KAJIAN PUSTAKA
Pendidikan vokasi merupakan bagian penting dari sistem pendidikan nasional yang
tentu mempunyai posisi strategis untuk mewujudkan tenaga kerja yang berkualitas
dengan adanya keterlibatan aktif dari DUDI. Pendidikan vokasi harus dapat
membangunkan kesadaran pelaku dunia usaha dan dunia industri untuk turut
mengambil tanggung jawab lebih besar, serta wajib dikembangkan agar dapat mengisi
lapangan kerja industri dengan profil lulusan yang memiliki ketrampilan dan
pengetahuan tinggi (high skilled & know how), sehingga dapat melakukan peningkatan
proses produktif serta dapat melakukan perbaikan dan pengembangan produk di dunia
industry (Vokasi 2020)
4
pekerja dalam mamasuki pekerjaan dan membuat kemajuan-kemajuan dalam pekerjaan
penuh makna dan produktif.
5
dan pembelajaran yang cocok dan sesuai dengan tujuan belajar itu sendiri.(Miswar
2018)
Menurut Miswar (2018) Tujuan akhir dalam belajar dan pembelajaran adalah untuk
tujuan perubahan tingkah laku objek belajar dari semua tingkatan. Maksud dan tujuan
belajar adalah untuk mendapat ilmu pengetahuan. Namun ilmu yang didapat, tidak
hanya didapatkan dengan tiba-tiba seperti durian runtuh, tetapi dapat terjadi melalui
peroses pembelajaran.
Teori belajar kontemporer dalam TVET antara lain : (1) life-based learning; (2)
belajar berpartner sosial (social partnerships); (3) belajar orang dewasa (mature adult
learning); (4) pengembangan kompetensi sebagai proses kolektif (competence as
collective prosess); (5) belajar berbasis kerja (work-based learning); (6) belajar di
tempat kerja (workplace learning); (7) belajar langsung dalam kehidupan kerja (learning
in working life) (Putu Sudira 2016).
1) Pembelajaran Holistik
6
pendidikan teoritis-praktis, kesatuan materi pendidikan pribadi-sosial-
ketuhanan.
c) Proses pendidikan holistik mengutamakan kesatuan kepentingan anak didik dan
masyarakat.
d) Evaluasi Pendidikan holistik mementingkan tercapainya perkembangan anak
didik dalam bidang penguasaan ilmu, sikap, dan keterampilan.
7
d) Pembelajaran berkewajiban menyadarkan siswa tentang keterkaitannya dengan
komunitasnya, sehingga mereka tak boleh mengabaikan tradisi, budaya,
kerjasama, hubungan manusiawi, serta pemenuhan kebutuhan yang tepat guna.
e) Pembelajaran berkewajiban mengajak siswa untuk menyadari hubungannya
dengan bumi dan "masyarakat" non manusia seperti hewan, tumbuhan, dan
benda benda tak bernyawa (air, udara, tanah) sehingga mereka emiliki kesadaran
ekologis
f) Kurikulum berkewajiban memperhatikan hubungan antara berbagai pokok
bahasan dalam tingkatan trans-disipliner, sehingga hal itu akan lebih memberi
makna kepada siswa.
g) Pembelajaran berkewajiban menghantarkan siswa untuk menyeimbangkan
antara belajar individual dengan kelompok (kooperatif, kolaboratif, antara isi
dengan proses, antara pengetahuan dengan imajinasi, antara rasional dengan
intuisi, antara kuantitatif dengan kualitatif.
h) Pembelajaran adalah sesuatu yang tumbuh, menemukan, dan memperluas
cakrawala.
i) Pembelajaran adalah sebuah proses kreatif dan artistik. Proses pembelajaran
menjadi tanggung jawab personal sekaligus juga menjadi tanggung jawab
kolektif. Oleh karena itu strategi pembelajaran lebih diarahkan pada bagaimana
mengajar dan bagaimana orang belajar.
8
kehidupan mereka . Pendidikan holistik memiliki kapasitas untuk membimbing
peserta didik untuk memperluas kepribadian individu serta memiliki kapasitas
menciptakan individu untuk berpikir secara berbeda, kreatif dan mencerminkan
nilai-nilai yang sudah tertanam dalam dirinya. Guru diharapkan mampu
mendorong peserta didik untuk berkembang menjadi lebih terdidik dan
berpartisipasi sebagai anggota masyarakat.
