Anda di halaman 1dari 26

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Ilmu Pendidikan Vokasi dan Kejuruan


Pengertian pendidikan vokasi sebelum dan setelah diamandemen menyatakan tiga
hal yang sama yaitu pendidikan, pelatihan (training), dan pelatihan kembali (retraining).
Pendidikan, pelatihan, dan pelatihan kembali memerlukan adanya supervisi dari
masyarakat dan dikendalikan atau dibawah kontrak badan/lembaga atau agen
pendidikan lokal setingkat dinas pendidikan. Pendidikan vokasi bersifat generik dan
masih bersifat terbuka untuk berbagai kemungkinan-kemungkinan pekerjaan. Pelatihan
vokasi sudah bersifat mengkhusus untuk suatu ketrampilan atau kompetensi tertentu
yang strategis dan dibutuhkan oleh masyarakat atau dunia industri. Pendidikan vokasi
merupakan pendidikan tinggi program diploma yang menyiapkan mahasiswa untuk
pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu sampai program sarjana terapan Pasal 16
UU Perguruan Tinggi (Sudira 2012).

Pendidikan vokasi merupakan bagian penting dari sistem pendidikan nasional yang
tentu mempunyai posisi strategis untuk mewujudkan tenaga kerja yang berkualitas
dengan adanya keterlibatan aktif dari DUDI. Pendidikan vokasi harus dapat
membangunkan kesadaran pelaku dunia usaha dan dunia industri untuk turut
mengambil tanggung jawab lebih besar, serta wajib dikembangkan agar dapat mengisi
lapangan kerja industri dengan profil lulusan yang memiliki ketrampilan dan
pengetahuan tinggi (high skilled & know how), sehingga dapat melakukan peningkatan
proses produktif serta dapat melakukan perbaikan dan pengembangan produk di dunia
industry (Vokasi 2020)

Menurut Sudira (2012) Pendidikan kejuruan merupakan bagian program yang


dirancang untuk menyiapkan individu untuk pekerjaan yang menguntungkan sebagai
pekerja semi trampil atau trampil penuh atau teknisi atau bagian dari profesionalis yang
dibutuhkan dalam pekerjaan. Retraining adalah pelatihan kembali bagi pekerja untuk
peningkatan kompetensi dirinya guna keperluan peningkatan/promosi jabatan atau
mendapatkan pekerjaan lain yang lebih baik. Pendidikan kejuruan adalah pendidikan
yang dirancang untuk mengembangkan ketrampilan, kemampuan/kecakapan,
pemahaman, sikap, kebiasaan-kebiasaan kerja, dan apresiasi yang diperlukan oleh

4
pekerja dalam mamasuki pekerjaan dan membuat kemajuan-kemajuan dalam pekerjaan
penuh makna dan produktif.

Menurut Sudira (2012), Di Indonesia pendidikan kejuruan merupakan pendidikan


menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang
tertentu. Indonesia menempatkan pendidikan kejuruan sebagai bagian dari sistem
pendidikan nasional untuk menyiapkan lulusan bekerja atau melanjutkan kejenjang
lebih tinggi atau bekerja mandiri berwirausaha.

Dari sejumlah definisi pendidikan dan pelatihan kejuruan/vokasi di atas dapat


disimpulkan bahwa pendidikan dan pelatihan kejuruan/vokasi adalah pendidikan yang
menyiapkan terbentuknya ketrampilan, kecakapan, pengertian, perilaku, sikap,
kebiasaan kerja, dan apresiasi terhadap pekerjaan-pekerjaan yang dibutuhkan oleh
masyarakat dunia usaha/industri, diawasi oleh masyarakat dunia usaha dan industri
dalam kontrak dengan lembaga-lembaga asosiasi profesi serta berbasis produktif
(Sudira 2012)

Bedanya pendidikan vokasi atau kejuruan dengan pendidikan teknologi, yaitu:


Pendidikan vokasi dan kejuruan menekankan penguasaan pengetahuan praktis dan
spesifik, cakap dalam skill/ketrampilan, kemampuannya pada bidang reproduksi yang
terwujud dari ketrampilan fisik yang tinggi. Sedangkan pendidikan teknologi
menekankan pengembangan pengetahuan yang lebih umum dan lebih generik, lebih
konseptual, kemampuan kreaitfi berinovasi dan meneliti, dengan skill intelektual yang
tinggi pula (Sudira 2012).

2.2 Teori Belajar Pada Ilmu Pendidikan Vokasi


Teori merupakan prinsip kasar yang menjadi dasar pembentukan sesuatu ilmu
pengetahuan Dasar teori ini yang akan dikembangkan pada ilmu pengetahuan agar
dapat diciptakan pengetahuan baru yang lebih lengkap dan detail sehingga dapat
memperkuat pengetahuan tersebut.Teori juga merupakan satu rumusan daripada
pengetahuan sedia ada yang memberi panduan untuk menjalankan penyelidikan dan
mendapatkan maklumat baru (Miswar 2018)

Belajar merupakan bagian integral dalam proses pendidikan secara keseluruhan


Untuk mencapai tujuan belajar yang efektif dan efisien, maka diperlukan teori belajar

5
dan pembelajaran yang cocok dan sesuai dengan tujuan belajar itu sendiri.(Miswar
2018)

Menurut Miswar (2018) Tujuan akhir dalam belajar dan pembelajaran adalah untuk
tujuan perubahan tingkah laku objek belajar dari semua tingkatan. Maksud dan tujuan
belajar adalah untuk mendapat ilmu pengetahuan. Namun ilmu yang didapat, tidak
hanya didapatkan dengan tiba-tiba seperti durian runtuh, tetapi dapat terjadi melalui
peroses pembelajaran.

2.2.1 Teori belajar dalam perspektif ilmu Pendidikan Vokasi


Konsep Belajar kontemporer dalam TVET adalah belajar yang terkonstruksi secara
sosial, kondisional, berpartisipasi langsung dalam masyarakat, belajar sepanjang hayat,
belajar berbasis kehidupan (Putu Sudira 2016).

Teori belajar kontemporer dalam TVET antara lain : (1) life-based learning; (2)
belajar berpartner sosial (social partnerships); (3) belajar orang dewasa (mature adult
learning); (4) pengembangan kompetensi sebagai proses kolektif (competence as
collective prosess); (5) belajar berbasis kerja (work-based learning); (6) belajar di
tempat kerja (workplace learning); (7) belajar langsung dalam kehidupan kerja (learning
in working life) (Putu Sudira 2016).

1) Pembelajaran Holistik

Pembelajaran holistic adalah turunan dari konsep pembelajaran holistik (holistic


learning) yang merupakan suatu filsafat Pendidikan yang berangkat dari pemikiran
bahwa pada dasarnya seorang individu dapat menemukan identitas, makna dan tujuan
hidup melalui hubungannya dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-nilai
spiritual (Direktorat Jenderal Pendidikan Agaman Islam 2019)

Paradigma pembelajaran holistik menurut Anhar (2015:27) menekankan proses


pendidikan dengan ciri-ciri sebagai berikut:

a) Tujuan pembelajaran holistik adalah terbentuknya manusia seutuhnya dan


masyarakat seutuhnya.
b) Materi pembelajaran holistik mengandung kesatuan pendidikan jasmani-ruhani,
mengasah kecerdasan intelektual-spritual-emosional, kesatuan materi

6
pendidikan teoritis-praktis, kesatuan materi pendidikan pribadi-sosial-
ketuhanan.
c) Proses pendidikan holistik mengutamakan kesatuan kepentingan anak didik dan
masyarakat.
d) Evaluasi Pendidikan holistik mementingkan tercapainya perkembangan anak
didik dalam bidang penguasaan ilmu, sikap, dan keterampilan.

