Anda di halaman 1dari 8

PENERAPAN KONSEP K3 DI PELAYANAN KESEHATAN

Raihanah Azhari

Latar Belakang

Rumah sakit sebagai industri jasa yang mempunyai beragam persoalan tenaga kerja yang rumit
dengan berbagai risiko terkena penyakit akibat kerja bahkan kecelakaan akibat kerja sesuai jenis
pekerjaannya, sehingga berkewajiban menerapkan upaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Rumah Sakit (K3RS). Namun, fenomena banyak ditemukan bahwa kebijakan, perencanaan serta
pelaksanaan K3RS tampaknya belum terlaksana secara maksimal sesuai standar, sehingga
pekerja rumah sakit banyak mengalami masalah kesehatan dan keselamatan kerja.

Selain dituntut mempu memberikan pelayanan dan pengobatan yang bermutu, Rumah Sakit juga
dituntut harus melaksanakan dan mengembangkan program Kesehatan dan Keselamatan Kerja di
Rumah Sakit (K3RS) seperti yang tercantum dalam buku Standar Pelayanan Rumah Sakit dan
terdapat dalam instrumen akreditasi Rumah Sakit.

Standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja di RS (K3RS) perlu ditetapkan untuk mencegah dan
mengurangi risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja di RS. Demi terciptanya jaminan
keselamatan kerja maka diperlukan pelayanan strategis yang profesional serta prosedur kerja
yang tetap, tidak hanya tergantung pada peraturan-peraturan yang mengayominya dan finansial
yang diberikan, melainkan banyak faktor yang harus ikut terlibat, diantaranya adalah
pelaksanaan organisasi.Suatu organisasi yang berhasil dapat diukur dengan melihat pada sejauh
mana organisasi tersebut dapat mencapai tujuannya.Pelaksanaan K3 di RS dapat dinilai dari
kefektivitasan organisasi K3 tersebut (Kun dwi apriliawati,2017). Berdasarkan data dari World
Health Organization (WHO) : Dari 35 juta pekerja kesehatan 3 juta terpajan patogen darah (2
juta terpajan virus HBV, 0,9 juta terpajan virus HBC dan 170,000 terpajan virus HIV/ AIDS).
Dapat terjadi : 15,000 HBC, 70,000 HBB & 1000 kasus HIV. Lebih dari 90% terjadi di negara
berkembang.8–12% pekerja rumah sakit, sensitif terhadap lateks. Probabilitas penularan HIV
setelah luka tusuk jarum suntik yang terkontaminasi HIV 4: 1000. Risiko penularan HBV setelah
luka tusuk jarum suntik yang terkontaminasi HBV 27–37: 100. Risiko penularan HCV setelah
luka tusuk jarum suntik yang mengandung HCV 3 - 10 : 100 (Sunandar, 2017).

Pelaksanaan kesehatan dan keselamatan kerja rumah sakit tidak akan berjalan dengan baik jika
direktur rumah sakit tidak menetapkan kebijakan untuk seluruh sumber daya rumah sakit.

Kebijakan K3 telah ditetapkan dan masih dalam proses perbaikan yang lebih baik lagi untuk
mewujudkan sarana dan prasarana serta SDM yang lebih baik untuk melaksanakan K3. Namun,
diakui bahwa sarana dan prasarana yang tersedia masih minim, misalnya untuk APD diruang
tertentu belum sesuai dengan standart yang telah ditetapkan karena membutuhkan biaya yang
sangat besar.
Metode

Metode dalam penulisan ini dilakukan dengan mengumpulkan data dari buku, jurnal, dan thesis
dan e-book, kemudian melakukan analisis secara mendalam terkait topik yang dibahas, serta
bersifat subjektif yaitu proses penulisan yang lebih fokus pada landasan teori. Dan melakukan
analisis buku dan e-jurnal yang relevan dan berfokus kepada pengaplikasian berfikir kritis dalam
mengelola informasi dan komunikasi keperawatan. Adapun ejurnal yang digunakan ini adalah
dengan menggunakan google dengan memasukkan kata kunci “ Konsep Dasar K3”. Jurnal yang
digunakan adalah jurnal yang diterbitkan 8 tahun terakhir. Adapun referensi akan dicantumkan
dalam penulisan ini dengan jelas terdapat pada daftar pustaka pada bagian akhir penulisan.