2) Pembelajaran Kontekstual
9
Guru dan buku bukan merupakan sumber dan media sentral, demikian pula guru
tidak dipandang sebagai orang yang serba tahu, sehingga guru tidak perlu khawatir
menghadapi berbagai pertanyaan siswa yang terkait dengan lingkungan baik tradisional
maupun modern (Direktorat Jenderal Pendidikan Agaman Islam 2019)
3) Pembelajaran Futuristik
Pengetahuan menjadi modal paling berharga dan paling dibutuhkan. Tanpa modal
pengetahuan orang (bahkan bangsa dan negara) akan dipinggirkan dan ditinggalkan,
sebaliknya dengan modal pengetahuan yang baik orang, bangsa dan negara dapat
menjadi pemenang dalam berbagai aktivitas kehidupan. Dan modal pengetahuan yang
dibutuhkan dan yang cocok pada masa depan dapat diketahui dengan melihat
kecenderungan-kecenderungan perubahan pengetahuan yang mengarah ke masa depan.
(Direktorat Jenderal Pendidikan Agaman Islam 2019)
a) Mereka menyukai ada kontrol. Para siswa generasi abad ke-21 tidak menyukai
terikat oleh jadwal-jadwal tradisional, dan juga tidak menyukai duduk di dalam
kelas untuk belajar, atau duduk di dalam kantor untuk bekerja. Sebaliknya
mereka lebih menyukai untuk belajar sendiri dengan menggunakan alat
komunikasi yang bisa menjangkau dunia yang tak terbatas. Dengan caranya
sendiri, mereka akan memperoleh informasi dari berbagai sumber di dunia.
10
Dengan demikian, mereka harus dikontrol target pencapaian pengetahuannya,
proses belajarnya dan hasil yang mereka dapatkan.
b) Mereka juga menyukai banyak pilihan. Untuk mata pelajaran project, yakni
tugas melakukan mini riset, mereka akan menggunakan teknologi untuk
memperoleh banyak informasi. Mereka harus diberi kebebasan untuk memilih
metode dan teknik-tekniknya, untuk mereka jalani dan pada akhirnya akan
mampu menyiapkan laporan, sebagaimana para siswa atau mahasiswa yang
melakukannya secara tradisional.
c) Mereka adalah orang-orang yang menyukai ikatan kelompok dan ikatan sosial,
hanya saja mereka membangun group melalui media sosial mereka, dan oleh
karenanya kelompok mereka lintas bangsa, negara, budaya dan bahkan agama.
Mereka memiliki jejaring internasional yang dinamis, dan jika mereka
manfaatkan untuk menjadikan jejaringnya sebagai peer group-nya, maka mereka
akan memiliki pengelaman keilmuan yang jauh lebih baik, daripada tutorial atau
mentoring dalam satu kelas di sekolah tradisional.
d) Mereka adalah orang-orang terbuka, melalui tradisi jejaringnya mereka
terbelajarkan untuk menjadi terbuka, karena dalam jaringannya semua penganut
agama ada dan terkelompokkan, ada yang Kristen, Katholik, Hindu, Buddha dan
juga Kong Hu Chu, atau bahkan mungkin ada yang atheis, tapi komunikasi
mereka tetap berjalan dan tidak terganggu oleh perbedaan-perbedaan tersebut.
E-learning telah dicoba selama bertahun-tahun untuk melengkapi cara belajar kita
agar lebih efektif dan terukur. Hasilnya sekarang ada banyak alat yang membantu
11
menciptakan kursus interaktif, menstandarisasi proses belajar dan/atau memasukkan
unsur informal kedalam proses belajar formal dan sebaliknya. Beberapa trend e-
learning memberikan kita pandangan bagaimana peralatan belajar dan e-learning di
masa yang akan datang dibentuk (Direktorat Jenderal Pendidikan Agaman Islam 2019).
Pembelajaran berbasis android pada dasarnya bisa disebut sebagai micro- learning.
