KATA
PENGANTAR................................................................................................
... ...... i
DAFTAR
ISI..................................................................................................................
...... ii
BAB
I. PENDAHULUAN......................................................................................
...... ...... 1
A. Latar Belakang
Masalah............................................................................................ 1
B. Rumusan
Masalah............................................................................................... ...... 1
C. Tujuan
Pembahasan............................................................................................ ......
1
BAB
II. PEMBAHASAN........................................................................................
..... ...... 2
1. Biografi Ibn
Sina........................................................................................................ 2
2. Karya-katya Ibn
Sina.................................................................................................. 8
3. Filsafat Ibn
Sina.......................................................................................................... 9
BAB
III. PENUTUP................................................................................................
...... ...... 23
1. Kesimpulan.........................................................................................
................. ...... 23
2. Saran....................................................................................................
................ ...... 24
DAFTAR
PUSTAKA.....................................................................................................
...... 25
BAB I
PENDAHULUAN
1. Wajib al-wujud
Esensi yang mesti mempunyai wujud. Di sini esensi tidak dapat
dipisahkan dari wujud, keduanya sama dan satu. Esensi ini tidak dimulai
dari tidak ada, kemudian berwujud, tetapi ia wajib dan mesti berwujud
selama-lamanya.
2. Mumkin al-wujud
Esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh juga tidak berwujud.
Dengan istilah lain, jika dia diandaikan tidak ada atau diandaikan ada
maka tidak mustahil, yakni boleh ada boleh juga tidak ada.
Dengan demikian, dalam menetapkan yang pertama (Allah) kita
tidak perlu memerlukan perenungan sendiri, tanpa memerlukan
pembuktian wujud-Nya dengan salah satu makhluk-Nya, namun
pembuktian dengan dalil di atas lebih kuat, lebih lengkap dan sempurna.
Kedua macam pembuktian telah digambarkan dalam Al-Qur’an dalam
surat Fusshilat ayat 53 yang berbunyi:
e. Hukum Sebab Musabab[7]
Ibn Sina menggambarkan sebab atau wakil di mulai dengan sebab
ini. mutakallimun berpendapat bahwa pencipta alam adalah sebagai akibat
dari atau hasil dari tuhan yang bertindak sebagai pencipta. Pendapat ini
digunakan berbagai istilah dalam bahasa arab yang artinya sama dengan
penciptaan, penghasilan, pembuatan, pekerjaan, pembawaan kepada wujud
dan lain–lain. Seperti arsitek, sebelum arsitek membuat rumah, rumah itu
tidak ada, kalau rumah itu sudah ada berarti rumah itu sudah tidak
membutuhkan lagi wakil atau sebab untuk ada. Penciptaan alam oleh
tuhan berbeda dengan pembuatan sebuah rumah oleh arsitek:
a. Rumah kalau sudah dibangun ia tidak perlu lagi wakil, sedangkan
alam selamanya perlu wakil. Sesudah dia diciptakan, ia butuh terus
kepada tuhan.
b. Wakil adalah dalam waktunya mendahului dari rumah itu. Dengan
perkataan lain, sebab mendahului perbuatan dalam segala perbuatan
yang terjadi dalam alamTuhan adalah sebab yang efisien dari alam, tidak
perlu didahului oleh waktu. Dengan kata lain ibnu sina memandang antara
sebab dan akibat, walaupun bagaimana sebab itu, datang juga dari sebab.
Ibnu sina mengarang sebuah karangan tentang Al-Isyk (Kehendak).
Dia berkata : “kehendak adalah unsur murni dari wujud. Kemudian wujud
makhluk dijelmakan oleh kehendak dan bersatu dengan dirinya sendiri
atau wujud dan kehendaknya adalah sama”. Dalam bagian ini ibnu sina
berkata : “teranglah, bahwa dalam setiap makhluk terdapat suatu
kehendak batin. Kehendak batin ini dengan kebutuhannya menjadi sebab
dari penciptanya. Setiap unsur ditemani kehendak batin yang senantiasa
kelihatan padanya, yang menyebabkan wujudnya”. Pengertian ini menjadi
bentuk filsafat cahaya akal dari ibnu sina. Pendiriannya yang menolak
gambaran tuhan sebagai wakil sebab, memungkinkan orang tuk
mempelajari pendiriannya tentang Tuhan Maha Mengatur.
1. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama,
1999.
Fakhry, Majid. Sejarah Filsafat Islam. Bandung: Mizan, 2001.
Dedi Supriadi. Pengantar Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2013.
Ahmad Hanafi. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Ahmad Fuad Al-Ahwani. Filsafat Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.
Harun Nasution. Falsafat dan Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan
Bintang, 1992.
Oemar Amin Hoesin. Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Sudarsono. filsafat islam jakarta: Rineka cipta, 2004.
[1]) Ahmad Fuad al-Ahwani, Ibn Sina (kairo: Dar al-Ma’arif) hal.20
[2]) De Boer, hal, 166
[3] Shams Inati, “ Ibnu Sina” dalam Eksiklopedia Tematis Filsafat Islam (Editor:Sayyed Hosen
Naser & Oliver Leaman) (Bandung: Mizan, 2003),hlm.286.
[4] Ibid, hal. 197. Lihat juga aristoteles, De anima
[5] Yunasril Ali, perkembangan Pemikiran filsafat Islam (Jakarta: Bumi Aksara) hal. 63
[6] Ibid. Hal. 206. Lihat juga Ibn Sina, Ahwal al-Nafs, hal. 1141
[7] Sudarsono, op. Cit, hlm. 47
[8] Ibid, hlm. 49
[9] Ibid, hlm. 52
[10] A. Tafsir. Ilmu Pendidikan dalam persfektif islam (Bandung: Rosdakarya) hal.83
[11] Lihat lebih detailnya dalam M.M. Syarif. Para Filosof. Hal. 102