Hasil

Rumah Sakit harus menjamin kesehatan dan keselamatan baik terhadap pasien, penyedia layanan
atau pekerja maupun masyarakat sekitar dari berbagai potensi bahaya di Rumah Sakit. Oleh
karena itu, Rumah Sakit dituntut untuk melaksanakan Upaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja
(K3) yang dilaksanakan secara terintegrasi dan menyeluruh sehingga risiko terjadinya Penyakit
Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Akibat Kerja (KAK) di Rumah Sakit dapat dihindari.
Penyakit akibat kerja di rumah sakit dapat menyerang semua tenaga kerja baik medis maupun
non medis (Anies, 2005). Sehingga sasaran utama K3RS adalah tenaga medis, tenaga non medis,
pasien, pengunjung / pengantar pasien, serta masyarakat sekitar Rumah Sakit.

Bahaya potensial yang dapat menyebabkan penyakit akibat kerja (PAK) yang terjadi di rumah
sakit, umumnya berkaitan dengan faktor biologi (kuman patogen yang umumnya berasal dari
pasien), faktor kimia (pemaparan dalam dosis kecil namun terus menerus seperti antiseptik pada
kulit, gas anestesi pada hati), faktor ergonomi (tata cara duduk, tata cara mengankat pasien),
faktor fisik dalam dosis kecil yang terus menerus (suhu udara panas, listrik tegangan tinggi, dan
radiasi), faktor psikologis ( hubungan kerja antar karyawan atau atasan serta tata cara kerja di
kamar bedah, dibagian penerimaan pasien, di unit gawat darurat dan ruang perawatan.)

Karyawan sebagai aset penting rumah sakit harus dijaga dan dibina agar selalu dalam kondisi
yang sehat dan bebas dari pengaruh negatif yang disebabkan oleh bahaya di tempat kerja.
Berdasarkan tempat kerja karyawan terbagi menjadi 4 zona risiko yaitu zona risiko rendah, zona
risiko sedang, zona risiko tinggi dan zona risiko sangat tinggi. Zona risiko tinggi yaitu karyawan
yang bekerja pada bagian ruangan operasi, ruang bedah mulut, ruang perawatan gigi, ruang rawat
gawat darurat, ruang bersalin dan ruang patologi.

Ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) merupakan bagian dari pelayanan kesehatan yang
dibutuhkan oleh penderita dalam waktu segera untuk keselamatan hidupnya. Di instalasi gawat
darurat setiap saat terdapat kasus dengan berbagai tingkat kegawatan yang harus segera
mendapat pelayanan. Petugas medis sebagai tenaga kesehatan yang kontak dengan pasien harus
selalu cepat, tepat, dan cermat untuk mencegah kematian dan kecacatan. Dalam situasi tersebut
ruang IGD dapat memungkinkan banyak terjadinya kecelakaan kerja pada petugas medis.
Petugas medis di ruang IGD antara lain perawat serta dokter. Perawat merupakan petugas medis
pertama yang menangani pasien sebelum dokter. Dengan beban kerja yang tinggi di ruang IGD
dapat memungkinkan terjadinya stress kerja pada perawat IGD (Kasmarani, 2012). Selain stress
kerja, keluhan muskuloskeletal juga sering dialami oleh perawat IGD (Zurikah, 2016).
Berdasarkan hal tersebut maka perawat lebih berisiko tinggi terjadinya penyakit akibat kerja di
ruang IGD bila dibandingkan dengan dokter.

Pembahasan

Berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 66 tahun 2016 tentang
kesehatan dan keselamatan kerja rumah sakit menyatakan bahwa pelayanan kesehatan kerja
wajib diberikan kepada SDM rumah sakit secara paripurna meliputi pelayanan promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif yang bertujuan untuk peningkatan dan pemeliharaan derajat
kesehatan fisik, mental dan sosial yang setinggi-tingginya bagi SDM disemua jenis
pekerjaannya.

