Anda di halaman 1dari 13

SCOPE AND SQUENCE

Makalah Ini Guna Untuk Menyelesaikan Tugas


Mata Kuliah:
PENGEMBANGAN KURIKULUM

Dosen Pengampu:
Dr. Iksan, M.Pd.I

Disusun Oleh:
Nur Qomariyah (201912120417)
Istifadah (201912120418)
Sugianto (201912120423)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PEDIDIKAN ISLAM


JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL FITHRAH
SURABAYA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah tentang “Scope and Squence” ini guna memenuhi tugas
mata kuliah Pengembangan Kurikulum. Selamat dan sejahtera kita curahkan
kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan para pengikut – pengikut
beliau.

Atas terselesaikannya makalah ini penulis mengucapkan terimakasih


kepada Bapak selaku Dosen mata kuliah, kepada kedua Orang Tua, dan seluruh
pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini dengan baik.

Harapan kami, semoga makalah ini dapat membantu dan memahami bagi
siapapun yang membacanya dan bermanfaat bagi dunia pendidikan dalam
menambah wawasan serta pengetahuan pengembangan kurikulum tentang “Scope
and Squence” bagi pembaca. Kami telah berusaha menyusun makalah ini
sesempurna mungkin, tetapi kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih jauh
dari kata sempurna.

Tim Penulis

Surabaya, 26 September 2021


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan kebutuhan yang mendasar bagi setiap manusia


untuk mengembangkan daya pemahaman dan pola kritis peserta didik dalam
menuju kedewasaan. Dengan adanya lembaga pendidikan seperti : sekolah,
perguruan tinggi, dan lain-lain. Disitulah pendidik mentransferkan warisan
budayanya, dengan pengetahuan yang ia miliki, serta nilai-nilai dan
keterampilan-keterampilan dari generasi ke generasi. jika kemajuan
masyarakat semakin mengalami perkembangan, serta permasalahan yang
dihadapi oleh pendidikan juga banyak perkembangan, sehingga menuntut
manusia berada dalam pemikiran-pemikiran yang sistematik tentang
pendidikan.
Sungguh, hal yang demikian bisa menimbulkan terbentuknya kurikulum
tersebut untuk peserta didik harus menyesuaikan dalam pembelajaran yang
ada kepada  peserta didik dan kemajuan manusia dalam pemikiran-pemikiran
yang sistematis.
Namun, masih ada banyak para pengajar di sekita kita yang belum
mengetahui dan memahami tentang pembentukan kurikulum yang sesuai
dengan peserta didik mereka. Oleh karena itu makalah ini akan membahas
tentang “Menentukan Scope dan Sequence dalam Pembinaan
Kurikulum” agar kita para pengajar mengerti kurikulum seperti apa yang
akan kita berikan kepada peserta didik.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Scope dan Sequence ?
2. Bagaimana cara menentukan Scope dalam kurikulum ?
3. Bagaimana cara menentukan kriteria bahan pelajaran ?
4. Apa saja prosedur yang menentukan bahan pelajaran ?
5. Bagaimana cara menentukan Sequence dalam kurikulum ?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dalam penulisan makalah ini untuk meningkatkan
pengetahuan pembaca perihal pengembangan kurikulum terkait
menentukan scope dan sequence.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Scope dan Sequence


