Anda di halaman 1dari 4

Curiga Manjing Warangka

Warangka Manjing Curiga


Oleh
Darmanto, M.,Pd.

C
uriga (senjata) bisa berbentuk tumbak, panah, keris dan sebagainya,
selalu manjing (di dalam) warangka (sarung pusaka). Dengan demikian
Curiga Manjing Warangka dapat diartikan bahwa keris selalu barada di
dalam sarungnya. Demikian pula sebaliknya.
Sebilah keris yang indah akan menjadi senjata misteri yang tidak
memperlihatkan jika senjata tersebut bisa digunakan untuk membunuh saat
berkelahi. Tetapi karena adanya warangka maka keris itu menjadi tidak
menakutkan bahkan ada ada nilai keindahan.
Coba bayangkan saja jika suatu senjata yang dipakai tanpa adanya
pengaman, maka bisa saja membuat malapetaka bagi empunya. Pengertian
warangka atau sarung senjata mempunyai makna wadah atau tempat untuk
menyimpan kembali senjata. Dan warangka tanpa adanya curiga maka hanyalah
benda yang tidak mempunyai fungsi apa-apa.
Antara curiga dan warangka terdapat kesesuaian bentuk maupun
ukurannya. Tidak pernah ada curiga yang lebih panjang /pendek dibandingkan
warangkanya.
Ketika curiga dilepas dari warangkanya, dia akan sanggup menyobek
perut keangkaramurkaan untuk membela bangsa, keluarga dan agama dalam
peperangan. Lain halnya dengan jika curiga disarungkan pada warangkanya
semua akan terlihat rapi dan serasi.
Dalam dunia pewayangan terdapat satu senjata andalan yang dinamakan
Kunta Wijayadanu atau sering juga disebut Kunta Wijayacapa. Alutsista ini
dibuat di Kahyangan dan akan diberikan kepada Pandawa untuk memenangkan
perang Bharatayudha. Satria yang dipilih para dewa untuk menerima senjata ini
adalah Raden Arjuna.
Ketika Betara Narada diberi amanat untuk menyerahkan senjata ini
kepada Raden Arjuna, terjadi kekeliruan besar. Curiganya diterima oleh Adipati
Karna yang saat itu mengaku dirinya sebagai Raden Arjuna. Sedang warangkanya
yang terbuat dari kayu Kestuba diterima oleh Raden Arjuna untuk memotong ari
ari Gatotkaca. Dan ketika Raden Arjuna melakukannya plasenta Gatotkaca lenyap
dan warangka Kunta Wijayadanu masuk dalam tubuh Gatotkaca. Oleh sebab itu,
dalam perang Bharatayudha nanti sebaiknya Adipati Karna tidak berperang
melawan Gatotkaca.
Namun Prabu Kresna, penasihat para Pandawa berpandapat lain. “Kunta
Wijayadanu harus dilenyapkan agar pihak Astina tidak memiliki senjata andalan
lagi.” Dan benar, pada Bharatayudha hari ke 14, ketika pihak Astina mengirim
Adipati Karno menjadi senapati Kurawa Kresna memerintah Gatotkaca turun
menjadi senopati pihak Pandawa. Dan saat panah Kunta Wijayadanu dilepas
Adipati Karna, senjata menembus dada sasarannya dan lenyap. Gugurlah
Gatotkaca bersama dengan lenyapnya senjata canggih bernama Kunta
Wijayadanu.
Keselarasan hubungan antara curiga dan warangka ini bisa jadi
merupakan peribahasa yang menggambarkan hubungan ideal sehingga tidak
terjadi konflik di dalam membangun ketenteraman dan kemakmuran. Peribahasa
ini ditujukan kepada para pemimpin (yang berkuasa) dengan rakyatnya. Antara
yang memimpin dengan yang dipimpin harus dapat melaksanakan peran masing-
masing dan juga harus mampu membangun kerja sama yang baik.
Andaikan pemimpin diibaratkan dengan sebilah keris, dia harus bisa
menjaga, mengayomi, menata, dan menghidupkan semangat rakyat agar mampu
mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Sebaliknya, rakyat yang diibaratkan
dengan warangka (sarung keris) pun harus bersedia mendukung semua hal yang
