Anda di halaman 1dari 235

Accelerat ing t he world's research.

filsafat ilmu dalam kajian hukum


firdaus achmad

Related papers Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

J U R N A L I L M I A H LEX PUBLICA ASOSIASI PIMPINAN PERGURUAN T INGGI HUKUM INDONESIA


Ali Dahwir Dahwir

Bunga Rampai Teori Hukum Dan Implement asinya


Tomy Michael

Bunga Rampai Menelaah Relevansi Dan Kemut akhiran Hukum Kont rak Indonesia Melalui St udi Perban…
Tomy Michael
BUNGA RAMPAI

POSBAKUM
ANTARA TEORI
DAN PRAKTEK

EDITOR: FAIZAL AMIN


BUNGA RAMPAI POSBAKUM
ANTARA TEORI DAN PRAKTEK

Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan


Hak Cipta dilindungi undang-undang
All Right Reserved
(c) 2014, Indonesia: Pontianak

Editor:
Faizal Amin

Layout dan Cover


Setia Purwadi & Fahmi

Diterbitkan oleh IAIN Pontianak Press


Jalan Letjend. Suprapto No. 19 Telp./Fax. 0561-734170
Pontianak, Kalimantan Barat

Cetakan Pertama, Desember 2014

BUNGA RAMPAI POSBAKUM


ANTARA TEORI DAN PRAKTEK
iv + 230 halaman: 160mm x 240 mm

Dilarang mengutif dan memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa
seizin tertulis dari penerbit

Sanksi pelanggaran pasal 72:


Undang-undang nomor 19 Tahun 2002 Tentang Tentang Hak cipta:
(1) Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimak-
sud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana pen-
jara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan atau denda paling sedikit Rp.1000.000,-
(Satu Juta Rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp. 5.000.000.000,- (Lima Miliar Rupiah)
(2) Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, meng-edarkan, atau menjual
kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana di-
maksud dalam ayat (1), dipidana dengan penjara paling lama (5) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp. 500.000.000,- (Lima Ratus Juta Rupiah).
DAFTAR ISI

PENGANTAR.................................................................................iii
DAFTAR ISI....................................................................................iii

Pendekatan Bahasa Kritis Sebagai Setrategi Pembelajaran Literasi


Media
Oleh: Sultan, M.A...............................................................................1

Laundry Q: Korelasi Antara Ancaman Klausula Baku Dan Kritik


Terhadap Undang-Undang Perlindungan Konsumen
Oleh: Rahmat, SH, MH.....................................................................9

Problematika Muamalah Di Daerah Perbatasan


MDGs 2015
Oleh: Dr. H. Hamka Siregar, M. Ag................................................47

Fenomena Sosial, Fakta Sosial Dan Fakta Hukum


Oleh: Dr. M. Hasan, M.Ag..............................................................85

Filsafat Ilmu
Oleh: Dr. Firdaus Achmad, M.Hum..............................................101

Hukum Dan Kontrol Sosial


Oleh: H. Syaiful Ilmi, M.S.I...........................................................119

iii
Hukum Dan Perubahan Sosial
Oleh: Dr. Dahlia Haliah.................................................................151

Hukum Islam, Fiqih Dan Syariah


Oleh: Dra. Hj. Wagiyem, M.Ag.....................................................193

Perempuan Dalam Belitan Fikih


Oleh: Ridwan..................................................................................201

Kedudukan Anak di luar Nikah dalam UU Perkawinan


Oleh: Sukardi, SH , M.H...............................................................217

iv
PENDEKATAN
BAHASA KRITIS SEBAGAI SETRATEGI
PEMBELAJARAN LITERASI MEDIA

Oleh:
Sultan, M.A

Abstrak
Semakin hari, semakin marak dan semakin banyak
kekerasan yang dilakukan oleh anak-anak. Hal ini salah satunya
disebabkan adanya tayangan-tayangan kekerasan yang
disiarkan melalui media. Padahal anak-anak belum memiliki
imunitas terhadap program-program nega f yang terselip dalam
tayangan televisi. Sebagai upaya untuk meminimalisasi dampak
nega f dari media terhadap perkembangan anak-anak, maka
dibutuhkan pembelajaran media yang berbasis pendekatan
bahasa kri s, salah satunya dapat dilakukan melalui interaksi
dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia paradigma
kri s. Tulisan ini bertujuan mendiskripsikan relasi bahasa media
yang mempengaruhi ngkah laku anak/siswa. Dan menawarkan
konsep atau strategi pengembangan pembelajaran literasi
media melalui pendekatan bahasa kri s.

Pendahuluan
Pertumbuhan dan perkembangan media sosial menambah
ruang bermain bagi anak-anak Indonesia untuk mengisi waktu
sehari-harinya, dan dengan dibanjirinya keseharian anak-anak
dengan dunia teknologi menghadirkan budaya baru dalam dunia
anak-anak masa sekolah. Hal ini terlihat dalam kesehariannya,
anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu di depan Televisi
(TV) dibandingkan menghabiskan waktu untuk membaca
buku. Fenomena ini sudah jamak terjadi di kalangan anak-anak
1
Indonesia, baik di daerah perkotaan maupun daerah pedesaan,
dan fenomena ini juga sudah dianggap biasa oleh para orang tua.
Tingginya intensitas anak Indonesia menonton televisi
menyebabkan terjadinya adopsi budaya media dalam interaksi
anak-anak dengan sesamanya dan model interaksi anak dengan
orang tua. Tingginya intensitas anak-anak Indonesia dalam
menonton televisi selaras dengan apa yang dikemukakan oleh
Sirulhak bahwa, anak-anak Idonesia menonton televisi selama
30-35 jam, atau 1560-1820 jam setahun. Angka ini jauh lebih
besar jika dibandingkan dengan jam belajar di sekolah dasar yang
dak lebih dari 1000 jam/tahun. Maka ke ka ia menginjak masa
SMP, ia sudah menyaksikan televisi selama 15.000 jam/tahun.
Adapun waktu yang dihabiskan untuk belajar dak lebih dari
11.000 jam saja. Kesimpulannya, lebih banyak waktu dihabiskan
untuk menonton televisi daripada belajar atau membaca buku.
Hal ini menjadi buk bahwa, ada beberapa stasiun televisi
yang berpotensi melahirkan pengaruh nega f kepada pemirsa/
penontonnya. Anak-anak Indonesia menghabiskan banyak waktu
untuk menonton acara televisi. Masuknya pengaruh-pengaruh
nega f acara televisi kepada pemirsa, terutama anak-anak,
sebenarnya, bukan semata-mata karena citra tayangan acara
televisi itu, tetapi juga disebabkan oleh ngkat literasi masyarakat
Indonesia, termasuk anak-anak terhadap media masih rendah.
Dalam keadaan ngkat literasi media bagi anak-anak
rendah maka peluang terpengaruhnya anak-anak oleh program
acara televisi menjadi nggi. Oleh sebab itu dibutuhkan imunitas
atau kekebalan terhadap pengaruh-pengaruh nega f televisi,
sehingga anak-anak di samping dapat menikma program tv
sebagai hiburan, mereka juga memiliki bekal dalam proteksi
diri dalam menagkal pengaruh-pengaruh nega f media. Sistem
imunitas ini perlu ditanamkan pada anak-anak dengan memulai
melaksanakan pembelajaran literasi media dengan pendekatan
bahasa kri s. Di samping itu juga, tulisan ini bertujuan untuk
memperlihatkan relasi antara media dan kekerasan simbolik, dan
menawarkan konsep pendekatan bahasa kri s dalam memahami
literasi media.

2
KEKERASAN SIMBOLIK DALAM MEDIA
Di beberapa media menampilkan kekerasan-kekerasan
simbolik, yang kemudian diadaptasi langsung oleh anak-anak
dalam dunia keseharian mereka. Hal ini banya terungkap
dari beberapa kejadian seper apa yang dilakukan oleh Reza,
seorang siswa Sekolah Dasar menjadi korban, setelah temannya
memperak kkan adegan smack down kepadanya.
Munculnya beberapa dampak yang dilahirkan oleh media,
pada umumnya dapat dilihat sebagai akibat, salah satunya,
dari kurangnya pemahaman orangtua dalam mengatur dan
menjembatani interaksi anak dengan televisi.
Jika diurai lebih rinci, kekerasan dokumen juga merupakan
penampilan gambar kekerasan yang dipahami pemirsa dengan
mata telanjang sebagai dokumentasi atau rekaman fakta
kekerasan. Termasuk dalam kekerasan ini, yaitu pembunuhan,
pertengkaran, perkelahian, tembakan atau berupa situasi konflik,
luka, tangisan dan sebagainya. Kekerasan fisik menunjukkan
kepemilikan kepada dunia yang mungkin ada, yang menjadi
bagian dari dunia riil atau faktual. Sebagai contoh, kisah fiksi
berupa film, komik, dan iklan. Adapun kekerasan simulasi yaitu
kekerasan yang berasal dari duni virtual, misalnya permainan
video dan permainan online.
Sampai di sini bisa dipahami, media memiliki peran
yang sangat kuat dalam mengonstruksi kekerasan sekaligus
menimbulkan banyak kasus kekerasan. Hal ini terus diperparah
dengan kondisi pada masyarakat, terutama anak-anak, budaya
baca belum terbentuk, sementara budaya menonton televisi
sudah sedemikian kuat. Di sisi lain, kesempatan orangtua
dalam mendampingi kehidupan anak sehari-hari telah semakin
berkurang akibat pola hidup masyarakat moderen yang menuntut
ak vitas di luar rumah.

PENDEKATAN BAHASA KRITIS DAN LITERASI MEDIA


Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang sistem Pendidikan Nasional menyatakan, “pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan peroses pembelajaran agar peserta didik secara

3
ak f mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spritual keagamaan, pendidikan diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan negara”. Rumusan undang-undang di
atas, secara dak langsung, menggariskan dengan cukup jelas
bahwa pendidikan literasi media sangat sesuai dengan tujuan
sistem pendidikan nasional.
Literasi media merupakan is lah yang merujuk pada
konsep bagaimana agar masyarakat memiliki wawasan sekaligus
sikap bijak dalam berinteraksi dengan media. Dengan wawasan
dan sikap tersebut maka diharapkan efek-efek nega f media
akan dapat dieliminasi. Di Indonesia, literasi media sering
diar kan dengan melek media. Namun, dalam tulisan ini,
is lah yang dipakai adalah literasi media. Pemilihan is lah ini,
selain karena lebih bernuansa akademis, juga menunjukkan
secara dak langsung bahwa konsep literasi media berbeda
dengan pendidkan media. Dalam tulisan ini, konsep literasi lebih
menunjukkan sikap kri s (ak f) sementara konsep pendidikan
media lebih pada sikap menerima (pasif). Pendidikan media
merupakan bagian dari literasi media, sementara media literasi
bukan bagian dari pendidikan media (media educa on).
Masalah melek media muncul karena ke dakmampuan
orang menafsirkan konstruksi realitas melalui bahasa.
Sehubungan dengan itu, upaya untuk menerapkan literasi media
memiliki keterkaitan yang erat dengan bagaimana memanfaatkan
teori atau paradigma bahasa dak sebatas pada pengetahuan
teknis untuk memahami struktur internal kebahasaan. tetapi
lebih dari itu bagaimana menghubungkan ekspresi-ekspresi
bahasa dalam hubungannya dengan konteks pemakaian bahasa
itu dalam ruang-ruang sosial.
Sehubungan dengan itu, dalam hal ini, pendekatan bahasa
yang paling tepat untuk menumbuhkan sikap kri s dak lain
adalah pendekatan bahasa kri s. Pendekatan kri s merupakan
satu pendekatan yang lazim dan cukup dikenal dalam ilmu-ilmu
sosial humaniora, yang lahir atas prakarsa beberapa ilmuan dari
mazhab Frankfurt. Pendekatan ini mengandaikan bahwa dunia
sosial daklah semata-mata seper apa yang tampak oleh mata.

4
Dengan demikian, adanya kemiskinan, marjinalisasi, dan bentuk-
bentuk ke dakadilan lainnya, bukan semata karena mereka
dak mampu bekerja, tetapi karena dioengaruhi oleh sistem
birokrasi. Dalam hubungannya dengan bahasa, ekspresi verbal
dianggap dak bebeas nilai, sehingga apapun bentuk ekspresi
verbal itu patut untuk dicurigai karena diyakini sebagai tempat
bersembunyinya ideologi.
Sebagai upaya pemebelajaran literasi media, pembelajaran
bahasa kri s atau aspek-aspek bahasa kri s akan mengantarkan
siswa untuk dapat memahami bentuk-bentuk ekspresi verbal
yang dak bebas nilai tersebut. Nilai dalam ar bahwa, nilai-
nilai kekerasan (simbolik) yang tercermin dalam bentuk-bentuk
ekspresi verbal bahasa tersebut. Pada k ini, bahasa memiliki
peran pen ng dalam perubahan-perubahan sosial melalui
rekayasa pembelajaran bahasa.

STRATEGI PEGEMBANGAN PEMBELAJARAN


Pemebelajaran literasi media yang terintegrasi dalam
kurikulum mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia sangat
mungkin dilakukan dengan berbagai pendekatan. Salah satu
strategi pembelajaran litersasi media dapat dilakukan dengan
pendekatan mikro. Pendekatan mikro yang dimaksud dalam
hal ini adalah dengan mengintegrasikan pembelajaran literasi
media melalui mata pelajaran Bahasa dan Sasatra Indonesia.
Sehubungan dengan itu, perencanaan pembelajaran hendaknya
didesain sedemikian rupa sehingga tetap mengacu pada prinsip-
prinsip dasar pembelajaran Bahasa dan Sasatra Indoesia.
Sehubungan dengan itu juga, perlu diperhitungkan ngkat
usia yang menjadi subjek pembelajaran, misalnya untuk siswa SD.
Anak SD masih dalam taraf berpikir kongkret, dengan demikian,
materi dan konsep yang diberikan harus diawali dengan hal-hal
yang kongkret. Oleh sebab itu sumber-sumber belajar seyogyanya
disesuaikan dengan ngkat perkemangan anak/siswa.
Yang lebih pen ng dalam melaksanakan pembelajaran
literasi yang terintegrasi dalam mata pelajaran Bahasa dan
Sasatra Indoesia ialah mencari sumber standar kompetensi dan
kompetensi dasar yang relevan dalam kurikulum pembelajaran

5
Bahasa dan Sastra Indonesia.
Adapun langkah-langkah pengembangan materi literasi
media dapat dilakukan dengan cara:
1. Mengiden fikasi bentuk-bentuk dan kategori kekerasan dalam
media
2. Mengklasifikasikan bentuk-bentuk kekerasan dalam media
berdasarkan jenis dan sumber medianya
3. Menyusun materi pembelajaran BI yang berwawasan literasi
media
4. Menata silabus materi pembelajaran BI berwawasan literasi
media
5. Menata materi BI yang berwawasan literasi media, dan
menyusun draf bahan ajar bahasa dan sastra Indonesia
berwawasan literasi media.
Perlu diketahui bahwa ngkat literasi media dan ngkat
literasi kri s siswa merupakan dua hal yang berbeda. Tingkat
literasi kri s terkait dengan kemampuan memahami atau
berbahasa kri s, atau memahami aspek-aspek bahasa kri s.
Tingkat literasi media terkait dengan kemampuan memahami
dan menilai pesan-pesan media serta kemampuan berinteraksi
dengan media secara bijak.
Sehubungan dengan itu, hasil pembelajaran literasi
media mengandung ga konsep, yaitu tercapainya kompetensi
pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Kemudian
tercapainya kompetensi kri s terkait dengan aspek-aspek
pemahaman bahasa kri s, dan kompetensi literasi media.
Dalam hubungannya dengan indikator literasi kri s, dan literasi
media maka diharapkan, misalnya siswa dapat memahami
dan mendeteksi adanya 1) penggunaan distorsi informasi, 2)
penggunaan drama sasi fakta palsu, 3) menggunakan bahasa
yang membunuh karakter, 4) pesan yang mengandung kekerasan,
dan 5) pesan yang meracuni pikiran anak.

PENUTUP
Mengingat interaksi anak dengan media cukup nggi,
bahkan lebih nggi dibandingkan dengan jumlah jam belajar
mereka di se kolah maka pengaruh nega f media, terutama

6
televisi, terhadap anak dak bisa dielakkan. Untuk itu, anak-
anak usia sekolah hendaknya dibekali dengan sistem imunitas
terhadap pengaruh media yang dapat diberikan di sekolah.
Persoalannya, sejauh ini belum ada kurikulum khusus mengenai
literasi media yang diharapkan bisa menopang kemampuan anak
dalam menangkal pengaruh-pengaruh nega f media. Untuk itu,
salah satu langkah yang bisa dipakai dalam pembelajaran literasi
media ialah melalui pengintegrasiannya dengan mata pelajaran
di sekolah, misalnya melalui mata pelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A. Chaedar. 2000. Poli k Bahasa dan Pendidikan.


Bandung: Rosdakarya.
Barthes, Roland. 2007. Petualangan Semiologi (Terjemahan).
Yogyakarta: Indonesia.
Bungin, Burhan. 2008. Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta:
Kencana.
Panggaribuan, Tagor. 2008. Paradigma Bahasa. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Hariyatmoko. 2007. E ka Komunikasi: Manipulasi Media,
Kekerasan, dan Pornografi. Yogyakarta:Kanisius.
Hamad, Abnu. 2004. Konstruksi Realitas Poli k dalam Media
Massa. Jakarta: Gramit.
Sobur, Alex. Semio ka Komunikasi. Bandung: Rosdakarya.

7
8
LAUNDRY Q: KORELASI ANTARA
ANCAMAN KLAUSULA BAKU DAN
KRITIK TERHADAP UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN
Oleh: Rahmat, SH, MH.

Abstrak
Klausula baku merupakan akumulasi dari faktor bisnis dan
non-bisnis, dan mengiku pola seragam. Asas-asas kontrak
perlindungan konsumen, baik yang diperkenalkan oleh UU
Nomor 8 Tahun 1999 maupun oleh para ahli, belum menjiwai
kontrak baku dan klausula baku. Akibatnya, kenda Laundry Q
mengombinasi 3 ( ga) asas kontrak, namun komposisi klausula
bakunya terdiri dari klausula eksonerasi dan terlarang. Selain
mengandung kelemahan-kelemahan internal, pengawasan UU
ini lemah, apalagi penegakkan hukumnya. Klausula baku yang
dilarangnya hanya menyentuh bagian kecil klausula rumusan
pelaku usaha.Lembaga ekseku f dan legisla f harus ber ndak.
Ser fikasi klausula baku, revisi Pasal 18 UU Nomor 8 Tahun 1999,
dan pengujian materil pasal tersebut ke Mahkamah Kons tusi
perlu dilakukan.

Kata kunci: Asas kontrak, klausula baku, klausula terlarang,


klausula eksonerasi, Laundry Q, Pasal 18 UU Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen

PENDAHULUAN
Dalam disertasinya yang sudah dibukukan, Hernoko
mengatakan suatu kontrak berawal dari perbedaan atau

9
ke daksamaan kepen ngan para pihak.1 Kontrak mempertemukan
dan mengawal kesetaraan kepen ngan, mengadili dan membebaskan
para pihak dari ke dakadilan. Kontrak meniscayakan kebebasan,
sebab hanya melalui kebebasan para pihak akan berkedudukan
seimbang dan berkeadilan. Penyimpangan dari asas kebebasan
berkontrak dapat menimbulkan sanksi perdata dan pidana.2 Namun
di dalam prak k kontrak modern, banyak ditemukan model kontrak
baku yang cenderung berat sebelah, dak seimbang, dan dak adil,3
karena isinya telah diformulasikan oleh satu pihak dalam bentuk
formulir-formulir.4 Hanya segelin r hal saja yang biasanya belum
dibakukan.5 Aturan atau ketentuan atau syarat sebuah kontrak
merupakan klausula yang menentukan hubungan antara pelaku
usaha dan konsumen, hak dan kewajiban. Kalau klausula kontrak
telah dipersiapkan dan ditetapkan lebih dahulu oleh pelaku usaha,
sementara konsumen hanya diminta menyetujui dan memenuhinya
saja, maka klausula itu disebut klausula baku. Pasal 1 ayat 10 UU
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menyatakan:
“Klausula baku adalah se ap aturan atau ketentuan dan
syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan
terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang
dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian
yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.”
Pembakuan klausula cenderung menimbulkan masalah.
Pertama, karena klausula baku seringkali merugikan pihak yang
berada pada posisi lemah dan, kedua, karena kesulitannya untuk
mewujudkan asas kebebasan, keseimbangan, dan keadilan
bagi para pihak. Jika menyimpangi asas kebebasan berkontrak,
maka klausula baku bertentangan dengan Pasal 1338 ayat
1 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam
Kontrak Komersial, (LaksBang Mediatama Yogyakarta bekerjasama
dengan Kantor Advokat “Hufron & Hans Simaela Surabaya, 2008), 1.
2 Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen, (Bandung: PT Citra Aditya Bak ,
2009), 33-36.
3 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, 2.
4 Man S Sastrawidjaja, Bunga Rampai Hukum Dagang, (Bandung: Alumni,
2005), 175.
5 Misalnya jenis, harga, jumlah, tempat, waktu dan spesifikasi lain dari
objek perjanjian. Sutan Remy Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak dan
Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit
Bank di Indonesia, (Jakarta: Ins tut Bankir Indonesia, 1993), 66.

10
(1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Jika
menyimpangi asas keseimbangan dan keadilan, maka klausula
baku bertentangan dengan Pasal 2 Undang-Undang (UU) Nomor
8 Tahun 1999. Tidak menutup kemungkinan klausula baku
yang disodorkan di sekeliling masyarakat, dan disetujui untuk
memenuhi hajat keseharian, misalnya menyuci pakaian (laundry),
adalah klausula baku yang dak melindungi kepen ngan
konsumen. Klausula baku Laundry Q yang bertempat di Kota
Pon anak, misalnya, dirumuskan tanpa melibatkan konsumen.
Terhadap isi dan format klausula itu, konsumen dak diberi
kesempatan untuk mengusulkan perubahan. Kosumen cukup
memberikan persetujuan dengan cara menandatangani kontrak
baku dan klausula baku yang sudah tersedia.
Klausula baku Laundry Q tentunya dibuat dan dirumuskan
dengan alasan-alasan tertentu yang disesuaikan dengan faktor
kepen ngan dan rasionalitas bisnis. Namun klausula yang
disodorkan kepada konsumen itu dak dapat mengelak dari
penilaian norma f UU Nomor 8 Tahun 1999. Sebabnya ialah
karena pelaku usaha wajib mematuhi ketentuan-ketentuan
tentang klausula baku seper disebutkan dalam Pasal 18 ayat
(1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UU Nomor 8 Tahun 1999.
Ketakterelakkan norma f belum sepenuhnya membuk kan
UU tersebut serba lengkap, serba sempurna, dalam rangka
melindungi kepen ngan konsumen. Kelemahan suatu peraturan
hukum, atau peraturan perundang-undangan, sedari awal
sudah disadari oleh para ahli hukum, bahkan oleh para perumus
(legislator) sendiri. Tak mengherankan jikalau suatu peraturan
bisa diubah, direvisi, dibatalkan, dicabut, dihapus, dan berbagai
bentuk kemungkinan legalitas lainnya. Konon pula objek yang
diaturnya bersifat dinamis dan berubah mengiku perkembangan
seper halnya perlindungan konsumen.
Dilemanya adalah UU Nomor 8 Tahun 1999 merupakan
satu-satunya peraturan perundang-undangan yang tersedia,
masih berlaku hingga sekarang, dan oleh karenanya paling tepat,
untuk mengeksaminasi klausula baku, sementara pada saat
yang sama suatu peraturan perundang-undangan memendam
kelemahan. Keadaan dipersulit oleh lemahnya peranan ins tusi
kepemerintahan, yang berwenang dan berhubungan langsung

11
dengan kegiatan usaha milik masyarakat, dalam memberikan
jaminan terhadap ancaman klausula baku yang dak melindungi
konsumen. Sudah semes nya dilema korela f ini menemukan
jalan keluar. Tujuan pokoknya ialah melindungi konsumen, pelaku
usaha, dan pihak lain yang berkepen ngan, baik melalui klausula
baku maupun melalui UU Nomor 8 Tahun 1999.

KLAUSULA BAKU: TEORI, ASAS, NORMA DAN BUKTI


ILMIAH
Mewaspadai klausula baku, secara teori s, adalah
kewaspadaan untuk melindungi konsumen. Pepatah lama,
bahwa pembeli (konsumen) bagaikan sang raja, hendak
diwujudkan lagi setelah pelaku usaha merajai tahta kontrak dan
klausula bisnis modern. Kewaspadaan teori s untuk melindungi
konsumen muncul dari pengalaman pahit bisnis dan industri,
kemudian menyita perha an studi-studi hukum. Ada ga teori
terkenal, jikalau bukan paling berpengaruh dalam perlindungan
konsumen: let the buyer beware, the due care theory, dan the
privity of contract.6 Teori let the buyer beware atau caveat emptor,
yang secara harfiah berar “biarkan si pembeli berha -ha ”,
dianggap embrio kelahiran sengketa transaksi konsumen. Teori
ini mengandaikan pelaku usaha dan konsumen berkedudukan
seimbang karena dibentuk oleh mekanisme pasar. Proteksi
eksternal tak diperlukan. Jika konsumen mengalami kerugian,
maka penyebabnya ialah kekeliruan konsumen, karena menurut
prinsip keperdataannya pihak yang wajib berha -ha adalah
konsumen. Bukankah klausula baku sudah tersedia! Teori ini
mengandung beberapa kelemahan atau kri k. Pertama, peluang
pelaku usaha untuk menutup-nutupi informasi produk berkali-kali
lebih besar ke mbang ke dakmampuan konsumen mengakses
informasi. Kedua, dalih pelaku usaha untuk menjus fikasi dirinya
lebih besar ke mbang konsumen.
Teori the due care theory menyatakan, pelaku
usaha mempunyai kewajiban untuk berha -ha dalam
memasyarakatkan produk (barang/ jasa). Pelaku usaha dapat
disalahkan kalau dia terbuk melanggar prinsip keha an-ha an.

6 Ke ga teori ini diku p dan diparafrasekan kembali dari Shidarta, Hukum


Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT. Grasindo, 2000), 50-52.

12
Kunci perlindungan konsumen terletak pada kemampuan
konsumen untuk membuk kan kesalahan pelaku usaha atau
pelanggarannya terhadap prinsip tersebut. Masalahnya ialah
konsumen mengalami kesulitan untuk membuk kan kelalaian
pelaku usaha yang memiliki kekuatan ekonomis, poli s dan
sebagainya. Kelemahan lain teori the due care theory ialah
ke daksesuaiannya dengan hukum pembuk an di Indonesia.
“Barangsiapa mendalilkan mempunyai suatu hak atau untuk
meneguhkan haknya atau membantah hak orang lain,
atau menunjuk pada suatu peris wa, maka dia diwajibkan
membuk kan adanya hak atau peris wa tersebut” (Pasal 1865
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Ketentuan ini jelas
menyulitkan konsumen.
Kewajiban pelaku usaha untuk melindungi konsumen
sangat ditekankan oleh teori the privity of contract, asalkan
saja di antara dua pihak telah terjalin hubungan kontraktual.
Kewajiban melindungi konsumen diakibatkan oleh kontrak.
Kontrak akan mendasari dan membatasi kewajiban pelaku
usaha. Hal di luar rumusan kontrak dak dapat dimintakan
pertanggungjawabannya. Kenda sangat memperha kan
kosumen, namun teori the privity of contract memiliki kelemahan.
Pertama, sebuah kontrak seringkali dibuat berdasarkan
kemauan pelaku usaha. Kontrak baku dan klausula baku adalah
buk ke dakberdayaan konsumen menghadapi dominasi
pelaku usaha. Kedua, pelaku usaha berpeluang menghilangkan
kewajiban yang seharusnya dibebankan kepadanya. Ke ga,
pelaku usaha bisa saja hanya merumuskan kesalahan prinsipil
dalam kontrak, sedangkan kesalahan lain, yaitu kesalahan fatal
menurut konsumen, dianggap kesalahan kecil. Klausula baku
seringkali memuat subjek fikasi kesalahan, yaitu kesalahan
perspek f pelaku usaha sendiri.
Mewaspadai klausula baku bukan dengan semata-mata
mengembalikan konsumen sebagai raja, melainkan dengan
memeriksa asas-asas hukum kontrak yang mendasarinya. Tidak
ada hukum tanpa asas-asas hukum, baik karena asas-asas tersebut
memberikan makna e s peraturan hukum maupun tata hukum.7

7 Yusuf Shofie, Pelaku Usaha, Konsumen, Dan Tindak Pidana Korporasi


(Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), 25.

13
Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, menurut Shofie, mengibaratkan asas
hukum seper “jantung” peraturan hukum. Dalam pembahasan
asas hukum kontrak, menurut Hernoko, Niewenhius
berpendapat asas hukum berfungsi sebagai pembangunan
sistem, menciptakan sistem check and balance, mempengaruhi
hukum posi f, dan mengarah pada proses keseimbangan.8
Hukum memang mengenal beberapa asas yang mendasari
perjanjian secara umum, dan kontrak khususnya. Pertama, asas
kebebasan berkontrak. Se ap orang bebas membuat perjanjian
dengan siapapun, apapun isinya, apapun bentuknya, sejauh dak
melanggar undang-undang, keter ban umum, dan kesusilaan.9
Makna kata “se ap orang” bukan merujuk pada pribadi atau
individu tertentu, melainkan antar pribadi atau antar individu.
Prinsip kebebasan berkontrak memberikan kebebasan bagi para
pihak untuk (1) membuat atau dak membuat perjanjian; (2)
mengadakan perjanjian dengan siapapun; (3) menentukan isi
perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya, dan (4) menentuk
bentuk perjanjian (lisan dan tulisan).10 Jadi di dalam kontrak
para pihak mempunyai kedudukan seimbang dan berkeadilan,
aturan yang mengikat, dan wajib ditaa oleh para pihak yang
membuatnya.
Kedua, asas konsensualisme. Suatu kontrak sudah sah
dan mengikat ke ka tercapai kata sepakat, tentunya selama
syarat sahnya kontrak sudah terpenuhi.11 Karakter universal dari
asas konsensualisme terletak pada unsur kesepakatan, yang
dibentuk oleh penawaran dan penerimaan,12 sekalipun kedua
pihak mengabaikan unsur-unsur formalitas kontrak. Ke ga, asas
daya mengikat kontrak (pacta sunt servanda). Suatu kontrak yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya (Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-undang
Hukum Perdata). Menurut Hernoko, penger an “berlaku sebagai

8 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, 22.


9 Handri Rahardjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka
Jus sia, 2009), 43.
10 Salim. H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di Indonesia
(Jakarta: Sinar Grafika, 2003), 9.
11 Munir Fuadi, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis),
(Bandung: Citra Aditya Bak , 1999), 30.
12 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, 107.

14
undang-undang bagi mereka yang membuatnya” menunjukkan
bahwa undang-undang sendiri mengakui dan menempatkan
posisi para pihak sejajar dengan pembuat undang-undang.13
Keempat, asas i kad baik. Perjanjian harus dilaksanakan dengan
i kad baik (Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum
Perdata). Salim membagi i kad baik menjadi dua. Pertama
adalah i kad baik yang nisbi. Ar nya, i kad baik dapat dilihat
dari sikap dan ngkah laku seseorang. Kedua adalah i kad baik
yang mutlak. Ar nya, penilaian terhadap i kad baik diletakkan
pada akal sehat dan keadilan, dan dibuat ukuran seobjek f
mungkin untuk menilai keadaan tersebut.14 Rusli berpendapat,
i kad baik adalah kejujuran dalam fakta, dalam ndakan, atau
dalam transasksi yang bersangkutan.15
Kelima, asas proporsionalitas. Asas proporsionalitas
berar asas yang mendasari pertukaran hak dan kewajiban
para pihak sesuai proporsi atau bagiannya. Proporsionalitas
pembagian hak dan kewajiban diwujudkan dalam seluruh
proses hubungan kontraktual, baik pra melakukan kontrak,
pembentukan kontrak, hingga pelaksanaan kontrak. Asas
proporsionalitas dak menyoal keseimbangan hasil, tetapi lebih
menekankan proporsi pembagian hak dan kewajiban antar
pihak.16 Menurut Hernoko, asas proporsionalitas pada dasarnya
merupakan perwujudan doktrin “keadilan berkontrak” yang
mengoreksi dominasi asas kebebasan berkontrak yang dalam
beberapa hal justeru menimbulkan ke dakadilan.17 Dalam
kontrak komersial, asas proporsionalitas memiliki 3 ( ga) fungsi,
yaitu (1) menjamin terwujudnya negoisasi kontrak yang fair, yang
dilakukan pada tahap pra kontrak, (2) menjamin kesetaraan hak
serta kebebasan menentukan isi kontrak, yang dilakukan pada
tahap pembentukan kontrak, dan (3) menjamin terwujudnya
distribusi pertukaran hak dan kewajiban sesuai proporsinya,
yang dilakukan dalam pelaksanaan kontrak. Hernoko selanjutnya
berpendapat, jika terjadi kegagalan pelaksanaan kontrak, maka
13 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, 110.
14 Salim. H.S, Perkembangan Hukum, 11.
15 Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1993), 120.
16 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, 29, 293.
17 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, 73.

15
kadar kesalahan harus diukur berdasarkan asas proporsionalitas,
sehingga kesalahan kecil (minor important) dak serta merta
berakibat pada pemutusan kontrak, atau pembebanan gan
rugi terhadap pihak lain.18 Fungsi-fungsi asas proporsionalitas
kiranya dapat pua diberlakukan dalam kontrak jasa, karena “...
batasan yang jelas mengenai kontrak komersial itu sendiri dak
pernah dijumpai.”19 Keenam, asas keseimbangan. Tujuan asas
keseimbangan adalah hasil akhir yang menempatkan posisi para
pihak seimbang (equal) dalam menentukan hak dan kewajiban.
Hasil akhir merupakan pembeda utama asas keseimbangan dari
asas proporsionalitas. Oleh karena itu, untuk menyeimbangkan
posisi para pihak, intervensi dari otoritas negara (pemerintah)
sangat kuat.20 Selain mengatur ketentuan klausula baku dan
menyebutkan lima asas perlindungan konsumen, yaitu asas
manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan
konsumen serta kepas an hukum (Pasal 2 UU Nomor 8 Tahun
1999),21 UU Nomor 8 Tahun 1999 juga mengatur hak (konsumen22

18 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, 293-294.


19 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, 29.
20 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, 61, 66-67.
21 Rumusan ini dirinci oleh Penjelasan Atas UU Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen. Asas manfaat dimaksudkan untuk
mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen harus memberikan manfaat dan sebesar-
besarnya bagi kepen ngan konsumen dan pelaku usaha. Asas keadilan
dimaksudkan agar par sipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara
maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku
usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara
adil. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan
kepen ngan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam ar materiil
dan spiritual. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan
untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada
konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas kepas an hukum
dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen mentaa
hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan
konsumen, serta negara menjamin kepas an hukum.
22 Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 1999 menyatakan hak konsumen adalah:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan mengkonsumsi
barang dan/atau jasa; b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta
mendapatkannya sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang

16
dan pelaku usaha23) dan kewajiban (konsumen24 dan pelaku
usaha25). Menurut Alkostar, UU Nomor 8 tahun 1999 merupakan
indikator untuk melindungi kepen ngan konsumen secara
yuridis. Kepas an perlindungan hukum tersebut mengacu pada
dijanjikan; c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d. Hak untuk didengar
pendapat dan keluhan atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e.
Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. Hak untuk mendapat
pembinaan dan pendidikan konsumen; g. Hak untuk diperlakukan,
dilayani secara benar serta dak diskrimina f; h. Hak untuk mendapatkan
konpensasi gan rugi dan/atau penggan an, apabila barang dan/atau
jasa yang diterima dak sesuai dengan perjanjian atau dak sebagaimana
mes nya; i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangan-
undangan lainnya.
23 Pasal 6 UU Nomor 8 Tahun 1999 menyatakan hak pelaku usaha adalah: a.
Menerima pembayaran sesuai dengan kesepakatan barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan; b. Mendapat perlindungan hukum dari ndakan
konsumen yang dak beri kat baik; c. Hak untuk melakukan pembelaan
diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; d. Hak
untuk rehabilitasi nama baik, apabila secara hukum kerugian konsumen
tak terbuk ; e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
24 Pasal 5 UU Nomor 8 Tahun 1999 menyatakan kewajiban konsumen
adalah: a. Membaca dan mengiku petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa; b. Beri kat
baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c.
Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepaka ; d. Mengiku upaya
penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
25 Pasal 7 UU Nomor 8 Tahun 1999 menyatakan kewajiban pelaku usaha
adalah: a. Beri kat baik dalam melakukan usaha; b. Memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa serta menjelaskan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan; c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar,
jujur dan dak diskrimina f; d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa
yang diproduksi atau diperdagangkan berdasarkan standar mutu barang
dan/atau jasa yang berlaku; e. Memberi kesepatan kepada konsumen
untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta
member jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang
diperdagangkan; f. Memberi konpensasi gan rugi dan/atau penggan an,
atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan; g. Memberi konpensasi gan rugi
dan/atau penggan an apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau
dimanfaatkan dak sesuai dengan perjanjian.

17
perlakuan keadilan antara hak konsumen dan pelaku usaha.26
Menurut UU Nomor 8 Tahun 1999, dak semua klausul
baku diperbolehkan. Ada klausul baku yang dilarang atau
disingkat klausul terlarang. Norma dasar UU yang mengatur
klausula terlarang terdapat dalam Pasal 18 ayat (3):
“Se ap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku
usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2)
dinyatakan batal demi hukum.”
Ketentuan-ketentuan mengenai klausula terlarang dijelaskan
dalam Pasal 18 ayat (1)27 dan (2).28 Apabila suatu klausul baku
sudah dinyatakan batal demi hukum, maka kontrak yang
disepaka oleh pelaku usaha dan konsumen juga dinyatakan
batal. Pembatalan merupakan wewenang lembaga peradilan atau
lembaga peradilan khusus yang ditunjuk untuk melaksanakannya.
Jika klausula baku hendak dihindarkan dari klausula
26 Ar djo Alkostar, Negara Tanpa Hukum, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2000), 327.
27 “(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang
ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan
klausula baku pada se ap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a.
Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; b. Menyatakan
bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang
dibeli konsumen; c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak
penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa
yang dibeli oleh konsumen; d. Menyatakan pemberian kuasa dari
konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun dak
langsung untuk melakukan ndakan sepihak yang berkaitan dengan
barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; f. Mengatur perihal
pembuk an atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa
yang dibeli oleh konsumen; g. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk
mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen
yang menjadi obyek jual beli jasa; h. Menyatakan tunduknya konsumen
kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau
pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa
konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; i. Menyatakan bahwa
konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak
tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli
oleh konsumen secara angsuran.”
28 (2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau
bentuknya sulit terlihat atau dak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit dimenger .”

18
terlarang, maka “Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula
baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini”29 Namun
demikian, klausula terlarang adalah salah satu klausula yang
dikenal dalam norma perlindungan konsumen. Mengingat
sebuah UU bersifat membatasi, maka karakteris k klausula
terlarang juga terbatas. Studi-studi hukum perlindungan
konsumen mengenalkan dan menambahkan klausula lain, yaitu
klausula eksonerasi, yang dipandang lebih luas dan mampu
melindungi konsumen dari klausul-klausul baku yang dak
melindungi konsumen. Menurut Shidarta, klausula eksenorasi
adalah klausula yang mengandung kondisi membatasi atau
bahkan menghapus sama sekali tanggungjawab yang semes nya
dibebankan pada para pihak; produsen/penyalur produk
(penjual).30 Rijken, seper diku p Miru dan Yudo, mendefinisikan
klausula eksonerasi sebagai:
“Klausula yang dicantumkan dalam suatu perjanjian
dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk
memenuhi kewajibannya membayar gan rugi
seluruhnya atau terbatas yang terjadi karena inkar janji
atau perbuatan melanggar hukum.”31
Indikator klausula eksonerasi adalah klausul yang sangat
merugikan konsumen yang umumnya memiliki posisi lemah
jikalau dibandingkan dengan pelaku usaha. Unsur fundamental
klausula eksonerasi semacam ini32 belum atau dak terakomodir
dalam UU Nomor 8 Tahun 1999. Perha kan Tabel 1 di bawah.

29 Pasal 18 ayat (4) UU Nomor 8 Tahun 1999.


30 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen,20.
31 Ahmadi Miru dan Sutarman Yudi, Hukum Perlindungan Konsumen
(Jakarta: Rajawali Press, 2007), 114.
32 “Klausula yang biasanya dimuat dalam perjanjian sebagai klausula
tambahan atas unsur esensial dari suatu perjanjian, pada umumnya
ditemukan dalam perjanjian baku. Klausula tersebut merupakan klausula
yang sangat merugikan konsumen yang umumnya memiliki posisi lemah
jika dibandingkan dengan produsen, karena beban yang seharusnya
dipikul oleh produsen dengan adanya klausula tersebut menjadi beban
konsumen.” Ahmadi Miru dan Sutarman Yudi, Hukum Perlindungan
Konsumen, 114.

19
Tabel 1
Ciri Utama Klausula Terlarang dan Klausula Eksonerasi

Klausula
No Klausula Eksonerasi Contoh
Terlarang
Kekurangan harga jual
Pengalihan barang jaminan yang
1 Tanggung - dilakukan oleh pelaku
Jawab usaha menjadi tanggung
jawab konsumen
Mengatur Jika terjadi perbedaan,
2 Beban - maka perhitungan kami
Pembuk an dianggap benar
Kelebihan dari harga jual
barang jaminan yang
Pengaburan
3 - dilakukan oleh pelaku
bentuk/isi
usaha akan disampaikan
kepada konsumen
Pembatasan Tanggung Film yang hilang/ rusak
4 -
Jawab digan sebesar 1 rol film
Hilang/Kerusakan
Penghilangan
5 - barang di luar tanggung
Tanggung Jawab
jawab kami
Setelah barang yang
dibiayai konsumen
terpasang, barang
6 - Merugikan Konsumen
tersebut menjadi hak
dan di bawah wewenang
kami
Konsumen berjanji
menerima segala
Melemahkan Posisi
7 - kondisi pelayanan sesuai
Konsumen
kemampuan pelaku
usaha
Keterangan:
1. Dalam pengalihan tanggung jawab semes nya pelaku usaha
yang bertanggungjawab terhadap kekurangan nlai barang,
sebab pelaku usaha yang melakukan, misalnya, penaksiran
dan pelelangan barang, bukan konsumen.
2. Pengaburan bentuk antara lain ditulis dengan huruf kecil,

20
warna yang sama dengan tulisan lain, dan biasanya diletakkan
pada posisi yang sulit dibaca.
3. Pengaburan isi antara lain ditulis tanpa menentukan waktu
dan cara.

Adalah menarik, klausula terlarang dan klausula


eksonerasi juga merupakan masalah dalam usaha-usaha yang
dijalankan oleh pemerintah. Peneli an Rahmat, “Analisa Yuridis
Terhadap Klausula Baku Dalam Implementasi Kontrak Bisnis
(Suatu Kajian Perspek f Hukum Perlindungan Konsumen),”
dapat dijadikan contoh.33 Rahmat menganalisis klausula baku
yang dibuat oleh beberapa ins tusi kepemerintahan yang
bergerak di sektor ekonomi, yaitu Perusahaan Daerah Air Minum
(PDAM), Perseroan Terbatas Perusahaan Listrik Negara (PT PLN),
Perseroan Terbatas Telekomunikasi (PT Telkom), dan Perusahaan
Umum (Perum) Pegadaian. Dengan menggunakan perspek f
hukum perlindungan konsumen, Rahmat mengembangkan
pertanyaannya tentang implikasi hukum dari klausula baku yang
dibuat oleh beberapa perusahaan lembaga pemerintah tersebut.
Tesis ini menggunakan pendekatan norma f, berpijak pada aspek
norma (aturan tertulis), dan berfokus pada kajian sis ma ka
hukum. Jenis peneli annya adalah peneli an kepustakaan.
Hasilnya ialah bahwa beberapa klausul baku dalam kontrak yang
dibuat oleh ins tusi-ins tusi pemerintah tersebut berindikasi
klausula terlarang, dan termasuk juga klausula eksenorasi
(klausula berat sebelah).
Rahmawa meneli klausula baku dalam kontrak
pemasangan saluran air PDAM Kota Pon anak.34 Sebagaimana
Rahmat, Rahmawa menggunakan perspek f UU Perlindungan
Konsumen, dan menambahkan spesifikasi perspektual. Rumusan
pertanyaan peneli an Rahmawa , oleh karenanya, lebih
khusus. “Bagaimanakah kontrak baku yang dibuat oleh PDAM
33 Rahmat, “Analisa Yuridis Terhadap Klausula Baku dalam Implementasi
Kontrak Bisnis (Suatu Kajian Perspek f Hukum Perlindungan Konsumen)”,
Tesis Pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Tanjungpura,
Pon anak 2006.
34 Rahmawa , “Klausula Baku Dalam Kontrak Pemasangan Saluran Air PDAM
Kota Pon anak (Tinjauan dari UU Perlindungan Konsumen ),” DIPA-PNBP
Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura, Pon anak 2013.

21
Kota Pon anak di njau dari asas keseimbangan dan Hukum
Perlindungan Konsumen?” Peneli an yang menggunakan
metode pendekatan norma f dengan berpijak pada aspek norma
hukum ini menyimpulkan, bahwa antara PDAM Kota Pon anak
dan pelanggan terjalin kontrak yang dak seimbang. Menarik
diingat, peneli an Rahmawa dilakukan setelah pemberlakuan
UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
mencapai usia 14 (empatbelas) tahun.
Klausula terlarang dan klausula eksonerasi ternyata muncul
dalam kontrak-kontrak baku rumusan perusahan pemerintah.
Pemerintah semes nya telah mengetahui dan menjadi pelopor
rumusan klausula baku yang bebas dari klausula terlarang dan
tentunya bebas dari klausula eskonerasi. Kepeloporan menjadi
krusial bagi usaha-usaha masyarakat, baik usaha kecil atau
mikro, menengah, maupun atas. Sayangnya, klausula terlarang
dan klausula eksonerasi sudah menjalar ke dalam usaha kecil
milik masyarakat seper dibuk kan oleh seorang mahasiswa
yang meneli kontrak baku yang dibuat dan digunakan oleh
Luxor Laundry & Dry Clean, yang beralamat di Kompleks Meran
Indah Pon anak.35 Hasil peneli an Mursalin menyatakan Luxor
Laundry telah melanggar aspek-aspek perlindungan konsumen,
karena ditemukan ke dakseimbangan (hak dan kewajiban)
kontrak, dan diberlakukannya klausula terlarang dan klausula
eksonerasi. Dia bahkan menyatakan kontrak baku Luxor Laundry
melanggar hukum Islam.
Jadi beberapa upaya pembuk an ilmiah tentang klausula
baku yang berhasil dilacak bertemu pada kesimpulan norma f-
posi vis s yang seragam, bahwa klausula baku sektor jasa telah
melanggar asas keseimbangan, menggunakan klausula terlarang
dan klausula eksonerasi. Konsumen belum terlindungi. Buk -
buk ilmiah itu akan dilanjutkan dengan upaya menemukan
faktor atau penyebab dilema “akut” klausula baku sektor jasa,
baik faktor internal, yang bisa diselesaikan oleh pelaku usaha,
maupun faktor eksternal, yang berada di luar kendali pelaku

35 Mursalin, “Asas Perlindungan Konsumen Pada Kontrak Baku Dalam


Tinjauan Hukum Islam (Realitas Kontrak Baku Dari Luxor Laundry
Pon anak)”, Skripsi pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Pon anak, 2012.

22
usaha. Klausula baku Laundry Q akan dijadikan contoh.36 Dengan
menggunakan metode norma f-kri s,37 dilema akut klausula
baku diharapkan menemukan jalan keluar.

KLAUSULA BAKU LAUNDRY Q


Laundry Q terletak di Jalan Putri Candramidi Gg.
Sukarame No. 26 A Pon anak Sejak didirikan pada tahun 2011,
Laundry Q menawarkan jasa kepada masyarakat Kota Pon anak
khususnya dan luar Kota Pon anak umumnya. Laundry Q bukan
saja melengkapi usahanya dengan fasilitas dan instrumen bisnis
ke-laundry-an, melainkan pula dengan syarat legal-formal.
Demikianlah Laundry memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan
(SIUP) Kecil, Izin Gangguan, dan Tanda Da ar Perusahaan
(Perusahaan Perorangan/PO). Semua dokumen legal-formal
ini dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Pon anak. Kelengkapan
dokumen lega-formal merupakan daya tarik khas Laundry Q yang
dimiliki oleh Faiz Amien Jaya, seorang konsultan usaha laundry
di Kota Pon anak. Dari kelengkapan legal-formal dan ketokohan
pemiliknya ini bisa muncul dugaan, bahwa Laundry Q berpotensi
dijadikan sampel pelaksanaan UU Nomor 8 Tahun 1999.
Laundry Q telah menyediakan terlebih dahulu format, isi
dan rumusan kontrak penyucian barang yang galibnya berupa
pakaian, entah pakaian luar (misalnya, kemeja), pakaian dalam

36 Diperlukan waktu 6 (enam) bulan, Juni-Desember 2014, untuk meneli


klausula baku Laundry Q.
37 Metode norma f-kri s berar suatu prosedur peneli an ilmiah untuk
menemukan kebenaran berdasarkan prinsip-prinsip logis ilmu hukum
secara kri s. Prinsip-prinsip logis yang dimaksud pertama-tama merujuk
pada paradigma posi vis s dalam ilmu hukum. Ar nya, mencerma apa
yang dinyatakan oleh peraturan perundang-undangan terlebih dahulu,
yaitu UU Nomor 8 Tahun 1999. Karakteris k paradigma posi vis s dalam
studi hukum memang mengutamakan telaah tekstual. Prinsip berikutnya
ialah melakukan analisis kri s terhadap peraturan perundang-undangan
tersebut. Prinsip kri s di sini dipahami secara terbatas, yaitu menemukan
keterbatasan dan/atau “kelemahan” suatu peraturan perundang-
undangan jikalau dihadapkan pada objek tertentu, klausula baku Laundry
Q, yang mes nya telah diatur oleh peraturan itu sendiri. Jadi prinsip kri s
ini dak dapat dikacaukan dengan apa yang disebut cri cal legal studies
(CLS), atau studi kri s hukum, yang bermaksud membongkar berbagai
macam kepen ngan (interest) dalam peraturan perundang-undangan.

23
(misalnya, kaos dalam), dan pakaian ibadah (misalnya, mukenah).
Dalam “Nota/Bon Laundry Q” disebutkan berbagai jenis barang
lain yang dapat dimintakan jasa penyuciannya kepada Laundry
Q. Nota tersebut juga menyediakan kolom jumlah lembar dan
ukuran berat barang. Ada ga kategori biaya pelayanan yang
ditetapkan Laundry Q, yaitu biaya standar, biaya ekspres dan
biaya kilat.
Calon konsumen yang berminat menggunakan jasa
Laundry Q dapat membawa barang, misalnya beberapa lembar
pakaian pribadi miliknya, yang hendak dimintakan jasanya
kepada Laundry Q, dan membubuhkan tanda tangannya pada
format kontrak yang telah disediakan. Tanda tangan konsumen
merupakan buk persetujuannya terhadap semua hal yang telah
dirumuskan oleh Laundry Q. Kontrak baku yang ditandatangani
oleh konsumen menjadi acuan kedua pihak, sekalipun konsumen
dak terlibat dalam merumuskannya. Dalam Nota/Bon Laundry
Q tercantum klausula kontraktual sebagai berikut:
“PERHATIAN : 1. Pengambilan harus membawa nota/bon.
2. Barang hilang/rusak digan 5x harga laundry. 3. Barang
hilang/rusak karena dak diambil lebih dari 30 hari, dak
ditanggung atau akan disumbangkan. 4. Kerusakan/
luntur/mengkerut karena sifat bahan itu sendiri diluar
tanggungjawab kami. 5. Hak claim berlaku 24 jam setelah
barng diambil. 6. Aturan jaminan diatas dak dapat
diubah dan konsumen dianggap setuju dengan syarat-
syarat diatas.”

FAKTOR KLAUSULA BAKU LAUNDRY Q


Ada 4 (empat) faktor yang mendeterminasi Laundry Q
merumuskan klausula baku usaha jasanya. Pertama adalah faktor
kepen ngan bisnis. Bagi Laundry Q, klausula baku merupakan
modernisasi bisnis jasa. Dilihat dari perkembangan bisnis
jasa, klausula baku adalah bentuk kontraktual yang lebih maju
dan relevan dengan perkembangan dan tuntutan jaman. Jasa
penyucian pakaian kini berubah ke arah profesional, kontraktual,
dan berkarakteris k bisnis. Laundry Q bukan menawarkan jasa
buruh atau pembantu penyuci pakaian, melainkan Jasa Layanan
Binatu Profesional seper tercantum dalam Nota/Bon Laundry Q.

24
Oleh karena itu, tujuan utama Laundry Q adalah bisnis. Memang
benar, dak ada larangan hukum untuk memburu keuntungan
bisnis. Namun mengambil keuntungan dak boleh dimanipulasi
oleh mo f pelaku usaha saja; keuntungan maksimal dengan
biaya seminimal mungkin.38 Relasi antara kepen ngan bisnis
dan hukum merupakan problem klasik. Di satu sisi, diandaikan
kepen ngan bisnis lebih dinamis, dan lebih cepat berubah,
ke mbang kepas an atau ketaatan terhadap hukum. Di sisi lain,
kepen ngan bisnis dan kepas an hukum dak bisa dipisahkan.
“Se ap langkah bisnis adalah langkah hukum,” demikian J. Van
Kan dan J.H. Beekhuis seper diku p Hernoko.39 Langkah hukum
juga berar langkah dalam pra, pembentukan, dan pelaksanaan
kontrak.
Klausula baku yang dirumuskan terlebih dahulu oleh
Laundry Q adalah perwujudan kontraktual yang padanya melekat
dimensi bisnis dan hukum. Pada dimensi bisnis, klausula baku
menunjang kepen ngan bisnis Laundry Q sebagai pengusaha,
misalnya kepas an nominal jaminan. Bagi Laundry Q, kalkulasi
bisnis seharusnya dipertahakan sedemikian rupa, bahkan
dipertahankan dalam rumusan kontrak baku. Maka “...6. Aturan
jaminan diatas dak dapat diubah dan konsumen dianggap
setuju dengan syarat-syarat diatas” (lihat Nota/Bon Laundry Q
nomor 6). Klausula baku memang berupaya menjelaskan hak dan
kewajiban pelaku usaha dan konsumen. Menurut pengalaman
Laundry Q, selama ini mayoritas konsumen bisa memahami atau
memaklumi kontrak dan klausula baku penyucian itu. Memang
pernah ada komplain konsumen yang merasa hak-haknya
diabaikan, namun bukan komplain fundamental terhadap
kepen ngan diri (self-interest) Laundry Q yang diwujudkan dalam
kontrak baku yang diyakini sudah memberikan klausul-klausul
“terbaik” bagi konsumen.
Sekalipun begitu, karena dirumuskan secara sepihak,
klausula kontrak baku Laundry Q sangat sulit menghindari
subjek visme yang melampaui kepen ngan konsumen.
Subjek visme kontrak baku seringkali paralel dengan kerugian

38 Demikian sebagaimana tertulis dalam cover buku Yusuf Shofie, Pelaku


Usaha, Konsumen, tanpa halaman.
39 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, 61.

25
pihak lain. Dalam Nota/Bon Laundry Q disebutkan, bahwa
“...2. Barang hilang/rusak digan 5x harga laundry”, bukan
berdasarkan harga ril atau harga yang adil menurut konsumen
dan Laundry Q. Penetapan jumlah itu dimaksudkan untuk
melindungi kepen ngan konsumen dan Laundry Q sendiri. Jika
dak dipatok, maka sengketa susah ditolak. Klausul nomor 2
itu tampak sejalan dengan ketentuan Pasal 26 UU Nomor 8
Tahun 1999: “Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib
memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepaka dan/atau
yang diperjanjikan.” Kenda demikian, jikalau harga ril barang
lebih besar ke mbang harga penggan an barang hilang atau
rusak, maka konsumen tetap dirugikan. Sebaliknya, jikalau harga
ril barang hilang atau rusak ternyata lebih rendah ke mbang
“...digan 5x harga laundry”, maka Laundry Q akan menderita
kerugian. Subjek visme harga dalam kontrak baku rupanya
berpotensi merugikan dua pihak sekaligus.
Faktor kedua adalah efisiensi kontrak. Bagi Laundry Q,
klausula baku adalah wujud kontraktual yang efisien untuk
mengungkapkan keinginan, penawaran jasa, dan persetujuan
konsumen. Efisiensi kontrak ala Laundry Q sejalan dengan
kompe si pasar yang dihadapinya. Konsumen sebenarnya
memburu ga hal, yaitu kecepatan, bagus, dan murah. Namun
ke ga hal ini dak bisa diperoleh oleh konsumen, dan dak
bisa disiapkan oleh Laundry Q. Oleh karena itu, Laundry Q
memberikan preferensi kepada konsumen untuk memilih satu
atau dua skala prioritas dari yang dapat diperoleh dan disediakan
olehnya. Laundry Q mengis lahkan ke ganya sebagai triangle
bisnis. Maka seke ka kontrak baku disetujui, seke ka itu pula
proses bisnis selesai. Sastrawidjaja benar, bahwa alasan semula
kontrak baku memang alasan efesiensi dan prak s.40 Ciri khas
kontrak semacam itu, menurut Wulansari, ada dua. Pertama,
selalu berupa kontrak tertulis yang substansinya dipersiapkan
terlebih dahulu dan, kedua, disusun dan dipersiapkan oleh
salah satu pihak kemudian diajukan kepada pihak lain untuk
diterima secara utuh.41 Beberapa studi lain menyebutkan aspek-

40 Man S Sastrawidjaja, Bunga Rampai Hukum Dagang, 176.


41 Putu Ayu Wulansari, “Teori Kontrak Emil Durkheim Dikaitkan dengan
Praktek Kontrak Baku atau Kontrak Standar (Contrac of Adhesion)” dalam

26
aspek posi f klausula baku, antara lain memudahkan proses
dan mekanisme bisnis yang semakin kompe f. Namun jikalau
diuji dengan teori let the buyer berware, efisiensi kontrak ala
Laundry Q memiliki risiko atau konsekuensi norma f. Salah
satu sebabnya ialah konsumen dapat meminta tanggung jawab
pelaku usaha tentang kualitas informasi tentang jasa ke-laundry-
an yang disodorkan. Kualitas informasi mendeterminasi pilihan
konsumen. Informasi dan pilihan merupakan dua jenis hak dari
4 (empat) hak dasar konsumen seper dida arkan oleh J.F.
Kennedy.42 Hak-hak dasar konsumen memang sulit diefisiensikan
dalam pembakuan klausula secara sepihak.
Faktor ke ga ialah polarisasi kontrak baku. Laundry Q,
pelaku usaha itu, memasuki pasar ke-laundry-an yang sudah
terlebih dahulu tercipta dan menciptakan hukum-hukumnya
sendiri, seper harga, iklan, dan lain sebagainya. Pasar kompe f
itu juga membentuk pola pembuatan kontrak. Menurut Laundry
Q, usaha laundry umumnya mengacu dan menggunakan kontrak
yang kurang-lebih sama. Ada banyak contoh klausula baku
yang tersebar dan diketahui oleh Laundry Q sebelum secara de
facto menjalankan usahanya. Laundry Q semacam melakukan
perbandingan klausula baku. Beberapa klausul Laundry Q
menyerupai klausula Luxor Laundry & Dry Clean yang menurut
hasil peneli an Mursalin tergolong klausula terlarang dan
klausula eksonerasi. Perha kan klausula sebagai berikut:
“PERHATIAN: 1. Pengambilan harus disertai dengan Bon
dibayar tunai, 2. Bon ini berlaku selama 40 hari dan
Barang yang dak diambil melebihi batas waktu tersebut
dak menjadi tanggung jawab kami, 3. Tanggung jawab
kami atas kerusakan/kehilangan Mak 10 kali pembiayaan
pembersihan & barang yang telah digan menjadi milik
kami, 4. Kalim (sich!) berlaku 24 jam setelah pengambilan
barang, 5. Kerusakan yang terjadi selama proses
Jimly Asshiddiqie dkk (Ed), Beberapa Pendekatan Ekonomi Dalam Hukum,
(Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI, 2003), 49.
42 Menurut Kennedy ada 4 (empat) hak dasar konsumen: (1) hak
memperoleh keamanan (the right to safety); (2) hak memilih (the right to
choose); (3) hak mendapat informasi (the right to be informed); dan (4)
hak untuk didengar (the right tobe heard). Lihat Rahmadi Usman, Hukum
Ekonomi Dalam Dinamika (Jakarta: Jambatan, 2000), 205.

27
pembersihan yang diakibatkan oleh sifat barang seper
luntur, mengkerut/melar atau memudarnya sebagian
warna, dak menjadi tanggung jawab kami.”43
Klausul nomor 1 dan 5 Luxor Laundry di atas, misalnya,
sangat sulit dibedakan dengan klausul nomor 1 dan 4 dalam
Nota/Bon Laundry Q. Tidak ada maksud mengomparasi klausula.
Hal yang hendak ditekankan ialah Laundry Q belum merumuskan
klausul-klausul baku yang fundamental berbeda dari klausul-
klausul baku usaha laundry lain, se daknya usaha laundry yang
pernah menjadi objek peneli an ilmiah. Klasula baku Laundry
Q, dengan demikian, merepresentasikan konvensi kontrak, yang
rela f seragam, di sektor jasa laundry khususnya. Kenda begitu,
Laundry Q masih sanggup menambahkan klausul khas, bahwa
“...3. Barang hilang/rusak karena dak diambil lebih dari 30 hari,
dak ditanggung atau akan disumbangkan.” Menurut Laundry Q,
kalimat “... akan disumbangkan” merupakan hasil kreasi internal,
dak diadopsi dari tempat lain, dan bertujuan mensubs tusi
amal sosial konsumen. Namun, secara keseluruhan, klausula
baku Laundry Q adalah klausula adap f di lingkungannya.
Faktor keempat ialah rendahnya wawasan tentang UU
Nomor 8 Tahun 1999. Rendahnya pengetahuan tentang UU
tersebut menyebabkan klausula baku Laundry Q lebih banyak
mengatur hak ke mbang kewajiban pelaku usaha. Adalah benar,
klausula baku qua klausula baku dak dilarang. Pelaku usaha
boleh merumuskan klausula baku sepanjang dak melawan
atau bertentangan dengan peraturan yang ada.44 Namun karena
hak pelaku usaha mendominasi, maka tanggung jawabnya
mencuat secara eksklusif. Seorang konsumen memang berhak
mengajukan klaim, namun klaim harus sejalan dengan tanggung

43 Lihat Mursalin, “Asas Perlindungan Konsumen”, halaman lampiran.


44 Dalam penger an Widjaja dan Yani, UU Nomor 8 Tahun 1999 dak
melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian baku yang memuat
klausula baku atas se ap dokumen dan/atau se ap perjanjian transaksi
usaha perdagangan barang dan/atau jasa, selama dan sepanjang
perjanjian baku dan/atau klausula baku tersebut dak mencantumkan
ketentuan sebagaimana dilarang dalam pasal 18 ayat (1), serta dak
berbentuk sebagaimana dilarang dalam pasal 18 ayat (2). Gunawan
Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 57.

28
jawab eksklusif Laundry Q, karena “...5. hak claim berlaku 24
jam setelah diambil.” Klausul tentang hak klaim dalam Nota/
Bon Laundry Q berar pembatasan tanggung jawab pelaku
usaha. Kalau eksklusivisme mengerucut pada pembatasan
tanggung jawab, maka karakteris k imuna f pelaku usaha
biasanya mengerucut pada penghilangan tanggung jawab dan
pengalihan tanggung jawab. Contoh karakteris k imuna f adalah
klausul nomor 4 Nota/Bon Laundry Q (“...4. Kerusakan/luntur/
mengkerut karena sifat bahan itu sendiri diluar tanggungjawab
kami.”). Jadi kerusakan atau luntur atau mengkerut disebabkan
oleh sebab tunggal, yaitu bahan atau barang itu sendiri, bukan
pada jasa profesional Laundry Q. Adalah menarik, Laundry Q
secara lisan menyatakan tanggung jawab atas kerusakan, luntur
atau mengkerut seyogyanya dikembalikan kepada pembuat
barang, yaitu pihak lain, atau produsen barang. Katakanlah
pabrik pembuat pakaian. Pernyataan lisan semacam ini, menurut
Pasal 18 ayat (1) huruf a UU Nomor 8 Tahun 1999, merupakan
pengalihan tanggung jawab pelaku usaha. Untunglah, pengalihan
tanggung jawab ini diungkap Laundry Q secara lisan, bukan
tulisan.

