tidak mengaharuskan tercabutnya
hak-hak pribadi.”
Kata (‫ )معروفا‬menurut Quraish Shihab mencakup segala hal yang
dinilai masyarakat baik, selama tidak bertentangan dengan akidah
Islamiah. Dalam konteks ini diriwayatkan bahwa Asmâ putri Sayyidinâ
Abu Bakar ra. pernah didatangi oleh ibunya yang ketika itu masih
musyrikah. Asmâ bertanya kepada Nabi bagaimana ia seharusnya
bersikap. Maka Rasulullah saw. memerintahkannya untuk tetap menjalin
hubungan baik, menerima dan memberinya hadiah serta mengunjungi dan
menyambut kunjungannya.
Sementara ketika menafsirkan surat al-Nisâ ayat 36, Quraish Shihab
menjelaskan bahwa ayat ini memerintahkan kepada semua manusia untuk

30
beribadah kepada Allah (baik mahdhah maun ghoeru mahdhah) dan tidak
mempersekutukan-Nya. Kemudian berikutnya adalah perintah berbakti
pada kedua orang tua. Istilah yang digunakan untuk manunjuk kedua
orangtua adalah ( ‫)الوالدين‬. Kata ini adalah bentuk dari kata (‫ )والد‬yang
biasa diterjemahkan bapak/ayah. Ada juga kata lain yng menunjuk pada
makna bapak/ayah, yakni kata ( ‫)اب‬ ‫ام‬
ayah dan ( ) ibu. Akan tetapi
menurut Quraisy Shihab, kata wâlid digunakan secara khusus kepada
bapak/ayah kandung. Berbeda dengan kata abb atau umm yang digunakan
untuk ayah dan ibu kandung maupun bukan. Letak persamaannya antara
ibu secara umum dengan ibu kandung adalah dalam kwajiban
menghormati mereka, bukan dalam kebolehan bergaul sebagaimana
bergaul dengan ibu kandung.
Al-Qur’an menggunakan kata ( ‫ )احس انا‬sebanyak enam kali, lima
diantaranya dalam konteks berbakti kepada orang tua. Kata ( ‫ )حسن‬husn
mencakup segala sesuatu yang menggembirakan dan disenangi.
“Hasanah” digunakan unuk menggambarkan apa yang menggembirakan
manusia karena perolehan nikmat, menyangkut diri, jasmani, dan
keadaannya. Demikian dirumuskan oleh pakar kosa kata al-Qur'an, ar-
Râghib al-Ashfahâni, sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab.
Menurut pakar tersebut, kata (‫ )احسانا‬ihsânâ mengandung makna dua
hal. Pertama, memberi nikmat kepada pihak lain, dan kedua perbuatan
baik, karena itu kata “ihsân” lebih luas dari sekedar memberi nikmat atau
nafkah. Maknanya bahkan lebih tinggi dan dalam daripada kandungan
makna adil, karena adil adalah memperlakukan orang lain sama dengan
perlakuannya kepada Anda. Sedang ”ihsân”, memperlakukannya lebih
baik dari perlakuannya terhadap Anda. Adil adalah mengambil semua hak
Anda dan atau memberi semua hak orang lain, sedang ihsân adalah
memberi lebih banyak daripada apa yang harus Anda memberi dan
mengambil lebih sedikit dari apa yang seharusnya Anda ambil. Karena itu
pula, Rasulullah saw. berpesan kepada seseorang: ”Engkau dan hartamu
adalah milik ayahmu” (HR. Abu Dawud). Baca pula Q.S. al-Baqarah/2:
125.
Sementara untuk perintah mendo’akan kedua orang tua menurut
Quraish Shihab menjelaskan dalam menggunakan alasan: ( ‫ربي اين‬ ‫كم ا‬
‫)صغريا‬, dipahami oleh para ulama dalam arti disebabkan karena mereka
telah mendidikku waktu kecil bukan sebagaimana mereka mendidikku
waktu kecil. Jika Anda berkata sebagaimana, maka rahmat yang Anda
mohonkan itu adalah yang kwalitas dan kuantitasnya sama dengan apa
yang Anda peroleh dari keduanya. Adapun bila Anda berkata disebabkan
karena, maka limpahan rahmat yang anda mohonkan itu anda serahkan
kepada kemurahan Allah swt. dan ini akan melimpah jauh lebih banyak

31
dan besar daripada apa yang merka limpahkan kepada Anda. Hal ini
sangatlah wajar dilakukan anak, karena bukankah kita diperintahkan
untuk berbuat ihsân kepada mereka sebagai balas budi. Ihsân dimaksud
adalah: ”Memperlakukan pihak lain lebih baik dari perlakuannya terhadap
kita, memberi lebih banyak dari apa yang harus Anda beri, dan menerima
lebih sedikit, dari apa yang seharusnya anda terima”.