Micro-learning berfokus pada desain aktivitas pembelajaran mikro melalui tahapan
mikro dalam lingkungan media digital, yang sudah menjadi realitas keseharian pekerja
pengetahuan dewasa ini. Kegiatan ini dapat dimasukkan ke dalam rutinitas sehari- hari
pelajar. Tidak seperti pendekatan e-learning "tradisional", pembelajaran mikro
seringkali cenderung mendorong teknologi melalui media pendukung, yang mengurangi
beban kognitif pada peserta didik. Oleh karena itu, pemilihan objek pembelajaran mikro
juga kecepatan dan waktu kegiatan pembelajaran mikro sangat penting untuk desain
didaktik. (Direktorat Jenderal Pendidikan Agaman Islam 2019)
Automatic Learning adalah masa depan yang akan datang. Dalam sebuah adegan
yang terkenal dari film The Matrix, Neo berbaring di kursi dokter gigi berteknologi
tinggi dan terikat pada serangkaian elektroda liar, men-download serangkaian program
latihan bela diri ke dalam otaknya. Setelah itu, dia membuka matanya dan
mengucapkan kata- kata yang telah dikutip para geeks sejakitu: "Saya bisa Kung Fu."
Jenis pembelajaran otomatis ini mungkin terdengar seperti masa depan distopia bagi
banyak orang, tapi ke sanalah kita mengarah. Dan terlepas dari pertanyaan etis yang
mungkin timbul, manfaatnya bisa menjadi substansial pada banyak tingkatan jika
digunakan dengan benar. Begini cara kerjanya: Anda memilih tugas yang membutuhkan
kinerja tinggi korteks visual Anda,seperti menangkap bola. Kemudian temukan
12
seseorang yang pro dalam menangkap bola, tempatkan dia di mesin fMRI dan rekam
apa yang terjadi didalam otaknya saat dia memvisualisasikan menangkap bola.
Kemudian Anda mendapatkan program tangkap-bola Anda, dan siap untuk belajar.
(Direktorat Jenderal Pendidikan Agaman Islam 2019)
Langkah selanjutnya: posisikan diri Anda ke mesin fMRI, dan kencangkan untuk
menginduksi citra menangkap-bola profesional yang sudah Anda rekam sebelumnya ke
otak Anda dengan menggunakan neuro feedback. Anda bahkan tidak perlu
memperhatikan saat ini terjadi. Otak Anda, bagaimanapun, menjadi terbiasa dengan
pola itu - yang adalah merupakan esensi pembelajaran: otak menjadi terbiasa dengan
pola baru. Riset telah menunjukkan bahwa pemutaran pola fMRI ini dapat
menyebabkan peningkatan tahan lama dalam tugas yang memerlukan kinerja visual.
Secara teori, jenis pembelajaran otomatis adalah hasil potensial dan kemungkinan
wajah pembelajaran e- learning di masa mendatang.
13
Teori Belajar Behavioristik; (2) Teori Belajar Kognitif; (3) Teori Belajar
Konstruktivistik. Berikut jabaran ketiga teori belajar klasik:
Teori belajar behavioristik adalah teori belajar perubahan perilaku yang dapat
diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Perubahan terjadi melalui rangsangan
(stimulans) yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respons) berdasarkan
hukum-hukum mekanistik. Stimulans tidak lain adalah lingkungan belajar anak, baik
yang internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar. Respons adalah akibat
atau dampak, berupa reaksi fisik terhadap stimulans. (Putu Sudira 2016) (Suyitno 2020)
Menurut Suyitno (2020) pakar teori behavioristik salah satunya adalah Thorndike,
yang mendeskripsikan belajar adalah peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara
peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R). Stimulus adalah suatu
perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan
organisme untuk beraksi atau berbuat sedangkan respons dari adalah sembarang tingkah
laku yang dimunculkan karena adanya perangsang. Dari eksperimen kucing lapar yang
dimasukkan dalam sangkar (puzzle box) diketahui bahwa supaya tercapai hubungan
antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang
tepat serta melalui usaha-usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-
kegagalan (error) terlebih dahulu. Bentuk paling dasar dari belajar adalah trial and error
learning atau selecting and connecting learning‖ dan berlangsung menurut hukum-
hukum tertentu. Oleh karena itu, teori belajar yang dikemukakan oleh Thorndike ini
sering disebut dengan teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi. Adanya
pandangan-pandangan Thorndike yang memberi sumbangan yang cukup besar di dunia
pendidikan tersebut maka ia dinobatkan sebagai salah satu tokoh pelopor dalam
psikologi pendidikan (Putu Sudira 2016).