ASAS DAN PENYIMPANGAN KLAUSULA BAKU


Dalam menjalankan usahanya, Laundry Q mengandaikan
dirinya sudah menerapkan “asas kebebasan berkontrak”.
Sebabnya ialah dak ada praktek pemaksaan bagi calon
konsumen untuk menyetujui kontrak dan klausula baku Laundry
Q. Calon konsumen bebas berkehendak sebelum mengambil
keputusan. Jadi ada kebebasan merumuskan isi kontrak, ada
pula pula kebebasan melayani dan menentukan konsumen.
Kebebasan pertama dipahami sebagai otonomi pelaku usaha,
sedangkan kebebasan kedua dimenger sebagai kualifikasi yang
diterapkan pelaku usaha kepada konsumen. Karena otonomi
dan kualifikasi, Laundry Q merasa dak perlu melibatkan peran
konsumen. Kebebasan berkontrak yang dipahami dan dijalankan
dak bertentangan dengan hukum.
Kebebasan berkontrak perspek f Laundry Q menyeerupai
asumsi let the buyer beware, bahwa antara pelaku usaha dan
konsumen telah tercipta kedudukan seimbang. Oleh karena

29
itu, kelemahan teori let the buyer beware adalah kelemahan
kebebasan berkontrak perspek f Laundry Q. Bagi konsumen
tertentu, klausula baku yang dirumuskan Laundry Q tampak
sulit diakses, dibaca dan dimenger . Dalam struktur Nota/Bon
Laundry Q, klausula baku ditulis dalam format atau bentuk
tulisan dengan ukuran terkecil jikalau dibandingkan dengan
tulisan lainnya. Klausula baku tersebut juga diletakkan di posisi
paling bawah. Konsumen tertentu dapat mengalami kesulitan
untuk memahami apa maksud dari salah satu klausul Laundry
Q. Kepada siapa atau kelompok sosial mana barang yang hilang
atau rusak atau mengkerut, dan dak diambil oleh konsumen
(lihat klausula baku Laundry Q nomor 3), akan diserahkan?
Apakah barang tersebut bisa disumbangkan kepada Laundry
Q sendiri? Da ar pertanyaan dapat diperpanjang. In nya ialah
pengungkapan klausul baku barulah jelas jikalau konsumen
bertanya langsung kepada Laundry Q. Dalam perspek f UU
Nomor 8 Tahun 1999, klausula baku yang memenuhi unsur-
unsur Pasal 18 ayat (2): “Pelaku usaha dilarang mencantumkan
klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau
dak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya
sulit dimenger ” merupakan klausula terlarang. Selain itu,
dalam klausul “...akan disumbangkan”, konsumen memiliki hak,
antara lain hak untuk mengetahui kepada siapa barang tersebut
diserahkan. Jadi Laundry Q dan konsumen perlu mencapai
kesepakatan-kesepakatan baru sebagai adendum kesepakatan
sebelumnya.
Asumsi lain Laundry Q adalah asumsi kontraktual. Laundry
Q memang mendasarkan klausula baku pada kontrak dan sebatas
kontrak. Kenda tetap memperha kan kepen ngan kosumen
namun, sebagaimana teori the privity of contract, landasan itu
memiliki beberapa kelemahan. Pertama, kontrak dan klausula
baku Laundry Q dibuat berdasarkan kemauan pelaku usaha.
Kedua, Laundry Q berpeluang menghilangkan kewajiban yang
seharusnya dibebankan kepadanya. Ke ga, Laundry Q bisa saja
hanya merumuskan kesalahan prinsipil, sedangkan kesalahan
fatal menurut konsumen dianggap kesalahan kecil.
Perspek f Laundry Q tentang kebebasan dan kontrak
belum sepenuhnya dibangun berdasarkan asas keseimbangan

30
berkontrak sebagaimana diperkenalkan oleh UU Nomor 8 Tahun
1999. Beberapa klausul baku seper dicontohkan sebelumnya
dapat dijadikan indikator tentang ke dakseimbangan kedudukan
konsumen dan Laundry Q. Padahal, menurut Nasu on,
pelaku usaha dan konsumen bagaikan sekeping mata uang
dengan dua sisi berbeda.45 Ada banyak sisi yang menciptakan
ke dakseimbangan itu, seper sisi sosial, ekonomi, maupun
poli k, dan membawa kecenderungan ekploitasi antara pihak
yang kuat (pelaku usaha) kepada pihak yang lemah (konsumen).46
Posisi yang lemah bagi konsumen bisa disebabkan oleh faktor
kebijakan, misalnya melalui perizinan is mewa yang didapat
oleh pelaku usaha tertentu (pemerintah atau swasta), sehingga
kebijakan atau perizinan itu sebetulnya mereduksi, atau bahkan
“menelantarkan”, norma perlindungan konsumen.
Keseimbangan atau kesetaraan posisi pelaku usaha dan
konsumen merupakan unsur terpen ng dalam asas kebebasan
berkontrak, dan merupakan semangat dasar atau asas yang
dipegang oleh UU Nomor 8 Tahun 1999. Menurut Penjelasan
Atas UU Nomor 8 Tahun 1999, maksud dari larangan pada Bab
V Pasal 18 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1999, yang mengatur
tentang ketentuan pencantuman klausula baku, adalah “... untuk
menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku
usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.” Kesetaraan
atau keseimbangan kedua pihak juga bisa dipahami sebagai
per mbangan filosofis UU Nomor 8 Tahun 1999. Salah satu bu r
konsideran UU ini, huruf f, menyatakan bahwa diberlakukannya
UU ini bertujuan untuk: “... mewujudkan keseimbangan
perlindungan kepen ngan konsumen dan pelaku usaha sehingga
tercipta perekonomian yang sehat.” Berdasarkan konsideran
ini, ada 3 ( ga) kepen ngan yang harus diseimbangkan, yaitu
kepen ngan konsume,. pelaku usaha, dan kepen ngan umum
atau kepen ngan bangsa dan negara. Kepen ngan bangsa dan
negara barangkali terkesan abstrak, atau penafsiran hukum yang
terlalu ekstensif (diperluas). Penger an kepen ngan bangsa

45 Az. Nasu on, Konsumen dan Hukum, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1995), 21.
46 Sudaryatmo, Masalah Perlindungan Konsumen Konsumen di Indonesia,
(Bandung: Citra Aditya Bak , 1996), 45.

31
dan negara yang lebih konkrit ialah kepen ngan pemerintah
sebagaimana ditemukan dalam Penjelasan Atas UU Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.47
Kontrak baku Laundry Q lebih menjunjung nggi
kepen ngan pelaku usaha. Kepen ngan pihak kedua, yaitu
konsumen, berada di peringkat kedua dan oleh karenanya dak
berimbang. Hak-hak konsumen yang semes nya melekat pada
prestasi atau tanggung jawab Laundry Q kebanyakan dibatasi
atau dihilangkan. Adapun kepen ngan pemerintah luput dari
perha an. Kepen ngan pemerintah dak tampak baik secara
tulisan (Nota/Bon Laundry Q) maupun lisan (wawancara).
Kalau kontrak baku Laundry Q belum berlandaskan pada
asas keseimbangan, maka kontrak tersebut juga belum
menekankan proporsi pembagian hak dan kewajiban pelaku
usaha dan konsumen secara adil seper dimaksudkan oleh asas
proporsionalitas. Asas proporsionalitas mengoreksi dominasi
asas kebebasan berkontrak yang di dalam beberapa hal justeru
menimbulkan ke dakadilan. Laundry Q memang dak memaksa
konsumen, dan menjalankan usaha ke-laundry-an dengan i kad
baik, khususnya i kad baik yang nisbi seper dipahami oleh
Salim, H.S. Namun kebebasan dan i kad baik yang ditawarkan
kepada konsumen itu hanya dapat dibenarkan di serambi depan
kontrak atau pra kontrak. Ke dakadilan muncul pada tahap
pembentukan dan pelaksanaan kontrak. Sebabnya ialah keadilan
telah ditentukan oleh Laundry Q secara sepihak dan sudah
dicantumkan dalam klausula bakunya, sementara “... konsumen
dianggap setuju dengan syarat-syarat diatas” (Klausul Nomor 6
Nota/Bon Laundry Q).
Keadilan sepihak klausula baku sebetulnya bukan
disebabkan oleh kese aan Laundry Q terhadap asas kebebasan
berkontrak. Sebab makna oten k asas kebebasan berkontrak
adalah kebebasan antar individu, antar pihak, yang melakukan
kontrak secara berimbang dan berkeadilan. Sebuah kontrak
mengandaikan dua individu atau dua pihak memiliki kebebasan
47 “Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan
antara kepen ngan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam
ar materil ataupun spiritual” (Penjelasan Atas UU Nomor 8 Tahun 1999,
pasal 2).

32
yang sama, berimbang, dan adil. Kalau sebuah kontrak hanya
ditentukan oleh kebebasan seseorang atau sepihak, maka kontrak
tersebut lebih tepat disebut berpijak pada asas kebablasan
berkontrak. Jika kontrak baku Laundry Q belum berpijak pada
asas kebebasan berkontrak dan asas keseimbangan, maka
konstruksi hukum kontrak baku Laundry Q sebenarnya berpijak
pada asas-asas lain.
Asas-asas hukum kontrak, menurut Hernoko, pada
dasarnya dak terpisah satu dengan lainnya, namun dalam
berbagai hal saling mengisi dan melengkapi.48 Demikian pula,
bahwa dominasi asas-asas tertentu dalam suatu kontrak sulit
dihindari. Sebuah kontrak, oleh karenanya, terbentuk dari
kombinasi dan dominasi beberapa asas. Dalam kontrak baku
Laundry Q, ada 3 ( ga) asas kontrak yang berkombinasi dan
mendominasi. Pertama, asas i kad baik, se daknya i kad baik
yang nisbi. Kedua, asas konsensualisme. Seper dikemukakan,
karakter universal dari asas konsensualisme ialah penekanannya
terhadap unsur kesepakatan, yang dibentuk oleh penawaran
dan penerimaan, sekali pun kedua pihak mengabaikan unsur-
unsur formalitas kontrak. Penawaran dan penerimaan jasa ke-
laundry-an jelas merupakan prinsip Laundry Q. Penawaran dan
penerimaan itu pula yang menjadi pijakan konsumen melakukan
kesepakatan kontrak. Ke ga, asas daya mengikat kontrak (pacta
sunt servanda). Menurut asas ini, kontrak baku yang dibuat oleh
Laundry Q dan konsumen secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi keduanya. Asas pacta sunt servanda dalam kontrak
baku Laundry Q dak bisa dilihat berdiri sendiri, atau berkekuatan
impera f tersendiri, melainkan berkombinasi dengan asas-asas
lain. Ti k kelemahan asas pacta sunt servanda, jikalau dilihat
berdiri sendiri atau berkekuatan impera f tersendiri, terletak
pada pengujian atau pembuk an sah/ daknya klausula baku
yang dirumuskan oleh Laundry Q menurut peraturan perundang-
undangan. Ti k kelemahan yang sama juga dialami asas-asas lain
jikalau dilihat secara tersendiri.
Asas-asas kontrak yang menjadi landasan Laundry Q jelas
menentukan klausula baku yang dirumuskannya. Klausula baku
dapat dijadikan indikator tentang pelanggaran atau perlindungan

48 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, 89.

33
baik terhadap konsumen maupun pelaku usaha. Perbedaan
persepsi yang menimbulkan sengketa antara konsumen dan
pelaku usaha sangat ditentukan oleh asas dan norma hukum yang
dipegang para pihak. Oleh karena itu, UU Nomor 8 Tahun 1999
menyediakan bab khusus (Bab V) untuk mengatur ketentuan-
ketentuan tentang klausula baku dan menyatakan “Pelaku
usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan
dengan Undang-undang ini,”49 dan mengenalkan 5 (lima) asas
perlindungan konsumen. Jika kelima asas tersebut digunakan
untuk menilai (norma f) kontrak baku yang disepaka oleh
Laundry Q dan konsumen, maka para pihak dapat melihat pada
tahap apa dan bagaimana kesepakatan mereka merujuk kepada
5 (lima) asas tersebut.

Tabel 2
Kontrak Baku Laundry Q Menurut Lima Asas
UU Perlindungan Konsumen
Asas-asas Perlindungan Konsumen
Kontrak Baku Kepas an
No Keseimbangan Keamanan
Laundry Q Hukum (Plus
Manfaat Keadilan (Plus Negara/ dan Negara/
Pemerintah) Keselamatan Pemerintah)
1 Pra Dua Pihak Sepihak - Dua Pihak -
2 Pembentukan Dua Pihak Sepihak - Sepihak -
3 Pelaksanaan Dua Pihak Sepihak - Sepihak -
Keterangan:
1. Keseimbangan pada kolom di atas berar keseimbangan
yang melibatkan kepen ngan negara/pemerintah, bukan
keseimbangan sebagaimana dipahami salah satu pihak atau
kedua pihak sesuai hak dan kewajiban.
2. Kepas an hukum pada kolom di atas berar kepas an hukum
yang melibatkan negara/pemerintah, bukan kepas an hukum
sebagaimana dipahami salah satu pihak atau kedua pihak
sesuai perjanjian mereka.

Tabel di atas menegaskan usaha jasa Laundry Q


bermanfaat bagi pelaku usaha dan konsumen untuk semua
tahapan. Menawarkan atau menggunakan jasa laundry jelas

49 Pasal 18 ayat (4) UU Nomor 8 Tahun 1999.

34
dak bertentangan atau dilarang oleh norma apapun. Keadilan
kontraktual tampak ditentukan oleh satu pihak. Penyebab
utamanya ialah kelemahan posisi konsumen. Pada tahap
pra kontrak, konsumen dak memiliki alterna f lain, kecuali
menyetujui kontrak baku Laundry Q, karena –meminjam kalimat
Shidarta- “... di manapun ia pergi, ia akan disodorkan perjanjian
baku dengan substansi yang hampir sama...”50 Konsumen
akan menemukan klausula ke-laundry-an yang substansinya
hampir sama, sekalipun ia pergi, misalnya, ke Luxor Laundry &
Dry Clean yang terletak di Kompleks Meran Indah Pon anak.
Kelemahan konsumen juga terjadi pada tahap pembentukan dan
pelaksanaan kontrak Laundry Q, sebab konsumen dak memiliki
peluang untuk mengajukan negosiasi atau perubahan klausula.
Kelemahan posisi satu pihak mengakibatkan pihak lain menjadi
penentu keadilan.
Asas keamanan dan keselamatan hanya tampak pada
tahapan pra kontrak seper dilihatkan pada Tabel 2. Adalah
jelas bahwa sedari awal dan berlandaskan pada asas i kad baik,
Laundry Q memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan
kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan
pemanfaatan jasa ke-laundry-an. Dalam konteks perlindungan
konsumen, ancaman terhadap keamanan dan keselamatan itu
barulah muncul pada saat pembentukan dan pelaksanaan kontrak
baku Laundry Q. Jaminan atas keamanan dan keselamatan yang
semula ditawarkan oleh Laundry Q dan diterima konsumen
terancam hilang atau berkurang atau dibatasi oleh klausula baku.
Tabel 2 menunjukkan kepen ngan pemerintah luput dari
kontrak baku Laundry Q. Rumusan klausula baku Laundry Q sama
sekali dak mengindikasikan 2 (dua) asas yang diatur oleh UU
Nomor 8 Tahun 1999 itu. Fakta demikian dapat dijelaskan melalui
dua sebab yang saling terkait. Penyebab pertama ialah Laundry
Q sendiri. Rendahnya wawasan Laundry Q tentang UU tersebut
merupakan salah satu faktor luputnya asas keseimbangan dan
kepas an hukum dalam klausula baku Laundry Q. Faktor internal
lainnya sudah diperlihatkan dalam uraian sebelumnya. Penyebab
kedua ialah pemerintah sendiri. Koreksi terhadap luputnya
asas keseimbangan dan kepas an hukum dalam klausula baku

50 Shidarta, Hukum Perlindungan, 112.

35
Laundry Q adalah koreksi terhadap pemerintah. Pertama,
sosialisasi UU Nomor 8 Tahun 1999 kepada para pelaku usaha
khususnya sangat rendah. Menurut pengakuan Laundry Q, UU
tersebut hanya pernah didengar tanpa dipahami sebagaimana
mes nya.51 Doktrin fiksi hukum, bahwa semua orang harus dan/
atau dianggap mengetahui peraturan yang sudah diberlakukan,
dak relevan untuk dijadikan alasan atau penutup kelemahan
sosialisasi peraturan perundang-undangan. Padahal negara/
pemerintah menegaskan kepen ngannya dalam UU Nomor 8
Tahun 1999.
Kedua, sistem deteksi klausula baku sangat rendah -
jikalau bukan belum pernah ada sejak UU Nomor 8 Tahun 1999
diberlakukan-. Terhadap para pelaku usaha, pemerintah hanya
mau mengatur dan memberikan berbagai macam perizinan.
Laundry Q, misalnya, sudah mengantongi Surat Izin Usaha
Perdagangan (SIUP) Kecil, Izin Gangguan, dan Tanda Da ar
Perusahaan (Perusahaan Perorangan/PO). Pemerintah berhen
pada legalitas-formal usaha, dan mengabaikan legalitas-
formal klausula baku suatu kegiatan usaha. Akibatnya, klausula
baku yang dirumuskan oleh suatu kegiatan usaha bukan
saja melangkahi asas-asas perlindungan konsumen, namun
seringkali pula terjebak ke dalam perangkap klausula terlarang
atau klausula eksonerasi. Hal yang sama dialami oleh Laundry
Q seper sudah dikatakan dan akan dibicarakan lebih lanjut.
Sistem deteksi klausula baku merupakan bagian terpen ng
dalam rangka melindungi pelaku usaha. Pada gilirannya, sistem
deteksi klausula baku merupakan bagian pen ng dalam rangka
melindungi konsumen dan pemerintah. Namun sejak UU Nomor
8 Tahun 1999 diberlakukan belum ditemukan aturan tentang
sistem tersebut.
Ke ga, UU Nomor 8 Tahun 1999 terlalu membebankan
ketentuan klausula baku kepada pelaku usaha. Semua ayat dalam
Pasal 18 UU Nomor 8 Tahun 1999 berkutat pada kewajiban pelaku
usaha. Sentralisme kewajiban pelaku usaha ini mengakibatkan
pelaku usaha memikul beban yang demikian berat. Jika
menggunakan asas keseimbangan, maka Pasal 18 UU Nomor
8 Tahun 1999 dak memberikan ketentuan yang berimbang.

51 Hasil Wawancara dengan Laundry Q.

36
Demikianlah, misalnya, dak ada aturan tentang boleh/ daknya
konsumen merumuskan klausula baku, atau boleh/ daknya
pemerintah merumuskan klausula baku. Seandainya konsumen
boleh merumuskan klausula baku, akibat atau sanksi hukum apa
yang akan dikenakan jikalau klausula baku tersebut bertentangan
dengan UU Perlindungan Konsumen. Asas keseimbangan perlu
diimbangi dengan ketentuan yang sama berimbang untuk
diberlakukan kepada subjek klausula baku, yaitu pelaku usaha
dan konsumen khususnya.
Dari koreksi-koreksi di atas, secara dak langsung
terlihat bahwa ketentuan-ketentuan tentang klausula baku,
yang selama ini diberlakukan, berpotensi melanggar atau dak
melindungi kepen ngan pelaku usaha. Kondisi ini diperparah
oleh rendahnya komitmen pemerintah untuk mengawasi dan
memas kan kepen ngan dirinya sendiri secara berimbang
dalam klausula baku (yang tersebar luas). Beberapa peneli an
berbasis perlindungan konsumen, seper peneli an Rahmat,
Rahmawa dan Mursalin, sudah merekomendasikan urgensi
pengawasan klausula baku. Pengawasan klausula baku bukan
saja lemah menurut fakta keseharian, tetapi terbuk lemah
menurut temuan ilmiah. Padahal UU Nomor 8 Tahun 1999
sudah mengatur soal pembinaan dan pengawasan (Pasal 29 dan
30), Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) disertai
kedudukan, fungsi dan tugasnya (Pasal 31, 32, 33 dan 34),
struktur organisasi dan keanggotaannya (Pasal 35 hingga Pasal
43), bahkan mengatur soal Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat (Pasal 44). Kontrak baku Laundry Q belum
pernah disentuh oleh pembinaan dan apalagi pengawasan.
Oleh karena itu, adalah wajar jikalau kontrak baku Laundry Q
dibangun berdasarkan asas-asas tertentu, atau kombinasi 3
(asas) seper diterangkan di atas, yang bersesuaian dengan
konteks kepen ngan internalnya sendiri dan tuntutan pasar,
namun bukan berdasarkan asas-asas kontrak yang dikedepankan
oleh studi-studi terpercaya tentang perlindungan konsumen.
Ada dua asas kontrak yang sangat direkomendasikan
oleh para ahli untuk dijadikan pijakan dalam konteks melindungi
konsumen, yaitu asas keseimbangan (minus pemerintah/negara)
dan asas proporsionalitas. Kedua asas tersebut dapat dijadikan

37
ukuran untuk melihat sejauh mana kontrak baku Laundry Q
merujuk pada asas-asas kontrak perlindungan konsumen. Seper
halnya pada Tabel 2, pada 3 dan 4 Laundry Q dan konsumen akan
melihat pada tahap apa dan bagaimana kesepakatan mereka
merujuk kepada asas keseimbangan dan asas proporsionalitas.

Tabel 3
Kontrak Baku Laundry Menurut Asas Keseimbangan (Minus
Pemerintah/Negara)
Kontrak Baku Asas Keseimbangan
No Tujuan
Laundry Q Hak Kewajiban
1 Pra Dua Pihak Dua Pihak Hasil Akhir
2 Pembentukan Sepihak Sepihak -
3 Pelaksanaan Sepihak Sepihak -
Berdasarkan 3 hasil akhir dari hak dan kewajiban yang berimbang,
seper dicita-citakan oleh asas keseimbangan, hanya terjadi
pada tahap pra kontrak baku Laundry Q dan konsumen.
Tabel 4
Kontrak Baku Laundry Menurut Asas Proporsionalitas
Kontrak Baku Proporsi Keadilan
No Proses Berdasarkan
Laundry Q Hak Kewajiban
1 Pra Dua Pihak Dua Pihak Asas kebebasan
2 Pembentukan Sepihak Sepihak -
3 Pelaksanaan Sepihak Sepihak -
Seper halnya asas keseimbangan, berdasakan 4 proporsi
keadilan hak dan kewajiban yang semes nya diperoleh pelaku
usaha dan konsumen berdasarkan asas kebebasan berkontrak,
seper dicita-citakan oleh asas proporsionalitas, hanya dialami
oleh Laundry Q dan kosumen pada tahap pra kontrak.
Kontrak baku Laundry Q yang didominasi oleh
ke mpangan, atau penyimpangan, kontraktual pada Tabel 3
dan Tabel 4 merupakan akibat dari kontekstualisasi UU Nomor
8 Tahun 1999 yang ternyata sulit dikontektualisasi oleh usaha
masyarakat, seper halnya Laundry Q. Kelemahan UU Nomor
8 Tahun 1999 juga dikemukakan oleh para ahli. Ada yang
berpendapat, kelemahan UU Nomor 8 Tahun 1999 disebabkan
oleh adanya kesalahpahaman dalam menafsirkan asas kebebasan

38
berkontrak. Asas kebebasan berkontrak dimaknai sebagai
payung kebebasan untuk memasukkan beberapa klausul yang
mengarah pada klausula eksenorasi. Misinterpretasi tersebut
juga mengarah pada pembuatan klausula terlarang. Untuk
menangkis kelemahan ini, Brotosusilo mengajukan beberapa
solusi sebagai berikut:
1. Hukum perlindungan konsumen harus adil bagi konsumen
maupun produsen. Jadi dak hanya membebani produsen
dengan tanggungjawab tetapi juga melindungi hak-haknya
untuk melakukan usaha dengan jujur.
2. Aparat pelaksana hukum harus dibekali dengan sarana yang
memadai dan disertai tanggung jawab.
3. Peningkatan kesadaran konsumen akan hak-haknya.
4. Merubah sistem nilai dalam masyarakat ke arah sikap ndak
yang mendukung pelaksanaan perlindungan konsumen.52
Kalau solusi nomor 3 dan 4 di atas meni kberatkan pada
program sosialisasi perlindungan konsumen, maka solusi nomor
1 dan 2 adalah kri k berkepanjangan semenjak Brotosusilo
menuliskan pandangannya tentang perlindungan konsumen
hingga UU Nomor 8 Tahun 1999 diberlakukan. Kri k tersebut
masih relevan hingga sekarang. Ketentuan tentang klausula
baku, misalnya, terbuk berat sebelah atau memberatkan
pelaku usaha secara sepihak. Sementara itu, aparatur UU ini
belum ber ndak semes nya. Tak heran, sekali lagi, Laundry Q
belum pernah menjamah pembinaan, apalagi pengawasan,
dari aparatur berwenang. Padahal UU Nomor 8 Tahun 1999
dinyatakan mengemban misi perlindungan dan pengamanan
atas kesejahteraan masyarakat dalam segala sektor kegiatan
ekonomi.53 Misi yang mes nya juga menyentuh sektor jasa yang
di dalamnya Laundry Q menjalankan usaha ke-laundry-an ini
justeru dak melindungi dan mengamankan masyarakat, baik
masyarakat itu pelaku usaha (Laundry Q) maupun konsumen.
Selain pengaruhnya terhadap asas-asas kontrak baku
52 Agus Brotosusilo, “Hak-hak Produsen Dalam Hukum Perlindungan
Konsumen”, Hukum dan Pembangunan No. 5 Tahun XXII, 1992. 438.
53 Hwian Chris anto, “Perlindungan Konsumen atas Keamanan Perngguna
Jasa Perparkiran Terkait Klausula baku: Studi Kasus Gan rugi atas
Hilangnya Kendaraan di Area Perparkiran”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol 30.
No. 1 Tahun 2011, hlm. 60.

39
sangat minim, UU Nomor 8 Tahun 1999 juga berhadapan
langsung dengan kenyataan, bahwa klausula baku Laundry
Q melihatkan pertentangannya dengan ketentuan tentang
perlindungan konsumen. Kontras terbuka antara klausula baku
Laundry Q dan UU Nomor 8 Tahun 1999 akan diperlihatkan
pada Tabel 6 di bawah. Sebelum itu, Tabel 5 lebih dahulu akan
melihatkan klausula baku Nota/Bon Laundry Q yang terkategori
klausula eksonerasi dan perbandingannya dengan klausula
terlarang sebagaimana dimaksud UU Nomor 8 Tahun 1999.
Tabel 5
Klausula Baku Laundry Q yang Terkategori Klausula
Eksonerasi
UU Nomor 8
No Klausula Laundry Q Kategori Klausula
Tahun 1999
Pengambilan harus membawa
1 - -
nota/bon.
Eksonerasi Bandingkan
Barang hilang/rusak digan 5x
2 (Pembatasan dengan Pasal 18
harga laundry.
Tanggung Jawab) ayat (1) huruf a.
Barang hilang/rusak karena Eksonerasi Bandingkan
dak diambil lebih dari 30 hari,
3 dengan Pasal 18
dak ditanggung atau akan (Penghilangan
ayat (1) huruf a.
disumbangkan. Tanggung Jawab)
Eksonerasi
Kerusakan/luntur/mengkerut Bandingkan
4 karena sifat bahan itu sendiri dengan Pasal 18
(Penghilangan
diluar tanggungjawab kami. ayat (1) huruf a.
Tanggung Jawab)
Eksonerasi Bandingkan
Hak claim berlaku 24 jam
5 (Pembatasan dengan Pasal 18
setelah barang diambil.
Tanggung Jawab) ayat (1) huruf a.
Eksonerasi
Aturan jaminan diatas dak
dapat diubah dan konsumen (Bersifat
6 -
dianggap setuju dengan syarat- merugikan atau
syarat diatas. melemahkan
posisi konsumen)
Keterangan: Pasal 18 ayat (1) huruf a UU Nomor 8 Tahun 1999
berbunyi: “Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau
jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat
atau mencantumkan klausula baku pada se ap dokumen dan/
atau perjanjian apabila: a. menyatakan pengalihan tanggung

40
jawab pelaku usaha.”

Tabel 5 melihatkan hampir semua klausula baku dalam


Nota/Bon Laundry Q secara eksplisit terindikasi menggunakan
klausula eksonerasi, namun belum secara eksplisit terkategori
klausula terlarang. Adapun klausula baku Laundry Q yang secara
eksplisit atau terbuka terindikasi klausula terlarang dapat dilihat
pada Tabel 6.
Tabel 6
Klausula Laundry Q yang Terindikasi Klausula Terlarang
UU Perlindungan
No Klausula Laundry Q Kategori Klausula
Konsumen
Pasal 18 ayat (1) huruf
Barang hilang/
f: “Memberi hak kepada
rusak karena
pelaku usaha untuk
dak diambil
mengurangi manfaat jasa
1 lebih dari 30 hari, Terlarang
atau mengurangi harta
dak ditanggung
kekayaan konsumen yang
atau akan
menjadi objek jual beli
disumbangkan.
jasa.
Pasal 18 ayat (2):
“Pelaku usaha dilarang
mencantumkan klausula
Letak dan bentuk baku yang letak atau
2 klausula yang sulit Terlarang bentuknya sulit terlihat
dilihat atau dak dapat dibaca
secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit
dimenger .”
Tabel 6 melihatkan ada 2 (dua) klausul baku dalam Nota/
Bon Laundry Q yang secara eksplisit terindikasi klausula terlarang.
Jika dibandingkan dengan Tabel 5, maka klausula baku Laundry
Q lebih banyak menggunakan klausula eksonerasi ke mbang
klausula terlarang. Dari sisi perbandingan ini, UU Nomor 8 Tahun
1999 jelas belum “mampu” mewujudkan tujuannya. Padahal, UU
ini merupakan salah satu payung hukum untuk mengefesiensikan
pelayanan, dan melindungi para pihak dari ndakan diskrimina f
yang sangat potensi di mbulkan oleh kontrak baku dan klausula
baku, sedangkan kontrak baku dan klausula baku itu sendiri sangat
dibutuhkan demi efesiensi, dan berguna untuk menjalankan
prinsip non-diskrimina f dalam memberikan pelayanan, tanpa

41
kecuali pelayanan jasa. Klausula eksonerasi yang ternyata lebih
mendominasi klausula baku Laundry Q jelas bersifat merugikan
dan melemahkan posisi konsumen.

PENUTUP
Klausula baku Laundry Q, yang bergerak di sektor jasa,
rupanya dilatarbelakangi oleh kepen ngan bisnis, efisiensi
kontrak, dan mengiku pola yang rela f seragam, yang lebih
dahulu berkembang di kalangan pelaku usaha ke-laundry-an.
Laundry Q lebih cenderung mengiku ke mbang melakukan
inovasi yang signifikan dan fundamental. Pola tersebut
merupakan resultante dari kegiatan pasar yang dipandang
semakin kompe f. Pembentukkan pola kontrak dan klausula
baku diperkuat oleh lemahnya wawasan pelaku usaha tentang
norma perlindungan konsumen, dan memuncaknya kepen ngan-
kepen ngan bisnis pelaku usaha. Konsumen belum sepenuhnya
terlindungi. Kontrak baku dan klausula baku sektor jasa pada
akhirnya merupakan akumulasi dari beberapa faktor, sejak faktor
bisnis hingga faktor non-bisnis. Kenyataan demikianlah yang
melatarbelakangi kontrak baku dan klausula baku Laundry Q.
Asas-asas kontrak perlindungan konsumen, baik
yang diperkenalkan oleh UU Nomor 8 Tahun 1999 maupun
direkomendasikan oleh para ahli seper asas proporsionalitas
dan asas keseimbangan, belum menjiwai kontrak baku dan
klausula baku. Akibatnya, seper dialami Laundry Q, komposisi
klausula baku tak lain adalah klausula eksonerasi dan klausula
terlarang. Dilihat secara kuan tas, klausul-klausul eksonerasi
lebih banyak ke mbang klausula terlarang. Hal ini berar ,
kerugian dan kelemahan posisi konsumen lebih besar ke mbang
apa yang telah diatur oleh UU Nomor 8 Tahun 1999, baik melalui
hak maupun kewajiban. Kombinasi 3 ( ga) asas yang menjadi
pijakan kontraktual Laundry Q belum mampu menghindarkan
kontrak baku dan klausula baku dari klausul-klausul terlarang
dan eksonerasi.
UU Nomor 8 Tahun 1999 belum membuk kan
pengaruhnya terhadap kontrak baku dan klausula baku yang
berkembang di sektor jasa laundry khususnya. Selain mengandung
kelemahan-kelemahan internal, UU ini juga belum mendorong

42
terbentuknya pengawasan atau kontrol yang memadai, apalagi
penegakkan hukum yang dirasakan memberikan efek jera dalam
skala masif. Beberapa asas yang diatur oleh UU Nomor 8 Tahun
1999, terutama asas keseimbangan kontrak yang diwujudkan
dengan mengatur hak dan kewajiban para pihak (pelaku usaha
dan konsumen), belum mendasari perumusan kontrak baku
dan klausula baku di kalangan pelaku usaha. Demikian pula,
Pasal 18 UU yang memuat ketentuan tentang klausula baku ini
sepenuhnya berkutat pada kewajiban pelaku usaha. Akibatnya,
klausula baku yang dilarangnya hanya menyentuh bagian kecil
klausula baku yang dirumuskan oleh pelaku usaha. Mayoritas
klausul baku Laundry Q adalah klausula eksonerasi, bukan
klausula terlarang.
Penanganan masalah klausula eksonerasi dan klausula
terlarang, baik yang sudah terlanjur dibakukan maupun akan
dibakukan, yang hingga saat ini terus mengancam kepen ngan-
kepen ngan para pihak di sektor jasa ke-laundry-an khususnya,
tentunya menuntut keterlibatan semua pihak. Langkah-langkah
an sipa f dan preven f perlu dilakukan oleh beberapa lembaga
negara. Ada 2 (dua) lembaga yang memiliki posisi strategis untuk
secepatnya menentukan ndakan. Kedua pihak tersebut ialah
lembaga ekseku f dan legisla f.
Lembaga ekseku f perlu segera memberlakukan program
ser fikasi klausula baku kegiatan usaha. Untuk memenuhi
urgensi ini pada tahap awal, pemerintah dapat mengikutsertakan
layanan ser fikasi klausula baku sebagai bagian dari syarat-
syarat perizinan usaha. Ser fikasi bertujuan mendeteksi atau
mencegah masuknya klausula terlarang dan klausula eksonerasi.
Pada ngkat nasional, payung hukum ser fikasi bisa berbentuk
Surat Keputusan Bersama (SKB) kementerian terkait. Pada
ngkat daerah/kota, urgensi program ser fikasi klausula baku
bisa dilakukan oleh Pemerintah Daerah/Kota.
Lembaga legisla f perlu segera mengagendakan revisi
Pasal 18 UU Nomor 8 Tahun 1999. Pasal yang berkutat pada
kewajiban pelaku usaha itu mes dirumuskan secara berimbang.
Asas keseimbangan harus benar-benar menjiwai pasal tersebut,
sehingga potensi pelanggaran terhadap klausula baku dak
melulu dibebankan ke pundak pelaku usaha semata. Tentu saja

43
revisi bukan bermaksud mengalihkan beban kepada pihak-pihak
lain, melainkan mengembalikan suatu aturan atau norma hukum
kepada asas keseimbangan dan keadilan untuk semua pihak.
Jika keadaan terlalu riskan, maka para pelaku usaha
seyogyanya menggunakan hak kons tusionalnya untuk
memohonkan pengujian materil Pasal 18 UU Nomor 8 Tahun 1999
kepada Mahkamah Kons tusi (MK). Inisia f pengajuan perkara
pengujian materil pasal tersebut dapat dimotori oleh Laundry Q
dan pelaku usaha jasa ke-laundry-an lain, misalnya Luxor Laundry
& Dry Clean. Bila memang dibutuhkan, maka Laundry Q dapat
menjadi inisiator pembentukkan lembaga persatuan usaha jasa
laundry yang di dalamnya para ahli atau konsultan hukum bisnis
ikut dilibatkan.

DAFTAR PUSTAKA

Agus Brotosusilo, “Hak-hak Produsen Dalam Hukum Perlindungan


Konsumen”, Hukum dan Pembangunan No. 5 Tahun XXII,
1992.
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporionalitas
Dalam Kontrak Komersial (LaksBang Mediatama Yogyakarta
bekerjasama dengan Kantor Advokat “Hufron & Hans
Simaela Surabaya, 2008)
Ahmadi Miru dan Sutarman Yudi, Hukum Perlindungan Konsumen
(Jakarta: Rajawali Press, 2007)
Ar djo Alkostar, Negara Tanpa Hukum, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2000)
Az. Nasu on, Konsumen dan Hukum, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1995)
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan
Konsumen, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003)
Handri Rahardjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Yogyakarta,
Pustaka Jus sia, 2009)
Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law,
(Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1993)

44
Hwian Chris anto, “Perlindungan Konsumen atas Keamanan
Perngguna Jasa Perparkiran Terkait Klausula baku:
Studi Kasus Gan rugi atas Hilangnya Kendaraan di Area
Perparkiran”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol 30. No. 1 Tahun
2011
Man S Sastrawidjaja, Bunga Rampai Hukum Dagang, (Bandung:
Alumni, 2005)
Munir Fuadi, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum
Bisnis), (Bandung, Citra Aditya Bak , 1999)
Mursalin, “Asas Perlindungan Konsumen Pada Kontrak Baku
Dalam Tinjauan Hukum Islam (Realitas Kontrak Baku Dari
Luxor Laundry Pon anak)”, Skripsi pada Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri (STAIN) Pon anak, 2012.
Putu Ayu Wulansari, “Teori Kontrak EmilDurkheim dikaitkan
dengan Praktek Kontrak baku atau Kontrak Standar(Contrac
Of Adhesion)” dalam Jimly Asshiddiqie dkk (Ed), Beberapa
Pendekatan Ekonomi Dalam Hukum, (Jakarta: Pusat Studi
Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI, 2003)
Rahmadi Usman, Hukum Ekonomi Dalam Dinamika (Jakarta,
Jambatan, 2000)
Rahmat, “Analisa Yuridis Terhadap Klausula Baku dalam
Implementasi Kontrak Bisnis (suatu Kajian Perspek f
Hukum Perlindungan Konsumen)”, Tesis Pada Program
Magister Ilmu Hukum Universitas Tanjungpura, Pon anak
2006.
Rahmawa , “Klausula Baku Dalam Kontrak Pemasangan Saluran
Air PDAM Kota Pon anak (Tinjauan dari UU Perlindungan
Konsumen ),” DIPA – PNBP Fakultas Hukum Tahun
Universitas Tanjungpura, Pon anak, 2013.
Salim. H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di Indonesia
(Jakarta, Sinar Grafika, 2003)
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT. Grasindo,
2000)

45
Sudaryatmo, Masalah Perlindungan Konsumen Konsumen di
Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bak , 1996)
Sutan Remy Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan
yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit
Bank di Indonesia, (Jakarta: Ins tut Bankir Indonesia, 1993)
Yusuf Shofie, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana
Korporasi (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002)
-------, Perlindungan Konsumen (Bandung: PT Citra Aditya Bak ,
2009)

46
PROBLEMATIKA MUAMALAH
DI DAERAH PERBATASAN:
Analisis Terhadap Tindakan Hukum
Masyarakat Islam di Daerah Perbatasan
Indonesia-Malaysia

Oleh: Dr. H. Hamka Siregar, M. Ag

Abstrak
Daerah perbatasan yang menjadi pintu masuk antar bangsa yang
mempertemukan dua negara, Indonesia-Malaysia, seringkali
disalahgunakan oleh orang-orang yang berkepen ngan.
Banyak persoalan kompleks yang ditemukan di sekitar daerah
perbatasan dan belum ditemukan penyelesaian solu f. Oleh
karena itu, peneli an kualita f deskrip f ini dilakukan untuk
mengetahui (1) apa-apa saja persoalan muamalah yang terjadi
di daerah perbatasan, (2) penyebab terjadinya problema ka
muamalah di daerah perbatasan, dan (3) bagaimana ndakan
hukum masyarakat muslim perbatasan terkait problema ka
yang terjadi di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia. Metode
yang digunakan untuk mengambil data peneli an ini adalah
wawancara, observasi, dan dokumentasi. Dari peneli an
yang dilakukan di 3 ( ga) daerah perbatasan (En kong, Jagoi
Babang, dan Nanga Badau), hasil yang didapat adalah masih
ditemukannya prak k-prak k jual-beli barang ilegal dan
pembiaran yang dilakukan pihak-pihak berwajib mengenai
persoalan tersebut. Selain itu, persoalan muamalah lainnya
seper human trafficiking, prak k munakahat, ibadah sholat,
dan dualisme kependudukan masih belum bisa diselesaikan
secara komprehensif. Karenanya, diperlukan sinergisitas peran

47
antara Negara – baik pusat maupun daerah, tokoh agama, tokoh
masyarakat, serta aparat untuk meminimalisir problema ka
muamalah di daerah perbatasan.

Kata kunci: Muamalah, Daerah Perbatasan, Hukum Islam

PENDAHULUAN
Wilayah perbatasan adalah “wajah” Negara Indonesia.
Karena itu, wilayah-wilayah perbatasan seharusnya mendapatkan
perha an yang lebih dari pemerintah. Sebab wilayah perbatasan
merupakan cerminan ja diri bangsa sekaligus indikator
visual yang sarat makna. Oleh karena itu, perbatasan dapat
menghantarkan pesan mendalam tentang en tas sebuah bangsa
yang bermartabat kepada pihak lain tetapi juga sebaliknya.
Dengan demikian, idealnya memoles “wajah” perbatasan agar
tampak indah dan anggun adalah menjadi kewajiban Negara
yang tak boleh ditunda. Kehidupan masyarakat perbatasan yang
jauh dari kata sejahtera adalah bagian dari persoalan hidup
masyarakat di perbatasan. Padahal seyogyanya, masyarakat
perbatasan lebih sejahtera sebab peran masyarakat perbatasan
sangat lah besar guna menjaga kedaulatan Negara. Tetapi fakta
menunujukkan berbeda. Alih-alih kesejetahteraan, masyarakat
perbatasan dililit berbagai macam problem diniyah maupun
problem sosial.
Kalimantan Barat memiliki 5 daerah yang berbatasan
langsung dengan negara tetangga. Kelima k pintu masuk
Indonesia-Malaysia antara lain En kong di Kabupaten Sanggau,
Sajingan di Kabupaten Sambas, Jagoi Babang di Kabupaten
Bengkayang, Senaning di Kabupaten Sintang, dan Nanga Badau
di Kabupaten Kapuas Hulu. Perbatasan menjadi salah satu isu
yang selama ini terus menjadi masalah di Indonesia, termasuk di
Kalimantan Barat. Meskipun daerah perbatasan menjadi garda
terdepan hubungan regional antara Indonesia dengan negara
tetangga, faktanya daerah perbatasan masih belum terorganisir
dengan baik dan terabaikan. Contohnya, pengembangan
infrastruktur maupun pembangunan Sumber Daya Manusia.
Padahal masyarakat berharap penuh pada pemerintah dengan

48
dibentuknya kementerian khusus yang menangani daerah
perbatasan dan daerah ter nggal. Akan tetapi, implementasi
pengembangan daerah perbatasan seper nya masih belum
merata. Hasilnya, berbagai persoalan sosial keagamaan
bermunculan. Problema ka yang muncul di lapangan bervariasi,
mulai dari pendidikan, kesehatan, sosial keagamaan, sengketa
perbatasan dengan negara tetangga yang berbatasan langsung
dengan wilayah darat maupun wilayah laut Indonesia, masalah
kesejahteraan masyarakat yang bertempat nggal di wilayah
perbatasan.
Dari serentetan permasalah perbatasan Indonesia-Malay-
sia yang dipaparkan di atas, peneli merasa tertarik untuk me-
neli persoalan-persoalan muamalah seper perdagangan ilegal,
masalah tenaga kerja Indonesia, jual beli valas, serta bagaima-
na ndakan hukum masyarakat muslim di daerah perbatasan
tersebut. Hal ini menjadi urgen, karena paling dak peneli an
ini dapat menjadi solusi terutama bagi masyarakat muslim di
daerah perbatasan Indonesia dan Malaysia. Lokasi peneli an
mencakup kondisi geografis dan demografis perbatasan, dalam
peneli an ini akan dibahas 3 ( ga) daerah perbatasan saja yaitu
Jagoi Babang, Nanga Badau, dan En kong mengingat permasala-
han muamalah kompleks yang terjadi di daerah-daerah tersebut.
Pembatasan lokasi ini pen ng dikarenakan peneli an ini ada
kaitannya dengan problema ka hukum Islam pada masyarakat
perbatasan, yang tentu saja, meminjam is lah Gasthoul Bothoul
hendaknya perlu dikaji masyarakat dan lingkungannya.1 Karena
lingkungan inilah yang seringkali mempunyai pengaruh besar
dalam membentuk kerangka pikir masyarakat dan kebiasaanya.
Selain data-data lokasi peneli an, juga akan dideskripsikan prob-
lema ka hukum Islam masyarakat perbatasan yang peneli per-
oleh melalui wawancara dan observasi, untuk selanjutnya prob-
lema ka tersebut akan dianalisa dengan perspek f hukum Islam.

1 Gasthoul Bothoul, , 1998, Teori-teori Filsafat Ibn Khaldun, terj, Yudian W.


Asmin (Jakarta: Ti an Ilahi Press) hlm. 39-43.

49
WILAYAH PERBATASAN PINTU MASUK ANTAR BANGSA
1. Kondisi Geografis dan Demografis Jagoi Babang
Jagoi Babang adalah salah satu wilayah perbatasan antar
Kalimantan Barat dengan Negara tetangga Malaysia. Sebagai
salah satu kecamatan di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan
Barat, Indonesia, Jagoi Babang menjadi pintu masuk resmi lintas
batas antar Negara. Tepatnya menjadi pintu perbatasan Kalbar-
Serawak, Malaysia. Jika di lik secara seksama, di sebelah mur
jagoi Babang berbatasan langsung dengan Kota Serawak, Malaysia.
Sementara sebelah utara Kecamatan Jagoi Babang berbatasan
dengan Lundu, Sarawak Malaysia, sebelah selatan berbatasan
dengan kecamatan Seluas dan kecamatan Siding, dan sebelah
mur berbatasan dengan Serikin, Sarawak Malaysia.
Secara administra f pemerintahan kabupaten Bengkayang
telah banyak memekarkan kecamatan dan desa. Pemerintah
Kabupaten Bengkayang telah memiliki 17 Kecamatan dan
122 desa defini f. Dari 17 Kecamatan tersebut yang termasuk
wilayah Kecamatan perbatasan ada ga (3) yaitu ; Kecamatan
Jagoi Babang, Kecamatan Siding dan Kecamatan Seluas sebagai
wilayah penyangga bagi kedua wilayah perbatasan.2
Dari 17 kecamatan yang ada, Kecamatan Jagoi Babang
termasuk yang paling luas dan termasuk kecamatan dengan jarak
dari kota kabupaten terjauh ke ga setelah Kecamatan Siding dan
Kecamatan Sungai Raya. Saat ini Jagoi Babang terterdiri dari 6
desa yakni : Gersik, Semunying Jaya, Jagoi, Sekida, Kumba, dan
Sinar Baru. Dari sejumlah desa ini, Sinar Baru merupakan desa
terjauh dari Kantor Pemerintahan Kecamatan Jagoi Babang.
Sedangkan desa terdekat adalah Desa Jagoi yang berada di pusat
kecamatan3
Secara geografis letak Jagoi Babang berada pada garis lintang
1°15’16”LU-1°30’00”LU dan garis bujur pada 109°34’35”BT-
109°59’27”B. Jagoi Babang merupakan kecamatan terluas di
Kabupaten Bengkayang, yakni sebesar 655,00 km² atau sekitar
12,14% dari luas Bengkayang. Dari sejumlah desa yang ada di
jagoi Babang, desa yang terbesar adalah Desa Sinar Baru yang

2 Lebih lanjut lihat Kabupaten Bengkayang Dalam Angka 2013


3 h p://www.wilayahperbatasan.com, di akses tanggal 1 November 2014

50
luasnya 250 km². Sedangkan desa yang terkecil yaitu Desa Jagoi
yang luasnya 21,69 km².4 Penduduk Kecamatan Jagoi Babang
pada tahun 2013 adalah sebanyak 8.836 jiwa, yang terdiri dari
4.876 jiwa laki-laki, dan 3.960 jiwa perempuan.

2. Kondisi Geografis dan Demografis Nanga Badau


Secara administra f Kecamatan Badau5 merupakan salah
satu dari 23 Kecamatan yang masuk dalam wilayah Kabupaten
Kapuas Hulu atau yang biasa dikenal dengan Bumi Uncak Kapuas.
Kecamatan ini secara astronomis berada pada 00 50’30” - 10 01’00”
lu dan 1110 47’30” - 1120 04’30” bt. Kecamatan ini berbatasan
dengan negara Malaysia di sebelah utara, Kecamatan Suhaid di
sebelah selatan, Kecamatan Empanang di sebelah barat, serta
Kecamatan Batang Lupar di sebelah mur.
Jarak tempuh Kecamatan Badau dengan negara Malaysia,
mencapai +10 km. Sedangkan jarak Badau dengan Putussibau
sebagai ibu kota Kabupaten Kapuas Hulu mencapai +171 km,
bahkan dengan Kota Pon anak sebagai ibu kota provinsi
Kalimantan Barat jaraknya mencapai 100 kali lipat dari pada jarak
Badau ke Malaysia.
Kecamatan Badau memiliki luas wilayah 573,49 km2 , setara
dengan 2,35 % dari keseluruhan luas kabupaten Kapuas Hulu
yang mencapai 29.842 km2. Kecamatan Badau dibagi menjadi
sembilan desa yaitu Pulau Majang, Semun k, Kekurak, Jan ng,
Seriang, Badau, Sebindang, Tin ng Seligi, Tajum dengan ibukota
kecamatan terletak di Badau. Dari Sembilan desa yang terdapat
di Kecamatan Badau, desa Tin ng Seligi merupakan desa yang
paling luas diantara desa lainnya dengan luas sebesar 118,61
km2, sedangkan desa yang memiliki luas paling kecil adalah desa
4 Kabupaten Bengkayang Dalam Angka 2013
5 Kata “Badau” berasal dari kata “Bedau”. Menurut bahasa suku Dayan
Iban, kata “Bedau” bermakna “belum”. Secara historis, saat itu Badau
masih berupa jalan setapak menuju Lubuk Antu Malaysia. Di jalan
setapak itu menjadi tempat berhen atau beris rahat bagi orang yang
akan bepergian ke Lubuk Antu Malaysia. Ditempat inilah orang yang
beris rahat sering bertanya, apakah sudah sampai Malaysia atau belum?
Karena memang belum sampai, maka orang menyebut “bedau” yang
lama kelamaan berubah aksen menjadi “Badau” yang ar nya belum
sampai ke Malaysia.

51
Seriang dengan luas 63,65 km2.6
Jumlah penduduk kecamatan Badau pada tahun 2013
sejumlah 6.544 jiwa dengan komposisi penduduk didominasi
oleh laki-laki yang terdiri dari 3.434 laki-laki dan 3.110
perempuan. Penduduk di Kecamatan Badau tersebar di sembilan
desa, jumlah penduduk terbesar di desa Badau yakni 2.670 jiwa
yang terdiri dari 1.471 laki-laki dan 1.199 perempuan. Sedangkan
jumlah penduduk terkecil adalah desa Semun k yakni 233 jiwa,
yang terdiri dari 116 laki-laki dan 117 perempuan. Dengan luas
wilayah 573,49 km2 dan jumlah penduduk hanya 6.544 jiwa,
berar kepadatan penduduk kecamatan Badau sebesar 11,
ar nya se ap 1 km2 di Kecamatan Badau terdapat terdapat 11
jiwa penduduk. Desa yang paling padat adalah desa Badau, yaitu
39,80 jiwa per km2, sedangkan yang terendah adalah desa Tin ng
Seligi yaitu 2,99 jiwa per km2.7
Sebagai sebuah daerah yang berada di wilayah Kalimantan
Barat, suku Dayak dan Melayu8 merupakan suku yang mayoritas
mendiami daerah Badau. Selain itu juga terdapat suku pendatang
lain yang mendiami wilayah Badau, seper suku Batak, Bugis,
Minangkabau dan Jawa. Suku terbesar yang menghuni kawasan
Badau adalah Dayak Iban dan Melayu. Berdasarkan sta s k,
dari jumlah penduduk 6.544 jiwa di kecamatan tersebut, suku
Dayak Iban mencapai kurang lebih 60% dari jumlah penduduk,
sementara suku Melayu presentasenya sebanyak 31%, dan
suku-suku lainnya seper Kantuk, Jawa, dan Minang hanya 9%.
Penduduk Kecamatan Badau yang paling dominan beragama
Islam, yaitu 3.153 jiwa, sedangkan agama Katolik dianut oleh
2.927 jiwa, 462 jiwa beragama Protestan dan 2 orang jiwa
memeluk agama Budha.

6 Data Pokok 2013 Kabupaten Kapuas Hulu


7 Data Pokok 2013 Kabupaten Kapuas Hulu
8 Dari data sekunder RPJMD Kabupaten Kapuas Hulu, 2011-2015, dapat
diketahui ada dua kelompok suku terbesar di Kabupaten Kapuas Hulu,
yakni Dayak dan Melayu. Kedua suku ini memiliki karakteris k masing-
masing. Suku Dayak adalah kelompok terbesar, dimana terdapat puluhan
kelompok Dayak dengan bahasa, budaya, dan tradisi yang berbeda satu
sama lain. Di antaranya Suku Dayak Bukat, Kantu’, Tamambaloh, Taman,
Iban, Kayan, Suhaid, Punan, Surak, Kalis, Suaga dan lain-lain.

52
3. Kondisi Geografis dan Demografis En kong
Secara geografis perbatasan En kong terletak di kecamatan
En kong, dan menjadi salah satu dari 15 kecamatan yang ada
di kabupaten Sanggau. Kecamatan en kong mempunyai luas
wilayah 506, 89 km2. Wilayah en kong sebelah barat berbatasan
dengan Kabupaten Landak, sebelah mur dan selatan berbatasan
dengan Sekayam, dan sebelah utara berbatasan langsung dengan
Sarawak Malaysia Timur.9
Secara umum kondisi iklim perbatasan en kong dak jauh
berbeda dari umumnya daerah-daerah di Kalimantan Barat, yaitu
tropis dan dilalui oleh garis khatulis wa. Musim hujan berkisar
antara September-Desember, sedangkan musim kemarau
biasanya antara Juli dan September.10
Jumlah penduduk en kong berdasarkan informasi Polsek
En kong adalah 15.307 jiwa. Jumlah penduduk ini terdiri dari
penduduk laki-laki sejumlah 7.682 jiwa dan perempuan 7.265
jiwa. Suku en kong mayoritas adalah Dayak, yaitu 3684 jiwa,
selanjutnya diiku berturut-turut oleh suku Bangsa Melayu
2.430 jiwa, Jawa 410, Batak, 155 jiwa, Bugis 48, NTT 21 Jiwa,
NTB 30 jiwa, Cina 12 Jiwa, Padang 85 jiwa, Madura 6 jiwa, dan
lain-lain hingga total jumlah penduduk. Meskipun penduduk
En kong dak homogen, bisa dikatakan daerah yang heterogen
ini sangat toleran dengan perbedaan etnis. Masyarakat hidup
rukun satu sama lain dalam perbedaan, dan berusaha meredam
benih-benih konflik yang mungkin muncul.
Menurut agama yang dianut, penduduk En kong mayoritas
beragama Islam (2.826 jiwa), dan berturut-turut diiku Khatolik
(9.400 jiwa) dan Protestan (2.714 jiwa), kemudian Budha (7
jiwa), dan umat Hindu yang dak banyak berdomisili di daerah
ini.11 Dalam hal keagamaan, masyarakat en kong sangat toleran
antara satu dengan yang lain.

9 En kong Dalam Angka 2013


10 En kong Dalam Angka 2013
11 Berdasarkan Data Polsek En kong yang diperoleh dari Waldi, penduduk
En kong yang bekerja sebagai staff Polsek En kong.

53
PROBLEMATIKA MUAMALAH DI DAERAH PERBATASAN
1. Jagoi Babang
Keter nggalan, ada sebuah kata yang pantas disematkan
untuk semua wilayah perbatasan di Indonesia, tak terkecuali
perbatasan di Jagoi Babang. Keter nggalan dak hanya
menjadi kenyataan pahit bagi masyarakat setempat, tetapi juga
“dipaksa” menghadapi problema ka diniyah dan sosial yang sulit
ditanggulangi. Disamping kondisi wilayah yang sangat terpencil,
Infrastruktur jalan yang dak memadai menjadi potret buram
kehidupan warga masyarakat perbatasan Jagoi Babang. Dengan
kondisi yang demikian rumit warga masyarakat Jagoi Babang
tentu menghadapi banyak persoalan hidup. Taraf hidup yang dak
layak berimplikasi pada akses pekerjaan yang dak memadai dan
sekaligus membuka ruang berfikir yang “nakal” pada kebijakan
pemerintah. Misalnya wilayah Jagoi Babang yang menjadi lintas-
batas antar Negara Indonesia dan Malaysia dimanfaatkan oleh
masyarakat setempat atau masyarakat luar Jagoi Babang untuk
menjadi lajur alterna ve perdagangan ilegal baik berupa barang
maupun orang (human trafficking).
Jual-beli lintas batas antar warga Negara Indonesia dan
Malaysia di Jagoi Babang memang boleh dilakukan dengan
bersandar pada perjanjian Pemufakatan Lintas Batas Border
Crossing Arrangement atau Overland Border Trade yang ditanda
tangani di Jakarta 26 Mei 196712. Dalam ketentuan tersebut

12 selain Border Crossing Arrangement, Pemerintah Indonesia dan Malaysia


pada tanggal 16 Oktober 1973 juga menyepaka Agreement on Travel
Facili es for Sea Border Trade between the Government Republic of
Indonesia and Malaysia (Perjanjian mengenai Fasilitas Perjalanan untuk
Perdagangan Lintas Batas antara Republik Indonesia dan Malaysia).
BTA tahun 1970 telah mengatur beberapa hal prinsip; diantaranya
penger an perdagangan lintas batas, pelaku lintas batas serta jenis dan
nilai barang/produk. Perdagangan lintas batas ini sendiri dapat berupa
perdagangan lintas batas darat, yaitu perdagangan yang dilakukan
melalui daratan antar kawasan perbatasan darat kedua negara; Dan
perdagangan lintas batas laut, yang diar kan sebagai perdagangan yang
dilakukan melalui kawasan perbatasan laut dari kedua negara. Adapun
pelaku lintas batas adalah orang (penduduk) yang berdiam (bertempat
nggal) didalam kawasan perbatasan kedua negara, dan memiliki
paspor yang dikeluarkan masing-masing negara maupun pos lintas batas

54
secara shorih disebutkan bahwa: penduduk yang bertempat
nggal di dalam Lintas batas kedua negara diperbolehkan
melakukan perdagangan dengan nilai nilai perdagangan lintas
batas di darat sebesar 600 RM (Rp. 2.125.800.)/bulan/PLB atau
di laut sebesar 600 RM/sekali pelayaran/PLB. Dengan catatan,
warga perbatasan dibekali dengan Kartu Iden tas Lintas Batas,
untuk keperluan berbelanja antar daerah perbatasan tersebut
sehingga mereka dak dikenakan bea. Namun faktanya,
ketentuan peraturan tersebut kemudian dimanfaatkan warga
masyarakat dan para cukong untuk memasukkan barang-barang
Malaysia dalam jumlah yang jauh melampaui kadar kebolehannya
ke wilayah perbatasan dan didistribusiakan ke seluruh pelosok
Kalimantan Barat tanpa bea. Sampai sekarang, di pasar-pasar
tradisional di Jagoi Babang mudah sekali mendapatkan barang-
barang Malaysia semisal gula, susu, beras, sosis dan bahkan
gas. Celakanya barang-barang tersebut masuk secara “gelap” ke
wilayah perbatasan Indonesia. Gelap maksudnya selain komodi
perdagangan tersebut melampaui ketentuan yang dibolehkan,
masuk ke wilayah perbatasan juga tanpa bea masuk sebagaimana
diatur dalam UU kepabeanan nomor 17 tahun 2006 perubahan
dari UU 10 tahun 1995.
Distribusi pangan yang dak merata oleh pemerintah
Indonesia dimanfaatkan oleh warga masyarakat perbatasan
Jagoi Babang dan para cukong (spekulan) untuk mendatangkan
berbagai produk perdagangan dari negeri tetangga. Ironisnya
barang-barang perdagangan tersebut masuk dalam partai besar
tanpa bea dan distribusi perdagangannya sampai keseluruh
wilayah Kalimantan Barat. Menurut AN seorang pengojek
gula dari Kabupaten terdekat Bengkayang membeli gula di
Jagoi Babang untuk dijual kembali kepada Pengecer/toko. AN
menegaskan bahwa jual beli gula, beras, susu dan sosis bahkan
gas dari Malaysia sudah biasa dan para petugas kepabeanan
juga aparat penegak hukum lainnya dak melarangnya.13 AN
yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan BCA, yang terakhir adalah BCA
Tahun 2006, sedangkan saat disepaka nya BTA Tahun 1970 rujukannya
adalah BCA Tahun 1967.
13 Menurut AN gula, susu, beras, sosis, dan gas diperjual belikan bebas di
Jagoi Babang, dan bahkan penampungan barang-barang tersebut sangat

55
dak hanya sendirian dalam mengojek gula tetapi juga teman-
temannya yang lain. Menurut AN jika berangkat membeli gula
keperbatasan ia bersama rekan-rekannya sekitar 7-8 sepeda
motor yang sudah dimodifikasi.
Selain AN, TWK juga menegaskan bahwa jika gula sudah
banyak, maka para pengojek juga akan membawa barang
dagangan yang lain semisal beras, susu, sosis dan gas. Komoditas
tersebut menurut para pengojek memang menjadi bagian
kebutuhan harian masyarakat. selain stok barang legal dari
pemerintah Indonesia terbatas dan bahkan langka, harganya juga
sangat mahal. Sementara barang-barang yang masuk dari negeri
tetangga sangat banyak dan harganya jauh lebih murah sehingga
barang dagangan tersebut laris-manis. Meski demikian mereka
sadar bahwa apa yang dilakukannya adalah melanggar peraturan
pemerintah, tetapi mereka merasa dak berdaya dengan kondisi
yang ada.
Selain persoalan barang-barang ilegal, problema ka
yang dialami warga perbatasan Jagoi Babang juga berupa
pernikahan warga perbatasan yang terjadi antara warga Negara
Indonesia warga Negara Malaysia. Pada persoalan pernikahan,
kependudukan sebagai syarat administrasi pernikahan juga
menjadi persoalan. Pernikahan yang terjadi pada FTM warga
Negara Indonesia dengan RNT bin Khairani warga Negara
Malaysia. Pernikahan tersebut menurut keterangan orang tua
FTM dilakukan di desanya. Syarat yang dibawa oleh mempelai
pria hanya berupa surat keterangan yang dikeluarkan oleh
pemerintah Malaysia se ngkat kelurahan yang menyatakan
bahwa mempelai pria betul warga Negara Malaysia dan belum
menikah. Surat tersebut menurut orang tua FTM tak lagi

besar. Manurut AN gudang penampungan di Jagoi Babang diketahui oleh


petugas kepabanan dan aparat penegak hukum tetapi tetap saja gudang
penampungan tersebut beroprasi. Untuk kegudang penampungan
tersebut memang dak semua orang bisa mengakses sebab dijaga oleh
preman. Tetapi untuk para pengojek bebas untuk membeli barang yang
dibutuhkan ke pihak gudang penampungan. Untuk kelancaran manurut
AN Kepada petugas kepabeanan dan keamanan AN “setor” Rp. 10,000,-
se ap kali dan dise ap pos-pos keamanan pada saat berangkat menuju
gudang. Wawancara tanggal 12 oktober 2014

56
diverifikasi dan langsung diterima sebagai syarat administrasi
pernikahan. Masyarakat perbatasan Jagoi Babang dak tahu
aturan yang benar soal pernikahan antara warga Negara, maka ia
mengiku saja kebiasaan yang ada. Dan celakanya setelah kedua
mempelai menikah lebih dari 3 tahun dan nggal di perbatasan,
mempelai laki-laki meminta izin untuk pulang ke kampung
halamannya. Setelah diizinkan ternyata sampai sekarang dak
pernah kembali. Menurut keterangan orang tua FTM, mereka
juga dak tahu harus mencari kemana sebab pihak keluarga dan
bahkan sang istri juga dak mengetahui tempat nggal suami di
Malaysia.
Problema ka lain adalah persoalan iden tas
kependudukan. Warga perbatasan Jagoi Babang ada yang
memiliki iden tas kependudukan ganda. Inden tas tersebut
menunjukkan bahwa warga tersebut selain sebagai penduduk asli
Indonesia, juga tercatat sebagai penduduk asli Malaysia. Dengan
demikian, warga masyarakat tersebut bebas keluar masuk
lintas batas Negara. Hal ini adalah persoalan yang serius dan
harus segera diter bkan. Tidak hanya berkait dengan persoalan
lemahnya administrasi kependudukan tetapi juga berkaitan
dengan kedaulatan Negara dan nasionalisme. Membiarkannya
berar mendukung pelanggaran yang terjadi dimasyarakat
dan kalau diiku oleh banyak warga Negara, maka hal tersebut
selain berpotensi mengikis rasa persatuan dan kesatuan dalam
naungan NKRI, kewibawaan Negara juga turut dipertaruhkan.
Persoalan lain yang terjadi di Jagoi Babang adalah tentang
ibadah, Masjid di wilayah perbatasan Jagoi Babang tepatnya di
dusun Jagoi ke ka solat jum’at terkadang dihadiri dak sampai
40 orang jama’ah. Menurut ST sebetulnya jamaah solat jum’at
semula cukup tetapi karena banyak masyarakat yang laki-laki
bekerja di Malaysia, sehingga jemaahnya dak cukup. Tetapi
menurut ST solat jumat tetap dilakukan dengan mengabaikan
konsep solat jumat persepsi madzhab Safi’ie.
Sekian banyak problema ka yang dialami oleh warga
perbatasan Jagoi Babang seakan sepi penyelesaian. Jika persoalan
ibadah dianggap persoalan pribadi tetapi menurut peneli
kedepan tentu akan menjadi persoalan kebangsaan. Begitu pula

57
dengan persoalan perdagangan lintas batas yang abai terhadap
peraturan dan hukum dak ditegakkan. Kiranya, jika dibiarkan
secara terus-menerus, dikhawa rkan rasa nasionalisme warga
Negara diperbatasan lama kelamaan akan terkikis dan pudar
bersama waktu.