B. Kajian Surat Al-Baqarah/2: 83

1. Teks Ayat dan Terjemahnya

Artinya: ”Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil
(yaitu): janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah
kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin,
serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan
tunaikanlah zakat. kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali
sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling.” (Q.S. al-
Baqarah/2: 83)

2. Penjelasan Umum Ayat


Ayat tersebut mengajarkan ajaran global, yaitu ajaran yang bersifat
menyeluruh.  Berlaku bukan saja bagi umat Yahudi Bani Israil, tetapi juga
bagi umat Islam. Prof. Hamka menjelasakan bahwa Q.S. Al-Baqarah/2: 83
tentang diingatkannya lagi janji Bani Israil dengan Allah yang seharusnya
mereka pegang teguh, tetapi telah mereka pungkiri. Adapun ayat ini sudah
khusus dihadapkan kepada Rasulullah saw. sendiri, untuk mengetahui betapa
janji itu telah diikat dengan mereka, supaya Rasul saw. lebih mengetahui
betapa telah jauhnya mereka sekarang daripada janji itu.
Ibnu Katsir lebih tegas menjelaskan bahwa Allah Ta’ala
mengingatkan Bani Israil mengenai beberapa hal yang telah diperintahkan
kepada mereka. Dia mengambil janji mereka untuk mengerjakan perintah
tersebut. Namun mereka berpaling dan mengingkari semua itu secara sengaja,
sedang mereka mengetahui dan mengingatnya. Kemudian Allah menyuruh
mereka agar beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan
sesuatu apapun. Dia juga memerintahkan hal itu kepada seluruh makhluk-
Nya. Dan untuk itu pula (beribadah) mereka diciptakan. Sebagaimana firman-
Nya:

32
Artinya: “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu
melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang
hak) melainkan Aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku". (Q.S. al-
Anbiya/21: 25).

Lebih lanjut Ibn Katsir menjelaskan bahwa itulah hak Allah Swt.
yang paling tinggi dan agung, yaitu hak untuk senantiasa diibadahi dan tidak
disekutukan dengan sesuatu apapun, lalu setelah itu hak antar sesama
makhluk. Hak antar makhluk yang paling ditekankan dan utama adalah hak
kedua orang tua. Oleh karena itu, Allah Ta’ala memadukan antara hak-Nya
dengan hak kedua orang tua, sebagaimana firman-Nya dalam Q.S.
Luqmān/31: 14, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
Dalam Q.S. Luqmān /31: 14 hanya dijelaskan berbuat ihsan kepada
orang tua saja, sementara dalam Q.S. al-Baqarah/2: 83 lebih luas dan rinci
berbuat ihsan secara sistematis, baik yang terkait dengan hablumminallah
maupun habblummiannaas, yakni meliputi: tidak menyembah selain Allah,
dan berbuat baik kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan
orang-orang miskin, serta mengucapkan kata-kata yang baik kepada manusia,
mendirikan shalat dan tunaikanlah zakat.

3. Asbābun Nuzul (Sebab Turunnya Ayat)


Surah al-Baqarah adalah surah ke-2 dan terpanjang yang seluruhnya
diturunkan di Madinah, sehingga digolongkan ke dalam surah Madaniyah.
Sebagian besar surah al-Baqarah ini turun dipermulaan tahun Hijriah.
Adapun surat al-Baqarah/2: 83 ini secara khusus tidak ada sebab
turunnya, namun masih terkait dengan ayat sesudahnya terutama dengan ayat
85. Karena itulah, para mufassir menjelaskan bahwa apabila dilihat dari sisi
asbabun nuzulnya, ayat al-Qur’an diklasifikasikan menjadi dua kelompok ;
pertama ayat-ayat yang mempunyai sebab turunnya ayat dan yang kedua
adalah ayat-ayat turun tidak didahului oleh suatu peristiwa atau pertanyaan.
Jadi dalam al-Qur’an ada ayat yang mempunyai asbabun nuzul dan ada ayat
yang tidak mempunyai asbabun nuzul.

4. Penjelasan Tafsir Ayat


Berdasarkan Q.S. al-Baqarah/2: 83 ini, paling tidak ada 7 (tujuh)
perbuatan ihsan sebagai ikatan janji kita dengan Allah SWT. yaitu:
a. Beribadah kepada Allah dengan tidak mensekutukan-Nya
Firman-Nya, َ‫“ الَ َت ْعبُ ُدو َن إِالَّ اللَّه‬Janganlah kamu beribadah kepada
selain Allah,” az-Zamakhsyari sebagaimana dikutip oleh Ibnu Katsir
mengatakan, “Ini merupakan khabar dengan makna thalab (tuntutan) dan
hal itu lebih tegas/kuat.” Sementara Prof. Hamka dalam Tafsir Al-Azhar