Para penganut Pendidikan holistik mulai memperkenalkan tentang dasar,


Pendidikan holistik dengan sebutan 3R’s, singkatan dari relationship, responsibility, dan
reverence. Tujuan Pendidikan holistik adalah membantu mengembangkan potensi
individu dalam suasana pembelajaran yang lebih menyenangkan dan menggairahkan,
demokratis dan humanis melalui pengalaman dalam berinteraksi dengan
lingkungannya. Melalui pendidikan holistik, peserta didik diharapkan dapat menjadi
dirinya sendiri (learning to be). Dalam arti dapat memproleh kebebasan psikologis,
mengambil keputusan yang baik, belajar melalui cara yang sesuai dengan dirinya,
memperoleh kecakapan sosial, serta dapat mengembangkan karakter dan emosionalnya.
Jika merujuk pada pemikiran Abraham Maslow, maka pendidikan harus dapat
mengantarkan peserta didik untuk memperoleh aktualisasi diri (self- actualization) yang
ditandai dengan adanya:(1) Kesadaran; (2) kejujuran; (3) kebebasan atau kemandirian;
dan (4) kepercayaan. (Direktorat Jenderal Pendidikan Agaman Islam 2019)

Direktorat Jenderal Pendidikan Agaman Islam (2019) Menurut Rubiyanto (2010:42-43)


terdapat sembilan ciri pembelajaran holistik, yaitu:

a) Pembelajaran diarahkan agar siswa menyadari akan keunikan dirinya dengan


segala potensinya. Mereka harus diajak untuk berhubungan dengan dirinya yang
paling dalam (innerself), sehingga memahami eksistensi, otoritas, tapi sekaligus
bergantung sepenuhnya kepada pencipta-Nya.
b) Pembelajaran tidak hanya mengembangkan cara berpikir analitis/linier tapi juga
intuitif.
c) Pembelajaran berkewajiban menumbuh-kembangkan potensi kecerdasan jamak
(multiple intelligences).

7
d) Pembelajaran berkewajiban menyadarkan siswa tentang keterkaitannya dengan
komunitasnya, sehingga mereka tak boleh mengabaikan tradisi, budaya,
kerjasama, hubungan manusiawi, serta pemenuhan kebutuhan yang tepat guna.
e) Pembelajaran berkewajiban mengajak siswa untuk menyadari hubungannya
dengan bumi dan "masyarakat" non manusia seperti hewan, tumbuhan, dan
benda benda tak bernyawa (air, udara, tanah) sehingga mereka emiliki kesadaran
ekologis
f) Kurikulum berkewajiban memperhatikan hubungan antara berbagai pokok
bahasan dalam tingkatan trans-disipliner, sehingga hal itu akan lebih memberi
makna kepada siswa.
g) Pembelajaran berkewajiban menghantarkan siswa untuk menyeimbangkan
antara belajar individual dengan kelompok (kooperatif, kolaboratif, antara isi
dengan proses, antara pengetahuan dengan imajinasi, antara rasional dengan
intuisi, antara kuantitatif dengan kualitatif.
h) Pembelajaran adalah sesuatu yang tumbuh, menemukan, dan memperluas
cakrawala.
i) Pembelajaran adalah sebuah proses kreatif dan artistik. Proses pembelajaran
menjadi tanggung jawab personal sekaligus juga menjadi tanggung jawab
kolektif. Oleh karena itu strategi pembelajaran lebih diarahkan pada bagaimana
mengajar dan bagaimana orang belajar.

Direktorat Jenderal Pendidikan Agaman Islam (2019), Miller (1991:3) mengungkapkan


karakteristik pembelajaran holistik adalah sebagai berikut:

a) Pendidikan holistik memelihara perkembangan peserta didik yang terfokus pada


intelektual, emosional, sosial, fisik, kreatifitas atau intuitif, estetika dan spiritual
emosi
b) Menciptakan hubungan yang terbuka dan kolaboratif antara pendidik dan
peserta didik
c) Mendorong keinginan untuk memperoleh makna dan pemahaman agar dapat
menjadi bagian dari dunia dengan melakukan penekanan pada belajar melalui
pengalaman hidup dan belajar di luar batas-batas kelas dan lingkungan
pendidikan formal sehingga dapat memperluas wawasan. Pendekatan ini
memberdayakan peserta didik untuk berpikir secara kritis dalam konteks

8
kehidupan mereka . Pendidikan holistik memiliki kapasitas untuk membimbing
peserta didik untuk memperluas kepribadian individu serta memiliki kapasitas
menciptakan individu untuk berpikir secara berbeda, kreatif dan mencerminkan
nilai-nilai yang sudah tertanam dalam dirinya. Guru diharapkan mampu
mendorong peserta didik untuk berkembang menjadi lebih terdidik dan
berpartisipasi sebagai anggota masyarakat.

2) Pembelajaran Kontekstual

Pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang mengaitkan materi


pembelajaran dengan konteks dunia nyata yang dihadapi siswa sehari-hari baik
dalamlingkungan keluarga, masyarakat, alam sekitar.Sehingga siswa mampu membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan
sehari-hari dengan melibatkan komponen utama pembelajaran yakni : konstruktivisme
(constructivism), menyelidiki (inquiry), pemodelan (modeling), dan penilaian autentik
(authentic assessment)(Direktorat Jenderal Pendidikan Agaman Islam 2019)

Pembelajaran dikatakan mengunakan pendekatan kontekstual jika materi


pembelajaran tidak hanya tekstual melainkan dikaitkan dengan penerapannya dalam
kehidupan sehari-hari siswa di lingkungan keluarga, masyarakat, alam sekitar, dan
dunia kerja, dengan melibatkan ketujuh komponen utama seagaimana yang disebutkan
di atas sehingga pembelajaran menjadi bermakna bagi siswa (Direktorat Jenderal
Pendidikan Agaman Islam 2019).

Model pembelajaran apa saja sepanjang memenuhi persyaratan tersebut dapat


dikatakan menggunakan pendekatan kontekstual. Pembelajaran kontekstual dapat
diterapakan dalam kelas besar maupun kelas kecil, namun akan lebih mudah
organisasinya jika diterapkan dalam kelas kecil. Penerapan pembelajaran kontekstual
dalam kurikulum berbasis kompetensi sangat sesuai. Dalam penerapannya
pembelajaran kontekstual tidak memerlukan biaya besar dan media khusus.
Pembelajaran kontekstual memanfaatkan berbagai sumber dan media pembelajaran
yang ada di lingkungan sekitar seperti tukang las, bengkel, tukang reparasi elektronik,
barang-barang bekas, koran, majalah, perabot-perabot rumah tangga, pasar, toko, TV,
radio, internet, dan sebagainya.