2. Nanga Badau
Sebagai daerah yang terdekat dengan negara tetangga,
problema ka yang dihadapi masyarakat Badau yang
berhubungan dengan amaliyah diniyah yang hablun minannas
maupun hablun minallah yang mempunyai relevansi dengan
peneli an ini sangat beragam. Permasalahan-permasalahan yang
muncul bukan hanya permasalahan klasik yang selalu terjadi di
daerah perbatasan pada umumnya seper soal pendidikan dan
kesehatan. Problema ka yang paling kompleks terjadi di daerah
perbatasan, khususnya kecamatan Nanga Badau, yaitu soal jual
beli dan adanya iden tas ganda.
Jarak yang sangat dekat antara kecamatan Nanga Badau
dengan Distrik Lubok Antu, Serawak, Malaysia membuat distribusi
barang-barang dari kedua negara menjadi tak terkontrol. Hampir
seluruh barang dagangan seper makanan kecil, detergen,
minyak makan, kosme k, dan lain sebagainya dibeli dari pasar di
daerah Lubok Antu atau Kuching, Malaysia. Bahkan di beberapa
barang dagangan masih tertempel label harga Ringgit Malaysia.
Menurut penuturan pemilik toko, Diana (31), harga barang
di Malaysia cenderung murah dan memiliki kualitas yang baik.
Sehingga dari segi keuntungan, ia bisa mendapatkan keuntungan
lebih besar jika dibandingkan membeli barang dari Pon anak.
Salah satu kendala, menurut Diana, adalah jarak tempuh
Pon anak-Badau yang memakan waktu kurang lebih 20 jam
menggunakan bus. Meskipun ada jalur udara yang bisa ditempuh
dari Putussibau ke Pon anak, biaya yang akan digunakan hanya
untuk membeli barang di Pon anak menjadi lumayan besar.
Selain komodi kebutuhan sehari-hari, kendaraan
bermotor dengan nomor polisi Malaysia atau kendaraan tanpa
nomor polisi atau mobil buatan asing (kendaraan bodong) yang
lalu lalang di daerah Nanga Badau menjadi pemandangan yang

58
biasa. Mobil-mobil tersebut bukanlah milik orang Malaysia
yang singgah ke Indonesia, namun milik penduduk di daerah
Nanga Badau. Alasan mereka membeli mobil tersebut dak
lain karena harganya yang murah dan dak perlu waktu lama
untuk mendapatkan mobil tersebut dan membawanya ke Nanga
Badau. Mereka juga mengakui bahwa sebagian kendaraan yang
dibeli dari Malaysia ini tanpa melalui prosedur yang ditentukan,
mereka bertransaksi jual beli kendaraan itu melalui jalur-jalur
khusus yang dak diketahui keamanan sehingga dak perlu
membayar persyaratan-persyaratan administrasi. bahkan ada
juga masyarakat yang mengakui mobil yang mereka beli adalah
mobil kreditan warga Malaysia yang belum lunas. Warga Malaysia
tersebut akan meng-klaim bahwa mobil mereka telah dicuri oleh
orang Indonesia agar mereka bisa mendapatkan kompensasi
mobil baru dari pihak pemberi kredit kendaraan.
Selain problema ka jual beli pada komodi tertentu,
cukup banyak masyarakat Badau yang merantau ke Malaysia
untuk bekerja sebagai buruh perkebunan atau tukang bangunan.
Pekerjaan sebagai buruh ilegal itu dijadikan sebagai pilihan
hidup karena godaan jumlah pendapatan yang jauh lebih nggi
dibandingkan menjadi buruh legal di Indonesia. Para buruh ilegal
ini dak berani untuk pergi ke pasar atau tempat-tempat lainnya
karena mereka khawa r akan tertangkap polisi Malaysia.
Selain hal tersebut, pemegang iden tas ganda juga menjadi
permasalahan di Nanga Badau. Hal tersebut dipaparkan Camat
Kecamatan Nanga Badau, Drs. Ahmad Salafuddin. Menurutnya
pemegang iden tas ganda (KTP Indonesia dan Malaysia)
mayoritas berasal dari kalangan penduduk yang berusia lanjut.
Faktor penyebabnya antara lain karena persoalan ingin berobat
ke Malaysia dan ingin mendapat pekerjaan di Malaysia. Hal
yang sama juga terjadi pada penduduk Malaysia yang memiliki
kartu iden tas Indonesia. Khusus penduduk Malaysia tersebut,
Ahmad menjelaskan bahwa pihaknya melakukan pendekatan
persuasif kepada penduduk Malaysia tersebut untuk memilih
diantara kedua kewarganegaraan, Indonesia atau Malaysia.
Sedangkan untuk penduduk Indonesia yang memiliki iden tas
ganda diberikan pemahaman tentang perundang-undangan

59
yang mengatur soal kewarganegaraan, seper yang terdapat
dalam UU No. 23 tahun 2006 dan UU No. 24 tahun 2013 yang
mengatur tentang Administrasi Kependudukan. Dalam sosialisasi
yang dilakukan kepada masyarakat diberikan pemahaman bahwa
apabila peraturan tersebut dilanggar maka pemerintah akan
memberikan sanksi kepada yang melanggar undang-undang
tersebut.
Sementara itu, dalam kehidupan beragama, dak ada
permasalahan signifikan yang dialami masyarakat muslim di
Badau. Hanya saja, menurut Camat Badau, Ahmad, pembinaan
kepada para pengurus masjid di daerah perbatasan sangat
diperlukan seper soal manajemen masjid yang baik, pengelolaan
kegiatan-kegiatan hari besar Islam, dan sebagainya.
Dalam persoalan munakahat, Kepala KUA Kecamatan
Badau, Sukiman menuturkan bahwa dak ada persoalan yang
berar di daerah Badau ini. Pernikahan campur malah sering
terjadi. Pernikahan ini adalah pernikahan antara orang Indonesia
dan Malaysia. Pernikahan ini diperbolehkan secara hukum kedua
negara dengan persyaratan-persyaratan tertentu selama yang
bersangkutan memiliki agama yang sama.

3. En kong
Problema ka hukum yang dialami oleh masyarakat
En kong adalah banyaknya masyarakat En kong yang
mengkonsumsi produk-produk Malaysia, seper susu, sabun
cair, makanan ringan, dan lain-lain, yang memang secara harga,
jauh lebih murah jika dibandingkan dengan barang-barang yang
bisa mereka dapatkan dari Kota Pon anak. Kecuali itu, kasus
masuknya gula ilegal dari Malaysia, bukan sesuatu hal yang
baru. Seper dikatakan informan penulis, yaitu Dhani (35), supir
Bis lintas batas, seringkali membawa gula dari Malaysia yang
kemudian dijual di Pon anak atau dikonsumsi sendiri.14
Selain itu, di border En kong seringkali dijumpai kasus
TKI yang dak mempunyai kelengkapan administrasi untuk
bekerja sebagai TKI yaitu paspor, dan semacamnya. Menurut

14 Wawancara dengan Dhani (26), supir bis lintas batas (Wawancara di


Pon anak, 20 Oktober 2014).

60
Sari (25), yang bekerja di Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB)
En kong, seringkali menemui kasus seper ini. Pada ga bulan
terakhir tahun 2014, terjadi beberapa kasus pemulangan TKI
(Deportasi), yaitu pada bulan September 2014 tercatat 86 orang
yang harus dideportasi. Asal mereka dari Jember, Bengkulu,
Cianjur, Subang, Segedong, Sambas, Mempawah, Sulawesi, dan
NTT. Bulan Oktober 2014 ada 58 orang yang dideportasi, yaitu
dari Sambas, Bengkayang, Gresik, Sukabumi, Bandung, Bogor,
Kuningan. November 128 orang yaitu dari Sambas, Bengkayang,
Surabaya, dan Sulsel. Ringkasnya, PPLB En kong berusaha
untuk mener bkan penjagaan ketat di PPLB. Meskipun dalam
kenyataannya, selalu dijumpai kasus seper ini di ap tahunnya,
menunjukkan kesadaran masyarakat tanah air yang kurang,
termasuk warga Kalbar yang berkeinginan bekerja sebagai TKI di
Malaysia.

ANALISA HUKUM ISLAM TERHADAP PROBLEMATIKA


FIQH DI JAGOI BABANG, NANGA BADAU, DAN ENTIKONG
1. Jual beli komodi ilegal dari Negara Malaysia.
Jual beli komodi ilegal dari Negara Malaysia terjadi di ga
kawasan border perbatasan Negara Indonesia dan Malaysia, baik
Jagoi Babang, Nanga Badau dan En kong.
Berdasarkan Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (“KUHPer”) Perdagangan yang resmi diperbolehkan
berlaku di wilayah hukum Indonesia adalah perdagangan yang
dak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun
dengan keter ban umum.
Berdasarkan pada definisi perdagangan ilegal serta melihat
realitas yang terjadi pada masyarakat Jagoi Babang, Nanga
Badau maupun di En kong, praktek perdagangan atau jual beli
antara masyarakat perbatasan Indonesia dan Malaysia dak
termasuk pada kategori perdagangan ilegal, black market, atau
penyelundupan. Karena seper dikemukakan diatas, bahwa
pada 26 Mei 1967 antara Pemerintah Indonesia dan Malaysia
telah menandatangani Border Crossing Arrangement atau
Overland Border Trade. Dari permufakatan tersebut, masyarakat
di perbatasan 2 negara diperbolehkan melakukan transaksi

61
jual beli komodi dengan maksimal harga 600 MYR atau Rp.
2.125.800,- (1 MYR = 3.543) per bulan dengan syarat membawa
Kartu Iden tas Lintas Batas atau lebih dikenal dengan pass biru.
Dengan kata lain, transaksi jual beli masyarakat secara langsung
ke perbatasan di Jagoi Babang, Nanga Badau dan En kong yang
harganya masih dibawah Rp. 2.125.800,- sah dan legal menurut
konsep Negara.
Dalam Islam, transaksi jual beli merupakan maslahah
doruri dalam kehidupan manusia, ar nya manusia dak dapat
hidup tanpa kegiatan jual beli. Pemenuhan kebutuhan doruri
dalam bentuk transaksi jual beli itu dilegi masi oleh Allah dalam
Al-Quran:

Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan


riba. (QS. Al-Baqoroh: ayat 275) 15

Sikap Al-Qur’an atas dibukanya ruang yang luas dalam ber-


muamalah, Imam Syafi’i membuat suatu statemen bahwa pada
dasarnya dalam perihal bertransaksi dan bermu’amalah adalah
sah sampai pada ditemukannya dalil yang bisa membatalkannya
dan mengharamkannya.16 Hal-hal dapat yang menyebabkan batal
dan haramnya jual beli adalah dak terpenuhinya syarat rukun
jual beli. Syaikh Wahbah Al-Zuhaily mengupas tuntas kajian jual
beli dengan memaparkan tentang rukun jual beli. Disebutkan
15 Menurut para mufassir ayat ini adalah ayat yang bersifat umum,
kemudian ada ayat dan hadist yang mentahsis ayat tersebut. Lihat dalam
Said Hawa, 1985, al-Asas fi at-Tafsir, (Mesir: Dar al-Salam, Jilid I), hlm.
644, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkamil
Quran, hlm. 356, Ahmad bin ‘Ali bin Abu Bakar al-Razi al-Jashas, Ahkam
al-Quran, hlm. 568.
16

Statemen ini berbeda dengan statemen Abu Hanifah yang mengatakan


bahwa asal segala sesuatu adalah haram, selama dak ada dalil-dalil yang
menunjukkan kebolehannya. Kedua Mujtahid Mazhab ini mengukuhkan
pendapatnya masing-masing dengan berbagai argumentasi dari Al-Qur’an
dan Hadits. Jalaludin Abdurrahman ibn Abu Bakar al-Suyu menjelaskan
kontradiksi ini dengan tuntas dalam : Asybah wa al- Nazho’ir, , (Al-
Syirkah Nur Al-Tsaqofah Al-Islamiyah, Jakarta), hlm.43

62
bahwa menurut mayoritas ulama, terdapat empat rukun jual
beli, yaitu penjual, pembeli, barang yang dijual, ijab qabul.17
Sahnya jual beli dak otoma s terjadi karena masih tergantung
kepada syarat-syarat yang lain, yaitu jual beli itu terhindar dari
enam hal, yaitu ke dak jelasan (jahalah), pemaksaan (al-Ikrah),
pembatasan dengan waktu (at-Tauqit), penipuan (al-Gharar),
kerugian (adh- Dharar), dan syarat yang merusak (al-syurut al-
mufsidah) serta bertujuan untuk memenuhi kepen ngan salah
satu pihak pelaku transaksi. 18
Berdasarkan pada konsep fiqh diatas, jual beli yang
dilakukan masyarakat perbatasan yang sudah terpenuhi semua
rukun jual beli, dan dak adanya enam hal yang bisa membatalkan
jual beli, serta jumlah transaksi yang dilakukan dak melebihi
600 MYR, maka jual beli seper itu tentu sah-sah saja.
Syarat yang ditentukan oleh pemerintah mengenai jual beli
jual beli diatas 600 MYR, jika dak bertentangan dengan nash
maka syarat tersebut secara fiqh dak dipermasalahkan.

Se ap syarat yang urfi dalam segala bentuk akad, selama


syarat itu dak bertentangan dengan dalil syara’, maka syarat
itu adalah syarat yang sah.19

Karena syarat tersebut adalah legal secara fiqh, maka


praktek jual beli yang melewa syarat 600 MYR harus di njau
apakah ada aspek maslahah atau mudhorot-nya. Maslahahnya
tentu masyarakat bisa mendapatkan harga barang yang murah
dengan kualitas barang yang lebih bagus. Namun Mudhorot-nya
tentu lebih besar, yaitu jika itu dibiarkan terus menerus terjadi
dan semakin marak dilakukan sehingga volumenya semakin
besar dan meluas, dampaknya produksi dalam negeri akan
terganggu, penghasilan produsen bisa menurun dan yang pas
pendapatan Negara juga semakin berkurang. Oleh karena itu,
17 Wahbah Zuhaili, 1998, Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuh, Juz 4, (Damaskus:
Dar Al-fikr) hlm. 347
18 Wahbah Zuhaili, 1998, Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuh, Juz 4, (Damaskus:
Dar Al-fikr) hlm. 379
19 Abdullah bin Yusuf al-Juday‘,1997, Taysir ‘Ilm Usul al-Fiqh, (Beirut:
Mu’assasah al-Rayyan), Juz I, hlm. 40

63
demi menjaga kepen ngan rakyat (maslahah) pemerintah perlu
menetapkan syarat-syarat dalam peredaran komodi melalui
bea cukai / pajak komodi .
Hal ini relevan ke ka dihadapkan dengan situasi dan
kondisi Negara saat ini. Kecuali jika kebijakan-kebijakan
ekonomi dilakukan secara sungguh-sungguh untuk mewujudkan
maslahah, seper kebijakan Asean Free Trade Area20, dimana
seluruh kawasan Asia sudah menjadi pasar bebas dan dak perlu
lagi ada bea cukai, maka dak ada lagi is lah lakin yuhromu. Dan
pas dak ada lagi yang namanya barang selundupan karena bea
cukai sudah dak lagi dikenakan.
Kategori ilegal yang perlu juga untuk dikaji dan dilihat dari
perspek f hukum Islam adalah fenomena motor/mobil bodong.
Fenomena ini jamak terjadi pada semua perbatasan, baik itu
di perbatasan En kong, Jagai Babang, maupun Nanga Badau.
Motor/mobil bodong bisa didapat dengan mudah dan bahkan
dengan harga yang murah meriah karena Motor/mobil tersebut
dak dilengkapi dengan STNK/BPKB.
Secara konsepsi fiqh, jual beli memiliki empat rukun, yaitu
penjual, pembeli, ijab qabul, dan barang. Sedangkan jika dilihat
dari aspek objek jual belinya (ma’qud alaih / mabi’), Wahbah
Zuhaili menyebutkan empat macam syarat terjadinya jual beli
(syuruth In’iqod), yaitu : 1) barang itu harus ada. 2) objek jual
belinya harus mempunyai nilai, ar nya objek jual beli tersebut
harus disukai oleh tabiat manusia dan bias disimpan sampai
dalam jangka waktu tertentu. 3) objek jual beli harus lah barang
yang dimiliki sendiri. Ar nya barang itu terpelihara dan berada
dibawah otoritas seseorang. Yang dimaksud dalam hal ini
bukanlah barang itu milik penjualnya. 4). Objek jual beli bisa

20 Pada bulan Desember 2015, negara-negara yang tergabung dalam


ASEAN, akan memasuki era baru penerapan perdagangan bebas kawasan
Asia Tenggara, yaitu ASEAN Free Trade Area (AFTA) yang merupakan
wujud dari kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk
suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya
saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN
sebagai basis produksi dunia serta menciptakan pasar regional bagi 500
juta penduduknya. AFTA dibentuk pada waktu Konperensi Tingkat Tinggi
(KTT) ASEAN IV di Singapura 1992.

64
diserahkan pada saat melakukan transaksi.21
Selain rukun jual beli dan syarat terjadinya jual beli,
Wahbah Zuhaily juga menjelaskan tentang syarat berlakunya
jual beli (syuruth al-Nafadz), yaitu : 1). Hak pemilikan dan hak
wewenang. Ar nya hanya orang yang memilii kuasa penuh atas
barang tersebut yang boleh melakukan jual beli. 2). Terhadap
objek yang akan dijual belikan dak ada hak milik orang lain
selain penjual, jika pada objek tersebut ada hak orang lain, maka
jual beli nya tertangguhkan (belum terlaksana) dan dak boleh
diserah terimakan kepada pembelinya hingga mendapatkan izin
atau kerelaan dari orang tersebut. Dan bagi pembeli mempunyai
hak untuk memilik antara membatalkan jual beli atau menunggu
sampai adanya izin atau kerelaan dari pemilik yang lain. Syarat
berlakunya jual beli (syuruth al-Nafadz) ini selain berhubungan
dengan objek (mabi’), juga bias jadi berhubungan dengan
transaksi itu sendiri, seper jual beli yang dilakukan anak kecil.22
Berdasarkan ketentuan tersebut, jual beli kendaraan
bodong masyarakat perbatasan jika kendaraan itu memang dibeli
dari pemilik aslinya, walaupun dak dilengkapi dengan syarat
formal administrasi seper BPKB/STNK, jual belinya tersebut
termasuk dalam kategori yang berlaku/terjadi (nafidz), dan sah
secara hukum Islam karena telah memenuhi rukun jual beli,
syarat-syarat terjadinya jual beli serta syarat berlakunya jual beli.
Akan tetapi, jika kendaraan bodong itu dibeli dari pemilik nya
yang mana kendaraan tersebut masih dalam proses pelunasan
(kridit), maka transaksi jual beli itu termasuk dalam kategori bai’
al-Fudhuly yang menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah jual
beli tersebut adalah jual beli sah tapi tertangguhkan (mauquf)
karena masih menunggu izin / kerelaan pihak lain yang juga
mempunyai kewenangan. Bahkan menurut Ulama Syafi’iyah dan
Ulama Dzahiriyah, jual beli seper ini batal secara muthlak dan
seharusnya dak boleh dilakukan serah terima barang sampai
adanya kerelaan dari pihak lain yang berwenang demi menjaga
hak dari kedua pihak tersebut. Hal ini bersandarkan pada Hadits

21 Wahbah Zuhaili, 1998, Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuh, Juz 5, (Damaskus:


Dar Al-fikr) hlm. 78
22 Ibid
65
Nabi yang melarang untuk menjual sesuatu yang bukan miliknya.

Dari Hakim bin Hizam berkata : Rosulullah SAW melarangku


untuk menjual sesuatu yang bukan milikku atau menjual barang
yang bukan milikku.23

Ketentuan hukum Islam diatas berbeda jika kendaraan


bodong masyarakat perbatasan itu dibeli dari seseorang yang
mendapatkannya melalui pencurian, terhadap hal ini jelas jual
beli tersebut adalah jual beli yang haram dan mendapatkan
ancaman dari nabi Muhammad SAW.

Barang siapa yang membeli barang curian sedang dia


tahu bahwa barang itu barang curian, maka ia turut serta
mendapatkan dosa dan kejelekannya.24
Namun apabila masyarakat perbatasan dak tahu status
barang yang akan dibeli apakah hasil curian atau bukan, maka
harus dilihat terlebih dahulu orang yang menjual barang tersebut.
Jika orang yang menjual secara zhahir adalah orang yang baik,
maka boleh diterima dan halal menggunakannya. Tapi jika secara
zhahir penjualnya bukan orang yang baik, maka transaksi jual
beli itu tetap sah tetapi makruh (yashihhu walakin yukrohu).
Pembelinya akan mendapat tuntutan di akhirat jika dikemudian
hari diketahui bahwa barang yang dibeli adalah barang hasil
curian.25 Dan jika dikemudian hari ternyata ada pemilik asli yang
mengklaim terhadap barang yang telah dibeli oleh masyarakat
23 Hadits ini secara lengkap bisa dilihat di Kitab Musnad Ahmad bin Hambal
nomor 15015, Kitab al-Mu’jam al-Ausath li al-Thobary nomor 2530, kitab
Hadits Abi Fadhol al-Zuhry nomor 583, kitab Amaly al-Jurjany nomor 245.
24 Hadits ini secara lengkap bisa dilihat di Kitab al-Mustadrok ala al-
Shohihain nomor 2190, Kitab al-Sunan al-Kubro li al-Bayhaqi nomor
10018, Kitab Musnad Ishad bin Rohawiyah nomor 357, Kitab Mushonnaf
ibn Abi Syaibah nomor 21467..
25 Jalaluddin Abd Rahman al-Suyuthi, 1979, al-Asybah wa al-Nadza’ir fi
Qowa’id wa Furu’ Fiqh al-Syafi’ie, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah), hlm.
54

66
perbatasan tersebut, maka masyarakat perbatasan yang telah
membelinya wajib mengembalikan barang tersebut kepada
pemilik aslinya dan pembeli bisa menuntut gan rugi kepada
penjual. Hal ini berdasarkan apa yang disabdakan oleh nabi
Muhammad SAW.

Rasulullah SAW bersabda : barang siapa yang menemukan


barangnya ada pada orang lain, maka orang tersebut lebih
berhak terhadapnya, dan si pembeli mengambil (uangnya) dari
si penjual.26

2. Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Ilegal


Secara konseptual, Islam sangat menghorma hak-hak
dasar manusia (huquq al-insan), Islam dak memaksa manusia
untuk bekerja dengan pekerjaan tertentu. Kebebasan tersebut
termaktub dalam Al-Qur’an surah Al-Isra’ ayat 84

Katakanlah: “Tiap- ap orang berbuat menurut keadaannya


masing-masing.” Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang
lebih benar jalannya”. (al-Isra’ : 84)
Kebebasan dalam bekerja itupun dicontohkan oleh para
Nabi. Seper nabi Daud yang bekerja sebagai pembuat baju
besi27 atau nabi Zakariya a.s yang bekerja sebagai tukang kayu28.
Islam melarang umatnya untuk pasif dak bekerja atau hanya
26 Hadits ini secara lengkap bisa dilihat di Kitab Sunan Abi Dawud nomor
3067, Kitab Sunan Ahmad bin Hambal nomor 6948, Kitab Sunan al-Dar
Quthny nomor 2541, Kitab Musnad Abi Ya’la nomor 6433
27 Dari Nabi Saw pernah bersabda, “ dak ada makanan yang lebih baik dari
seseorang kecuali makanan yang ia peroleh dari uang hasil keringatnya
sendiri. Nabi Allah, Daud as, makan dari hasil keringatnya sendiri”
Hadits ini bisa ditemui didalam kitab Shohih al-Bukhori nomor 1940, kitab
Shohih Ibn Hibban nomor 6362, atau kitab Mu’jam al-Kabir Li at-Thobrony
nomor 17049
28 Rasulullah SAW bersabda : “Bahwa Nabi Zakariya as, adalah seorang
tukang kayu”

Hadits ini hanya terdapat pada kitab Shohi al-Muslim nomor 4391

67
meminta-minta (mengemis). Itu ar nya bahwa Islam menghargai
segala bentuk pekerjaan selama pekerjaan atau profesi tersebut
dak keluar dari koridor halal.
Begitulah yang difirmankan oleh Allah dan disabdakan oleh
Nabi:

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik


dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengiku
langkah-langkah syaitan;” (QS. Al-Baqarah : 168)

“Rasulullah saw bersabda: demi Dzat yang menguasai


jiwaku, bahwa seseorang yang membawa tali dan pergi ke bukit
untuk mencari kayu bakar, kemudian memikul ke pasar, lalu
menjualnya adalah lebih baik daripada ia pergi mengemis pada
orang lain(meminta-minta), baik diberinya atau ditolaknya.” 29
Dalam Islam, bekerja dak hanya memiliki nilai norma f
yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan jasmani dan
ekonomi semata, tapi juga dipandang pen ng sebagai sebuah
instrumental (wasilah) sehingga bekerja dak secara mutlak
berada pada ngkat keutamaan yang mengalahkan ataupun
dikalahkan oleh ak fitas-ak fitas lainnya. Oleh karena itulah,
Zainuddin bin Ali mengklasifikasikan hukum bekerja menjadi
empat :
1. Wajib, yaitu bekerja yang tujuannya untuk mencukupi minimal
kebutuhan pribadi, keluarga dan agamanya. Sehingga jika dak
bekerja maka akan mengancam kehidupan, keluarga ataupun
agamanya.
2. Sunnah, yaitu bekerja untuk keperluan diatas standar
kecukupan yang hasil bekerjanya di-tasarruf-kan untuk
menyantuni faqir miskin atau untuk menyambung kembali tali
silaturahmi.
3. Mubah, yaitu bekerja diatas standart kecukupannya yang
tujuannya adalah semata-mata mencari kesenangan.

29 Hadits ini bisa ditemui didalam kitab Shohih al-Bukhori nomor 1383,
kitab Sunan al-Nasa’I al-Sughro nomor 2555, kitab Al-Muwa ho’ nomor
1816, kitab al-Sunan al-kubro li an-Nasa’I nomor 2353

68
4. Haram, yaitu bekerja semaksimal mungkin yang tujuannya
untuk memupuk kesombongan.30
Islam dak melarang umatnya untuk bekerja di tempat
manapun, baik itu di negerinya sendiri ataupun di Negara
lain, bahkan bekerja kepada orang kafir sekalipun, Islam dak
melarangnya31. Hubungannya dengan status hukum Islam
bagi yang bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) secara
ilegal yang dilakukan oleh sebagian masyarakat perbatasan,
dak ditemukan nash yang secara langsung menyebutkan
tentang TKI, maka supaya mendapatkan pijakan hukum Islam
yang tepat, harus di mbang terlebih dahulu maslahah dan
mudhorot dari kebijakan pemerintah yang mengatur tentang
TKI.
Menurut Pasal 1 bagian (1) Undang-Undang Nomor 39
Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri (TKI), TKI adalah se ap warga negara
Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri
dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan
menerima upah. Demi menjaga dan memberikan perlindungan
TKI di luar negeri, pemerintah berkewajiban untuk mengatur,
membina, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan
penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri, dimana dalam
melaksanakan tugas tersebut Pemerintah dapat melimpahkan
sebagai wewenangnya dan/atau tugas perbantuan kepada
pemerintah daerah sesuai dengan peraturan perundang-
undangandemi terjaminnya pemenuhan hak-hak TKI sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, baik sebelum, selama,
maupun sesudah bekerja.32 Pada dasarnya TKI mempunyai hak
30 Zainuddin bin Ali bin Ahmad Asy-Syafi’I, Qomi’ al-Thughyan, Bandung :
Syirkah Ma’arif, hlm. 12
Bahkan An-Nadwi didalam kitabnya menyebutkan :Lihat dalam Ali Ahmad
Al-Nadwi, 2000, Al-Qowa’id al-Fiqhiyyah, (Beirut: Dar al-Qolam) hlm. 113
31 Bekerja yang mendapatkan gaji/bayaran didalam hukum Islam disebut
dengan ijaroh. Hal ini berbeda dengan budak karena budak menyebabkan
penguasaan, kepemilikan untuk selamanya, serta pemanfaatan secara
bebas. Abu Bakr Ibn Syatha al-Dimyathi, 1999, I’anah al-Tholibin, (Beirut :
Dar al-Fikr) Juz I hlm 403, mengatakan :
32 Lihat Pasal 1 bagian (1), bagian (2), dan bagian (4) Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga

69
untuk memilih dan mendapatkan pekerjaan dimanapun mereka
inginkan termasuk di luar negeri33 serta hak untuk mendapatkan
Jaminan Sosial yang merupakan hak se ap warga negara
sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 34. Oleh karena itu
sudah tepat kiranya negara mengatur tentang TKI agar Negara
bisa memberi perlindungan dan jaminan sosial.
Dalam konteks hukum Islam, kebijakan pemerintah yang
jelas-jelas menimbulkan al-maslahah al-amah, maka wajib
untuk dita’a . Oleh karena itu, menjadi TKI ilegal yang dilakukan
masyarakat perbatasan merupakan sesuatu yang haram karena
hal itu merupakan bentuk pembangkangan atas kebijakan
pemerintah yang jelas-jelas demi mewujudkan maslahah bagi
masyarakat itu sendiri. Apalagi Malaysia memiliki Akta Migrasi
2002 (Akta A1154) yang disahkan 1 Agustus 2002. Dalam Akta
tersebut disebutkan, tenaga kerja asing yang masuk secara ilegal
akan didenda 10.000 MYR atau dipenjara maksimal lima tahun,
atau dikenakan sanksi kedua-duanya dan dikenakan hukuman
cambuk maksimal enam kali.

3. Human Trafficking
Sebelum menjelaskan bagaimana pandangan Islam
terhadap human trafficking, perlu ditelusuri penger an
perdagangan orang. Menurut pasal 2 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang, Tindak Pidana Perdagangan Orang
adalah: Se ap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan,
penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan
seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,
penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan
kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi
bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari
orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan
mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik
Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 ( ga)

Kerja Indonesia di Luar Negeri


33 Pasal 31 Undang–Undang Nomor 13 Tahun 2003
34 UUD 1945 Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 28 D ayat 2

70
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)
Dalam Islam, Manusia sebagai salah satu makhluk Allah
dimuka bumi ini adalah makhluk yang mulia. Hal itu Allah
tegaskan secara tekstual didalam Al-Qur’an:

“ Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam,


Kami angkut mereka di daratan dan di lautan,Kami beri mereka
rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan
kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah
Kami ciptakan” (QS. Al-Isro’ : 70)
Se ap manusia adalah makhluk yang merdeka dan bebas
untuk melakukan yang dikehendakinya (shulton al-irodah).
Segala bentuk penguasaan atas kebebasan itu dilarang oleh
syari’at. Masyarakat ideal yang diinginkan oleh hukum Islam
adalah masyarakat yang menjunjung nggi keadilan, egaliter,
serta dak adanya kezhaliman. Ini dibuk kan oleh Rasulullah
dalam mengubah tradisi perbudakan. Rasulullah dak
sertamerta dengan kekuasaannya menghapus dan melarang
perbudakan karena secara psikologis masyarakat jahiliyah saat
itu akan menentang tradisi yang sudah berlangsung berabad-
abad. Masyarakat jahiliyah merasa diuntungkan dengan adanya
perbudakan karena mereka dak terbiasa hidup mandiri dan
mencari sumber kehidupan sendiri. Maka strategi yang dilakukan
Rasulullah untuk menghapus perbudakan adalah dengan 1)
mempersempit perekrutan budak-budak baru dan 2) membuka
seluas-luasnya pintu untuk memerdekakan budak.35 Oleh
karena itu banyak kita temukan dalam hukum Islam sanksi atas
pelanggaran adalah berbentuk memerdekakan budak, seper
pembunuhan yang salah (qothlu al-khoto’), zihar, kafarat puasa,
Dari berbagai argumentasi hukum Islam diatas Jual
beli manusia menafikan idealitas hukum Islam karena itu tak
terbantahkan bahwa praktek perdagangan yang menjadikan

35 Sayyed Hossein Nasr, , 2003, The Heart of Islam, Terjemahan Nurasiah


Fakih Sutan Harahap, Pesan-pesan Universal Islam Untuk Kemanusiaan,
Bandung: Mizan, hlm. 218

71
manusia sebagai komodi adalah sesuatu yang terlarang (haram).
Imam al-Qorofy mengatakan :

Tidak pernah disyari’atkan dan batal jika terjadi, karena itu


dilarang menjual orang yang merdeka, budak ummi al-walad,
menikahi mahram, karena tujuan dari akad tersebut dak akan
tercapai. 36

Dari kacamata Fiqh Jinayah, jual beli manusia bisa


dimasukkan dalam kategori jarimah. Sebagaimana didefinisikan
oleh Wahbah Zuhaili bahwa jarimah adalah:

“perbuatan dosa atau ma’shiyat atau segala sesuatu yang


mengenai seseorang akibat dari perbuatan jelek yang telah
dilakukannya”.37

Jarimah atau jinayah termasuk dalam pembahasan


hukum Pidana Islam yang tujuannya adalah menjaga hak-hak
Allah (al-Muhafazhoh ‘an Huquqi Allah), Menciptakan kebaikan
dan menolak kerusakan (Jalbu al-Masholih wa Dar’u al-Mafasid),
Menjaga persatuan dan perpecahan masyarakat (Himayah al-
Mujtama’ min In syari al-Rodzilah), Mewujudkan keamanan dan
menciptakan persatuan umat (Tahqiqu al-Amni wa al-Is qroru li
al-Mujtama’i)38
Maka oleh karena itu jual beli manusia dilihat dari seluruh
konsepsi Islam, adalah suatu kejahatan (jarimah) yang haram
dan harus dicari segala cara untuk menghen kannya, Sebab
bagaimanapun juga, jual beli manusia sangat dak manusiawi
dan pelakunya secara dak langsung menancapkan bendera
permusuhan kepada Allah dan Rasul-Nya saw.

36 Syihabuddin Ahmad bin Idris al-Qorofi, Anwar al-Buruq fi Anwa’ al-Furu’,


(Juz 6 / 197) dalam kitab digital maktabah syamilah
37 Wahbah Zuhaili, 1998, Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuh, Juz 6, (Damaskus:
Dar Al-fikr) hlm. 215
38 Tolhah bin Muhammad bin Abdur Rahman Ghouts, Al-Addi’a’ al-‘Am wa
Ahkamuhu fi Al-Fiqh wa an-Nizhom, (Kunuz Isbilia, ), hlm. 87-90

72
Dari Nabi Saw berkata : “allah SWT berfirman: ada ga
kelompok yang dihari kiamat nan yang akan menjadi musuh
besar saya. Pertama, orang yang telah mengadakan yang se a
kepadaku kemudian merusaknya. Kedua, orang yang menjual
orang merdeka kemudian memakan harganya. Dan ke ga, orag
yang dak memberikan upah pada buruh yang telah menjelaskan
pekerjaanya”39

4. Perkawinan Lintas Negara


Problema ka masyarakat perbatasan yang perlu
mendapatkan kejelasan hukum Islam adalah perkawinan yang
terjadi di masyarakat perbatasan Jagoi Babang dengan seorang
laki-laki warga Negara Malaysia, dimana setelah menikah lebih
dari 3 tahun dan nggal di perbatasan wilayah Indonesia, sang
suami meminta izin untuk pulang ke kampong halamannya
namun hingga saat ini tak kunjung kembali dan tak ada kabar
berita.
Sebagai sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk
Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan40,
perkawinan masyarakat perbatasan Jagoi babang tersebut
merupakan sesuatu yang legal secara syar’i jika semua
syarat rukun perkawinan telah terpenuhi.41 Didalam syarat
rukun pernikahan sesuai konsepsi hukum Islam, perbedaan
kewarganegaraan bukanlah sesuatu yang menghalangi absahnya
perkawinan. Maka hukum Islam merasa dak perlu panjang lebar
membahas tentang perkawinan beda Negara ini. Hal ini berbeda
dengan aturan dan ketentuan Negara, dimana perkawinan antara
dua orang yang berbeda agama disebut sebagai perkawinan
campuran42 dan terdapat aturan dan ketentuan khusus yang
39 Hadits ini bisa ditemui pada kitab Shohih al-Bukhori nomor 2085, Kitab
Sunan Ibn Majah nomor 2435, Kitab Musnad Ahmad Ibn Hambal nomor
8491
40 Sayyid Sabiq, 1983, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Dari al-Fikr,) Jilid 2, hlm.48-49
41 Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas: 1) calon
suami dan calon istri, 2) wali dari calon istri, 3) adanya 2 orang saksi dan,
4) Ijab qabul. Lihat dalam Muwaffiq al-Din Abi Muhammad bin Ahmad
bin Qudamah, 1984, Al-Mughni (Beirut: Dar al-Fikr), Cet. I, Jilid VII, hlm.
337
42 Perkawinan Campuran bukanlah perkawinan beda agama, sebagaimana

73
mengatur tentang perkawinan lintas Negara tersebut.
Negara perlu mengatur tata cara serta prosedur perkawinan
campuran agar bisa dianggap legal oleh Negara. Aturan dan tata
cara itu ditetapkan karena perkawinan campuran juga berkaitan
hubungan antar dua Negara. Jika salah satu pihak dari laki-laki atau
perempuan yang melakukan perkawinan campuran bermasalah,
maka tak menutup kemungkinan kedua Negara asal dari laki-laki
dan perempuan tersebut akan terganggu hubungannya.43
Yang bisa dilakukan kajian secara hukum Islam atas
perkawinan campuran masyarakat Jagoi babang adalah realita
bahwa sang suami pergi dak kunjung pulang sejak 3 tahun
yang lalu dan hingga saat ini dak ada kepas an kabar dan
keberadaannya.
Dalam konsepsi hukum Islam, suami dalam kehidupan
rumah tangga adalah tulang punggung yang harus bertanggung
jawab atas keutuhan dan kehidupan rumah tangganya. Saat
suami dak mendampingi istri dalam kehidupan rumah tangga,
maka banyak hal yang akan terganggu. Suami yang pergi dak
kunjung pulang seper yang dialami masyarakat perbatasan
Jagoi Babang disebut dengan mafqud.44 Yaitu suatu keadaan
dimana sang suami hilang, dak diketahui apakah masih hidup
yang bisa diharapkan kehadirannya ataukah sudah ma berada
dalam kubur.
Terhadap status istri yang dak jelas keberadaan suaminya
(mafqud), nabi menganjurkan agar tetap bersabar hingga datang
berita tentang suaminya tersebut.

dipersepsikan oleh banyak orang selama ini, tapi perkawinan campuran


adalah perkawinan beda Negara. Pasal 57 Undang-undang No.1 Tahun
1974 tentang Perkawinan menjelaskan: ”Yang di maksud dengan
perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara
dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena
perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan
Indonesia.”
43 Undang-undang Negara yang mengatur tentang perkawinan campuran
adalah Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan beserta
dengan peraturan pelaksanaanya yaitu Peraturan Pemerintah No.9 tahun
1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan.
44 Wahbah Zuhaili, 1998, Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuh, Juz 9, (Damaskus:
Dar Al-fikr) hlm. 7187

74
Rasulullah SAW bersabda: istri orang yang hilang
tetap sebagai istrinya sampai ia mendapat berita (tentang
kema annya).45

Berdasarkan konsepsi hukum Islam tersebut, masyarakat


perbatasan yang suaminya pergi sejak ga tahun lalu dan tak
pernah kembali lagi serta dak bisa dideteksi keberadaannya,
jika mengiku qoul qodimnya Imam Syafi’I, sang istri baru bisa
menuntut cerai dan menikah lagi jika suaminya hilang tanpa
kabar selama 4 tahun 4 bulan 10 hari. Bahkan jika mengiku
qoul jadid, sang istri dituntut harus sabar hingga ada berita
kepas an tentang keberadaan suaminya. Namun jika tetap
berpegang mengiku qoul jadid imam Syafi’I keadaan seper itu
akan menyulitkan kehidupan si istri, sebab istri membutuhkan
keberadaan suami untuk melindunginya dan mencukupi na ah
sebagaimana diperintahkan oleh syariat46. Jika hal itu diabaikan
terus menerus, maka berar suami itu telah berdosa. Sebab
selain dak taat melaksanakan perintah agama untuk melindungi
dan mena ahi istrinya, juga membuat keadaan istri itu seper
digantung, berstatus sebagai istri tapi disia-siakan dan dak
menerima hak-haknya, dan juga ia dak bebas untuk menerima
permintaan menikah dari laki-laki lain. Apalagi Kompilasi
Hukum Islam yang mengatur tentang perkawinan orang Islam
di Indonesia, hanya memberikan syarat waktu dua tahun bagi
suami/istri yang mafqud, dengan demikian sudah selayaknya
masyarakat perbatasan Jagoi Babang yang mengalami keadaan
ini mengajukan khulu’ / tuntutan cerai ke Pengadilan Agama. 47

5. Sholat Jum’at kurang dari 40 orang


Problema ka masyarakat perbatasan berikutnya yang
perlu mendapatkan kepas an dalam Hukum Islam adalah

45 Hadits ini bisa ditemukan di kitab Sunan Al-Kubro li al-Bayhaqi nomor


14312, kitab al-Juz al-Tsani min Hadits Abi Bakri al-Daqqoq nomor 35
46 Lihat Al-Qur’an Surah al Baqarah ayat 233
47 Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 116 ayat 2 disebutkan bahwa
perceraian dapat terjadi karena “salah satu pihak meninggalkan pihak
lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa
alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

75
mengenai pelaksanaan sholat Jum’at yang dihadiri kurang dari 40
orang. Fenomena ini ditemui pada masyarakat perbatasan Jagoi
Babang. Kondisi ini terjadi karena banyaknya masyarakat Jagoi
Babang yang laki-laki bekerja di Malaysia, walaupun kurang dari
40 orang, solat jumat tetap dilaksanakan sebagaimana mes nya.
Perihal ubudiyah sholat jum’at yang dihadiri kurang dari 40 orang
laki-laki inilah kali ini yang akan dibahas dan dicari pijakan nya
dalam hukum Islam.
Se ap persoalan yang berhubungan dengan peribadatan
harus menunggu ada atau daknya perintah dari Allah, hal itu
sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Ulama Ushul :

Para prinsipnya, perihal peribadatan itu batal ( dak sah


jika dikerjakan) kecuali ada dalil yang memerintahkannya.48
Oleh karena itu, melakukan inovasi dan improvisasi
dalam hal ubudiyah dak dibenarkan. Kecuali ada syar’i yang
mendukung inovasi dan improvisasi tersebut. Sholat jum’at49
sebagai salah satu bagian dari ubudiyah merupakan kewajiban
yang telah ditetapkan oleh syar’i. Dengan jelas Allah SWT dan
Nabi Muhammad SAW berkata :

“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk


menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada
mengingat Allah dan nggalkanlah jual beli yang demikian itu
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al Jumu’ah : 9)

48 Abu Isyhaq al-Sya bi, al-Muwafaqot fi Ushul al-Syari’ah, (Maktabah al-


Tauhid), Juz II, hlm. 211
49 Sholat Jum’at merupakan salah satu dari ibadah yang khusus disyari’atkan
bagi umatnya Nabi Muhammad. Jum’at berasal dari kata Jama’a yang
bermakna berkumpul. Disebut Jum’at karena 1) berkumpulnya manusia
pada hari itu, 2). Berkumpulnya kebaikan pada hari itu, 3). Pada hari itu
dikumpulkan bentuk rupa Nabi Adam a.s, 3). Berkumpulnya Nabi Adam
a.s dan Hawa di muka bumi pada hari itu. Dan pada masa jahiliyah, hari
Jum’ah disebut dengan hari Arubah. Lihat dalam al-Iqna’ li al-Syarbaini,
Juz I, hlm. 176

76
Dari Nabi SAW, berkata : Sholat jum’at itu hak yang wajib
bagi se ap orang muslim (laki-laki) dengan berjama’ah, kecuali
pada empat orang: hamba sahaya atau perempuan atau anak
kecil atau orang yang sakit.50

Bahkan dalam salah satu khutbahnya, Rasulullah secara


khusus menyebutkan tentang kewajiban sholat jum’at :

Ketahuilah bahwasanya Allah azza wa jalla telah


mewajibkan sholat Jum’at kepadamu dalam bentuk kewajiban
yang ditetapkan, mulai dari tempat ini, mulai bulan ini, mulai
tahun ini, sampai dengan hari kiamat bagi orang yang punya
jalan untuk melaksanakannya. Barangsiapa yang meninggalkan
Sholat jum’at, baik ke ka aku masih hidup atau sesudah aku
ma , karena menyangsikannya atau menganggap remeh, baik
orang itu mempunyai pemimpin yang adil atau pemimpin yang
zholim, maka Allah tak akan mengumpulkan orang itu pada
perserikatannya. Ingat, dan Allah dak akan memberka nya
didalam segala urusannya.51

Dari dalil-dalil diatas, tak dapat dipungkiri bahwa sholat


jum’at merupakan ritual sholat yang wajib dilaksanakan oleh
muslim laki-laki. Sholat jum’at dua rokaat wajib dilaksanakan
dengan ketentuan sebelumnya dilakukan khutbah. Adapun
syarat-syarat sah nya sholat jum’at adalah dilaksanakan pada
waktu zhuhur, dilaksanakan di perkampungan masyarakat baik
desa atau kota, dan dihadiri oleh 40 orang.52
Jika masyarakat perbatasan tetap taat melaksanakan ibadah
sholat Jum’at, yang mana dak satupun ulama mazhab yang
50 Hadits ini terdapat pada kitab Sunan abi Dawud nomor 903, kitab
Mustadrok ala Shohihain nomor 999, kitab Sunan al-Shoghir li al-Baihaqi
nomor 301, kitab Sunan al-Kubro li al-Baihaqi nomor 5140,
51 Khutbah ini secara lengkap bisa dilihat pada : Kitab al-Sunan al-Kubro li
al-Bayhaqi, Juz III, hlm. 170, nomor 5135; Kitab Musnad Umar bin Abd
al-Aziz, hlm. 88, nomor 70; Kitab Musnad Abd bin Hamid, hlm. 1136,
nomor 1143; Kitab al-Wasith fi Tafsiri al-Qur’ani al-Majidi, Juz IV, hlm.
299, nomor 952
52 Abu Bakr Ibn Syatha al-Dimyathi, 1999, I’anah al-Tholibin, (Beirut : Dar
al-Fikr) Juz II, hlm 59

77
menolak akan kewajibannya, itu jauh lebih baik dibandingkan
dengan meninggalkan kewajiban sholat Jum’at hanya karena
masalah bilangan jama’ah yang mana hal itu terjadi ikh laf
dikalangan ulama mazhab. Apalagi sebagaimana dikatakan oleh
Abu Bakr Ibn Syatha al-Dimyathi bahwa sholat jum’at mempunyai
banyak keutamaan.

Ketahuilah bahwa perkara Jum’at adalah perkara yang


agung. Jum’at adalah ni’mat jisimah yang dianugerahkan Allah
kepada hamba-hambanya. Sholat Jum’at adalah bagian dari
kekhususan kita sebagai umat nabi Muhammad. Dengan Sholat
Jum’at, Allah menghamparkan rahmat-Nya dan mensucikan
dosa-dosa selama satu minggu. Dan Ulama Salaf al-Sholih
sangat termo vasi dengan Sholat Jum’at. Mereka bahkan datang
ke pelana mereka. Oleh karena itu, jauhilah sikap memandang
remeh terhadap sholat Jum’at, baik ke ka dalam perjalanan,
maupun ke ka sedang bermukim, walaupun dengan jama’ah
yang kurang dari 40 orang dengan cara bertaqlid kepada mazhab
yang lain.53

6. Kartu Tanda Penduduk (KTP) ganda


Problema ka masyarakat perbatasan yang menarik
untuk dikaji secara hukum Islam adalah perihal iden tas ganda,
fenomena ini terjadi pada masyarakat di perbatasan Nanga
Badau. Memiliki iden tas ganda itu dilakukan antara lain karena
ingin berobat dan mendapat pekerjaan ke Malaysia.
Dalam Islam dak ada aturan teknis tentang kartu iden tas
kebangsaan yang wajib dimiliki oleh penduduk suatu negeri.
Dalam hal kepemilikan KTP ganda ini yang bisa dikaji lebih jauh
adalah melakukan mengkaji apakah kebijakan Negara tentang
KTP itu kebijakan itu menimbulkan maslahah atau sebaliknya
justru bertentangan dengan nash syar’i.
Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai salah satu dokumen
kependudukan adalah hak yang dimiliki se ap warga Negara,

53 Abu Bakr Ibn Syatha al-Dimyathi, 1999, I’anah al-Tholibin, (Beirut : Dar
al-Fikr) Juz II, hlm 58-59

78
dan persyaratan untuk mendapatkan KTP bagi penduduk warga
Negara Indonesia dan Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal
Tetap adalah telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah
kawin atau pernah kawin. Se ap penduduk hanya diperbolehkan
memiliki 1 (satu) KTP.54
Dalam Islam, Negara melalui pemerintah yang berkuasa
diberikan ruang yang sebesar-besarnya untuk membuat
kebijakan-kebijakan yang dibutuhkan untuk menegakkan
Negara. Salah satu kebijakan Negara adalah mener bkan
administrasi kependudukan dengan membuat Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi
Kependudukan. Dalam hal ini Abdul Qodir Audah, berkata :

“sesungguhnya Syari’at memberikan hak kepada


pemerintah untuk membuat kebijakan-kebijakan yang menyentuh
kemaslahatan dan kemanfaatan bagi individu dan kelompok”.55

Sya bi mengatakan bahwa dak ada satupun dari kebijakan


negara yang dak mempunyai tujuan karena jika kebijakan itu
dak mempunyai tujuan, sama saja dengan membebankan
sesuatu yang dak dapat dilaksanakan.56
Tidak ada nash syar’i, baik secara manthuq atau ma um,
yang bertentangan dengan kebijakan Negara tentang KTP
tersebut. Terhadap keadaan seper ini, pendapat Abdurrahman
bin Muhammad bin Husain bin ‘Umar Ba’ Alawy layak untuk
dijadikan per mbangan.

54 Lihat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 Tentang


Administrasi Kependudukan pasal 2, pasal 63. Lihat juga Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi
Kependudukan
55 Abdul Qodir Audah, 1997, At-Tasyri’ al-Jina’i al-Islamy, (Beirut: Muassah
Risalah), Jilid 1, hlm. 181
56 Abu Isyhaq al-Sya bi, al-Muwafaqot fi Ushul al-Syari’ah, (Maktabah al-
Tauhid), Juz II, hlm. 289

79
Walhasil, sesungguhnya wajib taat terhadap kebijakan-
kebijakan pemerintah, baik secara zhohir maupun ba n, dalam
hal yang dak diharamkan ataupun dimakruhkan [oleh Syar’i] 57

Jika sebaliknya, didalam kebijakan pemerintah dak


terdapat maslahah ammah, maka dak ada kewajiban
menta’a nya secara bathin.58 Pendapat seper ini pulalah yang
diputuskan oleh Majelis Ulama Indonesia melalui Keputusan
Komisi A Ij ma’ Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Se-
Indonesia IV Tahun 2012 Tentang Masail Asasiyyah Wathaniyyah
(Masalah Strategis Kebangsaan). Maka berdasarkan analisa
diatas, memiliki KTP ganda yang terjadi pada masyarakat
perbatasan sebaiknya dihindari karena aturan dan kebijakan
pemerintah tentang administrasi Negara melarang hal tersebut,
sedangkan dibalik kebijakan itu ada maslahah yang tersimpan
dan dak ada dalil syar’i yang bertentangan dengan kebijakan
negara tersebut.

PENUTUP
Dalam hal ini Negara dan Pemerintah Daerah perlu
memberikan prioritas perha an yang lebih terhadap masyarakat
dan wilayah perbatasan, karena perbatasan merupakan wajah
Negara yang pertama kali dilihat oleh luar negeri. Apalagi terjadi
perbedaan yang jauh antara kondisi perbatasan di Negara
Malaysia dengan kondisi perbatasan di Negara Indonesia, baik
itu pada wilayah perbatasan Jagoi Babang, Nanga Badau, atau
En kong. Lemahnya perha an dari Negara dalam segala aspek
yang berhubungan dengan wilayah perbatasan, secara dak
langsung menyebabkan terjadinya problema ka yang dialami
oleh masyarakat perbatasan. Diantara peran pen ng Negara yang
bias memberikan manfaat yang besar adalah dengan melakukan

57 Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin ‘Umar Ba’ Alawy, ,


Bughyah al-Mustarsyidin, (Surabaya : Maktabah al-Hidayah), hlm. 91
58 Ibnu Hajar al-Haitami, 2005, Tuhfatul Muhtaj bi Syarhi al-Manhaj, (Beirut:
Darul kutub Al-Ilmiyah), hlm.105
ِ ‫ف سيَل اﱠمِم ِه‬
َ‫ب َرَمأَ اَم ﱠنأ‬ ِ ِ ‫تما بِجي اَل ةٌﱠماع ةٌحَل‬
ِ َ ‫ف ارِهاَظ اﱠلإ هُلا‬
ْ َ ‫صَم هي‬ ْ َ َ َ ُ ْ ‫ث‬ ُ ً َ ‫ْطَق‬
ِ‫فاَلِخب‬ ِ ‫ف ام‬ ِ ‫اضيأَ اًنِطاب بِجي َكِلَذ ِهي‬
َ َ ُ َ ْ ً
80
re-MoU dengan Negara Malaysia untuk meningkatkan harga
minimal transaksi yang dilegalkan antar masyarakat perbatasan,
yang semula 600 MYR di ngkatkan menyesuaikan dengan situasi
dan kondisi saat ini, dan tentu akan lebih baik jika Negara bias
menggiring dan memas kan berlakunya Asean Free Trade Area
(pasar bebas) sehingga masyarakat perbatasan dak terjebak
pada transaksi yang ilegal.
Begitupula bagi Aparat Keamanan (TNI/Polri) untuk lebih
tegas mengatur lalu lintas jual beli masyarakat, terutama jual beli
kendaraan bodong. Fenomena menjamurnya kendaraan bodong
di wilayah perbatasan secara dak langsung menunjukkan
pembiaran yang dilakukan aparat keamanan sehingga hal-hal
yang seharusnya ilegal dianggap sebagai sesuatu yang boleh-
boleh saja.

DAFTAR PUSTAKA

al-Qur’an al-Karim
Abdul Qodir Audah, 1997, At-Tasyri’ al-Jina’i al-Islamy, (Beirut:
Muassah Risalah), Jilid 1
Abdullah bin Yusuf al-Juday‘,1997, Taysir ‘Ilm Usul al-Fiqh, (Beirut:
Mu’assasah al-Rayyan)
Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin ‘Umar Ba’ Alawy,
, Bughyah al-Mustarsyidin, (Surabaya : Maktabah al-
Hidayah)
Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin ‘Umar, , Bughyah
al-Mustarsyidin, (Surabaya : Maktabah al-Hidayah)
Abu Bakr Ibn Syatha al-Dimyathi, 1999, I’anah al-Tholibin, (Beirut
: Dar al-Fikr) Juz I dan II
Abu Ishaq al-Syathibi, 2003, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah,
(Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyyah)
Abu Isyhaq al-Sya bi, Al-I’ shom (Maktabah al-Tauhid)
Ad-Dasuqy, dalam Hasyiyah ad-Dasuqy ala al-Syarhi al-Kabir,
(Bairut, Dar al-Fikr), Juz I

81
Ahmad bin ‘Ali bin Abu Bakar al-Razi al-Jashas, Ahkam al-Quran
Ali Ahmad Al-Nadwi, 2000, Al-Qowa’id al-Fiqhiyyah, (Beirut: Dar
al-Qolam)
Edwin Seligman, 1957, Encyclopedia of Social Science, Vol.24.
(New York: The Mac Millah Company)
Gasthoul Bothoul, , 1998, Teori-teori Filsafat Ibn Khaldun, terj,
Yudian W. Asmin (Jakarta: Ti an Ilahi Press)
Hatem al-Haj, 2007, Commentary on ‘Umdat al-Fiqh, (The
Interna onal University in La n America)
Ibn Rusyd, 2005, Bidayatul mujtahid, (Beirut : Dar al-Fikr), jilid II

Ibnu Hajar al-Haitami, 2005, Tuhfatul Muhtaj bi Syarhi al-Manhaj,


(Beirut: Darul kutub Al-Ilmiyah)
Ibnu Qoyyim al-Jauzy, , I’lam al-Muwaqqi’in an Robb al-Alamin
(Beirut : Dar al-Jail).
Imam Al-ghozali, 1997, Al-Mustasfa, Juz 1, (Beirut : Daar Al Ihya’
Al Turats Al ‘Araby)
Imam Al-Nawawi, Imam al-Subki, dan Syekh Najib Al-Muthi’i,
Al-Majmu’ Syarh Al-Muhazzab, (Jeddah -Arab Saudi :
Maktabah Al-Irsyad), Jilid 18
Izzuddin bin Abdi al-Salam, 1980, Qowa’id al-Ahkam fi Mashalih
al-Anam, (Beirut : Dar al-Jail) Juz II
Jalaluddin Abd Rahman al-Suyuthi, 1979, al-Asybah wa al-
Nadza’ir fi Qowa’id wa Furu’ Fiqh al-Syafi’ie, (Beirut : Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah)
Muhammad Bakar Ismail, 1996, Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah Bayna
Al-Ashalah wa Al-Taujih, (Dar al-Manan)
Mahmud Salthut, 2001, Al-Islam Aqidah wa Syari’ah, (Dar al-
Syuruq)
Muhammad Abu Zahrah, , al-Ahwal al-Syakhsiyyah, (Kairo: Dar
Al Fikr Al ‘Arabi)

82
Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad al-Syaukani, , al-Fukhul ila
Tahqiq al-Haqqi min ‘Ilm al-Ushul, (Beirut : Dar al-Fikr)
Muhammad bin Uman bin Ali bin Nawawi al-Jawi dalam Nihayatuz
Zain, (Bairut: Dar al-Fikr), Juz I
Muwaffiq al-Din Abi Muhammad bin Ahmad bin Qudamah, 1984,
Al-Mughni (Beirut: Dar al-Fikr)
Said Hawa, 1985, al-Asas fi at-Tafsir, (Mesir: Dar al-Salam)
Sayyed Hossein Nasr, , 2003, The Heart of Islam, Terjemahan
Nurasiah Fakih Sutan Harahap, Pesan-pesan Universal
Islam Untuk Kemanusiaan, Bandung: Mizan
Sayyid Sabiq, 1983, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Dari al-Fikr,)
Shidiq bin Ahmad al-Burnu, 1983, Mausu’ah Al-Qawa’id al-
Fiqhiyyah, (Beirut: Muassasah al-Risalah) Juz 12,
Sulaiman al-Bujairimi, Khasyiyah al-Bujairami ‘ala Syarhi al-
Kho b, Juz II
Syihabuddin Ahmad bin Idris al-Qorofi, Anwar al-Buruq fi Anwa’
al-Furu’, (Juz 6 / 197)
Tolhah bin Muhammad bin Abdur Rahman Ghouts, Al-Addi’a’ al-
‘Am wa Ahkamuhu fi Al-Fiqh wa an-Nizhom, (Kunuz Isbilia,
)
Wahbah Zuhaili, 1998, Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuh, Juz 4,
(Damaskus: Dar Al-fikr)
Yusuf al-Qordhowi, 1993, al-halal wa al-harom fi al-Islam, (PT.
Bina Ilmu)
Zainuddin bin Ali bin Ahmad Asy-Syafi’I, Qomi’ al-Thughyan,
Bandung : Syirkah Ma’arif

Da ar Pustaka Pendukung :
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Kepabeanan
Undang-Undang Republik Indonesia No.1 Tahun 1974 tentang

83
Perkawinan
Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2004
tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006
Tentang Administrasi Kependudukan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2013
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2006 Tentang Administrasi Kependudukan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Perkawinan.
Kompilasi Hukum Islam
Kabupaten Bengkayang Dalam Angka 2013
En kong Dalam Angka 2013
Data Pokok 2013 Kabupaten Kapuas Hulu
h p://www.wilayahperbatasan.com

84
FENOMENA SOSIAL, FAKTA SOSIAL
DAN FAKTA HUKUM

Oleh: Dr. M. Hasan, M.Ag

ABSTRAK
Persoalan hukum dak hanya sekedar persoalan undang-undang
saja karena hukum senan sa berkaitan dengan norma-norma/
kaidah-kaidah bagaiman seseorang itu seharusnya melakukan
atau dak melakukan perbuatan terlarang, melanggar hukum
dak sama dengan melanggar moral; sehingga makna hukum
yang ada dalam hukum posi f daklah cukup tanpa di kaitkan
dengan moral yang merupakan “ruhnya’ hukum sehingga
hukum tanpa ruh adalah sia-sia. Oleh karena itu hukuman
yang diberikan juga berbeda khusnya mengenai anak nakal
yang masih dapat dibina agar kembali menjadi anak yang baik
daklah hurus di pidana sebagaima asas hukum pidana sebagai
ul mum remedium.