Scope merupakan ruang lingkup secara keseluruhan pada pengalaman
belajar yang akan diberikan kepada siswa yang sudah terbentuk bidang studi,
misalnya bidang study IPA untuk SMP (biologi) yang diperinci menjadi
pokok bahasan dan sub pokok bahasan yang mengandung ruang lingkup
bahannya sendiri. Untuk mendapat bahan yang lebih jelas dapat diperoleh dari
buku, buku paket atau sumber pokok dari pembelajaran
Sequence yaitu susunan atau urutan bahan pelajaran atau pengalaman
belajar menurut aturan tertentu secara terperinci. Ukuran tersebut disusun
sedemikian rupa sehingga bahan yang disajikan untuk kelas 2 berbeda, kelas 3
dan seterusnya. Lebih jelasnya lagi bahwa setiap bahan disusun secara
sistematis itu mempunyai Horizontal antara bidang studi satu dengan yang
lainnya, sedangkan secara vertikal hubungan itu menunjukkan bahwa yang
ada kelanjutannya untuk lebih didalami ditingkat berikutnya. Bahkan
pengalaman-pengalaman belajar yang disusun itu harus memberikan
kemudahan pada anak-anak untuk dianalisis selama proses belajar
berlangsung.1
Scope merupakan pilihan pengalaman belajar yang bersifat melintang/
meluas (latitudinal axis) dan memikirkan “what” dari kurikulum, yang
menurut curriculum planning tepat untuk pencapaian tujuan pendidikan.
Sedangkan sequence mempersoalkan “when” di dalam perencanaan
kurikulum.
William B. Ragan mendiskripsikan secara umum bahwa scope ditentukan
kegiatan-kegiatan dasar yang dikerjakan orang, nilai-nilai dalam masyarakat,
dan masalah-masalah utama yang Nampak.2
B. Menentukan Scope dalam kurikulum
Cara menentukan scope, yaitu sesuatu yang harus diajarkan merupakan
masalah yang bertambah sulit dengan seiring berjalannya waktu. Beberapa
penyebabnya antara lain :
Bahan pelajaran bertambah luas dengan cepat karena berkembang
pesatnya ilmu pengetahuan. keahlian dalam pendidikan semakin meluas dan
setiap beberapa keahlian memerlukan bahan pelajaran tambahan. Selain itu,
1
Iskandar Wiryokusumo dan Usman Mulyadi, Dasar-dasar Pengembagan Kurikulum, Jakarta:
Bina Aksara, 1988, h, 48.
2
Hendayat soetopo dan Wasty soemanto, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum, Jakarta: PT
Bumi Aksara, 1993, h. 75-76.
waktu belajarpun terbatas demikian pula kemampuan anak untuk menguasai
bahan pelajaran tersebut.
Masih belum ada kriteria yang pasti tentang bahan apa yang perlu
diajarkan kepada peserta didik. serta belum ada cara tentang mengorganisasi
kurikulum yang dapat diterima oleh semua peserta didik.
Mata pelajaran yang tradisional tidak lagi memadai. Timbul pula tujuan
baru seperti berpikir kritis dan kreatif, memahami lingkungan social dan
memahami dunia internasional.
Mata pelajaran lama saja belum difahami maksimal semakin ditambahkan
dengan mata pelajaran yang baru sedangkan mata pelajaran yang baru masih
disampaikan sehingga beban belajar anak bertambah berat dan membuat
pengetahuan anak tersebut dangkal tentang aneka ragam bidang.3
Bahan Pelajaran
Bahan pelajaran (subject matter) terdiri beberapa bagian : pengetahuan,
nilai-nilai, dan keterampilan. Pengetahuan manusia tersusun oleh para ahli
dalam sejumlah kategori yang disebut dengan disiplinnya ilmu.
Penyusunannya juga dilakukan secara rasional, logis, sistematis sehingga
menjadi suatu system yang bulat.
Disiplin ilmu banyak digunakan sebagai kebutuhan yang mendasar dalam
menyusun kurikulum yang berbentuk mata pelajaran seperti fisika, biologi,
sejarah, dan sebagainya. Kurikulum seperti ini mempunyai organisasi yang
logis dan sering tidak ada hubungannya dengan pengalaman anak dalam hidup
anak tersebut sehingga sesuatu yang dipelajari anak hanya sering
