Anda di halaman 1dari 4

Judul Difusi Inovasi Pembelajaran Kontekstual dalam Pendidikan

Kewarganegaraan
Jurnal Jurnal Ilmu Pendidikan
Jilid dan Nomor Jilid 17 dan nomor 3
Tahun 2010
Penulis Kokom Komalasari
Reviewer Chiata Imas Galuh Prasetiyo (12506194017)
Tanggal 17 Oktober 2020

Tujuan Penelitian Untuk mendeskripsikan pelaksanaan, kendala, resistensi, serta faktor


yang harus diperhatikan dalam difusi inovasi pembelajaran
kontekstual.
Subjek Penelitian Peserta didik SMP se-Jawa Barat dengan sampel 1.004 peserta didik
dan 16 guru Pendidikan Kewarganegaraan yang telah mengikuti
pelatihan terintegrasu berbasis kompetensi.
Metode Penelitian Mix Methods ( the dominant-less dominant design) pendekatan
kuantitatif menggunakan survei dan pendekatan kualitatif
menggunakan wawancara.
Langkah Penelitian 1. Melakukan survey
2. Melakukan wawancara
Hasil Penelitian 1. Hasil analisi deskriptif dan uji kecenderungan terhadap data
persepsi peserta didik tentang kondisi pembelajaran kontekstual
dapat diketahui bahwa sebagian besar (87,22%) kondisi
pembelajaran kontekstual dalam pendidikan kewarganegaraan di
SMP Jawa Barat termasuk kategori sedang/cukup, sebagian
(11,67%) termasuk kategori tinggi, dan hanya sebagian kecil saja
(1,11%) yang termasuk kategori rendah. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa menurut persepsi peserta didik sebagian
beasr SMP di Jawa Barat cukup baik kondisinya dalam penerapan
pendekatan kontekstual pembelajaran pendidikan
kewarganegaraan.
2. Variabel pembelajaran kontekstual dalam penelitian ini terdiri
dari enam sub, yaitu pembelajaran pendidikan kewarganegaraan
yang menerapkan konsep keterkaitan (X1), konsep pengalaman
langsung (X2), konsep aplikasi (X3), konsep kerjasama (X4),
konsep pengaturan diri (X5), dan konsep asesmen otentik (X6).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa diantara variabel
pembelajaran kontekstual, kosep kerjasama yang paling tinggi
(929,48%) diterapkan dalam pembelajaran pendidikan
kewarganegaraan, disusul dengan konsep pengaturan diri
(20,02%), keterkaitan (14,08%), dan aplikasi (12,08%). Konsep
yang masih dianggap kurang diterapkan adalah konsep
pengalaman langsung dan asesmen otentik.
3. Hasil wawancara dengan guru pendidikan kewarganegaraan
menunjukkan hasil bahwa pembelajaran kontekstual dalam
pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu inovasi pembelajaran
dalam pelaksanaannya menghadapi berbagai kendala, yaitu a.
Sarana dan prasarana, media dan alat pembelajaran di sekolah
masih kurang memadai dan sumber belajar i luar sekolah tidak
terjangkau. b. Keterbatasan akses terhadap sumber informasi
(surat kabar dan media elektronik). c. Budaya belajar mandiri dan
gemar membaca buku masih rendah. d. Keterbatasan waktu dan
biaya. e. Dukungan moral dan material manajemen sekolah,
orang tua, masyarakat, dan instansi terkait masih kurang. f.
Kedalaman materi kurang tercapai karena materi pendidikan
kewarganegaraan dalam kurikulum cukup sulit dan tidak sesuai
dengan tingkat perkembangan kemampuan berpikir peserta didik
SMP. g. Penilaian pembelajaran pendidikan kewarganegaraan
rumit, terutama berkaitan dengan disposisi dan ketrampilan
kewrganegaraan. h. Pendidikan dan pelatihan kemampuan
metodologi pembelajaran bagi guru masih kurang dan tidak
merata.
4. Hasil wawancara menunjukkan bahwa beberapa faktor penyebab
inovasi pembelajaran konstekstual sering ditolak oleh para
pelaksana inovasi di sekolah sebagai berikut: a. Sekolah atau
guru tidak dilibatkan dalam proses perencanaan, penciptaan, dan
bahkan pelaksanaan inovasi pembelajaran kontekstual tersebut
sehingga inovasi tersebut dianggap bukan miliknya dan tidak
