Anda di halaman 1dari 66

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendidikan vokasi merupakan pendidikan yang ditujukan untuk mengembangkan

keahlian peserta didik. ATKP (Akademi Teknik dan Keselamatan Penerbangan) merupakan

salah satu pendidikan tinggi yang ditujukan untuk mencetak taruna berkeahlian khusus di

bidang industri penerbangan.

Secara historis, ATKP pada awalnya merupakan lembaga yang memang fokus pada

pembentukan keahlian peserta didik, sehingga di dalam perjalanan penyelenggaraan

pendidikannya, ATKP benar-benar menekankan pada penciptaan dan pengembangan

keahlian peserta didik. Namun demikian, dalam perkembangannya, ATKP dituntut untuk

menyetarakan kurikulumnya dengan perguruan tinggi lain yang berada di bawah naungan

Pendidikan Tinggi (DIKTI). Oleh karena itu, diperlukan evaluasi atas model pendidikan

vokasi yang diterapkan di ATKP dalam rangka mengakomodasi kebijakan yang dikeluarkan

oleh Kementerian Perhubungan Republik Indonesia dan Permen DIKTI.

Secara umum, pembelajaran vokasi yang ada pada ATKP Surabaya dilaksanakan

dengan menitikberatkan pada proporsi praktik yang lebih besar daripada pembelajaran

teoretis, dimana hal ini ditujukan untuk dapat menanamkan pemahaman mendalam kepada

mahasiswa atas materi yang dipelajari. Melalui proporsi praktik yang lebih besar daripada

pengajaran teoretis ini, maka mahasiswa memiliki kesempatan untuk melakukan eksplorasi,

diskusi dengan rekan belajar, dan menelaah materi ajar hingga menemukan makna-makna

yang terkadung di dalamnya. . Melalui proporsi praktik yang lebih besar daripada pengajaran

teoretis ini, maka mahasiswa memiliki kesempatan untuk melakukan eksplorasi, diskusi
dengan rekan belajar, dan menelaah materi ajar hingga menemukan makna-makna yang

terkadung di dalamnya. Model pembelajaran vokasi ini dapat dikategorikan sebagai model

pembelajaran Student Centered Learning (SCL) karena dalam praktik pembelajaran yang

dilakukan lebih banyak memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk secara aktif belajar

dan pengajar berperan sebagai fasilitator dan pembimbing kegiatan belajar tersebut.

Dalam kajian empiris terdahulu, kebijakan pendidikan yang ditetapkan oleh pemerintah

akan mempengaruhi kebijakan dan ketentuan akademis yang ditetapkan oleh pendidikan

vokasi dan pada akhirnya berdampak pada pengembangan model pendidikan vokasi (Malley

& Keating, 2000). Di dalam melakukan pengembangan model pendidikan vokasi, maka

terdapat beberapa hal yang dipertimbangkan sebagai model pengembangannya yaitu action

theoretical bases yang dikembangkan oleh Hacker (Bunning, 2007), pembelajaran aktif dan

pengembangan personal (Leung & McGrath, 2010), integrasi struktural (Malley & Keating,

2000). Dimana ada lima komponen dalam pembelajaran vokasi yang dikembangkan yaitu

teaching methods, learning skills, employability skills dan technical skills (Idris et al, 2014).

Melalui pengembangan model vokasi tersebut diharapkan akan diperoleh output

pendidikan yang berkeahlian tinggi dengan standar keahlian global (Yu, 2013), employability

skill (Leung & McGrath, 2010), dan empat keahlian dalam kehidupan yaitu keahlian

akademis, keahlian sosial, keahlian personal, dan keahlian vokasi (Suminar et al., 2016).

Mengacu pada konsep model pengembangan action theoritical bases yang dikembang

oleh Hacker yang mana salah satu indikator utama untuk dapat mengembangkan

pembelajaran vokasi adalah pengembangan personal yang nantinya akan berkaitan dengan

pengembangan dan pembentukan karakter (Character building) pada indidvidu.

Pembentukan karakter pada diri tiap individu peserta didik merupakan hal penting yang harus

menjadi perhatian para pemangku pendidikan dan terlibat langsung dalam mengawal dan

mengawasi proses pembentukan karakter peserta didik. Huntington menjelaskan pendidikan


yang tidak memiliki karakter cenderung mudah untuk meniru hal yang negatif dari derasnya

arus informasi seperti yang dialami Indonesia saat ini sebagai multi civilization world, yang

ditandai dengan fenomena the post cold war world, the most important distinction among

people are not ideological, political or economics, They are cultural. People and nations are

attempting to answer the most basic question human and face; who are we? (Huntington.

1996:43). Analisis Huntington memberikan ruang harapan bagi Pendidikan Indonesia untuk

memainkan peran secara signifikan bagi pembentukan karakter bangsa. Hal tersebut sesuai

dengan pendapat Luther king yang menyatakan bahwa tujuan dari pendidikan yang benar

adalah membentuk peserta didik yang cerdasa secara intelektual dan berkarakter “intelegence

plus character, that isi the true education” (Lickona, 2004).

Menurut Elkind & Sweet (2004) pendidikan karakter adalah upaya-upaya untuk

membantu peserta didik memahami, peduli dan berprilaku sesuai nialai-nilai etika yang

berlaku. Pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral

dan akhlak dimana pengembangan karakter dilakukan melalui kegiatan pendidikan karakter

yang diterapkan oleh institusi pendidikan.

Pentingnya pendidikan character building diharapkan mampu memberikan dampak

positif dalam menghadapi berbagai kondisi atau situasi tertentu. Pendidikan dan

pembangunan karakter merupakan aspek penting di ATKP Surabaya yang mendedikasikan

diri bukan hanya sebagai instansi pendidikan yang mampu menciptakan dan membentuk

taruna berkemampuan profesionalitas tinggi dan berkompetensi di bidang keselamatan

penerbangan saja melainkan ATKP juga merupakan sebuah instansi pendidikan tinggi yang

mampu mencetak lulusan-lulusannya dengan bekal character building yang baik sehingga

nantinya diharapkan lulusan-lulasan ATKP Surabaya mampu menjadi contoh dan teladan

bagi masyarakat umum disekitarnya.


Dalam rangka mendukung terlaksananya pengembangan character building di ATKP

Surabaya, proses pendidikan vokasi diselenggarakan berbasis boarding school system.

Pendidikan vokasi merupakan subsistem pendidikan yang khusus membantu peserta didik

dalam mempersiapkan diri untuk terjun di dunia pekerjaan. Finch & Crunkilton (1997

menjelaskan bahwa pendidikan vokasi menekankan pengembangan ketrampilan, kinerja, dan

persiapan untuk pekerjaan. Model pendidikan vokasi secara langsung berhubungan dengan

cara memberdayakan potensi keseluruhan peserta didik agar memiliki kompetensi tertentu.

Menurut Wenrich (1974) semua kompetensi yang dimiliki peserta didik dapat dikembangkan,

yaitu pengetahuan, ketrampilan dan sikap, sedangkan potensi peserta didik terasuk perasaan,

penglihatan, pikiran dan tindakan. Pada proses pembelajarannaya menurut Varga (2000)

pendidikan vokasi biasanya berlangsung selama 3 tahun.

Sedangkan Boarding school dapat diartikan sebagai sekolah yang menyediakan asrama

untuk tempat tinggal sekaligus mendidik peserta didiknya selama kurun waktu tertentu

(Hendriyenti, 2014). Hal serupa juga diungkapkan Moris (2013) dalam Laiser & Makewa

(2016) yang menyatakan bahwa sebuah sekolah berasrama adalah sekolah yang paling tidak

atau semua siswanya tinggal selama beberapa tahun selama masa pembelajaran.

Dari penjelasan diatas maka peneliti menyimpulkan bahwa model pendidikan vokasi

berbasis boarding school sistem adalah pendidikan yang dirancang untuk mengembangkan

ketrampilan, kemampuan/kecakapan, pemahaman, sikap, kebiasaan kerja terhadap pekerjaan-

pekerjaan yang dibutuhkan oleh masyarakat dengan mengkombinasikan fasilitas asrama.

Boarding school merupakan sistem pendidikan 24 jam, yang mana institusi pendidikan

menerapakan pendidikan 100% dimana rangkaian kegiatan dimulai pada pagi sampai siang

hari peserta didik berada dilingkungan akademi dan disore sampai malam hari peserta berada

diasrama yang disediakan oleh institusi pendidikan yang menyelenggarakan sistem

pendidikan berbasis boarding school.


Dalam sistem pendidikan berbasis boarding school mempunyai banyak keunggulan

karena boarding school merupakan sistem pendidikan yang sangat relevan untuk institusi

pendidikan yang bertujuan mencetak para pemimpin serta mencetak aspek kemandirian dan

kepribadian yang utuh sesuai dengan visi dan misi institusi pendidikan yang bersangkutan.

Selain itu sistem pendidikan berbasis boarding school mampu merancang program

pendidikan yang komprehensif holistik, perkembangan akademik, keahlian hidup sampai

membawa wawasan global. Selain itu pembelajaran tidak hanya sampai pada tataran teoritis,

akan tetapi mampu diimplementasikan dalam konteks belajar ilmu maupun belajar hidup

(Hendriyenti, 2014).

Sistem Boarding school (asrama) juga merupakan salah satu sistem yang diterapkan

pada pengasuhan taruna/taruni ATKP Surabaya, yang mana taruna/ taruna selama menempuh

pendidikan dan pelatihan diwajibkan bertempat tinggal di asrama yang disediakan oleh

ATKP Surabaya. Penerapan sistem pendidikan vokasi berbasis Boarding school berkaitan

dengan pembentukan karakter taruna/taruni ATKP Surabaya yang menitikberatkan pada

pembentukan dan pengembangan potensi taruna sehingga memiliki kompetensi (hard skill

dan soft skill) selain itu melalui model pendidikan berbasis Boarding school diharapkan

mampu menumbuhkan karakter individu taruna ATKP yang memiliki sikap sesuai norma

yang ada dan didukung moral yang baik, memiliki loyalitas yang tinggi pada bangsa dan

negara serta didukung sikap disiplin dan berintegritas.

Pada penerapan pendidikan vokasi berbasis Boarding school tidak sepenuhnya

berdampak positif pada pengembangan karakter individu. banyak fenomena-fenomena yang

mengambarkan dampak negatif yang ditimbilkan dari penerapan sistem boarding school pada

individu peserta didik. Melalui kajian empiris yang dilakukan Laiser & Makewa (2016)

menunjukkan bahwa selain membawa dampak postif bagi perkembangan peserta didik dalam

mengenal lebih dalam membangun kemandirian, menjalin kehidupan sosial, Laiser dan
Makewa dalam analisisnya menemukan bahwa pendidikan berbasis asrama tidak selalu

menjadi tempat yang baik bagi anak muda. Karena kehidupan asrama mampu mempengaruhi

timbulnya pengalaman traumatis yang dapat berpengaruh pada kepribadian pesert didik.

Merujuk pada hasil analisis kajian empris diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam

pelaksanaannya pendidikan berbasis boarding school tidak selalu membawa dampak positif

bagi peserta didik, begitu pula dengan pelaksanana pendidikan berbasis boarding school yang

ada di ATKP Surabaya dimana dalam pelaksanaannya sistem ini masih memiliki banyak

kekurangan dan menimbulkan munculnya berbagai permasalahan.

Fakta yang ditemukan peneliti pada pelaksanaan pendidikan vokasi berbasis boarding

school di ATKP Surabaya ditamukan bahwa masih adanya tindakan kekerasan atau bullying

yang didasarkan pada senioritas dimana taruna yang pada tingkatan lebih tinggi melakukan

tindakan sewenang-wenang pada taruna baru terutama dimasa orientasinya, selain itu

penerapan sistem asrama di ATKP juga menimbulkan sosial gap diantara taruna hal ini

terjadi karena taruna yang seluruhnya tinggal di asrama berasal dari berbagai beckground

ekonomi yang berbeda-beda sehingga tidak jarang menimbulkan kecemburuan sosial,

terbentuknya komunitas atau perkumpulan taruna yang berasal dari background ekonomi atas

dengan ekonomi rendah.

Mangacu pada temuan peniliti diatas maka penerapan model pendidikan vokasi

berbasis boarding school system pada ATKP Surabaya dalam meningkatkan karakter taruna

perlu dikaji ulang bagaimana kelayakannya, hal ini dikarenakan masih adanya banyak

kekurangan yang harus dibenahi dalam penerapan sistem tersebut, misalnya belum adanya

fasilitas yang memadai untuk mendukung taruna yang bertempat tinggal di asrama selain itu

belum adanya dosen pengajar yang memiliki spesialisasi atau tersertifikasi berdasarkan

kompetensi keahlian yang dibutuhkan dalam pengajaran sesuai kurikulum yang digunakan
pada pengajaran mata kuliah terntentu mengakibatkan kurangnya pendalaman pada materi

pembelajaran yang diajarakan.

1.2 Rumusan Masalah

Berpijak pada latar belakang penelitian yang telah dijelaskan di atas, maka penelitian

ini mengangkat empat rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kelayakan model pendidikan vokasi berbasis (BSS) untuk meningkatkan

karakter taruna ATKP Surabaya?

2. Bagaimana keterlaksanaan model pendidikan vokasi (BSS) untuk meningkatkan

karakter taruna ATKP Surabaya?

3. Bagaiamana keaktifan model pendidikan vokasi (BSS) yang saat ini diterapkan di

ATKP Surabaya?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Menghasilkan model pendidikan vokasi (BSS) yang layak untuk meningkatkan

karakter taruna di ATKP Surabaya.

2. Menghasilkan model pendidikan vokasi yang praktis untuk meningkatkan karakter

taruna ATKP Surabaya.

3. Menghasilkan pendidikan vokasi (BSS) yang objektif untuk meningkatkan karakter

taruna ATKP Surabaya.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat besar, khsususnya bagi semua

pihak yang memiliki hubungan dengan objek penelitian. Manfaat-manfaat tersebut dapat

berupa manfaat teoretis dan praktik.