33
menjelaskan bahwa inilah pokok pertama janji, dipusatkan kepada Tauhid,
yang sampai sekarang masih terpancang dengan teguhnya dalam yang
dinamai Hukum Sepuluh di dalam Taurat.
Ibadah kepada Allah bisa dilakukan dalam empat hal:
1) Ibadah Fisik, misalnya : Salat, shaum (puasa), mengurus keluarga, dan
sejenisnya.
2) Ibadah Psikis, misalnya : Sabar, syukur, tawadhu’ (rendah hati),
3) Ibadah Harta, misalnya : Zakat, sodaqoh,  infaq dst.
4) Ibadah ijtima’iyyah (gabungan) ketiga di atas, misalnya: ibadah haji.

b. Berbuat baik kepada kedua orangtua


Ibnu Katsir menjelaskan tentang hal ini, bahwa Allah Ta’ala secara
jelas dan gamblang telah memerintahkan kita untuk senantiasa beribadah
kepada-Nya dan berbakti kepada kedua orang tua melalui firman-Nya
dalam ayat yang lain: ‫َو ْاعبُ ُدوا اهللَ َوالَتُ ْشـ ِر ُكوا بِ ِه َش ْـيئًا َوبِالْ َوالِ َديْـ ِن‬
‫“ إِ ْح َسانًا‬Beribadahlah kepada Allah dan janganlah kamu menyekutukan-
Nya dengan sesuatu apapun. Dan berbuat baiklah pada ibu bapak” (Q.S.
an-Nisā’/4: 36). Lebih lanjut Ibnu katsir menjelaskan bahwa itulah hak
Allah Ta’ala yang paling tinggi dan agung, yaitu hak untuk senantiasa
diibadahi dan tidak disekutukan dengan sesuatu apapun, lalu setelah itu
hak antar sesama makhluk. Hak antar makhluk yang paling ditekankan dan
utama adalah hak kedua orang tua. Oleh karena itu, Allah Ta’ala
memadukan antara hak-Nya dengan hak kedua orang tua.
Sementara Prof. Hamka menjelaskan secara aplikatif, yakni Inilah
janji yang kedua; yakni sesudah menyembah Allah hendaklah berkhidmat,
berbuat baik kepada kedua ibu-bapak. Karena dengan rahmat dan karunia
Allah, kedua ibu-bapak telah menumpahkan kasih sayang kepada anak,
mendidik dan mengasuh. Terutama di waktu belum dewasa, tidaklah
sanggup si anak menempuh hidup dalam dunia ini kalau tidaklah kasih
sayang dianugerahkan Allah kepada ayah dan bunda.
Allah Swt. dalam ayat ini (al-Baqarah/2: 83) menggunakan kata
“Ihsan” (berbuat baik). Artinya berbuat kepada kedua orang tua tanpa
mengaharap balas.  Karena dulu orang tua kita mengurus kita tanpa
mengharap balasan apa-apa dari kita. Orang tua kita mendidik kita,
membesarkan dan menyekolahkan kita dengan tulus ikhlas tanpa
mengaharap balasan apapun.
Sekarang kita sudah dewasa sudah mampu, hendaknya ganti berbakti
kepada orang tua. Berbakti kepada orang tua bisa dilakukan ketika orang
tua masih hidup. Bagaimana caranya?  Diajarkan oleh Rasulullah saw.,
misalnya : Hormat kepada kedua orang tua. Kalau berbicara dengan orang
tua, anak harus lebih rendah suaranya dibanding orang tua.  Dengan
kalimat dan bahasa yang halus. Jangan menyingung hati orang tua.
Ketika orang tua masih hidup, si anak harus mengutamakan orang tua
daripada orang lain. Misalnya kita menyediakan makanan dan minuman

34
bagi orang tua, kebetulan anak kita minta makanan itu, beritahu anak
tersebut bahwa makanan itu untuk nenek-kakek, tidak boleh dimakan
siapa-siapa. Sambil mengambilkan makanan untuk anak kita itu dari
tempat makanan yang lain.   Jadi orang tua harus di utamakan.
Berbakti kepada kedua orang tua bisa juga dilakukan ketika orang tua
sudah wafat. Rasulullah saw. mengajarkan cara berbakti kepada orang tua
kita yang sudah meninggal dengan 4 hal;
1) Mensalatkannya ketika orang tua meninggal
2) Memohonkan ampunan kepada Allah Swt
3) Melaksanakan pesannya. (Misalnya pesan untuk selalu bersilaturahim
dengan saudara-saudara kita. Maka ketika si anak bersilaturahim
dengan saudara atau teman orang tua kita, berarti ia berbakti kepada
kedua orangtuanya yang sudah wafat).
4) Memuliakan sahabat dan kerabat orang tua yang sudah wafat.