14
2) Teori Belajar Kognitif
Teori belajar kognitif cenderung lebih mementingkan proses belajar daripada hasil
belajar itu sendiri. Belajar tidak sekadar melibatkan hubungan antara stimulus dan
respons, lebih dari itu, belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Belajar
adalah perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan persepsi dan pemahaman tidak
selalu berbentuk perubahan tingkah laku yang bisa diamati. Salah satu tokoh yang
terkenal dalam teori belajar kognitif adalah Piaget. Ia memandang bahwa proses
berpikir sebagai aktivitas gradual dan fungsi intelektual dari konkret menuju abstrak
(Putu Sudira 2016).
Kognisi adalah kemampuan psikis atau mental manusia yang berupa mengamati,
melihat, menyangka, memperhatikan, menduga dan menilai. Dengan kata lain, kognisi
menunjuk pada konsep tentang pengenalan. Teori kognitif menyatakan bahwa proses
belajar terjadi karena ada variabel penghalang pada aspek-aspek kognisi seseorang.
Teori belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajar itu
sendiri. Belajar tidak sekadar melibatkan hubungan antara stimulus dan respons, lebih
dari itu belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Belajar adalah
perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan persepsi dan pemahaman tidak selalu
berbentuk perubahan tingkah laku yang bisa diamati (Suyitno 2020).
Putu Sudira (2016) Konstruktivisme adalah suatu pendekatan terhadap belajar yang
berkeyakinan bahwa orang secara aktif membangun atau membuat pengetahuannya
15
sendiri dan realitas ditentukan oleh pengalaman orang itu sendiri pula. Paradigma
pembelajaran kontruktivistik telah dikenal sejak tahun 1710, tetapi pada kenyataannya
paradigma pembelajaran yang dikembangkan di sekolah lebih didominasi oleh
pembelajaran behavioristik. Suyitno (2020) Teori belajar behavioristik memiliki
beberapa kelemahan antara lain terlalu mekanistik dan kurang mampu mengembangkan
potensi siswa secara optimal. Ada beberapa langkah dalam pembelajaran
konstruktifistik di antaranya:
16
Kidung ini memberi wejangan pelajaran moral bahwa bagi siapapun yang ingin
membersihkan dirinya (luas manjus=pergi mandi) dari perbuatan-perbuatan yang kotor
atau tidak baik tidak terpuji agar rajin, disiplin, menguatkan pikirannya terlebih dahulu
dan berperilaku konsisten. Waspada dengan diri sendiri, demikian juga agar berhati-hati
membawa lidah (pisau tumpul) sebagai alat penyambung ucapan agar tidak menyakiti
hati orang. Tetapi sebaliknya memberi manfaat postif bagi orang lain. Sikap bijaksana
dan kasih sayang hendaklah dibudayakan. Di Yogyakarta kita memiliki pahlawan
pendidikan nasional Ki Hadjar Dewantara yang menegakkan konsep teori pembelajaran
berdasarkan kearifan lokal. Konep-konsep belajar (Putu Sudira 2016).
Ki Hadjar Dewantara sebagai kearifan lokal di fatwakan menjadi tiga yaitu: (1)
Tetep, antep, mantep; (2) ngandel, kandel, kendel, bandel; (3) neng, ning, nung dan
nang. Pembelajaran hendaknya membangun berkomitmen (tetep), memiliki
kepercayaan diri (antep), memiliki orientasi yang jelas untuk kemerdekaan diri sebagai
pribadi anggota masyarakat dan warga dunia (mantep). Memiliki pendirian yang teguh,
kuat, berani, tahan uji (ngandel, kandel, kendel, bandel). Mewujudkan rasa senang,
hening, tenang, dan merenung (neng, ning, nung dan nang) (Putu Sudira 2016)..