menghafalkan kata-kata yang tidak ada maknanya dan karena itulah mereka
tidak bisa memperkaya pengetahuan tentang pribadinya.
Kurikulum yang dianggap lebih bermakna ialah apabila bahan pelajaran
itu dikutip dari pengalaman anak-anak dalam kehidupannya sehari-hari.
Dalam hal ini pengetahuan dari disiplin ilmu itu digunakan secara fungsional
untuk memahami sesuatu permasalahan. Sehingga mata pelajaran disiplin
ilmu itu lah dipakai Setelah anak mencapai pada tingkat perkembangan
tertentu.Organisasi bahan seperti inilah yang disebut psikologis karena
mempertimbangkan minat dan tingkat perkembangan jiwa pada anak.
Yang dijadikan bahan pembelajaran kurikulum bukan hanya diisi dengan
disiplin ilmu berupa pengetahuan, melainkan juga prosesnya. Anak-anak harus
dengan terbiasa diajarkan proses berpikir kritis, proses penemuan, proses cara
memecahkan masalah, dan sebagainya. Aspek proses ini masih kurang dalan
mendapat perhatian. Beberapa matapelajaran yang dianggap sangat penting
oleh semua warga negara yaitu membaca, menulis, dan berhitung. Selanjutnya
ada matapelajaran yang harus diajarkan kepada semua siswa seperti bahasa
3
S. Nasution, Asas-asas Kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara, 1994, h. 230-231.
nasional, pendidikan kewarganegaraan, sejarah nasional, dll. Matapelajaran ini
termasuk pendidikan umum. Tujuannya ialah agar semua warga Negara
mempunyai dasar pemikiran yang sama untuk menjamin kebutuhan negara.
Pengetahuan umum juga diartikan sebagai pendidikan yang luas, serta
memberikan pengetahuan tetang segala macam hal. Menyusun kurikulum
untuk pendidikan umum jauh lebih sulit daripada pendidikan lainnya karena
sulitnya terletak ketika mengadakan pilihan dari bahan yang terlalu banyak
dari pembelajaran.Selain pendidikan yang bersifat umum, kurikulum juga
menyediakan pembelajaran yang memberikan pendidikan khusus kepada
peserta yang dimana tidak semua peserta didik diharuskan belajar
pembelajaran tersebut. Pendidikan khusus ini dikenal dengan sebutan nama
pendidikan kejuruan atau vokasional dapat pula member pendalaman pada
bidang studi tertentu.
Subject matter atau bahan matapelajaran memilih persediaan yang sangat
luas yang dapat disajikan kepada anak-anak untuk dipelajari dan difahami.
Pilihan itu harus dilakukan sebab luasnya bahan yang ada sedangkan waktu
yang diperoleh untuk mempelajarinya itu terbatas.Untuk itu diperlukan
kriteria dalam memilih bahan agar lebih rasional.4
C. Kriteria Penentuan Bahan Pelajaran
Ada beberapa sejumlah kriteria yang digunakan untuk memilih bahan
pelajaran, namun setiap kriteria ini mempunyai kelemahan. Kriteria tersebut
antara lain :
Bahan pelajaran harus dipilih didasarkan atas tujuan yang hendak dicapai.
Untuk tujuan khusus lebih mudah ditentukan bahan pelajarannya dan dapat
segera dinilai keserasiannya. Namun untuk tujuan umum keadaannya lebih
sulit dikarenakan Belum ada alat yang dapat mengukur hasil-hasil pendidikan,
apalagi yang mengenai kepribadian seseorang secara ilmiah.
Bahan pelajaran dipilih karena dianggap berharga sebagai warisan
generasi lampau ke generasi selanjutnya. Namun belum tentu sesuatu yang
berguna pada masa yang lampau masih berguna pada zaman sekarang ini atau
untuk masa yang akan mendatang. Pengetahuan, norma-norma, dan
keterampilan masa lau harus selalu disesuaikan dengan keadaan baru agar
tidak usang.
Bahan pelajaran dipilih karena berguna untuk menguasai serta memahami
suatu disiplin ilmu. Kurikulum yang terlampau isinya mementingkan bahan
pelajaran disiplin tertentu dianggap kurang memenuhi kebutuhan pemuda
pada zaman sekarang dan kurang memperhatikan kebutuhan sosial dalam
masyarakat modern yang dinamis.