c. Berbuat baik kepada kerabat


Yang dimaksud kerabat, menurut M. Quraish Shihab ialah mereka
yang punya hubungan darah, karena satu rahim (kandungan). Kerabat
dekat: kakak-adik.  Kerabat jauh: Saudara sepupu, dan seterusnya. Prof.
Hamka menjelaskan yang dimaksud kerabat di sini adalah saudara, paman,
saudara ayah dan saudara ibu, nenek laki-laki dan nenek perernpuan,
pendeknya semua yang bertali darah. Lebih lanjut Hamka menjelaskan
bahwa di bawah perlindungan Allah, seorang anak telah hidup dalam
asuhan ibu-bapak, di dalam rumah tangga yang berbahagia. Dan rumah
tangga itu bertali-tali dengan keluarga yang lain, sehingga timbullah
kekeluargaan besar, yang berupa suku, kabilah dan kaum. Maka tidaklah
bisa seorang hidup sendiri dan hidup hanya dengan ibu-bapak atau dengan
anak dan istri saja. Semua ada pertaliannya. itulah yang membentuk
masyarakat besar, berupa negeri dan negara. Maka memelihara hubungan
yang balk dengan keluarga itupun menjadi salah satu janji penting Bani
lsrail (termasuk Umat Islam, pen.) dengan Tuhan.

d. Berbuat baik kepada anak yatim


Yatim adalah anak yang belum aqil-baligh yang tidak berayah karena
ayahnya meninggal dunia.  Anak yang sudah diatas aqil baligh tidak
termasuk anak yatim. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Katsir
bahwa yatim adalah anak-anak yang masih kecil yang tidak ada berayah.
Hal senada juga diungkapkan oleh Prof. Hamka bahwa anak yatim, yakni
anak yang telah kematian ayah di waktu la masih kecil, hendaklah pula
dikasihi, diperlakukan dengan baik, diasuh dan dididik. Karena dengan
kematian ayahnya, tidaklah sanggup ibunya saja mengasuhnya sendiri,
apatah lagi bila ibu itu telah bersuami yang lain pula.
Seorang yang beragama hendaklah turut memikirkan anak yatim, turut
memelihara dan mendidiknya. Kalau dia menerima warisan atau kekayaan
dari ayahnya, maka tolonglah pelihara, sehingga kekayaan pusakanya itu
dapat dipergunakannya dengan baik setelah dia dewasa.

35
Berbuat ihsan kepada anak yatim diajarkan oleh Allah Swt. Dengan
cara sebagai berikut;
1) Mendidik dengan baik, dengan didikan Islam, sekolah Islam atau
madrasah serta membiayainya. Anak yang tidak diajarkan agama,
maka ia sulit diharapkan menjadi anak yang saleh. Mungkin ia menjadi
anak cerdas, tetapi tidak saleh.
2) Memenuhi hak mereka. Karena mereka tidak punya ayah, maka
biasanya tidak ada yang menjamin  makan-minumnya dan pakaian
serta tempat tinggalnya. Maka penuhilah kebutuhan hidup mereka
secara wajar. Paling tidak mereka dibantu sebagian keperluannya,
bayaran sekolahnya, atau bagian yang lain.

e. Berbuat baik kepada orang miskin


Orang miskin ialah mereka yang tidak mampu memenuhi kebutuhan
sehari-harinya. Menurut Ibnu Katsir, “Orang-orang miskin,” adalah orang-
orang yang tidak dapat menafkahi diri sendiri dan keluarganya. Rasulullah
saw dalam sebuah hadis sahih bersabda : “Mengurus, menyantuni armalah
(janda) misikin, dan orang-orang miskin adalah bagaikan berjuang di
jalan Allah (fissabilillah)”. Bahkan dalam Hadits yang lain dikatakan :
“Mengurus orang miskin bagaikan orang yang sholat malam (tahajud)
dan tidak pernah tidur,  bagaikan orang yang puasa terus-menerus tidak
pernah berbuka”.
Prof. Hamka mepertegas, apalagi kalau yatim miskin; sudilah
berkurban buat dia, orang miskinpun janganlah sampai dibiarkan melarat.
Hendaklah yang kaya memikirkan nasibnya, menolongnya. Tolonglah
usahakan dan carikan jalan supaya dia dapat berusaha pula melepaskan
dirinya dari kemiskinan. Maknanya, bahwa peduli  dan menyantuni janda
miskin, orang miskin merupakan ajaran yang mulia dari Allah Swt.