1. Manfaat teoretis penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi teoretis bagi

keilmuan yang berhubungan dengan model pendidikan vokasi.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi lembaga

pendidikan vokasi untuk menerapkan model pendidikan vokasi yang efektif, yang

mendukung tercapainya output dan outcome pembelajaran vokasi, yaitu tenaga

berkeahlian tinggi, sehingga mampu bersaing di pasar kerja global.

Selain itu, penelitian ini juga dapat menjadi masukan bagi pengambil kebijakan baik

tingkat nasional, regional, dan tingkat akademis untuk menyusun kebijakan yang

mendukung pendidikan vokasi di Indonesia.

1.5 Batasan Masalah

1. Peningkatan karakter taruna yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kegiatan

pendidikan yang tidak tercantum pada kurikulum

2. Model pendidikan vokasi yang dikembangkan merujuk pada pelaksanaan

pendidikan vokasi di ATKP Surabaya.

3. Boarding school dalam pendidikan ini juga merujuk pada pelaksanaan BSS yang

ada di ATKP Surabaya.

1.6 Definisi Istilah

1. Pengembangan adalah suatu proses perubahan secara bertahap ke arah yang

berkecenderungan lebih tinggi dan meluas serta mendalam yang secara menyuluruh

dapat tercipta suatu kesempurnaan (Purwanto, 2004).

2. Model Pendidikan vokasi adalah pendidikan yang bertujuan untuk mencapai satu dari

beberapa tujuan pendidikan, yang ditujukan untuk mempersiapkan peserta didik untuk

memasuki dunia kerja, sehingga di dalam pendidikan vokasi, peserta didik dibekali

dengan pengetahuan dan pemahaman terhadap keahlian, kemampuan, pemahaman,

sikap, kebiasaan kerja, dan penghargaan untuk melakukan pekerjaan di sektor tertentu,
baik keahlian fisik, ekonomi, sosial, budaya, bermasyarakat. Dimana dalam hal ini,

pendidikan vokasi dapat menggunakan metode pembelajaran di dalam maupun di luar

sekolah.

3. Boarding school adalah sekolah yang menyediakan asrama untuk tempat tinggal

sekaligus mendidik peserta didiknya selama kurun waktu tertentu (Hendriyenti, 2014).

4. Pendidikan vokasi berbasis boarding school adalah adalah pendidikan yang dirancang

untuk mengembangkan ketrampilan, kemampuan/kecakapan, pemahaman, sikap,

kebiasaan kerja terhadap pekerjaan-pekerjaan yang dibutuhkan oleh masyarakat dengan

mengkombinasikan fasilitas asrama.

5. Karakter taruna dalam penelitian ini adalah karakter individu taruna ATKP yang

memiliki sikap sesuai norma yang ada dan didukung moral yang baik, memiliki

loyalitas yang tinggi pada bangsa dan negara serta di dukung sikap disiplin dan

berintegritas dan pembentukan dan pengembangan potensi taruna sehingga memiliki

kompetensi (hard skill dan soft skill).


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pengembangan Model dalam Perspektif Teknologi Pendidikan

Teknologi pendidikan dalam perkembangannya dipandang sebagai produk

maupun proses, sebagai suatu produk teknologi pendidikan lebih mudah untuk

dipahami dari sifatnya yang kongkrit sedangkan sebagai suati proses, teknologi

pendidikan lebih sulit dipahami karena lebih abstrak sifatnya.

Istilah teknologi pendidikan mulai digunakan sejak tahun 1963, dan secara

resmi diikrarkan oleh Association for Educational Communication and Technology

(AECT), akan tetapi adakalanya terjadi overlapping dalam penggunaan istilah

teknologi pendidikan dengan teknologi pembelajaran, akan tetapi pada hakikatnya

keduanya memiliki makna yang serupa (Purba, 2015).

Menurut Association for Educational Communication and Technology

(AECT) dalam Seels dan Richey (1994) menyatakan “instructional technology is the

theory and practice of design, develpment, utilization, management and evaluation of

process and resources for learning” pernyataan tersebut menjelaskan bahwa

teknologi pembelajaran adalah teori dan praktek tentang desain, pengembangan,

pemanfaatan, pengelolaan serta evaluasi proses dan sumber untuk belajar.

Semantara itu definisi lain dari AECT dalam Januszewski dan Molenda (2008)

mengungkapkan bahwa “educational technology is the study ethical practice of

faciliating learning and improving performance by creating, using, and managing

appropriate technological processess and resources”. Januszewski dan Molenda

(2008) memaknai teknologi pendidikan (pembelajaran) sebagai sebuah strudi dan

praktek etis untuk menfasilitasi belajar dan memperbaiki kinerja dengan menciptakan,

menggunakan, dan mengelola proses dan sumber teknologi yang sesuai.


Pendapat lain diungkapkan oleh Habib dan Sadiman (2000) yang

berpandangan bahwa teknologi pendidikan merupakan suatu proses yang kompleks

dan terpadu, yang mencari jalan pemecahan, melaksanakan, menilai dan mengelolah

pemecahan masalah yang berhubungan pada semua aspek dalam proses pembelajaran.

2.1.1. Pengertian Pengembangan

Pengembangan adalah suatu proses perubahan secara bertahap ke arah yang

berkecenderungan lebih tinggi dan meluas serta mendalam yang secara menyuluruh

dapat tercipta suatu kesempurnaan (Purwanto, 2004). Pengembangan juga dapat

diartikan sebagai kegiatan penelitian yang memiliki kepentingan kaitannya dengan

riset ilmiah murni dan pengembangan aplikatif dibidang teknologi (dikti.go.id)

Pendidikan merupakan upaya merekonstruksi suatu peradaban yang

dibutuhkan oleh setiap manusia dan kewajiban yang harus diemban oleh negara agar

dapat membentuk masyarakat yang memiliki pemahaman dan kemampuan untuk

menjalankan fungsi-fungsi kehidupan selaras serta mampu mengembangkan

kehidupan menjadi lebih baik dari setiap masa ke masa berikutnya. Dalam Undang-

undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003 Pasal

3 disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan

membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta

didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha

Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga

negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Definisi di atas dapat pula difahami bahwa pengembangan merupakan salah

satu cara yang dilakuakan dalam peningkatan mutu atau standar mengarah ke tingkat

yang lebih tinggi, pengembangan saling terkait hubungannya dengan pendidikan.


Pengembangan pendidikan secara formal pada sistem pendidikan indonesia diarahkan

pada tercapainya cita-cita pendidikan yang ideal dalam rangka mewujudkan

peradaban bangsa Indonesia yang bermartabat.

Menurut Abdul Wahab B (2011:4), saat ini pemerintah telah mengalokasikan

20% dari APBN untuk membangun sumber daya manusia kita melalui pendidikan,

salah satu pilar utama membangun SDM adalah melalui pendidikan, ketika

pendidikan formal tenaga kerja meningkat maka kualitasnya pun akan meningkat.

Sistem pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan

serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka

upaya mewujudkan tujuan nasional. Peningkatan mutu dan standart hidup dapat

etrcapai dengan pengembangan pendidikan yang mengarah pada pendidikan yang

mampu mnecetak SDM yang berdaya saing dan memiliki ketrampilan dan

kemampuan yang kompeten yang dibutuhkan oleh dunia usaha dan industri saat ini.

2.1.2. Pengertian Model

Forrester (1973) mendefinisikan bahwa model adalah pengganti dari suatu

benda atau suatu sistem yang sebenarnya, yang dairahkan untuk keperluan

penyelidikan suatu eksperimen. Model merupakan abstratksi yang dapat digunakan

untuk membantu memahami sesuatu yang tidak bisa dilihat dan dialami secara

langsung, selain itu model juga adalah sebuah representasi realitas yang disajikan

dengan suatu derajat struktur dan urutan (Seels & Richey, 1994).

Dari kedau pendapat diatas dapat diartikan bahwa model adalah sebuah

perwakilan atau abtraksi sari sebuah obyek atau situasi aktual, yang memperlihatkan

hubungan yang saling terkait. Model dikembangkan dengan tujuan untuk studi

tingkah laku sistem melalui analisis rinci akan komponen atau proses unsur yang

menyusun sistem dan interaksinya antara satu dengan yang lain. Jadi pengembangan
model adalah suatu pendekatan yang tersedia untuk mendapatkan pengetahuan yang

layak dikembangkan. Pengembangan model berbungan dengan funsi model yang

berperan penting dalam pengembangan teori karena berfungsi sebagai konsep dasar

yang menata rangkaian aturan yang digunakan untuk mengambarkan sistem

(Hawking:1993).

2.1.3. Pengembangan Model

Pengembangan model adalah suatu usaha memperoleh model baru yang

memiliki kemampuan lebih di dalam beberapa aspek. Menurut Adimihardja dan

Hikmat, 2001) menyatakan bahwa pengembangan model diartikan sebagai suatu

proses rekayasa desain dan konseptual dalam upaya peningkatan fungsi dari model

yang telah ada sebelumnya, melalui penambahan komponen pembelajaran yang

dianggap dapat meningkatkan kualitas pencapaian tujuan. Pengembangan model

diawali dengan penentuan tujuan dalam mengembangkan, membuat konseptual model

dan yang terakhir adalah analisis model yang dapat digambarkan dalam bentuk

diagram sebagai berikut (Voinov, 2008).

Gambar 2.1 Diagram pengembangan model (Voinov, 2008).


Sedangkan pengembangan model menurut Purnawati (2011) berkaitan dengan

perkembangan pendidikan yang merupakan salah satu cara mengembangkan sumber

daya manusia dengan meningkatkan potensi melalui pendidikan, baik melalui

pendidikan umum maupun pendidikan vokasi. Pendidikan vokasi dilakukan dengan

mengikutsertakan dunia usaha dan dunia industri untuk menghasilkan lulusan yang

berkompetensi. Hal ini dapat terlaksana dengan mengimplementasikan berbagai

model pembelajaran yang mendekati pekerjaan yang tersedia diluar lembaga

akademik.

2.2 Pendidikan Vokasi

2.2.1. Pengertian Pendidikan Vokasi

Pendidikan vokasi merupakan model pendidikan yang ditujukan sebagai

proses persiapan yang efektif dan proses transisi bagi peserta didik ke dalam jenis

pekerjaan atau profesi tertentu yang diperlukan oleh masyarakat (Billet, 2011:61),

dimana proses pendidikannya akan melibatkan aktivitas di dalam dan di luar sekolah

(Hill, dalam Rashtriya, 2008:7).

Pengertian pendidikan vokasi menurut Undang-undang No. 12 tahun 2012

tentang pendidikan tinggi merupakan pendidikan tinggi program diploma yang

menyiapkan mahasiswa untuk pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu sampai

program sarjana terapan. Sebagaimana menurut Undang-undang tersebut pendidikan

vokasi dapat dikembangkan oleh pemerintah sampai program magister terapan atau

program doktor terapan yang pembinaan, koordinasi dan pengawasannya berada di

bawah tanggung jawab kementrian. Pengertian lain dari pendidikan vokasi menurut

(Sudira dalam Hamid, 2013) adalah pendidikan yang menuju proses inkulturasi dan

kulturasi yaitu proses memperadabkan suatu generasi baru masa depan yang

berlangsung di sekolah, keluarga, industri, dunia usaha dan masyarakat yang terbuka.
Arti pendidikan vokasi dapat didefinisikan bervariasi menurut

subyektivitasnya. Rubert Evens (1978) misalnya mendefinisikan pendidikan vokasi

sebagai bagian dari sistem pendidikan yang mempersiapkan seseorang agar mampu

bekerja pada satu kelompok pekerjaan atau satu bidang dari pada bidang pekerjaan

lainnya. Dalam definisi ini terdapat pengertian bahwa setiap bidang studi adalah

pendidikan vokasi, sepanjang bidang studi tersebut dipelajari secara mendalam.

Clark & Winch (2008) menyebut “vocational education is confined to

preparing young people and adults for working life, a process often regarded as of

rather technical and practical nature”. Clark & Winch menjelaskan bahwa

pendidikan vokasi adalah pendidikan untuk memasuki dunia lapangan kerja dan

diperuntukan bagi siapa saja yang menginginkannya, yang membutuhkan, dan yang

dapat keuntungan darinya.

Istilah pendidikan kejuruan atau pendidikan vokasi dalam berbagai literatur

muncul dalam beberapa bentuk: vocational education, career education, oocupational

education and technical education, distributive education, technical education and

training (Al Djufri & B Syarif, 2006). Penafsiran pendidikan vokasi lain muncul

berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang pendidikan Nasional:

“pendidikan vokasi merupakan pendidikan tinggi yang mempersiapkan peserta didik

untuk memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu maksimal setara dengan

progran sarjana”. Pada tingkat Undang-undang, rumusan arti pendidikan vokasi masih

sangat luas, setelah sampai pada peraturan pemerintah rumusan arti pendidikan vokasi

mulai dipersempit, yaitu hanya untuk jenjang pendidikan tinggi.

Bannet (2003) memberikan definisi bahwa pendidikan vokasi termasuk dalam

bentuk pendidikan yang bersifat keteknikan dan vokasional dan diselenggarakan oleh

berbagai bentuk institusi pendidikan, baik pemerintah atau masyarakat, berbentuk


formal atau non formal dengan tujuan dapat membantu masyarakat memperoleh

pendidikan dan pelatihan berdasarkan prinsip pembelajaran. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa pendidikan teknik dan vokasi berorientasi pada pendidikan dan

pelatihan yang memberikan pengetahuan, keterampilan dan pembentukan sikap sesuai

dengan kebutuhan masyarakat serta pembentukan sikap terhadap suatu pekerjaan

untuk meningkatkan karir di tempat kerja.

Komite Penelitian dan Publikasi dari Asosiasi Vokasi Amerika mendefinisikan

pendidikan vokasi sebagai pendidikan yang didesain untuk mengembangkan keahlian,

kemampuan, pemahaman, sikap, kebiasaan kerja, dan penghargaan yang ditekankan

pada pengetahuan dan informasi yang dibutuhkan oleh pekerja untuk memasuki dan

membuat kemajuan di bidang ketenagakerjaan berbasis kebergunaan (kemanfaatan)

dan prodktivitas. Dalam hal ini, pendidikan vokasi merupakan bagian integral dari

seluruh program pendidikan dan berkontribusi terhadap pengembangan masyarakat

yang baik dengan mengembangkan kompetensi fisik, sosial, civic, budaya, dan

ekonomi (Rashtriya, 2008:10).