4
Ibid; h. 231-233
Bahan pelajaran yang dipilih karena dianggap berharga bagi manusia
dalam hidupnya dan kehidupan sehari-harinya. Pendidikan harus relevan
dengan kebutuhan masyarakat yang ada. Franklin Bobbitt menganalisis bahwa
kegiatan-kegiatan orang dewasa dalam masyarakat agar kegiatan tersebut bisa
diajarkan kepada anak-anak mereka. Namun apa yang baik sekarang belum
tentu baik pula untuk masa depan yang akan datang. Kebutuhan dan sifat
perkembangan anak kurang mendapat perhatian yang utama dari bahan ajaran
tersebut.
Bahan pelajaran dipilih karena sesuai dengan kebutuhan dan minat anak.
Kebutuhan menurut tafsiran orang dewasa, misalnya setiap anak harus belajar
menulis, membaca, sejarah, dan sebagainya. Kebutuhan berdasarkan
perkembangan anak, apa yang benar-benar dirasakan perlu dikembangkan.
Dalam memilih bahan pelajaran dalam pembelajaran anak perlu kita
perhatikan menurut pendapat Hilda Taba yakni bahwa untuk mencapai suatu
tujuan pendidikan kita sebaga pendidik tidak cukup hanya memperhatikan isi
atau bahan pelajaran akan tetapi juga proses pelajaran atau pengalaman
belajart terhadap anak-anak. Dan menurut Hilda taba juga bahwa bahan
pelajaran itu tidak boleh dipisahkan dari pengalaman belajar anak-anak.
Karena lebih baik pelajaran dipusatkan pada sejumlah pokok yang terbatas
yang dapat mengembangkan keterampilan mental anak-anak daripada
berusaha meliputi sejumlah bahan yang luas yang dimana bahan pelajaran
tersebut hanya menghafal secara mendangkal tetapi tidak mengembangkan
kesanggupan mental anak-anak.
Dalam penentuan bahan pelajaran orang-orang yang menyusun kurikulum
dipengaruhi oleh aliran-aliran yang dianutnya. Mereka yang
mengutamakan subject curriculumakan mementingkan bahan yang terkandung
dalam disiplin. Penganut aliran “progresif” akan menentukan bahan pelajaran
terutama berdasarkan minat anak atau pemuda. Mereka yang mengutamakan
fungsi sosial sekolah mengambil aspek-aspek kehidupan sosial yang
berdasarkan untuk menentukan bahan pelajaran. Dalam pembinaan kurikulum
sebaiknya kita perhatikan semua faktor yang turut mempengaruhinya, yaitu
faktor anak, masyarakat, maupun disiplin dalam ilmu pengetahuan.
D. Prosedur Menentukan Bahan Pelajaran
Beberapa cara yang dipilih itu bergantung pada nilai-nilai yang dijunjung
tinggi oleh mereka orang-orang yang menentukan kurikulum. Serasi atau
tidaknya bahan pelajaran yang diajarkan kepada anak-anak itu bergantung
pada tujuan yang ingin dicapai. Berikut ini beberapa prosedur yang diikuti
dalam menentukan bahan pelajaran :
1. Prosedur menerima otoritas para ahli
Langkah pertama ialah terlebih dahulu merumuskan tujuan pendidikan
agar dapat ditentukan bahan pelajaran yang sekiranya paling serasidan sesuai
untuk tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Tujuan pendidikan dapat
ditentukan berdasarkan atas undang-undang dan dokumen-dokumen resmi,
dapat juga berdasarkan studi tentang sosiologi, politik, sejarah, dan
sebagainya. Kemudian diadakan diskusi bersama untuk merumuskan bahan
pelajaran dengan jelas dalam mencapai tujuan-tujuan pendidikan itu.
Di dalam praktek sering terjadi pengarang buku pelajaran lah yang
menentukan bahan pelajaran itu. Prosedur semacam ini banyak diikuti di
lingkungan sekitar kita, karena banyak sekali keuntungannya. Buku pelajaran