Kearifan lokal lainnya yang terkait pembelajaran adalah konsep ngelmu iku
lakuning kanthi laku, ngelmu tanpa laku kothong, laku tanpa ngelmu cupet. Belajar itu
sebaiknya diterapkan menjadi praksis kehiupan sehari-hari. Jika belajar tidak
dipraktikkan dalam kehidupan maka sama dengan tidak ada artinya. Sebaliknya jika
perbuatan praktik tidak diikuti ilmu yang baik akan menjadi sempit. Teori-teori belajar
kearifan lokal Indonesia jika disatukan dari berbagai daerah akan membangun suatu
teori yang bisa saja membangun teori belajar modern yang kontekstual dengan
kebutuhan Abad 21. Pengkajian dari berbagai daerah penting dilakukan untuk
penyusunan dan penataan konsep-konsep yang ada di lapangan (Putu Sudira 2016)..
17
Pembelajaran sebagai proses aktif dapat berlangsung di mana saja dan kapan saja.
Pembelajaran tidak terbatas pada ruang dan waktu serta materi yang disiapkan oleh
guru semata (Putu Sudira 2016).
Gambaran besar seperti apa kondisi dunia kerja 20 tahun yang akan datang
membutuhkan perancangan konsep pembelajaran TVET. sejak sekarang untuk
pengembangan kebutuhan peserta didik untuk 20 tahun yang akan datang setelah
mereka meninggalkan bangku sekolah/kuliah. Konsep baru pembelajaran TVET
mengantisipasi kebutuhan kehidupan 20 tahun mendatang, maka diperlukannya skill
kerja untuk menunjang kebutuhan hidup di masa yang akan dating (Putu Sudira 2016).
18
No Teori Belajar Keterangan
19
No Teori Belajar Keterangan
Pembelajaran berbasis kerja
dikembangkan untuk pengembangan
kompetensi kerja sesuai pasar tenaga
Belajar Berbasis Kerja kerja.
7
(Work Based Learning) TVET yang efektif adalah TVET yang
mampu menghasilkan lulusan tenaga
kerja yang relevan dengan kebutuhan
dunia kerja.
Belajar di tempat kerja dan belajar
langsung dalam kehidupan kerja adalah
dua hal yang selaras. Setiap pemecahan
Belajar di Tempat Kerja masalah membutuhkan proses analisis
(Workplace Learning) sintesis masalah sampai pada
8 dan pengambilan keputusan yang efektif dan
Belajar Langsung dalam Kehidupan Kerja efisien. Belajar memecahkan masalah
(Learning in Working Life) dalam kehidupan kerja dan berlangsung di
tempat krja merupakan bentuk
pembelajaran TVET yang berkembang di
abad 21.
Sumber: Putu Sudira (2016)
2.3 Penjabaran Teori Belajar Kontemporer dalam TVET
Menurut Putu Sudira (2016) Pengembangan kapabilitas (kemampuan dan
kemauan) diri untuk berpartisipasi penuh dalam dunia kerja, mampu berkarir secara
produktif sepanjang usia kerja, tidak menjadi beban keluarga dan masyarakat setelah
memasuki usia pensiun merupakan sasaran pembelajaran TVET. Pembelajaran TVET
tidak lagi cukup pada pengembangan kapasitas (capasity building).
Konsep belajar kontemporer dalam TVET adalah belajar yang terkonstruksi secara
sosial, situasional, kondisional, berpartisipasi langsung dalam masyarakat, belajar
sepanjang hayat, belajar berbasis kehidupan. Pembelajaran TVET selalu kontekstual
sesuai kebutuhan kompetensi melakukan berbagai jenis pekerjaan atau tugas keseharian
Mendidik dan melatih peserta didik berkemampuan kerja jika tidak mau bekerja
akan sia-sia saja. Pendidikan TVET Abad XXI butuh membangun kapabilitas yaitu
kemampuan dan kemauan kerja yang tinggi (Putu Sudira 2016). Berikut adalah
penjabaran dari konsep belajar kontemporer
20
1) Life Based Learning
Life-based learning menjadi kunci perubahan dan pengembangan ekologi baru
pembelajaran TVET. Life-based learning dapat dijadikan umpan balik penyelenggaraan
pembelajaran TVET yang semakin kontekstual-integratif-holistik. Dalam the
Knowledge Era, aktivitas belajar berubah dari aktvitas segmental terpisah-pisah ke
aktivitas yang terintegrasi dan terinterkoneksi.