Pendidikan

Tujuan Pendidikan

Pengembangan Relasi personal- Responsif dengan Keahlian vokasi


diri kelompok lingkungan

Pendidikan
Vokasi

Pengembangan Pengembangan Pengembangan Pengembangan Pengembangan


pemahaman kebiasaan kerja sikap keahlian penghargaan
kerja/profesi kerja/profesi

Fisik, ekonomi,
sosial, budaya,
bermasyarakat

Penyelenggaraan Outcome
pendidikan

Aktivitas di Aktivitas di Kemanfaatan Produktivitas


dalam sekolah luar sekolah

Gambar 2.2 Konsep Pendidikan Vokasi

Sumber: Elaborasi Peneliti

Selanjutnya, Rashtriya (2008:14) menyimpulkan bahwa pendidikan vokasi

merupakan pendidikan yang secara totalitas memberikan pengalaman pada individu

unuk belajar dan bersiap guna terikat dalam pekerjaan sebagai bagian dari cara hidup

seseorang. Dimana pendidikan vokasi menekankan pada semua instruksi formal

sebagaimana juga dalam instruksi informal bagi peserta didik di tingkat menengah

dan pasca-menengah, dan karyawan yang bekerja atau digantikan; serta


mempersiapkan mereka melalui penanaman dan pengenalan pada keahlian yang

diperlukan, pemahaman, sikap, dan kemampuan untuk memasuki pekerjaan tertentu

atau pekerjaan yang berhubungan dengan klaster vokasi yang dipelajari.

Gambar 2.2 menunjukkan konsep pendidikan vokasi, bahwa pendidikan

vokasi merupakan pendidikan yang bertujuan untuk mencapai satu dari beberapa

tujuan pendidikan, yang ditujukan untuk mempersiapkan peserta didik untuk

memasuki dunia kerja, sehingga di dalam pendidikan vokasi, peserta didik dibekali

dengan pengetahuan dan pemahaman terhadap keahlian, kemampuan, pemahaman,

sikap, kebiasaan kerja, dan penghargaan untuk melakukan pekerjaan di sektor

tertentu, baik keahlian fisik, ekonomi, sosial, budaya, bermasyarakat. Dimana dalam

hal ini, pendidikan vokasi dapat menggunakan metode pembelajaran di dalam

maupun di luar sekolah.

2.2.2. Prinsip-prinsip Pendidikan Vokasi

Pendapat Prosser yang dikutip oleg Wardiman (1998) dalam penyelenggaraan

pendidikan vokasi terdapat beberapa aspek yang harus diperhatikan, yaitu: (1).

Efisien, karena lingkungan pembelajar yang dilatih merupakan replika dimana tempat

kerja peserta didik. (2). Pengalaman latihan untuk membentuk kebiasaan kerja dan

kebiasaan berfikir yang sesuai seperti yang diperlukan dalam pekerjaan. (3).

Keterlibatan isntruktur din kampus dan mentor ditempat kerja akan mempengaruhi

secara positif dalam penerapan ketrampilan dan pengetahuan pada operasi dan proses

kerja yang akan dilakukan. (4).pendidikan vokasi mengaci pada akan mengacu pada

pasar kerja. (5). Sumber yang dapat dipercaya untuk mengetahui isi pelatihan pada

suatu okupsi tertentu adalah pengalaman para ahli pada okupasi tersebut.

Pendapat lain diungkapkan oleh Harris, et al (2006) dalam Dardiri (2011)

bahwa pengembangan pendidikan vokasi memerlukan sarana dan prasarana


praktikum yang lengkap dan modern sesuai kondisi real di lapangan. Prinsip-prinsip

pembelajaran vokasi menekankan pada pentingnya pelaksanaan pratikum di tempat

yang nyata di dunia industri.

2.2.3. Karakteristik Pendidikan Vokasi

Menurut Djojonegoro (1998) menyatakan karakteristik pendidikan vokasi

sebagai berikut: (a). Diarahkan untuk mempersiapkan peserta didik memasuki dunia

lapangan kerja, (b). Didasarkan atas “demand-driven” (kebutuhan dunia kerja), (c).

Fokus isi pendidikan vokasi ditekankan pada penguasaan pengetahuan, ketrampilan,

sikap, dan yang lainnya yang dibutuhkan oleh dunia kerja, (d). Penilaian yang

sesungguhnya terhadap kesuksesan peserta didik harus pada “hand-on” atau performa

dalam dunia kerja, (e). Hubungan yang erat pada dunia kerja merupakan kunci sukses

pendidikan vokasi, (f). Responsif dan antisipatif terhadap kemajuan teknologi, (g)

ditekankan pada “learning by doing” dan “hands-on experience”, (h). Memerlukan

fasilitas yang mutakhir untuk praktik, (i). Memerlukan biaya investasi dan operasional

yang lebih besar dari pada pendidikan umum.

Sedangkan menurut Prosser dan Quigley (1950) terdapat lima karakteristik

pendidikan vokasi yaitu: (a). Mempersiapkan peserta didik untuk bekerja secara lebih

efisien, (b). Memberikan pelatihan khusus dalam hal ketrampilan dan pengetahuan

yang berdaya guna dalam setiap pekerjaan tertentu, (c). Pembelajaran diberikan pada

peserta didik yang memiliki kesiapan dalam jenis pekerjaan tertentu, (d).

Menggunakan pengalaman sebagai motode utama dalam pembelajaran guna

mengembangkan ketrampilan dan dalam memikirkan kinerja dalam suatu pekerjaan

agar dapat memiliki pemahaman dan mampu memecahkan masalah-masalah dalam

pekerjaan, (e). Pendididkan vokasi merupakan dasar dari konsep psikologi yang
membentuk kebiasaan yang diajarkan melalui pemeberian praktek dari tindakan dan

pemikiran untuk dapat mencapai tujuan yang diinginkan.

Karakteristik lain yang ada pada pendidikan vokasi adalada sasaran utama dari

pendidikan vokasi yakni mempersiapkan anak didik untuk memasuki suatu lapangan

pekerjaan dan meningkatkan karir yang mereka pilih. Ervans mengidentifikasikan tiga

sasaran dalam pendidikan teknologi dan kejuruan/vokasi yaitu 1) mempertemukan

kebutuhan tenaga kerja dalam masyarakat, 2) memberikan kesempatan pada setiap

individu untuk melakukan pilihan pekerjaan, 3) membantu menguatkan motivasi

dalam cara belajar.

Dari keseluruhan karakteristik pendidikan vokasi diatas salah satu

karakteristik dari pendidikan vokasi yang terpenting adalah komitmen yang tinggi

untuk selalu berorientasi ke dunia kerja (Sukanto, 1988:54). Hal ini mengandung

makna berupa kepekaan atau daya saing yang tinggi terhadap perkembangan

masayarakat pada umumnya dan dunia kerja pada khususnya.

2.2.4. Jenis-jenis Pendidikan Vokasi

Secara umum, Greinert membedakan tiga model pendidikan vokasi

berdasarkan karakteristiknya, yaitu model skolah (school modelI), state-directed

model, dan market-model (model pasar) (Billet, 2011:119).

1) Model sekolah, yaitu model pendidikan vokasi yang menyediakan sistem

seperti sekolah negeri.

2) State-directed model, yaitu pendidikan vokasi yang di dalamnya da perikatan

antara perusahaan dengan penyedia jasa pelatihan.

3) Model pasar, yaitu pendidikan vokasi yang yang dikelola tanpa adanya

keterlibatan negara, dimana perusahaan mengambil peran utama dan

penyelenggaraan pendidikan vokasi bisa diselenggarakan secara lebih efisien.


Sejalan dengan Undang-undang Sistem pendidikan Nasional, pendidikan

vokasional di Indonesia terdiri atas tiga jenis, yaitu pendidikan kejuruan, vokasi dan

profesional.

2.2.5. Pengembangan Pendidikan Vokasi

Istilah, pengertian, dan definisi tentang pendidikan kejuruan di berbagai

negara. Di Amerika Serikat digunakan istilah Career and Technical Education (CTE),

Vocational and Technical Education (VTE), dan di tingkat menengah disebut Career

Centre (CC); Further Education and Training (FET) digunakan di United Kingdom

dan South Africa); Vocational and Technical Education and Training (VTET) untuk

South-East Asia, serta Vocational Education and Training (VET) dan Vocational and

Technical Education (VTE) digunakan di Australia (MacKenzie & Polvere, 2009).

Istilah-istilah yang digunakan memberi makna yang hampir sama dimana pendidikan

teknologi dan kejuruan/vokasi adalah pendidikan karir untuk peserta didik dewasa

melalui proses berbagai pendidikan dan pelatihan.

Pendidikan kejuruan yang umumnya disebut juga pendidikan vokasi

mengalami puncak popularitas pada saat Smith-Hughes (1917) mendefinisikan

“vocational education was training less than college grade to fit for useful

employment” (Thompson, 1973:107). Di Amerika Serikat pada tahun 1963

pendidikan vokasi diartikan sebagai berikut:

“Vocational or technical training or retraining which given in schools or


classes under public supervision and control or under contract with a State Board or
local education agency, and is conducted as part of program designed to fit
individuals for gainful employment as semi-skilled or skilled worker or technicians in
recognized occupations” (Thompson, 1973:109).

Sedangkan di Indonesia pendidikan vokasi dimulai pada tahun 1972, saat

Institut Teknologi Bandung bekerjasama dengan Departemen Pekerjaan Umum

mendirikan Lembaga Politeknik Pekerjaan Umum (LPPU) sebagai jawaban atas


tantangan kebutuhan tenaga teknik yang mampu menerjemahkan konsep ilmu

pengetahuan dan teknologi ke dalam tugas-tugas praktis yang diperlukan di lapangan.

Kemudian pada tahun 1979 pemerintah mendirikan lima politeknik negeri di lima

perguruan tinggi, yaitu: Politeknik ITB di Bandung, Politeknik UI di Jakarta,

Politeknik UNDIP di Semarang, Politeknik USU di Medan, Politeknik UNSRI di

Palembang (BNSP:2011).

Pendidikan tinggi di Indonesia diselenggarakan oleh perguruan tinggi dengan

program akademik, profesi, atau vokasi. Perguruan tinggi tersebut dapat berbentuk

akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas (BNSP:2011).

Pendidikan vokasi di Indonesia dikenal juga dengan Pendidikan program diploma.

Pendidikan vokasional/vokasi sebagai specialized education yang

mempersiapkan anak didik memasuki suatu lapangan pekerjaan atau kelompok

pekerjaan atau meningkatkan kemampuan bekerja. Dalam ungkapan ini jelas bahwa

pendidikan vokasi berkenaan dengan kemampuan atau keterampilan yang

dipersyaratkan oleh suatu pekerjaan. Disebut specialized, karena program pendidikan

diperuntuhkan bagi anak didik yang memiliki minat khusus terhadap suatu jenis

pekerjaan atau kelompok pekerjaan tertentu (Kartini:1907).

Berbagai definisi pendidikan dan pelatihan yang berkaitan dengan

kejuruan/vokasi di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan dan pelatihan

kejuruan/vokasi adalah pendidikan yang menyiapkan terbentuknya keterampilan,

kecakapan, pengertian, perilaku, sikap, kebiasaan kerja, dan apresiasi terhadap

pekerjaan-pekerjaan yang dibutuhkan oleh masyarakat dunia usaha/industri, diawasi

oleh masyarakat atau dalam kontrak dengan lembaga serta berbasis produktif.

Dalam sistem penyelenggaraan pendidikan berorientasi dunia kerja di

Indonesia, terdapat dua istilah pendidikan yang digunakan, yaitu: pendidikan kejuruan
dan pendidikan vokasi. Dalam Pasal 15 Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun

2003 dijelaskan pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang

mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu,

sedangkan pendidikan vokasi merupakan pendidikan tinggi yang mempersiapkan

peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu maksimal

setara dengan program sarjana. Pada pasal 20 UUSPN dikemukakan bahwa

pendidikan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi dan/atau

vokasi. Sesuai dengan UUSPN di atas pendidikan kejuruan diselenggarakan di

pendidikan menengah dan vokasi di pendidikan tinggi. Pada dasarnya pendidikan

vokasi meliputi pendidikan di sekolah menengah dan di pendidikan tinggi, karena

tujuan dan proses pembelajarannya identik (ristekdikti.go.id).

Era globalisasi dan keterbukaan telah mengubah wajah dunia dalam berbagai

aspek kehidupan masyarakatnya. Mengalirnya informasi dan beragam sumber daya

secara bebas dalam lingkungan interaksi lintas negara telah membawa berbagai

perubahan dahsyat yang belum pernah terjadi di masa-masa sebelumnya. Tantangan

globalisasi adalah pendidikan yang berorientasi pada dunia industri dengan penekanan

pada pendekatan pembelajaran dan didukung oleh kurikulum yang sesuai. Masalah

pendidikan vokasional saat ini tidak boleh dianggap sepele, mengingat pada 2015

akan berlaku pasar tunggal ASEAN.

Pemerintah Indonesia telah menanda tangani perjanjian kerjasama global,

yaitu C-AFTA, I-AFTA, AEC, dan WTO. Selain itu sejak tahun 2015 akan mulai

terjadi pasar tunggal pada tingkat ASEAN yang menyebabkan terjadinya pasar bebas

dalam bidang barang, jasa, investasi, modal, tenaga profesional dan tenaga kerja

terlatih. Apabila hal tersebut terjadi pada 2015 kemudian diikuti WTO pada tahun
2020, maka mulai saat itu tenaga kerja Indonesia harus mampu bersaing secara global

(bps.go.id).