Undang – undang Republik Indonesia No 44 tahu 2009 pasal 8 ayat 1 menyatakan bahwa
persyaratan lokasi harus memenuhi ketentuan kesehatan, keselamatan lingkungan dan tata ruang
serta sesuai dengan hasil kajian kebutuhan dan kelayakan penyelenggaran rumah sakit. Pasal 9
ayat 2 menyatakan bahwa persyaratan teknis bangunan rumah sakit, sesuai deng fungsi,
kenyamanan dan kemudahan dalam pemberian pelayanan serta perlindungan dan keselamatan
bagi semua orang.

Pasal 16 ayat 2 peralatan medis harus diuji dan dikalibrasi secara berkala. Berdasarkan
wawancara dengan direktur RSUD rumah sakit telah melaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dilihat dari lokasi rumah sakit sudah memenuhi standar,
rumah sakit sudah sesuai fungsi, alat-alat diuji dan dikalibrasi.

Tujuan pelaksanaan kesehatan dan keselamatan kerja (k3) antara lain, menciptakan lingkungan
kerja yang selamat dengan melakukan penilaian secara kualitatif dan kuantitatif dan menciptakan
kondisi yang sehat bagi karyawan, keluarga dan masyarakat sekitarnya melalui upaya promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif. Dan untuk promosi kesehatan di tempat kerja menurut WHO
adalah berbagai kebijakan dan aktifitas di tempat kerja yang dirancang untuk membantu pekerja
dan perusahaan di semua level untuk memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan dengan
melibatkan partisipasi pekerja, manajemen dan stakeholder lainnya. Upaya promotif K3
dilakukan agar peningkatan kesehatan (health promotion) dan perlindungan khusus. Peningkatan
kesehatan di tempat kerja dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan dengan berbagai metode
dan media yang intraktif. Misalnya diklat manajemen risiko, diklat tanggap darurat bencana,
penyuluhan gizi kerja, penyuluhan tuberkulosis di tempat kerja dan berbagai kegiatan lainnya
sesuai skala prioritas perusahaan. Sedangkan perlindungan khusus (spesific protection) adalah
upaya promosi K3 dalam mencapai tujuan tertentu. Perlindungan khusus ini misalnya pemberian
vaksin bagi pekerja yang akan bertugas ke daerah dengan endemik penyakit tertentu,
pengendalian lingkungan kerja secara teknis, administrasi dan pemakaian alat pelindung diri,
penyesuaian antara manusia dengan lingkungan kerja. Dan tujuan K3 juga merupakan mencegah,
megurangi, bahkan menihilkan resiko penyakit dan kecelakaan akibat kerja (KAK) serta
meningkatkan derajat kesehatan para pekerja sehingga produktivitas kerja meningkat. Dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, upaya
kesehatan kerja ditunjukkan untuk melindungi pekerja agar hidup sehat dan terbebas dari
gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan sehingga sudah
seharusnya pihak pengelola RS menerapkan upaya-upaya K3 di RS. K3 termasuk sebagai salah
satu standar pelayanan yang dinilai di dalam akreditasi RS, disamping standar pelayanan lainnya.

Dari sudut pandang kesehatan kerja, sistem kerja mikro mencakup empat komponen kerja, yaitu
pekerja, lingkungan kerja, pekerjaan, pengorganisasian pekerjaan dan budaya kerja. Setiap
komponen kerja mempunyai sumber atau situasi yang berpotensi menimbulkan kerugian bagi
kesehatan pekerja. Hal tersebut dapat berupa luka atau gangguan kesehatan. Sumber atau situasi
yang potensial tersebut dikenal sebagai hazard atau faktor risiko yang dapat berupa (1) hazards
tubuh pekerja (somatic hazards); (2) hazards perilaku kesehatan (behavioural hazards); (3)
hazards lingkungan kerja (enviromental hazards) berupa faktor fisik, kimia dan biologik; (4)
hazards pekerjaan (work hazards) berupa faktor ergonomik; (5) hazards pengorganisasian
pekerjaan (work organization hazards) dan (6) hazards budaya kerja (work culture hazards)
berupa faktor psikosial.

Pada kondisi tertentu Hazard kesehatan dapat menjadi nyata dan menimbulkan luka atau
gangguan kesehatan. Peluang hazard kesehatan untuk menjadi kenyataan disebut sebagai risiko
yang diukur dengan konsekuensi dan peluang kejadian konsekuensi tersebut. Risiko semakin
besar jika konsekuensi gangguan kesehatan yang ditimbulkan berat, peluang atau frekuensi
kejadian tersebut kerap. Sistem kesehatan kerja merupakan kegiatan pengendalian risiko
kesehatan yang mencakup rekognisi hazard, penilaian risiko dan intervensi risiko.