Kata Kunci : Fakta Sosial, Fakta Hukum, Anak Nakal, Pidana ,


Tindakan

PENDAHULUAN
Banyak ungkapan yang kita dapa dalam masyarakat yang
kadang terasa sinis dan menyudutkan dalam penegakan hukum
di Negara kita republik Indonesia, persepesi yang demikian
ini menandakan betapa sulitnya menegakkkan hukum yang
mengandung unsur keadilan, kepas an dan daya guna, uangkapan

85
itu semisal “ ngono yo ngono ning ojo semono” Hakim “Hubungi
Aku Kalau Ingin Menang, KHUP “ Kasih Uang Habis Perkara”,Jaksa
“ Jejek Rak Iso” Advokat “ Homo Homini lopus” lepas dari
persoalan itu semua kita melihat pola pendekatan para penegak
hukum untuk melakukan kajian atau menjawab persoalan atau
issu hukum yang terjadi dalam masyakat, dak sekedar dengan
hukum posi f melainkan dengan moral para penegaka hukum
untuk menghilangkan s gma yang dak semuanya benar. Fakta
sosial (Inggris: social facts) merupakan aliran sosiologi posi f
dengan pengkajian berasal dari atribut eksternalitas mencakup
struktur sosial, norma kebudayaan, dan nilai sosial, fakta sosial
bila menurut konteks konsepsi Émile Durkheim didalamnya dapat
melipu kesadaran kolek f dan representasi kolek f berkaitan
dengan cara ber ndak yang berasal dari elaborasi kolek f yang
dijabarkan karena adanya aturan hukum yang bersifat otorita f
termasuk didalamnya prak k keagamaan ataupun yang sekuler
yang tertuang dalam norma-norma dan ins tusi adalah contoh
dari fakta-fakta sosial yang berbentuk baku yang berasal dari
kelompok prak k diambil secara kolek f dan dengan demikian
terdapat adanya pemaksaan diri dan internalisasi yang dilakukan
oleh para individu oleh karena secara kolek f telah diuraikan
sehingga dapat membatasi moral dan perilaku dari ap- ap
individu
Masalah ini kemudian menjadi menarik bagi para sosiolog
terhadap kekhawa ran adanya kesenjangan antara yang ideal
dengan yang bersifat materi yang direpresentasikan oleh ndakan
organisasi-organisasi sosial dan para pengikutnya misalkan dalam
hal antara norma-norma yang disetujui secara sosial dengan
kenyataan dalam prak k-pra k yang bersifat aktual.
Kata ini pertama kali diperkenalkan pada abad ke-19 oleh
sosiolog Perancis Émile Durkheim dan banyak memengaruhi
analisis Durkheim (dan para pengikutnya) ke ka dalam meneli
masyarakat antara lain (Ritzer 2000:73) mengatakan struktur
sosial, norma kebudayaan, dan nilai sosial yang dimasukan dan
dipaksakan (koersi) kepada pelaku sosial. Sementara Auguste
Comte bermimpi untuk menjadikan ilmu sosiologi sebagai
disiplin ilmu yang luas, yang berisi semua—’the queen of

86
sciences’, adalah is lah yang digunakannya— Durkheim dak
seambisius itu. Durkheim bertujuan agar sosiologi memiliki
dasar posi visme yang kuat, sebagai ilmu di antara ilmu yang
lain. Ia berpendapat bahwa se ap ilmu tertentu harus memiliki
subyek pembahasan yang unik dan berbeda dengan ilmu lain,
namun harus dapat diteli secara empiris. Keragaman dalam
fenomena yang sedang diteli , menurut Durkheim, harus dapat
dijelaskan oleh sebab-sebab yang juga tercakup dalam bidang
ilmu tersebut. Sebagai konsekuensinya, Durkheim menyatakan
bahwa sosiologi harus menjadi ‘ilmu dari fakta sosial’. “Metode
sosiologis yang diprak kkan harus bersandar sepenuhnya pada
prinsip dasar bahwa fakta sosial harus dipelajari sebagai materi,
yakni sebagai realitas eksternal dari seorang individu.... ...jika
dak ada realitas di luar kesadaran seorang individu, sosiologi
sepenuhnya kekurangan materi.” (Bunuh Diri, hal. 37-8, diku p di
buku karangan Hoult, hal. 298). Dalam buku Rules of Sociological
Method, Durkheim menulis: “Fakta sosial adalah se ap cara
ber ndak, baik tetap maupun dak, yang bisa menjadi pengaruh
atau hambatan eksternal bagi seorang individu. Dalam sudut
pandang Durkheim, sosiologi sederhananya adalah ‘ilmu dari
fakta sosial’. Oleh karena itu, tugas dari para ahli sosiologi adalah
mencari hubungan antara fakta-fakta sosial dan menyingkapkan
hukum yang berlaku. Setelah hukum dalam struktur sosial ini
ditemukan, baru kemudian para ahli sosiologi dapat menentukan
apakah suatu masyarakat dalam keadaan ‘sehat’ atau ‘patologis’
dan kemudian menyarankan perbaikan yang sesuai.
Perha an pertama dalam penger an hubungan antara
hukum dan perubahan sosial adalah pada masalah definisi.
Apa perubahan sosial itu ? Is lah “perubahan” (change) dalam
penger an sehari-hari, sering diar kan dengan longgar sebagai
sesuatu yang ada tetapi sebelumnya dak ada, atau hilangnya
atau terhapusnya sesuatu walaupun sebelumnya ada. Namun
dak semua perubahan adalah perubahan sosial. Banyak
perubahan dalam kehidupan yang cukup kecil dan dianggap
tak berar (trivial), walaupun kadang-kadang hal-hal yang kecil
tersebut bila dikumpulkan akan menjadi hal yang besar dan
berar (substan al). Dalam penger annya yang paling konkret,

87
perubahan sosial berar kebanyakan orang terlibat dalam
kegiatan-kegiatan kelompok dan hubungan-hubungan kelompok
yang berbeda dengan apa yang telah mereka lakukan atau apa
yang telah orangtuanya lakukan sebelumnya. Masyarakat adalah
suatu jaringan kompleks dari pola-pola hubungan dimana semua
orang berpar sipasi dengan derajat keterkaitannya masing-
masing. Hubungan-hubungan ini berubah dan perilaku juga
berubah pada saat yang sama. Individu-individu dihadapkan
dengan situasi baru yang harus mereka respons. Situasi-situasi
ini merefleksikan faktor-faktor tertentu seper teknologi, cara
baru untuk mencari penghasilan, perubahan tempat domisili,
dan inovasi baru, ide baru, serta nilai-nilai baru. Sehingga,
perubahan sosial adalah perubahan bagaimana orang bekerja,
membesarkan anak-anaknya, mendidik anak-anaknya, menata
dirinya sendiri, dan mencari ar yang lebih dari kehidupannya.
Perubahan sosial juga bisa berar suatu restrukturisasi dalam
cara-cara dasar dimana orang di dalam masyarakat terlibat satu
dengan lainnya mengenai pemerintahan, ekonomi, pendidikan,
agama, kehidupan keluarga, rekreasi, bahasa, dan ak vitas-
ak vitas lainnya.
Kita lihat kenyataan yang menunjukkan bahwa salah satu
dampak nega ve kekayaan dan kemakmurn adalah merosotnya
moral, kemerosotan moral ini sangat berbahaya, sebab ia akan
mendorong melahirkan berbagai kejahatan dan kekerasan,
oleh karenanya dak heran bila banyak tokoh masyarakat yang
menghimbau agar pemerintah dan masyarakat secara bersama-
sama berjuang membangun moral dan karakter anak bangsa,
bersamaan dengan itu maka hukumnyapun harus di perkuat
agar lebih responsif dan masuk akal.
Akhir-akhir ini ini banyak kejadian yang sangat menggetarkan
kita khususnya para orang tua yang anaknya masih remaja atau
dalam dalam proses pendewasaan, khusunya berkaiatan dengan
perlindungan anak dan perempuan, dimana banyak kejadian
anak dan perempuan diperlakukan dak adil sesuai dengan hak-
hak anak dan perempuan yang menjadi korban kekerasan dan
pelecehan seksual oleh orang dewasa, atau pun oleh orang yang
di kategorikan belum diwasa karena belum mencapai usia 18

88
tahun (delapan belas tahun) yang secara norma f dituangkan
dalam pasal 1 Undang –Undang no.23 tahun 2002 tetang
Perlindungan anak 2, akan tetapi bagaimana bila yang melakukan
perbuatan yang terlarang itu adalah sama-sama anak, apakah
harus dipidana keduanya?, atau salah satunya dan tentunya siapa
yang dikatan sebagai korban? Untuk itu dalam tulisan ini saya
akan mengajak para pembaca untuk berkontemplasi terhadap
masalah sosial sekaligus masalah hukum yang semakin banyak
terjadi di masyarakat, yang kadang dianggap sebagai hal yang
biasa.

PEMBAHASAN
Tema definisi yang berulang dalam literature sosiologi
terhadap perubahan sosial menekankan perubahan (altera ons)
dalam struktur dan fungsi dari masyarakat dan perubahan
dalam hubungan sosial dari waktu ke waktu. Tanpa penjelasan
selanjutnya, hal ini bukan konsep yang bisa membantu usaha
untuk mencoba menger apa yang dimaksud dengan perubahan.
Selain itu, ke ka kita membahas tentang hubungan antara hukum
dan perubahan sosial, dan memandang hukum sebagai instrumen
dari perubahan sosial, maka akan sangat membantu bila kita bisa
menspesifikasikan iden tas dari perubahan, di ngkatan yang
sedang terjadi di masyarakat, arahnya, besarannya, dan laju
kecepatannya (Vago, 1980: 8-10).
Iden tas perubahan (iden ty of change) adalah fenomena
sosial tertentu yang sedang mengalami transformasi, seper
praktek, perilaku, sikap, pola interaksi, struktur kewenangan,
laju produk vitas, pola pemungutan suara, pres se, atau system
stra fikasi tertentu. Sekali iden tas dari apa yang berubah
telah ditentukan, perha an selanjutnya adalah pada level
dimana perubahan itu sedang terjadi. Walaupun konsep dari
perubahan sosial adalah termasuk ke dalam fenomena sosial,
akan merupakan hal yang sulit untuk meneli perubahan tanpa
tahu dimana perubahan itu terjadi. Sehingga, level perubahan
akan mengubah (delineates) lokasi dalam sistem sosial dimana
perubahan sosial tertentu sedang terjadi. Ada beberapa level
perubahan sosial yang dapat ditemukan, yaitu pada level

89
individu, kelompok, organisasi, ins tusi, dan masyarakat.
Sebagai contoh, perubahan dalam level individual akan melipu
perubahan-perubahan dalam sikap, kepercayaan, aspirasi, dan
mo vasi. Pada level kelompok, akan mungkin terjadi perubahan
dalam pola interaksi, komunikasi, metode-metode penyelesaian
konflik, kohesi / keterikatan, kesatuan, kompe si, serta pola-pola
penerimaan dan penolakan. Pada level organisasi, ruang lingkup
perubahan akan melipu perubahan dalam struktur dan fungsi
dari organisasi, perubahan dalam hirarki, komunikasi, hubungan
peranan, produk vitas, rekrutmen, pengakhiran / terminasi, dan
pola-pola sosialisasi. Pada level ins tusi, perubahan dapat terjadi
pada perubahan pola perkawinan dan keluarga, pendidikan, dan
praktek-praktek keagamaan. Pada level masyarakat, perubahan
dipandang sebagai modifikasi dari sistem stra fikasi, sistem
ekonomi, dan sistem poli k.
Arah perubahan (direc on of change) dimaksudkan sebagai
posisi di masa depan dari suatu en tas dalam hubungannya
dengan posisi awalnya. Hal tersebut dapat dipandang secara
kuan ta f dalam hal fluktuasi, volume, ukuran, atau angka-
angka belaka. Hal itu juga dapat dilihat dari besaran (axis) nilai-
nilai, menggunakan konsep-konsep seper kemajuan (progress),
perkembangan (improvement), penurunan (decline), atau
perbaikan (be erment). Hal itu juga dapat dipandang dalam
is lah-is lah umum, sebagai “lebih nggi”, “lebih rendah”, “ke
belakang”, atau “ke depan”, mengiku skala tertentu. Ke ga
pendekatan ini saling terpisah (mutually exclusive), dan ada
kebutuhan untuk menspesifikasikan pe perubahan sebelum
mendiskusikan arahnya. Sebagai contoh, laju penda aran
universitas dari orang-orang kulit hitam (black) dan orang-
orang keturunan Spanyol (Hispanic) masing-masing naik 5
dan 6 persen, antara tahun 1970 dan 1977 (Na onal Center
for Educa on Sta s cs, 1979: 91). Secara kuan ta f, arah
perubahan dinyatakan dalam persentase. Pada besaran nilai
(value axis), perubahan dalam par sipasi golongan minoritas ini
(yang berkaitan dengan kulit hitam dan keturunan Spanyol) bisa
disebut “kemajuan”. Dalam is lah umumnya, laju penda aran
universitas “lebih nggi” di tahun 1977 daripada di tahun 1970.

90
Besaran perubahan (magnitude of change) dapat
dipandang dalam hal perubahan yang inkremental, marjinal,
komprehensif, dan revolusioner. Perubahan yang inkremental
atau marjinal adalah perubahan yang menaikkan, mengurangi,
atau memodifikasi kontur dari norma atau perilaku tertentu
tanpa mengubah atau menghilangkan (repudia ng) zat atau
struktur aslinya (misalnya, birokra sasi gradual dari lembaga-
lembaga pendidikan nggi). Ada suatu kesepakatan dalam
literatur perubahan sosial bahwa perubahan inkremental adalah
yang paling biasa terjadi dan pola perubahan “normal” di Amerika
Serikat. Perubahan komprehensif mungkin menggambarkan
kulminasi dari perubahan inkremental yang terkait, atau
menurut kata-kata Robert A. Dahl (1967: 264) “inovasi yang
menyapu atau pembalikan yang keras” (“sweeping innova ons
or decisive reversals of established”) dari norma-norma pola
perilaku (misalnya, desegregasi sekolah atau dak memisahkan
lagi antara sekolah untuk murid kulit pu h dengan sekolah untuk
murid kulit berwarna). Perubahan-perubahan yang ukurannya
revolusioner akan mencakup subs tusi keseluruhan dari satu
pe norma atau perilaku ke norma atau perilaku lainnya, dan
penolakan keras (decisive rejec on) dari perilaku asli atau norma-
norma asli (misalnya, abolisi atau penghapusan perbudakan atau
penggan an dari sistem poli k yang satu ke sistem poli k yang
lainnya).
Laju perubahan (rate of change) adalah dimensi temporal
dari perubahan. Pada laju seberapa perubahan tertentu terjadi
? Laju ini dapat didasarkan kepada sembarang skala waktu,
misalnya cepat (fast) atau lambat (slow), atau yang dapat diukur
dalam ukuran hari, minggu, bulan, atau tahun. Sebagai contoh,
dalam konteks par sipasi golongan minoritas (yang didefinisikan
sebagai “golongan minoritas” di Amerika Serikat adalah :
perempuan, kulit berwarna, atau orang cacat) di pendidikan
nggi, laju perubahan dapat digambarkan sebagai “lambat”.
Dimensi dari komponen-komponen perubahan sosial
adalah sembarang, dan dapat dipandang (construed) secara
lain oleh orang yang mengalaminya atau mencoba-cobanya.
U litas teorikal dan empirikal dari komponen perubahan ini

91
menjadi buk (evident) ke ka ia dikenali bahwa hukum dapat
mempengaruhi perubahan dalam banyak cara. Ke ka ar yang
khusus diberikan ke komponen-komponen ini dalam konteks
hukum tertentu atau serangkaian hukum-hukum tertentu, hal ini
akan dapat menjadi k awal (special point of departure) dari
peneli an tentang peranan hukum dalam perubahan sosial.
Perubahan sosial dalam masyarakat adalah suatu produk
dengan berbagai faktor, dan dalam banyak hal, hubungan antar
faktor-faktor tersebut. Selain faktor hukum, ada beberapa
mekanisme perubahan lainnya, seper faktor-faktor teknologi,
ideologi, kompe si, konflik, ekonomi, dan poli k, serta masalah
struktural (structural strains). Semua mekanisme tersebut
dalam kebanyakan hal saling berhubungan. Kita harus berha -
ha untuk dak mengecilkan ar dan mengisolasikan salah
satu dari faktor-faktor “penyebab” (“causes”) perubahan sosial
ini. Harus diakui bahwa, sangat menggoda dan sangat nyaman
untuk memilih salah satu saja (single out) “penggerak utama”
(“prime mover”), satu faktor, satu sebab, satu penjelasan, dan
menggunakannya di berbagai situasi. Hal itu juga terjadi dalam
perubahan hukum : adalah sangat sulit, bahkan dak mungkin,
untuk menggambarkan hubungan sebab-dan-akibat (cause-
and-effect rela onship) dalam pembuatan hukum-hukum baru,
yang akan dibahas dalam bab ini, yaitu kita harus bersikap tak
acuh / skep s (skep cal) dan berha -ha (cau ous) mengenai
penjelasan tentang satu faktor penyebab secara umum, dan
khususnya perubahan sosial berskala besar.
Seper yang penulis uraikan dalam pendahluan ,seringkali
terjadi pergaulan bebas antara anak yang masih dibawah umur
sering melampaui batas-batas yang ditentukan dalam norma-
norma agama, sosial yang hidup dalam masyarakat bahkan
terjadi perbuatan melawan hukum. Penulis ingin mengkaji atau
meneli sebuah fenomena menarik yang terjadi dimasyarakat,
dimana manusia pempunyai hubungan dengan Pribadi dan Antar
Pribadi; Hubungan pribadi menyangkut hubungan manusia
dengan Tuhannya dan Nuraninya sedangkan hubungan antar
pribadi melipu hubungan antara menusia yang tercapkup dalam
bidang sopan santun dan yang tercakup dalam bidang keter ban

92
yaitu hukum. Dalam Peneli an hukum prak s persoalannya dak
terlalu rumit seper dalam peneli an akademis, dalam peneli an
hukum praka s hanyalah melipu :3
1. Perbedaan penafsiran teks peraturan karena peraturan dak
jelas
2. Kekosongan aturan hukum
3. Perbedaan penafsiran atas fakta
Selanjutnya dikatakan :
Untuk keperluan praktek hukum hasil suatu peneli an
hukum adalah preskripsi yang berupa rekomendasi atau
saran akan tetapi dak berar bahwa saran tersebut sekedar
saran,mengingat ilmu hukum merupakan ilmu terapan, saran
yang dihasilkan dari peneli an harus mungkin untuk diterapkan.
Untuk kegiatan akademis,praktek hukum dak selalu berkonotasi
dengan adanya sengketa (li gasi).
Se ap anak kelak mampu memikul tanggung jawab
sebagai generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa,
maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk
tumbuh dan berkembang secara op mal, baik fisik, mental
maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya
perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak
dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya
serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.
Peneli an Durkheim’s tentang ‘fakta sosial’ dalam hal
ngkat bunuh diri ini terkenal. Dengan mempelajari sta s k
bunuh diri pihak kepolisian di berbagai wilayah, Durkheim
mampu ‘mendemonstrasikan’ bahwa masyarakat agama Katolik
memiliki ngkat bunuh diri yang lebih rendah dari masyarakat
agama Protestan, dan menganggap ini terjadi karena penyebab
sosial (dan bukan individual). Ini adalah peneli an pertama
di bidangnya dan tetap banyak disebut bahkan sekarang-
sekarang ini. Awalnya, ‘penemuan fakta sosial’ Durkheim
dipandang signifikan karena menjanjikan kemungkinan untuk
bisa mempelajari perilaku seluruh masyarakat, dan bukan hanya
individu tertentu saja. Para ahli sosiologi modern merujuk ke
peneli an Durkheim untuk dua tujuan yang cukup berbeda :
1. Sebagai demonstrasi grafis tentang seberapa ha -ha

93
seharusnya periset sosial dalam memas kan bahwa data yang
dikumpulkannya untuk analisis akurat. Tingkat bunuh diri yang
dilaporkan dalam peneli an Durkheim, sekarang menjadi jelas,
sebagian besarnya merupakan artefak cara pengklasifikasian
suatu kema an sebagai ‘bunuh diri’ atau ‘bukan bunuh diri’ di
dalam masyarakat yang berbeda. Apa yang sebenarnya ia temukan
bukanlah “ ngkat bunuh diri” yang berbeda sama sekali—yang
ditemukannya adalah cara berbeda untuk memikirkan tentang
bunuh diri.
2. Sebagai k awal untuk masuk ke dalam studi tentang
ar sosial, dan suatu cara dimana ndakan individu yang nyata-
nyata iden k sering kali dak dapat diklasifikasikan secara
empiris. “Tindakan” sosial (bahkan ndakan individu yang
sifatnya pribadi seper bunuh diri), dalam pandangan modern
ini, selalu dilihat (dan diklasifikasikan) oleh para aktor sosial.
Untuk itu, menemukan ‘fakta sosial’, biasanya dak mungkin
dilakukan atau dak diinginkan, namun menemukan cara
bagaimana individu memandang dan mengklasifikasikan suatu
ndakan tertentu menawarkan wawasan yang sangat luas.
Sebuah fakta sosial total [fait social total] adalah “sebuah
ak vitas yang memiliki dampak terhadap masyarakat, dan juga
pada bidang ekonomi, hukum, poli k, dan agama .” (Sedgewick
2002: 95) “Beragam untaian kehidupan sosial dan psikologis
terjalin bersama melalui apa yang disebut [Mauss] dengan ‘fakta
sosial total’. Fakta sosial total hingga suatu ngkat tertentu,
memberikan informasi dan mengatur berbagai prak k dan
ins tusi yang tampaknya cukup berbeda.” (Edgar 2002:157)
Is lah ini dipopulerkan oleh Marcel Mauss dalam bukunya The
Gi dan diciptakan kembali oleh muridnya Maurice Leenhardt
setelah is lah fakta sosial dari Durkheim
Namun sering kita melihat banyak hal kejadian pelanggaran
norma-norma sosial maupun norma hukum dilakukan ole anak
yang dengan melakukan hubungan persetubuhan sebagaimana
layaknya suami istri tanpa melewa perkawinan. Dalam Undang-
Undang Ono.1 Tahun 1974 tentang perkwainan dikatakan
perkawinan diperkenankan ke ka anak sudah mencapai 16
tahun (untuk perempuan) dan 19 tahun (untuk laki-laki) 4 ar nya

94
secara psikologis ngkat kedewasaan antara kaum perempuan
dengan laki-laki lebih dewasa kaum perempuan. Kejadian yang
sering kita jumpai dalam masyarakat terkait dengan perbuatan
terlarang yang dilakukan oleh anak (Baca:Zina) baik laki-laki
maupun perempuan yang sama-sama berusia 16 tahun atau
yang belum dewasa tetapi anak sudah memenuhi syarat untuk
melakukan perkawinan tetapi belum dewasa menurut ketentuan
dalam Undang-undang no.23 tahun 2002 tentang perlindungan
anak dan dilakukan suka sama suka akan tetapi orang tua anak
perempuan dak terima bagaimanamakah sanksinya.
Untuk menjawab permasalahan ini dikatakan mudah ya –
mudah, dikatakan susahmnya-susah ar nya gampang-gampang
susah karena saya katakan kedua anak yang telah “kasmaran”
ini telah tersesat tetapi menikma kesesatan itu, oleh karena itu
dengan hukuman ndakan5 sudah cukup untuk mengembalikan
mereka ke jalan yang benar, ar nya dak perlu di pidana karena
hukum pidana diangap sebagai ul mum remedium (obat
terakhir) untukmemberikan sanksi, ka ka sanksi lain yang di
berikan dak efek f yang dapat menimbulkanefek jera sehingga
dak mengulangi perbuatan jahat yang pernah dilakukan
(taubatannasukha
Dalam Undang Undang no.3 tahun 1997 tentang Peradilan
Anak dikakatan :Anak nakal adalah anak yang melakukan ndak
pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang di nyatakan
terlarang bagi anak baik menurut peraturan perundangan
maupun menurutperaturan hukum lain yang hidup dan berlaku
dalam masyarakat6 . Dengan demikian ada kategori anak nakal
yaitu:
1. Melakukan perbuatan pidana
2. Melakukan perbuatan yang di larang bagi anak
Sebagaimana diketahui dalam dalam Undang-Undang no.
3 tahun 1997 dikatakan khususnya Pasal 23 ayat (1) Pidana yang
dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokok dan
pidana tambahan. Sedangkan ayat (2) Pidana pokok yang dapat
dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah :
a. pidana penjara;
b. pidana kurungan;

95
c. pidana denda; atau
d. pidana pengawasan.
Sedangkan ayat (3) Selain pidana pokok sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) terhadap Anak Nakal dapat juga
dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan barangbarang
tertentu dan atau pembayaran gan rugi. Untuk ayat (4)
Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran gan rugi
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 25 ayat
(1) Terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1 angka 2 huruf a, Hakim menjatuhkan pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 atau ndakan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24.
Sedangkan ayat (2) Terhadap Anak Nakal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf b, Hakim menjatuhkan
ndakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24. Apabila
melakukan perbuatan pidana maka hukumannya adalah
sebagaimana diatur dalam pasal 23 yaitu berupa :
a. pidana penjara;
b. pidana kurungan;
c. pidana denda; atau
d. pidana pengawasan.
Apabila melakukan perbuatan yang dilarang bagi anak baik
menurut peraturan perundangan maupun menurut peraturan
hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat maka
hukumannya adalah sebagaimana diatur dalam pasal 24 yaitu
berupa :
a. mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;
b. menyerahkan kepada negara untuk mengiku pendidikan,
pembinaan, dan la han kerja; atau
c. menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi
Sosial Kemasyarakatan yangbergerak di bidang pendidikan,
pembinaan, dan la han kerja.
Problema ini yang demikian ini ke ka orang tua perempuan
(baca:korban) oleh penyidik Kepolisan maupun Kejaksaan dalam
praktek untuk anak nakal sering menggunakan/ dikenakan
dakwaan alterna f: Pertama: Melakukan ndak pidana
dengan cara melawan hukum melakukan perbuatan dengan

96
sengajamelakukan pu muslihat, serangkaian kebohongan,
atau membujuk anak melakukanpersetubuhan dengannya atau
dengan orang lain. Kedua: Melakukan ndak pidana bersetubuh
dengan perempuan yang bukan istrinya, sedang dikatehuinya
atau harus patut disangkanya, bahwa umur perempuan itu
belum cukup 15 tahun kalau dak nyata berapa umurnya, bahwa
perempuan itu belum masanya untuk kawinn ,sebagaimana
diatur dalam Pasal 287 ayat (1) KHUPidana.
Dalam proses hukum baik dalam penuntutan oleh jaksa
maupun maupun penjatuhan putusan pemidanaan oleh oleh
hakim hanya melihat pada satu sisi peraturan perundangan
yaitu Undang-Undang no.23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, tanpa melihat Perundangan lain karena perbuatan yang
terlarang di lakukan oleh sama-sama masih anak maka tentunya
juga menggunakan Undang-Undang no.3 tahun 1997 tentang
Peradilan anak, dan usia kawin sebagaimana ditentukan dalam
Undang-Undang no.1 tahun 1974. Kemudian marilah kita
pahami bersama teori-teori pidana modern yang sekarang dianut
KUHAP kita, lebih mendasarkan diri pada penghargaan hak asasi
manusia, bahwa pemidanaan bertujuan untuk memperbaiki
dan menginsafi diri pelaku dengan memper mbangkan orang,
perbuatan, niat (sikap ba n) serta hubungan sebab akibat
terjadinya perbuatan pidana. Dengan mendasarkan diri pada
hukum adalah sarana mencapai kebenaran dan keadilan dengan
menjunjung nggi hak-hak asasi manusia.
Marilah kita bersama dalam peradilan ini kita
mengungkapkan kebenaran yang seadil-adilnya dengan tetap
menjunjung nggi nilai-nilai kemanusiaan yang melekat pada
se ap manusia, khususnya diri para terdakwa yang juga
masih anak-anak. Oleh karena itu dalam konteks peneli an ini
masalahnya bukanyaa pada Perbedaan penafsiran teks peraturan
karena peraturan dak jelas atau kekosongan aturan hukum
akan tapi lebih pada perbedaan penafsiran atas fakta, apakah
ini sudah menjadi fakta hukum ataukahkah masih fakta sosial
atau bahkan masih menjadi fenomena sosial. Marilah kita lihat
kasusnya seakan peneli ingin mengajak para pembaca seakan
menjadi penegak hukum ( Polisi,jaksa,Hakim dan Advokat)

97
untuk berandai-andai mengadilinya dan menelaah menjadi
sebuah keputusan sebagaimana diamanatkan dalam perundang-
undangan yakni pancasila dimana sila pertama adalah Ketuhanan
Yang maha Esa ar nya se ap keputusan harus mengandung irah-
irah ”Berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa”
Bahwa untuk dapat dipersalahkan melanggar ketentuan
sebagaimanana Surat dakwaan Jaksa Penuntunt Umum, dalam
dakwaan Pertama: Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang no.23
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak , terdakwa harus terbuk
dan memenuhi unsur : Bahwa Se ap orang atau barang siapa
,ar nya adresatnya adalah semua orang yangmempunyai hak
dan kewajiban sehinga dikatan sebagai subyek hukum, dimana
perumusan undang-undang mengharuskan adanya unsur
pribadi sebagai subyek hukum yang ada pada diri si pembuat,
yang tanpa adanya alasan pembenar maupun alasan pemaaf
yang dapat dipertanggung jawabkan dalam hal hal ini adalah
terdakwa, dan apabila terdakwa memenuhi rumusan tersebut
maka oleh karena itu unsur Se ap Orang ini terpenuhi. Unsur
dengan cara melakukan pu muslihat, serangkaian kebohongan.
Bahwa demikian juga yang di maksud dengan cara melakukan
pu muslihat, serangkaian kebohongan haruslah dimaknai
dengan melakukan pengaruh dengan kelicikan terhadap orang
sehingga orang itu menuru nya untuk berbuat sesuatu. Bahwa
demikian juga yang di maksud serangkaian kata bohong haruslah
dimaknai dipakainya banyak kata-kata bohong, sedangkan satu
kata bohong daklah cukup, oleh karena itu serangkaian kata
bohong haruslah tersusun sedmikian rupa sehingga kebohongan
yang satu dapat ditutup dengan kebohongan yang lain,
sehinggakeseluruhan merupakan cerita sesuatu seakan-akan
benar adanya.
Bahwa sebaliknya,jika Jaksa Penuntut Umum dak
menguraikan apa yang dimaksud dengan melakukan pu
muslihat atau serangkaian kebohongan, maka rumusandakwaan
ataupn penuntutan yang demikian dapat dikatakan kabur, dak
jelas (obscuurlibel). Bahwa bila disandingkan dengan kasus
yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum kepada Terdakwa
,dalam keterangan Terdakwa maupun saksi korban sebelum

98
terdakwa melakukan perbuatan terlarang dengan Saksi Korban
di dahului dengan prolog dengan mengatakan “aku seneng
karo kowe” ar nya aku senang/cinta dengankamu” dan Saksi
Korban mengatakan “aku nek meteng piye” ar nya kalau aku
hamilbagaimana” maka di jawab oleh Terdakwa “aku tanggung
jawab, kowe tak nikah”
Perbedaan penafsiran atas fakta demikian ini sering
terjadi, apakah iru sebenarnyaadalah ungkapan rasa cinta, rasa
senang Terdakwa terhadap Saksi Korban dan atau perbuatan
yang dikategorikan sebagai melakukan pu muslihat, atau
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan
persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, sebagaimana
di dakwakan Jaksa Penuntut Umum(JPU). Bahwa sesuai dengan
keterangan saksi-saksi dan juga keterangan Terdakwa dan Saksi
Korban adalah sudah lama pacaran, dan keduanya juga sudah
saling bertemu ditempat-tempat lain selain di rumah saksi.
Bahwa perbuatan terlarang yang dilakukan oleh Terdakwa dan
Saksi Korban adalah suka sama suka, hal ini sesuai dengan
keterang salah satu saksi yang mengatakan sebelum kenal Saksi
Korban minta dikenalkan pada Terdakwa karena saksi korban
suka/senang dengan Terdakwa. Bahwa oleh karena itu apabila
ungkapan sebagaimana dimaksud diatas antara Terdakwa dan
saksi Korban dimakanai sebagai pu muslihat /serangkaian
kebohongan maka Unsur dengan cara melakukan pu muslihat,
serangkaian kebohongan terpenuhi dan sebaliknya apabila
dimaknai sebagai ungkapan rasa cinta, rasa senang Terdakwa
terhadap Saksi Korban maka Unsur dengan cara melakukan pu
muslihat, serangkaian kebohongan dak terpenuhi sama sekali.
Unsur Membujuk anak melakukan persetubuhan
dengannya atau oranglain: Bahwa demikian juga dengan unsur
membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau orang
lain ; membujuk melakukan pengaruh dengan kelicikan terhadap
orang sehingga orang itu menuru nya untuk berbuat sesuatu
dan apabila ia mengetahui permasalahannya dan akibatnya dia
dak akan berbuat demikian. Bahwa antara Terdakwa dengan
Saksi Korban sudah saling mengenal, saling pacaran, dan suka
sama suka ,dan datang ke Rumah tanpa paksaan/ pu muslihat

99
sehingga sebelum melakukan perbuatan yang dilarang tersebut
, telah terjadi prolog dengan mengatakan “aku seneng karo
kowe” ar nya aku senang/cinta dengan kamu” dan di jawab
oleh saksi korban “aku nek meteng piye” ar nya kalau aku hamil
bagaimana”
Persoalan kedua siapa sebenarnya di lindungi? sebenarnya
filosofis dalam perlindungan anak tentunya anak yang masih
belum berumur 18 tahun (delapan belas tahun) baik korban atau
Terdakwa , terutama perempuan yang karena akan melahirkan
anak-anak bengsa di kemudian hari kelak oleh karena perempuan
yang bagaimana yang dilindungi, yaitu perempuan yang
bermoral bermartabat dan dak bisa menga martabatnya, hal
ini sejalan dengan pepatah jawa yang menagatakan “ sedumuk
batuk senyari bumi den lakoni taker pa pecahing dodo utahing
ludiro” ar nya kurang lebih adalah mempertahankan martabat
wanita itu dilakukan sampai k darah pengahibsan” adalah
mustahil anak-anak bangsa ini akan baik bila dilahirkan dari
perempuan yang dak bermartabat dan amoral, demikian juga
dak ada dalam AlQur’an Surat AR Rijal yang ada Surat An Nisa’
oleh karena nya agar wanita bisa menjaga martabatnya sehingga
kelak melahirkan bangsa yang bermartabat.
Sebenarnya masih banyak fokus dalam perlindungan anak
ini misalnya :
1. Anak-anak yang dalam situasi dan keadaan darurat
2. Anak –anak yang terlibat dalam masalah hukum
3. Anak-anak yang menjadi korban human trafficking
4. Anak dalam korban kekerasan
5. Anak-anak yang berasal dari lingkungan minoritas/ marjinal

KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas maka dapat memberikan
kesimpulan sederhana yang dapat melipu sebagai berikut:
1. Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah
satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus
cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis
dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan

100
dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan
perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi,
selaras, dan seimbang; Oleh karena itu untuk melaksanakan
pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak,
diperlukan dukungan, baik yang menyangkut kelembagaan
maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai, oleh
karena itu ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan
bagi anak perlu dilakukan secara khusus;
2. Sesuai faktanya Terdakwa dak mempunyai niat jahat/
mensrea untuk dak bertanggung jawab atas perbuatannya yang
semes nya dak/belum waktunya di lakukan baik oleh Terdakwa
mapun Saksi Korban dan dak ada niat untuk melarikan diri dari
tanggung jawab atas perbuatannya karena terdakwa senang/
mencintai Saksi Korban meskipun dak disetujui oleh orang tua
korban
3. Keinginan Terdakwa melalaui orang tuanya untuk
berdamai dengan jalan di kawinkan walaupun masih belum
memenuhi syarat perkawinan sebagaimana di atur dalam pasal
7 ayat (1) UU no.1 tahun 1974 tentang perkawinan, namun dak
diterima oleh orang tuanya Saksi Korban.
4. Bahwa Perbuatan Antara terdakwa dengan Saksi Korban
adalah Perbuatan yang terlarang bagi anak oleh karenanya dapat
dikatakan ” perbuatan tersesat tetapi manikma kesestan itu”
oleh karena dak perlu dipidana sebagaiman ditentukan dalam
pasal 23 Undang-Undang no.3 tahun 1997 tetapi cukup untuk
di berikan Tindakan sebagaimana di tentukan dalam pasal
24 Undang-undang no.3 tahun 1997 untuk mengembalikan
mereka ke jalan yang benar, mengingat pidana adalah Ul mum
Remedium.

DAFTAR PUSTAKA

101
Marshall, Gordon, ed. (1994). The Concise Oxford Dic onary of
Sociology. Oxford University Press.
Hoult, Thomas Ford, ed. (1969). Dic onary of Modern Sociology.
Totowa, New Jersey: Li lefield, Adams & Co.
Sedgewick, Peter (2002). Cultural Theory: The Key Concepts,
Routledge Key Guides Series. Routledge.
Edgar, Andrew (2002). Cultural Theory: The Key Thinkers,
Routledge Key Guides Series. Routledge.
Peter Mahumud Marzuki “ Peneli an Hukum” Unair 2004
Undang- Undang no.23 tahung 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang- Undang no.3 tahung 1997 tentang Peradilan Anak
Undang- Undang no.8 tahung 1981 tentang HukumAcara Pidana
Undang- Undang no.1 tahung 1974 tentang Perkawinan

102
FILSAFAT ILMU

Oleh: Dr. Firdaus Achmad, M.Hum

Abstrak

Filsafat ilmu, kita pas menjumpai is lah “Epistemologi”. Yang


merupakan salah satu cabang ilmu filsafat. Dan karena Filsafat
ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan)
yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan
ilmiah). Epistemologi adalah bagian filsafat yang membicarakan
tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal
mula pengetahuan, batas-batas dan metode, dan kesahihan
pengetahuan. sehingga dalam kesempatan kali ini akan dibahas
lebih lanjut mengenai sumber-sumber epistemologi. Manusia
pada dasarnya adalah makhluk pencari kebenaran. Manusia
dak pernah puas dengan apa yang sudah ada, tetapi selalu
mencari dan mencari kebenaran yang sesungguhnya dengan
bertanya-tanya untuk mendapatkan jawaban. Namun se ap
jawaban-jawaban tersebut juga selalu memuaskan manusia.
Ia harus mengujinya dengan metode tertentu untuk mengukur
apakah yang dimaksud disini bukanlah kebenaran yang bersifat
semu, tetapi kebenaran yang bersifat ilmiah yaitu kebenaran
yang bisa diukur dengan cara-cara ilmiah. Perkembangan
pengetahuan yang semakin pesat sekarang ini, daklah
menjadikan manusia berhen untuk mencari kebenaran. Justru
sebaliknya, semakin menggiatkan manusia untuk terus mencari

103
dan mencari kebenaran yang berlandaskan teori-teori yang
sudah ada sebelumnya untuk menguji sesuatu teori baru atau
menggugurkan teori sebelumnya. Sehingga manusia sekarang
lebih giat lagi melakukan peneli an-peneli an yang bersifat
ilmiah untuk mencari solusi dari se ap permasalahan yang
dihadapinya. Karena itu bersifat sta s, dak kaku, ar nya ia dak
akan berhen pada satu k, tapi akan terus berlangsung seiring
dengan waktu manusia dalam memenuhi rasa keingintahuannya
terhadap dunianya

Kata Kunci: Filsafat, Ilmu

LATAR BELAKANG
Pada awalnya yang pertama muncul adalah filsafat dan ilmu-
ilmu khusus merupakan bagian dari filsafat. Sehingga dikatakan
bahwa filsafat merupakan induk atau ibu dari semua ilmu (mater
scien arum). Karena objek material filsafat bersifat umum yaitu
seluruh kenyataan, pada hal ilmu-ilmu membutuhkan objek
khusus. Hal ini menyebabkan berpisahnya ilmu dari filsafat.
Dalam perkembangan berikutnya, filsafat dak saja
dipandang sebagai induk dan sumber ilmu, tetapi sudah
merupakan bagian dari ilmu itu sendiri, yang juga mengalami
spesialisasi. Dalam taraf peralihan ini filsafat dak mencakup
keseluruhan, tetapi sudah menjadi sektoral. Contohnya filsafat
agama, filsafat hukum, dan filsafat ilmu adalah bagian dari
perkembangan filsafat yang sudah menjadi sektoral dan terkotak
dalam satu bidang tertentu. Dalam konteks inilah kemudian ilmu
sebagai kajian filsafat sangat relevan untuk dikaji dan didalami
(Bakh ar, 2005).
Meskipun pada perkembangannya masing-masing
ilmu memisahkan diri dari filsafat, ini dak berar hubungan
filsafat dengan ilmu-ilmu khusus menjadi terputus. Dengan ciri
kekhususan yang dimiliki se ap ilmu, hal ini menimbulkan batas-
batas yang tegas di antara masing-masing ilmu. Dengan kata lain
dak ada bidang pengetahuan yang menjadi penghubung ilmu-
ilmu yang terpisah. Di sinilah filsafat berusaha untuk menyatu
padukan masing-masing ilmu. Tugas filsafat adalah mengatasi

104
spesialisasi dan merumuskan suatu pandangan hidup yang
didasarkan atas pengalaman kemanusian yang luas.
Ada hubungan mbal balik antara ilmu dengan filsafat.
Banyak masalah filsafat yang memerlukan landasan pada
pengetahuan ilmiah apabila pembahasannya dak ingin
dikatakan dangkal dan keliru. Ilmu dewasa ini dapat menyediakan
bagi filsafat sejumlah besar bahan yang berupa fakta-fakta yang
sangat pen ng bagi perkembangan ide-ide filsafa yang tepat
sehingga sejalan dengan pengetahuan ilmiah (Siswomihardjo,
2003).
Akumulasi penelaahan empiris dengan menggunakan
rasionalitas yang dikemas melalui metodologi diharapkan dapat
menghasilkan dan memperkuat ilmu pengetahuan menjadi
semakin rasional. Akan tetapi, salah satu kelemahan dalam cara
berpikir ilmiah adalah justru terletak pada penafsiran cara berpikir
ilmiah sebagai cara berpikir rasional, sehingga dalam pandangan
yang dangkal akan mengalami kesukaran membedakan
pengetahuan ilmiah dengan pengetahuan yang rasional. Oleh
sebab itu, hakikat berpikir rasional sebenarnya merupakan
sebagian dari berpikir ilmiah sehingga kecenderungan berpikir
rasional ini menyebabkan ke dakmampuan menghasilkan
jawaban yang dapat dipercaya secara keilmuan melainkan
berhen pada hipotesis yang merupakan jawaban sementara.
Berfilsafat sesungguhnya dilakukan dalam masyarakat.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa pada hakekatnya filsafat pun
membantu masyarakat dalam memecahkan masalah-masalah
kehidupan. Salah satu tujuan tulisan ini adalah menunjukkan
bantuan apa yang dapat diberikan filsafat kepada hidup
masyarakat.
Selain filsafat, ilmu-ilmu pengetahuan pun pada umumnya
membantu manusia dalam mengorientasikan diri dalam dunia.
Akan tetapi, ilmu-ilmu pengetahuan, seper biologi, kimia,
fisiologi, ekonomi, dan lain sebagainya secara hakiki terbatas
sifatnya. Untuk menghasilkan pengetahuan yang setepat
mungkin, semua ilmu tersebut membatasi diri pada tujuan atau
bidang tertentu. Untuk meneli bidang itu secara op mal, ilmu-
ilmu semakin mengkhususkan metode-metode mereka.

105
Dengan demikian, ilmu-ilmu tersebut dak membahas
pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut manusia sebagai
keseluruhan dan sebagai kesatuan yang utuh. Padahal
pertanyaan-pertanyaan itu terus-menerus dikemukakan manusia
dan sangat pen ng bagi praksis kehidupan manusia.
Pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang apa ar dan
tujuan hidup manusia, apa kewajiban dan tanggung jawab
saya sebagai manusia, atau pun pertanyaan tentang dasar
pengetahuan kita, tentang metode-metode ilmu-ilmu, dan lain
sebagainya, dak mampu ditangani ilmu-ilmu pengetahuan.
Padahal jawaban yang diberikan secara mendalam dapat
mempengaruhi penentuan orientasi dasar kehidupan manusia.
Di sinilah filsafat memainkan peranannya.
Tulisan ini merupakan ulasan tentang filsafat, peranan dan
kontribusi filsafat berhadapan dengan ilmu-ilmu pengetahuan,
serta bagaimana filsafat membantu masyarakat menemukan
jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan fundamental
yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia. Tulisan ini juga
mengulas tentang hubungan filsafat dengan kebenaran.

PENGERTIAN FILSAFAT
Perkataan Inggris philosophy yang berar filsafat berasal
dari kata Yunani “philosophia” yang lazim diterjemahkan sebagai
cinta kearifan. Akar katanya ialah philos (philia, cinta) dan sophia
(kearifan). Menurut penger annya yang semula dari zaman
Yunani Kuno itu filsafat berar cinta kearifan. Namun, cakupan
penger an sophia yang semula itu ternyata luas sekali. Dahulu
sophia dak hanya berar kearifan saja, melainkan melipu pula
kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebajikan intelektual,
per mbangan sehat sampai kepandaian pengrajin dan bahkan
kecerdikkan dalam memutuskan soal-soal prak s (The Liang Gie,
1999).
Banyak penger an-penger an atau definisi-definisi
tentang filsafat yang telah dikemukakan oleh para filsuf.
Menurut Merriam-Webster (dalam Soeparmo, 1984), secara
harafiah filsafat berar cinta kebijaksanaan. Maksud sebenarnya
adalah pengetahuan tentang kenyataan-kenyataan yang paling

106
umum dan kaidah-kaidah realitas serta hakekat manusia dalam
segala aspek perilakunya seper : logika, e ka, este ka dan teori
pengetahuan.
Kalau menurut tradisi filsafa dari zaman Yunani
Kuno, orang yang pertama memakai is lah philosophia dan
philosophos ialah Pytagoras (592-497 S.M.), yakni seorang ahli
matema ka yang kini lebih terkenal dengan dalilnya dalam
geometri yang menetapkan a2 + b2 = c2. Pytagoras menganggap
dirinya “philosophos” (pencinta kearifan). Baginya kearifan
yang sesungguhnya hanyalah dimiliki semata-mata oleh Tuhan.
Selanjutnya, orang yang oleh para penulis sejarah filsafat diakui
sebagai Bapak Filsafat ialah Thales (640-546 S.M.). Ia merupakan
seorang Filsuf yang mendirikan aliran filsafat alam semesta atau
kosmos dalam perkataan Yunani. Menurut aliran filsafat kosmos,
filsafat adalah suatu penelaahan terhadap alam semesta untuk
mengetahui asal mulanya, unsur-unsurnya dan kaidah-kaidahnya
(The Liang Gie, 1999).
Menurut sejarah kelahiran is lahnya, filsafat terwujud
sebagai sikap yang ditauladankan oleh Socrates. Yaitu sikap
seorang yang cinta kebijaksanaan yang mendorong pikiran
seseorang untuk terus menerus maju dan mencari kepuasan
pikiran, dak merasa dirinya ahli, dak menyerah kepada
kemalasan, terus menerus mengembangkan penalarannya untuk
mendapatkan kebenaran (Soeparmo, 1984).
Timbulnya filsafat karena manusia merasa kagum dan
merasa heran. Pada tahap awalnya kekaguman atau keheranan
itu terarah pada gejala-gejala alam. Dalam perkembangan
lebih lanjut, karena persoalan manusia makin kompleks, maka
dak semuanya dapat dijawab oleh filsafat secara memuaskan.
Jawaban yang diperoleh menurut Koento Wibisono dkk. (1997),
dengan melakukan refleksi yaitu berpikir tentang pikirannya
sendiri. Dengan demikian, dak semua persoalan itu harus
persoalan filsafat.

PENGERTIAN FILSAFAT ILMU


Menurut The Liang Gie (1999), filsafat ilmu adalah segenap
pemikiran reflek f terhadap persoalan-persoalan mengenai

107
segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan
ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Filsafat ilmu
merupakan suatu bidang pengetahuan campuran yang eksistensi
dan pemekarannya bergantung pada hubungan mbal-balik dan
saling-pengaruh antara filsafat dan ilmu.
Filsafat ilmu merupakan penerusan pengembangan filsafat
pengetahuan. Objek dari filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu se ap saat ilmu itu berubah mengiku
perkembangan zaman dan keadaan tanpa meninggalkan
pengetahuan lama. Pengetahuan lama tersebut akan menjadi
pijakan untuk mencari pengetahuan baru. Hal ini senada dengan
ungkapan dari Archie J.Bahm (1980) bahwa ilmu pengetahuan
(sebagai teori) adalah sesuatu yang selalu berubah.
Dalam perkembangannya filsafat ilmu mengarahkan
pandangannya pada strategi pengembangan ilmu yang
menyangkut e k dan heuris k. Bahkan sampai pada dimensi
kebudayaan untuk menangkap dak saja kegunaan atau
kemanfaatan ilmu, tetapi juga ar maknanya bagi kehidupan
manusia (Koento Wibisono dkk., 1997).
Oleh karena itu, diperlukan perenungan kembali
secara mendasar tentang hakekat dari ilmu pengetahuan itu
bahkan hingga implikasinya ke bidang-bidang kajian lain seper
ilmu-ilmu kealaman. Dengan demikian se ap perenungan yang
mendasar, mau dak mau mengantarkan kita untuk masuk ke
dalam kawasan filsafat. Menurut Koento Wibisono (1984),
filsafat dari sesuatu segi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang
berusaha untuk memahami hakekat dari sesuatu “ada” yang
dijadikan objek sasarannya, sehingga filsafat ilmu pengetahuan
yang merupakan salah satu cabang filsafat dengan sendirinya
merupakan ilmu yang berusaha untuk memahami apakah
hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri.

PENGERTIAN ILMU PENGETAHUAN


Ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk
menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemaha-
man manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia.
Beberapa pendapat para ahli tentang ilmu pengetahuan,

108
diuraikan dalam beberapa seper :
1. Harold H. Titus mendefinisikan “Ilmu (Science) diar kan
sebagai common science yang diatur dan diorganisasikan,
mengadakan pendekatan terhadap benda-benda atau
peris wa-peris wa dengan menggunakan metode-metode
observasi yang teli dan kri s).
2. Dr. Mohammad Ha a mendefinisikan “Tiap- ap ilmu
pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan kausal
dalam satu golongan masalah yang sama tabiatnya, baik
menurut kedudukannya tampak dari luar maupun menurut
bangunannya dari dalam.”
3. J. Habarer mendefinisikan “ Suatu hasil ak vitas manusia yang
merupakan kumpulan teori, metode dan praktek dan menjadi
pranata dalam masyarakat.”
4. Louis Leahy mendefinisikan “Pengetahuan merupakan suatu
kekayaan dan kesempurnaan. Seseorang yang tahu lebih
banyak adalah lebih baik kalau dibanding dengan yang dak
tahu apa-apa
5. The Liang Gie mendefinisikan “Ilmu sebagai pengetahuan,
ar nya ilmu adalah sesuatu kumpulan yang sistema s, atau
sebagai kelompok pengetahuan teratur mengenai pokok soal
atau subject ma er. Dengan kata lain bahwa pengetahuan
menunjuk pada sesuatu yang merupakan isi substan f yang
terkandung dalam ilmu.

KARAKTERISTIK ILMU PENGETAHUAN


Karakteris k ilmu pengetahuan di antaranya sebdagai
berikut :
1. Konkrit, yaitu dapat diukur kebenarannya.
2. Kehadiran objek dan subjek dak dapat dipisahkan atau
memiliki keterkaitan satu sama lainnya.
3. Tidak terbatas sehingga masih banyak ilmu pengetahuan yang
harus digali lagi dan dak mempunyai keterbatasan tertentu.
4. Metodologi yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan
5. Rasionalis ; Penalarannya berdasarkan ide yang dianggap jelas
dan dapat diterima oleh akal.
6. Wahyu ; Tidak menggunakan penalaran, tetapi menggunakan

109
wahyu sebagai sumber pengetahuan.
7. Hasil ilmu bersifat akumula f dan merupakan milik bersama
8. Kebenarannya dak mutlak dan bisa terjadi kekeliruan
9. Obyek f dak bergantung pada pemahaman secara pribadi

A. Ciri-Ciri Ilmu Pengetahuan


Menurut The Liang Gie (1987) ilmu pengetahuan
mempunyai 5 ciri pokok yaitu:
1. Empiris, pengetahuan itu diperoleh berdasarkan pengamatan
dan percobaan
2. Sistema s, berbagai keterangan dan data yang tersusun
sebagai kumpulan pengetahuan itu mempunyai hubungan
ketergantungan dan teratur
3. Objek f, ilmu berar pengetahuan itu bebas dari prasangka
perseorangan dan kesukaan pribadi
4. Anali s, pengetahuan ilmiah berusaha membeda-bedakan
pokok soalnya ke dalam bagian yang terperinci untuk
memahami berbagai sifat, hubungan, dan peranan dari bagian-
bagian itu
5. Verifika f, dapat diperiksa kebenarannya oleh siapa pun juga.

Menurut Ismaun (2001) mengetengahkan sifat atau ciri-ciri


ilmu sebagai berikut :
1. Obyek f; ilmu berdasarkan hal-hal yang obyek f, dapat diama
dan dak berdasarkan pada emosional subyek f,
2. Koheren; pernyataan/susunan ilmu dak kontradiksi dengan
kenyataan;
3. Reliable; produk dan cara-cara memperoleh ilmu dilakukan
melalui alat ukur dengan ngkat keterandalan (reabilitas)
nggi,
4. Valid; produk dan cara-cara memperoleh ilmu dilakukan
melalui alat ukur dengan ngkat keabsahan (validitas) yang
nggi, baik secara internal maupun eksternal,
5. Memiliki generalisasi; suatu kesimpulan dalam ilmu dapat
berlaku umum,
6. Akurat; penarikan kesimpulan memiliki keakuratan (akurasi)
yang nggi, dan

110
7. Dapat melakukan prediksi; ilmu dapat memberikan daya
prediksi atas kemungkinan-kemungkinan suatu hal.

SYARAT SYARAT ILMU


Suatu pengetahuan dapat dikatakan sebagai ilmu apabila
dapat memenuhi persyaratan-persyaratan, sebagai berikut
1. Ilmu mensyaratkan adanya obyek yang diteli , baik yang
berhubungan dengan alam (kosmologi) maupun tentang
manusia (Biopsikososial).
2. Ilmu mensyaratkan adanya metode tertentu, yang di dalamnya
berisi pendekatan dan teknik tertentu.
3. Pokok permasalahan (subject ma er atau focus of interest).
ilmu mensyaratkan adanya pokok permasalahan yang akan
dikaji.
Jadi seluruh bentuk ilmu pengetahuan dapat digolongkan
kedalam kategori ilmu pengetahuan dimana masing-masing
bentuk dapat dicirikan oleh karakterris k obyek ontologis,
landasan epistemologis, dan landasan aksiologis.
Salah satu dari bentuk ilmu pengetahuan ditandai dengan :
1. Obyek Ontologis : yaitu pengalaman manusia yakni segenap
wujud yang dapat dijangkau lewat panca indra atau alat yang
membantu kemampuan panca indra.
2. Landasan Epistemologis : metode ilmiah yang berupa gabungan
logika deduk f dengan pengajuan hipotesis atau yang disebut
logico hypote co verifikasi.
3. Landasan Aksiologis : kemaslahatan umat manusia ar nya
segenap wujud ilmu pengetahuan itu secara moral ditujukan
untuk kebaikan hidup manusia.

PERANAN FILSAFAT DALAM ILMU PENGETAHUAN


Semakin banyak manusia tahu, semakin banyak pula
pertanyaan yang mbul dalam dirinya. Manusia ingin tahu
tentang asal dan tujuan hidup, tentang dirinya sendiri, tentang
nasibnya, tentang kebebasannya, dan berbagai hal lainnya. Sikap
seperi ini pada dasarnya sudah menghasilkan pengetahuan yang
sangat luas, yang secara metodis dan sistema s dapat dibagi atas
banyak jenis ilmu.

111
Ilmu-ilmu pengetahuan pada umumnya membantu
manusia dalam mengorientasikan diri dalam dunia dan
memecahkan berbagai persoalan hidup. Berbeda dari binatang,
manusia dak dapat membiarkan ins ng mengatur perilakunya.
Untuk mengatasi masalah-masalah, manusia membutuhkan
kesadaran dalam memahami lingkungannya. Di sinilah ilmu-ilmu
membantu manusia mensistema sasikan apa yang diketahui
manusia dan mengorganisasikan proses pencariannya.
Pada abad modern ini, ilmu-ilmu pengetahuan telah
merasuki se ap sudut kehidupan manusia. Hal ini dak dapat
dipungkiri karena ilmu-ilmu pengetahuan banyak membantu
manusia mengatasi berbagai masalah kehidupan. Prasetya
T. W. dalam ar kelnya yang berjudul “Anarkisme dalam Ilmu
Pengetahuan Paul Karl Feyerabend” mengungkapkan bahwa
ada dua alasan mengapa ilmu pengetahuan menjadi begitu
unggul. Pertama, karena ilmu pengetahuan mempunyai metode
yang benar untuk mencapai hasil-hasilnya. Kedua, karena ada
hasil-hasil yang dapat diajukan sebagai buk keunggulan ilmu
pengetahuan. Dua alasan yang diungkapkan Prasetya tersebut,
dengan jelas menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan memainkan
peranan yang cukup pen ng dalam kehidupan umat manusia.
Akan tetapi, ada pula tokoh yang justru an terhadap ilmu
pengetahuan. Salah satu tokoh yang cukup terkenal dalam hal
ini adalah Paul Karl Feyerabend. Sikap an ilmu pengetahuannya
ini, dak berar an terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri,
tetapi an terhadap kekuasaan ilmu pengetahuan yang kerap
kali melampaui maksud utamanya. Feyerabend menegaskan
bahwa ilmu-ilmu pengetahuan dak menggunguli bidang-bidang
dan bentuk-bentuk pengetahuan lain. Menurutnya, ilmu-ilmu
pengetahuan menjadi lebih unggul karena propaganda dari para
ilmuan dan adanya tolak ukur ins tusional yang diberi wewenang
untuk memutuskannya.
Sekalipun ada berbagai kontradiksi tentang keunggulan ilmu
pengetahuan, dak dapat disangkal bahwa ilmu pengetahuan
sesungguhnya memberikan pengaruh yang besar dalam
kehidupan masyarakat. Hal ini dak terlepas dari peranan ilmu
pengetahuan dalam membantu manusia mengatasi masalah-

112
masalah hidupnya, walaupun kadang-kadang ilmu pengetahuan
dapat pula menciptakan masalah-masalah baru.
Meskipun demikian, pada kenyataannya peranan ilmu
pengetahuan dalam membantu manusia mengatasi masalah
kehidupannya sesungguhnya terbatas. Seper yang telah
diungkapkan pada bagian pendahuluan, keterbatasan itu terletak
pada cara kerja ilmu-ilmu pengetahuan yang hanya membatasi
diri pada tujuan atau bidang tertentu. Karena pembatasan itu,
ilmu pengetahuan dak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan
tentang keseluruhan manusia. Untuk mengatasi masalah ini,
ilmu-ilmu pengetahuan membutuhkan filsafat. Dalam hal inilah
filsafat menjadi hal yang pen ng.
Verhaak dan R.Haryono Imam dalam bukunya yang
berjudul Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah Atas Cara Kerja
Ilmu-ilmu, menjelaskan dua penilaian filsafat atas kebenaran
ilmu-ilmu. Pertama, filsafat ikut menilai apa yang dianggap
“tepat” dan “benar” dalam ilmu-ilmu. Apa yang dianggap tepat
dalam ilmu-ilmu berpulang pada ilmu-ilmu itu sendiri. Dalam
hal ini filsafat dak ikut campur dalam bidang-bidang ilmu itu.
Akan tetapi, mengenai apa kiranya kebenaran itu, ilmu-ilmu
pengetahuan dak dapat menjawabnya karena masalah ini
dak termasuk bidang ilmu mereka. Hal-hal yang berhubungan
dengan ada daknya kebenaran dan tentang apa itu kebenaran
dibahas dan dijelaskan oleh filsafat. Kedua, filsafat memberi
penilaian tentang sumbangan ilmu-ilmu pada perkembangan
pengetahuan manusia guna mencapai kebenaran.
Dari dua penilaian filsafat atas kebenaran ilmu-ilmu di
atas, dapat dillihat bahwa ilmu-ilmu pengetahuan (ilmu-ilmu
pas ) dak langsung berkecimpung dalam usaha manusia
menuju kebenaran. Usaha ilmu-ilmu itu lebih merupakan suatu
sumbangan agar pengetahuan itu sendiri semakin mendeka
kebenaran. Filsafatlah yang secara langsung berperan dalam
usaha manusia untuk mencari kebenaran. Di dalam filsafat,
berbagai pertanyaan yang berhubungan dengan kebenaran
dikumpulkan dan diolah demi menemukan jawaban yang
memadai.
Franz Magnis Suseno mengungkapkan dua arah filsafat

113
dalam usaha mencari jawaban dari berbagai pertanyaan sebagai
berikut: pertama, filsafat harus mengkri k jawaban-jawaban yang
dak memadai. Kedua, filsafat harus ikut mencari jawaban yang
benar. Kri kan dan jawaban yang diberikan filsafat sesungguhnya
berbeda dari jawaban-jawaban lain pada umumnya. Kri kan dan
jawaban itu harus dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.
Pertanggungjawaban rasional pada hakikatnya berar
bahwa se ap langkah harus terbuka terhadap segala pertanyaan
dan sangkalan, serta harus dipertahankan secara argumenta f
dengan argumen-argumen yang objek f. Hal ini berar bahwa
kalau ada yang mempertanyakan atau menyangkal klaim
kebenaran suatu pemikiran, pertanyaan dan sangkalan itu dapat
dijawab dengan argumentasi atau alasan-alasan yang masuk akal
dan dapat dimenger .
Dari berbagai penjelasan di atas, tampak jelas bahwa filsafat
selalu mengarah pada pencarian akan kebenaran. Pencarian itu
dapat dilakukan dengan menilai ilmu-ilmu pengetahuan yang ada
secara kri s sambil berusaha menemukan jawaban yang benar.
Tentu saja penilaian itu harus dilakukan dengan langkah-langkah
yang teli dan dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.
Penilaian dan jawaban yang diberikan filsafat sendiri, senan asa
harus terbuka terhadap berbagai kri kan dan masukan sebagai
bahan evaluasi demi mencapai kebenaran yang dicari.
Inilah yang menunjukkan kekhasan filsafat di hadapan
berbagai ilmu pengetahuan yang ada. Filsafat selalu terbuka
untuk berdialog dan bekerjasama dengan berbagai ilmu
pengetahuan dalam rangka pencarian akan kebenaran. Baik ilmu
pengetahuan maupun filsafat, bila diarahkan secara tepat dapat
sangat membantu kehidupan manusia.
Membangun ilmu pengetahuan diperlukan konsistensi yang
terus berpegang pada paradigma yang membentuknya. Kearifan
memperbaiki paradigma ilmu pengetahuan nampaknya sangat
diperlukan agar ilmu pengetahuan seiring dengan tantangan
zaman, karena ilmu pengetahuan dak hidup dengan dirinya
sendiri, tetapi harus mempunyai manfaat kepada kehidupan
dunia
Hampir semua kemampuan pemikiran (thought) manusia

114
didominasi oleh pendekatan filsafat. Pengetahuan manusia
yang dihasilkan melalui proses berpikir selalu digunakannya
untuk menyingkap tabir ke daktahuan dan mencari solusi
masalah kehidupan.antara ilmu Pengetahuan dan ilmu Filsafat
ada persamaan dan perbedaannya.Ilmu Pengetahuan bersifat
Posterior kesimpulannya ditarik setelah melakukan pengujian-
pengujian secara berulang-ulang sedangkan Filsafat bersifat
priori kesimpulannya ditarik tanpa pengujian,sebab Filsafat dak
mengharuskan adanya data empiris seper yang dimiliki ilmu
karena Filsafat bersifat Spekula f.Disamping adanya perbedaan
antara ilmu dengan filsafat ada sejumlah persamaan yaitu
sama-sama mencari kebenaran.Ilmu memiliki tugas melukiskan
filsafat bertugas untuk menafsirkan kesemestaan ak vitas ilmu
digerakkan oleh pertanyaan bagaimana menjawab pelukisan
fakta sedangkan filsafat menjawab atas pertanyaan lanjutan
bagaimana sesungguhnya fakat itu darimana awalnya dan akan
kemana akhirnya

KESIMPULAN
Filsafat berasal dari kata Yunani “philosophia” yang lazim
diterjemahkan sebagai cinta kearifan. Akar katanya ialah philos
(philia, cinta) dan sophia (kearifan). Menurut penger annya
yang semula dari zaman Yunani Kuno itu filsafat berar
cinta kearifan.sedangkan filsafat ilmu merupakan penerusan
pengembangan filsafat pengetahuan. Objek dari filsafat ilmu
adalah ilmu pengetahuan. Oleh karena itu se ap saat ilmu itu
berubah mengiku perkembangan zaman dan keadaan tanpa
meninggalkan pengetahuan lama. Pengetahuan lama tersebut
akan menjadi pijakan untuk mencari pengetahuan baru dan Ilmu
pengetahuan atau Knowledge ini merupakan terminologi generik
yang mencakup segenap bentuk yang kita ketahui seper filsafat,
sosial, seni, beladiri, dan ilmu sains itu sendiri.
Peranan filsafat dalam ilmu pengetahuan adalah
filsafat memberi penilaian tentang sumbangan ilmu-ilmu
pada perkembangan pengetahuan manusia guna mencapai
kebenaran tapi filsafat dak ikut campur dalam ilmu-ilmu
tersebut dimana filsafat selalu mengarah pada pencarian akan

115
kebenaran. Pencarian itu dapat dilakukan dengan menilai
ilmu-ilmu pengetahuan yang ada secara kri s sambil berusaha
menemukan jawaban yang benar. Tentu saja penilaian itu
harus dilakukan dengan langkah-langkah yang teli dan dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional. Penilaian dan jawaban
yang diberikan filsafat sendiri, senan asa harus terbuka terhadap
berbagai kri kan dan masukan sebagai bahan evaluasi demi
mencapai kebenaran yang dicari.
Antara ilmu Pengetahuan dan ilmu Filsafat ada persamaan
dan perbedaannya.Ilmu Pengetahuan bersifat Posterior
kesimpulannya ditarik setelah melakukan pengujian-pengujian
secara berulang-ulang sedangkan Filsafat bersifat priori
kesimpulannya ditarik tanpa pengujian,sebab Filsafat dak
mengharuskan adanya data empiris seper yang dimiliki ilmu
karena Filsafat bersifat Spekula f.Disamping adanya perbedaan
antara ilmu dengan filsafat ada sejumlah persamaan yaitu
sama-sama mencari kebenaran.Ilmu memiliki tugas melukiskan
filsafat bertugas untuk menafsirkan kesemestaan ak vitas ilmu
digerakkan oleh pertanyaan bagaimana menjawab pelukisan
fakta sedangkan filsafat menjawab atas pertanyaan lanjutan
bagaimana sesungguhnya fakta itu darimana awalnya dan akan
kemana akhirnya.

