Resensi Novel Bidadari Bidadari Surga
Resensi Novel Bidadari Bidadari Surga
Novel ini tergolong jenis buku fiksi yang menceritakan tentang kisah kehidupan
sebuah keluarga yang berada di lembah Lahembay, lembah terpencil. Cerita yang begitu
menyentuh, menginspirasi, dan mengahrukan. Keluarga ini terdiri dari seorang Mamak, dan
lima orang anak. Anak perama bernama Laisa, keduanya Dalimunte, ketiganya Wibisana,
keempatnya Ikanuri, dan terakhir Yashinta. Laisa adalah seorang kakak tertua yang sangat
menyayangi adik-adiknya dan Mamaknya. Dia bahkan rela putus sekolah saat kelas empat
Sekolah Dasar demi membantu Mamaknya mencari uang untuk sekolah adik-adiknya.
Dalimunte adalah sosok seorang lelaki yang cerdas, penurut, dan lembut hatinya. Di
antara semua adik-adik Laisa Dalimunte adalah adiknya yang paling pintar. Sejak kecil dia
bahkan sudah mampu membuat penemuan-penemuan yang membantu kehidupan keluarga,
bahkan bagi desanya. Semenjak kecil nilai-nilai di sekolahnya sangat memuaskan dan selalu
menjadi yang terbaik. Wibisana dan Ikanuri adalah dua adiknya yang beda namun kembar.
Hal ini disebabkan meskipun mereka terlahir berbeda sebelas bulan, namun watak,
kebiasaaan, dan cara pandang mereka sangatlah mirip. Diantara keempat adiknya mereka
berdualah yang paling bandel, cuek, nakal, dan suka membolos sekolah. Namun, meskipun
demikian mereka tidak berani membantah kata-kata Kak Laisa karena kecintaan dan
pengorbanan Kak Laisa. Adiknya yang terakhir adalah Yashinta, seorang gadis kecil yang
cantik dan manis. Dia selalu ingin tahu tentang berbagai hal baru, terutama tentang alam dan
hewan-hewan lucu. Dia selalau meminta Kak Laisa mengantarkannya ke hutan untuk melihat
berbagai hewan dan tumbuhan yang unik dan lucu. Meskipun dia lebih kecil dari Kak Laisa,
namun kekuatannya melangkah dan menyusururi hutan lebih kuat dibandingakan keempat
saudara lainnya.
Semenjak kecil perjalanan kehidupan mereka adalah kehidupan yang keras, dan
penuh perjuangan. Mamaknya mencari nafkah sendirian dibantu Kak Laisa semenjak
umurnya tujuh tahun ketika Babaknya meninggal dunia diterkam harimau. Sejak saat itu, kak
Laisa yang pernah dititpi pesan terkhir sebelum Babaknya meninggal berjanji akan menjaga
adik-adiknya dan bersumpah akan memberikan kesempatan kepada adik-adiknya untuk
menjadi orang-orang yang hebat. Sumpah ini membuat terang benderang kisah ini. Kak Laisa
begitu banyak berkorban untuk keluarga ini. Dia rela berhenti sekolah untuk adik-adiknya.
Demi Dalimunte dia rela menghabiskan seluruh waktunya di ladang untuk membiayai
Dalimunte masuk SMP, bahkan dia pernah rugi besar karena keinginan untuk merubah
peerkebunannya menjadi kebun strawberry gagal total, namun dia tidak menyerah dan terus
mencobanya demi mengumpulkan uang untuk Dalimunte masuk SMP, dan dia berhasil.
Demi Ikanuri dan Wibisana, Kak Laisa rela mengorbankan hidup dan nyawanya
dengan cara dia menghadapi harimau hutan rimba yang hendak memakan Wibisana dan
Resensi Bidadari Bidadari Surga kelas: 12 MIA 2
Karya: Tere Liye
Ikanuri. Dia menggantikan posisi Ikanuri dan Wibisana , dan menyuruh mereka berlari.
Alhasil harimau tersebut tidak jadi menerkam Laisa yang benar-benar sudah berada dua
meter di depannya. Tiba-tiba saja harimau it pergi begitu saja. Akhirnya diketahui bahwa
ternyata harimau memiliki insting kasih sayang, dan harimau itu melihat pancaran rasa kasih
sayang yang begitu mendalam dari Laisa terhadap kedua adiknya oleh sebab itu harimau
tersebut tidak jadi menerkam Laisa. Demi Yashinta, Laisa rela menerobos hujan ketika
malam sekitar pukul 00.00 ketika Yashinta sedang sakit. Dia tidak peduli akan derasnya
hujan, dia lari sendirian ke kampunga atas yang jaraknya lebih dari 10 km tanpa putus asa
untuk memanggil mahasiswa KKN fak. Kedokteran. Bahkan dia mempertaruhkan nyawanya,
dia sempat tergelincir hingga mata kakinya berpindah. Itu sangat sakit, namun dia tidak
memperdulikannya tetap menerobos hujan dan menyimpan lukanya sendirian.