Sistem kesehatan kerja dibangun di atas empat komponen yang sama, dengan melakukan
serangkaian upaya kesehatan kerja, agar setiap komponen menjadi sehat Dengan mengenal
/rekognisi hazard yang bersumber dari (1) perilaku hidup, perilaku bekerja, kapasitas kerja dan
status kesehatan pekerja, (2) lingkungan kerja, (3) pekerjaan, serta (4) pengorganisasian
pekerjaan dan budaya kerja. Selanjutnya, menilai besar risiko masing-masing hazard (faktor
risiko); dan dilanjutkan dengan intervensi, berupa upaya untuk meniadakan atau meminimalkan
risiko yang ditimbulkannya.

Kontribusi Kesehatan Kerja dalam sistem kerja yang utama adalah (1) mempertahankan,
meningkatkan derajat kesehatan dan kapasitas kerja fisik pekerja; (2) melindungi pekerja dari
efek buruk lingkungan, pekerjaan serta pengorganisasian pekerjaan dan budaya kerja.

Pelayaan kesehatan kerja yang difokuskan pada upaya promotif dan preventif seperti yang
tercantum dalam definsi Komisi Gabungan ILO/WHO pada tahun 1950 dan 1995. Hal tersebut
terutama ditekankan pada upaya peningkatan/ promosi dan pencegahan penyakit. Pelaksanaan
kesehatan kerja di Indonesia bersifat komprehensif yang mencakup upaya promotif dan preventif
serta mencakup pula upaya kuratif dan rehabilitatif (objek empiris ilmu kedokteran kerja). Hal
tersebut sesuai dengan kewajiban peraturan perundang-undangan di Indonesia (Permenakertrans
& Koperasi No.Per. 03/Men/1982 tentang Pelayanan Kesehatan Kerja dan UU No. 13 tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan). Pelayanan kesehatan kerja yang komprehensif juga tercantum
dalam Basic Occupational Health Services yang diusulkan oleh ICOH tahun 2005. Ruang
lingkup atau fungsi pokok pelayanan kesehatan kerja yang komprehensif meliputi enam area
promotif dan preventif ditambah satu area kuratif dan rehabilitatif.

Pertama, penempatan pekerja pada pekerjaan/jabatan yang sesuai (fit) dengan kapasitas kerja dan
status kesehatannya, merupakan upaya preventif. Kesesuaian tersebut adalah keserasian antara
status kesehatan, kapasitas dan kapabilitas pekerja secara fisik, mental dan sosial, dengan
tuntutan kondisi kerja yang bersumber dari lingkungan, pekerjaan, pengorganisasian pekerjaan
dan budaya kerja. Pemeriksaan kesehatan dilakukan sebelum penempatan (pre-placement test),
untuk pekerja baru dan pekerja lama yang akan dipindah tugaskan. Untuk itu, perlu deskripsi
tuntutan tugas (task demand) meliputi data kondisi lingkungan higiene industri, kondisi
pekerjaan ergonomi dan kondisi psikososial yang bersumber dari pengorganisasian pekerjaan
dan budaya kerja.

Kedua adalah promosi kesehatan di tempat kerja/PKDTK (workplace health promotion) untuk
meningkatkan derajat kesehatan dan kapasitas kerja serta pencegahan penyakit, merupakan
upaya promotif dan preventif. PKDTK bertujuan untuk mengendalikan faktor risiko yang
bersumber dari perilaku, misalnya pola makan, aktivitas fisik, berat badan, konsumsi rokok,
alkohol atau narkoba, untuk mencegah penyakit degeneratif seperti penyakit jantung koroner,
stroke dan hipertensi. PKDTK adalah ilmu dan seni yang membantu pekerja dan manajemen
mengubah perilaku hidup dan perilaku bekerja untuk mencapai kapasitas kerja dan tingkat
kesehatan yang optimal, sehingga meningkatkan kinerja. produktivitas dan kapasitas kerja. Di
lapangan, PKDTK diaplikasikan sebagai program yang dirancang melalui proses peningkatan
pengetahuan, sikap, perilaku dan keterampilan (pendidikan), dari, oleh, untuk dan bersama
masyarakat di tempat kerja. Hal tersebut sesuai dengan kondisi dan potensi tempat kerja, dengan
pendekatan pendidikan, organisasi, masyarakat lingkungan dan keluarganya, sehingga mampu
mengendalikan kesehatan pekerja.