116
DAFTAR PUSTAKA

Bahm, Archie, J., 1980., “What Is Science”, Reprinted from my


Axiology; The Science Of Values; 44-49, World Books,
Albuquerqe, New Mexico, p.1,11.
Bertens, K., 1987., “Panorama Filsafat Modern”, Gramedia
Jakarta, p.14, 16, 20-21, 26.
Koento Wibisono S. dkk., 1997., “Filsafat Ilmu Sebagai Dasar
Pengembangan Ilmu Pengetahuan”, Intan Pariwara, Klaten,
p.6-7, 9, 16, 35, 79.
Koento Wibisono S., 1984., “Filsafat Ilmu Pengetahuan Dan
Aktualitasnya Dalam Upaya Pencapaian Perdamaian
Dunia Yang Kita Cita-Citakan”, Fakultas Pasca Sarjana UGM
Yogyakarta p.3, 14-16.
____________________., 1996., “Ar Perkembangan Menurut
Filsafat Posi visme Auguste Comte”, Cet.Ke-2, Gadjah
Mada University Press Yogyakarta, p.8, 24-26, 40.
____________________., 1999., “Ilmu Pengetahuan Sebuah
Sketsa Umum Mengenai Kelahiran Dan Perkembangannya
Sebagai Pengantar Untuk Memahami Filsafat Ilmu”,
Makalah, Ditjen Dik Depdikbud – Fakultas Filsafat UGM
Yogyakarta, p.1.
Nuchelmans, G., 1982., “Berfikir Secara Kefilsafatan: Bab X,
Filsafat Ilmu Pengetahuan Alam, Dialihbahasakan Oleh
Soejono Soemargono”, Fakultas Filsafat – PPPT UGM
Yogyakarta p.6-7.
Sastrapratedja, M., 1997., “Beberapa Aspek Perkembangan Ilmu
Pengetahuan”, Makalah, Disampaikan Pada Internship
Filsafat Ilmu Pengetahuan, UGM Yogyakarta 2-8 Januari
1997, p.2-3.
Soeparmo, A.H., 1984., “Struktur Keilmuwan Dan Teori Ilmu
Pengetahuan Alam”, Penerbit Airlangga University Press,
Surabaya, p.2, 11.
The Liang Gie., 1999., Pengantar Filsafat Ilmu”, Cet. Ke-4, Penerbit

117
Liberty Yogyakarta, p.29, 31, 37, 61, 68, 85, 93, 159, 161.
Van Melsen, A.G.M., 1985., “Ilmu Pengetahuan Dan Tanggung
Jawab, Diterjemahkan Oleh K.Bartens”, Gramedia Jakarta,
p.16-17, 25-26.
Van Peursen, C.A.,1985., “Susunan Ilmu Pengetahuan Sebuah
Pengantar Filsafat Ilmu, Alih Bahasa Oleh J.Drost”, Gramedia
Jakarta, p.1, 4, 12

118
HUKUM DAN KONTROL SOSIAL

Oleh: H. Syaiful Ilmi, M.S.I

Abstrak

Kontrol sosial dipandang sebagai “pusat fakta dan pusat masalah”


dari masyarakat. Masyarakat dimanapun berada adalah
organisasi yang terkontrol. Fungsinya adalah mengorganisasikan,
menginterpretasikan dan mengarahkan energi-energi yang
terletak pada individu-individu yang membentuknya” Sosiologi
umumnya membedakan antara 2 proses kontrol sosial atas dasar
: (1) internalisasi (pengenalan) dari norma-norma kelompok
ke ka kepatuhan (conformity) dijamin melalui sosialisasi (yaitu,
proses dimana individu-individu mengenalkan norma-norma dan
nilai-nilai dari suatu masyarakat); dan (2) reaksi sosial terhadap
tekanan-tekanan dari luar (external pressure) dalam bentuk
sanksi terhadap yang lainnya dalam kasus ke dakpatuhan
terhadap norma-norma, baik yang dian sipasi maupun yang
aktual. Kontrol sosial melalui internalisasi dari norma-norma
kelompok adalah hasil dari sosialisasi dimana individu-individu
memperoleh mo vasi untuk patuh walaupun ada tekanan
dari luar. Seper yang dijelaskan oleh Marshall B. Clinnard
dan Robert F. Meier (1979: 19), mekanisme dari kontrol sosial,
seper adat (customs), kepercayaan (beliefs), tradisi-tradisi,
sikap-sikap, dan nilai-nilai, umumnya diperoleh melalui interaksi
antar orang-orang dalam jangka waktu yang lama. Fakta bahwa

119
hampir semua suami dak membunuh isterinya, bukan karena
terletak pada besarnya ngkat hukuman untuk pelaku ndak
pidana pembunuhan; kebanyakan pengemudi tetap berada di
sebelah kanan dari dak sepenuhnya karena yang lainnya akan
memandang cara pengemudi mereka sebagai illegal; dan para
peminum minuman alkohol dak semuanya mabuk karena
tetangga-tetangga akan bergosip. Ada kepatuhan terhadap
norma-norma karena individu-individu telah tersosialisai untuk
percaya bahwa mereka harus patuh, dak peduli atau bebas dari
reaksi an sipasi dari orang-orang lainnya di dalam masyarakat.

Kata Kunci: Hukum, Kontrol, Sosial

PENDAHULUAN
Semua masyarakat dan semua kelompok sosial mempunyai
mekanisme untuk menjamin ketaatan (conformity) terhadap
norma-norma, yang disebut mekanisme kontrol sosial. Kontrol
social berar proses-proses dan metode-metode yang digunakan
oleh anggota-anggota sebuah masyarakat atau suatu kelompok
untuk memelihara keteraturan / kedamaian sosial (social order)
dengan penegakan perilaku yang telah disepaka . Fokus bab ini
adalah tentang kontrol sosial melalui hukum yang berlaku ke ka
bentuk-bentuk lain dari mekanisme kontrol sosial dak ak f atau
dak ada. Bab ini membahas proses-proses dari kontrol sosial
dan penggunaan sanksi kejahatan dan komitmen sipil untuk
mengontrol perilaku yang menyimpang (deviant behavior).
Penekanan khusus pada “kejahatan tanpa korban” (crimes without
vic ms, seper : kecanduan obat, pros tusi dan perjudian),
kejahatan kerah pu h (white-collar crime), dan kontrol terhadap
pembangkang (control of dissent). Hukum administra f sebagai
suatu cara untuk mengontrol, akan didiskusikan dalam konteks
lisensi, inspeksi, dan ancaman untuk dipublikasi.
Mekanisme kontrol sosial melalui tekanan eksternal
melipu sanksi posi f dan nega f. Sanksi-sanksi ini dapat berupa
sanksi formal dan sanksi informal. Kontrol informal seper gossip,
olok-olok (ridicule), atau menghalang-halangi (obstracism),
adalah sejenis ndakan dak resmi dari kelompok. Tindakan

120
resmi atau kontrol formal seper penggunaan hukum yang
diturunkan dari lembaga sosial kemasyarakatan yang dibuat untuk
melaksanakan fungsi-fungsi dari masyarakat. Clinard dan Meier
(1979: 10,20) mencatat bahwa kontrol ini melekat (embedded)
ke struktur formal dari masyarakat, dan didukung oleh semacam
kepercayaan, idealisme, adat, prasangka (convic on), sikap, dan
opini yang masing-masing sebenarnya adalah kontrol informal.
“Dalam hal ini kontrol informal dan formal dak dapat dipandang
sebagai dua hal yang sama sekali terpisah”. Mereka merujuk pada
suatu peneli an yang dilakukan oleh H.D. Willcock dan J. Stokes,
yang menemukan (menyimpulkan) bahwa di antara sample yang
terdiri dari 800 remaja laki-laki, perha an lebih besar dari mereka
adalah tentang bagaimana keluarga mereka akan berpikir tentang
mereka daripada apakah mereka telah pernah ditahan oleh polisi
dan diberikan hukuman formal. Temuan ini menyarankan bahwa
walaupun sanksi formal mungkin mempunyai efek tersendiri
terhadap perilaku dari individu-individu, namun kombinasi
sanksi formal dengan sanksi informal adalah jauh lebih pen ng.
Pernyataan (proposi on) bahwa lembaga-lembaga sosial
utama seper keluarga, sistem pendidikan, agama, sistem
ekonomi, dan hukum adalah lembaga-lembaga utama kontrol
sosial telah lama diterima oleh para ahli sosiologi (Newman, 1976:
21). Lembaga-lembaga ini adalah cara yang benar / terstruktur
dimana kontrol sosial dipertahankan. Formalitas dari struktur
sangat bervariasi dari sangat dak formal (keluarga) ke sangat
formal dan ritualis k (hukum pidana). Namun, se ap lembaga
tersebut memainkan peranan yang pen ng untuk memelihara
kedamaian (order maintenance). Se ap masyarakat mempunyai
lembaga seper itu dimana kontrol sosial dipertahankan.
Selain itu, di suatu masyarakat tertentu bentuk dari kontrol
sosial akan sangat bervariasi dari waktu ke waktu. Sebagai
contoh, David J. Rothman (1971) telah menunjukkan dalam
peneli annya tentang pencari suaka di Amerika Serikat tentang
bagaimana, dalam teori dan praktek, persepsi dan hubungan
antara penyimpangan (deviance) dan kepatuhan (dependency)
telah berubah sesuai dengan perkembangan ekonomi,
intelektual, dan demografi. Bilamana di masa penjajahan (colonial

121
period) alat yang biasanya digunakan untuk mengontrol orang-
orang yang sakit jiwa bersifat informal (dimana individu yang
bermasalah akan dipertahankan di dalam masyarakat), maka di
era Amerika masa Jacksonian digunakanlah tempat khusus yang
terpisah dari masyarakat (asylum). Lembaga formal yang sangat
diatur (regularized) yang umumnya terletak di luar masyarakat,
berakibat menjadi hal pertama dan bukan hal terakhir (first resort
and not last resort) untuk menangani pasien cacat mental / sakit
jiwa. Rothman juga menggambarkan bahwa proses yang ironis
dimana harapan humanitarian awal untuk mereformasi individual
dalam ruang tahanan (asylum) menghadapi batasan-batasan
kelembagaan dan tekanan-tekanan yang berakibat pada tempat
yang melulu untuk penahanan narapidana daripada tempat
rehabilitasi seper yang direncanakan semula. Mekanisme kontrol
sosial juga dapat dibandingkan dan dikontraskan (compared and
contrasted) dalam hal isinya. Dalam is lah konkretnya, reaksi
umum terhadap orang yang berperilaku menyimpang (deviance)
dan melanggar aturan dapat menyebabkan diterimanya sanksi
informal atau formal. Walaupun ada sejumlah tumpang ndih
antara mekanisme kontrol sosial yang informal dan formal,
namun untuk maksud analisis kedua hal tersebut akan dibahas
secara terpisah.

PEMBAHASAN
1. Kontrol Sosial Informal
Kontrol sosial informal diejawantahkan sebagai fungsi-
fungsi “tatakrama” (folkways) yaitu norma-norma yang dibuat
untuk praktek-praktek umum seper menspesifikasikan tatacara
berbusana, e ket, dan penggunaan bahasa; serta “pamali”
(mores), yaitu norma-norma masyarakat yang berhubungan
dengan perasaan yang kuat tentang yang benar dan yang
salah dan aturan keras tentang perilaku yang dak seharusnya
dilanggar, misalnya incest. Kontrol-kontrol informal ini melipu
teknik-teknik dimana individu-individu yang mengenal satu
sama lain secara pribadi setuju (accord) untuk menjunjung
nggi individu-individu yang patuh (comply) terhadap harapan
masyarakat dan menunjukkan ke dakpuasan kepada individu-

122
individu yang dak patuh (Shibutani, 1961:426). Teknik-teknik ini
dapat diama dari perilaku spesifik seper olok-olok (ridicule),
gossip, pujian, teguran (reprimands), kri kan, menghalang-
halangi (obstracism), atau kutukan (verbal ra onaliza ons),
dan pernyataan pendapat (expressions of opinion). Gosip, atau
ketakutan akan gossip, adalah salah satu dari alat efek f yang
digunakan oleh sejumlah anggota masyarakat untuk membawa
individu-individu agar patuh dengan norma-norma. Tidak seper
kontrol sosial formal, kontrol informal ini dak dilaksanakan
melalui mekanisme kelompok resmi, dan dak ada orang
tertentu yang ditunjuk untuk penegakannya.
Mekanisme informal dari kontrol sosial cenderung lebih
efek f bila dilaksanakan di kelompok-kelompok atau masyarakat
yang hubungannya tatap-muka (face-to-face) dan in m serta
dimana pembagian kerjanya masih sederhana. Misalnya, Emile
Durkheim berpendapat bahwa di masyakarat sederhana, seper
desa-desa suku atau di kota-kota kecil, norma-norma hukum lebih
sesuai (accord) dengan norma-norma social, daripada di desa
yang lebih besar atau di masyarakat yang jauh lebih kompleks.
Ke daksetujuan moral terhadap si penyimpang adalah mutlak
di masyarakat sederhana; seper catatan Daniel Glaser (1971:
32), “Toleransi terhadap keragaman perilaku bervariasi secara
langsung dengan pembagian kerja (distribu on of labor) di
masyarakat”. Pada masyarakat sederhana hukum seringkali
dak tertulis, yang mengharuskan pengajaran langsung tentang
norma-norma ke anak-anak. Sosialisasi di masyarakat sederhana
dak memberi contoh kepada anak-anak tentang norma-norma
kontradik f yang menimbulkan kebingungan atau konflik internal.
Interaksi tatap muka yang sangat intens di masyarakat sederhana
menghasilkan konsensus moral yang diketahui dengan baik oleh
semua anggota masyarakat; sehingga adanya ndakan yang
menyimpang akan segera menarik perha an semua anggota
masyarakat.
Ada buk dalam literatur sosiologi untuk mendukung
pendapat bahwa kontrol sosial informal lebih kuat di masyarakat
yang lebih kecil dan homogen, dibandingkan dengan di masyarakat
yang heterogen. Di peneli annya yang sangat berpengaruh

123
tentang perilaku menyimpang di Koloni Teluk Massachussets,
Kai T. Erikson menemukan bahwa ukuran kecil dan homogenitas
budaya dari masyarakat membantu perilaku terkontrol, karena
se ap orang dalam masyarakat menekan individu-individu
yang punya bakat menyimpang untuk patuh terhadap norma-
norma dominan. Terdapat sejumlah mata-mata oleh tetangga
di dalam masyarakat yang mengawasi ndakan- ndakan yang
menyimpang. Sensor moral seke ka akan mengiku ndakan
yang menyimpang (Erikson, 1966: 169-170). Bahkan hari ini,
reaksi terhadap ndakan kriminal tertentu seper perkosaan
atau pembunuhuhan di kota kecil, homogen, dan antar anggota
masyarakat terkait yang erat, sangatlah besar dan seke ka
sehingga pengadilan terhadap si terdakwa dari kejahatan macam
ini akan sulit, karena tekanan publik terhadap sistem hukum
yang menginginkan adanya hukuman yang keras dan seke ka
akan membuat jalannya proses pengadilan akan sulit. Dalam
kasus seper itu, perlu adanya perubahan lokasi pengadilan
untuk meminimalkan tekanan publik. Perubahan lokasi
pengadilan seper itu biasanya terjadi di masyarakat sederhana
daripada di masyarakat yang kompleks dimana pengadilan dak
mengasumsikan bahwa si terdakwa akan menerima peradilan
yang fair karena adanya prasangka / prejudice (Friendly dan
Goldfarb, 1967: 96-101).
Tidak diragukan lagi, kontrol sosial informal berjalan
lebih efek f di masyarakat yang lebih kecil dimana individu-
individu tahu satu sama lain dan secara teratur berinteraksi.
Di masyarakat yang seper itu agen penegakan hukum (polisi,
jaksa, hakim) boleh berharap adanya kerjasama yang lebih baik.
Seper yang dicatat oleh Komisi Presiden tentang Penegakan
Hukum dan Administrasi Pengadilan (the President’s Commission
on Law Enforcement and Administra on of Jus ce) (1967a:
6), “Seorang laki-laki yang hidup di pedesaan atau di kota kecil
kemungkinan besar harus selalu berha -ha , karena diawasi
terus oleh masyarakatnya, dan oleh karena itu berada di bawah
pengaruh masyarakatnya. Seorang laki-laki yang nggal di kota
besar hampir dak terlihat (invisible), secara sosial terisolasi dari
masyarakatnya, dan oleh karena itu dak dapat dikontrol oleh

124
masyarakatnya. Ia mempunyai peluang yang lebih besar untuk
melakukan ndak kejahatan”.
Pendapat bahwa mekanisme sosial kontrol informal yang
lebih efek f di masyarakat sederhana didukung oleh peneli an
Sarah L. Boggs tentang sosial kontrol formal dan informal di
pusat-pusat kota, pinggiran-pinggiran kota, dan kota-kota kecil di
Negara bagian Missouri. Boggs menyimpulkan bahwa penduduk
kota-kota besar lebih apa s daripada penduduk pinggiran kota
atau kota kecil untuk merasakan bahwa kejahatan segera akan
terjadi (likely to occur) di dalam masyarakatnya. Penduduk kota
besar kemungkinan besar dak akan melaporkan perampokan
(burglary) yang dilihatnya, dan lebih banyak penduduk kota
besar yang tahu adanya ndak kejahatan atau perilaku yang
mencurigakan di kotanya di tahun yang lampau. Kebanyakan
orang mengatakan bahwa lokasi tempat nggal (neighborhood)
mereka aman, dan hanya sedikit yang merasa demikian di kota-
kota besar. Ke ka ditanya apa yang membuat lokasi tempat
nggal mereka aman, 83 persen dari mereka yang nggal di
pedesaan dan kota kecil mengatakan bahwa itu karena adanya
kontrol sosial; 70 persen di pinggiran kota dan 68 persen di kota
besar mengatakan aman karena adanya kontrol sosial. Ke ka
mereka mengatakan bahwa lokasi tempat nggalnya aman
karena kontrol sosial informal, mereka mengar kan mereka
merasa aman karena karakter dari masyarakat dan penduduknya,
yaitu “warga negara yang baik, terhormat (decent), patuh kepada
hukum (law-abiding), dan kelas menengah” (Boggs, 1971: 323).
Keamanan dari lokasi tempat nggal (neighborhood) juga
karena jaringan sosial dalam masyarakat yang akan membuat
“orang-orang di pinggir jalan” (bystander) untuk mengintervensi
ndak kejahatan. Responden yang nggal di pinggiran kota dan
kota-kota besar kemungkinan besar akan menyangkutpautkan
keamanan dengan agen kontrol sosial formal seper polisi
daripada responden yang nggal di pedesaan dan kota-kota kecil
(Boggs, 1971:234). Boggs menyimpulkan bahwa penduduk kota-
kota besar cenderung lebih mengharapkan terjadinya ndak
kejahatan, namun cenderung dak mengandalkan tetangganya
untuk melindungi komunitasnya dan lebih mengandalkannya ke

125
perlindungan polisi. Sebagai hasilnya, mereka lebih berjaga-jaga
(take precau ons), seper membeli senjata atau anjing penjaga
daripada penduduk yang nggal di pinggiran kota, kota-kota
kecil, dan di pedesaan.
Dalam peneli an lainnya tentang penggunaan mekanisme
kontrol sosial formal dan informal, Richard D. Schwartz (1977)
memeriksa dua kompleks pemukiman pertanian Israel.
Komunitas itu awalnya sama satu dengan yang lainnya, karena
dak adanya perbedaan besar terhadap ide-ide kontrol hukum.
Satu pemukiman adalah pemukiman kolek f atau kvutza, yang
dak mempunyai mekanisme formal untuk menyelesaikan
perselisihan hukum, dan satu pemukiman lainnya adalah
pemukiman semi swasta yang disebut moshav, yang mempunyai
komisi judisial untuk menangani perselisihan hukum. Pemukiman
kolek f tersebut dak mempunyai komisi hukum karena adanya
interaksi intensif dan tatap muka yang memberikan cara yang
efek f untuk kontrol sosial melalui tekanan kelompok. Sebaliknya,
pada pemukiman yang semi swasta, adanya kekurangan interaksi
dan kekurangan konsensus : perilaku agak dak kelihatan (less
visible) bagi anggota-anggota komunitas daripada di pemukiman
kolek f. Schwartz menyimpulkan bahwa kontrol sosial informal
kurang efek f pada pemukiman semi swasta daripada di
permukiman kolek f dimana aliran informasi akan membuat
ndakan menyimpang akan segera diketahui oleh semua anggota
masyarakat.
Kesimpulan yang sama tentang peranan mekanisme
kontrol sosial informal dapat ditarik dari peneli an-peneli an
tentang negara-negara berkembang (developing na ons).
Sebagai contoh, dalam membandingkan antara komunitas
yang ngkat kejahatannya rendah dan komunitas yang ngkat
kejahatannya nggi di Kampala, Uganda, Mashall B. Clinard dan
Daniel J. Abbo menemukan bahwa lokasi-lokasi yang ngkat
kejahatannya kurang menunjukkan adanya solidaritas sosial
yang nggi, adanya interaksi sosial antara para tetangga, adanya
par sipasi dalam organisasi lokal, kurangnya mobilitas geografi
(jarang bepergian, jarang pindah), dan adanya stabilitas dalam
hubungan keluarga. Juga adanya homogenitas budaya yang

126
lebih besar dan adanya penekanan lebih besar pada hubungan
kesukuan dan keluarga (tribal and kinship es) pada komunitas
yang ngkat kejahatannya rendah, yang sangat membantu
dalam menanggulangi (counteract) orang-orang yang dak
diketahui dengan jelas (anonymity) yang pindah ke kotanya.
Ikatan kelompok utama yang lebih besar di antara penduduk
di komunitas yang ngkat kejahatannya rendah membuatnya
lebih sulit bagi orang asing (stranger) di dalam komunitasnya
untuk melarikan diri dari perha an publik. Untuk menghindari
pencurian, penduduk di area itu harus merasakan apa yang salah;
membagi tanggung jawab untuk memelihara property dari lokasi
tempat nggal; dapat menginden fikasikan orang-orang asing di
arenya; dan mau untuk mengambil ndakan jika mereka melihat
seorang pencuri (Clinard dan Abbo , 1973: 149).
Berdasarkan peneli an-peneli an ini, dapat disimpulkan
bahwa jika terdapat adanya interaksi sosial yang in m dan
tatap muka, konsensus norma f, dan pengawasan (surveillance)
terhadap perilaku anggota-anggota masyarakat, kontrol sosial
informal akan kuat sehingga kontrol sosial formal dan legal
mungkin dak lagi diperlukan. Pendapat ini diperkuat oleh
argument Roberto Mangabeira Unger (1976) yang telah dibahas
di Bab 2. Untuk mengulanginya, Unger berpendapat bahwa
hukum birokrasi mbul ke ka Negara dan masyarakat menjadi
“menaruh perha an” (differen ated), dan adanya perasaan
kebutuhan akan sebuah ins tusi yang berdiri di atas semua
kelompok yang ber kai. Hal ini terjadi jika komunitas terpecah
belah, yaitu, ke ka individu-individu dak dianggap lagi untuk
ber ndak di serangkaian cara tanpa petunjuk yang sebaliknya
(when individuals may no longer be counted on to act in set ways
without overt guidance). Disintegrasi seper itu datang ke ka
pembagian pekerjaan menimbulkan peluang-peluang baru untuk
kekuasaan dan kekayaan, yang pada gilirannya, memotong hirarki
lama yang ditentukan oleh kelahiran / keturunan (detemined
by birth). Proses ini disertai dengan bertambahnya sandaran
kepada kontrol sosial formal.

127
2. Kontrol Sosial Formal
Walaupun dak ada garis pembatas yang jelas, kontrol
sosial formal biasanya dicirikan oleh masyarakat yang lebih
kompleks dengan pembagian kerja yang lebih jelas, populasi yang
lebih heterogen, dan sub kelompok-sub kelompok dengan nilai-
nilai yang saling berkompe si dan berbagai rangkaian “pamali”
(mores) dan ideology. Kontrol formal muncul ke ka kontrol
informal dak mencukupi untuk mempertahankan kepatuhan
(conformity) terhadap norma-norma tertentu, dan mempunyai
karakteris k adanya sistem tentang lembaga-lembaga khusus dan
teknik-teknik standar. Ada 2 pe yaitu yang dilembagakan oleh
negara dan diberi wewenang untuk menggunakan kekuatan, dan
yang dilaksanakan oleh lembaga selain negara, seper gereja,
kelompok bisnis dan pekerja, universitas, dan perkumpulan-
perkumpulan.
Kontrol sosial formal diejawantahkan delam lembaga-
lembaga di dalam masyarakat dan mempunyai karakter sebagai
adanya prosedur-prosedur eksplisit, dan delegasi kepada
lembaga-lembaga khusus untuk menegakkan prosedur-prosedur
eksplisit tersebut (hukum, dekrit, regulasi, undang-undang).
Karena mereka diejawantahkan ke dalam lembaga-lembaga di
dalam masyarakat, mereka dikelola oleh individu-individu yang
menjabat di jabatan-jabatan lembaga tersebut. Pada umumnya,
seseorang yang mencoba untuk memanipulasi perilaku dari yang
lainnya melalui penggunaan sangsi formal dapat disebut agen
kontrol sosial (Clinard dan Meier, 1979: 21).
Ins tusi sosial diorganisasikan untuk menjamin kepatuhan
(securing conformity) terhadap mode-mode tertulis (established
modes) dari perilaku dan terdiri dari prosedur-prosedur
tertulis (established procedures) untuk memuaskan kebutuhan
manusia. Prosedur-prosedur ini membawa sejumlah kewajiban
(compulsion). Melipu mekanisme untuk menerapkan kepatuhan
(imposing conformity). Lembaga non poli s boleh bergantung
kepada sejumlah hukuman (penal es) dan hadiah (rewards)
untuk menjamin kepatuhan (to insure compliance). Sebagai
contoh, suatu organisasi / perusahaan dapat memecat seorang
pekerjanya; sebuah gereja dapat menangguhkan pelayanan

128
keagamaan pada suatu perkawinan atau pemakaman; atau
malahan “mengeluarkan” seorang anggotanya; sebuah pemilik
liga dapat mendenda atau menghukum (suspend) seorang atlit
professional karena melanggar aturan. Organisasi yang sama ini
boleh juga menggunakan hadiah formal (formal rewards) untuk
menjamin kepatuhan. Untuk menggambarkannya, bisa melalui
bonus dan promosi, suatu organisasi seringkali memberi hadiah
seseorang yang telah memberikan kontribusi yang sangat besar.
Anggota gereja yang berdedikasi dapat diberikan penghargaan
pelayanan yang luar biasa, dan atlit professional seringkali
diberikan hadiah finansial.
Negara, melalui ins tusi-ins tusi hukumnya, melaksanakan
pe lain dari kontrol sosial melalui penggunaan ancaman
kekuatan atau pemaksaan (through the use of the threat of
force and coercion). “Kontrol seper itu mengurai dirinya
(resolves itself) ke dalam bentuk-bentuk seper menahan
(restraints) semua parasit sosial, para pengambil keuntungan
dalam kesempitan (exploiters) yang biasanya didefinisikan
secara hukum, pelaku-pelaku kejahatan (criminals), dan semua
orang yang dak sempurna dan an sosial (all other imperfectly
socialized and an social persons) yang perilakunya mengancam
“kenyamanan” (well being) masyarakat secara keseluruhan; dan
penetapan (establishment) dan pemeliharaan (preserva on) dari
ngkat penyesuaian sosial (social adjustment), keseimbangan
(equilibrium), dan solidaritas sosial – “hukum dan kedamaian”
(law and order) – di antara berbagai bagian yang memungkinkan
ndakan bersama yang efek f atau kebutuhan-kebutuhan yang
sama dan tujuan-tujuan dan menjamin operasi yang efisien,
stabilitas, dan kon nuitas di dalam masyarakat” (Roucek, 1978a:
13).
Perlu dicatat dari awalnya bahwa kontrol melalui hukum
jarang dilaksanakan dengan penggunaan sanksi posi f atau
penghargaan (rewards). Seseorang yang selama hidupnya
menghorma hukum dan memenuhi persyaratan hukum
jarang menerima penghargaan atau rekomendasi. Kontrol
negara dilaksanakan utamanya, namun dak secara eksklusif,
melalui penggunaan hukuman untuk mengatur perilaku warga

129
negaranya. Dua seksi berikut akan membahas penggunaan
sangsi pidana dan komitmen sipil untuk mengontrol pe perilaku
tertentu.

3. Kontrol Sosial Formal untuk Penyimpang : Sanksi Pidana


Kontrol sosial terhadap kejahatan (criminal) dan perilaku
melanggar (delinquent behavior) membentuk sistem formal
terstruktur ter nggi (the most highly structured formal system)
yang digunakan oleh masyarakat. Sistem untuk mengontrol
kejahatan dan pelanggaran (the criminal jus ce system) secara
eksplisit menyatakan ke daksetujuan masyarakat akan “ ndak
kejahatan” (“crime”), dak seper bentuk lain dari penyimpangan
sosial (Clinard dan Meier, 1979: 243). Hukum, yang diundangkan
oleh legislator dan dimodifikasi oleh keputusan pengadilan,
mendefinisikan ndak kejahatan dan perilaku melanggar dan
menyebutkan sanksi-sanksi yang akan diterapkan bagi yang
melanggar. Waktu demi waktu, terdapat pengandalan yang
meningkat dari hukum (an increasing reliance of law) untuk
mengatur ak vitas-ak vitas dan kehidupan dari masyarakat.
Karena hukum telah disebarluaskan untuk mencakup berbagai
pe perilaku, banyak perubahan dalam hal hukuman untuk
pe- pe kejahatan tertentu yang telah terjadi (Packer, 1968).
Peningkatan ini dak bisa dak akan menghasilkan kontrol sosial
yang lebih ketat dan perubahan lebih lanjut dari metode-metode
kontrol. Mengingat banyak perilaku lagi yang didefinisikan
sebagai ndak kejahatan, maka lebih banyak ndakan yang
menjadi perha an polisi, pengadilan, dan sistem penjara.
Dalam literatur sosiologi, is lah “legislasi” digunakan untuk
menggambarkan proses dimana norma-norma dipindahkan dari
level sosial ke level legal / hukum. Tidak semua norma sosial
menjadi hukum; pada kenyataannya, hanya norma-norma
tertentu yang diterjemahkan ke dalam bentuk-bentuk hukum.
Mengapa pelanggaran terhadap norma-norma tertentu, namun
dak yang lainnya, dipilih untuk dimasukkan ke dalam hukum
pidana ? Aus n T. Turk (1972) menjawab bahwa ada kekuatan-
kekuatan sosial yang terlibat di dalam legislasi dan pembuatan
dari norma-norma legal: kehormatan moral (moral indigna on),

130
nilai nggi terhadap keteraturan / kedamaian (a high value on
order), respons terhadap ancaman, dan tak k-tak k poli k.
Seper yang telah saya diskusikan di Bab sebelumnya,
hukum mungkin dibuat oleh ndakan ”pengusaha moral” (”moral
entrepreneurs”) yang menjadi marah karena beberapa praktek
yang menurut mereka dak dapat dimenger , misalnya merokok
marijuana. Pihak yang lainnya lebih suka keteraturan / kedamaian
(order) dan bersikeras pada persyaratan-persyaratan (provisions)
untuk mengatur kehidupan dan membuat masyarakat seteratur
mungkin. Mereka mengajukan (promulgate) hukum untuk
menjamin keteraturan (order) dan keseragaman (uniformity),
seper pada kasus regulasi lalu lintas. Beberapa orang bereaksi
terhadap ancaman yang riil atau imajiner dan menyarankan
adanya ndakan kontrol legal (legal control measures). Sebagai
contoh, banyak orang menganggap adanya benda-benda
pornografi dak hanya salah secara moral, namun berkontribusi
secara langsung terhadap peningkatan kejahatan sex. Dalam hal
ini, sudah tentu orang-orang ini akan berusaha untuk melarang
secara hukum penjualan benda-benda pornografi ini. Sumber
lainnya dari legalisasi dari norma-norma adalah masalah poli k,
dimana hukum pidana dibuat sesuai dengan minat kelompok-
kelompok yang berkuasa di dalam masyarakat. Sumber ini
diinden fikasikan dengan perspek f konlik yang dipunyainya
seper yang telah saya diskusikan di bab-bab sebelumnya. Proses
legalisasi norma-norma juga diiku oleh hukuman tertentu
untuk jenis tertentu dari pelanggaran hukum pidana. ”Se ap
sistem produksi cenderung untuk menemukan hukuman yang
berhubungan dengan hubungan produk fnya” (Rusche dan
Kirchheimer, 1968:5). Michel Foucault (1977) mengatakan
bahwa sebelum revolusi industri, kehidupan terbilang murah
dan individu-individu dak mempunyai nilai u litas atau nilai
komersial yang diberikan kepada mereka pada suatu ekonomi
industri. Dalam hal ini, hukuman sangatlah berat (severe)
dan sering dak berhubungan sama sekali dengan sifat dari
kejahatan itu sendiri (misalnya, hukuman ma untuk pencurian
ayam). Ke ka banyak pabrik bermunculan, nilai dari individu-
individu dalam kehidupan, bahkan para pelaku kejahatan,

131
mulai ditekankan. Dimulai di akhir abad kedelapanbelas dan
permulaan abad kesembilanbelas, usaha-usaha telah dilakukan
untuk menghubungkan sifat dari hukuman tertentu dengan sifat
dari kejahatan yang dilakukannya.
Mencocokkan hukuman dengan ndak kejahatan yang
dilakukan adalah pekerjaan yang sulit dan kadang-kadang
kontroversial. Definisi ndak kejahatan dan hukumannya sangat
beragam dari waktu ke waktu dan dari satu masyarakat ke
masyarakat yang lainnya. Dalam suatu demokrasi, kekuasaan
untuk mendefinisikan ndak kejahatan dan hukumannya
terletak pada warganegara (ci zenry). Kekuasaan ini umumnya
didelegasikan ke perwakilan yang dipilih. Statutanya seringkali
sangat luas dan tergantung kepada berbagai interpretasi.
Seper yang telah dibahas sebelumnya, perundangan legisla f
membolehkan hakim, jaksa, dan juri untuk mempunyai
fleksibilitas dan diskresi yang luas dalam mengkaji kesalahan dan
tahap-tahapan hukumannya.

4. Kontrol Sosial Formal untuk Penyimpang : Komitmen Sipil


Kontrol formal dari perilaku menyimpang dak terbatas
kepada sanksi-sanksi kriminal. Ada berbagai macam bentuk
kontrol sosial berupa hukum yang beroperasi secara luas di
masyarakat Amerika – yang disebut komitmen sipil (Forst, 1978:1).
Komitmen sipil adalah proses nonkriminal, yang menempatkan
(commits) individu-individu yang cacat (disabled) atau kalau dak
tergantung (karena cacatnya), tanpa sepengetahuan mereka, ke
lembaga-lembaga negara untuk pemeliharaan, perlakuan, atau
perwalian (custody), namun bukan penghukuman (punishment).
Hal itu didasarkan kepada 2 prinsip hukum : 1) hak dan kewajiban
negara untuk melindungi (to assume guardianship) individu-
individu yang menderita cacat (disability); dan 2) kekuasaan polisi
di dalam batasan-batasan kons tusi untuk mengambil langkah-
langkah yang diperlukan untuk melindungi masyarakat. Secara
prosedur, komitmen sipil berbeda dengan komitmen pidana
(criminal commitment). Pada komitmen sipil jaminan prosedur-
prosedur tertentu dak ada, seper hak diadili oleh juri, yang
melipu menghadirkan saksi-saksi yang melawan terdakwa, atau

132
untuk menghindari kesaksian melawan seseorang. Selain itu,
kutukan moral formal dari komunitas bukan merupakan issue
dalam komitmen sipil. ” Situasi ini bisa mbul jika perilaku itu
disengaja tapi dak secara moral patut untuk dipersalahkan,
seper di gugatan perdata untuk adanya kerusakan / kerugian
(damages), kecacatan mental, dimana ndak kriminal (criminal
culpability) disebarkan atau dinegasikan. Di kasus yang
terakhir, issue perdata bukan merupakan ”perilaku” seseorang
tapi ”status”nya” (Forst, 1978:3). Dalam pandangan ini,
pecandu heroin, cacat mental, atau pelanggar sex dak harus
bertanggung jawab terhadap aksinya. Konsensus umum adalah
bahwa individu-individu pantas mendapatkan perawatan,
bukan hukuman, walaupun perawatan itu akan berakibat pada
pemasungan kebebasannya di suatu lembaga perawatan mental
tanpa adanya proses hukum.
Di Amerika Serikat, sekitar 1 dari 12 orang akan
melewatkan sebagian waktu hidupnya di lembaga-lembaga
perawatan mental (mental ins tu ons). Di suatu hari pada
suatu tahun, sekitar setengah juta orang Amerika dirawat di
bangsal-bangsal perawatan mental; bahkan, sekitar setengah
tempat dur di rumah sakit Amerika dihuni oleh orang yang
menderita cacat mental. Namun komitmen sipil untuk sakit
mental dan ke dakmampuan adalah hanya salah satu dari
pe- pe komitmen sipil yang digunakan untuk mengontrol
perilaku menyimpang. Tipe- pe lainnya seper pengebirian
(incarcera on) anak-anak nakal (juveniles) di sekolah-sekolah
pela han atau rumah-rumah tahanan; komitmen terhadap
pecandu berat alkohol atau pelanggar yang berhubungan
dengan alkohol; komitmen terhadap pecandu narkoba; dan
pemasyarakatan (ins tu onaliza on), melalui hukum perdata,
dari para pelanggar sex (umumnya disebut psikopat seksual,
orang-orang yang berbahaya secara seksual, atau pelanggar
seksual cacat mental). Mar n L. Forst (1978:7) menyebut bahwa
berbagai pe komitmen sipil ”merupakan salah satu dari bentuk-
bentuk utama dari kontrol sosial melalui hukum di masyarakat
Amerika”. Dia lebih lanjut menyebutkan bahwa bentuk kontrol
sosial seper ini lebih ekstensif / manjur daripada kontrol sosial

133
melalui komitmen pidana tradisional.
Para profesional kesehatan mental, khususnya psikiatris,
mempunyai kekuasaan besar dengan menempatkan individu-
individu ke lembaga-lembaga perawatan tanpa jaminan
pengadilan. Sebagai contoh, Thomas S. Szasz (1965: 85-143)
menggambarkan kasus dari operator pompa bensin di kota
Syracuse, negara bagian New York yang telah ditekan oleh
pengembang real estate untuk menjual tanahnya sehingga
sebuah pusat perbelanjaan dapat dibangun di lokasi tersebut.
Ke ka pengembang ingin mendirikan papan tanpa dari proper
tersebut, pemilik pompa bensin yang marah memberi tembakan
peringatan ke udara. Dia ditahan tetapi dak pernah dibawa ke
pengadilan. Dengan rekomendasi oleh jaksa penuntut, operator
tersebut diperintahkan untuk menjalani pemeriksaan psikiatris
untuk menentukan bahwa ia cukup sehat untuk menghadapi
pengadilan. Dia diputuskan dak mampu (untuk mengendalikan
dirinya sendiri) sehingga dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa.
Setelah 10 tahun di rumah sakit jiwa, ia telah menjalani masa
hukuman yang lebih lama daripada ia diadili dan dinyatakan
bersalah.
Dalam arena hukum, penyebab perilaku kriminal dan
tanggung jawab dari perilaku tersebut terletak pada individu-
individu. Namun di suatu sistem hukum yang mempercayai
(posits) sebab-sebab individu melakukan ndakan tertentu,
muncul adanya komplikasi dalam usaha untuk mengontrol
individu-individu yang mengancam namun dak melanggar
hukum. Salah satu cara untuk mengontrol individu seper
itu adalah dengan mendefinisikannya sebagai sakit mental
(mental disorder). ”Definisi ini mempunyai efek kombinasi
untuk mengurangi irasionalitas terhadap perilaku tersebut dan
memberi kontrol terhadap individu-individu melalui cara-cara
yang lunak (ostensibly benign), dan bukan intervensi psikiatrik
yang memaksa” (Greenaway dan Brickey, 1978: 139). Jadi,
dak mengherankan untuk menemukan bahwa banyak rumah
sakit jiwa negara merawat orang-orang yang telah melakukan
pelanggaran ringan (trivial misdemeanors) atau yang belum
didakwa melakukan ndak kejahatan apapun, namun telah

134
dikirim ke sana untuk keperluan ”observasi”. Polisi dan pengadilan
menunjuk individu-individu yang perilakunya ”aneh” untuk
diperiksa psikiatris, dan jika mereka menemukan bahwa orang
tersebut ”gila” (insane), maka mereka akan dirawat di rumah
sakit jiwa tanpa persetujuan orang tersebut untuk periode waktu
yang lama, bahkan seumur hidup.
Penggunaan komitmen sipil sebagai bentuk kontrol sosial
dak hanya terbatas di Amerika Serikat. Di Uni Soviet (dulu),
sebagai contoh, banyak pembangkang di tahun-tahun belakangan
ini dak dikirim ke kamp konsentrasi di Siberia, tapi dikirim ke
rumah sakit jiwa. Da ar penyair, penulis, dan intelektual yang
telah didefinisikan ”sakit jiwa” dan bukan penjahat kriminal oleh
penguasa Soviet, sangatlah panjang. Psikiatris di Uni Soviet dak
sinis seper yang kita pikirkan. Dengan ”realitas” mereka adalah
Marxist-Leninist, ternyata banyak di antara mereka yang berpikir
bahwa orang-orang yang dak beradaptasi terhadap realitas
dianggap mempunyai cacat psikologis dan harus ditempatkan di
lembaga pengasingan. Namun apakah mereka sadar atau dak
tentang implikasi poli s dari diagnosis mereka, psikiatris di Uni
Soviet telah memberi cap ”sakit jiwa” sebagai metode kontrol
sosial.
Ada berbagai penjelasan tentang meningkatnya pengg-
unaan komitmen sipil sebagai mekanisme kontrol sosial. ”Ada
beberapa mereka (kriminologis posi f) yang memandang
peningkatan tersebut sebagai pergeseran warisan (beneficial
shi ) dari penekanan tradisional tentang menghukum orang
untuk merehabilitasi mereka…Penjelasan lain dari meningkatnya
penggunaan komitmen sipil (pergeseran dari hukum pidana)
bahwa komitmen sipil berfungsi sebagai gan dari, atau
merupakan pelengkap dari, hukum pidana untuk mengontrol
secara sosial bentuk ngkah laku yang dak diinginkan” (Forst,
1978:9-10). Penggunaan komitmen sipil bukannya tanpa kri kan.
Beberapa kri kus menyarankan pembatalan semua komitmen
sipil karena hak-hak kons tusional dari individu-individu yang
diberikan kepada mereka telah dilanggar, walaupun ada sejumlah
hukum akhir-akhir ini yang dirancang untuk melindungi hak-hak
dari orang yang sakit jiwa. Yang lainnya dak setuju karena

135
membolehkan orang untuk menghindari hukuman yang pantas
baginya. Walaupun issue ini tetap kontroversial, penggunaan
komitmen sipil sebagai bentuk kontrol sosial sedang meningkat
di Amerika Serikat dan negara-negara lainnya.

5. Kejahatan tanpa Korban


Amerika Serikat telah menginvestasikan sejumlah
sumberdaya untuk mengontrol kejahatan tanpa korban
dimana kerugian terjadi terutama pada individu-individu yang
melakukannya (Schur, 1965:170). Lebih dari 10 juta orang yang
ditahan di Laporan Kriminal Seragam FBI (the FBI Uniform Crime
Report) tahun 1977, separuhnya mencakup kejahatan tanpa
korban. Lebih dari 3,3 juta orang yang ditahan adalah yang
melibatkan minuman keras dan untuk perilaku yang dak patut
(disorderly conduct) yang seringkali dipengaruhi oleh minuman
keras. Lebih dari 300.000 remaja ditahan karena melarikan diri
dari rumah atau karena pelanggaran jam malam (curfew). Ada
642.700 orang ditahan karena narkoba, dimana 457.600 orang
karena mempunyai marijuana. Yang ditahan karena pelacuran
ada 85.900 orang dan karena judi ada 58.700 orang (Federal
Bureau of Inves ga on, 1978: 172).
Kriminalisasi dari beberapa ndakan yang dak mempunyai
korban berakar dari fakta bahwa masyarakat memandang
ndakan- ndakan ini sebagai pelanggaran moral (morally
repugnant) dan berniat untuk menahan individu-individu agar
dak melakukan hal-hal tersebut. Banyak yang ditahan karena
perbuatan kejahatan tanpa korban dak pernah diprosekusi
: penahanan dan pemenjaraan 1 hari sering digunakan karena
sebagai cara untuk menerapkan kontrol sosial terhadap orang
yang mabuk atau pelacur tanpa melalui persidangan yang
panjang. Sebagai contoh, kebiasaan minum minuman keras
dapat membentuk suatu catatan kriminal yang luar biasa panjang
(formidable) karena berulang-ulang ditahan, walaupun mereka
dak pernah merugikan orang lain kecuali mungkin dirinya
sendiri (La Fave, 1965: 439). Salah satu peneli an menemukan
bahwa 2/3 dari orang-orang yang berulang-ulang ditahan karena
alkohol telah dituntut dak lebih daripada mabuk di depan umum

136
(public intoxica on) dan pelanggaran-pelanggaran yang terkait,
misalnya bergerombol dengan teman-teman (vagrancy), selama
karir ”kejahatan” mereka (Pi man, diku p oleh Landsman, 1973:
288).
Kebanyakan literatur tentang kejahatan tanpa korban
berkaitan dengan kecanduan narkoba, pelacuran, perjudian,
aborsi, homoseksual, pornografi dan percabulan, bunuh diri,
kecanduan alkohol, dan penyimpangan heteroseksual. Ini
adalah ndakan kejahatan ”mala prohibita” (yaitu, perilaku yang
merupakan kejahatan karena statuta, tapi dak ada konsensus
apakah ndakan ini kejahatan atau dak). Mereka ber ndak
melawan interest publik atau moralitas dan muncul di hukum
pidana sebagai kejahatan melawan kepatutan publik (public
decency), keter ban (order), atau keadilan (jus ce). Tindakan
kriminal seper pembunuhan atau perkosaan adalah ”mala in
se” (yaitu, jahat dari sananya dengan persetujuan publik tentang
bahaya-bahaya yang dilakukannya) (Rich, 1978: 27).
Kejahatan tanpa korban juga dibedakan dari kejahatan-
kejahatan lainnya oleh elemen transaksi atau pertukaran
konsensual. Kejahatan ini juga dibedakan dari sejenis kejahatan
lainnya karena kurangnya kerugian yang terlihat terhadap orang
lain dan oleh kesulitan menegakkan hukum melawan mereka
sebagai akibat dari sulitnya dilihat (low visibility) dan dak adanya
orang yang mengeluh (the absense of complainants). Dengan
kata lain, mereka adalah kejahatan tanpa penggugat (plain ffless
crimes) – yaitu, mereka yang terlibat adalah par sipan yang mau,
yang menurut aturan, dak mengajukan komplain kepada polisi
bahwa suatu kejahatan telah dilakukan. Walaupun kebanyakan
orang dak menggolongkan ndakan seper ini sebagai
kejahatan, polisi dan pengadilan terus-menerus menerapkan
hukum terhadap kelompok-kelompok ini sebagai pemakai
narkoba, pelacur, penjudi, homoseksual, dan distributor benda-
benda pornografi – hukum yang sebagian besar masyarakat dak
memandangnya sebagai sah dan menolak untuk menaa nya.
Kontrol formal yang dilakukan terhadap perilaku seper ini
sangatlah mahal dan dak efek f. Namun, masih tetap melayani
fungsi tertentu. Robert M. Rich (1978:28) mencatat bahwa

137
orang-orang yang diberi label penjahat berfungsi sebagai contoh
bagi anggota-anggota masyarakat. Ke ka hukum ditegakkan
terhadap anggota-anggota kelompok kelas bawah dan kelompok
minoritas (orang berkulit hitam, atau keturunan Spanyol), telah
membolehkan orang-orang yang mempunyai kekuasaan (orang-
orang kelas menengah atas) untuk merasa bahwa hukum telah
berfungsi sesuai maksud awalnya karena ia memelihara dan
memperkuat mitos bahwa individu-individu berstatus rendah
bertanggung jawab atas kebanyakan penyimpangan di dalam
masyarakat. Akhirnya, kontrol terhadap kejahatan tanpa korban,
dalam bentuk penahanan dan pendakwaan, memperkuat
anggapan dalam masyarakat bahwa polisi dan sistem peradilan
pidana melakukan tugasnya dengan baik dalam melindungi
standar moral masyarakat. Sekarang kita akan menganggap
hukum sebagai alat untuk kontrol sosial untuk kejahatan tanpa
korban tertentu seper kecanduan narkoba, pelacuran, dan
perjudian.

6. Kecanduan Obat Bius


Penggunaan obat bius non medis, seper opium dan heroin,
walaupun praktek kuno, hanya pada akhir-akhir ini saja telah
menjadi ndakan kejahatan di Amerika Serikat. Sebelum tahun
1914, hanya ada usaha sporadis untuk mengatur penggunaan obat
bius. Walaupun beberapa negara bagian telah berusaha untuk
mengontrol penggunaan obat bius dengan mengundangkan
hukum untuk memberi komitmen sipil kepada lembaga-lembaga
untuk pecandu obat bius dan menetapkan bahwa penggunaan
zat narko k tertentu adalah melawan hukum, dak sebelum
tahun 1914 bahwa se ap usaha sistema s telah dilakukan untuk
meregulasi penggunaan obat bius di Amerika Serikat. Pada
tahun 1914, telah diundangkan Undang-Undang Harrison (the
Harrison Act). Itu adalah usaha pertama kali untuk mengurusi
secara menyeluruh narko k dan obat-obatan berbahaya
yang ada pada masa itu. Bentuknya adalah pengenaan pajak,
atau lebih tepat, serangkaian pajak barang-barang terlarang.
Penggunaan obat bius dibatasi hanya untuk tujuan-tujuan medis
dan riset oleh individu-individu atau fasilitas-fasilitas berlisensi.

138
Namun dalam interpretasi terhadap undang-undang tersebut,
keputusan pengadilan dalam kasus-kasus tertentu, dan dalam
hukum suplementer, sangsi-sangsi pidana diterapkan bagi
kepemilikan yang dak sah, penjualan, atau transfer obat bius.
Negara-negara bagian juga telah mengundang sejumlah hukum
an narko ka. Di Amerika Serikat, hukuman untuk pelanggaran
hukum narko ka telah semakin berat di tahun-tahun belakangan
ini dengan hukuman penjara yang semakin meningkat bagi
penjualan dan kepemilikan dari banyak narkoba, seper heroin
atau kokain (U.S. Department of Jus ce, 1978).
Dugaan jumlah pecandu obat bius di Amerika Serikat
meningkat terus. Di awal 1970an, es masinya bervariasi antara
400.000 sampai 600.000. Di tahun 1977, laporan sementara
dari Komisi DPR tentang Penyalahgunaan dan Pengontrolan
Narko ka (the House Select Commi ee on Narco cs Abuse and
Control) menges masi sekitar 800.000 pecandu heroin, dimana
hanya 1/3-nya yang menjalani perawatan. Lebih banyak lagi anak
muda yang menggunakan heroin saat ini daripada sebelumnya di
sejarah Amerika Serikat (Clinard dan Meier, 1979: 301). Selain
obat bius keras (hard drugs), es masi pengguna marijuana di
Amerika Serikat adalah lebih dari 15 juta, dan lebih dari 36 juta
orang Amerika telah, pada suatu saat, menggunakan marijuana,
termasuk sekitar 1/3 dari jumlah mahasiswa (Nawaz, 1978).
Secara hukum, obat psikoak f digolongkan ke dalam 3
kategori dasar, yaitu obat legal (alkohol, kafeine, niko n); obat
dengan resep (amphetamin, barbiturat, trankualiser/ obat
penenang) yang harus disertai resep dokter; dan obat illegal
(marijuana, heroin, dan halusinogen) yang dak dijual dalam
kondisi apapun. Kokain dan morfin membentuk sub kategori.
Keduanya mempunyai penggunaan medis terbatas namun
sangat potensial untuk disalahgunakan. Kategori tersebut dak
didasarkan kepada kerugian potensial atau kualitas adik f dari
obat bius. Di bawah Undang-Undang Zat-Zat Kontrol Federal
(the Federal Controlled Substance Act) tahun 1970, marijuana
dan heroin diklasifikasikan bersama / sama, walaupun heroin
adalah adik f secara fisik dan marijuana dak.
Undang-undang Marijuana di negara-negara bagian

139
telah berubah secara dras s di tahun-tahun belakangan ini.
Kepemilikan sejumlah kecil marijuana di kebanyakan negara
bagian dak dianggap lagi sebagai ndakan kejahatan (felony).
Sebagian negara bagian memperlakukan kepemilikan marijuana
mirip dengan pelanggaran lalu lintas. Di California, sebagai
contoh, seseorang yang mempunyai 1 ounce (4 gram) atau
kurang dari marijuana hanya didenda maksimum sebesar $ 100
(Rp 1 juta).

7. Kontrol Sosial bagi Pembangkang


”Amerika Serikat”, tulis Jethro K. Lieberman (1972:
74) ”mempunyai sejarah panjang untuk menerima orang-
orang pembangkan (dissent) dalam hal yang abstrak dan
menghukumnya dalam hal yang konkret”. Hukum mendukung
pemerintah sebagai pemegang sah dari kekuasaan di dalam
masyarakat. Pemerintah, pada gilirannya, terlibat secara sah
dalam pengontrolan warganegaranya. Tujuan utama dari
pemerintah adalah memberi kesejahteraan bagi warganegaranya,
melindungi nyawa dan proper nya, dan memelihara keteraturan
/ kedamaian (order) di dalam masyarakat. Untuk memelihara
keteraturan, pemerintah diberi mandat untuk menangkap
dan menghukum pelaku kejahatan. Namun demikian, dalam
masyarakat demokra s, ada pertanyaan tentang keabsahan
pemerintah dalam ”meminggirkan” pembangkang (s ffles
dissent) dengan alasan untuk memelihara keteraturan /
kedamaian. Pada prinsipnya, dalam masyarakat demokra s,
tradisi dan nilai-nilai yang menerima (affirm) pembangkang sudah
mencukupi. Pada saat yang sama, agar keteraturan sosial dapat
diciptakan, suatu masyarakat perlu menjamin bahwa hubungan
kekuasaan yang ada dipelihara waktu demi waktu. Selain itu,
orang-orang yang dalam posisi berkuasa yang mengambil
keuntungan dari pengaturan kekuasaan, akan menggunakan
pengaruhnya untuk membiarkan adanya penindasan (repression)
terhadap orang-orang yang berani melawan pemerintah.
Sebagai konsekuensinya, pemerintah umumnya memilih untuk
mengontrol dan menekan para pembangkang.
Salah satu cara yang efek f dalam mengontrol pembangkang

140
adalah melalui berbagai proses-proses seleksi yang digunakan
untuk menempatkan individu-individu ke dalam posisi sosial
yang diinginkan (Oberschall, 1973: 249-250). Dalam hampir
semua sistem poli k, pemimpin mempunyai cara-cara untuk
mengontrol pemilihan dan mobilisasi orang-orang melalui sistem
patronase, kepanjangan birokrasi pemerintah, dan pengajakan
/ penggalangan (coopta on) dalam banyak bentuk. Kese aan
dan kepatuhan (loyalty and conformity) umumnya merupakan
kriteria utama untuk kemajuan karier. Salah satu bentuk lainnya
dari kontrol dalam konteks ini adalah mengeluarkan individu-
individu yang dak patuh dengan harapan yang diberikan dan
yang menyuarakan opini yang ” dak populer”. Dalam hal-hal
tertentu, pemimpin dapat mengontrol langsung penawaran dan
permintaan dari pelayanan dan kemampuan tertentu. Sebagai
contoh, ”dengan menjalankan pengaruh terhadap anggaran
(budget), pemeriksaan, beasiswa mahasiswa, dan pengabdian
pada masyarakat, pemerintah dapat dalam beberapa tahun
mengurangi jumlah total mahasiswa dengan maksud untuk
mengurangi atau mengeliminasi mahasiswa yang bermasalah
dan populasi sarjana yang menganggur yang telah dibawa ke
dalam sistem dan disubsidi” (Oberschall, 1973: 250).
Kontrol juga dapat dicapai melalui manipulasi struktur
keuntungan material (Janowitz, 1975). Sebagai contoh, Frances
Fox Piven dan Richard A. Cloward (1971) mengatakan bahwa
program kesejahteraan berfungsi sebagai mekanisme kontrol
sosial di masa pengangguran massal dengan menyalurkan
gejolak sosial (social unrest) dan oleh karena itu mengurangi
pembangkang. Mereka berdua berargumen bahwa program
bantuan publik digunakan untuk meregulasi ak vitas poli k dan
ekonomi dari kaum miskin. Dalam masa depresi ekonomi yang
berat, keabsahan dari sistem poli s ada kemungkinan untuk
dipertanyakan oleh kaum miskin. Kemungkinan pengdongkelan
kekuasaan status quo dan hubungan-hubungan proper di
masyarakat akan meningkat. Ada peningkatan permintaan untuk
perubahan pengaturan sosial dan ekonomi. Di bawah ancaman
ini, program bantuan publik dimulai atau dikembangkan oleh
pemerintah. Mereka berdua memberikan banyak contoh

141
tentang kasus Eropa abad ke enambelas ke pertengahan abad
ke duapuluh Amerika, dengan mencatat thesis mereka bahwa
kesejahteraan sosial telah digunakan sebagai mekanisme kontrol
sosial dan suatu cara oleh pemerintah untuk mengurangi gejolak
sosial melalui intervansi langsung. Mereka mencatat, bahwa
ke ka kondisi ekonomi meningkat, peranan bantuan (relief)
ini akan dipotong kembali sebagai respons terhadap tekanan
dari orang-orang yang mempekerjakan kaum miskin sehingga
menjamin penawaran yang cukup dari tenaga kerja murah.
Salah satu opsi bagi pemerintah untuk menggunakan kontrol
terhadap pembangkang adalah melalui aparat kontrol sosial
penekan yang berkaitan dengan ndak kejahatan, menegakkan
hukum, dan menjaga interaksi sosial secara damai dan teratur.
Dibandingkan dengan mekanisme lainnya, ”suatu response
menekan terhadap kekacauan sosial adalah cara yang termurah
dan yang paling cepat ada untuk mengontrol masyarakat yang
dipunyai oleh pemerintah” (Oberschall, 1973: 252). Pemerintah
diharapkan oleh warganya, dan dipersyaratkan oleh hukum,
untuk melindungi nyawa dan proper , dan untuk menahan
pelaku ndak illegal. Sebagai tambahan dari respons menekan
terhadap para pembangkang, pemerintah mempunyai sejumlah
”senjata” yang agak nyata ( dak tersembunyi) walaupun sama-
sama efek fnya, untuk mekanisme kontrol. Sebagai contoh,
David Wise (1978: 399-400) menunjuk bahwa Badan Intelijens
Pusat (Central Intelligence Agency – CIA), walaupun dilarang oleh
hukum, telah terlibat dalam operasi domes k untuk mengawasi
dan mengontrol ak vitas-ak vitas dari warga Amerika. Selama 20
tahun, CIA telah membuka 215.000 surat kilat khusus, mengawasi
28 juta surat, dan memfoto 2,7 juta orang dan ak vitasnya.
Selama era Presiden Nixon, dalam Operasi Kekacauan (Opera on
Chaos), CIA telah mengiku ak vist an perang, menginfiltrasi
kelompok-kelompok an perang, memasuki rumah orang secara
illegal dan menyadap saluran telpon, mengindeks / memasukkan
300.000 nama dalam komputer ”Hydra”, dan mengumpulkan file
terpisah dari 7.200 orang Amerika.