9
Guru dan buku bukan merupakan sumber dan media sentral, demikian pula guru
tidak dipandang sebagai orang yang serba tahu, sehingga guru tidak perlu khawatir
menghadapi berbagai pertanyaan siswa yang terkait dengan lingkungan baik tradisional
maupun modern (Direktorat Jenderal Pendidikan Agaman Islam 2019)

3) Pembelajaran Futuristik

Sikap yang paling bijaksana menghadapi globalisasi adalah mempersiapkan diri,


sebaiknya sehingga dapat memanfaatkan peluang yang terbuka di dalamnya. Dalam
persiapan itulah sektor pendidikan sangat penting untuk mencetak produk sumber daya
manusia Indonesia yang dapat menghadapi arus perubahan zaman. Masa depan
ditentukan oleh pengetahuan sehingga dunia bergabung dan berpijak kepada
pengetahuan (Direktorat Jenderal Pendidikan Agaman Islam 2019)

Pengetahuan menjadi modal paling berharga dan paling dibutuhkan. Tanpa modal
pengetahuan orang (bahkan bangsa dan negara) akan dipinggirkan dan ditinggalkan,
sebaliknya dengan modal pengetahuan yang baik orang, bangsa dan negara dapat
menjadi pemenang dalam berbagai aktivitas kehidupan. Dan modal pengetahuan yang
dibutuhkan dan yang cocok pada masa depan dapat diketahui dengan melihat
kecenderungan-kecenderungan perubahan pengetahuan yang mengarah ke masa depan.
(Direktorat Jenderal Pendidikan Agaman Islam 2019)

Direktorat Jenderal Pendidikan Agaman Islam (2019), Sementara dalam aspek


siswa, banyak perubahan yang terjadi pada mereka karena perubahan teknologi yang
selalu disuguhkan pada mereka setiap hari, dan bahkan setiap saat. Perubahan-
perubahan tersebut menurut John Seely Brown (2005), antara lain adalah sebagai
berikut:

a) Mereka menyukai ada kontrol. Para siswa generasi abad ke-21 tidak menyukai
terikat oleh jadwal-jadwal tradisional, dan juga tidak menyukai duduk di dalam
kelas untuk belajar, atau duduk di dalam kantor untuk bekerja. Sebaliknya
mereka lebih menyukai untuk belajar sendiri dengan menggunakan alat
komunikasi yang bisa menjangkau dunia yang tak terbatas. Dengan caranya
sendiri, mereka akan memperoleh informasi dari berbagai sumber di dunia.

10
Dengan demikian, mereka harus dikontrol target pencapaian pengetahuannya,
proses belajarnya dan hasil yang mereka dapatkan.
b) Mereka juga menyukai banyak pilihan. Untuk mata pelajaran project, yakni
tugas melakukan mini riset, mereka akan menggunakan teknologi untuk
memperoleh banyak informasi. Mereka harus diberi kebebasan untuk memilih
metode dan teknik-tekniknya, untuk mereka jalani dan pada akhirnya akan
mampu menyiapkan laporan, sebagaimana para siswa atau mahasiswa yang
melakukannya secara tradisional.
c) Mereka adalah orang-orang yang menyukai ikatan kelompok dan ikatan sosial,
hanya saja mereka membangun group melalui media sosial mereka, dan oleh
karenanya kelompok mereka lintas bangsa, negara, budaya dan bahkan agama.
Mereka memiliki jejaring internasional yang dinamis, dan jika mereka
manfaatkan untuk menjadikan jejaringnya sebagai peer group-nya, maka mereka
akan memiliki pengelaman keilmuan yang jauh lebih baik, daripada tutorial atau
mentoring dalam satu kelas di sekolah tradisional.
d) Mereka adalah orang-orang terbuka, melalui tradisi jejaringnya mereka
terbelajarkan untuk menjadi terbuka, karena dalam jaringannya semua penganut
agama ada dan terkelompokkan, ada yang Kristen, Katholik, Hindu, Buddha dan
juga Kong Hu Chu, atau bahkan mungkin ada yang atheis, tapi komunikasi
mereka tetap berjalan dan tidak terganggu oleh perbedaan-perbedaan tersebut.

E-learning (pembelajaran berbasis elektronik) akan tetap ada. Seiring dengan


kepemilikan komputer yang tumbuh pesat di dunia, e-learning menjadi semakin
berkembang dan mudah diakses. Kecepatan koneksi internet semakin meningkat, dan
dengan itu, peluang metode pelatihan multimedia yang lebih banyak bermunculan.
Dengan peningkatan jaringan seluler yang sangat pesat beberapa tahun terakhir juga
peningkatkan dalam telekomunikasi, kini membawa semua fitur mengagumkan dari e-
learning ke smartphones (hand phone cerdas) dan peralatan portabel lainnya. Teknologi
seperti media sosial juga senantiasa mengubah pendidikan. Secara umum, belajar itu
mahal, membutuhkan waktu yang panjang dan hasilnya bervariasi (Direktorat Jenderal
Pendidikan Agaman Islam 2019)

E-learning telah dicoba selama bertahun-tahun untuk melengkapi cara belajar kita
agar lebih efektif dan terukur. Hasilnya sekarang ada banyak alat yang membantu

11
menciptakan kursus interaktif, menstandarisasi proses belajar dan/atau memasukkan
unsur informal kedalam proses belajar formal dan sebaliknya. Beberapa trend e-
learning memberikan kita pandangan bagaimana peralatan belajar dan e-learning di
masa yang akan datang dibentuk (Direktorat Jenderal Pendidikan Agaman Islam 2019).

(a) Pembelajaran Berbasis Android

Pembelajaran berbasis android pada dasarnya bisa disebut sebagai micro- learning.
Micro-learning berfokus pada desain aktivitas pembelajaran mikro melalui tahapan
mikro dalam lingkungan media digital, yang sudah menjadi realitas keseharian pekerja
pengetahuan dewasa ini. Kegiatan ini dapat dimasukkan ke dalam rutinitas sehari- hari
pelajar. Tidak seperti pendekatan e-learning "tradisional", pembelajaran mikro
seringkali cenderung mendorong teknologi melalui media pendukung, yang mengurangi
beban kognitif pada peserta didik. Oleh karena itu, pemilihan objek pembelajaran mikro
juga kecepatan dan waktu kegiatan pembelajaran mikro sangat penting untuk desain
didaktik. (Direktorat Jenderal Pendidikan Agaman Islam 2019)

Micro-learning merupakan pergeseran paradigma penting yang menghindari


kebutuhan untuk memiliki sesi belajar yang terpisah karena proses pembelajaran
tertanam dalam rutinitas sehari-hari pengguna. Itulah yang menjadi alasan micro-
learning sangat cocok untuk menggunakan perangkat mobile berbasis android.
(Direktorat Jenderal Pendidikan Agaman Islam 2019)

(b) Pembelajaran Otomatis (Automatic Learning)

Automatic Learning adalah masa depan yang akan datang. Dalam sebuah adegan
yang terkenal dari film The Matrix, Neo berbaring di kursi dokter gigi berteknologi
tinggi dan terikat pada serangkaian elektroda liar, men-download serangkaian program
latihan bela diri ke dalam otaknya. Setelah itu, dia membuka matanya dan
mengucapkan kata- kata yang telah dikutip para geeks sejakitu: "Saya bisa Kung Fu."
Jenis pembelajaran otomatis ini mungkin terdengar seperti masa depan distopia bagi
banyak orang, tapi ke sanalah kita mengarah. Dan terlepas dari pertanyaan etis yang
mungkin timbul, manfaatnya bisa menjadi substansial pada banyak tingkatan jika
digunakan dengan benar. Begini cara kerjanya: Anda memilih tugas yang membutuhkan
kinerja tinggi korteks visual Anda,seperti menangkap bola. Kemudian temukan

12
seseorang yang pro dalam menangkap bola, tempatkan dia di mesin fMRI dan rekam
apa yang terjadi didalam otaknya saat dia memvisualisasikan menangkap bola.
Kemudian Anda mendapatkan program tangkap-bola Anda, dan siap untuk belajar.
(Direktorat Jenderal Pendidikan Agaman Islam 2019)

Langkah selanjutnya: posisikan diri Anda ke mesin fMRI, dan kencangkan untuk
menginduksi citra menangkap-bola profesional yang sudah Anda rekam sebelumnya ke
otak Anda dengan menggunakan neuro feedback. Anda bahkan tidak perlu
memperhatikan saat ini terjadi. Otak Anda, bagaimanapun, menjadi terbiasa dengan
pola itu - yang adalah merupakan esensi pembelajaran: otak menjadi terbiasa dengan
pola baru. Riset telah menunjukkan bahwa pemutaran pola fMRI ini dapat
menyebabkan peningkatan tahan lama dalam tugas yang memerlukan kinerja visual.
Secara teori, jenis pembelajaran otomatis adalah hasil potensial dan kemungkinan
wajah pembelajaran e- learning di masa mendatang.