Gambar 2.1 menunjukkan terjadinya perubahan pola baru belajar dari pola
segmental ke pola ekologi belajar terintegrasi-interkoneksi di antara diri pribadi,
pekerjaan, keluarga, dan pemanfaatan waktu luang. Pola belajar baru ini disebut dengan
life- based learning. Life-based learning tidak terbatas hanya pada belajar bekerja,
belajar mendapatkan pekerjaan, apalagi hanya belajar di tempat kerja, belajar untuk
sekedar mendapat nilai raport, ijazah, sertifikat, mengisi waktu luang di keluarga,
masyarakat. proses pemerolehan pengetahuan dan skill memahami hakikat kehidupan,
terampil memecahkan masalah-masalah kehidupan, menjalani kehidupan secara
seimbang dan harmonis.
21
Pendidikan untuk semua warga negara bukan pendidikan untuk sebagian warga
negara saja. Karakteristik kunci dari Life-based learning menurut (Peddle, 2006)
diilustrasikan seperti gear berdaun 10 pada Gambar 2.2 di bawah ini (Staron, 2011)
Berdasarkan gambar 2.2 yaitu sepuluh komponen gear life-based learning menurut
Staron (2011) adalah sebagai berikut:
22
(4) Menyeimbangkan integritas dan utilitas. Untuk model pembelajaran berbasis
kehidupan untuk makmur, pola pikir penting. Strategi baru yang didekati dengan
pola pikir lama dapat merusak integritas model. Ini adalah kesulitan yang
melekat dalam lingkungan 'ambil dan pergi' di mana ada godaan untuk
menggunakan strategi tanpa mempelajari atau sepenuhnya menghargai konsep
yang mendukung mereka atau niat mereka.
(5) Mengalihkan tanggung jawab untuk belajar kepada individu. Belajar adalah
peristiwa unik dan orang dewasa mengakses pembelajaran dari berbagai sumber
kehidupan. Meskipun kita mungkin tidak pernah sepenuhnya memahami
pembelajaran orang lain, kita dapat menghormati dan menghargai proses dan
mengatur lingkungan dan enabler untuk mendorong pertumbuhannya. Individu
perlu bertanggung jawab untuk merancang pembelajaran mereka sendiri dan
memilih opsi yang paling tepat untuk memenuhi tujuan pribadi dan profesional
mereka.
(6) Menggeser peran organisasi ke enabler. Peran organisasi bergeser dari penyedia
program pembelajaran ke pencipta lingkungan terbaik untuk memungkinkan
pembelajaran terjadi. Desain ruang yang aman, promosi iklim kerja yang positif,
penyediaan kesempatan untuk belajar sebagai bagian integral dari pekerjaan
sehari-hari, ditambah pilihan fleksibel dan keterbukaan terhadap cara-cara baru
belajar dan bekerja semua berkontribusi pada pembangunan lingkungan belajar
yang kaya.
(7) Mengakui bahwa kontradiksi adalah kekuatan. Ketegangan yang diciptakan
memungkinkan pemahaman baru, serangkaian praktik baru dan hubungan baru
muncul. Alih-alih memiliki satu suara otoriter, pembelajaran berbasis kehidupan
merayakan suara yang berbeda dan banyak interpretasi dunia yang bersaing.
Bergerak melalui multiplisitas ini membutuhkan penilaian dan kebijaksanaan.
(8) Berinvestasi dalam mengembangkan seluruh orang. Ada refocusing pada faktor
manusia. Pembelajaran berbasis kehidupan juga tentang menjadi - memiliki rasa
diri yang kuat dan rasa hubungan dengan orang lain, dengan dunia dan dengan
kehidupan organisasi, sehingga memperkaya pengetahuan dan keterampilan
yang diperlukan untuk makmur dan berkembang di dunia kontemporer.