telah ditetapkan oleh para pemimpinnya. Dengan hubungan serta kerja sama yang
baik seperti itu, akan terwujud segala sesuatu yang dicita-citakan oleh masyarakat.
Peribahasa tersebut bisa juga dimaknai sebagai gambaran seseorang yang
mempunyai kapasitas menjadi pemomong atau pengasuh bagi orang lain.
Sebagaimana warangka, sang pengasuh akan selalu bisa menjembatani segala
amarah yang bisa menyakiti bagi pemiliknya. Segala kebijaksanaan yang ada pada
tuannya ibarat keris dapat diarahkan sebagaimana senjata bagi ksatria hanya
digunakan untuk melindungi diri, atau mencabut keangkaramurkaan. Semestinya
begitu.
Sang pengasuh atau kalau diibaratkan warangkanya bisa berperan
sebagai pembantu yang baik seperti semar dan punokawannya dengan para
pandawanya dalam cerita Mahabarata, versi wayang Indonesia. Tokoh punokawan
selalu setia mengikuti kemana saja tuannya pergi. Setia dalam kesegembiraan dan
tidak pergi manakala tuannya dalam kesedihan. Mereka pun akan selalu tidak
ragu-ragu untuk mengingatkan tuannya jika ada kekeliruan dalam tindakan.
Ada juga warangka atau tempat senjata yang tidak berfungsi memberi
keindahan, bahkan merusak estetika dan fungsi keris itu sendiri. Kalau dalam
pewayangan sang tokoh dialah Sengkuni mahapatih dari kerajaan Astina dengan
sang raja Suyudana. Seharusnya sang pengemban dapat memberikan nasihat
kebaikan tetapi malah menjerumuskan tuannya kepada kehancuran. Pun
sebaliknya adapula curiga yang selalu menolak fungsi keindahan warangkanya.
Pemimpin yang selalu membantah saran pendampingnya seperti raja raksasa yang
selalu menolak nasihat Togog dan Bilung pembantunya.
Dua benda yang akan terlihat sangat serasi bahkan dari warangka yang
berbentuk sangat mewah akan lebih menyimpan kerahasiaan yang mendalam
tentang keris itu sendiri. Karena bagaimanapun juga Sebagaimana menjulangnya
Mahapati Gajah Mada yang menjadi orang nomor dua di kerajaan majapahit
setelah sang ratu Trebhuanatungga Dewi.
Pada zaman Indonesia dibangun pastilah kita akan menampilkan
dwitunggal, Moh. Hatta dan Ir. Soekarno. Satu tokoh Bung karno mempunyai
kapasitas sebagai keris sedangkan Bung Hatta sebagai warangka nya. Semangat
berpolitik Soekarno yang meledak-ledak tidak diikuti sikap yang sama oleh Pak
Hatta.
Pak Hatta dalam sejarahnya sangat berhati-hati dalam berpolitik tidak
tampak kegaduhan-kegaduhan akibat dari keputusannya. Pak Hatta selalu
mendampingi Bung Karno dalam menyelesaikan urusan pelik kenegaraan.
Begitulah padanan untuk warangka yang indah.
Hubungan curiga dan warangka mungkin dapat dimaknai sejajar dengan
puisi Sutardji CB berikut ini:

SANG HAI
ping diatas pong
pong diatas ping
pingping bilang pong
pong-pong bilang ping
mau pong? bilang ping
maumau bilang pong
mau ping? bilang pong
maumau bilang ping
ya pong ya ping
ya ping ya pong
tak ya pong tak ya ping
ya tak ping ya tak pong
kutakpunya ping
kutakpunya pong
pinggir ping kumau pong
tak tak bilang ping
pinggir pong kumau ping
tak tak bilang pong
sembilu jarakMu merancap nyaring
(Kumpulan Puisi AMUK, Sutardji CB)
SANG selalu berorientasi dengan orang orang yang kedudukannya di
atas seperti Sang Raja, Sang Ratu, Sang Putra Mahkota dan sebagainya. Hai selalu
berorientasi dengan orang orang yang sederajat seperti Si Tukang Sayur, Si
Tukang Sulap, Si Tukang Tipu dan sebagainya. Sehingga judul SANG
HAI dapat diartikan sebagai jarak antara pemimpin dan rakyatnya yang tidak bisa
dipisahkan satu sama lain bagaikan curiga dan warangka.

Anda mungkin juga menyukai