(c) Blended Learning

Istilah Blended Learning dalam pendidikan tinggi didefinisikan untuk pertama


kalinya dalam arti sebenarnya sebagai sistem pembelajaran dalam Handbook of Blended
Learning, sebagai yang “yang menggabungkan pengajaran tatap muka dengan instruksi
yang dimediasi komputer ”Dalam bab pertama buku ini, Graham mencatat bahwa
definisi ini “… mencerminkan gagasan bahwa blended learning adalah kombinasi
instruksi dari dua model pengajaran dan pembelajaran yang terpisah secara historis:
sistem pembelajaran F2F tradisional dan sistem pembelajaran terdistribusi” (Direktorat
Jenderal Pendidikan Agaman Islam 2019).

2.2.2 Jenis-Jenis Teori Belajar


Putu Sudira (2016), menyatakan bahwa Belajar merupakan proses rekonstruksi
pengalaman yang berupa pengetahuan, skill, sikap yang bermakna membekas dan
menjadi tradisi kebiasaan hidup (habits) seseorang. Rekonstruksi pengetahuan, skill,
sikap diperoleh melalui berbagai pengalaman (experiences) baik direncanakan
(intentional learning) maupun terjadi secara spontan (incidental learning). Belajar
dapat terjadi secara terprogram maupun secara insidental dan berkesadaran. Artinya
dalam proses belajar orang ada dalam keadaan sadar mengalami proses. Teori belajar
klasik yang sudah umum digunakan dalam pengembangan pembelajaran adalah: (1)

13
Teori Belajar Behavioristik; (2) Teori Belajar Kognitif; (3) Teori Belajar
Konstruktivistik. Berikut jabaran ketiga teori belajar klasik:

1) Teori Belajar Behavioristik

Teori belajar behavioristik adalah teori belajar perubahan perilaku yang dapat
diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Perubahan terjadi melalui rangsangan
(stimulans) yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respons) berdasarkan
hukum-hukum mekanistik. Stimulans tidak lain adalah lingkungan belajar anak, baik
yang internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar. Respons adalah akibat
atau dampak, berupa reaksi fisik terhadap stimulans. (Putu Sudira 2016) (Suyitno 2020)

Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat, dan kecenderungan perilaku


stimulus-respons. Karakteristik teori behavioristik antara lain: (1) mementingkan faktor
lingkungan, (2) menekankan pada faktor bagian, (3) menekankan pada tingkah laku
yang tampak dengan mempergunakan metode objektif, 4) sifatnya mekanis, (5)
mementingkan masa lalu (Putu Sudira 2016)

Menurut Suyitno (2020) pakar teori behavioristik salah satunya adalah Thorndike,
yang mendeskripsikan belajar adalah peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara
peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R). Stimulus adalah suatu
perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan
organisme untuk beraksi atau berbuat sedangkan respons dari adalah sembarang tingkah
laku yang dimunculkan karena adanya perangsang. Dari eksperimen kucing lapar yang
dimasukkan dalam sangkar (puzzle box) diketahui bahwa supaya tercapai hubungan
antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang
tepat serta melalui usaha-usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-
kegagalan (error) terlebih dahulu. Bentuk paling dasar dari belajar adalah trial and error
learning atau selecting and connecting learning‖ dan berlangsung menurut hukum-
hukum tertentu. Oleh karena itu, teori belajar yang dikemukakan oleh Thorndike ini
sering disebut dengan teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi. Adanya
pandangan-pandangan Thorndike yang memberi sumbangan yang cukup besar di dunia
pendidikan tersebut maka ia dinobatkan sebagai salah satu tokoh pelopor dalam
psikologi pendidikan (Putu Sudira 2016).

14
2) Teori Belajar Kognitif

Teori belajar kognitif cenderung lebih mementingkan proses belajar daripada hasil
belajar itu sendiri. Belajar tidak sekadar melibatkan hubungan antara stimulus dan
respons, lebih dari itu, belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Belajar
adalah perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan persepsi dan pemahaman tidak
selalu berbentuk perubahan tingkah laku yang bisa diamati. Salah satu tokoh yang
terkenal dalam teori belajar kognitif adalah Piaget. Ia memandang bahwa proses
berpikir sebagai aktivitas gradual dan fungsi intelektual dari konkret menuju abstrak
(Putu Sudira 2016).

Dalam teorinya, Piaget memandang bahwa proses berpikir sebagai aktivitas


gradual dari fungsi intelektual dari konkret menuju abstrak. Piaget adalah ahli psikolog
developmental karena penelitiannya mengenai tahap-tahap perkembangan pribadi serta
perubahan umur yang mempengaruhi kemampuan belajar individu (Suyitno 2020).
Menurut Piaget, pertumbuhan kapasitas mental memberikan kemampuan-kemampuan
mental yang sebelumnya tidak ada. Pertumbuhan intelektual adalah tidak kuantitatif,
melainkan kualitatif. Dengan kata lain, daya berpikir atau kekuatan mental anak yang
berbeda usia akan berbeda pula secara kualitatif. Teori kognitif adalah teori yang
umumnya dikaitkan dengan proses belajar (Putu Sudira 2016).

Kognisi adalah kemampuan psikis atau mental manusia yang berupa mengamati,
melihat, menyangka, memperhatikan, menduga dan menilai. Dengan kata lain, kognisi
menunjuk pada konsep tentang pengenalan. Teori kognitif menyatakan bahwa proses
belajar terjadi karena ada variabel penghalang pada aspek-aspek kognisi seseorang.
Teori belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajar itu
sendiri. Belajar tidak sekadar melibatkan hubungan antara stimulus dan respons, lebih
dari itu belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Belajar adalah
perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan persepsi dan pemahaman tidak selalu
berbentuk perubahan tingkah laku yang bisa diamati (Suyitno 2020).

3) Teori Belajar Konstruktivisme

Putu Sudira (2016) Konstruktivisme adalah suatu pendekatan terhadap belajar yang
berkeyakinan bahwa orang secara aktif membangun atau membuat pengetahuannya

15
sendiri dan realitas ditentukan oleh pengalaman orang itu sendiri pula. Paradigma
pembelajaran kontruktivistik telah dikenal sejak tahun 1710, tetapi pada kenyataannya
paradigma pembelajaran yang dikembangkan di sekolah lebih didominasi oleh
pembelajaran behavioristik. Suyitno (2020) Teori belajar behavioristik memiliki
beberapa kelemahan antara lain terlalu mekanistik dan kurang mampu mengembangkan
potensi siswa secara optimal. Ada beberapa langkah dalam pembelajaran
konstruktifistik di antaranya:

a. Peserta didik diberi kesempatan untuk menyelidiki dan menemukan konsep


melalui pengumpulan, pengorganisasian, dan penginterpretasian data dalam
suatu kegiatan yang telah dirancang oleh guru. Secara keseluruhan dalam hidup
ini akan terpenuhi rasa keingintahuan peserta didik tentang fenomena dalam
lingkungannya.
b. Peserta didik melakukan penjelasan dan solusi yang didasarkan pada hasil
observasi peserta didik, ditambah dengan penguatan guru. Selanjutnya, peserta
didik membangun pemahaman baru tentang konsep yang sedang dipelajari.
c. Guru berusaha menciptakan iklim pembelajaran yang memungkinkan peserta
didik dapat mengaplikasikan pemahaman konseptualnya, baik melalui kegiatan
maupun pemunculan masalah-masalah yang berkaitan dengan isu-isu dalam
lingkungan peserta didik tersebut.