harus mempunyai scope dan sequence tertentu, jadi sudah jelas apa yang harus
diajarkan dan bagaimana yang sesuai dengan urutannya. Akan tetapi prosedur
ini juga tidak membangkitkan kreativitas pada guru.
2. Prosedur eksperimental
Prosedur eksperimental ini Bahan pelajarannya dapat ditentukan secara
eksperimental dengan cara mengadakan penelitian hingga mengetahui apakah
bahan itu memang serasi untuk mencapai sasarannya. Biasanya metode
prosedur eksperimental ini banyak digunakan untuk menyelidiki keserasian
bahan yang khusus untuk tujuan yang spesifik agar dapat menguasai faktor-
faktor yang mempengaruhi dan keilmiahannya dapat dipertahankan.
Untuk tujuan-tujuan yang lebih umum, metode ini kurang menyesuaikan
dengan keadaan karena sulitnya menguasai semua faktor, termasuk pribadi
guru dan pengalaman keseharian pada anak. Juga perlu dipikirkan, hingga kita
mengetahui manakah hasil penelitian sekarang yang berlaku untuk masa yang
akan datang karena mempengaruhi setiap selera anak terhadap cerita-cerita
tertentu dan dapat berubah karena perkembangan zaman yang sekarang.
3. Prosedur ilmiah atau analitis
Bahan pelajaran dapat ditentukan dengan menganalisis situasi-situasi di
mana bahan pelajaran itu diperlukan.Dapat dianalisis kegiatan manusia
dewasa dalam kehidupannya sehari-hari, dapat pula dianalisis berbagai
jabatan, misalnya jabatan jururawat, guru penerbang dan sebagainya.Dengan
mengetahui kegiatan, ketrampilan, sikap, pengetahuan dan kompetensi-
kompetensi yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan itu dengan baik,
dapat pula ditentukan bahan pelajaran yang serasi untuk itu.
Analisis pekerjaan atau kegiatan dapat dilakukan dengan berbagai cara,
antara lain mengadakan wawancara tentang segala macam tugas seorang
pekerja, melakukan pekerjaan itu sendiri, atau mengobservasi pekerja
melakukan tugasnya.
Analisis memecahkan keseluruhan tugas dalam kegiatan-kegiatan yang
lebih terinci, sehingga identitas keseluruhan lenyap.Yang dianalisis ialah
keadaan sekarang yang tidak menunjukan keadaan seharusnya.Namun metode
analisis ini sangat berfaedah untuk menentukan bahan pelajaran bagi tugas dan
jabatan yang jelas dan terbatas unsure-unsurnya.
4. Prosedur konsensus
Dapat memperoleh prosedur konsensus itu biasa dengan cara meminta
pendapat orang-orang yang dianggap berwewenang, antara lain pakar ahli
dalam bidang studi tertentu, tokoh-tokoh masyarakat, perusahaan dan
sebagainya.
Namun prosedur konsensus ini berdasarkan tabulasi dan suara terbanyak
belum menjamin dalam menentukan kurikulum keserasian pada bahan
pelajaran. Sesudah ditabulasi tidak lagi diadakan diskusi antara mereka yang
mengisi daftar pertanyaan itu dan interpretasinya jadi terserah pada para
pengolahnya.
5. Prosedur-prosedur lainnya
Prosedur-prosedur lainnya yakni (a) social functions procedure, (b) persistent
life situation procedure dan (c) adolescent needs or problems procedure.5
a. Prosedur fungsi-fungsi sosial
Siswa itu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari
masyarakat, untuk menjadi anggota masyarakat yang baik seorang siswapun
harus melakukan proses penyesuaian diri (sosialization) atau bisa disebut
dengan proses masyarakat dimana dalam proses tersebut siswa harus terlebih
dahulu mengetahui serta mengenal, mempelajarai dan menyesuaikan tingah