perlu dilaksanakan karena tidak sesuai dengan kondisi dan
keinginan sekolah mereka. b. Guru inin mempertahankan sistem
pembelajaran konvensional/tradisonal yang mereka lakukan saat
ini karena saat ini karena sudah mereka laksanakan bertahun-
tahun dan tidak ingin diubah. Disamping itu sistem yang mereka
miliki dianggap aman atau kepuasan serta sudah baik sesuai
dengan pikiran mereka. c. Inovasi yang dibuat oleh orang lain
terutama dari pusat (khususnya Depdiknas) belum sepenuhnya
melihatkondisi dan kebutuhan guru, peserta didik, dan sekolah. d.
Inovasi yang diperkenalkan dari pusat merupakan kecenderungan
sebuah proyek yang segala sesuatunya ditentukan oleh pencipta
dari pusat. Inovasi ini bisa berhenti kalau proyek itu selesai atau
kalau finansial sudah tidak ada. Dengan demikian pihak sekolah
atau guru terpaksa melakukan perubahan sesuai dengan kehendak
para inovator di pusat dan tidak punya wewenang untuk
menubahnya. e. Kurangnya pendidikan dan pelatihan yang
memadai, menyeluruh, dan tersistem tentang pembelajaran
kontekstual sehingga masih banyak guru yang belum mengetahui,
memahami, apalagi menerima, dan menerapkan pembelajaran
kontekstual dalam proses pembelajaran. Sementara itu, guru yang
sudah mengikuti pelatihan pembelajaran kontekstual sulit
menyosialisasikan kepada rekan guru lainnya.
5. Hasil wawancara menyatakan bahwa berbagai upaya telah
dilakukan untuk menghadapi kendala tersebut, diantaranya:
melakukan kegiatan terpadu antar mata pelajaran, meningkatkan
motivasi belajar mandiri dan motif berprestasi peserta didik
melalui kompetisi dalam pencapaian nilai dan pemberian reward,
mengoptimalkan sarana dan prasarana media dan alat
pembelajaran yang ada di lingkungan sekitar, swadaya biaya dari
peserta didik dan guru, melakukan kerjasama dengan instansi
terkait, memotivasi orang tua untuk mendukung keberhasilan
belajar anak melalui rapat orang tua, home visit, dan komite
sekolah, mengoptimalkan peran MGMP sebagai peer group
untuk berbagi informasi perkembangan materi, metode, media,
sumber, dan evaluasi pembelajaran pendidikan kewarganegaraan,
melibatkan seluruh pihak dalam inovasi pembelajaran untuk
meningkatkan mutu hasil belajar peserta didik.
Kelemahan Penelitian 1. Penelitian ini belum mencantumkan penelitian sebelumnya.
2. Peneliti juga tidak mencantumkan berapa jumlah narasumber yang
di wawancarai
Kelebihan Penelitian 1. Penelitian ini tidak hanya menggunakan satu metode penelitian.
2.
Kesimpulan Pelaksanaan pembelajaran kontekstual dalam pendidikan
kewarganegaraan di Jawa Barat menurur persepsi peserta didik
masuk kategori sedang/cukup. Diantara enam karakteristik
pembelajaran kontekstual pengalaman langsunh (experiencing) dan
asesmen otentik paling rendah penerapannya. Terdapat beberapa
kendala pelaksanaan pembelajaran kontekstual dalam pendidikan
kewarganegaraan, kepemimpinan kepala sekolah yang kurang
mendukung, sarana dan prasarana pembelajaran yang kurang
memadai, kualitas guru masih rendah dan tidak merata, kondisi
peserta didik kurang mendukung, biaya dan dana tidak memadai,
keterbatasan waktu, dukungan orang tua, masyarakat, dan instansi
sebagai sumber belajar, kejelasan kurikulum, dan tingkat kesulitan
materi dalam kurikulum. Terdapat resistensi terhadap pembelajaran
kontekstual yang bersifat demokratis dan memberdayakan peserta
didik dari beberapa guru yang melanjutkan praktik budaya dan
subbudaya politik otoriter dalam pembelajaran. Oleh karena itu,
dalam difusi inovasi pembelajaran kontekstual perlu diperhatikan
faktor-faktor guru, peserta didik, fasilitas, biaya, iklim sekolah,
dukungan orang tua dan masyarakat, kurikulum dan perubahan
budaya.

Anda mungkin juga menyukai