Masih banyak lagi yang Dia korbankan demi adik-adiknya, namun meskipun banyak
penderitaan yang Dia alami demi adik-adiknya dia tidak pernah menangis di depan adik-
adiknya. Dia selalu meneriaki adik-adiknya dengan kata-kata ”kerja keras”, dan dia juga tidak
pernah mengeluh kepada adik-adiknya. Karena kerja kerasnya, akhirnya dia sukses bertanam
strawbery hingga hampir separuh tanah desanya ditanami oleh strawbery miliknya. Selain itu,
dia juga membangun jalan di desanya, kemudian membangun sekolah untuk sekolah anak-
anak di desanya. Karena perjuangan dan kasih sayangnya itulah adik-adiknya dapat
bersekolah hingga sarjana, bahkan Dalimunte menjadi seorang Professor, dan Yashinta
lulusan terbaik S2 di Belanda.
Laisa sangat bangga karena adik-adiknya menjadi orang-orang hebat dan sukses.
Bahkan dia sendiri melupakan satu hal yaitu kebahagiaannya. Dia tidak pernah mengeluh atas
apa yang diterimanya, bahkan suatu kenyataan dia “dilintasi” adik-adiknya menikah. Semula,
semua adiknya tidak mau melintasi kakaknya tercinta itu, namun berkali-kali Laisa
mengatakan bahwa dia tidak ingin membuat adik-adiknya menderita, jika menunggu dirinya
entah sampai kapan datangnya. Berbagai cara sudah dilakukan adik-adiknya terutama
Dalimunte untuk menjodohkannya. Namun, tidakpernah berhasil. Meskipun demikian, ketika
usia Laisa sudah 40an dan para tetangga justru merasa iba padanya, Laisa selalu mengatakan
bahwa jika waktunya tiba pasti jodoh itu akan datang.Namun, hingga penyakit kanker Laisa
yang diam-diam disembunyikannya menyerang jodoh itu belum datang jua. Bahkan hingga
nafas terakhirnya. Laisa selama ini sudah merasa bahagia dan merasa cukup karena dia telah
memiliki adik-adik yang sangat membanggakan.
Rasa syukur selalu dipancarkan dari dirinya, bahkan ketika di usianya yang ke-43
tahun ketika dia terserang kanker stadium 4, dan ketika semua adik-adiknya telah
melintasinya, serta ketika kenyataan mengatakan bahwa Laisa memang anak angkat yang
ditinggalkan ayahnya dengan direndam di baskom hingga tubuhnya membiru ketika bayi dia
tetap bersyukur atas hidupnya. Dialah manusia luar biasa dengan senyuman yang terukir pada
wajahnya ketika waktunya di dunia telah habis.
Novel ini menawarkan keharuan karena cinta. Namun ini bukan keharuan cinta
segitiga, segiempat, atau segilima yang seringkali memojokkan kita pada sekadar aksi
rebutan perasaan antara laki-laki dan sejumlah perempuan - ataupun sebaliknya. Inilah
Indah, realistis, dan filosofis. Berbeda dengan karakter kebanyak novel yang selalu
sempurna seperti telenovela, kisah novel ini sebaliknya amat sederhana dan bahasa yang
digunakan pun juga sedarhana sehingga mudah dimengerti oleh pembaca. Kesederhanaan
kisahnya tidak saja menguatkan seluruh cerita tapi juga menciptakan sentuhan sentimentil
bagi pembaca. Novel ini disusun dengan balutan dialog yang cukup berhasil membuat emosi
para pembaca menyelami perasaan tokoh-tokoh yang ada di dalamnya. Bahasa kiasan yang
diselipkan oleh penulis menambah keindahan pada novel ini. Pesan kisah ini sangat luar
biasa. Mengajarkan kita tentang kebahagiaan sejati yang hanya bisa diperoleh jika kita
sungguh-sungguh mencintai orang lain serta selalu bersyukur atas masa lalu, hari ini, dan
masa depan. Selain itu, diselipkan potongan ayat-ayat suci Al-Qur’an untuk menambah
konkritnya tulisan dan kekhasan penulis yang membuat novel ini semakin menarik.
Novel ini menggunakan alur maju mundur, hal ini akan membingungkan pembaca
jika pembaca tidak teliti ketika membacanya. Sudut pandang yang digunakan pun bergantian
antara para tokoh. Kadang dari sudut pandang tokoh Dalimunte, kadang Wibisana dan
Ikanuri, kadang Yashinta, kadang Laisa. Pergantian sudut pandang tersebut tidak berdasarkan
bab, tetapi lebih sering pada pergantian subbab. Jadi, harus lebih awas agar tidak bingung
dengan pergantian sudut pandang yang tidak menentu itu. Peletakan nama panggilan karakter
kunci pada novel ini agak memusingkan, yang kadang dipanggil Kak, kadang dipanggil Wak,
di beberapa tempat agak berantakan. Novel ini yang terasa sedikit janggal adalah mengenai
sudut pandang penulis. Terdapat kerancuan pada penempatan posisi penulis dalam cerita ini
terkadang tidak ada korelasi dengan jalan cerita. Ada bagian yang sangat ingin diketahui
pembaca, tetapi cerita itu malah dibuat menggantung karena bahasa yang digunakan diakhir
cerita adalah bahasa kiasan.
Tetapi, kekurangan tersebut tidak terlalu mempengaruhi betapa menariknya novel ini.
Novel ini dapat dinikmati oleh semua kalangan, terutama para wanita karena kisah dari novel
ini membawa pesan bahwa wanita bukan dilihat dari fisiknya, tapi kecantikan hatinya. Tere
Liye mengajak pembaca merenungkan kembali makna kemuliaan wanita, kebahagiaan yang
sejati dan bidadari-bidadari surga yang dijanjikan Allah dalam Al Quran.