142
8. Hukum Administra f dan Kontrol Sosial
Kesalahpenger an luas tentang hukum adalah pendapat
bahwa hukum terdiri sepenuhnya dari hukum pidana dengan
segala aparat pidananya yaitu : polisi, jaksa, hakim, juri, hukuman
dan penjara. Kesalahpenger an lainnya adalah semua hukum
dapat dibagi ke dalam hukum pidana dan hukum perdata.
Namun sumber-sumber sistem hukum adalah jauh lebih kaya
dari lebih luas sehingga dak ada satupun dari kedua pandangan
tersebut yang benar (Summers dan Howard, 1972: 198). Seksi
ini akan membahas bagaimana cara-cara hukum yang berbeda
dapat digunakan untuk mengontrol apa yang oleh Robert S.
Summers dan George H. Howard disebut sebagai ”ak vitas
utama swasta” (private primary ac vity). Mereka berdua
menggunakan konsep ini untuk menggambarkan berbagai
tujuan, seper produksi dan pemasaran listrik dan gas alam,
persyaratan dan pengopera on dari kereta api, transportasi
udara, dan fasilitas-fasilitas transportasi lainnya, pengolahan dan
distribusi makanan, pembangunan bangunan, jembatan, dan
fasilitas umum lainnya, serta penyiaran radio dan televisi. Namun
ak vitas-ak vitas dak membentuk sebagai urusan skala besar
seper produksi atau persyaratan (provision) dari transportasi
udara dan sejenisnya. Da ar ini dapat diperpanjang dengan
persyaratan untuk pelayanan-pelayanan medis oleh dokter,
kepemilikan dan pengoperasian dari kendaraan bermotor oleh
warganegara biasa, pembangunan perumahan lokal oleh tukang
kayu, dan penjualan dan pembelian saham dan obligasi oleh
individu-individu. Ak vitas-ak vitas utama swasta dak hanya
diinginkan secara posi f, tapi juga pen ng untuk memfungsikan
masyarakat modern. Ak vitas-ak vitas ini membangkitkan
keperluan-keperluan hukum yang dipenuhi melalui mekanisme
kontrol administra f.
Dalam masyarakat modern, semua jenis pelayanan
diperlukan, seper yang diberikan oleh dokter, fasilitas-
fasilitas transport, dan perusahaan-perusahaan listrik.
Namun dokter yang dak kompeten bisa membunuh pasien
daripada menyembuhkannya. Seorang pilot pesawat yang
dak berkualifikasi akan menyebabkan pesawat jatuh, dan

143
membunuh semua orang yang ada di pesawat. Seorang pembuat
katering mungkin meracuni separuh dari anggota masyarakat.
Selain inkompetensi / ke dakmampuan atau kecerobohan,
penyalahgunaan juga sangat mungkin terjadi. Seorang individu
dapat kehilangan seluruh tabungannya melalui pengoperasian
saham yang meyimpang. Sebuah perusahaan telpon dapat
menyalahgunakan monopoli yang dimilikinya dan menarik
biaya telpon yang sangat nggi. Seorang pemilik dari fasilitas
pengolahan limbah nuklir mungkin ingin memotong aturan (cut
the corners), sehingga seluruh masyarakat terekspos dengan
radiasi.
Ak vitas-ak vitas utama swasta, seper yang dicatat oleh
Summers dan Howard (1972: 199), dapat menyebabkan kerugian
(harm), kerugian yang bisa dihindari (avoidable harm). Pesawat
terbang dapat dibuat aman terbang, dan penggelapan saham
oleh broker yang “nakal” (fly-by-night operator) dapat dikurangi.
Kontrol hukum terhadap ak vitas-ak vitas ini dijus fikasi
berdasarkan 2 alasan : pencegahan kerugian (preven on of
harm) dan peningkatan kebaikan (promo on of good). Sebagai
contoh, dalam kasus penyiaran radio dan televisi, hukum dapat
berperan dalam mengontrol disiarkannya kecabulan (obscenity)
dan masalah perimbangan program, seper melipu urusan-
urusan publik, sebagai tambahan dari program hiburan dan
olahraga. Kontrol dari ak vitas utama swasta dilakukan melalui
hukum administra f, terutama dalam konteksi lisensi, inspeksi,
dan ancaman publisitas.
Kontrol terhadap profesi-profesi dan ak vitas-ak vitas
tertentu melalui lisensi / perijinan Kekuasaan hukum administra f
adalah dak hanya menetapkan standar dan menghukum
para pihak yang gagal mematuhi hukum, “Kepercayaan bahwa
penegakan hukum lebih baik dicapai melalui pencegahan
daripada penghukuman (prosecu on) telah menyumbangkan
kemunculan regulasi administra f sebagai alat utama dari kontrol
pemerintah” (Horak, diku p oleh Summers dan Howard, 1972:
202). Mensyaratkan dan memberikan lisensi untuk melakukan
ak vitas-ak vitas tertentu adalah alat kontrol yang klasik. Suatu
lisensi mungkin diperlukan untuk melakukan suatu pekerjaan,

144
mengoperasikan bisnis, melayani pelanggan khusus atau area
khusus, atau untuk memproduksi produk tertentu. Dokter dan
pengacara harus menjalani pela han dan mendemonstrasikan
beberapa kompetensi sebelum mereka mendapatkan surat
kualifikasi untuk berpraktek. Di sini, lisensi digunakan untuk
menegakkan standar kualifikasi dasar. Perusahaan penerbangan
dak dapat menerbangi rute tertentu semau mereka dan para
penyiar radio atau tv dak bisa bebas memilih frekuensi semau
mereka sendiri. Hal yang mendasari semua peraturan lisensi
adalah penolakan hak (denial of a right) untuk melakukan
ak vitas yang diinginkan, kecuali dengan lisensi. Dalam hal
ini, lisensi adalah suatu izin (permit) atau hak (privilege) untuk
melakukan ak vitas tertentu yang dijamin oleh suatu otoritas
yang berwenang dimana, menurut hukum, hal sebaliknya akan
melanggar hukum (would otherwise be unlawfull). Lisensi
adalah suatu izin resmi untuk melakukan sejenis ak vitas
tertentu, seper menerbangkan pesawat atau mengoperasikan
suatu stasiun televisi.
Kontrol terhadap profesi-profesi dan ak vitas-ak vitas
tertentu melalui lisensi dapat dimenger (jus fied) sebagai
proteksi publik dari pelayanan dan produk yang kurang mutunya
(inferior), palsu (fraudulent), atau berbahaya (dangerous).
Namun dalam pembahasan ini, kontrol telah diperluas dengan
pekerjaan-pekerjaan (occupa ons) yang paling banter hanya
mempengaruhi kesehatan dan keselamatan publik secara
minimal. Di beberapa negara bagian, lisensi diperlukan untuk
peramal bintang (cosmetologists), ahli pelelangan (auc oners),
ahli pengendali cuaca (weather control prac oners), pengemudi
taksi (taxidermist), pengelola kuburan mobil (junkyard operators),
dan ahli pemasangan AC (weather vane installers). Negara
bagian Hawaii memberi lisensi untuk ar s tatoo; New Hampshire
memberi lisensi untuk para penjual penangkal pe r (lightning-rod
salespersons). Di negara bagian Delaware 86 mata pencaharian /
pekerjaan diberi lisensi, termasuk pemain sirkus, penjaga tempat
bowling, ahli bunga, dan pemilik rumah bilyar. Sampai beberapa
tahun yang lalu, merupakan pelanggaran hukum bagi orang yang
mencari mata pencaharian dengan memperbaiki jam yang rusak

145
di negara bagian North Carolina. Hukumannya adalah hukuman
6 bulan penjara, sama dengan para penjual obat tanpa lisensi
(U.S. News & World Report, 1979: 70). Sebagai tambahan
dari pengeluaran lisensi untuk mata pencaharian / pekerjaan
tersebut, negara bagian juga melakukan pengawasan berupa
pencabutan atau penangguhan lisensi. Sebagai contoh, menurut
hukum administra f, negara bagian dapat menarik lisensi untuk
berpraktek bagi pengacara, dokter, atau ahli kecan kan, dan
mungkin saja membatalkan lisensi dari pemilik restoran agar
dak buka bisnis selama beberapa hari dalam satu tahun atau
bahkan selamanya.
Hukum administra f memberikan kekuatan-kekuatan
inves gasi dan inspeksi kepada lembaga-lembaga regulatori.
Inspeksi periodik adalah satu cara untuk memonitor ak vitas yang
sedang berlangsung di bawah juridiksi suatu lembaga tertentu.
Inspeksi seper itu menentukan apakah mobil, pesawat terbang,
dan kereta api dapat berjalan, produk-produk pertanian dapat
memenuhi standar kualitas, koran-koran dapat memperoleh hak
pengiriman pos kilat, dan sebagainya. Prosedur-prosedur yang
sama dapat digunakan untuk mencegah distribusi dari makanan
dan obat-obatan yang dak aman, melarang pemasukan
tanaman dan hewan yang sakit ke dalam suatu negara, atau untuk
membatalkan (suspend) lisensi terbang seorang pilot sambil
menunggu dengar pendapat tentang ndakan indisiplinernya.
Di berbagai industri, inspektur pemerintah beroperasi
di tempat industri berada (premises). Sebagai contoh, ke ka
inspektur dari Badan Obat dan Makanan (Food and Drug
Administra on) menemukan adanya bakteri di dalam sup,
maka manufakturer dari sup tersebut akan menarik semua
dagangannya dari toko-toko makanan dan rak-rak di tempat
manufakturer serta memusnahkan semua kaleng-kaleng sup
yang ada – karena adanya ancaman yang dak tertulis tetapi
umum dimenger bahwa Badan Obat dan Makanan berhak
menjatuhkan hukuman (Gellhorn, 1972: 102).
Inspeksi merupakan alat utama bagi supervisi dan kontrol
administra f. Sebagai contoh, bank-bank nasional berada di
bawah pengawasan Dewan Bank Cadangan Federal / Bank

146
Pusat Amerika Serikat (Federal Reserve Board) dan Perusahaan
Asuransi Deposit Federal / Lembaga Penjamin Simpanan Federal
(Federal Deposit Insurance Corpora on) melalui kunjungan-
kunjungan dari inspekturnya untuk memeriksa catatan-catatan
bank. Seorang staf tata kota / tata bangunan dapat menginspeksi
bangunan-bangunan untuk menentukan kepatuhan terhadap
Undang-undang Bangunan (Building Codes). Di suatu waktu,
inspeksi dilakukan secara kadang-kadang (occasionally), misalnya
menjamin kepatuhan terhadap Undang-undang Bangunan. Di
waktu lainnya, inspeksi dilakukan secara kon nu, misalnya
inspeksi terhadap makanan. Kedua bentuk inspeksi, baik sporadis
/ kadang-kadang ataupun kon nu, telah menghadirkan tekanan
untuk meregulasi diri sendiri dan menyumbang terhadap kontrol
internal seper yang telah diperintahkan oleh hukum. Kadang-
kadang, inspeksi-inspeksi ini juga akan berakibat kepada proposal
/ usulan untuk perbaikan legislasi standar regulasi tatakelola
(legisla on governing regulatory standards).
Di dalam suatu masyarakat sederhana dimana orang
cenderung kenal satu sama lain, mempublikasikan orang yang
berbuat salah / jahat (publicizing wrongdoers) dapat mempunyai
efek signifikan untuk mengubah perilaku orang tersebut. Sistem
kontrol sosial seper itu biasanya dak jalan di masyarakat
industrial perkotaan dalam hal adanya penyimpangan perilaku
individu. Perusahaan besar yang menjual produk bermerk yang
diketahui luas, namun demikian, akan sangat terpengaruh oleh
ancaman publisitas “nega f” (adverse publicity) yang beredar
luas / beroplag besar (Nagel, 1975: 347).
Barangkali kekuatan potensial terbesar di tangan
administrator adalah kekuasaan untuk mempublikasi
(Gellhorn, 1972: 110). Suatu publisitas yang dikeluarkan yang
menggambarkan dengan detail karakter dari pelanggaran yang
didakwakan dan pelanggar yang terlibat dapat mengakibatkan
kerugian segera yang dak kecil (can inflict immediate damage).
Sebagai contoh, sebelum Hari Terima Kasih (Thanksgiving)
pada tahun 1959, Menteri Pendidikan, Kesehatan dan
Kesejahteraan (Secretary opf Health, Educa on and Welfare)
prak s telah menghancurkan semua pasar buah cranberry

147
dengan mengumumkan pada konperensi pers bahwa beberapa
buah cranberry telah terkontaminasi oleh zat yang dapat
menghasilkan kanker. Keefek van dan kekuatan dari publisitas
adalah mekanisme kontrol yang akhir-akhir ini telah dikonfirmasi
bahwa pengumuman bakteri (botulism) dalam sekaleng sup
telah membunuh seorang lelaki. Publisitas tersebut telah
menghancurkan Perusahaan Sup Bonvivant (Gellhorn, 1972:
110). Namun perlu dicatat, bahwa kekuatan publikasi dak hanya
dimiliki oleh pegawai pemerintah. Sebagai contoh, kehancuran
pabrik mobil Corvair disebabkan oleh buku Ralph Nader yang
berjudul ”Tidak Aman pada Kecepatan Berapapun” (Unsafe at
Any Speed, 1965) dan publikasi-publikasinya yang lain.
Di banyak bidang, publisitas sangat berguna kalau dak
amat sangat diperlukan dalam fungsi kontrol. Pada tahun
1970 legislasi polusi udara federal, sebagai contoh, telah
memberitahu publik melalui publikasi sejauh mana se ap
pabrik mobil patuh terhadap ketentuan yang dikeluarkan oleh
Badan Perlindungan Lingkungan (Environmental Protec on
Agency). Seringkali, perusahaan-perusahaan yang menghasilkan
polusi setuju untuk menghen kan kegiatannya dan mematuhi
perintah lembaga administra f karena ketakutan terhadap
konsekuensi dari publisitas yang merugikan (Nagel, 1975: 347).
Selain itu, dalam penegakan legislasi yang melindungi konsumen
dari manufakturer dan penjualan makanan dan obat-obatan
yang dak asli (impure food and drugs), kemampuan lembaga
administra f untuk menginformasikan publik bahwa suatu
produk mungkin berisi bahan-bahan yang merugikan (harmful
ingredients) dapat mengambil peran pen ng dalam mencegah
konsumsi produk yang di bawah inves gasi tersebut sampai
akurasi dari dugaan ini dapat ditentukan.
Namun demikian dalam kasus-kasus tertentu, perusahaan-
perusahaan yang mempunyai monopoli terhadak produknya,
seper perusahaan listrik dan perusahaan gas, dak akan
dirugikan oleh publisitas yang nega f. Lembaga-lembaga
pemerintahan, kadang-kadang, juga segan untuk memberi
kesan nega f (s gma) perusahaan-perusahaan karena publisitas
nega f dipandang sebagai ajudikasi informal, walaupun

148
seringkali digunakan dan dijus fikasi oleh pendapat bahwa orang
mempunyai hak untuk tahu (people have a right to know).

KESIMPULAN
Pembahasan sederhana telah memandang hukum sebagai
kontrol sosial formal. Hukum akan bermain bila kontrol sosial
yang lain lemah, dak efek f, atau dak ada. Individu-individu
dan kelompok-kelompok dipandu untuk berperilaku dalam cara-
cara yang dapat diterima melalui proses sosialisasi dan tekanan
eksternal dalam bentuk sangsi dari orang atau kelompok lain.
Mekanisme kontrol sosial melalui tekanan dari luar dapat bersifat
formal maupun informal, dan mencakup sangsi-sangsi posi f
maupun nega f.

DAFTAR PUSTAKA

George Ritzer, Sosiologi, Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda,


Penyun ng Alimandan, Rajawali Press, Jakarta, 1995.
Adam Podgorecki & Christoper J. Whelan, Pendekatan Sosiologi
Terhadap Hukum, Bina Aksara, Jakarta, 1978.
Castberg F., Problem of Legal Philosophy, Oslo University Press,
London, 2nd Edi on, 1957 .
I.S. Suanto, Lembaga Peradilan dan Demokrasi, Makalah pada
seminar tentang Pendayagunaan Sosiologi Hukum Dalam
Masa Pembangunan dan Restrukturisasi Global dan
Pembentukan ASHI di Semarang, 12-13 Nov. 1996
Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan
Sosiologis, BPHN Depkeh dan Sinar Baru, Bandung, tanpa
tahun.
Reinhard Bendix, The Compara ve Analysis of Historis Change,
dalam Soscial Theory and Economic Change, disun ng oleh
T. Burns & S.B. Saul, Tavistock Publica on, London, Rudolf
von
Jhering dalam Soerjono Soekanto, Kegunaan Sosiologi Hukum
Bagi Kalangan Hukum Citra Aditya Bak , Bandung, 1991,

149
hal. 20.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bak , Bandung,
1991.
Satjipto Rahardjo, Pendayagunaan Sosiologi Hukum untuk
Memahami Proses-proses Sosial Dalam Konteks
Pembangunan dan Globalisasi, Makalah pada seminar
tentang Pendayagunaan Sosiologi Hukum Dalam Masa
Pembangunan dan Restrukturisasi Global dan Pembentukan
ASHI di Semarang, 12-13 Nov. 1996.
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, PT
RajaGrafindo Persada, Cet 15, 2005
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, PT
RajaGrafindo Persada, Cet 38, 2005. Soe ksno, Filsafat
Hukum, Bagian I, Pradnya Pramamita, Jakarta, 1988.
W. Froedmann, Teori dan Filsafat Hukum (Susunan I), RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 1993. Satjipto Rahardjo, Hukum Dan
Masyarakat, Bandung , Penerbit Angkasa,
Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2007
Soetandyo Wignyosiebroto, Sosiologi Hukum: Perannya Dalam
Pengembangan Ilmu Hukum dan Studi Tentang Hukum,
Makalah pada seminar tentang Pendayagunaan Sosiologi Hukum
Dalam Masa Pembangunan dan Restrukturisasi Global dan
Pembentukan ASHI di Semarang, 12-13 Nov. 1996.

150
HUKUM DAN PERUBAHAN SOSIAL

Oleh: Dr. Dahlia Haliah

Abstrak

Iden tas perubahan (iden ty of change) adalah fenomena


sosial tertentu yang sedang mengalami transformasi, seper
praktek, perilaku, sikap, pola interaksi, struktur kewenangan,
laju produk vitas, pola pemungutan suara, pres se, atau
system stra fikasi tertentu. Sekali iden tas dari apa yang
berubah telah ditentukan, perha an selanjutnya adalah pada
level dimana perubahan itu sedang terjadi. Walaupun konsep
dari perubahan sosial adalah termasuk ke dalam fenomena
sosial, akan merupakan hal yang sulit untuk meneli perubahan
tanpa tahu dimana perubahan itu terjadi. Sehingga, level
perubahan akan mengubah (delineates) lokasi dalam sistem
sosial dimana perubahan sosial tertentu sedang terjadi. Dimensi
dari komponen-komponen perubahan sosial adalah sembarang,
dan dapat dipandang (construed) secara lain oleh orang yang
mengalaminya atau mencoba-cobanya. U litas teorikal dan
empirikal dari komponen perubahan ini menjadi buk (evident)
ke ka ia dikenali bahwa hukum dapat mempengaruhi perubahan
dalam banyak cara. Ke ka ar yang khusus diberikan ke
komponen-komponen ini dalam konteks hukum tertentu atau
serangkaian hukum-hukum tertentu, hal ini akan dapat menjadi
k awal (special point of departure) dari peneli an tentang

151
peranan hukum dalam perubahan sosial.

Kata Kunci: Hukum, Perubahan, Sosial

PENDAHULUAN
Para pakar teori ini memandang hukum sebagai peubah
bebas dan peubah tak bebas (independent and dependent
variables) dalam masyarakat, dan menekankan keterkaitan antara
system hukum dan system-sistem lainnya dalam masyarakat.
Mengingat kembali teori-teori yang telah dibahas di Bab 2, bab ini
akan membahas kaitan (interplay) antara hukum dan perubahan
sosial. Sekali lagi, hukum akan dipandang sebagai peubah bebas
dan peubah tak bebas, yaitu, sebagai sebab dan akibat dari
perubahan social. Bab ini juga akan membahas keuntungan dan
kelemahan hukum sebagai instrumen perubahan sosial, dan akan
membahas serangkaian faktor-faktor sosial, psikologis, budaya,
dan ekonomi yang mempunyai pengaruh terhadap efikasi hukum
sebagai agen perubahan.
Perha an pertama dalam penger an hubungan antara
hukum dan perubahan sosial adalah pada masalah definisi.
Apa perubahan sosial itu ? Is lah “perubahan” (change) dalam
penger an sehari-hari, sering diar kan dengan longgar sebagai
sesuatu yang ada tetapi sebelumnya dak ada, atau hilangnya
atau terhapusnya sesuatu walaupun sebelumnya ada. Namun
dak semua perubahan adalah perubahan sosial. Banyak
perubahan dalam kehidupan yang cukup kecil dan dianggap
tak berar (trivial), walaupun kadang-kadang hal-hal yang kecil
tersebut bila dikumpulkan akan menjadi hal yang besar dan
berar (substan al). Dalam penger annya yang paling konkret,
perubahan sosial berar kebanyakan orang terlibat dalam
kegiatan-kegiatan kelompok dan hubungan-hubungan kelompok
yang berbeda dengan apa yang telah mereka lakukan atau apa
yang telah orangtuanya lakukan sebelumnya. Masyarakat adalah
suatu jaringan kompleks dari pola-pola hubungan dimana semua
orang berpar sipasi dengan derajat keterkaitannya masing-
masing. Hubungan-hubungan ini berubah dan perilaku juga
berubah pada saat yang sama. Individu-individu dihadapkan

152
dengan situasi baru yang harus mereka respons. Situasi-situasi
ini merefleksikan faktor-faktor tertentu seper teknologi, cara
baru untuk mencari penghasilan, perubahan tempat domisili,
dan inovasi baru, ide baru, serta nilai-nilai baru. Sehingga,
perubahan sosial adalah perubahan bagaimana orang bekerja,
membesarkan anak-anaknya, mendidik anak-anaknya, menata
dirinya sendiri, dan mencari ar yang lebih dari kehidupannya.
Perubahan sosial juga bisa berar suatu restrukturisasi dalam
cara-cara dasar dimana orang di dalam masyarakat terlibat satu
dengan lainnya mengenai pemerintahan, ekonomi, pendidikan,
agama, kehidupan keluarga, rekreasi, bahasa, dan ak vitas-
ak vitas lainnya.
Tema definisi yang berulang dalam literature sosiologi
terhadap perubahan sosial menekankan perubahan (altera ons)
dalam struktur dan fungsi dari masyarakat dan perubahan
dalam hubungan sosial dari waktu ke waktu. Tanpa penjelasan
selanjutnya, hal ini bukan konsep yang bisa membantu usaha
untuk mencoba menger apa yang dimaksud dengan perubahan.
Selain itu, ke ka kita membahas tentang hubungan antara hukum
dan perubahan sosial, dan memandang hukum sebagai instrumen
dari perubahan sosial, maka akan sangat membantu bila kita bisa
menspesifikasikan iden tas dari perubahan, di ngkatan yang
sedang terjadi di masyarakat, arahnya, besarannya, dan laju
kecepatannya (Vago, 1980: 8-10).

PEMBAHASAN
1. Hubungan Timbal Balik antara Hukum dan Perubahan
Sosial
Ada beberapa level perubahan sosial yang dapat ditemukan,
yaitu pada level individu, kelompok, organisasi, ins tusi, dan
masyarakat. Sebagai contoh, perubahan dalam level individual
akan melipu perubahan-perubahan dalam sikap, kepercayaan,
aspirasi, dan mo vasi. Pada level kelompok, akan mungkin
terjadi perubahan dalam pola interaksi, komunikasi, metode-
metode penyelesaian konflik, kohesi/ keterikatan, kesatuan,
kompe si, serta pola-pola penerimaan dan penolakan. Pada
level organisasi, ruang lingkup perubahan akan melipu

153
perubahan dalam struktur dan fungsi dari organisasi, perubahan
dalam hirarki, komunikasi, hubungan peranan, produk vitas,
rekrutmen, pengakhiran / terminasi, dan pola-pola sosialisasi.
Pada level ins tusi, perubahan dapat terjadi pada perubahan
pola perkawinan dan keluarga, pendidikan, dan praktek-praktek
keagamaan. Pada level masyarakat, perubahan dipandang
sebagai modifikasi dari sistem stra fikasi, sistem ekonomi, dan
sistem poli k.
Arah perubahan (direc on of change) dimaksudkan sebagai
posisi di masa depan dari suatu en tas dalam hubungannya
dengan posisi awalnya. Hal tersebut dapat dipandang secara
kuan ta f dalam hal fluktuasi, volume, ukuran, atau angka-
angka belaka. Hal itu juga dapat dilihat dari besaran (axis) nilai-
nilai, menggunakan konsep-konsep seper kemajuan (progress),
perkembangan (improvement), penurunan (decline), atau
perbaikan (be erment). Hal itu juga dapat dipandang dalam
is lah-is lah umum, sebagai “lebih nggi”, “lebih rendah”, “ke
belakang”, atau “ke depan”, mengiku skala tertentu. Ke ga
pendekatan ini saling terpisah (mutually exclusive), dan ada
kebutuhan untuk menspesifikasikan pe perubahan sebelum
mendiskusikan arahnya. Sebagai contoh, laju penda aran
universitas dari orang-orang kulit hitam (black) dan orang-
orang keturunan Spanyol (Hispanic) masing-masing naik 5
dan 6 persen, antara tahun 1970 dan 1977 (Na onal Center
for Educa on Sta s cs, 1979: 91). Secara kuan ta f, arah
perubahan dinyatakan dalam persentase. Pada besaran nilai
(value axis), perubahan dalam par sipasi golongan minoritas ini
(yang berkaitan dengan kulit hitam dan keturunan Spanyol) bisa
disebut “kemajuan”. Dalam is lah umumnya, laju penda aran
universitas “lebih nggi” di tahun 1977 daripada di tahun 1970.
Besaran perubahan (magnitude of change) dapat
dipandang dalam hal perubahan yang inkremental, marjinal,
komprehensif, dan revolusioner. Perubahan yang inkremental
atau marjinal adalah perubahan yang menaikkan, mengurangi,
atau memodifikasi kontur dari norma atau perilaku tertentu
tanpa mengubah atau menghilangkan (repudia ng) zat atau
struktur aslinya (misalnya, birokra sasi gradual dari lembaga-

154
lembaga pendidikan nggi). Ada suatu kesepakatan dalam
literatur perubahan sosial bahwa perubahan inkremental adalah
yang paling biasa terjadi dan pola perubahan “normal” di Amerika
Serikat. Perubahan komprehensif mungkin menggambarkan
kulminasi dari perubahan inkremental yang terkait, atau
menurut kata-kata Robert A. Dahl (1967: 264) “inovasi yang
menyapu atau pembalikan yang keras” (“sweeping innova ons
or decisive reversals of established”) dari norma-norma pola
perilaku (misalnya, desegregasi sekolah atau dak memisahkan
lagi antara sekolah untuk murid kulit pu h dengan sekolah untuk
murid kulit berwarna). Perubahan-perubahan yang ukurannya
revolusioner akan mencakup subs tusi keseluruhan dari satu
pe norma atau perilaku ke norma atau perilaku lainnya, dan
penolakan keras (decisive rejec on) dari perilaku asli atau norma-
norma asli (misalnya, abolisi atau penghapusan perbudakan atau
penggan an dari sistem poli k yang satu ke sistem poli k yang
lainnya).
Laju perubahan (rate of change) adalah dimensi temporal
dari perubahan. Pada laju seberapa perubahan tertentu terjadi
? Laju ini dapat didasarkan kepada sembarang skala waktu,
misalnya cepat (fast) atau lambat (slow), atau yang dapat diukur
dalam ukuran hari, minggu, bulan, atau tahun. Sebagai contoh,
dalam konteks par sipasi golongan minoritas (yang didefinisikan
sebagai “golongan minoritas” di Amerika Serikat adalah :
perempuan, kulit berwarna, atau orang cacat) di pendidikan
nggi, laju perubahan dapat digambarkan sebagai “lambat”.
Perubahan sosial dalam masyarakat adalah suatu produk
dengan berbagai faktor, dan dalam banyak hal, hubungan antar
faktor-faktor tersebut. Selain faktor hukum, ada beberapa
mekanisme perubahan lainnya, seper faktor-faktor teknologi,
ideologi, kompe si, konflik, ekonomi, dan poli k, serta masalah
struktural (structural strains). Semua mekanisme tersebut
dalam kebanyakan hal saling berhubungan. Kita harus berha -
ha untuk dak mengecilkan ar dan mengisolasikan salah
satu dari faktor-faktor “penyebab” (“causes”) perubahan sosial
ini. Harus diakui bahwa, sangat menggoda dan sangat nyaman
untuk memilih salah satu saja (single out) “penggerak utama”

155
(“prime mover”), satu faktor, satu sebab, satu penjelasan, dan
menggunakannya di berbagai situasi. Hal itu juga terjadi dalam
perubahan hukum : adalah sangat sulit, bahkan dak mungkin,
untuk menggambarkan hubungan sebab-dan-akibat (cause-
and-effect rela onship) dalam pembuatan hukum-hukum baru,
yang akan dibahas dalam bab ini, yaitu kita harus bersikap tak
acuh / skep s (skep cal) dan berha -ha (cau ous) mengenai
penjelasan tentang satu faktor penyebab secara umum, dan
khususnya perubahan sosial berskala besar.
Pertanyaan apakah hukum dapat dan harus memimpin,
atau apakah hukum dak boleh melakukan sesuatu kecuali
mengiku perubahan-perubahan di dalam masyarakat secara
berha -ha , telah dan selalu menjadi issue kontroversial.
Pendekatan yang berlawanan dari pakar reformasi sosial Inggris
Jeremy Bentham dan pakar Jerman Friedrich Karl Von Savigny
telah memberikan paradigma yang saling bertolak belakang
tentang hal (proposi on) ini. Pada permulaan era industrialisasi
dan urbanisasi di Eropa, Bentham mengharapkan agar reformasi
hukum dapat merespons dengan cepat kebutuhan-kebutuhan
sosial dan untuk merestrukturisasi masyarakat. Dia dengan
gra s memberi saran kepada pemimpin-pemimpin Revolusi
Perancis, karena ia percaya bahwa negara-negara dengan
tahap perkembangan ekonomi yang sama memerlukan “obat”
(remedies) yang sama untuk masalah ekonomi mereka. Pada
kenyataannya, adalah filosofi Bentham dan semua pengikutnya,
yang mengubah Parlemen Inggris – dan parlemen di negara-
negara lainnya – ke dalam instrumen-instrumen legisla f ak f
untuk membawa reformasi sosial sebagian untuk merespons dan
sebagian sebagai s mulan untuk kebutuhan-kebutuhan sosial
yang dirasakan. Juga menulis pada waktu yang sama, Savigny
, seper yang telah saya bahas di Bab 2, menghujat reformasi
hukum yang menyapu (the sweeping legal reforms) yang dibawa
oleh Revolusi Perancis yang mengancam untuk menginvasi Eropa
Barat. Ia percaya bahwa adat populer yang dikembangkan secara
penuh, dapat membentuk dasar dari perubahan hukum. Karena
adat tumbuh dari kebiasaan dan kepercayaan dari orang-orang
tertentu, dan bukan karena pernyataan humanitas abstrak, maka

156
perubahan hukum adalah kodifikasi dari adat dan hal itu adalah
perubahan berskala nasional, dan bukan universal (He believed
that only fully developed popular customs could form the basis
of legal change. Since customs grow out of the habits and beliefs
of specific people, rather that expressing those of an abstract
humanity, legal changes are codifica ons of customs and they
can only be na onal, never universal).
Satu abad kemudian, hubungan antara hukum dan
perubahan sosial tetap controversial. “Tetap ada 2 pendapat
yang bertolak belakang tentang hubungan antara kaidah-kaidah
hukum (legal precepts) dan sikap-sikap dan perilaku masyakarat.
Menurut pendapat yang satu, hukum ditentukan oleh perasaan
keadilan (sense of jus ce) dan sen men moral dari populasi,
dan legislasi hanya dapat mencapai hasil bila tetap berada
dekat secara rela f dengan norma-norma sosial yang berlaku
(prevailing social norms). Menurut pendapat yang lain, hukum,
khususnya legislasi, adalah wahana (vehicle) melalui mana
evolusi sosial yang terprogram dapat dilakukan” (Aubert, 1969:
69). Pada satu sisi ekstrim, terdapat pandangan bahwa hukum
adalah peubah tak bebas (dependent variable), yang ditentukan
dan dibentuk oleh pamali-pamali yang ada (current mores) dan
opini-opini dari masyarakat. Menurut pendapat / posisi ini,
perubahan hukum adalah dak mungkin kecuali didahului oleh
perubahan sosial; reformasi hukum dak dapat melakukan apa-
apa kecuali mengkodifikasi hukum. Jelas hal ini dak benar, dan
mengabaikan fakta bahwa sepanjang sejarah ins tusi-ins tusi
hukum telah ditemukan untuk “mempunyai peranan yang
jelas, dan bukan penger an yang meraba-raba, sebagai suatu
instrumen yang mengatur (set off), memonitor, atau meregulasi
fakta atau kecepatan dari perubahan sosial” (Friedman, 1969:
29). Pendapat ekstrim lainnya diberikan oleh pakar hukum
Soviet, seper P.P. Gureyev dan P.I. Sedugin (1977), yang
melihat hukum sebagai instrumen untuk melakukan rekayasa
sosial (social engineering). Pendapat mereka adalah, “selama
periode transisi dari kapitalisme ke sosialisme, Negara Soviet
telah menggunakan legislasi secara luas untuk mengarahkan
masyarakat, memulai dan mengembangkan bentuk-bentuk

157
sosial ekonomi, menghapuskan se ap bentuk eksploitasi,
dan meregulasi berdasarkan tenaga kerja dan konsumsi dari
produk-produk tenaga kerja sosial (products of social labour).
Ia menggunakan legislasi untuk membuat dan meningkatkan
lembaga-lembaga sosialis demokra s, untuk membuat hukum
dan keter ban yang keras (firm law and order), melindungi sistem
sosial dan keamanan Negara, dan mengembangkan sosialisme”
(Gureyev dan Sedugin, 1977: 12).
Pandangan-pandangan ini menggambarkan 2 ekstrim dari
pendapat (con nuum) yang berkaitan dengan hubungan antara
hukum dan perubahan sosial. Masalah keterkaitan (interplay)
antara hukum dan perubahan sosial jelas bukanlah masalah
yang sederhana. Jelasnya, pertanyaannya adalah : Apakah
hukum mengubah masyarakat ? atau Apakah perubahan sosial
mengubah hukum ? Kedua pendapat ini kemungkinan benar.
Namun, akan lebih tepat untuk menanyakan, di bawah kondisi-
kondisi apakah hukum dapat menyebabkan perubahan sosial,
pada level apakah, dan sejauh mana ? Begitu pula, persyaratan
agar perubahan sosial dapat mengubah hukum juga harus
dijelaskan lebih jauh.
Pada umumnya, di masyarakat yang sangat urban dan sangat
terindustrialisasi seper Amerika Serikat, hukum telah memainkan
peran yang besar dalam perubahan sosial, dan sebaliknya,
atau sekurangnya lebih besar daripada pada kasus masyarakat
tradisional atau dalam pemikiran sosiologi tradisional (Nagel,
1970: 10). Ada beberapa cara untuk menggambarkan hubungan
mbal balik ini. Sebagai contoh, dalam domain hubungan antar
keluarga, urbanisasi dengan apartemen-apartemen yang kecil,
telah mengurangi keinginan untuk nggalnya keluarga dari ga
generasi di dalam satu rumah tangga. Perubahan sosial ini telah
menyebabkan adanya hukum-hukum keamanan jaring sosial
(social security laws) yang pada gilirannya telah membantu
perubahan dalam tenaga kerja dan ins tusi sosial bagi orang
yang berusia lanjut. Perubahan dalam hubungan induk semang-
penyewa (landlord-tenant rela onship) telah mengubah hukum
tata bangunan (housing codes), yang menyebabkan perubahan
dalam hubungan perinduksemangan. Sebagai akibat dari

158
perubahan teknologi, hubungan antara pemilik proper dengan
individu-individu lainnya telah menjadi “kurang pribadi” (more
impersonal) dan kemungkinan besar telah mengarah ke kerugian
(injury), dan sebagai hasilnya, telah menyebabkan perubahan
definisi hukum tentang “uang simpanan” (fault), yang pada
gilirannya telah mengubah sistem asuransi Amerika. Akhirnya,
dalam konteks hubungan antara majikan dengan pegawai
(employer-employee rela ons), dalam sejarah Amerika sebelum
tahun 1930an (masa depresi besar Amerika – penerjemah) telah
mengak an aturan dan statuta (precedents and statutes) yang
menjamin hak buruh untuk membentuk serikat buruh, dan
ke ka Undang-Undang Wagner telah diundangkan, persentase
jumlah buruh dalam serikat buruh telah meningkat, walaupun
juga telah mencapai k kejenuhan (Nagel, 1970:1). Walaupun
ada gambaran yang jelas tentang adanya hubungan mbal balik
antara hukum dan perubahan sosial, untuk tujuan analisis, saya
akan memandang hal ini sebagai hal yang mandiri (unilateral).
Di sini, di seksi selanjutnya saya akan membahas kondisi-kondisi
dimana perubahan sosial telah menyebabkan peubahan hukum;
kemudian, dalam seksi berikutnya, saya akan membahas hukum
sebagai instrumen perubahan sosial.

2. Perubahan Sosial sebagai Sebab Perubahan Hukum


Secara historis, perubahan sosial terlalu sangat lambat
untuk menjadi kebiasaan sebagai sumber utama dari hukum.
Hukum dapat merespons perubahan sosial setelah puluhan
tahun atau setelah berabad-abad. Bahkan di masa awal
revolusi industri, perubahan-perubahan yang terjadi karena
ditemukannya mesin uap atau ditemukannya listrik hanya
secara gradual telah mempengaruhi respons hukum yang sah
selama satu generasi. “Namun saat ini tempo dari perubahan
sosial telah sedemikian cepat pada suatu k dimana asumsi-
asumsi yang ada pada saat ini dak akan sah lagi bahkan dalam
beberapa tahun ke depan” (Friedman, 1972: 13). Dalam kata-
kata Alvin Toffler (1970:11), “Perubahan telah menyapu melalui
negara-negara industri maju dengan gelombang-gelombang
dankecepatan yang amat sangat nggi serta berdampak yang

159
amat sangat dak terduga”. Dalam ar , orang dalam masyarakat
modern terperangkap ke dalam gelombang (maelstrom)
perubahan soaial, hidup dalam serangkaian revolusi yang kontras
dan saling terkait dalam demografi, urbanisasi, birokra sasi,
industrialisasi, sains, transportasi, pertanian, komunikasi, riset
biomedis, pendidikan, dan hak asasi manusia. Se ap revolusi ini
telah membawa perubahan yang spektakuler dalam serangkaian
akibat, dan telah mentransformasi nilai-nilai masyarakat, sikap,
perilaku, dan ins tusi.
Perubahan-perubahan ini selanjutnya mentransformasikan
tata sosial dan tata ekonomi dari masyarakat. Masyarakat
kontemporer dicirikan dengan pembagian kerja yang jelas dan
spesialisasi dalam fungsi. Dalam masyarakat modern, “hubungan
antar pribadi telah berubah, ins tusi-ins tusi sosial termasuk
keluarga, telah jauh berubah; kontrol sosial yang sebelumnya
kebanyakan informal telah menjadi formal; birokrasi dalam
organisasi skala besar telah menyebar ke sektor-sektor public
dan swasta; dan risiko-risiko yang dihadapi individu-individu
telah muncul termasuk risiko terganggunya mata penghasilan
karena pengangguran, karena kecelakaan kerja, dan eksploitasi
consumer; dan sakit kronis dan cacat fisik telah menyertai
semakin panjangnya kehidupan” (Hauser, 1976:23-24).
Munculnya risiko-risiko baru terhadap individual sebagai
hasil dari penguatan berbagai fungsi keluarga, termasuk fungsi
perlindungan, telah menuju kepada pembuatan inovasi-inovasi
hukum untuk melindungi individual dalam masyarakat modern.
Gambaran dari inovasi seper itu misalnya adalah persyaratan
kompensasi pekerja (gaji – penerjemah), asuransi pengangguran,
asuransi hari tua, asuransi kesehatan (medicare), dan berbagai
bentuk kategori dan persyaratan generik dari “kesejahteraan
sosial” (Hauser, 1976: 24).
Banyak pakar sosiologi dan pakar hukum menyatakan
bahwa teknologi adalah salah satu dari kekuatan pengubah besar
(great moving forces) untuk perubahan hukum (Miller, 1979: 10-
14). Hukum telah dipengaruhi oleh teknologi dalam sekurangnya
ga cara, “Yang paling jelas….adalah kontribusi teknologi kepada
perbaikan teknik hukum dengan memberikan instrumen yang

160
harus digunakan dalam menerapkan hukum (misalnya, melalui
sidik jari atau penguji kebohongan). Yang kedua, yang dak
kurang signifikan adalah, efek teknologi dalam proses formulasi
dan penerapan hukum sebagai akibat dan perubahan-perubahan
yang diakibatkan oleh teknologi dalam iklim sosial dan intelektual
dimana proses hukum dieksekusi (misalnya, dengar pendapat
melalui televisi). Yang terakhir, teknologi mempengaruhi
substansi dari hukum dengan menghasilkan masalah baru
dan persyaratan baru yang harus diurus oleh hukum” (Stoner,
seper diku p oleh Miller, 1979:14). Gambaran dari perubahan
teknologi yang mengarah kepada perubahan hukum telah sangat
banyak ditemui (Loth dan Ernst, 1972). Timbulnya transportasi
dengan mobil dan pesawat terbang telah membawa pula
regulasi-regulasi baru. Peralatan baru dalam uji kebohongan
(sidik jari dan penciuman elektronik, dua di antaranya) telah
menghasilkan perubahan di dalam hukum, seper buk -buk
(evidence) yang diperbolehkan di depan pengadilan. Komputer
telah memungkinkan keberadaan kita dalam kredit, perdagangan
/ merk (merchandising), manufaktur, transportasi, riset,
pendidikan, diseminasi / penyebaran informasi, pemerintahan,
dan poli k. Komputer juga telah menginspirasi legislasi di level
federal maupun level negara bagian untuk melindungi privasi,
untuk melindungi penyalahgunaan informasi kredit, dan untuk
mensyaratkan perusahaan (employer) untuk memberitahu
seorang pelamar kerja yang ditolak tentang sumber dan sifat
dari laporan nega f (adverse report) tentang catatan kredit masa
lalunya yang menyebabkan penolakan tersebut.
Perubahan hukum dapat dimulai oleh perubahan gradual
dalam nilai-nilai dan sikap-sikap masyakarat. Masyarakat akan
berpikir bahwa kemiskinan adalah hal yang buruk dan hukum
harus dibuat untuk menguranginya dengan satu atau berbagai
cara. Masyarakat dapat menghujat penggunaan hukum karena
lebih lanjut telah menambah praktek-praktek diskriminasi rasial
di dalam pemilihan suara (sebelum 1963, masyarakat kulit hitam
dan keturunan Spanyol dak boleh memilih di Amerika Serikat
– penerjemah), perumahan, lapangan kerja, pendidikan, dan
semacamnya, dan akan mendukung perubahan-perubahan

161
yang melarang penggunaan hukum untuk maksud-maksud ini.
Masyarakat akan berpikir bahwa pebisnis dak akan begitu bebas
untuk menjual semua jenis makanan ke pasar tanpa adanya
inspeksi pemerintah yang memadai, atau terbang dengan pesawat
yang belum memenuhi standar keselamatan pemerintah, atau
mempertontonkan apa saja di televisi semau yang punya stasiun
televisi. Sehingga hukum harus diundangkan semes nya, dan
lembaga-lembaga regulatori harus berfungsi seper seharusnya.
Dan masyarakat akan berpikir bahwa praktek aborsi adalah dak
jahat, atau praktek kontrasepsi adalah diinginkan, atau bahwa
perceraian adalah dak amoral. Oleh karena itu, hukum dalam
topik-topik ini harus di njau kembali atau direvisi.
Perubahan-perubahan dalam kondisi social, teknologi,
pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap, oleh karena itu, dapat
mengarah kepada perubahan hukum. Dalam hal ini, hukum
bersifat reak f dan mengiku perubahan sosial. Namun
perlu dicatat, bahwa perubahan hukum adalah salah satu dari
banyak respons terhadap perubahan sosial. Namun perubahan
hukum sangatlah pen ng, karena hukum merepresentasikan
kewenangan negara dan kekuasaan pemberian sanksinya.
Hukum baru sebagai respons terhadap masalah sosial atau
masalah teknologi baru mungkin dapat memperbesar masalah
tersebut – atau mungkin dapat menyelesaikan masalah dan
membantu menyelesaikan masalah tersebut. Seringkali, respons
hukum terhadap perubahan sosial, yang sudah pas melalui
suatu tenggang waktu ( me lag), akan menyebabkan perubahan
sosial baru. Sebagai contoh, hukum yang dibuat sebagai
respons terhadap adanya polusi udara dan air yang dikarenakan
perubahan teknologi akan berakibat adanya pengangguran di
area-area tertentu, dimana perusahaan yang menyebabkan
polusi dak mau atau dak bisa untuk memasang alat pencegah
polusi. Pada gilirannya, pengangguran dapat berakibat ke
perpindahan penduduk (reloca on), dapat mempengaruhi
ngkat kriminalitas di dalam masyarakat, atau dapat berakibat
adanya tekanan penekan dari pihak yang terkena. Korelasi dan
reaksi berantai ini dapat diperluas lagi menjadi tak terhingga.
Oleh karena itu, hukum dapat dipandang sebagai faktor reak f

162
(yang menolak) dan proak f (yang setuju) dalam perubahan
sosial. Pada seksi berikutnya, akan dibahas tentang aspek
proak f dari hukum sebagai pemulai perubahan sosial.

3. Hukum Sebagai Instrumen Perubahan Sosial


Ada banyak ilustrasi historis dimana pengundangan dan
implementasi hukum telah digunakan untuk memulai perubahan
sosial besar di dalam masyarakat. Dengan bantuan para ahli
hukum Romawi, pernyataan bahwa hukum sebagai instrumen
perubahan sosial telah menjadi jelas secara konseptual. “Konversi
Romawi dari republik menjadi kekaisaran dak dapat dilakukan
kecuali melalui cara-cara dekrit hukum eksplisit yang ditekankan
oleh doktrin kedaulatan kekaisaran“ (Nisbet, 1975: 173). Sejak
jaman Romawi, perubahan sosial yang besar dan mobilitas sosial
hampir selalu melibatkan penggunaan hukum dan li gasi. Ada
beberapa ilustrasi tentang ide hukum, jauh dari hanya sekedar
refleksi dari realitas sosial, tapi juga merupakan alat yang canggih
(powerful) untuk “menghasilkan“ (accomplishing) realitas, yaitu,
dengan memodelkannya atau membuatnya terjadi. Secara
umum telah diakui, di samping ide-ide Marx, Engels, dan Lenin,
bahwa hukum adalah suatu fenomena besar dari masyarakat
kelas borjuis yang hilang bersama datangnya revolusi, Uni Soviet
telah sukses dalam membuat perubahan-perubahan besar di
dalam masyarakat melalui penggunaan hukum (Dror, 1968).
Baru-baru ini, usaha-usaha dari Nazi Jerman dan kemudian oleh
negara-negara Eropa Timur untuk membuat perubahan sosial
besar melalui manipulasi hukum adalah ilustrasi dari keefek van
hukum untuk memulai perubahan sosial (Eorsi dan Harmanthy,
1971).
Pengakuan (recogni on) peranan hukum sebagai suatu
instrumen dari perubahan sosial telah semakin menguat di
masyarakat kontemporer. “Hukum – melalui respons legisla f
dan administra f terhadap kondisi-kondisi sosial dan ide-ide
baru, selain melalui interpretasi kembali dari kons tusi, statuta
atau preseden – secara meningkat dak hanya mengar kulasikan
/ mengambil peranan pen ng tetapi juga menentukan arah
dari perubahan-perubahan sosial besar“ (Friedman, 1972:

163
513). Sehingga, “Perubahan sosial yang dicoba, melalui hukum,
adalah suatu jejak (trait) dasar dari dunia modern“ (Friedman,
1975: 277). Dalam hal yang sama, Yehezkel Dror (1968: 673)
menyatakan bahwa, “penggunaan yang meningkat dari hukum
sebagai alat dari ndakan sosial yang terorganisir yang ditujukan
kepada pencapaian perubahan sosial kelihatannya merupakan
salah satu ciri dari dunia modern….“. Banyak pengarang, seper
Joel B. Grossman dan Mary H. Grossman (1971:2), memandang
hukum sebagai suatu alat yang dibutuhkan, diperlukan, dan
sangat efisien untuk melakukan perubahan, yang lebih disukai
daripada instrumen perubahan yang lainnya.
Dalam masyarakat modern, peranan hukum dalam
perubahan sosial lebih daripada hanya interest teori s saja.
Dalam banyak bidang kehidupan sosial, seper pendidikan,
hubungan rasial, perumahan, transportasi, penggunaan energi,
dan perlindungan lingkungan, hukum telah disandari sebagai
instrumen perubahan yang pen ng. Di Amerika Serikat, hukum
telah digunakan sebagai mekanisme utama untuk meningkatkan
posisi poli k dan sosial kaum kulit hitam (blacks). Sejak tahun
1960s, pengadilan dan Kongres telah membatalkan sistem kasta
rasial yang termaktub (embedded) di dalam hukum dan yang telah
dipraktekkan selama beberapa generasi. Orde lama telah disapu
bersih oleh legislasi, termasuk Undang-Undang Persamaan Hak
tahun 1964 (Civil Rights Act of 1964) dan Undang-Undang Hak
Pemilihan tahun 1965 (Vo ng Rights Act of 1965), diiku dengan
komitmen milyaran dollar untuk program kesejahteraan sosial.
Dalam waktu yang rela f singkat, kebijakan ini telah menghasilkan
perubahan-perubahan yang besar. Sebagai contoh, usaha-usaha
untuk memperluas peluang pendidikan telah memperkecil
secara dras s jurang level pendidikan antara kulit hitam dan
kulit pu h. Penda aran mahasiswa kulit hitam, sebagai contoh,
telah meningkat 4 kali lipat sejak tahun 1965, dan 1 juta orang
mahasiswa kulit hitam saat ini mewakili 11 persen dari jumlah
seluruh mahasiswa di negara ini, dibandingkan dengan 4,8 persen
di tahun 1965 (Na onal Center for Educa onal Sta s cs, 1979:
115). Selama generasi yang lalu, par sipasi poli k dari warga
kulit hitam telah meningkat tajam. Saat ini terdapat 4.500 orang

164
kulit hitam terpilih dalam jabatan publik (hold elected offices)
dari anggota Kongres sampai Walikota, atau naik 45 kali lipat
sejak tahun 1954 (U.S. News & World Report, 1979:59). Namun,
sangat salah untuk mengasumsikan bahwa perubahan yang sama
telah terjadi di bidang (domain) lainnya. Sebagai contoh, sejak
tahun 1964, median penghasilan keluarga kulit hitam hanyalah
antara 54 – 62 persen daripada kulit pu h.
Begitu pula di negara-negara Eropa Timur, hukum
telah menjadi instrumen pen ng untuk mentransformasikan
masyarakat sejak Perang Dunia II dari masyarakat borjuis ke
masyarakat sosialis. Perundangan hukum telah memulai dan
meligi masi pengaturan ulang dalam hal proper (hak rumah,
tanah) dan hubungan kekuasaan, mentransformasikan ins tusi
sosial dasar seper pendidikan dan pelayanan kesehatan, dan
membuka jalan raya baru untuk mobilitas sosial bagi segmen
besar dari populasi. Legislasi telah mengarahkan pengaturan
kembali produksi pertanian dari kepemilikan pribadi ke pertanian
kolek f, pembuatan kota-kota baru, dan pengembangan
ala sosialis dari ekonomi produksi, distribusi, dan konsumsi.
Perubahan-perubahan ini, pada gilirannya akan mempengaruhi
nilai-nilai, kepercayaan, pola sosialisasi, dan struktur hubungan
sosial.
Ada beberapa cara untuk memper mbangkan peranan
hukum dalam perubahan sosial. Dalam suatu ar kelnya yang
sangat berpengaruh, “Hukum dan Perubahan Sosial“, Dror (1968)
membedakan antara aspek tak langsung dan aspek langsung dari
hukum dalam perubahan sosial. Dror (1968: 673) mengatakan
bahwa, “Hukum memainkan peranan tak langsung dalam
perubahan sosial dengan membentuk berbagai ins tusi sosial,
yang pada gilirannya mempunyai dampak langsung terhadap
masyarakat“. Ia menggunakan ilustrasi sistem wajib belajar yang
memainkan peranan pen ng dak langsung dalam perubahan
dengan memperkuat operasi ins tusi-ins tusi pendidikan,
yang pada gilirannya akan memainkan peranan langsung dalam
perubahan sosial. Ia menekankan bahwa hukum berinteraksi
secara langsung dalam banyak kasus dengan ins tusi-ins tusi
sosial, membentuk adanya hubungan langsung antara hukum

165
dan perubahan sosial. Sebagai contoh, hukum yang diundangkan
untuk melarang poligami mempunyai pengaruh besar langsung
terhadap perubahan sosial, dengan tujuan utamanya perubahan
dalam pola-pola perilaku yang pen ng. Namun ia mewan -
wan , bahwa “perbedaannya daklah absolut tapi rela f: pada
banyak kasus penekanannya lebih kepada dampak langsung dan
kurang pada dampak dak langsung terhadap perubahan sosial,
yang dalam kasus lainnya hal kebalikannya yang berlaku“ (Dror,
1968: 674).
Dror berargumen bahwa hukum berfungsi sebagai pengaruh
dak langsung terhadap perubahan sosial pada umumnya
dengan mempengaruhi kemungkinan-kemungkinan perubahan
dalam berbagai ins tusi sosial. Sebagai contoh, adanya hukum
patent yang melindungi hak-hak dari penemu (inventors) untuk
mendukung penemuan (inven ons), dan perubahan lebih lanjut
dalam lembaga-lembaga teknologi, yang pada gilirannya akan
membawa sejenis perubahan sosial.
Sebagai suatu instrumen perubahan sosial, hukum membawa
2 proses-proses yang saling berhubungan, yaitu pengenalan“
(ins tu onaliza on) dan “pelembagaan“ (internaliza on) pola-
pola perilaku. Pengenalan (ins tu onaliza on) dari pola perilaku
merujuk pada pembuatan suatu norma dengan persyaratan
penegakannya (misalnya, desegregasi / penghapusan segregasi
dari sekolah-sekolah negeri), dan pelembagaan (internaliza on)
dari suatu pola perilaku berar bahwa pencakupan (incorpora on)
nilai atau nilai-nilai secara implisit di dalam hukum (misalnya,
sekolah negeri yang terintegrasi adalah “baik“). “Hukum…..
dapat mempengaruhi perilaku secara langsung hanya melalui
proses pengenalan; namun jika proses pengenalan ini sukses,
pada gilirannya akan memfasilitasi pelembagaan sikap atau
kepercayaan“ (Evan, 1965: 287).
Dalam banyak hal hukum adalah suatu mekanisme efek f
dalam peningkatan atau penguatan perubahan sosial. Namun,
sejauh mana hukum dapat memberikan suatu dorongan
(impetus) efek f untuk perubahan sosial bervariasi menurut
kondisi-kondisi yang ada dalam situasi tertentu. William M. Evan
(1965: 288-291) menyarankan bahwa hukum akan sukses untuk

166
melakukan perubahan jika memenuhi 7 kondisi sebagai berikut :
1. Hukum harus muncul (emanate) dari sumber yang berwenang
dan pres sius; 2. Hukum harus mengenalkan alasannya dalam hal
mana yang dapat dimenger dan cocok dengan nilai-nilai yang
ada; 3. Advokasi perubahan harus merujuk kepada masyarakat
lain atau negara lain dimana populasi mengiden fikasi diri
dan dimana hukum telah berlaku; 4. Penegakan hukum harus
ditujukan kepada pembuatan perubahan dalam waktu yang
rela f cepat; 5. Pihak yang menegakkan hukum harus dengan
sendirinya sangat komit terhadap perubahan yang dimaksud
oleh hukum; 6. Implementasi hukum harus mencakup sanksi-
sanksi posi f dan nega f; dan 7. Penegakan hukum harus masuk
akal, dak hanya dalam hal sanksi yang digunakan, tetapi juga
perlindungan hak-hak pihak yang akan kalah dalam masalah
pelanggaran hukum.
Sebagai agan perubahan sosial, hukum mempunyai
kekuatan dan kelemahan. Efikasi hukum, yaitu kemampuan
hukum untuk menghasilkan perubahan, ditentukan sebagian
besar oleh penerimaan publik. Dalam suatu masyarakat
demokra s pluralis k, dimana orang cenderung untuk terkait
dengan banyak kelompok dan publik – perubahan melalui
hukum umumnya dipenuhi dengan berbagai reaksi: beberapa
berlawanan, beberapa mendukung, namun sebagain besar acuh
tak acuh atau hanya sangar sedikit (mildly hos le). Jika mayoritas
pemimpin opini ada di belakang perubahan, maka oposisi akan
tetap menjadi minoritas dan secara pelan-pelan sebagian besar
masyarakat akan dapat menerima perubahan (Rose dan Rose,
1969: 537).
Efikasi hukum sebagai suatu instrumen perubahan sosial
dipersyaratkan oleh sejumlah faktor. Salah satunya adalah jumlah
informasi yang tersedia mengenai suatu legislasi (legisla on),
keputusan (decision), atau penetapan (ruling). Ke ka terdapat
dak cukup transmisi informasi tentang hal-hal ini, hukum
dak akan menghasilkan efek yang diinginkan. Ke dakpedulian
(ignorance) terhadap hukum dak dianggap sebagai satu alasan
untuk ke dakpatuhan (disobedience), namun ke dakpedulian
membatasi efek vitas hukum. Dalam kasus yang sama, hukum

167
terbatas sejauh dimana aturan-aturan (rules) itu dak dituliskan
secara pas , dan bukan karena orang dak yakin dengan apa yang
dimaksud oleh aturan-aturan tersebut. Aturan-aturan yang sumir
(vague rules) membolehkan persepsi yang bermacam-macam
dan interpretasi (apa maksud pernyataan “semua kecepatan
yang ada“ [“all deliberate speed“] ?). Sebagai akibatnya, bahasa
hukum harus bebas dari keambiguan, dan keha -ha an perlu
dilakukan untuk menghindari berbagai interpretasi dan “lubang
penafsiran“ (loopholes) (Carter, 1979: 27-37).
Regulasi-regulasi hukum dan perilaku masyarakat
yang diinginkan kepada siapa hukum ditujukan harus secara
jelas diketahui, dan sanksi-sanksi terhadap ke dakpatuhan
(noncompliance) perlu dihitung secara tepat (precisely
enumerated). Efek vitas hukum berhubungan langsung dengan
jangkauan (extent) dan sifat (nature) dari persepsi aturan-
aturan sanksi resmi (officially sanc oned rules). Persepsi
terhadap aturan-aturan, pada gilirannya beragam menurut
sumbernya. Aturan-aturan kemunginan besar akan diterima bila
sumbernya dipandang sah (legi mate). Namun perlu dicatat,
bahwa kontras antara “legi masi“ dengan “legalitas“ kadang-
kadang tetap membingungkan. Seper yang diama oleh
Carl J. Friedrich (1958: 202), “Hukum dak harus dilihat hanya
beroperasi di satu dimensi dari keadaan, namun dalam banyak
dimensi dari masyarakat jika kita mengar kan legi masi sebagai
pola tujuan. Legi masi dikaitkan dengan hak dan keadilan;
tanpa suatu klarifikasi tentang apa yang harus dimenger oleh
“kebaikan“ (rightness) dan keadilan dari hukum, legi masi dak
dapat dimenger juga. Aturan Hitler adalah legal namun dak
legi mate. Ia mempunyai dasar di dalam hukum namun dak
dalam hal kebenaran dan keadilan“.
Kecepatan respons (responsiveness) dari lembaga-lembaga
penegak hukum terhadap hukum juga mempunyai dampak
terhadap efek vitas hukum. Agen penegak hukum dak hanya
mengkomunikasikan aturan-aturan, mereka juga menunjukkan
bahwa aturan-aturan harus dianggap serius dan hukuman
terhadap para pelanggar sudah menunggu. Namun agar hukum
dapat ditegakkan (enforcable), perilaku yang harus diubah harus

168
juga diama (observable). Sebagai contoh, lebih sulit untuk
menegakkan hukum terhadap perilaku homoseksual daripada
hukum terhadap diskriminasi rasial dalam perumahan publik.
Selain itu, agen penegak hukum perlu sepenuhnya komit untuk
menegakkan suatu hukum baru. Salah satu alasan gagalnya larangan
(prohibi on), sebagai contoh, adalah karena ke dakmauan dari
agen penegak hukum untuk mengimplementasikan hukum.
Penegakan hukum yang selek f juga akan juga akan mengurangi
(hinders) keefek vannya. Semakin nggi status individual yang
ditahan dan dihukum, semakin besar kemungkinan suatu hukum
tertentu akan mencapai tujuan yang diinginkannya (Zimring
dan Hawkins, 1975: 337-338). Hukum yang secara reguler dan
secara seragam ditegakkan di berbagai kelas masyarakat dan
kelompok masyarakat cenderung dipersepsikan sebagai lebih
mengikat (more binding) daripada hukum yang jarang atau yang
ditegakkan secara selek f saja, karena penegakan menetapkan
norma-norma perilaku, dan pada suatu waktu, menurut E.
Adamson Hoebel (1954: 15) : “Norma berlaku pada kualitas
dari yang norma f. Apa yang dilakukan oleh kebanyakan orang,
orang-orang lainnya akan melakukannya juga“.
Sebagai suatu strategi perubahan sosial, hukum mempunyai
keuntungan dan kelemahan khas tertentu dibandingkan
dengan agen-agen perubahan lainnya. Walaupun keuntungan
dan kekurangan ini sama-sama hadir (go hand in hand) dan
merepresentasikan dua sisi yang berbeda dari sekeping uang
yang sama, untuk tujuan analisis saya akan membahasnya secara
terpisah. Pembahasan berikut akan fokus pada alasan-alasan
yang lebih nyata mengapa hukum dapat memfasilitasi perubahan
di dalam masyarakat.

4. Keuntungan Hukum dalam Membuat Perubahan Sosial


Seper telah saya tekankan sebelumnya, mengiden fikasi
bidang perubahan (perimeters of change) dan mengkaitkan
perubahan (a ribu ng change) terhadap variabel penyebab
tertentu atau satu set variabel harus ditangani dengan keha -
ha an. Dalam banyak hal, kemajuan perubahan sosial (the state
of the art of social change endeavors) dak cukup canggih secara

169
metodologis untuk membedakan dengan jelas antara sebab,
keharusan, kecukupan, atau kondisi-kondisi kontribu f untuk
menghasilkan efek-efek yang diinginkan di dalam masyarakat.
Perubahan sosial adalah fenomena yang kompleks dan bermuka
banyak (mul facet) yang dibawa oleh kekuatan sosial tertentu.
Kadang-kadang, perubahan sangatlah lambat, dak imbang dan
dapat dikondisikan oleh faktor-faktor yang berlainan dengan
derajat yang berbeda-beda. Dari faktor-faktor ini, yang paling
dras s adalah revolusi, yang ditujukan kepada perubahan
fundamental dalam hubungan kekuasaan antar kelas di dalam
masyarakat. Faktor-faktor lainnya mencakup pemberontakan,
kerusuhan (riot), coup d’etat, berbagai bentuk gerakan protes,
duduk-duduk (sit-ins), boikot, pemogokan, demonstrasi, gerakan
sosial, pendidikan, media massa, inovasi teknologi, ideologi, dan
berbagai bentuk usaha-usaha perubahan sosial yang terencana
namun nonlegal yang berhubungan dengan berbagai perilaku
dan praktek pada berbagai level di dalam masyarakat.
Dibandingkan dengan da ar dak lengkap dari kekuatan-
kekuatan yang menghasilkan perubahan, hukum mempunyai
keuntungan-keuntungan tertentu. Usaha-usaha perubahan
melalui hukum cenderung untuk lebih fokus dan spesifik.
Perubahan melalui hukum bersifat detail (deliberate), rasional,
dan usaha-usaha yang disadari untuk mengubah perilaku atau
praktek tertentu. Maksud dari norma-norma hukum telah
dinyatakan dengan jelas dengan garis besar yang jelas tentang
cara-cara implementasi dan penegakan serta sanksi-sanksi
yang ada. Pada dasarnya, perubahan melalui hukum ditujukan
untuk memperkuat, meningkatkan, menambah (ameliora ng),
atau mengontrol perilaku dan praktek dalam situasi sosial yang
didefinisikan dengan jelas – seper yang telah diungkapkan oleh
pihak yang pro (proponents) dengan suatu perubahan tertentu.
Keuntungan hukum sebagai suatu instrumen perubahan sosial
disebabkan oleh fakta bahwa hukum di dalam masyarakat
dipandang sebagai legi mate, kurang lebih rasional, berwenang
(authorita ve), terlembagakan (ins tu onalized), umumnya
dak mengganggu (generallly not disrup ve), dan didukung oleh
mekanisme-mekanisme penegakan dan sanksi-sanksi.

