Anda di halaman 1dari 3

Mendidik Islami Ala Luqman Al-Hakim

Oleh: Dr. Attabiq Luthfi, MA

dakwatuna.com - “Dan (Ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi nasehat
kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan
(Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar ….. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan
lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai”. (Luqman: 13-19)

Surat Luqman secara umum, terutama ayat 13-19 difahami sebagai surat yang harus dibaca saat prosesi
aqiqah atau kesyukuran atas kelahiran seorang anak, dengan harapan bahwa sang ayah nantinya dapat
meneladani tokoh Luqman yang diabadikan wasiatnya dan sang anak juga dapat mengikuti petuah dan
nasehat seperti halnya anak Luqman. Tentu pemahaman ini dapat diterima, mengingat secara tekstual
ayat-ayat ini memang berbicara secara khusus tentang pesan Luqman dalam konteks mendidik anak
sesuai dengan pesan Al-Qur’an. Apalagi pesan Luqman dalam surat ini sebenarnya adalah pesan Allah
yang dibahasakan melalui lisan Luqman Al-Hakim sehingga sifatnya mutlak dan mengikat; pesan Luqman
dalam bentuk perintah berarti perintah Allah, demikian juga nasehatnya dalam bentuk larangan pada
masa yang sama adalah juga larangan Allah yang harus dihindari.

Luqman yang dimaksud dalam ayat-ayat ini menurut Ibnu Katsir adalah Luqman bin Anqa’ bin Sadun. Ia
adalah anak dari seorang bapak yang Tsaaran. Pengabadian kisah Luqman memang berbeda dengan
pengabdian tokoh lain yang lebih komprehensif. Pengabadian Luqman hanya berkisar seputar nasehat
dan petuahnya yang sangat layak dijadikan acuan dalam mendidik anak secara Islami.

Tentu masih banyak lagi cara Islami dalam mendidik anak berdasarkan ayat-ayat atau hadits Rasulullah
saw yang lain. Namun paling tidak, pesan Luqman ini bukan sekedar pesan biasa umumnya seorang
bapak kepada anaknya, namun merupakan pesan yang penuh dengan sentuhan kasih sayang dan sarat
dengan muatan ideologis serta tersusun berdasarkan skala prioritas dari pesan agar mengesakan Allah
dan tidak menmpersekutukannya sampai pada pesan untuk bersikap tawadu’ dan santun yang tercermin
dalam cara berjalan dan berbicara. Kedua jenis pesan dan nasehat tersebut ternyata tidak keluar dari
dua prinsip utama dalam ajaran Islam yaitu ajaran tentang akidah dan akhlak.

Menurut Sayid Quthb, rangkaian ayat-ayat berbicara tentang Luqman dan nasihatnya yang diawali
dengan anugerah hikmah kepada Luqman di ayat 12 merupakan pembahasan kedua dari pembahasan
surat Luqman yang masih sangat terkait dengan pembahasan episode pertama, yaitu persoalan akidah.
Pesan Luqman sendiri pada intinya adalah pesan akidah yang memiliki beberapa konsekuensi; di
antaranya berbakti dan berbuat ma’ruf kepada kedua orang tua sebagai bukti rasa syukur atas kasih
sayang dan pengorbanan mereka merupakan tuntutan atas akidah yang benar kepada Allah swt.
Senantiasa merasakan kehadiran dan pengawasan Allah dalam setiap langkah dan perbuatan merupakan
aktualisasi dari keyakinan akan sifat Allah Yang Mengetahui, Maha Mendengar dan Maha Mengawasi.
Serta menjalankan aktifitas amar ma’ruf dan nahi munkar yang disertai dengan sikap sabar dalam
menghadapi segala rintangan dan tantangan merupakan bukti akan keluatan iman yang bersemayam di
dalam hati sanubari, hingga pada pesan untuk senantiasa bersikap tawadu’ dan tidak sombong, baik
dalam bersikap maupun dalam berbicara. Semuanya tidak lepas dari ikatan dan tuntutan akidah yang
benar.