Di kancah internasional, program vokasi menjadi andalan berbagai bangsa

untuk membangun keberhasilan sistem kerja berbasis ketrampilan. Mengantisipasi

semakin ketatnya persaingan tenaga kerja, merupakan hal yang mendasari mengapa

pendidikan berbasisi vokasi menjadi sangat penting dan dibutuhkan saat ini, Indonesia

membutuhkan lembaga pendidikan vokasional yang program studi atau konsentrasi

kurikulumnya mengacu kepada kebutuhan sektor industri. Program pendidikan vokasi

yang menghasilkan sumber daya siap pakai akan menjadi senjata ampuh untuk

menghadapi berlakunya Pasar Tunggal ASEAN di tahun yang akan datang

(dikti.go.id)

Salah satu tujuan didirikan pendidikan vokasi di Indonesia adalah untuk

menghasilkan lulusan yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang sesuai

dengan kualifikasi yang dibutuhkan oleh industri atau perusahaan (link and match),

sehingga lulusan pendidikan vokasi memiliki daya saing tinggi untuk mendapatkan

pekerjaan. Pendidikan vokasi bertujuan menyediakan tenaga terampil untuk memiliki

pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu yang mampu memenuhi tuntutan dunia

usaha dan industri Indonesia. Dalam era industrialisasi yang bercirikan ekonomi,

negara dan pemerintah membutuhkan SDM yang memiliki multi keterampilan

(Oketch, Preston;2009). Pendidikan vokasi memiliki peran yang sangat strategis

dalam menyiapkan SDM. Pernyataan di atas didukung dengan pasal 15 Undang-

undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa pendidikan vokasi

merupakan pendidikan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki

pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu maksimal setara dengan program Sarjana.
Perubahan paradigma pendidikan dari supply driven ke demand driven

menuntut lembaga pendidikan turut bertanggung jawab terhadap kualitas lulusan

termasuk dalam hal mendapatkan pekerjaan setelah lulus. Pendidikan tidak hanya

berfungsi sebagai pemasok tenaga kerja, namun dituntut menghasilkan lulusan yang

memang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat dan dunia kerja, hal ini yang

mendasari kenapa harus didirikan pendidikan yang berbasisi vokasi (kemendikbud).

Pendidikan vokasional merupakan jenis pendidikan yang dirancang untuk

mengembangkan keahlian, keterampilan, kemampuan, pemahaman, dan tingkah laku

yang diperlukan dalam dunia kerja. Lulusan pendidikan vokasional memiliki

keunggulan yang ada pada keahlian penguasaan praktek dari ilmu pengetahuan yang

bersangkutan. Ini sebabnya lulusan pendidikan vokasional lebih mudah diserap pasar,

dan seharusnya bisa menjadi solusi dalam menekan angka pengangguran

(kemenperin.go.id).

Pada dasarnya pendidikan vokasi terintegrasi dengan kebutuhan dominan yang

diperlukan oleh dunia usaha dan industri terhadap kemampuan tenaga kerja saat ini.

Pendidikan vokasi mampu mengurangi keterbatasan tenaga kerja ahli yang

dibutuhkan pada suatu bidang pekerjaan tertentu. Ketatnya daya saing pada dunia

usaha dan industri yang mempengaruhi konfigurasi tenaga kerja, terdapat delapan

faktor yang mempengaruhi daya saing terhadap tenaga kerja saat ini, yakni: (1)

keterbukaan, (2). Pemerintah, (3). Keuangan, (4). Insfrastruktur, (5). Teknologi, (6).

Manajemen, (7). Tenaga kerja, (8). Kelembagaan. Kurang tersedianya tenaga

profesional yang ada di Indonesia dapat diatasi dengan intergrasi antara lembaga

pendidikan vokasi dengan Stakeholders terkait .

Namun dalam kenyataannya berdasarkan data BPS (2009) menunjukkan

perbandingan angkatan kerja lulusan sarjana, vokasi, dan menengah atas (15,3% :
11,3 % : 73,4 %). Tampak ada ketimpangan jumlah lulusan pendidikan tinggi vokasi

harus lebih besar dibandingkan dengan lulusan sarjana. Setelah kurang lebih 30 tahun

perkembangannya, pendidikan vokasi di Indonesia masih banyak menghadapi kendala

yang menyangkut mutu pendidikan (BNSP:2011).

Kondisi pendidikan vokasi di Indonesia saat ini masih memerlukan perhatian

karena antara lain: 1). Masih adanya persepsi masyarakat bahwa pendidikan vokasi

bukan merupakan pilihan utama. 2) masih banyak dosen pendidikan vokasi belum

memenuhi kualifikasi dan kompetensi; 3) masih banyak dosen yang mengajar tidak

sesuai dengan bidang keahlian; 4) masih banyak dosen pendidikan vokasi yang belum

mendapatkan pelatihan, dan/atau pengalaman yang dibutuhkan sebagai dosen vokasi

(Hidayati:2015).

Rendahnya mutu pendidikan tersebut di atas disebabkan antara lain sarana dan

prasarana yang belum memadai. Kondisi ini terjadi karena belum adanya kriteria

minimal sarana dan prasarana pendidikan tinggi yang menjadi acuan dari setiap

perguruan tinggi dalam penyelenggaraan program pendidikan. Sarana dan prasarana

merupakan penunjang dalam kemajuan mutu pendidikan. Standar sarana dan

prasarana pendidikan tinggi merupakan salah satu dari delapan standar pendidikan

yang harus disiapkan oleh penyelenggara pendidikan vokasi dan juga pemerintah

berdasarkan amanat yang dituangkan dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional dan PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional

Pendidikan.

Saat ini masih ada kesan bahwa lulusan pendidikan berbasis Vokasional,

tingkat keterampilannya masih belum baik dan dikhawatirkan kalah bersaing dengan

tenaga-tenaga kerja asing yang ada. Dengan kualitas lulusan pendidikan berbasis
Vokasional yang baik diharapkan mereka tidak hanya bekerja di Indonesia diharapkan

mampu bersaing dengan tenaga kerja asing di luar negeri.

Peningkatan mutu pendidikan, menyangkut pengendalaian komponen-

komponen pendidikan yang menunjang terpenuhinya mutu pendidikan yang

dibutuhkan dunia kerja. Komponen-komponen tersebut terdiri atas kebijakan mutu

pendidikan, kurikulum, pembelajaran, fasilitas pendidikan, peserta didik, dan

pendidik. Hasil dari proses pendidikan adalah kemampuan lulusan, sedang kriteria

mutu lulusan adalah deskripsi kemampuan (kinerja) yang dituntut dunia kerja.

Pengendalian mutu merupakan teknik dan operasional yang digunakan untuk

memenuhi persyaratan mutu.

Mengacu pada permasalahan di atas dirasa perlu adanya pengembangan mutu

pendidikan sekolah kejuruan (vokasi) dapat dirumuskan sebagai keseluruhan

(karakteristik) kemampuan lulusan yang dapa memenuhi kebutuhan dunia kerja.

Pengendalian mutu pendidikan, menyangkut pengendalaian komponen-komponen

pendidikan yang menunjang terpenuhinya mutu pendidikan yang dibutuhkan dunia

kerja. Komponen-komponen tersebut terdiri atas kebijakan mutu pendidikan,

kurikulum, pembelajaran, fasilitas pendidikan, peserta didik, dan pendidik. Hasil dari

proses pendidikan adalah kemampuan lulusan, sedang kriteria mutu lulusan adalah

deskripsi kemampuan (kinerja) yang dituntut dunia kerja. Pengendalian mutu

merupakan teknik dan operasional yang digunakan untuk memenuhi persyaratan

mutu.

Pengendalian mutu didasarkan pada tujuan penyelenggaraan pendidikan

vokasi yang mana untuk mencetak lulusan pendidikan vokasi yang dapat berperan

sebagai berikut : (1) Menjembatani atau sebagai supervisor antara perencana dengan

pelaksana di perusahaan. (2) Memanfaatkan hasil riset di pendidikan tinggi dan


lembaga riset yang menghasilkan produk atau jasa yang memberikan nilai tambah

bagi masyarakat. (3) Menghasilkan para wirausaha yang mandiri, tangguh dan

menciptakan peluang usaha baru yang produktif.

Sesuai rumusan awal pendidikan vokasi yang bertujuan menyediakan tenaga

terampil untuk memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu yang mampu

memenuhi tuntutan dunia usaha dan industri Indonesia. Pendidikan vokasi juga

diharapkan mampu memberikan kontribusi serta pemecahan berbagai masalah yang

dihadapi oleh bangsa untuk meningkatkan ekonomi masyarakat, membantu

mengentaskan kemiskinan, serta mampu menciptakan wirausaha baru dalam

mengurangi tingkat pengangguran.

Berdasarkan peran tersebut di atas sudah seharusnya Indonesia

mengembangkan pendidikan vokasi dalam berbagai bidang. Salah satu faktor

penyebab harus adanya urgensi pengembangan pendidikan Vokasi di Indonesia dalam

rangka menyelaraskan seluruh penyelenggara pendidikan vokasi. Kondisi

penyelenggaraan pendidikan vokasi yang beragam pada semua institusi pendidikan

vokasi telah menimbulkan perbedaan mutu lulusan.

Selain mengacu pada tujuan awal pendidikan vokasi diatas, alasan lain yang

menyebabkan mengapa perlu adanya pengembangan terhadap pendidikan vokasi

adalah adanya urgensi revitalisasi pendidikan vokasi yakni: pertama, memenuhi

amanah NAWACITA perintah Presiden 2015 dan SDG (Sustainable Development

Goals), kedua, pemenuhan 58 juta tenaga kerja terampil sampai 2030, ketiga,

memenangkan persaingan SDM di Regional dan Global sejak penetapan Indonesia

yang bergabung dengan AEC (ASEAN ECONOMIC COMMUNITY), keempat,

menyiapkan generasi emas 2045, kelima, memperbaiki struktur tenaga kerja dan

mendorong tenaga kerja Indonesia, keenam, meningkatkan mutu, relevansi, dan


efesiensi (Kemendikbud.go.id). Pengembangan pendidikan vokasi mengarah sari

Supply-driven ke demand-driven (start from the end). Untuk lebih jelas dapat di lihat

melalui pemaparan dalam bentuk gambar sebagai berikut:

Gambar 2.2 Arah kebijakan pengembangan pendidikan vokasi (Kemendikbud)

Sementara dilain pihak muncul kebutuhan lulusan vokasi pada jenjang yang

lebih tinggi seperti halnya kebutuhan dosen vokasi yang harus memiliki kualifikasi

Magister yang berpengetahuan dan berketrampilan vokasi. Untuk itu sudah

selayaknya pendidikan vokasi dapat ditingkatkan kualifikasinya pada jenjang yang

lebih tingi.

Oleh karena itu diperlukan usaha pemerintah untuk mendorong peningkatan

mutu dan perluasan akses pendidikan vokasi dengan cara mengembangkan tempat uji

kompetensi pada institusi pendidikan vokasi yang bekerja sama dengan organisasi

profesi atau industri/instansi terkait. Hasil yang diharapkan dari penyusunan

pengembangan pendidikan vokasi adalah standar yang akan dihasilkan merupakan

acuan nasional bagi semua pihak yang berkepentingan dalam upaya meningkatkan

mutu pendidikan pada umumnya.


2.3 Boarding School

2.3.1. Pengertian Boarding School

Boarding school adalah sebuah sistem pendidikan dimana para siswanya

tinggal dalam satu asrama dan menetap disana selama waktu yang telah ditentukan

(Ningtias & Sholeh, 2013). Alexander-Snow, Mia (2010), definisi boarding school

adalah : “ Unlike most other schools, historically Black boarding schools serve as the

center of the cultural community. Students' educational experience is a function of the

interaction of all segments of the school's social system and its curricula.” Yang

menjelaskan bahwa pendidikan yang berbasis boarding school yang merupakan

fungsi dari interaksi semua segmen sistem sosial lembaga penyelenggara pendidikan

dengan kurikulum yang digunakan.

Kemudian Maksudin (2010) berpendapat “boarding school” adalah suatu

institusi pendidikan di mana peserta didik tidak hanya belajar, tetapi peserta didik

juga bertempat tinggal dan hidup menyatu dalam institusi tersebut. Boarding school

mengkombinasikan tempat tinggal peserta didik dengan lingkungan tempat belajar

yang juga menyertakan pengajaran berbasis agama dan kebangsaan dalam rangka

membentuk karakter dan kepribadian.

Boarding school dapat diartikan sebagai sekolah yang menyediakan asrama

untuk tempat tinggal sekaligus mendidik peserta didiknya selama kurun waktu

tertentu (Hendriyenti, 2014). Hal serupa juga diungkapkan Moris (2013) dalam Laiser

& Makewa (2016) yang menyatakan bahwa sebuah sekolah berasrama adalah sekolah

yang paling tidak atau semua siswanya tinggal selama beberapa tahun selama masa

pembelajaran.

2.3.2. Prinsip-prinsip Boarding School


Prinsip-prinsip penerapan boarding school memiliki tujuan untuk membekali

siswa/peserta didik agar memiliki pemahaman keagamaan yang baik, serta

memberikan pengalaman pengamalan nilai-nilai religius yang diharapkan menjadi

bekal kehidupannya, dengan:

1. Aqidah yang lurus Meyakini Allah swt sebagai Pencipta, Pemilik,

Pemelihara, dan Penguasa alam semesta dan menjauhkan diri dari segala

pikiran, sikap, dan perilaku bid’ah, khurafat, dan syirik.

2. Ibadah yang benar Terbiasa dan gemar melaksanakan ibadah yang meliputi

: sholat, shaum, tilawah Al-Qur’an, dzikir, dan doa sesuai petunjuk Al-

Qur’an dan As Sunnah.

3. Pribadi yang matang Menampilkan perilaku yang santun, tertib dan disiplin,

peduli terhadap sesama dan lingkungan serta sabar, ulet, dan pemberani

dalam menghadapi permasalahan hidup seharihari.

4. Mandiri Mandiri dalam mengelola/mengurus segala keperluan sehari-

harinya dan memiliki bekal yang cukup dalam pengetahuan, kecakapan, dan

keterampilan dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya kelak.

5. Cerdas dan Berpengetahuan 14 Memiliki kemampuan berpikir yang kritis,

logis, sistematis,dan kreatif yang menjadikan dirinya berpengetahuan luas,

terampil, dan menguasai bahan ajar dengan sebaik-baiknya, dan cermat

serta cerdik dalam mengatasi segala problem yang dihadapi.