23
(9) Mengakui disposisi manusia sebagai kritis. Kebenaran dasar manusia dan
tanggung jawab manusia adalah konstanta baru. Pembelajaran berbasis
kehidupan bergeser dari apa yang Anda ketahui tentang dunia ke bagaimana
Anda tahu tentang dunia. Ini mengundang tingkat kesadaran, tanggung jawab,
kepercayaan, dan akuntabilitas yang baru.
(10) Menghargai bahwa perubahan secara kualitatif berbeda. Perubahan
berorientasi eksternal dan internal. Bagaimana individu memahami diri mereka
sendiri, rasa identitas mereka, rasa berada di dunia dan pola pikir mereka sama
pentingnya dengan perubahan model, metode dan strategi.
Cakupan dari life-based learning yaitu pengembangan spiral dari expert centered
learning dan work-based learning. Expert centred learning adalah pembelajaran
berpusat kepada pakar, berbasis kelas, proses adopsi dan implementasi. Work-based
learning adalah pembelajaran yang terpasilitasi berbasis proyek. Life-based learning
mengetengahkan pembelajaran selfdirected, continuous enquiry, adaptability and
sustainability seperti gambar 2.3 berikut ini.
Gambar 2.3 memberi ilustrasi sangat jelas bahwa pembelajaran TVET harus
bersifat spiral menyerupai obat nyamuk bakar. Mula-mula belajar menguasai
kompetensi dari seorang ahli dalam proses pengajaran di kelas, laboratorium, bengkel,
workshop berdasarkan kebutuhan pemenuhan kompetensi peserta didik, proses adopsi,
24
dan menerapkan atau implementasi secara terbatas. Situasi belajar di kelas,
laboratorium, bengkel, workshop belum sepenuhnya menunjukkan masalah autentik,
belum menunjukkan situasi bekerja sesungguhnya. Keberhasilan belajar di kelas dari
seorang pakar belum bisa digunakan sebagai alat untuk memberi keputusan dan
kepastian berhasil dalam kerja. Kemudian setelah kompetensi dasar dimiliki dari
seorang pakar lalu kompetensi itu dikembangkan dalam suatu proses belajar berbasis
kerja. Peserta didik mulai memasuki dunia kerja.
Pada awalnya pekerja pemula harus belajar memecahkan masalah, bekerja dalam
tim, membangun komunikasi, jejaring kerja, dan kolaborasi. Demikian juga pekerja
senior harus tetap belajar berinovasi mencari dan menemukan masalah-masalah baru
yang berkembang. Belajar berbasis kerja membutuhkan interaksi sosial yang sangat
tinggi. Belajar berbasis kerja memerlukan fasilitas belajar pemecahan masalah melalui
berbagai proyek pekerjaan. Pekerja terus belajar dan mengambil pelatihan-pelatihan
untuk meng-upgrade skill yang sudah dimiliki agar tidak terjadi masalah skill gap atau
skill shortage (Putu Sudira 2016).
25
dari pengalaman belajar yang secara riil dilakukan sesuai konteks bidang pekerjaannya.
Pendidik bersama peserta didik sama-sama melakukan konfirmasi, kritik, refleksi,
memodifikasi, mengganti, menambahkan terhadap hal-hal yang perlu dikembangkan
(Putu Sudira 2016).
3) Self-Direct Learning
Pekerja yang membutuhkan peningkatan posisi karir dalam kerja sangat perlu
melakukan self-directed learning untuk peningkatan kompetensi kerja. Sertifikasi
kompetensi yang menjadi persyaratan standar kerja perlu diikuti dengan melakukan
pembelajaran mandiri dan diteruskan dengan proses sertifikasi oleh lembaga sertifikasi
kompetensi.
Belajar terkait kerja atau pekerjaan membutuhkan situasi kondisi berpartner secara
sosial. Tujuan belajar berpartner secara sosial adalah untuk peningkatan kesempatan
pewarisan kerjasama. Pembelajaran TVET membutuhkan partisipasi pasangan dalam
meningkatan pembelajaran melalui interaksi dan aktivitas dalam setiap kerja
berpasangan.