Ketiga adalah perbaikan lingkungan kerja, merupakan upaya preventif. Perbaikan dilakukan
dengan mengendalikan berbagai faktor risiko kontaminan fisik, kimia, dan biologi. Faktor risiko
fisik meliputi panas, bising, getaran dan radiasi. Faktor risiko kimia antara lain meliputi merkuri,
timah hitam, benzene, kloroform, organofosfat dan parakuat. Faktor risiko biologi antara lain
meliputi virus HIV/AIDS, leptospirosis dan hepatitis B. Barbagai faktor risiko yang bersumber
dari lingkungan kerja tersebut dikendalikan agar tidak melebihi nilai ambang batas yang
diperkenankan. Upaya yang kompleks ini telah berkembang menjadi Ilmu Higiene Industri
(Industrial Hygiene).
Keempat adalah perbaikan pekerjaan, merupakan upaya preventif. Perbaikan dilakukan dengan
menyesuaikan tuntutan tugas dengan kemampuan fisik dan mental pekerja serta mengendalikan
faktor risiko ergonomi yang bersumber dari pekerjaan. Sebagai contoh, desain mesin, desain
work station, posisi duduk, alat bantu tangan, beban angkat angkut diupayakan agar pekerja
terhindar dari postur janggal yang dapat menimbulkan gangguan muskuloskeletal (trauma
kumulatif). Upaya yang kompleks ini ini juga telah berkembang menjadi Ilmu Ergonomi
(Ergonomy).

Kelima adalah pengembangan pengorganisasian pekerjaan dan budaya kerja merupakan upaya
preventif. Pengembangan dilakukan dengan memperbaiki kondisi faktor risiko stres psikososial
yang bersumber dari pengorganisasian pekerjaan dan budaya kerja (Work Organization and
Work Culture). Sebagai contoh desentralisasi dalam perencanaan tugas, penerapan konsep tugas
penuh, otonomi tugas yang masih terintegrasi dengan tujuan ornagisasi yang lebih tinggi
tingkatan nya, perbaikan beban kerja, status kepegawaian, sistem pengupahan, gaya manajemen,
komunikasi antar pekerja maupun antara pekerja dan pimpinan.

Keenam adalah surveilans kesehatan pekerja, merupakan upaya preventif. Surveilans kesehatan
kerja meliputi kegiatan: a) mengumpulkan data faktor risiko kesehatan di tempat kerja yang
bersumber dari lingkungan kerja, pekerjaan, pengorganisasian pekerjaan dan budaya kerja; data
kesehatan (dari hasil pemeriksaan kesehatan sebelum kerja, berkala dan khusus serta data
kunjungan pengobatan/perawatan) dan kemangkiran pekerja; b) melakukan analisis dan
interpretasi data berdasarkan kaidah epidemiologi untuk melihat frekuensi, distribusi dan trend
perkembangan faktor risiko dan gangguan kesehatan, menilai hubungan faktor risiko dan
gangguan kesehatan pekerja; c) komunikasi data dan hasil analisis untuk digunakan dalam
rencana perbaikan. Pencatatan dan pelaporan upaya pelayanan kesehatan kerja dan kasus
KAK/PAK (secara agregat), dilaporkan kepada manajemen, serikat pekerja dan Dinas
Kesehatan, Dinas Tenaga Kerja dan Tansmigrasi. KAK/PAK secara individu (by name) hanya
dilaporkan dengan cara yang menjunjung tinggi kode etik untuk kepentingan kompensasi.
Dokumentasi termasuk rekam medik dijaga kerahasiaannya dan dipertahankan minimal 30
tahun, bahkan ada yang menganjurkan dipertahankan seumur hidup.