170
Perlakuan klasik terhadap otoritas legi mate disampaikan
oleh Max Weber (1947). Weber mendefinisikan, “koordinasi
keharusan“ (impera ve coordina on) sebagai probabilitas
bahwa perintah tertentu dari suatu sumber tertentu akan
dipatuhi oleh kelompok atau perorangan tertentu. Kepatuhan
terhadap perintah dapat terletak pada berbagai per mbangan,
dari pesona sederhana (simple habitua on) sampai kalkulasi
keuntungan yang benar-benar rasional. Namun ada suatu
penyerahan tanpa syarat minimun yang berdasarkan kepada
interest dalam kepatuhan. Kepatuhan terhadap otoritas /
pihak yang berwenang dapat didasarkan kepada adat (custom),
ikatan-ikatan ketertarikan (affectual es), atau kepada interest
material yang kompleks, atau oleh yang disebut Weber sebagai
“mo f-mo f ideal“. Interest yang sepenuhnya material ini akan
menghasilkan situasi yang dak stabil, dan oleh karena itu harus
diimbangi (must be supplemented) dengan elemen-elemen
lainnya, baik yang afektual / ketertarikan sementara ataupun
yang ideal. Namun bahkan mo f yang sangat kompleks ini
dak membentuk suatu dasar yang cukup handal untuk sistem
kerjasama impera f, sehingga elemen pen ng lainnya harus
ditambahkan, yaitu kepercayaan terhadap legi masi.
Mengiku Max Weber, ada 3 pe oto tas legi mate, yaitu
: tradisional, karisma k, dan rasional-legal. Otoritas tradisional
mendasarkan klaimnya atas legi masi terhadap kepercayaan
yang ada terhadap kesucian tradisi dan legi masi terhadap status
dari orang yang melaksanakan otoritas. Kewajiban kepatuhan
dak melulu hanya penerimaan terhadap legalitas dari suatu
perintah impersonal, namun lebih kepada masalah kese aan
personal. “Aturan-aturan yang dituakan“ (rules of elders)
adalah gambaran dari otoritas tradisional. Otoritas karisma k
(charisma c authority) mendasarkan klaimnya tentang legi masi
pada penyerahan diri terhadap kesucian yang spesifik dan luar
biasa, heroisme, atau karakter khusus (exemplary character) dari
seorang individu dan pola-pola norma f yang dikatakan atau
diakui (revealed or ordained). Pemimpin karisma k dipatuhi
oleh kebaikan dari kepercayaan pribadinya (virtue of personal
trust) dan terhadap pengakuannya (his or her revela on), atau

171
terhadap kualitasnya yang luar biasa (his or her exemplary
quali es). Gambaran dari individual dengan otoritas karisma k
termasuk Nabi Musa, Nabi Isa, Nabi Muhammad, atau Mahatma
Ghandi.
Otoritas rasional-legal (ra onal-legal authority)
mendasarkan klaimnya kepada legi masi atau kepercayaan
terhadap legalitas aturan-aturan norma f dan kepada hak-
hak orang yang diangkat sebagai otoritas untuk mengeluarkan
perintah di bawah aturan-aturan tertentu. Dalam otoritas
seper itu, kepatuhan (obedience) ditujukan kepada perintah
impersonal yang dilegalkan. Individu-individu yang melaksanakan
otoritas dari suatu jabatan ditunjukkan kepatuhan hanya melalui
perintahnya yang legal-formal, dan di dalam ruang lingkup otoritas
jabatannya. Otoritas legal dak secara konsep berbeda dengan
otoritas tradisional, walaupun perbedaannya sudah pas ada.
Dalam masyarakat modern, “legalitas“ merupakan komponen
rasionalitas yang dak dipunyai oleh otoritas tradisional. Namun,
dalam transisi menuju modernitas, khususnya pada abad ke-16
dan ke-17, otoritas semakin cenderung kepada rasionalisasi dari
is lah-is lah legalis k dan kesukarelaan (voluntaris c). Orang
“rasional“ “secara sukarela“ membuat suatu “kontrak“, yang
membuat perintah legal impersonal (impersonal legal order).

5. Kekuatan Mengikat dari Hukum


Ada beberapa alasan mengapa hukum itu mengikat.
Dari suatu pernyataan bahwa hukum diambil dari alam untuk
dipercayai bahwa hukum dihasilkan dari konsensus dari subjek-
subjeknya yang mengikat. Jawaban yang segera dan sederhana
adalah bahwa hukum itu mengikat karena kebanyakan orang di
dalam masyarakat memandangnya demikian. Kemenger an dan
kesadaran terhadap hukum (the awareness and consciousness
of law) oleh kebanyakan orang berfungsi sebagai dasar bagi
eksistensinya. Orang biasanya menyerahkan perilakunya kepada
regulasi-regulasi, walaupun mereka mempunyai banyak alasan
yang berbeda mengapa mereka demikian. Beberapa orang
mungkin percaya bahwa dengan mematuhi hukum, mereka
mematuhi otoritas ter nggi dari hukum, yaitu : Tuhan, alam,

172
atau kemauan masyarakat (Negley, 1965).
Orang lainnya mengakui bahwa isi dari hukum adalah
memerintahkan kepatuhan, yang pada gilirannya, dipandang
sebagai suatu kewajiban (Ladd, 1970). Hukum mencapai
klaim terhadap kepatuhannya, dan sekurangnya sebagian dari
kekuasaan kewajiban moralnya, dari suatu pengakuan sederhana
yang diterimanya dari hukum, atau dari sebagian besar orang,
kepada siapa hukum dimaksudkan untuk diterapkan. Pengakuan
ini datang sebagai hasil dari kombinasi faktor-faktor, yang dak
mungkin untuk disebutkan secara tepat. Dapat dibantah bahwa
selain kepatuhan yang meluas dan adanya lembaga-lembaga
yang menyarankan kepatuhan itu, selain untuk mendefinisikan
dan menerapkan hukum, hal-hal lainnya (other ingredients)
biasanya ada dan pen ng. Antara lain, termasuk kepercayaan
bahwa hukum tertentu adalah benar, atau bahwa rejim yang
mendukungnya adalah baik dan harus didukung. Ada yang
hampir yakin untuk memasukkan juga pengetahuan bahwa
sebagian besar orang mematuhi hukum dan mengakuinya karena
mempunyai klaim yang benar secara moral tentang perilaku
mereka, atau sekurang-kurangnya, bahwa mereka berperilaku
seolah-olah mereka merasa harus berperilaku seper itu.
Bahkan ke ka hukum bertentangan dengan moralitas
yang diterima, mereka seringkali dipatuhi. Pemusnahan lebih
daripada 6 juta orang Yahudi di masa Nazi Jerman, adalah contoh
yang paling ekstrim dari ndakan amoral yang diakui legal, yang
dilaksanakan oleh ribuan orang atas nama kepatuhan terhadap
hukum. Stanley Milgram (1975: xii) mengatakan bahwa esensi
kepatuhan terletak pada fakta bahwa individu-individu merasa
diri mereka sendiri pen ng untuk mengimplementasikan
keinginan orang-orang lainnya, dan mereka dak lagi memandang
diri mereka sendiri bertanggung jawab terhadap ndakannya.
Dalam banyak kejadian, penerimaan terhadap otoritas akan
menghasilkan kepatuhan. Sebagai contoh, Milgram, yang tertarik
dengan fenomena kepatuhan dan otoritas, telah menunjukkan
bahwa orang-orang dari latar belakang yang sangat berbeda
akan melakukan hal-hal yang dilarang oleh moral kepada
orang-orang lainnya jika mereka diperintah oleh otoritas yang

173
berwenang. Di bawah penyamaran pelaksanaan percobaan
tentang “efek-efek hukuman terhadap memori“, ia menemukan
bahwa sekitar 2/3 dari subjek laboratoriumnya akan berperilaku
dengan sukarela dengan cara yang mereka percaya akan
menyakitkan atau merugikan orang lainnya. Walaupun “korban“
menjerit kesakitan, terkena sakit jantung, dan mengemis untuk
penghen an percobaan, kebanyakan orang akan terus mematuhi
otoritas dan memberikan apa yang mereka percayai sebagai
kejutan listrik bertenaga besar (Milgram, 1975). Peneli an ini,
selain menunjukkan bahwa kebanyakan orang di bawah kondisi
tertentu akan melakukan apa saja walaupun melanggar norma-
norma moralnya sendiri dan menyebabkan kesakitan terhadap
orang yang lainnya, menggarisbawahi bahwa kebanyakan orang
akan menyerahkan diri kepada otoritas, dan begitu pula kepada
hukum.
Salah satu alasan untuk kekuatan pengikat dari hukum
adalah karena orang lebih suka keteraturan (order) daripada
ke dakteraturan (disorder). Individu-individu adalah makhluk
kebiasaan karena cara hidup kebiasaannya memerlukan usaha
yang kurang pribadi daripada yang lainnya dan memenuhi
perasaan akan keamanan. Kepatuhan terhadap hukum
menjamin hal itu. Ada gunanya juga untuk mematuhi hukum,
karena menghemat usaha dan resiko, suatu mo vasi yang
cukup untuk menghasilkan kepatuhan. Kepatuhan terhadap
hukum juga berkaitan dengan proses sosialisasi. Orang pada
umumnya dilahirkan untuk mematuhi hukum. Cara hidup yang
legal menjadi cara kebiasaan dari hidup. Dari masa kanak-kanak,
seorang anak memperoleh pemahaman ar dari perintah dan
aturan dari orangtua dan menjadi terbiasa karenanya. Proses ini
berulang di sekolah-sekolah dan di dalam masyarakat. Semua
itu akan memberikan – atau harus memberikan – par sipasi
dari manusia yang dewasa. Individu, katakanlah demikian,
membentuk regulasi-regulasi ini dan membuatnya untuk diri
mereka sendiri. Dalam prosesnya, disiplin telah digan dengan
disiplin terhadap diri sendiri.
Robert B. Seidman (1978: 100) menggarisbawahi bahwa
“hukum kurang lebih konsisten dengan aturan sosial yang ada

174
yaitu dak perlu tergantung kepada ancaman sanksi hukum
untuk mengatur (to induce) perilaku“. Namun, dak semua
hukum konsisten dengan aturan sosial yang ada, dan salah satu
keuntungan hukum, sebagai agen perubahan sosial adalah,
bahwa pelanggaran hukum potensial seringkali dicegah oleh
risiko yang aktual ataupun yang dibayangkan dan oleh kekerasan
sanksi-sanksi yang diterapkan kepada si pelanggar aturan
(noncompliance). Bahkan ancaman sanksi dapat mencegah
orang dari ke dakpatuhan. Barangkali sanksi-sanksi sebagian
juga ber ndak dengan mengharuskan sikap moralis k menuju
kepatuhan (Schwartz dan Orleans, 1970).
Situasinya sangat berbeda bilamana perubahan yang dicari
melalui hukum adalah pengurangan atau penghapusan perilaku
yang menyimpang (deviant behaviors). Dalam hal ini, hukum dak
memberikan hadiah atau insen f untuk membujuk (dissuade)
individu-individu agar dak melakukan ndakan menyimpang
– hanya kemungkinan, jika dak keyakinan, dari pendeteksian
dan penghukuman. Dalam hal seper itu, penekannya adalah
pada pencegahan (deterence), penghukuman, dan pembalasan
(vengeance), dan tujuannya adalah penghapusan atau
pengurangan pe- pe perilaku tertentu yang dipandang sebagai
merugikan.

6. Kekurangan Hukum dalam Membuat Perubahan Sosial


Dalam suatu periode dimana perubahan (aliena on) dari
hampir semua ins tusi sosial berjalan begitu cepat, ke ka orang
menderita “krisis kepercayaan“, kelihatannnya agak absurd
untuk mengajukan ide bahwa hukum adalah suatu pernyataan
keinginan dari masyarakat (an expression of the will of the people).
Untuk sebagian besar individu-individu, hukum berasal dari luar
mereka, dan diterapkan terhadap mereka dalam suatu cara
yang dapat disebut pemaksaan (coercive). Dalam realitasnya,
hanya sedikit individu yang benar-benar berpar sipasi dalam
pembentukan hukum dan legislasi baru. Sebagai akibatnya, salah
satu kelemahan hukum sebagai salah satu instrumen perubahan
sosial adalah kemungkinan adanya konflik kepen ngan yang
cenderung menentukan hukum mana yang akan digunakan dan

175
alterna f-alterna f mana yang akan ditolak. Salah satu kelemahan
yang ada dari efikasi hukum sebagai suatu instrumen untuk
perubahan sosial termasuk pandangan yang beragam mengenai
hukum sebagai alat untuk mengarahkan perubahan sosial dan
penegakan moralitas dan nilai-nilai. Dalam halaman-halaman
berikut, saya akan membahas kelemahan ini secara terpisah,
dan kemudian memeriksa sejumlah kondisi yang kondusif untuk
resistensi perubahan dari sudut pandang sosiologis, psikologis,
budaya, dan ekonomi.
Menurut Roscoe Pound, “sistem hukum dirancang untuk
menentukan mana dari klaim yang saling bertentangan terhadap
kekayaan materi dan ruang hidup yang akan diakui dan diamankan
dan mana yang harus ditolak“ (Bonsignore, et.al.,1974: 32).
Keinginan yang saling bertentangan muncul karena adanya
kelangkaan. Akses terhadap sumber daya yang terbatas dan
objek yang sangat dimina , sangat terbatas di se ap masyarakat.
Dalam suatu perjuangan untuk mencapainya, beberapa individu
dan kelompok menang, dan selainnya kalah. Beberapa dekade
yang lalu, Max Weber telah mengenali, seper juga Karl Marx
sebelumnya, bahwa banyak hukum dibuat untuk memenuhi
interest ekonomi tertentu.

7. Hukum sebagai Instrumen Kebijakan


Aliran pemikiran lainnya mengenai keterbatasan hukum
sebagai suatu instrumen perubahan sosial dikemukakan oleh
Yehezkel Dror. Ia mengatakan bahwa “hukum itu sendiri hanyalah
salah satu dari komponen dari sejumlah besar instrumen
kebijakan dan biasanya dak dapat dan dak digunakan oleh
dirinya sendiri. Oleh karena itu, memfokuskan perha an
terhadap hukum sebagai suatu alat untuk perubahan sosial
adalah seper kasus melihat di ujung terowongan yang panjang,
yang mempunyai kekurangan dalam perspek f minimum yang
diperlukan untuk memberi ar dari fenomena yang diama “
(Dror, 1970: 554). Ia menyarankan perlunya diredefinisikan
subjek dari “hukum sebagai alat untuk perubahan sosial yang
terarah“ dan untuk memper mbangkannya sebagai bagian
dari instrumen-instrumen kebijakan sosial yang lainnya, karena

176
hukum adalah salah satu dari instrumen kebijakan yang harus
digunakan berupa kombinasi dengan instrumen lainnya.
Dalam konteks masalah sosial seper hubungan-hubungan
rasial, keamanan publik, penyalahgunaan narkoba, polusi, dan
semacamnya, “keharusan untuk menggunakan hukum sebagai
suatu instrumen kebijakan yang digabungkan dengan instrumen
kebijakan sosial lainnya yang diper mbangkan secara ha -ha ,
adalah cukup meyakinkan“ (Dror, 1970: 555). Pandangan ini
tentulah mempunyai keuntungan. Kadang-kadang, perubahan
melalui hukum dapat dan haruslah dipandang sebagai suatu
bahan dasar bagi kebijakan yang lebih besar. Sebagai contoh,
pengundangan Undang-Undang Peluang Ekonomi (the Economic
Opportunity Act) mengambil tempat dalam konteks kebijakan
yang lebih luas yang ditujukan untuk menghilangkan kemiskinan
di Amerika Serikat.
Namun, hukum sering digunakan sebagai suatu instrumen
perubahan di luar konteks kerangka pembuatan kebijakan yang
lebih luas. Hal ini adalah situasi umum di dalam li gasi yang
berorientasi reformasi dimana tujuannya adalah mengubah
praktek kelembagaan tertentu. Sebagai contoh, keputusan
Mahkamah Agung (the Supreme Court) untuk membatalkan
(to overrule) statuta aborsi di negara bagian dak dijalankan
menurut per mbangan kebijakan tertentu, namun secara jelas
mempunyai dampak besar terhadap perempuan-perempuan
yang mencari cara untuk mengakhiri kehamilannya secara legal.
Walaupun keputusan judisial umumnya dak dipandang sebagai
suatu instrumen kebijakan, mengingat sifat kesulitan dari li gasi,
reformasi legisla f dan administra f yang berurusan dengan
issue-issue sosial yang lebih besar harus terjadi di dalam kerangka
pembuatan kebijakan sosial yang lebih luas. Pendekatan seper
itu akan memperkuat secara nyata efikasi hukum sebagai suatu
instrumen perubahan. Pada akhirnya, Dror menyarankan adanya
ahli hukum dari berbagai disiplin, para pakar ilmu sosial, dan
analis kebijakan untuk terlibat di dalam peneli an-peneli an
yang relevan dan mempersiapkan rekomendasi kebijakan.
Literatur sosiologi mengakui, seper yang dicatat oleh
James P. Levine (1970: 592), bahwa kemampuan hukum

177
untuk menghasilkan perubahan sosial adalah bersifat untung-
untungan (probabilis c), darurat (con ngent), dan terurut
(sequen al). Jika sebuah hukum diundangkan, atau suatu
keputusan pengadilan dijatuhkan, adalah hampir mungkin
bahwa perubahan-perubahan tertentu akan mengiku , namun
derajat perubahannya bersifat darurat terhadap keadaan-
keadaan tertentu. Hukum bersifat sekuensial / terurut kepada
suatu derajat bahwa ia harus mendahului perubahan-perubahan
yang diinginkan tertentu, namun karena sejumlah besar faktor
mempengaruhi perubahan, jeda waktunya (the me lag) dak
terlalu jelas. Selain itu, sejumlah faktor selain hukum mungkin
mempunyai efek terhadap perubahan di bidang tertentu,
yang berar bahwa hubungan sebab akibat antara hukum dan
perubahan sangatlah sulit untuk ditentukan. Beberapa faktor
ini berhubungan dengan jatuhnya moralitas dan nilai-nilai dalam
masyarakat.
Patrick Devlin (1965) berargumen bahwa suatu masyarakat
berhutang tentang eksistensinya kurang kepada ins tusi-ins tusi
namun lebih kepada moralitas bersama yang mengikat mereka
bersama. Walaupun thesis ini hanya sebagian saja benar,
moralitas dan nilai-nilai mempengaruhi efikasi hukum di dalam
perubahan sosial. Jelas bahwa, masyarakat dak dapat eksis
tanpa menerima nilai-nilai dasar, prinsip-prinsip, dan standar-
standar tertentu. Pada issue-issue tertentu, seper kekerasan,
kebenaran, kebebasan individu, dan kehormatan manusia,
moralitas bersama sangatlah pen ng. Namun hal ini dak
berar bahwa, semua nilai-nilai dalam moralitas bersama kita
adalah mendasar dan pen ng, atau turunnya satu nilai akan
menyebabkan turunnya nilai-nilai yang lainnya. Selain itu, dak
semua nilai-nilai kita adalah pen ng. Aturan-aturan tentang
proper , sebagai contoh, dak pen ng : beberapa prinsip
tentang proper adalah pen ng, namun dak ada masyarakat
yang perlu mempunyai prinsip tentang proper tersebut yang
menjadi ciri dari prinsip-prinsip kepemilikan pribadi di Amerika
Serikat, sebagai contohnya. Suatu masyarakat dapat mempunyai
semua proper yang sama tanpa hilang perhitungannya sebagai
suatu masyarakat.

178
8. Resistensi terhadap Perubahan
Sebagai tambahan dari keterbatasan hukum sebagai suatu
instrumen perubahan sosial yang didiskusikan dalam seksi
sebelumnya, efikasi hukum (begitu pula mekanisme perubahan
lainnya) selanjutnya akan terhambat oleh berbagai kekuatan.
Dalam dunia modern, situasi resisten terhadap perubahan
lebih banyak terjadi daripada situasi menerima perubahan.
Seringkali perubahan dihambat karena perubahan bertentangan
dengan nilai-nilai dan kepercayaan tradisional, atau perubahan
tertentu menyebabkan biaya besar, dan kadang-kadang orang
bertahan terhadap perubahan karena hal itu bertentangan
dengan kebiasaannya atau membuatnya merasa ketakutan
atau terancam. Walaupun hukum mempunyai keuntungan
tertentu dibandingkan dengan agen perubahan lainnya, untuk
mengapresiasi peranan hukum di dalam perubahan, adalah
sangat membantu untuk mengiden fikasi beberapa kondisi
umum dari resistensi terhadap hal –hal yang berkenaan dengan
hukum. Kesadaran terhadap kondisi-kondisi ini adalah suatu
prasyarat bagi penggunaan hukum yang lebih efisien sebagai
metode rekayasa sosial.
Literatur sosiologi mengenai berbagai tendensi untuk
menghambat perubahan yang secara langsung ataupun dak
langsung mempunyai efek terhadap hukum sebagai suatu
instrumen perubahan. Maksud dari seksi ini adalah untuk
mendiskusikan secara singkat, daripada untuk menganalisis
secara mendalam, serangkaian kekuatan yang ber ndak sebagai
penghambat perubahan. Demi untuk memperjelas, saya akan
memper mbangkan resistensi terhadap perubahan melalui
hukum di dalam konteks faktor-faktor sosial, psikologi, budaya,
dan ekonomi. Kategori-kategori ini hanyalah ilustrasi belaka, dan
perbedaan ini hanyalah untuk maksud analisis belaka, karena
banyak faktor ini beroperasi dalam berbagai kombinasi dan
intensitas yang berbeda-beda, tergantung kepada besaran dan
ruang lingkup dari usaha perubahan tertentu. Jelas bahwa, ada
sejumlah tumpang ndih di antara faktor-faktor ini. Mereka itu
dak saling terpisah, dan banyak di antaranya, tergantung kepada

179
tujuannya, dapat ditentukan sebagai kategori yang berlainan.
Ada sejumlah faktor-faktor sosial yang dapat digolongkan
sebagai hambatan potensial bagi perubahan. Yaitu kelompok
kepen ngan (vested interest), kelas sosial, resistensi ideologi,
sen men moral, dan oposisi terorganisasi. Kelompok
kepen ngan (vested interest). Perubahan akan dihambat oleh
individu-individu atau kelompok-kelompok yang ketakutan akan
kehilangan kekuasaannya, pres senya, ataupun kekayaannya,
bila ada proposal / usulan baru yang diterima. Terdapat banyak
pe kelompok kepen ngan kepada siapa status quo dapat
diuntungkan dan dapat disukai. Mahasiswa yang kuliah di
universitas negeri mempunyai kelompok kepen ngan dalam
pendidikan nggi yang dibayari oleh pajak. Pengacara perceraian
(divorce lawyers) membentuk suatu kelompok kepen ngan, dan
sejak lama telah berusaha keras untuk mereformasi hukum-
hukum perceraian. Dokter-dokter yang dak setuju dengan
berbagai macam “obat yang tersosialisasi“ (socialized medicine)
membentuk suatu kelompok kepen ngan. Warga dari suatu
lokasi tempat nggal (neighborhood) mengembangkan kelompok
kepen ngan di dalam lokasi tempat nggalnya. Mereka seringkali
mengorganisasi diri untuk menghambat perubahan-perubahan
zoning, jalan raya antar negara bagian (interstate highways),
konstruksi fasilitas-fasilitas koreksi / lembaga pemasyarakatan,
atau penetapan bis untuk anak-anak mereka. Pada kenyataannya
hampir semua orang mempunyai kelompok kepen ngan – dari
orang-orang kaya yang dengan lembar pengecualian pajak
sampai orang-orang miskin dengan check kesejahteraannya.
Kelas sosial (social class). Kelas yang rigid / kaku dan
pola-pola kasta pada umumnya cenderung untuk menghambat
penerimaan perubahan. Di masyarakat yang sangat terstra fikasi,
orang-orang diharapkan untuk mematuhi dan mengambil
aturan-aturan (take orders) dari mereka yang ada pada posisi
otoritas atau kekuasaan di atas. Hak-hak preroga f dari strata
atas dijaga dengan iriha (jealously guarded) dan usaha-usaha
untuk menerapkannya terhadap anggota kelompok sosial
ekonomi rendah sering dihambat dan disingkirkan. (resented
and repulsed). Sebagai contoh, di bawah sistem kasta yang kaku

180
di India dan Pakistan, anggota-anggota dari kasta lainnya dak
boleh mengambil air dari sumur yang sama, pergi ke sekolah yang
sama, makan bersama, atau bergaul secara bercampur (mingle).
Pada hampir semua kasus, untuk kelas atas ada kecenderungan
untuk mengagung-agungkan (cherish) cara-cara lama dalam
melakukan sesuatu dan bersandar (adhere) kepada status quo.
Resistensi ideologi. Resistensi perubahan melalui hukum
berdasarkan ideologi sangatlah nyata. Contoh bagus untuk kasus
ini adalah perlawanan Gereja Katolik untuk legislasi dan keputusan
pengadilan yang berkenaan dengan penghilangan beberapa
pembatasan terhadap keluarga berencana dan aborsi. Ilustrasi
lainnya tentang resistensi ideologi (yang seiring sejalan dengan
kelompok kepen ngan) adalah oleh para profesional kedokteran
tentang sesuatu yang menyarankan “obat tersosialisasi“ / obat
generik, termasuk pengundangan Undang-Undang Pelayanan
Medis tahun 1965 (the Medicare Law of 1965) (Allen, 1971:
278-279). Secara umum, asumsi dan interpretasi intelektual dan
religius dasar mengenai kekuasaan, moralitas, kesejahteraan,
dan keamanan yang ada cenderung agak konsisten dan secara
aklamasi usulan perubahan agar dibuang jauh-jauh (Vago, 1980:
229).
Sen men moral. Ketakutan dan kecemasan (fear and
apprehension) seringkali berhubungan dengan konsekuensi
moral tentang penerimaan sesuatu yang bagus (accep ng
something novel). “Di sini resistensi umumnya mempunyai
alasan untuk mengklaim bahwa yang baru melanggar dan begitu
mengobrak-abrik prinsip atau resep moral, yang dipandang
pen ng untuk tetap hidupnya sistem sosial atau kemanusiaan
pada umumnya“ (La Piere, 1965: 179). Sebagai contoh,
hukum-hukum yang membuat kontrasepsi tersedia, dilawan di
beberapa kelompok karena mereka melanggar kesucian hidup.
Resistensi terhadap perubahan berdasarkan moral didasarkan
fakta bahwa di se ap masyarakat, individu-individu kurang lebih
telah tersosialisasi secara efek f ke dalam per mbangan bahwa
bentuk-bentuk perilaku (conduct) yang ada , khususnya yang
bersifat organisasional, adalah satu-satunya yang benar dan
tepat. Dalam hal ini, ide-ide tentang benar dan tepat dimasukkan

181
secara emosional ke dalam kepribadian (personality). Perubahan
yang akan menghasilkan kekacauan emosional akan dihambat.
Oposisi terorganisasi. Kadang-kadang, resistensi individu-
individu yang menyebar terhadap perubahan mungkin dapat
dimobilisasikan ke dalam oposisi terorganisasi yang dapat
berbentuk struktur organisasi formal. Sebagai contoh, Asosiasi
Menembak Amerika (the American Riffle Associa on) melawan
dikontrolnya penggunaan senjata, atau mungkin disalurkan
lewat suatu gerakan sosial, sebagai contoh, ak vitas-ak vitas
“pro-life“ akhir-akhir ini (pro-life, kelompok yang dak setuju
dengan ndakan aborsi – penerjemah). Dalam masyarakat
modern, dengan banyaknya organisasi informal dan formal yang
bertentangan satu dengan yang lainnya, berbagai organisasi
baru telah mengakibatkan ancaman tertentu bagi status quo.
Misalnya, anggota-anggota John Birch Society memperjuangkan
berbagai macam perubahan sosial dari integrasi rasial sampai
penerimaan dan perlindungan hukum terhadap pornografi.
Sejalan dengan John Birch Society, munculnya kembali Ku Klux
Klan didasarkan kepada adanya perlawanan publik terhadap
perubahan sosial, namun terutama fokus kepada perubahan
hubungan-hubungan rasial. Organisasi-organisasi ini dan juga
organisasi sejenis telah melawan perubahan yang sedang terjadi,
dan walaupun kebanyakan dari mereka telah melawan namun
kalah, efek penundaannya sering diperhitungkan. Namun
kadang-kadang ke ka oposisi terorganisasi tentang perubahan
melalui hukum dak juga terjadi, akibatnya bisa sangat merusak.
Sebagai contoh, lebih daripada 6 juta orang Yahudi telah dibunuh
di dalam kamp konsentrasi selama Perang Dunia II sebagian
karena mereka dak mengorganisasikan perlawanan terhadap
perubahan-perubahan pada awal tahun 1930an di masa rezim
Jerman Nazi.
Goodwin Watson (1969: 488) berpendapat bahwa
“semua kekuatan yang berkontribusi terhadap stabilitas dalam
personalitas atau di dalam sistem sosial dapat dianggap sebagai
menghambat perubahan“. Diskusi mendetail tentang kekuatan-
kekuatan ini jelas ada di luar ruang lingkup dari buku ini.
Untuk maksud di dalam buku ini saya hanya akan membahas

182
mengenai: kebiasaan, mo vasi, keacuhan, persepsi selek f, dan
pengembangan moral.
Kebiasaan (habit). Dari sudut pandang psikologi, suatu
asal muasal dari perubahan adalah masalah kebiasaan saja.
Ke ka suatu kebiasaan telah terbentuk, operasinya seringkali
memuaskan bagi individu-individu. Orang akan menjadi terbiasa
berperilaku atau ber ndak dalam tatakrama tertentu dan mereka
akan merasa nyaman dengan semua itu. Sekali suatu bentuk
perilaku tertentu menjadi ru n dan terbiasa, hal itu akan memberi
perlawanan terhadap perubahan. Meyer F. Nimkoff (1957: 62)
berpendapat bahwa adat (customs) dari suatu masyarakat adalah
kebiasaan kolek f; khususnya ke ka sen men melebihi adat,
yaitu adat terlalu lambat ke ka ada perlawanan terhadap suatu
ide atau praktek tertentu. Untuk menggambarkan satu contoh,
usaha untuk mengenalkan „sistem metriks“ telah menemui
perlawanan sengit di Amerika Serikat (sistem metriks adalah
pengukuran berat dalam “kg“, panjang dalam “m“, dan volume
dalam “liter“; yang berlawanan dengan kebiasaan-kebiasaan
yang sudah ada di Amerika Serikat sebelumnya yaitu berat dalam
“pound“ (lbs), panjang dalam“yard“, dan volume dalam “quart“
– penerjemah). Kita telah terbiasa dengan “miles“ dan merasa
dak nyaman dengan “kilometer“; kita lebih suka mengukur
dengan satu “quart“ dari sesuatu daripada satu “liter“. Ke ka
hukum digunakan sebagai satu instrumen perubahan sosial untuk
mengubah adat yang telah ada, adalah sangat mungkin untuk
mencapai laju kepatuhan yang dapat diterima akan memerlukan
suatu reorientasi ak f terhadap nilai-nilai dan perilaku-perilaku
dari sebagian besar populasi yang menjadi target (Zimring dan
Hawkins, 1975: 331).
Mo vasi. Penerimaan perubahan melalui hukum juga
dipersyaratkan oleh kekuatan mo vasi. Beberapa mo vasi
adalah berbentuk budaya, dalam ar kehadirannya atau
ke dakhadirannya menjadi ciri dari suatu kebudayaan. Misalnya,
kepercayaan agama di beberapa kebudayaan memberikan
mo vasi-mo vasi untuk sejenis perubahan tertentu, sementara
di kebudayaan yang lainnya movitasi ini terpusat kepada status
quo. Jenis-jenis mo vasi lainnya lebih bersifat universal, atau

183
hampir universal, karena melintas antar masyarakat dan antar
kebudayaan (Foster, 1973: 152). Contoh-contoh dari mo vasi
ini termasuk keinginan untuk pres se atau untuk pencapaian
ekonomi dan niat untuk patuh dengan kewajiban pertemanan
(friendship obliga on). Perubahan-perubahan yang mungkin
mengancam keinginan untuk pencapaian ekonomi atau
ketertarikan akan pres se dan status nggi pada umumnya akan
dipandang sebagai sesuatu yang mengancam dan kemungkinan
besar akan dilawan.
Keacuhan (ignorance). Keacuhan adalah faktor psikologis
lainnya yang berhubungan dengan penghambatan perubahan.
Kadang-kadang, keacuhan muncul bersamaan dengan ketakutan
akan datangnya hal-hal baru. Hal ini seringkali benar dalam
kasus adanya makanan-makanan baru. Beberapa tahun yang
lalu, banyak orang beranggapan bahwa buah sitrus / jeruk
membawa sejenis asam dalam organ pencernaan. Ke ka
terbuk dak benar, resistensi berdasarkan masalah asam ini
hilang dengan sendirinya. Keacuhan bisa menjadi salah satu
faktor ke dakpatuhan (noncompliance) terhadap hukum yang
dirancang untuk mengurangi praktek-praktek diskriminasi.
Sebagai contoh, perusahaan-perusahaan (employers) seringkali
mengama orang-orang non kulit pu h sebagai kelompok
rela f terhadap orang kulit pu h dan kemudian berdasarkan
pengamatan tersebut segan untuk merekrut individu yang non
kulit pu h (Beeghley, 1978: 242). Keacuhan dak diragukan lagi
sebagai faktor yang pen ng dalam prasangka (prejudice) ke ka
perilaku yang ada terlalu kuat dan dak lentur (inflexible) yang
secara serius merusak persepsi dan per mbangan.
Persepsi. Hukum, menurut rancangan dan maksudnya,
cenderung untuk universal. Namun persepsi tentang maksud
adanya hukum (intent of the law), adalah selek f menurut
variabel-variabel ekonomi, budaya, dan demografis. Pola unik
dari kebutuhan, sikap, kebiasaan, dan nilai-nilai orang diturunkan
melalui sosialisasi menentukan apa yang mereka akan perha kan
secara selek f, apa yang mereka akan terjemahkan secara
selek f, dan apa yang akan mereka lakukan secara selek f.
Pada umumnya orang akan lebih bisa menerima ide-ide baru

184
jika itu berhubungan dengan interestnya, konsisten dengan
sikapnya, sejalan dengan kepercayaannya, dan mendukung nilai-
nilainya. Persepsi yang berlainan dengan maksud hukum dapat
menghambat perubahan. Sebagai contoh, di India berkat hukum
distribusi tentang informasi dan pasokan barang-barang keluarga
berencana dapat dilakukan. Namun penggunaan kontrasepsi
masih banyak ditentang oleh orang-orang di pedesaan India
karena mereka berpikir hukum bermaksud untuk menghen kan
sama sekali kelahiran bayi-bayi baru. Di Amerika Serikat,
pemberian “fluor“ (zat pemu h – penerjemah) di dalam air PAM
dianggap perbuatan “konspirasi komunis“ dan oleh karena itu
banyak ditentang di banyak masyarakat pada waktu itu.

9. Faktor-Faktor Budaya
Ke ka perilaku atau kebiasaan yang sudah lama dilakukan
terancam, resistensi terhadap perubahan biasanya sangat kuat,
seringkali berdasarkan kepercayaan dan nilai-nilai tradisional.
Status quo dilindungi tapi perubahan dihambat. Sebagai
contoh, pada orang Mormon, berdasarkan kepercayaan relijius
tradisionalnya, menolak hukum yang mengancam perkawinan
poligami mereka. Begitu pula di India, ke ka kelaparan adalah
suatu masalah besar, lebih dari 3 juta sapi yang disucikan oleh
orang Hindu dak hanya diampuni untuk disembelih untuk
dijadikan makanan namun juga diperbolehkan untuk berjalan-
jalan di desa dan tanah-tanah pertanian, seringkali menyebabkan
kerusakan tanaman pangan yang parah. Makan daging sapi
akan bertentangan dengan kepercayaan tradisional mereka, dan
sebagai hasilnya adalah dak mungkin untuk memelihara sapi
untuk dijadikan daging untuk makanan di India. Faktor-faktor
budaya lainnya juga ber ndak seringkali sebagai penghambat
perubahan, termasuk fatalisme, etnosentrisme, pendapat
ke dakcocokan, dan supers si / tabu.
Fatalisme. “Di kebanyakan bagian dunia ini kita menemui
budaya-budaya yang mendukung kepercayaan bahwa orang
dak mempunyai sebab akibat dari masa depannya atau masa
depan dari tanahnya; Tuhan, bukan orang, dapat meningkatkan
nasib orang….Sulit untuk membujuk orang seper ini untuk

185
menggunakan pupuk, atau untuk menyimpan benih terbaik
untuk ditanam, karena orang hanya bertanggung jawab untuk
kinerja / kerja saja, dan adalah tanggung jawab Tuhan (the divine)
untuk suksesnya sebuah ndakan“ (Mead, 1953: 201). Pada
dasarnya, fatalisme adalah suatu perasaan tentang kurangnya
penguasaan terhadap alam. Orang dak mempunyai kontrol
terhadap kehidupannya sendiri dan semua hal yang terjadi pada
mereka karena Tuhan atau karena makhluk jahat. Pandangan
fatalis k seper itu tentu saja menghambat perubahan, karena
perubahan dianggap sebagai disebabkan oleh manusia (human-
ini ated) dan bukan berasal dari Tuhan (having a divine origin).
Etnosentrisme. Banyak sub kelompok di masyarakat
memandang mereka sendiri sebagai “superior“, satu-satunya
yang memiliki hak tentang cara berpikir tentang dunia dan cara
memperlakukan lingkungan. Perasaan superioritas terhadap
suatu kelompok akan membuat orang untuk dak bisa menerima
(unrecep ve) ide-ide dan metode-metode yang digunakan di
kelompok-kelompok lainnya. Sebagai hasilnya, etnosentrisme
seringkali menyebabkan orang (a bulwark) dak setuju dengan
perubahan. Sebagai contoh, perasaan superioritas seper itu
oleh orang-orang kulit pu h telah menghambat usaha-usaha
integrasi dalam hal perumahan, pekerjaan, dan pendidikan.
Ke dakcocokan (incompa bility). Ke daksetujuan
terhadap perubahan sering dikarenakan karena di kelompok
target terdapat material dan sistem yang, atau dipandang sebagai,
dak dapat diubah (irreconcilable) dengan usulan yang baru.
Ke ka ke dakcocokan tersebut ada pada suatu kebudayaan,
perubahan akan menemui kesulitan. Sebagai contoh, kontras
antara kepercayaan monotheis (berTuhan satu) dan polytheis
(berTuhan banyak). Orang monotheis dapat menerima suatu
nabi baru (a new deity) hanya dengan menolak yang telah ada
sebelumnya (the previous incumbent), yang akan meminta
banyak pengorbanan dari mereka. Untuk menggambarkan hal ini,
orang Indian Navajo telah dak setuju terhadap Kris ani karena
kepercayaan agama mereka dak cocok dengan yang ditawarkan
oleh bentuk yang lainnya (Foster, 1973: 94). Salah satu contoh
konkret adalah hukum umur perkawinan (marriage age law)

186
yang diundangkan di Israel dalam suatu usaha untuk memulai
perubahan di dalam populasi imigran melalui hukum. Hukum
tersebut menyebutkan umur 17 tahun sebagai umur minimum
untuk perkawinan kecuali adanya kehamilan, dan memberikan
sanksi pidana bagi seseorang yang mengawini seorang gadis di
bawah umur 17 tahun tanpa persetujuan pengadilan negeri.
Dengan menset umur minimum 17 tahun, hukum berusaha untuk
memberlakukan suatu aturan perilaku yang dak cocok dengan
adat dan kebiasaan dari beberapa seksi dari populasi orang
Yahudi Israel yang datang dari negara-negara Arab dan negara-
negara Timur (Rusia, Polandia, dsb – penerjemah), dimana
perkawinan biasanya dilaksanakan sebelum umur 17 tahun.
Tindakan itu hanya mempunyai efek terbatas, dari masyarakat
yang sebelumnya membolehkan perkawinan dari perempuan
yang belum berumur 17 tahun (Dror, 1968: 678).
Supers si / tabu. Supes si didefinisikan sebagai suatu
penerimaan dak kri s dari suatu kepercayaan yang dak
didukung oleh fakta-fakta. Kadang-kadang, supes si ber ndak
sebagai penghambat perubahan. Sebagai contoh, di suatu
situasi di Rhodesia, usaha-usaha pendidikan nutrisi terhambat
karena fakta bahwa banyak perempuan yang dak makan telur.
Menurut kepercayaan mereka yang meluas, telur menyebabkan
ke daksuburan / infer litas, membuat bayi botak, dan membuat
wanita menjadi sulit hamil (promiscuous). Begitu pula, di Filipina,
ada suatu kepercayaan bahwa jeruk (squash) yang dimakan
dengan ayam akan menyebabkan penyakit lepra. Di beberapa
tempat, wanita hamil dak diberi makan telur karena bayinya
akan membesar yang mempersulit kelahirannya, dan di tempat
lainnya lagi, seorang bayi dak akan diberi air untuk beberapa
bulan setelah kelahiran karena kualitas “dingin“ dari air akan
merusak perimbangan panas si bayi. Di beberapa bagian dari
Ghana, anak-anak dak boleh makan daging atau ikan karena
dipercaya daging dan ikan akan menyebabkan cacing perut
(Foster, 1973: 103-104). Jelas bahwa, jika ada kepercayaan
supers si, usaha-usaha perubahan melalui hukum atau agen-
agen lainnya akan menemui hambatan.

187
10. Faktor-Faktor Ekonomi
Walaupun di masyarakat yang kaya raya (affluent society),
sumberdaya ekonomi yang terbatas berfungsi sebagai hambatan
terhadap perubahan yang mes nya telah diadopsi. Sebagai
contoh, di Amerika Serikat, hampir se ap orang akan menerima
kesiapan untuk adanya kontrol yang efek f terhadap polusi,
sistem transportasi publik yang lebih murah dan lebih nyaman,
program kesejahteraan yang efek f, dan pelayanan kesehatan
yang cukup bagi semua. Fakta bahwa perubahan dalam bidang
ini sangatlah lambat dak hanya karena masalah prioritas,
namun juga masalah biaya. Biaya dan sumberdaya ekonomi yang
terbatas di dalam masyarakat berakibat memberikan sumber
hambatan terhadap perubahan.
Ada suatu kebenaran (truism) seper yang terjadi pada
hal-hal lainnya, yaitu perubahan melalui hukum mempunyai
biayanya sendiri. Dalam banyak hal, interpretasi legislasi,
putusan administra f, atau penetapan pengadilan, membawa
harganya sendiri-sendiri. Sebagai contoh, dampak ekonomis
dari regulasi federal tentang ins tusi pendidikan nggi sangatlah
signifikan. Berbagai program ndakan afirma ve (affirma ve
ac on program, yaitu program yang dak membeda-bedakan
orang berdasarkan ras, golongan, jenis kelamin, dan agama –
penerjemah), mempunyai sanksi dipotongnya semua bantuan
dana dari pemerintah federal terhadap ins tusi-ins tusi yang dak
patuh terhadap hukum an pembedaan (the an -bias law). Pada
gilirannya, kepatuhan akan menyebabkan meningkatnya biaya
administra f pada ins tusi-ins tusi pendidikan nggi (karena
banyak orang kulit hitam berasal dari keluarga dak mampu
sehingga ada subsidi silang dalam biaya operasional sekolah –
penerjemah). Philip Boffey (1975) membahas suatu peneli an
terhadap 6 ins tusi untuk menentukan dampak ekonomis dari
regulasi federal terhadap anggaran operasi ins tusi. Peneli an
tersebut memperha kan dampak dan biaya finansial dari syarat-
syarat peluang pemekerjaan yang sama (equal employment
opportunity) yang disebutkan di Undang-Undang Persamaan Hak
(the Civil Rights Act), Undang-Undang Persamaan Gaji (the Equal
Pay Act), Program Tindakan Persamaan (the Affirma ve Ac on

188
Program) berdasarkan perintah ekseku f (semacam Perpres –
penerjemah) tahun 1965, diskriminasi umur dalam pekerjaan,
Undang-Undang Keamanan dan Kesehatan Pekerja (the
Occupa onal Safety and Health Act) tahun 1970, undang-undang
upah minimum, asuransi pengangguran / jaring pengaman
sosial, dan Undang-Undang Perlindungan Lingkungan (the
Environment Protec on Law) terhadap pengeluaran operasional
universitas. Walaupun dampak dari beberapa regulasi ini dan
beberapa regulasi yang terkait akan minimal pada universitas,
namun secara kolek f dampaknya cukup terasa. Dari 6 kolege
dan universitas yang diteli , kenaikan total anggaran operasional
selama satu dekade dari tahun 1965 sampai 1975 terkait dengan
regulasi federal bervariasi dari 1 sampai 4 persen. Biaya ini rela f
kecil dibandingkan dengan total anggaran operasional ins tusi,
namun rela f cukup besar terhadap defisit operasional yang
dialami oleh beberapa ins tusi dalam tahun-tahun terakhir ini,
dan lebih besar daripada anggaran dari beberapa departemen
akademis yang akan sangat langka melalui perpindahan (shi s)
dalam prioritas anggaran ins tusi. Selama periode 10 tahun
peneli an, biaya yang di mbulkan oleh kepatuhan terhadap
regulasi federal adalah 20 kali lebih besar (Boffey, 1975: 445).
Peningkatan biaya ekonomi terkait dengan kepatuhan banyak
ditentang dalam beberapa lingkungan akademis, dan telah
mengakibatkan adanya permintaan agar berbagai hukum yang
mempengaruhi pendidikan nggi diubah.
Selain adanya biaya langsung terhadap usaha perubahan
tertentu, bagaimana biaya dan manfaat didistribusikan juga
mempengaruhi resistensi. Sebagai contoh, ke ka biaya dan
manfaat didistribusikan secara meluas seper dalam Jaring
Pengaman Sosial (Social Security), maka resistensi terhadap
program akan minimal. Biaya untuk se ap pembayar pajak
akan rela f kecil, sedangkan keuntungannya akan disebarkan
secara meluas “sehingga mereka hampir seper barang kolek f;
yang berhak akan menikma keuntungannya, namun hanya
membutuhkan sedikit kontribusi terhadap retensi / batasan
pertumbuhannya“ (Handler, 1978: 15). Resistensi akan ada
pada situasi dimana keuntungan didistribusikan sementara

189
biaya dikonsentrasikan. Sebagai contoh, pabrik mobil melawan
walaupun dak sukses, terhadap usaha hukum untuk mewajibkan
adanya alat pengendali polusi pada mobil.

KESIMPULAN
Perubahan sosial terjadi dengan seke ka – walaupun dengan
laju yang berbeda-beda pada masyarakat kontemporer, dan hal
itu mempengaruhi kehidupan individu-individu dalam berbagai
cara. Perubahan di dalam masyarakat adalah suatu produk dari
berbagai faktor dan dalam banyak kasus adanya keterkaitan atau
faktor-faktor tersebut. Selain hukum, ada sejumlah mekanisme
tentang perubahan sosial. Semua mekanisme ini saling terkait,
dan kita harus ha -ha untuk dak memberikan bobot yang
sama kepada salah satu dari “penyebab“ ini.
Hukum adalah peubah / variabel bebas dan peubah tak
bebas di dalam perubahan sosial. Hubungan antara hukum dan
perubahan masih kontroversial. Beberapa orang berpendapat
bahwa hukum adalah reaktor / akibat dari perubahan sosial,
sedangkan orang-orang lainnya berargumen bahwa hukum
adalah inisiator / sebab dari perubahan sosial. Dalam banyak
bidang kehidupan, seper pendidikan, hubungan rasial,
perumahan, transportasi, penggunaan energi, dan perlindungan
lingkungan, hukum telah digadang-gadang sebagai instrumen
perubahan. Hukum mempengaruhi perubahan sosial secara
langsung maupun dak langsung. Hukum mendefinisikan
kembali aturan norma f, memperluas hak-hak formal, dan
digunakan untuk maksud-maksud perencanaan.

190
DAFTAR PUSTAKA

Marshall, Gordon, ed. (1994). The Concise Oxford Dic onary of


Sociology. Oxford University Press.
Hoult, Thomas Ford, ed. (1969). Dic onary of Modern Sociology.
Totowa, New Jersey: Li lefield, Adams & Co.
Sedgewick, Peter (2002). Cultural Theory: The Key Concepts,
Routledge Key Guides Series. Routledge.
Edgar, Andrew (2002). Cultural Theory: The Key Thinkers,
Routledge Key Guides Series. Routledge.
Peter Mahumud Marzuki “ Peneli an Hukum” Unair 2004
Undang- Undang no.23 tahung 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang- Undang no.3 tahung 1997 tentang Peradilan Anak
Undang- Undang no.8 tahung 1981 tentang HukumAcara Pidana
Undang- Undang no.1 tahung 1974 tentang Perkawinan

191
192
HUKUM ISLAM, FIQIH DAN SYARIAH

Oleh: Dra. Hj. Wagiyem, M.Ag

PENDAHULUAN
Ij had merupakan upaya untuk menggali suatu hukum
yang sudah ada pada zaman Rasulullah SAW. Hingga dalam
perkembangannya, ij had dilakukan oleh para sahabat, tabi’in
serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada
periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa taqlid, ij had
dak diperbolehkan, tetapi pada masa periode tertentu pula
(kebangkitan atau pembaharuan), ij had mulai dibuka kembali.
Karena dak bisa dipungkiri, ij had adalah suatu keharusan,
untuk menanggapi tantangan kehidupan yang semakin kompleks
problema kanya.
Sekarang, banyak ditemui perbedaan-perbedaan madzab
dalam hukum Islam yang itu disebabkan dari ij had. Misalnya bisa
dipetakan Islam kontemporer seper Islam liberal, fundamental,
ekstrimis, moderat, dan lain sebagainya. Semuanya itu dak
lepas dari hasil ij had dan sudah tentu masing-masing mujtahid
berupaya untuk menemukan hukum yang terbaik. Justru
dengan ij had, Islam menjadi luwes, dinamis, fleksibel, cocok
dalam segala lapis waktu, tempat dan kondisi. Dengan ij had
pula, syariat Islam menjadi “ dak bisu” dalam menghadapi
problema ka kehidupan yang semakin kompleks.

193
PEMBAHASAN
1. Penger an ij had
Ij had berasal dari kata jahada. Ar nya mencurahkan
segala kemampuan atau menanggung beban kesulitan. Menurut
bahasa, ij had adalah mencurahkan semua kemampuan
dalam segala perbuatan. Dalam ushul fiqh, para ulama ushul
fiqh mendefinisikan ij had secara berbeda-beda. Misalnya
Imam as-Syaukani mendefinisikan ij had adalah mencurahkan
kemampuan guna mendapatkan hukum syara’ yang bersifat
operasional dengan cara is nbat (mengambil kesimpulan hukum
Sementara Imam al-Amidi mengatakan bahwa ij had
adalah mencurahkan semua kemampuan untuk mencari hukum
syara’ yang bersifat dhonni, sampai merasa dirinya dak mampu
untuk mencari tambahan kemampuannya itu. Sedangkan imam
al-Ghazali menjadikan batasan tersebut sebagai bagian dari
definisi al-ij had a aam (ij had sempurna).
Imam Syafi’I menegaskan bahwa seseorang dak boleh
mengatakan dak tahu terhadap permasalahan apabila ia belum
melakukan dengan sungguh-sungguh dalam mencari sumber
hukum dalam permasalahan tersebut. Demikian juga, ia dak
boleh mengatakan tahu sebelum ia sungguh-sungguh menggali
sumber hukum dengan sepenuh tenaga. Imam Syafi-I hendak
menyimpulkan bahwa dalam berij had hendaklah dilakukan
dengan sungguh-sungguh. Ar nya, mujtahid juga harus memiliki
kemampuan dari berbagai aspek criteria seorang mujtahid agar
hasil ij hadnya bisa menjadi pedoman bagi orang banyak.
Ahli ushul fiqh menambahkan kata-kata al-faqih dalam
definisi tersebut sehingga definisi ij had adalah pencurahan
seorang faqih akan semua kemampuannya. Sehingga Imam
Syaukani memberi komentar bahwa penambahan faqih tersebut
merupakan suatu keharusan. Sebab pencurahan yang dilakukan
oleh orang yang bukan faqih dak disebut ij had menurut is lah.
Dalam definisi lain, dikatakan bahwa ij had yaitu
mencurahkan seluruh kemampuan untuk menetapkan hukum
syara’ dengan jalan is nbat (mengeluarkan hukum) dari
Kitabullah dan Sunah Rasul. Menurut kelompok mayoritas,
ij had merupakan pengerahan segenap kesanggupan dari

194
seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh penger an
terhadap sesuatu hukum syara’. Jadi, yang ingin dicapai oleh
ij had yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan ngkah laku
dan perbuatan orang-orang dewasa. Ulama telah bersepakat
bahwa ij had dibenarkan, serta perbedaan yang terjadi sebagai
akibat ij had ditolerir, dan akan membawa rahmat saat ij had
dilakukan oleh yang memenuhi persyaratan dan dilakukan di
medannya (majalul ij had).

2. Penger an hukum
Hukum Islam adalah sistem hukum yang bersumber dari
wahyu agama, sehingga is lah hukum Islam mencerminkan
konsep yang jauh berbeda jika dibandingkan dengan konsep,
sifat dan fungsi hukum biasa. Seper lazim diar kan agama
adalah suasana spiritual dari kemanusiaan yang lebih nggi
dan dak bisa disamakan dengan hukum. Sebab hukum dalam
penger an biasa hanya menyangkut soal keduniaan semata.
Sedangkan Joseph Schacht mengar kan hukum Islam sebagai
totalitas perintah Allah yang mengatur kehidupan umat Islam
dalam keseluruhan aspek menyangkut penyembahan dan ritual,
poli k dan hukum.
Terkait tentang sumber hukum, kata-kata sumber hukum
Islam merupakan terjemahan dari lafazh Masadir al-Ahkam. Kata-
kata tersebut dak ditemukan dalam kitab-kitab hukum Islam
yang ditulis oleh ulama-ulama fikih dan ushul fikih klasik. Untuk
menjelaskan ar sumber hukum Islam, mereka menggunakan
al-adillah al-Syariyyah. Penggunaan mashadir al-Ahkam oleh
ulama pada masa sekarang ini, tentu yang dimaksudkan adalah
sear dengan is lah al-Adillah al-Syar’iyyah.
Yang dimaksud Masadir al-Ahkam adalah dalil-dalil
hukum syara yang diambil (diis mbathkan) daripadanya
untuk menemukan hukum. Sumber hukum dalam Islam, ada
yang disepaka (mu afaq) para ulama dan ada yang masih
dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang
disepaka jumhur ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan
Qiyas. Para Ulama juga sepakat dengan urutan dalil-dalil tersebut
di atas (Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas).

195
Sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan
di kalangan para ulama selain sumber hukum yang empat di atas
adalah is hsan, maslahah mursalah, is shab, ‘uruf, madzhab as-
Shahabi, syar’u man qablana.
Dengan demikian, sumber hukum Islam berjumlah sepuluh,
empat sumber hukum yang disepaka dan enam sumber
hukum yang diperselisihkan. Wahbah al-Zuhaili menyebutkan
tujuh sumber hukum yang diperselisihkan, enam sumber yang
telah disebutkan di atas dan yang ketujuh adalah ad-dzara’i.
Sebagian ulama menyebutkan enam sumber hukum yang masih
diperselisihkan itu sebagai dalil hukum bukan sumber hukum,
namun yang lainnya menyebutkan sebagai metode ij had.
Hukum Islam mengalami perkembangan yang pesat di
periode Nabi Muhammad di mana tradisi Arab pra-Islam yang
berhubungan dengan akidah dihilangkan, sedangkan tradisi lokal
Arab yang berhubungan dengan muamalah–sejauh masih sejalan
dengan nilai-nilai Islam, dipertahankan dan diakulturasikan.
Namun dalam perjalanannya, hukum Islam mengalami
pergolakan dan kontroversi yang luar biasa ke ka dihadapkan
dengan kondisi sosio-kultural dalam dimensi tempat dan waktu
yang berbeda. Menurut hemat penulis, hukum Islam melipu
syariat (al-Qur’an dan sunnah) sebagai sumber primer dan fiqh
yang diambil dari syariat yang pada dasarnya digunakan sebagai
landasan hukum.
Adapun spesifikasi dari macam-macam hukum Islam,
fuqaha memberi formulasi di antaranya wajib, sunnah, haram,
makruh dan mubah.
a. Wajib: Ulama memberikan banyak penger an mengenainya,
antara lain suatu ketentuan agama yang harus dikerjakan
kalau dak berdosa. Atau Suatu ketentuan jika di nggalkan
mendapat adzab. Contoh, Shalat subuh hukumnya wajib,
yakni suatu ketentuan dari agama yang harus dikerjakan, jika
dak berdosalah ia. Alasan yang dipakai untuk menetapkan
penger an diatas adalah atas dasar firman Allah swt: Dirikanlah
shalat dari tergelincir matahari sampai malam telah gelap dan
bacalah Al Qur’an di waktu Fajar, sesungguhnya membaca Al
Qur’an di waktu Fajar disaksikan (dihadiri oleh Malaikat yang

196
bertugas di malam hari dan yang bertugas di siang hari).
b. Sunnah adalah Suatu perbuatan jika dikerjakan akan mendapat
pahala, dan jika di nggalkan dak berdosa. Atau bisa anda
katakan sebagai suatu perbuatan yang diminta oleh syari’
tetapi dak wajib, dan meninggalkannya dak berdosa.
c. Haram Suatu ketentuan larangan dari agama yang dak boleh
dikerjakan. Kalau orang melanggarnya, berdosalah orang itu.
d. Makruh Ar makruh secara bahasa adalah dibenci. Suatu
ketentuan larangan yang lebih baik dak dikerjakan dari
pada dilakukan. Atau meninggalkannya lebih baik dari pada
melakukannya.
e. Mubah Ar mubah itu adalah dibolehkan atau sering kali
juga disebut halal. Satu perbuatan yang dak ada ganjaran
atau siksaan bagi orang yang mengerjakannya atau dak
mengerjakannya atau segala sesuatu yang diidzinkan oleh
Allah untuk mengerjakannya atau meninggalkannya tanpa
dikenakan siksa bagi pelakunya.

3. Kriteria mujtahid
Seseorang yang menggelu bidang fiqh dak bisa sampai
ke ngkat mujtahid kecuali dengan memenuhi beberapa syarat,
sebagian persyaratan itu ada yang telah disepaka , dan sebagian
yang lain masih diperdebatkan. Adapun syarat-syarat yang telah
disepaka adalah:
a. Mengetahui al-Quran
Al-Qur’an adalh sumber hukum Islam primer di mana
sebagai fondasi dasar hukum Islam. Oleh karena itu, seorang
mujtahid harus mengetahui al-Qur’an secara mendalam.
Barangsiapa yang dak menger al-Qur’an sudah tentu ia
dak menger syariat Islam secara utuh. Menger al-Qur’an
dak cukup dengan piawai membaca, tetapi juga bisa melihat
bagaimana al-Qur’an memberi cakupan terhadap ayat-ayat
hukum. Misalnya al-Ghazali memberi syarat seorang mujtahid
harus tahu ayat-ayat ahkam berjumlah sekitar 500 ayat.
b. Mengetahui Asbab al-nuzul
Mengetahui sebab turunnya ayat termasuk dalam salah
satu syarat mengatahui al-Qur’an secara komprehensif, bukan

197
hanya pada tataran teks tetapi juga akan mengetahui secara
sosial-psikologis. Sebab dengan mengetahui sebab-sebab
turunnya ayat akan memberi analisis yang komprehensif untuk
memahami maksud diturunkannya teks Quran tersebut kepada
manusia.
Imam as-Sya bi dalam bukunya al-Muwafaqaat
mengatakan bahwa mengetahui sebab turunnya ayat adalah
suatu keharusan bagi orang yang hendak memahami al-Qur’an.
Pertama, suatu pembicaraan akan berbeda penger annya
menurut perbedaan keadaan. Kedua, dak mengetahui sebab
turunnya ayat bisa menyeret dalam keraguan dan kesulitan dan
juga bisa membawa pada pemahaman global terhadap nash
yang bersifat lahir sehingga sering menimbulkan perselisihan.[9]
- Mengetahui nasikh dan mansukh
Pada dasarnya hal ini bertujuan untuk menghindari agar
jangan sampai berdalih menguatkan suatu hukum dengan ayat
yang sebenarnya telah dinasikhkan dan dak bisa dipergunakan
untuk dalil.
c. Mengetahui as-sunnah
Syarat mujtahid selanjutnya adalah ia harus mengetahui as-
Sunnah. Yang dimaksudkan as-Sunnah adalah ucapan, perbuatan
atau ketentuan yang diriwayatkan dari Nabi SAW.
d. Mengetahui ilmu diroyah hadit
Ilmu diroyah menurut al-Ghazali adalah mengetahui
riwayat dan memisahkan hadis yang shahih dari yang rusak
dan hadis yang bisa diterima dari hadis yang ditolak. Seorang
mujtahid harus mengetahui pokok-pokok hadis dan ilmunya,
mengenai ilmu tentang para perawi hadis, syarat-syarat diterima
atau sebab-sebab ditolaknya suatu hadis, ngkatan kata dalam
menetapkan adil dan cacatnya seorang perawi hadis, dan lain hal-
hal yang tercakup dalam ilmu hadis, kemudian mengaplikasikan
pengetahuan tadi dalam menggunakan hadis sebagai dasar
hukum.
f. Mengetahui hadis yang nasikh dan mansukh
Mengetahui hadis yang nasikh dan mansukh ini
dimaksudkan agar seorang mujtahid jangan sampai berpegang
pada suatu hadis yang sudah jelas dihapus hukumnya dan dak

198
boleh dipergunakan. Seper hadis yang membolehkan nikah
mut’ah di mana hadis tersebut sudah dinasakh secara pas oleh
hadis-hadis lain.
g. Mengetahui asbab al-wurud hadis
Syarat ini sama dengan seorang mujtahid yang seharusnya
menguasai asbab al-nuzul, yakni mengetahui se ap kondisi,
situasi, lokus, serta tempus hadis tersebut ada.
h. Mengetahui bahasa Arab
Seorang mujtahid wajib mengetahui bahasa Arab dalam
rangka agar penguasaannya pada objek kajian lebih mendalam,
teks otorita f Islam menggunakan bahasa Arab. Hal ini dak lepas
dari bahwa teks otorita f Islam itu diturunkan menggunakan
bahasa Arab.
i. Mengetahui tempat-tempat ijma’
Bagi seorang mujtahid, harus mengetahui hukum-
hukum yang telah disepaka oleh para ulama, sehingga dak
terjerumus memberi fatwa yang bertentangan dengan hasil
ijma’. Sebagaimana ia harus mengetahui nash-nash dalil guna
menghindari fatwa yang berseberangan dengan nash tersebut.
Namun menurut hemat penulis, seorang mujtahid bisa
bertentangan dengan ijma’ para ulama selama hasil ij hadnya
maslahat bagi manusia.
j. Mengetahui ushul fiqh
Di antara ilmu yang harus dikuasai oleh mujtahid adalah
ilmu ushul fiqh, yaitu suatu ilmu yang telah diciptakan oleh
para fuqaha utuk meletakkan kaidah-kaidah dan cara untuk
mengambil is mbat hukum dari nash dan mencocokkan cara
pengambilan hukum yang dak ada nash hukumnya. Dalam ushul
fiqh, mujtahid juga dituntut untuk memahami qiyas sebagai
modal pengambilan ketetapan hukum.
k. Mengetahui maksud dan tujuan syariah
Sesungguhnya syariat Islam diturunkan untuk melindungi
dan memelihara kepen ngan manusia. Pemeliharaan ini
dikategorikan dalam ga ngkatan maslahat, yakni dlaruriyyat
(apabila dilanggar akan mengancam jiwa, agama, harta, akal,
dan keturunan), hajiyyat (kelapangan hidup, missal memberi
rukshah dalam kesulitan), dan tahsiniat (pelengkap yang terdiri

199
dari kebiasaan dan akhlak yang baik).