6. Sehat dan Kuat Memiliki raga yang sehat dan bugar, stamina, dan daya

tahan tubuh yang kuat, serta keterampilan beladiri yang cukup untuk

menjaga diri dari kejahatan pihak lain.


7. Bersungguh-sungguh dan Disiplin Memiliki kesungguhan dan motivasi

yang tinggi dalam memperbaiki diri dan lingkungannya yang ditunjukkan

dengan perbaikan diri dan peduli lingkungan

8. Tertib dan Cermat Tertib dalam menata segala pekerjaan, tugas dan

kewajiban; berani dalam mengambil resiko namun tetap cermat dan penuh

perhitungan dalam melangkah.

9. Efisien Selalu memanfaatkan waktu dengan pekerjaan yang bermanfaat dan

mampu mengatur jadwal kegiatan sesuai dengan skala prioritas.

10. Bermanfaat Peduli kepada sesama dan memiliki kepekaan untuk membantu

orang lain yang memerlukan pertolongan. (kemdikbud.go.id)

2.3.3. Karakteristik Boarding School

Fernandez, Ruben Gaztambide (2009: 1093) menyatakan bahwa karakter

boarding school “I discuss elite boarding schools a long five dimensions. Expanding

on an earlier presentation of these five dimensions. I specify what makes these

schools elite by describing how they are (a) typologically elite, based on their

identification as“independent schools”; (b) scholastically elite, based on both the

expansive and sophisticated curricular they offer and their particular pedagogical

approaches; (c) historically elite, based on the role of elite social networks in their

historical development: (d) geographically elite, based on their physical character

and location; and lastly, (e) demographically elite, based on the population that

attends elite boarding schools.” Gaztambide menjelaskan bahwa terdapat lima

dimensi dalam sistem sekolah yang berbasis asrama (boarding school) yakni: (a).

Identifikasi sekolah berdasarkan sekolah independen, (b). Berdasarkan pada kurikuler

yang ditawarkan, (c). Didasarkan pada jaringan sosial dalam perkembangan sejarah,
(d). Berdasarkan karakter sekolah dan lokasinya, (e). Berdasarkan populasi yang

tinggal di boarding school.

Adapun karakteristik yang lainnya dari boarding school antara lain: (1)

dilengkapi fasilitas hunian dan berbagai fasilitas pendukung (sarana ibadah, olahraga,

dll); (2) Jadwal kegiatan harian teratur; (3) sistem pendidikan menerapkan Pengajaran

formal, ekstrakurikuler, pendidikan khusus /informal (keagamaan dll) ; (4) Siswa

belajar dan tinggal di sekolah, kehidupan siswa ada di sekolah ; (5) Kurikulum standar

Nasional, kurikulum Departemen Agama, dan kurikulum tambahan khas Boarding

School; (6) pemanfaatan waktu Tidak terbatas di jam belajar, juga di jam pelajaran;

menerapkan konsep Islam integrated (hal ini berdasar konsep ajaran islam yang

meliputi bidang sosial, budaya, politik, science); (7) Nuansa religius yaitu terlihat dari

segi berpakaian dan kebiasaan (Nurdin Bakhtiar, 2012).

2.3.4. Jenis-jenis Boarding School

Jenisi-jenis boarding school diklasifikasikan kedalam tiga kategori sebagai

berikut:

1. Menurut sistem bermukim siswa

Jenisi ini dibedakan lagi menjadi (a). All boarding school adalah seluruh siswa

bermukim di sekolah, (b). Boarding day school adalah sebagian siswa tinggal di

asrama dan sebagian lagi tinggal di sekitar asrama, (c). Day boarding adalah

mayoritas siswa tidak tinggal di asrama meskipun sebagian ada yang tinggal di

asrama .

2. Menurut jenis siswa

Jenis dibagi kedalam tujuh tipe, yaitu: (a). Junior boarding yaitu sekolah yang

menerima murid dari tingkat SD sampai SMP, namun umumnya tingkat SMP

saja, (b). Co-education school yaitu sekolah yang menerima siswa laki-laki dan
perempuan, (c). Boys school yaitu sekolah yang menerima siswa laki-laki saja,

(d). Girls school yaitu sekolah yang menerima siswa perempuan saja, (e). Pre-

professional arts school yaitu sekolah khusus untuk seniman, (f). Relegius

school, (g). Special-needs boarding school yaitu sekolah untuk anak-anak yang

bermasalah dengan sekolah biasa.

3. Menurut sistem sekolah

Jenis diklasifikasikan lagi kedalam 2 tipe boarding school, yaitu: (a) military

school yaitu sekolah yang mengikuti aturan militer dan biasanya menggunakan

seragam khusus, (b). 5 day boarding school yaitu sekolah dimana siswa dapat

memilih untuk tinggal di asrama atau pulang di akhir pekan

(www.boardingschool.com)

2.3.5. Pengembangan Boarding School

Boarding school dapat diartikan sebagai sekolah yang menyediakan asrama

untuk tempat tinggal sekaligus mendidik peserta didiknya selama kurun waktu

tertentu (Hendriyenti, 2014). Munculnya sekolah-sekolah Berasrama (boarding

school) sejak pertengahan tahun 1990 di Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi oleh

kondisi pendidikan Indonesia yang selama berlangsung dipandang belum memenuhi

harapan yang ideal. Boarding school yang pola pendidikannya lebih komprehensif-

holistik lebih memungkinkan untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang ideal

dan untuk melahirkan generasi yang lebih agamis atau memiliki nilai-nilai hidup yang

baik. Dengan program boarding school implementasi pendidikan karakter lebih

terpantau karena semua kegiatan siswa telah terjadwal dan terpantau 24 jam.

Qomar (2006) menyatakan bahwa meskipun tidak ada pengakuan secara

eksplisit dari para pakar pendidikan di Indonesia, karakter budaya pendidikan

pesantren telah diadopsi ke dalam sistem pendidikan nasional. Gejala ini terlihat jelas
pada kemunculan “sekolah-sekolah unggul” atau boarding school sejak 3 dasawarsa

terakhir. Sekarang ini sudahbanyak bermunculan sekolah unggulan yang menerapkan

“sistem pesantren” meskipun dibungkus dengan nama lain seperti boarding school,

sekolah internal atau lainnya.

Sistem pendidikan berbasis boarding school di Indonesia khususnya telah

mengalami perkembangan dan pergeseran, di mana dulu sistem pendidikan dengan

asrama kental dengan pendidikan yang berbasis keislaman yang biasa disebut dengan

pesantren. Pondok pesantren ini ialah cikal bakal boarding school di Indonesia

(Qomar:2006).

Boarding school mempunyai kriteria berbeda dibandingkan dengan sekolah

formal. Adapun karakteristik dari boarding school antara lain: (1) dilengkapi fasilitas

hunian dan berbagai fasilitas pendukung (sarana ibadah, olahraga, dll); (2) Jadwal

kegiatan harian teratur; (3) sistem pendidikan menerapkan Pengajaran formal,

ekstrakurikuler, pendidikan khusus /informal (keagamaan dll) ; (4) Siswa belajar dan

tinggal di sekolah, kehidupan siswa ada di sekolah ; (5) Kurikulum standar Nasional,

kurikulum Departemen Agama, dan kurikulum tambahan khas Boarding School; (6)

pemanfaatan waktu Tidak terbatas di jam belajar, juga di jam pelajaran; menerapkan

konsep Islam integrated (hal ini berdasar konsep ajaran islam yang meliputi bidang

sosial, budaya, politik, science); (7) Nuansa religius yaitu terlihat dari segi berpakaian

dan kebiasaan (Nurdin Bakhtiar, 2012).

Tujuan dari adanya sistem sekolah yang berbasis boarding school adalah

untuk membina peserta didik agar lebih mandiri salah satu pengelolaan pendidikan

yang mengarah pada mutu. Boarding School adalah sistem sekolah berasrama, dimana

peserta didik dan juga para guru dan pengelola sekolah tinggal di asrama yang berada

dalam lingkungan sekolah dalam kurun waktu tertentu, dengan guru sebagai
pengasuhnya yang memberikan bantuan kepada para siswa dalam proses

pengembangan pribadinya melalui proses penghayatan dan pengembangan nilai

budaya. Karena itu segala jenis kebutuhan hidup dan kebutuhan belajar disediakan

oleh sekolah.

Proses interaksi sosial yang sehat dan baik akan memberikan kesempatan

bagi remaja untuk bekerja sama dan saling menjalin hubungan yang harmonis. Proses

inilah yang dibidik secara tepat oleh sekolah berasrama atau lebih dikenal dengan

boarding school.

Pendidikan dan pembinaan peserta didik di boarding school di rancang supaya

dapat membentuk peserta didik yang memiliki karakter unggul. Sistem pendidikan

boarding school merupakan perpaduan antara sistem pendidikan asrama dengan pola

sekolah. Pola dasarnya adalah dengan memadukan pola ilmu agama dan ilmu umum

dan diharapkan para peserta didik dapat mengimplementasikan dalam pembelajaran

dan dalam hubungan sosial peserta didik. Selain itu dimaksudkan untuk menyiapkan

peserta didik yang berkarakter, berkepribadian, menguasai iptek serta pembinaan

rohani secara khas tersendiri.

Boarding School yang pola pendidikannya lebih komprehensif-holistik lebih

memungkinkan untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang ideal untuk

melahirkan orang-orang yang akan dapat membawa gerbong dan motor pergerakan

kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan agama. Selain itu manfaat dari Boarding

school adalah sistem kedisiplinan, kemandirian, tanggung jawab yang memiliki

peranan besar dalam pembentukan karakter terbukti dengan lulusannya yang

mempunyai karakter yang lebih unggul.


2.4 Pengembangan Karakter Taruna

2.4.1. Pengertian Pengembangan Karakter Taruna

Pembangunan pendidikan tidak hanya untuk mengembangkan aspek intektual

saja melainkan juga watak, moral, sosial, dan fisik peserta didik, atau dengan kata lain

menciptakan manusia Indonesia seutuhnya. Upaya ini dilakukan dalam rangka

meningkatkan mutu sumber daya manusia Indonesia dan mutu pendidikan. Hal ini

sejalan dengan Rencana Strategis (Renstra) Depdiknas 2005‐2009. Pendidikan

karakter terdiri dari dua kata yaitu pendidikan dan karakter. Pendidikan adalah proses

sepanjang hayat dan perwujudan pembentukan diri secara utuh dalam arti

pengembangan segenap potensi dalam rangka pemenuhan semua komitmen manusia

sebagai makhluk individu, sosial, dan sebagai mahluk Tuhan (Siswoyo, 2007).

Pengembangan karakter menjadi bagian penting yang harus dikembangkan

dan diselenggarakan oleh lembaga pendidikan. Tujuan pendidikan karakter pada

dasarnya mewujudkan peserta didik yang berperilaku baik (berkarakter positif).

Tumbuh dan berkembangnya perilaku baik akan mendorong peserta didik

mengaktualisasikan dirinya secara baik, benar dan bertujuan ke arah kemaslahatan

kehidupannya. Perkembangan karakter merupakan hasil perpaduan proses pendidikan

formal sepanjang hidup dan pendididan informal (Stoll & Beller, 2000), Karakter

terbentuk dari hubungan tiga antara: pengetahuan, nilai, dan sesuatu tindakan yang

benar (Lickona, 1989).

Sementara itu menurut Buchori (2007), pengembangan karakter seharusnya

membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara

afektif, akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Untuk sampai ke pengamalan

nyata (praksis), ada satu peristiwa batin yang amat penting yang harus terjadi dalam
diri peserta didik, yaitu munculnya keinginan yang sangat kuat (tekad) untuk

mengamalkan nilai.

Garin Nugroho mengatakan bahwa sampai saat ini dunia pendidikan di

Indonesia dinilai belum mendorong pembangunan karakter bangsa. Hal ini

disebabkan oleh ukuran-ukuran dalam pendidikan tidak dekembalikan pada karakter

peserta didik, tapi dikembalikan pada “pasar”, Pendidikan Nasional belum mampu

mencerahkan bangsa ini, pendidikan kita kehilangan nilai-nilai luhur kemanusiaan,

padahal pendidikan seharusnya memberikan pencerahan nilai-nilai luhur itu

(Muslich:2011).

Rumusan masalah diatas yang mendasari betapa pentingnya pengembangan

karakter hal ini didukung oleh Al-Ghazali (1995), menyatakan bahwa budi pekerti

atau karakter adalah suatu kekuatan yang sanggup menjaga manusia dari perbuatan-

perbuatan yang rendah dan nista, serta mendorong terhadap perbuatan yang baik dan

mulia. Terdapat bebrapa budi pekerti atau karakter yang perlu untuk dikembangkan

dan ditanmakan pada peserta didik, pendidikan tersebut berupa penanaman nilai-niai

kejujuran, keihklasan, kesopanan, keteguhan, kesabaran, kedermawanan, kebersihan,

persaudaraan, persatuan,pergaulan, kasih sayang, ilmu dan akal serta menenai hal

yang berhubungan dengan manajemn waktu. Hal ini penting untuk dikembangkan

karena nilai-nilai karakter tersebut tidak akan pernah lenyap dan hilang di telan

zaman.

Pendidikan karakter dalam dunia pendidikan meruapakn harapan yang akan

menjadi motor pengerak untuk memfasilitasi pembangunan karakter, sehingga

mampu menjadi penuatan masyarakat untuk memiliki kesadaran kehidupan berbangsa

dan bernegara yang harmonis dan demokratis yang tetap memperhatikan norma-

norma yang ada dimasyarakat. Pembangunan karakter dan pendidikan karakter


menjadi suatu keharusan yang untuk dikembangkan kerana melalui pengembangan da

pembanguna karakter peserta didik menjadi cerdas dan berbudi pekerti, sopan santun

sehinggan keberadaanya nanti di masyarakat mampu memberikan makna baik bagi

dirinya maupun orang disekitarnya.