f. Bertutur, berkata-kata mulia


, ‫ـسنًا‬‫ح‬ ‫َّاس‬
‫ن‬ ‫ل‬ِ‫وقُولُ وا ل‬
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Firman-Nya
ْ ُ َ
“Dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.” Artinya,
ucapkanlah kepada mereka ucapan yang baik dan sikap yang lembut.
Termasuk dalam hal itu adalah amar ma’ruf nahi mungkar (menyuruh
berbuat baik dan mencegah kemungkaran). Sebagaimana dikatakan oleh
Hasan al-Bashri mengenai firman-Nya ini: “Termasuk ucapan yang baik
adalah menyuruh berbuat baik dan mencegah perbuatan mungkar,
bersabar, suka memberi maaf, serta berkata kepada manusia dengan
ucapan yang baik, sebagaimana yang difirmankan Allah Swt. tadi. Yaitu
setiap akhlak baik yang diridhai oleh Allah.”
Hamka menegaskan hal serupa bahwa berkata yang baik bukanlah
berarti bermulut manis saja, itu hanya sebagian dari yang baik. Tetapi yang
baik adalah lebih sangat luas dari itu. Hendaklah menanam jasa kepada
sesama manusia, memberi nasehat dan pengajaran; amar ma'ruf, nahi
munkar. Menyuruh berbuat baik, melarang berbuat munkar, menegur
mana yang salah. Kalau sudah nampak perbuatan yang salah, jangan

36
didiamkan saja, tetapi tegurlah dengan pantas. Yang berpengalaman
hendaklah mengajar yang bodoh. Yang kurang ilmu hendaklah menuntut
kepada yang pandai. Sehingga bersama-sama mencapai masyarakat yang
lebih baik.
Maksudnya, kita diajarkan agar bertutur kata kepada siapa saja
dengan kalimat-kalimat yang tidak menyakitkan. Kata-kata yang enak di
dengar, lembut dan menarik hati serta baik.  Berbicaralah dengan orang
lain dengan tidak melukai hati atau menyinggung perasaan. Bertutur
mulia, intinya adalah kata-kata yang bermanfaat bagi agama, dunia dan
bermanfaat pula bagi akhirat.

g. Mendirikan salat dan menunaikan zakat


Ibnu Katsir memberikan paparan yang jelas bahwa setelah Allah Swt.
memerintahkan Bani Israil untuk berbuat baik kepada manusia dengan
tindakan nyata, Dia menyuruh mereka mengucapkan ucapan yang baik
kepada manusia. Dengan demikian, Dia telah menyatukan antara kebaikan
dalam bentuk tindakan yang nyata dengan kebaikan dalam bentuk ucapan.
Setelah itu Dia menegaskan perintah untuk beribadah kepada-Nya dan
berbuat baik kepada umat manusia dengan cara tertentu berupa salat dan
zakat. Dia berfirman, ‫الز َكـا َة َو‬ َّ ‫“ أَقِي ُـموا‬Dirikanlah shalat
َّ ‫الصالََة َوءَ اتُـوا‬
dan tunaikanlah zakat” (Q.S. al-Baqarah/2: 43).
Salat merupakan Hablumminallah yaitu hubungan antara hamba dan
Allah Swt., manusia melangsungkan komunikasi dengan Allah Swt.
Sedangkan  Zakat adalah Hablumminannaas, membangun hubungan antar
manusia. Hubungan yang serasi di antara manusia.  Yaitu dengan cara
membayarkan zakat (sebagian dari harta yang kita miliki). Hal ini
sebagaimana yang dijelaskan oleh Hamka bahwa salat untuk merapatkan
hubungan dengan Tuhan Allah yang disembah itu, sebab salat adalah
ibadat. Sementara zakat, lanjut Hamka artinya ialah pembersihan. Yakni
membersihkan hati sanubari daripada penyakit bakhil, membersihkan jiwa
daripada diperbudak harta, dan membersihkan hubungan di antara yang
kaya dengan yang miskin, sehingga timbul kasih-sayang bagi yang mampu
atas yang miskin dan timbul pula kasih sayang dan cinta yang miskin
kepada yang mampu. Hapus rasa benci dari si kaya dan hilang rasa
dendam dari si miskin.
Itulah Islam, yang membangun hubungan antara manusia dengan
Allah Swt. dan membangun hubungan antara sesama  manusia. 
Membangun hubungan dengan Allah swt disebut Ibadah, dan membangun
antara sesama manusia disebut Mu’amalah. Itulah yang disebut salat dan
zakat. Maka dalam al-Qur’an  perintah salat selalu digabung dengan
perintah zakat.
Wahbah Zuhaily dalam tafsirnya “Al-Munir” menjelaskan bahwa ada
syaratnya agar amal kita diterima oleh Allah Swt.,  yaitu dilakukan dengan
ikhlas dan khusyu’. Ikhlas artinya melakukan segala sesuatu hanya
karena Allah Swt. Bahwa seseorang itu melakukan salat dan membayar
zakat serta menyantuni anak yatim, fakir-miskin, adalah  semata-mata

37
karena melaksanakan perintah Allah swt,  bukan karena pamrih lain.
Khusyu’ artinya serius, bersungguh-sungguh, tidak setengah-setengah.