Dominasi pembahasan seputar akidah dalam surat ini memang wajar karena surat Luqman termasuk
surat Makkiyyah yang notabene memberi fokus pada penanaman dan penguatan akidah secara
prioritas..
Terlepas dari pro kontra siapa Luqman sesungguhnya; apakah ia seorang nabi ataukah ia hanya seorang
lelaki shalih yang diberi ilmu dan hikmah, yang jelas jumhur ulama lebih cenderung memilih pendapat
yang mengatakan bahwa ia hanya seorang hamba yang shalih dan ahli hikmah, bukan seorang nabi
seperti yang diperkatakan oleh sebagian ulama. Gelar Al-Hakim di akhir nama Luqman tentu gelar yang
tepat untuknya sesuai dengan ucapannya, perbuatan dan sikapnya yang memang menunjukkan sikap
yang bijaksana. Allah sendiri telah menganugerahinya hikmah seperti yang ditegaskan dalam ayat
sebelumnya:

“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah. dan
barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan
barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji“. (Luqman:
12)

Yang menarik disini bahwa ternyata sosok Luqman bukanlah seorang yang terpandang atau memiliki
pengaruh. Ia hanya seorang hamba Habasyah yang berkulit hitam dan tidak punya kedudukan sosial yang
tinggi di masyarakat. Namun hikmah yang diterimanya menjadikan ucapannya dalam bentuk pesan dan
nasehat layak untuk diikuti oleh seluruh orang tua tanpa terkecuali. Hal ini terungkap dalam riwayat Ibnu
Jarir bahwa seseorang yang berkulit hitam pernah mengadu kepada Sa’id bin Musayyib. Maka Sa’id
menenangkannya dengan mengatakan: “Janganlah engkau bersedih (berkecil hati) karena warna kulitmu
hitam. Sesungguhnya terdapat tiga orang pilihan yang kesemuanya berkulit hitam, yaitu Bilal, Mahja’
maula Umar bin Khattab dan Luqman Al-Hakim”.

Rangkaian pesan dan nasehat Luqman yang tersebut dalam 7 ayat di atas secara redaksional dapat dibagi
menjadi dua bentuk, yaitu bentuk larangan yang berjumlah 3 ayat dan redaksi perintah yang berjumlah 3
ayat. Sedangkan yang mengapit antara keduanya adalah pesan untuk senantiasa muraqabtuLlah karena
Allah Maha Mengetahui apa yang dilakukan oleh setiap hambaNya tanpa terkecuali meskipun hanya
sebesar biji zarrah dan dilakukan di tempat yang sangat mustahil diketahui oleh siapapun melainkan oleh
Allah swt. Tiga larangan yang dimaksud adalah larangan mempersekutukan Allah, larangan menta’ati
perintah kedua orang tua dalam konteks kemaksiatan, serta larangan bersikap sombong. Sedangkan
nasehat dalam bentuk perintah diawali dengan perintah berbuat baik dan berbakti kepada kedua orang
tua dalam keadaan apapun mereka yang diringi dengan mensyukuri Allah atas segala anugerah dan
limpahan rahmatNya dalam beragam bentuk, perintah untuk mendirikan shalat, memerintah yang
ma’ruf dan mencegah yang munkar serta perintah bersikap sederhana dalam berjalan dan bersuara
(berbicara).

Dalam menjelaskan secara aplikatif tafsir ayat 15 dari surat Luqman ini, Ibnul Atsir dalam kitab Usudul
Ghabah ( 2: 216) menukil riwayat Thabrani yang mengetengahkan kisah seorang anak yang bernama
Sa’ad bin Malik yang tetap berbakti menghadapi ibundanya yang menentang keras keislamannya dengan
melakukan aksi mogok makan beberapa hari lamanya sehingga terlihat kepenatan menimpa ibundanya.
Namun dengan tegas dan tetap menunjukkan baktinya Sa’ad berkata dengan bijak kepada ibundanya:
“Wahai ibu, sekiranya engkau memiliki seratus nyawa. Lalu satu persatu nyawa itu keluar dari jasadmu
agar aku meninggalkan agama (Islam) ini maka aku tidak akan pernah menuruti keinginanmu. Jika
engkau sudi silahkan makan makanan yang telah aku sediakan. Namun jika engkau tidak berkenan, maka
tidak masalah.”