2.4.2. Prinsip-prinsip Pengembangan Karakter Taruna

Thomas Lickona, E. Schaps, 34 dan C Lewis (dalam Arismantoro, 2008:31)

mengemukakan bahwa terdapat 11 prinsip pelaksanaan pendidikan karakter, yaitu:

1. Mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter,

2. Mengidentifikasi karakter secara komprehensif supaya mencakup

pemikiran, perasaan, dan perilaku,

3. Menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif, dan efektif untuk

membangun karakter,

4. Menciptakan komunitas sekolah yang memiliki kepedulian,

5. memberi kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan perilaku yang

baik,

6. Memiliki cakupan terhadap kurikulum yang bermakna dan menantang

yang menghargai semua siswa, membangun karakter mereka, dan

membantu mereka untuk sukses,

7. Mengusahakan tumbuhnya motivasi diri pada para siswa,

8. Memfungsikan seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang

berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter dan setia pada nilai

dasar yang sama,

9. Adanya pembagian kepemimpinan moral dan dukungan luas dalam

membangun inisiatif pendidikan karakter,


10. Memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam

usaha membangun karakter,

11. Mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru-guru

karakter, dan manifestasi karakter positif dalam kehidupan siswa.

2.4.3. Karakteristik Pengembangan Karakter Taruna

Ary Ginanjar (2011:12) mengembangkan karakter menjadi tujuh budi utama,

yang meliputi: (1) jujur, (2) tanggung jawab, (3) visioner, (4) disiplin, (5) kerja sama,

(6) adil dan (7) peduli. Saptono (2011) mengemukakan 10 kebajikan Esensial yang

meliputi: (1) kebijaksanaan (wisdom), (2) keadilan (justice), (3) ketahanan (fortitude),

(4) pengendalian diri (self-control), (5) kasih (love), (6) sikap positif (positive

attitude), (7) kerja keras (hard work), (8) integritas (integrity), (9) penuh syukur

(gratitude), dan (10) kerendahan hati (humility).

Sedangkan nialai-nilai Nilai-nilai karakter yang dikembangkan dalam dunia

pendidikan didasarkan pada 4 (empat) sumber, yaitu: yaitu ; Agama, Pancasila, budaya

bangsa, dan tujuan Pendidikan Nasional itu sendiri (Koesuma:2007). Dari keempat

sumber tersebut merumuskan 18 nilai-nilai karakter umum yaitu : Religius, jujur,

toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat

kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai,

gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggung jawab. Pendidikan karakter

juga diartikan sebagai pendidikan budi pekerti plus, yang melibatkan aspek pengetahuan

(cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Tanpa ketiga aspek tersebut

menurut Lickona, pendidikan karakter tidak akan efektif (Minhaji & Hariyanto:2015)

Dari ketiga aspek tersebut, dapat dikembangkan menjadi lima aspek dengan

argumentasi yang berbeda yaitu : 1) Knowing the good, mengenal dengan jernih

mengenai apa yang baik dan bernilai; 2) Feeling the good, setelah tahu akan kebaikan

maka diimprovisasi menjadi merasakan kebaikan itu; 3).Loving the good, dinaikkan
lagi pada tingkat mencintai kebaikan itu; 4). Desiring the good (keinginan yang kuat

untuk berbuat baik; 5). Acting the good, kebiasaan untuk melakukannya

(Koesuma:2007).

2.4.4. Jenis-jenis Pengembangan Karakter Taruna

Dari banyak sekolah-sekolah berasrama di Indonesia, terdapat tiga corak yaitu

bercorak agama, nasionalis-religius, dan ada yang nasionalis. Untuk yang bercorak

agama terbagi dalam banyak corak ada yang fundamentalis, moderat sampai yang

agak liberal. Hal ini merupakan representasi dari corak keberagamaan di Indonesia

yang umumnya mengambil tiga bentuk tersebut. Kemudian yang bercorak militer

karena ingin memindahkan pola pendidikan kedisiplinan di militer kedalam

pendidikan di sekolah berasrama. Sedangkan corak nasionalis-religius mengambil

posisi pada pendidikan semi militer yang dipadu dengan nuansa agama dalam

pembinaannya di sekolah (Maknun, 2006)

Sedangkan menurut Seifert dan Haffung (2007) memiliki tiga jenis

perkembangan :

1. Perkembangan Fisik: Hal tersebut mencakup pertumbuhan biologis misalnya

pertumbuhan otak, otot dan tulang.

2. Perkembangan Kognitif: Hal tersebut mencakup perubahan–perubahan dalam

perkembangan pola fikir.Perkembangan kognitif dapat dijelaskan berdasarkan

tiga pendekatan perkembangan yaitu :

a. Tahapan Pra Operasional

b. Tahapan Operasional Konkrit

c. Tahapan Operasional Formal

3. Perkembangan Psikososial: Hal tersebut berkaitan dengan perkembangan dan

perubahan emosi individu. Perkembangan individu harus sejalan dengan


perkembangan aspek lain seperti di antaranya adalah aspek psikis, moral dan

sosial.

2.4.5. Pengembangan Karakter Taruna

Pengembangan karakter menurut Luther king yang menyatakan bahwa tujuan

dari pendidikan yang benar adalah membentuk peserta didik yang cerdasa secara

intelektual dan berkarakter “intelegence plus character, that isi the true education”

(Lickona, 2004). Menurut Elkind & Sweet (2004) pendidikan karakter adalah upaya-

upaya untuk membantu peserta didik memahami, peduli dan berprilaku sesuai nialai-

nilai etika yang berlaku. Pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama

dengan pendidikan moral dan akhlak dimana pengembangan karakter dilakukan

melalui kegiatan pendidikan karakter yang diterapkan oleh institusi pendidikan.

Pembinaan pendidikan karakter yang optimal, tidak dapat ditangani oleh salah

satu pihak, akan tetapi harus dilaksanakan secara menyeluruh oleh seluruh kalangan,

dimulai pada lingkungan keluarga, masyarakat, sekolah serta pemerintah. Seperti

yang diungkapkan oleh Kardiman (2008:165) yaitu “Pembangunan karakter bangsa

tidak saja menjadi tanggungjawab dunia persekolahan tetapi juga menjadi

tanggungjawab situs-situs kewarganegaraan di luar persekolahan.

Penerapan sistem pendidikan vokasi berbasis Boarding school berkaitan

dengan pembentukan karakter taruna/taruni ATKP Surabaya menurut Kementrian

Perhubungan RI dan Badan Pengembangan SDM Perhubungan (BPSP) 2014

menitikberatkan pada pembentukan dan pengembangan potensi taruna sehingga

memiliki kompetensi (hard skill dan soft skill) selain itu melalui model pendidikan

berbasis Boarding school diharapkan mampu menumbuhkan karakter individu taruna

ATKP yang memiliki sikap sesuai norma yang ada dan didukung moral yang baik,
memiliki loyalitas yang tinggi pada bangsa dan negara serta didukung sikap disiplin

dan berintegritas (BPSP:2014).

2.5 Karakteristik Taruna ATKP

Penerimaan calon taruna di ATKP Surabaya menurut menteri perhubungan

Nomor: KM 53 tahun 2010 tentang penetapan standar pelayanan minimal pada

ATKP Surabaya dapat dijabarkan dalam diagram alir prosedur penerimaan calon

taruna sebagai berikut:


Mulai
Rencana kerja
penerimaan Panitia
Penyebaran

Panitia
Menyiapkan

Membuka pendaftaran
penerimaan taruna Panitia

Pemeriksaan tinggi dan Panitia


berat

Stop Lolos Panitia

Membayar biaya seleksi


akademik ke bank Calon Taruna

Menyerahkan formulir
pendaftaran Panitia

Panitia
Meneliti berkas
Melengkapi pendaftaran
berkas Calon Taruna

lengkap
Panitia

A
A

Pelaksanaan seleksi
akademik Panitia

Pelaksanaan seleksi
Panitia
akademik

Lulus Gugur

KaBadan Pegembangan
SDM Phb
Membayar biaya seleksi Stop
lanjutan ke bank
Calon Taruna

Pelaksanaan seleksi
kesemaptaan

Panitia
Pelaksanaan
seleksi

Lulus Gugur

KaBadan Pegembangan
SDM Phb
B Stop

Gambar 2.5 Diagram Alir Prosedur Penerimaan Calon Taruna

Sumber: menteri perhubungan Nomor: KM 53 tahun 2010


Prosedur penerimaan calon taruna meliputi tahapan-tahapan kegiatan sejak

penetapan jumlah penerimaan calon taruna dalam tahun tertentu yang kemudian

disosialisasikan. Tinggi badan menjadi penyaringan/seleksi paling awal calon taruna

untuk mengikuti seleksi selanjutnya yang meliputi akademik, kesehatan, kesamaptaan

dan wawancara.

Taruna dapat digolongkan berdasarkan program studi yaitu sebagai berikut

(atkpsby.ac.id):

1. Program studi teknik listrik bandar udara

2. Program studi telekomunikasi dan navigasi udara

3. Program studi teknik pesawat udara

4. Program studi D3 lalu lintas udara

5. Program studi D3 komunikasi penerbangan

6. Program studi D3 transportasi udara

7. Program studi teknik bangunan dan landasan

Syarat pendaftaran ATKP Surabaya terdiri dari pendaftaran umum dan

pendaftaran khusus, persyaratan umum pendaftar dengan ketentuan sebagai berikut

(atkpsby.ac.id):

1. Usia maksimum 23 tahun pada bulan september tahun pelaksanaan seleksi

2. Jenis kelamin: pria atau wanita

3. Belum menikah dan sanggup tidak menikah selama masa pendidikan

dibuktikan dengan surat pernyataan

4. Tinggi badan minimal Pria 160 cm dan wanita 155 cm

5. Melampirkan pas photo terbaru ukuran 4x6 sebanyak 2 lembar berwarna latar

belakang merah dan foto copy STTB, nilai UN, akte kelahiran dan surat

keterangan belum menikah dari kelurahan/desa


6. Bagi yang masih duduk di kelas XII SLTA dengan melampirkan surat

keterangan dari kepala sekolah sebagai peserta UN

7. Membayar biaya pendaftaran, sesuai dengan ketentuan dan akan disampaikan

melalui pengumuman Sipencatar

Sedangkan persyaratan tambahan khusus pendaftar pola pembibitan antara

lain:

1. Berasal dari daerah yang menjalin kerjasama pola pembibitan dengan STTD

2. Tinggi badan minimal Pria 165 cm dan wanita 160 cm

3. Rata-rata nilai raport minimal 7 (tujuh) untuk mata pelajaran matematika dan

fisika mulai semester 1 sd 5.

2.5.1. Tingkat Pengetahuan

2.5.2. Sikap dan Minat

Sikap yang harus dimiliki taruna ATKP adalah sikap saling menghargai dan

menghormati. Taruna/taruni dalam menjalin hubungan degan generasi muda

senantiasa menjunjung tinggi nilai budaya bangsa dan memgang teguh pancasila,

saling menghornati perbedaan dan persamaan dengan menumbuhkan sikap toleransi

dengan prinsip saling menghargai dan menghormati. Dalam kehidupan

bermasyarakat, taruna/taruni ATKP harus senantiasa menyadari bahwa dirinya adalah

bagian dari masyarakat (BPSP:2014).

2.5.3. Tingkat Kebahasaanya

2.6 Pendekatan Vokasi Berbasis Boarding School Sytem (BBS) untuk Meningkatkan

Karakter Taruna

Di Indonesia pendidikan vokasi dimulai pada tahun 1972, saat Institut Teknologi

Bandung bekerjasama dengan Departemen Pekerjaan Umum mendirikan Lembaga


Politeknik Pekerjaan Umum (LPPU) sebagai jawaban atas tantangan kebutuhan tenaga

teknik yang mampu menerjemahkan konsep ilmu pengetahuan dan teknologi ke dalam

tugas-tugas praktis yang diperlukan di lapangan. Kemudian pada tahun 1979 pemerintah

mendirikan lima politeknik negeri di lima perguruan tinggi, yaitu: Politeknik ITB di

Bandung, Politeknik UI di Jakarta, Politeknik UNDIP di Semarang, Politeknik USU di

Medan, Politeknik UNSRI di Palembang (BNSP:2011).

Pendidikan vokasi merupakan model pendidikan yang ditujukan sebagai proses

persiapan yang efektif dan proses transisi bagi peserta didik ke dalam jenis pekerjaan

atau profesi tertentu yang diperlukan oleh masyarakat (Billet, 2011:61), dimana proses

pendidikannya akan melibatkan aktivitas di dalam dan di luar sekolah (Hill, dalam

Rashtriya, 2008:7). Salah satu tujuan didirikan pendidikan vokasi di Indonesia adalah

untuk menghasilkan lulusan yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang sesuai

dengan kualifikasi yang dibutuhkan oleh industri atau perusahaan (link and match),

sehingga lulusan pendidikan vokasi memiliki daya saing tinggi untuk mendapatkan

pekerjaan. Pendidikan vokasi bertujuan menyediakan tenaga terampil untuk memiliki

pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu yang mampu memenuhi tuntutan dunia usaha

dan industri Indonesia

Dalam era industrialisasi yang bercirikan ekonomi, negara dan pemerintah

membutuhkan SDM yang memiliki multi keterampilan (Oketch, Preston ; 2009).

Pendidikan vokasi memiliki peran yang sangat strategis dalam menyiapkan SDM. Di era

globalisasi dan industrialisasi merupakan sebuah tantangan dan peluang bagi pendidikan

vokasi untuk membangun karakter sumber daya manusia dalam menghadapi persaingan

di dunia usaha dan industri tetapi di sisi lain membawa tantangan persaingan yang

semakin ketat dan tajam.


Pendidikan vokasi merupakan media dan sarana untuk membangun SDM yang

berkarakter dilatar belakangi oleh persaingan para lulusan dari sarjana, sekolah tinggi,

akademi maupun politeknik untuk terjun di dunia usaha dan industri yang semakin ketat.

Lulusan dalam jalur vokasi diharapkan menjadi individu yang produktif yang mampu

menjadi tenaga kerja terlatih dan memiliki kesiapan untuk menghadapi persaingan kerja

yang dapat memberikan kontribusi produktif kepada masyarakat dan dunia usaha dan

industri yang membutuhkan.