4) Teori Belajar Kearifan Lokal Indonesia

Putu Sudira (2016) di Indonesia masing-masing daerah memiliki teori belajar


dengan kearifannya tersendiri. Ada yang menggunakan gending, kidung, cerita rakyat,
konsep formal, cerita pewayangan, lontar kekawin dalam bahasa kawi, dll. Di Bali
misalnya ada kidung klasik yang sangat merakyat dengan judul “Bibi Anu”. Kidung itu
bercerita sebagai berikut:

Tabel 2. 1 Kidung Klasik Bali (Teori Belajar Kearifan lokal Indonesia)

Bahasa Bali Terjemahan Bahasa Indonesia


Bibi anu amun payu luas manjus tante “X” jika jadi pergi mandi
Antenge tekekang pengikat pinggang dikuatkan
Yatnain ngaba mesui hati-hati membawa obat jamu
Tiuk puntul bawang anggen sesikepan pisau tumpul dan bawang merah pakai bekal
Sumber: Putu Sudira (2016)

16
Kidung ini memberi wejangan pelajaran moral bahwa bagi siapapun yang ingin
membersihkan dirinya (luas manjus=pergi mandi) dari perbuatan-perbuatan yang kotor
atau tidak baik tidak terpuji agar rajin, disiplin, menguatkan pikirannya terlebih dahulu
dan berperilaku konsisten. Waspada dengan diri sendiri, demikian juga agar berhati-hati
membawa lidah (pisau tumpul) sebagai alat penyambung ucapan agar tidak menyakiti
hati orang. Tetapi sebaliknya memberi manfaat postif bagi orang lain. Sikap bijaksana
dan kasih sayang hendaklah dibudayakan. Di Yogyakarta kita memiliki pahlawan
pendidikan nasional Ki Hadjar Dewantara yang menegakkan konsep teori pembelajaran
berdasarkan kearifan lokal. Konep-konsep belajar (Putu Sudira 2016).

Ki Hadjar Dewantara sebagai kearifan lokal di fatwakan menjadi tiga yaitu: (1)
Tetep, antep, mantep; (2) ngandel, kandel, kendel, bandel; (3) neng, ning, nung dan
nang. Pembelajaran hendaknya membangun berkomitmen (tetep), memiliki
kepercayaan diri (antep), memiliki orientasi yang jelas untuk kemerdekaan diri sebagai
pribadi anggota masyarakat dan warga dunia (mantep). Memiliki pendirian yang teguh,
kuat, berani, tahan uji (ngandel, kandel, kendel, bandel). Mewujudkan rasa senang,
hening, tenang, dan merenung (neng, ning, nung dan nang) (Putu Sudira 2016)..

Kearifan lokal lainnya yang terkait pembelajaran adalah konsep ngelmu iku
lakuning kanthi laku, ngelmu tanpa laku kothong, laku tanpa ngelmu cupet. Belajar itu
sebaiknya diterapkan menjadi praksis kehiupan sehari-hari. Jika belajar tidak
dipraktikkan dalam kehidupan maka sama dengan tidak ada artinya. Sebaliknya jika
perbuatan praktik tidak diikuti ilmu yang baik akan menjadi sempit. Teori-teori belajar
kearifan lokal Indonesia jika disatukan dari berbagai daerah akan membangun suatu
teori yang bisa saja membangun teori belajar modern yang kontekstual dengan
kebutuhan Abad 21. Pengkajian dari berbagai daerah penting dilakukan untuk
penyusunan dan penataan konsep-konsep yang ada di lapangan (Putu Sudira 2016)..

2.2.3 Teori Belajar Kontemporer dalam TVET


Pembelajaran TVET adalah proses aktif melakukan akuisisi atau pemerolehan skill,
pengetahuan atau pemahaman, dan pendalaman tata nilai untuk penumbuhan kapabilitas
(kemampuan dan kemauan) memasuki dan mengembangkan karir di dunia kerja untuk
pemenuhan kebutuhan hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

17
Pembelajaran sebagai proses aktif dapat berlangsung di mana saja dan kapan saja.
Pembelajaran tidak terbatas pada ruang dan waktu serta materi yang disiapkan oleh
guru semata (Putu Sudira 2016).

Dinamika pembelajaran TVET berkembang secara dinamis terkait dengan


perubahan-perubahan kebutuhan tuntutan dunia kerja dan kebutuhan pengembangan
diri peserta didik dalam membangun budaya tekno-sains-sosio-kultural. Tuntutan dunia
kerja dan kebutuhan pengembangan diri peserta didik berkembang sangat dinamis
sesuai perubahan-perubahan konteks pendidikan. Perubahan dan perkembangan
teknologi khususnya teknologi informasi dan komunikasi merubah secara drastis pola
pikir dan praksis TVET (Putu Sudira 2016).

Gambaran besar seperti apa kondisi dunia kerja 20 tahun yang akan datang
membutuhkan perancangan konsep pembelajaran TVET. sejak sekarang untuk
pengembangan kebutuhan peserta didik untuk 20 tahun yang akan datang setelah
mereka meninggalkan bangku sekolah/kuliah. Konsep baru pembelajaran TVET
mengantisipasi kebutuhan kehidupan 20 tahun mendatang, maka diperlukannya skill
kerja untuk menunjang kebutuhan hidup di masa yang akan dating (Putu Sudira 2016).

Untuk mencapai tujuan tersebut maka diperlukannya proses untuk memperoleh


pengetahuan dan pengalaman dalam wujud perubahan tingkah laku dan kemampuan
bereaksi yang relative permanen atau menetap karena adanya interaksi individu dengan
lingkungannya, dengan dilakukan secara sadar, berkelanjutan, bersifat positif,
permanen, memiliki tujuan dan terarah yang mencangkup seluruh aspek tingkah laku
meliputi sikap, keterampilan dan pengetahuan (Suyitno 2020). Berikut merupakan teori
belajar kontemporer dalam Pendidikan vokasi dan kejuruan.

Tabel 2. 2 Teori Belajar dalam TVET

No Teori Belajar Keterangan


Life-based learning tidak terbatas hanya
pada belajar bekerja, belajar mendapatkan
pekerjaan, apalagi hanya belajar di tempat
1 Life Based Learning
kerja, belajar untuk sekedar mendapat
nilai raport, ijazah, sertifikat, mengisi
waktu luang di keluarga, masyarakat

18
No Teori Belajar Keterangan

Teori belajar transformatif muncul


sebagai respon atas perubahan tanpa henti
Transformatif diberbagai aspek kehidupan dan lifelong
2
(Transformative Learning Theory) learning. Perubahan adalah kata kunci dan
hukum kekekalan kehidupan. Perubahan
tidak bisa dihindarkan dalam kehidupan

Pembelajaran dimana disain, rencana,


pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran
didesain oleh pembelajar sendiri.
seluruh keputusan tentang apa, di mana,
3 SelfDirect Learning
kapan, berapa lama, dengan siapa belajar
semua ditetapkan oleh pembelajar. Self-
directed learning menggunakan
pendekatan belajar andragogi.