C. Hadis Terkait Dengan Saling Menasihati Dan Berbuat Ihsan


1. Hadis pertama dan terjemahnya
: ‫َع ْن َأيِب مَع ْ رو الشَّ يْب َايِن ي َ ُق ْو ُل َحدَّ ثَنَا َصا ِح ُب َه ِذ ِه ادلَّ ِار َوَأ ْو َمَأ ِب َي ِد ِه َىل د َا ِر َع ْب ِد هللا ق َا َل‬
‫الص َال ُة عَىَل‬ ‫ِإ‬ ِ ‫َسَألْ ُت النَّيِب َّ َصىَّل هللا عَلَ ْي ِه َو َسمَّل َ َأ ُّي الْ َع َم ِل َأ َح ُّب َىل‬
َّ ‫هللا َع َّز َو َج َّل قَ ا َل‬
‫ِإ‬
‫َو ْقهِت َا ُقلْ ُت مُث َّ َأي قَا َل مُث َّ ِب ُّر ْا َلوادِل َ ْي ِن قُلْ ُت مُث َّ َأ ْي قَا َل مُث َّ ْا ِجلهَاد يِف َس ِب ْي ِل هللا قَ ا َل َح دَّ ثَيِن‬
‫هِب ِ َّن َولَ ِو ْاسزَت َ ْدتُ ُه ل َ َزا َدىِن‬
”Dari Abu Amru Asy-Syaibaany ia menuturkan, “Pemilik rumah ini
menyampaikan kepada kami - ia menunjuk ke arah rumah Abdullah, ia
berkata, ‘Aku bertanya kepada Nabi saw. amal apa yang paling dicintai
Allah ‘Azza wa Jalla? Beliau menjawab, ‘Salat pada waktunya’. Aku
berkata, ‘Kemudian apa lagi?’. Ia berkata, ‘Kemudian berbakti kepada
kedua orang tua’. Aku berkata, ‘Kemudian apa lagi?’. Beliau menjawab,
‘Kemudian Jihad di jalan Allah. Dan kalau aku meminta tambahan lagi
niscaya beliau menambahkannya”. (HR. Bukhori-Muslim).

2. Syarah hadis
Hadis yang mulia ini menunjukkan apa yang telah dijelaskan di atas
yaitu fadhilah dan kwajiban berbakti kepada orang tua. Dimana Rasulullah
saw. menjadikannya  sebagai amalan yang  paling afdhol setelah  salat. Kalau
salat adalah ibadah agung yang berkaitan dengan hubungan hamba dengan
Sang Pencipta. Berbakti kepada kedua orang tua adalah ibadah yang
berkaitan dengan hubungan manusia dengan orang yang paling berjasa
kepadanya, yaitu kedua orang tua. Salat adalah hak Allah Swt. yang wajib
ditunaikan oleh hamba. Dan berbakti kepada orang tua adalah hak kedua
orang tua yang wajib ditunaikan oleh anak. Seperti di dalam dua ayat di atas,
Allah Ta’ala menyebutkan perintah berbakti kepada kedua orang tua setelah
perintah mentauhidkan-Nya.
Imam An-Nawawi ra berrkata, “Berbakti kepada kedua orang adalah
(dengan) berbuat baik kepada keduanya, mengerjakan yang bagus dan
menyenangkan keduanya. termasuk di dalamnya berbuat baik kepada teman
keduanya”. Sementara Syaikh  Ibnu Utsaimin ra menjelaskan, “(Berbakti
kepada keduanya) adalah berbuat baik kepada keduanya dengan perkataan,
perbuatan dan harta sesuai dengan kemampuan”.

3. Kesimpulan Hadis
Dari hadis di atas dapat diambil kesimpulan hal-hal sebagai berikut;

38
a. Hadis ini adalah dalil bahwasanya salat adalah ibadah badaniyah yang
paling afdhol setelah syahadatain.
b. Hadis ini juga mendorong  untuk mengerjakan salat pada waktunya. Imam
an-Nawawi menyebutkan, “Mungkin disimpulkan darinya; disukainya
mengerjakan di awal waktu, karena itu lebih berhati-hati dalam
menjaganya dan menyegerakannya”. bahkan bagi kaum pria yang
diwajibkan menghadiri salat berjama’ah di masjid memang harus
mengerjakannya diawal waktu. Karena salat berjama’ah di masjid
dilakukan di awal waktu.
c. Syaikh Ibnu Utsaimin ra. berkata, “Di dalam hadis ini ada dalil yang
menunjukkan keutamaan berbakti kepada kedua orangtua”.
d. Hadis ini menyebutkan beberapa amalan yang dicintai Allah Swt., ini
menandakan bahwa mengerjakan perintah Allah adalah syarat untuk
mendapatkan cinta Allah Swt. Sebagaimana firman-Nya dalam hadis
Qudsi,
ْ ‫ى ِم َّما ا ْفتَ َر‬
‫ا‬U‫ ِه َو َم‬Uْ‫تُهُ َعلَي‬U‫ض‬ َّ َ‫ ْي ٍء أَ َحبُّ إِل‬U‫ ِدي بِ َش‬Uْ‫ي َعب‬ َّ َ‫َّب إِل‬
َ ‫ر‬Uَ‫ا َ تَق‬U‫َو م‬
ُ‫ي باِلنَّ َوافِ ِل َحتَّى أُ ِحبَّه‬
َّ َ‫يَ َزا ُل َع ْب ِدي يَتَقَرَّبُ إَل‬
“Dan tidaklah hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu
yang lebih Aku cintai dari pada apa-apa yang Aku fardhukan atasnya.
Dan hambaKu senantiasa mendekatkan diri kepadaKu dengan ibadah-
ibadah nafilah sehingga Aku mencintaiNya …”(H.R. Turmuzi).