lakunya terhadap norma-norma sosial yang berlaku.6
Fungsi-fungsi sosial itu seperti kehidupan sehari-hari contohnya: perlindungan
dan pengawetan hidup, milik, dan sumber alam, produksi, konsumsi,
komunikasi dan transport, dan sebagainya. Itu semua adalah pokok-pokok
sebagai pegangan untuk menentukan bagaimana kegiatan-kegiatan dalam
belajar penyesuaian diri.
Kurikilum seperti ini mengutamakan aspek sosial dan tidak seberapa
menonjolkan pada soal kebutuhan dan minat pelajar, dan juga tidak
mengabaikannya.
b. Prosedure “persistent life situations”
Menurut taraf perkembangan dalam dunia yang kompleks dan dinamis
ini., Prosedur ini memperhatikan kebutuhan dan masalah pada minat anak dan
pemuda. Persistent yakni menetap pada hakikatnya yang sama, dulu, sekarang
maupun di masa mendatang di mana saja akan tetap, akan tetapi situasinya
berbeda-beda dan berubah-ubah.
5
Ibid; h. 237-240
6
Iskandar Wiryokusumo dan Usman Mulyadi, Dasar-dasar Pengembagan Kurikulum, Jakarta:
Bina Aksara, 1988, h, 51.
c. Prosedur kebutuhan atau masalah pemuda
Menurut Prosedur ini antara kebutuhan yang dieprlukan pemuda dengan
masalah – masalah yang mereka hadapi sekarang itu bertitik tolak belakang.
Prosedur ini pernah diterapkan dalam “the Eight Year Study” yang
mengadakan percobaan ini di 30 sekolah menengah di Amerika Serikat.
Dimana Ross Mooney pada saat itu mengumpulkan 132 masalah pemuda yang
digolongkannya dalam 11 bidang, yakni: (1) kesehatan dan perkembangan
jasmani, (2) keuangan, kondisi hidup dan pekerjaan, (3) kegiatan sosial dan
rekreasi, (4) berpacaran, sek dan perkawinan, (5) hubungan sosial-psikologis,
(6) hubungan pribadi-psikologis, (7) moral dan agama, (8) rumah tangga dan
keluarga, (9) masa depan: pekerjaan dan pendidikan, (10) penyesuaian dengan
pelajaran sekolah, (11) kurikulum dan pengajaran.7 Kebutuhan tersebut harus
diketahui oleh para pendidik atau guru dalam membimbingnya agar mudah
untuk memberikan penyesuaian bagi anak-anak.8
E. Menentukan Sequence Dalam Kurikulum
“Scope” mengenai bahan apa yang akan diajarkan, yaitu ruang lingkup atau
luas bahan pelajaran, jenis dan bentuk pengalaman-pengalaman dalam belajar,
terletak pada berbagai tingkat perkembangan anak guna untuk mencapai tujuan-
tujuan pendidikan.
Dengan “sequence” dimaksud pemberian urutan pengalaman dalam belajar.
Sering ini diartikan sebagai kapan pengalaman belajar atau bahan pelajaran itu
harus diberikan, atau disempitkan menjadi di kelas berapa bahan pelajaran tertentu
harus diajarkan kepada anak-anak.
Scope dan sequence sangat erat hubungannya dalam penyusunan kurikulum
seperti suatu bagian dari penyusunan kurikulum yang tidak bisa dihindari , oleh
sebab itu tiap bahan harus diberikan pada waktu yang setepat-tepatnya. Menurut J
Bruner mengatakan bahwa prinsip-prinsip setiap mata pelajaran dapat diajarkan
kepada setiap orang pada setiap usaha dalam suatu bentuk tertentu, oleh sebab itu
ide-ide pokok yang mendasari setiap ilmu sebenarnya sangatlah sederhana.
Sedang J Piaget juga membuktikan bahwa bahan pelajaran yang semula tidak
berhasil bahkan anak-anak lebih cepat dapat berfikir secara formal daripada yang
diduga semula.
Dua Pendekatan
Untuk menentukan urutan bahan pelajaran terdapat dua macam
pendekatan, yaitu :
1. Menentukan bahan pelajaran untuk kelas-kelas tertentu