Akhirnya ibu Sa’ad pun memakan makanan yang dihidangkannya, karena merasa bahwa upaya yang
cukup ekstrim itu tidak akan meluluhkan keteguhan hati anaknya dalam agama Islam. Tentu sikap yang
bijak yang ditunjukkan oleh seorang anak terhadap sikap memaksa kedua orang tuanya yang
digambarkan dalam ayat ke 15 tidak akan hadir secara instan tanpa didahului oleh pemahaman yang
benar akan akidah Islam, terutama akidah kepada Allah.

Kisah di atas jelas merupakan sebuah kisah yang sangat menarik dan berat untuk difahami dalam
konteks kekinian. Bagaimana secara sinergis seorang anak tetap mampu menghadirkan sikap bakti
kepada orang tua dengan tetap mempertahankan ideologi dan keyakinan yang dianutnya yang berbeda
dengan keyakinan kedua orang tuanya. Pada ghalibnya seorang anak akan merasakan kesukaran dan
keberatan untuk menimbang antara ketaatan kepada perintah orang tua dan bersikap ihsan serta
berbakti kepada keduanya. Menurut Ibnu Katsir berbakti kepada kedua orang tua adalah dalam konteks
bersilaturahim, mendoakan dan memberikan bantuan yang semestinya yang harus dibedakan dengan
ketaatan yang berujung kepada bermaksiat kepada Allah. Tentang hal ini, Sufyan bin Uyainah pernah
berkata :

“Barangsiapa yang menegakkan shalat lima waktu berarti ia telah mensyukuri Allah dan barangsiapa
yang senantiasa berdoa untuk kedua orang tuanya setiap selesai shalat, maka berarti ia telah mensyukuri
kedua orang tuanya.”

Sungguh sebuah sikap yang matang dan bijak yang tentu berawal dari model pendidikan yang bernuansa
‘akidi dan akhlaqi’ dengan tetap memperhatikan kebutuhan dan tuntutan kekinian yang seimbang
dengan landasan prinsip dalam berIslam secara baik dan benar. Anak-anak sekarang sangat
mendambakan nasehat orang tua yang memperkuat, bukan memanjakan karena memang mereka hidup
untuk zaman yang berbeda dengan zaman kedua orang tuanya seperti yang diisyaratkan oleh Rasulullah
dalam haditsnya:

“Pilihlah tempat nuthfahmu untuk dibuahkan. Karena sesungguhnya anak-anakmu dilahirkan untuk
zaman mereka yang berbeda dengan zamanmu.”

Demikian nasehat dan pesan Luqman dalam mendidik anaknya yang didahului oleh pendidikan akidah
tentang keEsaan Allah dan pengetahuanNya yang absolut yang akan melahirkan sikap mawas diri, hati-
hati dan muraqabatuLlah dalam bersikap dan bertindak. Kekuatan dan kemantapan akidah tersebut akan
terespon dan termanifestasikan dalam berakhlak dan berperilaku kepada orang lain, terutama sekali
terhadap kedua orang tua. Sungguh satu upaya yang serius dari seorang Luqman yang bijak untuk
mendekatkan dan memperkenalkan seorang anak sejak dini dengan RabbNya yang berdampak pada
kebaikan dan kesejahteraan lahir dan bathin, serta menjadikannya memiliki tingkat imunitas dan
pertahanan diri yang kokoh menghadapi beragam godaan kehidupan yang dirasa kian melalaikan dan
menjerumuskan. Allahu a’lam

Sumber : http://www.dakwatuna.com/2009/mendidik-islami-ala-luqman-al-hakim/

Anda mungkin juga menyukai