e. Di dalam hadis ini juga terkandung pengajaran bagi seorang mufti, ahli
ilmu dan guru agar bersabar terhadap orang yang bertanya atau muridnya
dan berlapang dalam menghadapinya, walaupun ia banyak bertanya.
f. Seorang murid juga hendaknya menimbang dan memperhatikan kondisi
dan maslahat gurunya. Ini disimpulkan dari perkataan Ibnu Mas’ud yang
tidak ingin menambah (pertanyaan), karena tidak ingin membebaninya dan
ia berkata : kalau aku menambahkan lagi beliau pasti menambahkannya.
g. Bentuk-bentuk berbakti kepada orangtua;
1) Melakukan kebaikan untuknya, menjaga hubungan dengannya dan
bergaul dengannya dengan akhlak yang baik.
2) Tidak seyogyanya anak merasa kesal dan sakit  hati kepada orang tua.
3) Tidak mengeraskan suara atau memotong pembicaraannya, tidak
berdebat dengannya, dan tidak berdusta kepadanya. Tidak menganggu
istirahatnya dan merendahkan diri di hadapannya serta
mendahulukannya dalam berbicara maupun berjalan sebagai
penghormatan dan memuliakan kedudukannya yang tinggi.
4) Berterima kasih kepadanya dan mendo’akannya sesuai firman Allah
Swt.

39
ْ ‫َوقُل َّر ِّب‬
َ R‫ار َح ْم ُه َما َك َما َربَّيَانِي‬
‫ص ِغي ًرا‬
“Dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya,
sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku waktu kecil” (Q.S.
al-Isrā/17: 24)
5) Mendahulukan dan melebihkan berbakti kepada ibu, karena jasanya
yang tak terhingga kepada anak, mulai dari mengandung, melahirkan
menyusui dan mendidiknya hingga besar.
6) Mendahului dan menyegerakan keinginan dan permintaannya.
7) Merawat dan menjaganya khususnya ketika orang tua telah usia lanjut.
8) Memberi nafkah kepadanya, jika ia membutuhkan, Allah Swt.
berfirman,
‫قُ ْل َما أَنفَ ْقتُم ِّمنْ َخ ْي ٍر فَلِ ْل َوالِ َد ْي ِن َواألَ ْق َربِي‬
“Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendakla
diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat” (Q.S. al-Baqarah/2:
215).
9) Meminta izin kepada keduanya sebelum safar (bepergian) dan
meminta restunya, kecuali dalam haji yang fardhu. al-Qurthuby
berkata, “Termasuk berbuat baik dan bakti kepada keduanya, apabila
jihad tidak fardhu ‘ain tidak boleh berjihad kecuali dengan izin
keduanya”.
10) Mendoakannya setelah ia wafat, menunaikan wasiatnya dan berbuat
baik kepada teman-temannya.

2. Hadis kedua dan Terjemahnya


‫هللا عَلَ ْي ِه‬
ُ ‫هللا َص ىَّل‬ ِ ِ‫هللا َع ْن ُه َع ْن َر ُس ْول‬ ُ َ ‫َع ْن َأيِب ي َ ْعىَل َش َّداد ا ْب ِن َأ ْو ٍس َريِض‬
‫ فَ َذا قَتَلْمُت ْ فََأ ْح ِس ُنوا الْ ِق ْتةَل َ َو َذا‬،‫هللا َك َت َب ْا ْح َس َان عَىَل لُك ِ ّ يَش ْ ٍء‬ َ ‫ َّن‬:‫َو َسمَّل َ قَا َل‬
‫ِإ‬
‫ِإ‬ ]‫[رواه مسمل‬.ُ‫َذحَب ْ مُت ْ فََأ ْح ِس ُنوا ِّاذلحْب َ َة َولْ ُي ِحِإل َّد َأ َحدُ مُك ْ َش ْف َرتَ ُه َولْرُي ِ ْح َذ ِبِإ ْي َح َته‬
Dari Abu Ya’la, Syaddad bin Aus ra., dari Rasulullah saw. beliau bersabda:
“Sesungguhnya Allah mewajibkan IHSĀN (berlaku baik) pada segala hal,
maka jika kamu membunuh hendaklah membunuh dengan cara yang baik
dan jika kamu menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang baik dan
hendaklah menajamkan pisau dan memberi kelapangan bagi hewan yang
disembelihnya” (H.R. Muslim).