Belajar berpartner secara sosial


mengembangkan kepedulian, manajemen
diri, pengembangan nilai rasa saling
mempercayai, respek satu sama lain,
Belajar Berpartner Sosial
4 peduli, empati, toleransi, pengembangan
(Social Partnerships)
skill interpersonal dan sosial untuk saling
mendengar, berinteraksi memecahkan
masalah, mengembangkan kemampuan
bernegosiasi.
Pembelajaran orang dewasa
membutuhkan perubahan strategi belajar
yang semakin peduli pada kebutuhan diri
Pembelajaran Orang Dewasa
5 peserta didik, butuh berkembang dan
(Mature Adult Learning)
berubah secara terus menerus,
pemberdayaan individu, pemahaman
potensi diri.
Kompetensi adalah kapasitas diri
seseorang yang dapat didemontrasikan
atau ditampilkan berupa pengetahuan,
skill, dan karakteristik diri pribadi yang
Pengembangan Kompetensi Sebagai Proses dibutuhkan untuk memenuhi permintaan-
6 Kolektif permintaan atau situasi khusus.
(Competence As Collective Process) Pengetahuan kerja tanpa skill yang baik
tidak dapat dikatakan kompeten dan
Pengetahuan dan skill kerja yang tinggi
tanpa sikap kerja yang baik bisa
berbahaya

19
No Teori Belajar Keterangan
Pembelajaran berbasis kerja
dikembangkan untuk pengembangan
kompetensi kerja sesuai pasar tenaga
Belajar Berbasis Kerja kerja.
7
(Work Based Learning) TVET yang efektif adalah TVET yang
mampu menghasilkan lulusan tenaga
kerja yang relevan dengan kebutuhan
dunia kerja.
Belajar di tempat kerja dan belajar
langsung dalam kehidupan kerja adalah
dua hal yang selaras. Setiap pemecahan
Belajar di Tempat Kerja masalah membutuhkan proses analisis
(Workplace Learning) sintesis masalah sampai pada
8 dan pengambilan keputusan yang efektif dan
Belajar Langsung dalam Kehidupan Kerja efisien. Belajar memecahkan masalah
(Learning in Working Life) dalam kehidupan kerja dan berlangsung di
tempat krja merupakan bentuk
pembelajaran TVET yang berkembang di
abad 21.
Sumber: Putu Sudira (2016)
2.3 Penjabaran Teori Belajar Kontemporer dalam TVET
Menurut Putu Sudira (2016) Pengembangan kapabilitas (kemampuan dan
kemauan) diri untuk berpartisipasi penuh dalam dunia kerja, mampu berkarir secara
produktif sepanjang usia kerja, tidak menjadi beban keluarga dan masyarakat setelah
memasuki usia pensiun merupakan sasaran pembelajaran TVET. Pembelajaran TVET
tidak lagi cukup pada pengembangan kapasitas (capasity building).

Konsep belajar kontemporer dalam TVET adalah belajar yang terkonstruksi secara
sosial, situasional, kondisional, berpartisipasi langsung dalam masyarakat, belajar
sepanjang hayat, belajar berbasis kehidupan. Pembelajaran TVET selalu kontekstual
sesuai kebutuhan kompetensi melakukan berbagai jenis pekerjaan atau tugas keseharian

Mendidik dan melatih peserta didik berkemampuan kerja jika tidak mau bekerja
akan sia-sia saja. Pendidikan TVET Abad XXI butuh membangun kapabilitas yaitu
kemampuan dan kemauan kerja yang tinggi (Putu Sudira 2016). Berikut adalah
penjabaran dari konsep belajar kontemporer

20
1) Life Based Learning
Life-based learning menjadi kunci perubahan dan pengembangan ekologi baru
pembelajaran TVET. Life-based learning dapat dijadikan umpan balik penyelenggaraan
pembelajaran TVET yang semakin kontekstual-integratif-holistik. Dalam the
Knowledge Era, aktivitas belajar berubah dari aktvitas segmental terpisah-pisah ke
aktivitas yang terintegrasi dan terinterkoneksi.

Gambar 2. 1 Pergerakan pola belajar dari segmental ke integrasi-interkoneksi


Sumber: Putu Sudira (2016)

Gambar 2.1 menunjukkan terjadinya perubahan pola baru belajar dari pola
segmental ke pola ekologi belajar terintegrasi-interkoneksi di antara diri pribadi,
pekerjaan, keluarga, dan pemanfaatan waktu luang. Pola belajar baru ini disebut dengan
life- based learning. Life-based learning tidak terbatas hanya pada belajar bekerja,
belajar mendapatkan pekerjaan, apalagi hanya belajar di tempat kerja, belajar untuk
sekedar mendapat nilai raport, ijazah, sertifikat, mengisi waktu luang di keluarga,
masyarakat. proses pemerolehan pengetahuan dan skill memahami hakikat kehidupan,
terampil memecahkan masalah-masalah kehidupan, menjalani kehidupan secara
seimbang dan harmonis.

Fokus dari life-based learning adalah pengembangan kapabilitas di era ilmu


pengetahuan untuk berkontribusi bagi kesejahteraan dankebahagiaan masyarakat.
Kapabilitas berilmu diukur dari kemanfaatan ilmu yang dikembangkan (widyaguna)
dalam membangun kesejahteraan dan kebahagiaan hidup bersama. Ilmu yang memberi
manfaat kesejahteraan dan kebahagiaan bagi seluruh umat manusia patut berkembang di
ladang ilmu (Putu Sudira 2016).

21
Pendidikan untuk semua warga negara bukan pendidikan untuk sebagian warga
negara saja. Karakteristik kunci dari Life-based learning menurut (Peddle, 2006)
diilustrasikan seperti gear berdaun 10 pada Gambar 2.2 di bawah ini (Staron, 2011)

Gambar 2. 2 10 Karakteristik kunci holistik dan terinkoneksi dari life-based learning


Sumber: Putu Sudira (2016)

Berdasarkan gambar 2.2 yaitu sepuluh komponen gear life-based learning menurut
Staron (2011) adalah sebagai berikut:

(1) Menekankan pengembangan kemampuan. Hal ini mengakibatkan orang belajar


untuk berinteraksi dalam keseimbangan dinamis dengan berbagai lingkungan di
mana mereka tinggal dan bekerja sehingga mereka dapat memenuhi potensi
mereka, memperluas tantangan kerja mereka, bertanggung jawab atas pilihan
mereka dan berkontribusi pada keberlanjutan, membangun hubungan dan
ketahanan dalam organisasi mereka.
(2) Mempromosikan orientasi berbasis kekuatan untuk belajar. Ini adalah orientasi
yang membuat perbedaan, sebanyak strategi.
(3) Mengakui berbagai sumber pembelajaran. Individu terlibat dalam banyak acara
pembelajaran dan memiliki kemampuan yang tidak selalu terlihat atau diakui
sebagai kontribusi formal dan signifikan terhadap kehidupan organisasi. Hal ini
perlu diakui dan didukung..