Salah satu penyelenggara pendidikan vokasi yang memiliki fokus dalam

pengembangan karakter dalam rangka menciptakan SDM yang berkualitas dan unggul

adalah Akademi Teknik Keselamatan Penerbangan yang berada di Surabaya, Jawa

Timur. ATKP Surabaya merupakan lembaga pendidikan setingkat Diploma yang fokus

mendidik taruna/taruni yang menjadi individu yang cerdas, terampil, kompeten dan

berkarakter sesuai norma dan nilai yang berlaku di masyarakat Indonesia.

Orientasi pengembangan pendidikan vokasi di ATKP Surabaya diarahkan kepada

program-program keahlian yang dapat memberikan pengetahuan, keterampilan, sikap

kerja, pengalaman, wawasan, cara-cara berfikir kritis, kemampuan berkomunikasi efektif

baik secara oral dan tertulis, berjiwa enterpreneurship, mampu mengakses dan

menganalisis informasi, memiliki rasa ingin tahu dan mampu berimajinasi, serta

memiliki jaringan yang dapat membantu diri mahasiswa mendapatkan pekerjaan yang

sesuai dengan pilihannya.

Dalam penyelenggaraan pendidikannya ATKP Surabaya membangun sistem

pendidikan berbasis Boarding school, yang mana sistem pendidikan dan pola pengasuhan

mewajibkan peserta didiknya bertempat tinggal di asrama yang telah disediakan selama

proses penempuhan pembelajaran dan pelatihan berlangsung.


Sistem Pendidikan dan pembinaan peserta didik di boarding school di rancang

supaya dapat membentuk peserta didik yang memiliki karakter unggul. Sistem

pendidikan boarding school merupakan perpaduan antara sistem pendidikan asrama

dengan pola sekolah. Pola dasarnya adalah dengan memadukan pola ilmu agama dan

ilmu umum dan diharapkan para peserta didik dapat mengimplementasikan dalam

pembelajaran dan dalam hubungan sosial peserta didik. Selain itu dimaksudkan untuk

menyiapkan peserta didik yang berkarakter, berkepribadian, menguasai iptek serta

pembinaan rohani secara khas tersendiri.

Sistem boarding school dipilih didasarkan pada aspek pembentukan karakter taruna

sesuai dengan visi dan misi yang di emban oleh institusi pendidikan ATKP Surabaya,

aspek lain yang mendasari pemilihan sistem boarding school adalah dalam rangka

menyeragamkan seluruh taruna/taruni yang belajar di ATKP Surabaya baik secara

pengetahuan, ketrampilan, sikap dan karakter, sehingga tidak ada kesenjangan yang ada

dalam lingkungan sosial antar taruna.

Penerapan sistem pendidikan vokasi berbasis Boarding school berkaitan dengan

pembentukan karakter taruna/taruni ATKP Surabaya menurut Kementrian Perhubungan

RI dan Badan Pengembangan SDM Perhubungan (BPSP) 2014 menitikberatkan pada

pembentukan dan pengembangan potensi taruna sehingga memiliki kompetensi (hard

skill dan soft skill) selain itu melalui model pendidikan berbasis Boarding school

diharapkan mampu menumbuhkan karakter individu taruna ATKP yang memiliki sikap

sesuai norma yang ada dan didukung moral yang baik, memiliki loyalitas yang tinggi

pada bangsa dan negara serta didukung sikap disiplin dan berintegritas (BPSP:2014).

Pendidikan karakter disebutkan diatas sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi

pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan

kemampuan seluruh taruna/taruni untuk memberikan keputusan baik-buruk, keteladanan,


memelihara apa yang baik & mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari

dengan sepenuh hati. Menurut Kementrian Nasional (2011;6) ” pendidikan karakter

bukan hanya sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah. Lebih dari itu,

pendidikan karakter adalah usaha menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik

(habituation) sehingga peserta didik mampu bersikap dan bertindak berdasarkan nilai-

nilai yang telah menjadi kepribadiannya”.

Dengan kata lain, pendidikan karakter yang baik harus melibatkan pengetahuan

yang baik (moral knowing), perasaan yang baik atau loving good (moral feeling) dan

perilaku yang baik (moral action) sehingga terbentuk perwujudan kesatuan perilaku dan

sikap hidup peserta didik. (Lickona, 1991; 50-63). Sesuai dengan pedoman pola

pengasuhan taruna dari Kementrian Perhubungan Badan Pengembangan SDM

Perhubungan, tahap pengembangan karakter taruna disesuaikan dengan prosedur

pelaksanaan pengasuhan BPSP 2014 melalui beberapa tahapan.

Tahap pertama pola pengasuhan dalam rangka pembentukan karakter taruna

diawali dengan tahap orientasi. Tahap orientasi ini merupakan langkah awal pengasuhan

taruna/taruni diklat pembentukan yang fokus pada pembentukan karakter building

sumber daya manusia dalam rangka pembentukan SDM taruna yang mampu beradaptasi

dengan kehidupan di asrama dan memiliki gambaran utuh tentang tujuan kegiatan

dikaitkan dengan berbagai tugas, tanggung jawab dan tantangan yang akan dihadapi di

dunia kerja.

Tahap kedua pola pengasuhan dimulai setelah selesainya tahap orientasi dengan

menitikberatkan pada pembangunan karakter taruna/taruni melalui pengawasan dan

pengasuhan secara ketat agar taruna/taruni memahami dengan baik, memiliki kesadaran

untuk berprilaku sesuai ketentuan/aturan yang berlaku. Dengan tujuan menerapkan


kewajiban dan hak sebagai taruna, menanamkan nasionalisme, membangun jiwa korsa,

dan mengenalkan sifat kepemimpinan.

Tahap ketiga adalah tahap pendewasaan yang bertujuan membentuka karakter

taruan agar dapat mengemban tanggungjawab, memantapkan nasionalisme, mampu

menjaga tata cara berhubungan dengan dengan orang lain, mampu menerapkan sifat-sifat

kepemimpinan, mampu menjaga sikap dan perilaku guna memberikan keteladanan.

Tahap yan terakhir adalah tahap pematangan, yang merupakan tahap pengasuhan

yang lebih bersifat kemitraan dengan mengembangkan kedewasaan tinggi yang mampu

melahirkan sifat kepemimpinan (BPSP:2014).

2.7 Penelitian Terdahulu yang Relevan

Penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian pengembangan model

pendidikan vokasi di antaranya adalah:

1. Bunning (2007) melakukan kajian literatur terhadap model pendidikan vokasi

yang dikembangkan dengan menggunakan model action-theoretical bases. Kajian

literatur tersebut menjelaskan bahwa melalui model pendidikan berbasis teoretis

dan tindakan, pendidikan vokasi dilihat dari sisi konsep pedagogikal vokasional,

konsep pelatihan, serta konsep psikologis dengan memperluas aktivitas penelitian

dan pengembangan yang intensif.

2. Idris et al (2014), melakukan kajian empiris dengan metode survei yang bertujuan

untuk mengembangkan model yang mampu memprediksi implementasi model

pendidikan vokasi dan teknikal di Nigeria. Pengembangan model dilakukan

dengan menguji hubungan antarvariabel hambatan dan isu dalam penerapan

pendidikan vokasi terhadap kompetensi lulusan terhadap pengembangan ekonomi

dan nasional. Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis SEM


(Structural Equation Modeling) menunjukkan bahwa penerapan pendidikan

vokasi harus terdiri atas komponen teaching methods, learning skills,

employability skills dan technical skills. Penelitian ini juga menghasilkan model

konseptual pendidikan vokasi di Nigeria.

3. Malley & Keating (2000), melakukan kajian empiris terhadap ketentuan

pendidikan vokasi di Australia pada pendidikan tingkat menengah atas. Penelitian

ini menelusuri kebijakan yang mempengaruhi ketentuan dalam pendidikan vokasi

sejak zaman Federasi, tetapi lebih menekankan pada penerapan kebijakan pada

tahun 1980-an sampai 1990-an. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sejak tahun

1901 ketentuan pendidikan vokasi mengalami pergeseran dari prerogatif negara

dengan tujuan ekonomi sampai akhirnya pada tahun 1999, terdapat pembagian

tanggung jawab antara pemerintah Federal dan perwakilan Federal, serta otoritas

pelatihan vokasi dari pendidikan negeri. Selama tahun 1990-an, model

pendidikan vokasi berbasis sekolah telah digabungkan dengan penekanan pada

tujuan perekonomian, pendidikan, dan sosial yang selama ini tidak selalu ada

dalam model pendidikan pasca sekolah. Konsekuensinya, proses akomodasi pada

program vokasi berbasis sekolah dikembangkan dengan kemitraan regional

dengan perusahaan-perusahaan, tetapi harus berhadapan dengan variasi kerangka

kualifikasi dan standar nasional di beberapa sektor. Peningkatan dua model

pendidikan vokasi memiliki dampak pada pengembangan kebijakan nasional

sebagai konsep integrasi struktural antara sekolah dengan paska sekolah,

pendidikan dan kerja, vokasi dan akademik yang saat ini mulai dikembangkan.

4. Leung & McGrath (2010) melakukan kajian empiris mengenai pendidikan vokasi

di Hong Kong. Kajian ini menjelaskan bahwa secara global, reformasi pendidikan

vokasi saat ini lebih ditekankan pada employability skill dan bukan sekedar pada
technical skill. Kajian ini meninjau ulang kurikulum pendidikan vokasi di salah

satu institusi pendidikan di Hong Kong dengan mengeskplorasi peluang

pengembangan personal yang mendukung pengembangan keahlian yang berguna

baik untuk pengembangan ketenagakerjaan maupun pengembangan personal

secara lebih luas.

Hasil analisis data yang dikumpulkan melalui berbagai sumber, mulai dari

dokumentasi, kuesioner dan wawancara menunjukkan bahwa peluang

pengembangan personal pada institusi adalah kurang efektif, sehingga diperlukan

adanya pelatihan pengembangan personal. Kajian ini merekomendasikan

perlunya strategi pembelajaran baru yang inovatif baik di dalam maupun di luar

kelas untuk menfasilitasi pengembangan personal bagi peserta didik.

Pengembangan pendidikan vokasi yang ditawarkan meliputi pengembangan

personal dengan bimbingan praktis bagi tenaga pendidik, dan memformulasikan

model pembelajaran aktif untuk mendukung pengembangan orang-orang yang

ada dan terlibat di lembaga pendidikan.

5. Suminar et al (2016) melakukan penelitian yang bertujuan untuk

mengembangakan model pembelajaran dalam program pendidikan keahlian

kehidupan bagi masyarakat pinggiran guna meningkatkan kemampuan daya saing

lokal. Penelitian yang menerapkan riset dan pengembangan (R & D) ini

mengembangkan proses pembelajaran dengan menekankan pada lima komponen,

yaitu pembelajaran pola sintaktis; sistem sosial dan norma yang terungkap dalam

atmosfer pembelajaran; reaksi manajemen pola interaksi pembelajaran; sistem

pendukung, fasilitas, material, dan lingkungan pembelajaran; dan dampak

instruksional pendampingan dan outcomesi pembelajaran.


Studi dilakukan di daerah pegunungan Wonosobo, area pantai Kendal, dan pusat

kawasan industri Pekalongan. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi,

wawancara, dan dokumentasi. Uji validitas dilakukan melalui diskusi dengan para

kolega, triangulasi, observasi, dan selanjutnya data di olah dengan teknik

deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat empat pilar

dalam program pendidikan keahlian, yaitu academic skill, vocational skill, social

skill, dan personal skill.

6. Yu (2013), melakukan kajian empiris yang berupa kajian komparatif terhadap

pendidikan vokasi di China, dimulai dengan mendeskripsikan sistemnya, dan

menganalisa beragam tantangan yang dihadapi oleh sistem pendidikan vokasi di

China, termasuk reformasi yang dilakukan dengan melakukan transfer kebijakan

German Dual System, Singaporean Vocational Model, dan U.S. Career and

Technical Education (CTE) system. Karena China memiliki kondisi geografis,

budaya, ekonomi, dan politik yang unik, maka tidak layak ketika harus

mengadopsi sistem pendidikan vokasi dari negara lain. Namun demikian, elemen-

elemen dalam setiap sistem tersebut masih bisa digunakan untuk melakukan

reformasi sistem pendidikan vokasi di China. Dimana dukungan dan upaya dari

pembuat kebijakan di tingkat pemerintah dan penelitian akademis sangat

diperlukan. Sebagai tambahan, kerjasama transnasional dan global dengan

lembaga pendidikan vokasi tetap diperlukan untuk menghadapi era globalisasi,

sehingga elaborasi yang dihasilkan dapat mengatasi tantangan dan meningkatkan

tenaga kerja dengan keahlian tinggi di pasar tenaga kerja global.


2.8 Kerangka Berpikir

Sistem Pendidikan Kondisi Politik,


Yu (2013)
Vokasi di Berbagai Ekonomi, Budaya,
Negara Geografis

Regulasi Pemerintah: Yu (2013) ; Malley &


Kebijakan Pendidikan Keating (2000)

Malley & Keating (2000)


Kebijakan Akademis

Pengembangan Model
Pendidikan Vokasi

Action-theoritical Pengembangan Interaksi Lima Komponen


bases Personal dan Struktural Pembelajaran
Bunning (2007) Pembelajaran Malley & Keating (2000) Suminar et al (2016)

Aktif
Leung & McGrath (2010)

Program pendidikan vokasi Komponen Pembelajaran


Kurikulum pendidikan vokasi
(pendidikan keahlian) Vokasi Teaching Method
Suminar et al (2016) Leung & McGrath (2010) Learning Skills
Employability Skills
Technical Skills
Idris et al (2014)

Prinsip-prinsip SCL: Student Centered Learning Nilai-nilai Boarding


- Adult learner School di ATKP
Harsono (2008) Antika (2014)
- Beyond the Classroom - Caracter Building
- Jiwa “life-long Learner” - Dicipline
- etc - etc

Pembelajaran Pembelajaran Pembelajaran Pembelajaran Pembelajaran


Aktif Interaktif Kooperatif Kontekstual Mandiri

Harsono (2008) Antika (2014)

Standar Keahlian 4 Pilar Keahlian: Employability


Global - Keahlian Akademis Skills
Yu (2013) - Keahlian Sosial Leung & McGrath (2010)
- Keahlian Personal
- Keahlian Vokasi
Suminar et al (2016)
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan, yaitu sebuah penelitian yang di

dalamnya terdapat proses desain, pengembangan, dan evaluasi dengan tujuan untuk

menyelenggarakan basis empiris untuk menciptakan produk dan alat instruksional maupun

noninstruksional yang baru atau mempertahankan model yang telah diperbaiki/diperbaharui

melalui pengembangan yang dilakukan (Richey & Klein, 2010:1).