a. Penjelasan Hadis (Syarah Hadis)


Allah Swt. mewajibkan perbuatan ihsān dalam setiap keadaan.
Sampai-sampai dalam hal tertentu harus membunuh orang (pada jihad fī
sabilillāh, qishash, atau hukuman syar’i yang lain), lakukanlah dengan
cara ihsān (baik).
Demikian juga Allah mewajibkan perbuatan ihsān dalam
penyembelihan binatang. Salah satu bentuknya adalah dengan
menajamkan pisau yang akan digunakan menyembelih serta memberi
kelapangan (tidak menyakiti atau menyebabkan menderita) pada hewan
yang akan disembelih.

40
b. Kesimpulan Hadis (Makna Ihsān)
Para Ulama’ menjelaskan bahwa ihsān diterapkan pada 2 hal;
1) Ihsan dalam beribadah kepada Allah, yaitu:
َ‫َأ ْن تَ ْع ُبدَ اهَّلل َ َأَكن ََّك تَ َرا ُه فَ ْن ل َ ْم تَ ُك ْن تَ َرا ُه فَ ن َّ ُه يَ َراك‬
‫ِإ‬
“Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihatnya. Jika
‫ِإ‬
engkau tidak melihatnya, maka sesungguhnya Allah melihatmu (H.R. al-
Bukhari dan Muslim).
Ihsān kepada Allah dalam beribadah ini terbagi menjadi 2:
a) Maqāmul Musyāhadah: beribadah seakan-akan menyaksikan Allah.
Seorang manusia di dunia tidak akan bisa melihat Allah dalam
keadaan terjaga. Ia hanya bisa menyaksikan Allah dengan mata kepala
langsung kelak di akhirat (surga). Namun, dengan penghambaan dan
keyakinan yang tinggi, ia beribadah sehingga seakan-akan
menyaksikan sesuatu yang ghaib menjadi nyata. Ia merasa beribadah
dengan berdiri di hadapan Allah dan melihat-Nya.  Sebagian Ulama’
menyatakan: seakan-akan ia menyaksikan Allah dengan hatinya.Pada
tingkatan ini perasaan yang menonjol adalah perasaan cinta dan
pengagungan terhadap Allah.
b) Maqāmul murāqobah: beribadah dengan perasaan selalu diawasi oleh
Allah.
Pada tingkatan ini perasaan yang menonjol adalah perasaan
menghinakan diri dan takut kepada Allah. Tingkatan yang pertama
(maqāmul musyāhadah) lebih tinggi kedudukannya dibandingkan
tingkatan yang kedua (maqāmul murāqobah).

2) Ihsān (berbuat baik) kepada makhluk, yaitu:


Tidak mendzalimi para makhluk dan jika mampu memberikan
bantuan harta, makanan/minuman, tenaga, dan pikiran untuk kebaikan
mereka. Orang yang senantiasa berbuat ihsan akan mendapat rahmat
dan semakin dekat kepada Allah, kecintaan dari Allah, pahala yang
berlipat, balasan Jannah (surga) serta kenikmatan melihat Wajah Allah.

3. Hadis ketiga dan terjemahnya

‫َح َّدثَنَا ُم َح َّمدُ ْب ُن ب َ َّش ٍار َأ ْخرَب َ اَن حَي ْ ىَي ْب ُن َس ِعي ٍد َأ ْخرَب َ اَن هَب ْ ُز ْب ُن َح ِك ٍمي‬
‫َح َّدثَيِن َأيِب َع ْن َج ِّدي قَ ا َل قُلْ ُت اَي َر ُس و َل اهَّلل ِ َم ْن َأبَ ُّر قَ ا َل ُأ َّم َك قَ ا َل‬
َّ ‫قُلْ ُت مُث َّ َم ْن قَا َل ُأ َّم َك قَا َل قُلْ ُت مُث َّ َم ْن قَا َل ُأ َّم َك قَا َل قُلْ ُت مُث َّ َم ْن قَا َل مُث‬
.‫َأاَب كَ مُث َّ اَأْل ْق َر َب فَاَأْل ْق َر َب‬
Artinya: “Ada seseorang bertanya, ‘Ya Rasulullah, kepada siapa aku harus
berbakti’? ‘Ibumu’, jawab Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. ‘Lalu siapa

41
lagi’? tanyanya. ‘Ibumu’, ujar beliau. ‘Kemudian siapa lagi’? lanjutnya. Beliau
menjawab, ‘Kepada bapakmu, kemudian kepada orang yang terdekat
denganmu, lalu orang yang terdekat denganmu lagi.’ (H.R. Turmudzi).

42

Anda mungkin juga menyukai