Menurut Seddon et al. (2009) belajar berpartner sosial bertujuan antara lain:
26
d. Pemahaman kebutuhan personal dan lokal dalam konteks sosial yang lebih luas,
sistem dan proses politik dan ekonomi
e. Mengadaptasikan dan menggunakan proses/prosedur sosial- politik untuk
kemanfaatan local
f. Pengembangan daya lentur: kapasitas untuk tetap komitmen menghadapi
perubahan. Pembelajaran berpartner secara sosial akan mengembangkan rasa
percaya diri dan komunikasi yang semakin cair di antara peserta didik dengan
lembaga-lembaga terkait dengan sistem TVET. Dampak yang timbul adalah
fleksibilitas diri dan kemandirian dalam pengembangan kapabilitas untuk
memenuhi tuntutan perubahan dan kebutuhan industri.
Setiap orang dewasa dapat dengan mudah melakukan sharing pendapat atau
pertanyaan yang dibutuhkan dalam belajar. Pembelajaran orang dewasa lebih bersifat
terbuka dan kontekstual sesuai problematika autentik yang terjadi dan dialam Proses
pembelajaran orang dewasa terus menerus berupaya menemukan dan membentuk
identitas profesi dirinya sebagai pilihannya.
Pemanfaatan kegiatan riset ditempat kerja sebagai bagian dari pembelajaran orang
dewasa juga sangat penting. Identifikasi permasalahan dan trend praksis pembelajaran
di dunia kerja diteliti dan dijadikan sumber masukan pembelajaran dalam TVET.
Pembelajaran TVET membimbing dan memberi bantuan bagi anak muda untuk tumbuh
menjadi dewasa dan memfasilitasi kaum dewasa untuk belajar terus mengembangkan
kapasitas dirinya.
27
6) Pengembangan Kompetensi Sebagai Proses Kolektif (Competence As Collective
Process)
Menurut Putu Sudira (2016) Kompetensi adalah kapasitas diri seseorang yang
dapat didemontrasikan atau ditampilkan berupa pengetahuan, skill, dan karakteristik
diri pribadi yang dibutuhkan untuk memenuhi permintaan-permintaan atau situasi
khusus. Seseorang dikatakan kompeten jika mampu melakukan suatu tindakan kerja
dengan skill yang tinggi, dapat menjelaskan prosedur kerja dan pengetahuan kerja yang
dibutuhkan, serta memiliki sikap kerja yang tepat sebagai pekerja efektif dan produktif.
Pengetahuan kerja tanpa skill yang baik tidak dapat dikatakan kompeten. Skill
tinggi tanpa pengetahuan kerja yang baik juga tidak kompeten karena tidak akan bisa
berkembang. Pengetahuan dan skill kerja yang tinggi tanpa sikap kerja yang baik bisa
berbahaya. Pembelajaran berbasis kompetensi adalah pembelajaran pengembangan
kapasitas yang utuh di antara pengetahuan, skill, dan sikap.
Kompetensi menandakan skill atau sejumlah skill, level pengetahuan, dan praktik
perilaku yang diperoleh melalui pembelajaran formal, nonformal atau informal.
Kompetensi juga berarti kemampuan mengerjakan tugas-tugas pekerjaan yang bersifat
khusus. Kompetensi merujuk kepada kemampuan menerapkan pengetahuan, know-how
28
dan skill dalam kondisi biasa atau berubah. Pekerjaan dan masalah pekerjaan
membutuhkan penyelesaian interaksi kolektif antar individu sebagai kolaborasi kerja
Menurut Putu Sudira (2016) Belajar di tempat kerja dan belajar langsung dalam
kehidupan kerja adalah dua hal yang selaras. Pekerjaan Abad 21 adalah pekerjaan yang
berhubungan dengan pemecahan masalah aktual atau nyata dan baru. Setiap pemecahan
masalah membutuhkan proses analisis sintesis masalah sampai pada pengambilan
keputusan yang efektif dan efisien. Belajar memecahkan masalah dalam kehidupan.
kerja dan berlangsung di tempat kerja adalah bentuk pembelajaran TVET yang
berkembang di era Abad 21 ini.
29