7
S. Nasution, Asas-asas Kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara, 1994, h. 240-241
8
Ibid; Iskandar Wiryokusumo dan Usman Mulyadi, h. 53.
Pendekatan ini yang diutamakan ialah bahan pelajaran kepada anak
diaman anak tersebut harus menyesuaikan diri dengan bahan pelajaran yang
ada di dalam kelasnya.
2. Menyesuaikan bahan pelajaran bisa dengan taraf perkembangan anak
Agar dapat menentukan bahan pelajaran yang sesuai untuk anak belajar, pada
tahap pertama kita perlu menyelidiki tingkat pengetahuan dan kemampuan
kepada anak tersebut
Faktor-faktor dalam penempatan bahan pelajaran
1. Taraf kesulitan bahan pelajaran
Pada umumnya, terlebih dahulu memberikan yang mudah dan sederhana
pada bahan pelajaran daripada yang sukar dan kompleks. Karena tak selalu
mudah dalam menentukan manakah yang mudah dan manakah yang sukar.
Namun bahan pelajaran memang mempunyai tingkat-tingkat kesukaran.
Makin banyak unsur yang terlibat dalam suatu masalah, makin kompleks
problema seperti itulah makin tinggi taraf kesulitan untuk mennetukan bahan
pelajaran. Karena pada kenyataannya dalam penempatan bahan pelajaran perlu
mempertimbangkan taraf kesulitan bahan pelajaran yang akan diberikan
kepada anak-anak.9
2. Apersepsi atau pengalaman lampau
Sesuatu yang baru hanya dapat di pahami berdasarkan pengetahuan atau
pengalaman yang telah dimiliki. Karena itu diusahakan adanya kelanjutan
dalam bahan pelajaran. Pelajaran yang lampau menjadi syarat untuk
memahami pelajaran baru.
Dalam memperoleh pemahaman, individu belajar melalui pengalaman.
Cara coba-coba untuk memperoleh pemahaman erupakan suatu yang penting,
karena menghasilkan pengalaman yang dapat direorganisasi manakala
menghadapi situasi yang sama.
Dalam mempelajari matematika misalnya, tidak hanya dilakukan dengan
mempelajari jawaban soal, tetapi yang paling penting adalah mengalami
proses memperoleh penyelesaian soal sehingga diperoleh pemahaman
terhadap keberadaan soal itu dan mengapa penyelesaian atau jawabannya itu
demikian.10
3. Kematangan anak
Kematangan diakibatkan oleh perkembangan intern, pertumbuhan syarat
atau fisiologis dan di anggap tak dapat di pengaruhi banyak oleh faktor-faktor
luar.Dalam teori sering kita katakan bahwa bahan pelajaran harus disesuaikan
dengan kematangan anak, tanpa sebenarnya mengetahuinya dengan jelas.
9
S. Nasution, Asas-asas Kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara, 1994, h. 244-245.
10
Muhammad Ali, Pengembangan Kurikulum Sekolah, Bandung: Sinar Baru, 1992, h. 41.
4. Usia mental anak
Kita ketahui bahwa anak-anak berlainan kemampuan mentalnya.
Memberikan bahan yang sama kepada anak yang tinggi dan rendah
intelegensinya pasti merugikan anak, sehingga bahan pelajaran diberikan
menurut sequence yang sesuai dengan kesanggupan anak.
5. Minat anak
Minat anak menjadi faktor utama dalam penentuan bahan dan urutannya
disekolah yang “child centered”.Dalam penempatan bahan pelajaran minat
anak sudah sewajarnya perlu diperhatikan, apalagi minat yang timbul sebagai
akibat perkembangan anak.Minat dapat timbul berdasarkan pengatahuan yang
diperoleh dari pelajaran-pelajaran lampau.11
Beberapa hal dapat diusahakan untuk membangkitkan motif belajar pada
anak yaitu pemilihan bahan pengajaran yang berarti bagi anak, menciptakan
kegiatan belajar yang dapat membangkitkan dorongan untuk menemukan
(discovery), menerjemahkan apa yang akan diajarkan dalam bentuk pikiran
yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Sesuatu bahan pengajaran
yang berarti bagi anak disajikan dalam bentuk yang sesuai dengan tingkat
kemampuan berpikir anak, dan disampaikan dalam bentuk anak lebih aktif,
anak banyak terlibat dalam proses belajar dapat membangkitkan motif belajar
yang lebih berjangka panjang.12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Scope yaitu ruang lingkup keseluruhan pengelaman belajar yang akan
diberikan kepada siswa yang sudah berbentuk bidang studi, misal bidang
studi IPA untuk SMP (biologi) yang diperinci menjadi pokok bahasan dan
sub pokok bahasan yang mengandung ruang lingkup bahannya sendiri.
Sequence atau urutan yaitu susunan bahan pelajaran atau pengalaman
belajar menurut aturan tertentu secara berurutan.
2. Dalam menentukan scope, yaitu apa yang harus diajarkan merupakan
masalah yang semakin sulit seiring berjalannya waktu. Beberapa
penyebabnya antara lain : Bahan pelajaran cepat bertambah luas karena
eksplosi ilmu pengetahuan, Belum ada kriteria yang pasti tentang bahan
apa yang perlu diajarkan, Matapelajaran yang tradisional tidak lagi
memadai, Mata pelajaran baru ditambahkan sedangkan matapelajaran
lama masih disampaikan sehingga beban belajar anak bertambah berat.