22
(4) Menyeimbangkan integritas dan utilitas. Untuk model pembelajaran berbasis
kehidupan untuk makmur, pola pikir penting. Strategi baru yang didekati dengan
pola pikir lama dapat merusak integritas model. Ini adalah kesulitan yang
melekat dalam lingkungan 'ambil dan pergi' di mana ada godaan untuk
menggunakan strategi tanpa mempelajari atau sepenuhnya menghargai konsep
yang mendukung mereka atau niat mereka.
(5) Mengalihkan tanggung jawab untuk belajar kepada individu. Belajar adalah
peristiwa unik dan orang dewasa mengakses pembelajaran dari berbagai sumber
kehidupan. Meskipun kita mungkin tidak pernah sepenuhnya memahami
pembelajaran orang lain, kita dapat menghormati dan menghargai proses dan
mengatur lingkungan dan enabler untuk mendorong pertumbuhannya. Individu
perlu bertanggung jawab untuk merancang pembelajaran mereka sendiri dan
memilih opsi yang paling tepat untuk memenuhi tujuan pribadi dan profesional
mereka.
(6) Menggeser peran organisasi ke enabler. Peran organisasi bergeser dari penyedia
program pembelajaran ke pencipta lingkungan terbaik untuk memungkinkan
pembelajaran terjadi. Desain ruang yang aman, promosi iklim kerja yang positif,
penyediaan kesempatan untuk belajar sebagai bagian integral dari pekerjaan
sehari-hari, ditambah pilihan fleksibel dan keterbukaan terhadap cara-cara baru
belajar dan bekerja semua berkontribusi pada pembangunan lingkungan belajar
yang kaya.
(7) Mengakui bahwa kontradiksi adalah kekuatan. Ketegangan yang diciptakan
memungkinkan pemahaman baru, serangkaian praktik baru dan hubungan baru
muncul. Alih-alih memiliki satu suara otoriter, pembelajaran berbasis kehidupan
merayakan suara yang berbeda dan banyak interpretasi dunia yang bersaing.
Bergerak melalui multiplisitas ini membutuhkan penilaian dan kebijaksanaan.
(8) Berinvestasi dalam mengembangkan seluruh orang. Ada refocusing pada faktor
manusia. Pembelajaran berbasis kehidupan juga tentang menjadi - memiliki rasa
diri yang kuat dan rasa hubungan dengan orang lain, dengan dunia dan dengan
kehidupan organisasi, sehingga memperkaya pengetahuan dan keterampilan
yang diperlukan untuk makmur dan berkembang di dunia kontemporer.

23
(9) Mengakui disposisi manusia sebagai kritis. Kebenaran dasar manusia dan
tanggung jawab manusia adalah konstanta baru. Pembelajaran berbasis
kehidupan bergeser dari apa yang Anda ketahui tentang dunia ke bagaimana
Anda tahu tentang dunia. Ini mengundang tingkat kesadaran, tanggung jawab,
kepercayaan, dan akuntabilitas yang baru.
(10) Menghargai bahwa perubahan secara kualitatif berbeda. Perubahan
berorientasi eksternal dan internal. Bagaimana individu memahami diri mereka
sendiri, rasa identitas mereka, rasa berada di dunia dan pola pikir mereka sama
pentingnya dengan perubahan model, metode dan strategi.

Cakupan dari life-based learning yaitu pengembangan spiral dari expert centered
learning dan work-based learning. Expert centred learning adalah pembelajaran
berpusat kepada pakar, berbasis kelas, proses adopsi dan implementasi. Work-based
learning adalah pembelajaran yang terpasilitasi berbasis proyek. Life-based learning
mengetengahkan pembelajaran selfdirected, continuous enquiry, adaptability and
sustainability seperti gambar 2.3 berikut ini.

Gambar 2. 3 Pengembangan Potensi Pembelajaran Berbasis Kerja dan Pembelajaran Berbasis


Ahli
Sumber: Putu Sudira (2016)

Gambar 2.3 memberi ilustrasi sangat jelas bahwa pembelajaran TVET harus
bersifat spiral menyerupai obat nyamuk bakar. Mula-mula belajar menguasai
kompetensi dari seorang ahli dalam proses pengajaran di kelas, laboratorium, bengkel,
workshop berdasarkan kebutuhan pemenuhan kompetensi peserta didik, proses adopsi,

24
dan menerapkan atau implementasi secara terbatas. Situasi belajar di kelas,
laboratorium, bengkel, workshop belum sepenuhnya menunjukkan masalah autentik,
belum menunjukkan situasi bekerja sesungguhnya. Keberhasilan belajar di kelas dari
seorang pakar belum bisa digunakan sebagai alat untuk memberi keputusan dan
kepastian berhasil dalam kerja. Kemudian setelah kompetensi dasar dimiliki dari
seorang pakar lalu kompetensi itu dikembangkan dalam suatu proses belajar berbasis
kerja. Peserta didik mulai memasuki dunia kerja.

Pada awalnya pekerja pemula harus belajar memecahkan masalah, bekerja dalam
tim, membangun komunikasi, jejaring kerja, dan kolaborasi. Demikian juga pekerja
senior harus tetap belajar berinovasi mencari dan menemukan masalah-masalah baru
yang berkembang. Belajar berbasis kerja membutuhkan interaksi sosial yang sangat
tinggi. Belajar berbasis kerja memerlukan fasilitas belajar pemecahan masalah melalui
berbagai proyek pekerjaan. Pekerja terus belajar dan mengambil pelatihan-pelatihan
untuk meng-upgrade skill yang sudah dimiliki agar tidak terjadi masalah skill gap atau
skill shortage (Putu Sudira 2016).

2) Teori Belajar Transformatif (Transformative Learning Theory)

Teori belajar transformatif secara alami digunakan pada pembelajaran orang


dewasa dalam proses pemerolehan kompetensi menghadapi perubahan, pekerjaan baru,
promosi jabatan, berpindah ke satu kota atau negara lain, pindah kerja atau mencari
pekerjaan lain. Teori belajar ini mendukung pengembangan kreativitas, kemampuan
berpikir kritis, bekerja kreatif dengan orang lain, pengembangan inovasi, pengendalian
diri, rasa peduli terhadap kebutuhan diri sendiri, penguatan motivasi, dan partisipasi
tinggi dalam merespon peluang-peluang pendidikan, pelatihan, pelatihan kembali,
kesempatan kerja, dan peluang-peluang karir (Putu Sudira 2016).

Teori belajar transformatif mengetengahkan koreksi kelemahan-kelemahan teori


pembelajaran transaksional yang banyak digunakan dalam TVET selalu belajar menjadi
pembelajar sepanjang hayat.

Penerapan teori belajar transformatif dalam TVET terletak pada pembelajaran


partisipatif, berpikir kreatif, dan berpikir divergen melalui berbagai dialog dan diskusi
pada kegiatan praktikum, pekerjaan proyek, magang industri. Pengetahuan diperoleh

25
dari pengalaman belajar yang secara riil dilakukan sesuai konteks bidang pekerjaannya.
Pendidik bersama peserta didik sama-sama melakukan konfirmasi, kritik, refleksi,
memodifikasi, mengganti, menambahkan terhadap hal-hal yang perlu dikembangkan
(Putu Sudira 2016).

3) Self-Direct Learning

Menurut Putu Sudira (2016) ia menyatakan bahwa Self-directed learning


merupakan pembelajaran dimana disain, rencana, pelaksanaan, dan evaluasi
pembelajaran didesain oleh pembelajar sendiri. Hal ini bukanlah berarti bahwa self-
directed learning adalah pembelajaran bersifat individualis yang dilaksanakan secara
terisolasi. Dalam self-directed learning seluruh keputusan tentang apa, di mana, kapan,
berapa lama, dengan siapa belajar semua ditetapkan oleh pembelajar. Self-directed
learning menggunakan pendekatan belajar andragogi.

Pekerja yang membutuhkan peningkatan posisi karir dalam kerja sangat perlu
melakukan self-directed learning untuk peningkatan kompetensi kerja. Sertifikasi
kompetensi yang menjadi persyaratan standar kerja perlu diikuti dengan melakukan
pembelajaran mandiri dan diteruskan dengan proses sertifikasi oleh lembaga sertifikasi
kompetensi.