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah model penelitian dan

pengembangan Research and Development (R&D) (Borg & Gall, 1983) dan dilanjutkan

ekperimen. Model pengembangan dalam penelitian ini melalui tahap model konseptual.

Model teoritik, model hipotetik, dan model final. Model konseptual adalah model yang

bersifat analitis, yang menyebutkan komponen-komponen produk, menganalisis komponen

secara rinci, dan menunjukkan hubungan antar komponen yang akan dikembangkan. Model

teoritik adalah model yang mengambarkan kerangka berpikir yang didasarkan pada teori-teori

yang relevan dan didukung oleh data empirik. Model hipotetik adalah model yang sudah

mendapat masukkan pakar dan praktisi melalui fokus group discussion (FGD). Model final

adalah model yang sudah diuji coba empirik.

Penelitian pengembangan yang dilakukan adalah pengembangan model pendidikan

vokasi Akademi Teknik dan Keselamatan Penerbangan (ATKP) Surabaya yang dapat

meningkatkan kompetensi Taruna di ATKP. Adapun desain penelitian pengembangan yang

diterapkan dalam penelitian ini adalah penelitian berbasis tindakan, yaitu action-theoretical
bases di pendidikan vokasi dan teknis, seperti yang dikembangkan oleh Hacker (1996).

Dengan demikian, desain penelitian ini adalah sebagai berikut:

ATKP Surabaya

Landasan
Hukum

PermenHub DIKTI

Pendidikan Vokasi Keahlian Taruna


di ATKP Surabaya ATKP Surabaya

Hasil Evaluasi: Fakta Praktik Pendidikan Vokasi di ATKP


Surabaya dan Keahlian Taruna di ATKP

Design +
Decide

Direct (Motive & Goal) Orientate (metode, pengujian)

Control Decide (Decision)

Model Pendidikan Vokasi


di ATKP

Pengujian Model

Start Test Exit

Operat
e
Gambar 3.1 Desain Penelitian Pengembangan Pendidikan Vokasi di ATKP Surabaya

3.2 Prosedur Pengembangan

Prosedur pengembangan dalam penelitian ini mengacu pada tahapan-tahapan yang

meliputi melakukan studi pendahuluan dengan melihat realitas empirik dan mengakaji teori-

teori yang relevan, menentukan prototip dan membuat rancangan produk, menampilkan

rancangan, melakukan uji coba, evaluasi dan revisi, mengembangan lanjutan atas produk

yang telah diujicobakan, kemudian menyajikan/mengimplementasikan produk akhir.

3.3 Desaign Uji Coba Penelitian

Uji coba dilakukan pada kelompok quasi-eksperimen dan berbagai standar ukuran

peningkatan kualitas hasil belajar adalah kelompok kontrol. Desain ujicoba adalah

randomized pretesr-postest control group design (desain eksperimen dengan kelompok

eksperimen dan kontrol acak).

3.3.1. Subjek Uji Coba Penelitian

Informan atau subjek penelitian ini adalah pihak-pihak yang terlibat dalam

penyelenggaraan pendidikan vokasi di ATKP Surabaya. Dengan demikian, informan

penelitian tersebut diharapkan menguasai permasalahan yang diamati dalam penelitian ini.

Adapun subjek penelitian ini meliputi informan kunci (key informan) dan informan tambahan

(additional informan). Informan kunci dalam penelitian ini adalah Direktur ATKP Surabaya.

Sementara itu, informan tambahannya adalah:

1. Dosen atau staf pengajar di ATKP Surabaya.

2. Taruna ATKP Surabaya level III.

3. Pakar pendidikan vokasi dari DIKTI.

4. Institusi pengguna alumni ATKP Surabaya.


3.3.2. Data dan Intrumen Penelitian

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi atau

pengamatan, dokumentasi, dan wawancara. Masing-masing teknik pengumpulan data

dijelaskan berikut ini:

1. Observasi atau Pengamatan

Observasi atau pengamatan merupakan langkah untuk mengetahui kondisi real di

lapangan serta mengungkapkan keadaan atau kejadian yang didapatkan dari hasil

wawancara dengan informan penelitian. Observasi dilakukan dengan

mengkombinasikan seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari hasil

penelitian dan sumber data lain yang berkenaan dengan unit analisis penelitian.

2. Dokumentasi

Teknik pengumpulan data dengan metode dokumentasi adalah pencarian data berupa

catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, notulen rapat, agenda dan lain sebagainya

yang berhubungan dengan penelitian. Pada penelitian ini, data dikumpulkan melalui

foto, dokumen, atau catatan-catatan lapangan peneliti pada saat penelitian dilakukan.

3. Wawancara (Indepth Interview)

Teknik pengumpulan data yang terakhir adalah wawancara (indepth interview). Indept

interview digunakan untuk memperdalam data-data yang terkait langsung dengan topik

penelitian. Selain itu, teknik ini digunakan untuk mengetahui respon dari berbagai

pendapat tentang kebijakan yang akan datang. Untuk memperoleh data dan informasi

yang dibutuhkan, diperlukan beberapa narasumber/informan yang dapat memberikan

gambaran situasi dan kondisi yang sebenarnya.

Sedangkan instrumen penelitian ini adalah panduan wawancara, alat perekam

wawancara, kamera foto dan video, serta check list pengambilan data.
3.3.3. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian pengembangan melipui tahapan-tahapan yang

telah disebutkan dalam desain penelitian. Dengan demikian, teknik analisis data dalam

penelitian ini terdiri atas dua tahap, yaitu analisis data kualitatif dan analisis data

pengembangan model vokasi.

1. Teknik Analisis Data Kualitatif

Hays & Singh (2012:295) mengutip pendapat Miles & Huberman bahwa analisis data

kualitatif merupakan proses siklus yang terdiri atas aktivitas reduksi data, menyajikan

data, menarik kesimpulan, dan melakukan verifikasi data.

a. Reduksi data, yaitu proses mengorganisasi, mengelompokkan, dan menganalisa

teks atau bahan visual yang telah dikumpulkan mulai awal penelitian, bahkan

sebelum tahap pengumpulan data sekalipun. Pada tahap ini kegiatan yang

dilakukan adalah melakukan klasifikasi data dengan memberikan kode atau simbol

terhadap setiap kategori informasi.

b. Penyajian data, yaitu proses penyajian data berdasarkan kategori yang telah dibuat

pada tahap reduksi data. Melalui penyajian data dapat dilakukan eksplorasi,

deskripsi, menjelaskan, dan memprediksi fenomena (Hays & Singh, 2012:317).

Penyajian data ini dilakukan mulai setiap kategori dan setiap informan, yang

selanjutnya dikonsolidasikan atau dikombinasikan, sehingga dapat dilakukan

korelasi-korelasi antar kategori dan antar informan. Kombinasi data ini dapat

dilakukan melalui penyusunan matriks atau jaringan baik dalam bentuk tabel

maupun gambar (Hays & Singh, 2012:318). Melalui penyajian data ini maka dapat

diambil penjelasan-penjelasan dari setip kategori, sehingga dapat digunakan untuk

menginterpretasikan fenomena yang ditemukan dalam data penelitian.


c. Verifikasi data, yaitu melakukan pemeriksaan terhadap kesesuaian data yang telah

disusun dalam bentuk matriks.

d. Pembahasan dan melakukan sintesa dari hasil wawancara untuk selanjutnya

digunakan sebagai bahan untuk menarik kesimpulan dari temuan dan hasil

interpretasi data penelitian.

Hasil analisis data kualitatif ini adalah model pendidikan vokasi yang saat ini

diterapkan di ATKP Surabaya dan keahlian taruna ATKP. Dengan demikian, dapat

dijadikan sebagai pijakan untuk menentukan desain model pendidikan vokasi yang

dapat meningkatkan keahlian taruna ATKP.

2. Teknik Pengembangan Model Pendidikan Vokasi

Teknik pengembangan model pendidikan vokasi di ATKP dilakukan dengan

menerapkan action-theoretical bases di pendidikan vokasi dan teknis, seperti yang

dikembangkan oleh Hacker (1996). Dengan demikian, tahapan pengembangannya

terdiri atas:

a. Design and Decide, merupakan menentukan desain model pendidikan yang

didasarkan pada fakta dari hasil analisis kualitatif yang dilakukan sebelumnya dan

memutuskan model pendidikan yang akan diambil.

b. Direct, yaitu mengarahkan motif dan tujuan model pendidikan vokasi yang akan

dikembangkan.

c. Orientate, yaitu menentukan metode dan pola pengujian serta evaluasi model

pendidikan vokasi yang dikembangkan.

d. Decide, yaitu memutuskan model pendidikan yang dikembangkan berikut

instrumen, metode pengujian, dan metode penerapannya.

e. Control, yaitu pengendalian atas setiap tahap yang dilakukan selama pelaksanaan

pengembangan model pendidikan vokasi supaya hasil atau output yang dihasilkan
sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan dan dapat memberikan solusi atas

permasalahan yang ditemukan selama ini.

f. TOTE, yaitu test-operate-test-exit, merupakan teknik pengujian model pendidikan

vokasi yang telah diputuskan untuk dikembangkan di ATKP. Pada tahap ini,

diperlukan partisipasi dari pakar pendidikan vokasi, taruna ATKP, dosen ATKP,

dan direktur ATKP.


DAFTAR PUSTAKA

Bateman, Thomas S. & Scott A. Snell. 2008. Manajemen, Edisi 7: Kepemimpinan dan
Kolaborasi dalam Dunia yang Kompetitif, Buku 1. Alih Bahasa: Christian Sungkono &
Ali Akbar Yulianto. Jakarta: Salemba Empat.

Billett, Stephen. 2011. Vocational Education: Purposes, Traditions and Prospects. New
York: Springer Science+Business Media B.V.

Bunning, Frank. Approaches to Action Learning in Technical and Vocational Education and
Training (TVET). InWEnt – Internationale Weiterbildung und Entwicklung gGmbH,
Capacity Building International, Germany.

Caulfield, J. (2011). How To Design And Teach A Hybrid Course: Achieving Student-
Centered Learning Through Blended Classroom, Online And Experiential Activities.
USA: Stylus Publishin, LLC.

Downing, Skip. 2014. On Course, Study Skills Plus Edition. Boston, MA: Wadsworth,
Cengage Learning.

Halil Dundar, Tara Béteille, Michelle Riboud, Anil Deolalikar. 2014. Student Learning in
South Asia: Challenges, Opportunities, and Policy Priorities. Washington DC:
International Bank for Reconstruction and Development (The World Bank).

Hoidn, S. (2016). Student-Centered Learning Environments In Higher Education


Classrooms. New York: Library of Congress.

Idris, Ali, Muhammad Rashid Rajuddin, & Audu Rufai. 2014. Conceptual Model on the
Implementation of Technical and Vocational Education in Nigeria. Sains Humanika 1:1
(2014), 1–9.

Jacobs, G. M., Renandya, W. A., & Power, M. (2016). Simple, Powerful Strategies For
Student Centered Learning. USA: Springer.

Leung, Anita Sui Man & Simon McGrath. 2010. An Effective Learning Model to Support
People Development: The Emerging Approach of The Hong Kong Institute for
Vocational Education. International Education Studies Vol. 3, No. 4; November
(2010), 94-106.

Madawisata, S. T. (2014). Strategi Student Centered Learning Tipe Collaborative Learning


Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Mahasiswa Serta Korelasinya Terhadap
Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Pada Perkuliahan Statistika. Prosiding
Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi, Vol. 2, 257-264.

Malley, Jeff & Jack Keating. 2000. Policy Influences on the Implementation of Vocational
Education and Training in Australian Secondary Schools. Journal of Vocational
Education and Training, Volume 52, Number 4, (2000), 627-625.

Meeks, G. (2014). Creating A Culture Of Learning: Moving Towards Student-Centered


Learning. London-United Kingdom: Rowman & Littlefield.

Rao, M. S. 2010. Soft Skills: Enhancing Employability: Connecting Campus with Corporate.
New Delhi: L. K. International Publishing House Pvt. Ltd.

Rashtriya, Tarun. 2008. Vocational Education. New Delhi: S.B Nangia (A P H Publishing
Corporation).

Richey, Rita C. & James D. Klein. 2010. Design and Development Research: Methods,
Strategies, and Issues. New York: Routledge (Taylor & Francis Group).

Schultz, Garry. 2002. The Customer Care and Contact Center Handbook. Wisconsin:
Ameican Society for Quality.

Suminar, Tri, Titi Prihatin, & Muhammad Ibnan Syarif. 2016. Model of Learning
Development on Program Life Skills Education for Rural Communities. International
Journal of Information and Education Technology, Vol. 6, No. 6, June (2016), 496-499.

Thanh, P. T. (2015). Implementing A Student-Centered Learning Approach At Vietnamese


Higher Education Institutions: Barriers Under Layers Of Casual Layered Analysis
(CLA). Journal Of Futures Studies, Vol. 15, No. 1, September, 21-38.

Verma, Dhirendra. 2001. Administration of Vocational Education. New Delhi: Ashok Kumar
Mittal (Concept Publishing Company).
Wenrich Ralph C, J Willian Wenrich, J Calloway, 1988, Administrasi of Vocational
Education. American Technical Publisher Inc Homewood Hlinois 60430

Young, L. E., & Paterson, B. L. (2007). Teaching Nursing: Developing A Student-Centered


Learning Environment. London: Lippincott Williams & Wilkins.

Yu, Xi. 2013. A Comparative Review on Chinese Vocational Education and Training
System. The Online Journal of New Horizons in Education Volume 3, Issue 2 (2013),
1-7.

Anda mungkin juga menyukai