Fasilitas pelayanan kesehatan menjamin keselamatan pasien dalam kesinambungan pelayanan


dan menjamin koordinasi antar tenaga dan antar unit pelayanan. Selain koordinasi pelayanan
yang menyeluruh untuk kesinambungan pelayanan, rumah sakit harus memiliki koordinasi
pelayanan yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan kelayakan sumber daya secara
berkesinambungan sehingga pada seluruh tahap pelayanan transisi antar unit pelayanan dapat
berjalan dengan baik dan lancar.

Terkait dengan program pendidikan, pelatihan dan orientasi petugas kesehatan selalu diberikan
apalagi untuk staf baru kegiatan pelatihan selalu diberikan tidak hanya kegiatan pelatihan di
dalam rumah sakit tetapi diluar rumah sakit juga dilakukan kegiatan pelatihan sebagai tambahan
untuk ilmu yang bisa diterapkan di rumah sakit.
Penutup

Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah suatu sistem yang membuat asuhan keperawatan
terhadap pasien lebih aman, baik itu dalam pelaporan, analisis insiden dan kemampuan belajar
dari insiden dan tindak lanjutnya. Tujuan dari K3 ini sendiri agar meminimalisir insiden atau
kejadian yang tidak diinginkan terjadi yang berpotensi menyebabkan cidera. Sistem K3
seharusnya dikuasai perawat dalam memberikan asuhan keperawatan agar tindakan bisa
diberikan dengan benar dan minim terjadi kesalahan dalam memberikan tindakan keperawatan.

Daftar Pustaka

Iskandar,E. (2017). Tata Kelola dan Kepatuhan Penerapan Standar Patient Safety Penyakit
Stroke di Rumah Sakit Dr. Kanujoso Djatiwibowo Tahun 2015. Jurnal Administrasi Rumah
Sakit,Vol 3,(3).

Ivana,A. , dkk. (2014). Analisa Komitmen Manajemen Rumah Sakit (RS) Terhadap Keselamatan
Dan Kesehatan Kerja (K3) Pada RS Prima Medika Pemalang. Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-
Journal), Vol 2, No 1

Juniarti,N.H. (2018). Penerapan Standar Keselamatan Pasien di Rumah Sakit Umum Daerah
Provinsi Nusa Tenggara Barat. Jurnal Kesehatan Poltekkes Ternate, 11(2), : 93 – 108.

Mandey, S. (2020). Faktor Psikologi dan Perilaku dengan Penerapan Manajemen Keselamatan
dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit. Indonesian Journal of Public Health and Community
Medicine.

Nazirah,R. (2017). Perilaku Perawat dalam Penerapan Manajemen Kesehatan dan Keselamatan
Kerja (K3) di Aceh. Idea Nursing Journal.

Octavia,W.R. , dkk. (2018). Penerapan Pelayanan Kesehatan dan Keselamatan Kerja pada
Perawat IGD Rumah Sakit Umum DR.Wahidin Sudiro Husodo Mojokerto Tahun 2017. Jurnal
Gema Kesehatan Lingkungan, 16,(1).

Olii,G. , dkk. (2019). Gambaran Penerapan Standar Pelayanan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Rumah Sakit (K3RS) di RSUD Datoe Binangkang Kabupaten Bolaang Mongondow. Jurnal
KESMAS, Vol. 8,(6).

Purba,H.I.D. , dkk. (2018). Studi Kebijakan, Perencanaan dan Pelaksanaan Keselamatan dan
Kesehatan Kerja Rumah Sakit (K3RS) di Rumah Sakit Umum (RSU) Mitra Sejati Medan Tahun
2018. Jurnal Mutiara Kesehatan Masyarakat, 3,(2), : 113 - 124.
Salmawati, L (2015). Hubungan Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan
Kerja dengan Motivasi Kerja dan Stres Kerja pada Perawat di Rumah Sakit Umum Anutapura
Palu. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan.

Simamora, R. H. (2011). ROLE CONFLICT OF NURSE RELATIONSHIP WITH


PERFORMANCE IN THE EMERGENCY UNIT OF HOSPITALS RSD DR. SOEBANDI
JEMBER. The Malaysian Journal of Nursing, 3(2), 23-32.

Yuliandi.C.D. , (2019). Penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di LIingkungan Kerja
Balai Ins Inseminasi Buatan (BIB) Lembang. Jurnal Manajerial, Vol. 18 No. 2, Hal – 100.

Anda mungkin juga menyukai