4) Belajar Berpartner Sosial (Social Partnerships)

Belajar terkait kerja atau pekerjaan membutuhkan situasi kondisi berpartner secara
sosial. Tujuan belajar berpartner secara sosial adalah untuk peningkatan kesempatan
pewarisan kerjasama. Pembelajaran TVET membutuhkan partisipasi pasangan dalam
meningkatan pembelajaran melalui interaksi dan aktivitas dalam setiap kerja
berpasangan.

Menurut Seddon et al. (2009) belajar berpartner sosial bertujuan antara lain:

a. Mengembangkan pengetahuan diri sendiri, kepedulian dan manajemen diri


b. Pemeliharaan nilai-nilai demokratis: kepercayaan, respek satu sama lain, etika
diri, kerukunan, kekariban, kepedulian, empati, dan toleransi
c. Pengembaangan skill interpersonal dan sosial: mengamati, mendengar,
interaksi, perencanaan, mengadakan percobaan, pemecahan masalah, negosiasi,
dan penilaian

26
d. Pemahaman kebutuhan personal dan lokal dalam konteks sosial yang lebih luas,
sistem dan proses politik dan ekonomi
e. Mengadaptasikan dan menggunakan proses/prosedur sosial- politik untuk
kemanfaatan local
f. Pengembangan daya lentur: kapasitas untuk tetap komitmen menghadapi
perubahan. Pembelajaran berpartner secara sosial akan mengembangkan rasa
percaya diri dan komunikasi yang semakin cair di antara peserta didik dengan
lembaga-lembaga terkait dengan sistem TVET. Dampak yang timbul adalah
fleksibilitas diri dan kemandirian dalam pengembangan kapabilitas untuk
memenuhi tuntutan perubahan dan kebutuhan industri.

5) Pembelajaran Orang Dewasa (Mature Adult Learning)

Menurut Putu Sudira (2016) Pembelajaran orang dewasa membutuhkan perubahan


strategi belajar yang semakin peduli pada kebutuhan diri peserta didik, butuh
berkembang dan berubah secara terus menerus, Dunia modern yang berlimpah
informasi kedewasaan belajar yang ditunjukkan oleh kecerdasan belajar yang tinggi
melalui e-learning, web-based learning, group-based learning, on-line learning.
Pembelajaran berjejaring membuat proses pembelajaran dapat berlangsung cepat dan
efisien.

Setiap orang dewasa dapat dengan mudah melakukan sharing pendapat atau
pertanyaan yang dibutuhkan dalam belajar. Pembelajaran orang dewasa lebih bersifat
terbuka dan kontekstual sesuai problematika autentik yang terjadi dan dialam Proses
pembelajaran orang dewasa terus menerus berupaya menemukan dan membentuk
identitas profesi dirinya sebagai pilihannya.

Pemanfaatan kegiatan riset ditempat kerja sebagai bagian dari pembelajaran orang
dewasa juga sangat penting. Identifikasi permasalahan dan trend praksis pembelajaran
di dunia kerja diteliti dan dijadikan sumber masukan pembelajaran dalam TVET.
Pembelajaran TVET membimbing dan memberi bantuan bagi anak muda untuk tumbuh
menjadi dewasa dan memfasilitasi kaum dewasa untuk belajar terus mengembangkan
kapasitas dirinya.

27
6) Pengembangan Kompetensi Sebagai Proses Kolektif (Competence As Collective
Process)

Menurut Putu Sudira (2016) Kompetensi adalah kapasitas diri seseorang yang
dapat didemontrasikan atau ditampilkan berupa pengetahuan, skill, dan karakteristik
diri pribadi yang dibutuhkan untuk memenuhi permintaan-permintaan atau situasi
khusus. Seseorang dikatakan kompeten jika mampu melakukan suatu tindakan kerja
dengan skill yang tinggi, dapat menjelaskan prosedur kerja dan pengetahuan kerja yang
dibutuhkan, serta memiliki sikap kerja yang tepat sebagai pekerja efektif dan produktif.

Pengetahuan kerja tanpa skill yang baik tidak dapat dikatakan kompeten. Skill
tinggi tanpa pengetahuan kerja yang baik juga tidak kompeten karena tidak akan bisa
berkembang. Pengetahuan dan skill kerja yang tinggi tanpa sikap kerja yang baik bisa
berbahaya. Pembelajaran berbasis kompetensi adalah pembelajaran pengembangan
kapasitas yang utuh di antara pengetahuan, skill, dan sikap.

Ada empat definisi kompetensi dalam naskahnya Colardy, D. (2009) yaitu:

a. Kompetensi menandakan keterampilan terukur atau seperangkat


keterampilan, tingkat pengetahuan dan praktik perilaku yang diperoleh
melalui pembelajaran formal, non-formalatau informal; kemampuan untuk
melakukan tugas dan tugas khusus pekerjaan
b. Kompetensi mengacu pada kemampuan untuk menerapkan pengetahuan,
pengetahuan dan keterampilan dalam situasi kebiasaan atau perubahan
c. 'Standar kompetensi' menggambarkan keterampilan dan pengetahuan yang
diperlukan bagi seseorang untuk beroperasi secara efektif di tempat kerja.
Mereka didefinisikan oleh industri, diakui secara nasional dan membentuk
dasar pelatihan untuk industri tertentu
d. Kompetensi “nyata” mewakili apa yang peserta didik mampu lakukan

Kompetensi menandakan skill atau sejumlah skill, level pengetahuan, dan praktik
perilaku yang diperoleh melalui pembelajaran formal, nonformal atau informal.
Kompetensi juga berarti kemampuan mengerjakan tugas-tugas pekerjaan yang bersifat
khusus. Kompetensi merujuk kepada kemampuan menerapkan pengetahuan, know-how

28
dan skill dalam kondisi biasa atau berubah. Pekerjaan dan masalah pekerjaan
membutuhkan penyelesaian interaksi kolektif antar individu sebagai kolaborasi kerja

7) Belajar Berbasis Kerja (Work-based Learning)

Menurut Putu Sudira (2016) Pembelajaran berbasis kerja dikembangkan untuk


pengembangan kompetensi kerja sesuai pasar tenaga kerja. TVET yang efektif adalah
TVET yang mampu menghasilkan lulusan tenaga kerja yang relevan dengan kebutuhan
dunia kerja. Perubahan kebutuhan dunia kerja yang mengarah pada pekerja barbasis
pengetahuan mendorong perubahan paradigma Work-based Learning.

8) Belajar di Tempat Kerja (Workplace Learning) dan Belajar Langsung dalam


Kehidupan Kerja (Learning in Working life)

Menurut Putu Sudira (2016) Belajar di tempat kerja dan belajar langsung dalam
kehidupan kerja adalah dua hal yang selaras. Pekerjaan Abad 21 adalah pekerjaan yang
berhubungan dengan pemecahan masalah aktual atau nyata dan baru. Setiap pemecahan
masalah membutuhkan proses analisis sintesis masalah sampai pada pengambilan
keputusan yang efektif dan efisien. Belajar memecahkan masalah dalam kehidupan.
kerja dan berlangsung di tempat kerja adalah bentuk pembelajaran TVET yang
berkembang di era Abad 21 ini.

Tuntutan pekerjaan Abad 21 mengharuskan semua pekerja mengembangkan sikap


belajar sepanjang hayat. Belajar merupakan kebutuhan bagi semua pekerja dan juga
pencari kerja. Di tempat kerja dalam seting alami pekerja belajar langsung dari
kehidupan kerja secara autentik. Penguatan kemampuan memecahkan masalah yang
dihadapi dalam kehidupan kerja membuatt para pekerja memiliki pengalaman dan skill
yang memadai.

29

Anda mungkin juga menyukai