11
Ibid;S. Nasution, h. 242-246.
12
Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2000, h. 146.
3. Ada sejumlah kriteria yang digunakan untuk memilih bahan pelajaran,
namun setiap kriteria ini mempunyai kelemahan. Kriteria tersebut antara
lain : Bahan pelajaran harus dipilih berdasarkan tujuan yang hendak
dicapai, Bahan pelajaran dipilih karena dianggap berharga sebagai warisan
generasi lampau, Bahan pelajaran yang dipilih karena dianggap berharga
bagi manusia dalam hidupnya.
4. Berikut ini beberapa prosedur yang diikuti dalam penentuan bahan
pelajaran : Prosedur menerima otoritas para ahli, Prosedur eksperimental,
Prosedur ilmiah atau analitis, Prosedur konsensus.
5. Scope dan sequence erat hubungannya dalam penyusunan kurikulum, oleh
sebab tiap bahan harus diberikan pada waktu yang setepat-tepatnya.J
Bruner mengatakan bahwa prinsip-prinsip tiap mata pelajaran dapat
diajarkan kepada setiap orang pada setiap usaha dalam suatu bentuk
tertentu oleh sebab ide-ide pokok yang mendasari setiap ilmu sebenarnya
sederhana.J Piaget membuktikan bahwa anak-anak lebih cepat dapat
berfikir secara formal daripada yang diduga semula.

DAFTAR PUSTAKA
1. http://filsafatmeningkatkantarafhidup.blogspot.com/2012/06/scope-and-
squence-pengembangan.html?view=timeslide
2. http://robbinadani.blogspot.com/2015/05/bab-i-pendahuluan-a.html
3. file:///C:/Users/sugie99/Downloads/43-Article%20Text-78-1-10-
20181025.pdf

Anda mungkin juga menyukai