Mengenal manusia dan kehidupan sekitarnya


Seorang mujtahid harus mengetahui tentang keadaan
zamannya, masyarakat, problemnya, aliran ideologinya,
poli knya, agamanya dan mengenal hubungan masyarakatnya
dengan masyarakat lain serta sejauh mana interaksi saling
mempengaruhi antara masyarakat tersebut.
[1] Irsyad al-Fuhul dalam Yusuf Qardawi, Ij had dalam Syariat
Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1987, hal. 2.
[2] Al-Amidi, al-ihkam fi ushul al-ahkam, dalam Yusuf Qardawi,
Ij had dalam Syariat Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1987,
hal. 2.
[3] Ibid, hal. 5
[4] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih
[5] Said Ramadan, Islamic Law, It’s Scope and Equity, alih bahasa
Badri Saleh dengan judul Keunikan dan Keis mewaan Hukum
Islam (Jakarta: Firdaus, 1991), hal. 7.
[6] Joseph Schacht, An Introduc on To Islamic Law (Oxford: The
Clarendon Press, 1971), hal. 1.
[7] Penulis akan menggunakan redaksi “hukum Islam” sebagai
keseluruhan hukum syari’at yang sifatnya hukum Tuhan (devine
law) dan fiqih yang sifatnya profan (proses ij had ulama
fuqaha dari syari’at itu sendiri). Sikap ini berbeda dengan
pandangan Joseph Schacht yang mengiden kkan hukum Islam
(the law of Islam) dengan syari’at, dan berbeda dengan Hasbi
Ashshiddieqy yang mendekatkan hukum Islam dengan fiqih.
Hukum Islam dalam makalah ini mencakup kedua-duanya,
yakni syari’at dan fiqih.
[8] Lismanto dalam Pembaharuan Hukum Islam Berbasis Tradisi:
Upaya Meneguhkan Universalitas Islam dalam Bingkai
Kearifan Lokal

200
PEREMPUAN DALAM BELITAN FIKIH

Oleh: RIDWAN

Fikih memusatkan perha annya untuk menemukan


norma atau diktum hukum Islam yang digali dari atau ditemukan
di dalam “ tah Tuhan” (khithabullah). Penggalian norma
atau diktum hukum menempatkan fikih sebagai ilmu, yaitu
ilmu hukum (‘ilm bi al-ahkam), sehingga para fakih (fuqaha’)
menduduki peran penafsir, penjelas dan “eksekutor” atas makna
dan keinginan Tuhan. Mengingat fikih juga bersinggungan
langsung dengan fenomena, fakta dan pranata sosial, maka fikih
memiliki peran prak s, pragma s dan solu f. Dengan demikian,
maka fikih ialah hukum Islam itu sendiri. Para fakih dapat disebut
sebagai hakim-hakim (hukkam) yang “memiliki mandat” dari
Tuhan untuk memutuskan dan memberikan kepas an hukum
atas sengketa-sengketa kemanusiaan. Fikih, sebagai suatu ilmu,
tentu bersifat dinamis dan terbuka akan berbagai kemungkinan
teori s dan agumentasi. Sebaliknya, ia juga bersifat sta s karena
kecenderungannya untuk memberikan kepas an hukum. Pada
k tersebut pro dan kontra seputar proyek pembaharuan fikih
menjadi dak terhindari dan merupakan ajang perdebatan
tentang dua sifat yang hampir “kontradik f” pada fikih ini;
apakah ia terbuka atau tertutup?
Pertumbuhan ragam mazhab fikih merupakan buk terdini
atas keterbukaan fikih, sedangkan upaya “membekuan” produk-

201
produk fikih yang menyejarah merupakan langkah jumud yang
sama historisnya. Konon, penutupan pembaharuan fikih mulai
beredar pada paruh awal abad ke-IV H. Iklim yang menyajikan
kebebasan beragam macam pandangan fikih untuk tumbuh
dan berkembang telah turut menempatkan para fakih sebagai
sosok-sosok ilmuwan yang toleran atas berbagai macam sudut
pandang, dan mendorong mereka untuk bersikap pluralis atas
kemajemukan realitas sosial. Malik bin Anas (w 179 H), misalnya,
pernah menolak tawaran dari otoritas poli k yang bermaksud
memberlakukan pandangan-pandangan fikih “prak snya” di
sebuah wilayah pada masa kekhalifahan Bani Abbasiyah. Malik
beralasan bahwa di sana qaul fakih lain sudah menyebar. Sikap
pluralis Malik sejajar dengan sikap toleran Ahmad bin Hambal
atas kenyataan sosial yang dihadapinya. Hambal dicatat sebagai
fakih yang melarang perkawinan wanita syarifah dengan pria non-
syarifah karena dia memper mbangkan wibawa para pimpinan
sosial dan poli k yang umumnya berasal dari keturunan syarif
atau sayyid di Makkah saat itu. Pelarangan dalam fikih Hambal
ini merupakan contoh realisme fikih atau fikih yang realis s demi
menjaga stabilitas sosio-poli k.
Sikap realis s dan historis dalam fikih patut dipandang
sebagai pembakuan norma dan pranata sosial yang sebetulnya
tenta f sifatnya. Di sisi lain, Islam datang untuk mengadakan
reformasi menyeluruh baik mengenai pola, nilai hingga orientasi
kehidupan manusia. Islam, sebagaimana direkam oleh berbagai
ayat dalam kitab suci, misalnya menolak diskriminasi status,
peran dan fungsi gender. Islam mencanangkan kesetaraan kaum
laki-laki dan perempuan. Hal ini merupakan tugas inheren dan
ideal dari se ap pandangan fikih yang, seper disinggung,
bersentuhan langsung dengan fakta dan lembaga sosial yang
menempatkan kaum perempuan secara diskrimina f. Hal itu
dapat dilihat dari berbagai studi yang menyebutkan bahwa
sepanjang sejarah kaum perempuan selalu ditempatkan pada
posisi minor yang kedudukkan, peran dan fungsinya terombang-
ambing baik secara sosial, poli k, ekonomi dan budaya. Bahkan
lebih jauh dalam prakteknya kehadiran agama Ibrahimiyah
terkadang juga dak sepenuhnya mampu mengangkat posisi

202
perempuan ke dalam altar persamaan dengan laki-laki. Dengan
demikian, wajar kiranya jika sebagian sejarawan mengemukakan
bahwa sejarah umat manusia adalah sejarah patriarki. Ungkapan
tersebut memang dak sepenuhnya benar akan tetapi sudah
menjadi konsepsi umum bahwa laki-laki lebih superior dibanding
perempuan adalah kenyataan yang harus diterima hingga
ekspansi ilmu pengetahuan dan modernisasi meluluhlantakkan
segalanya.
Secara esensial se ap insan apapun jenis kulit, kelamin
serta paham yang mereka anut tentu memiliki kewajiban yang
dibebankan kepada se ap individu─yang diiku oleh segenap
hak yang layak untuk dinikma . Kenda demikian, perbedaan-
perbedaan mengenai ketentuan-ketentuan yang berkaitan
dengan hak dan kewajiban tersebut tentunya dak dapat
dihindari. Hal itu ditopang oleh berbagai faktor yang melekat
secara alami semisal kebudayaan, agama, madzhab dalam agama
dan kebiasaan-kebiasaan yang telah berlaku (adat-is adat) serta
lingkungan yang mengitari.
Dalam lingkup kebudayaan, perempuan tak lebih dari hewan
peliharaan laki-laki yang selalu dikebiri dengan segenap kewajiban
yang harus dipenuhi sementara haknya tak jua mewujud.
Gambaran tentang sifat alamiah perempuan yang lemah lembut,
mengayomi dan memelihara, sabar, penurut dan telaten sesuai
dengan fungsi reproduksinya semakin mengukuhkan ke dak-
berdayaan perempuan. Apalagi perempuan juga dituntut untuk
selalu tunduk dan patuh terhadap kehendak laki-laki semakin
membuat perempuan dalam posisi terpuruk. Dalam kondisi yang
demikian perempuan dipandang sangat terisolir. Kebudayaan
memang lahir dari akal budi menurut Si Hasunah akan tetapi
jika demikian keadaannya maka salahkah jika akal budi yang
menjadi akar budaya tersebut dikaji ulang.1
Seturut dengan kebudayaan, Agama sebagaimana
dikemukakan pada premis awal, yang secara esensial an
diskriminasi serta menjunjung nggi nilai-nilai kemanusiaan
(dengan tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, suku dan

1 Lebih lanjut lihat Si Hasuna, Kompleksitas Tubuh Perempuan dalam


Jurnal Perempuan edisi 09 November 1998-Januari 1999. hlm. 62.

203
bangsa)─yang disampaikan melalui pesan ketuhanan (wahyu),
dalam prak knya juga jauh dari panggang. Hal ini dak hanya
terjadi pada agama-agama Ardhi bahkan agama-agama Samawi
tak terkecuali Islam juga kewalahan dalam pengaplikasian
ajaranya.
Padahal jika di lik dari sejarah awal era kebangkitan
Islam, perempuan mendapat penghargaan yang pres sius.
Sebagaimana dikemukakan oleh Haifa A. Jawad kebangkitan
Islam menyebabkan kedudukan perempuan didefinisikan ulang
secara radikal dan menempatkan posisi perempuan pada
derajat yang sama dengan laki-laki. Kebangkitan Islam dapat
dikatakan sebagai babak baru kebebasan perempuan setelah
sebelumnya─jangankan mendapat tempat sederajat dengan
laki-laki, bahkan kelahirannyapun dianggap bencana dan pantas
untuk dilenyapkan2. Persamaan derajat serta kesetaran antara
perempuan dan laki-laki bukanlah ij had semata yang digagas
oleh pemimpin Islam (baca: Muhammad) ke ka itu. Akan
tetapi terdapat anjuran yang terekam di dalam al-qur’an. Dan
ini menjadi legi masi kesetaraan dan persamaan atas hak dan
kewajiban laki-laki dan perempuan.
Sebagaimana diketahui bahwa al-qur’an merupakan
sentral informasi yang memuat pesan-pesan ketuhanan
sekaligus sebagai petunjuk jalan bagi segenap kaum muslimin.
Di dalamnya terdapat berbagai macam informasi termasuk
mengenai humanisme, kesetaraan gender dan lain sebagainya.3
Ironisnya, dalam bentuk aplikasi, persamaan derajat dan
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan berlaku temporal dan
itu hanya muncul di awal era kebangkitan Islam. Hal itu dapat
dibuk kan pada tahapan era berikutnya di mana pasca wafatnya
nabi Muhammad segalanya mulai berubah. Perempuan dak lagi
mendapatkan tempat yang sederajat kecuali istri-istri nabi. Dan
bahkan prilaku nabi sendiri dijadikan preseden buruk sebagai
dasar poligami masyarakat Arab Islam.
2 Informasi lebih lanjut lihat Haifa A. Jawad, Oten sitas Hak-Hak Perempuan
(Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), Alih Bahasa, Anni Hidayatunnur
Dkk, hlm. 1-10.
3 Mengenai ayat-ayat kesetaraan gender lihat Q.S Al-Hujarat (49):13, Ali
Imran (3):195

204
Kiranya benar bahwa di awal era kebangkitan Islam
terutama di masa kenabian, pembebasan terhadap perempuan
belumlah terbilang purna sehingga, budaya atau tradisi
pengebirian, pengekangan dan perempuan dianggap sebagai
barang dagangan pada masyarakat Arab pra-Islam, samar-
samar masih lekat dan sulit di nggalkan.4 Dengan demikian,
warisan luhur nabi berupa pembebasan terhadap perempuan
menjadi sulit diapresisasi apalagi diaplikasikan. Dan bahkan
ayat-ayat al-qur,an yang sejak semula menjadi inspirasi nabi
guna mengukuhkan pembebasan terhadap perempuan menjadi
dak bermakna. Hal ini sebagaimana disinyalir oleh Asma Barlas
dikarenakan adanya pemahaman atau penafsiran yang lebih
cenderung patriarkis-misoginis sehingga teks-teks keagamaan
muslim telah memunculkan persoalan serius bagi perempuan,
seper tampilan fikih/hukum Islam klasik yang mengesahkan
ke daksetaraan gender.5
Tafsiran-tafsiran yang demikian kiranya yang terus-menerus
berkembang melampaui ruang dan waktu. Dan peran para pakar
hukum sebagai pemegang otoritas penafsiran terhadap pesan
ketuhanan menjadi demikian dominan terutama pada abad
kedua dan ke ga hijriyah. Dalam pada ini hemat penulis telah

4 Hal ini kiranya sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Asghar Ali
Enginer. Menurutnya dalam masyarakat taransisi manapun dan apapun
perspek f ideology yang dipakai untuk merancang bangunan di masa
depan, seseorang dak akan bisa memutuskan sama sekali hubungan
dengan masa lalu. Terlebih agama-agama yang berasal dari sebelum
abad pertengahan pendirinya adalah laki-laki. Dengan demikian, dak
mengherankan jika agama-agama ini memberikan posisi yang dominant
pada laki-laki. Dan mereduksi status perempuan ke apa yang desebut
dengan status kedua. Lebih lanjut lihat Asghar Ali Enginer, Pembebasan
Perempuan (Yogyakarta: LKis, 2003), Alih Bahasa, Agus Nuryatno, hlm. 42,
65.
5 Asma Barlas adalah salah satu llmuan muslim yang menentang keras
ke dak setaraan gender. Bagi Barlas gambaran Islam sebagai sebuah
patriarki keagamaan yang konon didukung oleh Tuhan telah mencampur
adukkanal-qur,an dengan dengan bacaan tertentu atasnya, yakni
mengabaikan kenyataan bahwa sebuah teks, termasuk al-qur’an dapat
dibaca dalam berbagai cara, termasuk cara pembacaan yang egaliter. Lihat
Asma Barlas, Cara Quran Membebaskan Perempuan (Jakarta: Serambi,
2003), Alih Bahasa, R. Cecep Lukman Yasin, hlm. 37-38.

205
terjadi perjumpaan antara budaya Arab yang patriarkis dengan
sekelompok profesional tertentu yang familiar dengan sebutan
fuqaha. Sehingga muatan yang terkandung dalam khazanah
fikih terkesan semakin mengukuhkan urgensi peran kelelakian
di atas mimbar keagamaan sekaligus kehidupan. Ini tampak dari
munculnya nama-nama para fuqaha awal yang lebih didominasi
oleh laki-laki semisal Hammad bin Sulaiman (w. 120/738 ), Ibnu
Abi Layla (148/765), Abu Hanifa (w. 150/767) yang kemudian
diiku oleh generasi Syafi’ie dan Ahmad ibnu Hambali.6 Dan
bahkan Wael B. Hallaq lebih jauh menegaskan bahwa pada abad
pertama hijriyah pasca khilafah, sederet nama seper Ibrahim
al-Nakhai (w. 95/713), Muslim bin Yasar (w. 101/719) sudah
dekenal luas sebagai generasi yang terlibat ak f dalam diskusi-
diskusi seputar naskh dan kontroversi-kontroversi tentang status
ayat-ayat terentu.7
Deretan nama-nama di atas seakan meneguhkan
“amarah” Asma Barlas terlebih ke ka ia dihadapkan pada
sebuah klaim bahwa hanya laki-laki yang mengetahui apa yang
sebenarnya dimaksudkan oleh Tuhan sehingga menurutnya
pantas untuk digugat.8 Sembari mengu p pernyataan Ayoub,
Barlas menegaskan bahwa model-model penafsiran terhadap
al-qur’an mencerminkan bukan saja pengetahuan, afiliasi
keagamaan tetapi juga kepen ngan para penafsir dan fuqaha.9
Jika logika tersebut dilanjutkan maka peminggiran terhadap
peran dan posisi perempuan dalam sejarah khazanah keislaman
sangat dimungkinkan sebagai upaya terencana yang didukung
oleh nilai-nilai budaya sehingga mempengaruhi tradisi berfikir
para fuqaha yang cenderung patriarkis. Ini dapat dibuk kan
6 Infomasi lebih lanjut lihat Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam:
Pengantar untuk Ushul Figh Mazhab Sunni (Jakarta: Rajawali Press, 2001),
Alih Bahasa, E. Kusnadiningrat dan Abdul Haris bin Wahid, hlm. 25.
7 Ibid, hlm. 13.
8 Asma Barlas, Cara Quran...,hlm. 64. Gugatan Barlas bersetuju dengan
apa yang dikemukakan oleh Abou El Fadl,menurut Fadl, Islam menolak
eli sme dan menekankan bahwa kebenaran bisa dicapai oleh semua
orang Islam tanpa memandang ras, kelas atau jenis kelamin. Lihat Khalid
M. Abou El Fadl, Speking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and
Women (England: Oxford, 2001),hlm. 9.
9 Ibid, hlm. 95.

206
melalui berbagai produk-produk fikih/ hukum Islam yang
dihasilkan oleh para fuqaha yang tampak menguntungkan dan
sekaligus mengagungkan posisi laki-laki. Sementara itu, wacana
perempuan dalam fikih hanya memuat kewajiban yang mengikat
daripada hak yang selayaknya diraih.
Celakanya dalam perjalanan sejarah, produk fikih tersebut
menjadi kanon ortodoksi yang pakem dan baku. Karena itu, fikih
menduduki peranan kunci sebagai parameter untuk menentukan
keberislaman. Hal itulah yang mendominasi pemikiran kaum
muslimin selama berabad-abad. Dengan demikian wajar kiranya
jika kaum muslimin secara terus-menerus menempatkan posisi
perempuan di bawah “ke ak” laki-laki.
Padahal, fikih sebagaimana dikemukakan oleh Abou El Fadl
hanyalah sebuah konsep pemahaman atau hasil dari sebuah
upaya manusia untuk memahami kehendak Tuhan. Sementara
kehendak Tuhan menurut Fadl adalah syariah atau hukum
Tuhan yakni al-qur’an. Untuk itu, menurut Fadl ada perbedaan
konseptual antara syariah dan fikih. Perberbedaan tersebut
menurut Fadl lahir dari pengakuan atas kegagalan upaya manusia
yang tak terelakkan untuk memahami tujuan atau kehendak
Tuhan.10 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa manusia
pada dasarnya dak memiliki kemampuan untuk memahami
maksud Tuhan secara purna. Oleh karena itu, semua bentuk
pemahaman dan palaksanaan kehendak Tuhan terus terbuka
sepanjang masa.
Dus, jika fikih dikembalikan pada makna yang sebenarnya
seper yang dikemukan oleh Fadl, maka konsepsi umum kaum
muslimin terhadap fikih seper dikemukakan di atas perlu
dipertanyakan. Konskwensinya, segenap perangkat hukum yang
telah dikonstruk dan dibukukan oleh para fuqaha harus ditelaah
ulang seper yang telah dilakukan oleh beberapa pakar hukum

10 Abou El Fadl, Speking in God’s Name..., hlm. 32. Bersetuju dengan Fadl,
Abdurahman Wahid. menurutnya figh dimaknai sebagai kumpulan
pengetahuan mengenai berbagai hukum syara’ yang berkenaan dengan
perbuatan manusia dan diperoleh dari sumber-sumber yang otorita f.
Diterjemahkan dalam is lah Indonesia menjadi “hukum Islam” dan dak
jarang disebut dengan “syari’ah”.Lihat Abdurrahman Wahid, Prisma
Pemikiran GusDur, (Yogyakarta : LKiS, 1999), hlm 35.

207
Islam terkini, seper Fazlurrahman, Aboul Fadl, Abu Zaid, An-
Naim dan sederet pemikir kontemporer lainnya.
Oleh karena itu, Wacana perempuan dalam fikih yang
selama ini tak lebih dari sekedar pengekangan, pengebirian
dengan segenap aturan-aturan yang membelit perlu diluruskan.
Fikih pada umumnya dan wacana perempuan dalam fikih
khususnya dak bisa dibiarkan begitu saja lepas bebas dan
menjadi warisan pengetahuan secara turun-temurun. Sebab jika
terjadi pembiaran atau apa sme pemikiran terhadap apa yang
telah menjadi ketetapan fikih klasik maka al-Hukmu yaduru ma’a
illa hi wujudan wa adaman menjadi dak bermakna. Padahal
sebagaimana ditegaskan oleh kaedah ushul Taghayyur al-Ahkam
bi Taghayyur al-Azman wa al-Amkinah menjadi petanda bahwa
konstruksi hukum Islam harus peka konteks sesuai dengan
kondisi sosial masyarakatnya.
Dengan demikian, wacana perempuan dalam fikih daklah
stagnan seper yang telah digariskan oleh para fuqaha abad silam
yang menempatkan perempuan pada takdir kehidupan dengan
segenap aturan yang mengikat dan penghambaan terhadap laki-
laki. Contohnya sangat beragam dan melipu segenap ak vitas
internal dan eksternal perempuan. Dari persoalan kedirian
perempuan, keluarga, sosial-kemasyarakatan, poli k dan
bahkan ibadah. Yang kesemuanya terakumulasi dalam konstruk
kebudayaan dan ajaran keagamaan dengan berpagar pada tradisi
dan firman Tuhan yang dikukuhkan melalui keputusan/fatwa
para fuqaha.
Sebagaimana diuraikan dalam khazanah fikih klasik
mengenai kedirian perempuan yang melipu boleh daknya
perempuan keluar rumah, cara berpakaian, cara bergaul
termasuk akses pendidikan, pernikahan, hak poli k dan lain
sebagainya. Fikih dalam hal ini lebih cenderung membuat aturan
yang sangat ketat dengan membatasi ruang gerak perempuan.
Tata aturan keluar rumah dan cara berpakaian menjadi salah-
satu contoh konkrit pengekangan terhadap perempuan.
Dalam melakukan ak vitas di luar rumah, perempuan dak
diperbolehkan keluar rumah jika dak disertai muhrimnya. Dan
dalam hal cara berpakaian, para fuqaha klasik menegaskan bahwa

208
perempuan harus berpakaian dengan menutup aurat. Sementara
aurat perempuan menurut para fuqaha adalah keseluruhan
tubuh perempuan. Konsepsi aurat tersebut dikonstruk dengan
sedemikian rupa oleh para fuqaha yang tentunya dengan
memper mbangkan budaya dan kondisi sosial-masyarakat Arab
pada masanya. Mengingat budaya masyarakat Arab terutama
pada abad-abad kedua, ke ga dan khususnya selama preode
Abbasiayah masih menempatkan posisi perempuan sebagai
objek seksual.11 Maka pada perode tersebut fatwa fuqaha yang
menegaskan pelarangan terhadap perempuan keluar rumah
dengan tanpa muhrim dan diwajibkannya berjilbab atau menutup
kepala menjadi maslahah.12 Akan tetapi, apakah fatwa tersebut
menjadi maslahah pada periode berikutnya atau dalam konteks
budaya dan sosio-masyarakat yang berbeda? Adalah pertanyaan
yang menggugah.
Mengiku penegasan kaedah fikih Taghayyur al-Ahkam...
sebagaimana dikemukkan di atas, maka fatwa para fukaha
mengenai pelarangan terhadap perempuan keluar rumah tanpa
muhrim serta kewajiban berjilbab, dak seharusnya dijadikan
ketetapan hukum yang berlaku sepanjang zaman apalagi sebagai
doktrin keislaman.13 Sebab pada perode di mana kesadaran
masyarakat sudah mulai tumbuh berkembang secara posi f. Dan
perempuan dak lagi dipandang sebagai objek seksual terlebih
keamanan sudah mulai terjaga, maka fatwa/hukum yang telah
menjadi ketetapan para fuqaha tersebut perlu direvisi. Sebab jika
dak, maka yang terjadi adalah pengkultusan terhadap hukum itu
sendiri. Dari sudut pandang teologis, pengkultusan yang demikian
sama halnya dengan mempertuhankan manusia sebab telah
11 Lihat Haifa A. Jawad, Oten sitas Hak-Hak..., hlm. 78-79.
12 Penulis menggunakan kata diharuskan dak diwajibkan sebab dalam
pandangan para fuqaha masih terjadi silang pendapat mengenai batas
aurat perempuan.
13 Jilbab merupakan sa r penutup kepala perempuan yang pada mulanya
merupakan sebuah anjuran terhadap istri-istri nabi dan perempuan-
perempuan yang telah dibebaskan (merdeka). Anjuran tersebut untuk
membedakan mereka dengan para budak agar dak menjadi objek
ganguan laki-laki. Lebih lanjut lihat Muhammad Sa’id Al-Asymawi,
Kri k Atas Jilbab (Jakarta: JIL dan Asia Founda on, 2003),Alih Bahasa.
Novriantoni.

209
secara lancang menyejajarkan fatwa fuqaha sebagai konstruktor
hukum dengan sakralitas pesan ketuhanan (al-qur’an) sebagai
sumber hukum utama dan hadist nabi sebagai sumber hukum
kedua. Jika sudah demikian, alih-alih kemaslahatan, kesadaran
umat Islam akan keagungan Tuhan mengalami pengikisan secara
dras s.
Kenda demikian, sungguh dak mudah untuk melepaskan
belitan fikih dikalangan kaum muslimin. Apalagi fikih/hukum
Islam klasik dengan sengaja dilestarikan melalui ins tusi-ins tusi
pendidikan dan berlangsung secara turun-temurun dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Pelestarian tersebut tentu masih
tetap menempatkan perempuan pada status marjinal. Sehingga
perempuan dak hanya terpenjara dalam rumah kaca peradaban
tetapi juga menjadi bodoh dan terbelakang sebagaimana yang
terjadi di negara-negara Islam.
Arab Saudi, Maroko, Mesir, Aljazair, Yaman, Afganistan,
Pakistan adalah contoh paling nyata di mana fikih klasik/hukum
Islam diterapkan secara murni. Fikih yang masih terlalu bias
gender, diskrimina f dan apa s terhadap peran perempuan
menjadi pegangan pokok masyarakatnya. Dan bahkan kenyataan
tersebut menguat menjadi ketetapan hukum negara. Akibatnya,
di negara-negara Islam tersebut angka buta huruf dikalangan
perempuan muslim menempa ra ng ter ngi dunia. Di Maroko
misalnya ngkat buta huruf kaum perempuannya mencapai 78,3
persen. Sementara Aljazair 63,1 persen dan Mesir 79,8 persen.
Dan yang paling parah adalah di Yaman Selatan hingga mencapai
96,6 persen sementara di Yaman Utara 74,8 persen.14
Penetapan terhadap fikih/hukum Islam sebagaimana
disebutkan di atas hemat penulis selain menyalahi kodrat
kemanusiaan di mana perempuan dak lagi memiliki ruang
kebebasan berkrea fitas sebagaimana layaknya laki-laki.
Sehingga pada penerapannya sebagaimana pelarangan terhadap
perempuan keluar rumah juga merupakan bentuk pelecehan
terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan potensi-potensi lahiriyah

14 Informasi data mengenai ngkat buta huruf kalangan perempuan di


Negara-negara Islam lihat Fa ma Marnissi, Pemberontakan Wanita!
(Bandung: Mizan, 1999), Alih Bahasa, Rahmani Astu , hlm. 118.

210
semisal hak memperoleh pendidikan. Dan konsekwensinya
(menggunakan parameter persentase ngkat buta huruf pada
negara-negara Islam di atas) adalah kaum perempuan mengalami
kepandiran yang sangat, dak hanya dalam persoalan luar
rumah, bahkan pengetahuan mengenai hak-hak mereka yang
berkaitan perkawinan, perceraian, harta warisan, profesi dan
poli k menjadi sangat awam. Dengan demikian, perempuan
dak lagi mampu mengklaim apalagi mempertahankan hak-hak
mereka yang sebetulnya sudah dijamin dalam Islam.
Persoalan perkawinan/pernikahan adalah contoh betapa
lemahnya posisi perempuan dalam persoalan hak. Melalui rincian
persyaratan yang diracik sedemikian rupa oleh para fuqaha,
menghasilkan penempatan perempuan pada posisi pasrah. Salah
satunya adalah syarat kufu’ dalam memilih jodoh. Dalam hal ini
peran wali begitu dominan sebab wali dalam tradisi fikih menjadi
penentu kekufu’an pasangan yang akan disandingkan dengan
anaknya dalam membina mahligai rumah tangga. Hal itu tampak
dari kenyataan bahwa kenda dalam garis nalar si perempuan
terhadap pasangannya dengan berbagai per mbangan sudah
terbilang kufu’ sementara menurut penilaian wali dak, maka
pernikahan tersebut menurut sebagian fuqaha dak bisa digelar
( dak sah). Perlu ditegaskan bahwa wali dalam fikih adalah dari
garis laki-laki semisal ayah, saudara laki-laki sekandung, paman
dan seterusnya. Sementara dari garis perempuan semisal ibu
saudari sekandung dan seterusnya dak mamiliki hak sedikitpun
menjadi wali. Itu ar nya kenda dalam sebuah pernikahan
seorang ibu menerima dan merestui berdasarkan nalar kekufuan
sementara ayahnya mengatakan dak sekufu’ maka pernikahan
tetap dak bisa digelar. Begitu pula dalam persoalan kesaksian.
Dalam al-qur’an (al-Baqarah:28) memang ditegaskan bahwa
kesaksian seorang laki-laki akan sepadan dengan kesaksian dua
orang perempuan. Ayat tersebut sebetulnya bukanlah ayat yang
diskrimina f yang kemudian menjadi dasar ke daksetaraan
antara laki-laki dan perempuan oleh para fuqaha. Sehingga
dalam persoalan kesaksian para fuqaha tetap menetapkan
sebagaimana yang telah digariskan dalam al-quran.
Padahal unkapan fa-in-lam yakana rujulaiyni farojulun

211
wa-imra’ataini didasarkan pada suatu per mbangan bahwa
perempuan dalam konteks masyarakat Arab yang memang
hanya terbiasa dengan urusan rumah tangga. Apalagi ruang
gerak mereka ke ka itu memang sangat terbatas secara biologis
sehingga perha an mereka terhadap masalah-masalah luar rela f
lebih kecil dibandingkan laki-laki. Dalam kondisi perempuan yang
demikian kiranya ayat tersebut dapat diterapkan sebagaimana
adanya kenda zamannya telah berubah. Akan tetapi dalam
suatu masyarakat di mana kaum perempuannya sudah
memiliki akses yang luas dan ditopang oleh ngkat pendidikan
yang mapan mes nya ada pengkajian ulang oleh para fuqaha
terhadap ayat tersebut. Sehingga dapat menghasilkan sebuah
pemahaman baru paling dak kesaksian seorang laki-laki sama
dengan kesaksian seorang perempuan. Sebab jika hal tersebut
dibiarkan maka patriarkisme hukum Islam akan semakin tampak
dan diskrimanasi terhadap perempuan semakin terkukuhkan.15
Superioritas laki-laki terhadap perempuan juga tampak
dalam persoalan talaq/perceraian. Dalam hal talaq sebagaimana
yang telah tercantum dalam kitab-kitab fikih menunjukkan
bahwa suatu jenis talaq akan benar-benar diterima secara
hukum; ia bisa berupa talaq satu yang mensyaratkan tenggang
waktu selama ga bulan untuk meyakinkan seorang istri dak
hamil (iddah), ataupun talaq ga, yang merupakan ucapan talaq
ga kali berturut-turut tanpa masa tunggu ga bulan. Talaq
yang demikian mendapat legalisasi fikih secara tekhnis dan
dak diklasifikasikan sebagai suatu dosa menurut lima kategori
dalam hukum Islam. Talaq yang demikian merupakan inisia f
laki-laki dan ini yang sering terjadi karena tanpa syarat yang
mengikat (khusus) sehingga laki-laki memiliki kewenangan yang
lebih leluasa. Berbeda dengan talaq/perceraian yang datang
atas inisia f perempuan atau yang dalam bahasa fikih dikenal

15 Hal ini sekaligus menegaskan gugatan terhadap pandangan Suad


Ibrahim Salih yang memilikii kesan menerima apa adanya terhadap
bentuk kesaksian perempuan yang telah digariskan dalam al-qur’an.
Lihat Suad Ibrahim Salih, Kedudukan Perempuan Dalam Islam dalam
H.M Atho Mudzhar dkk(ed) Wanita dalam masyarakat Indonesia:akses,
pemberdaayaan dan kesempatan (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press’
2001), hlm. 51.

212
dengan is lah khul’. Secara tekhnis bentuk khulu’ memang
memungkinkan akan tetapi sulit dilakukan sebab khulu’ akan
terjadi manakala sudah memenuhi syarat-syarat yang spesifik
sebagaimana ketentuan fikih seper di nggalkan oleh suami,
pelecehan fisik, kurangnya na ah dari suami, penyakit jiwa,
impotensi dan yang sejenis.16
Dua garis talaq sebagaimana telah dikemukakan di atas
memberikan gambaran bahwa perempuan masih dalam posisi
yang dak berdaya. Hal itu tampak dari bagaimana mudahnya
talaq terjadi ke ka inisia f datang dari laki-laki. Dan betapa
sulit talaq terjadi ke ka inisia f datang dari seorang perempuan
karena harus memenuhi syarat yang telah ditetapkan fikih.
Celakanya khulu’ yang menjadi kewenangan perempuan
sulit diakses karena seringkali dak diberi informasi tentang
kemungkinan atas persoalan tersebut atau bahan dihalangi
untuk melaksanakannya. Dengan demikian perempuan menjadi
objek hukum yang sangat merugi karena ke dakberdayaan di
tengah peluang yang sepantasnya diraih.
Jika dalam persoalan-persoalan di atas perempuan sudah
dak berdaya, apalagi dalam persoalan poli k. Perempuan
seper nya sudah dak memiliki ruang poli k yang jelas. Tidak
hanya persoalan keharaman perempuan menjadi seorang
pemimpin bahkan hak pilihnya sekalipun untuk menentukan
pilihan atas siapa yang bakal menjadi pemimpin mereka bagi
bangsa dan negaranya menjadi sangat terbatas atau bahkan
dak punya hak. Inilah yang kemudian membuat Fa mah
Marnissi gelisah. Ringkasnya menurut catatan Marnissi, bahwa
mempertanyakan keterlibatan perempuan dalam poli k dan
pengekangan terhadap perempuan untuk menjadi pemimpin
merupakan kemiskinan berfikir dan awam akan sejarah. Ia
mencontohkan begitu banyak Ratu-Ratu Islam yang membentang
dari Asia sampai Afrika sampai Andalusia, begitu juga di Cordova
dan Delhi semisal Malikah Arwah, ‘Alam Al-Hurrah, Sultanah
Radiyyah, Sajarat Al-Dzurr, Turkan Khatun dan lain sebagainya.

16 Lihat Jane I. Smith, Islam dalam Arvind Sharma (ed), Perempuan dalam
Agama-Agama Dunia (Jakarta: Ditperta Depag RI, 2002), Alih Bahasa,
Syafaatu Al-Mirzanah dkk, hlm. 285.

213
Dan bahkan al-qur,an sekalipun mendendangkan sedikit kisah
tentang keagungan Ratu Saba, meski tanpa menyebutkan
namanya aslinya.17
Kenda demikian, Poli k bagi perempuan dalam sorotan
fikih tetap menjadi medan yang terlarang. Dan sejarah
kepemimpinan perempuan sebagaimana didedahkan oleh
Marnissi di atas mengendap atau dengan sengaja diendapkan
oleh para pelaku sejarah agar jejak-jejaknya hilang tanpa bekas.
Dengan demikan para fuqaha lebih leluasa merumuskan fatwa
tentang keharaman perempuan dalam kancah poli k. Dalil
pelarangan terhadap peran poli k perempuan biasanya diambil
dari hadis nabi yang berbincang tentang suatu bangsa dak
akan jaya jika menyerahkan urusan mereka (kepemimpinan)
kepada perempuan. Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari, Ahmad,
Turmudzi dan Nasa’i dari Abi Bakrah. Jajaran nama-nama
tersebut dalam perawian hadis memiliki status siqah sehingga
hadis tersebut terbilang sahih. Dengan demikian, wajar kiranya
jika hadis tersebut menjadi sangat otorita f dan memiliki
pengaruh yang luar biasa terhadap para fuqaha dalam meracik
hukum pelarangan perempuan dalam poli k.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran GusDur, (Yogyakarta :


LKiS, 1999)
Asma Barlas, Cara Quran Membebaskan Perempuan (Jakarta:
Serambi, 2003), Alih Bahasa, R. Cecep Lukman Yasin
Asghar Ali Enginer, Pembebasan Perempuan (Yogyakarta: LKis,
2003), Alih Bahasa, Agus Nuryatno
Fa ma Marnissi, Pemberontakan Wanita! (Bandung: Mizan,
1999), Alih Bahasa, Rahmani Astu

17 Mengenai telaah sejarah yang dipadu dengan contoh-contoh modern


tentang peran perempuan dalam panggung poli k lihat Fa ma Marnissi,
Ratu-Ratu Islam yang terlupakan (Bandung: Mizan, 1994), Alih Bahasa,
Rahman Astu dan Enna Hadi, hlm. 7, 11, 24-27.

214
Fa ma Marnissi, Ratu-Ratu Islam yang terlupakan (Bandung:
Mizan, 1994), Alih Bahasa, Rahman Astu dan Enna Hadi
Haifa A. Jawad, Oten sitas Hak-Hak Perempuan (Yogyakarta:
Fajar Pustaka Baru, 2002), Alih Bahasa, Anni Hidayatunnur
Dkk
Jane I. Smith, Islam dalam Arvind Sharma (ed), Perempuan dalam
Agama-Agama Dunia (Jakarta: Ditperta Depag RI, 2002),
Alih Bahasa, Syafaatu Al-Mirzanah dkk
Khalid M. Abou El Fadl, Speking in God’s Name: Islamic Law,
Authority, and Women (England: Oxford, 2001)
Muhammad Sa’id Al-Asymawi, Kri k Atas Jilbab (Jakarta: JIL dan
Asia Founda on, 2003),Alih Bahasa. Novriantoni.
Si Hasuna, Kompleksitas Tubuh Perempuan dalam Jurnal
Perempuan edisi 09 November 1998-Januari 1999
Suad Ibrahim Salih, Kedudukan Perempuan Dalam Islam dalam
H.M Atho Mudzhar dkk(ed) Wanita dalam masyarakat
Indonesia:akses, pemberdaayaan dan kesempatan
(Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press’ 2001)
Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam: Pengantar untuk
Ushul Figh Mazhab Sunni (Jakarta: Rajawali Press, 2001),
Alih Bahasa, E. Kusnadiningrat dan Abdul Haris bin Wahid

215
216
KEDUDUKAN ANAK DI LUAR NIKAH
DALAM UU PERKAWINAN

Oleh: Sukardi, SH , M.Hum

LATAR BELAKANG
Melihat kembali Undang-Undang No.1 tahun 1974
merupakan UU yang sakral bagi sistem pernikahan di Indonesia,
hal ini bisa dikatakan karena setelah hampir lebih dari 38 tahun
lebih UU ini dak pernah digugat ataupun dilakukan perubahan
terhadap pasal-pasalnya. Akan tetapi, akibat permohonan
seorang wanita bernama Hj. Aisyah Muchtar alias Machica
terhadap peninjauan kembali (judical review) terhadap Pasal
2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) untuk memperjuangkan hak
keperdataan anaknya terhadap ayah biologisnya yang merupakan
seorang mantan Mensesneg, Moerdiono. Alhasil, Mahkamah
Kons tusipun memutuskan bahwasanya anak dari Machica
ini mendapatkan hak keperdataannya dari ayah biologisnya,
karena telah melakukan prosedur pernikahan sesuai dengan
ajaran agama yang dianutnya, yaitu islam, meskipun melanggar
Undang-Undang nasional yang telah ditetapkan sejak lama.
Jika di njau ulang dari Undang-Undang No.1 tahun 1974,
memang benar adanya bahwa “Perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu” sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU No.1 tahun
1974. Namun, sahnya pernikahan dalam hukum Indonesia harus
dilengkapi dengan diikutsertakannya Pasal 2 ayat (2) UU No.1

217
tahun 1974 yang berbunyi “ ap- ap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku”, serta yang paling
pen ng, status seorang anak yang lahir dari pernikahan tanpa
mengiku kedua prosedur sesuai pasal 2 juga dijelaskan pada Pasal
43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan “anak
yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Jelas sudah apa
yang diputuskan Mahkamah Kons tusi itu bertentangan dengan
UU Nasional Indonesia. Putusan yang akhirnya membuat anak
dari Machica mendapatkan hak keperdataannya dari Moerdiono
merupakan sebuah penyelewengan terhadap Undang-Undang
Perkawinan yang telah berdiri sejak lama.

Rumusan Masalah
1. Bagaimana Status Anak di Luar Nikah dalam Hukum ?
2. Bagaimana Kedudukan Anak di luar Nikah dalam UUD
Perkawinan
Indonesia ?

Tujuan Masalah
1. Mengetahui Status Anak di Luar dalam Hukum
2. Mengetahui Kedudukan Anak di luar Nikah dalam UUD
Perkawinan
Indonesia ?

PEMBAHASAN

A. Status Anak di Luar Nikah dalam Hukum


Dalam Kompilasi Hukum Islam selain dijelaskan tentang
kriteria anak sah (anak yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan
yang sah), sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 99
Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi: “bahwa anak yang sah
adalah:
a. Anak yang dilahirkan akibat perkawinan yang sah.
b. Hasil pembuahan suami isteri yang di luar rahim dan dilahirkan
oleh isteri tersebut”.
Dalam Bab IX pasal 42 Undang-Undang No.1 Tahun 1974

218
dijelaskan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dan
atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Karena itu penger an
anak luar nikah akan diuraikan berdasarkan terminologi yang
tertera dalam kitab fiqh dan dipadukan dengan ketentuan yang
mengatur tentang kedudukan anak yang tertera dalam pasal
pasal dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi
Hukum Islam. Begitu pula dengan hak pewarisan yang menjadi
masalah di Mahkamah Kons tusi, padahal jelas sudah pada
Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwasanya:
“Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya”.
Shaykh Hasanayn Muhammad Makhluf, seorang mu i
dari Mesir, membuat terminologi anak zina sebagai anak yang
dilahirkan sebagai akibat dari hubungan suami isteri yang dak
sah. Hubungan suami isteri yang dak sah sebagaimana dimaksud
adalah hubungan badan (senggama/wathi’) antara dua orang
yang dak terikat tali pernikahan yang memenuhi unsur rukun
dan syarat nikah yang telah ditentukan.
Selain itu, hubungan suami isteri yang dak sah tersebut,
dapat terjadi atas dasar suka sama suka ataupun karena
perkosaan, baik yang dilakukan oleh orang yang telah menikah
ataupun belum menikah. Meskipun is lah anak zina merupakan
is lah yang populer dan melekat dalam kehidupan masyarakat,
namun Kompilasi Hukum Islam dak mengadopsi is lah tersebut.
Hal tersebut bertujuan agar anak sebagai hasil hubungan
zina, dak dijadikan sasaran hukuman sosial, celaan masyarakat
dan lain sebagainya akibat perbuatan dosa yang telah dilakukan
ibu kandungnya dan ayah gene knya. Untuk lebih mendekatkan
makna tersebut, Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun
1974 menyatakan bahwasanya “seorang suami dapat menyangkal
sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat
membuk kan bahwa isterinya telah berzina dan kelahiran anak
itu akibat daripada perzinaan tersebut”.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, anak zina yang didefinisikan
oleh Shaykh Hasanayn adalah anak yang lahir di luar perkawinan
yang sah, sebagaimana pada Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam
yang menjelaskan bahwa “anak yang lahir di luar perkawinan

219
hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibu dan keluarga
ibunya”. Berdasarkan definisi pendekatan diatas, maka makna
anak zina adalah janin atau pembuahannya merupakan akibat
dari zina atau tanpa ikatan pernikahan dan dilahirkan diluar
pernikahan sebagai akibat dari perbuatan zina. Dengan demikian
sejalan dengan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No.1 tahun
1974 yang rumusannya sama dengan pasal 100 Kompilasi Hukum
Islam.
Berdasarkan terminologi, anak luar nikah adalah anak yang
dilahirkan seorang perempuan yang dak berada dalam ikatan
perkawinan yang sah dengan pria gene k sang anak. Sedangkan
penger an luar nikah adalah hubungan seorang pria dan wanita
yang dapat melahirkan keturunan dan hubungan mereka dak
dalam ikatan perkawinan yang sah menurut hukum posi f dan
agama yang dianutnya.
Anak yang lahir di luar perkawinan menurut is lah yang
digunakan dalam hukum perdata dinamakan natuurlijk kind
(anak alami). Pendekatan is lah anak zina sebagai anak yang lahir
di luar perkawinan yang sah, berbeda dengan penger an anak
zina yang ada dalam hukum perdata. Dalam hukum perdata,
is lah anak zina adalah anak yang dilahirkan dari hubungan dua
orang, laki-laki dan perempuan yang bukan suami isteri, dimana
salah seorang atau kedua-duanya terikat perkawinan dengan
orang lain. Oleh sebab itu, anak luar kawin yang ada dalam
hukum perdata adalah anak yang dibenihkan dan dilahirkan di
luar perkawinan dan is lah lain yang dak bisa diar kan sebagai
anak zina.
Anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan di luar
perkawinan yang sah dan sebelum adanya pengakuan atau
pengesahan dari kedua orang tuanya maka anak itu dak sah
menurut hukum. Sedangkan apabila orang tua melakukan
ndakan- ndakan, seper melangsungkan perkawinan atau
melakukan pengakuan atau pengesahan pada salah satu
lembaga hukum, maka anak tersebut sah secara hukum. Predikat
sebagai anak luar kawin tentunya akan melekat pada anak yang
dilahirkan di luar perkawinan. Menurut Kitab Undang-undang
Hukum Perdata penger an anak luar kawin dibagi menjadi 2

220
(dua) macam yaitu sebagai berikut :
1. Anak luar kawin dalam ar luas, adalah anak luar
perkawinan karena perzinaan dan sumbang.
Anak Zina adalah anak-anak yang dilahirkan dari
hubungan luar kawin, antara laki-laki dan perempuan dimana
salah satunya atau kedua-duanya terikat perkawinan dengan
orang lain, sedangkan Anak Sumbang adalah anak yang dilahirkan
dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
yang antara keduanya berdasarkan ketentuan undang-undang
ada larangan untuk saling menikahi.
Berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang No.1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, melarang Perkawinan antara dua orang
yang :
a) berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah
ataupun ke atas;
b) berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu
antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan
antara seorang dengan saudara neneknya;
c) berhubungan semenda, yaitu mertua, anak ri dari menantu
dan ibu/bapak ri;
d) berhubungan sepersusuan, yaitu orang tua sepersusuan,
anak sepersusuan, saudara sepersusuan dan bibi/paman
sepersusuan;
e) berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau
kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih
dari seorang; dan
f) mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan
lain yang berlaku, dilarang nikah.
2. Anak luar kawin dalam ar sempit, adalah anak yang
dilahirkan di luar perkawinan yang sah.
Lembaga pengakuan anak dalam hukum perdata diatur
dalam Pasal 272 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dimana
dikemukakan bahwa anak luar kawin (natuurlijk kind), kecuali
yang dilahirkan dari perzinaan atau penodaan darah, maka ap-
ap anak yang lahir di luar perkawinan apabila bapak dan ibunya
melaksanakan perkawinan, atau jika bapak dan ibunya sebelum
melaksanakan perkawinan, mengakuinya menurut undang-

221
undang, atau pengakuan itu dilakukan dalam akta perkawinan
sendiri, maka anak tersebut menjadi anak sah.
Kemudian dalam Pasal 280 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, dinyatakan bahwa dengan adanya pengakuan anak luar
kawin sebagaimana tersebut diatas, maka mbullah hubungan
perdata antara anak luar kawin itu dengan bapak dan ibunya
sebagai anak yang sah lainnya.
Dari pembahasan di atas, melihat kasus yang menyebabkan
lahirnya Putusan Mahkamah Kons tusi Nomor 46/PUU-VIII/2010,
dapat dicerma bahwasanya Moerdiono telah melakukan
ndakan Poligami dengan menikahi Machica dengan dak sah
secara hukum hingga melahirkan seorang anak. Sehingga setelah
Moerdiono meninggal sang anak ingin melegalkan statusnya
sebagai salah satu anak sah dan bisa masuk sebagai bagian dari
pada keluarga moerdiono. Namun, hal ini terjegal oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Yang menjadi masalah dalam kasus ini sebenarnya adalah
bagaimana status hukum anak yang dilahirkan dari poligami di
bawah tangan, dan persoalan ini dak secara langsung berkaitan
dengan anak yang dilahirkan di luar perkawinan sebagaimana
yang ditunjuk Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No.1 tahun 1974
itu.
Poligami di bawah tangan yang dilakukan Moerdiono dan
istrinya tersebut jelas-jelas melanggar ketentuan Pasal 4 dan Pasal
5 Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang diperbolehkannya
beristri lebih dari satu orang dan oleh karena itu pula dak akan
pernah memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun
1974 tentang pencatatan perkawinan.
Pasal 4 Undang-Undang No.1 tahun 1974 adalah ketentuan
yang bersifat perintah secara impera f (wajib) terhadap suami
yang akan berpoligami untuk memperoleh izin dari pengadilan,
sedangkan Pasal 5 Undang-Undang No.1 tahun 1974 berkaitan
dengan syarat-syarat poligami yang harus dipenuhi dan dapat
dibuk kan kebenarannya dalam persidangan. Perkawinan
yang melanggar ketentuan ini adalah termasuk perkawinan
yang dak dapat dilakukan sesuai Pasal 9 Undang-Undang
No.1 tahun 1974, “seorang yang masih terikat tali perkawinan

222
dengan orang lain dak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang
tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-Undang ini”.
Akibat dari kasus ini adalah apabila dak ada pihak-pihak yang
keberatan terhadap perkawinan ini atau dak ada hal lain yang
membutuhkan buk hukum tentang adanya perkawinan maka
kehidupan sebagai suami istri dapat tetap berlangsung walaupun
status perkawinannya dak dapat dilindungi oleh negara, dan
konsekwensi lain dari perkawinan poligami di bawah tangan ini
adalah tentang status anak yang dilahirkan nan nya.
Mengenai pencatatan kasus poligami seper ini juga
dilarang dalam UU sebagaima Pasal 44 Peraturan Pemerintah
No.9 tahun 1975 yang menyatakan “pegawai pencatat nikah
dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang
suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin
pengadilan seper yang dimaksud dalam Pasal 43.” Oleh karena
itu perkawinan poligami di bawah tangan menurut undang-
undang adalah perkawinan yang melanggar prosedur undang-
undang dan keberadaannya dak dapat dilakukan toleransi.
Fatwa Syekhul Azhar (Guru Besar) yang pada waktu itu
dijabat oleh DR. Jaad al-Haq ‘Ali Jaad al-Haq, menyatakan bahwa
al-jiwaz al-‘urf adalah sebuah pernikahan yang dak tercatat
sebagaimana mes nya menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Syakh Jaad al-haq mengklasifikasikan ketentuan
pernikahan kepada dua katagori, yaitu rukun syar’iy dan rukun
al-taws qi.
Rukun syar’iy adalah rukun yang menentukan sah atau
dak sahnya sebuah pernikahan. Rukun ini adalah rukun yang
ditetapkan Syari’at Islam seper yang telah dirumuskan dalam
Kitab-kitab Fiqh dari berbagai madzhab yang pada in nya
adalah adanya ijab dan qabul dari masing-masing dua orang
yang berakad yang diucapkan pada tempat yang sama, dengan
menggunakan lafal yang menunjukan telah terjadiny ijab dan
kabul yang diucapkan oleh masing-masing dari dua orang
yang mempunyai kecakapan untuk melakukan akad menurut
hukum syara’ serta dihadiri oleh dua orang saksi yang telah
baligh, berakal, lagi beragama Islam, dimana dua orang saksi
itu disyaratkan mendengarkan sendiri secara langsung lafaz ijab

223
qabul tersebut. Dua orang saksi tersebut menger tentang isi
ijab dan qabul itu serta syarat-syarat lainnya seper yang telah
dibentangkan dalam kajian fiqh, dan dak terdapat larangan
hukum syara’.
Rukun yang bersifat tawutsiqy adalah rukun tambahan
dengan tujuan agar pernikahan di kalangan ummat Islam dak
liar, tetapi tercatat pada buku register Akta Nikah yang dibuat
oleh pihak yang berwenang yang diatur dalam peraturan
perundangan administrasi negara. Kegunaannya agar sebuah
lembaga perkawinan yang merupakan tempat yang sangat
pen ng dan strategi dalam masyarakat Islam dapat dilindungi
dari adanya upaya-upaya nega ve dari pihak-pihak yang dak
bertanggungjawab.
Lebih jelas lagi Wahbah Al-Zulaily5 secara tegas membagi
syarat nikah yang harus dipenuhi, menjadi syarat syar’iy dan
syarat tautsiqy. Syarat syar’iy maksudnya suatu syarat dimana
keabsahan suatu peris wa hukum tergantung kepadanya, yang
dalam hal ini adalah rukun-rukun pernikahan dengan syarat-
syarat yang telah ditentukan. Sedangkan syarat tautsiqy adalah
suatu yang dirumuskan untuk dijadikan sebagai buk kebenaran
terjadinya suatu ndakan sebagai upaya an sipasi adanya ke dak
jelasan di kemudian hari. Syarat tausiqi dak berhubungan
dengan syarat sahnya suatu perbuatan, tetapi sebagai buk
adanya perbuatan itu.
Dalam status anak hasil perbuatan zina antara seorang laki-
laki dengan seorang perempuan di luar ikatan perkawinan adalah
perbuatan nista dan dak dibenarkan oleh aturan manapun, baik
oleh agama apapun dan oleh negara, walaupun dalam katagori
yang sedikit berbeda. Dalam Islam perbuatan zina dengan
segala bentuknya baik dilakukan suka-sama suka, maupun dak,
dilakukan oleh orang yang belum berkeluarga maupun telah
berkeluarga adalah terlarang dan termasuk perbuatan dosa
besar, bahkan pelakunya harus mendapatkan hukuman yang
se mpal dengan hukuman rajam atau jilid.
Banyak hal yang membuat perbuatan zina dari segala
cara ini dikecam, salah satunya adalah berakibat langsung
menelantarkan anak-anak yang dilahirkannya, sebab seorang

224
laki-laki melakukan hubungan badan dengan seorang perempuan
tanpa ikatan perkawinan dan berakibat melahirkan anak, laki-laki
dan perempuan itu dak terikat hubungan hukum dan demikian
pula dengan anak yang dilahirkannya itu. Oleh karena itu di
antara mereka dak terikat hak dan kewajiban. Dengan demikian
Islam memandang bahwa zina dengan segala bentuknya adalah
merupakan ndak pidana umum yang disyari’atkan untuk
menjaga stabilitas masyarakat dan menghindari kemadaratan
yang akan dialami anak-anak yang dilahirkannya.
Sebuah hadist Nabi Muhammad yang menyatakan
bahwasanya anak yang lahir dari hubungan tanpa ikatan
perkawinan hanya memiliki hubungan dari nasab ibunya, yaitu :
Dari Aisyah Ra. Dia telah berkata: telah terjadi perselisihan
antara Sa’ad bin Abi Waqash dengan Abdu bin Zam’ah mengenai
seorang anak. Saad berkata: “Wahai Rasulullah! Ini adalah
anak saudaraku, Utbah bin Abi Waqash. Jadi dia adalah anak
saudaraku menurut pengakuan saudaraku itu. Lihat wajah
anak ini mirip dengannya”. Abdu bin Zam’ah menyangkal dan
mengatakan: “Ini adalah saudaraku, wahai Rasulullah. Dia
dilahirkan atas tempat dur ayahku dari hamba perempuannya”.
Rasulullah memperha kan anak itu sejenak dan memang anak
itu mirip Utbah kemudian beliau bersabda: “Dia adalah untukmu
wahai Abdu. Anak adalah berdasarkan kepada tempat dur dan
orang yang berzina hanya mendapat kecelakaan pakailah hijab
darinya ya Saudah bin Zamah”.
Karena anak yang lahir di luar nikah hanya memiliki
hubungan dengan ibunya, maka anak tersebut dak memiliki hak
apapun dari ayah biologisnya, karena secara hukum baik hukum
agama maupun hukum nasional dia dak memiliki pertalian
darah (nasab) dengan laki-laki yang merupakan ayah biologisnya.
Sehingga oleh sebab itu anak di luar nikah dak memperoleh
hak-hak materil dan moril yang semes nya harus diperoleh
oleh seorang anak dari ayahnya, seper hak pemeliharaan, hak
na ah, hak perwalian nikah bagi anak perempuan, dan hak
saling mewarisi ke ka terjadi kema an.
Dari penjelasan di atas, maka dapat dilihat bahwasanya
ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No.1 tahun 1974,

225
sejalan dengan teori fikih, dan juga sejalan atau paling dak,
dak bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 28 B ayat
(1) dan ayat (2) serta Pasal 28 D ayat (1). Namun, tampaknya
kesimpulan ini berbeda dengan pendapat Mahkamah Kons tusi
yang menyatakan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No.1 tahun
1974, bertentangan dengan UUD 1945, karena menutup hak
anak yang lahir di luar perkawinan atas adanya hubungan perdata
dengan ayahnya dan keluarga ayahnya.

B. Kedudukan Anak di luar Nikah dalam UUD Perkawinan


Indonesia
Secara ideal, agar tujuan Negara dalam mewujudkan
ter b administrasi perkawinan terwujud, pencatatan perkwinan
semes nya dikukuhkan bukan hanya pada tataran administra f
tetapi juga diintegrasikan menjadi syarat materil perkawinan.
Jadi perkawinan dianggap sah bukan hanya semata memenuhi
rukun serta syarat perkawinan yang ditentukan oleh agama dan
kepercayaannya masing-masing, tetapi perkawinan dikatakan
sah jika dicatatkan pada instansi yang berwenang untuk itu.
Ide demikian berkembang di tengah masyarakat.
Pada tataran wacana di kalangan akademisi Hukum Islam (dunia
kampus) berkembang sekurang-kurangnya dua pandangan:
Pandangan pertama menentang ide tersebut, karena
dalam agama Islam pencatatan pernikahan bukanlah rukun dari
perkawinan. Dalam Islam yang dikategorikan sebagai rukun
perkawinan (yang menentukan sah atau daknya perkawinan)
adalah: ijab dan qabul, wali, 2 orang saksi, dan kedua mempelai
sebagaimana telah ditaqnin dalam pasal 14 Inpres No.1 tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Sehingga menurut
padangan yang pertama ini di sebuah Negara yang menjamin
penduduknya secara bebas untuk menjalankan ajaran agama
dan kepercayaannya (pasal 29 ayat (2) UUD tahun 1945) dak
dibenarkan untuk memaksakan sebuah ajaran agama tunduk
terhadap aturan hukum nasional. Negara harus menjamin
kesucian sebuah agama dan dak mencampurinya dengan hal-
hal lain yang berada di luar aturan agama tersebut.
Menurut penganut pandangan pertama, campur tangan

226
Negara dalam menjaga kesucian agama terlihat dengan adanya
Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang pencegahan
dan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama yang telah
diteguhkan keberadaannya dengan putusan Mahkamah
Kons tusi Nomor 140/PUU- VII/2009. Malahan barang siapa
yang melakukan ndakan penodaan agama diamcam hukuman
lima tahun penjara.
Pandangan kedua berpendapat bahwa ide pengintegrasian
syarat administrasi perkawinan menjadi syarat materil, dak
bertentangan dengan agama. Agama Islam mengajarkan tentang
kewajiban bagi se ap warga Negara mentaa pemimpin mereka,
selama ketaatan tersebut bukan untuk sesuatu perbuatan
keingkaran kepada Allah SWT.
Pencatatan perkawinan ditegaskan oleh Negara dalam
sebuah peraturan perundang-undangan bertujuan untuk
kemaslahatan bagi warga negaranya. Karena di era globalisasi
saat ini pada sebagian masyarakat sudah mulai luntur nilai sakral
perkawinan. Sebagai imbas dari kondisi sosial tersebut sering
terjadi perbuatan yang dak bertanggung jawab dari satu pihak
yang terikat dalam sebuah perkawinan, terjadi perceraian tanpa
kontrol, poligami yang serampangan, kekerasan dalam rumah
tangga, anak yang ditelantarkan oleh orang tuanya, dan banyak
kejadian sosial lain yang membuk kan kondisi penyimpangan
sosial tersebut.
Lewat pengakuan Mahkamah Kons tusi tentang hak anak
di luar perkawinan yang mempunyai hubungan perdata dengan
ayah biologisnya, membuat suatu paradigma baru dan juga keluar
dari konteks kelaziman yang selama ini berlaku di Indonesia. Ada
suatu pemahaman terutama pada pengakuan untuk melindungi
status anak terlepas dari status kedua orangtuanya.
Itu sebabnya Komnas Perempuan menyambut posi f
putusan Mahkamah Kons tusi karena sejalan dengan kons tusi
dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan (UU No 7 Tahun 1984). Sejalan dengan hal Komnas
Perempuan, Komnas HAM yang diwakili oleh komisioner Komnas
HAM, Saharuddin Daming, membuat sebuah ar kel yang memuji
putusan Mahkamah Kons tusi sebagai ‘terobosan spektakuler’.

227
Menurut Daming, ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat
(1) UUP memperkosa rasa keadilan dan bertentangan dengan
prinsip hak asasi manusia yang dijamin Pasal 28B ayat (1) dan (2)
serta Pasal 28D ayat (1).
Sebaliknya, dari kalangan ulama Islam banyak melayangkan
kri k terhadap putusan Mahkamah Kons tusi ini. Ketua
Ikatan Cendekiawan Muslim Aceh Barat, Syamsuar Basyariah,
mengatakan bahwa sebaiknya putusan ini dikaji ulang.
Sebagaimana yang diku p dari Antara News, putusan ini akan
merepotkan pembagian waris. Jika anak di luar perkawinan yang
diakui mendapatkan hak keperdataan dari ayahnya, maka harus
ada rekonstruksi ulang pembagian waris terhadap anak di luar
kawin. Bukan saja itu, jika anak luar nikah itu diakui sah, maka sejak
putusan MK tersebut, anak yang lahir dari ikatan pernikahan sah
menurut agama namun melanggar aturan perundang-undangan
juga sudah berhak menerima Akta Kelahiran.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menyatakan
ke daksetujuannya lewat fatwa No.11 Tahun 2012. Fatwa
ini dibuat untuk menjawab pertanyaan masyarakat atas hal-
hal yang dak jelas dalam putusan Mahkamah Kons tusi.
MUI mengingatkan antara lain bahwa anak hasil zina dak
mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqah
dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya. Tetapi MUI juga
mengingatkan bahwa pemerintah wajib melindungi anak hasil
zina dan mencegah terjadinya penelantaran.

PENUTUP

A. Kesimpulan
Putusan MK mengenai anak luar kawin mungkin
akan terus menuai polemik. Apapun perdebatannya, para
pihak sepakat bahwa anak luar nikah pun berhak mendapatkan
perlindungan hukum. Termasuk mengetahui siapa kedua
orang tuanya. Pasal 7 ayat (1) UU No 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menyebutkan secara tegas: “Se ap anak
berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh

228
oleh orang tuanya sendiri”. Kata ‘orang tua’ tentu dak hanya
terbatas pada ibu saja. Selain itu dalam Pasal 28 B ayat (2) UUD
1945 yang menyatakan: “Se ap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi.”
Banyak Pasal dalam Undang-Undang Perdata dan
Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 harus kembali
dikaji akibat dari putusan Mahkamah Kons tusi ini. Keputusan
Mahkamah Kons tusi yang sebenarnya memang sedikit
membantu hak Asasi Wanita ini harus dilihat lebih teli , karena
sejak tahun 1974 di mana Undang-Undang tentang perkawinan
dikeluarkan atau ditetapkan, dak pernah ada masyarakat yang
mengeluh akan adanya UU tersebut.

B. Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi
yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih
banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya
pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada
hubungannya dengan judul makalah ini.Penulis banyak berharap
para pembaca memberikan kri k dan saran yang membangun
kepada penulis demi sempurnanya makalah di kesempatan
– kesempatan berikutnya.Semoga makalah ini berguna bagi
penulis dan pada mahasiswa/ mahasiswi IAIN khususnya amin .

DAFTAR PUSTAKA

Abd Al-Rahman Al-Jaziiry, Al-Fiqh ‘ala Al Madzaahib Al-Arba’ah,


Jilid V, Mesir: Al-Maktabah Al-Tijariyah Al-Kubra’, .
Abd. Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: PT. Ich ar
Baru Van Hoeve, 1999
AntaraNews
DR. Wahbah Al-Zuhaily, Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu, Juz VIII,
Bairut: Dar Al-fikr, 1985
Kompasiana.com

229
Muhammad Aly Al-Shabuny, Rawa’i al-Bayan bi tafsiir ayat al-
Ahkam min Al-Qur’an, Juz II
Prof. DR. H. Satria Effendi M.Zein, MA, Problema ka Hukum
Keluarga Islam Kontenporer, cet. II, Jakarta: Prenada
Media, 2006
Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 27 Pebruari 2012
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Waris Kodifikasi, Surabaya:
Airlangga University Press, 2000

230

Anda mungkin juga menyukai